vol. 1. 2008

60
Dewan Redaksi: Dewan Redaksi: Dewan Redaksi: Dewan Redaksi: Dewan Redaksi: Amir Effendi Siregar (Ketua), Ivan Hadar (Wakil Ketua), Faisal Basri, Nur Iman Subono, Ari Sudjito. Pelaksana Redaksi: Pelaksana Redaksi: Pelaksana Redaksi: Pelaksana Redaksi: Pelaksana Redaksi: Azman Fajar (Koordinator), Puji Riyanto (Redaksi), Launa (Redaksi). Alamat Redaksi: Alamat Redaksi: Alamat Redaksi: Alamat Redaksi: Alamat Redaksi: Jalan Bangka IIC No. 4 Pela Mampang, Jakarta Selatan Telp : 021-71469596; Fax: 021 – 7196924, Jalan Kemang Selatan II No. 2A, Jakarta 12730 Tel: 021 - 7193711 (hunting) Fax: 021 – 71791358 Penerbit Penerbit Penerbit Penerbit Penerbit Pergerakan Indonesia dan Komite Persiapan Yayasan Indonesia Kita Daftar Isi Daftar Isi Daftar Isi Daftar Isi Daftar Isi Pengantar Redaksi 4 Laporan Utama Diskusi Tematik: Pemimpin Tanpa Visi dan Arah 6 Laporan Utama PEMIMPIN TANPA VISI: Quo vadis Indonesia? 22 Artikel PENTINGNYA IDEOLOGI Ivan Hadar 28 Wawancara Faisal H. Basri: Pemimpin jangan durhaka pada bangsanya 31 Wawancara Prof Dr. Musa Asy’arie: Kepemimpinan dan Pemiskinan Bangsa 38 Artikel R. Ramli dan P. Nuryadin: Kegagalan Solusi Monetaris dan Neoliberal di Indonesia:Kerawanan damam Bungkus Baru 34 Profil Pergerakan Indonesia 50 Resensi Membangun Alter-Hegemon 54 ISSN: 1978-9084 ISSN: 1978-9084 ISSN: 1978-9084 ISSN: 1978-9084 ISSN: 1978-9084

Upload: phungque

Post on 10-Dec-2016

269 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Vol. 1. 2008

Vol. 1 No. 1 Januari - Maret 2008

1

Dewan Redaksi:Dewan Redaksi:Dewan Redaksi:Dewan Redaksi:Dewan Redaksi:

Amir Effendi Siregar (Ketua),

Ivan Hadar (Wakil Ketua),

Faisal Basri,

Nur Iman Subono,

Ari Sudjito.

Pelaksana Redaksi:Pelaksana Redaksi:Pelaksana Redaksi:Pelaksana Redaksi:Pelaksana Redaksi:

Azman Fajar (Koordinator),

Puji Riyanto (Redaksi),

Launa (Redaksi).

Alamat Redaksi:Alamat Redaksi:Alamat Redaksi:Alamat Redaksi:Alamat Redaksi:

Jalan Bangka IIC No. 4

Pela Mampang, Jakarta

Selatan Telp : 021-71469596;

Fax: 021 – 7196924,

Jalan Kemang Selatan II

No. 2A, Jakarta 12730

Tel: 021 - 7193711 (hunting)

Fax: 021 – 71791358

PenerbitPenerbitPenerbitPenerbitPenerbit

Pergerakan Indonesia dan

Komite Persiapan Yayasan

Indonesia Kita

Daftar IsiDaftar IsiDaftar IsiDaftar IsiDaftar Isi

Pengantar Redaksi 4

Laporan UtamaDiskusi Tematik: Pemimpin Tanpa Visi dan Arah 6

Laporan UtamaPEMIMPIN TANPA VISI: Quo vadis Indonesia? 22

ArtikelPENTINGNYA IDEOLOGI Ivan Hadar 28

WawancaraFaisal H. Basri: Pemimpin jangan durhakapada bangsanya 31

WawancaraProf Dr. Musa Asy’arie: Kepemimpinan dan PemiskinanBangsa 38

ArtikelR. Ramli dan P. Nuryadin: Kegagalan Solusi Monetarisdan Neoliberal di Indonesia:Kerawanan damam BungkusBaru 34

ProfilPergerakan Indonesia 50

ResensiMembangun Alter-Hegemon 54

ISSN: 1978-9084ISSN: 1978-9084ISSN: 1978-9084ISSN: 1978-9084ISSN: 1978-9084

Page 2: Vol. 1. 2008

Jurnal Demokrasi Sosial

2

S a l a mdalam melakukan koordinasi danketidakberanian mengambil keputusanserta sikap juga menjadi persoalan yangtidak kalah pentingnya.

Undang Undang Dasar ‘45, baik yanglama maupun yang telah diamandemen,jelas memberikan landasan konstitusionalbahwa negara ini harus dibangunberdasarkan prinsip yang menjamin haksipil, hak politik, hak sosial, hakekonomi, dan hak budaya. Pasal 33 dan34 UUD 45, misalnya, secara sangat jelasmeminta pemimpin negara inimembangun negara yang berkeadilansosial dan ekonomi, bukan semata-mataberdasarkan pada prinsip ekonomi pasarortodoks yang bisa menciptakanmonopoli baru oleh segelintir orang(“private sector”) yang justru bisamenyebabkan jurang ekonomi sosialsemakin tinggi. Dalam kaitan ini,

Jika dihitung sejak turunnyaSoeharto, maka reformasi telah berjalanselama kurang lebih 9 tahun. Namun,hasil yang dicapai belum seperti yangdiharapkan. Dalam hal ini, kita belummengetahui secara jelas menyangkut apasebenarnya yang ingin dicapai olehbangsa dan negara ini. Tentu saja, bilakita bertanya kepada para pemimpin,maka mereka pasti mempunyai jawabanatas pertanyaan tersebut, diantaranyaadalah tercapainya masyarakat adil danmakmur. Jawaban semacam ini sangatlahkabur. Kita mengharapkan jawaban yangjelas dan dapat diukur, tidak sekedarpernyataan retorik seperti itu. Sebagaicontoh, misalnya, apa yang ingin dicapaioleh bangsa dan negara ini pada tahun2010, 2015 atau bahkan 2020?Bagaimana usaha meningkatkan GrossNational Income kita, yang kini lebih

rendah daripada Philipina, Tiongkok,bahkan mulai dikejar oleh Vietnam?Bagaimana dengan pengurangan angkakemiskinan? Bagaimana mengatasipengangguran? Bagaimana denganpenegakan hukum? Puluhan pertanyaanmasih bisa kita ajukan buat parapemimpin kita, dan tampaknya parapemimpin kita tidak mempunyai jawabanyang konkret.

Situasi semacam ini tentumengundang pertanyaan di masyarakatmengenai apa yang sebenarnya terjadi.Salah satu masalah yang diduga sangatpenting adalah tidak konsistennya parapemimpin dalam melaksanakan apa yangtertulis dengan apa yang dikerjakan.Persoalan lain menyangkut ketidakjelasanfilsafat dan paradigma serta konsep yangmelandasi seluruh kegiatan dan programnegara. Ketidakmampuan para pemimpin

Pengantar redaksi

Page 3: Vol. 1. 2008

Vol. 1 No. 1 Januari - Maret 2008

3

Pengantar redaksi

J u m p amonopoli negara dan monopoli sektorswasta sama berbahayanya.

Sayangnya, pemimpin negara ini tidakmelaksanakan amanat UUD ‘45 secarakonsekwen dan konsisten. Sebaliknya,kebijakan-kebijakan ekonomi lebihbanyak didominasi oleh program dankegiatan yang didasarkan pada pemikiranekonomi pasar ortodoks. Kalaupun adaprogram sosial dan ekonomi untukmasyarakat bawah, maka lebih bersifat“charity” bukannya program ekonomi,sosial, politik dan budaya yangmenyeluruh dan utuh sebagaimanadiamanatkan UUD ‘45.

Atas alasan inilah, edisi perdanaJURNAL DEMOKRASI SOSIAL mengundangberbagai pihak untuk mendiskusikanmasalah tersebut. Beberapa pembicaradan partisipan yang diundangdiantaranya adalah Prof. Dr. Franz Magnis-

Suseno dari STF Driyarkara, Arie Sudjitodari FISIPOL UGM, Boni Hargens dariFISIP UI, Imam Yudotomo dari CSDSYogyakarta, Ivan A. Hadar dari IdeIndonesia, M.Azman Fajar dari PergerakanIndonesia, Hariyadi Wirawan dari FISIPUI, dan lain sebagainya.

Dalam diskusi tersebut, dibahasberbagai hal yang cukup menarik yangmerentang dari masalah-masalah sosial-ekonomi, sipil dan politik, sertakebudayaan. Hasil diskusi tersebut dapatdibaca pada jurnal edisi perdana kali ini,dan harapannya dapat memberikansemacam gagasan atau sumbang saranbagi perbaikan Indonesia pada masa yangakan datang. Bagaimanapun tidaklahmungkin membangun Indonesia tanpavisi, terlebih dalam era sekarang inidimana pasar menjadi kekuatan dominanyang mempengaruhi hampir semua

dimensi kehidupan manusia. Negara harusmengambil peranan sebagaimana amanatundang-undang dasar ’45 dan tidakmelepasnya begitu saja pada mekanismepasar, laissez-faire. Ini hanya mungkinjika elit politiknya mempunyai visi dankomitmen yang kuat.

Selanjutnya, demi memperkayagagasan dan kedalaman analisis, redaksijuga memuat beberapa tulisan hasilwawancara dengan Prof. Dr. Musa As’Ariedan Faisal Basri. Redaksi juga memuathasil kajian Rizal Ramli dan P. Nuryadindari ECONIT Advisory Group. Mudah-mudahan gagasan-gagasan yang tertuangdalam jurnal edisi perdana inibermanfaat. Selamat membaca!!

Redaksi

Page 4: Vol. 1. 2008

Jurnal Demokrasi Sosial

4

D i s k u s i Te m a t i k :

Pemimpin tanpa visi dan arah

Pengantar RedaksiVisi seorang pemimpin akan mempunyai kontribusi yang tidak sedikit dalam mendorongkemajuan sebuah bangsa. Namun sayangnya, dalam konteks Indonesia, sejak reformasi hinggasekarang, belum ditemukan sosok pemimpin yang visioner yang mampu memberi arah akankemana negeri ini sebenarnya hendak dibawa. Tampaknya, para pemimpin belum mempunyaikonsep dan paradigma yang jelas guna menyelesaikan berbagai problem yang dihadapi BangsaIndonesia seperti kemiskinan dan pengangguran, demokatisasi politik, dan lain sebagainya.Oleh karena itulah, tim redaksi mengundang berbagai tokoh dan pakar di bidang sosial-budaya,politik, dan juga ekonomi guna mendiskusikan berbagai persoalan yang dihadapi Indonesiatersebut, utamanya kaitannya dengan visi seorang pemimpin. Dalam kesempatan tersebut,diundang sebagai narasumber Prof. Dr. Franz Magnis-Suzeno dari STF Driyarkara dan BoniHargens dari FISIP Universitas Indonesia. Selain itu, diskusi juga mengundang berbagai elemenmasyarakat yang selama ini concern terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi Indonesia,diantaranya adalah Ari Sudjito (FISIPOL-UGM), Ivan A. Hadar (Ide Indonesia), Thamrin Ananda(Partai Rakyat Aceh), Saiful Bahari (PPR), Hariyadi Wirawan (FISIP UI), Nur Iman Subono (Demos),Azman Fajar (Pergerakan Indonesia), Syaiful Bahari (Partai Perserikatan Rakyat), Imam Yudotomo(CSDS), Sukma Widyanti (Pergerakan Indonesia), Kemala Sophia (MBRC FISIP UI), Amir EffendiSiregar (praktisi media), Friedrich-Ebert-Stiftung, dan lain sebagainya. Berikut ini adalah hasildiskusi tersebut.

Laporan Utama

Moderator (Ivan A. Hadar)Selamat malam. Sebenarnya, ada

beberapa pembicara yang akan kitaundang dalam diskusi kali ini.Diantaranya adalah Pak Faizal Basri yangrencananya mau berbicara soal ekonomi,tapi sayangnya, menurut teman-temandekatnya, baru tiba dari luar kota, dankatanya juga kurang sehat. Jadi, terpaksatidak bisa hadir. Kemudian dari bidang

politik, rencananya Pak Eko Prasojo, tapikita beruntung karena ada penggantinya,yaitu Mas Boni Hargens, dan yang ketigadari bidang sosial budaya kita sangatgembira karena Romo Magnis bisa hadirpada hari ini, dan nanti bisa ngomong-ngomong kenapa menolak Bakrie Award.

Sebenarnya, inisiatif untuk melakukandiskusi seperti ini bagian dari perjalananpanjang atau setengah panjang dari

teman-teman yang punya visi, kira-kira,tidak melepas ekonomi menjadi laissezfire, lepas tangan segala-galanya. Negaraharusnya berperan cukup pentingmeskipun kita tahu bahwa negara, kalaukita ambil kasus Indonesia- bukan negarasebenarnya, tetapi pemerintah- seringkali bermasalah. Tapi, tetap saja masihada keyakinan bahwa seharusnya negaraberperan aktif dalam, katakanlah, paling

Page 5: Vol. 1. 2008

Vol. 1 No. 1 Januari - Maret 2008

5

tidak, menengahi antara yang ekstrim,antara yang kaya dan miskin, dansebagainya. Nampaknya, banyak yangmengatakan bahwa sejak kemerdekaankita mempunyai arah, tapi makin lama,paling tidak setelah reformasi, arahnyatidak begitu jelas. Oleh karena itu,mungkin diskusi ini bisa menjadi bagiandari rencana atau upaya sebagian temanuntuk memberikan solusi dalam masalahtersebut.

Kita mulai dari pertanyaan yangpaling aktual hari ini, yakni mengapaRomo Magnis menolak (Bakrie award). Iniserius karena kaitannya dengan korporasiyang cukup besar, kaitannya denganbencana- katakanlah bencana buatanmanusia meskipun sebagian mengatakanbencana alam, kaitannya denganlambannya pemerintah atau negara untukmengantisipasi dengan melakukan hal-hal yang sebenarnya sangat basic.Bagaimana ketika rakyatnya menderita,ketika ada sesuatu yang salah, itu perludibenahi. Jadi, gaya-gaya tebar pesonadan sebagainya mungkin bukan waktunyalagi.

Ada yang setuju dengan langkahRomo, tetapi sebagian yang menerimahadiah mengatakan tidak. Terutamalembaga penelitian kalau nggak salahmengatakan, “Ya.. Award ini bisa jadiuntuk memancing masyarakat, termasukpemerintah supaya memberikan perhatianyang lebih kepada lembaga penelitiankarena di Indonesia lembaga penelitianmemang kurang diperhatikan”. Alasannyabisa macam-macam, tapi alasan yangmendasar ada kaitannya dengan yangdikatakan Romo Magnis meskipun tidakmelihat secara langsung bahwa diLapindo ada sesuatu yang belum tuntasdilakukan oleh, katakanlah, perusahaantersebut. Di Indonesia, saya pikir, kalaudilihat dari segi sosial budaya danekonomi tentu saja ini salah satu caseyang menarik bagaimana negara,misalnya, seharusnya berperan,bagaimana pemerintah yang mewakilimasyarakat seharusnya berperan.Mungkin dari sudut pandang seperti itutidak kaitannya dengan pribadi Romo,tetapi lebih kepada pertimbanganfilosofis di belakang penolakan Romo,dan itu mungkin bisa dikembangkan

mengenai bagaimana seharusnya perannegara untuk mengantisipasi berbagai halyang sebenarnya di Indonesia cukupaktual.

Saya pikir mungkin pengantar sepertiitu, sedikit provokasi, tetapi mudah-mudahan bisa mengungkit semangat.Silahkan.

Romo MagnisMenurut saya, di Indonesia, lebih

daripada sekedar penolakan hadiah. Hari-hari ini saya terus dikerubungi mediayang ingin tahu dan semua tentu inginmemancing saya untuk mengutuk Bakrie.Namun baiklah, mungkin saya dapatmenceritakannya meskipun sedikit.

Saya tidak tahu persis, mungkin padabulan Mei pernah datang dari Freedommenyindir kepada saya, tetapi waktu itusaya tidak memperhatikan dan lupa, dansebenarnya juga tidak tahu apa yangdiomongkan. Pada tanggal 18/17, sayake Bandung karena ada suatu urusanbisnis. Waktu itu, saya mendapatpertanyaan, “Kamu akan dapat hadiah itu,dan bagaimana apakah kamu terima atautidak?” Saya bertanya, “dapat hadiah apa

Laporan Utama

Page 6: Vol. 1. 2008

Jurnal Demokrasi Sosial

6

ya?” “Hadiah Bakrie”. Saya pikir beberapajam lalu menulis surat kepada FreedomInstitute bahwa saya, andaikata itu betul,tidak akan menerima hadiah tersebut.Kemudian, saya mengusulkan supayamereka tidak mengumumkan saja, tapimengumumkan orang lain. Jadi, sayatidak ada masalah dengan hadiah itu.Saya kira gagasan hadiah seperti itu adabenarnya. Saya juga tidak keberatankonglomerat memberikan hadiahsemacam itu agar orang-orang kaya tidakterfokus pada kekayaan, dan itu terpuji.Tetapi, saya lalu menulis kurang lebihbegini, “Ini Bakrie memang berkaitandengan Lapindo, dan apakah Lapindomemang sepenuhnya bertanggung jawabatau tidak atas lumpur di Sidoarjo bukanurusan saya menilai. Namun yang jelas,masih ada ribuan korban yang belumdibantu, dan saya tidak bisa menerimahadiah yang berkaitan dengan sebuahperusahaan yang terlibat di dalammasalah itu. Saya tidak bisa sampai hati,dan dianggap tidak solider. Itu saja.”

Lalu, Freedom Institute masih datangpada 18 pagi karena sorenya saya keItalia. Rizal datang ke tempat saya padapermulaan Juli dan mengatakan bisamenerima. Jadi, itu story-nya, dan sayatidak keberatan orang lain menerimanya.Waktu itu, saya juga tidak tahu apakahada orang lain karena saya sebenarnyatidak mau membuat orang lain merasatidak enak menerimanya karena sayamenolak dan saya kira itu memangterjadi. Saya tidak bisa mengubah itu,dan saya kira lebih penting tetap setiapada orang-orang yang menjadi korban.Jadi, itu kurang lebih situasi saya.

ModeratorSaya ingat waktu ada diskusi antara

Romo dengan, kalau tidak salah,Komaruddin Hidayat. Ini kaitannyadengan tema hari ini, pemimpin tanpavisi. Menurut Mas Komar, dia keliling keTurki, China, Vietnam, dan sebagainya.Kalau di Vietnam ada Paman Hoo, di Chinaada Mao, di Turki ada Ataturk. Nah, dia

merindukan di Indonesia ada pemimpin,tentu saja kaitannya dengan visi danbukan hanya sekedar pemimpinkharismatik, yang bisa membawa negeriini keluar dari krisis. Dalam uraiannya,Ia sangat pesimistis karena dibandingkandengan negara-negara yang disebutkantadi nampaknya Indonesia sangat jauh.Namun, saya dengar dalam diskusitersebut bahwa Romo Magnis cukupoptimistis.

Romo MagnisSaya tidak optimis 90 %, tetapi antara

60-65%. Namun, saya berpendapat bahwaada sebuah tendensi untuk melumpuhkandiri sendiri dengan pesimistis. Ada duaatau mungkin tiga pertimbangan. Satudiantaranya sangat prinsipil. Pertama,sebuah negara seperti Indonesia danbangsa seperti Indonesia janganmengharapkan bisa secara lurus tanpakesulitan dalam 60 tahun menjadi sebuahbangsa besar dan negara yang mantap.Jerman, misalnya, memerlukan dua kaliuntuk mencoba demokrasi. Percobaanpertama tahun 1918, dan menghasilkansalah satu petaka ummat manusiaterbesar, yaitu nazisme, Perang DuniaKedua, holocoust, dan sebagainya. Itusebuah negara yang relatif telahmengikuti irama modernisasi. Nah, barukedua kalinya berhasil. Perancis, tentusaja, tidak terkecuali. Mereka mengalamibanyak peristiwa. Saya sendiri tidak kagetbahwa Indonesia dan banyak negara didunia ikut mengalami modernisasisebagai lebih dari paksaan dari luardaripada kebutuhan iramaperkembangannya sendiri, dan inimembuatnya banyak mengalamikesulitan.

Alasan kedua, Indonesia belum pernahmempunyai konsensus sedemikian besarmengenai demokrasi seperti sekarang.Hizbut Tahrir mungkin tidak terlibatdalam konsensus itu, dan mungkin masihada satu-dua kelompok lagi. Namun, kitasimak bahwa tahun 50-an mayoritaspenduduk Indonesia tidak mendukung

... sebuah negara seperti

Indonesia dan bangsa

seperti Indonesia jangan

mengharapkan bisa

secara lurus tanpa

kesulitan dalam 60 tahun

menjadi sebuah bangsa

besar dan negara yang

mantap.

Laporan Utama

Page 7: Vol. 1. 2008

Vol. 1 No. 1 Januari - Maret 2008

7

demokrasi. Waktu itu, mendukungMasyumi dan PSI kecil, juga Partai Katolikdan Partai Protestan (Parkindo). Namun,partai besar seperti PNI, PKI, dan NUmendukung Soekarno ketika menghapusdemokrasi dengan mengatasnamakandemokrasi terpimpin. Tentu saja, inisebuah kemajuan besar. Demokrasi kitabanyak sekali cacat sama sekali tidakperlu disangkal, tapi ada sesuatu yangpositif. Misalnya, tahun ‘99/2000, kitabanyak berbicara mengenai disintegrasibangsa, tetapi sekarang tidak ada lagi.Memang, bahaya disintegrasi dan masalahmasih ada di Papua. Aceh barangkalibetul-betul telah dapat diatasi. Di lainprovinsi, saya tidak melihat masalah yangserius. Masalah pusat dan daerah belumteratasi, otonomi daerah sebagian tidakberhasil, tapi tidak berarti bahwaotonomi daerah salah. Mungkin caranyabelum begitu bagus. Konflik kekerasanjuga berkurang.

Saya juga melihat, misalnya,perkembangan dalam Islam. Islam akanselalu, dalam pandangan saya,memainkan peranan yang menentukan.Adalah cukup menarik bahwa tendensi-tendensi keislaman- katakanlahfundamentalis keras, ekstremis, dansebagainya- tidak kelihatan mengalamikemajuan yang begitu mengkhawatirkan.Saya kira masih akan bertambah, dan akanmencapai di sebuah level yang lebihtinggi. Kita ambil contoh PKS, menurutsaya, maksimal paling sekitar 20%.

Saya juga melihat ada sesuatu yangmenarik dalam Islam. Jika saya melihatdari Islam mainstream, Muhammadiyahdan NU, mereka tidak begitu ketakutandengan ekstremis, tetapi dengansalafisme. Mereka takut dicuri masjidnyadan sebagainya. Saya sudah cukup seringmendengar cerita semacam itu di JawaTimur, “masjid kami diambil alih”. Di situ,saya melihat, di pihak Islam moderat,Islam normal di Indonesia, telahmengidentifikasi dirinya denganIndonesia dan strukturnya, termasuksekarang dengan Pancasila.

Lalu, alasan saya yang ketigaberkenaan dengan nasionalismeIndonesia. Saya tidak pernah setujudengan pandangan bahwa nasionalismeIndonesia sudah mati meskipun seringkalidikatakan demikian. Namun, dalam semuasituasi dimana Indonesia ditantang,nasionalisme muncul lagi dalam konflik,dalam berbagai gerakan daerah dansebagainya. Mungkin sangat mengerikanKristen-Islam saling bunuh, tapi keluardari Indonesia mereka tidak. Jadi,sebetulnya, persatuan Indonesia lebihmantap daripada yang sering dipikirkan.Itu kelihatan kalau orang Indonesiabertemu di luar negeri, orang MelayuIndonesia merasa lebih dekat denganorang Batak, Jawa atau Flores daripadadengan Melayu Malaysia. Padahal,budayanya sama.

Ini mungkin secara singkat tiga alasanmengapa saya berpendapat dengan segalamacam masalah bahwa saya tetapoptimistis Indonesia akan berhasilmengatasi masalahnya.

ModeratorDengan catatan bahwa demokrasi

tidak dibajak oleh para elit yangkemudian memberikan ruh, mengarahkanpada hal-hal yang bertolak belakang danbahkan kontra produktif dengandemokrasi itu sendiri.

Pada masa Soekarno, saya ingat waktumasih kecil ketika mendengar Soekarnoberpidato di Radio pada 17 Agustusanmaka nampaknya rasa bangga sebagaiorang Indonesia sangat tinggi. Kitadengan tekun mendengarnya dan merasabahwa Indonesia di mata bangsa dannegara lain sangat bermartabat. Namunsekarang ini, 17-an lebih dimaknaisebagai makan krupuk, pasang bendera,dan lain sebagainya. Mungkin, visinyabelum ada sehingga sebagai wargaIndonesia belum bisa dipersatukandengan visi tertentu, apakah ideologiatau apapun namanya yang membuatmayoritas masyarakatnya bisa bangga. Itu

mungkin sebagian kritik dari apa yangdikatakan positif oleh Romo.

Romo MagnisMungkin saya bisa menambahkan

sedikit. Kalau tadi saya mengatakan 65%,maka harus dimaknai sebagai sebuahproses dan karenanya bisa menurun. Sayasendiri melihat bahaya terbesar yangdihadapi Indonesia adalah korupsi karenamemperlemah bangsa dari segala sudut.Dalam hal ini, saya berpendapat jikakejujuran atau ketidakjujuran menjadisistem maka akan menjadi gawat bagisebuah sistem apapun karena kejujuranbukan hanya masalah moral, tetapikamanusian fundamental. Oleh karena itu,jika korupsi tidak segera dapat diatasi,maka seluruh kemampuan kita akanhilang, kompetensi akan hilang, dansebagainya. Kedua, saya setuju sekali jikakrisis menjadi masalah. Kita mengalamikrisis moralitas elit, dan ini bisamenghancurkan kenegaraan kita.

ModeratorSaya ingin diskusi ini aktif. Tadi,

pendekatannya memang agak konven-sional karena modelnya mengajukanpertanyaan kemudian Romo mengung-kapkan pemikirannya. Saya kira bebassaja, siapa yang mau memberikanmasukan, pemikiran, tidak harusmenanggapi, tapi memperkaya. Silahkanteman-teman. Ini kaitannya lebih kesosial budaya. Terkait dengan socialcapital yang ternyata masih ter-fragmented, dimana-mana ada yang bisadikembangkan, tapi belum tune in satudengan lainnya, belum terkoordinir,belum inter change atau apapunistilahnya sehingga belum bisa menjadisesuatu yang menjadi pendorongsehingga social capital bisa menjadi lebihdari sekedar dari apa yang ada sekarang.Kalau dikaitkan dengan budaya terlepasapakah budaya atau tidak, tapi kalauorang Indonesia ke Jerman atau Filipinadimana sistemnya telah berjalan maka

Laporan Utama

Page 8: Vol. 1. 2008

Jurnal Demokrasi Sosial

8

Laporan Utama

manusianya bisa tune in di dalamnya.Ketika “budaya” atau sistem di Indonesiasemrawut, maka semuanya ikutsemrawut.

Dalam pengantar diskusi ini, mungkinkita dapat mengambil contoh UU ’45pasal 33. Sebenarnya, kalau dilihat lebihseksama, maka pasal ini bisa mengaturkehidupan ekonomi secara lebih sosial.Namun pada kenyatannya, pemimpintidak konsisten antara apa yang dikatakandengan yang dijalankan. Selain itu,mereka juga tidak mempunyai filsafat,paradigma, dan konsep yang jelas sebagailandasan kegiatan. Dalam hal ini, adasesuatu yang hilang, tidak nyambung.Apakah ini mengenai keberanianmengambil keputusan, dan ada kaitannyadengan SBY ataukah tidak? Namun,mestinya ada keberanian seperti jamanMegawati, misalnya. Silahkan, teman-teman.

Saiful BahariRomo tadi menyebut soal menguatnya

kelompok-kelompok fundamentalis. Initidak perlu dikhawatirkan karena masihada kelompok NU dan Muhammadiyah.Saya kira yang perlu diamati adalah krisisekonomi dan sebagainya menyangkutpola pandang masyarakat. Menguatnyagagasan fundamentalis, menurut saya,harus dilihat dari dua hal. Pertama,kelompok Islam yang cukup besar, yaituNU dan Muhammadiyah gagal dalammengartikulasikan simbol nilai-nilai danpandangan-pandangannya dalammasyarakat yang berada di tingkat palingbawah. Ini sangat berpengaruh sekalidalam kelanjutan demokrasi karenaberkaitan dengan proses kemajuan danpenghambatan demokrasi. Oleh karenaitu, kalau dua kelompok besar ini gagalmaka, saya kira, menjadi masalah seriusyang perlu kita antisipasi.

Kedua, bukan hanya gagalmengartikulasi, tapi, seperti yang tadidisinggung Romo Magnis, bahwa di desa-desa dan di kampung-kampung kumuhdimana simbol-simbol agama yang dulu

didominasi oleh dua organisasi besar,yaitu NU dan Muhammadiyah- NU lebihbanyak di wilayah pedesaan danMuhammadiyah lebih banyak di wilayahperkotaan-sekarang sudah diambil alihsebagian besar oleh mereka. Kelompok-kelompok fundamentalis ini sudah masukke pesantren-pesantren, dan kyai-kyaiyang dulu kiblatnya jelas sekarang sudahmemiliki suatu cara pandang yangberbeda.

Selain itu, persoalan lain yang cukupserius adalah kegagalan mereka jugadiimbangi oleh kelompok pro-demokrasidalam mengartikulasikan keresahanmasyarakat di tingkat bawah. Kalau padaera tahun 50-an, 60-an, terdapatideologi-ideologi sekuler yang begitumampu mengartikulasikan kepentingandan aspirasi dari lapis bawah, tapisekarang, seperti yang sudah disinggungdi awal, kelompok-kelompok pro-demokrasi berada di tingkat menengah.Akibatnya, mereka tidak mempunyai akardan cabang di tingkat paling bawah.Makanya, ruang sosial yang berada dilapis bawah hanya dikuasai olehkelompok yang kemungkinan besar telahbergeser ke fundamentalis. Oleh karenaitu, saya kira kita tidak bisa mengabaikansatu analisis dan juga koreksi lebih jauhyang menyatakan bahwa lembagakeagamaan yang disebut moderat ini-NUdan Muhammadiyah- perlu mengoreksidiri.

Boni HargensSaya ingin memberi komentar soal

Islam. Akhir era tahun 90-an, memangada kecenderungan yang sangat tampakbahwa Islam mulai bergerak dengansemangat dan niat politik yangditerjemahkan secara keseluruhan dalampartai politik dan gerakan yang merekabuat. Pada era 80’an, gerakan dansemangat tersebut diredam sedemikianrupa oleh Orde Baru sehingga konfliknegara versus Islam menjadi konflikbatin. Dalam pandangan saya, fenomenatahun ’90 dan setelahnya merupakan

fenomena memperebutkan Indonesiakarena kelompok-kelompok yang beragamini bertarung satu sama lain, mengklaimIndonesia, dan ingin menguasai denganideologinya masing-masing. Ini karenaantara Islam dan negara salurannya masihkabur, gelap. Antara Islam dengan negaratidak ada proses pencerahan. Dalamtubuh Islam, belum ada penyadaranorganisanatoris, sedangkan di levelnegara tidak ada penghargaan yang cukupkomprehensif menyangkut Islam sebagaisebuah agama atau aliran hidup. Jadi,sampai hari ini, hubungan antara negaradan Islam sangat kabur.

ModeratorRomo, konon pemimpin itu cermin

bagi rakyat. Apakah rakyat yang salahsehingga pemimpinnya yang diangkatseperti itu?, dan kalaupun pemimpinnyadiganti apakah situasinya akan berubah?Apakah memang perlu proses panjangseperti tadi telah dijelaskan bahwaIndonesia harus belajar seperti Jermandengan mengalami beberapa kalikegagalan untuk maju?

Romo MagnisMenurut saya, tidak. Kita tidak bisa

mengatakan rakyat salah karenamempunyai pemimpin seperti sekarang.Saya tidak tahu bagaimana menjelaskan.Jelas, sistem memang tidakmenguntungkan. Orde Baru tidak memberibanyak ruang agar pemimpin bisaberkembang, dan kita mempunyai pilihanyang sangat sedikit. Di negara ini,sebetulnya, ada cukup banyak orang yangandai kata diberi kesempatan memimpinakan memberikan hasil yang lebih baik.Memang harus diakui bahwa presiden kitasekarang lemah dan menjengkelkan,tetapi bukan sebuah malapetaka.Barangkali, sistem yang ada belummampu memberikan ruang yang cukupbagi kemunculan pemimpin-pemimpinalternatif. Bayangkan, dalam sebuahpemilihan yang akan datang, kita harus

Page 9: Vol. 1. 2008

Vol. 1 No. 1 Januari - Maret 2008

9

Laporan Utama

memilih antara SBY dan Megawati. Itumasih mungkin.

Amir Effendi SiregarRomo, saya ingin mengajukan suatu

pertanyaan. Indonesia merdeka periode‘50-‘59 bahkan sampai tahun 60-an,rasanya pusat-pusat kebudayaan tidakhanya di Jakarta, tetapi ada di Medan,Padang, Makasar, Manado, dan Surabaya.Di Medan banyak orang Batak, banyaktokoh-tokoh budaya, dan dari sanamuncul tokoh-tokoh besar, budayawanbesar, seperti Sultan Takdir. Di Jawa, jugaada tokoh besar. Pramudya Ananta Toer,misalnya, juga tokoh besar. Umumnya,budayawan-budayawan besar ini merasaIndonesia. Mereka merasa Indonesiadimanapun berada. Menurut Romo,apakah benar ada suatu sistem yangmerusak meskipun dalam hal ini tidakuntuk di-blame, yakni Orde Baru yangsangat otoritarian dan komersial.Persoalan ini kemudian berusahadipecahkan dengan desentralisasi untukmemunculkan kembali diversity-diversity.Bagaimana menurut Romo?

Romo MagnisMungkin yang lain mau menjawab.

Ari SudjitoPada dasarnya, krisis moral di

kalangan masyarakat dirasakan, terutama,pada saat politik belum bisa menjawabkebutuhan. Dalam berbagai event, teman-teman mencoba membuat penghubungantara perubahan politik dengan usahamenjaga suasana ekonomi yang langsungbisa dirasakan oleh rakyat. Kadang, sayamerasa bahwa Orde Baru meninggalkanbercak-bercak begitu banyak dimasyarakat yang sebetulnya mengurangiimajinasi untuk maju. Sebenarnya, rakyatmengetahui hal itu. Namun, tidak adapilihan untuk keluar secara radikal.Radikalisme di kalangan masyarakatbelum meyakinkan. Dalam tiga tahunterakhir, rakyat makin frustasi sebagai

akibat masih terpuruknya situasi ekonomidi negeri ini.

