library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/ecolls/ethesisdoc/bab2doc/2012-1-…  · web viewpersepsi...

50
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS 2.1 Kajian Pustaka Pada sub-bab ini, peneliti akan menyajikan ulasan teori dari berbagai sumber yang berkaitan dengan marketing secara umum, serta variabel-variabel yang diteliti, antara lain experiential marketing, relationship marketing, experiential value, dan customer behavioral intention. 2.1.1 Grand Theory of Marketing Pemasaran secara mendasar berkaitan dengan identifikasi dan pemenuhan kebutuhan konsumen yang dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan. AMA (The American Marketing Association) mendefinisikan pemasaran sebagai fungsi organisasi dan serangkaian proses dalam menciptakan, mengkomunikasikan, dan menyampaikan nilai kepada pelanggan serta untuk mengelola hubungan dengan pelanggan yang menguntungkan bagi perusahaan dan 10

Upload: truongtuong

Post on 17-Apr-2018

221 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2012-1-…  · Web viewPersepsi pelanggan bahwa resiko yang diasosiasikan dengan penawaran pasar ... perusahaan dan

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS

2.1 Kajian Pustaka

Pada sub-bab ini, peneliti akan menyajikan ulasan teori dari berbagai

sumber yang berkaitan dengan marketing secara umum, serta variabel-variabel

yang diteliti, antara lain experiential marketing, relationship marketing,

experiential value, dan customer behavioral intention.

2.1.1 Grand Theory of Marketing

Pemasaran secara mendasar berkaitan dengan identifikasi dan pemenuhan

kebutuhan konsumen yang dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan. AMA

(The American Marketing Association) mendefinisikan pemasaran sebagai fungsi

organisasi dan serangkaian proses dalam menciptakan, mengkomunikasikan, dan

menyampaikan nilai kepada pelanggan serta untuk mengelola hubungan dengan

pelanggan yang menguntungkan bagi perusahaan dan seluruh pemangku

kepentingan (Kotler dan Keller, 2006:4). Pemasaran juga dipandang sebagai

pertukaran nilai antara perusahaan dengan pelanggan, seperti yang dikemukakan

oleh Kotler dan Armstrong (2010:29) bahwa pemasaran meliputi proses sosial dan

manajerial yang dilakukan oleh individu dan organisasi untuk mendapatkan yang

mereka inginkan dan butuhkan melalui penciptaan dan pertukaran nilai.

Berbagai definisi pemasaran telah banyak berkembang dari masa ke masa.

Awalnya, pemasaran hanya dikenal sebagai proses menjual dan beriklan, atau

10

Page 2: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2012-1-…  · Web viewPersepsi pelanggan bahwa resiko yang diasosiasikan dengan penawaran pasar ... perusahaan dan

11

dengan kata lain hanya sebuah proses transaksi saja. Namun, dewasa ini

pemasaran dikenal sebagai proses dalam memuaskan kebutuhan pelanggan.

Seorang pemasar yang memahami kebutuhan pelanggan dapat mengembangkan

produk atau jasa yang memberikan nilai superior bagi pelanggan, menetapkan

harga, mendistribusikan, serta melakukan promosi secara efektif. Dengan

demikian, bauran pemasaran berkaitan dengan 4P (product, price, place,

promotion). Komponen 4P dikembangkan oleh beberapa tokoh seperti disajikan

dalam tabel berikut.

Tabel 2. 1 Pengembangan Bauran Pemasaran

Tokoh Bauran Pemasaran

McCarthy (1960) 4P Product, Price, Place, Promotion

Judd (1987) 5P Product, Price, Place, Promotion, People

Kotler (1986) 6P Product, Price, Place, Promotion, Political

Power, Public Opinion Formation

Booms & Bitner (1982) 7P Product, Price, Place, Promotion,

Participants, Physical Evidence, Process

Baumgartner (1991) 15P Product/service, Price, Place, Promotion,

People, Politics, Public Relations, Probe,

Partition, Prioritize, Position, Profit, Plan,

Performance, Positive Implementations

Sumber: Gummesson dalam Harwood, Garry, Broderick (2008:8)

Meskipun banyak dikembangkan, bauran pemasaran yang paling banyak

digunakan hingga saat ini adalah 4P dan 7P (untuk pemasaran di bidang jasa).

Berdasarkan penjelasan di atas, maka proses pemasaran dapat dirangkum

ke dalam lima tahapan berikut ini:

Page 3: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2012-1-…  · Web viewPersepsi pelanggan bahwa resiko yang diasosiasikan dengan penawaran pasar ... perusahaan dan

12

Gambar 2. 1 The Marketing Process

Sumber: Kotler dan Armstrong (2010)

2.1.2 Experiential marketing

Para peneliti memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai definisi

pengalaman dalam pemasaran. Carbone (Yang, 2009:248) mendefinisikan

pengalaman sebagai citra (image) yang dimiliki konsumen dalam benaknya

setelah berhadapan dengan produk, jasa, dan perusahaan, serta merupakan

persepsi yang berasal dari kombinasi berbagai informasi yang diterima oleh panca

indera. Sementara Schmitt dalam Yang (2009:248) berpendapat bahwa

pengalaman adalah peristiwa terjadinya umpan balik individu dalam beberapa

rangsangan atau stimulasi.

Penelitian-penelitian yang berkaitan dengan experiential marketing selalu

mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Bernd H. Schmitt selaku pencetus

konsep experiential marketing pada tahun 1999. Menurut Schmitt (Wang dan Lin,

2010:110) experiential marketing didefinisikan sebagai suatu rangsangan atau

Page 4: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2012-1-…  · Web viewPersepsi pelanggan bahwa resiko yang diasosiasikan dengan penawaran pasar ... perusahaan dan

13

stimulus yang mempengaruhi perasaan, pikiran, dan perilaku individual konsumen

setelah mengalami suatu kejadian tertentu. Pada dasarnya experiential marketing

berfokus pada pengalaman konsumen dalam mengkonsumsi barang atau jasa

melalui penciptaan lingkungan yang tepat oleh marketer (Schmitt, 1999:60).

Hemsley di dalam Marketing Week (2006) menganggap experiential

marketing sebagai interaksi langsung yang bertujuan untuk mengkomunikasikan

kepribadian merek agar dapat mengubah persepsi dan perilaku konsumen,

mengaktifkan merek agar konsumen dapat melihat, bahkan merasakan

pengalaman emosional dari suatu merek. Sementara itu, Smilansky (2009:5)

menganggap bahwa experiential marketing adalah suatu proses mengidentifikasi

dan memuaskan kebutuhan dan aspirasi pelanggan secara menguntungkan,

melibatkan mereka dalam komunikasi dua arah yang membawa kepribadian

merek menjadi nyata dan menambah nilai bagi target audiens.

