vol.2 no.1, 2005

61
Vol.2 No.1, 2005

Upload: vandat

Post on 31-Dec-2016

238 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Vol.2 No.1, 2005

Vol.2 No.1, 2005

Page 2: Vol.2 No.1, 2005

2

Pemanfaatan Data Citra Satelit untuk Analisis Ketebalan Awan dan Potensi Hujan. ARIS PRAMUDIA………………………………………. Pengembangan Damparit untuk Mendukung Peningkatan Produktivitas Lahan Kering (Studi Kasus Subdas Suko, Kabupaten Pacitan). SAWIYO, NANI HERYANI, NONO SUTRISNO....................................................... Pengelolaan Air dengan Teknologi Dam Parit untuk Keperluan Irigasi bagi Tanaman Kelapa Sawit di PTPN Cimulang, Bogor. KHARMILA SARI H, SAWIYO.............................................. Studi Model Aliran Permukaan Sesaat berdasarkan Konsep Hidrograf Satuan pada DAS Cil iwung Hulu. NURWINDAH PUJILESTARI, SYAHRI, BUDI KARTIWA........ Pemanfaatan Data Suhu Permukaan Laut Nino 3.4 untuk Memprediksi Curah Hujan Bulanan. WORO ESTININGTYAS, F. RAMADHANI, G. IRIANTO............................... Pewilayahan Curah Hujan Berdasarkan Analisis Peluang Curah Hujan Bulanan Kabupaten Indramayu dan Cirebon. SUMARNO, SUDARMO, A. HAMDANI, E. RUNTUNUWU..................................................

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi @ 2004, Balitklimat Bogor ISSN 0216-3934 Volume 1 Nomor 1, 2005

Penanggung Jawab: Gatot Irianto Redaksi Teknis: Istiqlal Amien, Nono

Sutrisno, Eleonora Runtunuwu, dan Lukman Hakim Sibuea

Redaksi Pelaksana: Ganjar Jayanto, dan Tri Nandar Wihendar

Penerbit: Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Jl, Tentara Pelajar 1A, Bogor 16111, Indonesia

Telepon +62-0251-312760 Faksimil +62-0251-312760

PRAKATA Buletin ini memuat makalah yang

berasal dari Seminar Bulanan Balai Pene-litian Agroklimat dan Hidrologi (Balitklimat) yang disajikan pada periode Februari - Agustus 2004. Munculnya berbagai ham-batan telah menyebabkan keterlambatan diterbitkannya Buletin ini. Rencana pener-bitan yang diren-canakan selesai pada bulan Agustus, ternyata mundur hingga bulan Oktober 2004.

Untuk memperlancar penerbitan, maka mulai tahun 2005, Buletin ini akan terbit secara berkala. Pada setiap nomor, artikel yang dimuat tidak perlu terikat se-cara kronologis oleh penyajian makalah atau acara seminar, tetapi lebih ditentu-kan oleh ketanggapan penulis dan kelaya-kan ilmiah tulisan.

Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak peneliti, tim redaktur, aparat penunjang lainnya yang telah membantu memperlancar proses penerbitan. Semo-ga media ini bermanfaat bagi khalayak. Kritik dan saran dari pembaca selalu kami nantikan.

Redaksi

CARA MERUJUK YANG BENAR Redjekiningrum P., G. Irianto, dan I. Amien. 2004. Peta wilayah hujan sebagai arahan untuk penentuan pola tanam (Studi kasus di Propinsi Papua), hal 1-10. Dalam Y. Sugianto et al. (red.). Buletin Hasil Penelitian Agro-klimat dan Hidrologi. No. 1. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Bogor.

Tulisan yang dimuat adalah yang telah disajikan pada seminar mingguan di Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Bogor dan belum pernah dipublikasikan pada media cetak mana pun. Tulisan hendaknya mengikuti Pedoman Bagi Penulis (lihat halaman sampul dalam). Redaksi berhak menyunting makalah tanpa mengubah isi dan makna tulisan atau menolak penerbitan suatu makalah.

3

13

25

35

41

52

DAFTAR ISI

Page 3: Vol.2 No.1, 2005

3

PENDAHULUAN

Berbagai analisa dan kebutuhan infor-masi spasial secara cepat menempatkan data satelit menjadi salah satu masukan dasar yang penting. Salah satu pertimbangannya adalah karena data satelit mampu menyajikan fakta terbaru, serta dapat memberikan informasi seri (temporal) sekaligus dengan cakupan wilayah yang luas (spatial). Namun demikian, data citra (image) yang diperoleh dari satelit tidak lang-sung dapat digunakan begitu saja untuk suatu kebutuhan, karena masih memerlukan analisis tertentu.

Dengan semakin banyaknya perma-salahan yang diharapkan dapat terjawab me-lalui pemanfaatan data satelit, maka analisis dan teknik pemanfaatan data satelit ini menjadi semakin berkembang. Dalam bidang agromete-orologi atau agroklimatologi, data citra satelit telah digunakan untuk berbagai keperluan, mis-alnya peramalan musim hujan, perencanaan waktu tanam, analisa keawanan, dan lain seba-gainya. Salah satu data citra satelit yang ban-yak digunakan untuk berbagai keperluan dalam bidang cuaca adalah NOAA-AVHRR (National Ocean and Atmospheric Administration – Ad-vanced Very High Resolution Radiometer).

Tulisan ini menyajikan suatu analisis pemanfaatan data citra NOAA-AVHRR untuk menduga ketebalan awan dan potensi hujan di sebagian wilayah pengaliran sungai Pekalen-Sampean Jawa Timur. Analisis mencakup

PEMANFAATAN DATA CITRA SATELIT UNTUK ANALISIS KETEBALAN AWAN DAN POTENSI HUJAN )

Aris Pramudia ABSTRAK

Tulisan ini menyajikan suatu analisis pemanfaatan data citra NOAA-AVHRR untuk menduga ketebalan

awan dan potensi hujan di sebagian wilayah pengaliran sungai Pekalen-Sampean Jawa Timur. Analisis menca-kup transformasi data citra satelit menjadi data digital dan radiance yang kemudian diolah menjadi nilai-nilai suhu permukaan awan, ketebalan awan dan perkiraan potensi hujan (precipitable water). Data citra yang digunakan adalah beberapa data citra bulan Agustus 2003. Ketinggian dasar awan maupun ketinggian permu-kaan awan diduga berdasarkan data temperatur. Hasil analisis menunjukkan bahwa ketinggian dasar awan berada pada sekitar 1430 - 1434 meter dpl atau pada tekanan 996 mb. Level pembekuan (0 oC) berada pada ketinggian 4.200 meter dpl atau tekanan 964 mb. Temperatur permukaan berkisar dari 16 – 50 oC. Hasil perhitungan temperatur permukaan puncak awan pada beberapa hari di bulan Agustus 2003 berkisar antara -36,6 – -74,1 oC. Temperatur tersebut diperkirakan berada pada ketinggian antara 8.446 – 15.290 meter dpl atau pada tekanan antara 839 – 686 mb. Ketebalan awan maksimum berkisar antara 7.000 – 13.500 meter. Sebaran awan tebal pada arah utara-selatan maupun barat-timur terjadi paling banyak pada tanggal 06 Agustus 2003, sedangkan sebaran awan yang didominasi oleh awan yang lebih tipis terjadi pada tanggal 21 Agustus 2003. Luasan awan terbesar terjadi pada tanggal 06 Agustus 2003 seluas 3.421 km2, dan luasan awan terkecil pada tanggal 20 Agustus 2003 seluas 2.436 km2. Potensi hujan selama beberapa hari di bulan Agustus 2003 berkisar antara 20 – 160 mm per luasan pixel.

transformasi data citra satelit menjadi data digital yang kemudian diolah menjadi nilai-nilai suhu permukaan awan, ketebalan awan dan perkiraan potensi hujan (precipitable water).

TINJAUAN PUSTAKA

Klasifikasi dan Komposisi Awan

Dalam berbagai metode klasifikasi, awan dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu awan rendah, awan sedang, dan awan tinggi. Awan-awan tinggi mencakup awan cirrus (Ci), cirrocumulus (Cc), dan cirrostratus (Cs). Awan-awan menengah mencakup awan alto-cumulus (Ac), altostratus (As) dan nimbostra-tus (Ns). Awan-awan rendah mencakup awan stratus (St), cumulus (Cu), stratocumulus (Sc) dan cumullonimbus (Cb). Awan-awan nimbo-stratus dan cumullonimbus merupakan awan yang dapat terlihat pada lebih dari satu level ketinggian awan (Anonymous, 1998, 2004b, 2004c; Meteorology Office, 2004; University of Illinois, 2004). Dari kesepuluh jenis awan tersebut, awan-awan yang menghasilkan curah hujan dan dapat terukur di permukaan antara lain awan nimbostratus, cumulus dan cumullonimbus (Tabel 1). Awan-awan lainnya tidak menghasilkan hujan, menghasilkan hu-jan sedikit, menghasilkan hujan tetapi tidak sampai di permukaan, atau menghasilkan presipitasi dalam bentuk butir es (Brandon, 2000a).

Page 4: Vol.2 No.1, 2005

4

Tabel 1. Struktur dan komposisi awan.

Jenis Awan

Ketinggian Dasar Awan

Pertumbuhan Vertikal Komposisi Keterkaitan dengan Presipi-

tasi

CI 20 000 + usually thin* ice crystals fall streaks

CS ditto ditto ditto nil

CC ditto ditto crystals/droplets nil

AS 6000 – 20 000+ up to 15 000 usually crystals, occasionally mixed rain/snow

AC 6000 – 20 000 usually thin usually droplets to –10 °C, some crystals to –30 °C occasionally

mixed rain, drizzle

NS 0 – 8000+ merges into AS water droplets steady rain, snow, ice pellets

Jenis Awan

Ketinggian Dasar Awan

Pertumbuhan Vertikal Komposisi Keterkaitan dengan Presipitasi

SC 1500 – 4000 500 – 3000 mainly droplets down to –15 °C rain, drizzle, virga

ST 0 – 2000 200 – 1000 usually water droplets drizzle

CU,TCU 1500 – 15 000 up to 15 000 water droplets rain showers

CB 1500 – 5000 15 000 – 35 000+ mainly droplets to –15 °C, mixed at lower temperatures

rain/snow showers/virga, hail, ice pellets

*But with fall streaks the vertical extent of CI may exceed 5000 feet

Gambar 1. Awan cumulus congestus (a) dan cumullonimbus (b) serta nimbostratus (c) yang berpotensi menghasilkan hujan.

Gambar 2. Diagram vertikal pertumbuhan awan (Brandon, 2000b)

Page 5: Vol.2 No.1, 2005

5

Gambar 3. Wilayah pembentukan butir air hujan dan kristal es di awan (Anonymous, 2004a).

kejenuhan awan dengan rata-rata laju pendinginan ini tidak lebih dari 6,5 oC/km (Gambar 2).

Pada saat ketebalan awan mencapai aras temperatur 0 oC, maka sebagian butir-butir air membeku menjadi kristal es dan sebagian lainnya menjadi air super dingin (supercooled water), yaitu air yang memiliki temperatur dibawah 0 oC, sehingga terjadilah percampuran antara kristal es dengan butir-butir air super dingin. Namun menurut Anonymous (2004a) percampuran ini tidak melebihi aras temperatur –15 oC, karena di atas aras tersebut semua air akan membeku menjadi kristal es (Gambar 3). Satelit NOAA

Salah satu satelit yang banyak diman-faatkan dalam bidang cuaca adalah satelit yang dikelola oleh National Ocean and Atmospheric Administration atau NOAA. Satelit NOAA dibuat dengan dua tipe orbit, yaitu geostasioner dan polar. Satelit yang berorbit stasioner dinamakan Geostationary Operational Environmental Satellites (GOES), berfungsi untuk pengamatan radius sempit (short-range warning dan ‘now-casting’). Sedangkan satelit yang berorbit polar dinamakan NOAA, berfungsi untuk peramalan cuaca jangka panjang. Pada satelit NOAA terdapat radiometer yang beresolusi sangat tinggi dengan dengan dua saluran (Advance Very High Resolution radiometer, AVHRR). AVHRR adalah instrumen penyiam yang merekam pada bagian saluran merah (0,6 – 0,7 mm) dan infra merah termal (10,5 – 12,5 mm).

Di beberapa pulau besar di Indonesia seperti Jawa, Sumatera dan Sulawesi, angin laut sangat berperan membawa uap air di wilayah pantai menuju ke pedalaman kemudian terjadi pengangkatan orografis karena ‘terbentur’ dengan gunung atau pegunungan di tengah pulau. Sehingga sebagian besar awan yang terbentuk di wilayah tersebut adalah awan orografis, dimana menurut Gudmundson (2004) umumnya melahirkan awan-awan cumulus con-gestus dan cumullonimbus yang merupakan awan penghasil hujan (Gambar 1).

Struktur Awan

Awal terbentuknya awan adalah akibat adanya pengangkatan secara adiabatik udara tak jenuh yang mengandung uap air dari aras yang rendah di permukaan ke aras yang lebih tinggi. Pengangkatan udara terjadi akibat adanya pengangkatan konvektif atau gaya-gaya lainnya. Selama pengangkatan udara tersebut terjadi pendinginan karena temperatur udara pada aras yang lebih tinggi lebih rendah d iband ingkan aras d i bawahnya. La ju perubahan temperatur pada aras ini disebut laju pendinginan adiabatik kering (dry adiabatic lapse rate, DALR). Besarnya laju penurunan awan dan disebut aras kondensasi konvektif (convective condensation level, CCL). Lebih tinggi dari CCL, udara merupakan campuran antara uap air dan butir-butir air. Pendinginan yang terjadi pada aras ini disebut laju pendingi-nan adiabatik basah (saturated adiabatic lapse rate, SALR). Laju pendinginan adiabatik basah t idak konstan tergantung pada t ingkat

Page 6: Vol.2 No.1, 2005

6

Tabel 2. Karakteristik kanal-kanal NOAA-AVHRR dan fungsinya Nomor Kanal

Panjang Gelom-bang (mm) Daerah Spektrum Fungsi

1 0,58 – 0,68 Cahaya Tampak (visible light)

Menghitung albedo permukaan bumi dan puncak awan, mendeteksi permukaan darat dan laut, memantau pertumbuhan dan perkembangan tanaman, mendeteksi per-mukaan salju di permukaan bumi.

2 0,725 – 1,10 Infra Merah Dekat (Near Infra Red)

Memantau vegetasi, mendeteksi awan, al-bedo permukaan darat dan laut, mendeteksi permukaan salju di permukaan bumi.

3 3,55 – 3,93 Infra Merah Menengah (Midle Infra Red)

Menghitung suhu permukaan laut, mende-teksi distribusi awan pada siang atau malam hari, mendeteksi kebakaran hutan, karena kanal ini peka terhadap sumber panas di permukaan bumi

4 10,30 – 11,30 Infra Merah Jauh (Far Infra Red)

Menghitung temperatur permukaan laut dan darat, mendeteksi distribusi awan pada siang dan malam hari, memantau gunung api dan temperatur puncak awan. 5 11,50 – 12,50 Infra Merah Jauh (Far Infra

Red)

Pada saat ini satelit NOAA juga membawa radiometer pembuat penampang temperatur tegak (Vertical Temperature Profile Radiometer, VTPR). Selain itu juga membawa sebuah radiometer penyiam yang memiliki dua saluran, yaitu 0,4 – 1,1 mm dan 10,5 – 12,5 mm, menghasilkan citra dengan resolusi nominal 4,2 km dan 8 km. Kanal-kanal pada satelit NOAA disajikan pada Tabel 2.

Berkebalikan dengan sebagian besar termogram, citra infra merah NOAA memperagakan kenampakan dingin pada rona putih dan kenampakan hangat pada rona hitam. Penampakan awan berwarna putih karena lebih dingin dari permukaan sehingga memudahkan untuk menginterpretasikan cuaca. Satelit NOAA menyajikan liputan harian untuk spektrum tampak dan liputan dua kali sehari untuk spektrum infra merah. Citra dan pita digital digunakan pada berbagai terapan yang membutuhkan data pada saat kejadian.

BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam tugas ini

adalah beberapa data citra satelit NOAA bulan Agustus 2003. Alat bantu yang digunakan adalah perangkat lunak pengolah gambar (image processor), pengolah angka (spreadsheet) dan pengolah kata (word proces-sor). Lokasi studi adalah wilayah sekitar DAS Pekalen Sampean Jawa Timur. Metode

Secara garis besar tahapan analisis

dapat dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu analisis prediksi temperatur permukaan awan, analisis prediksi ketebalan awan, dan analisis prediksi potensi hujan. Secara skematik tahapan-tahapan ana lisis disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4. Tahapan prosedur analisis.

Page 7: Vol.2 No.1, 2005

7

Dalam studi ini digunakan beberapa asumsi untuk memudahkan penghitungan, yaitu: 1. Dari penampakan visual awan yang diana

lisis adalah awan cumulus atau cumullonim-bus.

2. Rata-rata temperatur permukaan tanah adalah 30 oC. Aras pengembunan atau dasar awan terjadi pada temperatur 16 oC atau pada altitude 1.430 meter dpl.

3. Setiap pixel merupakan kolom air hujan yang batas bawahnya adalah dasar awan dan batas atasnya adalah puncak awan atau batas aras beku (0 oC).

4. Laju pendinginan adiabatik kering (DALR) adalah 9,8 oC/km, dan laju pendinginan adia-batik basah adalah 6,5 oC/km.

5. Kelembaban relatif rata-rata di sekitar awan adalah 80%.

6. Tekanan permukaan laut adalah 1.013,33 mb.

7. Pada aras yang lebih tinggi dari 0 oC semua awan terdiri dari kristal es dan air super dingin dan tidak berpotensi menjadi hujan.

Analisis Prediksi Temperatur Permukaan Awan

Analisis prediksi temperatur permukaan awan berdasarkan data NOAA dilakukan meng-gunakan piranti lunak ER Mapper 5.5 dan pen-golah angka MS Excel. Tahapan analisis adalah sebagai berikut: 1. Dengan menggunakan ER Mapper 5.5 data

citra yang memuat seluruh Propinsi Jawa Timur di-croping dengan memilih wilayah studi sekitar DAS Pekalen-Sampean.

2. Pada citra wilayah studi data citra pada Band-4 dipisahkan dari warna semu (pseudocolor)-nya.

3. Data pada Band-4 tersebut kemudian dik-onversi menjadi data digital number dalam format ASCII.

4. Menggunakan MS Excel data digital num-ber dirubah menjadi nilai-nilai radiance. Hubungan antara nilai digital number den-gan radiance adalah sebagai berikut:

RV4 = a + b * 4 * DN

dimana RV4 = nilai radiance band-4, DN = nilai digital number, serta a, b = tetapan yang nilainya berubah-ubah untuk setiap data citra. Untuk studi ini digunakan nilai a = 193,323 dan b = -0,173.

5. Nilai radiance dikonversi kembali menjadi nilai temperatur. Hubungan antara tempera-tur permukaan dengan nilai radiance adalah sebagai berikut:

dimana Ts = temperatur permukaan awan, RV4 = nilai radiance, dan K1 dan K2 adalah tetapan. Nilai K1 = 9.190,953 dan K2 = 1.254,6. Nilai Ts merupakan temperatur awan jika lebih kecil atau sama dengan 16 oC.

6. Nilai-nilai temperatur awan yang meru-pakan angka-angka digital tersebut ke-mudian dikonversi kembali menjadi data spasial. Pengkonversian dilakukan meng-gunakan piranti lunak Surfer ver. 6.02.

Analisis Prediksi Ketebalan Awan

Ketebalan awan merupakan selisih antara permukaan puncak awan dengan dasar awan. Baik ketinggian dasar awan maupun ket-inggian permukaan awan diduga berdasarkan data temperatur, sebagai berikut:

DA = (30,0 – 16,0) * 1000 / 9,8

PA = DA + (16 – Ts) * 1000 / 6,5

TA = PA – DA

dimana DA = dasar awan, PA = permukaan awan, Ts = temperatur permukaan awan, TA = tebal awan. Nilai-nilai PA dan DA di setiap pixel menunjukkan ketebalan awan di setiap pixel, sedangkan ketebalan awan maksimum adalah perbedaan antara dasar awan dengan nilai PA maksimum.

TAmax = PAmax - DA dimana TAmax = tebal awan maksimum, dan PAmax = tinggi permukaan awan maksimum. Analisis Prediksi Potensi Hujan 1. Berdasarkan kondisi rata-rata beberapa

parameter cuaca lainnya (suhu dan te-kanan) di awan, maka dapat ditentukan berapa jumlah air yang dapat diturunkan sebagai hujan pada awan tersebut, sebagai berikut:

dimana q adalah rata-rata nisbah percam-puran (mean of mixing ration, g/g) dari lapisan awan, p1 adalah tekanan udara di dasar awan (dyne cm-2), p2 adalah tekanan udara di permukaan puncak awan (dyne cm-2), dan g adalah percepatan gravitasi dalam (103 cm s-2) (Ackerman, 1976).

15,273)41ln( 1

2 −+

=

RVKKTs

)( 21 ppgqP −=

Page 8: Vol.2 No.1, 2005

8

2. Nilai q diduga berdasarkan nilai asumsi RH 80%, sebagai berikut:

e = es(Td) * RH

p = r R’ T

dimana q = kelembaban mutlak, es(Td) = tekanan uap jenuh rata-rata di awan, e = tekanan uap air rata-rata di awan, p = tekanan udara rata-rata antara dasar awan hingga pada permukaan awan (Pa), r = kerapatan udara rata-rata = 1,20 kg.m-3, R’ = tetapan gas individual = 287 J.kg-1.K-1, dan T = temperatur (K).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis disajikan pada Tabel 3 dan Gambar 6 dan Gambar 7. Dua asumsi yang digunakan dalam kajian ini adalah temperatur rata-rata dasar awan sebesar 16 oC dan tem-peratur rata-rata permukaan tanah sebesar 30 oC. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa ket-inggian dasar awan berada pada sekitar 1.430 – 1.434 meter dpl atau pada tekanan 996 mb. Level pembekuan (0 oC) berada pada keting-gian 4.200 meter dpl atau tekanan 964 mb. Temperatur permukaan berkisar dari 16 – 50 oC. Temperatur permukaan yang beragam di-asosiasikan dengan ketinggian permukaan yang beragam mulai dari permukaan laut jingga ke pegunungan, serta bentuk penutupan lahan yang beragam pula mulai dari penutupan lahan bervegetasi yang lembab hingga lahan terbuka yang kering karena mengandung kapur dan batu-batuan.