Saya mempunyai riset mengenaimunculnya perda syari’ah, soal formalisasiagama di beberapa provinsi. Sebenarnya,ini bukan kehendak society, tapi paketpolitik nasional yang pada saatamandemen UUD ’45 gagal. Kemudian,paket-paket tersebut disebarkan kedaerah, dan kemudian dijadikan sebagaialat “jualan”. Oleh karenanya, tidak adahubungannya dengan ideologi society danpilihan formalisasi. Sebaliknya, lebihmerupakan refleksi kepentingan elti-elitlokal. Kita tidak perlu terlalu risaumengenai apakah masyarakat mengakuiformalisasi agama, dalam hal ini Islam,sebagai pilihan. Ini karena tidak ada akarsosiologis, kultural ataupun historis yangmampu menjelaskan hal tersebut. Namun,yang saya risaukan adalah kefrustasianyang berkembang pada masyarakat akanmelahirkan dis-orientasi di tingkatsociety sebagai akibat menularnyakerusakan struktur politik formal kemasyarakat bawah. Sementara pada waktubersamaan, ketahanan sosial di aras lokalmulai tergerus oleh problem-problemkemiskinan, persoalan kelangkaan, yangtidak mengalami perubahan meskipuntelah dilakukan pilkada dan sebagainya.Kondisi ini bercampur aduk, dan, sepertidiungkapkan Bung Saiful, gerakan pro-demokrasi gagal dalam membuat panduanatau map untuk menolong masyarakatkeluar dari kefrustasian semacam itu.

Oleh karena itulah, kita perlumelakukan mapping ulang mengenaiproblem-problem yang tadi telahdisebutkan. Pilihan-pilihan rakyat yangpragmatis sebenarnya bukan tidak tahuakan masalah, tapi lebih karena tidakadanya daya kekuatan untuk mengubahsecara radikal. Selanjutnya, merekamendelegasikan kepada elit-elit lokalatau demokrasi representasi walaupunrepresentasi yang dimaksudkan tidakmampu menjawab persoalan-persoalanyang dihadapi oleh rakyat itu sendiri.

Di negara ini, sebetulnya,

ada cukup banyak orang

yang andai kata diberi

kesempatan memimpin

akan memberikan hasil

yang lebih baik. Memang

harus diakui bahwa

presiden kita sekarang

lemah dan

menjengkelkan, tetapi

bukan sebuah

malapetaka. Barangkali,

sistem yang ada belum

mampu memberikan

ruang yang cukup bagi

kemunculan pemimpin-

pemimpin alternatif.

Bayangkan, dalam

sebuah pemilihan yang

akan datang, kita harus

memilih antara SBY dan

Megawati. Itu masih

mungkin.

Page 10: Vol. 1. 2008

Jurnal Demokrasi Sosial

10

Untuk keluar dari situasi semacam ini,menurut saya, lokus negosiasi seyogianyadisebar, tidak hanya di pusat. Otonomidaerah sebagai ruang negosiasi sebagaiupaya mendemokrasisasi yangselanjutnya ditujukan untuk menjawabkesejahteraan gagal karena masihterfomalisasi. Kita harus mencegahtingkat resiko rusaknya local institutionatau social capital. Jika tidak, maka sayakwatir penularan ini akan semakin beratdi tingkat society. Sekarang, ada momentperubahan UU 32/2004. Kalau dulu UU22/1999 dari setting otonomi laluresentralisasi UU 32. Sekarang, maudipecah menjadi 3, yakni UU Pilkada, UUDesa, dan UU tentang otonomi daerahatau pemerintahan daerah. Namun,ketiganya mempunyai nalar dankepentingan yang berbeda-beda satudengan yang lain. UU Pilkada yangmempunyai kepentingan partai politik,UU pemerintahan daerah yangmempunyai kepentingan bupati, dan UUtentang desa yang mempunyaikepentingan kabupaten karena kabupatenselama ini belum mengakui desa sebagaiinstitusi pemerintahan. Jadi, ada dua halpokok yang perlu digarisbawahi, yaknimenyebar ruang negosiasi dan mencegahkerusakan local institution.

Ketiga, membuat road map untukmencari jalan tengah karena sekarangmengajak rakyat marah tidaklah sukar?Persoalannya siapa yang mengajak?Bupati yang kalah dengan mudah bisamemberi uang dan mengajak rakyat untukmarah. Kalau yang mengajak marah orangyang mempunyai komitmen demokrasibisa ditunjukkan jalannya. Kalau tidak?Saya tidak tahu.

ModeratorBoni, tadi Romo mengatakan ada

krisis moralitas elit. Itu elit siapa?Apakah kita juga termasuk? Jadi, kalaunanti kita masuk dalam kekuasaan, makaakan masuk juga. Riset Demos sepertiapa? Apakah ada semacam mapping?

Nur Iman SubonoDemos telah mengadakan survei di 33

provinsi dari tahun 2002-2005. Tahun2007 kita sudah mulai melakukanpenelitian yang hampir sama dengan yangdilakukan sebelumnya dengan melihattrend atau gejala-gejala baru. Tapi,diantara dua penelitian besar itu kita jugamelakukan penelitian lainnya. Salah satutuntutannya adalah perlunyarepositioning.

Sebagai contoh, dulu teman-temanyang mengelola atau mendorong teman-teman di sektor buruh, sekarang sektorburuhnya mempunyai organisasi sendiri.Rekan Saiful menjawab perubahan inidengan mentransformasikan kawan-kawannya di LSM menjadi partai politik.Ini bisa menjadi salah satu solusi.Namun, di titik lain, kita menemukanbeberapa kasus dimana organisasi rakyatpunya kesadaran politik yang lebih majudibandingkan dengan teman-teman LSMseperti Serikat tani atau nelayan.

Kelemahan lain adalah mereka masihterjebak pada single isu. Mas Ari benar,kekuatan mereka untuk menerobos tidakterlalu besar. Padahal, rekomendasi yangditawarkan adalah upaya mengombi-nasikan beberapa isu. Misalnya, teman-teman di serikat buruh masih belum maubekerja sama dengan teman-teman yangdigerakkan oleh anti korupsi karenadianggap isunya tidak berhubungan.Padahal, sangat berhubungan. Rekomen-dasi kita adalah memberikan semacaminformasi kepada mereka bahwa itu justruyang sebetulnya bisa menandingi elit,yang tadi dikatakan mengalami krisismoral di tingkat lokal.

Kedua, sebenarnya, beberapa studikasus yang diteliti Demos merupakaneksperimentasi demokrasi di tingkat lokalyang paling mengagumkan. Sebagaicontoh, teman-teman generasi mudaHindu di Bali bertarung di tingkat lokalkarena ternyata desentralisasi hanyamemberikan kesempatan kepada elit-elitBali yang kastanya tinggi sehinggamereka merebutnya melalui dekontruksi

teologi. Teman-teman di Sumatera Baratmelihat Nagayo menjadi salah satu kajianmereka tahun 2010 untuk menjadi basiskomunitas. Mereka cukup berhasil untukkasus-kasus korupsi di Sumatera Barat.Anggota DPRD masuk penjara. Ide merekakemudian diambil oleh teman-teman diAceh, tapi untuk eksekutifnya sehinggaAbdullah Puteh masuk penjara.

Eksperimen-eksperimen inisebetulnya harus menjadi consent kitakarena benar-benar luar biasa. Merekamencari celah-celah di saatketidakberdayaan atau kemampuanmereka untuk melawan masih belum kuat.Jadi, saya seperti Romo masih optimistisjika melihat kasus-kasus lokal tersebut.Memang, kita tidak tahu daya tahanmereka atas “godaan” karena penelitiandi Bengkulu memperlihatkan modelseperti ini paling mudah goyah, terutamadi tingkat kota karena ada politik uangdan premanisme. Di pedesaan, di gunung,mereka cukup punya keberanian untukmelawan.

Imam YudotomoKalau saya melihat sebetulnya kita

tidak perlu merasa aneh kenapa pemimpinsekarang seperti itu. Ini karenamerupakan produk Orde Baru. Jika dilihatdari usianya, pemimpin Indonesiasemuanya merupakan produk Orde Baru.Alumni Orde Baru yang sangat ketatdalam melaksanakan kebijakandepolitisasi yang mengarah kepada de-ideologisasi dan de-organisasi. Olehkarena itu, kita tidak perlu heran kenapapemimpin kita tidak mempunyai visi.Jadi, menurut saya, yang pentingsebetulnya bagaimana melakukanpendidikan politik. Kita harus mempunyaimodel pendidikan politik yangmenghidupkan kembali ideologi-atau jikaideologi mungkin mengerikan-maka cita-cita. Rakyat sekarang tidak mempunyaicita-cita, pemimpin-pemimpin kita tidakmempunyai cita-cita. Menurut saya, cita-cita itu penting. Dulu, Soekarno, Syahrir,Hatta, Tan Malaka mempunyai cita-cita

Laporan Utama

Page 11: Vol. 1. 2008

Vol. 1 No. 1 Januari - Maret 2008

11

Kita harus mempunyai

model pendidikan politik

yang menghidupkan

kembali ideologi-atau jika

ideologi mungkin

mengerikan-maka cita-

cita. Rakyat sekarang

tidak mempunyai cita-

cita, pemimpin-pemimpin

kita tidak mempunyai

cita-cita

yang jelas. Sekarang, kita tidakmempunyai cita-cita. Persoalannyaadalah bagaimana memimpin negaratanpa mempunyai cita-cita? Padahal,cita-cita akan menumbuhkan visi dansegala macamnya. Jadi, menurut saya, inimerupakan generasi yang hilang. Kitamungkin sudah melakukan pemilihanumum, tapi kita harus mulai denganpendidikan politik yang jelas.

ModeratorSetelah kemerdekaan kita mempunyai

cita-cita, katakanlah, membangunjembatan emas, negara yang sejahtera,sifatnya bisa merangkum, merangkulsangat banyak kekuatan, tapi sekarangini nampaknya tidak ada. Tadi, BungImam mengatakan bangsa ini perlu cita-cita. Cina mempunyai cita-cita, inginmenjadi kekuatan ekonomi terbesar.Namun sebenarnya, ini merupakankelompok elit di atas yang mencobamenerapkannya dalam kebijakan ekonomidan mengimplementasinya. Vietnamketika menang perang meskipun babakbelur, melalui kelompok elitnya, jugamempunyai cita-cita, yaitu membangunVietnam. Apakah ada kaitannya denganbudaya karena konon ada yang bilangbudaya Korea sangat teruji, alot, dansebagainya. Vietnam juga begitusehingga Amerika meskipun denganbomnya yang ratusan juta ton tidakmampu memenangkan peperangan. DiIndonesia, mungkin Romo bisamenjelaskan sebagai ahli kebudayaanJawa, apakah terdapat hubungan denganbudaya yang ideal? Apakah ada kaitanantara budaya atau yang lebih konkretnilai-nilai, yang mampu memperkuatsosial kapital tadi. Bisa memiliki cita-citayang ditopang bersama, dan mampumelakukan sesuatu yang besar karenanegeri ini besar secara spasial, secarageografis besar, dari segi jumlahrakyatnya juga besar, dan dari segisumber daya alamnya juga besar, segala-galanya besar. Namun, dalam hal yangsederhana, misalnya, negosiasi dengan

bangsa-bangsa lain sangat lemah, kalahterus. Dengan negara di segi tiga,Malaysia, Brunei ataupun Singapuraseringkali kalah. Belum lagi dengannegara besar seperti Amerika danseterusnya.

Amir Efendi SiregarSaya tambah sedikit apa yang

disampaikan Bung Imam tadi. Tanpa visi,misalnya, tidak ada cita-cita. Sebenarnya,dulu ketika pendiri republik ini bicarabesar, mereka semua nampaknyamempunyai cita-cita, dan kemudianmereka tuang ke dalam konstitusi, dalampembukaan UUD ’45 dan seterusnya. Padaera tahun 50-59an, kita masuk kedemokrasi, yang kita sebut demokrasiliberal. Mereka tuangkan dalam konstitusiRIS. Kembali tahun ’59, melalui dekritkita kembali ke UUD ’45.

Bagi saya, sebenarnya, cita-cita untukrepublik ini hanya yang tertulis.Sekarang! Tidak masuk dalam pikiran,tidak masuk dalam hati para pemimpin.Saya juga tidak mengerti apakahamandemen 1,2,3,4, hanya di mulut yangkemudian dituangkan dalam tulisan?Dalam praktiknya, tidak ada hubunganantara yang tertulis dengan yangdilakukan. Ini yang sebenarnya terjadi,yang kita sebut tanpa vision. Sebagaicontoh, dalam bidang media. Konstitusikita jelas mengatakan bahwa kita bukanliberal, tetapi sosial demokrat yangditunjukkan pasal 33-34. Itu clear.Pembukaan UUD ’45 itu clear, tapi dalampraktiknya media dibiarkan private. Betul-betul sangat liberal dan hampir-hampirterjadi dimana-mana. Padahal, kalaupemimpinnya mempunyai vision,mengerti masalah dan sesuai dengankonstitusi yang dia buat, diversity ofvoices harus tetap dijaga.

PesertaKonstitusi bukan mereka yang

membuat, tapi dibuat oleh pendahulu-pendahulu mereka.

Laporan Utama

Page 12: Vol. 1. 2008

Jurnal Demokrasi Sosial

12

Amir Efendi SiregarTapi bukankah mereka melakukan

amandemen? Diversity of voice harusdijaga, tapi yang terjadi tidak demikian.Sebaliknya, di bidang televisi, sudah adausaha tertulis dalam membuat diversityof voice, diversity of ownership, diversityof content melalui undang-undang, tetapitidak diimplemen-tasikan. Inilah problemyang kita hadapi. Apa yang tertulishampir tidak mempunyai kesesuaiandengan apa yang dilakukan, dan ituterjadi di hampir semua lini. Saya setujudengan Boni ataupun Ari mungkin haruslewat lokal, dan tidak berharap lagi dariatas karena di tingkat lokal masih adaregulasi-regulasi yang dapatdipraktikkan.

Sukma WidyantiMenyambung mengenai lokal tadi,

sekarang sering diungkap local wisdom.Bagaimana nilai-nilai lokal harusdiangkat, harus dilestarikan, tapi in otherhand saya melihat sebagai ancaman.Sebuah Bangsa Indonesia kemudianmemunculkan nilai-nilai tradisional lamayang penuh dengan nilai-nilaifeodalisme. Dalam hal ini, bukankah tidaksemua nilai lokal adalah baik? Di sana,kental sekali nilai feodalisme, yangkondisi politik sekarang membuatpemimpin-pemimpin lama lagi yang naikke atas; para raja-raja, para lalu atauapapun namanya yang pada dasarnyaadalah golongan priyayi di masing-masing wilayah sehingga menutup lagiakses masyarakat bawah untuk bisamenempati posisi sebagai pemimpin.Dalam pemahaman saya, nilai-nilai lokalini menjadi blunder. Inilah yang harusdiarahkan oleh pemimpin nasional.Masalahnya, bukan ada budaya 1 ataubudaya 2 yang semua bersaing, dan bukanlagi merupakan kekayaan Indonesia.Menurut saya, pemimpin nasional yangbaik adalah yang bisa menegaskan bahwakita beda, tapi tetap Indonesia yangmempunyai nilai-nilai Pancasila yangharus dijaga bersama.

Amir Efendi SiregarSaya menambahkan sedikit. Diversity

of voices-nya sekarang ini mati. Coba lihatTV kalau indikatornya media. Hampir tiaplebaran yang keluar Jakarta pulang kekampung, buat apa untuk orang Riau,tidak ada gunanya. Selain itu, suaranyasama, tidak ada bedanya dengan jamanotoritarian. Media cetak orientasinya60% berada di Jakarta. Kalau kita lihat,maka budaya lainnya tidak ada. Kalau dinegara-negara, katakanlah, Skandanavia,Swedia, misalnya, negara turun tanganuntuk menghidupkan diversity of voicesdengan membantu koran-koran kecil. Inikarena koran-koran tersebut tidak bisacompete dengan koran-koran mainstream.Oleh karena itu, harus ada limited stateintervention untuk menghidupkandiversity of voices. Di negara kita,bukannya begitu, tetapi free fight. Dinegara-negara Eropa Barat, khususnyanegara-negara Skandinavia sebagaimanadisebutkan di awal, dibantu lewattraining, event, dan lain sebagainyasupaya diversity of voices timbul.

Ari SudjitoSebetulnya, yang terjadi selama ini

adalah desentralisasi otonomi dandemokrasi sebagai sesuatu yang terpisah-pisah. Memang ada desentralisasi secaraformal, tapi sebenarnya dari sistemnegara ke negara, terus dari pemerintahpusat ke pemerintah lokal. Otonomidalam hal keuangan dan yang lainnya,tapi masih merupakan bad sending ditingkat lokal. Demokrasi yang sayabayangkan dalam era reformasi, misalnya,ada ruang yang tersedia. Jadi, masyarakatbisa merumuskan kebijakanpembangunan daerah, dan ini tidaktercermin dengan konkret. Oleh karenaitu, pekerjaan rumah kita terbesar salahsatunya adalah bagaimana mencegahpembajakan-pembajakan di aras lokalyang sebetulnya dilakukan dengan penuhkecurigaan kepada society?

Kebangkitan lokal berdasarkansentimen etnis atau lokal sangat sedikitsekali. Kalaupun ada hanya event-eventpartai politik, dan itu pun tidakterekspresikan dalam policy dan praksis.Oleh karena itu, ruang negosiasi yangdulu sempat dibuka pada awal reformasi,saat ini, mari kita hidupkan dalamkerangka membela rakyat atau komunitasdengan desentralisasi. Itu artinyakecenderungan berorganisasi, komunitasdiubah dengan pendidikan politik,mendemokrasikan mereka. Gejalaetnisitas yang muncul tersebut jangansampai menjadi stigma untuk kemudianmembuat niat baik desentralisasi dandemokrasi berhenti. Pada tahun 2004,misalnya, pada waktu pemilihan presiden,semua calon presiden membuat risalahdirinya ada kaitannya dengan raja-raja.Itu sebetulnya merupakan siasat. Dalamhal ini, elit mencoba menenggelamkaninisiatif ke-Indonesia-an dari lokal yangsudah berkembang.

Saya setuju dengan Bang Amir.Kemarin ada cerita salah seorang temanyang mau menginisiasi TV lokal, tapi tidakada ruang karena sudah dibeli oleh RCTI,SCTV, dan lain sebagainya. Ini berartibahwa udara saja sudah ada kapling-kapling-nya, laut apalagi. Untukmenyediakan ruang negosiasi ini, kadang-kadang kita baru berfikir lokal ketikarakyat sudah betul-betul marah. Acehbaru diberikan otonomi setelah “perang”habis-habisan. Nanti Papua juga begitu.Sebetulnya, ini tidak perlu terjadi kalaubangsa kita mempunyai pemimpin yangbisa merekam arus bawah. Lautkelihatannya tenang, tapi di bawahhangat sekali, sesuatu yang terjadipergolakan. Saya menilai masih cukup,sebetulnya, kesempatan yang bisa kitamanfaatkan. Hanya saja, antara set upkelembagaan dengan value harusdisambungkan karena seseorang melihatsentralisasi demokrasi sedang merayakanoligarki, dan merayakan sentralisasi yangcara kerjanya dipindah ke daerah.

Laporan Utama

Page 13: Vol. 1. 2008

Vol. 1 No. 1 Januari - Maret 2008

13

ModeratorRomo Karl Mark bilang, struktur itu

mempengaruhi manusianya. Kalau orangberagama bilang, manusia moralnya harusdiperbaiki, kalau kita moderatlah, yangberada di tengah-tengah. BagaimanaBung Boni, ahli politik Indonesia, apakahkarena strukturnya yang salah? Jikadilihat partai politik, maka hampirsemuanya kerakyatan. Golkar kerakyatan,PDIP, sampai yang baru dari Bung Saifuljuga kerakyatan.

Boni HargensSaya mulai dengan cerita. Saya pernah

diancam oleh Ketua Fraksi Demokratbeberapa bulan yang lalu karena sayabilang presiden seperti supir bajaj. Jadi,kalau jalan mau belok kiri atau kanan,maka kita tidak tahu karena tidak adalampu sign-nya dari pemerintah. Kalaumau belok kiri atau kanan hanya presidendan Tuhan yang tahu. Pernyataan sayaini dikutip oleh Koran Tempo danbeberapa koran lain. Lantas, saya diancamoleh Ketua Fraksi karena menghinapresiden. Saya bilang, “Bapak terimakasih karena dalam satu minggu barubilang mengancam saya”.

Bagi saya, Indonesia memang masihsebuah persoalan. Sebentar lagi kitamerdeka, 17 Agustus. Saya ingat adaperdebatan serius pada tahun 1930-an.Sutan Takdir Alisyahbana berantemdengan Supomo Purwacaraka hinggamenyangkut: “Apakah sebelum 1908sudah Indonesia atau bukan?”Purwacaraka mengatakan bahwaIndonesia Majapahit dan Hayam Wurukberantem untuk Indonesia, tapi bagi STAtidak. Indonesia baru ada sejak tahun1908 dan setelahnya. Poin STA, Indonesiaadalah sesuatu yang dibentuk secarasadar, disepakati bersama, bukan sesuatuyang jatuh dari langit. Jadi, intibernegara dan berbangsa adalahkesadaran dan penyadaran. Dalam hal ini,saya agak kurang setuju dengan Andersonyang menyatakan bahwa keberadaansebuah bangsa ditentukan oleh

kemampuannya untuk membayangkandirinya sebagai bangsa, imaginedcommunity, dan pembayangan horizontal.Pembayangan itu, bagi saya, harus selaluhorizontal dan vertikal. Horizontal tidakhanya ke depan, tapi juga ke belakang.Kalau kita mau bertahan sebagai bangsa,maka tidak hanya berfikir apakah kitamampu membayangkan diri. Persoalannyaadalah mengapa kita harusmembayangkan diri sebagai bangsa(Indonesia)?, dan kalau energimembayangkan diri sebagai bangsaseperti dalam kuadran itu S+, sementaraenergi untuk tidak membayangkan dirikarena kekecewaan seperti ketidakadilandan segala macam itu, S-, dan point-nyaadalah enam, katakan, dan ke kananadalah 5 maka hasil dari berbangsa kitaadalah -1. Kita gagal. Saya kira Andersontidak memikirkan persoalan ini.

Lalu, soal keberbangsaan yangdibayangkan vertikal. Di sinilah, perlunyakepemimpinan politik. Bagaimanakepemimpinan politik bisa merangsangrakyat untuk berfikir menjadi bangsa,menjadi Indonesia. Maka, kepemimpinanpolitik paling dasar harus menjawab dasardari bernegara, yaitu kemakmuran dankeadilan. Baru kedua adalah memberikanvisi mau kemana kita ke depan, danIndonesia adalah suatu persoalan karenasatu hal dasar, menurut saya, selainkepemimpinan politik, cita-citakolektifnya tidak ada. Kita tidakmempunyai citra kolektif sebagai suatubangsa. Citra kolektif ini saya bagi tiga,yakni masa lalu, sekarang, dan masadepan. Kalau citra kolektif masa lalu,katakanlah, kita sepakat bahwa sebagaibangsa yang sama-sama dijajah, danseterusnya. Namun, dalam pemahamansaya, alasan ber-Indonesia tidak hanyacukup hanya sama-sama dijajah. Acehtidak secara riil dijajah, dan Papua punberhak mendefinisikan diri sebagai bukanbagian dari Indonesia yang dijajah. Maka,mereka dapat mengatakan bukan bagiandari Indonesia. Oleh karena itu, kita perlumencari satu dasar yang solid untuk

Laporan Utama

Diversity of voice harus

dijaga, tapi yang terjadi

tidak demikian.

Sebaliknya, di bidang

televisi, sudah ada usaha

tertulis dalam membuat

diversity of voice,

diversity of ownership,

diversity of content

melalui undang-undang,

tetapi tidak diimplemen-

tasikan. Inilah problem

yang kita hadapi.

Page 14: Vol. 1. 2008

Jurnal Demokrasi Sosial

14

bersepakat bahwa kita adalah Indonesia.Itu adalah pendasaran yang harus dinamisdan harus di-redefinisi.

Saya kira, kita perlu mengatakanbahwa kita sudah sepakat pada masa lalu.Sejak dulu, proklamasi kemerdekaansudah menjadi dasar berbangsa. Olehkarena itu, harus terus dihidupkan danmesti dikritisi. Di sinilah, perlu yangnamanya pendidikan politik agar adanilai-nilai politik kenegaraan yangditransfer ke dalam pendidikan. Mengapakita harus hormat kepada merah putih,mengapa Pancasila harus dipegang, dan,saya rasa, kita gagal dalam hal itu.Pancasila belum menjadi pedoman hidup.Sebaliknya, masih menjadi wacana, masihmenjadi tameng, bahkan menjadi topengsehingga ketika ruang kebebasan dibukasemua orang berbicara sembari memakaipeci yang lain, jubah yang lain, dansebagainya. Lalu, kita pun bingung,apakah Pancasila mempunyai bentukataukah tidak? Masihkah kita yakinbahwa Pancasila menjadi dasar untuktetap maju sebagai Indonesia, dan sayarasa, hari ini, kita berada di wilayahpersimpangan itu? Mau maju, tapi masihdi tempat, dan ini bersumber padakepemimpinan politik yang tidak jelas.

ModeratorSekarang, ada yang mengatakan

bahwa di Indonesia hanya ada satu partaipolitik, PKS. Dulu, pernah ada PKI.Pertanyaannya adalah apakah memangbangsa ini kira-kira masih memerlukanpemimpin yang kharismatik, otoriter ataubagaimana? Romo Magnis sebagai ahlibudaya Jawa yang sangat terkenalbarangkali bisa menjelaskan.

Romo MagnisSangat sulit dijawab. Kalau kita

mempunyai seorang pemimpin yang kuat,mempunyai kepribadian, cita-cita dankeyakinan, pemimpin semacam itu bisaberfungsi dalam kediktatoran dan sebuahdemokrasi. Demokrasi juga tergantungpada pemimpin. Kalau kualitas pemimpin

baik, maka saya kira apa yang disebutsebagai sisa-sisa feodalistik tidakmenjadi masalah malah bisadimanfaatkan untuk menggerakkanmasyarakat karena kebijakannya sesuaidengan kepentingan masyarakat.

Sekarang, seakan-akan kitamengharapkan seorang pemimpin yanglebih baik, seorang pemimpin yang segar.Ditinjau dari perspektif teori politik,sesuatu yang cukup konyol karenamerupakan harapan, dan tidakmempunyai unsur dalam teori. Itu unsurpenting yang sangat sulit ditentukan.Saya kira kualitas pemimpin tidak bisadijelaskan dengan budaya. Karena bisasaja, seorang Pak Harto yang memangpunya banyak kelemahan, tapi diaseorang Jawa tulen yang dalam artitertentu hebat, sama sekali tidak bisadisangka. Jadi, sulit sekali. Kita memangharus membangun struktur politik danmengharapkan kebijakan ekonomi yangmembuat rakyat bisa sibuk.

Saya ingat dalam sebuah pertemuanRabu-an, dan itu sudah lama terjadi.Pertemuan di rumah Pak Imaduddin dandihadiri oleh diantaranya Eki Syahruddin.Ia mengatakan, “Kalian bisa pilih, GusDur atau Amin Rais. Pilih Amin Rais yangomong keras, tapi orangnya terlalu sibukmencari duit. Pilih Gus Dur bagus-bagus,tapi orangnya membakar gereja.”

Yang saya ingat mengenai orang-orang Muhammadiyah yang berada dikota, yang nota bene, tidak terlibat dalampembunuhan komunis ’65 karena merekasemua dagang, pokoknya sibuk. Orangseperti itu sangat penting. Kalau NUbagus-bagus, tapi harus hati-hati karenaikut terlibat pembunuhan komunis.Mungkin, kehidupan pertanian tidakmemberikan peluang kepada masyarakatkarena ternyata kita tidak mempunyaikebijakan ekonomis yang membuat orangdaerah menciptakan lebih banyak uang.Prioritas pada daerah tidak ada sehinggadi daerah Jawa Tengah yang kita lihathanya orang tua, orang muda lebih sukatinggal di daerah paling kumuh di kota.

Itu lebih baik bagi mereka daripadamenggarap sawah atau ladang. Inisebetulnya masalah kebijakan ekonomi.Andaikata di desa diciptakan lebih banyakuang, orang juga akan ke desa secaraotomatis.

Nur Iman SubonoKaitannya dengan komentar Boni,

saya ingin bertanya lebih jauh bahwaPancasila memang belum menjadi milikbersama karena setelah Soeharto turunsemua orang buka identitas danideologinya masing-masing. Tapi, sayakira kita harus membedakan Pancasilapada periode Soekarno dan pada periodeSoeharto. Seingat saya, pada masaSoekarno, jelas. Karena kemajemukanmasyarakat, Pancasila dipakai sebagaipanduan. Tapi, pada masa Pak Harto,Pancasila dipakai sebagai alat untukmenyatukan orang. Menjadi acuan selamakurang lebih 30 tahun. Pancasila sudahdicerabut dari fungsi sebelumnyasehingga wajar kalau sekarang ini orangbelum merasa memilikinya karena trauma.Misalnya, ide negara yang kuat, semuaorang trauma. Negara yang kuat tidakberarti menjadi otoriter, tapi semuamemiliki kekhawatiran. Penelitian Demosdi tingkat lokal menemukan adanyasemacam kerja sama yang unholy allianceantara komunalisme, sektarianismedengan bisnis. Keduanya salingmenopang. Masyarakat benar-benardikepung.

Selanjutnya, merespon Sukma tadi.Saya termasuk orang yang memang hati-hati dengan local wisdom karenamenjebak. Kita jangan membayangkandesa seperti waktu SD. Sebuah desa yangtenang dan harmonis. Sebaliknya, desapun penuh pergolakan. Jadi, kita harusselalu memeriksa yang disebut dengannilai-nilai lokal. Kita harus selalumemeriksa apakah nilai-nilai lokal inidipromosikan secara demokratis atautidak? Kalau nilai lokal melahirkanfeodalisme ataupun raja maka saya agakragu. Seperti telah disampaikan Ivan,

Laporan Utama

Page 15: Vol. 1. 2008

Vol. 1 No. 1 Januari - Maret 2008

15

memang ada ending ketika situasi patronitu buruk, dan mereka melawan denganmencari alternatifnya melalui patronbaru. Sekali lagi, seperti yangdiungkapkan Mas Ari, ketidakberdayaanmenyebabkan mereka sering kali haruspragmatis. Padahal, kita ingin adapengorganisasian, punya visi dandilakukan secara demokratis. Namun,mereka berpacu dengan waktu, dikepungoleh komunal-komunal yang masuk ditingkat provinsi, di tingkat kabupaten.

ModeratorSaya menambahkan sedikit. Indonesia

tidak berada di bumi yang vakum, adakaitannya dengan pengaruh dari luar.Amerika Serikat merupakan contoh yangmenarik bagaimana pergumulan kekuatanekonomi yang dikenal denganpembangunan dalam negeri, free fightcapitalism, tapi ada gerakan lokal.Bagaimana dengan Indonesia apakahseperti itu? Barangkali, pengalaman BungAri di lapangan atau memang ada sesuatuyang belum matang?

Boni HargensMasalah kita adalah elitisme yang

masih mendominasi di segala ruang, danbahkan judul diskusi ini jugamencerminkan bahwa kita semuapenganut pandangan elit yang percayabahwa perubahan hadir darikepemimpinan kolektif, dari atas. BukuMax Lane menurut saya sangat bagus,“Bangsa yang Belum Selesai”. Pointmenarik buku itu adalah ketika iamengatakan, “perubahan itu datang daribawah dan jangan terlalu percaya padasistem, jangan terlalu percaya kepadakepemimpinan kolektif, tidak hanya ituyang memerdekan kita”. Saya kira, kalaukita berani mengubah arah bandul inimaka akan terlihat jelas arah perubahan.Selama ini, kita masih begitu percayakepada kepemimpinan. Maka, dalamruang inilah, diskusi kita soal lokal value,dan segala macam perlu diperlihatkan dandiperdayakan. Karena sepanjang sekian

dekade kita ber-Indonesia, nilai lokal initidak pernah terekspresikan secaramerdeka, selalu disaring, dan kemudiandibentuk ulang oleh rejim sehingga yangterlihat adalah budaya nasional yangsamar-samar.

Saya ingat perdebatan dan diskusi didepartemen dalam negeri tahun 2005ketika diundang guna merumuskan etikpolitik nasional. Perdebatan yang tidaktuntas dalam diskusi tersebut adalahbudaya nasional Indonesia itu apa?Budaya lokalkah? Apakah perekatanbudaya lokal menjadi budaya nasionalmerupakan sesuatu yang bersenyawa atauhanya berkumpul begitu saja? Kalaubersenyawa maka hal ini mengandaikanbahwa budaya nasional merupakansesuatu yang lain lagi, bukan sekedarkumpulan dari lokalitas-lokalitas. Sayakira, kita juga bingung dalam hal ini, danmemang budaya Indonesia yang benar-benar Indonesia tidak ada, pasti adalahbudaya inter-lokal dan ditambah lagidengan pengaruh global.

Tadi ada diskusi juga di Jakarta MediaCenter yang hadir dari NU, Ahmad Baso,dan Profesor Munir. Diskusi tersebutcukup marak karena ada buku terbarutentang Islam in Asia, dan buku tersebutditulis oleh orang Barat. Di situ, katanya,NU diposisikan moderat. NU itu seksi danoleh Barat digiring sedemikian rupa untukmendukung liberal dan segala macam.Dalam hal ini, NU merasa dirugikan.Namun, menurut saya, itu resiko palingburuk keberadaan NU di Indonesia karenamenjadi salah satu alternatif terbaikuntuk saat ini dalam penguatandemokrasi. Tapi, apakah nilai-nilai lokalkita hanya sejauh ini, dan saya kiraruang-ruang ini perlu terus dihidupkandan diberdayakan?

Hariyadi WirawanArtinya, pada tahun 1908, ketika kita

bertemu Jong Java dan kawan-kawan, dansebagainya dimulai dari elit, tetapi 100KM dari pertemuan itu tidak ada yang

berbicara bahwa kita akan bersatusebagai sebuah bangsa.

Waktu kesepakatan Timor-Timur dulu,kita bilang rakyat Timor-Timur inginberintegrasi dengan Indonesia. Padahal,hanya sebelas orang, tapi kesepakatanawal memang bangsa kita mencari bentukdari hasil begitu panjang penjajahanbangsa asing, dan merasa bahwa kitaadalah orang yang terpinggirkan. Olehkarena itu, somehow, mendorongkebersamaan diantara sebagai orang yangtertindas, yang kemudian disebutsebagai nation building. Proses ini tidakpernah tuntas, tetapi mentah di tengahjalan karena pada saat proses sedangberlangsung, saya pikir, Soeharto merusaksegalanya. Masuklah budaya dengannuansa politik yang kental. Barangkali,dia tidak suka dengan Soekarno sehinggasituasinya dibalik. Akibatnya, muncullahindividualisme yang mementahkan semuapremis tentang kebangsaan yangdibutuhkan oleh bangsa ini untukmenjadi satu bangsa.