Experiential marketing berbeda dari traditional marketing yang hanya

menekankan fitur dan keuntungan produk atau jasa untuk menarik perhatian

konsumen agar penjualan meningkat (Chou, 2009:994). Perbedaan tersebut

dideskripsikan melalui karakteristik utama dari experiential marketing yang

diadaptasi dari pendapat Schmitt (1999:25-30) sebagai berikut:

1) Fokus pada pengalaman konsumen

Pengalaman terjadi melalui perjumpaan dengan suatu situasi.

Pengalaman merupakan stimulasi terhadap panca indera, perasaan, dan

pikiran seseorang. Maka, pengalaman memberikan nilai sensorik,

Page 5: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2012-1-…  · Web viewPersepsi pelanggan bahwa resiko yang diasosiasikan dengan penawaran pasar ... perusahaan dan

14

emosional, kognitif, perilaku, dan relasional yang menggantikan nilai

fungsional.

2) Situasi konsumsi sebagai pengalaman holistik

Fokus pada produk apa yang sesuai dengan situasi konsumsi serta

bagaimana produk, kemasan, dan media komunikasi dapat

meningkatkan pengalaman konsumsi. Sehingga dapat disimpulkan

bahwa periode pasca pembelian (pada saat konsumsi) merupakan hal

yang terpenting dalam experiential marketing.

3) Memahami pendorong rasional dan emosional konsumen

Konsumen tidak hanya dimotivasi oleh pemikiran rasional dalam

pengambilan keputusan pembelian, tetapi juga dipengaruhi oleh emosi

karena konsumen ingin mendapatkan pengalaman konsumsi yang

menyenangkan.

Experiential marketing adalah bagaimana menciptakan memori atau

pengalaman yang tak terlupakan di benak konsumen yang dapat mendorong

keinginan konsumen untuk membeli serta meningkatkan nilai tambah suatu

produk atau jasa (Lee, Hsiao, Yang, 2010:356).

Andreani (2007:2) menyimpulkan bahwa experiential marketing bukan

sekadar memberikan informasi dan peluang kepada pelanggan untuk merasakan

pengalaman atas manfaat yang diperoleh dari produk atau jasa, tetapi juga

membangkitkan emosi dan perasaan yang berdampak pada pemasaran, khususnya

penjualan. Namun, Hauser berpendapat dalam Experiential marketing Forum (Juli

26, 2007) bahwa experiential marketing merupakan pendekatan holistik terhadap

Page 6: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2012-1-…  · Web viewPersepsi pelanggan bahwa resiko yang diasosiasikan dengan penawaran pasar ... perusahaan dan

15

hubungan konsumen dan merek, dirancang untuk mempengaruhi konsumen

secara rasional dan emosional. Dengan demikian penerapan experiential

marketing tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan penjualan dan profit

perusahaan saja, namun juga untuk mempertahankan hubungan dengan

pelanggan.

Struktur konseptual dari experiential marketing terbagi menjadi dua, yaitu

Strategic Experiential Modules (SEMs) dan Experiential Providers (ExPros), yang

akan dijelaskan dalam sub-bab berikutnya.

2.1.2.1 Strategic Experiential Modules

Strategic Experiential Modules terdiri dari lima tipe pengalaman

konsumen yang digagas oleh Schmitt seperti dikutip dalam Chou (2009:996),

maka yang menjadi struktur experiential marketing antara lain sebagai berikut:

1) Senses

Senses melibatkan rangsangan fisik yang direspon oleh panca indera, dapat

berupa ciri-ciri visual atau verbal yang dapat menciptakan kesan secara

utuh. Sense marketing berkaitan dengan penciptaan pengalaman panca

indera melalui penglihatan (sight), pendengaran (hearing), peraba (touch),

perasa (taste), dan penciuman (smell). Sense marketing digunakan untuk

membedakan perusahaan dan product, memotivasi pelanggan, serta

memberikan nilai tambah bagi produk. Kunci sukses dalam menciptakan

pengalaman panca indera adalah dengan menjamin konsistensi dan

menciptakan keragaman (Schmitt dalam Yang, 2009:250)

Page 7: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2012-1-…  · Web viewPersepsi pelanggan bahwa resiko yang diasosiasikan dengan penawaran pasar ... perusahaan dan

16

2) Emotions/feel

Perasaan berbeda dari pengalaman sensorik karena melibatkan aspek batin

atau spiritual seseorang. Feel marketing bertujuan untuk mempengaruhi

perasaan terdalam/batin (inner feeling) dan emosi konsumen dengan

menciptakan perasaan positif terhadap merek serta kesan yang

diasosiasikan dengan kegembiraan atau kebanggaan.

3) Intellect/think

Think marketing bertujuan untuk menciptakan pengalaman kognitif dan

problem-solving yang menuntut konsumen untuk berpikir kreatif. Menurut

Guilford (Li, 2008:99) pemikiran dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu

pemikiran konvergen dan divergen. Pemikiran konvergen berarti

menganalisa dan menyimpulkan masalah yang spesifik. Sedangkan

pemikiran divergen merupakan proses berpikir untuk menghasilkan ide-

ide kreatif dengan mengeksplorasi berbagai kemungkinan solusi atas

masalah.

4) Actions/Act

Act marketing dirancang untuk menciptakan pengalaman yang berkaitan

dengan jasmani fisik, pola perilaku yang nyata dan gaya hidup, serta

interaksi dengan orang lain. Kesuksesan act marketing tergantung pada

penciptaan produk yang tepat, stimulasi, dan atmosfer untuk merangsang

pelanggan melakukan pembelian.

Page 8: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2012-1-…  · Web viewPersepsi pelanggan bahwa resiko yang diasosiasikan dengan penawaran pasar ... perusahaan dan

17

5) Connections/relate

Relate mencakup nilai budaya dan kelompok referensi yang menjadi acuan

dan identitas sosial bagi individu. Relate marketing meliputi aspek sense,

feel, think, dan act. Relate marketing bertujuan untuk memberikan

pengalaman individual sehingga individu dapat menghubungkannya

dengan konsep diri, budaya, atau orang lain.

2.1.2.2 Experiential Providers

Experiential Providers (ExPros) merupakan komponen-komponen yang mampu

menciptakan pengalaman sensorik, emosional, kognitif, aksi, dan relasional

(Schmitt, 1999:72-92) yang terdiri dari:

1) Communications

Komunikasi dalam experiential marketing meliputi iklan, media

komunikasi internal dan eksternal perusahaan (buletin, brosur, laporan

tahunan, dsb.), serta public relation.

2) Visual/verbal identity

Identitas visual terdiri dari nama, logo, dan simbol. Nama, logo, dan

simbol suatu produk dibuat agar terkesan unik dan mampu menciptakan

daya tarik sensorik, emosional, kognitif, perilaku, dan relasional.