Hasil perhitungan temperatur permu-kaan puncak awan pada beberapa hari di bulan Agustus 2003 berkisar antara -36,6 – -74,1 oC. Temperatur tersebut diperkirakan berada pada

ketinggian antara 8.446 – 15.290 meter dpl atau pada tekanan antara 839 – 686 mb. Temperatur puncak awan terpanas terjadi pada tanggal 21 Agustus 2003, berarti ketinggian puncak awan tersebut berada paling rendah dibandingkan hari-hari lainnya. Dengan demikian ketebalan awan maksimum pada hari-hari yang dianalisis berkisar antara 7.000 – 13.500 meter. Meskipun ketebalan awan maksimum pada beberapa hari yang dianalisis adalah sama, namun sebaran ketebalan awan secara spasial dari hari ke hari adalah berbeda. Gambar 6 menyajikan sebaran temperatur awan dalam bentuk penampang ten-gah citra pada arah utara-selatan dan barat timur. Berdasarkan Gambar 6 terlihat bahwa sebaran awan tebal pada arah utara-selatan maupun barat-timur terjadi paling banyak pada tanggal 06 Agustus 2003, sedangkan sebaran awan yang didominasi oleh awan yang lebih tipis terjadi pada tanggal 21 Agustus 2003.

Gambar 7 menyajikan sebaran tem-peratur awan dalam bentuk kontur. Terlihat bahwa ketinggian puncak awan secara spasial adalah beragam sebagaimana bentuk awan yang bisa dilihat secara kasat mata dari permu-kaan bumi. Ketebalan awan di tepi lebih luar umumnya lebih tipis daripada ketebalan di ten-gah-tengah awan. Luasan awan terbesar terjadi pada tanggal 06 Agustus 2003 seluas 3.421 km 2, dan luasan awan terkecil pada tanggal 20 Agustus 2003 seluas 2.436 km2. Hal ini menun-jukkan bahwa tanggal 06 Agustus 2003 meru-pakan hari berawan hujan paling basah diband-ingkan hari-hari lainnya yang dianalisis, sedang-kan tanggal 20 Agustus merupakan hari bera-wan hujan paling kering.

Ketebalan awan yang beragam mencer-minkan juga potensi hujan yang beragam. Hasil analisis menunjukkan bahwa potensi hujan se-lama beberapa hari di bulan Agustus 2003 berk-isar antara 20 – 160 mm per luasan pixel. Se-suai dengan sebaran ketebalan awan, potensi hujan pada bagian terluar awan adalah lebih kecil daripada bagian awan yang di tengah (Gambar 7).

peq 622,0=

TdTdes 82488,002606,010)( +=

Tabel 3. Hasil analisis temperatur, ketinggian dan tekanan dasar dan puncak awan pada bulan Agustus 2003.

Tanggal Temperatur Altitude Tekanan Luasan Awan (km2) Dasar Puncak Dasar Puncak Dasar Puncak

02 Agustus 2003 16.0 -74.1 1.431 15.268 996 686 3.055 06 Agustus 2003 16.0 -74.1 1.433 15.290 996 686 3.421 12 Agustus 2003 16.0 -74.1 1.430 15.290 996 686 2.883 16 Agustus 2003 16.0 -74.1 1.432 15.290 996 686 3.147 21 Agustus 2003 16.0 -36.6 1.432 8.446 996 839 2.436 31 Agustus 2003 16.0 -74.1 1.434 15.290 996 686 2.842

Page 9: Vol.2 No.1, 2005

9

02 Agustus 2003

06 Agustus 2003

12 Agustus 2003

16 Agustus 2003

21 Agustus 2003

Page 10: Vol.2 No.1, 2005

10

31 Agustus 2003

Gambar 6. Penampang melintang temperatur permukaan awan pada arah barat-timur dan utara-selatan pada bulan Agustus 2003.

02 Agustus 2003

06 Agustus 2003

12 Agustus 2003

16 Agustus 2003

Page 11: Vol.2 No.1, 2005

11

21 Agustus 2003

31 Agustus 2003

Gambar 7. Data citra band-4 dan hasil prediksi temperatur permukaan awan dan potensi hujan pada bulan Agustus 2003.

KESIMPULAN

Secara teknis data citra dapat diguna-kan untuk memprediksi temperatur permukaan awan dan ketebalan awan. Kemudian dengan analisis tertentu dapat ditentukan potensi hujan (precipitable water) yang dapat diturunkan dari awan-awan hujan tersebut.

Analisis yang dilakukan di wilayah sekitar DAS Pekalen-Sampean menggunakan asumsi bahwa dasar awan berada pada tem-peratur 16 oC, dimana pada temperatur tersebut dasar awan berada pada ketinggian 1.430 me-ter di atas permukaan laut atau pada tekanan 996 mb. Temperatur puncak awan selama be-berapa hari pada bulan Agustus 2003 yang dianalisis menunjukkan kisaran antara -36,6 – -74,1 oC atau setara dengan ketinggian 8.446 – 15.290 m di atas permukaan laut atau tekanan 839 – 686 mb. Potensi hujan selama beberapa hari di bulan Agustus 2003 berkisar antara 20 – 160 mm per luasan pixel.

DAFTAR PUSTAKA Ackerman, G. L.. 1976. Appendix C, Environ-

mental predictor variables for HIPLEX. In: Illinois State Water Survey Atmos-pheric Sciences Section, Design of the high plains experiment with spesific fo-cus on phase2, Single cloud experi-ment. Final Report on HIPLEX Design Pproject. Division of Atmospheric Water Resources Management Bureau of Reclamation US Departement of Inte-rior. Urbana, Illinois.

Anonymous. 1998. The cloud classification sys-

tem. Australian Severe Weather. http://www.aus-traliansevereweather.com/techniques/moreadv/class.htm. (Downloaded 29 Mei 2004).

Anonymous. 2004a. Clouds. http://

www.enter.net/~jbartlo/articles/030297.htm. (Downloaded 9 Juni 2004).

Anonymous. 2004b. Cloud Classification. Aer-

ographer/Meteorology, Integrated Pub-lishing. http:// www.infodotinc.com/weather2/5-3.htm. (Downloaded 9 Juni 2004).

Page 12: Vol.2 No.1, 2005

12

Anonymous. 2004c. Houze’s Cloud Atlas. At-mospherics of Washington. http://www.atmos. washington.edu/gcg/Atlas/Houze’s_Cloud_Atlas.htm. (Downloaded 29 Mei 2004).

Brandon, J. 2000a. Cloud, fog and precipitation.

Aviation Meteorologi. http://www.auf.asn.au/ meteorology/section3.html. (Downloaded 9 Juni 2004).

Brandon, J. 2000b. Atmospheric thermodynam-

ics 2 and dynamics. Aviation Meteo-rologi. http:// www.auf.asn.au/meteorology/section3.html. (Downloaded 12 Mei 2004).

Gudmundson, C. 2004. Convective Clouds. At-

mospherics of Washington. http://www.atmos. washington.edu/gcg/Atlas/conv.pdf. (Downloaded 29 Mei 2004).

Meteorology Office. 2004. Cloud Classification. Meteorology Office. http://www.meto.gov.uk/ bookshelf/clouds/cloud_classification.htm. (Downloaded 9 Juni 2004).

Rogers, R. R. 1979. A Short Course in Cloud

Physics, 2nd ed. Pergamon Press Ltd. Oxford. 235p.

University of Illinois. 2004. Cloud types, com-

mon: cloud classifications. Department of Atmospheric Sciences the University of Illinois. Urbama Champaign. http://ww2010.atmos.uiuc.edu/ (Gh)/guides/mtr/cld/cldtyp/home.rxml. (Downloaded 29 Mei 2004).

Page 13: Vol.2 No.1, 2005

13

PENGEMBANGAN DAM PARIT UNTUK MENDUKUNG PENINGKATAN PRODUKTIVITAS LAHAN KERING

(Studi kasus subdas Suko, Kabupaten Pacitan)

Sawiyo, Nani Heryani, dan Nono Sutrisno

Lahan kering merupakan salah satu areal alternatif untuk pengembangan pertanian

tanaman pangan dan hortikultura. Masalah utama yang dijumpai di wilayah ini adalah keterbatasan sumberdaya air menurut ruang dan waktu.Topografi yang berbukit dan bergunung dengan lereng terjal dan bentuk jalur sungai sempit dengan tebing yang sangat terjal menyebabkan daya tampung sungai menjadi kecil. Kerusakan fisik lingkungan seperti pembatan hutan, penanaman tanaman semusim (pangan dan hortikultura) pada daerah dengan lereng terjal tanpa usaha konservasi yang memadai dan pembangunan perumahan serta sarana lainnya menyebabkan makin besar jumlah curah hujan ditransfer menjadi aliran permukaan sehingga kesempatan air meresap ke dalam tanah menjadi kecil sehingga menyebabkan cadangan air tanah yang makin berkurang. Akibatnya dimusim hujan air hujan ditransfer menjadi aliran permukaan menyebabkan banjir dan erosi sedangkan di musim kemarau terjadi kekeringan.

Untuk meminimalkan tingkat kekeringan selama musim kemarau, mengurangi volume aliran permukaan yang menyebabkan di musim hujan, maka pengelolaan sumber air berbasis DAS perlu dilakukan secara komprehensif antara lain dengan teknologi panen hujan melalui pembangunan dam parit. Teknologi ini diharapkan mampu meminimalisasikan tingkat kekeringan dan banjir pada suatu kawasan DAS.

Penelitian ini dilaksanakan di DAS Suko, di Desa Mlati, Kecamatan Arjosari dan Desa Taman Asri, Kecamatan Pringkuku, Kabupaten Pacitan seluas 133,8 ha. Penelitian bertujuan untuk mempelajari dampak pembangunan dam parit terhadap peningkatan ketersediaan air bagi pertanian secara temporal dan spasial dan mempelajari skenario pemberian air irigasi tambahan, penentuan waktu tanam dan kehilngan hasil pada areal target irigasi dam parit di SubDAS Suko.

PENDAHULUAN

Latar Belakang Lahan kering di Kabupaten Pacitan

merupakan tipologi lahan yang dominan. Keadaan ini disebabkan karena keadaan topografi yang berbukit dan distribusi curah hujan yang tidak merata dalam tiap tahun. Topografi daerah ini terdiri dari 7,29 % berupa dataran dengan lereng 1-8% sedangkan sisanya 92,71 merupakan daerah dengan bentuk wilayah berbukit sampai bergunung dengan lereng 15 – 75 %. (Puslitanak, 1994). Di Daerah DAS Suko seluas 133,8 ha daerah dengan topografi dataran dengan lereng 1-8% meliputi areal seluas 6,3 ha (4,7 %) berbentuk wilayah datar dan 127,5 ha (95.3 %) berbentuk wilayah berbukit dengan lereng > 30 % (Sawiyo et. al,2004). Data curah hujan rata stasiun Arjosari periode 1976-2003 sebesar 2.070 mm/ tahun dengan rata-rata bulan kering (<100 mm) 5 bulan berlangsung mulai Mei s/d September, bulan basah > 200 m terjadi pada bulan Nopember – Maret (BMG, 2003). Musim hujan yang pendek membawa konsekuensi pada musim hujan menyebabkan volume aliran permukaan dan percepatan waktu tempuhnya besar berakibat terjadinya erosi, pencucian hara dan penurunan kesuburan tanah (Gatot Irianto,

2003). Nada yang sama dikemukakan oleh Supirin (2002) aliran permukaan yang tinggi menyebabkan erosi lapisan tanah atas yang subur, sehingga menurunkan kualitas lahan dan kemampuan resapan air. Kondisi tersebut akan menurunkan tingkat kesuburan tanah dan produktivitas lahan yang berdampak terhadap menurunnya produksi dan pendapatan petani.

Teknologi panen hujan dan aliran permukaan dengan membangun dam parit (channel reservoir) berfungsi untuk menampung air hujan dan aliran permukaan (runoff) dengan voleme tertentu pada suatu jalur aliran anak sungai (drainage network). Dam parit tersebut akan menambah daya tampung sungai sehingga dapat menurunkan kecepatan aliran permukaan, erosi dan sedimentasi (Balitklimat 2005). Air yang ditampung tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengairi lahan pertanian disekitarnya, sehingga dapat memperpanjang waktu tanam (Irianto et. al, 2001 dan Karama et. al, 2002). Air yang ditampung dalam dam parit dan didistribusikan ke lahan pertanian memberian kesmpatan air meresap kedalam tanah sehingga dapat menambah cadangan air tanah. Pembangunan dam parit akan lebih efektip apabila dilakukan secara bertingkat (cascade) sehingga makin banyak yang ditampung yang berdampak terhadap makin

Page 14: Vol.2 No.1, 2005

14

berkurangnya laju dan volume aliran permukaan, makin luas areal pertanian yang dapat diari dan makin besar cadangan air tanah di musim kemarau, memperbesar debit aliran dasar sungai sehingga dapat mengurangi kelangkaan air di musim kemarau (Gatot Irianto, 2003).

Beberapa keberhasilan penerapan teknologi dam parit ini telah ditunjukan di Wonosari, Gunung Kidul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, telah dibangun 3 buah dam parit bertingkat yang airnya cukup digunakan untuk mengubah pola tanam dari satu kali padi gogo menjadi dua kali padi sawah dalam satu musim tanam (Irianto et. al, 2001). Sementara itu di Sub DAS Keji, Semarang, Propinsi Jawa Tengah, air yang ditampung oleh dam parit yang dibangun, mampu mempercepat waktu tanam dua bulan, dari waktu tanam awalnya di bulan November menjadi bulan September (Karama et. al, 2002). Di Desa Jogjogan, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor mampu menambah luas areal pertanaman sayuran dari 6-7 ha menjadi 11-13 ha di musim kemarau akibat bertambahnya mata air baru (sawiyo et all 2003).

Pada keadaan air yang terbatas dalam skala jumlah dan waktu, pengaturan pola tanam (jenis, sistem tanam dan waktu tanam) menjadi sangat penting bagi peningkatan produktifitas lahan. Penentuan waktu tanam dengan memperhitungkan resiko kehilangan hasil disertai dengan pengaturan pemberian air irigasi tambahan menjadi kunci kesuksesan bagi peningkatan produksi tanaman dan produktifitas lahan. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan dibahas karakteristik iklim, topografi, tanah, penggunaan lahan di daerah tangkapan air dan derah target irigasi yang berpengaruh terhadap pengembangan dam parit (jumlah, posisi dan dimensi) dan penentuan waktu tanam, skenario pemberian air bagi beberapa pola tanam di Desa Suko, Kecamatan Arjosari, Kabupaten Pacitan.

Tujuan penelitian 1. Mempelajari karakteristik iklim, topografi,

tanah, penggunaan lahan di daerah tangkapan air dan derah target irigasi yang berpengaruh terhadap pengembangan dam parit (jumlah, posisi dan dimensi) di kawa-san Subdas Suko, Kabupaten Pacitan.

2. Mempelajari penentuan waktu tanam, skenario pemberian air irigasi tambahan dan kehilangan hasil pada areal target irigasi dam parit.

Luaran yang diharapkan 1. Informasi tentang karakteristik iklim,

topografi, tanah, penggunaan lahan di daerah tangkapan air dan derah target

i r i gas i yang seb aga i p en en tu pengembangan dam parit (jumlah, posisi dan dimensi) di kawasan Subdas Suko, Kabupaten Pacitan.

2. Informasi tentang waktu tanam dan skena-rio pemberian air yang tepat bagi usaha tani di areal target irigasi DAS Suko.

METODE PENELITIAN

Tempat dan waktu penelitian Penelitian dilakukan di DAS Suko,

Desa Mlati, Kecamatan Arjosari , Kabupaten Pacitan seluas 33,8 ha. Secara geografis terletak diantara 111o 05’ 52,0” sampai 111 o 07’06,9” BT dan antara 08 o 06’ 07,0” sampai 08

o 07’01,7” LS dengan ketinggian tempat antara 70 – 505 m dpl. Jangka waktu penelitian dilakukan pada tahun anggaran (TA) 2004.

Bahan dan peralatan

Bahan dan peralatan yang digunakan dalam penelitian antara lain kompas, GPS, data iklim, data hidrologi dan program analisis neraca air (warm) dan Arc GIS Metodologi Penelitian

Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan dua kegiatan yaitu kegiatan di kantor (desk study) dan kegiatan lapang. 1. Studi di kantor (desk study) meliputi

pengolahan data dan analisis neraca air tanaman, potensi kehilangan hasil dan GIS.

2. Kegiatan lapang meliputi pemetaan topografi, pengamatan (tanah dan penggunaan lahan), pengumpulan data (iklim, hidrologi dan sosial ekonomi).

1. Desk studi meliputi antara lain:

a. Analisis Potensi Air Setelah diketahui, luas wilayah DAS, penggunaan lahan, lereng, karakteristik tanah, dan keadaan curah hujan serta evapotranspirasi maka dapat diprediksi potensi air yang terdapat di kawasan DAS selama musim hujan. Untuk mengetahui potensi air yang dapat dipanen selama musim hujan maka dilakukan pengamatan debit air sungai. Data debit diambil dari data pengukuran di stasiun pengamatan air sungai (SPAS).

b. Analisis Kebutuhan Air Tanaman T a n a m a n d a p a t t u m b u h d a n berproduksi dengan optimal apabila tersedia air cukup. Air bagi tanaman digunakan untuk proses esensial tanaman yaitu untuk asimilasi, respirasi dan translokasi. Terganggunya proses

Page 15: Vol.2 No.1, 2005

15

tersebut akan berdampak terhadap penurunan proses pertumbuhan, produksi bahkan matinya tanaman. Air yang hilang atau lepas dari tanaman respirasi dan dari tanah evaporasi. Menurut Baron et al., 1995) untuk mengetahui t ingkat ketersediaan air bagi tanaman dilakukan dengan membandingkan evapotransipirasi aktual (ETR) dengan evapotransipirasi maksimal ETM. Kebutuhan air maksimum tanaman (ETM) dapat dihitung dengan menggunakan data ETP dan koefisien tanaman. ETP dihitung menggunakan metode Penman-Monteith sebagai berikut:

ETM = Kc X ETP

Sedangkan kebutuhan air aktual tanaman (ETR) dapat dihitung dengan menggunakan persamaan Eagelman yang telah dimodifikasi oleh Forest dan Reyniers dalam CIRAD (2000) seperti berikut:

ETR/ETM = A+B(HR)1+C(HR)2+D(HR)3

dengan:

HR = kelembaban relatif tanah, dihitung dengan menggunakan persamaan:

dengan HM kadar lengas tanah hasil pengukuran di lapangan, HCC lengas tanah pada kapasitas lapang (pF 2,54) dan HPF kadar lengas tanah pada titik layu permanen (pF 4,2). Selanjutnya CIRAD dalam Irianto (2000) menemukan hubungan nilai nisbah ETR/ETM dengan tingkat kebutuhan air tanaman sebagai berikut: ETR/ETM < 0,65 tanaman mulai kekurangan air dan tanaman mulai layu. ETR/ETM < 0,8 tanaman mulai stess ETR/ETM > 1 tanaman kecukupan air s Pada ETR/ETM sama dengan 1 artinya ketersediaan air tidak membatasi proses fisiologis secara maksimal.

c. Defisit Air Tanaman Setiap jenis tanaman mempunyai jumlah kebutuhan air yang berbeda-beda untuk pertumbuhannya. Penentuan defisit air tanaman menggunakan kriteria ETR/ETM untuk tanaman pangan yaitu padi dan jagung mempunyai tiga kelas kriteria yaitu : Klas a : ETR/ETM > 0.8 (tidak ada defisit) Klas b : 0.3<ETR/ETM<0.8 (defisit sedang) Klas c : ETR/ETM < 0.3 (defisit)

( ) ( )HPFHCCHPFHMHR −−= /

2. Studi lapangan Studi lapangan di lakukan untuk menentukan karakteriktik fisik DAS seperti keadaan topografi, penggunaan lahan, tanah, jalur sungai, yang berpengaruh terhadap pengembangan dam parit (jumlah, posisi dan dimensi). a. Keadaan topografi DAS

Keadaan topografi diamati dengan menentukan batas DAS, bentuk wilayah/ lereng dilakukan dengan menggunakan GP dan levelling. Data diperoleh dalam bentukpeta kontur skala 1 : 5.000 sebagai peta dasar untuk peta tematik lainnya.

b. Penggunaan lahan Penggunaan lahan dilakukan dengan mengamati penggunaan lahan daerah tangkapan dan air dan target irigasi. Data disajikan dalam bentuk tabular dan spasial sebagi penentu posisi dan dimensi dam parit.

c. Tanah Pengamatan tanah dilakukan dengan pengamatan bor dan profil pada setiap subgrup tanah dan pengambilan contoh tanah utuh (ring sample) untuk analisis fisika tanah.

d. Jaringan sungai diamati panjang sungai, lebar dasar sungai, bentuk sungai yang akan berperan dalam menentukan kapasitas tampung, air dan volume bangunan dam parit.

Lokasi channel reservoir d i tentukan berdasarkan kondisi jar ingan sungai (drainage network), karakteristik sungai bentuk, panjang dan lebar dasar sungai, keadaan batuan, luas daerah tangkapan air, posisi topografi dan posisi terhadap areal target irigasinya. Berdasarkan data tersebut ditentukan Jumlah dan posisi dam parit serta dimensinya. Dam parit dibangun untuk menampung aliran permukaan dengan volume ter tentu. Bi la vo lume al i ran permukaan melebihi daya tampungnya, maka kelebihan air limpas. Selanjutnya air tersebut akan ditampung di dam parit ke 2 dan seterusnya sehingga terbentuk dam parit bertingkat yang dapat menampung kelebihan air dari bangunan dam parit di atasnya. Air yang tertampung di dam parit merupakan peningkatan daya tampung sungai di musim hujan dapat mengurangi laju aliran permukaan dan mengurangi volume banjir. Peningkatan daya tampung sungai akan menambah areal resapan air sebagai cadangan air di musim kemarau. Dengan membangun jaringan distribusi i r i g a s i a i r d a p a t d i m a n f a a t k a n

Page 16: Vol.2 No.1, 2005

16

untuk ir igasi suplementer bagi tanaman pertanian di musim kemarau, sehingga men ingka tkan ke te rs ed iaan a i r dapa t mengurangi r is iko keker ingan. Dengan pengaturan pola tanam skenario pemberian air suplement yang sesuai dengan kebutuhan

Volume MaksimumChannel Reservoir

Total VolumeTampungan

Debit dan CurahHujan

Daya TampungMikrodas IVolume Runoff

Aliran Permukaanyang ditampung

Aliran PermukaanLimpas (terbuang)

Introduksi PolaTanam dan Luas

Tanam padamicrodas I

ChannelReservoir I

Pengembangan LuasDaerah Irigasi dan Pilihan

Komoditas Mikrodas I

Kebutuhan AirUntuk Pertanian

Mikrodas I

ChannelReservoir II

Total VolumeTampungan

Aliran Permukaanyang ditampung

Kebutuhan AirUntuk Pertanian

Mikrodas II

ChannelReservoir III

dst

Aliran PermukaanLimpas (terbuang)

Introduksi PolaTanam dan Luas

Tanam padamicrodas ii

Pengembangan LuasDaerah Irigasi dan Pilihan

Komoditas Mikrodas II

Gambar 1. Diagram alir tahapan implementasi lapang pembangunan dam parit untuk mengurangi tingkat kekeringan dan banjir

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tulisan ini akan membahas hasil penelitian berupa karakteristik dibahas tentang 1. Karakteristik topografi, tanah, penggunaan

lahan, iklim dan hidrologi di daerah tangkapan air dan derah target irigasi yang berpengaruh terhadap pengembangan dam parit (jumlah, posisi dan dimensi) di kawasan Subdas Suko, Kabupaten Pacitan.

