ekonomiislamfeunj.files.wordpress.com viewsejarah pemikiran ekonomi islam . abu yusuf (113 – 182 h...
TRANSCRIPT
SEJARAH PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM
ABU YUSUF (113 – 182 H / 731 – 798 M)
Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ekonomi Syariah
Disusun oleh :
Dewi Mentari (8105108036)
Dina Madarina D. (8105108047)
Dwi Maryani (8105108045)
Riva Eliza Umniyah (8105108023)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN EKONOMI
KONSENTRASI PENDIDIKAN EKONOMI KOPERASI
JURUSAN EKONOMI & ADMINISTRASI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2014
1
SEJARAH PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM
ABU YUSUF (113 – 182 H / 731 – 798 M)
I. Biografi Abu Yusuf (113 – 182 H / 731 – 798 M)
Dalam literatur Islam Abu Yusuf sering disebut dengan Imam Abu Yusuf
Ya’qub bin Ibrahim bin habib bin Khunais bin Sa’ad Al- Anshari Al- Jalbi Al-Kufi Al-
Bagdadi. Lahir di Kufah, Irak pada tahun 731 M (113 H) dan meninggal dunia di
Baghdad pada tahun 798 M (182 H). Beliau hidup pada masa transisi dua zaman
kekhalifahan besar, yaitu akhir masa Dinasti Umayyah dan Abasiyyah. Beliau berasal
dari suku Bujailah, salah satu suku bangsa Arab. Keluarganya disebut Ansari karena
dari pihak ibunya masih mempunyai hubungan dengan kaum Ansar (pemeluk Islam
pertama dan penolong Rasulullah SAW di Madinah). Keluarganya sendiri bukan
berasal dari lingkungan berada. Namun demikian, sejak kecil, ia mempunyai minat
yang sangat kuat terhadap ilmu pengetahuan. Hal ini tampak dipengaruhi oleh suasana
kufah yang ketika itu merupakan salah satu pusat peradaban islam, tempat para
cendikiawan muslim dari seluruh penjuru dunia islam datang silih berganti untuk
saling bertukar pikiran tentang berbagai bidang keilmuan.
Abu Yusuf menimba berbagai ilmu kepada banyak ulama besar. Menurut
penuturannya beliau menjadi murid Abu Hanifah selama 17 tahun dan sejumlah
ulama terkemuka pada masa itu. seperti Abu Muhammad atho bin as-saib Al-Kufi,
sulaiman bin Mahram Al-A’masy, Hisyam bin Urwah, Muhammad bin Abdurrahman
bin Abi Laila, Muhammad bin Ishaq bin Yassar bin Jabbar, dan Al-Hajjaj bin Arthah.
Ia pun terkenal sebagai salah satu murid terkemuka Abu Hanifah. Karena melihat
bakat dan semangat serta ketekunan Abu Yusuf dalam belajar, Imam Abu Hanifah
menyanggupi untuk membiayai semua keperluan pendidikannya, bahkan biaya hidup
keluarganya. Imam Abu Hanifah sangat mengharapkan agar Abu Yusuf kelak dapat
melanjutkan dan menyebarluaskan Mazhab Hanafi ke berbagai dunia Islam.
Meskipun ia sebagai murid Abu hanifah, ia tidak sepenuhnya mengambil pendapat
Abu Hanifah.
Sepeninggal gurunya, Abu Yusuf bersama Muhammad bin Al-Hasan Al-
Syaibani menjadi tokoh pelopor dalam menyebarkan dan mengembangkan madzhab
Hanafi. Secara umum, Abu Yusuf mendalami ilmu fikih. Karena kertertarikan beliau
dalam bidang fikih. Sepeninggal Abu Hanifah, Abu Yusuf menggantikan
2
kedudukannya sebagai guru pada perguruan Imam Abu Hanifah. Ketika itu Abu
Yusuf tetap mewarisi prinsip gurunya yang tidak mau memegang jabatan apapun
dalam bidang pemerintahan, terutama jabatan kehakiman. Namun, sejak Imam Abu
Hanifah wafat, keadaan ekonomi keluarganya semakin lama semakin memburuk, hal
itu membuat karir keilmuannya tidak berkembang. Sehingga pada tahun 166 H/782 M
beliau pun meninggalkan Kufah dan pergi ke Baghdad. Abu Yusuf menemui khalifah
Abbasiyah al-Mahdi (159 H/775 M – 169 H/785 M) yang langsung mengangkatnya
sebagai hakim di Baghdad Timur. Dan disinilah karier keilmuannya berkembang
hingga beliau memegang jabatan dalam kehakiman. Ketekunan dalam belajar
membuat Abu Yusuf menyusun buku-buku yang merupakan buku pertama tentang
kajian fikih yang beredar pada masa itu. Dalam lingkungan peradilan dan mahkamah-
mahkamah resmi, banyak dipengaruhi dan diwarnai oleh Mazhab Hanafi, sehingga
membuat Abu Yusuf terkenal ke berbagai negeri seiring dengan perkembangan
Mazhab Hanafi. Beliau pun banyak mempelajari hadist dan meriwayatkan hadist.
Banyak diantara para ahli hadist yang memuji kemampuannya dalam periwayatan
hadist.
Atas bimbingan para gurunya dan berkat ketekunan dan kecerdasan seorang
Abu Yusuf tumbuh dan berkembang menjadi seorang yang alim yang sangat
dihormati dan disegani banyak kalangan, baik ulama, penguasa dan masyarakat
umum. Tidak jarang pendapatnya dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan
masyarakat. Bahkan tidak sedikit orang yang ingin belajar kepadanya. Di antara tokoh
besar yang menjadi muridnya adalah Muhammad bin Al-Hasan Al- Syaibani, Ahmad
bin hambal, Yazid bin Harun Al-Wasithi, Al-Hasan bin Ziyad Al-lu’lui, dan yahya bin
Adam Al-qarasy. Jabatan penting yang pernah diamanahi pada Abu Yusuf :
1. Pada tahun 159-169 H/775-785 M Abu Yusuf diangkat sebagai hakim oleh
Khalifah Abbasiyah, al Mahdi di Baghdad Timur. Jabatan ini terus dipegangnya
sampai masa kekhalifahan al Hadi pada tahun 169-170 H/785-786 M. Jabatan
yang dipegangnya pada masa ini hanya memberi wewenang kepadanya untuk
memutuskan perkara yang diajukan serta memberi fatwa bagi yang
membutuhkannya.
