perilaku ritual mitis abdi dalem keraton ... - isi surakarta

15
38 PERILAKU RITUAL MITIS ABDI DALEM KERATON KASUNANAN SURAKARTA (Sebuah Dialektika Sosiologi Budaya) R. Adi Prabowo Program Studi Kriya Seni, Jurusan Kriya Fakultas Senirupa dan Desain Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta Email: [email protected] INTISARI Keraton yang diakui sebagai pusat budaya Jawa yang membutuhkan ritus-ritus ritual untuk lebih memberikan daya kekuatan spiritual dan dipergunakan sebagai pelestari budaya Jawa. Para abdi dalem keraton, suatu kelompok sosial di keraton yang bertindak selaku kawula (orang bawahan yang mengabdi) memiliki porsi yang lebih di dalam urusan laku spiritual di lingkungan keraton. Mereka adalah para pelaku sejati dari budaya ini karena dalam melakukan tugasnya sama sekali tidak mengharapkan imbalan materiil, tetapi mengharapkan makna keberkahan dari Tuhan sebagai sumber kekuatan. Perilaku abdi dalem dalam membina keberlangsungan budaya ini tercermin dalam hidup sehari-hari dengan laku semedi (bertapa) dan berpuasa. Perilaku persembahan dan penyerahan ini juga memberikan kontribusi yang luas di dalam keraton, yang tidak hanya sebagai alat legitimasi kekuatan budaya tetapi juga mengandung suatu ajaran luhur dan mulia bagi kemaslahatan masyarakat. Kata kunci: Abdi dalem, keraton, ritual ABSTRACT The palace, or keraton, which is recognized as a Javanese cultural centre, requires rituals in order to increase its spiritual power and also to be used as a means of preserving the Javanese culture. The courtiers in the keraton, who are a subservient social group (acting as servants), have a greater portion in the spiritual actions that take place inside the keraton environment. They are the true executors of this culture since in carrying out their duties, they have no desire for material reward; they wish only for blessings from God – their source of power and strength. These acts of dedication and surrender provide a large contribution to the keraton, and are not only a vehicle for cultural legitimacy but also contain noble and honourable teachings for the benefit of society. This cultural phenomenon was chosen as the topic to be analyzed from a sociological and cultural approach, with the aim of gaining an understanding of the structure and way of thought of the executors of this culture. It is hoped that this paper will provide knowledge and information about an original Javanese cultural practice which continues to exist and develop to this day, and is still relevant to be implemented as a ritual cultural teaching. Keywords: Courtiers, keraton, ritual.

Upload: others

Post on 01-Nov-2021

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PERILAKU RITUAL MITIS ABDI DALEM KERATON ... - ISI Surakarta

Vol. 8 No. 1, Desember 201238

38

PERILAKU RITUAL MITIS ABDI DALEMKERATON KASUNANAN SURAKARTA

(Sebuah Dialektika Sosiologi Budaya)

R. Adi Prabowo

Program Studi Kriya Seni, Jurusan KriyaFakultas Senirupa dan Desain

Institut Seni Indonesia (ISI) SurakartaEmail: [email protected]

INTISARI

Keraton yang diakui sebagai pusat budaya Jawa yang membutuhkan ritus-ritus ritual untuk lebihmemberikan daya kekuatan spiritual dan dipergunakan sebagai pelestari budaya Jawa. Para abdidalem keraton, suatu kelompok sosial di keraton yang bertindak selaku kawula (orang bawahan yangmengabdi) memiliki porsi yang lebih di dalam urusan laku spiritual di lingkungan keraton. Merekaadalah para pelaku sejati dari budaya ini karena dalam melakukan tugasnya sama sekali tidakmengharapkan imbalan materiil, tetapi mengharapkan makna keberkahan dari Tuhan sebagai sumberkekuatan. Perilaku abdi dalem dalam membina keberlangsungan budaya ini tercermin dalam hidupsehari-hari dengan laku semedi (bertapa) dan berpuasa. Perilaku persembahan dan penyerahan inijuga memberikan kontribusi yang luas di dalam keraton, yang tidak hanya sebagai alat legitimasikekuatan budaya tetapi juga mengandung suatu ajaran luhur dan mulia bagi kemaslahatanmasyarakat.

Kata kunci: Abdi dalem, keraton, ritual

ABSTRACT

The palace, or keraton, which is recognized as a Javanese cultural centre, requires rituals in order to increase itsspiritual power and also to be used as a means of preserving the Javanese culture. The courtiers in the keraton, whoare a subservient social group (acting as servants), have a greater portion in the spiritual actions that take place insidethe keraton environment. They are the true executors of this culture since in carrying out their duties, they have nodesire for material reward; they wish only for blessings from God – their source of power and strength. These acts ofdedication and surrender provide a large contribution to the keraton, and are not only a vehicle for cultural legitimacybut also contain noble and honourable teachings for the benefit of society. This cultural phenomenon was chosen asthe topic to be analyzed from a sociological and cultural approach, with the aim of gaining an understanding of thestructure and way of thought of the executors of this culture. It is hoped that this paper will provide knowledge andinformation about an original Javanese cultural practice which continues to exist and develop to this day, and is stillrelevant to be implemented as a ritual cultural teaching.

Keywords: Courtiers, keraton, ritual.

Page 2: PERILAKU RITUAL MITIS ABDI DALEM KERATON ... - ISI Surakarta

39R. Adi PrabowoPerilaku Ritual Mitis Abdi Dalem Keraton Kasunanan Surakarta(Sebuah Dialektika Sosiologi Budaya)

A. Masyarakat Keraton dan Strukturnya

Keraton sebagai suatu entitas sosial masyarakat

atau komunitas yang mempunyai kebudayaan

sendiri. Di dalam masyarakat tersebut terjadi

interaksi, baik secara individual, maupun secara

kolektif (Darsiti Soeratman, Kehidupan Dunia

Keraton Surakarta 1830-1939, 1989: 12). Dengan

demikian, maka anggota masyarakat atau

komunitas tersebut berhubungan secara kait

mengkait satu dengan yang lainnya, sehingga

terjadi ketergantungan di antara mereka. Selain

terjadi interaksi secara individual dan kolektif,

berlangsung juga interaksi yang dilakukan lewat

organisasi sosial.

Masyarakat sosial keraton berdiri sebagai ba-

rometer kebudayaan Jawa sangat kental dengan

pemikiran dan perilaku yang mengarah kepada

legitimasi kebudayaan secara makro. Ungkapan ini

didukung adanya kedudukan raja yang digambar-

kan sebagai dewa. Raja adalah pemegang kekuasaan

dalam pemeliharaan hukum dan budaya. G.

Moedjanto menuliskan bahwa kekuasaan yang

besar dari seorang raja diimbangi dengan kewajiban

yang dirumuskan dalam kalimat: Berbudi bawa leksana

ambeg adil paramarta1 (lihat: Konsep Kekuasaan Jawa,

1987).

Anggota masyarakat atau komunitas keraton

adalah orang-orang yang tinggal di lingkungan

dalam istana dan lingkungan luar istana, yang

tinggal di dalam lingkup tembok Baluwarti (sebuah

kawasan yang berada di sekitar keraton atau

mengelilingi keraton dengan dibatasi oleh tembok

tinggi). Kawasan ini dihuni oleh kerabat keraton dan

bagi masyarakat umum yang menempatinya

menggunakan sistem sewa lahan, serta di luar

lingkup tembok bagi para kerabat dan yang

bertugas sebagai abdi dalem keraton. KRMH.

Surjandjari Puspaningrat, memberikan batasan

tentang masyarakat keraton atau disebut “kerabat

keraton” sebagai berikut.

1. Putera-puteri Susuhunan (putra-putri Dalem).

2. Para Keturunan atau trah dari para Susuhunan

(sentana dalem, darah dalem, trah dalem).