Kita juga tidak berupaya menjadisemacam amal dan nasib sebagai suatunilai baru, tetapi sampai pada syarat sajakita sudah merasa on the right post.Masalahnya, Soeharto mengajarkankepada kita, dan inilah yang ditinggalkanoleh beliau bahwa pencapaian suatutingkat kemakmuran bisa melalui koridorindividual, meninggalkan banyakkebersamaan yang telah dibina Soekarno.Indonesia sekarang ini mengisinya lagidengan nilai-nilai luar. Vakum ini diisidengan kepentingan-kepentingan yangsifatnya global. Masuklah fundamen-talisme, masuk ekstrimisme, yang kiri-kanan-tengah. Saya ingat betul waktusaya masih kecil adalah tidak masalahdengan latar belakang. Sekarang,berkenalan dengan orang akan ditanya,‘Anda lebaran atau natalan?” “Kenapaanda bertanya seperti itu? Kalau sayanatalan apakah Anda menjauhi saya,kalau saya lebaran apakah Anda menjauhisaya?” Tergantung dari mana posisinya.Menurut saya, ini adalah salah satu ciri

Laporan Utama

Page 16: Vol. 1. 2008

Jurnal Demokrasi Sosial

16

bangsa yang insecure, tidak amansehingga rasa ketidakamanan tersebutdianggap sebagai situasi yang sangatjelek. Bangsa yang kemaruk, bangsa yangtidak mau memberikan kesempatankepada saudara-saudara lain untuk bisamenikmati kesetaraaan dan sebagainya.Jadi, kalau kita melihat orang desa tidakpeduli pada yang lain sebenarnya dimulaidari masukan nilai demokrasi yang keliru,demokrasi diimpor begitu saja. Banyakkasus terjadi bahwa bangsa yangmempraktikkan demokrasi liberalsemacam itu, dan dilaksanakan padasituasi yang tidak tepat maka akanmengalami kehancuran. Rusia mengalamihal itu, dan Cina belajar bahwa demokrasitidak bisa dipakai pada saat perut masihkosong sementara kita sudah berjingkrak-jingkrak memuji demokrasi pada saatderajat kita masih “keleleran”. Akibatnya,demokrasi hanyalah satu tempat dimanakita bisa mempraktikkan kemunafikanseluas-luasnya. Bangsa kita, mohon maaf,sangat munafik.

ModeratorTadi Romo geleng-geleng kepala

waktu dibilang, “buat apa demokrasikalau perut masih kosong, mungkinmempunyai definisi demokrasi yangberbeda?”.

Romo MagnisSaya juga tidak begitu setuju

pemilihan Soekarno. Menurut saya, tahun’65 Soekarno sudah membawa bangsa inike kehancuran. Kalau terjadi pembunuhansemacam ini, maka persatuan tidakberhasil seperti waktu itu, apalagi orangkelaparan belum sekelaparan tahun ‘61,‘62 dimana orang dari Gunung Kiduldibawa ke Yogyakarta, dan diturunkan dijalan-jalan supaya bisa makan daritempat sampah karena di Gunung Kidulsudah tidak ada makanan lagi. Bagi saya,tidak begitu gampang. Soeharto dulumulai dengan pembangunan, danakhirnya orang bisa makan, dan saya tidakmau menyangkal bahwa ada banyak yang

salah. Soeharto tidak tepat jika dituduhseorang individualis, dalam hal itu,memang merupakan salah satu dosabeliau. Mengenai demokrasi lantasalternatifnya bagaimana, apakah kitamenawarkan Pak Habibie untuk menjadidiktator saja? Secara konkret, apakahpada tahun 1998 kita memilih demokrasiliberal, tetapi setelah Pak Harto pergi kitatidak mau sistem itu lagi?

Memang, saya melihat ada masalah.Demokrasi ibarat sistem berjalan, rakyatmembawa diri cukup baik, ada masalahmungkin warisan Soeharto atau mungkinjuga warisan feodal jaman Belanda.Belanda juga membeli pangreh projountuk menjadi kaki tangannya, untukmengeksploitasikan rakyat. Menurut saya,lebih complicated, dan saya tidak maumenentang itu. Saya berpendapat pilihandemokrasi perlu disukseskan. Memang,kita harus mencari cara bagaimana negaraseluas Indonesia mau bersatu kalau orangtidak bisa mengungkapkan diri secarademokratis? Bukankah Pak Harto punakhirnya juga tidak berhasil.

Imam YudotomoSebenarnya, konsep Romo Mangun

yang negara federal kalau mau dipimpindengan cara demokratis.

Azman FajarSaya cuma melanjutkan Bung Haryadi.

Kalau kita lihat ada kekhasan negara-negara yang awalnya dikuasi oleh rejimotoritarian dan beralih ke sistemdemokrasi. Dalam pandangan saya, adabeberapa hal yang perlu dilihat. Pertama,mereka justru mengharap demokrasiliberal tidak hanya pada sistem politik,tapi juga pada sistem ekonominya. Sayakira tidak hanya kasus Indonesia, tapihampir semuanya, termasuk AmerikaLatin sebelum munculnya kekuatanpolitik baru. Sebelum itu, saya kiramereka hampir sama dengan kita. Nah,sebenarnya, masalahnya terletak padabasis sosial politik, struktur politik kitasudah hancur sejak krisis.

Persoalan lain adalah terjadinyaproses manipulasi kesadaran atasinstrumental demokrasi. Ini menjadipenting. Pada tahun 2004, orang ramai-ramai dalam pilpres, parlemen, danpilkada. Padahal sebelum itu, merekamenggugat, complain pada Golkar, padaPDIP, dan lain sebagainya. Tingkatpartisipasi pemilu dan juga pilkada, yangterakhir DKI termasuk tinggi. Artinya,masyarakat siap dari segi partisipasipolitik. Tapi, setelah itu, mereka mulaimenggerutu, mulai complain, dansebagainya. Instrumen ini begitumasifnya sehingga mereka (para elitpolitik partai) mampu memanipulasikesadaran politik rakyat untuk kemudianmengulangi lagi 5 tahun yang akandatang.

Saya kira ada masalah dalam prosesdemokrasi kita, yakni tidak dibarengidengan proses pengorganisasian,pembangunan kesadaran politik barurakyat sehingga tidak nyambung, danhanya menjadi event-event. Ya udahlah,setiap lima tahun sekali bagi-bagi uanglalu selesai. Tapi, tidak melahirkan satusistem yang membuat kesadaran politikbaru.

Memang, ini satu pertanyaan besarbagi kita, saya waktu ketemu teman-teman dari Amerika Latin kalau dilihatkonteks politiknya maka sebenarnyamereka juga hancur. Dilindas habis olehrejim militer walaupun tidak habis betulseperti kita. Tapi, dalam waktu 10 tahun-12 tahun, mereka cepat bangkit dan tidakhanya mampu memunculkan tokoh-tokohalternatif seperti Lula ataupun EvapoMorales, tetapi juga mampumenumbuhkan kesadaran politik rakyat.Jadi, ada satu mekanisme kerja politikyang terputus. Dalam beberapa kalidiskusi, saya menyampaikan bahwasepertinya kita terjebak dalaminstrumentalisme demokrasi ini.Misalnya, mengenai keputusan MKkemarin, soal calon independen. Sayatidak yakin apakah ruang politik ini bisadipakai dengan baik oleh kelompok-

Laporan Utama

Page 17: Vol. 1. 2008

Vol. 1 No. 1 Januari - Maret 2008

17

kelompok pro-demokrasi. Menurut saya,ini yang perlu dicermati sehingga arahdemokrasi liberal sebenarnya memangmempunyai kaitan dengan kepemimpinanpolitik.

Sejak tahun ’99, jamannya Habibiebahkan sampai sekarang, tidak adaperubahan. Rata-rata pemimpin kita,apapun itu, apakah berbicara mengenaiisu kerakyatan atau apapun, padadasarnya, paradigmanya tetap, yang propasar dalam bentuk investasi, utang, dankemudian pertumbahan ekonomi. Dalamhal ini, tidak ada satu platform ekonomiyang betul-betul meradikal yang mampumelakukan perubahan secara mendasarmeskipun resiko politiknya tinggi. Kitadapat melihat pengalaman land reformdan nasionalisasi yang menunjukkanadanya perbedaan yang jelas antarapemimpin yang progresif, termasukpartai-partai yang progresif denganpartai-partai yang betul-betulmemanipulasi dalam segi bahasa-bahasapolitik kerakyatan. Ini menjadi persoalantersendiri. Oleh karena itu, pada masayang akan datang, jika kita masih berfikirtentang siapa yang populer tanpa melihatsatu platform yang radikal dalampengertian paradigma ekonomi, maka kitaakan kembali seperti semula.Perbedaannya terletak pada pilihan-pilihan yang kita ambil.

Boni HargensSoal angka pemilih yang 70%,

menurut saya, belum membanggakankarena kita belum tahu persis berapapersen yang di-mobilize dan berapapersen yang serius mau memilih. Maka,buat saya, harus dipisah-pisahkan antarapartisipasi yang pinggir dan yanggenuine. Itu persoalan pertama.

Lalu kemudian, bicara demokrasi akanmempunyai dampak-dampaknya. Adayang bilang bahwa demokrasi sebenarnyamerupakan tirani mayoritas. KalauIndonesia, bukan tirani mayoritas, tetapitirani legitimasi karena pemilihanlangsung membuat pemimpin politik

mempunyai legitimasi, dan karenanyabisa berbuat apa saja.

Kedua, saya teringat buku terbarunyaHuntington. Dia mengutip penelitianrekannya, di Amerika. Si peneliti soalAmerika ini mengajukan pertanyaan keberbagai ragam kulit, what are you? Yangdari Meksiko bilang i’am Amerika. Lalu,datang yang agak sipit dari China, whatare you? Mereka bilang i’am Amerika.Datang lagi ke yang dari Philipina, danpeneliti ini mendapatkan jawaban yangsama. Dia datang tiga kali denganpertanyaan yang sama, dan jawabannyapun sama. Lantas, ia menyimpulkanbahwa nasionalitas ke-Amerika-an lebihkuat daripada lokalitas di Amerika, danIndonesia sebaliknya.

Amir Efendi SiregarSaya hanya ingin menambahkan.

Demokrasi itu, dalam pikiran saya, sebuahkeharusan. Persoalannya adalahmeletakkan posisi dominan antara privatesector dengan negara. Di sini, kadang-kadang orang melarikannya secara ekstrimpada dominasi private sector. Padahal,dominasi private semacam ini di Amerikasendiri sudah dilakukan koreksi besar-besaran. Menurut pemikiran saya, yangdikatakan orang neolib dan seterusnya,sebenarnya, adalah konsep liberalortodoks yang dilarikan ke negara-negaraluar. Padahal, di negaranya sendiri,interaksi antara rule private sector dengannegara sudah dikikis habis-habisan.

Sebagai contoh, kembali ke bidangmedia. Di Amerika, media pada awalnyadidominasi private sector, TV, danseterusnya. Banyak orang tidak puas.Akhirnya, ada interaksi baru sehinggapublic braodcasting service lahir sebagaiprotes terdahap dominasi private sector.Di Eropa Barat, kasusnya agak lain. DiEropa Barat ketika negara otoriter jatuh,yang dominan adalah public servicebroadcasting. Namun, orang tidak puashanya dengan itu maka lahir yang disebutdengan private sector, dalam konteksmedia eletronik, terutama di Eropa Barat

baru berusia 15 tahun. Dengan demikian,demokrasi yang kita bicarakan sebenarnyaadalah bagaimana Indonesia memilihdimana rule private sector diperkenankan,tapi tidak dilepas. State sector juga harusmemenuhi peranan yang cukup pentinguntuk menjaga keselamatan publik yangdalam UUD ’45 sudah digariskan denganjelas.

Selanjutnya, state harusditerjemahkan secara modern. Balancingtidak lagi dapat dianggap dalamterminologi Montesque biasa, yaknilegislatif, eksekutif, dan yudikatif.Balancing harus mampu melahirkan suatuinstitusi negara yang kuasi yudicial, yangkuasi eksekutif. Di negara-negara Barat,institusi-institusi semacam ini sudahdibentuk guna melakukan check andbalances secara lebih baik. Jadi, negaratidak lagi diterjemahkan sebagaigoverment, pemerintah maksud saya.Namun, termasuk di dalamnya KPI, KPU,dan lain sebagainya.

ModeratorDan, ini demokrasi sosial.

Amir Efendi SiregarSebenarnya, ada satu contoh menarik.

Saya juga mempelajari China. Diaotoritarian, tapi dari segi ekonomi secaraperlahan-lahan berubah, dan ini tertuangdalam konstitusi. Dulu, dia sebut sebagaisocialis economy, tapi beberapa tahun diarevisi menjadi market economy iscomplementary to the socialis economy,terus dia koreksi lagi market economy isnature companents of socialis economy,sekarang diubah menjadi socialis marketeconomy.

ModeratorKalau soal ekonomi yang dibawa, saya

mempuyai pengalaman di Maluku Utara.Konflik yang terjadi di daerah tersebuthingga saling membunuh pada waktu adakegiatan ekonomi bersama makalokalitasnya menjadi hilang. Jadi, yangtadinya separate menjadi bergabung

Laporan Utama

Page 18: Vol. 1. 2008

Jurnal Demokrasi Sosial

18

kembali. Ketiadaan kegiatan membuatmasalah kehidupan memuncak, dan isu-isu primordial menjadi mudah tersulut.Di Indonesia, barangkali, disebabkan olehekonomi yang masih tidak jelas.Masyarakat bawah tidak mempunyaipekerjaan dan kehidupannya susahsehingga ketika, misalnya, di MalukuUtara terjadi konflik yang berkaitandengan masalah sosial ekonomi makaketika ada pekerjaan yang diinisiasibersama menjadi adem-adem ayem,menjadi baik.

Boni HargensSaya kira tidak begitu signifikan jika

dikaitkan dengan ekonomi karena banyakdiantara mereka yang terdidik dan berasaldari kelas ekonomi mapan. Ini sudahmenjadi cara berfikir yang permanen.Hampir pasti menjadi fakta sosialsehingga susah diubah, dan ini kesalahannegara karena dari awal tidak ada prosespendidikan yang sistemik, dimana orangdiajarkan berfikir dari dasar bahwa merekaharus demokratis. Misalnya, di sekolahdasar, orang harus terbiasa untuk tidakmencibirkan bibir ketika dia berbedaagama atau tidak mempertanyakan halyang sangat sensitif seperti SARA.Menurut saya, ini merupakan kesalahannegara.

Nur Iman SubonoRomo Mangun menulis satu buku, hal

yang disebut Indonesia 1 dan Indonesia2. Pada dasarnya, apa yang dikhawatirkanBoni memang ada. Ini bukan kesalahannegara, tapi inhernt negara. Kalau kitadi Maluku maka akan mengaku sebagaiorang Maluku, tapi kalau di Jerman akanmengaku sebagai orang Indonesia.Penelitian Demos yang pertama sepertiitu. Bagaimana orang mempunyaibeberapa identitas. Romo Mangun adalahorang yang mengatakan bahwa tidakselalu Indonesia 1 yang dibayangkanyang berbasis pada etnisitas atau agama.Itu bertentangan dengan Indonesia 2yang melihat Indonesia secara lebih luas.

Generasi setelah kita lebih world widemelihatnya karena ada internet,dibandingkan dengan identitas-identitasyang dulu diwariskan Jong Java, JoingSumatra, dan sebagainya. Saya kira risetDemos juga ingin mengatakan bahwa kitatidak selalu harus menabrakkan antaraidentitas ke-Indonesia-an dengan yangberbasis etnisitas atau agama karenatidak produktif. Sebaliknya, bisa jugabersifat konstruktif. Oleh karena itu, sayatidak berpretensi mengambil kesimpulanhitam putih, tetapi tidak bisa dipungkiribahwa politik identitas yang tadidisebutkan memang ada.

Ari SudjitoKalau kita tarik ke belakang, Orde Baru

memang selalu menjadi sumber masalah,termasuk mengenai carut marutnyareproduksi identitas. Ini terjadi karenanegara tidak memberi ruang demokratisdalam hubungan antarkelompok. Selainjuga, yang tidak kalah penting,reproduksi pengetahuan yangmembelanggu. Saya menyebutnyasebagai rejim pengetahuan yangbiasanya menjadi supporting sebuahsistem, baik demokratis maupun otoriter?Pada masa Orde Baru, intelektualmempunyai peran yang cukup kuat dalammelakukan rekayasa. Ketika kebangkrutanstruktur ekonomi dan kebudayaan terjadibesar-besaran maka, dalam pandangansaya, pada dasarnya kebangkrutan ikatankita berbangsa juga direproduksi dalamstruktur pengetahuan, sadar ataupuntidak.

Sekarang ini, yang berlangsung adalahorang baru merayakan kebebasan, banyakorang bicara soal demokrasi, ataupun soalhak kita untuk beridentitas. Namun padakenyataannya, tidak terdapat tukar-menukar pengetahuan atau bertransaksiuntuk kepentingan bersama, yangkemudian menjadi energi untuk bergerakbersama. Ini terjadi dalam banyak bidangdan kelompok seperti NGO, media massa,dunia politik, dan lain sebagainya.

Sekarang ini, kita memerlukankemasan baru karena baik orang-orangnyaataupun jurus/ilmu yang digunakanuntuk pemberdayaan politik padadasarnya untuk melawan Orde Baru.Padahal, musuh-musuh demokrasiberpencar Mereka semakin canggih,demikian juga dalam bidang ekonomi.

Dalam dunia politik, ketika aktornyadiserang maka mereka bisa berpindah danbermutasi sehingga menjadi berserakandimana-mana. Oleh karena itu, kita perlumengenali dengan cara mendengarkanapa yang sedang berlangsung dimasyarakat. Kita memerlukan jurus-jurusbaru. Dengan demikian, jika Demos NGO,maka jangan hanya menjadi pemain ditepian demokrasi, tetapi harus masuk.Jika tidak masuk ke arena, maka harusberani mencari apa dapat dimanfaatkan.

Kemala SophiaSangat menarik dan sangat

merangsang sebetulnya apa yang kitaperbincangkan malam ini karena satu halyang sangat besar, sangat kompleks, danjuga pembicaraannya bisa sangatpanjang. Mungkin hanya satu pendapatsingkat bahwa dalam politik tidak pernahada kawan atau lawan yang abadi, yangada hanya kepentingan abadi. Yang lebihmengerikan lagi kalau kepentingan inidiwujudkan dalam kepentingan yangsifatnya material seperti power ataukeuntungan ekonomi. Celakanya, inilahyang terjadi selama ini. Berdasarkandiskusi yang telah kita lakukan tadi makasaya menyimpulkan bahwa ada hal yangpragmatis yang bisa kita ambil, yaknibahwa apapun kepentingannya makaharus menjadi hal yang dipercayaibersama, yang kita percayai sebagai suatuhal yang baik karena latar belakang yangsangat beragam, baik dari segi ideologi,pandangan, dan sebagainya. Kepentingantersebut bermacam-macam, dan inilahyang membuat bermacam warna-warni,baik dan buruk.

Jadi, mungkin value tersebut yangharus dipersamakan: apa kepentingannya,

Laporan Utama

Page 19: Vol. 1. 2008

Vol. 1 No. 1 Januari - Maret 2008

19

dan ini yang mendasari mana kawan ataulawan. Saya setuju bahwa ruang negosiasiantarelit dengan yang di level grass rootharus dikembangkan, dan jangan hanyadijadikan sebagai jargon-jargon politik.

Boni HargensIni sebenarnya yang membuat agama

menjadi membosankan. Sekarang, kitalebih sering menggunakan motto tehbotol Sosro, apa pun makanannyaminumnya teh botol Sosro. Apapunpersoalannya maka agama meski menjadijawaban final, ruang refleksi yang palingnyaman meski persoalannya serius. Ruangagama menjadi membosankan bahkanlebih dari membosankan karena politiktelah menembusnya sehingga agamamenjadi ruang yang sangat kotor. Selainitu, yang ingin saya tekankan, agamamenjadi organisasi dan pengorganisasiandan tidak lagi bertindak sebagai ajaran.Politik, pada sisi yang lain, sudah menjadiruang privat. Dalam situasi semacam ini,politik menjadi mewah, tertutup, dansangat mahal. Oleh karenanya, demokrasiyang akan dibangun mestinya ditujukanuntuk merebut kembali ruang politik yangdiprivatisasi oleh elit menjadi ruangpublik.

Thamren AnandaSaya ingin share sedikit mengenai

persoalan nasionalisme secaramenyeluruh dengan persoalankebudayaan tadi. Memang, jadi hal yangmenarik untuk didiskusikan apalagi kalaumelihat fenomena di berbagai daerah diIndonesia, misalnya, di Papua, Aceh, dansebagainya. Memang, di sini, sayamelihat kita tidak bisa memisahkanantara fakta-fakta, misalnya, kalau BungBoni menjelaskan jika orang China diAmerika ditanya maka mereka akanmenjawab sebagai orang Amerika, danorang Afrika ditanya maka akan menjawaborang Amerika, lalu persoalannya adalahmengapa hal ini berbeda denganIndonesia. Kalau ada orang Cina ditanyamaka akan tetap menjawab orang Cina.

Menurut saya, ini berkait dengankesatuan ekonomi.

Di Indonesia, ada kesatuan ekonomidiantara orang Cina dari Sabang sampaiMarauke. Orang Cina mempunyai kesatuanekonomi yang utuh. Hal sama juga sayacontohkan di Aceh kenapa daerahperbatasan rasa kedaerahannya sangatlemah sehingga rasa separatisme ataukekuatan separatisme atau GAM tidakkuat, berbeda dengan daerah lain. Inikarena daerah perbatasan tersebutmempunyai kesatuan ekonomi, dankesatuan ini kuat diantara orang-orangyang berada di daerah perbatasan. Selainkesatuan ekonomi, ada faktor lain yangharus dilihat, yaitu kesatuan psikologis.Nah, ini yang banyak terjadi di seluruhdaerah di Indonesia bukan hanya Acehdan Papua. Banyak orang merasa, secarapsikologis, berbeda dengan orang yangdi pusat. Orang-orang yang di daerahmerasa miskin sehingga muncul anekdotorang ndeso. Pembedaaan psikologis inimembuat mereka tidak merasa memilikirasa nasionalisme.

Kemudian, kalau dilihat dari hal yanglain, misalnya, kesatuan wilayah, kenapa,kesatuan psikologis hanya muncul padasatu wilayah tertentu dan kenapaperlawanan di Aceh tidak merambatsampai ke Medan atau yang lebih dekat,yakni Deli Serdang? Bukankah ini berartitidak ada kesatuan wilayah. Berdasarkanhal ini, saya melihat bahwa setiappersoalan tidak dapat dilihat secaraparsial. Menurut saya, berbagai penyebabyang membuat rakyat tidak merasamemiliki nasionalisme karena adakesenjangan sosial yang sangat luasditambah dengan persoalan psikologisdan ekologis yang berbeda.

Persoalan kememimpinan memangmenjadi masalah dalam membangundemokrasi di Indonesia. Namun, sayamelihat tidak hanya sebatas itu. Sayasepakat dengan apa yang disampaikanoleh Bung Ari mengenai fragmentasi, dansaya juga sepakat dengan yangdisampaikan Bung Boni bahwa kita tidak

dapat mengharapkan perubahan yangdatang semata-mata dari atas, tetapiharus digerakkan dari bawah. Cumaproblemnya, selama ini, hampir semuaorang mengaku bekerja melakukanperubahan dari bawah, dan fragmentasiini terjadi. Dengan demikian, bukan tidakada gerakan di Indonesia bahkansebenarnya subur meskipun ada pasangsurutnya. Mungkin ada perlawanan, tapisifatnya kecil saja, dan dalam lingkupdaerah masing-masing seperti di Riauyang kemarin sempat memunculkansebagai calon gubernur independen.Menurut saya, ini hanya merupakanperlawanan pribadi, dan tidak menjadigerakan bersama. Oleh karena itu, kitaharus mencari solusi bagaimanamenghancurkan fragmentasi ini.

Di luar itu, ada problem lain, yaknikita semua berbicara perubahan, tapisayangnya tidak terlibat dalam satusistem yang menuju perubahan, misalnya,partai politik, DPR. Sebagai contoh, NGO,misalnya, yang selalu berbicara, “kitaharus membongkar bla..bla.....” dalamkonteks pelanggaran HAM, KKN, dansebagainya. Mereka menyusun draft,tetapi yang melaksanakan DPR. Jadi,terserah DPR. Begitu pun ketika berbicarapartai politik bahwa Partai Glokar salah,tetapi ironisnya basis yang kita organisirsudah menjadi milik Golkar. Sepertinyatidak ada alternatif lain. Barangkali, iniyang harus kita pikirkan, yakni janganhanya mengkritik. Ayo kita maju satulangkah, ayo kita melakukan perubahanbersama.

Azman FajarSaya akan mulai dengan satu

pertanyaan, siapapun presidennya apakahlaki-laki ataupun perempuan apakah akanmampu keluar dari persoalan apabilamereka masih berada di bawah tekananinternasional? Katakanlah, kita mengenalistilah neoliberal yang dibangun padatahun 1944, kemudian ada tiga besaryang jelas-jelas menjadi agennya, yaituWorld Bank sebagai wadah bermainnya

Laporan Utama

Page 20: Vol. 1. 2008

Jurnal Demokrasi Sosial

20

United State, IMF sebagai ladang garapanEropa, dan ADB yang dijalankan ataskepentingan Jepang. Seperti kita ketahui,World Bank dalam setiap skemapeminjaman selalu mensyaratkan goodcorporate governance. Kalau tidak, makakita tidak akan mendapat pinjaman, dankarenanya akan memunculkan defisitdalam neraca pembayaran. IMF jugabegitu. Letter of intent yang ternyatamensyaratkan adanya pencabutansubsidi-subsidi sosial seperti pencabutansubsidi listrik, bahan bakar (BBM),kesehatan, pendidikan, dan lainsebagainya.

Apabila presiden terpilih ternyataharus mengikuti semua skema-skema itu,dan tidak bisa melepaskan diri maka sayaagak pesimistis. Malah, optimisme sayahanya berkisar pada angka20% saja.Sebaliknya, apabila kita berani melawanseperti Evo Morales, yang juga ditekanoleh gerakan globalisasi dan neoliberalmaka rasa optimistis itu akan meningkatmenjadi lebih dari 60 %.

Sementara jika ditinjau dari sisipolitik, ada dua persoalan yang kait-mengait. Selama ini, kita tidak pernahmempertanyakan akuntabilitas seseorangyang akan memimpin. Padahal, dibeberapa negara, persoalan akuntabilitasmerupakan hal yang utama. Ketika calonpemimpin pernah membuat skandal makabesar kemungkinan akan gagal sebagaiakibat skandalnya tersebut. Jika diamelakukan korupsi, maka akan tenggelamkarena korupsi yang pernah dilakukannyatersebut. Namun, di Indonesia, meskipunorang pernah membunuh jutaan nyawabelum tentu dihukum. Ketika dia beristrilebih dari tiga mungkin tidak akandipersoalkan. Di negara ini, nampaknya,akuntabilitas tidak pernah menjadimasalah, dan ini berkembang karenarakyat, di sisi grass root, terlalu permissif.

Misalnya saja rakyat tetap memberikesempatan ketika PKPB muncul, bahkanHartono bilang, “Saya antek-antekSoeharto”, dan semua orang tetap bersifatpermissif. PKPB tetap dipilih. Mereka

dapat suara karena masyarakat terlalupermissif, dan ini terjadi karenapendidikan politik yang sangat lemah ditingkat masyarakat sendiri. Oleh karenaitu, ketika harus memilih makamasyarakat pun bingung apakah saya ikutpendidikan politik yang membuat sayajadi lebih berani atau saya memilih lebihbaik memilih sesuatu yang lebih membuatperut saya kenyang. Terjadilahperkelahian antara idealisme melawanpragmatisme. Dalam banyak hal,pragmatisme menang. Partai mana yangbisa memberikan kaos lebih banyak,memberikan uang lebih banyak, danmemberikan kesempatan untuk menjadicaleg itulah yang akan dipilih. Merekatidak lagi mendasarkan diri atas ideologiseperti pancasila, komunisme, sosialdemokratik atau ideologi-ideologi lain.

Lantas, apakah ke depan kita akanmelakukan hal yang akan kita rancangsendiri atau kita cukup memadukanpersoalan-persoalan yang kita padukandari dunia luar seperti negara-negaralain? Amerika, misalnya, selalumempunyai common issue. Mereka selalumempunyai common enemy, dari situlantas nasionalisme mereka tumbuh.

Suatu contoh sederhana tentang haltersebut diatas, ketika Tim nasional PSSImampu mengalahkan Bahrain makamereka dipuji seperti pahlawan. Initerjadi karena kita tidak mempunyai figuryang harus dipahami sebagai pahlawan.Melihat SBY kalah dalam Sipadan danLigitan, orang tidak lagi mengelukan diasebagai seorang panutan, sebagai orangyang tegas. Kemudian, dalam persoalanAmbalat, kita pun tidak melakukan apa-apa terhadap negara kecil, bernamaMalaysia, tidak ada satu hal yangmenyatukan kita dan kita kehilangankesempatan untuk membangunsolidaritas nasional.

Ke depan, kita butuh yang namanyacommon issues atau isu-isu bersamamenyangkut apa yang bisamempersatukan kita dalam membentuknasional. Selanjutnya, kita memerlukan

common interest, yakni apa cita-citakita, apa visi kita ke depan. Bahkan,mungkin perlu adanya common enemy.Betapa sebenarnya harga diri kita sudahdiinjak-injak oleh negara seperti Austalia.Quote and quote mungkin kita tidakmengatakan berperang, tetapi setidaknyakita dapat mengatakan bahwa ada negaratertentu yang mencoba mencabik-cabikbangsa kita. Lantas, terakhir, kita perlumerumuskan apa yang disebut dengancommon strategy, yakni bagaimana semuapihak bersedia bekerja sama untukmenggolkan apa yang menjadi cita-citapembukaan UUD ’45.

Imam YudotomoSaya protes dengan pernyataan yang

terlalu menghina rakyat, yang dibilangbahwa rakyat hanya memilih yang ngasihkaos dan segala macam. Saya rasa tidakpantas berbicara begitu karena jika kitaingin membangun kekuatan dari bawah,maka kita harus percaya kepada rakyatsebagai pijakan utama. Jika tidak percayasama rakyat, maka celakalah kita.

Yang kedua barangkali memangperubahan harus dari bawah, tapi kitajuga membutuhkan pemimpin-pemimpin.Pengalaman kami di Pergerakan Sosialis,misalnya, pada saat kita sudah punyacabang dimana-mana, kita harus punyapemimpin nasional. Celakanya, orang-orang yang kita anggap pantas untukmenjadi pemimpin nasional ternyatatidak mau. Mereka lebih senangmenunggu telepon dari SBY bagaimanabisa jadi menteri. Ini pengalaman riil dantidak perlu menyebut nama, tapi kira-kira seperti itu.

Menurut saya, pemimpin nasionalperlu. Kita perlu menghadapi pemilihanumum tahun 2009. Kita menjadi kekuatanpolitik di tingkat lokal. Orang yangpunya, misalnya, anggota 30-40 ribusudah mulai berfikir, “Ini orang sosialdemokrat tidak bisa bikin partai, guanggak bisa dapat apa-apa”. Kemudian,mereka bergabung dengan PDIP, ikutdengan partai ini atau itu. Dalam situasi

Laporan Utama

Page 21: Vol. 1. 2008

Vol. 1 No. 1 Januari - Maret 2008

21

semacam ini, hancurlah kita. Maka, kitatidak usah membuat suatu perubahanharus dari bawah. Sebaliknya, perubahanitu harus berlangsung simultan, dari atasperlu dan dari bawah juga.

Seperti contoh, misalnya, ada temankita di Batak, dan sudah mempunyaianggota 35 ribu kepala keluarga. Inimenjadi masalah. Mau menjadi anggotaDPR harus ikut partai, mau jadi bupatijuga tidak bisa, maka akhirnyabagaimana kalau jadi lurah saja?Sekarang, ada sepuluh yang dicalonkanorganisasi tani di situ, tujuh orang kira-kira punya kans untuk bisa menjadi lurah.Saya kira, ini dapat digunakan sebagaisalah satu alternatif yang bisadikerjakan. Terobosan peningkatanpenyadaran rakyat untuk bermain politikpada aras lokal, dan ini sudah mulaidilakukan. Selain itu, saya inginmengoreksi Mas Hargens mengenai Islampada masa Orde Baru. Islam pada jamanOrde Baru tidak selalu dipojokkan karenaseparuh dari Orde Baru dapat dikatakan

sebagai era Islam, yang masuk melaluiICMI.

PesertaIslam Politik

Imam YudotomoApapun namanya, tapi paling tidak

mereka mengaku merepresentasikanIslam. Jadi, sebetulnya, kekuatan politikIslam bertanggung jawab juga pada OrdeBaru. Isu bahwa Islam dipojokkan terus-menerus sangatlah tidak benar. Dalam eraterakhir Orde Baru, Islam berkuasa. Maujadi rektor kalau tidak berasal dari ICMImaka tidak bisa.

Boni HargensKita dapat melihat sejarah ketika

Pancasila dijadikan asas tunggal, dan inimenimbulkan kritik di kalangan Islam.Saya mempunyai dugaan kuat bahwapembentukkan Petrus yang dipimpin BNMoerdani tahun ’83 lalu ditutup tahun’85 dengan jumlah korban yang mati

sekitar 8.500 bukan GALI (GabunganAnak-Anak Liar), tetapi ada dan mungkinbanyak yang Islam politik. PeristiwaTanjung Priok barangkali dapat dimaknaidalam konteks ini, dan ini dapat dianggapsebagai salah satu titik ledak dari Islamdan negara.

ModeratorIni waktunya sudah larut, tetapi tadi

cukup menarik. Kita memang masihpercaya pada rakyat, dan harus percayakepada rakyat dan memang sebagian darikita optimis bahwa ke depan ada cukupbanyak hal-hal yang, katakanlah, bisadikembangkan dan menjadi sesuatu yangkalau dikelola dengan baik, diorganisir,dan ruang negosiasinya dibuka maka akandapat berkembang menuju perbaikan.Tadi juga disebutkan bahwa tidak hanyarakyat bawah, tapi juga yang di atasperlu. Saya kira demikian, dan terimakasih.

Laporan Utama

Page 22: Vol. 1. 2008

Jurnal Demokrasi Sosial

22

PEMIMPIN TANPA VISI:Quo vadis Indonesia?