2. Mempelajari penentuan waktu tanam, skenario pemberian air irigasi tambahan dan kehilangan hasil pada areal target irigasi dam parit.

Karakteristik Topografi

Daerah penelitian terletak di SubDAS Suko yang secara administratif terdapat pada 2 desa yaitu Desa Mlati, Kecamatan Arjosari dan Desa Kencana Asri kecamatan Pringkuku,

kabupaten Pacitan, Jawa Timur seluas 133,8 ha. Keadaan topografi didominasi oleh bentuk wilayah berbukit dan hanya sebagian kecil berupa daerah dataran. Keadaan topografi daerah penelitian disajikan pada Gambar 2. Berdasarkan Gambar 2 dapat diketahui bahwa daerah penelitian terdiri dari daerah berbukit dengan lereng 15- 60 % seluas 127,4 ha dan daerah datar seluas 6,3 ha. Daerah berbukit dengan lereng 15 -30 % mempunyai panjang lereng antara 50-100 m sedangkan pada lereng 30-60 % mempunyai panjang lereng > 100 m. Keadaan ini menyebabkan makin kecil kesempatan air masuk ke dalam tanah dan sebagian besar air hujan di transfer menjadi aliran permukaan. Lereng yang panjang dan curam persebt juga berdampak ganda mempercpat aliran permukaan dan memperbesar erosi.

maka pembangunan dam parit dapat meningkatkan waktu tanam, luas areal irigasi dan peningkatan produktivitas lahan. Diagram alir tahapan implementasi lapang pembangunan dam parit untuk mengurangi tingkat kekeringan dan banjir disajikan pada Gambar 1.

Page 17: Vol.2 No.1, 2005

17

Keadaan tanah Tanah di daerah penelitian terdapat di perbukitan volkan dengan lereng terjal dari bahan induk lahar dan tufa volkan dan sebagian kecil lainnya terdapat pada unit fisiografi dataran aluvial dengan lereng datar berkembang dari bahan endapan aluvium. Tanah pada unit fisiografi unit fisiografi perbukitan volkan dari bahan induk lahar dicirikan oleh solum sedang drainase cepat, warna coklat pucat, lempung berpasir, reaksi tanah netral Typic Haplustepts d an T y p i c U s t ho r the n ts . Ta na h y an g berkembang dari bahan induk tufa volkan

terbentuk tanah berdrainase baik, bersolum sedang sampai dalam, warna merah, tektur lempung sampai lempung berpasir, termasuk Typic Dystrstepts. Sedangkan pada dataran aluvial tanahnya berdrainase agak terhambat, solum sedang, warna kelabu, tekstur lempung, reaksi tanah agak masam sampai netral Aeric Endoaquepts. Secara lengkap penyebaran tanah di daerah penelitian disajikan pada Gambar 3. sedangkan legenda peta disajikan pada Tabel 1.

Dam parit

Datar

Desa Kencana Asri

Desa Mlati

Gambar 2. Keadaan topografi daerah penelitian.

Gambar 3 Penyebaran tanah di daerah penelitian

Page 18: Vol.2 No.1, 2005

18

Berdasarkan Gambar 3 dan Tabel 1 tanah di daerah dapat dijelaskan bentuk wilayah dan keadaan tanahnya sebagai berikut: Bentuk wilayah dan tingkat kemiringan lereng daerah penelitian dibedakan ke dalam; 1. Datar 1-3 % lereng bawah, terdapat di

bagian bawah lokasi penelitian di desa Mlati seluas 6,3 ha. Tanahnya mempunyai drainase agak terhambat, solum sedang, warna kelabu, tekstur lempung, reaksi tanah masam (Aeric Endoaquepts). Tanah pada lahan ini digunakan untuk persawahan

2. Berbukit, terjal (30-45 % ) lereng bawah, panjang lereng antara 50 -100m, terdapat dekat dengan jalur sungai digunakan untuk persawahan teras seluas 14,8 ha. Tanahnya berdrainase agak terhambat, solum sedang, tekstur lempung, reaksi tanah agak masam (Aeric Epiaquepts)

3. Berbukit, terjal (30-45 %) lereng atas dan tengah, panjang lereng antara 50 -100 m, digunakan untuk kebun campuran dan ke-bun jati seluas 29,0 ha. Tanahnya ber-drainase cepat, solum sedang, tekstur lem-pung, reaksi tanah masam (Typic Dystrustepts).

4. Berbukit, terjal (40-60 %) lereng tengah dan bawah, panjang lereng 100 – 200 m diguna-kan untuk kebun campuran dan kebun jati seluas 72,3 ha. Tanahnya berdrainase ce-pat, solum sedang, tekstur lempung ber-pasir dan lempung, reaksi tanah masam (Typic Usthorthents dan Typic Dystrustepts).

Keadaan tanah di daerah penelitian umumnya bersolum sedang dan tekstur relatif kasar. Den-gan lereng (tingkat kemiringan terjal dan pan-jang lereng > 100 m) merupakan keadaan yang menyebabkan air hujan yang jatuh sebagian besar ditransfer menjadi aliran permukaan. Un-tuk itu modifikasi karakteristik lereng dengan pembuatan teras sangat diperlukan untuk memotong tingkat kemiringan dan panjang ler-eng sangat diperlukan. Hal tersebut dimaksud-kan untuk memberi kesempatan bagi air hujan untuk meresap kedalam tanah, sehingga dapat mengurangi laju aliran permukaan dan erosi. Penggunaan lahan

Keadaan penggunaan lahan perlu diketahui untuk menentukan posisi dan dimensi pembangunan dam parit dalam hubungannya dengan luas daerah tangkapan, luas areal target irigasi dan pola tanamnya. Penggunaan lahan daerah penelitian didominasi oleh kebun cam-puran dengan jenis tanaman antara tanaman pangan, hortikultura dan tanaman kayu seluas 57,0 ha hutan jati seluas 52,57 ha, sawah se-luas 21,61 ha, kampung dan pekarangan seluas 2,35 ha dan kebun bambu 0,23 ha. Kebun cam-puran yang terdapat pada lereng terjal dilakukan dengan pembuatan teras, namun pengolahan lahan yang dilakukan tiap tahun untuk persiapan tanam tanaman semusim sangat menghawati-kan terjadinya erosi. Hutan jati ditanam pada daerah dengan lereng > 30 %, pada umumnya ditanam secara tumpang sari dengan jenis.

Tabel 1 Legenda peta tanah

No

Unit Fisiografi

Bentuk Wilayah Lereng Bahan

Induk Klasifikasi Penggunaan Lahan

Luas (ha)

Luas (%)

1 Dataran aluvium

Agak datar

Datar 1-3 % Aluvium Aeric Endoaquepts

Typic Dystrustepts Sawah & kebun campuran 6,3 4,72

2 Perbukitan volkan Berbukit bawah

30-45 % Tufa Andesit

Aeric Epiaquepts Sawah 14,8 11,09

3 Perbukitan volkan Berbukit

Tengah & bawah 40-60 %

Tufa Andesit

Typic Ustorthents

Kebun campuran dan kebun jati 10.0 7,44

4 Perbukitan volkan Berbukit Atas

30-45 % Tufa Andesit

Typic Dystrustepts

Kebun campuran kebun jati 12,6 9,42

5 Perbukitan volkan Berbukit Atas

30-45 % Tufa Andesit

Typic Dystrustepts

Kebun campuran dan kebun jati 25,4 18,98

6 Perbukitan volkan Berbukit

Tengah & bawah 40-60 %

Tufa & breksi

Typic Dystrustepts

Kebun campuran dan kebun jati 62,3 46,47

Jumlah 133,8 100,0

Page 19: Vol.2 No.1, 2005

19

pohon kayu yang cepat tumbuh/ berproduksi seperti akasia. Dengan demikian kepadatan tanaman hutan ini cukup padat dan dapat

HJ

HJ

SwJ

HJ

KC

SwJ

SwJ

SwJ

SwJ

SwJ

Gambar 4. Gambaran umum Penggunaan lahan di daerah penelitian.

Lahan sawah berteras di lereng bawah yang terdapat di kiri-kanan jalur sungai seluas 14,8 ha me-rupakan areal yang target irigasi selain lahan sawah di daerah datar.

mengurangi erosi secara baik. Gambaran peng-gunaan lahan daerah penelitian disajikan pada Gambar 4.

Karakteristik iklim Keadaan iklim suhu udara, kelembaban

nisbi udara.dan evapotranspirasi daerah peneli-tian didapat dari Stasiun Arjosari selama 7 ta-hun 1995-2003 dan data curah hujan rata-rata selama 28 tahun 1976-2003. Suhu udara mak-simum rata-rata bulanan berkisar antara 29.3 – 30,7 oC, suhu minimum rata-rata berkisar antara 14,9 – 15,3 oC dan suhu udara rata-rata berk-isar antara 21.4 – 22,8 oC. Kelembaban nisbi udara berkisar antara 83,9 - 97,8 %. Jumlah curah hujan tahunan sebesar 2.070 mm dengan 5 bulan kering terjadi Mei – September dan 5 bulan basah (Nopember-Maret). Jumlah evapotranspirasi total sebesar 1.406 mm/ tahun dengan kejadian hujan selama 109 hari.

Jumlah curah hujan rata-rata tahunan adalah 2.070 mm, umumnya berkisar antara 1500-2500 mm. Curah hujan tahunan kurang dari 1500 mm dalam kurun waktu 28 tahun terjadi 3 kali yaitu tahun 1976, 1982 dan 1997, tahun terkering yaitu 1997 dengan CH tahunan sebesar 945 mm. Jumlah bulan kering (<100 mm) rata-rata adalah 5 bulan mulai bulan Mei – Nopember, bulan basah selama 5 bulan mulai Nopember - Maret. Data iklim rata-rata bulanan stasiun Arjosari disajikan pada Tabel 1.

Periode bulan kering selama periode 28 tahun maka jumlah bulan kering < 5 bulan lebih dominan, namun setelah tahun 1990 bulan kering > 5 bulan/tahun lebih dominan, hal ini menunjukan bahwa telah terjadi pergeseran distribusi curah hujan kearah lebih kering. Berdasarkan sistem klasifikasi Oldeman, wilayah ini memiliki tipe iklim C3, dimana panjang masa pertumbuhan maksimal hanya 7 bulan saja. Pada tipe iklim C3, dalam setahun hanya bisa bertanam padi satu kali, sedangkan waktu tanam palawija yang ke dua harus dilakukan dengan cermat agar tidak kekeringan. Karakteristik hidrologi daerah penelitian Ka rak te r i s t i k sunga i d i dae rah penelitian ditandai dengan bentuk tebing kiri-kanan sungai yang curam dengan gradient yang besar dan beberapa tempat terdapat terjunan air dan tidak dijumpai tanggul sungai. Secara keseluruhan Sungai Suko tergolong ke dalam orde 3 dan mempunyai kurang lebih 12 anak sungai orde 2.(Gambar 1). Debit air besar sesaat setelah hujan namun dalam waktu 2-3 jam air tersebut seakan habis terbuang. Debit

Page 20: Vol.2 No.1, 2005

20

Bulan Curah Hujan

Hari hujan ETP

Suhu udara Kelembaban udara Max min rata2

Mm hari mm oC oC oC % Jan 384 17,9 123 30.0 15.1 22.8 97.6 Peb 328 16,3 107 30.7 15.0 21.4 83.9 Mar 314 13,1 116 30.2 15.0 22.7 97.7 Apr 184 13,1 121 30.2 15.1 22.2 97.8 Mei 75 4,9 112 30.2 14.9 22.7 97.8 Jun 75 4,5 114 30.2 15.1 22.2 97.6 Juli 34 2,7 132 29.9 15.0 22.5 97.8 Agt 19 1,9 141 29.8 14.9 22.5 97.7 Sept 28 2,5 134 29.9 15.1 21.7 97.8 Okt 130 5,4 110 29.3 14.9 22.4 97.6 Nop 234 12,5 98 29.6 15.2 22.1 97.5 Des 266 14,3 99 30.0 15.2 22.6 97.9

Jumlah/ Rataan 2.070 109,0 1.406 30.0 15.0 22.3 96.6

rata-rata sungai Suko di musim hujan sebesar 0.3 m3/detik di musim hujan sedangkan di musim kemarau (Juli-September) debit air sungai Suko sangat kecil atau kering, air yang keluar dari beberapa mata air hanya dapat

mengalir sampai beberapa puluh meter saja. Air ini dimanfaatkan petani untuk mengairi areal pertanaman disekitarnya. Keadaan air sungai Suko di musim kemarau disajikan pada Gambar 4.

Sumber : Data curah hujan stasiun Arjosari dari tahun 1976-20

Gambar 4. Keadaan air S. Suko di Desa Mlati, Kec. Arjosari, Kabupaten Pacitan di musim kemarau (bulan September).

Tabel. 1

Page 21: Vol.2 No.1, 2005

21

keperluan domestik dengan memasang selang air sampai ke rumah penduduk. Beberapa diantaranya dipergunakan untuk pertanian walaupun dalam areal yang sangat sempit. Gambaran hubungan antara curah hujan dan debit aliran harian Sungai Suko disajikan pada Gambar 5.

Berdasarkan data debit harian Sungai Suko aliran sungai terjadi selama 8 bulan Desember- Agustus sedangkan aliran air akan habis pada minggu ke 4 bulan Agustus sampai akhir Nopember (Balai Pengelolaan DAS Solo, 2002). Selama bulan September s/d Nopember aliran air sungai ini hanya berasal dari beberapa mata air dan digunakan penduduk untuk

Curah hujan dan debit sungai

0

500

1000

1500

2000

2500

3000

1/1/20

02

2/1/20

02

3/1/20

02

4/1/20

02

5/1/20

02

6/1/20

02

7/1/20

02

8/1/20

02

9/1/20

02

10/1/

2002

11/1/

2002

12/1/

2002

Waktu

Debi

t sun

gai (

lt/dt

)

0

50

100

150

200

250

CH (mm)

DAH (lt/dt)

Gambar 5. Diagram hubungan curah hujan (mm) dan debit sungai harian (l/dt) Sungai Suko.

Berdasarkan Gambar 5 dapat diketahui bahwa curah hujan yang terjadi mulai bulan Nopember diikui oleh aliran air sungai dengan debit kurang dari 500 lt/ detik (<0,5m3/dt). Debit aliran lebih dari 1000 l/dt ( 1 m3/ dt terjadi mulai pertengahan bulan Januari sampai pertengahan bulan Juni, yang kemudian debit aliran berangsur mengecil dan pada awal bulan September debit air sangat kecil dan mengering sampai akhir bulan Nopember. Per iode September – Nopember inilah yang merupakan waktu krisis kelangkaan air di kawasan DAS Suko. Teknologi dam parit pada keadaan ini d iper lukan untuk mengurangi per iode kelangkaan air dengan tampungan air yang ada di dalam dam parit dan air yang meresap di dalam tanah sebagai cadangan air tanah. Pada pertengahan bulan Maret dan akhir bulan April

terjadi kenaikan debit yang cukup signifikan dibandingkan dengan jumlah curah hujannya. Hal ini disebabkan kemungkinan oleh terjadinya hujan dalam waktu yang singkat hanya dalam beberapa jam saja sehingga sebagian besar curah hujan ditransfer menjadi aliran permukaan. Teknologi dam parit pada saat ini berfungsi untuk mengurangi waktu terjadinya banjir dan mengurangi volume banjir dengan menyimpan air dalam dam dan memberikan kesempatan air meresap ke dalam tanah.

Posisi dan dimensi Dam Parit di S. Suko Berdasarkan karakteristik topografi, tanah, penggunaan lahan, iklim dan hidrologi maka ditentukan jumlah, posisi dan dimensi dam parit yang dapat dikembangkan di DAS Suko seperti berikut ini.

Page 22: Vol.2 No.1, 2005

22

Tabel 2. Luas DTA, target irigasi posisi dan daya tampung dam parit

No

Luas DTA (ha)

Luas Target (ha)

Posisi Daya Tampung (m3) Kampung Desa, Kecamatan

1 11.23 2.1 Tumpak Taman Asri, Pringkuku 150 2 23.50 2,4 Tumpak Taman Asri, Pringkuku 300 3 21.05 2.2 Ledok Mlati, Arjosari 150 4 25.43 2,5 Gilang Mlati, Arjosari 300 5 28.76 2,4 Gilang Mlati, Arjosari 300 6 7.02 3.2 Krajan Mlati, Arjosari 300 7 10.52 6,3 Suko Mlati, Arjosari 150

Jumlah 127.50 21.1 Dam Parit 1 : Terdapat di Kampung Tumpak,

Desa taman Asri Kecamatan Pringkuku. Daerah tangkapan air ini mempunyai topografi berbukit lereng terjal seluas 11,23 ha, penggunaan lahan berupa kebun campuran dan hutan jati, sedangkan daerah target berupa sawah se l uas 2 ,1 ha . Berdasarkan karak ter is t ik penampang sungainya dapat dibangun dam dengan daya tampung 150 m3.

Dam Parit 2 : Terdapat di Kampung Tumpak, Desa taman Asri Kecamatan Pringkuku. Daerah tangkapan air ini mempunyai topografi b e r b u k i t l e r e n g t e r j a l , penggunaan lahan berupa kebun campuran dan hutan jati seluas

23,50 ha, sedangkan daerah

target berupa sawah seluas 2,4 ha. Berdasarkan karakteristik penampang sungainya dapat dibangun dam dengan daya tampung 300 m3.

Dam Parit 3 : Terdapat di Kampung Ledok, Desa Mlati, Kecamatan Arjosari. Daerah tangkapan air ini mempunyai topografi berbukit lereng terjal, penggunaan lahan berupa kebun campuran dan hutan jati seluas 21,05 ha, sedangkan daerah target berupa sawah seluas 2,2 ha dan keperluan domestik kampung Ledok. Berdasarkan karakteristik penampang sungainya dapat dibangun dam dengan daya tampung 150 m3.

Dam Parit 4 : Terdapat di Kampung Gilang,

Desa Mlati, Kecamatan Arjosari. Daerah tangkapan air ini mempunyai topografi berbukit lereng terjal, penggunaan lahan berupa kebun campuran seluas 25,43 ha, sedangkan daerah target berupa sawah seluas 2,5 ha dan keperluan domestik kampung Gilang. Berdasarkan k a r a k t e r i s t i k p e n a m p a n g sungainya dapat dibangun dam dengan daya tampung 300 m3.

Dam Parit 5 : Terdapat di Kampung Gilang, Desa M la t i , Kecama tan Arjosari.Daerah tangkapan air ini mempunyai topografi berbukit lereng terjal, penggunaan lahan berupa hutan jati dan kebun campuran seluas 28,76 ha, sedangkan daerah target berupa sawah seluas 2,4 ha dan keperluan domestik kampung Gilang. Berdasarkan karakteristik penampang sungainya dapat dibangun dam dengan daya tampung 300 m3.

Dam Parit 6 : Terdapat di kampung Krajan, Desa Mlati, Kecamatan Arjosari. Daerah tangkapan air ini mempunyai topografi berbukit lereng terjal, penggunaan lahan berupa hutan jati dan kebun campuran seluas 7,02 ha, sedangkan daerah target berupa sawah seluas 3,20 ha. Berdasarkan karak ter is t ik penampang sungainya dapat dibangun dam dengan daya tampung 300 m3

Dam Parit 7 : Terdapat di kampung Suko, Desa Mlati, Kecamatan Arjosari. Daerah tangkapan air ini

Page 23: Vol.2 No.1, 2005

23

mempunyai topografi berbukit lereng terjal, penggunaan lahan berupa hutan jati dan kebun campuran seluas 10,52 ha, sedangkan daerah target berupa sawah seluas 6,30 ha.

Berdasarkan karak ter is t ik penampang sungainya dapat dibangun dam dengan daya tampung 150 m3. Penyebaran posisi dam parit pada DAS Suko di sajikan pada Gambar 6.

Posisi Pengembangan dam parit di DAS Suko

1 1 4

3

2

7 6 5

Gambar 6. Penyebaran posisi dam parit di DAS Suko.

Sistem Usahatani Air merupakan kendala utama dalam

pelaksanaan usaha tani di daerah ini, sehingga penambahan ketersediaan air dalam skala jum-lah dan waktu akan berpengaruh langsung ter-hadap peningkatan produktifitas lahan. Ada air ada beras (Irianto 2003) pernyataan tersebut sangat sesuai dengan kondisi daerah penelitian yang sebagian besar masyarakatnya bermata pencaharian sebagai petani, air sangat diperlu-kan untuk proses produksi pertanian. Berdasar-kan ketersediaan sumber air dari sungai Suko hanya mampu menjamin pola tanam padi-palawija–bera di daerah target irrigasi dan han-ya beberapa tempat yang mempunyai pola usaha tani padi-padi-palawija, yaitu pada dae-rah hulu yang dekat dengan sungai.

Pengaturan waktu tanam dan skenario pem-berian air irigasi suplemen Pola tanam dimaksudkan untuk menga-tur jadwal dan jenis tanaman yang akan ditanam dengan memperhitungkan dukungan sumberdaya air yang tersedia. Dalam menentu-

kan jenis tanaman dan waktu tanam harus diperhatikan kecukupan air untuk tanaman yang dapat dianal isis melalui neraca air dan kebutuhan air tanaman (Balitklimat 2003). Berdasarkan pengamatan lapang pola tanam dominan di daerah target ir igasi adalah padi-palawija (jagung, kacang tanah)-bera. Berdasarkan hubungan antara % kehi-langan hasil dan nisbah antara ETR/ETM diketahui bahwa bahwa tanaman padi tanpa irigasi dapat terjamin kecukupan kebutuhan air hanya berlangsung antara tanggal 1 Desember sampai 11 Pebruari selama kurang lebih 70 hari. Dengan demikian maka penanaman padi di daerah penelitian tanpa pemberian air irigasi suplement mempunyai tingkat produksi rendah, oleh karna itu pemberian air irigasi sangat diperlukan walaupun pada musim penghujan.

