sejarah pembentukan kampung -...

28
75 Bab 4 SEJARAH PEMBENTUKAN KAMPUNG al pertama yang perlu dilakukan untuk dapat meneliti modal spiritual di Mondo adalah mempelajari kelembagaan masyarakat Mondo. Gilin dan Gillin (dalam Soekanto 1982) mengatakan bahwa ciri-ciri sebuah kelembagaan masyarakat adalah adanya adat istiadat, tata kelakuan, kebiasaan, serta unsur-unsur budaya yang tergabung dalam satu unit fungsional. Selain itu, lembaga kemasyarakatan juga sarat dengan simbol dan lambang, serta tradisi yang menjadi dasar dari lembaga tersebut. Oleh sebab itu, dapat diprediksi bahwa modal spiritual sebuah komunitas tertanam di dalam kelembagaan komunitas tersebut karena modal spiritual berkaitan dengan nilai- nilai, sementara nilai-nilai tertanam di dalam kelembagaan masyarakat. Selain itu, prediksi ini muncul berdasarkan berbagai macam pengertian mengenai modal spiritual sebelumnya yang selalu dikaitkan dengan adat istiadat, penghayatan spiritual, tradisi, simbol, dan budaya (Doxuan 1995, Finke 2003, Malloch 2003, Verter 2003, Hardiyanto 2008). Modal spiritual yang terbentuk di Kampung Mondo pada saat ini merupakan buah dari sebuah proses evolusi yang dimulai sejak masa lampau. Tak dapat dipungkiri, sejarah memegang peranan penting dalam menentukan H

Upload: nguyenthu

Post on 04-Apr-2019

232 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: SEJARAH PEMBENTUKAN KAMPUNG - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/731/5/D_902008002_BAB IV.pdfSelain itu, lembaga kemasyarakatan juga sarat dengan simbol dan

75

Bab 4

SEJARAH PEMBENTUKAN KAMPUNG

al pertama yang perlu dilakukan untuk dapat meneliti modal spiritual di Mondo adalah mempelajari kelembagaan masyarakat

Mondo. Gilin dan Gillin (dalam Soekanto 1982) mengatakan bahwa ciri-ciri sebuah kelembagaan masyarakat adalah adanya adat istiadat, tata kelakuan, kebiasaan, serta unsur-unsur budaya yang tergabung dalam satu unit fungsional. Selain itu, lembaga kemasyarakatan juga sarat dengan simbol dan lambang, serta tradisi yang menjadi dasar dari lembaga tersebut. Oleh sebab itu, dapat diprediksi bahwa modal spiritual sebuah komunitas tertanam di dalam kelembagaan komunitas tersebut karena modal spiritual berkaitan dengan nilai-nilai, sementara nilai-nilai tertanam di dalam kelembagaan masyarakat. Selain itu, prediksi ini muncul berdasarkan berbagai macam pengertian mengenai modal spiritual sebelumnya yang selalu dikaitkan dengan adat istiadat, penghayatan spiritual, tradisi, simbol, dan budaya (Doxuan 1995, Finke 2003, Malloch 2003, Verter 2003, Hardiyanto 2008).

Modal spiritual yang terbentuk di Kampung Mondo pada saat ini merupakan buah dari sebuah proses evolusi yang dimulai sejak masa lampau. Tak dapat dipungkiri, sejarah memegang peranan penting dalam menentukan

H

Page 2: SEJARAH PEMBENTUKAN KAMPUNG - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/731/5/D_902008002_BAB IV.pdfSelain itu, lembaga kemasyarakatan juga sarat dengan simbol dan

76

bentuk kelembagaan yang terjadi pada masa sekarang ini. Johnson (2004) serta Betancur and Gills (2004) mengatakan bahwa pengetahuan akan sejarah dan rekaman jejak politik akan membantu untuk lebih memahami dinamika pembangunan komunitas masyarakat, bentuk kepemimpinan, dan kapasitas organisasi. Semua ini dibutuhkan untuk menggali lebih dalam modal spiritual yang berada di balik dinamika pembangunan, pengorganisasian masyarakat, dan bentuk kepemimpinan di Mondo.

Literatur mengenai sejarah lahirnya Kampung Mondo memang belum ada, sehingga sejarah ini diperoleh dari hasil penuturan lisan masyarakat Mondo. Pada kenyataannya, cerita ini tidak sekedar membeberkan sejarah namun juga konstruksi sosial (Dewi 2000) yang terjadi di Mondo karena bagaimanapun, kehidupan spiritual, aspek kebudayaan, dan masalah sosial kemasyarakatan merupakan hal yang saling terkait satu sama lain (Jagersma 2001:2). Lebih dari semuanya, cerita sejarah ini menolong untuk dapat memahami perjalanan spiritual masyarakat Mondo sehingga dalam analisa kelak dapat ditelaah bagaimana peranan spiritualitas tersebut dalam pembangunan dan kehidupan sosial politik masyarakat Mondo.

Masyarakat Kampung Mondo hidup dalam suasana persaudaraan antara satu dengan lain seakan ada tali kekerabatan yang mengikat mereka semua. Kekerabatan yang terjalin erat di Kampung Mondo tidak terjadi begitu saja, tetapi melalui perjalanan sejarah yang panjang, bahkan sejak sebelum lahirnya Kampung Mondo. Keberadaan nenek moyang mereka dan segala sepak terjangnya telah merintis lahirnya Kampung Mondo, perlahan namun pasti membentuk pula kekerabatan warga Mondo yang bisa dilihat pada saat ini. Kekerabatan ini terbentuk seiring perjalanan spiritual yang panjang, mulai dari warga Mondo yang pertama, hingga masuknya para pendatang ke Kampung Mondo.

Sebagai catatan, uraian silsilah pendiri Kampung Mondo hanya ditunjukkan dari garis keturunan pria saja sesuai dengan klan patrilineal yang mereka hayati. Keturunan dari anak perempuan dengan sendirinya akan menjadi anggota klan suaminya dan bukan anggota klan pendiri Kampung Mondo lagi. Dalam kebiasaan Manggarai, seorang perempuan akan menjadi anggota klan suaminya setelah ia menikah.

Page 3: SEJARAH PEMBENTUKAN KAMPUNG - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/731/5/D_902008002_BAB IV.pdfSelain itu, lembaga kemasyarakatan juga sarat dengan simbol dan

77

BRAMBANG RIWU

Untuk dapat mengenal masyarakat Mondo, diperlukan suatu usaha untuk kembali ke masa lampau, tepatnya sekitar tahun 1850. Ketika itu pemerintahan Kolonial Belanda mulai berusaha untuk bercokol di Flores (Toda 1999:181). Sebelumnya, wilayah Manggarai berada di bawah kekuasaan Kerajaan Bima dari Sumbawa (Toda 1999:83, Lawang 2004:138). Oleh Kerajaan Bima, tanah Manggarai dibagi dalam beberapa wilayah administrasi yang disebut Dalu, masing-masing dipimpin oleh Tu’a Dalu.38 Ketika Belanda mengambil alih kekuasaan Bima, kebijakan pembagian wilayah administrasi ini tetap diteruskan (Mennes 1929, Lawang 2004:139). Di bagian timur Manggarai, terdapatlah sebuah kedaluan yang disebut Dalu Riwu. Dari sanalah sejarah Kampung Mondo ini berasal.39

Kehidupan yang tentram dan damai rupanya tidak dapat dialami begitu saja oleh penduduk Riwu. Penuturan sejarah menyebutkan terjadinya beberapa kali pertempuran antara Dalu Riwu dan Dalu Manus40 karena mencuatnya perselisihan mengenai batas antara kedua dalu. Riwu berpendapat perbatasan antara keduanya adalah Waémokel, suatu daerah yang subur di antara kedua kedaluan. Namun, Manus tidak setuju. Selain itu, ada dua buah lingko41 besar yang juga mereka perebutkan. Akhirnya, pertempuran dimenangkan oleh Dalu Manus, sehingga perbatasan kawasan bergeser, menurut versi Riwu. Daerah yang sekarang dikenal dengan nama Mukun, kini masuk wilayah Dalu Manus sejak berakhirnya pertempuran tersebut. Walaupun menurut cerita, pertempuran tersebut cukup dahsyat, kini sudah tidak ada bekas-bekasnya lagi. Tidak ada dendam dan perselisihan antara orang Riwu dan orang Manus, semuanya sudah lenyap seiring berjalannya waktu.42

Di Manggarai terdapat kekhasan dalam hal penggolongan kaum Brambang. Tidak seperti kerajaan-kerajaan di Jawa yang menghimpun anggota masyarakatnya yang kompeten untuk menjadi prajurit, di setiap kedaluan Manggarai biasanya ada sebuah klan yang digolongkan sebagai Brambang, atau kaum prajurit dalam bahasa umumnya. Seluruh anggota keluarga besar 38 Pembagian wilayah administrasi kedaluan ini ada hubungannya juga dengan klan atau etnis karena kebiasaan orang Manggarai yang hidup berkelompok dalam klannya masing-masing dalam suatu wilayah geografis tertentu. 39 Berdasarkan keterangan Stefanus Syukur dalam wawancara akhir Desember 2009 40 Dalu Manus terletak bertetanggaan di sebelah timur Dalu Riwu. 41 Kebun bersama yang menjadi milik sebuah rumah adat 42 Keterangan ini berdasarkan wawancara dengan Andreas Lujam dan Aleks Juang, tetua adat dari Waling pada tanggal 29 Desember 2009.