Dalam pandangan banyak orang,Bangsa Indonesia semakin lamasepertinya semakin tidak mempunyaiarah. Pada masa reformasi sekarang ini,tampaknya, arah kemana BangsaIndonesia hendak menuju sepertinyamenjadi semakin tidak jelas. Ini terjadikarena para elit politik yang memimpinnegeri ini tidak mempunyai visi yangjelas, yang dapat dijadikan panduansegenap masyarakat untuk melangkah.Sikap, tindakan, dan kebijakan-kebijakanpemerintah tidak didasari oleh filsafatdan paradigma serta konsep yang jelas.Oleh karenanya, tidaklah berlebihan jikaBoni Hargens mengatakan bahwa PresidenRepublik Indonesia selaku kepalapemerintahan seperti layaknya sopirbajaj. Jika ingin belok kiri atau kanan,maka kita tidak tahu karena tidak adalampu sign-nya dari pemerintah.

Kritik semacam ini muncul karenalemahnya visi dan rendahnya kemampuanpara pemimpin dalam melakukankoordinasi dan ketidakberanianmengambil keputusan serta sikapsehingga kebijakan-kebijakan pemerintah

menjadi lebih bersifat parsialdibandingkan dengan sebagai suatukebijakan yang utuh dan menyeluruh.Ivan A. Hadar, selaku moderator,mengemukakan bahwa padakenyataannya pemimpin tidak konsistenantara apa yang dikatakan dengan yangdijalankan. Selain itu, mereka juga tidakmempunyai filsafat, paradigma, dankonsep yang jelas sebagai landasankegiatan sehingga ada sesuatu yanghilang atau tidak nyambung.

Salah satu penyebab miskinnya visionini diantaranya adalah ketiadaan cita-cita. Menurut Imam, pemimpin-pemimpinkita tidak mempunyai cita-cita. Padahal,cita-cita menumbuhkan visi. Soekarno,Syahrir, Hatta, ataupun Tan Malakamempunyai cita-cita, dan karenanyamempunyai visi yang jelas. Visi inikemudian dituangkan dalam konstitusinegara, yakni UUD 1945. Di era sekarang,tampaknya, cita-cita hanya tertulis dalamkonstitusi. Dalam praktiknya,sebagaimana dikemukakan Amir EffendiSiregar, tidak ada hubungan antara yangtertulis dengan yang dilakukan. Dalam

bidang media, misalnya, konstitusidengan jelas menyatakan bahwaparadigma ekonomi dan politik bukanlahliberal, tetapi sosial demokrat yangditunjukkan pasal 33-34. Namun dalampraktiknya, dibiarkan private dan betul-betul sangat liberal. Padahal, kalaupemimpinnya mempunyai vision,mengerti masalah, dan sesuai dengankonstitusi yang dibuat, diversity of voicesharus tetap dijaga. Amir Effendi Siregarmencontohkan kasus yang terjadi dalamindustri televisi. Menurutnya, sudah adausaha tertulis dalam membuat diversityof voices, diversity of ownership, dandiversity of content melalui undang-undang, tetapi tidak diimplementasikan.Di negara-negara Skandanavia, misalnya,negara turun tangan untukmenghidupkan diversity of voices denganmembantu koran-koran kecil mengingatkoran-koran tersebut tidak mampuberkompetisi dengan koran-koranmainstream. Oleh karena itu, menurutnya,harus ada limited state intervention untukmenghidupkan diversity of voices.

Pengantar Redaksi:Tulisan berikut merupakan hasil rangkuman daridiskusi bertajuk “Pemimpin tanpa visi dan arah”yang sekaligus menjadi judul rubrik LaporanUtama Bagian 1, pada Jurnal Edisi kali ini.

Laporan Utama

Page 23: Vol. 1. 2008

Vol. 1 No. 1 Januari - Maret 2008

23

Pada dasarnya, sebagaimanadikemukakan moderator, Ivan A. Hadar,cita-cita sebuah bangsa tidak senantiasamerefleksikan keseluruhan cita-cita danpandangan masyarakat. Dalam banyakkasus, cita-cita tersebut miliksekelompok elit yang kemudianditransformasikan ke masyarakat. Cina,misalnya, mempunyai cita-cita, yakniingin menjadi kekuatan ekonomi terbesaryang sebenarnya merupakan cita-citasekelompok elit yang mencobamenerapkannya dalam kebijakanekonomi. Vietnam ketika menang perangmeskipun babak belur, melalui kelompokelitnya juga mempunyai cita-cita, yaitumembangun Vietnam. Cita-cita inilahbarangkali yang membuat kedua negaratersebut mampu berkembang denganpesat. Bahkan, mereka mampu menyaingiGNP Indonesia yang telah lebih dahulumengalami kemerdekaan danpembangunan. Cina tidak diagukan lagi.Ia telah mengalami pertumbuhanekonomi yang mengesankan dalam satudekade belakangan. Dalam kaitan ini,tidak dapat dipungkiri bahwa kejelasan

visi para pemimpin mempunyai kontribusiyang tidak sedikit bagi kemajuan sebuahbangsa.

Begitu krusialnya kejelasan visiseorang pemimpin, maka menjadi pentinguntuk mendiskusikan masalah tersebut.Ada setidaknya tiga persoalan yang ingindijawab. Pertama, bagaimanakahseharusnya visi seorang pemimpintersebut? Kedua, dalam konteksIndonesia, faktor-faktor apa yangmenghambat kemunculan pemimpin yangvisioner tersebut? Ketiga, ke depan, apayang harus dilakukan sehingga BangsaIndonesia mempunyai arah yang jelasdalam, tentu saja, mewujudkanmasyarakat adil dan makmur sebagaimanadiamanahkan Undang-Undang Dasar1945.

Orde Baru sebagai Sumber MasalahAda salah seorang pegamat yang

mengatakan bahwa pembicaraan apapunmengenai Indonesia tidak akan dapatdilepaskan dari Orde Baru karena kuatnyapengaruh rejim ini ke dalam hampirsemua kehidupan masyarakat. Termasuk

dalam hal ini, kurangnya pemimpin yangtidak mempunyai visi. Dalam kaitan ini,Imam mengemukakan bahwa kita tidakperlu heran mengapa elit politik tidakmempunyai visi yang jelas. Ini karena,menurutnya, pemimpin-pemimpin yangsekarang merupakan produk Orde Baru.Mereka adalah alumni Orde Baru yangsangat ketat dalam melaksanakankebijakan depolitisasi yang mengarahkepada de-ideologisasi dan de-organisasi.

Hal senada juga dikemukakan olehRomo Magnis. Ia mengatakan bahwa OrdeBaru tidak memberi banyak ruang agarpemimpin bisa berkembang. Akibatnya,kita mempunyai pilihan yang sangatsedikit meskipun, sebenarnya, ada banyakorang yang berkualitas yang jika diberikesempatan untuk memimpin akanmemberikan hasil yang lebih baik. Namunsayangnya, Sistem yang ada pada waktuitu, dan juga sekarang belum mampumemberikan ruang yang cukup bagikemunculan pemimpin-pemimpinalternatif. Pada masa Orde Baru,kemunculan pemimpin alternatif akanselalu mendapatkan hambatan dari rejim

Laporan Utama

Page 24: Vol. 1. 2008

Jurnal Demokrasi Sosial

24

Orde Baru. Selama lebih dari tiga dekade,masyarakat Indonesia tidak pernah diberipilihan. Orang-orang yang mempunyaipotensi untuk “menyaingi” dirinyadihancurkan oleh rejim.

Di sisi lain, Orde Baru, dalam bahasaAri Sudjito, meninggalkan bercak-bercakbegitu banyak di masyarakat yangsebetulnya mengurangi imajinasi untukmaju. Lebih jauh, Arie Sudjitomengatakan bahwa jika kita tarik kebelakang, maka Orde Baru memang selalumenjadi sumber masalah, termasukmengenai carut-marutnya reproduksiidentitas. Ini terjadi karena negara tidakmemberi ruang demokratis dalamhubungan antarkelompok.

Sementara itu, dalam pandanganHariyadi, Soeharto telah memangkasproses nation building yang telah dirintisoleh Soekarno. Suatu nilai kebersamaan.Sebaliknya, Soeharto mengajarkan bahwapencapaian suatu tingkat kemakmuranbisa dicapai melalui koridor individual,meninggalkan banyak kebersamaan yangtelah dibina Soekarno. Menurut Hariyadi,Indonesia sekarang ini mengisikevakuman yang terjadi dengan nilai-nilai luar, yakni dengan kepentingan-kepentingan yang sifatnya global sepertifundamentalisme, ekstrimisme, yang kiri-kanan-tengah, dan lain sebagainya.

Pancasila sebagai dasar dan ideologinegara tidak dilaksanakan secarakonsekwen. Bahkan, jika dibandingkandengan pada masa Soekarno, makaimplementasi Pancasila pada masa OrdeBaru lebih buruk. Nur Iman Subonomengemukakan bahwa pada masaSoekarno Pancasila dipakai sebagaipanduan karena kemajemukanmasyarakat, sedangkan pada masaSoeharto Pancasila dipakai sebagai alatuntuk menyatukan orang. Menjadi acuanselama kurang lebih 30 tahun sehinggaPancasila sudah dicerabut dari fungsisebelumnya. Akibatnya, sekarang ini,orang belum merasa memiliki Pancasilakarena trauma. Dengan kata lain,Pancasila belum menjadi pedoman hidup,

tetapi baru sebatas menjadi wacana,masih menjadi tameng, bahkan menjaditopeng sehingga, seperti dikemukakanBoni Hargens, ketika ruang kebebasandibuka maka semua orang berbicarasambil memakai peci yang lain, jubahyang lain, dan sebagainya. Merekameninggalkan Pancasila. Dalam situasisemacam ini, menurut Boni Hargens,muncul pertanyaan apakah Pancasilamempunyai bentuk? Masihkah kita yakinbahwa Pancasila menjadi dasar untuktetap maju sebagai Indonesia?Kepemimpinan yang tidak jelas membuatsituasinya menjadi lebih buruk.

Perlunya Pemimpin Visioner “Demokrasi juga tergantung pada

pemimpin. Kalau kualitas pemimpin baik,maka saya kira apa yang disebut sebagaisisa-sisa feodalistik tidak menjadimasalah malah bisa dimanfaatkan untukmenggerakkan masyarakat karenakebijakannya sesuai dengan kepentinganmasyarakat”, demikian dikemukakan olehRomo Magnis. Dalam konteks Indonesia,keberadaan pemimpin yang visionersangat penting karena beberapa alasan.Pertama, keberadaan pemimpin nasionalmerupakan keharusan. Merujuk padapengalamannya di Pergerakan Sosialis,Imam Yudotomo mengemukakan bahwaketika cabang gerakan telah beradadimana-mana maka seorang pemimpinnasional sangatlah diperlukan. Tanpa itu,sebuah gerakan tidak akan berhasil,terlebih ketika kita harus menghadapipemilihan umum maka keberadaanseorang pemimpin nasional yangberkualitas menjadi mutlak diperlukan.Sayangnya, ketika di Indonesia terdapatpemimpin yang berkualitas maka ia lebihsuka menunggu telepon untuk menjadimenteri dibandingkan dengan mengambilperan sebagai pemimpin nasional. Kedua,dalam masyarakat majemuk yang sedangmengalami transisi demokrasi sepertisekarang, keberadaan pemimpin sangatpenting dalam memandu kemunculannilai-nilai lokal yang bisa jadi sangat

Laporan Utama

Demokrasi juga

tergantung pada

pemimpin. Kalau kualitas

pemimpin baik, maka

saya kira apa yang

disebut sebagai sisa-sisa

feodalistik tidak menjadi

masalah malah bisa

dimanfaatkan untuk

menggerakkan

masyarakat karena

kebijakannya sesuai

dengan kepentingan

masyarakat

Page 25: Vol. 1. 2008

Vol. 1 No. 1 Januari - Maret 2008

25

kontraprdouktif. Sukma Widyanti dengantegas mengatakan bahwa pemimpinnasional yang baik adalah yang bisamenegaskan bahwa kita beda, tapi tetapmempunyai nilai-nilai Pancasila yangharus dijaga bersama. Dengan kata lain,seorang pemimpin perlu dalam rangkamemelihara pluralitas. Menurut SukmaWidyanti, lokalitas atau local wisdommemang harus dijaga, tetapi bukan nilai-nilai lokal yang syarat dengan nilaifeodalisme. Seperti dikemukakan NurIman Subono, kita harus memeriksa ulangnilai-nilai lokal apakah dipromosikandengan cara demokratis ataupun tidak.Dengan demikian, seorang pemimpinharus mampu mengarahkan “kebang-kitan” kembali nilai-nilai lokal yangfeodalistik ini sehingga konstruktifterhadap usaha-usaha membangunbangsa. Namun sayangnya, yang terjadijustru sebaliknya. Seringkali, elit-elitlokal sengaja mereproduksi nilai lokalyang feodalistik ini demi keuntunganpribadi sehingga, dalam kondisi politiksekarang, seperti dikemukakan Sukma,membuat pemimpin-pemimpin lama lagiyang naik ke atas; para raja-raja, paralalu, dan lain sebagainya sehinggamenutup akses rakyat untuk menjadipemimpin. Ketiga, kepemimpinan politikpenting dalam konteks pembangunanbangsa (imagined community). BoniHargens mengatakan bahwa Indonesiaadalah sesuatu yang dibentuk secarasadar, disepakati bersama, bukan sesuatuyang jatuh dari langit. Jadi, menurut BoniHargens, inti bernegara dan berbangsaadalah kesadaran dan penyadaran. Dalamhal ini, Boni Hargens agak kurang setujudengan pandangan Anderson yangmenyatakan bahwa keberadaan sebuahbangsa ditentukan oleh kemampuannyauntuk membayangkan dirinya sebagaibangsa, imagined community, danpembayangan tersebut bersifathorizontal. Menurut Boni Hargens,pembayangan sebagai sebuah bangsaharuslah bersifat horisontal dan vertikalsekaligus. Pembayangan horizontal tidak

hanya ke depan, tapi juga ke belakang,dan kepemimpinan politik penting dalamkonteks pembayangan secara vertikal.Menurut Boni Hargens, kepemimpinanpolitik harus mampu merangsang rakyatuntuk berfikir menjadi bangsa, menjadiIndonesia. Maka, kepemimpinan politikpaling dasar harus menjawab dasar daribernegara, yaitu kemakmuran dankeadilan. Selanjutnya, memberikan visimau kemana ke depan. Dalam kaitan ini,Boni Hargens mengemukakan bahwaIndonesia menghadapi dua persoalan,yakni kepemimpinan politik danketiadaan cita-cita kolektif. Citra kolektifini dibagi menjadi tiga, yakni masa lalu,sekarang, dan masa depan. Citra kolektifmasa lalu, barangkali, dapat disepakatisebagai bangsa yang sama-sama dijajah.Namun, ia menegaskan bahwa alasan ber-Indonesia tidak hanya cukup hanya sama-sama dijajah. Ini karena Aceh tidak secarariil dijajah, dan Papua pun berhakmendefinisikan diri sebagai bukan bagiandari Indonesia yang dijajah sehinggamereka dapat mengatakan bukan bagiandari Indonesia. Oleh karena itu, BoniHargens menegaskan perlunya BangsaIndonesia mencari satu dasar yang soliduntuk bersepakat bahwa kita adalahIndonesia. Ini merupakan pendasaranyang harus dinamis dan harus di-redefinisi.

Lebih lanjut, Boni Hargensmengemukakan bahwa jika prosespembayangan nasionalisme diibaratkandalam suatu kuadran maka nasionalismeIndonesia dapat dijelaskan sebagaiberikut. Kalau kita mau bertahan sebagaibangsa, maka tidak cukup hanya berfikirapakah kita mampu membayangkan diri.Persoalannya adalah mengapa kita harusmembayangkan diri sebagai bangsa?Kalau energi membayangkan diri sebagaibangsa seperti dalam kuadran adalah S+,sementara energi untuk tidakmembayangkan diri karena kekecewaanadalah S-, sementara point-nya, misalnya,5 dan arahnya ke kanan maka hasilberbangsa kita adalah -1. Dengan kata

lain, menurut Boni Hargens, kita gagal.Dalam konteks inilah, sebuahkepemimpinan politik penting dalammerangsang pembayangan secara vertikaltersebut.

Agenda ke DepanMenatap masa depan Indonesia,

tampaknya, ada dua pandangan yangsedikit berbeda, yakni antara pandanganyang pesimistis dan yang optimistis.Romo Magnis dan Nur Iman Subono dariDemos merupakan beberapa orang yangoptimistis dalam melihat masa depanIndonesia dengan alasan masing-masing.Romo Magnis mengajukan tiga alasanyang mendasari rasa optimistisnyaterhadap masa depan demokrasi diIndonesia. Satu diantaranya bersifatprinsipil. Pertama, sebuah negara danbangsa seperti Indonesia seyogianyatidak mengharapkan bisa secara lurustanpa kesulitan apapun dalam 60 tahunmenjadi sebuah bangsa besar dan negarayang mantap. Untuk meneguhkanpandangannya ini, Romo Magnis merujukkasus-kasus seperti Jerman dan Perancisyang pernah mengalami kegagalan untukmencoba sistem demokrasi. Bahkan,dalam kasus Jerman, percobaan pertamamenghasilkan salah satu petaka ummatmanusia terbesar di dunia, yaitu nazisme,Perang Dunia Kedua, ataupun holocoust.Kedua, luasnya konsensus demokrasi yangterjadi di Indonesia sekarang ini.Barangkali, menurut Romo Magnis,beberapa kelompok Islam tidak terlibatkonsensus semacam itu seperti HizbutTahrir dan beberapa kelompok lainnya.Namun, sebagian besar rakyat Indonesiasepakat untuk memilih demokrasi.

Dalam beberapa periode mendatang,Islam akan tetap memainkan peran yangcukup penting. Meskipun demikian,dalam pandangan Romo Magnis, Islamfundamentalis atau Islam garis keras tidakmempunyai kemajuan yang mengkha-tirkan. Mungkin, mereka masih akanmengalami peningkatan, tetapi akansampai pada suatu level tertinggi. Jika

Laporan Utama

Page 26: Vol. 1. 2008

Jurnal Demokrasi Sosial

26

PKS dijadikan ukuran, maka ia tidak akanlebih dari 20%. Sementara itu, Islammoderat atau Islam normal telahmengidentifikasikan dirinya denganIndonesia beserta strukturnya, dan saatini dengan Pancasila. Jika dibandingkandengan masa Orde Lama, yakni pada masademokrasi terpimpin, maka, menurutRomo Magnis, apa yang terjadi sekarangini merupakan kemajuan besar.“Demokrasi kita banyak sekali cacat samasekali tidak perlu disangkal”, demikianRomo Magnis menegaskan, “tetapi adasesuatu yang positif”. Pada tahun ‘99/2000, misalnya, banyak orang berbicaramengenai disintegrasi bangsa, tetapisekarang pembicaraan semacam itu tidakada lagi. Menurut Romo Magnis, bahayadisintegrasi dan masalah masih ada diPapua, tetapi Aceh sudah dapat diatasidengan baik. Sementara di lain provinsi,tidak ditemukan masalah yang serius.Otonomi daerah barangkali masihmenyisakan persoalan, dan masalah pusatdengan daerah belum teratasi. Namun, inibukan disebabkan oleh otonomi daerahyang salah, tetapi lebih padaimplementasinya yang kurang baik. Di sisilain, konflik-konflik kekerasan sudah jauhberkurang meskipun di beberapa tempatkekerasan masih berlangsung. Ketiga,masih kuatnya nasionalisme Indonesia.Dalam pandangan Romo Magnis,nasionalisme Indonesia lebih kuat dansolid dibandingkan dengan yangdibayangkan banyak orang selama ini.Dalam situasi dimana Bangsa Indonesiaditantang, rasa nasionalisme tersebutserta-merta muncul. Konflik horisontalantara Islam dengan Kristen atauantaretnis mungkin masih terjadi, tetapijika orang-orang Indonesia ke luar negeridan bertemu maka ikatan-ikatan ke-Indonesia-annya masih sangat kuat. Inidapat dilihat dari kenyataan bahwa jikaorang-orang Melayu Indonesia di luarnegeri merasa lebih dekat dengan orangBatak, Jawa atau Flores daripada denganMelayu Malaysia. Padahal, budayanyasama.

Rasa optimisme juga diungkapkanoleh Nur Iman Subono dari Demos. Rasaoptimisme ini berangkat dari riset-risetDemos yang menemukan eksperimentasidemokrasi di tingkat lokal yang luar biasa.Di beberapa daerah seperti Sumatra Baratdan Bali, rakyat cukup solid untukmelawan elit yang dianggap tidak cukupmerepresentasikan kepentingan-kepentingan mereka. Di kota-kota besar,memang masih cukup rentan terhadappolitik uang, tetapi di desa-desa dangunung-gunung mereka cukup soliddalam melawan penguasa.

Di luar yang telah dipaparkan di atas,hampir semua peserta diskusi tampaknyasepakat bahwa demokrasi merupakansuatu pilihan yang harus disukseskan.Oleh karenanya, kemandegan demokrasiyang sekarang tengah berlangsung perludilakukan perubahan, dan perubahan-perubahan tersebut hendaknya dilakukanbaik dari atas (elit politik) melaluipemimpin yang visioner, dan dari bawah(grass root). Perubahan dari atas perludilakukan karena bagaimana punpemimpin yang visioner diperlukan dalamrangka memandu kemana arah perubahantersebut hendak dilaksanakan. Dalamkonteks Indonesia, bagaimanamengimplementasikan Pancasila danUUD’45. Sementara perubahan-perubahanjuga harus dilakukan dari bawah (grassroot) karena seringkali terjadi perubahanyang datang dari atas (elit politik) tidakpernah terjadi. Merujuk pendapat MaxLane, Boni Hargens mengemukakanbahwa perubahan datangnya dari bawah.Oleh karenanya, kita seyogianya tidakpercaya pada sistem, terhadapkepemimpinan kolektif karena seringkalimereka tidak mampu membuat perubahanapapun.

Dari hasil diskusi, dapat disimpulkanbeberapa hal penting yang perludikerjakan dalam rangka menyukseskandemokrasi Indonesia. Pertama, mencegahterjadinya “pembajakan” di aras lokal.Catatan yang diberikan Ivan A. Hadaratas optimisme Romo Magnis bahwa

optimisme tersebut dapat diterimadengan catatan proses demokrasi yangsekarang tengah berlangsung tidakdibajak oleh elit-elit politik yangkemudian memberikan roh atas prosestersebut. Oleh karena itu, menurut AriSudjito, pekerjaan rumah terbesar kitasalah satunya adalah bagaimanamencegah pembajakan-pembajakan diaras lokal yang sebetulnya dilakukandengan penuh kecurigaan kepada society.

Kedua, perlunya pendidikan politik.Pendidikan politik ini perlu dikerjakankarena setidaknya dua alasan. Pertama,kuatnya instrumentalisasi demokrasi danlemahnya pendidikan politik. Dalam halini, Azman Fajar dari PergerakanIndonesia mengemukakan bahwa prosesdemokrasi tidak diiringi dengan prosespengorganisasian dan pembangunankesadaran politik baru rakyat. Sebaliknya,demokrasi hanya menjadi sebuah eventyang berlangsung setiap lima tahun, dankarenanya tidak mampu melahirkan satusistem yang membuat kesadaran politikbaru di masyarakat. Oleh karena itu,ketika masyarakat dihadapkan padapilihan antara pragmatisme dan idealismemaka masyarakat cenderung memilihpragmatisme. Ini terjadi karena lemahnyapendidikan politik. Kedua, terjadinya de-ideologisasi dan de-organisasi yangberlangsung selama Orde Baru. Untukmengatasi hal ini, menurut ImamYudotomo, perlu adanya modelpendidikan politik yang mampumenghidupkan kembali ideologi atau, jikaideologi dirasa menakutkan, maka cita-cita karena cita-cita akan menumbuhkansuatu visi. Selain itu, pendidikan politikjuga penting dalam rangka melakukantransfer atas nilai-nilai politikkenegaraan. Dalam hal ini, Boni Hargensmengemukakan bahwa perlu kiranyapendidikan yang menjelaskan mengapa,misalnya, kita harus hormat kepada merahputih, mengapa Pancasila harus dipegangteguh sebagai indeologi negara, dan lainsebagainya.

Laporan Utama

Page 27: Vol. 1. 2008

Vol. 1 No. 1 Januari - Maret 2008

27

Ketiga, membuka ruang negosiasi ditingkat grass root dan mapping ataspersoalan-persoalan yang kini dihadapioleh masyarakat. Menurut Ari Sudjito,imajinasi demokrasi dalam era reformasiadalah adanya ruang yang tersediasehingga masyarakat bisa merumuskankebijakan pembangunan daerah.Sayangnya, hal ini belum tercerminsecara konkret dalam praksis. Oleh karenaitu, menurut Ari Sudjito, persoalan yangperlu dikwatirkan bukanlah formalisasiagama karena pada dasarnya hanyamerupakan refleksi atas kepentingan elit-elit lokal sebagai alat untuk “jualan”.Namun, kefrustasian masyarakat yang,besar kemungkinan, akan melahirkan dis-orientasi di tingkat society sebagai akibatmenularnya kerusakan struktur politikformal ke masyarakat bawah. Sementarapada waktu bersamaan, ketahanan sosialdi aras lokal mulai tergerus oleh problem-problem kemiskinan, persoalankelangkaan, yang tidak mengalamiperubahan secara signifikan meskipuntelah dilakukan pilkada dan sebagainya.Sementara pada waktu bersamaan,gerakan pro-demokrasi gagal dalammembuat panduan atau map untukmenolong masyarakat keluar darikefrustasian semacam itu. Untukmengatasi hal ini, menurut Ari Sudjito,lokus negosiasi seyogianya disebar tidakhanya di pusat, tetapi juga di aras lokal.Lebih lanjut, Ari Sudjito menegaskanpentingnya usaha yang ditujukan untukmencegah kerusakan institusi lokal (localinstitution) atau kapital sosial karena jikatidak maka kerusakan tersebut akanmenjadi semakin parah.

Di sisi lain, Ari Sudjito mengemukakanbahwa kebangkitan lokal berdasarkansentimen etnis atau lokal sangat sedikitsekali. Jika ada, maka hanya event-eventpartai politik dan tidak terekspresikandalam policy ataupun praksis. Oleh karenaitu, ruang negosiasi yang sempat dibukapada awal reformasi harus dihidupkankembali dalam kerangka membela rakyatatau komunitas dengan desentralisasi.

Dalam kaitan ini, masyarakat ataukomunitas harus diubah melaluipendidikan politik, yang berartimendemokratisasikan mereka.

Keempat, pentingnya limited state-intervention. Dalam pandangan AmirEffendi Siregar, demokrasi pada dasarnyamenyangkut bagaimana menjaminkeseimbangan antara rule private sectordengan state sector. State sector inidiperlukan dalam rangka menjagakeselamatan publik yang dalam UUD ’45sudah digariskan dengan jelas. MenurutAmir Effendi Siregar, negara atau stateharus diterjemahkan secara modern.Dalam konteks ini, balancing tidak dapatdimaknai secara konvensional, yaknipembagian kekuasaan atas legislatif,eksekutif, dan yudikatif. Namun,balancing harus mampu melahirkan satuinstitusi negara yang kuasi yudisial, yangkuasi eksekutif. Di negara-negara Barat,institusi-institusi semacam ini sudahdibentuk guna melakukan check andbalances secara lebih baik. Dengandemikian, negara tidak lagiditerjemahkan sebagai pemerintah ataugovernment semata-mata, tetapi jugalembaga-lembaga negara seperti KPI,KPU, dan lain sebagainya.

Kelima, seperti telah dikemukakansebelumnya, Islam akan selalumemainkan peranan yang menentukandalam proses demokrasi di Indonesia.Namun, Islam moderat (NU danMuhammdiyah) dinilai gagal dalammengawal demokrasi sehingga membukaruang bagi kemunculan gerakan-gerakanfundamentalisme Islam. Mengenai hal ini,Saiful Bahari mengatakan bahwamenguatnya gerakan fundamentalismeIslam dapat dilihat dalam dua hal.Pertama, kelompok Islam yang cukupbesar, yaitu NU dan Muhammadiyah gagaldalam mengartikulasikan simbol-simbolnilai dan pandangan-pandangannyadalam masyarakat yang berada di tingkatpaling bawah, dan ini sangat berpengaruhsekali dalam kelanjutan demokrasi karenaberkaitan dengan proses kemajuan dan

Laporan Utama

Di beberapa daerah

seperti Sumatra Barat dan

Bali, rakyat cukup solid

untuk melawan elit yang

dianggap tidak cukup

merepresentasikan

kepentingan-

kepentingan mereka. Di

kota-kota besar, memang

masih cukup rentan

terhadap politik uang,

tetapi di desa-desa dan

gunung-gunung mereka

cukup solid dalam

melawan penguasa.

Page 28: Vol. 1. 2008

Jurnal Demokrasi Sosial

28

penghambatan demokrasi. Oleh karenaitu, menurut Saiful, jika kedua kelompokbesar ini gagal, maka merupakan masalahserius yang perlu diantisipasi karenadapat mengganggu proses demokrasiyang tengah berlangsung. Kedua,implikasi kegagalan ini adalahpengambil-alihan simbol-simbol nilaioleh kelompok-kelompok fundamentalisdi wilayah-wilayah yang dulunyadidominasi oleh NU dan Muhammadiyah.Situasinya menjadi semakin buruk ketikakegagalan kedua kelompok Islam moderatini juga diikuti oleh gerakan-gerakanprodemokrasi, yang dalam kenyataannyahanya mampu bermain di tingkatmenengah. Menurut Saiful, jika pada eratahun 50-an, 60-an, terdapat ideologi-ideologi sekuler yang begitu mampumengartikulasikan kepentingan danaspirasi dari lapis bawah, maka sekarangkelompok-kelompok pro-demokrasiberada di tingkat menengah. Akibatnya,mereka tidak mempunyai akar dan cabangdi tingkat paling bawah sehingga ruangsosial yang berada di lapis bawah hanyadikuasai oleh kelompok yangkemungkinan besar telah bergeser kefundamentalis. Untuk itu, bagi kelompokIslam moderat, NU dan Muhammadiyah,

perlu melakukan koreksi diri sehinggamereka akan memberikan kontribusi bagidemokrasi di Indonesia secara lebihbermakna. Jika tidak, maka besarkemungkinan kelompok-kelompokfundamentalis akan semakin menguat danmengakibatkan demokrasi di Indonesiaberada dalam masalah.

PenutupSecara keseluruhan, diskusi dengan

tema “Pemimpin Tanpa Visi” inimenghasilkan suatu temuan menarik,terutama dalam rangka memantapkandemokrasi di Indonesia. Dalam catatanpenutup ini, penting kiranyadikemukakan kembali pandanganHuntington yang menyatakan bahwakisah sukses reformasi sangat tergantungpada kehadiran seorang pemimpin yangjenial. Menurutnya, reformasi tidak umumterjadi jika talenta politik yangdiperlukan untuk itu menjadi jarang. Olehkarena itu, diperlukan pemimpin yangvisioner dalam mengawal reformasi.

Dalam konteks Indonesia, pemimpinyang visioner diperlukan dalam rangkamembangun sebuah bangsa, merangsangrakyat untuk membayangkan diri secaravertikal dan menjawab pertanyaan

berbagai macam persoalan yangmerentang dari persoalan kemiskinan,penegakkan hukum, strategimeningkatkan GNP, mengatasipengangguran, dan sebagainya yangkesemuanya memerlukan filsafat,paradigma, dan visi yang jelas. Tanpa itu,pembangunan tidak akan mencerminkankehendak rakyat sebagaimana tertuangdalam konstitusi, tetapi lebih pada usahamelayani kepentingan pasar. Penyelesaiantidak bersifat menyeluruh, tetapi parsial.

Di luar kekurangan tersebut, masihada perasaan optimistis atas masa depandemokrasi di Indonesia. Untuk itu, adabeberapa agenda yang perlu dilakukandiantaranya adalah mencegah terjadinya“pembajakan” di tingkat lokal, melakukanpendidikan politik, membuka ruangnegosiasi di tingkat grass root danmapping atas persoalan yang dihadapirakyat, perlu adanya intervensi negarayang bersifat terbatas demi menjaminkeselamatan dan hak publik, dan bagikelompok Islam moderat pentingnyamelakukan koreksi diri sehingga mampumemberikan kontribusi signifikan bagiproses demokrasi di Indonesia sertamampu mencegah munculnya gerakan-gerakan funda-mentalisme Islam.

Laporan Utama

Page 29: Vol. 1. 2008

Vol. 1 No. 1 Januari - Maret 2008

29

PENTINGNYA IDEOLOGI*

Seusai peluncuran buku MakingGlobalization Work versi bahasaIndonesia, terjadi perdebatan menarikantara Sang Pengarang yang jugapemenang hadiah Nobel Ekonomi 2001,Joseph E Stiglitz, dan MenteriKoordinator Bidang Ekonomi Boedionoterkait dengan ideologi.

Sejumlah ekonom di Indonesia, kataBoediono, menuding pemerintah menjualdiri demi berpegang pada ideologiliberalisme yang diusung KonsensusWashington. Namun, baginya, menjaditidak produktif jika mencari jawaban ataspersoalan riil melalui perdebatanideologi. Menanggapi Boediono, Stiglitzmengatakan, pragmatisme tidak dapatdilepaskan dari konteks ideologi yangmenyajikan pandangan mendasar tentangbagaimana pemerintah seharusnyaberperan (Kompas, 19/8/2007).

Ketimpangan dalam arus globalisasi,menurut Stiglitz, perlu dikelola olehnegara-negara berkembang dengan peranpemerintah yang lebih efektif dan efisien,tercermin dalam dorongan pemerintahterhadap pengembangan industri baru,pertanian, bisnis skala kecil sertamemastikan pengelolaan sumber dayaalam berbuah kesejahteraan bagi rakyatbanyak.

Sejarah mencatat bahwa, di satu sisi,maraknya perekonomian, tidak meluludisebabkan oleh liberalisme perdagangan.

A r t i k e l

IVAN A. HADAR**

Page 30: Vol. 1. 2008

Jurnal Demokrasi Sosial

30

Krisis ekonomi sebelumnya pun, termasukyang melanda negeri ini, tidak mampudiatasi oleh pasar. Sementara pada sisilain, proteksionisme negara telah pulamemperparah gejala krisis, ketimbangmemperbaikinya.

Secara umum, konsep (neo)liberaldiakui bisa bermanfaat dalam upayamengurangi mentalitas rent seeking parabirokrat. Namun, pada saat yang sama,ekonomi pasar murni yang meminggirkanperan negara sebagai penyeimbang ini,gagal memenuhi janjinya. Kesenjanganantarnegara kaya dan miskin, serta antaralapis sosial dalam sebuah negara semakinmelebar. Tiga contoh berikut,memperjelas keterbatasan dari berbagaisolusi yang melulu bertumpu pada premisekonomi pasar.

Pertama, asumsi neoliberal bahwapasar modal tidak hanya membantupemanfaatan kapital secara optimal,tetapi juga menjamin pertumbuhan danpengadaan lapangan kerja, tidak terbukti.Penyebabnya, pasar modal menjadi pasarsepekulatif yang dige-lembungkan(spekulativer Marktaufblaehung).Fluktuasi kurs di bursa efek, tidakmenggambarkan kekuatan ekonomisesungguhnya dari berbagai perusahaananggotanya. Tanpa regulasi, pasar modalglobal bisa mempengaruhi kuat-rapuhnyastabilitas ekonomi sebuah negara,kawasan atau bahkan dunia, seperti yangdiperlihatkan oleh “Krisis Asia” yangdampaknya masih terasa bagi Indonesiahingga saat ini.