3) Product presence

Page 9: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2012-1-…  · Web viewPersepsi pelanggan bahwa resiko yang diasosiasikan dengan penawaran pasar ... perusahaan dan

18

Product presence meliputi desain produk, kemasan, point-of-sale display,

serta karakter merek yang digunakan sebagai bagian dari kemasan dan

materi promosi pada titik penjualan.

a. Desain produk

Desain produk mencakup bentuk, ukuran, dan warna produk

b. Kemasan

Kemasan menjadi experiential provider yang mudah diamati.

Konsumen saat ini cenderung menjadi lebih atentif dan tertarik

terhadap kemasan daripada produk itu sendiri. Bahkan, kemasan

menjadi pertimbangan konsumen dalam pengambilan keputusan

pembelian.

c. Karakter merek

Karakter merek dapat berupa tokoh fiktif yang diciptakan khusus

untuk mengasosiasikan suatu merek tertentu, atau menggunakan

karakter film tertentu.

4) Co-Branding

Co-branding yang dapat digunakan untuk mengembangkan SEMs, antara

lain:

a. Event marketing & sponsorship

b. Alliances & partnership

c. Licensing

d. Product placement in movies

5) Spatial environment

Page 10: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2012-1-…  · Web viewPersepsi pelanggan bahwa resiko yang diasosiasikan dengan penawaran pasar ... perusahaan dan

19

Lingkungan spasial meliputi arsitektur gedung, desain eksterior dan

interior kantor dan pabrik, tempat umum, toko ritel, tempat parkir, dan

lokasi.

6) Websites and electronic media

Websites dan media elektronik menjadi media interaktif yang mampu

memberikan pengalaman komunikasi, interaksi, dan transaksi bagi

konsumen.

7) People

People sebagai experiential provider meliputi tenaga penjual, customer

service, endorser, dan pihak lain yang diasosiasikan dengan perusahaan

atau merek.

2.1.3 Relationship marketing

Sejak awal tahun 1990-an, para praktisi dan akademis mulai mengalihkan

fokus pada pemasaran berbasis hubungan pelanggan. Para penulis di bidang

marketing mengemukakan bahwa terjadi pergeseran paradigma pemasaran dari

pemasaran tradisional yang menekankan transaksi dengan pelanggan menjadi

pemasaran yang berorientasi pada hubungan pelanggan (Harwood, Garry, dan

Broderick, 2008:9). Seperti tampak pada gambar di bawah ini, di abad ke-21

pelayanan memiliki peran yang semakin dominan dalam pemasaran.

Page 11: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2012-1-…  · Web viewPersepsi pelanggan bahwa resiko yang diasosiasikan dengan penawaran pasar ... perusahaan dan

20

Gambar 2. 2 The Changing Focus of Marketing

Sumber: Harwood, Garry, dan Broderick (2008:9)

Berikut ini peneliti sajikan beberapa pengertian relationship marketing

berdasarkan hasil kajian pustaka. Relationship marketing yang didefinisikan oleh

Berry (Chou, 2009:995) merupakan strategi untuk memikat, mengembangkan,

dan menjaga hubungan dengan pelanggan. Gummeson (Hunt, Arnett, dan

Madhavaram, 2006:73) memandang relationship marketing sebagai hubungan,

jaringan, dan interaksi. Sedangkan Grönroos (Hunt, Arnett, dan Madhavaram,

2006:73) menyatakan bahwa relationship marketing adalah mengidentifikasi dan

menetapkan, menjaga dan meningkatkan hubungan dengan pelanggan dan

pemangku kepentingan lainnya, atas dasar suatu keuntungan, sehingga tujuan dari

semua pihak dapat tercapai; dan hal ini terwujud melalui pertukaran antara satu

pihak dengan yang lain serta pemenuhan janji-janji.

Page 12: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2012-1-…  · Web viewPersepsi pelanggan bahwa resiko yang diasosiasikan dengan penawaran pasar ... perusahaan dan

21

Relationship marketing juga diartikan sebagai pemahaman, penjelasan,

dan pengelolaan hubungan bisnis kolaboratif yang berlangsung antara pemasok

dan pelanggan (Sheth dalam Hunt, Arnett, dan Madhavaram, 2006:73). Sheth dan

Parvatiyar (Hunt, Arnett, dan Madhavaram, 2006:73) berpendapat bahwa

relationship marketing merupakan usaha untuk melibatkan dan mengintegrasikan

pemasok, pelanggan, mitra infrastruktur lainnya ke dalam aktivitas pemasaran dan

pengembangan perusahaan.

Perusahaan yang menerapkan relationship marketing dideskripsikan oleh

Harker (Alrubaiee dan Al-Nazer, 2010:157) sebagai organisasi yang terlibat

secara proaktif dalam menciptakan, mengembangkan, dan mempertahankan

pertukaran yang berkomitmen, interaktif, dan menguntungkan dengan pelanggan

dari waktu ke waktu. Strategi relationship marketing dapat membantu perusahaan

untuk lebih memahami kebutuhan konsumen, sehingga perusahaan memiliki

keunggulan kompetitif melalui penyediaan layanan yang lebih baik dari

kompetitor, yang pada akhirnya akan menyebabkan pengurangan biaya dan

pelanggan yang lebih loyal.

2.1.3.1 Faktor Penentu Kesuksesan Relationship marketing

Kesuksesan penerapan relationship marketing sangat dipengaruhi oleh

kompetensi perusahaan dalam membangun hubungan kerja sama dengan

pelanggan. Kompetensi ini dideskripsikan oleh Arnett dan Badrinarayan dalam

Alrubaiee dan Al-Nazer (2010:157) sebagai kemampuan perusahaan untuk

mengidentifikasi, mengembangkan, dan mengelola hubungan kerja sama dengan

Page 13: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2012-1-…  · Web viewPersepsi pelanggan bahwa resiko yang diasosiasikan dengan penawaran pasar ... perusahaan dan

22

pelanggan kunci yang ditandai dengan kepercayaan, komitmen hubungan, dan

komunikasi. Usulan ini diperkuat oleh pernyataan Gundlach dan Murphy dalam

Chattananon dan Trimetsoontorn (2009:254) bahwa relationship marketing

bergantung pada isu-isu seperti kepercayaan, ekuitas, tanggung jawab, dan

komitmen.

Alrubaiee dan Al-Nazer (2010:158-160) mengemukakan bahwa orientasi

relationship marketing terdiri dari lima komponen perilaku berikut ini:

1) Kepercayaan

Anderson dan Weitz (Alrubaiee dan Al-Nazer, 2010:158) mendefinisikan

kepercayaan sebagai keyakinan seseorang bahwa kebutuhannya di masa

mendatang akan dipenuhi oleh pihak lain. Menurut Mishra (Alrubaiee dan

Al-Nazer, 2010:158), kepercayaan memiliki empat dimensi yaitu

keandalan, keterbukaan, kompetensi, dan kepedulian.