Page 4: SEJARAH PEMBENTUKAN KAMPUNG - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/731/5/D_902008002_BAB IV.pdfSelain itu, lembaga kemasyarakatan juga sarat dengan simbol dan

78

Brambang inilah yang berdiri di garis depan dalam setiap pertempuran43, melindungi keluarga besar Dalu; singkatnya, menjadi laskar yang memberikan hidupnya untuk membela dan melindungi wilayah kedaluannya. Demikianlah nenek moyang orang Mondo, tidak lain merupakan Brambang Riwu yang sejak dahulu terbiasa mengangkat senjata dan memiliki semangat juang yang tinggi. Darah pejuang inilah yang mengalir secara turun temurun hingga akhirnya sekarang mereka menjadi pejuang-pejuang pembangunan di Kampung Mondo. Dalam epik besar India Mahabharata, yang kisahnya mulai disebarkan sekitar tahun 500 M, digambarkan golongan kshatriya adalah mereka yang bertanggung jawab atas hukum ketertiban, dan pertahanan (Armstrong 2007:280). Mereka adalah kelas pejuang India yang bertanggung jawab atas pemerintahan dan pembelaan komunitas.

Sebagaimana sekelompok masyarakat Hindu menjadi kshatriya karena penghayatan spiritual mereka, demikian juga yang terjadi dengan keluarga Brambang Riwu. Mereka menjadi ksatria bukan karena kemampuan ataupun kekayaan tetapi terutama karena penghayatan spiritual mereka yang terpusat kepada leluhur. Selanjutnya, di dalam diri mereka akhirnya secara turun temurun tertanam nilai-nilai seorang pejuang yang dalam tulisan ini selanjutnya akan disebut dengan nilai ksatria. Ksatria yang dimaksudkan dalam tulisan ini tidak ada kaitannya dengan kasta, kelas sosial, maupun status sosial, tetapi lebih sebagai sebuah nilai yang hidup di dalam diri anggota klan pendiri Kampung Mondo.44

Menurut penuturan warga, klan pendiri Kampung Mondo ini memegang peranan penting dalam pembangunan lewat semangat ksatria mereka. Semangat ini bukan saja meringankan tangan mereka untuk berpeluh keringat berjuang memimpin pembangunan kampung, namun juga mendorong mereka untuk meneriakkan protes ketidakadilan yang dialami warga kepada elite kekuasaan yang lebih tinggi. Selain itu, nilai-nilai kemurahan hati dalam rangka mengayomi yang lemah juga menjadi buah tutur warga Mondo dari generasi ke generasi. Terlepas dari kekalahan nenek moyang mereka dalam peperangan melawan Dalu Manus, sejarah inilah yang agaknya menginspirasikan keturunan Brambang Riwu di Mondo untuk bersikap resisten dan mandiri dalam pembangunan dalam arti tidak diam berpangku tangan menanti pemerintah membangun kampungnya. Dengan perkataan lain, pengertian ksatria bagi para 43 Para pria saja, tidak termasuk perempuan dan anak-anak. 44 Istilah ksatria ini untuk membedakan dengan brambang-brambang dari kedaluan yang lain, karena tidak semua klan brambang menghidupi nilai-nilai perjuangan di dalam dirinya.

Page 5: SEJARAH PEMBENTUKAN KAMPUNG - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/731/5/D_902008002_BAB IV.pdfSelain itu, lembaga kemasyarakatan juga sarat dengan simbol dan

79

tetua Mondo adalah pemimpin dalam setiap perjuangan yang melindungi dan membela kaum yang lemah; di dalamnya terkandung unsur keberanian dan heroisme. Itulah sebabnya walau sudah tidak ada lagi peperangan, para tetua Mondo tetap hadir sebagai seorang pemimpin perjuangan di dalam pembangunan.

POHON KELUARGA BRAMBANG RIWU

Leluhur klan pendiri Kampung Mondo berasal dari Waling. Waling, adalah nama sebuah kampung beriklim sejuk di daerah pegunungan dengan pemandangannya yang indah. Air cukup berlimpah di sana karena dua buah mata air sungai besar, yaitu Waélaku dan Waébobo, terletak di perbukitan Waling. Di sanalah sejarah Kampung Mondo dimulai. Waling yang terletak di Dalu Riwu, menjadi tempat permukiman para pejuang yang tergolong dalam keluarga besar Brambang Riwu. Dalam wilayah administrasi saat ini, Waling berada di Desa Golo Lalong, Kecamatan Borong, kira-kira 25 km di utara Mondo. Peta berikut ini menunjukkan lokasi Desa Golo Kantar, tempat Mondo berada dan Desa Golo Lalong, tempat Waling berada.

Page 6: SEJARAH PEMBENTUKAN KAMPUNG - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/731/5/D_902008002_BAB IV.pdfSelain itu, lembaga kemasyarakatan juga sarat dengan simbol dan

80

3 Golo Kantar dan Golo Lalong

Kisah pohon keluarga ini akan dimulai dari seorang pria Brambang Riwu bernama Wer, yang hidup di sekitar tahun 1850. Wer, pria kelahiran sekitar tiga abad yang lampau ini mempunyai seorang putera bernama Ndujung. Ndujung

Page 7: SEJARAH PEMBENTUKAN KAMPUNG - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/731/5/D_902008002_BAB IV.pdfSelain itu, lembaga kemasyarakatan juga sarat dengan simbol dan

81

mempunyai tiga orang putera, yaitu Nggulung, Juntung, dan Nduruk. Tiga putera inilah yang kemudian menjadi tonggak sejarah tiga buah kampung. Keturunan Nggulung menjadi pendiri Kampung Mondo, keturunan Juntung tetap tinggal di Waling, sedangkan keturunan Nduruk menjadi pendiri Kampung Péot, yang terletak tidak jauh dari Mondo, masih termasuk dalam kecamatan Borong.

Bagaimana keturunan Nggulung bisa mendirikan Kampung Mondo?45

“Suatu hari Nggulung berjalan jauh dari rumah, dan berjumpa dengan seorang gadis Kantar, namanya Lanus,” ungkap Stefanus Syukur memulai ceritanya.

Stefanus Syukur yang menjadi Tu’a Golo Mondo saat ini merupakan keturunan langsung dari Nggulung. Adapun Kantar merupakan nama sebuah kawasan yang berada di bawah Kedaluan Sita, yang terletak di sebelah barat Kedaluan Riwu. Kedua kedaluan yang bertetanggaan ini hanya dipisahkan oleh Sungai Waéreca. Jadi, ketika itu Nggulung berjalan hingga menyeberangi batas kedaluan. Rupanya, Nggulung jatuh cinta dengan Lanus dan mereka pun menikah.

“Itulah sebabnya, sekarang kami tinggal di tanah Kantar46,” ungkap Stefanus menjelaskan.

Ada sesuatu yang agak istimewa dalam peristiwa ini. Biasanya, seorang istri setelah menikah akan ikut ke kampung suaminya, menjadi anggota keluarga besar suami, dan tinggal di sana. Namun, Nggulung tidak membawa istrinya tinggal di Waling, justru ia yang pindah dan tinggal di Kantar. Rupanya, nilai keberanian dalam jiwa ksatrianya telah memantapkan langkahnya untuk mencoba suatu kehidupan yang sama sekali baru. Bisa dikatakan sebagai sebuah langkah berani karena sebetulnya di Waling, Nggulung hidup dalam kemapanan yang nyaman. Ia merupakan putera sulung dari Tu’a Gendang47, orang yang paling berkuasa di Beo48 Waling. Jadi, baik dari segi kekayaan maupun kekuasaan, Nggulung merupakan pewaris pertama di Waling. Namun, Nggulung berani meninggalkan semua kenyamanan itu 45 Berdasarkan wawancara dengan para tetua adat di Mondo pada tanggal 12 Desember 2009. 46 Mondo merupakan bagian dari tanah Kantar. Sebelumnya, Mondo merupakan tanah milik masyarakat dari Klan Kantar. 47 Tu’a Gendang merupakan sebutan untuk Tu’a Adat, orang yang paling dihormati di sebuah kampung tradisional Manggarai. 48 Istilah Manggarai untuk menyebut kampung. Perbedaan Beo dan Golo adalah umumnya Beo merupakan kampung tempat sebuah klan berasal, sementara sebuah kampung disebut Golo jika penduduknya sudah mengalami migrasi (Lawang, 2004).

Page 8: SEJARAH PEMBENTUKAN KAMPUNG - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/731/5/D_902008002_BAB IV.pdfSelain itu, lembaga kemasyarakatan juga sarat dengan simbol dan

82

untuk mencoba kehidupan baru di tanah orang. Bahkan, sampai saat ini tahun 2011, Nggulung dan seluruh keturunannya tidak pernah sekalipun meminta hak miliknya di Waling.