Kedua, penelitian Prittchett (1996)membuktikan bahwa dalam prosesglobalisasi yang terjadi bukankonvergensi melainkan kesenjangan yangmeluas. Pasar bebas, liberalisasiperdagangan dunia dan investasi sertapasar modal, samasekali tidak berperandalam memperkecil kesenjangan antarayang kaya dan yang miskin. Pemenangproses globalisasi adalah negara-negarakaya anggota OECD, sementara negaraberkembang semakin terpinggirkan.

Ketiga, kekuatan pasar tidak mampumencegah krisis lingkungan global. Meskiharus pula diakui, kegagalan yang samadialami oleh negara, terutama terkaitmaraknya monopoli dan oligopoli.Ternyata, pasar seperti juga halnyanegara, dapat gagal.

Penyebab kegagalan pasar danpentingnya intervensi negara, berkaitandengan beberapa hal berikut, yaitu tidaksehatnya persaingan, kesenjanganekonomi di tingkat nasional dan global,kemiskinan, kerusakan lingkungan, sertaketidakmampuan perusahaan swastauntuk mencukupi kebutuhan publikseperti pendidikan, pelayanan kesehatandan sebagainya.

Untuk membendung dampak negatifyang terbawa oleh proses globalisasineoliberal, diperlukan sebuah negarayang efisien. Tetapi, pada saat yang sama,akibat keterpenggalan antara ekonomiglobal dan politik nasional, sebuahkebijakan proteksionistis oleh negaradiduga akan mengalami kegagalan. Lalu,bagaimana mengatasi dilema tersebut?

Sebenarnya, solusinya terletak padasemakin menyatunya masyarakat global,yang memunculkan berbagaikelembagaan ekonomi dan politik sertaterbentuknya global civil society. Sebagaiinstansi politik terpenting, negara dapatberfungsi sebagai mediator kepentingannasional dalam membendung dampakdestruktif proses globalisasi. Pada saatyang sama, negara juga diharapkanberperan sebagai moderator berbagaiproses dalam masyarakat sebagai instansiintegrasi dan penengah yang mencegahterjadinya fragmentasi dalam masyarakat.

Sementara itu, kelompok kepentinganlokal dapat berperan memperkuatberbagai faktor setempat sepertipendidikan, budaya, infrastruktur sertamengorganisir jaringan lokal sepertiperluasan partisipasi politik, seleksi jenisinvestasi dan penguatan potensi ekonomilokal.

Pada tingkat regional, kerjasamaantarnegara dalam sebuah pakta ekonomi

seperti halnya ASEAN bila dikelola denganpas, bisa membuka ruang gerak lebih bagiperdagangan sekaligus memperkuat posisitawar dalam menghadapi persainganglobal.

Terakhir, yang tak kalah pentingadalah berfungsinya global governance.Untuk itu, dibutuhkan kerjasama antaranegara dan masyarakat sipil di tataranlokal, nasional, dan internasional.Sasarannya, adalah reorganisasi politikdalam semua tataran aksinya melawanlogika pasar murni. Negara, masyarakatsipil dan Global Governance, idealnyabersekutu dalam membendung dominasipasar dan ekonomi serta mengurangidampak buruknya. Kegagalan pasarglobal, seperti kesenjangan antarnegaradan antar-kelompok masyarakat,kemiskinan, pengangguran dan krisislingkungan hidup, pada hakekatnyamenuntut negara yang efektif dan efisien,terutama dalam memperjuangkankesejahteraan bagi rakyat banyak. Darisemua argumentasi di atas, terlihatbetapa pentingnya ideologi.

*****

Di Indonesia, hingga kini masih terasaadanya kecenderungan alergi terhadapideologi. Boleh jadi, akibat traumadepolitisasi sekaligus deideologisasi lebihdari 30 tahun rejim Soeharto. Memangbenar bahwa, saat ini, hampir semuapartai politik menganut azas demokrasidan kerakyatan. Namun, implementasinyabisa bertolak belakang. Ambil contohGolkar. Pilar utama perekonomian yangmenjadi program partai yang pernahmenjadi pendukung utama Orde Baru iniadalah usaha kecil, menengah dankoperasi. Dengan menyandang visiantitesis ekonomi konglomerasi ini,sebenarnya Golkar seharusnyadikategorikan sebagai partai kiri. Namun,sebagai partai pendukung pemerintahanSBY-JK yang saat ini mengambilkebijakan kanan, Golkar pada

A r t i k e l

Page 31: Vol. 1. 2008

Vol. 1 No. 1 Januari - Maret 2008

31

kenyataannya adalah partai kanan.Berseberangan dengan visinya sendiri.

Gejala aneh berikut juga terpantau diLSM. Sebuah forum LSM besar yangbergiat dalam upaya penghapusan utangbagi Indonesia, dalam rapat anggotanyamisalnya, memilih seorang pengurus non-Indonesia yang berideologi kanan dantidak setuju adanya penghapusan utangbagi negara berkembang. Sesuatu yangtidak mungkin terjadi bila para aktivisLSM anggota forum memiliki kesadaranideologis.

Hal ini, selain akibat prosesdeideologisasi Orde Baru, boleh jadi jugadiperkuat dengan berakhirnya konflikBarat-Timur, awal tahun 1990-an ketikadua teori utama pembangunan yaitumodernisasi dan dependensia seakandicampakkan ke tong sampah sejarahideologi. Emoh teori ini mengandungbahaya bahwa semua yang berbauideologi ditinggalkan, sehingga tanpasadar, kita tidak punya pegangan. Yangdilakukan sekadar mengibarkan benderakecil dalam pusaran wind of change usaiPerang Dingin. Padahal, angin yangberhembus, berasal dari arah neo-liberal.

Tentang muatan ideologis neo-klasikdan konsepnya tentang pasar bebas dandemokrasi parlemen, oleh mayoritasilmuwan, didiamkan. Padahal, selainmemang banyak elemen yang mubazir dansalah dalam berbagai teori lain, hal-halyang berguna juga terlupakan. Ambilmisalnya, konsep heterogenitasstruktural. Hal ini, dalam era globalisasi,sebenarnya masih tetap penting dandiperlukan untuk memahami fenomenaketerbelakangan. Konsep ini misalnyabisa menerangkan, mengapa Bangkok,atau bahkan juga Jakarta, sebagaiMetropol-Dunia-Ketiga lebih terkaitdengan pasar dunia ketimbang denganhinterland-nya sendiri.

Begitu pula dengan konsepmodernisasi yang mendiskusikanLandreform sebagai persyaratanpembangunan, mempunyai nilaipencerahan yang tinggi. Yang diperlukan

adalah upaya untuk mencocokkanberbagai teori dan strategi denganrealitas lapangan, dan tidak sekedarmenjadi penganut buta pencetus teori.Hal, yang bagi banyak praktisi selama ini,baik dari kubu penganut teorimodernisasi maupun dependensia,mungkin karena malas mikir, telahdiabaikan.

Dampaknya, berkembang sikap hitam-putih dari dua arah yang berbeda. Merekayang konservatif, sepenuhnya menolakteori ketergantungan. Jelas salahanggapan bahwa semua masalah DuniaKetiga, bersumber di negara-negaraindustri. Sikap ini, menyederhanakanpersoalan dengan menempatkan Utaradalam posisi keperkasaan mutlak,sementara Selatan sebagai korban takberdaya. Hal ini, sama fatalnya dengananalisis Siegfrid Kohlhammer (1993) yangmenyatakan Selatan sepenuhnyabertanggungjawab atas segala miseryyang menjadi tanggungannya kini, sambilmelupakan penjajahan, jerat utang luarnegeri, proteksionisme, ekspor senjata,pemborosan energi dan sebagainya olehUtara. Pemutarbalikan fakta tersebut,beda dalam kualitas dengan apa yangmisalnya dilakukan oleh Axelle Kabou(1993) dari Kamerun dengan otokritik,karena tidak membebaskan sepenuhnyaelite Afrika dari tanggung jawab atasberbagai dilema pembangunan yangterjadi.

*****

Dalam kevakuman teori, antara lainakibat de-ideologisasi, implementasikebijakan pembangunan dipenuhi olehsejumlah jargon dan wacana yangkedengarannya progresif, meski biladitilik lebih dalam bisa diinterpretasikansecara fleksibel. Partisipasi, ketahanansosial, good governance dan sustainability,untuk menyebut beberapa yangterpenting, kedengaran sangat inovatifuntuk membenarkan kegiatan ‘bantuanpembangunan’ atau ‘kerjasama

A r t i k e l

Gejala aneh berikut juga

terpantau di LSM. Sebuah

forum LSM besar yang

bergiat dalam upaya

penghapusan utang bagi

Indonesia, dalam rapat

anggotanya misalnya,

memilih seorang

pengurus non-Indonesia

yang berideologi kanan

dan tidak setuju adanya

penghapusan utang bagi

negara berkembang.

Sesuatu yang tidak

mungkin terjadi bila para

aktivis LSM anggota

forum memiliki

kesadaran ideologis.

Page 32: Vol. 1. 2008

Jurnal Demokrasi Sosial

32

pembangunan’ yang banyak dikritikdalam dekade 80-an.

Dengan mengambil contoh‘partisipasi’, menjadi jelas betapa jargonsejenis masih perlu dipertanyakan. Dulu,ada tuntutan agar pembangunan harus“dari bawah”. Kini, formel ajaib‘partisipasi’ akan menjamin pelibatankelompok sasaran dalam berbagai proyekpembangunan. Penggunaan jargon inimenutupi perbedaan antara keterlibatansukarela dan spontan dengan bentuk-bentuk partisipasi manipulatif dandiarahkan dari jauh. Sebenarnya, yangpenting, bukan kegiatan partisipatif itusendiri, tetapi pertanyaan dalam hal apadan untuk tujuan apa harus adapartisipasi. Sebagai contoh, sistem NaziJerman, yang kejam dan menjadipenyebab Perang Dunia II, pada dasarnya,sangat partisipatif. Masyarakat juga bisa

rajin dilibatkan secara partisipatif dalamproyek pembangunan yang idiotis(dungu). Partisipasi menaikan legitimasisebuah proyek di negara pemberibantuan, di samping terbebas daritanggung jawab bila proyeknya ternyatagagal. Tapi, masyarakat (luas) duniajangan coba-coba menuntutberpartisipasi dalam menikmati kuepembangunan, apalagi ikut terlibat dalamkemakmuran belahan Utara bumi.

Pertanyaan tentang penyebab darivakumnya teori dan utopi berbarengandengan ambruknya model sosialismenegara, juga di kalangan kiri non-ortodoks (new left), belum memberikanjawaban memuaskan. Padahal, sosialismedemokrasi, anarkhisme utopis danrenungan Gandhi tentang ekonomiautarki, belum tercemarkan. Bahwa semuaitu adalah alternatif terhadap logika

(berproduksi) kapitalistik, mestinyamenjadi alasan optimistik, bukannyaalasan untuk berkecil hati (resignation).Sama halnya dengan, proteksi ekonomidalam beberapa aspek esensial, tidakhanya ber dampak negatif, tetapi padasisi lain, paling tidak, hal tersebutmembuka kesempatan bagi pembangunanyang mandiri, yang terbebas daripemaksaan persyaratan neo-liberalperekonomian dunia.

* Tulisan ini adalah elaborasi lanjut daritulisan penulis dengan judul samayang dipublikasi di harian Kompas,30 Agustus 2007

** Koordinator Nasional Target MDGs(BAPPENAS/UNDP). Pendapat pribadi.

A r t i k e l

Page 33: Vol. 1. 2008

Vol. 1 No. 1 Januari - Maret 2008

33

Bagaimana menurut Andakepemim-pinan yang ideal untuksituasi Indonesia saat ini?

Berbicara mengenai kepemimpinanyang ideal, mungkin kita bisa memulainyadari fungsi kepemimpinan itu sendiri.Menurut hemat saya, fungsikepemimpinan adalah kemampuanseorang pemimpin memobilisasi seluruh

resources yang ada, sumberdaya yang kitamiliki, untuk mencapai satu tujuan secaraefektif.

Seperti kita ketahui, tujuan bangsakita kan antara lain melindungi segenapbangsa Indonesia dan seluruh tumpahdarah Indonesia, memajukankesejahteraan umum, mencerdaskankehidupan bangsa. Itu adalah goals

bangsa kita. untuk membawa bangsa inimendekat ke goals-nya, tanpa zig zag.Sumber daya manusia dan sumber dayaalam. Dan kemampuan meraciknya untukmencapai tujuan yang kita harapkan itu.Dari segi itu, pemimpin juga harus punyakomitmen, dalam arti kemampuanmemobilisasi sumber daya yang dimilikibangsanya, di samping kemampuan

Pemimpin jangan durhakapada bangsanya

Faisal H Basri:

Faisal Basri adalah sosok pemimpin muda yang kuat dalammempunyai karakter dalam berideologi, baik sebagai ekonommaupun sebagai salah satu agen perubahan di Indonesia.

Ditemui secara marathon di sela-sela kesibukan dalam men-diseminasi gagasan melalui seminar dan kesibukan mengajar diuniversitas, redaksi kami berhasil melakukan wawancara di duatempat yang berbeda, Hotel Le Meridien dan Ruang Rapat IRSAtempat Faisal Basri beraktivitas sehari-hari. Berikut petikanwawancara tentang kepemimpinan:

Wawancara

Page 34: Vol. 1. 2008

Jurnal Demokrasi Sosial

34

persuasif pada kelompok-kelompokkepentingan yang ada, dan mewujudkankebahagiaan buat seluruh rakyatnya.

Seorang pemimpin harus tahu jalanmencapainya dan kendaraan apa yang diapakai untuk mencapai tujuan itu. Yangkita butuhkan adalah pemimpin yang bisamembawa seluruh penumpang dikendaraan itu mencapai tujuan, danmenjamin agar tujuan-tujuan itu selaluterjaga atau berada dalam track-nya yangbenar. Pemimpin yang baik adalahpemimpin yang bisa memobilisasisumberdaya dan mengarahkan ke tujuan-tujuan yang lebih tinggi dengan waktuyang lebih cepat. Capaian-capaian yanglebih tinggi dan lebih cepat yangdiupayakan oleh seorang pemimpin harusdiarahkan untuk membawa tujuan bangsaini tetap berada dalam track-nya. Itulahindikator dari efektifitas kepemimpinan.

Pemimpin yang baik adalah pemimpinyang mampu membangun institusisebagai tracknya. Tracknya adalahperanan institusi dalam artian semua ituharus harus dijabarkan melalui penguataninstitusi. Karena pemimpin yang baikadalah pemimpin yang mampumenjabarkan tujuan-tujuan bernegaramelalui penguatan peran institusi tadi.Artinya, ketika dia sudah tidakmemerintah kebijakannya bisadilanjutkan.

Karena pemimpin yang baik adalahketika ia sudah tidak memerintahinstitusinya harus jalan terus. Instutusiyang baik adalah yang baik harus didasarioleh ideologi. Oleh karena itu seorangpemimpin harus punya ideologi. Ia haruspatuh, tunduk, dan taat pada ideologiyang ditetapkan oleh bangsanya. Apaideologinya. Ideologi politiknya adalahdemokrasi sosial, ideologi ekonominyaadalah ekonomi pasar sosial. Nah kalaupemimpin itu membawa ideologi bangsaitu ke arah ideologi kapitalisme-neoliberalisme, artinya dia pemimpinyang durhaka kepada bangsanya.

Menurut Anda, apa saja kriteriayang harus dimiliki oleh pemimpinIndonesia saat ini?

Kriteria pertama seorang pemimpinadalah, ia harus taat asas pada landasanideologinya. Ia harus orang yang memilikikeyakinan (belief), seorang yang memilikikeyakinan yang penuh tanpa pamrih (oneman with it belief, it would be thousandwithout an interest). Orang yang punyabelief yang paling penting, dia yakinlandasan ideologinya benar dan bisadijadikan kendaraan untuk mencapaitujuan berbangsa dan bernegara.

Kedua, ia seorang yang visioner. Diajuga bisa membawa rakyatnya untukmenghadapi tantangan-tantangan, bukanhanya yang ada sekarang, akan tetapitantangan yang akan dihadapi bangsanyadi masa depan. Ia harus punyakemampuan untuk melakukan pengayaan(enrichment) dari orang-orang yangdipimpinnya untuk melakukanpeningkatan kapasitas menghadapiperubahan-perubahan yang dinamis. Jadipemimpin itu menyiapkan bangsanyabukan untuk sekedar menghadapi masalahsekarang, tapi juga berbagai bentuktantangan yang akan terjadi di masadepan.

Ketiga, dalam konteks Indonesia,karena situasi sosio-kultural bangsa kitayang sangat heterogen, pemimpin ituharus bersifat inklusif, karena pemimpinyang inklusiflah yang bisa mengajakseluruh rakyat yang bebeda suku, bangsa,agama, latar belakang, dan adat isitiadatitu berjalan sama-sama dalam satukendaraan untuk mencapai tujuanbangsa, tidak ada yang tercecer.

Keempat, meletakkan dasar-dasarpijakan bagi bangsa ini untuk terus majudan berkembang ke depan, sehingga diatidak berorientasi semata-mata padahasilnya sekarang, karena pemimpin ituadalah pada umumnya, hasil nyata yangdia upayakan baru kelihatan sepuluh-limabelas tahun setelah dia tidak lagiberkuasa. Jadi pemimpin yang baik tidakboleh bersikap, ah .... yang penting

Wawancara

Pemimpin yang baik

adalah pemimpin yang

bisa memobilisasi

sumberdaya dan

mengarahkan ke tujuan-

tujuan yang lebih tinggi

dengan waktu yang lebih

cepat. Capaian-capaian

yang lebih tinggi dan

lebih cepat yang

diupayakan oleh seorang

pemimpin harus

diarahkan untuk

membawa tujuan bangsa

ini tetap berada dalam

track-nya. Itulah indikator

dari efektifitas

kepemimpinan.

Page 35: Vol. 1. 2008

Vol. 1 No. 1 Januari - Maret 2008

35

pokoknya saya bikin aja, saya genjotsekarang, supaya masyarakat memilihsaya kembali.

Sementara yang kelima, pemimpin ituharus mampu melahirkan kader-kaderpemimpin yang lebih banyak danmemiliki kemampuan yang lebih baik daridia.

Menurut Anda, konsep dan strategikebijakan seperti apa yang harusdimiliki oleh pemimpin Indonesiaguna menyelesaikan krisismultidimensi yang dihadapi saat ini?

Sebelum kita bicara konsep danstrategi kebijakan, saya terlebih dahuluingin mengemukakan persoalan institusi,karena di Indonesia pengertian institusiini banyak disamakan dengan agensi.Kalau agensi itu kan pemerintahan,departemen, atau dengan kata laingovernment agency.

Sementara insitusi itu berisi norma,value, peraturan, undang-undang sampaikonstitusi yang diyakini secara bersamaoleh bangsa itu sebagai kendaraan untukmencapai tujuan. Instutusi adalah saranayang meng-create tata aturan, yangmeng-create kepastian bagi siapa punsehingga orang tahu kalau dia berbuatapa dia akan mennghadapi atau mendapatkonsekuensi apa.

Bangsa ini sesungguhnya telahmeletakkan tujuannya dengan jelas, yaknimelindungi segenap bangsa dan tumpahdarah Indonesia, memajukankesejahteraan umum, mencerdaskankehidupan bangsa, dan seterusnya. Tapi,kita tidak pernah kunjung secaraeksplisit, tegas, lugas, memilih kendaraanuntuk mencapai tujuan tadi. Jadi, yabingung terus. Kan untuk mencapaitujuan harus menggunakan kendaraan.Nah akar soalnya, ada di undang-undangdasar kita yang rancu. Kenapa rancu,karena undang-undang kita disusunbersifat sementara. Kata Bung Karno,nanti kalau sudah pemilu, hasil pemiluitu akan menghasilkan MPR/DPR yang

akan bersidang untuk membuat konstitusibaru yang komprehensif.

Masalahnya, sampai sekarang kitatidak pernah membangun konstitusi baruyang komprehensif itu. Sudah enggakpernah membangun, kemudian tiba-tibadiamandemen dengan cara enggak karu-karuan, sehingga banyak menimbulkankerancuan. Lihat saja sistempemerintahan kita sekarang, presidensilenggak, parlementer enggak, federalismeengga, sentralisasi enggak. Bikameralada, tapi kenyataannya masih unikameral.Peran negara dan peran pasar kacau.Inilah yang membuat segala sesuatunyajadi rancu.

Karena kita tidak pernah tegasmerumuskan demokrasi kita seperti apa?Katanya demokrasi Pancasila, tapi jugatidak pernah didefinisikan secara jelas.Nah ini semua yang menimbulkankerancuan. Kita disebut liberal enggamau, tapi kenyataannya berbagaikebijakan kita amat liberal. Ini yang bikinkita selalu silang sengketa, berpolemik,dan membuat kita lelah. Ketika digulirkankebijakan privatisasi rame, tarif tol naikrame, semua rame, pemerintah kitabingung karena tidak punya pijakan.

Sebagai bangsa, kita menghadapihambatan kelembagaan yang cukupserius. Sejarah menunjukkan, negara-negara yang maju sekarang adalahnegara-negara yang memilikikelembagaan politik dan kelembagaanekonomi yang baik di masa lalu. Artinya,bisa saya katakan kelembagaan politikdan kelembagaan ekonomi yang baik diIndonesia sekarang lah yang akanmenjamin Indonesia maju di masa yangakan datang. Kalo kita potretkelembagaan Indonesia sekarang kankocar kacir. Sehingga banyak orang dinegeri ini suka-suka aja bikin visi, karenaapa, karena negara ini memang kacaukelembagaannya, jadi kaya orang ngigau.

Bagaimana Anda melihat contohkepemimpinan negara-negara berkem-bang lain (seperti di negara-negara

Wawancara

kawasan Latin Amerika) dalammenyelesaikan persoalan kepemim-pinan?

Secara historis dan sosial, di AmerikaLatin itu, setelah merdeka, perusahaanmultinasional masih berperan sangatkuat, berkolaborasi dengan elite lokal,yang pada umumnya adalah indo, yangasal-usulnya berasal dari keturunanSpanyol atau Portugis. Nah, kalo dalamkonteks Indonesia, pasca kemerdekaanitu perusahaan-perusahaan asing yanghampir seluruhnya peninggalan Belandaitu dinasionalisasi, ditransformasikan kedalam BUMN, seperti PJKA, Telkom, PTP,dan sebagainya. Sehingga konteksnya,kalau di Latin Amerika itu diametralantara kepentingan publik dankepentingan perusahaan multinasional,kalau di Indonesia BUMN. Jadi terkesanberontak melawan negara. Nah, berontakmelawan negara subversi namanya, jamanpak Harto dulu. Dan kalo kita perhatikan,karakter BUMN ini sama sepertiperusahaan multinasional, Pertaminamisalnya tidak memiliki kontribusibanyak kepada masyarakat, PLN cumamelistriki empat puluh lima persenpenduduk, Telkom hanya melayani empatpersen (fix line) dari jumlah penduduk,PTP juga engga ada manfaatnya buatrakyat. Tapi di Indonesia sosok yangmuncul adalah negara. Jadi solusinyabukan berarti BUMN sebagai perusahaanmilik negara harus di privatisasi. Kalauprivatisasi jatuhnya ke tangan AburizalBakrie atau ke Jusuf Kalla kan sama sajabohong.

Jadi bagaimana menciptakan suatuiklim persaingan yang memungkinkanBUMN-BUMN itu tergerak untuk berubah.Dan terbukti kan, misalnya Telkom atauJasa Marga setelah ada pesaingmengalami perubahan, tapi yang belummenghadapi pesaing, seperti PJKA atauPLN belum kelihatan karena belum adaperubahan. Masalahnya, jangan sampaiBUMN-BUMN ini jadi sarang penghisapandari politisi.

Page 36: Vol. 1. 2008

Jurnal Demokrasi Sosial

36

Dan terbukti kan,

misalnya Telkom atau

Jasa Marga setelah ada

pesaing mengalami

perubahan, tapi yang

belum menghadapi

pesaing, seperti PJKA

atau PLN belum kelihatan

karena belum ada

perubahan. Masalahnya,

jangan sampai BUMN-

BUMN ini jadi sarang

penghisapan dari politisi.

Wawancara

Sekarang di Latin Amerika, munculgugatan terhadap perusahaanmultinasional yang menghisap, sepertikontrak-kotrak eksplorasi sumberdayaalam yang engga benar. Tapi saya melihatada strategi proses nasionalisasi ekonomiyang berbeda antara Venezuela denganBolivia. Kalau proses nasionalisaiekonomi di Venezuela masih ditandai olehdominannya peran elite (tentara danjenderal-jenderal) dalam penguasaanBUMN. Jadi di Venezuela mirip denganIndonesia masa Orde Baru. ModelVenezuela menurut saya jelek. TerbuktiVenezuela melorot terus dari segi rankingapa pun. Nah di Bolivia prosesnasionalisasi ekonominya berlangsunglebih lugas dan lebih baik, karenapemerintah Bolivia di bawahkepemimpinan Evo Morales inginmemperjuangkan keadilan. Karena selamaini, elite di Bolivia bersama perusahaanmultinasional menjalin persekutuan yangmembuat posisi dan peran negara jadilemah.

Nah, sekarang di Bolivia terjadipenguatan posisi negara, dimanapemerintahan Evo Morales masihmembolehkan perusahaan-perusahaanmultinasional beroperasi, tapi kontraknyaditinjau kembali. Nah itu kan yang tidakberani dilakukan oleh pemerintahIndonesia dalam kasus Freeport atau INCOmisalnya. Bahkan di INCo itu kasusnyalebih parah dari Freeport.

Padahal konstitusi kita sudahmenggariskan secara lugas, bahwa bumi,air, dan kekayaan alam yang terkandungdidalamnya, dikuasai oleh negara dandipergunakan sebesar-besarnya untukkemakmuran rakyat. Contoh misalnya,kasus penjualan pengelolaan batu baruArutmin, KPC, dibeli oleh Bakrie denganharga sekirat 300 atau 400 juta US dollar,beberapa tahun kemudian dijual 2,5miliar dollar. Menurut saya, ini enggaboleh, karena melanggar konstitusi. KalauBakrie sudah tidak mau lagi mengelola,seharusnya pengelolaannya dikembalikanlagi ke negara, biar negara yang melalang.

Sehingga kelebihan profit dari hasilpenjualan saham Arutmin, negara yangdapat, bukan Bakrie.

Contoh lain, PT. Aneka Tambang yangpunya cadangan nikel di Halmahera. Nahkalo nikelnya cuma dieksploitasi jadi bijinikel saja, Cuma menghasilkan net presentvalue (NPP) 3 miliar dollar, tapi kalo nikelitu dijadikan veronikel, maka NPP-nyaakan menjadi tujuh kali lipat (sekitar 21miliar dollar). Nah, kenapa tidak bisa.Karena untuk membakar dari biji nikelmenjadi veronikel kan membutuhkan gas.Ironisnya, PT. Aneka Tambang, tidakmendapat pasokan gas. Nah, ini kanberarti pemimpinnya tidak berhasilmendayagunakan sebesar-besarnyaresources yang ada untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. PadahalGasnya kan milik negara (Perusahaan GasNegara/PGN). Tapi lebih baik di ekspor,daripada membesarkan PT. AnekaTambang.

Bagaimana pandangan/pengalamanAnda dalam melihat rekrutmenpemimpin di tingkat lokal maupunnasional yang berlangsung saat ini?

Kenapa, yang karena institusipolitiknya tidak jelas! Karena institusipolitiklah yang melahirkan kesenjanganapa yang dilakukan politisi dengan apayang menjadi aspirasi masyarakat.Institusi politik menghasilkan politisiyang tidak peka terhadap konstituennya,karena tidak ada akuntabilitas politisikepada konstituennya. Sekalipun politisiitu tidak pernah mengunjungikonstituennya, dia tetap bisa terpilihkembali. Kemudian, sentralisme di dalampolitik menyebabkan aspirasi dari bawahtidak pernah sampai ke Jakarta.

Ibu Megawati, misalnya, sulit untukbisa mendengarkan apa yang terjadi danbergejolak di bawah, karena lapisan-lapisan di birokrasi partai itu sudahdemiki sangat tebalnya. Nah, oleh karenaitu persoalannya bukanlah padapenyederhanaan jumlah partai. Caraberpikir yang benar kan seharusnya,

Page 37: Vol. 1. 2008

Vol. 1 No. 1 Januari - Maret 2008

37

Wawancara

bagaimana kita bisa menciptakan sistempolitik dan institusi politik yangmemungkinkan efektifnya penyerapanaspirasi rakyat. Kalau sekarang kandiskusinya, partai banyak atau sedikit,bukan pada apakah aspirasi rakyat itudapat ditangkap oleh partai politik secaraefektif.

Oleh karena itu, diskusi seharusnyadiarahkan bagaimana kita mampumendesain suatu institusi politik yangmemungkinkan aspirasi itu tidak senjang.Nah kalau jawabannya, partai lokaldibolehkan, why not! Toh, partai lokaljuga akan melakukan pekerjaan politikdi tingkat lokal. Jika terjadi pemilunasional, partai lokal juga kan padaakhirnya harus berafiliasi dengan partai-partai politik di tingkat nasional. Nahsekarang, coba kalau Anda mau bikinpartai baru, susahnya setengah mati,berapa miliar biaya yang Anda butuhkan.

Nah, kita harus menyadari, bahwapartai politik itu adalah pilar utamademokrasi. Dan, kenapa sih kita bikinpartai, yah untuk menyederhanakanproses penyerapan aspirasi masyarakatoleh insan-insan politik. Karena, kalauAnda maju jadi gubernur, bupati, atauwalikota lewat jalur calon independen,pasti biayanya lebih mahal dari partaipolitik, wong Anda engga punyainfrastruktur. Jadi solusinya adalahmenciptakan bukan calon independensebagai solusi aspirasi rakyat atau tidak,karena calon independen padahakekatnya bukanlah ancaman, dan tidakboleh dilihat sebagai ancaman. Calonindependen adalah emergy exit. Sepertikalau terjadi kebakaran di pesawat, kitatahu jalan keluarnya yang aman. Jadikalau partainya sudah dablek semua,proses kepemimpinan kita tetap ada jalankeluarnya, yah si calon independen ini.Jadi calon independen hanyalahbalancing untuk memecahkan kebuntuanpolitik, jadi dia itu darurat sifatnya.

Menurut Anda, apa kira-kira yangmenjadi hambatan mendasar dari

sirkulasi kepemimpinan di negeri iniuntuk menghadirkan sosok pemimpinyang bersih, memiliki integritas danvisi yang jelas serta bebas KKN?

Dari sisi sirkulasi elite kita merasakankan selama ini sumpek, mampet. Jadikaya udara yang muter-muter di sekitarkita saja, jadi alternatif kepemimpinancuma ada pada figur Megawati, Wiranto,Gus Dur, atau Akbar Tanjung, karenasemua sirkulasi udara mampet, engga adaventilasi. Saya juga tidak tahu, kenapasistem politik kita cuma menghasilkankondisi seperti itu. Makanya, dalamkonteks manajemen kepemimpinandaerah relevan yang namanya calonindependen itu.

Calon independen itulah yang palingtidak sedikit bisa membuka sirkulasiudara itu agar mengalir secara segar.Karena kalo diserahkan kepada partaiyang seperti itu hasilnya. Seperti koalisimenjelang pemilu 2009 misalnya, akanterjadi koalisi partai besar lagi, sepertiPDIP dengan Golkar dan PPP, nanti bisasaja melawan SBY dengan Demokratnyaplus PKS.

Dalam soal koalisi partai besar ini,kita menyaksikan betapa etika danfatsoen politik dari politisi kita tidakjelas. Misalnya, seorang menteri yangnotabene anak buah presiden, tidakmelakukan koalisi tidak denganpresidennya. Suryadharma Ali (KetuaUmum PPP) melakukan koalisi denganPDIP, berarti dia sudah tidak percayadengan presidennya, tapi kenapa juga diamasih mau jadi menteri. Itulah rusaknyaetika politik para politisi kita.

Tapi sebenarnya ini karma buat SBY.Karena SBY juga dulu kan anak buahMegawati yang men-chalanges bosnya,Hamzah Haz dan Agum Gumelar men-chalange bosnya. Nah kalau dia mau men-chalanges bosnya, berarti logikapolitiknya dia menganggap dirinya lebihbaik dari bosnya. Harusnya, kalau paramenteri itu punya etika politik, danmenganggap dirinya lebih baik daripresidennya, dia harus men-chalanges

Misalnya, seorang

menteri yang notabene

anak buah presiden, tidak

melakukan koalisi tidak

dengan presidennya.

Suryadharma Ali (Ketua

Umum PPP) melakukan

koalisi dengan PDIP,

berarti dia sudah tidak

percaya dengan

presidennya, tapi kenapa

juga dia masih mau jadi

menteri. Itulah rusaknya

etika politik para politisi

kita.

Page 38: Vol. 1. 2008

Jurnal Demokrasi Sosial

38

bosnya dari luar kekuasaan, jadi jangandari dalam kekuasaan. Rusak dong, siapayang mau kerja, ini kan namanyapembusukan.

Lalu bagaimana dengan soalbirokasi?

Bagi saya, birokrasi fungsi utamanyatidak lebih dari alat eksekutif. Birokrasipada dasarnya bisa dipengaruhi olehpemimpinnya. Salah satu keberhasilandari seorang pemimpin adalah kalau diaberhasil memanfaatkan birokrasi.Birokrasi itu given. Jadi pemimpin harusmemiliki direction yang jelas kepadabirokrasi, sehingga birokrasi maumengikuti kebijakan pemimpinnya.

Menteri itu bukan jabatan profesional,tapi jabatan politik. Jadi menteri-menteriyang berasal dari partai politik yangduduk di kabinet harus jelas, jika diajakduduk dalam eksekutif atau duduk dalampemerintahan, konsekuensi partai simenteri harus mendukung kebijakanpemerintahan di parlemen. Masalahnya,dalam konteks ini terjadi banyakkerancuan, partai si menteri kerapkaliterlihat tidak mendukung kebijakanpemerintah. Inilah repotnya sistempemerintahan kita, parlementer tidak,presidensial juga engga. Karena presidensendiri gamang, untuk meng-exercisekekuatan dia sebagai presiden yangdipercaya langsung oleh rakyat, jadinyakebijakan presiden terkesan akomodatifterus.

Makanya dalam kontekskepemimpinan di daerah, calonindependen bisa membuat mekanismerekrutmen kepemimpin di daerah bisalebih baik. Jadi calon independen itubukan untuk menggembosi partai, diamenjadi faktor pendorong untuk menujuperbaikan mekanisme rekrutmenkepemimpinan yang ada di dalam partaipolitik. Karena pada dasarnya calonindependen itu susah dan lebih mahalbiaya politiknya, wong dia engga punyainstrumen.