2. Pada masa pemerintahan Khalifah Harun ar Rasyid, tahun 170-194 H/786-809 M,
beliau menjabat sebagai ketua para hakim (Qadi al Qudah) atau hakim agung
seperti ketua Mahkamah Agung pada masa sekarang sebuah jabatan tertinggi
dalam lembaga peradilan. Salah satu bentuk penghormatan dan pengakuan
3
pemerintah atas keluasan dan kedalaman ilmunya. Pada masa ini, wewenang dan
tanggungjawabnya sebagai hakim lebih luas, yaitu disamping memutuskan
perkara, juga bertanggungjawab menyusun materi hukum yang diterapkan oleh
para hakim. Wewenangnya yang paling penting adalah mengangkat para hakim di
seluruh negeri. Abu Yusuf meninggal pada tahun 182 H/798 M.
II. Karya- Karya Abu Yusuf
Sekalipun disibukkan dengan berbagai aktivitas mengajar dan birokrasi, Abu
Yusuf masih meluangkan waktu untuk menulis. Karya ilmiah dan tulisannya adalah
sebagai bentuk respon dari berbagai gejala dan problematika masyarakat yang
berkenaan dengan tatanan sosial dan agama. Beberapa karya tulisnya yang terkenal
adalah:
1. Al-Jawami’, kitab ini banyak memuat tentang hal yang berkenaan dengan
pendidikan.
2. Ar-Radd ‘Ala Siyar Al-Auza’i, kitab ini memuat beberapa pendapat dan
pandangan Abu Yusuf tentang beberapa hukum islam yang merupakan himpunan
dari beberapa kritikan dan sanggahan-sanggahan beliau terhadap pendapat al-
Auza’i seputar perang dan jihad.
3. al-Atsar, sebuah kitab yang menghimpun hadits-hadits yang diriwayatkan dari
para gurunya dan juga dari ayahnya. Ia mengemukakan pendapat gurunya, Imam
Abu hanifah, kemudian pendapatnya sendiri dan menjelaskan sebab terjadinya
perbedaan pendapat mereka.
4. Ikhtilaf Abi Hanifah wa Ibn Abi Laila, kitab ini membahas tentang perbandingan
fiqih yang mengemukakan pendapat Imam Abu Hanifah dan Abi Laila serta
perbedaan pendapat mereka.
5. Adab al-Qadhi, sebuah kitab yang memuat tentang ketentuan-ketentuan yang
harus dipenuhi oleh seorang hakim (Qadhi).
6. Al-Kharaj, kitab ini memuat tentang banyak masalah-masalah yang erat kaitannya
dengan fenomena sosial. Kitab ini merupakan kitab terpopuler dari karya-
karyanya. Di dalam kitab ini, ia menuangkan pemikiran fiqihnya dalam berbagai
aspek, seperti keuangan negara, pajak tanah, pemerintahan dan musyawarah.
Kitab ini ditulis atas permintaan Khalifah Harun Al-Rasyid untuk pedoman dalam
menghimpun pemasukan atau pendapatan negara dari Kharaj, Ushr, Zakat, dan
4
jiz'ah. Kitab ini dapat digolongkan sebagai 'Public Finance' dalam pengertian
ekonomi modern.
Selain kitab-kitab di atas, menurut Ibnu Nadim (wafat 386 H/995 M), seorang
sejarawan, masih banyak buku yang disusunnya. Diantaranya Kitab as-Salah
(mengenai shalat), Kitab az-Zakah (mengenai zakat), Kitab as-Siyam (mengenai
puasa), Kitab al-Bai’ (mengenai jual beli), Kitab al-Fara’id (mengenai waris), dan
Kitab al-Wasiyyah (tentang wasiat).
III. Landasan Berfikir dan Visi ekonomi
Sistem ekonomi yang dikehendaki oleh Abu yusuf adalah satu upaya untuk
mencapai kemaslahatan ummat. Kemaslahatan ini didasarkan pada al-Qur’an, al-
Hadits, maupun landasan-landasan lainnya. Hal inilah yang nampak dalam
pembahasannya kitab al-Kharaj. Kemaslahatan yang dimaksud oleh Abu Yusuf
adalah yang dalam terminologi fiqh disebut dengan Maslahah/kesejahteraan, baik
sifatnya individu (mikro) maupun (makro) kelompok. Secara mikro juga diharapkan
bahwa manusia dapat menikmati hidup dalam kedamaian dan ketenangan dalam
hubungan interaksi sosial antar sesama dan diatur dengan tatanan masyarakat yang
saling menghargai antar masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya.
Ukuran kesejahteraan, menurut Abu Yusuf dapat diukur dari beberapa aspek,
yaitu keseimbangan, (tawazun), kehendak bebas (al-Ikhtiar), tanggung jawab/keadilan
(al-‘adalah)/accountability), dan berbuat baik (al-Ikhsan). Semua mekanisme dan
ukuran kemaslahatan Abu Yusuf berpangkal dari al Qur’an dan as-sunnah yang
menjadi pijakan utama untuk melahirkan konsep tauhid yang merupakan komitmen
total terhadap semua kehendak Allah, dan menjadikannya sebagai nilai dan semua
tindakan manusia. Dengan visi kesejahteraan (maslahah) inilah Abu Yusuf dapat
memberi sumbangan besar bagi kesejahteraan dan keadilan kestabilan ekonomi pada
zaman keemasan Islam/Dinasti ‘Abasiyyah (periode Harun al-Rasyid).
Dalam hal yang berhubungan pemerintahan Abu Yusuf menyusun sebuah
kaidah fiqh yang sangat populer, yaitu Tasrruf al-Imam `ala Ra`iyyah Manutun bi al-
Mashlaha (setiap tindakan pemerintah yang berkaitan dengan rakyat senantiasa terkait
dengan kemaslahatan mereka). Ia menekankan pentingnya sifat amanah dalam
mengelola uang negara, uang negara bukan milik khalifah, tetapi amanat Allah dan
rakyatnya yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab. Dengan melihat dari
bagaimana kebijakan Abu Yusuf dalam hal ekonomi, menunjukkan bahwa
5
perkembangan pemikiran ekonomi dalam islam telah memberikan suatu pencerahan
dan kontribusi positif. Melihat dari bagaimana pendapat Abu Yusuf tentang fluktuasi
harga memberikan kesimpulan bahwa system ekonomi yang ada belum tentu bisa
diterima, tergantung pada keadaan dan situasi yang terjadi pada suatu tempat.