2) Komitmen

Komitmen merupakan keinginan atau janji untuk terus menjalin hubungan

dengan pihak lain. Komitmen menjamin terbinanya hubungan antara

perusahaan dan pelanggan dalam jangka panjang.

3) Komunikasi

Komunikasi berkaitan dengan penyediaan informasi yang bermakna pada

waktu yang tepat. Komunikasi dianggap penting dalam relationship

marketing karena merupakan dasar untuk membangun kepercayaan antar

pihak yang bermitra.

Page 14: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2012-1-…  · Web viewPersepsi pelanggan bahwa resiko yang diasosiasikan dengan penawaran pasar ... perusahaan dan

23

4) Ikatan

Ikatan menurut Callaghan et al. (Alrubaiee dan Al-Nazer, 2010:159)

merupakan dimensi dalam hubungan bisnis di mana dua pihak (pembeli

dan penjual) bertindak secara terpadu untuk mencapai tujuan yang

diinginkan. Proses terbentuknya ikatan berawal dari kebutuhan mendasar

penjual untuk menemukan pembeli produk, dan keinginan pembeli untuk

memperoleh produk yang dapat memuaskan kebutuhannya (Chattananon

dan Trimetsoontorn, 2009:257). Semakin besar ikatan maka semakin besar

pula komitmen antara kedua belah pihak.

5) Kepuasan

Kepuasan merupakan suatu keadaan emosional konsumen terhadap

keuntungan yang diperolehnya atas hubungan dengan perusahaan. Oliver

(Alrubaiee dan Al-Nazer, 2010:160) menghubungkan kepuasan dengan

penilaian evaluatif konsumen yang berkaitan dengan tingkat pemenuhan

konsumsi oleh perusahaan.

2.1.3.2 Keuntungan Relationship marketing

Pelanggan bersedia melakukan pertukaran relasional dengan perusahaan

karena mereka yakin bahwa keuntungan yang didapatkan akan melebihi biaya

yang harus dikeluarkan. Morgan dan Hunt (Hunt, Arnett, dan Madhavaram,

2006:75) mengidentifikasikan keuntungan hubungan sebagai pendorong

timbulnya komitmen hubungan yang mencirikan konsumen yang terlibat dalam

pertukaran relasional. Lebih lanjut, konsumen ingin menjalin hubungan dengan

Page 15: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2012-1-…  · Web viewPersepsi pelanggan bahwa resiko yang diasosiasikan dengan penawaran pasar ... perusahaan dan

24

mitra yang dapat dipercaya untuk mengurangi resiko yang dapat timbul akibat

pertukaran relasional. Kepercayaan diasosiasikan sebagai keandalan, integritas,

dan kompetensi mitra. Morgan dan Hunt juga beranggapan bahwa konsumen

termotivasi untuk melakukan pertukaran dengan mitra yang mana mereka dapat

berbagi nilai. Mereka mencari perusahaan yang sepaham dengan mereka

mengenai apa yang baik dan buruk, yang penting dan tidak penting, yang sesuai

dan tidak sesuai, dan sebagainya.

Hunt, Arnett, dan Madhavaram (2006:76) menyimpulkan keuntungan

yang diperoleh pelanggan melalui relationship marketing terdiri dari:

1) Keyakinan bahwa perusahaan dapat dipercaya karena dapat

diandalkan, kompeten, dan memberikan penawaran yang berkualitas.

2) Perusahaan berbagi nilai dengan konsumen.

3) Pelanggan dapat mengurangi biaya pencarian produk/jasa.

4) Persepsi pelanggan bahwa resiko yang diasosiasikan dengan

penawaran pasar berkurang.

5) Pertukaran yang konsisten dengan kewajiban moral.

6) Pertukaran yang memungkinkan adanya kostumisasi yang mampu

memenuhi kebutuhan, keinginan, selera, dan preferensi pelanggan.

Sedangkan keuntungan yang diperoleh perusahaan dengan

mengimplementasikan relationship marketing berdasarkan tinjauan

Abdullah dan Kanyan (2012:1256) antara lain:

1) Meningkatkan loyalitas pelanggan

Page 16: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2012-1-…  · Web viewPersepsi pelanggan bahwa resiko yang diasosiasikan dengan penawaran pasar ... perusahaan dan

25

2) Mengurangi sensitivitas harga pelanggan

3) Biaya pemasaran yang lebih rendah

4) Meningkatkan keuntungan perusahaan dan word-of-mouth

5) Kinerja finansial yang baik

6) Meningkatkan kepuasan pelanggan

7) Mengembangkan dan meningkatkan retensi pelanggan

8) Menciptakan stabilitas dan mengurangi ketidakpastian

2.1.3.3 Dimensi Relationship marketing

Berbagai studi dan literatur mengenai relationship marketing cenderung

mengarah pada konteks B2B (business-to-business). Chattananon dan

Trimetsoontorn (2009:255) menyimpulkan bahwa relationship marketing

dianggap lebih penting dalam konteks industri business-to-business dibandingkan

dengan konteks konsumen individu, sehingga penelitian lebih banyak dilakukan

dalam konteks B2B, bahkan dalam industri tertentu saja. Oleh sebab itu, dimensi

pengukuran yang diaplikasikan dalam penelitian B2B belum tentu relevan untuk

mengukur relationship marketing dalam konteks B2C (business-to-customer).

Untuk mengatasi kendala ini, Abdullah dan Kanyan (2012) melakukan

studi dalam industri foodservice untuk menentukan dimensi yang relevan untuk

konteks B2C, dan hasil analisis menunjukkan empat dimensi yang terdiri dari:

1) Communication:

Menekankan pentingnya berkomunikasi dengan cara yang mudah

dimengerti, memberikan penjelasan yang jelas, memberikan saran-saran

Page 17: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2012-1-…  · Web viewPersepsi pelanggan bahwa resiko yang diasosiasikan dengan penawaran pasar ... perusahaan dan

26

yang membantu pelanggan, dan mengetahui bagaimana menghargai

pelanggan. Dimensi ini juga menekankan pentingnya penilaian dan

penggunaan umpan balik dari pelanggan dalam meningkatkan pemberian

layanan serta secara berkala menanyakan opini dan saran dari pelanggan.

2) Trust:

Menekankan pentingnya keyakinan pelanggan terhadap layanan yang

diberikan. Dimensi ini berkaitan dengan kemampuan penyedia layanan

dalam memenuhi kewajibannya dan menunjukkan respek kepada

pelanggan.

