val3

32
Tuhan memberi kesedihan kepada saya untuk mengajarkan rasa bahagia kepada saya. Macam-Macam Pendekatan Sastra | di Selasa, Januari 03, 2012 Strukturalisme Strukturalisme adalah cara berpikir tentang dunia yang dikaitkan dengan persepsi dan deskripsi struktur. Adapun asumsi dasar dari kajian ini adalah bahwa karya sastra merupakan suatu karya yang otonom dapat dipahami sebagai suatu kesatuan yang bulat dengan unsur pembangunnya yang saling berjalinan satu sama lain. Ada tiga bentuk strukturalisme itu; strukturalisme klasik, strukturalisme genetik dan strukturalisme dinamik. Struktulalisme klasik, adalah strukturalisme yang paling awal. Ia merupakan strukturalisme paten. Kajian yang hanya mengkaji struktur semata. Dalam kajian sastra, struktur macam ini, tidak peduli dengan hal lain kecuali yang berkaitan dengan struktur di dalam karya sastra. Tak ada hal lain yang perlu diteliti kecuali struktur karya sastra. Penerapan strukturalisme klasik dalam karya sastra dilakukan dengan cara memadukan fakta sastra dengan tema sehingga makna sastra dapat dipahami dengan jelas. Akan tetapi perlu dicatat bahwa pemahaman dan

Upload: raden-roro-lia-chairina

Post on 27-Dec-2015

14 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: VAL3

Tuhan memberi kesedihan kepada saya untuk mengajarkan rasa bahagia kepada saya.

Macam-Macam Pendekatan Sastra

| di Selasa, Januari 03, 2012

Strukturalisme

Strukturalisme adalah cara berpikir tentang dunia yang dikaitkan dengan

persepsi dan deskripsi struktur. Adapun asumsi dasar dari kajian ini adalah bahwa

karya sastra merupakan suatu karya yang otonom dapat dipahami sebagai suatu

kesatuan yang bulat dengan unsur pembangunnya yang saling berjalinan satu

sama lain.

Ada tiga bentuk strukturalisme itu; strukturalisme klasik, strukturalisme

genetik dan strukturalisme dinamik. Struktulalisme klasik, adalah strukturalisme

yang paling awal. Ia merupakan strukturalisme paten. Kajian yang hanya

mengkaji struktur semata. Dalam kajian sastra, struktur macam ini, tidak peduli

dengan hal lain kecuali yang berkaitan dengan struktur di dalam karya sastra. Tak

ada hal lain yang perlu diteliti kecuali struktur karya sastra.

Penerapan strukturalisme klasik dalam karya sastra dilakukan dengan cara

memadukan fakta sastra dengan tema sehingga makna sastra dapat dipahami

dengan jelas. Akan tetapi perlu dicatat bahwa pemahaman dan pengkajian antar

struktur fakta sastra tersebut harus ditopang oleh pengetahuan yang mendalam

tentang pengertian, peran, fungsi, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan unsur

tersebut. Misalnya, ketika peneliti membahas unsur tokoh dalam novel, maka ia

harus tahu apa itu tokoh dalam novel dan fungsinya tersebut dengan baik dalam

struktur bangunan sebuah novel.

Meski tampak mampu menggambarkan karya sastra secara objektif,

namun di balik itu, ada dua hal yang menjadi kelemahan strukturalisme macam

ini: pertama peneliti melepaskan sastra dari latar belakangnya dan kedua, ia

mengasingkan sastra dari relevansinya dengan budaya. Bahwa sastra tidak serta

lahir begitu saja, ia dilatar belakangi oleh hal-hal yang berada di luar dirinya.

Page 2: VAL3

Kemudian, dari kelemahan di atas itu, maka muncullah dua bentuk

strukturalisme lain, yakni strukturalisme genetik dan strukturalisme dinamik.

Yang pertama, strukturalisme genetik, adalah strukturalisme yang tidak hanya

melibatkan struktur sastra melainkan juga kehidupan pengarang dan kondisi sosial

masyarakat yang mendorong karya itu lahir. Arti genetik itu sendriri adalah “asal

usul karya sastra” yang berati diri pengarang dan kenyataan sejarah yang turut

mengkondisikan karya sastra saat ia diciptakan. Tokoh strukturalisme genetik

adalah Lucien Goldman.

Menurut Goldman, ada dua macam karya sastra. Pertama, karya sastra pengarang utama, yakni karya sastra yang strukturnya sebangun dengan struktur kelompok atau kelas sosial tertentu. Kedua, karya sastra pengarang kelas dua, yakni karya sastra yang sekedar raproduksi segi permukaan realitas sosial dan kesadaran kolektif. Nah, karya sastra yang cocok diteliti dengan kajian strukturalisme genetik adalah karya sastra yang pertama, karena, menurut Goldman, di dalam karya tersebut terdapat apa yang disebut dengan “problematik hero” yaitu permasalahan-permasalahan yang berhadapan dengan kondisi sosial yang dari sana pengarang berusaha mendapatkan/menentukan suatu nilai tertentu yang diimplementasikannya kedalam karyanya. Mengetahui nilai tersebut berarti menangkap pandangan dunia sang sastrawan.