Ada yang bilang gerakan reformasiyang ada sekarang sudah kebablasan, adayang bilang sudah salah arah. Lalu kedepan, gerakan apa yang efektif dan bisamemunculkan orang-orang yang memilikitrack record bersih dan punya integritassupaya bangsa kita bisa keluar darikemelut multidimensi seperti saat ini?

Ya, awalnya kan disebabkan gerakanreformasi menganggap musuh utamanyaadalah Soeharto, kalo saya kanmenganggap musuh bangsa ini rezim,karena rezim—bukan Soeharto semata—yang merusak bangsa ini. Nah, kitakeburu puas setelah Soeharto jatuh, tapirezim engga berubah. Jadi yang sekarangberkuasa sebenarnya Orde Baru jilid II.Siapa ketua DPD, Golkar, Ketua DPR,Golkar, Wakil Presiden, Gokkar, BP Migasdikuasai Golkar, di KPU ada Golkarnya,dimana-mana Golkar.

Golkar berkepentingan untuk berkuasakarena dengan berkuasalah kesalahanmasa lalu mereka bisa mereka protek. Jadisalah kita sendiri. Harusnya dulu kanGolkar itu partai terlarang. Sepuluh tahunengga boleh ikut pemilu atau dua kalipemilu. Harusnya kan gitu tuntutanreformasi saat itu. Ada punishment yangjelas. Tentu harus melawati proses hukumdi pengadilan, yang menunjukkan betaparezim Golkar di masa Orde Baru itu korup.

Untuk itu, ke depan kita harusmenarik garis pemisah yang jelas, antarakekuatan-kekuatan status quo dengankekuatan-kekuatan baru. Syaratnya,kekuatan-kekuatan yang baru itu harusbersatu. PDIP tadinya kita harapkan bisamenjadi ujung tombak oposisi. Tapiakhirnya kerjasamanya juga sama Golkar.

Lalu, apa kira-kira solusi dari Andadalam mengatasi krisis kepemimpinanyang berlangsung di Indonesia saatini?

Intinya, perlu ada mekanisme yangbisa membuat sirkulasi kepemimpinannasional itu lebih lancar. Kan keterlaluan,kalau bangsa ini cuma mengandalkanpada Gus Dur, Amien Rais, Megawati,

Wiranto, Akbar Tandjung. Jadi menurutsaya perlu ada mekanisme demokratisasidi dalam partai politik. Jadi sepertiterdapat dalam ketentuan KPU, walapunkatakanlah tidak ada calon independen,partai harus membuka diri seluas-luasnyaterhadap warga negara yang hendakmencalonkan diri dalam pilkada. Dan ituharus disertai dengan berita acara,prosesnya itu dilaksanakan apa tidak. Nahdisitu kadang-kadang hukum tidakditegakkan.

Secara empiris, di dunia ini terbukti,bahwa negara-negara yang institusipolitik dan ekonominya baik di masa laluadalah negara-negara yang sejahterasekarang. Bangsa kita engga bisamembangun institusi politik dan ekonomidengan cara eksperimen terus, tapiinstitusi politiknya jelas, institusiekonominya jelas. Karena itulah yangakan menjamin adanya kesinambunganpembaruan yang lebih pasti, bukan selerarezim. Nah, institusi politik yang bagus,punya beberapa karakteristik, sepertimemberikan kebebasan pada warganegaranya untuk turut serta dalam prosespolitik dan proses ekonomi yang seluas-luasnya, dan juga memberikan kekuasaankepada seluruh individu untuk memilikifaktor/alat produksi, supaya dia tidaksekedar mengandalkan pada tenaga saja.Jadi intinya, kesejahteraan rakyat yangdilandasi oleh kebebasan individu.

Selanjutnya, institusi yang baik jugaharus bisa menciptakan kendala,sehingga para elite, politisi, dankelompok-kelompok kekuatan tidakmenjarah atau merampok aset-aset,kekayaan, atau investasi rakyat. Misalnya,kalau monorel jadi, itu kan sebetulnyaBukaka dan kawan-kawannya merampokaset atau kekayaan rakyat, karena nantirakyat yang akan membayar proyek itu.Kenapa? karena institusi yangmengaturnya buruk. Jalan tol yang naikadalah ruas-ruas yang dikuasai olehpenguasa. Contoh lain, Bakrie misalnya,tidak punya infrastruktur, tapi bisa dapat

Wawancara

Page 39: Vol. 1. 2008

Vol. 1 No. 1 Januari - Maret 2008

39

Secara empiris, di dunia

ini terbukti, bahwa

negara-negara yang

institusi politik dan

ekonominya baik di masa

lalu adalah negara-

negara yang sejahtera

sekarang. Bangsa kita

engga bisa membangun

institusi politik dan

ekonomi dengan cara

eksperimen terus, tapi

institusi politiknya jelas,

institusi ekonominya

jelas. Karena itulah yang

akan menjamin adanya

kesinambungan

pembaruan yang lebih

pasti, bukan selera rezim.

fasilitas SLI, itu kan fakta-fakta dariinstitusi politik dan ekonominya buruk.

Nah, untuk membangun institusi yangbaik, hulunya adalah konstitusi. Jadiharus ada pembaruan konstitusi.Konstitusi kita sifatnya sementara. BungKarno sendiri mengatakan UUD 45 itusifatnya sementara, prasyarat untuk kitabisa merdeka aja. Nanti kalau sudahpemilu, kita akan menghasilkan MPR/DPRyang akan membuat konstitusi baru. Dankonstitusi kita jelas-jelas menciptakanambigu-ambigu, misalnya sistempemerintah kita apakah parlementer ataupresidensial, bikameral atau unikameral,peran negara dengan peran pasar enggajelas. Ini semua yang bikin kacau.

Intinya, konstitusi kita telahmenggariskan tujuan kita bernegara kitaapa, tapi untuk mencapai itu tidakditunjukkan secara eksplisit dalamkonstitusi kita kendaraan apa yang bisadigunakan untuk mencapai tujuan itu, yaengga sampai-sampai. Nah, kalaukonstitusinya sudah beres, baru aturanperundangan yang lainnya bisa beres.Kalau kita saksikan sekarang makinbanyak proses judicial review keMahkamah Konstitusi, itu sendirinyaindikasi apa sih, kan anomali. Jadi yangsalah undang-undangnya apakonstitusinya. Kemungkinan besarkonstitusinya yang rancu. Maka, kalaupun kita akan kembali melakukanamandemen kelima terhadap UUD 1945,maka amandemenya harus bersifatkomprehensif, bukan yang diusulkanuntuk melakukan amandemen karena adakepentingan elite yang terganggu disana.

Ok, untuk lebih demokratis, dibuatlahaturan tentang DPD misalnya, tapi DPD-nya dikebiri, kan lucu. Peran negara jugasampai detik ini engga jelas. Masa perannegara sampai saat ini masih jadi “tukangkebun” dengan PTP-nya, masa negarabersaing dengan warga negaranya, kanengga mungkin.

Konstitusi itu sebenarnya ngurusinapa sih? Kan untuk melindungai bangsadan tumpah darah, bagaimana menjamin

hak-hak individu warga negara,bagaimana memobilsasi seluruh resourcesyang ada pada negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, kemudianapa peran negara, peran pasar, dan apaperan pasar. Menurut saya tujuan atauesensi bernegara kita juga harus direvisi.Bukan jargon adil makmur-gemah ripahloh jinawi. Tapi tujuan bernegara adalahuntuk mencapai kebahagiaan (happiness)bagi seluruh rakyat. Lalu, kendaraanuntuk mencapai tujuan. Masalahnya,sampai sekarang kita belummendefinisikan kendaraan, yakni ideologisebagai falsafah dasar kehidupan kitauntuk mencapai tujuan berbangsa danbernegara yang mencapai kebahagiaanbagi semua.

Kita tidak mendesain warga bangsauntuk mencapai hakikat dari kehidupanini, yakni kebahagiaan. Padahal itulahhakekat hidup menurut Aristoteles,menurut Gandhi, menurut Bentham.

Tidak ada negara yang maju di duniaini, yang tidak gencar melakukaninvestasi pendidikan dan penelitian. Dinegeri ini misalnya, biaya penelitiancuma dianggarkan 300 juta dollar denganpenduduk 222 juta. Sementara Malaysia,menganggarkan penelitian sebesar 1,1miliar dollar dengan penduduk 17 juta,Singapura dengan jumlah penduduk 3,5juta menganggarkan penelitian sebesar2,2 miliar dollar, Cina dengan jumlahpenduduk 2 milyar orang menganggarkanuntuk biaya penelitian 72 miliar dollarper tahun.

Di Indonesia, lebih sudah Cuma 300juta dollar, 84,5 persennya dilakukan olehnegara (umumnya proyek penelitiandikerjakan oleh departemen pemerintah),sementara oleh swasta cuma 14,3 persen.Sementara di Cina, 62 persen dilakukanoleh swasta dan negaranya cuma 38persen. Akhirnya apa, kita jadi negarapembajak, kerena kita lemah dalampenelitian-penelitian yang produktif daninovatif di bidang sains dan teknologi.Itulah yang mendukung daya saingbangsa, karena selalu ada pembaruan

Wawancara

Page 40: Vol. 1. 2008

Jurnal Demokrasi Sosial

40

Wawancara

produk, manajemen makin baik,pemerintahnya jadi makin efisien.

Nah, semua itu harus dilandasi olehcara berpikir yang benar, yaitu ideologi.Ideologi kita apa? Kalau kita telusuri darigoals konstitusi kita, sebenarnya ideologibangsa ini adalah demokrasi sosial dansistem pasar sosial. Tapi kenyataannya,perilaku kita liberal pada level yangprimitif, kapitalisme jaman kuda gigitbesi.

Jadi kita harus memulai dari ideologi.Ideologi itulah kendaraan yang masihmissing di negeri ini. Nah masalanya, adasalah satu Menko kita pada saat bertemuJoseph Stiglizt dengan lugas menyatakan“i don’t care ideology”! Saya engga peduliideologi apa, kata sang Menko, yangpenting saya bisa mencapai tujuan.Statement ini jelas aneh, tidak mungkinsebuah kebijakan dibuat tanpa landasanideologi yang jelas. Karena jika Andamenggunakan ideologi kapitalismeprimitif dalam kebijakan ekonomi,niscaya akan menghasilkan ketimpangandalam kehidupan ekonomi negara, itupasti.

Pembukaan UUD 1945 secara tegasmengamanatkan bahwa tujuan kitabernegara adalah untuk melindungisegenap bangsa Indonesia dan seluruhtumpah darah Indonesia, memajukankesejahteraan umum, mencerdaskankehidupan bangsa, dan ikut sertamemelihara ketertiban dunia yangberdasarkan kemerdekaan, perdamaianabadi, dan keadilan sosial. Dalam kontekskesejahteraan sosial, Bung Karnomenegaskan: (1) tidak boleh adakemiskinan di bumi Indonesia merdeka,(2) tidak didominasi kaum kapitalis, dan(3) kesejahteraan yang merata keseluruhrakyatnya, bukan kesejahteraan orangseorang.

Jelas kiranya, landasan ideologi kitabukanlah libertarian, melainkandemokrasi sosial. Dalam kehidupanberekonomi, konstitusi kita sama sekalitak mengindikasikan spirit antipasar,tetapi juga secara tegas tidakmenyerahkan seluruh urusan ekonomipada mekanisme pasar. Jadi tidaklahbenar kesan bahwa seiring dengantuntutan agar pasar lebih banyak

berperan dalam memajukan pereko-nomian, peran negara harus dikurangi.Justru sebaliknya, semakin besar perandiberikan ke pasar, peran negara haruslebih diperkuat untuk menjaminkesejahteraan yang berkeadilan.

Jadi persoalan yang harus kitarumuskan bukan terletak padapendikotomian peran pasar versus perannegara, melainkan bagaimana melakukanreorientasi peran negara secara dinamissejalan dengan tuntutan perubahan yangterus berlangsung di lingkungan internaldan eksternal. Bagaimana peran negarabisa optimal mendayagunakan segalapotensi yang dimiliki bagi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat secaraberkelanjutan.

Sejauh ini, kita belum melihat petajalan yang disiapkan oleh para pemimpinkita untuk mengoptimalkan negarasebagai sarana yang sungguh-sungguhbisa berpihak para rakyatnya, dan mampumewujudkan kesejahteraan dankebahagiaan bersama.

Azman.Launa

Page 41: Vol. 1. 2008

Vol. 1 No. 1 Januari - Maret 2008

41

Prof Dr. Musa Asy’arie:

Kepemimpinan dan PemiskinanBangsa

Dalam harian Kompas tanggal 1 September 2007, Prof. Dr.Musa Asy’ Arie menulis artikel yang cukup menarik denganjudul “NKRI di Tengah Pemiskinan Bangsa”. Dalam artikeltersebut, Prof Dr. Musa Asy’ Arie menuliskan terjadinyaproses pemiskinan bangsa, yang sebenarnya sangatbertentangan dengan kekayaan alam negeri. Dalam hal ini,kekayaan alam ternyata tidak mempunyai korelasi positifdengan kemakmuran masyarakat. Sebaliknya, senantiasadidera oleh pemiskinan yang terus berlangsung sebagaiakibat penjarahan yang dilakukan oleh kekuasaankonspiratif antara penguasa, pengusaha, dan militer.Akibatnya, kekayaan alam hanya dinikmati oleh segelintirorang.

Menurut Prof. Musa Asy’Arie, fenomena kaya miskinsebenarnya merupakan fenomena permanen yang tidakdapat dihilangkan dalam kehidupan. Namun, persoalannyaapakah jumlahnya sangat besar dan kesenjangannyasangat tajam ataukah tidak? Dalam kasus Indonesia,ternyata tidak hanya jumlah orang-orang miskinnya yangmasih banyak, tetapi kesenjangannya juga masih sangattajam.

Ada tiga pemiskinan yang disinyalir oleh Prof. Dr. MusaAsy’Arie terjadi di Indonesia sekarang ini. Pertama,pemiskinan ekonomi. Pemiskinan ini dapat dilihat daribesarnya jumlah orang miskin di Indonesia dan semakinlebarnya kesenjangan antara si kaya dengan si miskin.

Wawancara

Page 42: Vol. 1. 2008

Jurnal Demokrasi Sosial

42

Kedua, pemiskinan budaya. Pemiskinan budaya inidimulai dari semakin mahalnya biaya pendidikansehingga hanya golongan yang kaya saja yang dapatmenikmati pendidikan. Sementara itu, dalam kehidupanplural seperti Indonesia, pemiskinan budaya terjadiketika kita tidak mampu lagi menghargai maknapluralitas karena fanatisme kesukuan, kedaerahan, danbahkan keagamaan sehingga memunculkan kekerasansebagai akibat fanatisme sempit. Pluralitas tidakmemperkaya spiritualitas, tetapi sebaliknya mengalamipendangkalan sehingga memicu konflik dan kekerasandimana-mana. Ketiga, pemiskinan politik. Menurut Prof.Musa Asy’Arie, pemiskinan politik telah berlangsungsejak euforia kebebasan politik pascareformasi yangmenyulut berdirinya banyak partai politik, tetapisayangnya tidak diikuti oleh kesadaran politik.Akibatnya, etika politik bangsa mengalamipenggerusan yang hebat oleh kecenderungan moneypolitics. Politik adalah kekuasaan dan hanya untukkekuasaan.

Berkenaan dengan Pancasila, Prof. Dr. Musa Asy’Ariemenyatakan bahwa Pancasila sudah diterima sebagaidasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yangdi dalamnya mengandung filosofi kehidupanberbangsa. Pancasila merupakan konsensus politikkebangsaan yang disarikan dari berbagai pluralitas yangada dalam kehidupan berbangsa di Indonesia. Namundalam praktiknya, Pancasila cenderung diintepretasikan

Wawancara

Dalam tulisan tersebut disebutkanbahwa eksistensi NKRI akan sangattergantung pada sejauh mana NKRImampu meraih tujuan-tujuannya.Dalam kaitan ini, apakah sebenarnyayang menjadi tujuan NKRI tersebut?

Menurut saya, eksistensi NKRIditentukan seberapa jauh keadilan dankemakmuran diwujudkan di negeri ini.Jika tidak, maka potensi bubar sangatbesar sekali. Sebetulnya, gejolak daerahyang ingin memisahkan diri kuncinyaterletak pada kemakmuran dankesejahteraan. Menurut saya, negeri ini

merupakan negeri yang sangat kaya.Hampir tidak ada daerah-daerah yangmiskin sumber daya alam kecuali,barangkali, di Nusa Tenggara Timur (NTT).Namun, sebenarnya kandungan alamnyatidak begitu miskin. Jadi, menurut saya,semua daerah di Indonesia mempunyaisumber kekayaan yang melimpah. Namun,jika dibandingkan dengan realitas yangada maka menjadi sangat paradoks.Sebagai contoh, negeri kita inisebetulnya merupakan negeri agraris yangsubur. Potensi pertaniannya sangat luarbiasa, dan kita mempunyai tenaga ahli

di bidang pertanian yang sangat banyak.Mereka sangat pandai, tetapi yangmenjadi masalah mengapa beras harusimpor? Tidak hanya beras, tetapi jugabuah-buahan. Bukankah ini merupakanironi yang luar biasa. Jadi, menurut saya,ini merupakan paradoks yang luar biasa.Sebuah negeri yang kaya, yang kata KoesPlus, tongkat saja bisa menjadi tanaman.Namun dalam kenyataannya, sungguhmengenaskan. Nah, pasti ada yang salah.Salah satu faktor penyebabnya adalahmanajemen politik. Pertama, menyangkutleadership. Ini merupakan persoalan yang

sesuai dengan kehendak pemimpin yang tengahberkuasa.

Di era reformasi, pembusukan Pancasilamengakibatkan penggerusan ideologi. Olehkarenanya, menurut Prof. Dr. Musa Asy’Arie, orangmempertanyakan aspek otentik Pancasila. AdakahPancasila sebagai ideologi NKRI menyatu denganrealitas yang secara kasat mata memperbaiki kualitashidup rakyat Indonesia dalam kehidupan yang kian adildan makmur seperti tujuan NKRI?

Ideologi, sebagaimana ia ditegaskan, seharusnyamempunyai kekuatan pragmatik yang aplikatif dansecara nyata mampu mengubah kualitas hidupsebagian besar masyarakat untuk menjadi semakinadil, semakin makmur, dan semakin cerdas. Jika tidak,maka ideologi apapun bahkan suatu fahamkeagamaan sekalipun dengan sendirinya akanmengalami pembusukan. Oleh karena itu, Pancasiladan NKRI hanya dapat dipertahankan jika kebijakanpemerintah yang menciptakan pemiskinan ekonomi,budaya, dan politik yang semakin tajam segera diakhiri.

Berdasarkan pandangan-pandangan yang ditulisdalam artikel inilah, tim redaksi kemudian melakukanwawancara secara khusus dengan Prof. Dr. MusaAsy’Arie di sekolah Pascasarjana Universitas IslamIndonesia, Kalijaga, Yogyakarta. Berikut hasilwawancara tersebut.

Page 43: Vol. 1. 2008

Vol. 1 No. 1 Januari - Maret 2008

43

Wawancara

paling utama, yakni bagaimanamanajemen politik tidak mampumendayagunakan kekayaan untukkesejahteraan bangsa. Sebagai contoh,kekayaan Papua dengan Freeport-nya.Pertanyaannya adalah berapa triliunnegara mendapatkan itu? Seandainya,kekayaan tersebut dikembalikan ke Papuamaka tentunya mereka akan kaya raya.Dalam hal ini, nampak jelas betapa tidakada hubungannya antara kekayaandengan tingkat kesejahteraan masyarakatdaerah. Oleh karena itu, NKRI tanpakeadilan dan kemakmuran hanya akanmenunggu waktu untuk bubar, dan inidisebabkan oleh leadership.

Leadership yang bagaimana yangseharusnya ada, dan apakah iniberkenaan dengan visi seorangpemimpin?

Menurut saya, leadership yang benar-benar memahami filosofi NKRI bukanleadership yang pragmatik yang hanyamementingkan kelompok tertentu.Mereka yang mempunyai ikatan yang kuatsupaya kekayaan alam yang ada benar-benar mampu menyejahterakan rakyatnyasehingga seharusnya semua sistem yangtidak menuju ke arah sana ditolak.Keberanian untuk inilah yang sebenarnyadiperlukan karena ada yang mengatakanbahwa rakyat Indonesia pada dasarnyatahan miskin sehingga mengapa kitatidak mampu menolak? Menurut saya,dengan komitmen ideologis yang tinggi,semua kekayaan alam yang kita milikidapat digunakan sebesar-besarnya untukkemakmuran rakyat. Sayangnya,fenomena yang muncul justru sebaliknya.Pabrik-pabrik atau industri-industridiberi kekuasaan untuk mengambilsumber daya alam. Padahal, merekamerusak alam, dan masyarakat sekitarmenjadi konsumtif. Oleh karena itu,hanya leadership yang kuat, danmemahami dengan baik hakikat NKRIyang akan mampu mendayagunakankekayaan alam demi kesejahteraan rakyat.Jika kemiskinan dan ketimpangan terus

berlanjut, maka NKRI akan habis. Bisadibayangkan bagaimaan pemiskinanbudaya membuat sebuah bangsa yangramah tiba-tiba menjadi masyarakat yangberdarah-darah, dan ini dimotivasi olehkepentingan-kepentingan sempit,kepentingan suku, dan agama yangdipolitisasi. Ini merupakan pemiskinanbudaya karena bineka tunggal ikatercerai-berai.

Sebenarnya, bagaimana elit politikmemaknai tujuan-tujuan NKRItersebut sehingga mereka belummampu membawa Indonesia ke arahkemakmuran?

Sebetulnya, yang menjadi persoalanadalah pembudayaannya. Ketika parapendiri negara merumuskan Undang-Undang Dasar 1945, tentu merekamengalami perdebatan intelektual yangluar biasa. Namun, setelah dirumuskanmaka yang menjadi persoalan selanjutnyaadalah bagaimana rumusan tersebutdiimplementasikan? Setelah nilai-nilaiyang hidup dalam masyarakat dirumuskanmenjadi sebuah ideologi negara makasebenarnya turunannya yang menjadimasalah. Padahal, ketika ideologitersebut diturunkan ke dalam konsep-konsep politik, pada era Soekarno sajasudah ditarik kemana-mana daridemokrasi liberal-parlementer sampaidengan demokrasi terpimpin. SetelahSoekarno jatuh, masuk ke Soeharto danditarik lagi menjadi demokrasi Pancasilayang esensinya adalah otoritarianisme.Menurut saya, antara cita-cita ideal yangada dalam Undang-Undang Dasar 1945ketika diturunkan ke dalam kebijakan-kebijakan negara maka konsistensiideologisnya terhadap kedaualatan rakyatsemakin jauh. Ada orang yang pernahbercerita bahwa ketika awal-awal negaraini dibangun, seorang hakim masih teguhmemegang prinsip-prinsip keadilan danpolisi masih mempunyai kewibawaan.Aparat penegak hukum benar-benarmempunyai penghayatan yang tinggi,tetapi jauh ke belakang penghayatan

semakin pudar dan akibatnya aparatpenegak hukum tidak lagi mempunyaiwibawa sehingga usaha-usaha yangditujukan untuk menegakkan hukummenjadi sangat sulit. Pada masaSoeharto, hukum mengalami stagnasikarena hukum pada masa ini adalahkekuasaan. Bukan hukum yangmenetapkan salah dan benar atas suatupersoalan, tetapi kekuasaan. Pada masareformasi ketika kekuasaan tumbang,sebenarnya, kita tidak mempunyai hukumkarena hukum tertinggal jauh dibelakang. Untuk mengatasi masalahtersebut, dipaculah pembuatan undang-undang sebagai produk hukum. Dalamsituasi semacam ini, banyak elit politiklantas menggunakan kesempatan tersebutsebagai ajang korupsi melalui biaya-biayapembuatan undang-undang.

Tadi dikemukakan bahwakebijakan-kebijakan pemerintahjustru mendorong terjadinyapemiskinan. Dalam konteks ini,bagaimana sebenarnya kebijakanpemerintah atau public policy inidirumuskan dan diimplementasikansehingga hasilnya bukannyakemakmuran rakyat, tetapi justrumenciptakan pemiskinan?

Barangkali karena memang sejak awalnegeri ini dibangun tidak denganlandasan yang profesional sehinggamasuklah muatan-muatan lokal yangmembuat birokrasi tidak mampu melayanirakyat. Sebaliknya, birokrasi berubahmenjadi birokrasi kekuasaan yangpokoknya adalah kuasa. Ini karena,asumsinya, dengan kekuasaan semua akandatang. Uang akan datang dankehormatan akan datang sehingga tidakmendapatkan gaji pun tidak menjadimasalah. Dalam konsep kita, kekuasaanmenjadi segala-galanya, dan inisebenarnya konsep kerajaan. Ketika kitamerdeka maka feodalisme yangmerupakan peninggalan masa kerajaantersebut masih tetap ada. Feodalismeberpindah dari keraton ke pemerintah.

Page 44: Vol. 1. 2008

Jurnal Demokrasi Sosial

44

Wawancara

Bahkan, masuk ke dalam perguruantinggi. Oleh karena itu, harus adakesediaan untuk melakukan evaluasi gunamelakukan perombakan. Dalam hal ini,dilakukan desakralisasi terhadapkekuasaan karena jika kekuasaan masihdianggap sebagai sesuatu yang sakralmaka akan membuat penguasa seakan-akan tidak bisa salah. Hal ini terjadikarena mereka masih meyakini bahwakekuasaan merupakan “pulung” yangdiberikan kepada seseorang. Dalampemahaman saya, kekuasaan harus diaturdengan menggunakan aturan yang jelas.Dengan desakralisasi kekuasaan, tidakakan muncul terlalu banyak ritus. Iniperlu dilakukan karena negeri kita iniseperti “negeri upacara”. Akibatnya,terjadi pemborosan yang luar biasa hanyakarena demi melakukan upacara. Jadi,kekuasaan harus diatur secara rasional.Nah, sekarang kita sedang memulai.Selama kurang lebih 52 tahun kita hanyamempunyai dua orang presiden. Namunsekarang, kita sudah dapat berganti-gantipresiden. Tentu saja, ini merupakansesuatu yang baik. Persoalannya sekarangadalah bagaimana jebakan-jebakanseremonial kekuasaan dilawan dengancara menegakkan hukum sehinggaIndonesia akan menjadi sebuah negarahukum dalam pengertian sesungguhnya.Dalam arti, kekuasaan tertinggi adalahhukum, dan bukannya kekuasaan sebagaihukum. Selanjutnya, setelah desakralisasikekuasaan dilakukan dan hukum ditatasecara lebih baik maka langkahberikutnya adalah mengembangkan UnitUsaha Kecil (UKM) sebagai basisekonomi. Ini perlu dilakukan karenasekarang ini basis-basis UKM sudahbanyak yang mati. Padahal, jika kitaberbicara tentang ekonomi Indonesia,maka UKM. UKM inilah yang menjadi basisekonomi Indonesia karena sesuai denganrealitas Indonesia. Berikutnya adalahpendidikan harus murah, tetapiberkualitas. Oleh karena itu, negara harusmengambil peran dalam menyediakanpendidikan yang murah dan berkualitas

tersebut. Mahalnya pendidikan membuathanya orang-orang kaya yang mempunyaibanyak uang saja yang mampumengenyam pendidikan. Padahal, orang-orang yang berpendidikan inilah yangsuatu saat dapat menciptakan uang.Sebaliknya, jika pendidikan gagal, makahanya akan menciptakan kaum buruhyang diekspor ke luar negeri untukkemudian diberi gelar pahlawan devisa.Ini terjadi karena sempitnya lapanganpekerjaan di dalam negeri, dan salah satufaktor penyebabnya adalah kurangnyakesempatan dalam pendidikan. Dulu, adaperdebatan yang cukup menarik antaraWidjojo Nitisastro dengan Soejatmoko.Di situ, terjadi perdebatan intelektualmengenai titik tolak pembangunan. Darimanakah seharusnya pembangunandimulai, apakah pembangunan daribudaya melalui basis pendidikan ataukahpembangunan ekonomi terlebih dulu?Namun, masalahnya adalah jika harusmelakukan pembangunan budaya melaluipendidikan maka dari mana sumberdananya? Maka, pembangunanekonomilah yang akhirnya lebihdidahulukan. Kuenya diperbesar, dansetelah itu dibagi menurut teori trikledown effect. Sayangnya, trikle downeffect-nya tidak terjadi. Ketika kuenyasudah besar maka hanya dinikmati olehsegelintir orang saja. Sementara itu,negeri-negeri yang lebih mengutamakanpembangunan manusianya sepertiMalaysia, misalnya, yang dulunya belajarke kita, tetapi sekarang mereka lebihmaju. Oleh karena itu, orang Malaysiamampu mengolah kekayaan alamnyasendiri karena memepunyai pendidikandan sumber daya manusia yang bagus.Tentu saja, ini berlawanan denganIndonesia. Di negeri ini, pendidikanmahal sehingga hanya orang-orangtertentu yang dapat menikmatinya.Akibatnya, muncul banyak kelas pekerja.Selanjutnya, ketika lapangan pekerjaandalam negeri tidak mencukupi, maka kelaspekerja ini dikirim ke luar negeri.Akhirnya, kita menjadi penonton di

Hal ini terjadi karena

mereka masih meyakini

bahwa kekuasaan

merupakan “pulung”

yang diberikan kepada

seseorang. Dalam

pemahaman saya,

kekuasaan harus diatur

dengan menggunakan

aturan yang jelas.

Dengan desakralisasi

kekuasaan, tidak akan

muncul terlalu banyak

ritus. Ini perlu dilakukan

karena negeri kita ini

seperti “negeri upacara”.

Akibatnya, terjadi

pemborosan yang luar

biasa hanya karena demi

melakukan upacara.

Page 45: Vol. 1. 2008

Vol. 1 No. 1 Januari - Maret 2008

45

negeri sendiri. Ini sebenarnya merupakansesuatu yang menyedihkan, danbagaimana mungkin NKRI hendakdipertahankan dengan kemiskinansemacam itu?

Jika ditinjau dari aspek budaya,maka ada yang mengatakan bahwabudaya birokrasi kita ini memangberorientasi kekuasaan sebagaimanatelah disinggung di awal, dan inisengaja direproduksi oleh elit-elitpolitik karena menguntungkanmereka. Selain itu, ada juga yangmengatakan adanya budaya “nrabas”.Bagaimanakah sebenarnyaimplikasinya bagi politik Indonesia?

Pokok persoalannya adalah apakahkita sudah mampu melakukan reformasibudaya politik ataukah belum?Tampaknya, kita belum melakukan itukarena budaya politiknya masih tetapbudaya politik yang mengagung-agungkan kekuasaan. Budaya politik yangsebenarnya tidak rasional. Budaya politikdimana kekuasaan mendapatkan hak-hakyang istimewa. Budaya politik yangbelum sepenuhnya berbasis kedaulatanrakyat, dan saya kira ini menjadipersoalan kita semua. Oleh karena itu,hingga detik ini, perubahan-perubahanpolitik hanya menyangkut perubahanorang saja. Kulturnya tidak pernahberubah. Jika hanya orangnya saja yangberubah, sedangkan budaya politiknyamasih merupakan sisa-sisa feodalisme danjuga kekuasaan sebagai sesuatu yangsakral yang menempatkan pemimpin tidakbisa salah, maka akan menghancurkanNKRI. Ini karena NKRI sebenarnyamerupakan suatu pluralitas. Namun dalamperkembangannya, kemajemukan menjadiancaman. Bahkan, kemajemukan dihabisioleh munculnya kekuatan-kekuatan yangekstrim, dan, menurut saya, jika kekuatanyang berkuasa menindas pluralitas, makabukan merupakan Indonesia lagi. Dalambeberapa waktu belakangan, banyaksekali kekuatan-kekuatan ekstrim yang

melihat Indonesia bukan merupakansuatu keragaman, Indonesia bukan lagipenghormatan terhadap perbedaan,pengayaan terhadap keberbagaian. Jikasudah demikian, maka rasanya Indonesiasudah hilang. Dalam hal ini, Anda tidakdapat mengatakan bahwa Indonesiaadalah Jawa sebagaimana Anda juga tidakdapat mengatakan bahwa Indonesiaadalah Islam. Masih banyak di luar Jawa,dan masih banyak di luar Islam yangmemberikan kontribusi terhadapIndonesia. Pluralitas ini harus di-manageoleh seorang pemimpin yang mempunyaikemampuan leadership yang kuat.Seorang leadership yang mampu me-manage pluralitas sebagai pengayaanspiritual dan bukannya pendangkalan.Sekarang ini, yang terjadi sebaliknya.Kelompok yang kuat melakukanpenindasan terhadap yang lemah.Bagaimana mungkin sesama agama salingmenghabisi, Ahmadiyah dihabisi olehsesama muslim. Bukankah ini merupakanpendangkalan? Masih banyak lagi konflik-konflik semacam ini. Bila dibiarkan, makanegeri ini akan hancur.

Ada pendapat salah seorangpengamat yang mengatakan bahwapembicaraan Indonesia kontemporertidak akan pernah bisa dilepaskan dariOrde Baru karena pengaruhnya yangluar biasa dalam kehidupan masyarakatIndonesia. Bagaimana menurut PakMusa?

Menurut saya, apa yang terjadi padamasa Orde Baru harus dilihat sebagaiproses berbangsa. Orde Baru barangkalimemang melakukan hal-hal negatif,tetapi bukankah setiap rejim mempunyaisisi positip dan negatif? Pada waktu OrdeBaru, kita marasa aman jika bepergiankemana-mana. Jadi, selalu ada plus danminusnya. Menurut saya, tidaklahbijaksana jika senantiasa menghujat masalalu. Namun, yang lebih penting adalahbagaimana menatap masa depan. Kitasudah belajar dengan kegagalan

Soekarno, kita juga sudah belajar dengankegagalan Soeharto, dan apakah kita akangagal lagi? Jika demikian, maka kitamenjadi bangsa yang tidak pernahdewasa. Kita harus mampu belajar darimasa lalu, dan budaya politik mestinyasudah diubah. Penataan hukum harusjelas, dan tidak perlu mundur. Dalamkonteks inilah, diperlukan seoarangleader yang mampu memberi arah kedepan. Sekarang ini, undang-undangantikorupsi sudah bagus hanyabagaimana ditata sedemikian rupasehingga hukum benar-benar mempunyaikekuatan. Kemudian, amandemenUndang-Undang Dasar 1945 juga sudahbagus karena sudah mampu membatasikekuasaan presiden hanya dua kali masapemilihan. Ini harus diteruskan.Perubahan di tangan pemimpin yanglemah maka resikonya sangat besar. Sayapernah menulis di harian Kompas,bagaimana beratnya belajar demokrasi ditengah kemiskinan bangsa. Bagaimanamungkin orang disuruh berdebat gunamencari solusi-solusi terbaik dalamsituasi ketika perut masih lapar, tidaklahmungkin. Oleh karena itu, demokrasimemerlukan modal pendidikan dan modalkesejahteraan. Jika orang dengan tingkatpendidikan rendah disuruh berdebat,maka dapat dibayangkan hasil perdebatanitu. Hal yang sama juga terjadi ketikabelajar demokrasi pada saat perutmasyarakat masih keroncongan, makapasti akan menimbulkan perkelahian.Inilah, menurut saya, bahaya belajardemokrasi di tengah kemiskinan rakyat.Meskipun demikian, jika proses belajartersebut berada di tangan seorangpemimpin yang kuat secara intelektualdan moral maka rakyat dapat diajakbertahan. Sebaliknya, jika tidak, makaakan dicemooh orang.