Latar belakang pemikirannya tentang ekonomi, setidaknya dipengaruhi
beberapa faktor, baik intern maupun ekstern. Faktor intern muncul dari latar
belakang pendidikannya yang dipengaruhi dari beberapa gurunya. Hal ini nampak
dari, setting social dalam penetapan kebijakan yang dikeluarkannya, tidak
keluar dari konteksnya. Ia berupaya melepaskan belenggu pemikiran yang telah
digariskan para pendahulu, dengan cara mengedepankan rasionalitas dengan tidak
bertaqlid. Faktor ekstern, adanya system pemerintahan yang absolute dan terjadinya
pemberontakan masyarakat terhadap kebijakan khalifah yang sering menindas rakyat.
Ia tumbuh dalam keadaan politik dan ekonomi kenegaraan yang tidak stabil, karena
antara penguasa dan tokoh agama sulit untuk dipertemukan. Dengan keadaan sosial
seperti itulah Abu Yusuf tampil dengan pemikiran ekonomi al-Kharaj.
Dengan pemikiran ekonomi Abu Yusuf ini hendaklah dapat mendorong kita
untuk menjadi umat yang menghubungkan antara agama dan ekonomi, karena hal
yang berhubungan dengan kegiatan manusia tersebut telah di jelaskan hukumnya
didalam Al-Qur`an dan Hadis. Kesejahteraan/ mashlahah itu terbagi dalam dua
komponen yaitu manfaat dan berkah. Yang mana berkah tersebut dapat diperoleh
dengan menerapkan prinsip dan nilai Islam dalam kegiataan ekonominya.
IV. Tentang kitab Al Kharaj
Salah satu karya Abu Yusuf yang sangat terkenal adalah Kitab al-Kharaj
(buku tentang perpajakan). Kitab yang ditulis oleh Abu Yusuf ini bukanlah kitab
pertama yang membahas masalah al-Kharaj atau perpajakan. Para sejarahwan muslim
sepakat bahwa orang pertama yang menulis kitab dengan mengangkat tema al-Kharaj
adalah Mu’awiyah bin Ubaidillah bin Yasar yang wafat pada 170 H, seorang Yahudi
yang memeluk agama Islam dan menjadi sekertaris khalifah Abu Abdillah Muhammad
al-Mahdi (158-169 H/ 755-785 M). Namun sayangnya, karya pertama di bidang
perpajakan dalam islam tersebut hilang ditelan zaman. Abu Yusuf adalah orang
pertama yang memperkenalkan konsep perpajakan di dalam karyanya al-Kharāj.
Kitab ini ditulis atas permintaan Khalifah Harun Alr- Rashid, ketika beliau ingin
mengatur sistem baitulmal, sumber pendapatan negara seperti al-kharāj, al-’ushr dan
6
al-jizyah. Demikian pula cara pendistribusian harta-harta tersebut dan cara
menghindari manipulasi, kezaliman. Bahkan juga bagaimana mewujudkan harta-harta
tersebut, untuk kepentingan penguasa. Abu Yusuf menuliskan bahwa Amir al-
Mu’minin telah memintanya untuk mempersiapkan sebuah buku yang komprehensif
yang dapat digunakan sebagai petunjuk pengumpulan pajak yang sah, untuk
menghindari penindasan terhadap rakyat. Pemikirannya tentang hukum yang
berhubungan dengan distribusi, rampasan perang, kepemilikan tanah, pajak tanah,
pajak-pajak hasil pertanian, kemudian diperluas dengan diskusi tentang pajak-pajak
dengan istilah kharāj yang kemudian menghasilkan beberapa istilah seperti ’ushr,
zakat atau sadaqah yang dilengkapi dengan cara-cara bagaimana mengumpulkan serta
mendistribusikan setiap jenis harta tersebut sesuai dengan syari’ah Islam berdasarkan
dalil-dalil naqliyah (al-Qur’an dan Hadist) dan aqliyah (Rasional).
Al Kharaj adalah merupakan kitab pertama yang menghimpun semua
pemasukan dan pengeluaran Negara berdasarkan dalil Al Qur`an dan sunnah Rasul
SAW. Kitab ini dapat digolongkan sebagai Public Finance dalam pengertian ekonomi
modern. Kitab ini berupaya membangun sebuah sistem keuangan publik yang mudah
dilaksanakan yang sesuai dengan hukum islam yang sesuai dengan persyaratan-
persyaratan ekonomi. Dengan pengamatan dan analisisnya yang tinggi, Abu Yusuf
dalam kitab ini sering menggunakan ayat-ayat Al Qur’an dan Sunnah Nabi saw serta
praktek dari para penguasa saleh terdahulu sebagai acuannya sehingga membuat
gagasan-gagasannya relevan dan mantap.
Kitab karya Abu Yusuf diberi nama al-Kharāj, didasarkan kepada pemilihan
persoalan mayoritas yang dibahas dalam kitab tersebut yaitu pajak, jizyah, serta
terinspirasi dari penjelasan tentang beberapa persoalan yang menjelaskan tentang
administrasi pemerintahan. Selain itu kharāj diartikan sebagai harta yang dikeluarkan
oleh pemilik tanah untuk diberikan kepada negara ada bagian lain kharāj diartikan
dengan apa yang dibayarkan untuk pajak tanah pertanian atau pajak hasil bumi
Mengupas tentang kebijakan fiskal, pendapatan negara dan pengeluaran. Namun, ada
juga beberapa refleksi dalam bukunya tentang pasar dan penetapan harga, seperti
bagaimana harga itu ditentukan dan dampak berbagai pajak. Disamping itu, buku
tersebut mengkaji status non-muslim di negara Islam, tempat ibadah mereka dan
hukum kriminal.
Suatu studi yang komparatif mengenai buku itu menunjukkan bahwa berabad-
abad sebelum adanya suatu kajian yang sistematis mengenai keuangan publik di barat,
7
Abu Yusuf telah berbicara tentang kemampuan dan kemudahan para pembayar pajak
dalam pemungutan pajak. Ia menolak dengan tegas penanaman pajak dan
menekankan pentingnya pengawasan yang ketat terhadap para pemungut pajak untuk
menghindari korup dan penindasan. Ia dengan tulus menganggap penghapusan
penindasan dan jaminan kesejahteraan rakyat sebagai tugas utama penguasa. Ia juga
menekankan pembangunan infrastruktur dan menyarankan berbagai proyek
kesejahteraan. Kitab Al Kharaj mencakup berbagai bidang, antara lain:
1. Tentang Pemerintahan, Ia mengemukakan bahwa seorang penguasa bukanlah
seorang raja yang dapat berbuat secara diktator. Ia adalah seorang khalifah yang
mewakili Tuhan di bumi ini untuk melaksanakan perintah-Nya. Oleh karena itu
penguasa harus bertindak atas nama Allah S.W.T. Dalam hubungan hak dan
tanggung jawab pemerintah terhadap rakyat, ia menyusun sebuah kaidah fikih
yang sangat populer yaitu Tasharaf al-imam manuthum bi al Maslahah. (setiap
tindakan pemerintah yang berkaitan dengan rakyat senantiasa terkait dengan
kemaslahatan).