“Waktu itu Nggulung melihat potensi ekonomi wilayah Kantar lebih besar,” kata Feri Sehadung menjelaskan.

Ferdinandus Sehadung adalah putera sulung Stefanus Syukur, sehingga termasuk keturunan langsung dari Nggulung pula (lihat skema pohon keluarga).

“Daerah Kantar termasuk dataran rendah yang beriklim hangat. Banyak tanaman bisa bertumbuh subur di sini, selain itu binatang buruan juga banyak,” tambah Stefanus Syukur.

Oleh karena Nggulung ingin tinggal di Kantar, pihak keluarga mertuanya pun memberikan sebuah wilayah tanah yang cukup luas untuk diolahnya. Dalam adat Manggarai, keluarga pemberi mempelai perempuan disebut anak rona, sedangkan keluarga yang menerima mempelai perempuan disebut anak wina. Dengan demikian, Nggulung mendapatkan tanah dari anak ronanya, sementara Nggulung menjadi anak wina pertama orang Kantar yang mendapatkan tanah di sana. Wilayah Kantar yang menjadi tempat tinggal Nggulung saat itu bernama Waéwuas. Di sanalah Nggulung dan Lanus hidup dengan berkebun dan berburu. Dari pernikahannya, Nggulung mempunyai seorang putera yang diberi nama Lupur dan seorang puteri yang dinamakan Mamul.

Dalam budaya Manggarai, ada kebiasaan untuk menikahkan anak dengan sepupunya; istilahnya kawin tungku. Oleh sebab itu, Nggulung juga menikahkan puteranya, Lupur, dengan sepupunya, seorang gadis Kantar yang bernama Among. Dari Among, Lupur mendapatkan seorang anak perempuan yang bernama Sadung. Sayang, dari Among, Lupur tak mendapatkan seorang putera, padahal anak laki-laki cukup penting bagi orang Manggarai untuk meneruskan klan. Oleh karena itu, Lupur pun menikah lagi dengan seorang gadis Wodo, masih dari Kedaluan Sita. Dari istrinya yang kedua, Lupur mendapatkan dua orang putera, yaitu Lulus dan Yoseph Majung. Lulus kemudian kawin tungku dengan sepupunya, dan memperoleh dua orang putera, Andreas Abu dan Mateus Mamput.

Adapun Lupur bersama istri dan anak-anaknya tinggal di Waéwuas dan membuka kebun di sana. Selain itu, kemudian membuka kebun pula di Macing, tak jauh dari Waéwuas. Suatu hari, Lupur pergi berburu ke daerah Ragok, masih di wilayah Kantar. Ia melihat betapa tanah di Ragok subur dan landai,

Page 9: SEJARAH PEMBENTUKAN KAMPUNG - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/731/5/D_902008002_BAB IV.pdfSelain itu, lembaga kemasyarakatan juga sarat dengan simbol dan

83

sangat cocok untuk membuka ladang. Maka ia pun membakar hutan di Ragok dan mengolahnya menjadi kebun. Ragok ini sebetulnya masih termasuk wilayah yang diberikan orang Kantar kepada Nggulung, ayahnya.

Sebelum berangkat dari Macing untuk pindah ke Ragok, Lupur merasa mendapatkan sebuah pesan melalui mimpi, bahwa ia akan bertemu dengan seekor kambing untuk upacara adat perpindahan tempat tinggal. Kepercayaan Lupur terhadap mimpinya ini menunjukkan religiositasnya yang memercayai adanya kuasa tak kasat mata yang lebih besar dari dirinya, yang dapat turut campur dalam kehidupannya. Ternyata, mimpi itu menjadi kenyataan. Saat ia berjalan keesokan siangnya, tiba-tiba anjingnya menggonggong. Ketika diselidiki ternyata ada seekor kambing di atas sebuah batu besar dengan seutas tali pendek di dekatnya. Maka ditariklah kambing itu dan dituntunnya sampai ke Ragok untuk dijadikan kurban persembahan. Di Ragok, Lupur sekeluarga beserta anak-anaknya Lulus dan Yoseph Majung membangun pondok dan tinggal di sana. Semua yang ditanamnya memberikan hasil yang berlimpah-limpah. Mereka hidup dengan makmur dan sejahtera karena tanah yang subur dan binatang buruan sangat banyak. Orang-orang Kantar yang mengenali Lupur sebagai ipar mereka, akhirnya justru datang ke Ragok pula dan tinggal bersama Lupur. Walaupun secara ulayat Ragok masuk ke dalam kawasan orang Kantar, namun sebelum Lupur datang, belum ada satu orang Kantar pun yang tinggal di sana. Setelah Lupur membuka kawasan tersebut, barulah banyak orang Kantar beramai-ramai ingin tinggal bersama Lupur dan berdirilah sebuah kampung baru. Jadi, bisa dikatakan Lupur merupakan orang pertama yang mendirikan kampung di Ragok.

Menurut penuturan anak cucu, Lupur tidak pernah gagal dalam menanam, hasilnya selalu berlimpah-limpah. Ditambah lagi, darah pejuang rupanya mengalir kuat pula dalam diri Lupur sehingga dikisahkan Lupur merupakan seorang tokoh yang penuh dengan kharisma dan dapat memimpin kampung dengan baik. Dengan demikian, tak mengherankan banyak orang Kantar yang tertarik untuk tinggal bersamanya di Ragok membentuk kampung baru. Sebelumnya daerah tersebut memang hanya padang ilalang belaka. Orang Kantar sendiri tinggal di béo mereka di daerah Golonderu, cukup jauh dari Ragok. Di sanalah pula Nggulung, ayah Lupur, dimakamkan.

Putera kedua Lupur, yaitu Yoseph Majung, menikahi seorang Puteri Dalu Sita dari Niang49 Sita yang bernama Monika Setia. Sebetulnya, ada sebuah 49 Niang adalah nama rumah adat yang status sosialnya lebih tinggi dibandingkan mbaru gendang. Biasanya mbaru gendang menjadi rumah pusat dari sebuah klan, atau

Page 10: SEJARAH PEMBENTUKAN KAMPUNG - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/731/5/D_902008002_BAB IV.pdfSelain itu, lembaga kemasyarakatan juga sarat dengan simbol dan

84

perbedaan sosial yang cukup tajam antara Yoseph Majung dan Monika Setia. Tu’a Dalu, ayah Monika, merupakan pemegang kekuasaan tertinggi di Dalu Sita. Sedangkan keluarga besar Yoseph Majung di Kedaluan Riwu berstatus sebagai Brambang. Banyak orang yang menilai langkah Yoseph Majung ini sangat berani. Namun, rupanya kecantikan Sang Puteri Dalu yang terkenal telah menguatkan hati Yoseph Majung untuk meminangnya. Walaupun dari segi status sosial cukup berbeda, namun dari segi ekonomi Yoseph Majung bisa dibilang berasal dari keluarga yang kaya raya. Keluarganya adalah penguasa tanah Mondo yang cukup luas, warisan dari Nggulung leluhur mereka. Selain itu, tanah di daerah tersebut sangat subur dan binatang buruan juga sangat banyak. Keluarga besar Dalu Sita dapat menduga bahwa Monika tentu akan hidup makmur sejahtera bersama Yoseph Majung. Maka, Sang Puteri pun diperkenankan untuk diboyong ke Ragok dan menjadi bagian dari keluarga besar Lupur. Dari pasangan inilah lahir Stefanus Syukur yang sekarang menjadi Tu’a Golo di Kampung Mondo.

Seluruh garis keturunan pendiri Kampung Mondo sejauh yang mereka ingat dapat dilihat pada skema pohon keluarga berikut ini. Seluruh informasi ini diperoleh dari Stefanus Syukur, Andreas Lujam, dan Aleks Juang. Adapun Andreas Lujam dan Aleks Juang merupakan dua orang tokoh adat di Waling. Stefanus sangat menghargai kedua orang tua ini karena mereka berdua merupakan sepupu dari ayahnya, Yoseph Majung. Andreas Lujam merupakan putera dari Bugung dan Aleks Juang merupakan putera dari Kuru. Bugung dan Kuru tidak lain merupakan putera-putera dari Juntung, adik kandung Nggulung. Berdasarkan informasi dari ketiga tetua ini, diperolehlah silsilah perintis dan pendiri Mondo hingga delapan generasi.

wa’u dalam istilah Manggarai, sedangkan Niang merupakan rumah pusat dari sebuah kedaluan.