Bagaimana dengan implementasiPancasila sebagai landasan ideologisberbangsa yang mestinya menjadidasar setiap pengambilan kebijakan?

Wawancara

Page 46: Vol. 1. 2008

Jurnal Demokrasi Sosial

46

Jika kita ingin membangun negeri ini,maka pertanyaannya adalah landasanideologisnya apa? Mau kemanakah negeriini hendak dibawa? Dalam hal ini, tidakada jawaban lain kecuali Pancasila karenakita tidak mungkin kembali ke agama-agama tertentu. Persoalannya adalahbagaimana Pancasila tidak hanya berhentisekedar sebagai statement ideologis,tetapi juga menjadi sesuatu yang bersifatoperasional dan membuat hidup lebihbaik. Ini karena ideologi apapun jikadalam kenyatannya tidak mampumembuat hidup lebih sejahtera, makaakan menjadi ideologi yang kosong. Jadi,ideologi jangan hanya berhenti dalambahasa filosofis, tetapi bagaimanaideologi tersebut mengalir ke dalamkebijakan-kebijakan sehinggakeluarannya menjadi lebih baik. Jikaideologi tidak mampu membuat hiduplebih baik, maka akan ditinggalkan.Dengan demikian, masalahnya bukanpada Pancasila, tetapi bagaimanaPancasila ketika menjadi sebuah ideologinegara maka diimplementasikan oleh parapenyelenggara negara menjadi kebijakanyang dapat meningkatkan kualitas hidup

rakyatnya, bukan kebijakan yangdiperdagangkan melalui penerimaanmodal-modal asing dan kekuatan-kekuatan lain. Jangan sampai dibiarkanmenggunakan sistem yang lain. Inilahkekeliruan Indonesia, dan ini terjadikarena kesalahan dalam memilihpemimpin. Namun, untuk sekarang ini,ora kesuwen-lah (tidak terlalu lama, red.)karena jika salah dalam memilihpemimpin dapat diganti dalam waktu limatahun. Coba dibayangkan seandainya kitamempunyai pergantian pemimpin limakali saja, maka dari kelima ini kita dapatbelajar banyak dari kesalahan-kesalahanyang ada. Dari situ pula, dapat dilihatpemimpin yang mampumengimplementasikan Pancasila secarabenar dan mana yang tidak. Oleh karenaitu, saya berharap agar generasi tua tidakmencalonkan diri lagi menjadi pemimpinkarena jika tidak maka kita tidak pernahmenjadi bangsa yang mampumendewasakan diri, dan perlu diingatbahwa daya tahan sebuah bangsa yangpaling kuat sebenarnya terletak padakesejahteraan dan intelektualitas.

*****

Prof. Dr. Musa Asy’Arie dilahirkan diPekalongan pada tanggal 31 Desember1951. Pada tahun 1964-1970, menjadisantri di Pondok Tremas Pacitan.Kemudian, melanjutkan pendidikan diIAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga,Yogyakarta hingga meraih gelar doktorpada tahun 1991. Mendapatkan gelar gurubesar dalam bidang filsafat Islam dariIAIN Sunan Kalijaga pada tahun 2000.Saat ini, selain menjadi dosen dipascasarjana UIN Sunan Kalijaga jugamenjadi staff ahli di kementriankomunikasi dan informasi untuk bidangsosial-budaya dan juga sebagai dewanpengawas TVRI.

Wawancara

Page 47: Vol. 1. 2008

Vol. 1 No. 1 Januari - Maret 2008

47

R. Ramli2 dan P. Nuryadin3

Kegagalan Solusi Monetaris danNeoliberal di Indonesia:

Kerawanan Lama dalamBungkus Baru

PendahuluanPertengahan Agustus 1997, Indonesia

mengalami krisis moneter yang sangathebat. Krisis mata uang yang awalnyamenyerang Thailand tersebut ternyatadengan cepat menular ke negara-negaralain seperti Malaysia, Korea, danIndonesia. Sebagai akibat krisis berantaimata uang tersebut, Indonesia mengalamikontraksi ekonomi yang jauh lebih parahdibandingkan dengan ketiga negara lainyang mengalami krisis yang sama.Indonesia harus mengalami rentetankrisis mulai dari krisis mata uang,likuiditas, dan perbankan yangselanjutnya diikuti dengan kebangkrutandunia usaha secara umum. Pada tahun1998, Indonesia mengalami kontraksiekonomi yang hebat, yakni sebesarkurang lebih 12.8%, dan merupakan salahsatu yang tertinggi di dunia disampingnegara-negara bekas Eropa Timur.

Menanggapi krisis tersebut, banyakkalangan birokrasi mengatakan bahwakrisis ekonomi yang dialami Indonesiadiakibatkan oleh semata-mata faktorekternal. Namun sebenarnya, pernyataanini lebih merupakan sikap yang kurang

bertanggung jawab dan sebagai usahamencari kambing hitam. Kenyataannya,krisis memang dipicu oleh krisis diThailand, tetapi menularnya krisistersebut lebih disebabkan olehkelemahan struktur ekonomi Indonesia.Selanjutnya, kegagalan mengantisipasiserta akumulasi rentetan mis-judgementdan policy errors pengambilan kebijakansaat itu membuat krisis berkembang lebihdasyat.

Biaya yang ditimbulkan akibat policyerrors tersebut sangalah besar. Selainmeningkatnya jumlah pengangguran dankemiskinan, juga menyulut terjadinyakerusuhan dan penjarahan massal padaMei 1998, munculnya biaya rekapitulasibank yang mencapi 650 triliun (termasukBLBI) dan bertambahnya utang puluhanmiliar dollar yang masih membenaniIndonesia hingga saat ini. Tentu saja, inimerupakan harga mahal yang harusdibayar atas kegagalan-kegagalantersebut, yang sebenarnya telah dimulaijauh sebelum krisis. Setelah lebih darisatu dekade, ekonomi Indonesia ternyatabelum menampakkan kinerja yang bagus.Dibandingkan dengan negara-negara lain

yang mengalami krisis serupa, Indonesiajauh tertinggal di belakang.

Tulisan ini akan berusaha memaparkanapa yang sebenarnya terjadi saat itu.Faktor-faktor apa yang menjadipenyebabnya, dan mengapa recoveryekonomi Indonesia jauh lebih lamadibandingkan dengan negara lain? Dalamkonteks ini, akan dipaparkan peranan IMFdalam menjerumuskan ekonomi Indonesiamenjadi lebih parah. Selanjutnya, tulisanakan ditutup dengan menarik benangmerah menyangkut pelajaran apa yangdapat diambil dari krisis tersebut.

Ekonomi Pra-krisis: Tumbuh Moderatdengan Sejumlah Kerawanan

Telah dikatakan sebelumnya,meskipun krisis distimuli oleh faktoreksternal, tetapi pada perkembangannyatidak dapat dilepaskan dari strukturekonomi Indonesia yang rapuh.Kenyataan ini dapat dilihat dari faktabahwa negara-negara yang strukturekonominya kuat tidak mengalamipenularan atas krisis mata uang yangterjadi di Thailand. Sebelum krisis,ekonomi Indonesia mempunyai

A r t i k e l

Page 48: Vol. 1. 2008

Jurnal Demokrasi Sosial

48

kerawanan yang sangat beresikomenggoyahkan struktur ekonomimeskipun mengalami pertumbuhanmoderat.4 Berbagai kerawanan yangdimaksud adalah sebagai berikut.1. Cross Ownership dan Cross

Management di Sektor Finansial.Salah satu kebijakan penting yang

mempunyai dampak luas terutama disektor finansial adalah Paket DeregulasiFinansial Oktober 1988 atau lebih dikenaldengan Pakto 88. Salah satu ketentuanpenting dalam pakto tersebut adalahkemudahan perijinan perbankan yanghanya mensyaratkan modal minimalsebesar 10 miliar. Kebijakan ini telahmendorong peningkatan jumlah bank diIndonesia dari semula hanya sekitar 111bank pada tahun 1988 menjadi 240 bankpada tahun 1995. Ini berarti telahmeningkat lebih dari dua kali lipat. Sisipositip peningkatan jumlah bank iniadalah turut meningkatnya kreditperbankan ke sektor riil, dan ini telahmemacu pertumbuhan ekonomi moderatpada tahun 1990-an. Namun,pertumbuhan ini juga mempunyaidampak negatif, yakni memicu jumlahbank-bank yang sangat agresif sertakepemilikan silang (cross ownership) danmanajemen silang (cross management)dalam industri keuangan di Indonesia.Pada akhirnya, ini akan mendorongterjadinya konsentrasi kepemilikan disektor perbankan. Kepemilikan danmanajemen silang ini telah mendorongpeningkatan resiko sistemik daninstabilitas ekonomi nasional. StudiECONIT dan Institut Bankir Indonesiapada tahun 1997 menunjukkan bahwakonsentrasi kepemilikan telah mendorongterjadinya pelanggaran dalam pemberianbatas maksimum kredit kepadakelompoknya sendiri sehingga resikosistemik terhadap perbankan sangattinggi5.2. Rupiah yang overvalued.

Sejak tahun 1980-an, Indonesiamengalami defisit transaksi berjalan yangterus meningkat. Pada tahun 1994,

misalnya, defisit transaksi berjalansebesar US$ 3,1 miliar. Pada tahun 1995,meningkat dua kali lipat menjadi US$ 7,2miliar. Kondisi ini merupakan awanmendung bagi ekonomi Indonesia karenarentan terhadap serangan spekulatif(speculative attack) baik oleh spekulandomestik maupun internasional6.Kebijakan otoritas moneter yangberusaha mempertahankan nilai tukarrupiah tetap (fixed exchange rate system)pada kisaran 2.200-2.300 memperparahkondisi ini. Padahal, dalam situasitransaksi berjalan mengalami defisitsemacam itu, mestinya diimbangi dengannilai mata uang yang fleksibel. Akibatnya,rupiah mengalami overvalued minimalsebesar 16%.7

3. Over-leverage Utang Luar NegeriSwastaSalah satu komponen utama yang

memberikan tekanan terhadap defisitneraca pembayaran adalah besarnyabeban cicilan utang luar negeri, termasukutang luar negeri swasta. Secarakonservatif, utang luar negeri swastadiperkirakan sebesar US$ 60 miliar padatahun 1997 atau sekitar 50% dari utangluar negeri Indonesia. Jikadiperhitungkan utang berjangka pendek,termasuk promissory notes, commerscialpapers, dan other short-term debtinstrument dalam nominasi dolar danrupiah yang dimiliki oleh pihak asing,maka diperkirakan utang luar negeriswasta sebesar US$ 75 mil;iar. Dengandemikian, total utang luar negeriIndonesia mencapai US$ 135 miliar padatahun 1997. Jumlah utang sebesar initelah melampaui sebesar 40% batas-batasaman. Terlebih, sebagian besar utangswasta tersebut digunakan untukkonsumsi dan investasi pada non-tradedsectors seperti untuk spekulasi di sektorproperti dan konsumsi.

Respon Kebijakan semakinMemperparah Keadaan

Dari paparan di atas, tampak bahwakrisis yang melanda Indonesia pada

pertengahan 1997 tidak semata-matadiakibatkan oleh faktor eksternalsebagaimana disangkakan oleh sebagianbirokrat, tetapi juga disebabkan olehstruktur ekonomi yang rapuh danmengandung bahaya. Krisis mata uangpun akhirnya tidak dapat dihindari, dansayangnya kebijakan yang dikeluarkanuntuk mengatasi krisis justru membuatsituasinya menjadi lebih parah.

Hingga bulan Agustus 1997, rupiahtelah mengalami depresiasi sekitar 18%.Respon yang diberikan otoritas moneteruntuk mengatasi krisis mata uangtersebut adalah dengan menerapkankebijakan uang super ketat. DalamEconomic Outlook 1998, yang diterbitkanpada 5 November 1997, Econitmenyebutnya sebagai “Gebukan Kusut97” yang akan menimbulkan krisis baruyang lebih laten dan berbahaya, yaitukrisis likuiditas. Krisis ini akanmempunyai dampak yang lebih luasdibandingkan dengan krisis mata uangyang melanda Indonesia saat itu..

Gebukan Kusut 1997 lebih dasyatdibandingkan dengan Gebrakan Sumarlintahun 1991. Ini karena Gebrakan Sumarlinhanya mengatur kuantitas pasok uang(fixing the quantity of money) danmembiarkan tingkat bunga menentukanharganya sendiri. Sebaliknya, GebukanKusut 1997 mengatur tiga hal, yaknikuantitas pasok uang, harga uang, danalokasi siapa yang mendapatkannya(fixing the quantity, prices, anddistribution of money). Dampak blunderkebijakan triple-fixes ini sungguhberbahaya. Pada tanggal 6 Okotober1997, misalnya, rupiah anjlok ke titikterendah (Rp. 4000 per US$) yangmencerminkan persepsi negatif pasarterhadap langkah-langkah otoritasmoneter.

Bank Dunia dan pemerintah sendirimenyebut krisis tersebut sebagai krisiskepercayaan. Padahal, krisis kepercayaanjauh lebih sukar diatasi dibandingkandengan krisis finansial atau cash-flow.Krisis finansial dapat cepat diatasidengan meminjam uang, tetapi krisis

A r t i k e l

Page 49: Vol. 1. 2008

Vol. 1 No. 1 Januari - Maret 2008

49

kepercayaan belum tentu dapat diatasidengan meminjam uang. Sebaliknya,hanya dapat diatasi dengan crediblepolicy-makers dan credible policies. Olehkarenanya, menyebut krisis tersebutsebagai krisis kepercayaan merupakanusaha untuk menghancurkan diri sendiri(self-destructive).

Masuknya IMF: Awal Malapetaka BaruDidorong oleh perasaan tidak mampu

dan tidak percaya diri menyelesaikankrisis yang tengah berlangsung, sejumlahpejabat pemerintah akhirnyamemunculkan wacana untuk memintapertolongan International Monetary Fund(IMF). Bahkan, pada saat itu, banyakmedia massa dalam dan luar negerimemuat saran-saran agar Indonesiameminta pinjaman pada IMF. Menurutmereka, pinjaman IMF diperlukan gunamemulihkan Indonesia dari krisismoneter.

Menurut Econit, ada dua kemungkinanmengapa Indonesia disarankan untukmeminta pinjaman kepada IMF meskipunkondisi Indonesia belum mengalamigawat darurat. Pertama, pihak-pihak yangmengajukan saran-saran tersebut(Widjojo, dkk) dengan sengajamenjerumuskan Indonesia ke dalamtahapan yang jauh lebih berbahaya,kemerosotan ekonomi lebih dalam, danmempunyai implikasi sosial-politik yangluas. Sejalan dengan pikiran ini, usulanuntuk membiarkan terjadinya cross-default menunjukkan sikap yang picik dantidak negarawan sebab jika terjadi cross-default, maka ekonomi Indonesia akandijerumuskan untuk meminta pinjamanIMF mengingat cross-default akanmengakibatkan capital-outflow dadakandalam jumlah besar, dan untukmenariknya kembali diperlukan pinjamandari IMF. Kedua, pihak-pihak yangmenyarankan peminjaman kepada IMFtersebut tidak memahami konsekuensidan pengalaman-pengalaman historisnegara-negara yang pernah menjadi“pasien” IMF. Mereka tampaknya tidak

menyadari bahwa pinjaman IMFmempunyai dampak negatif yang sangatluas dalam bentuk penurunanpertumbuhan ekonomi yang sangatdrastis, penurunan daya beli masyarakatdan konsumsi, serta peningkatankemiskinan. Dalam hal ini, IMF bukanlah“Dewa Penyelamat”, tetapi “DewaAmputasi” yang akan melakukanamputasi di ruang gawat darurat, dankemudian memaksa si pasien melakukandiet ketat dengan konsekuensi jangkapanjang. Padahal seharusnya, pasientersebut tidak perlu diamputasi.8

Turbulensi ekonomi Indonesia yangterjadi saat itu membuat kreditor-kreditorinternasional mengalami kerugiansebagai akibat nilai rupiah yang anjlokdan ketidakmampuan pengutang untukmembayar cicilan. Dalam hal ini,penggunaan pinjaman dari IMF untukmenyelesaikan masalah ketidakmampuanpengutang hanya menguntungkan pihakkreditor lembaga-lembaga keuanganinternasional. Sementara dalam jangkapanjang, rakyat Indonesialah yang akanmembayar dalam bentuk kontraksi agregatdemand dalam negeri yang berlebihan.Ini karena hanya dengan kontraksiagregat demand-lah kita bisa memperolehsurplus finansial sehingga dalam jangkapanjang akan mampu membayar kembalikewajiban kepada IMF. Pertanyaanselanjutnya adalah apakah saran-saranuntuk menerima IMF sebenarnya berpihakkepada kreditor ataukah kepentinganmasyarakat? Kontraksi moneter jelas akanmembantu menyelamatkan sejumlahkreditor dari kerugian, tetapi kontraksitersebut akan mempunyai dampak luasterhadap penurunan daya belimasyarakat, pergeseran pola kepemilikanaset diantara berbagai kelompokmasyarakat, dan akan mempercepat laju“penggusuran ekonomis” golonganpengusaha menengah dan lemah.Kontraksi moneter yang berlanjut akanmengakibatkan banyak perusahaan skalamenengah ke bawah mengalami kesulitan

A r t i k e l

Keterlibatan IMF

membuat krisis ekonomi

Indonesia semakin parah

dan mendalam. Ini

disebabkan oleh salah

diagnosis dan obat.

Akibatnya, pertumbuhan

ekonomi Indonesia tahun

1998 minus 12.8 persen.

Jika IMF tidak terlibat,

maka krisis akan tetap

terjadi. Namun, skalanya

akan relatif lebih kecil

(pertumbuhan ekonomi

antara minus 2 hingga 0)

pada tahun 1998.

Page 50: Vol. 1. 2008

Jurnal Demokrasi Sosial

50

likuiditas dan memperbesar tingkatkebangkrutan mereka.

Keterlibatan IMF membuat krisisekonomi Indonesia semakin parah danmendalam. Ini disebabkan oleh salahdiagnosis dan obat. Akibatnya,pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun1998 minus 12.8 persen. Jika IMF tidakterlibat, maka krisis akan tetap terjadi.Namun, skalanya akan relatif lebih kecil(pertumbuhan ekonomi antara minus 2hingga 0) pada tahun 1998.

Akibat saran-saran IMF, pemerintahtelah melakukan likuidasi terhadap 16bank nasional pada November 1997, yangmemicu rush terhadap puluhan bankbesar Indonesia seperti BCA danDanamon, membuat kolaps sistemperbankan nasional, dan kianmenenggelamkan nilai tukar rupiah.Selain itu, saran-saran IMF jugamemprovokasi kerusuhan Mei 1998 (IMF-provoke riots). Dalam banyak kasus diAmerika Latin dan Afrika, saran-saran IMFtelah memicu demonstrasi besar-besaran,kerusuhan massal yang memakan korbanjiwa, dan kejatuhan pemerintahan.Disamping itu, dalam kasus Indonesia,keterlibatan IMF meningkatkan angkapengangguran, kebangkrutan ekonominasional dan swasta, biaya rekapitulasibank lebih dari Rp. 600 triliun sertatambahan beban utang puluhan miliardollar. IMF juga memincu kerusuhansosial sebagai akibat pemangkasansubsidi BBM dan listrik. Pemerintahmenaikkan harga BBM antara 75%(minyak tanah) sampai dengan 71%(premium) pada tanggal 4 Mei 1998.Selang beberapa hari kemudian munculdemonstrasi mahasiswa di kota-kota besarseperti Makasar yang kemudian meluas keMedan, Surabaya, Solo, dan Yogyakarta,dan puncaknya di Jakarta 12 Mei 1998.Kerusuhan yang diakibatkan oleh saran-saran IMF telah menelan korban jiwa,ratusan gedung rusak, dan ribuankendaraan hancur. Dengan demikian,Indonesia menambah daftar jumlah

negara yang mengalami kerusuhan sosialsebagai akibat saran-saran IMF.

Proses Recovery sangat LambanTelah dikemukakan sebelumnya,

Indonesia merupakan negara yangmengalami kontraksi ekonomi palingburuk pada saat krisis dibandingkandengan negara Asia lainnya. Namun,ternyata tidak hanya itu. Dalamperjalanannya, Indonesia ternyata jugamerupakan negara paling lambat dalamproses recovery ekonomi pasca-krisis.Dibandingkan dengan Malaysia, Thailand,dan Korea Selatan, kemajuan ekonomiIndonesia pascakrisis yang dicapaiIndonesia relatif paling lambat. Setahunsetelah krisis, Korea mencatatpertumbuhan ekonomi sekitar 9.5 persen,Thailand dan Malaysia masing-masingmencatat pertumbuhan ekonomi sebesar4.4 persen dan 6.6 persen pada tahun1999. Pada tahun yang sama, ekonomiIndonesia mengalami stagnasi dan hanyatumbuh di bawah 1 persen.

Pemulihan cepat ekonomi Korea tidakdapat dilepaskan dari langkah pemerintahKorea untuk melakukan roll-over utangluar negeri bank-bank Korea denganmeminta bantuan Robert E. Rubin(Menteri Keuangan AS) dan AlanGreenspan (Gubernur Bank Sentral AS).Upaya tersebut terbukti menurunkantekanan utang luar negeri Korea danmengembalikan kepercayaan publik daninvestor terhadap kredibilitas pengambilkebijakan. Dalam kasus Malaysia danThailand, segera setelah krisis ekonomi,melakukan ekspansi moneter dan fiskalala Keynesian seperti pembangunaninfrastruktur guna memompapeningkatan permintaan domestik(domestic demand).

Berbeda dengan ketiga negara yangdisebutkan di atas, kebijakan pemerintahIndonesia justru bertolak belakang. Atassaran IMF, Indonesia justru melakukantransformasi utang swasta menjadi utangpublik. Kebijakan ini telah mendorongpeningkatan drastis beban anggaran

negara. Selain itu, pemerintah jugamelakukan pengetatan moneter dan fiskalhanya demi menjamin tersedianyaanggaran untuk membayar cicilan utangkepada kreditor, termasuk IMF. Padahal,dalam situasi ekonomi sekarat semacamitu, pemerintah seharusnya mencariberbagai cara untuk memompa ekonomidan bukannya malah memperlambatnyadengan mengetatkan kebijakan moneterdan fiskal. Oleh karena itu, tidaklah anehjika Indonesia jauh lebih lambatpemulihan ekonominya dibandingkandengan ketiga negara Asia lainnya yangmengalami krisis.

Harus diakui bahwa instabilitaspolitik dan keamanan pada waktu itubarangkali turut menyumbangkankelambanan recovery ekonomi Indonesia.Namun, salah diagnosa dan obat yangdiberikan IMF untuk memulihkanekonomi Indonesia yang didukung olehekonom-ekonom Orde Baru 9merupakanpenyebab utama lambannya prosespemulihan ekonomi. Salah obat tersebutdapat dilihat dalam tiga tahap kebijakansejak Oktober 1997, yakni sebagaiberikut.

Tahap pertama, kebijakan yangdisarankan IMF telah menciptakanketidakstabilan finansial dankebangkrutan. Faktor penyebabnyaadalah kebijakan moneter superketatketika tingkat bunga antarbank meroketdari 20 persen menjadi 300 persen sejakkuartal ketiga 1997. Kebijakan ini telahmenciptakan liquidity crunch dalamperbankan Indonesia karena banyak bankyang kemudian hanya mengandalkansebagian likuiditasnya di pasar uangantarbank. Selanjutnya, saran IMF untukmenutup 16 bank tanpa persiapan yangmemadai pada November 1997 justrutelah membuat kepercayaan rakyatterhadap perbankan nasional runtuh.Langkah ini memicu capital outflowsekitar US$ 5 miliar yang membuat nilaitukar rupiah semakin jatuh. Depresiasirupiah yang tidak terkendali tersebutterjadi karena kebijakan sebelumnya yang

A r t i k e l

Page 51: Vol. 1. 2008

Vol. 1 No. 1 Januari - Maret 2008

51

mengambangkan kurs rupiah pada 14Agustus 1997. Dalam situasi yang tidakstabil, sistem nilai tukar rupiah yangdiambangkan (free float) justru semakinmemicu capital outflow, dan ini membuatnilai tukar rupiah semakin lemah. Dalamsituasi semacam ini, dunia usahamengalami pukulan ganda, yakni darinilai tukar yang terus melemah dantingkat bunga yang super tinggi.Akibatnya, banyak perusahaanmengalami kesulitan likuiditas, yangkemudian diikuti oleh kebangkrutan danpemutusan hubungan kerja (PHK) massal.IMF ternyata justru mendestabilisasisektor perbankan yang kemudianmembuat ekonomi Indonesia mengalamihard landing. Pada tahun 1998, ekonomiIndonesia mengalami pertumbuhanminus 12.8 persen, terburuk sepanjangsejarah ekonomi Indonesia.

Tahap kedua, transformasi utangswasta menjadi utang publiksebagaimana disarankan IMF telahmenciptakan kenaikan utang pemerintahyang luar biasa besar, khususnya utangdomestik. Sebelum krisis, total utangIndonesia sebesar US$ 136 miliar, yangterdiri dari dari utang pemerintah sebesarUS$ 54 miliar dan utang swasta sebesarUS$ 82 miliar. Namun pada tahun 2001,utang luar negeri pemerintah meningkatmenjadi US$ 74 miliar ditambah utangdomestik sebesar Rp. 647 triliun (atausekitar US$ 65 miliar). Sebaliknya, utangswasta mengalami penurunan menjadiUS$ 67 miliar sebagai akibat percepatanpembayaran ataupun restrukturisasi.Dengan jumlah utang sebesar itu, telahmelebihi PDB Indonesia yang hanyaUS150 miliar. Akibat salah obat IMF,utang Indonesia telah naik dua kali lipat.

Tahap ketiga, dampaknya pada APBN.Untuk tahun 2002, misalnya, pembayaranutang APBN mencapai sekitar US$13miliar (Rp. 130 triliun) baik untukpembayaran utang luar negeri maupundalam negeri. Anggaran ini lebih dari tigakali lipat gaji seluruh pegawai negeri danTNI dan lebih dari 8 kali lipat anggaran

pendidikan. Membengkaknya utang luarnegeri ini tidak dapat dilepaskan darikebijakan moneter BI yang sangat patuhatas saran-saran IMF yang meyakinibahwa pengendalian inflasi hanya dapatdilakukan dengan cara pengetatanmoneter dengan menaikkan suku bungaSBI. Padahal, sebagian besar inflasidisebabkan oleh kenaikan harga-hargayang dilakukan pemerintah, dan tidaksepenuhnya disebabkan oleh faktormoneter. Sebaliknya, kebijakanpengetatan tersebut membuat bebanAPBN semakin membengkak. Pada saatitu, kenaikan suku bunga SBI Sebesar 1persen akan menaikkan defisit APBNsebesar Rp. 2.3 triliun. Dengan demikian,kebijakan mafia ekonomi Orde Baru yangdidukung IMF dengan mengandalkanutang luar negeri dibandingkan denganinvestasi dalam pembangunan telahmenjerat ekonomi Indonesia ke dalamjebakan utang (debt trap) yang lebihdalam. Kebijakan tersebut telah membuatnegara harus mengambil alih beban utangyang seharusnya dipikul oleh swastasebagai akibat kebijakan BLBI (Rp. 144triliun) ataupun rekapitulasi perbankan.Bahkan, kasus BLBI tercatat sebagaiskandal keuangan terbesar dalam sejarahekonomi Indonesia.

Setelah lebih dari Satu DekadeKrisis 1997/1998 sebenarnya telah

meninggalkan hikmah yang dapat dipetikoleh pengambil kebijakan ekonomi.Namun dalam kenyataannya, pengambilkebijakan ekonomi tidak banyak menarikpelajaran dari krisis tersebut. Kebijakanekonomi masih cenderung konservatif danterlalu fokus pada usaha menjagastabilitas indikator finansial dan moneter.Meskipun IMF telah anjak kaki dariIndonesia, tetapi kebijakan konservatifdalam bidang anggaran dan monetermasih terus dipraktikkan sekedar hanyauntuk memoles indikator finansial sepertiinflasi dan nilai tukar rupiah. Padahal,di negara manapun, target utama sebuahpemerintahan di bidang ekonomi adalah

A r t i k e l

Padahal, di negara

manapun, target utama

sebuah pemerintahan di

bidang ekonomi adalah

pengurangan kemiskinan

dan pengangguran. Ini

dapat dicapai dengan

mendorong peningkatan

investasi dan

produktivitas di sektor

riil, terutama sektor

manufaktur yang

menyerap banyak tenaga

kerja. Indikator finansial

hanya merupakan target

antara untuk mencapai

target utama ekonomi,

yaitu peningkatan

kesejahteraan dan

lapangan kerja.

Page 52: Vol. 1. 2008

Jurnal Demokrasi Sosial

52

pengurangan kemiskinan danpengangguran. Ini dapat dicapai denganmendorong peningkatan investasi danproduktivitas di sektor riil, terutamasektor manufaktur yang menyerap banyaktenaga kerja. Indikator finansial hanyamerupakan target antara untuk mencapaitarget utama ekonomi, yaitu peningkatankesejahteraan dan lapangan kerja.

Memang upaya untuk menjagastabilitas sektor finansial merupakansuatu langkah penting untuk ekonomi.Namun, upaya berlebihan untukmenstabilkan indikator finansial selamaini justru kerap mengorbankan sektor riilyang berujung pada peningkatankemiskinan dan pengangguran. Usahayang ditujukan untuk menekan inflasiberlebihan, misalnya, telahmengorbankan keleluasan ekonomi untuktumbuh sesuai potensinya. Bahkan,inflasi yang diakibatkan oleh kenaikanharga-harga barang yang dikontrolpemerintah (administered prices) punditekan dengan pengetatan moneterseperti dalam kasus kenaikan harga BBMOktober 2005.

Sementara itu, ditinjau dari sisi fiskal,anggaran belanja pemerintah yangseharusnya dapat dipergunakan sebagaistimulus ekonomi justru dibuat sangatketat, yang tercermin pada defisitanggaran yang sangat rendah. Padaperiode 2002-2006, defisit anggaranberkisar antara 0.5 persen-1.7 persen dariGDP, jauh lebih rendah dari batasmaksimum yang ditentukan undang-undang sekitar 3 persen. Fokusberlebihan pada target finansial danmoneter telah mengakibatkan sektor riilmengalami pertumbuhan yang sangatlambat selama empat tahun terakhir. Padaperiode 2002-2006, indeks produksiindustri berskala menengah dan besar diIndonesia hanya meningkat rata-ratasekitar 2.1 persen per tahun. Pada tahun2006, indeks produksi manufaktur malahmengalami penurunan dibandingkandengan tahun 2005. Perkembanganlainnya bahkan menunjukkan gejala awal

proses deindustrialisasi dalam bentukinvestasi dan penggunaan kapasitasterpasang yang rendah, relokasi industrike negara lain, industrialisasi yangberubah menjadi perdagangan produkimpor, dan lain sebagainya.

Kualitas pertumbuhan ekonomi jugamenjadi sangat rendah. Daya serap tenagakerja untuk setiap 1 persen pertumbuhanekonomi merosot dari 500 ribu tenagakerja menjadi hanya sekitar 240 ributenaga kerja. Oleh karena itu, tidaklahmengherankan jika pengangguran terbukamengalami lonjakan dari 9.1 juta orangpada tahun 2002 menjadi 10.5 juta orangpada Februari 2007.

Ironisnya, kemandegan sektor riiltersebut sama sekali tidak tergambarkandalam sektor finansial. Sejumlahindikator finansial dan moneter justrumenunjukkan kinerja sebaliknya. Indeksharga saham di Bursa Efek Jakarta (BEJ),misalnya, telah meningkat tiga setengahkali lipat dari level 700 pada tahun 2004menjadi 2.380 pada Juli 2007. Demikianjuga, cadangan devisa meningkat drastisdari US$ 35 miliar pada tahun 2006menjadi US$ 51 miliar pada Juli 2007,yang membantu stabilitas nilai tukarrupiah.

Pada Januari dan Mei 2006, kamibersama sejumlah ekonom yangtergabung dalam Tim Indonesia Bangkit(TIB) menyatakan bahwa kontradiksikinerja indikator finansial dengan sektorriil tersebut merupakan situasi yang perludiwaspadai.10 Ini karena perbaikan kinerjaindikator finansial sangat vulnerable jikatidak didukung oleh perbaikanfundamental ekonomi mengingat yangterbentuk pada akhirnya adalahgelembung finansial (financial bubbles),terlihat besar, tetapi isinya kosong.

Salah satu penyebab utamakontradiksi sektor finansial dengan sektorriil adalah derasnya aliran modal globaldalam bentuk hot money ke negara-negaraberkembang, termasuk Indonesia. Sampaiakhir Juni 2007, jumlah dana asing yangada dalam instrumen finansial Indonesia

mencapai sekitar Rp. 797 triliun, dansekitar Rp. 670 triliun (84%) diantaranyaditempatkan di instrumen saham BursaEfek Jakarta (BEJ).

Aliran masuk hot money tersebut telahmemberikan dampak ganda padaperbaikan indikator finansial, yaitukenaikan nilai aset dan penguatan matauang rupiah. Indeks harga saham BEJ,misalnya, sejak awal 2006 meningkatdrastis dari 1.600 menjadi 2.400 padapertengahan Juli 2007 atau meningkatsebesar kurang lebih 107 persen.Demikian juga halnya dengan rupiah yangcenderung menguat, sempat menyentuhRp. 8.600 per US$ pada pertengahan Mei1997. Meskipun demikian, gelembungfinansial akibat hot money tersebutsangat berbahaya karena karakteristiknyaseperti pisau bermata dua. Selain dapatmenggelembungkan nilai aset finansialdan menguatkan mata uang rupiah, hotmoney pada gilirannya juga dapatmenjadi malapetaka bagi sektor finansialIndonesia ketika terjadi arus balik.Terlebih, saat ini, sekitar 65-70 persentransaksi di BEJ dikuasai oleh investorasing. Dalam situasi semacam ini, praktisnaik turunnya harga saham berada dibawah kendali asing yang tidak lainmerupakan hedge funds besar di tingkatglobal. Oleh karena itu, sedikitgoncangan saja (shock) baik karena faktordomestik maupun eksternal dapatberakibat pada terjadinya arus balik hotmoney, dan terkoreksinya gelembungfinansial yang dapat mengarah pada krisisekonomi jilid II.