3. Para karyawan Keraton Surakarta, laki-laki atau

perempuan yang aktif atau yang telah pensiun

(abdi dalem-pensiunan para abdi dalem).

4. Para simpatisan (ingkang taksih sami hangadap/utawi

setya dateng keraton2).

Kerabat keraton tersebut tidak dibatasi dengan

tempat tinggalnya, namun sebagian pendapat

orang mengatakan, bahwa masyarakat keraton

adalah mereka yang tinggal di lingkup Baluwarti

(KRMH. Surjandjari Puspaningrat, “Kirab Pusaka

Keraton Surakarta”, 1996: 41). Masyarakat keraton

seperti halnya masyarakat di seluruh kerajaan

mengenal pelapisan-pelapisan yang tersusun secara

hierarki. Raja memiliki tempat tertinggi, kemudian

diikuti oleh kaum bangsawan, golongan priyayi, dan

akhirnya golongan-golongan di luar kelompok

tersebut. Jika struktur masyarakat keraton

digambar sebagai piramida, maka raja berke-

dudukan di puncaknya, berikutnya kaum

bangsawan, yang merupakan lapisan tipis berada

di bawahnya, kemudian para priyayi, dan akhirnya

pada bagian paling bawah para pengiring (retaines),

dan para abdi yang jumlahnya cukup banyak

(Darsiti Soeratman, 1989: 288). Kehidupan mereka

di dalam keraton meliputi kehidupan sehari-hari

dan pada waktu keraton melangsungkan pesta,

serta upacara. Selain itu juga mencakup kehidupan

raja dan pengikutnya di luar lingkungan keraton,

misalnya pada waktu dilaksanakannya kunjungan-

kunjungan ke manca negara.

Status tertinggi dalam keraton dan kekuasaan

raja tercermin dalam nama, gelar, atau sebutan yang

disandangnya. Raja dan narapati atau narendra

Page 3: PERILAKU RITUAL MITIS ABDI DALEM KERATON ... - ISI Surakarta

Vol. 8 No. 1, Desember 201240

berarti manusia yang luhur dan sangat dimuliakan

rakyat. Raja sebagai status tertinggi dalam keraton

bergelar Sri Susuhunan. Gelar Sri Susuhunan ini

jelas menyatakan bahwa pemakainya telah dihiasi

dengan gelar sakti tertinggi, Sebutan tersebut dapat

dibayangkan sebagai kalifah Tuhan yang dipercaya.

Dengan ini hakikat Ilahi atau kedewaan raja-raja

Jawa Hindu dihidupkan kembali, walaupun dengan

warna baru dan dalam bentuk yang berbeda

(Soemarsaid Moertono,Negara dan Usaha Bina Negara

di Jawa Masa Lampau, 1985: 41). Menerima gelar

Susuhunan berarti kekuasaan sakral sekular berada

dalam satu tangan. Konsep raja dewa pada

hakikatnya diwujudkan dengan nama dan bentuk

baru, dan makam raja-raja dibuat dan dikeramat-

kan. Contoh: candi diberi bentuk baru berupa

pasarean atau astana, berupa makam di puncak

gunung.

Bangsawan dan pegawai istana merupakan dua

macam lapisan yang selalu ada di dalam

masyarakat istana. Pada umumnya antara kedua

lapisan itu terdapat garis pemisah yang tegas.

Kelompok bangsawan, yaitu golongan yang masih

berdarah dekat dengan raja, mendapat

penghargaan lebih dari pada golongan yang lain.

Bangsawan mempunyai status dari kelahirannya,

sedangkan punggawa kerajaan atau pegawai istana

mendapatkannya karena ukuran prestasinya.

Keinginan rakyat kecil dapat diterima dalam kelas

punggawa kerajaan yang di dalam keraton disebut

priyayi. Keinginan menjadi priyayi dimaksudkan

agar dapat memperoleh status, karena status ini

akan diikuti oleh unsur-unsur lain, yaitu kekuasaan,

wibawa, dan kekayaan. Selain itu juga diikuti

pemberian hak untuk memakai lambang-lambang

status sebagai kebanggaan tersendiri.

Struktur masyarakat keraton sulit untuk

digambarkan dalam kerangka (bagan) struktur. Hal

ini dikarenakan sebutan bangsawan, golongan

priyayi, dan abdi dalem mempunyai pangkat,

sebutan gelar, serta golongan yang berbeda-beda.

Contoh golongan bangsawan dan priyayi, antara

lain: pangeran sentana (pangeran dari keluarga raja),

sentana dalem riya nginggil (pejabat keraton

berpangkat tinggi), golongan sentanadalem riya ngandap

(pejabat keraton berpangkat rendah), priyantun dalem

(keluarga dekat raja) dengan sebutan Raden Ayu,

priyantun dalem dengan sebutan Raden, dan priyantun

dalem Raden Kiranarukmi. Golongan abdi dalem

antara lain: abdi dalem Wadana, abdi dalem lurah

berpangkat Panewu, abdi dalem Bupati Bekel, abdi

dalem Bupati Nayaka, dan sebagainya yang jumlah

gelar, golongan dan pangkatnya mencapai lebih dari

50 jenis.

Pegawai Keraton Kasunanan Surakarta disebut

abdi dalem. Abdi dalem ini dibagi dalam beberapa

tingkatan menurut pangkat yang dimilikinya.

Menurut K.R.M.H. Yasadipura, abdi dalem dibagi

menjadi tiga golongan, yaitu:

1. Abdi dalem golongan atas, terdiri dari Bupatidan Bupati Anom. Bupati bergelar KanjengRaden Tumenggung (K.R.T.), biasanya disebutKanjeng. Bupati Anom bergelar Raden Tumeng-gung (R.T.), biasanya disebut Tumenggung atauMenggung.2. Abdi dalem golongan menengah adalahPenewu dan Mantri. Penewu dan Mantri masing-masing bergelar Raden Ngabehi (R.Ng.)biasanya disebut Ngabehi. Untuk membedakanNgabehi itu Penewu atau mantri harusdiperhatikan nama yang dimilikinya. Panewunamanya selalu diikuti dengan Praja sepertiR.Ng. Suryadipraja, R.Ng. Prajapangrawit, R.Ng.Prajawigata, sedangkan Mantri biasanyamenggunakan nama-nama seperti karta, Suradan Atma: R.Ng. Kartasupono, R.Ng.Kartapradangga, R.Ng. Surasudirja, R.Ng.Surasuharja, R.Ng. Atmacuriga, dan R.Ng.Atmasubrata.3. Abdi dalem golongan bawah adalah Lurah danJajar. Lurah bergelar Raden Lurah, dan Jajarbelum diberi gelar.Kemudian kelas sosial sentana dalem dan kelassosial abdi dalem digolongan sebagai priyayi(Harsoyo Rajiyowiryono, Pronomina Persona

Page 4: PERILAKU RITUAL MITIS ABDI DALEM KERATON ... - ISI Surakarta

41R. Adi PrabowoPerilaku Ritual Mitis Abdi Dalem Keraton Kasunanan Surakarta(Sebuah Dialektika Sosiologi Budaya)

Bahasa Jawa Dan Penggunaannya DiLingkungan Karaton Kasunanan Surakarta, 1986:12).

Abdi dalem keraton memang cukup banyak

jumlahnya dalam tingkatan yang berbeda-beda

pula, tetapi menyebut kata abdi dalem yang sepintas

terpikir adalah para kawula atau orang-orang yang

mengabdi atau melayani di keraton dengan segala

kesahajaan dan pengabdiannya dengan tulus

memberikan bakti dan kesetiaannya kepada

keraton. Golongan para abdi dalem ini lebih dikenal.