2. Tentang Keuangan, Ia menyatakan bahwa uang negara bukan milik khalifah dan
sultan, tetapi amanat Allah S.W.T. dan rakyatnya yang harus dijaga dengan penuh
tanggung jawab. Hubungan penguasa dengan kas negara sama seperti hubungan
seorang wali dengan harta anak yatim yang diasuhnya
3. Tentang Pertanahan Ia meminta kepada pemerintah agar hak milik tanah rakyat
dihormati, tidak boleh diambil dari seseorang lalu diberikan kepada orang lain.
Tanah yang diperoleh dari pemberian dapat ditarik kembali jika tidak garap
selama tiga tahun dan diberikan kepada yang lain.
4. Tentang Perpajakan Ia berpendapat bahwa pajak hanya ditetapkan pada harta
yang melebihi kebutuhan rakyat yang ditetapkan berdasarkan kerelaan mereka.
5. Tentang Peradilan Ia mengatakan bahwa jiwa dari suatu peradilan adalah
keadilan yang murni. Penghukuman terhadap orang yang tidak bersalah dan
pemberian maaf terhadap orang yang bersalah adalah suatu penghinaan, terhadap
lembaga peradilan. Menetapkan hukum tidak dibenarkan berdasarkan hal yang
syubhat. Kesalahan dalam mengampuni lebih baik daripada kesalahan dalam
menghukum. Orang yang ingin menggunakan kekuasaan untuk mencampuri
persoalan keadilan harus ditolak dan kedudukan seseorang atau jabatannya tidak
boleh menjadi bahan pertimbangan dalam persoalan keadilan.
8
V. Hasil Pemikiran Ekonomi Abu Yusuf
Dengan latar belakang sebagai seorang fuqaha beraliran ahl ar-ra’yu. Abu
Yusuf cenderung memaparkan berbagai pemikiran ekonominya dengan menggunakan
perangkat analisis qiyas yang didahului dengan melakukan kajian yang mendalam
terhadap Alquran, hadits nabi, atsar shahabi, serta praktik para penguasa yang shaleh.
Landasan pemikirannya, seperti yang telah disinggung adalah mewujudkan al-
mashlahah al-‘ammah (kemaslahatan umum).
Abu Yusuf mengungkapkan teori yang justru berlawanan dengan teori dan
asumsi yang berlaku di masanya. Pemikiran kontroversialnya ada pada sikapnya yang
menentang pengendalian dan penetapan harga (tas’īr) oleh pemerintah. Pada zaman
Abu Yusuf, asumsi yang berkembang adalah “apabila tersedia sedikit barang maka
harga akan mahal dan jika tersedia banyak maka harga akan murah”. Tetapi beliau
menolak asumsi masyarakat tersebut. Menurutnya tidak selamanya persediaan barang
sedikit (supply) menyebabkan harga (price) mahal, demikian pula persediaan barang
banyak mengakibatkan harga akan murah. Karena pada kenyataannya harga tidak
tergantung pada penawaran (supply) saja, tetapi juga bergantung pada kekuatan
permintaan (demand). Oleh karena itu peningkatan atau penurunan harga tidak selalu
berhubungan dengan peningkatan atau penurunan penawaran akan barang.
Menurut Abu Yusuf, ada variabel lain yang ikut mempengaruhi harga, tetapi
tidak dijelaskan secara rinci. Bisa saja variabel tersebut adalah pergeseran dalam
permintaan atau jumlah uang yang beredar di suatu negara atau terjadinya
penimbunan dan penahanan barang. Bagi Abu Yusuf, tinggi rendahnya harga adalah
bagian dari ketentuan Allah. Manusia tidak dapat melakukan intervensi atas urusan
dan ketetapan-Nya. Dapat dipastikan, bahwa konsep "ekonomi makro" tidak
ditemukan dalam al-Kharāj karya Abu Yusuf dan juga belum dikenal di dunia Barat
sampai beberapa abad pasca Abu Yusuf.
Adapun mengenai persoalan fakir miskin (fuqara') dan konsep kelas sosial,
tidak dibahas oleh Abu Yusuf. Deskripsi masyarakat yang dibuat Abu Yusuf,
mencerminkan bahwa hubungan produksi dari satu sisi merupakan hubungan antara
umat Islam dengan kaum dhimmi dalam Dar al-Islam atau hubungan umat Islam
dengan komunitas nonmuslim dalam Dar al-Harb. Dalam hubungan model pertama
pendapatan bersumber dari al-kharaj dan al-jizyah. Sedangkan hubungan model
kedua, pendapatan bersumber dari al-ghanimah yang sebagiannya didistribusikan
untuk baitulmal. Selain itu, pemerintah juga menarik bea cukai dari pedagang kafir
9
harbi atas barang dagangan mereka yang masukke negara Islam. Adapun umat Islam
diwajibkan untuk mengeluarkan zakat sebagai bentuk solidaritas sosial mereka
sesama muslim yang membutuhkan.
A. Negara dan Aktivitas Ekonomi
Berikut ini adalah beberapa pemikiran Abu Yusuf tentang aktivitas
ekonomi negara yang dapat mensejahterakan rakyatnya, yaitu:
1. Untuk pengadaan fasilitas infrastruktur, negara bertanggung jawab untuk
memenuhinya agar dapat meningkatkan produktivitas tanah, kemakmuran
rakyat serta pertumbuhan ekonomi. Semua biaya yang dibutuhkan bagi
pengadaan proyek publik, seperti pembangunan tembok dan bendungan, harus
ditanggung oleh negara. Namun jika proyek tersebut hanya menguntungkan
suatu kelompok tertentu, biaya proyek akan dibebankan kepada mereka
sepantasnya, pernyataan ini tampak terlihat ketika ia mengomentari proyek
pembersihan kanal-kanal pribadi.
2. Untuk mengimplementasikan berbagai kebijakan ekonomi yang dapat
mensejahterakan rakyat, negara membutuhkan administrasi yang efisien dan
jujur serta disiplin moral yang tegas dan rasa tanggung jawab dalam menunjuk
para pejabatnya. Abu Yusuf menyarankan agar negara menunjuk pejabat yang
jujur dan amanah dalam berbagai tugas. Ia mengecam keras perlakuan kasar
terhadap para pembayar pajak oleh petugas pajak dan menganggapnya sebagai
tindakan kriminal. Ia juga berpendapat bahwa perlakuan yang adil dan jujur
terhadap para pembayar pajak tanpa penindasan memiliki dampak yang
bermanfaat bagi pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan pendapatan pajak.