Page 11: SEJARAH PEMBENTUKAN KAMPUNG - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/731/5/D_902008002_BAB IV.pdfSelain itu, lembaga kemasyarakatan juga sarat dengan simbol dan

85

Peta 4 Golonderu, Ragok, dan Mondo

Page 12: SEJARAH PEMBENTUKAN KAMPUNG - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/731/5/D_902008002_BAB IV.pdfSelain itu, lembaga kemasyarakatan juga sarat dengan simbol dan

86

1a

2a

1b

2b

3a3b

3C3D

3e3f

4a4b

4c 4d 4e 4f4g

4h

5b5c

5d

5a

5e

5f5g 5h

5i

Bagan 4 Pohon keluarga Brambang Riwu mulai dari Wer sampai Lulus dan Yoseph

Majung

Keterangan:

NO NAMA 1a, 1b Wer x istrinya 2a, 2b Ndujung x istrinya 3a, 3b Nggulung x Lanus 3c, 3d Juntung x istrinya 3e, 3f Nduruk x istrinya 4a, 4b, 4c Among x Lupur x istri kedua Lupur dari Wodo 4d Mamul 4e, 4f Bugung x istrinya 4g, 4h Kuru x istrinya 5a Sadung 5b,5c Lulus x Jenau 5d, 5e Yoseph Majung x Monika Setia 5f, 5g Andreas Lujam x istrinya 5h, 5i Aleks Juang x istrinya

Page 13: SEJARAH PEMBENTUKAN KAMPUNG - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/731/5/D_902008002_BAB IV.pdfSelain itu, lembaga kemasyarakatan juga sarat dengan simbol dan

87

5a

6a

5b

6b

7b7c

7d7e 7g

7h

8a8c

8d8b8e 8j 8k

8p

8g8h

8q

8f 8i

8l

7n

8m

70

6c6d

7a 7f 7i 7j 7k7l

7m

8n 8o

Bagan 5 Pohon Keluarga Brambang Riwu mulai dari Lulus dan keturunannya

Keterangan: NO NAMA NO NAMA 5a, 5b Lulus x Jenau 8c Aven 6a, 6b Andreas Abu x Margareta Rina 8d Juni 6c, 6d Matheus Mamput x Martha 8e Olin 7a Martina Noni 8f Serli 7b, 7c Agus Kantur x Yustina Nimat 8g Nansi 7d, 7e Marsel Juru x Rofina Ro 8h Pepin 7f Elisabeth Rinu 8i Nanda 7g, 7h Remigius Tanggung x Maria Feni 8j Filo Yusni 7i Maria June 8k Berto 7j, 7k Thomas Kumpul x Yustin 8l Yayan 7l, 7m Silvester Ndujung x Isa 8m Iren 7n Imaculata Jus 8n Minam 7o Monika Pamus 8o Egi 8a Marselina Lani 8p Alan 8b Elen 8q Fantra

Page 14: SEJARAH PEMBENTUKAN KAMPUNG - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/731/5/D_902008002_BAB IV.pdfSelain itu, lembaga kemasyarakatan juga sarat dengan simbol dan

88

5c 5d

6a6b 6c

6g6e

7b7c

7d 7e 7f 7h7g

8a 8c

7l

8b 8d

7k7i

6i6d 6f

7a

6h6j

6k

7i

7m

Bagan 6 Pohon Keluarga Brambang Riwu mulai dari Yoseph Majung dan keturunannya

Keterangan:

NO NAMA 5c, 5d Yoseph Majung x Monika Setia 6a, 6b Stefanus Syukur x Kornelia Anggut 6c Gertrudis Illa 6d Maria Mei 6e Yuliana Leni 6f Bibiana Bin 6g, 6h Siprianus Wer x Dafrosa Sun 6i Regina Siung 6j, 6k Alfonsius Dasung x Vita Sofia 7a, 7b Ferdinand Sehadung x Kornelia M. Saina 7c, 7d Silverius M. Rawan x Rufina Elvi Setia 7e Karolina M. Delsa Diun 7f Maria Yosefina Sadem 7g Asri Wersun 7h Iron Ksatria 7i Yesty Wersun 7j Aprila 7k Yansen Putra 7l Giovani Davista 7m Agnesia Lupur 8a Michaelis Junior Ferdinand (Juan) 8b Febronia Christin Ferdinand (Titin) 8c Alfonsa Syukur 8d Irena Monika

Demikianlah silsilah keluarga besar Brambang Riwu dalam garis para perintis dan pendiri Kampung Mondo. Hingga kini, sebagian besar dari keluarga tersebut masih tinggal di Mondo dan menunjukkan sifat ksatria lewat

Page 15: SEJARAH PEMBENTUKAN KAMPUNG - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/731/5/D_902008002_BAB IV.pdfSelain itu, lembaga kemasyarakatan juga sarat dengan simbol dan

89

gaya kepemimpinan mereka yang bersifat mengayomi dan membela kaum yang lemah. Ada seorang keturunan Yoseph Majung yang tinggal di luar Mondo, yaitu Siprianus Wer. Siprianus terpilih sebagai anggota DPRD Sorong, Papua dan tinggal bersama istri dan anaknya di sana.

MITOS KERBAU DAN ASAL-USUL MONDO

Suatu hari, Lupur bermimpi kembali. Dalam mimpinya, ia mendapatkan suatu titah untuk mendirikan mbaru gendang. Mbaru gendang adalah rumah adat Manggarai yang menjadi pusat kehidupan tradisional di sebuah kampung. Mimpi ini cukup meresahkan hati Lupur. Pertama, ia tidak mempunyai kerbau. Padahal, untuk bisa mendirikan mbaru gendang dibutuhkan kerbau sebagai bahan persembahan dalam upacara adat. Kedua, ia tahu betapa besar konsekuensi yang harus dipikulnya jika ia menjadi seorang Tu’a Gendang. Sebagai seorang anggota keluarga Gendang Waling50, Lupur mengerti besarnya tanggung jawab yang harus dipikul karena berbagai upacara adat dengan segala aturannya harus dijalankan dengan sebaik-baiknya, dan tentu saja setiap upacara itu perlu melibatkan orang banyak. Padahal, ia tinggal di Ragok sebagai keluarga kecil saja,51 jika dihitung dengan penduduk lainnya juga masih belum bisa dibilang banyak karena penduduk lainnya adalah orang Kantar. Artinya, mereka sudah mempunyai mbaru gendang sendiri, yaitu di Golonderu. Lepas dari itu semua, keresahannya ini lagi-lagi menunjukkan kepercayaannya kepada mimpi, komunikasi yang dipercayanya berasal dari Wujud Tertinggi.

Ternyata, mimpi Lupur yang kedua ini pun mendapatkan peneguhan dan kecemasannya mendapatkan jawaban. Beberapa waktu sesudah mimpinya itu, muncullah seekor kerbau betina kecil menuruni bebatuan cadas yang menguik-nguik mencari induknya. Kerbau mungil itu datang begitu saja tanpa ada yang tahu dari mana asalnya. Tidak ada juga seorang pun yang merasa memiliki anak kerbau tersebut. Sesampainya di bawah, ternyata induknya juga tidak ada. Lupur sekeluarga percaya, itulah kerbau yang dikirim untuk pendirian mbaru gendang. Jadi, dibuatlah perjanjian bahwa kerbau itu harus dibiarkan bebas. Jika ia mempunyai anak, anaknya itulah yang akan dipakai sebagai kurban persembahan untuk pendirian mbaru gendang. Demikianlah untuk berbagai

50 Gendang Waling merupakan istilah untuk menyebut mbaru gendang di Waling. Keluarga besar Lupur secara turun temurun menjadi Tu’a Gendang di Waling. 51 Dalam mbaru gendang di Manggarai biasanya tinggal beberapa keluarga sekaligus yang mewakili setiap sub klan dalam klan mereka.

Page 16: SEJARAH PEMBENTUKAN KAMPUNG - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/731/5/D_902008002_BAB IV.pdfSelain itu, lembaga kemasyarakatan juga sarat dengan simbol dan

90

keperluan upacara adat lainnya, mereka tidak usah bingung lagi, cukup mengandalkan anak-anak dari “kerbau kiriman” tersebut.

Setelah melampaui beberapa waktu si kerbau kecil pun tumbuh menjadi besar. Tanduknya juga sudah cukup panjang, diperkirakan setahun kemudian sudah dapat kawin dan mempunyai anak. Sayangnya, terjadilah sebuah peristiwa yang menggagalkan rencana pendirian mbaru gendang di Ragok. Suatu hari, ada seorang keturunan Kantar menganggap mimpi itu hanya takhyul belaka dan mengajak teman-temannya beramai-ramai membunuh kerbau itu dan memakan dagingnya.

“Bukankah kerbau itu tidak ada tuannya? Untuk apa kita biarkan berkeliaran? Lebih baik kita potong dan makan saja kerbau ini.”

“Betul juga é.., mari kita potong saja ini kerbau, dan kita makan ramai-ramai,” sambut yang lainnya semangat.

Maka, terjadilah pemotongan kerbau oleh orang-orang Kantar, dan dagingnya pun mereka bagi-bagikan ke seluruh warga kampung.

Ketika terjadi peristiwa pemotongan kerbau, Lupur sedang tidak berada di tempat. Saat itu ia berada di kebun tidak jauh dari Ragok, yang kini menjadi Kampung Mondo. Mendengar berita tersebut, ia pun sangat terkejut dan melarang keras keluarga besarnya memakan daging kerbau keramat itu. Lupur sangat prihatin dan kuatir, yang kemudian kekuatirannya pun seolah dibenarkan oleh sang waktu. Beberapa waktu kemudian setelah peristiwa pemotongan kerbau, timbullah semacam wabah penyakit yang membawa banyak kematian.