Mereka adalah para abdi dalem yang berpangkat

rendah, menerima gaji pas-pasan, dan umumnya

berusia lanjut. Mereka biasanya bertugas sebagai

kebersihan, taman, menyiapkan sesaji/sesajen,

pembawa payung, pengapit, kemasan, greji, tukang

laras, tukang warangka, tukang ukir, tukang

landheyan (tempat tombak), undhagi, bubut,

kendhi, niyaga, dhalang, tukang sungging, tukang

natah wayang, tukang cat, tukang prada, dan lain

sebagainya. Masyarakat lebih memandang mereka

sebagai abdi dalem keraton dari pada para nayaka,

bupati, lurah, bekel dan lain sebagainya yang lebih

banyak disebut sebagai pejabat keraton.

B. Peran Abdi Dalem Dalam Kehidupan RitualKeraton

Orang Jawa mempercayai adanya kekuatan-

kekuatan gaib pada kayu, batu, keris dan

sebagainya. Kepercayaan pada kekuatan gaib

disebut dinamisme. Kondisi tersebut menyebabkan

manusia Jawa selalu berusaha menyatukan alam

semesta (makrokosmos) dengan dirinya

(mikrokosmos). Mereka berkeyakinan bahwa alam

semesta juga berada dalam dirinya. Dirinya adalah

gambaran alam semesta, karena apa saja terdapat

dalam dirinya (Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen,

2006: 64-65). Alam semesta atau yang disebut jagad

gedhe (dunia besar) identik dengan manusia atau

jagad cilik (dunia kecil) harus diseimbangkan.

Keharmonisan dua alam hidup manusia ini

berakibat pada ketentraman hidup.

Menjaga keharmonisan antara makrokosmos

dan mikrokosmos oleh sebagian besar orang Jawa

dilakukan dengan cara-cara aktualisasi diri dalam

budaya sesaji. Dengan sesaji dan penyerahan

kesetiaan tersebut diharapkan muncul

keseimbangan alam yang selalu berpengaruh pada

jalan hidup seseorang. Begitu juga bagi para abdi

dalem yang sangat dekat dengan ritual-ritual

penyembahan. Mereka menanamkan pada dirinya

untuk selalu setia pada pola laku yang mereka sebut

budaya, yaitu upacara sesaji. Menurut perspektif

masyarakat beragama, khususnya Islam, praktek-

praktek pengadaan sesaji tersebut sering disebut

sebagai syirik dan bertentangan dengan agama

Dalam konteks sesaji sebagai persembahan, para

abdi dalem justru merasa terdapat penghalusan

makna-makna agamis yang dipadu dengan unsur-

unsur kepercayaan setempat. Seperti halnya, KRAT.

Sukarno Putronegoro, seorang abdi dalem Bupati

Riya, mengungkapkan bahwa,

Bentuk-bentuk sesaji yang diselenggarakan olehpara abdi dalem adalah suatu bentukpenerimaan secara utuh ajaran-ajaran agama,yaitu sebagai bentuk penyembahan danpenyerahan diri kepada Sang Khalik, dengantidak meninggalkan unsur budaya dankepercayaan setempat dengan adanyakekuatan-kekuatan di alam yang perlu diletakkansebagai sesuatu yang pantas untuk diberi tempatpenghormatan.

lebih lanjut Sukarno menambahkan,

Justru para abdi dalemlah yang kemudianmempunyai peran dalam tindakan-tindakanmenjaga kelestarian ritual dalam keraton, yangkesemuannya dipersembahkan juga untukkeraton sebagai tempat bersemayamnyaseorang raja yang disebutkan juga sebagaipimpinan agama. (Sukarno dalam wawancara,20 Nopember 2011)

Page 5: PERILAKU RITUAL MITIS ABDI DALEM KERATON ... - ISI Surakarta

Vol. 8 No. 1, Desember 201242

Gambar 1. Seorang abdi dalem menyiapkan sesajen

di depan ndalem Prabasuyasa3. (Foto: Sugito, 2012)

Gambar 2. Para abdi dalem sedang mengadakanritual sesaji di alas (hutan) Krendhawahana.

(Foto: Sugito, 2012)

Berbicara tentang peran para abdi dalem dalam

kehidupan ritual keraton, maka bayangan pertama

kali yang muncul adalah bagaimana para abdi

dalem tersebut menyiapkan dan melaksanakan

hajat ritual untuk kepentingan keraton. Pandangan

yang demikian tidak seutuhnya salah, karena

memang mereka sebagai pelaksana kegiatan ritual.

Kegiatan ritual tersebut mulai dari persiapan

upacara sesaji, tempat upacara, peralatan, sampai

dengan bertindak sebagai pelaku upacara ritual di

keraton. Perlu dimengerti bahwa mereka adalah

cermin dari ‘seorang pengabdi’, bukan untuk

kepentingan diri sendiri namun bertindak untuk

kepentingan umum. Mereka melakukan dengan cara

berpikir yang sederhana namun sampai pada akar

konsep pemikiran utama dalam sebuah budaya.

Budaya yang memperdulikan orang lain terutama

budaya yang selalu mengedepankan penghormat-

an, penyerahan, dan pengabdian kepada Sang

Pencipta. Peran yang demikian sangat diperlukan

keraton dalam membangun pola hidup hierarkis,

dengan menganut semangat legitimasi budaya

bahwa keraton adalah sebagai pusat budaya

masyarakat.

Dalam hal kegiatan ritual yang berhubungan

dengan kekuatan-kekuatan magis, berwujud pada

penghormatan kepada benda-benda pusaka keraton

yang dipercaya mempunyai daya kekuatan. Keraton

Kasunanan Surakarta mempunyai berbagai

macam pusaka dari berbagai macam jenis. Pusaka

dalam wujud senjata yaitu, keris, tombak, meriam

dan sebagainya, sedangkan pusaka berupa alat

transportasi yaitu kereta kuda, joli (tandu), perahu

dengan Rojomolo (kepala raksasa) di bagian

depannya. Jenis benda pusaka keraton lainnya

adalah payung, bokor, wayang kulit, dan lain

sebagainya. Adapun tentang pusaka Keraton

Surakarta, yakni benda-benda keraton yang

memiliki sesebutan “Kanjeng Kyai” dan merupakan

“pepunden”4, artinya sesuatu yang pantas dipundhi-

pundhi, dijunjung tinggi dan dihormati. Menurut

wewarah (ajaran) Kanjeng Sinuhun PB IX, bahwa

sesungguhnya yang disebut “budaya” itu sama

dengan “pusaka kedhaton” (pusaka keraton), pusaka-

pusaka keraton ini mengandung daya gaib, daya

prabawa, magis, keramat, dan “ampuh” (sakti).

Dengan demikian apabila pusaka itu dihormati,

dijunjung tinggi dan dihormati atau dalam bahasa

Jawa disebut “dipundhi-pundhi”5, maka pusaka

Page 6: PERILAKU RITUAL MITIS ABDI DALEM KERATON ... - ISI Surakarta

43R. Adi PrabowoPerilaku Ritual Mitis Abdi Dalem Keraton Kasunanan Surakarta(Sebuah Dialektika Sosiologi Budaya)

tersebut akan memberikan “keberkahan” (rahmat).

Sebaliknya kalau “budaya” atau yang disebut

“pusaka” tersebut direndahkan, ditelantarkan, akan

menimbulkan bencana atau musibah yang sering

disebut “halad”, “bebendu” atau “sesiku”6. Bagi

Keraton Surakarta, budaya artinya “uwoh

pangolahing budi”7, yaitu hasil karya yang didasarkan

pakarti “lahir” dan “batin” secara bebarengan

(bersamaan). Pakarti batin ini misalnya: kasutapan,

hamestubudi, tapa brata8, dan sebagainya (KRMH.