Adapun penerapan terhadap pendekatan strukturalisme genetik ini, dapat

dilakukan dengan dimulai dari kajian unsur-unsur intrinsik sastra, baik secara

parsial maupun kajian keseluruhan. Kemudian mengkaji latar belakang kehidupan

sosial kelompok pengarang karena ia merupakan bagian dari komunitas

masyarakat tertentu. Di samping itu tidak luput juga untuk mengkaji latar

belakang sosial dan sejarah yang turut mengkondisikan karya sastra saat ia

diciptakan oleh pengarang. Dan akhir dari kegiatan ini, adalah berhasil untuk

mengungkap pandangan dunia pengarang tersebut.

Yang kedua, yang lahir dari akibat ketidakpuasan terhadap kajian

strukturalisme klasik adalah strukturalisme dinamik. Maksud “dinamik” di sini

mengacu pada dinamika yang diakibatkan pembacaan kreatif dan pembaca yang

dibekali konsiliasi yang selalu berubah, ia dianggap sebagai homo significan,

makhluk yang membaca dan menciptakan tanda.

Jadi dapat dikatakan bahwa strukturalisme dinamik adalah kajian

strukturalisme dalam rangka semiotik. Artinya, karya sastra dikaitkan dengan

sistem tanda. Tanda mempunyai dua fungsi: otonom, yakni tidak menunjuk di luar

Page 3: VAL3

dirinya dan informasional, yakni menyampaikan pikiran, perasaan dan gagasan.

Adapun penerapannya dapat dilakukan dengan pertama-tama menjelaskan struktur

karya sastra yang diteliti. Kemudian menjelaskan kaitan pengarang, realitas, karya

sastra dan pembaca.

Semiotik

Secara sederhana semiotik berarti ilmu tentang tanda. Ia mempelajari

sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi, yang memungkinkan tanda-

tanda tersebut mempunyai arti. Ia memiliki tujuan untuk mengetahui sistem tanda-

tanda dengan menentukan konvensi-konvensi apa saja yang memungkinkan karya

sastra mempunyai makna. Kajian semiotik ini mempunyai asumsi dasar bahwa

fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda.

Semiotik merupakan perkembangan atau lanjutan dari strukturalisme. Ya.

Strukturalisme tidak dapat dipisahkan dengan semiotik. Alasannya, karya sastra

itu merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna. Tanpa memperhatikan sistem

tanda, maka tanda dan maknanya dan konvensi tanda, maka struktur karya sastra

tidak akan dapat dimengerti maknanya secara optimal.

Tanda, dalam semiotik, terdiri dari penanda dan petanda. Penanda

(signifier) adalah bentuk formal yang menandai petanda. Sementara petanda

(signified) adalah sesuatu yang ditandai penanda itu, yakni artinya. Menurut

Pradopo, hubungan antara penanda dan petanda, terjadi dalam tiga bentuk. Yang

pertama dalam bentuk ikon, yakni hubungan yang bersifat alamiah. Contoh

gambar kuda menunjukkan hubungan antara tanda kuda dengan kuda yang

sebenarnya (alami). Yang kedua dalam bentuk indeks, yakni hubungan kausalitas.

Contoh asap menandai adanya api. Yang ketiga simbol, yakni tidak bersifat

alamiah atau kausalitas melainkah hubungannya bersifat abitrer (semau-maunya).

Contoh kata “ibu” atau gamabar “bualan bintang” maknanya tidak bisa tentukan

begitu saja, ia ditentukan oleh sebauh konvensi.

Lalu bagaimana langkah kerja kajian semiotik ini? Caranya adalah dengan

menyendirikan satuan-satuan minimal yang digunakan sistem tanda tersebut

Page 4: VAL3

dengan memakai hubungan paradigmatik dan sintagmatik. Kemudian menentukan

konvensi-konvensi yang memungkinkan karya sastra mempunyai makna.

Dalam kajian semiotik, ada tiga metode yang dikenal. Pertama, konvensi

ketaklangsungan ekspresi, yakni mengenali makna tanda dengan beberapa cara:

menelaah pergantian arti (displacing of meaning) dengan memperhatikan,

memperhatikan penyimpangan arti (distorting of meaning) dan penciptaan arti

(creativy of meaning). Kedua, intertekstual, yakni membandingkan, menjajarkan

dan mengkontraskan karya sastra tersebut dengan teks lain dengan mencari

hypogram atau landasan penciptaan yang menghubungkan karya tersebut dengan

karya sastra lain sebelumnya yang dicerapnya. Untuk lebih jelasnya, nanti, kajian

ini akan dibahas terpisah secara terperinci. Dan ketiga, dengan heruestik  dan

hermeneutik, yakni (heruestik) membaca karya sastra berdasarkan struktur dan

memperjelas artinya, bila perlu menyisipkan kata atau sinonim kata-kata dengan

ditaruh dalam tanda kurung karya tersebut, contohnya dalam puisi. Selanjutnya,

(hermeneutik) yakni menafirkannya dengan berusaha memahami secara

keseluruhan karya tersebut.