3) Empathy:

Mengacu pada kemampuan personil atau staf untuk menunjukkan simpati

ketika berhadapan dengan pelanggan. Penting bagi karyawan untuk

menampilkan perilaku yang ramah, sopan, dan menyenangkan dalam

memberikan pelayanan untuk menumbuhkan keyakinan pelanggan.

4) Commitment:

Mendeskripsikan komitmen dan usaha perusahaan dalam menyediakan

layanan yang terbaik untuk mewujudkan dan mempertahankan hubungan

dengan pelanggan dalam jangka panjang. Komitmen menekankan

kemampuan perusahaan menyediakan produk dan jasa yang superior

dengan harga yang pantas/masuk akal dan memberikan servis secara tepat

dan benar, serta memenuhi kebutuhan dan keperluan pelanggan.

Page 18: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2012-1-…  · Web viewPersepsi pelanggan bahwa resiko yang diasosiasikan dengan penawaran pasar ... perusahaan dan

27

Chou (2009:997) mengacu pada klasifikasi relationship marketing

menurut Berry (1995) yang berdasarkan pada level ikatan (bond) dengan

konsumen sebagai dimensi pengukuran relationship marketing:

1) Financial bond: perusahaan mengandalkan insentif finansial seperti

memberikan harga yang lebih murah untuk volume pembelian yang lebih

besar, untuk menjaga agar pelanggan tetap loyal dan mendorong mereka

untuk membeli lebih banyak dan menjadi pembeli rutin. Kelemahan dari

insentif finansial adalah tidak dapat menjamin hubungan jangka panjang

dengan pelanggan karena tidak dapat mendiferensiasikan perusahaan

dengan pesaing lainnya.

2) Social bond: merupakan pendekatan interpersonal di mana perusahaan

mengutamakan proses penyampaian jasa, menjaga komunikasi yang lebih

dekat dengan konsumen untuk mengubah konsumen menjadi pelanggan.

Ikatan sosial terdiri dari interaksi, kedekatan, dan kepuasan, yang

dibangun melalui kepercayaan, komitmen, dan pemenuhan janji kepada

konsumen. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa empat

dimensi menurut Abdullah dan Kanyan merupakan bagian dari ikatan

sosial.

3) Structural bond: perusahaan menyediakan layanan yang bernilai bagi

konsumen yang biasanya berbasis teknologi, yang dirancang sebagai

bagian dari keseluruhan sistem pelayanan untuk membantu konsumen

menjadi lebih efisien dan produktif.

Page 19: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2012-1-…  · Web viewPersepsi pelanggan bahwa resiko yang diasosiasikan dengan penawaran pasar ... perusahaan dan

28

Schultz dan Schultz (1998) serta Schmitt (1999) menegaskan bahwa konsumen

melekatkan karakteristik manusia ke dalam merek dan mengaitkan merek dengan

emosi, pemikiran, dan angan-angan. Ketika karakter merek dibangun melalui

kampanye pemasaran perusahaan dan sesuai dengan kepribadian konsumen, maka

konsumen akan membangun hubungan dengan merek tersebut (Chou, 2009:997).

2.1.4 Experiential value

Konsumen melihat nilai dari produk atau jasa berdasarkan harga, kualitas,

manfaat yang diterima, dan pengorbanan yang dikeluarkan. Nilai dianggap

sebagai pertukaran antara harga dan kualitas, atau manfaat dan pengorbanan.

Suatu produk atau jasa dikatakan bernilai apabila kualitas atau manfaatnya relatif

lebih besar bila dibandingkan dengan harga yang dibayar atau pengorbanan yang

dikeluarkan untuk memperolehnya. Holbrook (Kim, 2002:597) mendefinisikan

nilai konsumen sebagai preferensi relatif yang mencirikan pengalaman konsumen

dalam berinteraksi dengan objek tertentu seperti produk, jasa, tempat, kejadian,

atau ide. Menurut pandangan Holbrook, nilai pelanggan memiliki karakteristik

sebagai berikut:

1) Komparatif: berdasarkan penilaian atau peringkat antara satu objek

terhadap objek lainnya.

2) Personal: berbeda-beda antara satu individu dengan individu lainnya.

3) Situasional: berbeda-beda tergantung pada konteks situasi.

Page 20: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2012-1-…  · Web viewPersepsi pelanggan bahwa resiko yang diasosiasikan dengan penawaran pasar ... perusahaan dan

29

Pengalaman bukanlah hal yang bersifat spontan, tetapi sesuatu yang

diciptakan. Pine dan Gilmore (Wong dan Tsai, 2010:60) mengatakan bahwa

pengalaman bersifat internal, terjadi di dalam benak seseorang. Karena setiap

orang berbeda, maka pengalaman yang mereka rasakan pun berbeda. Pengalaman

aktual bersifat sesaat dan hanya dirasakan pada saat konsumsi, sedangkan nilai

pengalaman yang dimiliki konsumen akan melekat dalam memori mereka. Nilai

pengalaman didefinisikan oleh Mathwick (Wong dan Tsai, 2010:60) sebagai

tingkat sejauh mana pengalaman membantu konsumen mencapai tujuan

konsumsinya. Persepsi nilai pengalaman didasarkan pada interaksi yang

mencakup penggunaan langsung atau apresiasi terhadap produk dan jasa.

Holbrook (Chou, 2009:997) menggolongkan nilai konsumen ke dalam tiga

dimensi yaitu extrinsic/intrinsic, self-oriented/other-oriented, dan active/reactive,

yang selanjutnya dibagi menjadi delapan tipe nilai seperti pada tabel berikut ini:

Tabel 2. 2 Tipologi Nilai Konsumen

Dimensions Extrinsic Intrinsic

Self-orientedActive Efficiency (convenience) Play (amusement, fun)

Reactive Excellence (quality) Aesthetics (beauty)

Other-oriented

Active Status (success, fashion) Ethics (virtue, justice)

ReactiveEsteem (reputation,

materialism)Spirituality (faith)

Sumber: Holbrook (1999) dalam Gallarza dan Gill (2008:11)

Page 21: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2012-1-…  · Web viewPersepsi pelanggan bahwa resiko yang diasosiasikan dengan penawaran pasar ... perusahaan dan

30

Tiga dimensi nilai konsumen dijelaskan sebagai berikut:

1) Nilai ekstrinsik versus intrinsik: konsumen melihat nilai atas kepemilikan

atau penggunaan produk atau jasa sebagai sarana untuk mencapai tujuan

akhir tertentu atau hanya untuk pengalaman itu sendiri.

2) Orientasi diri/orientasi pada orang lain: konsumen melihat nilai sebagai

manfaat bagi dirinya sendiri atau manfaat bagi orang lain.

3) Nilai aktif versus reaktif: konsumen melihat nilai melalui penggunaan

langsung suatu objek atau melalui pemahaman, apresiasi, dan respon

terhadap suatu objek.