Surjandjari Puspaningrat, 1996: 20). Kepercayaan

tentang adanya kekuatan pada pusaka keraton

sangat disadari oleh para abdi dalem. Mereka

percaya bahwa pusaka-pusaka tersebut dapat

menimbulkan celaka jika tidak ditempatkan

sebagaimana mestinya, namun juga bisa

mendatangkan berkah bagi orang yang

menghormati dan menempatkannya sebagaimana

mestinya. Olah rasa dan olah budi dari para abdi

dalem ini sebagai peran yang sangat berarti dalam

semangat kehidupan ritual di keraton.

Abdi dalem bukan profesi yang dinilai dari

struktur hierarkis kepangkatan, ataupun suatu

profesi yang menjanjikan materi berlimpah.

Pemahaman tentang perlindungan, keselamatan

dan keberkahan dengan tindakan ritual sesaji dan

ritual puasa atau semedi. Ritual tersebut sebagai

penghormatan dan pengabdian, dengan sarana

perangkat sesaji dan tempat-tempat atau pusaka-

pusaka sebagai artefak yang dipercaya memiliki

kekuatan. Kesatuan antara pemahaman, ritual, dan

artefak yang memiliki kekuatan melahirkan sebutan

abdi dalem keraton, yang menempati urutan pal-

ing bawah dalam susunan hierarki kerajaan.

Meskipun menempati urutan terbawah dalam

hierarki kerajaan mereka bertugas sebagai tulang

punggung kehidupan ritual keraton dan pelestari

budaya masyarakat Jawa. Abdi dalem tersebut juga

berperan sebagai wujud kekuatan dan legitimasi

seorang raja dalam mengemban kepemimpinan

spiritual dalam lingkungan keraton. Hubungan abdi

dalem dan raja menjadikan seorang abdi dalem

sebagai partner raja dalam mengemban tugas

sebagai penjaga tradisi luhur dan patut

dibanggakan (lihat: Rouffaer G.P., Voorstenlanden,

1998).

C. Kepercayaan Mitis Abdi Dalem Keraton

Membicarakan perilaku mitis para abdi dalem

keraton pasti tidak terlepas dari segala aktifitas di

dalam lingkungan keraton, yang mendukung

kelangsungan kehidupan keraton dan bekerja

dengan dasar pengabdian yang tulus. Para abdi

dalem keraton memiliki kepercayaan tentang

adanya kekuatan di luar dirinya yang menguasai

dan selalu berkarya dalam setiap urutan waktu

yang berjalan. Kepercayaan tentang ‘Ada’ tersebut

bersumber dari Tuhan, yang diyakini sebagai Dzat

yang Maha Besar dan Mulia serta menguasai

seluruh jagad raya. ‘Ada’ itu menguasai setiap

kesempurnaan dalam lingkungan ‘Ada’ yang

terbatas, mencakup setiap kesempurnaan, tetapi

dengan cara yang lebih luhur dan mutlak. Setiap

nota ketidaksempurnaan terdapat dalam setiap

pegada (ruang) yang terbatas, hilang lenyap,

demikian juga setiap batas yang membatasi dan

mengekang, sehingga akhirnya hanya terdapat ‘Ada’

yang tunggal itu yang tiada hingganya, dan itulah

yang disebut Tuhan (P.J. Zoetmulder, Manunggaling

Kawula Gusti,1990: 7).

Seperti halnya di daerah Jawa pada umumnya,

para abdi dalem mempunyai kepercayaan yang

bersifat animistis dan dinamistis -walaupun

mungkin itu hanya tercermin lewat aktifitasnya

dalam kehidupan ritual setiap harinya- di samping

Page 7: PERILAKU RITUAL MITIS ABDI DALEM KERATON ... - ISI Surakarta

Vol. 8 No. 1, Desember 201244

kepercayaan yang bersifat monoteisme (agama).

Untuk menunjukkan kepercayaan animisme dan

dinamisme tersebut, para abdi dalem masih

percaya adanya roh atau arwah orang yang sudah

meninggal dunia, yang disebut leluhur (Purwadi,

Upacara Tradisional Jawa, 2005: 61). Konsep leluhur

selalu ada dan hidup dalam pikiran mereka. Kadang-

kadang mereka personifikasikan sebagai makhluk

halus yang dianggap menempati tempat tertentu

dan kepercayaan pada kekuatan-kekuatan pusaka-

pusaka keraton.

Gambar 3. Seorang abdi dalem menyiapkansesajen di Baluwarti (lingkungan dalam tembok

keraton). (Foto: Sugito, 2012)

Pandangan budaya mitis masyarakat Jawa

berupa kepercayaan terhadap kekuatan gaib biasa

diwujudkan dalam berbagai bentuk upacara sesaji.

Upacara sesaji diselenggarakan umumnya

bertujuan agar selalu mendapat perlindungan dari

Tuhan. Di antara masyarakat yang masih kental

dengan berbagai upacara sesaji adalah masyarakat

keraton, yang berpengaruh besar pada masyarakat.

Upacara sesaji dilakukan dalam lingkungan keraton

berdasarkan kepercayaan yang dianut masyarakat

sebelumnya dan bercampur dengan agama Islam.

Upacara sesaji pada hakikatnya adalah kronologi

substantif untuk sebuah doa atau harapan yang

disajikan atau dipanjatkan dengan sebuah

rangkaian acara seremonial, sedangkan sesajen

(sajen dalam bahasa Jawa) adalah salah satu bentuk

dari sesaji. Sesajen biasanya terdiri dari nasi dan

aneka makanan, daun-daun, bunga serta kemenyan.

Bentuk-bentuk upacara sesaji lain seperti tarian,

tembang, dan lainnya, yang berbentuk dalam sajian

seni. Sajen atau sesajen biasanya dipersembahkan

atau diletakkan di tempat-tempat tertentu atau di

dekat benda-benda khusus yang diyakini memiliki

kekuatan. Tempat-tempat dan benda tersebut erat

kaitannya dengan keberadaan roh halus dan para

dewa.

Raja dan kerabat Keraton Kasunanan Surakarta,

sebagai kerajaan Islam mengakui tidak ada Tuhan

yang wajib disembah selain Allah, dan mengakui

bahwa Nabi Muhammad S.A.W adalah utusan Al-

lah. Para bangsawan berpuasa dalam bulan

Ramadhan dan mengeluarkan zakat namun mereka

tidak melakukan sholat lima waktu dan tidak

beribadah haji ke Mekah. Agama yang dianut oleh

sebagian besar anggota komunitas keraton adalah

agama Islam yang bersifat sinkretik, atau sering

disebut dengan istilah kejawen9. Agama Islam

sinkretik merupakan agama Islam yang

bercampur dengan keyakinan dan konsep-konsep

Hindu-Budha, yang cenderung ke arah mistik dan

masih mengandung unsur-unsur animisme

(Darsiti Soeratman, 1989: 462). Contoh tersebut

dapat ditemui ketika perayaan-perayaan

bernuansa Islam namun masih tetap diembel-

embeli dengan sesaji dan doa-doa pada para

leluhur. Hal ini dilakukan di dalam Masjid dan

tetap diadakan doa Salawat dan Syahadat.

Upacara tersebut diselenggarakan dengan

maksud sebagai bentuk pengembangan dan

penyiaran agama Islam pada masyarakat Jawa

pada masa lalu ketika mereka masih banyak

Page 8: PERILAKU RITUAL MITIS ABDI DALEM KERATON ... - ISI Surakarta

45R. Adi PrabowoPerilaku Ritual Mitis Abdi Dalem Keraton Kasunanan Surakarta(Sebuah Dialektika Sosiologi Budaya)

menganut kepercayaan lama seperti animisme.