“Setiap hari pasti ada beberapa orang yang meninggal, bisa sampai lima orang atau bahkan lebih,” cerita seorang ibu tua52 yang menjadi saksi hidup satu-satunya saat ini. “Suasananya sangat menyeramkan,” tambah sang ibu sambil bergidik.

“Itu makanya, dia tidak mau diberi tanah di Ragok untuk berkebun,” tambah seorang bapak.

“Ah, pokoknya saya tidak mau! Tempat itu memberikan kenangan yang sangat pahit. Mana bisa saya berkebun di sana?” tukasnya cepat.

52 Perempuan tua ini merupakan satu-satunya saksi sejarah musnahnya kampung Ragok yang masih hidup. Sekarang, ia tinggal di Kampung Mondo dan masih sehat walafiat, bahkan sangat energik dan pandai melucu.

Page 17: SEJARAH PEMBENTUKAN KAMPUNG - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/731/5/D_902008002_BAB IV.pdfSelain itu, lembaga kemasyarakatan juga sarat dengan simbol dan

91

Dari gejalanya, diperkirakan penyakit tersebut adalah wabah kolera, yang agaknya masih belum tertangani pada masa itu.53 Peristiwa yang menyedihkan ini pun menimpa keluarga Lupur. Putera sulung Lupur, Lulus, turut melanggar larangan Lupur. Lulus menerima pembagian daging tersebut, tetapi tidak memakannya. Walaupun demikian, tak lama kemudian ia pun meninggal, meskipun bukan karena penyakit yang sama dengan penyakit korban lainnya. Demikianlah korban berjatuhan terus menerus dan perlahan-lahan kampung Ragok pun menjadi sepi dan tak berpenghuni lagi. Sampai sekarang masyarakat Mondo percaya, religiositas Lupur yang memercayai mimpi telah menyelamatkan ia dan keluarganya dari wabah penyakit. Diperkirakan, Kampung Ragok sungguh-sungguh bubar sekitar tahun 1950-an. Ragok yang sedianya hendak berdiri menjadi sebuah kampung, lengkap dengan mbaru gendangnya, kini tinggallah lahan bisu yang memendam begitu banyak jenazah penduduknya. Adapun sisa penduduk lainnya tersebar ke daerah-daerah lain yang kini menjadi Kampung Jengok, Toka, dan sebagainya.

Peristiwa yang cukup tragis ini dimengerti oleh Lupur sebagai tulah akibat memakan daging kerbau yang sebetulnya dianugerahkan untuk membuat mbaru gendang. Dalam hal ini, Lupur memandang dan menilai peristiwa yang terjadi itu dalam perspektif spiritual. Maka, Lupur pun memutuskan untuk memboyong seluruh keluarga besarnya pindah dari Ragok ke Mondo. Mondo sebelumnya adalah sebuah padang luas yang dipakai Lupur sekeluarga untuk membuka kebun. Kini, situasi berbalik, Mondo dijadikannya sebagai tempat tinggal, dan Ragok dimanfaatkan sebagai kebun. Mereka pun beramai-ramai pindah ke Mondo dengan menggotong Batu Naga yang biasa menjadi tempat persembahan mereka. Sampai sekarang batu tersebut masih terpasang di Kampung Mondo. Dahulu ketika masih di Ragok, rencananya Batu Naga itulah yang akan menjadi compang54 jika mbaru gendang didirikan. Demikianlah hingga saat ini, mbaru gendang tak pernah didirikan di tengah keluarga besar keturunan Nggulung.

53 Sayangnya setelah dikonfirmasi ke Dinas Kesehatan di Borong, mereka tidak memiliki arsip yang mendokumentasikan peristiwa tersebut. Adapun Dinas Kesehatan di Ruteng juga tidak dapat membantu banyak karena semua arsip lama mereka sudah musnah. 54 Mesbah kampung untuk mempersembahkan kurban-kurban dalam upacara adat.

Page 18: SEJARAH PEMBENTUKAN KAMPUNG - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/731/5/D_902008002_BAB IV.pdfSelain itu, lembaga kemasyarakatan juga sarat dengan simbol dan

92

Gambar 6 Batu Naga di Mondo

(Sumber: H.A. Tjondro Sugianto 2010)

Pindahnya Batu Naga ke Kampung Mondo sebetulnya merupakan legitimasi pula bahwa Kampung Ragok didirikan oleh Lupur dari Waling. Ketika masyarakat Ragok lainnya bubar meninggalkan Ragok, tak seorang pun yang membawa Batu Naga tersebut. Ini menunjukkan bahwa mereka mengakui kepemimpinan Lupur di Ragok sehingga merasa tidak mempunyai hak dan wewenang atas Batu Naga.

Suatu hari sekitar tahun 1951, datanglah musim kering yang sangat panjang di Kampung Mondo. Jagung tak berbuah, semua tanaman mengering, panen gagal di mana-mana. Akibatnya, cukup banyak orang yang tadinya sudah berdatangan dan tinggal bersama Lupur kembali lagi ke tempat asalnya masing-masing, antara lain yang cukup banyak adalah dari Teber.55 Walaupun demikian, Lupur dan seluruh anggota keluarganya tetap bertahan di Mondo. Bahkan, hingga akhir hidupnya Lupur tinggal di Mondo, dan dimakamkan di sebuah pekuburan umum untuk Kampung Mondo.56 Keberanian dan kesetiaan Lupur untuk tetap bertahan ini rupanya memberikan ketentraman tersendiri bagi penduduk lainnya yang berstatus pendatang di tempat itu. Dalam hal inilah nilai-nilai keksatriaan tampak jelas di masa ini dalam diri Lupur sekeluarga.

Berhubung Lulus, putera sulung Lupur sudah meninggal, dengan sendirinya Yoseph Majung, sang adik, kini menggantikan tugas Lupur

55 Teber adalah nama sebuah kampung di daerah pegunungan dekat Rana Mese, sebuah danau yang cukup terkenal terletak antara kota Borong dan Ruteng. 56 Biasanya setiap kampung atau yang disebut golo di Manggarai memiliki pekuburan tersendiri yang disebut boa.

Page 19: SEJARAH PEMBENTUKAN KAMPUNG - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/731/5/D_902008002_BAB IV.pdfSelain itu, lembaga kemasyarakatan juga sarat dengan simbol dan

93

memimpin kehidupan di Kampung Mondo. Perlahan-lahan, penduduk dari tempat lain pun mulai berdatangan lagi dan tinggal di Mondo. Selain orang Kantar sendiri, cukup banyak pula yang datang dari tempat-tempat lain yang cukup jauh. Yoseph Majung yang menikah dengan Monika Setia, Sang Puteri Dalu Sita, dikaruniai sepuluh orang anak, tiga di antaranya meninggal ketika masih kecil. Anak-anak mereka ini lahir di Kampung Mondo semuanya, walau kedua orang tuanya menikah di Ragok. Menurut cerita masyarakat Mondo, Yoseph Majung dan Monika Setia sangat menekankan pendidikan kepada anak-anaknya, baik laki-laki maupun perempuan. Sebetulnya ini sesuatu yang aneh karena pendidikan kala itu masih belum dianggap penting oleh kebanyakan masyarakat setempat. Apalagi, sekolah sangat jauh dan sulit dicapai. Untuk mengenyam pendidikan sekolah dasar, anak-anak Mondo zaman itu harus berjalan kaki menuruni bukit yang berhutan lebat untuk mencapai Borong atau Sita. Hingga sekarang di tahun 2011, penduduk kampung-kampung tetangga Mondo didominasi oleh lulusan SD dan SMP. Sebaliknya, di Kampung Mondo sudah cukup banyak yang lulusan SMP, SMU, bahkan tingkat sarjana. Entah apa yang melatarbelakangi Yoseph Majung dan Monika Setia sangat menekankan pendidikan; anak dan cucunya pun tidak bisa menjawab misteri ini. Tambahan lagi, menurut penuturan orang Mondo, keluarga Yoseph Majung cukup makmur dengan hasil kebun yang berlimpah-limpah. Selain itu, binatang buruan juga masih banyak sehingga mereka hidup tak berkekurangan. Logikanya, pendidikan bukan sesuatu yang urgen untuk Yoseph Majung sekeluarga. Yang jelas, buah dari kegigihan Yoseph Majung dan Monika Setia menekankan pendidikan ini membuat Stefanus berusaha keras menghantar adik-adik dan putera-puterinya untuk sekolah. Siprianus Wer, adik Stefanus Syukur, menjadi Sarjana Hukum dan sekarang terpilih sebagai anggota DPRD di Sorong, Papua. Alfonsius Dasung, adik bungsu Stefanus, menjadi Ahli Madya Ekonomi dan sekarang tinggal di Mondo mendampingi Stefanus. Feri Sehadung putera sulungnya menjadi Sarjana Antropologi dan kini menjadi pegawai negeri di Borong. Adapun Yosefina putri bungsu Stefanus kini sedang kuliah di STKIP Ruteng. Sementara yang lainnya baik laki-laki maupun perempuan telah menamatkan tingkat SMU. Semangat mengejar pendidikan ini, akhirnya menular juga ke seluruh Kampung Mondo. Efek yang paling terasa bagi seorang tamu bukan Manggarai yang datang ke Mondo adalah mayoritas masyarakatnya bisa berbahasa Indonesia dengan baik.