Skenario pemberian air suplemen ter-hadap tanaman dilakukan berdasarkan jumlah perhitungan umur tanaman jumlah kebutuhan air tanaman dan potensi kehilangan hasil. Kebutuhan air irigasi tambahan tanaman padi yang ditanam pada tanggal 1 Desember ini adalah 247 m3 . Untuk tanaman padi dengan waktu tanam akhir Nopember memerlukan

Page 24: Vol.2 No.1, 2005

24

Tanggal tanam

Jumlah Irigasi (mm) Penurunan Produksi

(%)

Penurunan Hasil Dengan irigasi tambahan

(% dari kebutuhan) Tanpa irigasi

Fase pertumbuhan

tanaman 100 75 50 25

Padi 12-Nov Jumlah Irigasi (mm) 228,8 171,6 114,4 57,2 0 Penurunan Hasil (%) 0 6 21 40 59 Vegetatif 27 Nov Jumlah Irigasi (mm) 176,8 132,6 88,4 44,2 0 Penurunan Hasil (%) 0 4 18 35 45 Vegetatif 12 Des Jumlah Irigasi (mm) 195,8 146,9 97,9 49,0 0 Penurunan Hasil (%) 0 0 12 20 29 Vegetatif Jagung 2 Maret Jumlah Irigasi (mm) 269,2 201,9 134,6 67,3 0 Penurunan Hasil (%) 0 2 11 23 31 Pengisian buah 17 Maret Jumlah Irigasi (mm) 287,9 215,9 143,9 74,0 0 Pembungaan dan Penurunan Hasil (%) 0 4 11 25 36 Pengisian buah 1 April Jumlah Irigasi (mm) 279,8 209,9 139,9 70,0 0 Pembungaan dan Penurunan Hasil (%) 0 4 14 26 40 Pengisian buah Kacang tanah 2 Maret Jumlah Irigasi (mm) 284,9 213,6 142,4 71,2 0 Penurunan Hasil (%) 0 4 17 30 41 Pembungaan 17 Maret Jumlah Irigasi (mm) 315,7 236,8 157,8 78,9 0 Pembungaan dan Penurunan Hasil (%) 0 4 12 24 39 Pengisian polong 1 April Jumlah Irigasi (mm) 285,6 214,2 142,8 71,4 0 Pembungaan dan Penurunan Hasil (%) 0 4 17 37 55 Pengisian polong

Tabel 3. Skenario pemberian air suplemen untuk beberapa jenis tanaman dan tanggal tanam dan prediksi penurunan hasil

tambahan air sebanyak 176 m3. Diperlukan pemberian untuk masa pertumbuhan 1,8 l/detik/ha dan pada masa pengisian bulir dan pemasakan hanya memerlukan tambahan air sebasar 0,08 l/detik air untuk tanaman padi MP. Sedangkan untuk tanaman jagung yang ditanam pada awal Pebruari (MK1) memerlukan

air 97,9 m3 diberikan pada masa pertumbuhan pembungaan 2,145 l/detik dan pada waktu pemasakan 1,74 l/detik Skenario pemberian air irigasi dan potensi tingkat kehilangan hasil untuk beberapa waktu tanam disajikan pada Tabel 3.

Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa waktu tanam padi yang terbaik di wilayah target irigasi adalah setelah minggu I bulan Nopember, karena mempunyai resiko kehilangan hasil yang terkecil. Setelah padi dapat ditanami jagung dan kacang tanah dengan masa tanam awal Maret sampai akhil bulan Maret dengan demikian panen akan berlangsung bulan Juli-Agustus. Pada bulan Agustus keadaan air di sungai suko sudah kering sehingga tidak mungkin menanam tanaman palawija karena resiko khilangan hasil mencapai lebih 60%.

KESIMPULAN 1. Daerah penel i t ian merupakan suatu

kawasan DAS yang didominasi areal dengan bentuk wilayah berbukit, tanah bertekstur agak kasar sampai kasar

mempunyai curah hujan 2070 mm/tahun dengan bulan kering 5 bulan termasuk wilayah rawan kekeringan

2. berdasarkan karakteristik DAS Suko, DTA dan areal targetnya dapat dibangun 7 unit dam parit dengan kapasitas tampung antara 150- 300 m3

3. Pembangunan dam parit dengan kapasitas 150 m3 yang dilengkapi dengan saluran irigasi dapat menjamin ketersediaan air untuk 1 kali padi dan 1 x palawija pada lahan seluas kurang lebih 4,2 ha.

4. Jadwal tanam tanaman padi dalam kaitannya antara ketersediaan air dan pergiliran tanaman dengan palawija adalah 27 November s/d 12 Desember, sehingga tanam jagung/kacang tanah dapat dilakukan pada tanggal 2 s/d 17 Maret.

Page 25: Vol.2 No.1, 2005

25

PENDAHULUAN

Kekeringan merupakan fenomena alam yang berkaitan dengan iklim khususnya curah hujan. Kekeringan di suatu kawasan terjadi karena distribusi spasial curah hujan yang tidak merata sepanjang tahun yang mengakibatkan terjadinya kekurangan air baik untuk keperluan pertanian maupun domestik. Pada sektor pertanian kekeringan akan berdampak luas terutama terhadap pola tanam, penurunan hasil maupun kegagalan panen. Sedangkan bagi sektor domestik baik rumah tangga maupun industri menyebabkan terjadinya kelangkaan bahan baku air bersih baik yang berasal dari air permukaan maupun air tanah.

Ketersediaan air adalah salah satu faktor pembatas utama bagi produksi kelapa sawit terutama pada masa pembungaan (Subronto dan Edy S., 1999). Kekeringan menyebabkan penurunan laju fotosintesis dan distribusi asimilat terganggu, dan berdampak negatif pada pertumbuhan tanaman baik fase

PENGELOLAAN AIR DENGAN TEKNOLOGI DAM PARIT UNTUK KEPERLUAN IRIGASI BAGI TANAMAN KELAPA SAWIT DI PTPN CIMULANG, BOGOR

Kharmila Sari H, Sawiyo

Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

ABSTRAK Pengelolaan air untuk penanggulangan kekeringan di perkebunan kelapa sawit dilakukan dengan mempertimbangkan aspek sumberdaya lahan dan iklim. Pengelolaan air secara terpadu bisa dilakukan dengan menyimpan air yang berlebihan pada musim penghujan dalam dam parit (channel reservoir) atau embung (on farm reservoir) untuk dapat dimanfaatkan pada musim kemarau. Penelitian ini bertujuan untuk mengoptimalkan penggunaan sumberdaya air melalui panen hujan dan aliran permukaan dengan menggunakan teknologi dam parit untuk menjamin ketersediaan air bagi pertanaman kelapa sawit dan mengkaji jumlah dan waktu pemberian air irigasi suplementer yang sesuai dengan kebutuhan tanaman kelapa sawit. Pengelolaan air dengan pemanfaatan dam parit dilakukan di perkebunan kelapa sawit PTPN VIII Cimulang pada bulan Juli – November 2004. Kekurangan dan kelebihan air di kawasan perkebunan dihitung menggunakan analisis neraca air dengan parameter data curah hujan dan evapotranspirasi lima tahun terakhir (2000-2004). Pengelolaan air dilakukan dengan menampung kelebihan air melalui pembangunan dam parit, yang akan didistribusikan pada saat tanaman mengalami kekurangan air di musim kemarau. Potensi air yang dapat ditampung oleh suatu dam parit diperhitungkan dengan potensi kelebihan air dan luas areal tangkapannya. Kebutuhan air tanaman dilihat dari simulasi neraca air tanaman dengan parameter iklim, umur tanaman, tinggi tanaman, kandungan lengas tanah (pF2) dan titik layu permanen (Pf4.2). Hasil analisis distribusi curah hujan dan evapotranspirasi lima tahun terakhir menunjukkan bahwa daerah penelitian mengalami defisit air 2 – 3 bulan dalam satu tahun. Pada bulan-bulan basah surplus air cukup besar sehingga aliran permukaan yang ada perlu di tampung agar dapat dimanfaatkan pada saat terjadi defisit air. Volume air yang dapat ditampung oleh dam parit adalah 137 m3 dan ini diharapkan dapat digunakan untuk mengairi tanaman kelapa sawit pada saat terjadi defisit air. Hasil simulasi kebutuhan air tanaman kelapa sawit menunjukkan bahwa satu tanaman membutuhkan rata-rata air sekitar 10 mm perhari atau 10 liter/m2. Kata kunci : Dam Parit, Irigasi, Kelapa Sawit

vegetatif maupun fase generatif. Pada fase vegetatif kekeringan pada tanaman kelapa sawit ditandai oleh kondisi daun tombak tidak membuka dan terhambatnya pertumbuhan pelepah. Pada keadaan yang lebih parah kekurangan air menyebabkan kerusakan jaringan tanaman yang dicerminkan oleh daun pucuk dan pelepah yang mudah patah. Pada fase generatif kekeringan menyebabkan terjadinya penurunan produksi tanaman. Hal ini disebabkan terhambatnya pembentukan bunga, meningkatnya jumlah bunga jantan, pembuahan terganggu, gugur buah muda, bentuk buah kecil dan rendemen minyak buah rendah, (Darmosarkoro, et. Al, 2001). Lebih lanjut dikatakan bahwa kekeringan yang terjadi pada fase I (inisial pembentukan bunga) menyebabkan penurunan hasil sebesar 21-32 %, bila kekeringan terjadi sampai fase II (pembentukan perhiasan bunga) menyebabkan penurunan hasil sebesar 33-44 %, fase III (diferensiasi pembentukan sex) menyebabkan penurunan hasil sebesar 44-53 % dan bila

Page 26: Vol.2 No.1, 2005

26

sampai fase IV (antesesis) penurunan hasil dapat mencapai sebesar 54- 65 % (Harahap, et. Al, 1998).

Tanaman kelapa sawit merupakan tanaman berumur panjang sehingga dampak kekeringan tidak hanya berdampak pada tahun terjadinya kekeringan, namun dampak tersebut

sampai 2-3 tahun setelah terjadi kekeringan. Berdasarkan hasil penelitian dampak kekeringan dengan tingkat devisit air 500-600 mm pada berbagai tingkat umur di Propinsi Lampung terhadap penurunan produksivitas berbagai umur tanaman kelapa sawit tercantum dalam tabel 1.

Umur tanaman (tahun)

Tahun setelah kekeringan

Penurunan produktivitas (%)

Kerugian secara ekonomis (Rp)

4 – 6 Pertama Kedua Ketiga

15 – 20 - -

750.000,-

7 – 12 Pertama Kedua Ketiga

35 – 45 20 – 40 5 – 10

3.800.000,-

13 – 20 Pertama Kedua Ketiga

20 – 25 0 – 5

10 – 15

1.900.000,-

> 20 Pertama Kedua Ketiga

15 – 20 -

15 – 25

1.140.000,-

Pengelolaan air untuk penanggulangan kekeringan di suatu kawasan perkebunan kelapa sawit dilakukan dengan mempertimbangkan aspek sumberdaya lahan, dan iklim untuk menghasilkan model pengelolaan air yang tepat. Dengan mempertimbangkan aspek tersebut dapat dibangun prototype model penanggulangan kekurangan air di suatu kawasan DAS yang berbasis tanaman kelapa sawit dan menjamin pertumbuhan tanaman. Pengelolaan air secara terpadu (integrated water management) dengan menyimpan air yang berlebihan pada musim penghujan dalam dam parit (channel reservoir) dan atau embung (on farm reservoir) untuk dapat dimanfaatkan pada musim kemarau . Dam parit (channel reservoir) merupakan salah satu teknologi yang dapat memanen aliran permukaan (runoff) serta meningkatkan aliran dasar (base flow) sehingga dapat menstabilkan debit sungai. Dam parit dibangun mengikuti jaringan drainase yang telah ada sehingga tidak banyak mengurangi lahan pertanaman.

Dam parit dibangun untuk menambah kapasitas daya tampung sungai melalui bangunan dam sehingga dapat meningkatkan kadar air tanah (ground water) dan air permukaan yang bermanfaat untuk pertanaman. Peningkatan kadar air tanah dapat menjadi sumber terbentuknya mata air baru yang pada musim kemarau dapat menstabilkan debit sungai. Ini akan berdampak terhadap luas dan kontinuitas areal pertanaman yang diairi. Dam

Sumber : Darmosarkoro, et. al, 2001.

parit yang dibangun secara bertingkat akan makin nampak dampak positipnya karena dam parit yang ada dibawahnya dapat menampung kelebihan air yang tidak dapat ditampung oleh dam parit diatasnya.

Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengoptimalkan penggunaan sumberdaya

air melalui panen hujan dan aliran permukaan dengan menggunakan teknologi dam parit untuk menjamin ketersediaan air bagi pertanaman kelapa sawit.

2. Mengkaji jumlah dan waktu pemberian air irigasi suplementer yang sesuai dengan kebutuhan tanaman kelapa sawit.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di perkebunan kelapa sawit, Cimulang PTPN VIII, yang secara administrasi termasuk kedalam Kecamatan Cibungur, Kabupaten Bogor, dengan jangka waktu penelitian dari Juli-Desember 2004. Bahan yang digunakan yaitu: Data iklim, tanah dan hidrologi, bahan bangunan untuk pembangunan dam parit sedangkan peralatan yang digunakan meliputi: Software GIS untuk delineasi DAS, menghitung luas penggunaan lahan dan identifikasi jaringan hidrologi, ring sampel untuk pengambilan contoh tanah, Global Positioning System (GPS), dan Theodolit.

Page 27: Vol.2 No.1, 2005

27

Kegiatan penelitian dilakukan dalam dua tahap yang keduanya saling melengkapi yaitu Desk work dan kegiatan lapang 1. Desk work, pada kegiatan ini dilakukan

analisis potensi sumberdaya air di beberapa Sub DAS di areal perkebunan kelapa sawit Cimulang, analisis bentuk wilayah dan lereng, serta jaringan hidrologi berdasarkan peta topografi, analisis neraca air tanaman untuk mengetahui kebutuhan air tanaman kelapa sawit.

2. Kegiatan lapang, kegiatan ini dilakukan untuk memperoleh data pengukuran dan dimensi debit, validasi deliniasi bentuk wilayah, lereng dan jaringan hidrologi, data tanah, tanaman, dan iklim untuk analisis neraca air tanaman, data bentuk aliran sungai dan luasan sungai untuk penentuan lokasi bendung.

Identifikasi dan Karakterisasi Wilayah

Penelitian

Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui kondisi wilayah penelitian, dengan cara melakukan delineasi wilayah DAS dan pemetaan topografi. Data iklim dan hidrologi digunakan sebagai komponen penyusun neraca air lahan untuk mengetahui periode defisit dan surplus air yang terjadi. Data karakteristik tanah

Dan tanaman digunakan sebagai input parameter untuk menghitung kebutuhan air tanaman.

Penentuan Letak dan Dimensi Channel

Reservoir Dimensi reservoir ditetapkan berdasar-kan estimasi jumlah curah hujan dan aliran per-mukaan yang dapat dipanen dan jumlah defisit air untuk kondisi wilayah tersebut (Karama, et.al, 2002). Besarnya volume air yang dapat dipanen dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut:

V = A x R x Cr

dengan : V = Volume air yang dapat di panen m3 A = Luas daerah tangkapan m2 R = Curah hujan tahunan mm Cr = koefisien aliran permukaan

Tahapan berikutnya adalah menentukan desain reservoir. Lokasi yang dipi-lih merupakan saluran drainase atau anak sungai dengan lebar penampang yang men-yempit. Lokasi pembangunan reservoir ditetap-kan pada saluran drainase atau anak sungai sempit yang memiliki banyak sungai ber-orde 1 (Gambar 1). dengan pertimbangan sebagai beri-kut (Irianto, et. al, 2001).

Papan yang dapatdinaikturunkan

Spillway

Lokasi ReservoirArah Penyempitan Saluran

Gambar 1. Konstruksi bangunan reservoir

• Volume air yang dapat ditampung cukup besar,

• Biaya pembuatan bangunan bendungannya relatif lebih murah

Jumlah reservoir yang dibangun akan ditetap-kan berdasarkan kebutuhan air yang diperlukan.

Estimasi potensi kebutuhan air

Analisis neraca air tanaman digunakan untuk menentukan kebutuhan air tanaman

kelapa sawit. Pada prinsipnya metode ini dilakukan untuk mengetahui potensi kehilangan hasil tanaman digunakan nisbah ETR/ETM menurut FAO, dengan metode seperti yang disajikan dalam Gambar 2. Dengan teknik iterasi akan dicari volume dan interval irigasi yang harus ditambahkan agar hasil akhir dari pertanaman memiliki nisbah ETR/ETM < 0,2. Untuk mendapatkan kebutuhan air tanaman kelapa sawit dalam satu DAS, diperlukan pendataan luasan daerah target irigasi dan waktu terjadinya kekurangan air.

Page 28: Vol.2 No.1, 2005

28

Keterangan: TAW = Kandungan air tanah (Kapasitas Lapang

– Titik Layu Permanen) SWC = Kandungan air tanah, bisa mengalami

penambahan jika ada hujan ataupun irigasi

ETo = Evapotranspirasi potensial ETR = Evapotranspirasi aktual Kc = Koefisien tanaman MAW= Jumlah air maksimum yang dapat diman-

faatkan tanaman

TAW = KAKL - KATLP

MAW = TAW x kedalaman akar = SWC

SWCi = SWC + CH SWCi =SWC

Jika tidak ada CH Jika ada CH

MAW*p)(1

SWCKs−

= Ks = 1

Jika = 1 Jika < 0

SWCi+1 = SWCi - ETR

ETM = ETo x Kc ETR = ETM x Ks

nologiperfase.fe

ETMETR

∑∑

Potensi kehilangan hasil ditentukan

dengan metode Doorenbos, 1979

SWC/MAW

Loop s/d 1 siklus ta-

naman

A

B

Gambar 2. Model neraca air menurut FAO (Allen et. al, 1998),

Ks = Koefisien stress tanaman terhadap air

(faktor reduksi transpirasi) yang besarnya antara 0-1 dan tergantung pada ketersediaan air

P = Batas toleransi kandungan air tanah, pada saat tanaman mulai mengalami reduksi transpirasi.

A = satu siklus tanaman

B = fase fenologi

Page 29: Vol.2 No.1, 2005

29

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan topografi wilayah penelitian

Berdasarkan hasil pengukuran dengan menggunakan theodolit keadaan topografi daerah penelitian dapat dibedakan ke dalam 4 kelas lereng yaitu: 1. Lereng 0 - 3% terdapat pada daerah sempit

di bagian bawah seluas 1,3 ha 2. Lereng 3 - 8% terdapat dibagian tengah

daerah penelitian, bagian kiri dan kanan sungai seluas 7.8 ha. Lahan ini merupakan lahan target irigasi

3. Lereng 8 - 15% terdapat di bagian Selatan daerah penelitian dengan luas 1,8 ha

4. Lereng 15 - 25% terdapat di bagian Barat laut dan merupkan kawasan daerah tangkapan hujan yang masuk ke dalam dam seluas 4,3 ha.

Karakteristik Tanah

Tanah di daerah penelitian terbentuk dari bahan induk tufa intermedier dan batuan andesit. Bentuk wilayah di daerah penelitian termasuk berombak sampai bergelombang dengan lereng antara 3-25%. Dari bahan induk, iklim, topografi terbentuklah tanah yang dapat dibedakan menjadi 2 subgrup yaitu Typic Dystrudepts dan Oxic Dystrudepts.

Tanah Typic Dystrudepts mempunyai drainase baik solum sedang, warna coklat kekuningan, struktur gumpal; di lapisan bawah tanah ini berbatu. Sifat fisik tanahnya baik pada lapisan tanah atas maupun bawah bertekstur l ia t , t idak mempunyai kendala masalah kepadatan tanah, berat isi 0.95 g/cc pada lapisan atas dan 0.86 g/cc pada lapisan bawah. Pergerakan air ke dalam tanah agak cepat

ditunjukan oleh angka pemeabilitas tanah di lapisan atas 9.01 cm/jam dan sedang di lapisan bawah dengan permeabilitas 7.32 cm/jam. Kemampuan tanah pada zone perakaran (0 – 40 cm) menyerap air sampai keadaan jenuh sebanyak 275.4 mm. Dari jumlah tersebut 129.8 mm diantaranya akan didrainasekan dengan cepat dan sebanyak 16.6 mm didrainasekan secara lambat, 129.0 mm ditahan oleh tanah dalam kondisi kadar air tanah kapasitas lapang. Pada kondisi kapasitas lapang ini 92.8 mm dipegang dengan kuat oleh matrik tanah sehingga tidak tersedia bagi tanaman, dan yang tersedia bagi tanaman hanya sebesar 36.2 mm.

Subgrup Oxic Dystrudepts mempunyai karakteristik darainase baik solum dalam, warna merah tekstut lempung berliat. fisika pada lapisan tanah atas maupun bawah bertekstur lempung berdebu, tidak mempunyai kendala kepadatan tanah, berat isi 0.87 g/cc pada lapisan atas dan 0.82 g/cc pada lapisan bawah. Pergerakan air masuk kedalam tanah baik di lapisan atas agak cepat dengan nilai permeabilitas masing-masing sebesar 8.8 cm/jam, dan lapisan bawah lambat 4,2 cm/jam. Kemampuan tanah dilapisan perakaran menyerap air sampai jenuh sebanyak 271.8 mm. Dari jumlah tersebut 128.6 mm didrainasekan dengan cepat, 17.4 mm didrainasekan secara lambat dan 125.8 mm ditahan oleh tanah dalam kondisi kapasitas lapang. Pada kondisi tersebut 88.2 mm dipegang dengan kuat oleh matrik tanah sehingga yang tersedia bagi tanaman hanya 37.8 mm.

Hasil analisis sifat fisika tanah disajikan pada Tabel 2 dan keadaan penyebaran tanah dan keadaan topografi di daerah penelitian disajikan pada Gambar 3.

Kedalaman tanah (cm)

Kadar air (% vol.)

BD (g / cc)

Ruang pori tot. (% vol.)