Diperkirakan unsur-unsur animisme berasal dari

masa Hindu-Budha dalam sejarah Jawa, yang

berbaur dalam suatu fisafat, yaitu sistem khusus

dari dasar bagi perilaku kehidupan. Sistem

pemikiran Javanisme adalah lengkap pada dirinya,

yang berisikan kosmologi, mitologi, seperangkat

konsepsi yang pada hakikatnya adalah bersifat

mistik dan hal ini merupakan ranah antropologi

Jawa, yaitu suatu sistem gagasan mengenai sifat

dasar manusia dan masyarakat yang pada

gilirannya menerangkan etika, tradisi, dan gaya

Jawa (P.J. Zoetmulder, 1990: 107). Meski tidak utuh

dalam mendeskripsikan praktek religiusitas pasca

kehadiran agama monoteistik, terlebih Islam, hal

tersebut menggambarkan bagaimana masyarakat

masih mempraktekkan ajaran paganisme10 mereka.

Dalam the religion of java (Cliford Geertz, 1983)

menyebutkan perilaku tersebut menarasikan

masyarakat Jawa yang masih membaurkan

kepercayaan mistiknya ke dalam praktik

keberagamaan Islam.

Gambar 4. Ritual kirab menyambut tahun baru

Islam atau tahun baru Jawa. (Foto: Sugito, 2012)

Kesimpulan awal adalah kepercayaan kejawen

memberikan suatu alam pemikiran secara umum

sebagai suatu badan pengetahuan menyeluruh,

yang dipergunakan untuk menafsirkan kehidupan

sebagaimana adanya dan rupanya. Jadi kejawen

bukan hanya suatu kategori keagamaan yang

dianut para abdi dalem, tetapi lebih dari pada itu

berdiri sebagai suatu simbol etika dan gaya hidup

yang diilhami oleh cara berpikir Javanisme11. Kejawen

dapat diungkapkan dengan baik oleh mereka yang

mengerti tentang rahasia kebudayaan Jawa.

Kejawen sering diwakili oleh golongan elite priyayi

lama dan keturunan-keturunannya yang

menegaskan bahwa kesadaran akan budaya sendiri

merupakan gejala yang tersebar luas di kalangan

orang Jawa. Kesadaran akan budaya seringkali

menjadi sumber kebanggaan dan identitas kultural.

Para abdi dalem sebagai pelaku yang memelihara

warisan budaya Jawa secara mendalam dan

pengaktualisasi paham kejawen.

Keagamaan para abdi dalem ditentukan oleh

keyakinan mereka pada berbagai macam zat-zat

yang tidak kelihatan dan dapat menimbulkan

bahaya seperti kecelakaan atau penyakit apabila

mereka dibuat marah atau manusia tidak berhati-

hati. Untuk melindungi diri dari hal-hal semacam

itu, para abdi dalem memberi sesajen atau caos

dhahar12 pada tempat-tempat atau benda-benda

pusaka yang dianggap keramat dan dipercaya

dapat mengelakkan kejadian-kejadian yang tidak

diinginkan serta mempertahankan batin dalam

keadaan tenang. Sesajen biasanya dipersembahkan

di tempat-tempat khusus dan benda-benda khusus

yang diyakini memiliki kekuatan tertentu. Tempat-

tempat dan benda tersebut erat kaitannya dengan

keberadaan roh halus dan para dewa. Pemberian

sesajen tersebut dilakukan sebagai sebuah bentuk

penghormatan terhadap alam dan benda yang

dihuni oleh ragam makhluk gaib tersebut. Binatang,

tanah, gunung, gua, hutan, sungai, danau, rawa

merupakan tempat yang diyakini memiliki

penghuni (makhluk gaib). Pemberian sesajen

Page 9: PERILAKU RITUAL MITIS ABDI DALEM KERATON ... - ISI Surakarta

Vol. 8 No. 1, Desember 201246

tersebut dimaksudkan untuk menyenangkan roh-

roh halus atau penjaga tempat tersebut agar tidak

marah dan mengganggu masyarakat.

Penghormatan terhadap para penghuni tersebut

berimbas secara langsung terhadap tempat yang

dihuni. Keyakinan adanya roh-roh halus di dalam

hutan atau di setiap pohon berimplikasi pada

penghormatan dan perawatan terhadap tempat-

tempat tersebut. Masyarakat tidak akan berani

berbuat kerusakan pada tempat-tempat tersebut

karena takut akan tertimpa musibah (kuwalat).

Sesajen membentuk masyarakat untuk selalu

menghargai alam; hutan, gunung, sungai dan

bentang alam lainnya.

Contoh kegiatan religius lainnya dalam

kehidupan keraton, khususnya para abdi dalem

sebagai pelaku kejawen adalah puasa atau siam

(puasa dalam bahasa Jawa). Para abdi dalem

mempunyai kebiasaan berpuasa pada hari-hari

tertentu misalnya Senin-Kamis atau pada hari lahir,

semuanya itu merupakan permenungan dan

pergumulan asal mula dari tirakat. Dengan tirakat

orang dapat menjadi lebih tekun dan kelak

mendapat pahala. Orang Jawa kejawen

menganggap bertapa adalah suatu hal yang penting.

Kegiatan orang Jawa kejawen yang lainnya adalah

meditasi atau semedi. Perlu diketahui juga bahwa

masyarakat Jawa dalam hal ini para abdi dalem

keraton sangat kental dengan konsep kebeneran

(kebetulan). Bagi mereka, proses kebeneran ini tidak

semata-mata kebetulan, tapi merupakan akibat dari

sesuatu yang pasti. Pada “pertemuan” titik-titik

menghasilkan peristiwa, suatu manifestasi yang

bisa dilihat dan tidak ditimbulkan oleh sebab

tertentu, tetapi oleh takdir. Secara laten, ia telah ada

di sana sepanjang waktu, ia hanya tinggal muncul,

menjadi benar melalui proses koinsidensi dengan

kenyataan.

Sistem berpikir mitis biasanya terpantul dalam

tindakan nyata yang disebut laku, sebagai contoh

adalah puasa seperti yang sudah dijelaskan di atas.

Seorang abdi dalem mengungkapkan bahwa,

Para abdi dalem gemar menjalankan laku yangidentik dengan prihatin. Laku juga senadadengan tirakat, yang lebih terang lagi seringdinamakan tapa brata. Karena itu para abdi dalemsering menjalankan tapa ngrowot (makan yangtidak berbiji), tapa ngidang (hanya makansayuran), mutih (hanya makan nasi, tanpa garammaupun lauk-pauk). Berbagai bentuk lakutersebut dilakukan untuk membersihkan dirisecara batin (dalam wawancara dengan KRAT.Wirantodiningrat, 10 Nopember 2011)

Dalam menjalani tradisi kejawen para abdi

dalem selalu mengacu pada budaya leluhur yang

turun-temurun. Orang Jawa pada umumnya juga

sering menyebut leluwur artinya leluhur yang telah

meninggal tetapi memiliki kharisma tertentu. Dari

pengalaman-pengalaman batin, muncul karak-

teristik yang paling menonjol yaitu tradisi mitis

yang dirangkai dengan ritual slametan13. Ritual

slametan lebih memiliki makna antroposentris.

Selain juga diyakini untuk menenangkan makhluk

gaib, ritual slametan juga berfungsi sebagai perekat

tali persaudaraan antar kerabat dan tetangga, sebab

slametan tidak hanya dilakukan secara individual

atau hanya dilakukan oleh satu anggota keluarga

melainkan oleh seperangkat struktur masyarakat

untuk sebuah tujuan memohon keselamatan hidup

(lihat: Adi Purnomo, “Paradigma Keyakinan Mitis”,

2001). Pada kenyataannya budaya kejawen bersifat

lentur dan akomodatif, sehingga dapat menerima

keyakinan lain. Kejawen juga menerima Hindu,

Budha, Islam, Kristen, yang dimasak manis dalam

paham kaum abangan. Abangan adalah bagian

religiusitas Jawa yang tulen.