Sekitar tahun 1952-an kebun-kebun di Mondo diserang oleh hama semut. Hama ini begitu agresifnya sehingga menggagalkan seluruh panen di Mondo.

Page 20: SEJARAH PEMBENTUKAN KAMPUNG - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/731/5/D_902008002_BAB IV.pdfSelain itu, lembaga kemasyarakatan juga sarat dengan simbol dan

94

“Untunglah waktu itu ada Ema Belong yang bermimpi dan memberikan kami petunjuk,” cerita seorang bapak dari Panga Teber.

Belong adalah seorang pria asal Leda yang tinggal di daerah Ragok. Ketika hama semut datang menyerang, Belong bermimpi bahwa harus diberikan persembahan babi dan anjing di atas Batu Naga. Maka, mimpinya itupun disampaikan kepada warga Mondo yang tertimpa musibah. Persembahan anjing sebetulnya agak tidak lazim bagi orang Manggarai. Namun, mereka percaya bahwa dulu wilayah Kantar dikuasai oleh orang Kéo, yaitu sebuah suku dari Bajawa57. Mereka yang berasal dari Bajawa terkenal suka makan daging anjing. Bahkan, keluarga dari Niang Sita pernah mengatakan bahwa Gendang Kantar sengaja didirikan di batas timur kedaluan untuk menahan mengalirnya orang Bajawa yang memasuki Manggarai. Memang pada masa-masa itu cukup banyak masyarakat dari Bajawa yang datang ke Manggarai. Hingga saat ini, di Borong terdapat sebuah Kampung Bajawa yang dimukimi oleh keturunan orang-orang Bajawa yang memasuki Manggarai puluhan tahun yang silam.

Setelah mendapatkan petunjuk melalui mimpi Belong, beramai-ramai dengan dipimpin keluarga Waling, mereka pun sembahyang di Batu Naga dengan mempersembahkan kurban babi dan anjing. Setelah itu, semut-semut pun menghilang dan mereka mulai menanam lagi. Hasil penanaman yang kedua ini membuahkan hasil yang baik dan menggembirakan. Sejak saat itu, mereka dengan setia meneruskan tradisi tersebut dan menjalankan Penti58 dalam kebersamaan.

“Wah, kami semua satu hati sekali, tidak hanya laki-laki tetapi perempuan, anak-anak, tua muda, semua terlibat,” kenang seorang bapak dari Teber.

“Kami percayakan diri seluruhnya kepada keluarga Waling. Kami semua turut perintahnya di bawah satu komando, itu sebabnya kami sangat kompak,” lanjut seorang bapak yang lain.

“Walaupun tidak ada mbaru gendang, tapi Penti tetap berjalan di sini,” jelas seorang bapak dari Pau.

Sampai sekarang, Kampung Mondo masih dihuni oleh banyak orang. Sebagian besar anggota keluarga keturunan Nggulung tinggal di sana, kecuali yang perempuan tentu saja, karena sesuai dengan adat Manggarai, kaum

57 Bajawa adalah nama suatu daerah yang terletak di Kabupaten Ngada, tetangga Kabupaten Manggarai Timur di bagian timur. 58 Penti adalah upacara adat khas Manggarai yang berkaitan dengan kebun dan mbaru gendang.

Page 21: SEJARAH PEMBENTUKAN KAMPUNG - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/731/5/D_902008002_BAB IV.pdfSelain itu, lembaga kemasyarakatan juga sarat dengan simbol dan

95

perempuan akan pindah untuk tinggal di kampung suaminya setelah menikah. Roda kehidupan Kampung Mondo dikendalikan oleh keturunan Nggulung secara turun temurun, dan masyarakat pun hidup dengan tenteram. Keturunan Nggulung menjadi ata ici tana59 di Kampung Mondo, sementara penduduk lainnya berstatus ata long60. Komposisi ata long jauh lebih banyak daripada ata ici tana. Jadi, penduduk Mondo hanya sebagian kecil saja yang merupakan keturunan Nggulung, selebihnya adalah pendatang. Walaupun demikian, para pendatang tersebut sangat menghormati dan menghargai Lupur sekeluarga turun temurun, karena dari keluarga Waling inilah mereka mendapatkan tanah dan kehidupan baru di Mondo.

Berdasarkan uraian di atas, tampaklah bahwa pembangunan Kampung Mondo berawal dari sebuah religiositas pendirinya, yaitu Lupur. Motivasi yang memberangkatkan Lupur ke Mondo adalah sebuah motivasi spiritual, karena ia percaya tanah Ragok sudah terkena tulah. Sebelum ke Mondo, Lupur pindah ke Ragok dengan alasan potensi ekonomi. Namun, kepindahannya ini pun dilandasi pula dengan pengalaman spiritual yang dikaitkan dengan mimpinya tentang seekor kambing. Oleh karena itu, terbentuknya masyarakat Mondo yang spiritualistis pada saat ini sebetulnya merupakan buah dari perjalanan spiritual yang panjang sejak zaman leluhur mereka. Kisah-kisah para leluhur yang diceritakan dari generasi ke generasi perlahan-lahan membentuk juga spiritualitas penduduk dan semakin mengonsolidasikan mereka dengan para leluhurnya. Sementara para pendatang yang lain memiliki sejarah spiritual yang kurang lebih cukup mendalam pula karena kepercayaan yang besar kepada leluhur merupakan hal yang dominan dalam penghayatan spiritual mereka.

SEJARAH PEMBENTUKAN

Pada mulanya, Mondo hanya dihuni oleh keluarga dari klan Waling. Namun, kini di tahun 2010, terdapat 107 KK yang terdiri dari beberapa klan yang tinggal berdampingan dengan klan Waling sebagai pemimpin mereka. Klan-klan yang ada di Mondo adalah Panga Waling, Teber, Wodo, Pau, Poka, dan Carep. Setiap klan disebut dengan istilah Panga, dipimpin oleh seorang Tu’a Panga. Umumnya klan-klan tersebut merupakan keturunan langsung dari orang-orang pertama yang menginjakkan kaki di Mondo dalam panganya

59 Ata ici tana adalah sebutan untuk penduduk awali, yang mempunyai hak dan kewajiban atas seluruh béo/golo beserta lingkonya. 60 Ata long merupakan sebutan untuk pendatang.

Page 22: SEJARAH PEMBENTUKAN KAMPUNG - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/731/5/D_902008002_BAB IV.pdfSelain itu, lembaga kemasyarakatan juga sarat dengan simbol dan

96

masing-masing. Selain itu, ada pula keluarga yang bukan merupakan keturunan langsung dari para perintis panga Mondo tersebut. Pada umumnya, mereka ada di sana karena menikahi gadis Mondo. Di kemudian hari jika keluarganya berkembang jumlahnya, kemungkinan besar dapat pula membentuk panga sendiri di Mondo. Misalnya, tahun 1976 seorang pemuda dari Kuwu menikahi seorang gadis Waling dan menetap di Mondo.

“Dia ini kami punya anak wina, karena menikahi anak perempuan dari saya punya kakak,” tutur Stefanus Syukur, sang Tu’a Golo.

Kuwu sendiri terletak di dekat Ruteng, sekitar 60 km dari Borong, tepatnya di Kabupaten Manggarai.

Sebetulnya, dalam kebanyakan kampung-kampung di Manggarai, yang dimaksud dengan panga adalah sub klan dari klan besar yang menjadi tuan tanah di kampung tersebut. Lain halnya dengan Mondo, yang dimaksud dengan panga adalah klan-klan pendatang; inilah salah satu keunikan Mondo. Dengan demikian, sejarah berdirinya Kampung Mondo, ditentukan juga oleh migrasinya para pendatang ke Kampung Mondo dan membentuk kehidupan bersama sebagai sebuah kampung. Menurut penuturan penduduk, kebersamaan cepat terbentuk di Mondo karena kebanyakan keluarga pendatang hidup menumpang dulu di keluarga Waling selama minimal setahun penuh sambil menunggu kebun mereka sendiri menghasilkan panen. Setelah kebunnya panen, barulah mereka mampu hidup mandiri. Jadi, sudah sejak menginjakkan kaki pertama kali sebagai warga Mondo, para pendatang sudah diterima sebagai bagian dari keluarga Panga Waling. Bagaimana kisah panga-panga itu datang dan berkembang di Mondo akan diuraikan dalam tulisan berikut ini. Semua kisah ini diperoleh berdasarkan penuturan para Tu’a Panga yang ada di Mondo.