Kadar air (% vol.) Pori Drainase

(% vol.) Air tersedia (% vol.)

pF 1 pF 2 pF 2,54 pF 4,2 Cepat Lambat

0-20 43.50 0.87 67.20 55.3 47.5 42.7 31.3 19.7 4.8 11.4

20-40 46.90 0.82 69.1 55.1 45.3 40.8 31.3 23.8 4.5 9.5

0-20 40.00 0.88 66.8 54.7 48.5 44.1 29.6 18.3 4.4 14.5

20-40 41.60 0.86 67.5 47.6 42.2 37.6 27.4 25.3 4.6 10.2

0-20 43.00 0.95 64.2 48.1 42.4 38.2 28.7 21.8 4.2 9.5

20-40 53.80 0.86 67.5 54.2 48.7 44.4 32.1 18.8 4.3 12.3

0-20 45.10 0.77 70.9 51.1 46.2 41.9 26.8 24.7 4.3 15.1

20-40 53.50 0.87 67.2 57.4 51.3 46.4 29.6 15.9 4.9 16.8

Tabel 2. Karakteristik Tanah Lokasi Penelitian

Page 30: Vol.2 No.1, 2005

30

Karakteristik Iklim

Rata-rata curah hujan tahunan di daerah Cimulang adalah 3000 – 4000 mm per tahun dengan jumlah bulan kering 2-3 bulan. B e r d a s a r k a n k o n d i s i c u r a h h u j a n n y a pertumbuhan kelapa sawit di daerah ini termasuk dalam kategori cukup sesuai. Jika dilihat dari curah hujan bulanan untuk lima tahun terakhir (2000 – 2004) jumlahnya sangat tinggi akan tetapi selalu diselangi oleh bulan-

Gambar 3. Keadaan penyebaran tanah dan keadaan topografi di daerah penelitian

bulan dimana jumlah curah hujan lebih kecil dari pada ETP, sehingga selalu terjadi periode defisit (Gambar 4.).

Tanaman kelapa sawit merupakan tanaman yang sangat rentan terhadap kekeringan terutama pada masa pembungaan yang merupakan salah satu faktor pembatas utama bagi produksi kelapa sawit. Untuk mencukupi kebutuhan air tanaman kelapa sawit pada periode defisit hanya dapat dilakukan dengan memberikan irigasi suplementer.

Distribusi Curah hujan dan Evapotranspirasi bulanan (Jan 2000 - Nov 2004) di Cimulang

0

100

200

300

400

500

600

700

800

Jan-

00

Mar

-00

May

-00

Jul-0

0

Sep-

00

Nov

-00

Jan-

01

Mar

-01

May

-01

Jul-0

1

Sep-

01

Nov

-01

Jan-

02

Mar

-02

May

-02

Jul-0

2

Sep-

02

Nov

-02

Jan-

03

Mar

-03

May

-03

Jul-0

3

Sep-

03

Nov

-03

Jan-

04

Mar

-04

May

-04

Jul-0

4

Sep-

04

Nov

-04

Bulan

CH

dan

ETP

(mm

)

curah_hujan evaporasi

Gambar 4. Distribusi curah hujan dan Evapotranspirasi di lokasi penelitian

Page 31: Vol.2 No.1, 2005

31

Berdasarkan peta jaringan hidrologi dan topo-grafi diperoleh bahwa luas wilayah tangkapan hujan untuk dam parit adalah 1.84 ha. Dari jum-lah hujan selama satu tahun diperoleh debit se-kitar 314.366 mm sehingga volume air yang dapat ditampung atau di panen sebesar 5784 m3. Dimensi Dam parit yang di bangun di lokasi penelitian adalah 137 m3. Kondisi lokasi bendung disajikan pada Gambar 5 dan 6.

Penentuan Letak dan Dimensi Channel Reservoir di wilayah penelitian

Penentuan letak reservoir di wilayah penelitian dilakukan berdasarkan pada kondisi bentuk alur sungai, tebing dan keadaan batuan. Selain itu penentuan lokasi dam juga didasarkan pada posisi areal target dan luas tangkapan.

Gambar 5. Posisi dam parit dan daerah tangkapan airnya

Gambar 6. Dimensi dam parit sub DAS Bubut, Cimulang Bogor

Page 32: Vol.2 No.1, 2005

32

Analisis Kebutuhan Air pada Tanaman kelapa Sawit

Analisis neraca air tanaman harian dilakukan untuk mengidentifikasi kebutuhan air kelapa sawit pada umur tanaman memasuki tahun ke-2 (2004). Untuk menentukan periode defisit tanaman digunakan indikator nisbah evapotranspirasi riil dan evapotranspirasi maksimum (ETR/ETM) yang merupakan salah satu indikator dalam menilai kecukupan air tanaman. Tanaman akan dikatakan mengalami kecukupan air apabila nisbah ETR/ETM mendekati 1. Sebaliknya apabila nilai jauh dari 1, maka kekurangan air akan dialami oleh pertanaman tersebut.

Hasil simulasi neraca air tanaman yang dilakukan antara bulan Desember 2003 – November 2004 (Gambar 7a.) menunjukkan bahwa nisbah ETR/ETM pada bulan Desember

2003 serta Maret, Juni dan Agustus 2004 berada di bawah 0.65 ini artinya kelapa sawit akan mengalami defisit air pada bulan-bulan tersebut. Defisit air yang terjadi diperkirakan dapat menurunkan hasil hingga 31% (Tabel 3.). Untuk mengatasi hal tersebut maka diperlukan tambahan pasokan air berupa irigasi suplementer.

Terdapat dua skenario irigasi yang dilakukan yaitu skenario irigasi 50% dengan memberikan tambahan air sebesar 7 mm setiap 2 hari sekali dan skenario irigasi 75 % (10 mm setiap dua hari). Hasil simulasi menunjukkan untuk irigasi 50% defisit air hanya terjadi pada bulan Juni dan Agustus 2004 saja dan penurunan hasil dapat ditekan sampai 20% sedangkan untuk skenario irigasi 75 % penurunan hasilnya dapat di tekan hingga 12% (Tabel 3 dan Gambar 7 b,c).

Tabel 3. Prosentase penurunan hasil kelapa sawit dengan dan tanpa irigasi

Bulan Defisit Air Skenario Irigasi Dosis Irigasi (mm) Penurunan Hasil (%) Juni - Agustus Tanpa irigasi 0 31

Juni – Agustus Irigasi 50% 7 20

Juni - Agustus Irigasi 75% 10 12

Fluktuasi ETR/ETM tanpa irigasiKelapa Sawit tahun ke-2 (2004) di PTPN VIII Cimulang

0

0,2

0,4

0,6

0,8

1

1,2

20-D

es-0

3

31-D

es-0

3

11-J

an-0

4

22-J

an-0

4

02-F

eb-0

4

13-F

eb-0

4

24-F

eb-0

4

06-M

ar-0

4

17-M

ar-0

4

28-M

ar-0

4

08-A

pr-0

4

19-A

pr-0

4

30-A

pr-0

4

11-M

ei-0

4

22-M

ei-0

4

02-J

un-0

4

13-J

un-0

4

24-J

un-0

4

05-J

ul-0

4

16-J

ul-0

4

27-J

ul-0

4

07-A

gust

-04

18-A

gust

-04

29-A

gust

-04

09-S

ep-0

4

20-S

ep-0

4

01-O

kt-0

4

12-O

kt-0

4

23-O

kt-0

4

03-N

op-0

4

14-N

op-0

4

25-N

op-0

4

Tanggal

ETR

/ETM

Nisbah ETR/ETM

Gambar 7a. Fluktuasi ETR/ETM tanpa irigasi

Page 33: Vol.2 No.1, 2005

33

Fluktuasi ETR/ETM dengan irigasi 50% (7 mm)Kelapa Sawit tahun ke-2 (2004) di PTPN VIII Cimulang

0

0,2

0,4

0,6

0,8

1

1,219

-Des

-03

29-D

es-0

3

08-J

an-0

4

18-J

an-0

4

28-J

an-0

4

07-F

eb-0

4

17-F

eb-0

4

27-F

eb-0

4

08-M

ar-0

4

18-M

ar-0

4

28-M

ar-0

4

07-A

pr-0

4

17-A

pr-0

4

27-A

pr-0

4

07-M

ei-0

4

17-M

ei-0

4

27-M

ei-0

4

06-J

un-0

4

16-J

un-0

4

26-J

un-0

4

06-J

ul-0

4

16-J

ul-0

4

26-J

ul-0

4

05-A

gust

-04

15-A

gust

-04

25-A

gust

-04

04-S

ep-0

4

14-S

ep-0

4

24-S

ep-0

4

04-O

kt-0

4

14-O

kt-0

4

24-O

kt-0

4

03-N

op-0

4

13-N

op-0

4

23-N

op-0

4

Tanggal

ETR

/ETM

0

2

4

6

8

10

12

Iriga

si (m

m)

Irigasi Nisbah ETR/ETM

Gambar 7b. Fluktuasi ETR/ETM dengan irrigasi 50%

Fluktuasi ETR/ETM dengan irigasi 75 % (10 mm) Kelapa Sawit tahun ke-2 di PTPN VIII Cimulang

0

0,2

0,4

0,6

0,8

1

1,2

19-D

es-0

3

29-D

es-0

3

08-J

an-0

4

18-J

an-0

4

28-J

an-0

4

07-F

eb-0

4

17-F

eb-0

4

27-F

eb-0

4

08-M

ar-0

4

18-M

ar-0

4

28-M

ar-0

4

07-A

pr-0

4

17-A

pr-0

4

27-A

pr-0

4

07-M

ei-0

4

17-M

ei-0

4

27-M

ei-0

4

06-J

un-0

4

16-J

un-0

4

26-J

un-0

4

06-J

ul-0

4

16-J

ul-0

4

26-J

ul-0

4

05-A

gust

-04

15-A

gust

-04

25-A

gust

-04

04-S

ep-0

4

14-S

ep-0

4

24-S

ep-0

4

04-O

kt-0

4

14-O

kt-0

4

24-O

kt-0

4

03-N

op-0

4

13-N

op-0

4

23-N

op-0

4

Tanggal

ETR

/ETM

0

2

4

6

8

10

12

Iriga

si (m

m)

Irigasi Nisbah ETR/ETM

Gambar 7c. Fluktuasi ETR/ETM dengan irrigasi 75%

Page 34: Vol.2 No.1, 2005

34

KESIMPULAN 1. Hasil analisis distribusi curah hujan dan eva-

potranspirasi lima tahun terakhir terlihat bah-wa daerah penelitian mengalami defisit air 2 – 3 bulan dalam satu tahun.

2. Pada bulan-bulan basah surplus air cukup besar sehingga aliran permukaan yang ada perlu di tampung agar dapat dimanfaatkan pada saat terjadi defisit air.

3. Hasil analisa neraca air tanaman menunjuk-kan bahwa pada bulan Juni – Agustus 2004 terjadi defisit air, apabila tanaman tidak memperoleh tambahan air diperkirakan akan terjadi penurunan hasil sebesar 31%.

4. Resiko penurunan hasil Kelapa Sawit dapat dikurangi dengan memberi irigasi suplemen-ter. Dari hasil simulasi diberikan dua reko-mendasi irigasi yaitu skenario irigasi 50% (irigasi 7 mm) dan 75% (10 mm) yang diberi-kan setiap 2 hari sekali. Penurunan hasil dapat ditekan sampai 20 % untuk skenario 50% dan 12% untuk skenario ke dua (75%).

5. Hasil perhitungan volume air tersedia diketahui bahwa volume air yang dapat ditampung oleh dam parit adalah 137 m3 dan ini diharapkan dapat digunakan untuk mengairi tanaman kelapa sawit pada saat terjadi defisit air.

DAFTAR PUSTAKA Darmosarkoro, W., I.Y. Harahap dan E.

Syamsuddin. 2001. Pengaruh Kekeringan Terhadap Tanaman Kelapa Sawit Dan Upaya Penanggulangannya. Warta Pusat Pe-nelitian Kelapa Sawit. Vol. 9 No. 3. hal. 83-96

Harahap, I. Y. dan S. Latif.1998. Model Penga-

ruh Ketersediaan Air Terhadap Pertum-buhan dan Hasil Kelapa Sawit. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit 1998 vol. 6 no 1. hal.19-38

Irianto, G., N. Pujilestari dan N. Heryani. 2001.

Pengembangan Teknologi Panen Hujan dan Aliran Permukaan.Laporan Akhir. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat.

Karama, A.S. Irianto, G. Pawitan, H. 2002.

Panen Hujan dan Aliran Permukaan untuk Menanggulangi Banjir dan Kekeringan serta Mengembangkan Komoditas Unggulan. Kantor MENRISTEK dan LIPI. Jakarta.

Subronto dan Edy Supriyanto. 1999. Tingkat

Produksi Kelapa Sawit Pada Kondisi Defisit Air. Warta Pusat Penelitian Kelapa Sawit Vol. 7 (I) hal 11-16

Page 35: Vol.2 No.1, 2005

35

PENDAHULUAN Aliran permukaan merupakan aliran

yang terbentuk di permukaan tanah saat terjadi hujan dan merupakan penyumbang terbesar hidrograf banjir. Menurut Chow, 1988, karakteristik aliran permukaan dipengaruhi oleh karakteristik DAS meliputi luasan, bentuk, topografi, geologi, penutupan lahan dan kandungan air tanah. Karena pola aliran permukaan merepresentasikan kondisi fisik DAS, maka pemodelan aliran permukaan menjadi penting dalam pengelolaan DAS.

Proses terjadinya transfer hujan menjadi debit di titik outlet DAS, dibagi ke dalam dua tahapan, yang pertama adalah fungsi produksi dan yang kedua adalah fungsi transfer. Fungsi produksi menggambarkan proses terjadinya kehilangan air hujan sebelum menjadi aliran permukaan yaitu melalui evaporasi, intersepsi dan infiltrasi. Dengan kata lain, fungsi produksi menyatakan jumlah curah hujan efektif yang selanjutnya akan ditransfer menjadi aliran permukaan. Dalam pemodelan fungsi produksi, penentuan hujan neto dapat dilakukan melalui dua cara yaitu metode sederhana (jika data debit tersedia) dan metode deterministik (jika data debit tidak tersedia). Metode sederhana dilakukan dengan menentukan koefisien aliran permukaan dan indeks infiltrasi, sedangkan metode deterministik dapat dilakukan dengan aplikasi persamaan infiltrasi dan metode SCS dengan teknik bilangan kurva dimana bilangan kurva konstanta yang dipengaruhi oleh jenis tanah dan tutupan lahan. Fungsi transfer merupakan fungsi alihan dari curah hujan neto menjadi debit yang dapat dipolakan dalam hidrograf satuan. Pengembangan model

STUDI MODEL ALIRAN PERMUKAAN SESAAT BERDASARKAN KONSEP HIDROGRAF SATUAN PADA DAS CILIWUNG HULU

Oleh

Nurwindah Pujilestari, Syahri, Budi Kartiwa Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Pengembangan model transfer H2U telah dilakukan dengan memperhitungkan aspek hidrologi lereng. Kegiatan studi dilakukan untuk mempelajari aplikasi model H2U yang dimodifikasi untuk memprediksi debit di DAS Ciliwung hulu. Hasil validasi menunjukkan bahwa ketepatan model cukup tinggi untuk menerangkan pola debit hasil pengukuran episode terpilih dengan koefisien efisiensi 0.83 di outlet Katulampa. Parameter koefisien aliran permukaan dan kecepatan rata-rata aliran di lereng dan jalur sungai hasil validasi, mampu memprediksi debit dengan baik dengan koefisien efisiensi lebih dari 0.5. Berdasarkan analisis pasangan curah hujan dan debit selama satu tahun diketahui bahwa model mampu memprediksi debit pada episode dengan jumlah curah hujan lebih dari 100 mm dan intensitas tinggi. Kata kunci : Model H2U, DAS, debit

hidrograf satuan yang dilakukan Balitklimat, berasal dari model Rodriguez-Iturbe dan Valdes yang memperkenalkan konsep hidrograf satuan geomorfologi (Geomorphologic Instantaneous Unit Hydrograph / GIUH), dimana hidrograf satuan dapat diturunkan dari fungsi kerapatan probabilitas waktu tempuh setiap butir hujan dari titik jatuhnya di permukaan DAS sampai outlet DAS (Ajward dan Muzik, 2000). Pengembangan selanjutnya adalah model H2U (Hydrogramme Unitaire Universel) dikembangkan oleh laboratorium hidrologi Ecole Nationale Superieure Agronomique (ENSA) Renes oleh Profesor Jean Duchesne. Dalam model ini kurva pdf butir hujan dihitung berdasarkan dua parameter yang dapat dihitung melalui peta jaringan sungai yaitu n, order sungai maksimum menurut Strahler dan L rataan panjang rata-rata aliran sungai. Selanjutnya pengembangan H2U diarahkan dengan memperhitungkan aspek hidrologis lereng (hillslope) oleh Kartiwa, 2004. Asumsi yang digunakan dalam model ini adalah bahwa order sungai maksimum (n) pada lereng adalah sama dengan 2.

Keunggulan model ini terletak pada keluasan cakupan aplikasinya serta kesederhanaan perhitungannya. Kesederhana- an model ditunjukkan oleh parameter model yang hanya berjumlah 3 dan dapat dikuantifikasi secara mudah pada peta jaringan sungai. Model ini pernah diaplikasikan untuk mengsimulasi debit aliran permukaan pada DAS besar (>100 km2) seperti DAS Garang, DAS Cisangkuy ataupun DAS mikro (< 40 ha) dengan hasil yang memuaskan.

Studi yang dilakukan adalah untuk memodel debit sesaat di wilayah hulu. Keluaran

Page 36: Vol.2 No.1, 2005

36

yang dihasilkan adalah koefisien aliran permukaan dan kecepatan aliran rata-rata di jaringan hidrograf dan lereng.

METODOLOGI Lokasi

Lokasi kajian dipilih DAS Ciliwung Hulu dengan outlet di Katulampa

Data

Data yang digunakan meliputi 1. Data hujan jam-jaman dari AWLR Tugu,

yang terletak di DAS Ciliwung bagian hulu. 2. Peta topografi dan peta jaringan drainase

manual skala 1 : 25.000 Metode Penelitian

Studi untuk pemodelan aliran permukaan pada kegiatan ini dibagi dalam dua kegiatan yaitu sub pemodelan fungsi produksi dan sub pemodelan fungsi transfer Sub pemodelan fungsi produksi. Pada tahap ini dilakukan penentuan hujan neto. Hujan neto merupakan bagian dari hujan bruto yang tidak dapat terinfiltrasi ke dalam tanah. Penentuan hujan neto dilakukan berdasarkan aplikasi koefisien aliran permukaan yang ditetapkan berdasarkan analisis pemisahan hidrograf. Kr adalah rasio antara volume aliran permukaan dengan volume presipitasi. Dengan demikian, hujan neto dapat dihitung menggunakan persamaan berikut :

dimana : Ru : aliran permukaan total dari pengamatan

berdasarkan analisis pemisahan hidrograf (mm)

Pbm : intensitas hujan bruto untuk interval m (mm) Sub pemodelan fungsi transfer.

Pemodelan fungsi transfer yang digunakan dalam studi ini adalah model H2U yang telah dimodifikasi (Kartiwa, 2004). Selanjutnya, dengan menetapkan kecepatan aliran pada lereng, pdf waktu tempuh butir hujan pada lereng dapat dihitung berdasarkan persamaan sebagai berikut:

dengan :

rv(t) : pdf lereng sebagai fungsi waktu t.

: kecepatan aliran rata-rata pada lereng lo : panjang rata-rata jalur hidraulik pada

lereng t : interval waktu

Sedangkan untuk menghitung pdf waktu tempuh butir hujan pada jaringan sungai, digunakan persamaan sebagai berikut:

dengan :

rRH(t) : pdf jaringan sungai sebagai fungsi waktu t.

n : order maksimum DAS VRH : kecepatan aliran rata-rata pada jaringai

sungai L : panjang rata-rata jalur hidraulik pada

jaringan sungai

: fungsi gamma t : interval waktu

Untuk mendapatkan pdf DAS, dihitung berdasarkan hasil konvolusi antara pdf lereng dengan pdf jaringan sungai :

rDAS(t) : pdf DAS sebagai fungsi waktu t. rv(t) : pdf lereng sungai sebagai fungsi waktu t. rRH(t) : pdf jaringan sungai sebagai fungsi

waktu t. Untuk menghitung debit aliran permukaan, digunakan rumus sebagai berikut : Q(t) : debit aliran permukaan pada waktu t S : luas DAS

vV

LtVnn

n

RHRH

RH

etnL

Vnt .2..

12

2

..

2

1..2

.)(−−

⎟⎠⎞

⎜⎝⎛Γ

⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛=ρ

Γ

KrPbRuM

mm .

1∑

=

=

o

v

ltV

o

vv e

lVt

.

.)(−

)()()( ttt RHvDAS ρρρ ⊗=

[ ])()()( ttPNStQ ρ⊗=

Page 37: Vol.2 No.1, 2005

37

PN(t) : intensitas hujan neto pada waktu t ρ(t) : pdf waktu tempuh butir hujan pada

waktu t : dihitung dari pdf panjang alur hidraulik

berdasarkan penetapan kecepatan aliran

: simbol konvolusi

Untuk mengevaluasi kualitas hasil simulasi, dilakukan uji perbandingan antara debit pengukuran dengan debit simulasi menggunakan koefisien kemiripan F (Nash dan Sutcliffe dalam Kartiwa 2004) :

F = koefisien kemiripan (F ≤ 1 ; F=1, simulasi sempurna)

Qobs(t) = debit pengukuran pada waktu ke- t (m3/s)

Qsim(t) = debit simulasi pada waktu ke- t (m3/s)

= debit pengukuran rata-rata (m3/s) obsQ

Pada simulasi fungsi transfer dilakukan optimasi simulasi kecepatan aliran permukaan pada lereng dan jaringan sungai.

HASIL DAN PEMBAHASAN Respon Hidrologis Daerah Aliran Sungai

Dari peta jaringan hidrologi yang telah diperoleh berdasarkan rekonstruksi peta rupa bumi skala 1 : 25000 diperoleh informasi bahwa DAS Ciliwung hulu merupakan suatu DAS yang mempunyai jaringan sungai berorde 5. Luas DAS Ciliwung hulu 17260 Ha, mempunyai pan-jang sungai rata-rata (Lrata-rata) 14332.9 m, den-gan sungai terpanjang (L) 24150 m, waktu res-ponnya antara 4 jam. Hasil yang sama juga di-dapatkan pada penelitian yang dilakukan oleh Pawitan, 1989, bahwa waktu yang dibutuhkan dari hujan untuk mencapai debit puncak (Time of Consentration) berkisar 0.4-3.3 jam sampai stasiun Katulampa.Jumlah curah hujan di wila-yah hulu DAS Ciliwung 2800 mm sedangkan evaporasi bulanan di Puncak sebesar 79-140 mm. Distribusi curah hujan perbulan disajikan pada Gambar 1.