Para kaum abangan mencoba mengafiliasi,

mengadopsi sehingga terjadi proses pencampuran

kultur. Akibatnya, budaya kejawen menjadi

semakin komplek dan penuh misteri. Abangan dan

Page 10: PERILAKU RITUAL MITIS ABDI DALEM KERATON ... - ISI Surakarta

47R. Adi PrabowoPerilaku Ritual Mitis Abdi Dalem Keraton Kasunanan Surakarta(Sebuah Dialektika Sosiologi Budaya)

Priyayi yang kontradiksi jika dibaca dari sisi

genealogis dan keberlimpahan ekonomi memiliki

kesamaan, jika ditilik dalam sisi praktik

keagamaannya. Mereka mengimani bahwa jagad

gedhe (makrokosmos), memiliki hubungan secara

langsung dengan manusia, sehingga terjadi

hubungan antara manusia dengan dunia manusia

(lingkungan), dan alam ghaib. Pada titik tersebut,

masyarakat Jawa memberi tafsir atas berbagai

kekuatan yang hadir di sekitarnya. Tafsir-tafsir

tersebut menjelma menjadi sebuah sistem

kepercayaan yang ditampakkan dalam perilaku

keseharian. Kepercayaan tersebut disebut mitos14.

Atas dasar hal tersebut, maka mitos tidak lahir dari

kekosongan, spekulatif, dan imajinatif, namun mitos

lahir dari proses pemahaman akan adanya

kekuatan-kekuatan lain di luar manusia, yang lebih

menguasai.

Mitos menyediakan pemahaman interpretatif

untuk menguraikan makna dunia-kehidupan yang

didiami dengan pandangan terhadap masa kini

melalui masa silam. Mitos merupakan bentuk

pencarian makna dan tafsir atas fenomena dan

kejadian dalam kehidupan pada masyarakat

tertentu, sehingga mitos memiliki nilai realitas

sendiri, mempunyai makna dan nilai-nilai tertentu.

Mitos adalah sebuah sistem komunikasi dan sebuah

pesan, maka mitos tidak mungkin berupa objek,

konsep, atau gagasan. Mitos adalah mode

penandaan, sebuah wujud. Sebagai contoh semua

benda bisa menjadi mitos (bandingkan: Roland

Barthes, Mythologies, 1972).

Salah satu mitos atau kepercayaan mitis kejawen

dari para abdi dalem keraton yaitu adanya kekuatan

besar yang dipercaya sebagai kekuatan supra-

natural dari Kanjeng Ratu Kidul, yang diwujudkan

dengan persembahan dan sesaji di pantai Selatan

sebagai bentuk penghormatan. Persembahan dan

sesaji sebagai petunjuk kesetiaan dengan per-

sembahan untuk yang dianggap kuat dan kekuatan

tersebut tidak dimengerti oleh akal sehat mereka.

Diceritakan bahwa legenda sang penguasa laut dari

pantai Selatan ‘Nyai Loro Kidul’ dipuja oleh seluruh

masyarakat Pulau Jawa sebagai ratu cantik yang

sakti mandraguna. Kecantikan dan kesaktiannya

sangat menarik perhatian penguasa-penguasa

tanah Jawa hingga tak heran jika banyak raja-raja

yang memuja Nyai Loro Kidul sebagai junjungan

mereka. Legenda Nyai Loro Kidul sebagai penguasa

Ratu Pantai Selatan merupakan bagian sejarah

Kerajaan Mataram Islam. Dalam sebuah karya

sastra Jawa kuno yang dikenal dengan nama Babad

Tanah Jawi menyebutkan asal usul ratu yang

menguasai seluruh pesisir pantai selatan Jawa.

Gambar 5. Ritual labuhan di pantai Selatan.

(Foto: Sugito, 2012)

Kepercayaan mitis tentang ratu ini didukung

oleh sebuah perangkat bangunan menara bertingkat

yang diberi nama ‘Panggung Sangga Buwana’15. Tidak

jarang para raja meminta pertolongan dan ajian

sakti dari sang ratu untuk mengatasi segala

permasalahan yang terjadi di wilayah kerajaan,

mengingat pada jaman raja-raja, bangsa kita masih

menganut faham aliran kepercayaan animisme dan

dinamisme. Dari ceritera tersebut para abdi dalem

Page 11: PERILAKU RITUAL MITIS ABDI DALEM KERATON ... - ISI Surakarta

Vol. 8 No. 1, Desember 201248

sangat percaya bahwa ‘perlindungan’ berupa

kekuatan gaib dari Kanjeng Ratu Kidul sangat kuat,

maka oleh para abdi dalem dibuatlah sesaji dan

bentuk-bentuk persembahan untuk menghormati

Sang Ratu yang diletakkan di dalam Panggung

Sangga Buwana ataupun dikirim langsung ke laut

selatan. Walaupun demikian di sisi lain para abdi

dalem masih tetap mempercayai bahwa Tuhan

sebagai pencipta alam semesta adalah pusat dari

segala kekuatan, maka doa-doa yang dipanjatkan

dalam setiap sesaji pun menyebutkan nama Tuhan,

yang disebut Gusti Ingkang Akarya Jagad16.

Perilaku mitis dari para abdi dalem keraton ini

bersandar pada satu kekuatan besar, yaitu

mengenai perlindungan keselamatan dan

keberkahan, yang direfleksikan dalam pola laku

kejawen yang kuat, dengan tetap mengandalkan

kekuatan-kekuatan supranatural, meskipun mereka

sangat percaya terhadap takdir Yang Maha Kuasa.

Pola laku ini tidak semata-mata dilakukan untuk

sebuah lembaga keraton tetapi lebih pada

penghormatan simbol-simbol kekuatan yang

dipercaya menjadi sebuah wahana perlindungan

dan pengayoman (hasil wawancara dengan para

abdi dalem).

D. Dialektika Perilaku Mitis Abdi DalemDalam Tradisi Budaya

Perilaku mitis terlahir dari keyakinan yang

menurunkan sikap budaya (etos). Ini sebagai bukti

terjadinya dialektika antara perilaku mitis dan etos

tradisi budaya Jawa, yaitu keyakinan yang tercurah

dari intepretasi atas kosmos (jagad raya),

membentuk sikap seseorang yang meyakininya

berdasar pada pengalaman empirik para

penganutnya. Sebagai catatan utama adalah bahwa

etos budaya tersebut membawa imbas positif bagi

kehidupan, yaitu terjadi keseimbangan antara jagad

gede dan jagad cilik atau keseimbangan

makrokosmos-mikrokosmos. Sikap-sikap tersebut

dihayati dalam kehidupan seorang abdi dalem

keraton yang penuh dengan kesahajaan karena laku

spiritual yang diyakini terkait dengan apa yang

terjadi atau dialami seseorang dalam kehidupan

sehari-hari. (intisari dari wawancara dengan KRAT.

Wirantodiningrat, 10 Nopember 2012).

Dialektika budaya ini berlanjut pada saat abdi

dalem dihadapkan pada keadaan pola ritual dalam

lingkup keraton, karena banyak sekali aturan dan

pola hidup yang penuh ajaran sembah.

Menurut KRAT. Sukarno Putronagoro, sembahadalah menghormat pada hal yang dipercayamempunyai kekuatan magis dan sakral,sehingga perlu dilakukan agar mendapat segalakebaikan hidup dan memperoleh wahyu ataurahmat atau anugerah yang dapat melindungi,mengarahkan, dan menenteramkan jiwa danwadhag -badani-. Hal sembah lebih didasarkanpada kekuasaan Yang Maha Agung, Tuhan YangMaha Esa (KRAT. Sukarno Putronagoro dalamwawancara 20 Nopember 2011).

Sembah atau menyembah berarti menempatkan

sesuatu lebih tinggi atau lebih berkuasa dari pada

dirinya. Ajaran sembah adalah wujud dari

penghormatan dan penyerahan diri pada suatu

konsep mitis yang dilakukan secara sadar dan telah

menjadi karakter pemaknaan ritual bagi para abdi

dalem keraton.