Ada beberapa faktor yang membuatIndonesia sangat rentan terhadapterjadinya krisis tahap II ini.1. Peningkatan ekspor dan cadangan

devisa Indonesia hanya ditopangkenaikan harga komoditi internasionaldan aliran hot money.Selama dua tahun terakhir, cadangan

devisa Indonesia meningkat dramatis darisekitar US$ 35 miliar pada tahun 2005menjadi sekitar US$ 51 miliar. Namun,peningkatan cadangan devisi tersebut

A r t i k e l

Page 53: Vol. 1. 2008

Vol. 1 No. 1 Januari - Maret 2008

53

ternyata tidak didukung olehpeningkatan daya saing ekspor (exportcompetitiveness) atau peningkatan aliraninvestasi langsung. Sebaliknya,peningkatan tersebut lebih disebabkanoleh faktor situasional seperimelambungnya harga komoditiinternasional, dan, sebagaimana telahdikemukakan selumnya, aliran hot money.Sejak tahun 2004, harga sejumlahkomoditi pasar internasional mengalamipeningkatan fantastis. Kenaikan ini telahmendorong peningkatan nilai eksporIndonesia (price driven export growth),yang juga meningkatkan cadangan devisadan membantu kestabilan nilai tukarrupiah. Bahkan pada tahun 2006, eksporIndonesia menembus angka US$ 100miliar. Faktor lain yang turut membantupeningkatan cadangan devisa danmenjaga kestabilan nilai rupiah adalahderasnya aliran hot money ke Indonesiayang dipicu oleh selisih tingkat sukubunga domestik dan luar negeri yangsemakin tinggi. Sejak pertengahan 2005,jumlah hot money yang mengalir keIndonesia diperkirakan sebesar kuranglebih US$ 20 miliar.2. Pertumbuhan semu sektor perbankan

Dalam setahun terakhir, industriperbankan terus mencatat keuntungan.Net Interest Margin (NIM) perbankan padaJanuari 2007 sebesar 6.6 persen, danmerupakan tertinggi di dunia. Akibatnya,saham-saham perbankan banyak diminatioleh investor dan ikut mendorongkenaikan indeks harga saham di BEJ.Namun, kenaikan tersebut ternyata tidakdidukung oleh perbaikan kinerjafundamental seperti peningkatanpenyaluran kredit. Selama dua tahunterakhir, pertumbuhan kredit perbankanmengalami penurunan cukup signifikan.Pada tahun 2006, kredit perbankan hanyatumbuh sekitar 14 persen, sementarapada Mei 2007 pertumbuhan kredit hanyasebesar 17 persen. Angka pertumbuhanini jauh lebih rendah dibandingkandengan pertumbuhan historis yangberkisar antara 25-30 persen per tahun.

3. Overs-suplly propertyFenomena lain yang terjadi selama

lima tahun terakhir adalah meningkatnyasecara besar-besaran sektor properti, baikuntuk kebutuhan residensial,perdagangan, ataupun bisnis. Antaratahun 2002-2006, misalnya, nilaikapitalisasi bisnis properti meningkatrata-rata 45 persen per tahun. Namun,kemajuan pesat di sektor ini tidak diikutioleh kenaikan permintaan (overs-supply).Pasokan bisnis terus meningkat, tetapialiran investasi langsung beberapa tahunterakhir tidak tumbuh signifikan. Padatahun 2006, investasi bruto dalam GDPhanya tumbuh sekitar 3 persen. Demikianjuga, pasokan properti untuk perumahandan pusat perbelanjaan terus meningkat,tetapi daya beli masyarakat belummenunjukkan adanya perbaikan sejakinflasi tinggi 17 persen pada Oktober2005. Oleh karena itu, tidaklah aneh jikatingkat hunian di hampir semua sektormengalami penurunan drastis. Menurutdata bank Indonesia, tingkat hunianperkantoran sewa di Jakarta menurun 9persen dari sekitar 89 persen pada tahun2005 menjadi hanya sekitar 80 persenpada kuartal pertama 2007.Kecenderungan yang sama juga terjadipada tingkat hunian pusat perbelanjaandi Jabodetabek yang biasanya mencapaisekitar 94-95 persen, tetapi pada kuartalpertama 2007 telah menurun menjadihanya sekitar 88 persen. Bahkan, akhir-akhir ini muncul kecenderungan untukmenaikan harga sewa dan maintenancecost guna menutup biaya operasional.

Hal yang lebih mengkhawatirkanadalah sebagian besar pembiayaanpembangunan properti berasal dari kreditbank, terutama kredit kepada pembeliproperti. Oleh karena itu, tanpa adanyaperbaikan di sektor riil maka NPLperbankan berpotensi meningkat tajam.Kasus di Amerika Serikat memberikanpelajaran bahwa salah satu yang dapatdianggap krisis adalah subprime lending,yakni orang-orang yang tidak pantasmendapat pinjaman dipaksakan untuk

diberi pinjaman. Akibatnya, begituterjadi sedikit kenaikan tingkat bungaatau penurunan pendapatan maka sikreditor akan masuk kategori NPL. Dengandemikian, gelembung sektor propertimenyimpan resiko kredit macet yangbelum terefleksikan dalam NPL saat ini.4. Harga saham overvalued

Indeks harga saham di BEJ telahmeningkat dramatis selama dua tahunterakhir. Pada tahun 2006, kenaikannyamencapai 55 persen, sedangkan padaperiode Januari 2007 harga sahammengalami peningkatan sekitar 32persen. Peningkatan indeks harga sahamini sebagian memang disebabkan olehtingginya harga komoditi internasionalyang mendorong keuntungan pada emitenperkebunan dan pertambangan. Namun,penyebab utamanya adalah derasnyaaliran dana jangka pendek (hot money)sebagaimana telah dijelaskansebelumnya.

Berdasarkan data DepartemenKeuangan, jumlah hot money yangmengalir ke pasar saham Indonesia padaperiode Jan-Jun 2007 mencapai sekitarUS$ 1.6 miliar. Akibat begitu derasnyaaliran hot money membuat investor tidaklagi mengindahkan kondisi fundamentalemiten-emiten yang ada di BEJ. Inidibuktikan dengan banyaknya emitenyang price to earning ratio (PER)-nya telahluar biasa tinggi. Pada bulan Juli 2007,jumlah emiten yang mencatat PER di atas100 kali dan bahkan 8 emiten diantaranyamemiliki PER lebih dari 400 kali.Peningkatan harga saham yang jauhmelebihi kinerja fundamentalnyamerupakan gelembung yang sangatberbahaya, terutama jika terjadi arus balikdana-dana jangka pendek. Fenomenaseperti ini merupakan salah satu penyebabkrisis ekonomi pada tahun 2007.

5. Track record pemerintah yangburuk dalam meredam gejolak

Sampai saat ini, track record pemerintahdalam meredam gejolak ekonomi, termasukgejolak kebutuhan pokok sangat buruk.Setahun terakhir, setiap kali terjadikenaikan harga kebutuhan pokok seperti

A r t i k e l

Page 54: Vol. 1. 2008

Jurnal Demokrasi Sosial

54

beras, minyak goreng, gula, dan lain-lainmaka berbagai upaya pemerintah kerap kalitidak efektif untuk meredam gejolaktersebut. Ini terjadi sebagai akibatterutama oleh rendahnya kemampuananggota kabinet ekonomi dalammenyelesaikan masalah di lapangan. Padaakhirnya, ini akan menyulut instabilitassosial karena bagaimanapun harga-hargakebutuhan pokok terkait langsung dengannasib rakyat banyak. Situasinya akanmenjadi semakin berbahaya jika gejolakharga merupakan hasil koreksi gelembungfinansial yang sangat dikwatirkan akhir-akhir ini.

6. Dinamika politik domestik yangdimulai lebih awal dari dugaan semula

Sebelumnya, banyak kalangan mendugabahwa dinamika politik menjelang pemilu2009 baru akan dimulai pertengahan tahun2008. Namun, fakta kondisi ekonomi riiltidak banyak mengalami kemajuan. Iniditunjukkan oleh masih tingginya angkakemiskinan dan pengangguran. Dinamikapolitik mengalami percepatan dan dimulailebih awal pada tahun 2007. Salah satukonsekuensi utama percepatan dinamikapolitik tersebut adalah terpecahnyakonsentrasi pemerintah dalammengantisipasi dan menyelesaikan berbagaipermasalahan di bidang ekonomi. Selainitu, jika terjadi gejolak finansial, makafaktor politik dipastikan dapat semakinmemperkeruh situasi seperti yang terjadipada krisis moneter sepuluh tahun lalu.

1 Artikel ini hasil resume yang dilakukan olehtim redaksi atas ijin penulis dari artikel yangdiedarkan secara luas ke publik dengan judul:“10 Tahun Krisis Ekonomi, Solusi Moneter danNeoliberal: “Kerawanan Lama dalam BungkusBaru”.

2 Mantan Menko Perekonomian Indonesia;Chairman of the Board ECONIT Advisory Group

3 Senior researcher Econit Advisory Group4 Moderat relatif terhadap pertumbuhan ekonomi

negara Asia yang tinggi (8-10 persen).

5 Econit Advisory Group dan Institut BankirIndonesia. 1997.Studi Struktur dan Kebijakan Strategis IndustriPerbankan Indonesia Pasca-Tahun 2000.

6 Diungkapkan dalam ECONIT EconomicOutlook 1996: A Yea of Consolidation.November 1995, Bagian 2 hal. 28

7 Diungkapkan dalam ECONIT Economic Outlook1996: A Yea of Consolidation. November 1995,Bagian 3 hal. 17

8 Kutipan langsung Econit Public Policy Review(EPPR): Saran untuk Meminta Bantuan IMF:

Penjerumusan atau Ketidaktahuan. 8 Okotober1997, hal. 3.

9 Lihat paper Koalisi Anti Utang: Mafia Barkeley:Kegagalan Indonesia menjadi Negara Besar diAsia, 6 Juni 2006.

10 Lihat dua paper TIB: (1) Ekonomi Indonesia2006: Penundaan Kebangkitan Ekonomi, 26Januari 2006, hal. 3; (2) PerlambatanPemulihan Ekonomi dan Kesenjangan yangSemakin Lebar, 18 Mei 2006.

Catatan PenutupPaparan dalam artikel ini memberikan

suatu informasi dan fakta menarikbahwasannya krisis moneter yang terjadikurang lebih 10 tahun yang lalu tidaksemata-mata disebabkan oleh faktor-faktoreksternal. Namun, lebih disebabkan olehfondasi ekonomi Indonesia yang sangatrapuh. Oleh karenanya, krisis moneter yangterjadi di Thailand dengan cepat menularke Indonesia dengan skala krisis yang lebihdasyat. Kebijakan-kebijakan yangdikeluarkan pemerintah untukmenyelesaikan krisis bukannyamenyelesaikan, tetapi malahan membuatsituasinya menjadi lebih buruk.

Dihinggapi oleh rasa tidak percaya diri,beberapa pihak menyarankan agarpemerintah Indonesia meminjam IMF gunamenyelesaikan krisis. Namun, ironisnyajustru menjerumuskan Indonesia ke dalamkrisis yang lebih parah. Ini ditunjukkanoleh kerusakan sistem perbankan nasional,meningkatnya utang pemerintah,meluasnya kerusuhan yang menelankerugian sangat besar, serta lambannyapemulihan ekonomi Indonesia. Akibatnya,dibandingkan dengan negara-negara lainyang mengalami krisis, Indonesia jauhtertinggal di belakang.

Setelah lebih dari satu dekade krisisekonomi, tampaknya, Indonesia masihrentan terhadap serangan krisis jilid II.Beberapa faktor mendukung hipotesis ini,tetapi sayangnya pemerintah Indonesiatidak pernah belajar dari blunder-blunder

dalam antisipasi ataupun terapi. Timekonomi pemerintah masih cenderungmemandang gelembung finansial sebagaiprestasi yang membanggakan dan secaralangsung atau tidak langsung selalumempromosikan hot money (Iman Sugema,Bisnis Indonesia, 3 Agustus 2007, hal. 2).Padahal, sebagaimana telah dijelaskansebelumnya, hot money ini seperti pisaubermata dua yang, pada satu sisi,menggelembungkan aset, tepai pada sisilain dapat menghancurkannya.

Berbeda dengan pemerintah Indonesiayang sangat positip dalam memandang hotmoney, negara-negara Asia lainnya justrumengkwatirkannya. Sejumlah negara telahmengambil langkah-langkah antisipatifguna meredam aliran hot money ini.Pemerintah Cina, misalnya, telah menaikkanpajak transaksi di pasar sahamnnya akhirMei 2007, dan menerapkan sanksi beratkepada bank internasional yangmemfasilitasi masuknya dana asing ke Cinadalam jumlah besar. Thailand juga telahmengambil langkah untukmendepresiasikan mata uang Bath karenajika mata uang terlalu kuat akanmengganggu kinerja ekspor yangmenyumbang dua per tiga GDP Thailand.Oleh karena itu, pemerintah Indonesiamestinya tidak terlena dan over- confidenceterhadap gelembung finansial yangterbentuk sebagai akibat aliran hot moneytersebut karena dapat mengantarkanIndonesia ke krisis jilid II.

A r t i k e l

Page 55: Vol. 1. 2008

Vol. 1 No. 1 Januari - Maret 2008

55

Pergerakan Indonesia

Pergerakan Indonesia (PI) lahirsebagai bentuk dari aktualisasi danoptimisme pasca pergulatan selama duatahun setelah pembentukan KomitePersiapan Pergerakan Indonesia (KPPI).Kongres Pertama PI dilaksanakan di Bogorpada 26-28 Agustus 2005, tepatsembilan hari setelah lagu Indonesia Rayadikumandangkan kembali oleh seluruhrakyat Indonesia.

Sebagai organisasi progresif, salahsatu tekad PI adalah tidak mengulangkesalahan dan kegagalan-kegagalan masalalu dalam membangun organisasi,keprihatinan atas apa yang telah terjadipada masa lalu pasca reformasi telahmembulatkan tekad aktivis PI untukmemperbaiki tatanan politik dan moralpolitik di Indonesia.

PI adalah sebuah organisasi yangbersifat multikdimensi dimana anggotaanggotanya adalah elemen dari berbagailapisan masyarakat baik aktivis, seniman,penggiat politik dan sebagainya, dalampidato politik pada Kongress I PI dibogor, Ketua Umum PI Faisal Basrimengemukakan:

“.....namun rasanya suatu keniscayaankalau berhimpunnya kita itu makinlengkap dari berbagai Elemen, dari aktivis,dari kesenian, dari kelompok kebudayaan,politisi juga, sebagai Partai yang ditujukanoleh temen-temen kita yang ada diKalimantan Tengah dan di tempat-tempatlainnya. Orang Partai boleh beda tapi diPI orang merasa lebih nyaman ketimbangdi Partainya sendiri”.

Prinsip Dasar

Prinsip Dasar Pergerakan Indonesiaadalah Kebangsaan, Kerakyatan,Kemanusiaan, Keberagaman, Kesetaraandan Kebersamaan.

Platform PI

I. Analisis Masyarakat, SituasiNasional dan Internasional

A. Analisis Masyarakat

Secara objektif, masyarakat Indonesiasaat ini menghadapi masalah cukupserius, diantaranya adalah

berkurangnya atau bahkan hilangnyakesempatan untuk hidup layak.Sejauh ini dalam prosesnya, juga tidakmenunjukkan perbaikan yangsignifikan di dalam kehidupanmasyarakat, bahkan kemiskinan terusmeningkat, secara kuantitatif dankualitatif. Sebut saja misalnya kondisipetani yang kian menderitaberhadapan dengan tingginya biayaproduksi pertanian tapi rendahnyaharga jual, gaji buruh yang tertinggaloleh peningkatan inflasi, sektorinformal semakin besar, dan berbagaipersoalan keterbelakangan di bidangpendidikan dan kesehatan.

Dalam prosesnya, gejalaketidakpuasan masyarakat akanpenegakan keadilan dan penegakanhukum juga kian meningkat tajam,dan perlawanan sipil pada negara disana-sini tidak bisa dielakkan.Sementara disisi lain, telah terjadipula konspirasi antar-elit politik baikdi parlemen maupun di pemerintahanuntuk menjaga posisi masing-masing(status quo), yang makin terbuka

Pengantar: Rubrik ini menyajikan profil tentang organisasi-organisasi sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang berdasarkanasas demokras sosial. Redaksi mengundang pembaca untukmenuliskan profil organisasi Anda, sepanjang memenuhi kriteriatersebut.

P r o f i l

Page 56: Vol. 1. 2008

Jurnal Demokrasi Sosial

56

melakukan penyalahgunaankekuasaan. Keadaan ini makinterpuruk karena fakta pemerintah jugamelakukan kompromi politik terhadapkekuatan lama, sehingga penegakanhukum terhadap kejahatan masa laluyaitu pelanggaran HAM hingga saatini belum bisa dituntaskan.

Ketidakpuasan masyarakat terhadapperilaku politik dan strukturkekuasaan yang elitis dan korup makinmeningkat, berlangsung di berbagaidaerah dan nasional. Elit-elit politikyang berkuasa dinilai hanyamengutamakan kepentingannyasendiri dan tidak memperjuangkanaspirasi rakyat. Hal itu menimbulkan,paling tidak, dua reaksi di kalanganrakyat, yaitu: 1) Apatisme terhadappolitik dan sistem demokrasi, danatau 2) Ketidakpercayaan terhadapaktor-aktor politik yang berbuah padaperlawanan terhadap kekuasaannegara.

Sejak perubahan struktur politikterjadi menuju pascaotoritarianisme,upaya-upaya penguatan masyarakatsipil dalam kerangka demokrasi dilevel grassroot tidak berjalan secaraefektif, bahkan selalui menghadapikendala dalam berbagai bentuk.Eksistensi institusi sosial kewargaansebagai social and political capital ditengah-tengah masyarakat cenderungbelum keluar dari ketidakberdayaan,terutama sebagai dampak kebijakandan perlakuan masa lalu dalam disainkorporatisme.

B. Analisis Situasi Nasional

Saat ini transisi demokrasi diIndonesia berada pada zona abu-abu(grey zone). Hal itu ditandai tidakberlangsungnya demokrasi secarasubstansial, kendati pun instrumen-intrumen demokrasi telah ada.Problem mendasar bersumber dari

masih menguatnya oligarki politikdalam institusi kenegaraan (birokrasi,parlemen, parpol) maupun masyarakat(ormas), sehingga yang terjadi adalahdemokrasi semu dan kebekuandemokrasi. Misalnya keberadaanPemilu sebagai bentuk formalitasdemokrasi namun tidak dapatmenjamin kepentingan masyarakat.

Di tengah situasi krisis, kitamengalami lack of political leadershipkarena ketiadaan visi, tanggung jawabdan inisiatif untuk melakukanlangkah-langkah berani dansistematis untuk keluar dari krisis danmelanjutkan demokratisasi.

Pada saat yang sama, berlangsungpula restorasi konservativisme politikyang ditandai dengan resistensiterhadap perubahan-perubahanmendasar (radikal) dan progresifdalam melakukan upaya-upayademokratisasi.

Pada dimensi politik di tingkat lokal,terjadi keterbelakangan baik dalamsistem, etika, maupun kondisikeuangan daerah. Sehinggamelahirkan kebijakan-kebijakan yangberlebihan (seperti penetapan pajakdan pungutan yang justru disinsentifuntuk pengembangan ekonomi), jugamenimbulkan jawara-jawara kecil(warlords) yang mempersulitkoordinasi lintas-daerah.

Gagalnya implementasi otonomidaerah dan desentralisasi karena tidakdijalankan secara demokratis justrukian terancam oleh adanya UU 32/2005 tentang Pemerintah Daerahtelah menunjukkan gejalaresentralisasi. Resentralisasi ini padaakhirnya akan berisiko terhadapmerosotnya agenda pembangunancivil society dan demokrasi di tingkatlokal.

P r o f i l

Semakin meningkatnyafundamentalisme yang berbasis etnisdan atau agama yang memberiancaman terhadap demokrasi itusendiri. Aktivitas politik ini telahmenggunakan instrumen-instrumendemokrasi baik di tingkat negaramaupun civil society.

c. Analisis Situasi Internasional

Kecenderungan unilateralisme ditingkat internasional yang tidakmemberikan ruang bagi negara lainsebagai kekuatan penyeimbang

Terjadinya praktik militerisasi dalamdiplomasi internasional denganmengatasnamakan “war on terrorism”yang semakin tidak jelasimplementasinya.

Pada ekonomi politik internasional,terjadi global social injustice sehinggaperdagangan bebas yang diharapkanmembawa gains from trade, justrupada praktiknya adalah eksploitasiterhadap sumber daya dalam negeri.

Menghadapi global social injusticetersebut, negara-negara berkembangjustru mengalami lack of regionalcooperation. Hal itu membuat dayatawar (bargaining power) dari negara-negara berkembang semakin lemahterhadap negara-negara maju dalampenetapan strategi perdaganganantar-negara.

II. Perjuangan Bidang Politik

1. Penerapan Pemilihan Umum (Pemilu)dengan sistem distrik danmemungkinkan munculnya partailokal.

2. Memperjuangkan pluralisme ideologipolitik sebagai syarat mutlakberdemokrasi.

Page 57: Vol. 1. 2008

Vol. 1 No. 1 Januari - Maret 2008

57

3. Pemberlakukan sistem ketatanegaraanBikameral yang sejati (murni).

4. Memperjuangkan dan mempertegassupremasi sipil.

5. Memperjuangkan sistem dan perilakupolitik yang rasional, modern dandemokratis.

6. Memperjuangkan dengan konsisten,otonomi daerah melalui desentralisasidan demokratisasi yang membangunpartisipasi rakyat yang seluas-luasnyaterhadap pengambilan keputusan,pembangunan dan proses-prosespolitik lainnya.

7. Memperjuangkan pembaruan agraria.

8. Memperjuangkan hubungan industrialyang progresif dan adil.

9. Memperjuangkan kesetaraan wargabangsa dengan menjunjung tinggipenegakan hak-hak azasi manusiayang berlandaskan padapenghormatan terhadap prinsip anti-diskriminasi.

III. Perjuangan Bidang Ekonomi

1. Pembangunan ekonomi dengansumber daya nasional sebagaikekuatan pokok.

2. Melaksanakan politik-ekonomi danstrategi ekonomi dengan membangunpasar domestik yang terintegrasi,efisien dan kuat (Domestic-market leddevelopment).

3. Persaingan usaha yang sehat padasektor private goods (barang-barangprivat).

4. Kesetaraan (equality) dalam distribusiekonomi.

5. Membangun kembali industri nasional(nasional swasta) yangmengembangkan industri yangberbasis pertanian, barang-barangmodal industri sebagai basispertumbuhan ekonomi, dalam batas-batas yang tidak menguasai hajathidup orang banyak atau menjadimonopoli.

6. Membangun sistem jaminan sosial(social security).

7. Peningkatan kualitas pelayananpublik.

8. Meningkatkan pembangunan humancapital (pendidikan, kesehatan, rasaaman) dalam rangka pembangunanberkelanjutan.

9. Memperjuangkan dan mendorongupaya-upaya untuk melepaskannegara dari ketergantungan terhadaputang.

10.Mendorong terjadinya kerjasamaekonomi yang lebih maju diantaranegaranegara berkembang.

IV. Perjuangan Bidang Hukum

Dititikberatkan pada pembangunanSistem Hukum Nasional, yang meliputitiga komponen: struktural (pembangunansistem hukum yang dapat menciptakansutruktur pemerintahan negara yangefisien dan efektif dalam melaksanakanberbagai permasalahan birokrasi),substansial (penciptaan peraturanperundang-undangan yang komprehensif,integral dan sistematis denganmemperhatikan aspek legalitas,efektivitas dan validitas) dan budayahukum (pembangunan keseluruhan nilai-nilai sosial yang berhubungan denganhukum beserta sikap-sikap yangmempengaruhi hukum), denganmemperjuangkan tujuan-tujuan sebagaiberikut:

P r o f i l

Pengurus PI Periode2005 – 2008

DEWAN PERTIMBANGAN NASIONAL (DEPERNAS)Ketua : Benny G. SetionoSekretaris : Jacobus Eko KurniawanAnggota :1. Ade Indira Damayanti2. Agus Indra Udayana3. Arif Arryman4. Asep Kusmana5. Esther Indah6. Franky Sahilatua7. Kristianus Atok8. Meilono Suwondo9. Syumang10. Tumpal Simaremare11. Martin Manurung

DEWAN PENGURUS NASIONAL (DPN)

Ketua Umum : Faisal H. BasriKetua I : AdityaKetua II : Dedi Ekadibrata

Sekretaris Jenderal : Arie SujitoWakil Sekjend. : Azwar Zulkarnaen

Bendahara : Albertus SugengWk. Bendahara : Faisal Andi MahrawaWk. Bendahara : Thomas Nugroho

Bidang Hubungan Internasional, Humas danJaringan

Ketua : Gede MahendraAnggota :1. Azman Muchtar 4. Santi2. Suwendhi 5. Iman Pandjaitan3. Dani P. PIN 6. Paulus M. Lubis

Bidang Pendidikan dan KaderisasiKetua : Sukma WidyantiAnggota :1. Erwin Razak 3. Asep Kurniawan2. Boy Syahbana 4. Thoib Soebhanto

Bidang advokasi dan Pengembangan OrganisasiKetua : Dwi DjanantoAnggota :1. SaepulTavip 5. Miranti Husein2. Guntur Tua 6. Tanthowi3. Jhoni Sarinton 7. Joze Rizal4. Teguh Bangun 8. Noviar

Santoso

Bidang Kesekretariatan dan Data BaseKetua : Musjaffa’ MaimunAnggota :1. Teddy Kroen 2. Ahmad Firdaus

Balitbang· Wahyu Handoyo· Nyoman Darma

Page 58: Vol. 1. 2008

Jurnal Demokrasi Sosial

58

1. Penegakan keadilan secara umum.

2. Diterapkannya hukum yang konsistendan tanpa pandang bulu (equalitybefore the law).

3. Terciptanya struktur ketatanegaraan(pemerintahan dalam arti luas) yangmendukung pelaksanaan goodgovernance.

4. Terciptanya produk peraturanperundang-undangan yangmendukung pembangunan politik,ekonomi, dan sosial budaya.

5. Terciptanya lembaga peradilan danpenerap hukum (law enforcer) yangbersih, independen, dan berwibawa.

6. Terciptanya budaya hukum (legalculture) masyarakat yang dapatmendukung penegakan keadilan danproses demokratisasi.

Fungsi

1. Wadah pembangunan kepemimpinanpolitik rakyat.

2. Wadah pendidikan politik rakyat.

Tujuan

1. Memperjuangkan, menegakkan danmelaksanakan kedaulatan rakyatuntuk dapat dijalankan sepenuh-penuhnya dalam kebijakan-kebijakannegara.

2. Menumbuhkan kepemimpinan baruyang berasal dari generasi baru dalampolitik Indonesia.

3. Menghimpun dan mengkonsolidasikankekuatan-kekuatan pro-demokrasiBangsa Indonesia.

4. Memperjuangkan tata dunia yang adil,bebas dari penindasan bangsa antar-bangsa dalam relasi internasional.

Strategi perjuangan

Pengembangan organisasi yangbertumpu pada pembangunankekuatan yang bersifat multisektoral.

Pengembangan kelompok-kelompokmasyarakat di berbagai tingkatan

Pembangunan kekuatan politikberdasarkan kesamaan landasanprogram (platform)

Kekuatan utama Pergerakan Indonesiabertumpu pada rakyat kelas bawahdan kelompok/lapisan menengahyang memiliki aset kualitas dankuantitas (akses pada sumber dayaekonomi, intelektual, budaya danpolitik yang tidak terakomodasi [tidakpuas] dengan sistem yang berlaku.

Kelompok sasaran PI adalah : massarakyat, aktivis media, aktivis-aktivisNGOs, profesional (urbanprofessional), budayawan/intelektual,politisi dan pengusaha.

Penguatan ke dalam organisasidengan membentuk strukturorganisasi hingga tingkat kecamatan,dan basis sektoral.

Bentuk-Bentuk Perjuangan:

Bentuk perjuangan organisasidilakukan melalui aktivitas-aktivitaspolitik, sosial, ekonomi dan budaya.

Aktivitas

Pendidikan kader PISekolah DemokrasiSeminar kepemimpinanSeminar PolitikMelaksanakan risetAktif dalam kegiatan kepemudaannasional dan InternasionalTanggap Bencana untuk wilayah Aceh,Jogja, PangandaranDll

Dalam mengimplementasikan visinyaPI melakukan pemberdayaan kepada paraaktivis penggiat demokrasi yang menjadipendukungnya. Berbagai kerjasama baikdengan organisasi local maupuninternasional telah memperkuat “barisan”PI sebagai organisasi yang bersifatterbuka, multi dimensi dan berideologikerakyatan. Namun demikian masihbanyak hal yang harus tetap dilaksanakanmengingat pembelajaran bagi rakyatharus dilaksanakan secara berkelanjutankarena besarnya jumlah pendudukIndonesia dan begitu lamanya proses de-ideologisasi telah dilakukan secarasistematis oleh rezim sebelumnya.

P r o f i l

Page 59: Vol. 1. 2008

Vol. 1 No. 1 Januari - Maret 2008

59

Judul buku : Beyond US Hegemony?Penulis : Samir AminPenerbit : Strategic Information Research DevelopmentTahun : 2006Tebal : 191 halaman

Membangun

R e s e n s i

Dunia berbeda masih mungkin. DanSamir Amin bakal tersenyum denganperkembangan terbaru di Amerika Latindan India. Sebab, dalam karyanya BeyondUS Hegemony? Assessing the Prospect fora Multipolar World, Amin memandanghegemoni AS sudah mencapai titikkulminasi bahaya. Unilateralisme yangmenggelinding bersama globalisasiberbungkus kapitalisme neoliberalmenyimpan imperialisme, benar-benarmembahayakan dunia dan kemanusiaan.Imperialisme, menurutAmin, bukanlahtahapan kapitalisme tetapi ciri khasekspansi kapitalisme global (h.3). Bentukkapitalisme yang berlaku kini sangat tidakmenyenangkan, dan sebenarnya bisadihindari.

Namun ini tak membuat Amin, sangMarxis teguh, menolak globalisasi.Malahan dia mengangankan suatuglobalisasi yang bersahabat. Dalam benakAmin, ada kerangka alter-globalisasi yangmemungkinkan kemunculan blok hegemonilain. Blok alternatif ini tak mesti harusmemangkas tuntutan kapitalisme, pikirAmin. Tetapi blok itu jelas mampumemaksa kapitalisme beradaptasi dengankeadaan-keadaan yang tidak mesti sesuaidengan logika khas kapitalisme (h.6).

Lantas Amin memulai analisanyadengan melihat tiga triad kekuatan: Eropa,AS, dan Jepang. Setelah Perang DuniaKedua, AS dengan kekuatan hegemonimiliternya selalu berkeinginanmenundukkan segala bentuk kekuatanekonomi dan militer yang menantangdominasinya. Ekonomi AS bak parasitbergelayut pada rekanannya dalam sistemglobal, tanpa cadangan nasional miliknyasendiri. “Dunia memproduksi”, ungkapAmin, “Amerika Utara mengkonsumsi”(h.12). Sedang kekuatan militer ASmenginginkan seluruh dunia di bawahkuasanya. Maka dunia, terutama Eropa,harus memilih dua strategi: pertama, terusmemasok kapital membiayai konsumsi,investasi, dan defisit pengeluaran militerAS. Kedua, memasok kapital itu untukkepentingan ekonomi mereka sendiri(h.13). Keadaan sekarang lebih membuatEropa memilih opsi pertama. Sedangkandi bidang politik terjadi perbedaan akibatbudaya politik berbeda. Maka menurutAmin, tendensi ekonomi dominan,mendukung kesatuan triad. Sedangkanpolitik mengacu pada pecahnya ikatantriad.

Akibat polah AS ini, Eropa mengalamikrisis multidimensi. Krisis ekonomi dalam

liberalisme akibat “ketundukan Eropaterhadap pemimpin Amerika Utara dankesediaannya untuk membiayai defisit ASdengan mengorbankan kepentingannyasendiri” (h.15). Lalu krisis sosial sebagaiperlawanan terhadap konsekuensineoliberalisme. Terakhir krisis politik yangterlihat melalui penolakan terhadapkehendak berperang AS. Ditambah denganbudaya politik bak jurang dalam antaraEropa dan AS, maka “landasan bagibenturan peradaban antara Amerika Serikatdan Eropa tersedia sudah” (h.22).

Sebagai teoritisi sistem dunia, SamirAmin menganalisa seluruh bumi ini darikacamata geopolitik daripada terpaku padanegara tertentu. Tak heran bila adakecenderungan menggunakan wacana blokhegemon daripada kelas penguasa. Makapenekanan teoritis lebih diarahkan padapenyeimbangan antara hegemon dansubhegemon.

Cina, sebagai kekuatan baru di mataAmin, tidak lebih sebagai “partisipanpinggiran terdominasi yang dipaksabermain dengan aturan-aturanimperialisme triad baru” (h.47). Sedangkandi bab 3, kesuksesan Rusia bisa diraihkembali apabila Moskow bersedia bergantiporos diplomatik dari kutub Washington

Alter-Hegemon

Page 60: Vol. 1. 2008

Jurnal Demokrasi Sosial

60

ke Eropa Barat. Pada bab 4 diuraikanharapan bagi globalisasi alterrnatif adapada India. Namun dengan syarat NewDelhi bisa mengatasi beberapa tantangan:penghapusan sistem kasta, membentukfront pekerja bersatu, mempertahankankeutuhan subbenua India, berfokus politikinternasional pada negara-negara Selatanseperti Gerakan Non-Blok.

Pada bab 5, berpegang padakeberhasilan Konferensi Asia-Afrika diBandung, Samir Amin menggagas kembaliperlunya basis baru bagi solidaritas antarbangsa-bangsa Selatan. Di tingkat politik,penolakan terrhadap kebijakan ‘perangpenangkalan’ AS dan penutupan semuabasis militer asing di Asia, Afrika, danAmerika Latin. Sedang di bidang ekonomi,perlu dilakukan pengendalian transfer

kapitaI internasional, peregulasianinvestasi asing, pengembangan pertanian,serta mempertanyakan legitimasi utangeksternal. Tentunya, di tingkatinternasional ini, PBB perlu melakukanreformasi sehingga mampu berperan secaralebih efektif. Amin memaparkanproposalnya tentang pembaruan PBB dibab 6.

Di akhir bukunya, Amin optimis bahwatriad imperialisme di bawah pimpinanAmerika Serikat bisa dikalahkan. Namunsemuanya tentu dicapai dengan ‘ragampolitik berbeda’ (h. 164) . Amin tak hentimenyerukan pembahasan landasanbersama bagi suatu aliansi gerakan besarmenentang neoliberalisme dan militerisasiglobalisasi Amerika. Karya pentingyangwajib dibaca . >hadi mahmudi

Sumber: Majalah ADIL Edisi-12, 22Maret – 4 April 2007. Dimuat kembali atasseizin Majalah ADIL.

R e s e n s i