( )

( )∑

=

=

−−= n

iobsobs

n

isimobs

QtQ

tQtQF

1

2

1

2

)(

)()(1

0

100

200

300

400

500

600

700

Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des

bulan

Ch (m

m)

0

100

200

300

400

500

600

700

Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des

bulan

Ch (m

m)

Gambar 1. Distribusi curah hujan di DAS Ciliwung Hulu

Page 38: Vol.2 No.1, 2005

38

Analisis Pemisahan Hidrograf Data input yang diperlukan untuk valida-

si debit adalah data aliran permukaan yang te-lah dipisahkan dari data aliran dasarnya yang dilakukan dengan metode sederhana. Contoh separasi aliran permukaan dan aliran dasar di-sajikan pada Gambar 2. Pada penelitian ini ana-lisis pemisahan aliran permukaan dibagi menja-di direct runoff (aliran permukaan langsung), delayed runoff (aliran permukaan tertunda) serta baseflow (aliran dasar). Aliran permukaan ini

merupakan bagian dari curah hujan yang tidak terinfiltrasi ke dalam lapisan tanah maupun te-rintersepsi oleh tajuk tanaman, akan tetapi men-galir di atas permukaan tanah dan pada akhirn-ya akan mencapai aliran sungai. Berdasarkan analisis pemisahan aliran permukaan, episode 28 Agustus 2003, menunjukkan aliran permu-kaan langsung sebesar 11%, sedangkan yang menjadi aliran permukaan tertunda dan aliran dasarnya adalah 6% dan 83%.

0.00

50.00

100.00

150.00

200.00

250.00

300.00

350.00

8/28/034:48

8/28/039:36

8/28/0314:24

8/28/0319:12

8/29/030:00

8/29/034:48

8/29/039:36

8/29/0314:24

8/29/0319:12

debi

t (l/s

)

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

cura

h hu

jan

(mm

)

Total DébitEcoulement HypodermiqueRuissellementEcoulement BaseHauteur de la Pluie

0.00

50.00

100.00

150.00

200.00

250.00

300.00

350.00

8/28/034:48

8/28/039:36

8/28/0314:24

8/28/0319:12

8/29/030:00

8/29/034:48

8/29/039:36

8/29/0314:24

8/29/0319:12

debi

t (l/s

)

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

cura

h hu

jan

(mm

)

Total DébitEcoulement HypodermiqueRuissellementEcoulement BaseHauteur de la Pluie

Episode hujan tanggal 28-08-2003 Gambar 2. Contoh separasi hidrograf dengan metode sederhana (data hujan stasiun Tugu

dengan debit di AWLR Katulampa)

Validasi Model H2U modifikasi Pada simulasi fungsi transfer, nilai Kr dioptimasi lagi dengan mengkombinasikannya pada

berbagai kecepatan aliran baik di lereng maupun di jaringan sungai. Hasil validasi model transfer hujan-aliran permukaan curah hujan di ARR Tugu – debit AWLR Katulampa/Gadog disajikan pada Gambar 3.

0

50

100

150

200

250

1 4 7 10 13 16 19 22 25

Periode pengamatan (jam ke-)

Q (m

3/s)

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

Pb (m

m)

0

50

100

150

200

250

1 4 7 10 13 16 19 22 25

Periode pengamatan (jam ke-)

Q (m

3/s)

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

Pb (m

m)

Qsim Vsl=1 m/s

Q pengukuran

Qsim Vsl=2.24 m/s Vslo=3

Qsim Vsl=2 m/s Vslo=2.5 m/

Qsim Vsl=0.5 m/s Vslo=1

Gambar 3. Hasil validasi model transfer hujan-aliran permukaan antara curah hujan di stasiun Tugu dengan debit di outlet Katulampa (episode hujan tanggal 28 Agustus 2003, jumlah hujan 162 mm)

Page 39: Vol.2 No.1, 2005

39

Berdasarkan hasil validasi debit di outlet Katulampa (DAS Ciliwung Hulu) diketahui bahwa nilai koefisien aliran (Kr) permukaan di Hulu DAS 8.5%. Sementara itu berdasarkan hasil simulasi di DAS Ciliwung hulu, kecepatan aliran pada lereng (Vslo) 3 m/s sedangkan kecepatan pada jaringan sungai (Vsl) sebesar 2.24 m/s, dengan waktu respon (Tr) 2 jam.

Hasil validasi debit di outlet Katulampa menunjukkan bahwa meskipun terjadi pergeseran bentuk debit, tetapi bentuk umum hidrograf yang dihasilkan mempunyai karakteristik yang sama, bentuk hidrografnya identik, debit puncak dan waktu responnya serupa. Dengan demikian model simulasi yang dipergunakan dapat dikatakan mampu memodel suatu sistem transfer air di dalam DAS dengan baik dengan koefisien efisiensi yang dihitung berdasarkan persamaan efisiensi Nash dan Sutcliffe sebesar 0.83.

Prediksi Aliran Permukaan Untuk mengetahui ketepatan model

dapat mendeskripsikan karakteristik debit, dilakukan prediksi debit untuk episode hujan tanggal 28 April 2003 dan 9 Pebruari 2003. Hasil prediksi disajikan pada Gambar 5. Pola debit hasil prediksi mengikuti debit pengukuran. Berdasarkan hasil prediksi debit pada episode hujan tanggal 28 April 2003, diketahui bahwa terjadi perbedaan jeluk debit sebesar 43% dengan koefisien efisiensi 0.79 dengan Tr = 1 jam. Sementara itu hasil prediksi debit pada episode hujan tanggal 9 Pebruari 2003, diketahui bahwa perbedaan besarnya jeluk debit sebesar 35% sedangkan koefisien efisiensinya 0.63 dengan Tr = 1 jam.

DAS Ciliwung Hulu

0

50

100

150

200

250

300

4/28/200319:00

4/28/200323:00

4/29/20033:00

4/29/20037:00

4/29/200311:00

4/29/200315:00

9/19/200316:00

9/19/200320:00

9/20/20030:00

9/20/20034:00

9/20/20038:00

Waktu (jam)

Deb

it (l/

s)

0

20

40

60

80

100

Jeluk (mm

/jam)

Hujan Neto IinfiltrasiDebit Pengamatan Debit Simulasi

DAS Ciliwung Hulu

0

50

100

150

200

250

300

350

2/9/034:00

2/9/038:00

2/9/0312:00

2/9/0316:00

2/9/0320:00

3/9/030:00

3/9/034:00

3/9/038:00

3/9/0312:00

3/9/0316:00

6/1/0016:30

Waktu (jam)

Deb

it (l/

s)

0

20

40

60

80

100

Jeluk (mm

/jam)

Hujan Neto IinfiltrasiDebit Pengamatan Debit Simulasi

Gambar 5. Prediksi aliran permukaan pada episode hujan tanggal 28 April 2003 (jumlah hujan 204 mm)dan 9 Pebruari 2003 (jumlah hujan 192 mm)

Page 40: Vol.2 No.1, 2005

40

Berdasarkan hasil prediksi, yang dilaku-kan terlihat bahwa model prediksi yang dibuat, mampu menjelaskan debit cukup baik, yang ditunjukkan oleh koefisien efisiensi dengan nilai lebih dari 0.5. Sesuai dengan tujuan awal pem-buatannya, model ini digunakan untuk meng-kuantifikasi dan memprediksi besarnya debit banjir, sehingga dapat dibuat skenario mitigasin-ya, maka fokus prediksi diutamakan untuk epi-sode dengan jumlah curah hujan yang besar (>100 mm). Berdasarkan tujuan awal tersebut, maka dari 20 pasang data hujan–debit yang dianalisis pada tahun pengamatan 2003, hanya 13 pasang data yang dapat diprediksi dengan baik. Ada beberapa aspek yang menjadi penye-bab ketidaktepatan hasil prediksi yang bisa di-bagi ke dalam 2 aspek.

Pertama, data masukan pada kegiatan validasi adalah data curah hujan. Banyaknya kehilangan hujan bruto menjadi hujan neto disamping tergantung pada kondisi fisik DAS, juga tergantung pada intensitas dan lama hujan. Semakin tinggi dan lama intensitas hujan, maka semakin besar jumlah hujan neto yang akan ditransfer menjadi aliran permukaan. Konsep persamaan infiltrasi untuk menentukan jumlah curah hujan neto perlu dipertimbangkan dalam pemodelan fungsi produksi ini. Disamping itu distribusi curah hujan di suatu DAS belum tentu merata.

Ke dua, model yang digunakan mengasumsikan bahwa curah hujan dalam satu episode hujan yang terjadi terdistribusi secara merata di DAS. Padahal kondisi tersebut belum tentu terjadi. Ajward dan Muzik, 2000, menawarkan suatu konsep perhitungan aliran permukaan dengan menghubungkan beberapa intensitas dan lama episode hujan dengan luas daerah distribusinya dengan bentuk hubungan logaritmik. Semakin tinggi intensitas dan lama curah hujan dalam suatu episode semakin luas wilayah distribusinya, sampai pada batas tertentu. Demikian juga dengan dengan kecepatan aliran. Kecepatan aliran di lereng dan di jaringan sungai sangat tergantung pada intensitas, lama hujan dan gradien ketinggian tempat, semakin tinggi intensitas dan lama hujan, maka semakin tinggi kecepatan yang dihasilkan. Sama halnya dengan gradien ke t ingg ian tempat semak in t ingg i perbedaannya, semakin tinggi kecepatan yang terjadi.

Pada model ini, fungsi produksi tidak representatif jika digunakan untuk curah hujan dengan intensi tas yang rendah apalagi ditambah dengan kelembaban tanah yang r e n d a h . M o d e l t r a n s f e r c u r a h h u j a n -aliranpermukaan yang digunakan hanya bisa

digunakan untuk memprediksi aliran permukaan pada episode hujan dengan intensitas curah hujan yang tinggi, dan terjadi dalam waktu yang cukup panjang.

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Berdasarkan hasil validasi model di DAS

Ciliwung hulu, diketahui bahwa debit simulasi dapat merepresentasikan debit pengukuran dengan baik, dengan koefisien efisiensi 0.83.

2. Prediksi debit yang dilakukan pada episode lain (tanggal 28 April dan 9 Pebruari 2003) dengan parameter hasil validasi menunjukkan bahwa debit simulasi mampu menjelaskan dengan baik debit pengukuran dengan koefisien efisiensi masing-masing 0.79 dan 0.63.

3. Hasil validasi model hanya bisa mempredik-si aliran permukaan pada episode hujan tertentu yaitu pada episode hujan dengan intensitas hujan yang tinggi dan kontinyu dalam durasi yang lama.

4. Untuk penyempurnaan pemodelan fungsi produksi perlu dilakukan pemilihan stasiun hujan yang representatif terhadap kondisi aktual di DAS serta dilakukan uji homogeni-tas hujan, dan pemakaian persamaan infiltrasi dalam menghitung hujan neto. Disamping itu, untuk pemodelan fungsi transfer perlu dipelajari hubungan antara intensitas dan lama hujan dengan luas wilayah distribusinya, dimana kegiatan ini akan membatasi luasan DAS yang berkon-tribusi terhadap aliran permukaan yang terjadi.

DAFTAR PUSTAKA

Ajward, MH dan I. Muzik. 2000. A Spatially Va-ried Unit Hydrograph Model. Journal of International Hydrology volume 8.

Chow V.T. 1988. Handbook of Applied Hydrol-ogy – A Compendium of Water – Re-sources Technology. McGraw-Hill, New York. United States.

Kartiwa, B. 2004. Modelisation Du Functionne-ment Hydrologique Des Bassins Ver-sants. These De Doctorat. Universite D’Angers.

http://www.worldweather.org/043/c00310.htm

Page 41: Vol.2 No.1, 2005

41

PEMANFAATAN DATA SUHU PERMUKAAN LAUT NINO 3.4 UNTUK MEMPREDIKSI CURAH HUJAN BULANAN

Oleh :

Woro Estiningtyas, F. Ramadhani dan G. Irianto

ABSTRAK

Pemanfaatan parameter SST Nino 3.4 untuk memprediksi curah hujan bulanan dibahas dalam tulisan ini. Salah satu indikator anomali iklim yang berkorelasi cukup kuat dengan curah hujan di Indonesia adalah suhu permukaan laut (Sea Surface Temperature, SST) Nino 3.4 sehingga digunakan sebagai prediktor curah hujan. Penggunaan model deterministik untuk prediksi curah hujan di daerah tropik yang faktor determinannya sangat komplek, dinamis dan acak sangat rumit. Oleh karena itu diperlukan model statistik yang dapat diperbarui secara real time. Metode prediksi curah hujan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Filter Kalman. Filter Kalman menggabungkan pendekatan model fisik dan statistik menjadi model stokastik yang dapat diperbarui setiap saat untuk tujuan peramalan segera (on line forecasting). Validasi model yang menghubungkan curah hujan dan SST Nino 3.4 menghasilkan nilai koefisien korelasi validasi 77,73 - 97,74%, dengan R2 validasi 60,43 - 95,53%. Perbandingan antara data curah hujan runut waktu dengan data hasil prediksi menghasilkan nilai koefisien korelasi model 64,08-87,28% dan R2 model 41,06-76,18%. Hasil validasi menunjukkan model cukup baik dan dapat digunakan untuk prediksi curah hujan. Curah hujan periode Mei-Juli 2005 diperkirakan antara 47-138 mm/bulan di Sukamandi, 252-369 mm/bulan di Cimanggu dan 115-197 mm/bulan di Pacet. Sedangkan prakiraan sifat hujan periode Mei-Juli 2005 di Sukamandi dan Cimanggu adalah di atas normal (66,7%), dan di Pacet merata untuk semua sifat hujan (33,3%). Hasil validasi dan prediksi curah hujan bersifat spesifik lokasi dan harus diperbarui setiap saat di setiap tempat. Kata kunci : SST Nino 3.4, curah hujan, filter Kalman, prediksi, validasi

PENDAHULUAN

Berdasarkan hasil analisis data runut waktu yang panjang, diketahui bahwa anomali iklim semakin meningkat intensitas, frekuensi dan durasinya. Hal ini menyebabkan secara langsung gangguan terhadap sistem produksi pertanian. Indikatornya antara lain terjadinya penurunan luas tanam, luas panen dan produksi merosot tajam pada saat terjadi anomali iklim.

Seiring dengan itu, kebutuhan terhadap data dan informasi hasil prakiraan iklim yang cepat, akurat dan terbaru terutama di daerah sentra pangan juga semakin diperlukan oleh berbagai pihak sebagai respon akibat munculnya fenomena anomali iklim. Kenyataannya, ketersediaan data dan informasi tersebut masih sangat terbatas. Hal ini disebabkan terbatasnya data iklim aktual yang real time, model prediksi yang menghubungkan antara fenomena anomali iklim dengan faktor iklim itu sendiri belum banyak dikembangkan. Selain itu, variabilitas iklim di daerah tropik seperti Indonesia dan fenomena anomali iklim itu sendiri sangat kompleks. Bentuk utama wilayah Indonesia yang berupa kepulauan, interaksi daratan dan lautan serta bentuk topografi (gunung dan pegunungan) menyebabkan variabilitas iklim lokal tinggi. Oleh karena itu perlu diupayakan suatu pendekatan

spesifik lokasi yang dapat memberikan gambaran kondisi iklim beberapa waktu ke depan yang memperhitungkan aspek anomali iklim.

Indikator dominan yang sering digunakan untuk melihat gejala terjadinya anomali iklim adalah SST, sedangkan parameter iklim yang terlihat jelas perilakunya akibat terjadinya anomali iklim adalah curah hujan. SST yang berkorelasi cukup kuat dengan curah hujan di Indonesia adalah SST Nino 3.4. Hasil penelitian Hendon (2003) menunjukkan bahwa variabilitas SST di Nino 3.4 akan mempengaruhi 50% variasi curah hujan seluruh Indonesia. Pertimbangan lainnya memilih SST Nino 3.4 adalah akses untuk memperoleh data melalui internet relatif lebih mudah, sehingga akan sangat membantu dalam proses pembaharuan (updating) model setiap saat. Peluang inilah yang akan dimanfaatkan untuk melakukan prediksi curah hujan.

Ide penggunaan model matematika untuk menjelaskan perilaku fenomena fisik telah dilakukan dengan baik. Berbagai pendekatan model telah banyak digunakan untuk prediksi iklim baik dengan model statisitik, model deterministik maupun kombinasinya. Model deterministik kekuatannya pada nalar fisik sehingga rumusannya dapat merepresentasikan perilaku fisik yang mendasarinya, sehingga

Page 42: Vol.2 No.1, 2005

42

berlaku universal dan dapat diaplikasikan dimanapun. Kelemahannya, model deterministik iklim sangat komplek prosesnya, rumit interaksinya dan sebagian besar faktornya diluar kontrol, sehingga selain memerlukan tenaga, waktu dan biaya besar, secara operasional sulit direalisasikan. Sedangkan model statistik dapat diformulasikan berdasarkan hubungan peubah bebas dan tidak bebas secara empirik, sehingga lebih praktis untuk menalarkan gejala itu sendiri. Kelemahannya, model statistik perlu divalidasi setiap saat untuk setiap tempat. Apabila kedua pendekatan tersebut dapat digabungkan, sehingga kelemahan masing-masing dapat direduksi dan kelebihan keduanya dapat disinergikan, maka model yang dihasilkan akan dapat ditingkatkan presisi/akurasinya dan keberhasilannya dalam prediksi anomali iklim.

Metode prediksi curah hujan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Filter Kalman. Kalman (1960) menggabungkan pendekatan model fisik dan statistik menjadi model stokastik yang dikenal dengan model Filter Kalman /saringan Kalman. Filter ini mengestimasi keadaan proses pada suatu waktu dan kemudian mendapatkan umpan balik dalam bentuk pengukuran yang mempunyai noise. Noise ini mempunyai karakteristik statistik atau dapat dimodelkan, dan menggunakan analisis stokastik untuk pemecahan masalah. Dalam hal ini filter Kalman berperan dalam memperkecil noise sedemikian rupa sehingga diharapkan memberikan hasil prediksi yang lebih baik. Pendekatan ini diperkuat oleh pernyataan Tor (2002) bahwa sangat memungkinkan untuk mengaplikasikan teknik Filter Kalman guna membangun monitoring data yang bervariasi terhadap waktu, seperti angin, hujan dan sebagainya. Dengan demikian diharapkan dapat menghasilkan suatu model prediksi curah hujan berdasarkan parameter input yang sudah tervalidasi dan dapat diperbarui setiap saat. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah memperbarui model prediksi curah hujan dengan metode Filter Kalman berdasarkan hubungan curah hujan dan SST Nino 3.4.

METODOLOGI 1. Lokasi

Penelitian dilakukan di 3 stasiun hujan di Propinsi Jawa Barat, yaitu: Sukamandi (50 mdpl), Cimanggu (246 mdpl), dan Pacet (1163 mdpl). Stasiun ini merupakan stasiun hujan otomatis (Automatic Weather Station, AWS) yang kompilasi datanya relatif lebih baik dibandingkan stasiun lainnya, sehingga diharapkan dapat memenuhi kebutuhan data hingga near real time. 2. Data

1. Data curah hujan bulanan secara deret waktu (time series).

2. Data SST bulanan Nino 3.4 time series (sumber:http://www.cpc.noaa.gov/data/indices)

3. Data prediksi SST Nino 3.4 untuk 6 bulan (Februari-Juli 2005) (sumber: http://www.cpc.noaa.gov/products/predictions)

3. Metode Penelitian 3.1. Karakterisasi Data Curah Hujan dan SST

Dalam analisis ini, model tidak menghendaki data kosong, sehingga dilakukan seleksi data curah hujan untuk mendapatkan data lengkap secara deret waktu (time series). Demikian juga dengan data SST Nino 3.4, selain diperlukan data SST Nino 3.4 deret waktu sesuai dengan periode curah hujan, untuk melakukan prediksi curah hujan diperlukan juga data prediksi SST Nino 3.4 hingga 6 bulan ke depan (Februari – Juli 2005). Dalam penelitian ini, data prediksi SST yang digunakan adalah berdasarkan model konsolidasi (consolidation) yang diperbaharui pada tanggal 14 Januari 2005. Dari periode data yang ada selanjutnya dibuat grafik penyebaran curah hujan dan SST Nino 3.4 bulanan di setiap stasiun. Posisi geografi wilayah pengamatan SST Nino 3.4 (5oLU - 5oLS dan 170oBB-120oBB) disajikan dalam Gambar 1. Sedangkan contoh hasil prediksi SST Nino 3.4 disajikan dalam Gambar 2.

Gambar 1. Wilayah pengamatan Nino 3.4 (Sumber : NOAA)

Page 43: Vol.2 No.1, 2005

43

3.2. Validasi Model Hubungan Curah Hujan dan SST

Sebelum model digunakan untuk mem-prediksi curah hujan, terlebih dahulu dilakukan validasi untuk mengetahui apakah suatu model memberikan hasil yang baik atau tidak, yaitu dengan membandingkan antara output model dengan data pengamatan melalui suatu model fungsi transfer. Dalam penelitian ini model fungsi transfer yang digunakan hanya 1 model, yaitu : autoregresi-moving average dengan faktor eksternal X (ARMAX). Model ini menghubungkan SST Nino 3.4 sebagai input dan curah hujan sebagai output.

Mengapa digunakan model ARMAX, karena dari hasil terdahulu diperoleh bahwa untuk ketiga lokasi ini, model ARMAX memberikan respon yang lebih baik dibandingkan model autoregresi dengan faktor eksternal X (ARX), Box Jenkins (BJ) dan Output Error (OE). Hal ini disebabkan dari persamaan pembentuk model ARMAX mengandung suku polinomial yang dapat memperkecil kesalahan (error). Model ARMAX juga mempunyai kelebihan dalam mengkombinasikan antara autoregresi dengan moving average sehingga menambah fleksibilitas yang lebih besar dalam hal mencocokkan (fitting) dari data aktual runut waktu (Box, et al, 1994). Dengan demikian diharapkan menghasilkan prediksi yang lebih baik. Tetapi dominasi ARMAX tidak selalu sama untuk setiap lokasi dan setiap jangka waktu prediksi. Jadi hasil validasi ini bersifat spesifik lokasi, artinya model yang digunakan untuk suatu lokasi hanya berlaku di lokasi yang bersangkutan tidak bisa langsung diaplikasikan untuk lokasi yang lain. Oleh karena itu setiap lokasi yang akan dianalisis harus dilakukan validasi model terlebih dahulu berdasarkan data curah hujan dan SST di lokasi yang bersangkutan.