Memahami makna ritual, menurut Turner dalam

Suwardi Endraswara bisa menggunakan teori

penafsiran. Dalam kaitannya dengan perilaku mi-

tis abdi dalem, maka apa yang sampaikan oleh

informan akan dapat diartikan atau diintepretasi-

kan sesuai dengan kapasitas informan sebagai

pelaku yang bisa diamati dan dicermati.

Penyampaian ini menyangkut pemahaman atas apa

yang dilihat, dilakukan, dan dihayati sebagai sebuah

makna ritus sosial. (lihat: Mistik Kejawen, 2006: 221).

Kemudian dalam hal impresi pemahaman tentang

perilaku mitis pada sebuah tradisi akan sangat

Page 12: PERILAKU RITUAL MITIS ABDI DALEM KERATON ... - ISI Surakarta

49R. Adi PrabowoPerilaku Ritual Mitis Abdi Dalem Keraton Kasunanan Surakarta(Sebuah Dialektika Sosiologi Budaya)

memungkinkan menunjuk contoh pola laku atau

perilaku seorang abdi dalem dalam penuangan

makna simbol mitis dan konsep ritual ke dalam arti

yang lebih luas tanpa adanya batasan bahasa,

penekanan tutur kata dan juga ekspresi seorang abdi

dalem. Pada tataran ini seorang abdi dalem tidak

saja bertindak sebagai sumber kajian melainkan

juga sebagai pelaku dari sebuah makna budaya mitis.

Teori penafsiran yang ditawarkan dalam Mistik

Kejawen oleh Suwardi Eandraswara berdiri sebagai

bentuk dialektika terbuka dan mengarah pada

pemahaman dasar kehidupan sosial para abdi

dalem. Kemudian etos atau sikap budaya akan

terbangun jika dilandasi dengan semangat totalitas

sebagai curahan batin dan dimaknai lebih dalam

pada konsep pola laku spiritual. Bentuk dialektika

ini selaras dengan pendapat Cliford Geertz, yaitu

pemaknaan masyarakat Jawa yang diwakili para

abdi dalem keraton atas adanya kekuatan-kekuatan

lain di luar dirinya tersebut. Tidak hanya terbatas

pada keyakinan (batin), namun juga berwujud pada

laku. Di satu sisi, laku juga dibutuhkan untuk

menumbuhkan keyakinan; memperkaya kehidupan

batin (lihat: The Religion of Java, 1964). Kesimpulan

Geertz ketika menganalisa kehidupan perilaku mi-

tis Jawa adalah sebagai bentuk metafisika terapan,

serangkaian aturan praktis untuk memperkaya

kehidupan batin orang yang didasarkan pada

analisa intelektual atau pengalaman.

Dalam konteks kehidupan masyarakat Jawa,

dikenal pepatah: wong Jawa nggonesemu, papaning rasa,

tansah sinamuning samudana17. Simbol-simbol itu

merupakan gambaran sikap, kata-kata, dan

tindakan yang abstrak, pelik dan wingit18. (intisari

wawancara dengan Bei Wigyodiprojo, 22

Nopember 2011). Ungkapan Bei Wigyodipraja ini

menggambarkan sebuah kondisi masyarakat Jawa

tentang simbol perlambangan yang di dalamnya

menganut sebuah sistem keterikatan mendalam

dari sebuah pemikiran tentang wujud yang nampak

tetapi tidak nampak, yaitu simbol yang melekat

pada hakekat perilaku mitis. Penting untuk digaris

bawahi yaitu tentang olah rasa sebagai simpulan

dari suatu apresiasi keadaan batiniah dan terungkap

lewat perbuatan serta amal perbuatan atau

perilaku. Sementara pandangan masyarakat umum

terhadap upacara ritual di keraton memunculkan

gambaran keadaan agung dan megah dan akan

berubah menjadi sakral ketika diiringi dengan

kepercayaan mitis, yang dihubungkan dengan

capaian tingkat imanen dari masyarakat. Apresiasi

dari keadaan batiniah tersebut kemudian

menjembatani keadaan nyata dengan sebuah

perilaku mitis.

Gambar 6. Para abdi dalem mengelilingi Gununganlanang (laki-laki) dan wadon (perempuan) sebagaikelengkapan sesajen pada ritual Gerebeg. (Foto:

Sugito, 2012)

Berbagai bentuk pola tradisi budaya di keraton

dihadirkan dengan ritual permulaan sampai akhir

dengan satu kesatuan utuh. Arah dari aneka ragam

bentuk ritual tersebut selalu mengacu pada

hubungan antara manusia dengan Tuhan yang

bersifat vertikal. Hubungan yang dimaksud adalah

perilaku manusia untuk manunggal (dalam arti

mendekatkan diri) kepada Tuhan. Dalam laku

Page 13: PERILAKU RITUAL MITIS ABDI DALEM KERATON ... - ISI Surakarta

Vol. 8 No. 1, Desember 201250

menuju manunggaling kawula-Gusti19 harus melalui

berbagai proses dan liku-liku perjalanan hidup yang

penuh dengan tantangan. Manusia datang dan pergi

(lahir sampai mati) dekat dengan simbol yang

mempengaruhi jalan hidup seseorang. Semakin baik

serapan simbolnya, maka semakin lurus pula jalan

hidup di depannya. Namun semua itu harus

menggunakan syarat yang tidak ringan dan

memerlukan banyak pengorbanan. Setiap

pemahaman pada suatu bentuk perilaku mitis akan

mencapai pada tingkatan arti maknawi, seandainya

benar-benar dipahami secara penuh tetapi tetap

berdasar pada pencerapan inderawi. Dalam bentuk

inderawi tersebut terdapat konsep estetis yang

membawa suatu bentuk teritorial dan kategorial

budaya. Aktivitas atau perilaku yang demikian

mendasari pemaknaan lebih luas tentang

kedudukan dan fungsi ritual kehidupan tradisi.

Ujung dari sebuah fenomena dialektika budaya

tentang kehidupan atau perilaku mitis para abdi

dalem adalah sebagai bentuk sikap handarbeni

(merasa memiliki) budaya, yaitu penyelarasan nilai-

nilai hidup keduniawian. Bagong Kussudiardjo

merangkum lima sikap untuk bekal penjagaan

budaya tersebut, yaitu: seneng (senang), karep

(kemauan),mantep (mantab),banggadanwani (berani)

serta ngerti (paham). Apa yang terjadi pada para

abdi dalem keraton adalah perwujudan dari kelima

syarat tersebut. Bagong mencatat kelima hal

tersebut sebagai suatu keharusan untuk lebih

menghayati apa yang selama ini dilakukan. (lihat:

PembinaanKesenianTradisional,UpayaMemperkokohAkar

Budaya Indonesia, 1982).

Rasa seneng (senang) menyatakan suatu naluri

hati untuk merengkuh suatu kehendak. Abdi dalem

memiliki rasa senang, rela mengorbankan waktu

dan uang untuk segala aktivitas budaya. Para abdi

dalem tanpa pamrih akan mengerjakan segala

kewajibannya dan dari apa yang dilakukan tanpa

pamrih tersebut mereka mengharapkan per-

lindungan dan keberkahan. Kareb (kemauan),

bermula dari rasa senang akan tumbuh kemauan

untuk terus membina dan menghidupi perilaku

mitisnya. Mantep (mantab), kemantaban akan terus

tumbuh seiring alam pikir para abdi dalem yang

selalu tertuju pada hal yang di luar kekuatannya

yang berdasar pada pengalaman batin, dengan

merasa dihidupi dan dijaga oleh kekuatan di luar

dirinya. Wani (berani) perasaan berani ini juga

ditimbulkan karena adanya dorongan yang kuat

untuk melakukan berbagai ritual yang sudah

digariskan dan menjadi suatu keharusan untuk terus

dilestarikan secara turun-temurun. Selama masih

tetap mempunyai keyakinan terhadap bantuan

kekuatan dari alam pikir mitis, maka sikap berani

akan makin tumbuh. Ngerti (paham), kepahaman

tentang hal gaib dan sakral menumbuhkan

kesadaran akan faedah yang dihasilkan. Betapa laku

ritual mitis dapat membenahi moral manusia,

memperhalus rasa jiwa, dan berguna untuk

menjalin kerukunan bersama. Kepahaman tersebut

yang diyakini membawa kesatuan alam mitis

menuju kesempurnaan, yang bertujuan akhir

kepada Sang Maha Welas Asih.