2.1.4.1 Tipologi Nilai Konsumen

Berdasarkan tabel 2.2, dimensi yang digunakan untuk mengukur

experiential value terdiri dari delapan tipologi nilai Holbrook. Berikut ini adalah

penjelasan dari delapan nilai tersebut seperti dikutip dalam Chou (2009:997-998)

dan juga diadaptasi dari Kim (2002:598-601) :

1) Efficiency: pengalaman konsumen yang memiliki nilai ekstrinsik yang

berasal dari penggunaan aktif suatu objek untuk mencapai tujuan yang

berorientasi pada diri sendiri, biasanya diukur dengan rasio output

terhadap input. Dengan kata lain, konsumen ingin mendapatkan

kenyamanan (convenience) yang maksimum, namun mereka juga ingin

mengurangi sumber pengeluaran (resources) seperti waktu, uang, dan

energi.

Page 22: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2012-1-…  · Web viewPersepsi pelanggan bahwa resiko yang diasosiasikan dengan penawaran pasar ... perusahaan dan

31

2) Excellence: pengalaman konsumen yang mengandung nilai ekstrinsik

yang ditujukan untuk memuaskan tujuan yang berorientasi pada diri

sendiri, dan merupakan hasil respon reaktif. Umumnya performa produk

(kualitas, harga, dan ragam pilihan produk) dan customer service dijadikan

standar pengukuran nilai excellence.

3) Status: pengalaman konsumen yang memiliki nilai ekstrinsik, berasal dari

penggunaan aktif produk untuk memuaskan tujuan yang berorientasi pada

orang lain. Status dapat terwujud melalui konsumsi atau penggunaan

produk tertentu yang mampu menciptakan citra kesuksesan dan prestise

bagi konsumen.

4) Esteem: pengalaman konsumen yang memberikan nilai ekstrinsik, berupa

respon reaktif, dan berorientasi pada orang lain. Pengukuran esteem dilihat

melalui reputasi, kepemilikan, dan materi.

5) Play: merupakan ciri-ciri intrinsik dari pengalaman yang ingin dicapai dan

dinikmati. Konsumen memperoleh nilai intrinsik atas konsumsi aktif untuk

memuaskan tujuan yang berorientasi diri. Play melibatkan fantasi,

kesukaan atau kesenangan yang muncul ketika individu mengakses produk

atau jasa, dan dihasilkan oleh hiburan (entertainment) atau rangsangan

sensorik (sensory stimulation: sight, sound, touch, smell, taste) dan

interaksi sosial.

6) Aesthetics: konsumen memiliki apresiasi reaktif positif yang berorientasi

pada diri sendiri terhadap beberapa objek (produk atau jasa) . Estetika

berkaitan dengan keindahan yang dinikmati bukan untuk memuaskan

Page 23: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2012-1-…  · Web viewPersepsi pelanggan bahwa resiko yang diasosiasikan dengan penawaran pasar ... perusahaan dan

32

tujuan tertentu. Nilai estetika meliputi suasana (ambience) yang terbentuk

melalui arsitektur, desain interior, tata letak, dan dekorasi, serta tampilan

visual produk yang atraktif bagi konsumen.

7) Ethics: konsumen mendapatkan nilai intrisik, aktif, dan berorientasi pada

orang lain dari pengalamannya sendiri. Nilai etika diekspresikan melalui

pelayanan yang baik kepada konsumen yang menjunjung nilai-nilai moral.

8) Spirituality: konsumen memperoleh nilai intrinsik, berupa respon reaktif,

dan berorientasi pada orang lain dari pengalamannya. Nilai spiritual

merupakan hasrat untuk bersatu dengan orang lain atau bergabung dalam

komunitas.

2.1.5 Customer Behavioral Intention

Behavior atau perilaku merupakan tindakan nyata konsumen yang dapat

diobservasi secara langung. Perilaku berhubungan dengan apa yang sebenarnya

dilakukan oleh konsumen. Perilaku konsumen merupakan keseluruhan keputusan

konsumen yang berkaitan dengan akuisisi, konsumsi, dan penyimpanan barang,

jasa, waktu, dan ide. Perilaku konsumen tidak hanya berkaitan dengan barang

berwujud, tetapi juga mencakup penggunaan layanan, aktivitas, pengalaman, dan

pemikiran (Hoyer dan Macinnis, 2008:3). Sedangkan Schiffman dan Kanuk

seperti dikutip oleh Semuel, Kosasih, dan Novia (2007:74) berpendapat bahwa

perilaku konsumen adalah perilaku pada saat konsumen mencari, menggunakan,

mengevaluasi, dan mengganti produk atau jasa untuk dapat memuaskan

kebutuhan konsumen.

Page 24: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2012-1-…  · Web viewPersepsi pelanggan bahwa resiko yang diasosiasikan dengan penawaran pasar ... perusahaan dan

33

Schmitt dalam Wong dan Tsai (2010:61) mengatakan bahwa nilai sebuah

pengalaman dapat dibentuk, karena pengalaman merupakan sesuatu yang

diciptakan melalui stimulus atau rangsangan tertentu. Oleh sebab itu perusahaan

harus mampu memberikan pengalaman yang baik dan berkesan kepada

konsumen. Pengalaman yang baik akan meningkatkan kepuasan konsumen dan

mendorong perilaku konsumen yang positif.

Oliver (Wang & Chen, 2012) mengatakan bahwa behavioral intention

mendeskripsikan kecenderungan yang kuat untuk terlibat dalam perilaku tertentu.

Sedangkan Anderson et al. (Bendall-Lyon & Powers, 2004) menyatakan bahwa

behavioral intention merupakan hasil dari proses kepuasan pelanggan. Ketika

konsumen membeli dan mengkonsumsi produk atau jasa, mereka akan mengalami

tingkatan kepuasan atau ketidakpuasan tertentu (Wong dan Tsai, 2010:61).

Konsumen puas jika nilai produk atau jasa paling tidak setara atau melebihi nilai

yang diharapkan diterima konsumen. Sebaliknya, konsumen tidak puas apabila

nilai produk atau jasa tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Smith (1999) dalam Bendall-Lyon & Powers (2004:115) membagi

behavioral intention ke dalam dua kategori, yaitu economic behaviors dan social

behaviors. Economic behavioral intentions merupakan perilaku pelanggan yang

berdampak pada aspek finansial perusahaan, seperti perilaku pembelian ulang,

kesediaan untuk membayar lebih, dan perilaku berpindah (switching behavior).