Panga Teber

Penderitaan masyarakat Indonesia dalam masa penjajahan Jepang ternyata tidak hanya dialami oleh mereka yang tinggal di pulau-pulau besar saja, namun juga dialami oleh mereka yang tinggal di Manggarai. Sekitar tahun 1944, banyak penduduk dari Teber61 yang dipaksa menanam di perkebunan kapas oleh Jepang. Mobilisasi rakyat kala itu dilakukan melalui kedaluan yang ada. Pada masa itu, pemerintah Jepang menekan para Dalu untuk memperkerjakan rakyatnya di perkebunan. Masyarakat Teber pada era tersebut

61 Teber terletak kira-kira 27 km dari Borong ke arah barat laut.

Page 23: SEJARAH PEMBENTUKAN KAMPUNG - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/731/5/D_902008002_BAB IV.pdfSelain itu, lembaga kemasyarakatan juga sarat dengan simbol dan

97

diperintahkan untuk melakukan kerja paksa oleh Dalu Sita. Sebetulnya, bukan hanya masyarakat Teber yang saat itu terkena kerja paksa. Banyak orang dari gunung62 turun ke wilayah Borong karena dipaksa untuk membuka kebun kapas di Jati dan membuka areal persawahan di daerah Waéreca, keduanya masih termasuk wilayah kota Borong. Semua Tu’a Golo di bawah koordinasi Dalu memperkerjakan rakyatnya untuk kepentingan Jepang. Setiap kampung mendapatkan jatah luas lahan tertentu disesuaikan dengan jumlah rakyatnya. Sampai sekarang persawahan di Waéreca63, Borong, masih terhampar luas, sementara kebun kapas sudah tidak terlalu kelihatan bentuknya.

Letak perkebunan kapas dan sawah itu kira-kira tidak jauh dari kaki bukit tempat Mondo terletak. Bagi penduduk Teber yang harus bekerja di Borong, pulang ke rumah tentu terlalu jauh, karena mereka harus berjalan kaki sekitar 27 km melewati hutan-hutan dan mendaki perbukitan. Oleh karena itu, masyarakat Teber pun membuat tempat persemayaman sementara, tidak jauh dari perkebunan kapas tempat mereka bekerja. Selain itu, diam-diam mereka juga membuka kebun di hutan-hutan sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Tempat persemayaman dan kebun mereka itu dibuat agak jauh dari areal kerja paksa agar tidak ketahuan, tersembunyi di tengah hutan antara Borong dan Mondo.

“Bahkan atap pondok kami pun ditutupi dengan dedaunan64, supaya tidak kelihatan oleh pesawat Jepang yang terbang di atas kami,” cerita Petrus Banis salah seorang keturunan Teber yang tinggal di Mondo.

“Soalnya pemerintah zaman dulu otoriter betul. Semua hasil rakyat diambil, jadi kami harus berkebun sembunyi-sembunyi,” sambung bapak asal Teber lainnya.

Wilayah masyarakat Teber berkebun secara tersembunyi itu bernama Konang. Setelah Jepang pergi, mereka masih meneruskan tinggal dan bercocok tanam di Konang hingga suatu hari sekitar tahun 1951, datanglah kemarau panjang. Semua yang ditanam tak memberikan hasil sehingga mereka mengalami gagal panen. Maka, warga Teber pun memutuskan untuk kembali ke

62 Borong terletak di pesisir pantai selatan. Sementara kota-kota lainnya berada di daerah pegunungan sehingga masyarakat dari daerah Ruteng, Teber, dan sekitarnya disebut masyarakat dari gunung kala itu. 63 Mengenai bagaimana teknik pertanian mereka, para petani tua tersebut hanya bercerita mereka menanam ala kampung saja. Demikian juga cara mereka menjelaskan cara penanaman jenis-jenis tanaman lainnya. 64 Sebetulnya atap pondok mereka sudah terbuat dari dedaunan, yaitu semacam ijuk atau pelepah kelapa. Namun, atap dedaunan itu masih ditutupi lagi agar tidak terlalu kelihatan bentuk atapnya.

Page 24: SEJARAH PEMBENTUKAN KAMPUNG - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/731/5/D_902008002_BAB IV.pdfSelain itu, lembaga kemasyarakatan juga sarat dengan simbol dan

98

kampung halamannya di Teber, tempat yang jauh lebih sejuk dan berlimpahkan air. Walau demikian, ternyata tidak semua warga Teber kembali, masih ada keluarga yang memutuskan untuk tetap tinggal di sana. Ndari dan Lukas Gonggor, demikianlah nama mereka, memutuskan untuk tidak kembali ke Teber.

Mengapa mereka memutuskan untuk tinggal? Konang tak jauh dari Mondo, sehingga perjumpaan dengan keluarga yang tinggal di Mondo merupakan hal yang biasa.

“Nah, keluarga di Mondo itu kami punya anak rona,” ujar Petrus Banis, keturunan dari Teber.

“Ya, dulu kakak perempuannya Bapak Yoseph Majung menikah dengan pria dari Teber,” kata Stefanus Syukur meneguhkan.

Dengan demikian, keluarga Yoseph Majung yang tinggal di Mondo tidak lain merupakan kerabat mereka sendiri. Maka keluarga dari Teber inipun memutuskan untuk tinggal di Mondo saja bersama kerabat woénelu65 mereka itu. Apalagi, keluarga dari Teber tersebut telah mengalami sendiri betapa tanah Mondo sangat subur dan memberikan hasil yang berlimpah-limpah jika hujan turun pada waktunya. Kemarau panjang di tahun terakhir agaknya tidak membuat mereka jera. Demikianlah pada tahun 1951, sebuah keluarga dari Teber memutuskan untuk menetap di Mondo dan beranak cucu. Kini, di tahun 2011, keturunan Ndari dan Lukas Gonggor dari Teber yang tinggal di Kampung Mondo sudah berjumlah sekitar 35 KK dengan Petrus Banis sebagai Tu’a Panga. Teber menjadi panga terbesar di Mondo karena pertumbuhan jumlah anggotanya yang pesat.

Panga Wodo

Pada kenyataannya, tidak hanya satu keluarga saja dari Teber yang memutuskan tinggal di Mondo tetapi dua keluarga. Sebelum masa kerja paksa, ada seorang pria dari Wodo yang menikah dengan seorang gadis Teber. Pria ini bernama Wolganus Tojong. Wodo terletak di antara Borong dan Teber, dari Borong kira-kira 18 km. Setelah menikah, Wolganus tinggal di Teber bersama anak ronanya. Pada masa kerja paksa Jepang, pria Wodo inipun terbawa juga ke Borong bersama warga Teber lainnya. Ia pun ikut membuka kebun dan

65 Kekerabatan yang terjadi di antara dua keluarga besar karena adanya tali perkawinan.

Page 25: SEJARAH PEMBENTUKAN KAMPUNG - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/731/5/D_902008002_BAB IV.pdfSelain itu, lembaga kemasyarakatan juga sarat dengan simbol dan

99

membuat pondok secara sembunyi-sembunyi di Konang bersama keluarga mertuanya.

Ketika kemarau panjang melanda Borong dan sekitarnya, seluruh warga Teber kembali naik ke gunung untuk pulang ke kampung halamannya. Namun, Wolganus, sang pria Wodo memutuskan untuk meneruskan kehidupan di Mondo bersama keluarga mertuanya yang membuat keputusan sama. Sampai kini, Wodo menjadi sebuah panga tersendiri di Mondo dengan Tu’a Panganya Mateus Soni, keturunan Wolganus Tojong. Berbeda dengan Teber yang berkembang jumlahnya dengan cepat, beberapa orang keturunan dari panga Wodo ini meninggal dunia di tahun-tahun selanjutnya. Oleh karena itu, jumlah keluarga Wodo di Mondo kini hanya sebuah KK saja.

Demikianlah di Kampung Mondo pada tahun 1951 datang dua keluarga yang berasal dari Teber dan Wodo. Dengan tangan terbuka, keluarga besar dari Waling yang menjadi penguasa tanah Mondo menerima dua tetangga barunya ini. Walaupun Panga Waling yang menjadi cikal bakal terbentuknya Kampung Mondo, namun, bersama dengan Panga Teber dan Wodo, ketiga panga ini menjadi tonggak sejarah perkembangan Kampung Mondo yang semakin tahun semakin berkembang jumlah penduduknya. Tahun 1951 menjadi penting bagi Mondo karena pada saat itulah Kampung Mondo mulai terbentuk dengan anggotanya yang plural dalam hal klan.

Panga Pau

“Bapak kami dulu datang untuk gergaji kayu. Soalnya kan kerja di Ruteng tidak banyak, jadi Bapak harus jalan dari kampung ke kampung,” ungkap Bernardus Lajang memulai kisahnya.

Bernardus Lajang merupakan Tu’a Panga Pau di Mondo. Pau terletak di Ruteng, sekitar 56 km dari Borong. Alo Kerama, ayah dari Bernardus Lajang ini sering sekali bekerja untuk menggergaji kayu di Mondo dan menjalin persahabatan yang akrab dengan keluarga Yoseph Majung. Kehangatan pertemanan di antara mereka membuka tangan Yoseph Majung dalam mengajak kawan Paunya ini membuka kebun di Mondo. Ternyata, kesuburan tanah Mondo pun memberikan hasil yang berlimpah-limpah kepada tukang kayu dari Pau tersebut.