E. Simpulan

Kehidupan mitis kejawen adalah suatu upaya

spiritual ke arah pendekatan diri kepada Tuhan,

yang dilakukan oleh masyarakat Jawa pada

umumnya dan masyarakat keraton pada

khususnya. Budaya Jawa dalam hal-hal tertentu

berbeda dengan budaya-budaya yang lain karena

budaya Jawa memiliki kekhasan dalam aktivitas

ritualnya. Ada beberapa alasan mendasar, mengapa

manusia menjalankan budaya spiritual Jawa.

Page 14: PERILAKU RITUAL MITIS ABDI DALEM KERATON ... - ISI Surakarta

51R. Adi PrabowoPerilaku Ritual Mitis Abdi Dalem Keraton Kasunanan Surakarta(Sebuah Dialektika Sosiologi Budaya)

Alasan ini berhubungan dengan hakikat hidup

manusia. Hidup manusia dituntut untuk berbuat

yang sejalan dengan kehendak Tuhan, maka

manusia Jawa menjalankan berbagai laku, yang

dikenal sebagai ritual spiritual kejawen.

Kehidupan para abdi dalem tersebut men-

cerminkan pada suatu tindakan penghormatan dan

pemujaan pada makna-makna simbol. Makna

simbol dalam bentuk pengalaman spiritual

digambarkan dengan semangat keprasrahan dan

totalitas pengabdian, serta harapan mendapat daya

berkah dalam laku hidup sehari-hari. Perilaku mi-

tis dihayati oleh para abdi dalem sebagai simbol

hormat dan perlindungan, sehingga setiap

diselenggarakannya ritual sesaji maka pada saat itu

juga dipanjatkan ujub doa untuk tanah air yang

telah memberikan kesejahteraan hidup dan

semuanya bersumber pada Tuhan. Keseimbangan

dalam kehidupan menjadi tujuan utama dari

serangkaian upacara sakral yang dilakukan. Mitos-

mitos Jawa melahirkan etos bagi masyarakat Jawa,

yang berakibat sukses dalam pemaknaan batinnya

(olah rasa) dan berimbas positif bagi lingkungannya.

Mitos Jawa melahirkan respon yang unik bagi

masyarakat Jawa terhadap kehidupan. Respon atau

tindakan yang muncul dari keyakinan dan menjadi

kebiasaan atau karakter pada diri seseorang atau

masyarakat Jawa.

Keyakinan atas kekuatan alam telah melahirkan

berbagai tafsir sehingga lahir ritual yang penuh

kearifan, sebab jika dipandang dari tafsir agama, di

alam semesta juga menyimpan tanda-tanda bagi

orang yang berfikir dan masyarakat Jawa telah

melakukannya sejak awal.

Catatan Akhir

1 Meluap budi luhur mulia dan sifat adil terhadap

semua yang hidup atau adil dan penuh kasih.

2 Para abdi dalem yang masih sering menghadap/

berkunjung pada raja atau masih setia dengan

keraton.

3 Ruang atau tempat yang dipergunakan untuk

menyimpan pusaka dan benda-benda berharga

milik keraton. Dipergunakan juga untuk tempat

tinggal raja dan kerabatnya.

4 Junjungan: sesuatu yang sangat dihormati.

5 Sangat dihormati/disanjung-sanjung.

6 Halangan, musibah, ritangan.

7 Hasil karya yang didasarkan dari pengolahan

akal budi, dilakukan dengan lahir dan batin

secara sinergis.

8 Iktiar, berpikir berdasarkan arahan hati/budi,

betapa dengan khusuk.

9 Sebuah percampuran agama Islam dengan

kepercayaan masyarakat Jawa atau dalam

masyarakat disebut agama Jawi (Jawa).

10 Sebuah kepercayaan atau praktik spiritual

penyembahan terhadap benda-benda yang

dianggap mempunyai kekuatan keramat.

11 Paham tentang budaya, adat, dan pola

kehidupan masyarakat Jawa.

12 Memberikan persembahan berupa makanan.

13 Upacara sedekah berupa makanan dan benda-

benda yang bersifat simbolis kemudian diadakan

doa bersama yang bertujuan untuk memohon

keselamatan dan ketentraman untuk ahli

keluarga yang menyelenggarakan atau

diujubkan/dimohonkan untuk kelompok-

kelompok dengan maksud tertentu.

14 Kepercayaan pada cerita-cerita gaib/dongeng.

15 Menara yang terletak di bagian timur laut dari

tempat singgasana raja, yang dipercaya sebagai

tempat pertemuan antara Nyai Loro Kidul dan

para Raja Mataram.

16 Tuhan yang dipercaya sebagai pencipta alam

semesta.

Page 15: PERILAKU RITUAL MITIS ABDI DALEM KERATON ... - ISI Surakarta

Vol. 8 No. 1, Desember 201252

17 Masyarakat Jawa dalam segala aktivitasnya

sering menggunakan simbol-simbol yang

bersifat rahasia (ditutup-tutupi), segala

tindakannya menggunakan rasa batin dan

perbuatannya selalu dibuat samar.

18 Suatu kondisi angker atau menakutkan. Dapat

juga diartikan sebuah keadaan membahayakan.

19 Bersatunya manusia dengan Tuhan.

Kepustakaan

Barthes, Roland. Mythologies. New York: The Noon-day Press, 1972.

Endraswara, Suwardi. Mistik Kejawen. PenerbitNARASI: Yogyakarta, 2005.

G., Moedjanto. Konsep Kekuasaan Jawa(Penerapannya Oleh Raja-Raja Mataram),Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1987.

Geertz. Cliford. The Religion of Java, London: TheFree Press of Glancoe, 1964.

Kussudiardjo, Bagong. Pembinaan KesenianTradisional, Upaya Memperkokoh Akar BudayaIndonesia, Jakarta : Sinar Harapan, 1982.

Moertono, Soemarsaid. Negara dan Usaha BinaNegara di Jawa Masa Lampau., Jakarta: YayasanObor Indonesia, 1985.

Purnomo, Adi, “Paradigma Keyakinan Mitis”,Makalah Paradigma Budaya, 2001

Purwadi. Upacara Tradisional Jawa, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2005.

Rajiyowiryono, Harsoyo. “Pronomina PersonaBahasa Jawa Dan Penggunaannya DiLingkungan Karaton Kasunanan Surakarta”Lembar Penelitian, 1986.

Soeratman, Darsiti. “Kehidupan Dunia KeratonSurakarta 1830-1939”. Disertasi.Yogyakarta: UGM, 1989.

Rouffaer, G.P. Voorstenlanden (Praja Kejawen).Terjemahan. Yogyakarta: UGM, 1998.

Surjandjari Puspaningrat, KRMH. Kirab PusakaKeraton Surakarta, Koleksi Sasono PustokoKeraton Kasunanan Surakarta, 1996.

Zoetmulder P.J. Manunggaling Kawula Gusti, Jakarta:

PT.Gramedia Pustaka Utama, 1972.

Nara Sumber

1. KRAT. Wirantodiningrat. Abdi Dalem Keparak

Keprajuritan Keraton Kasunanan Surakarta.

2. KRAT. Sukarno Putronegoro.Abdi Dalem Bupati

Riya Keraton Kasunanan Surakarta

3. Pak Bei Wigyodipraja. Abdi Dalem Penewu

Keraton Kasunanan Surakarta