Szymanski dan Henard (Bendall-Lyon & Powers, 2004) menekankan bahwa

terdapat hubungan yang positif antara kepuasan pelanggan dengan pembelian

Page 25: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2012-1-…  · Web viewPersepsi pelanggan bahwa resiko yang diasosiasikan dengan penawaran pasar ... perusahaan dan

34

ulang. Ketika konsumen merasa puas, mereka memiliki tingkat kemungkinan

pembelian kembali (repurchase intention) yang lebih tinggi.

Sementara itu, social behavioral intentions adalah perilaku pelanggan

yang berdampak pada respon pelanggan lain dan pelanggan potensial perusahaan.

Social behavioral intentions mempengaruhi individu pelanggan sekaligus opini

pelanggan lain, seperti perilaku komplain dan komunikasi word-of-mouth.

Menurut Anderson et al. (Bendall-Lyon & Powers, 2004:116) informasi yang

disebarkan melalui word-of-mouth oleh pelanggan dapat dijadikan masukan bagi

ekspektasi pelanggan di masa depan. Salah satu bentuk word-of-mouth yang

positif adalah intensi untuk merekomendasikan produk atau jasa kepada orang

lain.

Akan tetapi, dengan memberikan pengalaman dan memuaskan konsumen

tidak menjamin bahwa konsumen akan loyal terhadap perusahaan. Seperti

pemikiran Newman dan Werbel yang dikutip oleh Wong dan Tsai (2010:61)

bahwa konsumen yang puas belum tentu loyal karena sangat mungkin untuk

berpindah ke perusahaan lain. Sementara itu, dalam beberapa kasus konsumen

yang tidak puas bahkan secara kontinu menunjukkan kesetiaannya terhadap

perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku konsumen cenderung sulit

diprediksi karena dipengaruhi oleh berbagai faktor eksternal dan internal baik

yang berkaitan dengan aspek kognitif maupun afektif. Gronholdt (Wong dan Tsai,

2010:61) mengemukakan empat perilaku yang mengarah pada loyalitas yang

menjadi dimensi pengukuran variabel customer behavioral intention, yaitu:

Page 26: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2012-1-…  · Web viewPersepsi pelanggan bahwa resiko yang diasosiasikan dengan penawaran pasar ... perusahaan dan

35

1) Repurchase intention: kecenderungan konsumen untuk membeli

kembali produk atau jasa.

2) Recommendation of brand or company to others : rekomendasi

kepada orang lain merupakan suatu bentuk word-of-mouth yang

positif. Konsumen memberikan rekomendasi ketika mereka

memberikan saran yang positif berkaitan dengan produk atau jasa

tertentu kepada orang lain secara sukarela tanpa paksaan atau stimulus

tertentu.

3) Price tolerance: merupakan rentang perubahan harga yang dapat

diterima oleh masing-masing konsumen.

4) Cross-buying: merupakan perilaku konsumen membeli tambahan

produk atau jasa dari perusahaan selain dari yang telah dibelinya.

Dengan mengacu pada kategori behavioral intention yang dikemukakan

oleh Smith (Bendall-Lyon & Powers, 2004), maka repurchase intention, price

tolerance, dan cross-buying termasuk dalam kategori economic behavioral

intention, sedangkan recommendation to others merupakan bagian dari social

behavioral intention.

2.1.6 Hubungan Antara Variabel Experiential Marketing, Relationship

Marketing, Experiential Value, dan Behavioral Intention

Berikut ini adalah penjelasan mengenai hubungan-hubungan yang terjadi

antara variabel-variabel yang diteliti:

a) Experiential Marketing dan Relationship Marketing

Page 27: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2012-1-…  · Web viewPersepsi pelanggan bahwa resiko yang diasosiasikan dengan penawaran pasar ... perusahaan dan

36

Dalam penelitian sebelumnya, Chou (2009) menghubungkan antara

variabel experiential marketing dan relationship marketing. Dikatakan

bahwa experiential marketing membangun hubungan yang tercipta

dalam relationship marketing dan menjadikannya bagian dari

pengalaman. Hasil dari penelitian Chou (2009) membuktikan bahwa

experiential marketing secara signifikan memiliki pengaruh terhadap

relationship marketing dengan P-value < 0.01, dan keduanya memiliki

hubungan yang positif dalam arti jika experiential marketing

meningkat, maka relationship marketing juga akan meningkat.

b) Experiential Marketing dan Experiential Value

Banyak penelitian-penelitian terdahulu yang membuktikan hubungan

antara experiential marketing dengan experiential value, diantaranya

adalah penelitian oleh Chou (2009), Wang dan Lin (2009), yang sama-

sama menyatakan bahwa kedua variabel tersebut memiliki hubungan

yang positif dan signifikan. Di samping itu, penelitian yang dilakukan

Huang sebagaimana dikutip dalam Lin, Chang, Lin, Tseng, dan Lan

(2009, p231) juga mengungkapkan bahwa experiential marketing

memiliki hubungan positif terhadap experiential value. Experiential

marketing menekankan pada penyediaan pengalaman yang unik dan

mengesankan sehingga dapat meningkatkan nilai pengalaman

pelanggan. Dengan kata lain, experiential value diperoleh dari

pengalaman, dan untuk itu experiential marketing yang baik akan

Page 28: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2012-1-…  · Web viewPersepsi pelanggan bahwa resiko yang diasosiasikan dengan penawaran pasar ... perusahaan dan

37

menimbulkan experiential value yang dirasakan oleh pelanggan (Lin,

Chang, Lin, Tseng, & Lan, 2009).

c) Relationship Marketing dan Experiential Value

Chou (2009) mengutip Kotler dan Armstrong yang mendeskripsikan

bahwa relationship marketing adalah strategi pemasaran jangka panjang

yang bertujuan untuk menyampaikan nilai pelanggan dalam jangka

panjang. Hasil penelitian Chou (2009) juga menunjukkan adanya

pengaruh langsung yang signifikan dan positif antara relationship

marketing terhadap experiential value. Adanya kaitan antara kedua

variabel ini juga diperkuat oleh pernyataan Peng dan Wang (2006)

dalam Alrubaiee dan Al-Nazer (2010) bahwa relationship marketing

merupakan seluruh aktivitas pemasaran yang diarahkan untuk

membangun loyalitas pelanggan dengan menyediakan nilai bagi semua

pihak yang terlibat dalam pertukaran relasional.

d) Experiential Marketing dan Behavioral Intention

Menurut Caru dan Cova dalam Wong dan Tsai (2010), pengalaman

merupakan kejadian-kejadian individual yang memiliki potensi untuk

mengubah keyakinan atau perilaku seseorang. Penelitian yang

dilakukan oleh Wang (2003) yang dikutip oleh Wang dan Lin (2009)

menyatakan adanya hubungan antara variabel-variabel experiential

marketing, experiential value, dan purchasing intention. Dalam

Page 29: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2012-1-…  · Web viewPersepsi pelanggan bahwa resiko yang diasosiasikan dengan penawaran pasar ... perusahaan dan