Persamaan umum model linier input output untuk sistem output tunggal dengan input u dan output y (Ljung, 2002) adalah :

sedangkan persamaan untuk ARMAX

adalah:

dimana : Ui = variabel input eksternal A, Bi, C, D, Fi = shift operator polynomials nk = jarak waktu (time delays) Shift operator polynomials dimaksudkan agar suatu persamaan dapat ditulis lebih praktis sehingga tidak terlalu rumit dan lebih mudah dipahami. Sebagai contoh persamaan ARMAX apabila ditulis dalam bentuk panjang akan menjadi :

3.3. Prediksi Curah Hujan Dengan Filter Kalman

Curah hujan yang bersifat stokastik memungkinkan dilakukan pendekatan berdasarkan pola yang terjadi dimasa lalu untuk memberikan gambaran bagaimana kondisi yang akan datang. Persoalan yang sering dihadapi apabila bekerja dengan data runtut waktu adalah adanya faktor gangguan (noise) akibat pengaruh cuaca dalam skala pendek (Ratag, 2003). Sementara kontribusi gangguan terhadap output itu sendiri sangat signifikan (Ljung, 2002).

Gambar 2. Prediksi SST Nino 3.4 (Sumber : NOAA)

( ) ( ) ( ) ( )[ ] ( ) ( ) ( )[ ] ( )∑=

+−=nu

iiiii teqDqCnktuqFqBtyqA

1

//

( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( )teqCnktuqBtyqA +−=

Page 44: Vol.2 No.1, 2005

44

Filter Kalman merupakan pengembangan model prakiraan statistik autoregresive menggunakan teknik recursive dalam mengintegrasikan data pengamatan terbaru ke dalam model untuk memperbaharui (updating) prediksi sebelumnya dan melanjutkan prediksi beberapa waktu ke depan. Proses estimasi menggunakan bentuk dari kontrol umpan balik (recursif).

Dalam penelitian ini jangka waktu prediksi adalah 6 bulan (Februari-Juli 2005). Jangka waktu prediksi ini dapat diatur sesuai dengan kebutuhan para pengguna, misal 3, 9, 12 bulan ke depan atau bahkan lebih. Hanya perlu diingat, bahwa semakin jauh prediksi dilakukan, maka kesalahan (error) yang terjadi juga akan semakin besar.

Pada prinsipnya, persamaan Filter Kalman terbagi menjadi dua bagian, yaitu : (1) persamaan update waktu, dan (2) persamaan update pengukuran. Persamaan update waktu menggunakan keadaan sekarang untuk memproyeksikan ke depan, dan estimasi error covariance digunakan untuk mendapatkan estimasi sebelumnya untuk langkah ke depan. Persamaan pengukuran digunakan untuk umpan balik, yaitu untuk menggabungkan sebuah pengukuran baru ke sebuah estimasi sebelumnya guna mendapatkan sebuah estimasi sesudahnya yang lebih baik. Gambar 3 menyajikan tahapan analisis filter Kalman yang merupakan modifikasi dari persamaan Welch dan Bishop (2003).

System Identification Toolbox dalam Program Matlab Versi 6.5 Rel 13, yaitu : suatu sistem yang memungkinkan untuk membangun model matematika dari suatu sistem dinamik berdasarkan data pengukuran. Proses ini dilakukan dengan mengatur parameter dalam model yang diberikan sedemikian rupa sehingga output yang dihasilkan mirip atau menyerupai output yang terukur (measured output).

Untuk mengetahui gambaran hasil prediksi curah hujan, maka dilakukan pembandingan antara curah hujan hasil prediksi dengan rata-rata jangka panjang yang dinyatakan dengan 3 sifat hujan menurut kriteria BMG, yaitu :

Gambar 3. Algoritma Filter Kalman

Dari Gambar 3 dapat diketahui, persamaan update waktu menghitung estimasi keadaan (1) dan estimasi covarians (2) ke depan dari waktu k-1 ke langkah k. Tugas pertama di persamaan update pengukuran adalah menghitung Kalman gain (Kk) (3), dan langkah selanjutnya mengukur proses untuk mendapatkan zk, kemudian menghasilkan sebuah estimasi sesudahnya (posteriori) dengan menggabungkan pengukuran di persamaan (3) dan (4). Langkah terakhir adalah mendapatkan sebuah estimasi posteriori error covarians melalui persamaan (5). Setelah itu kembali ke persamaan (1) dan seterusnya.

Penyusunan model prediksi dengan Filter Kalman ini dilakukan dengan fasilitas

Page 45: Vol.2 No.1, 2005

45

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Curah Hujan dan SST Karakteristik curah hujan dan SST

dianalisis berdasarkan data deret waktu (time series) hingga data terakhir Januari 2005. Dari hasil seleksi diperoleh periode data setiap stasiun adalah: Sukamandi (Januari 1991- Januari 2005), Cimanggu (Januari 1991- Januari 2005), dan Pacet (Januari 1985- Januari 2005).

Curah hujan rata-rata bulanan di Sukamandi selama periode Januari 1991 – Januari 2005 berkisar 14-290 mm/bulan. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Februari dan terendah pada bulan Agustus dengan rata-rata curah hujan 115 mm/bulan. Penyebaran SST setiap bulan memperlihatkan pola yang cukup jelas. Peningkatan SST terjadi mulai bulan Februari hingga mencapai puncaknya pada bulan Mei sebesar 28oC, dan rata-rata 27,2oC. Apabila diperhatikan, maka ada perbedaan waktu selama 3 bulan antara nilai SST tertinggi dengan curah hujan terendah. Puncak SST terjadi pada bulan Mei, sedangkan curah hujan terendah terjadi pada bulan Agustus (Gambar 4a).

Untuk stasiun Cimanggu, rata-rata curah hujan bulanan selama periode Januari

1991-Januari 2005 adalah 186-485 mm/bulan, dengan rata-rata 385 mm/bulan. Apabila dibandingkan dengan stasiun Sukamandi dan Pacet, maka stasiun Cimanggu memiliki curah hujan yang lebih tinggi. Puncak hujan terjadi pada bulan April dan terendah pada bulan Juli. Ada tenggang waktu sekitar 2 bulan antara puncak SST pada bulan Mei dengan curah hujan terendah pada bulan Juli (Gambar 4b). Stasiun Cimanggu memiliki curah hujan yang lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun Sukamandi dan Pacet. Hal ini disebabkan Bogor merupakan daerah yang dipengaruhi oleh angin lembah, sehingga sirkulasi monsun diperkuat oleh sirkulasi lokal tersebut (Bayong, 2000) . Dalam hal ada penguatan antara monsun dan angin-angin lokal maka jumlah curah hujan menjadi lebih tinggi/melimpah.

Di stasiun Pacet, rata-rata curah hujannya 260 mm/bulan, dengan kisaran 94-396 mm/bulan dari rata-rata periode 20 tahun (Januari 1985-Januari 2005). Puncak hujan terjadi pada bulan Januari dan terendah pada bulan Agustus. Penyebaran SST memperlihatkan adanya tenggang waktu sekitar 3 bulan antara SST tertinggi pada bulan Mei dengan curah hujan terendah pada bulan Agustus (Gambar 4c).

Bawah Normal (BN)

jika curah hujan hasil prediksi <85% dibandingkan curah hujan rata-rata jangka panjang pada bulan yang sama

Normal (N) jika curah hujan hasil prediksi berada pada kisaran 85-115% dibandingkan curah hujan rata-rata jangka panjang pada bulan yang sama

Atas Normal (AN)

jika curah hujan hasil prediksi >115% dibandingkan curah hujan rata-rata jangka panjang pada bulan yang sama

PACET

0.0

50.0

100.0

150.0

200.0

250.0

300.0

350.0

400.0

450.0

500.0

JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES

BULAN

CH

25.5

26.0

26.5

27.0

27.5

28.0

28.5

SST

CHSST

SUKAMANDI

0.0

50.0

100.0

150.0

200.0

250.0

300.0

350.0

400.0

450.0

500.0

JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES

BULAN

CH

25.5

26.0

26.5

27.0

27.5

28.0

28.5

SST

CHSST

CIMANGGU

0.0

50.0

100.0

150.0

200.0

250.0

300.0

350.0

400.0

450.0

500.0

JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES

BULAN

CH

25.5

26.0

26.5

27.0

27.5

28.0

28.5

SS

T

CHSST

Gambar 4. Penyebaran curah hujan dan SST Nino 3.4 di (a) Sukamandi, (b) Cimanggu dan (c) Pacet

(a)

(c)

Page 46: Vol.2 No.1, 2005

46

Penyebaran curah hujan dan SST memberikan gambaran secara umum pola curah hu jan bu lanan ser ta baga imana hubungannya dengan distribusi SST Nino 3.4 pada periode yang sama di daerah monsunal. Ternyata ada perbedaan waktu puncak 2-3 bulan antara SST tertinggi dan curah hujan terendah. Hal ini memberi indikasi adanya mekanisme yang menghubungkan pemanasan di laut dengan curah hujan yang akan terjadi. Kolam hangat (warm pool) di Pasifik yang indikatornya adalah SST memerlukan waktu untuk memanaskan udara di sekitarnya, akibatnya wilayah tersebut menjadi pusat tekanan rendah sehingga merubah arah angin dan membawa awan-awan yang berpotensi menjadi hujan menjauhi wilayah Indonesia. Dengan demikian beberapa wilayah Indonesia curah hujannya rendah atau bahkan tidak mener ima hu jan untuk beberapa saat . Kenyataan ini semakin memperkuat adanya hubungan antara curah hujan dengan SST. Selain itu, hasil tersebut dapat digunakan sebagai dasar untuk mengembangkan lebih

lanjut model prediksi curah hujan dengan memperhitungkan faktor tenggang waktu (time lag) antara puncak SST dengan kejadian hujannya, sehingga diharapkan diperoleh suatu model yang lebih menyeluruh karena telah memperhitungkan berbagai aspek input data.

Validasi Model Hubungan Curah

Hujan dan SST Validasi dilakukan dengan

membandingkan antara hasil prediksi berdasarkan model hubungan curah hujan dan SST dengan data aktual untuk jangka waktu 6 bulan dengan model ARMAX. Tingkat keeratan hubungan kedua parameter tersebut ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi (Cc) validasi untuk setiap model. Pada 3 stasiun contoh (Tabel 1), nilai Cc validasi antara 77,73 - 97,74%, dengan R2 validasi 60,43 - 95,53%. Perbandingan antara data curah hujan runut waktu dengan data hasil prediksi ditunjukkan oleh nilai Cc model dan R2 model yang masing-masing berkisar antara 64,08-87,28% dan 41,06-76,18%.

datanya. Pacet yang terletak di daerah yang relatif lebih tinggi menjadikan daerah ini dipengaruhi oleh adanya faktor orografis. Gunung-gunung atau pegunungan akan mempengaruhi pola curah hujan yang terjadi di sekitarnya. Faktor orografi ini dapat memperlemah atau bahkan meniadakan pengaruh monsun sehingga ada tempat-tempat dimana pada saat berlangsung monsun timur yang pada umumnya mengalami kekeringan, tetapi justru terjadi banyak hujan. Hal ini didukung oleh pernyataan Bayong (2003) yang menyatakan bahwa daerah yang dipengaruhi oleh angin lembah, akan menyebabkan sirkulasi monsun diperkuat oleh sirkulasi lokal tersebut. Dalam hal ada penguatan antara monsun dan angin-angin lokal maka jumlah curah hujan melimpah.

Apabila dibandingkan dengan hasil penelitian Boer (1999) dan Ratag (1997) yang memperlihatkan bahwa korelasi pola antara

Dari Tabel 1 terlihat bahwa hasil validasi curah hujan 6 bulan di Sukamandi memperlihatkan nilai R2 validasi yang cukup besar (95,53%). Curah hujan hasil prediksi antara 112-231 mm/bulan, sedangkan curah hujan observasi 0-138 mm/bulan (Gambar 5b). Untuk stasiun Cimanggu dengan R2 validasi 63,11% menunjukkan penyebaran curah hujan hasil prediksi 0-535 mm/bulan dan curah hujan hasil observasi 106-493 mm/bulan (Gambar 6b). Sedangkan stasiun Pacet, dengan R2 validasi 60,43% memperlihatkan kisaran curah hujan hasil prediksi 73-365 mm/bulan dan curah hujan hasil observasi 18-375 mm/bulan (Gambar 7b).

Validasi 6 bulan di stasiun Pacet (Gambar 7b) memperlihatkan hasil yang kurang bagus dibandingkan Sukamandi dan Cimanggu. Hal ini disebabkan adanya pengaruh lokal di lokasi Pacet yang cukup kuat sehingga pola hujannya kurang jelas yang berakibat mempersulit model dalam proses pembelajaran

Stasiun Cc validasi (%)

R2 validasi (%)

Cc model (%)

R2 model (%)

Fit (%)

Sukamandi 97,74 95,53 87,28 76,18 42,96

Cimanggu 79,44 63,11 64,08 41,06 15,43

Pacet 77,73 60,43 83,52 69,76 39,18

Tabel 1. Hasil validasi curah hujan

Cc=koefisien korelasi

Page 47: Vol.2 No.1, 2005

47

observasi dan luaran berbagai model untuk wilayah Indonesia masih sekitar 0.4-0.5 untuk curah hujan, maka hasil penelitian ini cukup memberikan nilai yang lebih tinggi, yaitu : 0,78-0,98. Hal ini mengindikasikan bahwa SST Nino 3.4 di wilayah Pasifik cukup memberikan

pengaruh terhadap curah hujan di 3 stasiun tersebut sehingga dapat digunakan sebagai prediktor curah hujan. Hasil validasi ini memberi gambaran bahwa model cukup baik untuk digunakan dalam prediksi curah hujan bulanan.

Gambar 5. Validasi curah hujan dengan data seri panjang (a) dan data 6 bulan (b) di Stasiun Sukamandi

(a)

Gambar 6. Validasi curah hujan dengan data seri panjang (a) dan data 6 bulan (b) di Stasiun Cimanggu

(a)

Gambar 7. Validasi curah hujan dengan data seri panjang (a) dan data 6 bulan (b) di Stasiun Pacet

(a)

Page 48: Vol.2 No.1, 2005

48

Prediksi Curah Hujan Hasil prediksi curah hujan di

Sukamandi, Cimanggu dan Pacet periode Februari-Juli 2005 ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi model 80,88-86,34 %, R2 model 65,42-74,55 %, dan fit model 37,24-46,04

% (Tabel 2). Berdasarkan ketiga parameter ini, hasil prediksi menunjukkan indikasi yang cukup baik. Curah hujan periode Mei-Juli 2005 diperkirakan antara 47-138 mm/bulan di Sukamandi, 252-369 mm/bulan di Cimanggu dan 115-197 mm/bulan di Pacet (Gambar 8).

Tabel 2. Hasil prediksi curah hujan

Stasiun Cc model (%) R2 model (%) Fit model (%)

Sukamandi 86,34 74,55 46,04

Cimanggu 80,88 65,42 37,24

Pacet 84,85 71,99 44,76

Cc=koefisien korelasi

a b

c

Gambar 8. Prediksi curah hujan periode Februari-Juli 2005 di Stasiun Sukamandi (a), Cimanggu (b) dan Pacet (c)

Untuk mengetahui gambaran hasil prediksi curah hujan, maka dilakukan pembandingan antara curah hujan hasil prediksi dengan rata-rata jangka panjang yang dinyatakan dengan 3 sifat hujan menurut kriteria BMG, yaitu : Normal (N), Bawah Normal (BN) dan Atas Normal (AN) (Tabel 3).

Di Sukamandi, prakiraan curah hujan periode Februari-Juli 2005 sebagian besar bersifat di atas normal (50%) (Gambar 9a), artinya curah hujan hasil prediksi sebagian besar lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata pada bulan yang sama selama periode Januari 1991- Januari 2005. Sedangkan curah hujan di

Page 49: Vol.2 No.1, 2005

49

Cimanggu dan Pacet sebagian besar bersifat di bawah normal (66,7%) (Gambar 9b dan 9c), yang berarti curah hujan hasil prediksi sebagian besar lebih rendah dibandingkan dengan rata-

rata pada bulan yang sama selama periode Januari 1991- Januari 2005 untuk stasiun Cimanggu dan Januari 1985-Januari 2005 untuk stasiun Pacet.

Apabila ditinjau periode Mei-Juli 2005, maka dominasi sifat curah hujan di setiap lokasi tersebut mengalami perubahan. Di Sukamandi dan Cimanggu didominasi oleh sifat hujan di

atas normal (66,7%). Sedangkan di Pacet merata untuk semua sifat hujan, artinya peluang terjadinya hujan normal, di atas normal dan di bawah normal adalah sama.

Tabel 3. Prakiraan sifat hujan Februari-Juli 2005

2005 Sukamandi Cimanggu Pacet Februari BN BN BN Maret N BN BN April AN BN BN Mei BN BN BN Juni AN AN N Juli AN AN AN

N=normal (85-115%), BN=bawah normal (<85%), AN=atas normal (>115%) (kriteria BMG)

Sukamandi, 1991-2004

0

50

100

150

200

250

300

350

400

450

500

Feb Mar Apr Mei Jun JulBulan

CH

Rata-rataPrediksi

Cimanggu, 1991-2004

0

50

100

150

200

250

300

350

400

450

500

Feb Mar Apr Mei Jun Jul

Bulan

CH

Rata-rataPrediksi

Pacet, 1985-2004

0

50

100

150

200

250

300

350

400

450

500

Feb Mar Apr Mei Jun Jul

Bulan

CH

Rata-rataPrediksi

Gambar 9. Penyebaran curah hujan hasil prediksi dibandingkan dengan rata-rata jangka panjang di Sukamandi, Cimanggu dan Pacet.

Untuk mengetahui prediksi curah hujan global, berikut disajikan hasil prediksi hujan periode Mei-Juli 2005 yang dikeluarkan oleh International Research Institute (IRI). Dari gambar 10 terlihat bahwa daerah-daerah yang mengalami curah hujan di bawah normal adalah Sulawesi bagian utara dengan peluang 40-45%. Sedangkan wilayah Indonesia bagian barat sebagian besar mengalami curah hujan di atas normal, antara lain Sumatera bagian selatan,

Jawa, Bali, sebagian Kalimantan dan sebagian Sulawesi, dengan peluang 40-70%. Dengan membandingkan hasil prediksi antara filter Kalman dan IRI periode Mei-Juli, maka diperoleh gambaran bahwa kedua metode memperlihatkan kecenderungan yang sama dimana sebagian besar wilayah Jawa (termasuk Sukamandi, Cimanggu dan Pacet) curah hujan diperkirakan di atas normal.

Page 50: Vol.2 No.1, 2005

50

6. Model validasi dan prediksi curah hujan ini bersifat spesifik lokasi, dan harus diperbarui setiap saat untuk setiap tempat.

Saran 1. Untuk mendapatkan data dan informasi

yang real time, maka model harus senantiasa diperbaharui dengan data terbaru.

2. Model perlu dikembangkan dengan menggunakan input SST Indonesia dan indikator anomali iklim yang lain seperti SOI dan IOD agar diketahui parameter mana yang lebih dominan dan berpengaruh terhadap curah hujan di Indonesia.

3. Untuk mengetahui karakteristik dari setiap model fungsi (ARMAX, ARX, BJ dan OE) yang menghubungkan input dan output, maka perlu diaplikasikan bentuk model yang lain dengan daerah studi yang lebih luas.

DAFTAR PUSTAKA

Aldrian, E, dan R. D. Susanto. 2003. Identification Of Three Dominant Rainfall Regions Within Indonesia and Their Relationship To Sea Surface Temperature. International Journal Of Climatology, Int. J. Climatol, 23: 1435-1452. Wiley InterScience.

Bayong, Tj.H.K. 2000. Seasonal Rainfall Variation Over Monsoonal Areas. Case Study : Bandung and Jakarta Areas. Jurnal

Aplikasi Hasil Penelitian Selama ini perencanaan tanam hanya

dilakukan berdasarkan pola curah hujan setempat dari data-data yang lampau dan belum memperhitungkan aspek prediksi. Oleh karena itu, berdasarkan data dan informasi hasil prediksi curah hujan beberapa waktu ke depan secara spesifik lokasi, dapat dilakukan perencanaan tanam yang telah memperhitungkan aspek prediksi sehingga diperoleh gambaran kapan saat tanam yang lebih baik.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan 1. Validasi curah hujan secara umum

menghasilkan nilai koefisien korelasi 77,73 - 97,74%, dengan R2 validasi 60,43 - 95,53%.

2. Perbandingan antara data curah hujan runut waktu dengan data hasil prediksi menghasilkan nilai Cc model 64,08-87,28% dan R2 model 41,06-76,18%.

3. Hasil validasi mengindikasikan bahwa SST Nino 3.4 dapat digunakan sebagai prediktor curah hujan bulanan.

4. Hasil prakiraan curah hujan periode Mei-Juli 2005 : di Sukamandi 47-138 mm/bulan, di Cimanggu 252-369 mm/bulan, dan di Pacet 115-197 mm/bulan.

5. Hasil prakiraan sifat hujan Mei-Juli 2005 : Sukamandi dan Cimanggu di atas normal (66,7%) dan Pacet berpeluang sama untuk 3 sifat hujan (33,3%).

Gambar 10. Prediksi hujan IRI periode Mei-Juli 2005

Page 51: Vol.2 No.1, 2005

51

Teknologi Mineral Volume VII No. 4. Fakultas Ilmu Kebumian dan Teknologi Mineral ITB.

Boer, R. Notodipuro, K.A. and Las, I. 1999. Prediction of daily rainfall characteristic from monthly. climate indicate. Paper pesented at the second international conference on science and technplogy for the Assesment of Global Climate Change and Its impact on Indonesian Maritime Continent, 29 November-1 December 1999.

Box, G.E, G Jenkins, G Reinsel. 1994. Time Series Analysis Forecasting and Control. Prentice Hall.

Hendon, H.H. 2003. Indonesian Rainfall Vari-ability : Impacts of ENSO and Local Air-Sea Interaction. American Meteorology Society.

Kalman, R.E. 1960. “A New Approach to Linear Filtering and Prediction Problems”, Transaction of the ASME. Journal of Basic Engineering, pp 35-45, March 1960.

Las, I., 2004, Menyiasati Fenomena Anomali Iklim Bagi Pemantapan Produksi Padi Nasional Pada Era Revolusi Hijau Lestari-Strategi dan Inovasi Teknologi Untuk

Antisipasi dan Penanggulangan Orasi, Pengukuhan Ahli Peneliti Utama Bidang Agrometeorologi. Badan Litbang Pertanian.

Ljung, Lennart. 2002. System Identification Toolbox for Use with MATLAB. Math Works, Inc.

Ratag, M.A. 1997. Nested Climate Modelling. First International Conference on Science and Its Impact on Indonesian Maritim Continent, Jakarta. Desember 1997

Ratag, M.A 2003. Anomali Iklim El Nino/La Nina dan Sistem Mitigasinya di Indonesia. Makalah Seminar El-Nino dan Implikasinya Terhadap Pembangunan Pertanian, 6 Maret. Bogor.

Tor, Yam Khoon. 2002. L1, L2, Kalman Filter and Time Series Analysis in Deformation Analysis. FIG XXII International Congress.