3. Negara harus memberikan upah dan jaminan di masa pensiun kepada mereka
dan keluarganya yang berjasa dalam menjaga wilayah kedaulatan Islam atau
mendatangkan sesuatu yang baik dan bermanfaat bagi kaum Muslimin.
4. Abu Yusuf memberikan saran tentang berbagai kebijakan yang harus
digunakan oleh negara untuk meningkatkan hasil tanah dan pertumbuhan
ekonomi. Menurutnya, pemerintah berkewajiban untuk membersihkan kanal-
kanal dan membangun lagi yang baru. Pemerintah juga harus membangun
bendungan untuk meningkatkan produktivitas tanah dan pendapatan negara.
5. Semua jenis tanah mati dan tak bertuan harus diberikan kepada seseorang
yang dapat mengembangkan dan menanaminya serta membayar pajak yang
10
diterapkan pada tanah tersebut. Tindakan seperti ini akan membuat negara
berkembang dan pajak pendapatan akan meningkat.
6. Untuk meningkatkan kesejahteraan umum dan menjamin pemanfaatan
sumber-sumber sepenuhnya, sumber daya seperti air, rumput, dan sebagainya
tidak boleh dibatasi pada individu tertentu, tetapi harus disediakan secara
gratis bagi semua.
7. Dalam hal pendistribusian pendapatan negara, hendaknya hal tersebut
ditujukan demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Karena alquran sendiri
telah memerintahkan agar pendistribuasian harta dilakukan secara adil dan
tidak menumpuk di tangan segelintir orang.
8. Menurut Abu Yusuf pembangunan sistem ekonomi dan politik, mutlak
dilaksanakan secara transparan, karena asas transparan dalam ekonomi
merupakan bagian yang paling penting guna mencapai perwujudan ekonomi
yang adil dan manusiawi.
B. Keuangan Publik
1) Ghanimah, adalah segala sesuatu yang dikuasai oleh kaum muslim dari harta
orang kafir melalui peperangan. Dikatakan Abu Yusuf bahwa ghaminah
merupakan sumber pemasukan Negara. Pos ini dapat digolongkan sebagai
pemasukan yang tidak tetap bagi Negara.
2) Shadaqah, sebagai salah satu instrumen keuangan Negara, zakat tetap
menjadi salah satu sumber keuangan Negara pada saat itu.
3) Pajak (Kharaj)
Di bawah ini dijelaskan perpajakan tanah menurut Abu Yusuf yang
didalamnya meliputi status dan jenis pajak yang akan dikenakan:
1) Wilayah lain (di luar Arabia) dibawah kekuasaan Islam, dibagi 3 bagian.
a. Wilayah yang diperoleh melalui peperangan.
b. Wilayah yang diperoleh melalui perjanjian damai.
c. Wilayah yang dimiliki oleh muslim di luar Arabia (usyr)
2) Wilayah yang berada dibawah perjanjian damai, dibagi 2 bagian.
a. Penduduknya yang kemudian masuk Islam (Usyr)
b. Mereka yang tidak memeluk Islam (Kharaj)
3) Tanah taklukkan, dibagi 4:
a. Ketika penduduknya masuk Islam sebelum kekalahan. (Usyur)
11
b. Apabila tanah taklukkan tidak dibagikan dan tetap dimiliki (Kharaj)
c. Jika khalifah membagikan tanah tsb untuk pejuang (Usyur)
d. Jika ditahan oleh negara (Usyur dan Kharaj)
4) Zakat
Di antara objek pajak yang menjadi perhatiannya adalah: pertama,
zakat pertanian. Jumlah pembayaran zakat pertanian adalah sebesar usyr yaitu
10% dan 5%, tergantung dari jenis tanah dan irigasi. Yang termasuk kategori
tanah ‘usryiyah menurut Abu Yusuf adalah:
1. Lahan yang termasuk jazirah arab, meliputi hijaz, makkah, madinah dan
yaman.
2. Tanah tandus / mati yag dihidupkan kembali oleh orang islam.
3. Setiap tanah taklukan yang dibagikan kepada tentara yang ikut berperang,
seperti kasus tanah khaibar
4. Tanah yang diberikan kepada orang islam, seperti tanah yang dibagikan
melalui institusi iqta kepada orang-orang yang berjasa bagi Negara.
5. Tanah yang dimiliki oleh orang islam dari Negara, seperti tanah
sebelumnya dimiliki oleh raja-raja Persia dan keluarganya, atau tanah yang
ditinggalkan oleh musuh yang terbunuh atau melahirkan diri dari
peperagan.
Kedua, objek zakat yang menjadi perhatiannya adalah zakat dari hasil
mineral atau barang tambang lainnya. Abu yusuf dan ulama hanafiyah
berpendapat bahwa standar zakat untuk barang-barang tersebut, tarifnya
seperti ganimah 1/5 atau 20% dari total produksi.
5) Faiy'
Faiy’ adalah segala sesuatu yag dikuasai kaum muslimin dari harta
orang kafir tanpa peperangan, temasuk harta yang mengikutinya, yaitu kharaj
tanah tersebut, jizyah perorangan dan usyr dari perdagangan. Semua harta
faiy’ dan harta- harta yang mengikutinya berupa kharaj, jizyah dan usyr
merupaka harta yang boleh dimanfaatkan oleh kaum muslimin dan disimpan
dalam Bait Al-Mal, semuanya termasuk kategori pajak dan merupakan sumber
pendapatan tetap bagi Negara, harta tersebut dapat dibelanjakan untuk
memelihara dan mewujudkan kemaslahatan Umat.
12
6) Usyr (Bea Cukai)
Usyr merupakan hak kaum muslim yang diambil dari harta
perdagangan ahl jimmah dan penduduk kaum harbi yang melewati perbatasan
Negara islam. Usyr dibayar dengan cash atau barang. Abu yusuf, melaporkan
bahwa abu musa al- as’ari, salah seorang gurbernur, pernah menulis kepada
khalifah umar bahwa para pedagang muslim dikenakan bea dengan tarif
sepersepuluh di tanah – tanah harbi.