38

penelitian tersebut, experiential value berfungsi sebagai mediating

variable di mana hasil dari penelitian tersebut membuktikan bahwa

experiential marketing berhubungan secara positif dengan experiential

value, dan experiential value secara positif berhubungan dengan

purchasing intention.

e) Relationship Marketing dan Behavioral Intention

Hubungan antara kedua variabel ini didukung oleh pernyataan Kang

dan Ridgway (1996) dalam Khan, Kadir, dan Wahab (2010) bahwa

pelanggan akan merasa wajib untuk meningkatkan minat (intention)

mereka ketika perusahaan menghargai dan berinvestasi dalam

hubungan dengan pelanggan. Selain itu, Parasuraman dalam Khan,

Kadir, dan Wahab (2010) juga mengusulkan bahwa minat perilaku

pelanggan berkaitan dengan kemampuan penyedia jasa untuk

mempertahankan mereka agar tetap loyal. Kemampuan untuk

mempertahankan pelanggan agar loyal dibangun melalui relationship

marketing. Kemudian, seperti yang dikutip oleh Alrubaiee dan Nazer

(2010) dari pernyataan Bolton, et al. (2000), De Wulf, et al. (2001), dan

Verhoef (2003) diketahui bahwa penelitian-penelitian empiris terdahulu

telah membuktikan bahwa relationship marketing mempengaruhi

behavioral loyalty. Shoemaker dan Lewis dalam Chen dan Chen (2010)

menyebutkan bahwa behavioral intention yang baik merepresentasikan

conative loyalty (behavioral loyalty). Dengan demikian, dapat

Page 30: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2012-1-…  · Web viewPersepsi pelanggan bahwa resiko yang diasosiasikan dengan penawaran pasar ... perusahaan dan

39

disimpulkan bahwa relationship marketing dan behavioral intention

saling berhubungan satu sama lain.

f) Experiential Value dan Behavioral Intention

Lin dan Chiang (2010) dalam penelitiannya menyatakan bahwa

perceived experiential value memiliki hubungan yang positif dan

signifikan terhadap behavioral intention. Hal ini juga didukung oleh

pernyataan Chang dan Wildt (1994) yang dikutip oleh Lin dan Chiang

(2010) bahwa persepsi nilai adalah faktor mendasar yang

mempengaruhi minat pembelian pelanggan. Selain itu, hasil penelitian

dari Keng, Huang, Zheng, dan Hsu (2007) juga membuktikan bahwa

dimensi-dimensi dari experiential value secara positif berhubungan

dengan behavioral intention.

2.1.7 Konsep Restoran

Secara etimologis, kata restoran berasal dari kata “restaurer” yang dalam

bahasa Inggris berarti to restore (restorasi) dan dalam bahasa Indonesia berarti

memperbaiki atau memulihkan, sehingga restoran merupakan tempat untuk

menyediakan makanan dan minuman kepada konsumen untuk memulihkan

kembali kondisi stamina mereka yang telah berkurang setelah melakukan aktivitas

(Wiwoho, 2008:1). Selain itu, definisi menurut Ditjen Pariwisata 1990/1991 yang

juga dikutip oleh Wiwoho (2008:1) “restoran adalah salah satu jenis usaha pangan

yang bertempat di sebagian atau seluruh bangunan yang permanen, dilengkapi

Page 31: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2012-1-…  · Web viewPersepsi pelanggan bahwa resiko yang diasosiasikan dengan penawaran pasar ... perusahaan dan

40

dengan peralatan penyimpanan, penyajian, dan penjualan makanan dan minuman

bagi umum di tempat usahanya”. Sedangkan di dalam SK Menteri Pariwisata,

Pos, dan Telekomunikasi No. KM 73/PW 105/MPPT-85 dijelaskan bahwa

“rumah makan adalah setiap tempat usaha komersial yang ruang lingkup

kegiatannya menyediakan hidangan dan minuman untuk umum” (Bina UKM,

2010).

Walker (2007:13) menyatakan bahwa bisnis restoran memiliki elemen

produksi (penyajian makanan) dan penyampaian (delivery). Disebutkan pula

bahwa makanan merupakan produk yang unik karena untuk dapat merasakan cita

rasa makanan yang sama, pelanggan harus datang kembali ke restoran yang sama.

Di samping itu, Walker juga menegaskan bahwa selain makanan, atmosfer

restoran pun penting pagi pelanggan. Oleh karenanya, restoran dapat digolongkan

sebagai bisnis yang menyediakan pengalaman yang mengesankan bagi pelanggan.

Secara umum bisnis restoran dikategorikan dalam bidang hospitality

karena sangat terkait dengan jasa atau pelayanan. Susskind, Kacmar, dan

Borchgrevink (2007) menegaskan bahwa jasa restoran merupakan suatu proses

yang secara bersamaan dihasilkan oleh tiga kelompok individu, yaitu manajer

(termasuk pemilik restoran), karyawan/staf restoran, dan tamu/pelanggan. Karena

jasa bersifat kompleks, Ford dan Etienne (2003) menyimpulkan bahwa proses

tersebut dipengaruhi oleh variabel yang berkaitan dengan pelanggan seperti

demografi atau perilaku pelanggan; variabel yang berkaitan dengan penyedia jasa

restoran seperti demografi, perilaku, suasana hati, dan emosi; serta keadaaan yang

Page 32: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2012-1-…  · Web viewPersepsi pelanggan bahwa resiko yang diasosiasikan dengan penawaran pasar ... perusahaan dan

41

meliputi lingkungan organisasi, struktur, kepemimpinan, dan para karyawan

(Susskind, Kacmar, dan Borchgrevink, 2007:371).

2.2 Kerangka Pemikiran

Gambar 2. 3 Kerangka Pemikiran

Sumber: peneliti (2012)

2.3 Hipotesis

H1: experiential marketing memiliki pengaruh terhadap relationship

marketing.

H2: experiential marketing dan relationship marketing secara simultan

atau parsial mempengaruhi experiential value.

(X1)Experiential Marketing

(Y)Experiential

Value

(X2)Relationship Marketing

(Z)Behavioral Intention

H1 H2

H4

H5

H3

Page 33: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2012-1-…  · Web viewPersepsi pelanggan bahwa resiko yang diasosiasikan dengan penawaran pasar ... perusahaan dan

42

H3: experiential value memiliki pengaruh terhadap customer behavioral

intention.

H4: experiential marketing memiliki pengaruh terhadap customer

behavioral intention baik secara langsung maupun secara tidak

langsung dengan melalui experiential value.

H5: relationship marketing memiliki pengaruh terhadap customer

behavioral intention baik secara langsung maupun secara tidak

langsung dengan melalui experiential value.