Welch, G dan G. Bishop. 2003. An Introduction to The Kalman Filter.

http://www.cpc.noaa.gov/data/indices

http://www.cpc.noaa.gov/products/predictions

http://www.iri.columbia.edu

Page 52: Vol.2 No.1, 2005

52

PEWILAYAHAN CURAH HUJAN BERDASARKAN ANALISIS PELUANG CURAH HUJAN BULANAN KABUPATEN INDRAMAYU DAN CIREBON

Sumarno1, Sudarmo2, Adang Hamdani1, dan E. Runtunuwu1

1Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi 2Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

ABSTRAK

Curah hujan merupakan unsur iklim yang memiliki keragaman tinggi pada wilayah yang

memiliki pola hujan tertentu, bahkan terkadang sering terjadi fluktuasi yang ekstrim diluar kemampuan daya dukung tanaman terhadap iklim. Pada tanaman pertanian hal ini menjadi kendala dalam usaha budidaya. Untuk mengatasai masalah tersebut maka prediksi kondisi iklim mendatang perlu dilakukan. Prediksi curah hujan dengan peluang 75% melalui Methode Sebaran Gamma dapat memberikan informasi yang sangat bermanfaat bagi pertanian. Oleh karena itu penelitian yang bertujuan untuk merumuskan hubungan curah hujan bulanan dengan curah hujan minimal peluang 75% serta pewilayahannya telah dilakukan dengan mengambil studi kasus di Kabupaten Indramayu dan Cirebon. Hasil analisis menunjukkan bahwa variasi keragaman curah hujan terjadi di bawah 25% hingga diatas 50%. Keragaman curah hujan di bawah 25% terjadi pada tiga stasiun, yaitu Jatiseeng, Congkol, dan Sindangjawa. Sedang keragaman curah hujan di atas 50% terjadi di semua stasiun berkisar antara 7-12 bulan/tahun. Hasil analisis curah hujan peluang 75% sangat beragam, terendah 462 mm/tahun terjadi pada stasiun Bulak. Sedangkan tertinggi 1982 mm/tahun pada stasiun Panongan. Berdasarkan grafik dendogram terdapat sembilan kelompok wilayah curah hujan peluang 75% sebagai gambaran spasial curah hujan wilayah Indramayu dan Cirebon.

Kata kunci : Keragaman curah hujan, pewilayahan hujan ABSTRACT

Rainfall is the one of climate elements which highly variation on area with selected rain pattern, even sometimes often happened extreme fluctuation beyond the reach of energy support crop to climate. At the agriculture crop, this matter becomes constraint in conducting effort. Rainfall prediction is the one of solve problem to reduce the efect is require to be conducted. Rainfall prediction with opportunity 75% by Gamma Distribution Methode can give advantage information to agriculture. Therefore the research with aim to formulate a monthly rainfall relationship to minimum rainfall of opportunity 75% and also their delineation have been done taken case study in Indramayu and Cirebon regency. Result of analysis indicate that variation of rainfall happened under 25% till above 50%. Rainfall variation under 25% happened at three station, that is Jatiseeng, Congkol, and Sindangjawa. While rainfall variation above 50% happened in all stations range from 7-12 months / year. Result of opportunity rainfall analysis 75% very immeasurable, lowest (462 mm / year) happened at station of Bulak, while highest (1982 mm / year) at station of Panongan. Pursuant to graph of dendogram there are nine regional group of opportunity rainfall 75% as picture of spasial regional rainfall of Indramayu and Cirebon.

Page 53: Vol.2 No.1, 2005

53

PENDAHULUAN

Iklim merupakan komponen sumber daya alam yang penting bagi kegiatan pertanian, karena dalam waktu singkat dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Sedangkan dalam jangka panjang dapat mempengaruhi pembentukan tanah.

Curah hujan dan suhu adalah komponen iklim yang sangat dominan dalam menentukan klasifikasi iklim di suatu wilayah. Sejalan dengan itu informasi hasil prakiraan (prediksi) peluang hujan yang terbaru dan akurat sangat dibutuhkan terutama di Kabupaten Indramayu dan Cirebon yang dikenal sebagai lumbung pangan Jawa Barat. Keragaman curah hujan yang tinggi indikasi untuk melihat gejala kelainan iklim. Oleh karena itu pemahaman karakteristik iklim masa yang akan datang bagi suatu wilayah yang tepat dan akurat jelas diperlukan karena akan membantu dalam merencanakan suatu kegiatan khususnya sektor pertanian.

Tujuan

Menguji keragaman curah hujan, merumuskan bentuk persamaan hubungan curah hujan bulanan dengan curah hujan minimal dengan peluang 75% berdasarkan analisis sebaran Gamma, dan mendeliniasi perwilayah curah hujan berdasarkan analisis curah hujan bulanan minimal dengan peluang 75%.

Manfaat

Manfaat kegiatan ini bagi para petani khususnya wilayah Indramayu dan Cirebon adalah dapat menentukan strategi pola usaha tani. Sedangkan bagi pemerintah, dapat menentukan arah kebijakan dalam menyusun spesialisasi komoditas unggulan pada suatu wilayah.

BAHAN DAN METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian dilakukan di Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi (BALITKLIMAT), Bogor. Mulai tanggal 14 Maret sampai dengan 31 Mei 2005. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan berupa data sekunder curah hujan bulanan (1994-2004) terdiri dari 19 stasiun di Kabupaten Indramayu dan 22 stasiun di Cirebon.

Series data curah hujan yang digunakan dalam pengolahan adalah dalam kurun waktu 11 tahun dari Kabupaten Indramayu dan

Kabupaten Cirebon. Data tersebut diperoleh dari Balitklimat Bogor, yang dikumpulkan dari Badan Meteorologi dan Geofisika, Dinas Pengairan Kabupaten Indramayu dan Cirebon, Dinas Pertanian Kabupaten Indramayu dan Cirebon, Dinas Perkebunan Indramayu dan Cirebon, dan Perum Jasa Tirta.

Alat yang digunakan adalah seperangkat komputer pentium IV berbasis Windows XP lengkap dengan program analisis statistik, yaitu SPSS Versi 11 dan Microsoft Excel 2003. Untuk delineasi pewilayahan curah hujan digunakan Arc View GIS versi 3.2.

Metode Pelaksanaan 1. Mengumpulkan data curah hujan rata-rata

bulanan. Data curah hujan kumulatif selama

periode tahun 1994 hingga tahun 2004 baik musim hujan atau musim kemarau, diolah menjadi rataan bulanan perhitungannya dengan cara menjumlahkan dari tanggal 1 hingga tanggal ahir bulan, khusus data yang bernilai nol tidak hitung.

2. Uji Keragaman Curah Hujan. Tahap awal analisis yaitu melalui uji

keragaman curah hujan. Uji keragaman ini dilakukan terhadap data curah hujan bu-lanan jangka panjang. Ukuran keragaman adalah nilai koefisien varien (CV). Jika nilai CV lebih besar dari 20% menunjukan ker-agaman sedang. Sedangkan jika nilai ker-agaman lebih besar dari 25% berarti pan-jang seri data terlalu pendek atau disebab-kan terlalu tingginya keragaman curah hu-jan yang terjadi karena kesalahan penga-matan yang disebabkan oleh pengamat atau oleh alat.

3. Menganalisis curah hujan minimal dengan peluang 75% menurut sebaran Gamma (Boer.at. al 1990.)

4. Pewilayahan curah hujan Guna memperoleh gambaran curah

hujan spasial, maka dilakukan pewilayahan curah hujan menggunakana metode cluster-ing (Estiningtias, 2005 ) dengan persamaan

D (xi,xj) = 2

Dimana : Xik = nilai dari sifat ke k dari objek ke i Xjk= nilai dari sifat ke k dari objek ke j D(Xi, Xj)= jarak antar objek ke i dan ke j P = banyaknya sifat yang diamati

( )∑=

−p

ik

XjkXik

Page 54: Vol.2 No.1, 2005

54

Analisis clustering adalah bagian dari analisis peubah ganda yang bertujuan untuk memisahkan kelompok data ke kelompok data yang lebih kecil, dimana setiap obyek memiliki sifat dan ukuran yang homogen sehingga diperlukan data yang mempunyai keseragaman yang menjadikan dasar tehnik pengelompokan.

Ukuran kedekatan antar obyek dalam analisis gerombol adalah jarak. Dalam analisis ini digunakan ukuran jarak euklidean. Euklidean mengasumsikan bahwa antar peubah sudah saling ortogonal. Semakin besar jarak euklidean, maka semakin besar pula perbedaan antar unit-unit pengamatan. Sebaliknya semakin

kecil jarak euklidean maka antar unit pengamatan semakin serupa

5. Analisis regresi hubungan curah hujan minimal dengan peluang 75% dengan curah hujan rata-rata bulanan. Hal ini dilakukan dengan cara menganalisis regresi dengan data curah hujan rata-rata sebagai peubah bebas (X) dan data curah hujan minimal dengan peluang 75% sebagai peubah tak bebas (Y).

Gambar 1 menyajikan prosedur

analisis data curah hujan bulanan peluang 75% menurut sebaran Gamma, untuk pewilayahan hujan Kabupaten Indramayu dan Cirebon.

Gambar 1.Diagram Alir Tahapan Analisis Pewilayahan Curah Hujan

Page 55: Vol.2 No.1, 2005

55

Kel.

Nama stassiun

CH peluang

75% (mm)

Keting-gian

(mdpl)

Ker-agamCH

<25% (Bln/Thn)

Keragam CH 25 -

50% (Bln/Thn)

Keragam CH >50% (Bln/Thn)

Posisi stasiun Luas (Ha)

Lintang (°)

Bujur (°)

1 Cidempet 645 2.2 0 2 10 -6.47 108.25 15079.16 Bondan 893 17.2 0 4 8 -6.61 108.3 7858.765 Sumurwatu 676 12.5 0 1 11 -6.62 108.29 52575.86 Ujungaris 573 7.82 0 1 11 -6.46 108 29 4882.41 Krangkeng 737 6.92 0 3 9 -6.46 108.29 11939.43 Sudikampiran 708 8.69 0 2 10 -6.5 108.48 6796.094 Bulak 462 5 0 1 11 -6.36 108.11 37352.53 Bngkir 833 4.02 0 1 11 -6.39 108.29 3247.102 Cikedung 655 11 0 1 11 -6.47 108.17 7074.193 Indramayu 873 1.17 0 1 11 -6.34 108.32 12158.1 Sudimampir Lor 711 3.37 0 3 9 -6.48 108.36 4835.016 Lohbener 799 5.01 0 2 10 -6.41 108.28 4782.44 Losarang 629 5.5 0 0 12 -6.41 108.15 9991.395 Sukadana 748 13.5 0 4 8 -6.55 108.28 9030.892 Tugu 748 12 0 1 11 -6.43 108.42 11261.05 Juntinyuat 736 3.3 0 1 11 -6.43 108.44 2921.618 Kedokan 893 6.84 0 4 8 -6.51 108.42 12372.48 Jatibarang 801 7.3 0 4 8 -6.46 108.31 3676.756 Total 217835.3 2 Cangkuang 939 14 0 4 8 -6.89 108.7 2651.691 Seuseupan 831 28 0 1 11 -6.89 108.62 1749.458 Total 4401.149 3 Kertasmaya 1146 11.29 0 2 10 -6.42 108.39 3336.922 Karangwaren 1070 18 0 4 8 -6.87 108.65 3794.927 Total 7131.849 4 Cikuesik 1370 32 0 4 8 -6.98 108.69 2658.001 Total 2658.001 5 Ambit 1376 30 0 2 10 -6.93 108.67 1577.036 Cangkring 1340 9 0 5 7 -6.67 108.51 15066.33 Total 16643.36 6 Losari 1190 5 0 5 7 -6.84 108.62 6049.818 Gebang 1218 23 0 3 9 -6.86 108.72 5777.469 Jatiseeng 1277 20 1 4 7 -6.9 108.74 4251.28 Sedong 1240 211 0 3 9 -6.88 108.58 829.747 SindangLaut 1380 19 0 4 8 -6.83 108.62 6724.818 Kepuh 1187 20 0 3 9 -6.75 108.57 3412.125 Klangenan 1332 46 0 3 9 -6.74 108.43 3089.956 Penpen 1445 22 0 3 9 -6.79 108.58 3300.826 Sepatok Selatan 1477 32 0 5 7 -6.79 108.57 1847.819 Total 35283.86 7 Panongan 1982 156 0 5 7 -6.86 108.43 3224.342 Pamengkang 1635 24 0 5 7 -6.76 108.56 2386.514 Wanasaba Kidul 1680 120 0 5 7 -6.78 108.51 3471.781 Cangkol 1682 60 1 3 8 -6.76 108.51 4368.626 Total 13451.26 8 Wlahar 954 39 0 1 11 -6.71 108.36 11198.56 Total 11198.56 9 Tuk Mudal 1535 52 0 5 7 -6.75 108.47 2850.415 Sindang Jawa 1796` 95 1 2 9 -6.76 108.51 1563.554 Total 4413.969

Sumber: Balitklimat (2004) data diolah

Tabel. 1 Kelompok Curah Hujan dan Keragamannya

Page 56: Vol.2 No.1, 2005

56

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Keadaan Kabupaten Indra-mayu dan Cirebon

Wilayah Indramayu dan Cirebon mem-punyai topografi yang bervariasi dari mulai data-ran rendah sampai agak berbukit, dengan ke-tinggian berkisar antara 1,17-211 mdpl. Namun demikian wilayah ini sebagian besar berupa dataran rendah, kecuali daerah Wanasaba ki-dul, Sedong, dan Panongan ketingiannya lebih dari 100 mdpl.

Daerah Indramayu dan Cirebon termasuk wilayah kering yang bulan basahnya 3-4 bulan berturut-turut. Oleh karena itu kondisi iklim diwi-layah ini perlu mendapat perhatian terutama dalam pengelolaannya, sehingga kegiatan usaha pertanian tidak mengalami hambatan yang dapat merugikan para petani. Informasi tentang kondisi iklim yang akurat untuk tahun kedepan dirasakan sangat perlu. Data fluktuasi iklim setempat contohnya, dibutuhkan para pe-tani dalam menjalankan usahanya menanam komoditas pertanian.

Uji Keragaman Curah Hujan

Hasil uji keragaman curah hujan di wila-yah Indramayu dan Cirebon, disajikaan pada tabel 1. Pada tabel 1. terlihat bahwa keraga-man curah hujan yang mempunyai nilai kurang dari 25% hanya tiga stasiun yakni Jatiseeng, Congkol, dan Sindanglaut ini terjadi pada bulan Februari dan Maret. Sedangkan yang mempun-yai nilai lebih dari 50% terjadi pada semua sta-siun dengan 7-12 bulan. Tingginya koefisien keragaman tersebut diduga disebabkan oleh kurang panjangnya periode data yang diguna-kan atau akibat kesalahan pengamatan atau alat yang rusak.

Analisis Curah Hujan Minimal dengan Pe-luang 75%

Berdasarkan hasil analisis keragaman curah hujan di wilayah Indramayu dan Cirebon, maka selanjutnya dilakukan analisis peluang 75% menurut sebaran Gamma.

Hasil analisis curah hujan dengan peluang 75%, dapat terlihat bahwa pada masing-masing kelompok angka yang didapat sangat beragam. Curah hujan peluang 75%

terendah terjadi pada stasiun Bulak, yang termasuk pada kelompok satu dengan jumlah curah hujan 462 mm. Sedangkan curah hujan tertinggi pada stasiun Panongan hingga mencapai 1982 mm, ini termasuk pada kelompok tujuh dengan ketinggian 95 mdpl. Memperhatikan hasil analisis curah hujan peluang 75%, ternyata pada umumnya semakin ke arah Selatan yang hampir berbata-san dengan lereng Gunung Ciremai, jumlah curah hujan relatif tinggi. Ini diduga akibat adanya perubahan ketinggian secara berang-sur. Sedangkan wilayah yang mengarah ke Utara jumlah curah hujannya relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan wilayah yang mengarah ke Selatan. Hal ini dapat dimengerti karena wilayah Utara lebih didominasi dataran rendah yang menyebabkan masa uap air sulit berkondensasi. Pewilayahan Curah Hujan

Gambar 2 menyajikan hasil analisis hasil analisis Clustering pada 41 stasiun yang berada di wilayah Kersidenan Cirebon (Indramayu dan Cirebon) yang berupa grafik dendogram. Grafik dendogram menggambarkan jumlah dan batas kelompok. Banyaknya kelom-pok/gerombol yang berdasarkan pada tinggi hujan masing-masing stasiun dibatasi oleh jarak antar kelompok pada setiap step pengelompok. Grafik dendogram menghasilkan sembilan kelompok wilayah curah hujan peluang 75% sebagai gambaran spasial curah hujan wilayah Indramayu dan Cirebon.

Hasil analisis curah hujan peluang 75% menurut sebaran gamma, selanjutnya diguna-kan untuk pewilayahan curah hujan, guna mem-peroleh gambaran spasial curah hujan wilayah Indramayu dan Cirebon.

Pada Gambar 3. menyajikan hasil anal-isis pewilayahan hujan berdasarkan titik-titik pengamatan hujan sebagai kelompok selanjut-nya dibuat garis hubungan Polygon Thiessen. Setiap polygon menunjukan daerah yang memiliki pola hujan yang sama.

Pewilayahan juga dimaksudkan untuk melihat gambaran posisi lokasi setiap pos-pos pengamatan hujan dan dipetakan dalam peta dasar daerah administrasi sesuai dengan kelompoknya. Dari peta pewilayahan terlihat posisi stasiun mengelompok sesuai dengan kelompoknya.

Page 57: Vol.2 No.1, 2005

57

0 5 10 15 20 25 STASIUN +---------+---------+---------+---------+---------+ Bangkir � Indramayu Krangkeng Jatibarang Cidempet Sudimampir lor Loh bener Tugu Sumurwatu Ujungaris Sukadana Juntinyuat Bulak Sudikampiran Losarang Cikedung Kedokan Bondan

Cangkuang Seuseupan Wlahar

Tukmudal

Sindangjawa Pamekang Wanasaba Kidul Cangkol

Panongan

Kertasmaya Karangwaren Ambit Cangkring Losari Jatiseeng Gebang Kepuh Sedong Sindanglaut Penpen Sepatok Klangenan Cikeusik

Gambar 2. Dendogram Hasil Pewilayahan Curah Hujan di Stasiun Indramayu dan Cirebon

Page 58: Vol.2 No.1, 2005

58

Penyebaran curah hujan hasil analisis diwilayah Indramayu dan Cirebon, pada umunya memiliki pola hujan puncak terjadi pada bulan

Januari dan puncak kemarau pada bulan Agus-tus. Pola puncak hujan dapat dilihat pada gambar 4.

Gambar 3. Peta Pewilayahan Hujan Indramayu dan Cirebon

Gambar 4. Pola Hujan Setiap Kelompok di Wilayah Indramayu dan Cirebon

0

20

40

60

80

100

120

140

160

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Series1

0

50

100

150

200

250

300

350

400

450

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Series1

0

50

100

150

200

250

300

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Series1

kelompok 1

kelompok 3

kelompok 5

0

50

100

150

200

250

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Series1

0

50

100

150

200

250

300

350

400

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Cikeusik

Cikeusik

0

50

100

150

200

250

300

350

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Series1

kelompok 2

kelompok 4

kelompok 6

Page 59: Vol.2 No.1, 2005

59

Analisis Regresi

Data curah hujan yang telah diolah dengan peluang 75% menurut sebaran gamma, menghasilkan sembilan kelompok hujan selanjutnya dilakukan analisis regresi dengan tujuan untuk mencari garis hubungan curah hujan rata-rata bulanan dengan curah hujan minimal peluang 75% dalam bentuk persamaan

matematik. Dengan diketahuinya bentuk persamaan regresi antara dua peubah, maka besarnya peubah tidak bebas (Y) dapat diperkirakan dari angka pengukuran peubah bebas (X).

Analisis regresi hubungan curah hujan minimal dengan peluang 75%, dengan curah hujan rata-rata bulanan, di Indramayu dan Cirebon, didapat persamaan sebagai berikut:

0

50

100

150

200

250

300

350

400

450

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Series1

0

50

100

150

200

250

300

350

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Wlahar

Wlahar

0

50

100

150

200

250

300

350

400

450

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Sindangjawa

Sindangjawa

kelompok 8 kelompok 7

kelompok 9

Tabel 2. Persamaan Hubungan Antara CH dengan CH Rata-Rata Bulanan Peluang 75%

Kelompok Persamaan

1 y = 7.99x + 85 R2 = 0.62

2 y = 1.32x + 75 R2 = 0.64

3 y = 1.33x + 21 R2 = 0.92

4 y = 1.28x + 68 R2 = 0.92

5 y = 1.72x + 32 R2 = 0.92

6 y = 0.45x – 98 R2 = 0.70

7 y = 1.31 x + 26 R2 = 0.91

8 y = 0.95x + 142 R2 = 0.70

9 y = 1.09 x + 90 R2 = 0.86

Keterangan :

y adalah curah hujan minimal dengan peluang 75% x adalah curah hujan rata-rata bulanan R2 adalah koefisien determinasi.

Page 60: Vol.2 No.1, 2005

60

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan 1. Sebagian besar keragaman curah hujan

pada setiap wilayah melebihi 50%, ini terjadi antara 7-12 bulan pada setiap tahunnya.

2. Curah hujan minimal dengan peluang 75%, terendah sebesar 462 mm terjadi pada stasiun Bulak dan tertinggi sebesar 1982 mm pada stasiun Panongan.

3. Hasil analisis pengelompokan curah hujan minimal dengan peluang 75% dengan metode clustering menghasilkan sembilan kelompok wilayah hujan.. Untuk wilayah Indramayu sebagian besar termasuk dalam kelompok satu kecuali Kertasamaya termasuk kelompok tiga. Dengan luas wilayah 217835.3 Ha, kelompok satu ini merupakan wilayah kelompoik hujan terluas, sedangkan kelompok dua sampai kelompok sembilan berada diwilayah Kabupaten Cirebon dengan luas wilayah setiap kelompok antara 4401.149-35283.36 Ha.

Saran Untuk pewilayahan curah hujan perlu digunakan series data yang lebih panjang dan perlu dilaksanakan cek ulang ke lapangan, guna mendapatkan data yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Boer, R., Irsal Las., dan Ahmad Bey. 1990. Metode Klimatologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor

Effendy, S. 2003. Klimatologi Jurusan Geofisika dan Meteorologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor.

Estiningtias, W. 2005. Penggunaan Metode

Filter Kalman Untuk Prediksi Curah Hujan Di Sentra Pangan. Balai Penelitian Agrroklimat dan Hidrologi Bogor.

Page 61: Vol.2 No.1, 2005

61