Tarif usyr ditetapkan sesuai dengan status pedagang. Jika ia muslim
maka ia akan dikenakan zakat pedagang sebesar 2,5% dari total barang yang
dibawanya. Sedangkan ahl jimah dikenakan tariff 5%, kafir harbi, dikenakan
tarif 10%. Selain itu, kafir harbi dikenakan bea sebanyak kedatangan mereka
ke Negara islam dengan barang yang sama tetapi, bagi pedagang muslim dan
pedagang ahl jimmah bea hanya dikenakan sekali dalam setahun Dalam
pengumpulan bea, abu yusuf mensyaratkan dua hal yang harus
dipertimbangkan. Pertama, barang-barang tersebut haruslah barang-barang
yang dimaksudkan untuk diperdagangkan.Kedua, nilai barang yang dibawa
tidak kurang dari 200 dirham.
VI. Metode Pemberian Tanah Kepada Warga Negaranya
Kepemilikan Negara
Kebijakan fiskal Islam tentang tanah-tanah yang sangat luas yang ada di
jazirah arab yang tidak dimiliki oleh siapapun atau tidak bertuan akan segera diambil
oleh negara. Negara sebagai pemilik tanah-tanah kosong memiliki otoritas untuk
memberikannya kepada seseorang dengan tujuan agar tanah tersebut dapat digarap
dan memberikan pendapatan bagi negara melalui pajak tanah. Ada dua metode yang
dilakukan negara dalam pemberian tanah kepada warga negaranya, yaitu melalui
pemberian secara resmi melalui institusi iqta dan melalui perolehan hak karena
menghidupkan tanah yang mati.
1. Institusi Iqta
Iqta merupakan prosedur dari pemberian tanah kosong yang dilakukan
oleh negara. Dalam sistem fiskal Islam, istilah itu mengarah pada
penganugerahkan tanah kosong sebagai sebuah hadiah dari negara untuk
seseorang yang dapat mengembangkan dan mengolah tanah. Abu Yusuf
13
merekomendasikan bahwa para penguasa boleh memberikan tanah-tanah yang
tidak dimiliki siapapun sebagai iqta.
2. Menghidupkan Tanah yang Mati
Pada prinsipnya tanah yang mati itu milik negara. Namun, bagi warga
kepemilikannya berhubungan dengan usahanya mengelola lahan yang mati
tersebut. Sudah menjadi aturan umum, bahwa siapapun yang menghidupkan
lahan tersebut akan menjadi pemiliknya. Abu Yusuf mengatakan usaha itu
termasuk membajak, menabur dan mengairi tanah. Dalam pandangannya tentang
masalah tanah dan pertanian, Abu Yusuf mengemukakan dalam Kitab al-Kharaj:
Menggarap tanah tak produktif sangat dihargai oleh Rasulullah SAW dan menyia-
nyiakannya sangat tidak disukai. Itu mengikuti hadist Rasulullah SAW: “Pemilik
asli tanah itu adalah Allah SWT dan Rasulullah SAW dan kalian sesudah itu.
Barangsiapa yang menghidupkan tanah yang mati (tak digarap) merupakan
perbuatan yang amat mulia. Untuk mendapatkan hasil produksi yang lebih besar
dengan cara penyediaan fasilitas dalam perluasan lahan pertanian, Abu Yusuf
lebih cenderung menyetujui negara mengambil bagian dari hasil produksi
pertanian para penggarap daripada penarikan sewa dari lahan pertanian.
VII. Administrasi Kharaj
Terhadap administrasi keuangan Abu Yusuf mempunyai pandangan
berdasarkan pengalaman praktis tentang administrasi pajak dan dampaknya terhadap
ekonomi. Penekanannya pada sifat administrasi pajak berpusat pada penilainnya yang
kritis terhadap lembaga Qabalah, yaitu sistem pengumpulan pajak pertanian dengan
cara ada pihak yang menjadi penjamin serta membayar secara lumpsum kepada
negara dan sebagai imbalannya penjamin tersebut memperoleh hak untuk
mengumpulkan kharaj dari para petani yang menyewa tanah tersebut, tentu dengan
pembayaran sewa yang lebih tinggi daripada sewa yang diberikan kepada negara. Abu
Yusuf meminta agar pemerintah segera menghentikan praktik sistem Qabalah tersebut
karena pengumpulan pajak yang dilakukan secara langsung, tanpa keberadaan pihak
penjamin akan mendatangkan pemasukan yang lebih besar. Menurutnya, agar dapat
memperoleh keuntungan dari kontrak Qabalah, biasanya pihak penjamin mengenakan
pajak yang melebihi kemampuan para petani.
Penolakan Abu Yusuf tersebut disebabkan sistem Qabalah bertentangan
dengan prinsip-prinsip keadilan dan mengabaikan kemampuan membayar. Dalam
14
mengejar keuntungan, penjamin biasanya memberikan beban tambahan terhadap para
petani dengan menerapkan beban ilegal yang melampaui kemampuan mereka.
VIII. Kebijakan Strategis Abu Yusuf
Di bawah kekuasaan Harun al-rasyid, isu al-Kharaj menjadi topik yang
sangat aktual dibicarakan para intelektual bagdad. Kecemelangan pikirnya, yang
mampu memadukan agama, tradisi dan budaya dalam menyikapi permasalahan yang
terjadi, menjadikan beliau menjdi lambang hati nurani bangsa dan pengikutnya. Abu
Yusuf membenahi mekanisme ekonomi dengan jalan membuka jurang pemisah
antara kaya dan miskin. Ia memandang bahwa masyarakat memiliki hak dalam
campur tangan ekonomi, begitu juga sebaliknya pemerintah tidak memiliki hak bila
ekonomi tidak adil. Oleh karenanya ada dua hal pokok penting yang dilakukan Abu
Yusuf. Pertama, menentukan tingkat penetapan pajak yang sesuai dan seimbang,
dalam upaya menghindari Negara dari resesi ekonomi. Kedua, pengaturan
pengeluaran pemerintah sesuai dengan kebijakan umum. Menurutnya dari beberapa
yang perlu dibenahi, diantaranya Income, Expenditure, dan mekanisme pasar.