“Setiap kali panen dulu Bapak memikul hasil kebun ke Ruteng. Banyak sekali hasilnya waktu itu, ada jagung dan ada padi ladang,” cerita Bernardus

Page 26: SEJARAH PEMBENTUKAN KAMPUNG - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/731/5/D_902008002_BAB IV.pdfSelain itu, lembaga kemasyarakatan juga sarat dengan simbol dan

100

melanjutkan. “Padahal, dulu jalan ke Ruteng belum ada, harus lewat bukit dan hutan untuk memikul hasil kebun. Kadang, hasil panen itu diangkut dengan kerbau atau kuda.”

Setelah dua tahun bekerja menggergaji kayu sekaligus membuka kebun di Mondo, akhirnya Alo Kerama pun memutuskan untuk menetap di Mondo. Peristiwa ini terjadi di tahun 1956, menjadi hari pertama masuknya klan Pau ke dalam kelompok warga Kampung Mondo. Tak hanya itu, ia pun mengajak puteranya, Bernardus Lajang, ikut pindah ke Mondo.

“Saya pindah ke Mondo karena diajak oleh Bapak. Sayangnya, waktu pertama kali berkebun saya mengalami gagal panen,” cerita Bernardus. “Maka, saya putuskan untuk kembali saja ke Ruteng.”

Sekembalinya di Ruteng, Bernardus bermimpi bahwa ia harus kembali ke Mondo. Kepercayaan terhadap mimpinya ini membuat Bernardus akhirnya datang lagi ke Mondo dan menetap di sana sampai sekarang. Ia mulai menekuni kembali pekerjaan berkebun di Mondo, dan lama kelamaan tanah Mondo pun memberikan hasil kepadanya. Selain berkebun, Bernardus pun terkadang melakukan pekerjaan pertukangan di luar Mondo. Agaknya, kegiatan di bidang pertukangan dan bangunan telah menjadi semacam bakat alami para warga Pau yang tinggal di Mondo. Keluarga Alo Kerama ini berasal dari Pau Pérang.

Beberapa tahun kemudian, ada lagi seorang pria dari Pau La’o yang datang ke Mondo, tepatnya pada tahun 1960. Arnol Antang, demikian nama pria dari Pau La’o ini, masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan Pau Pérang. Sebagaimana pendahulunya, keluarga ini masuk dengan pola yang sama pula, bekerja sebagai tukang kayu dahulu sebelumnya, kemudian menjadi petani setelah di Mondo.

Setelah itu, ada lagi kerabat dari Pau yang datang ke Mondo. Orang Pau yang ketiga ini berasal dari Pau Ndajang, namanya Kanisius Embur.

“Tapi kami masih kerabat dengan keluarga Pau Pérang, karena ada hubungan pernikahan di antara kami,” jelas Benediktus Muda yang merupakan keturunan Kanisius Embur.

Awalnya, Kanisius datang untuk berdagang di Mondo. Namun, setibanya di Mondo ia pun diajak kerabatnya dari Pau Pérang untuk menggergaji kayu dan berkebun di Mondo. Yoseph Majung juga dengan hangat mengajaknya membuka kebun di Mondo. Apa yang menjadi motivasi Yoseph Majung mengajak orang-orang untuk tinggal di Mondo tidak diketahui, namun putera

Page 27: SEJARAH PEMBENTUKAN KAMPUNG - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/731/5/D_902008002_BAB IV.pdfSelain itu, lembaga kemasyarakatan juga sarat dengan simbol dan

101

sulungnya, Stefanus Syukur mengatakan bahwa tanah Mondo demikian luas, sayang kalau tidak ditanami. Mondo membutuhkan penduduk dalam jumlah yang banyak untuk dapat mengolah padang rumputnya yang luas. Tekanan ekonomi di Ruteng yang semakin ramai sudah semakin besar, sehingga ajakan Yoseph Majung dan kerabatnya ini merupakan solusi ekonomi yang melegakan bagi Kanisius. Kerja keras Kanisius ini pun membuahkan hasil, hampir setiap panen ia memikul jagung dan padi dalam jumlah banyak ke Ruteng, walaupun kala itu harus berjalan kaki karena belum adanya jalur transportasi.

“Suatu hari ketika Bapak baru pulang dari Mondo membawa hasil panen, Mama menyambut dengan muka sedih. Bapak merasa susah karena Mama mengatakan tanah-tanah keluarga kami semua sudah dijual oleh Bapak Tua66 berhubung adanya kesulitan ekonomi. Dengan demikian, saat itu keluarga kami tidak punya tanah lagi yang bisa diolah,” cerita Benediktus.

Akhirnya, keluarga ini pun memutuskan untuk pindah ke Mondo pada tahun 1963.

“Kami pindah dari Ruteng dengan berjalan kaki ke tempat ini. Waktu itu saya masih kecil, jadi kadang harus digendong,” kenang Benediktus.

Dengan demikian, Panga Pau diawali oleh 3 keluarga pertama, yaitu keluarga dari Pau Pérang yang memasuki Mondo di tahun 1956, keluarga dari Pau La’o yang datang tahun 1960, dan menyusul Pau Ndajang di tahun 1963. Kesemuanya berlatar belakang tukang kayu, namun setelah di Mondo, semua keluarga dari Pau ini menjadi petani. Di tahun 2010 ini, Panga Pau di Mondo sudah berkembang jumlahnya hingga mencapai 22 KK. Sebagaimana Panga Teber dan Wodo, Panga Pau pun mendapatkan bagian tanah yang sangat luas untuk berkebun dari Panga Waling. Hingga saat ini, para keluarga dari Panga Pau masih merasakan hutang budi yang besar terhadap sikap ksatria Panga Waling yang memberikan pengayoman. Ungkapan ini sempat dilontarkan oleh Bernardus Lajang dan Benediktus Muda di bulan April 2010, “Bapak Tu’a dari Waling itu di’a.”67

66 Bapak Tua di sini merujuk kepada seorang bapak yang paling dituakan dalam keluarga besar mereka dan biasanya yang paling memiliki kuasa dalam kepemilikan tanah adat. 67 Yang mereka maksud Bapak Tua di sini adalah Yoseph Majung serta keturunannya yang memberikan tanah serta membiarkan mereka tetap hidup dan berkembang di Mondo. Di’a merupakan bahasa Manggarai yang berarti baik.

Page 28: SEJARAH PEMBENTUKAN KAMPUNG - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/731/5/D_902008002_BAB IV.pdfSelain itu, lembaga kemasyarakatan juga sarat dengan simbol dan

102

Panga Poka

Donatus Darus, demikianlah nama dari Tu’a Panga Poka. Poka cukup jauh dari Borong, tepatnya di Kecamatan Waé Rii, Kabupaten Manggarai.

“Dulu saya kerja Papalele, datang ke Mondo untuk berdagang,” ucap Donatus memulai ceritanya. “Sesampainya di Mondo, saya melihat seorang perempuan dan saya jatuh cinta dengan dia.”

Akhirnya, Donatus pun menikahi perempuan Mondo tersebut dan menetap di sana. Ia resmi menjadi warga Mondo di tahun 1961. Dengan restu Yoseph Majung yang menjadi Tu’a Golo, Donatus meninggalkan pekerjaan dagangnya dan memulai hidup sebagai seorang petani Mondo karena memperoleh lahan garapan dari Panga Waling. Donatus memiliki 7 orang anak, seorang laki-laki dan enam orang perempuan. Demikianlah kini Donatus Darus menjadi Tu’a Panga Poka di Mondo.

Panga Carep

Pada tahun 1972, datanglah seorang pria dari Carep, namanya Benediktus Enggok. Carep cukup jauh dari Borong, tepatnya di Kecamatan Waé Rii, Kabupaten Manggarai, tak jauh dari Poka.

“Saya datang ke sini karena saya punya ipar Bapak Yoseph dari Teber tinggal di sini,” jelas Benediktus.

Hamparan padang rumput Mondo yang luas telah menarik hati Benediktus untuk mengadu nasibnya di tanah Mondo.

“Saya coba cari tahu punya siapa saja itu lahan-lahan luas tersebut. Saya tanya ke Tu’a Golo di mana saya bisa mengolah tanah membuka kebun, dan dijawab yang penting asal saya kuat pagar saja,” kenang Benediktus.

Maka, pria Carep ini pun memagari lahan-lahan yang akan dijadikannya kebun berdasarkan petunjuk Yoseph Majung.

“Jadi, di mana yang Bapak Tua tunjuk, di situ saya pagar,” kata Benediktus.

Benediktus Enggok menjadi Tu’a Panga bagi seluruh warga Carep yang tinggal di Mondo. Di tahun 2010, panga Carep telah berkembang menjadi 5 keluarga, seluruhnya merupakan keturunan dari Benediktus. Demikianlah Carep menjadi panga terakhir yang datang ke Mondo. Kehadirannya menyemarakkan Kampung Mondo yang semakin hari semakin bertambah jumlah warganya.