Untuk mewujudkannya beliau mengambil langkah sebagai berikut :
1. Menggantikan sistem wazifah dengan sistem muqasamah
Wazifah adalah sistem pemungutan pajak yang ditentukan berdasarkan
pada nilai tetap, tanpa membedakan ukuran kemampuan wajib pajak atau
mungkin dapat dibahasakan dengan pajak-pajak yang dipungut dengan ketentuan
jumlah yang sama secara keseluruhan. Sedangkan muqasamah adalah system
pemungutan pajak yang diberlakukan berdasarkan nilai yang tidak tetap (berubah)
dengan mempertimbangkan tingkat kemampuan dan persentase penghasilan atau
pajak proporsional. Penggantian sistem ini diakukan dalam rangka mencapai
ekonomi yang adil. Orang-orang yang dikumpulkan untuk bermusyawarah
mengungkapkan, bahwa belakangan ini tanah-tanah subur lebih banyak
dibandingkan dengan tanah-tanah yang tidak subur, dan mereka juga
mengungkapkan banyaknya tanah sisa yang tidak dikerjakan (nonproduktif) dan
sedikitnya tanah garapan yang digunakan sebagai subyek kharaj. Menurut
pandangan mereka , jika tanah yang tidak digarap yang kami miliki akan
dikenakan kharaj seperti halnya tanah garapan yang subur, maka kami tidak akan
bisa mengerjakan tanah atau lahan-lahan yang ada sekarang, lantaran
ketidakmampuan kami untuk membayar kharaj terhadap tanah yang non-produktif
15
tersebut, dan jika tanah tersebut tidak dikelola dalam waktu seratus tahun, maka ia
tetap akan menjadi subyek kharaj atau tetap tidak akan pernah digarap selamanya,
dan jika memang demikian halnya maka bagi orang-orang yang menggarap tanah
ini untuk keperluan sehari-hari tidak bisa dikenai kharaj. Konsekuensinya, saya
menyadari bahwa biaya yang tetap dalam bentuk barang (tha’am) atau uang
(dirham) tidak diberlakukan kepada orang-orang disamping keadaan mereka yang
tidak memungkinkan, juga tidak mempunyai keuntungan yang dapat
disumbangkan kepada pemerintah, terutama dalam membayar pajak. Dalam
metode penilaian pajak tanah muqasamah, para petani dikenakan pajak dengan
menggunakan rasio tertentu dari total produksi dari yang mereka hasilkan. Rasio
ini bervariasi sesuai dengan jenis tanaman, sistem irigasi dan jenis tanah
pertanian. Abu Yusuf merekomendasikan tarif yang berbeda dengan
mempertimbangkan irigasi yang digunakan. Tarif yang ditetapkan olehnya adalah:
1. 40 % dari produksi yang diirigasi oleh hujan alami
2. 30 % dari produksi yang diirigasi oleh hujan buatan
3. ¼ dari produksi panen musim panen
2. Membangun fleksibilitas sosial
Problematika muslim dan non-muslim juga tidak lepas dari pembahasan
Abu Yusuf, yaitu tentang kewajiban warga negara non-Muslim untuk membayar
pajak. Abu Yusuf memandang bahwa warga Negara sama dihadapan hukum,
sekalipun beragama non-Islam. Dalam hal ini Abu Yusuf membagi tiga golongan
orang yang tidak memiliki kapasitas hukum secara penuh, yaitu Harbi,
Musta’min, dan Dzimmi. Kelompok Musta’min dan Dzimmi adalah kelompok
asing yang berada di wilayah kekuasaan Islam dan membutuhkan perlindungan
keamanan dari pemerintah Islam, serta tunduk dengan segala aturan hukum yang
berlaku. Perhatian ini diberikan Abu Yusuf dalam rangka memberi pemahaman
keseimbangan dan persamaan hak dan juga mekanisme penetapam pajak jiz’ah.
Pembayaran jiz’ah oleh non-muslim, bukanlah sebagai hukuman atas
ketidakpercayaan mereka terhadap Islam, sebab hal ini bertentangan dengan al-
Qur’an (2): 256 ; tidak ada paksaan dalam agama. Jiz’ah tidak diberlakukan bagi
perempuan, anak-anak, orang miskin dan kalangan tidak mampu. Bagi yang tidak
mampu membayar, mereka juga wajib dilindungi dan disantuni.
16
Berkaitan dengan jiz’ah ini, Abu Yusuf secara khusus membahasnya yang
ditujukan kepada Harun al-Rasyid. Beliau mengatakan “siapa saja yang memaksa
warga yang bukan muslim, atau meminta pajak kepada mereka di luar
kemampuannya, maka aku termasuk golongannya. Jiz’ah, jika dihadapkan pada
konteks realitas sosial ekonomi masyarakat, maka pendapat Abu Yusuf di atas
kiranya lebih mengarah pada tingkat keseimbangan dan nilai-nilai keadilan yang
manusiawi. Hal ini dilakukan sebagai ukuran material dan kemampuan
masyarakat dalam menunaikan kewajibannya sebagai warga Negara. Pemahaman
fleksibilitas yang dibangun Abu yusuf juga terlihat dari sikapnya yang toleran
pada non-Muslim dalam memberi izin melakukan transaksi perdagangan di
wilayah kekuasaan Islam.
Hal lain, yang dilakukan Abu Yusuf adalah menolak pendapat yang
melarang pedagang Islam untuk berdagang di wilayah Dar al_harbi. Hal ini
dilakukan guna membuka peluang untuk kontribusi bagi pembangunan dan
penyebaran tekhik perdagangan ke seluruh dunia, seperti Cina, Afrika, Asia
Tengah, Asia Tenggara dan Turki. Dari sikap Abu Yusuf di atas, terlihat bahwa ia
memperhatikan hubungan baik antar Negara, pengembangan ekonomi
perdagangan, serta upaya mensikapi perekonomian masyarakat sebagai antisipasi
jika terjadi krisis kebutuhan pokok.
3. Membangun sistem politik dan ekonomi yang transparan
Transparansi yang dibangun Abu Yusuf terlihat ketika beliau
mendeskripsikan income negara yang meliputi ghanimah dan fai’ sebagai
pemasukan yang sifatnya incidental revenue, sedangkan kharāj, jizyah, ‘ushr dan
sadaqah/zakat sebagai pemasukan yang sifatnya permanent revenue. Abu Yusuf
memberi interpretasi yang jelas tentang aturan Alquran dalam surat al-Anfal ayat
41 yang artinya:
”....Ketika engkau mengambil setiap barang rampasan, seperlima darinya
adalah milik Allah dan Rasul, saudara-saudara dekatnya, anak yatim,
orangorang miskin dan musafir..”.
Interpretasi dari istilah seperlima dalam ayat ini di kalangan para ahli fikih
terjadi perbedaan pandangan. Dalam kitab al-Kharāj Abu Yusuf seperlima
tersebut menurut:
17
”Riwayat Qais bin Muslim yang diriwayatkan dari Hasan bin Muhammad
bin Hanafiyah, dibagi menjadi tiga bagian, yaitu untuk Nabi (Para Khalifah
penggantinya setelah beliau wafat), untuk keluarga terdekat dan untuk kelompok
anak yatim, fakir miskin dan musafir” (Yusuf, 1302: 21).
Dari sistem pembagian harta yang dilaksanakan oleh Abu Yusuf, akan
terlihat dari empat bagiannya didistribusikan untuk prajurit, sedangkan
seperlimanya disimpan pada bendahara umat atau baitulmal untuk kepentingan
umat. Hal ini sesuai dengan ajaran Alquran surat al-Anfal ayat 41 yang mengatur
tentang distribusi harta rampasan perang tersebut. Melihat beberapa pertimbangan
yang lebih mengacu kepada kebijakan Umar yang berlandaskan ayat di atas, Abu
Yusuf dalam kitab al-Kharāj memaparkan tentang distribusi harta ini dengan
menjelaskan perwujudan dari alokasi anggaran, maka interpretasi dari tindakan
tersebut, merupakan implementasi dari asas transparansi sistem dan politik
ekonomi yang melingkupi beberapa aspek, seperti transparansi terhadap tentara
sebagai keamanan negara, gaji pegawai, perbaikan masjid, lampu penerang, serta
beberapa kepentingan lain yang sifatnya maslahah ’ āmmah (Yusuf, 1302: 1920).
4. Menciptakan sistem ekonomi yang otonom
Upaya menciptakan sistem ekonomi yang otonom terlihat pada pandangan
Abu Yusuf dalam penolakannya atas intervensi pemerintah dalam pengendalian
dan penetapan harga. Dalam hal ini beliau berpendapat bahwa jumlah banyak dan
sedikitnya barang tidak dapat dijadikan tolok ukur utama bagi naik dan turunnya
harga, tetapi ada variabel lain yang lebih menentukan. Pendapat Abu Yusuf ini
berdasarkan hadis Rasulullah SAW:
”Diriwayatkan dari Abdu al-Rahman bin Abi Laila, dari Hikam
Bin’Utaibah yang menceritakan bahwa pada masa Rasulullah harga pernah
melambung tinggi, sehingga sebagian masyarakat mengadu kepada Rasulullah
dan meminta agar Rasulullah membuat ketentuan tentang penetapan harga ini.
Maka Rasulullah berkata, ‘Tinggi dan rendahnya harga barang merupakan
bagian dari keterkaitan dengan keberadaan Allah dan kita tidak dapat
mencampuri terlalu jauh bagian dari ketetapan tersebut.” (Yusuf, 1302: 87).
Teori harga Abu Yusuf tersebut memposisikan terbalik dari teori ekonomi
konvensional yang menyatakan bahwa, naik dan turunnya harga ditentukan oleh
permintaan dan penawaran komoditi (Teori Supply and Demand). Meskipun Abu
18
Yusuf tidak secara tegas menolak keterkaitan supply dan demand, namun secara
eksplisit memuat pemahaman bahwa tingkat naik dan turunnya produksi tidak
akan berpengaruh terhadap harga.
19
KESIMPULAN
Abu Yusuf adalah seorang ulama dan hakim yang hidup pada jaman
pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Lahir di Kufah pada tahun 113 H (731 M) dan
meninggal dunia di Baghdad pada tahun 182 H (798 M). Sekalipun Abu Yusuf
berasal dari keluarga yang tidak mampu, ia tetap bersemangat dalam mencari ilmu
kepada para ulama-ulama besar diantaranya Abu Hanifah. Sehingga pada akhirnya,
Abu Yusuf menjadi seorang ulama, hakim, dan ahli ekonomi yang terkenal pada
masanya.
Berdasar pada uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa model pemikiran
Abu Yusuf adalah berbentuk pemikiran ekonomi kenegaraan, mengupas tentang
kebijakan fiskal, yang berkenaan dengan pendapatan negara. Hal ini terlihat dari
muatan pemikirannya mengenai pendapatan negara, pengeluaran. Peranan teori
ekonomi yang dirumuskan oleh Abu Yusuf pada masa itu sangatlah besar kepada
pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Karena teori yang dirumuskannya mengacu pada
bagaimana pemerintah harus melakukan tindakan ekonomi yang baik serta dapat
mensejahterakan rakyatnya. Sehingga Khalifah Harun Al-Rasyid banyak menerapkan
teori Abu Yusuf untuk menjalankan perekonomian negara.
Namun demikian, kita mengakui bahwa pemikirannya dalam al-kharaj
tidaklah merupakan survei lengkap dalam kajian ekonomi, tetapi upayanya yang
mengedepankan Maslahah ‘Ammah sebagai visi utama pemikiran ekonominya
dalam upaya menciptakan keseimbangan ekonomi pada masa pemerintahan Harun al-
Rasyid. Hal ini merupakan bagian esensial dalam mengarahkan ekonomi yang lebih
etis, manusiawi dan berkeadilan. Pemikiran ekonomi Abu Yusuf dalam kitab al-
kharaj di atas jika ditarik dalam konteks kekinian dalam upaya pembenahan terhadap
krisis ekonomi Indonesia yang mengarah pada krisis fundamental ini, kiranya akan
memberi kontribusi yang positif dan berharga dalam upaya mempertautkan antara
agama dan ekonomi, disamping perlunya rekontruksi dan elaborasi dengan beberapa
pemikiran lain, terutama yang berkaitan dengan budaya, politik, dan etika modern.
Rekontruksi kearah itu kiranya perlu memperhatikan beberapa aspek yang erat
kaitannya dengan kebijakan etis. Penelaahan ekonomi dengan menggunakan
pendekatan agama mutlak diperlukan guna mewujudkan Indonesia yang sejahtera.
20
DAFTAR PUSTAKA
Adiwarman Azim Karim, 2010. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam .Jakarta: Rajawali Press
http://alkalinkworld.files.wordpress.com/2009/11/pemikiran-ekonomi-islam-abu-yusuf.pdf
http://din07130062.wordpress.com/2009/05/11/pemikiran-ekonomi-islam-klasik-abu-yusuf/
http://dunia-angie.blogspot.com/2013/10/sejarah-pemikiran-ekonomi-islam-periode.html
http://yufi season.blogspot.com/2013/12/sejarah-dan-peta-pikiran-ekonomiislam.html
https://www.facebook.com/ekis.stain.wtp/posts/606171256060615
Rahmani Timorita Yulianti. 2008. Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf. Jurnal Universitas
Islam Indonesia (UII) Yogyakartahal 1-26
Rahmani Timorita Yulianti. 2008. Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf. Jurnal Universitas
Islam Indonesia (UII) Yogyakartahal 1-26
21