Intertekstua

Di atas aku sudah mengatakan bahwa aku akan menjelaskan kajian

intertekstual secara terpisah. Nah, di sinilah tempatnya. Intertekstual merupakan

kajian teks yang melibatkan teks lain dengan mencari dan menelaah hubungan

tersebut. Suatu teks, dalam kaca mata intertekstual, lahir dari teks-teks lain dan

harus dipandang sesuai tempatnya dalam keluasan tekstual. Pendekatan ini

memiliki asumsi bahwa karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya, termasuk

sastra. Karya sastra merupakan respon pada karya sastra yang terbit sebelumnya.

Bahwa suatu teks penuh dengan makna bukan hanya mempunyai struktur tertentu,

suatu karangan yang menentukan dan mendukung bentuk, tetapi juga karena teks

itu berhubungan dengan teks lain.

Pengertian “teks” tidak hanya yang tertulis saja atau tidak juga yang suara

yang meluncur dari lisan, akan tetapi dalam pengertian umum, ia adalah dunia

semesta ini, adat istiadat, kebudayaan film, drama dan lain-lain. Semua itu adalah

teks juga. Hubungan antar teks, tidak dipandang melulu bahwa teks yang lahir

Page 5: VAL3

akibat teks sebelumnya itu senantiasa meneladani teks sebelumnya, tetapi juga

yang menyimpang dan memberontak.

Tokoh pertama dalam dunia filsafat yang memperkenalkan pendekatan ini

adalah Jecques Derrida, kemudian diperdalam oleh Julia Kristeva. Menurut Julia

Kristeva, setiap teks merupakan mozaik dan merupakan penyerapan

(transformasi) teks-teks lain. Maksudnya, setiap teks, mengambil hal-hal yang

bagus lalu diolah kembali dalam sebuah karya baru atau karya baru itu ditulis

setelah melihat, mencerapi, menyerap hal yang menarik baik sadar maupun tidak

sadar. Dalam sastra, yang diserap dapat berupa konvensi sastra atau juga suatu

gagasan. Nah, konvensi dan gagasan yang dicerap itu dapat dikenali apabila kita

membandingkan teks yang menjadi hipogram-nya (yang menjadi landasan

penciptaan) dengan teks yang baru itu. Teks baru yang menyerap itu dan yang

mentrasformasikan hiporgam itu, dalam kajian intertekstual, disebut dengan “teks

transformatif”.

Resepsi

Suatu karya sastra tidak akan sama pembacaan, pemahaman dan

penelitiannya sepanjang masa dalam seluruh golongan masyarakat tertentu. Karya

sastra sejak ia diterbitkan, selalu akan mendapat tanggapan dari pembacanya.

Demikian asumsi dari para pengkaji sastra lewat pendekatan resepsi. Mereka

dalam mengkaji karya sastra, titik tekan yang dicapat, adalah respon pembaca

Ada dua macam hubungan pembaca dengan karya sastra. Yang pertama

disebut “horizon harapan”  (horizon of espextation), istilah ini dicetuskan oleh

Hans Robert Jauss. “horizon harapan ini” dapat ditentukan dengan meneliti

norma-norma umum yang terpancar dari teks yang telah dibaca oleh pembaca.

Atau dapat dikenali dari pengetahuan dan pengalaman pembaca atas semua teks

yang telah dibaca sebelumnya. Bisa juga dari pertentangan antara fiksi dan

kenyataan.  Yang kedua disebut “tempat-tempat terbuka” (balnk, opennes), istilah

ini dicetuskan oleh Wolfgang Iser. Iser memperkenalkan Konsep Efek (wirkung)

yakni cara sebuah karya mengarahkan reaksi pembaca terhadapnya. Menurut Iser,

dalam sastra terdapat kesenjangan antara teks dan pembaca dan disinilah,

menurutnya, terjadi kekosongan atau “tempat terbuka” itu yang kemudian diisi

Page 6: VAL3

oleh pembaca. Dari kekosongan yang telah diisi itulah terjadi respon antara

pembaca sastra yang berbeda-beda.

Bagaimana cara menerapkan pendekatan ini? Pertama, dapat dilakukan

secara eksperimental. Caranya, menetapkan objek-objek estetik karya sastra

kemudian menetapkan perbedaan dan persamaan objek-objek estetik tersebut

yang kemudian pada akhirnya menentukan relasi antar objek tersebut. Tujuannya

adalah untuk mengungkap reasksi pembaca masa kini. Kedua, lewat kritik sastra.

Bisa dilakukan dengan dua cara. Secara sinkronik, dalam suatu kurun waktu atau

secara diakronik, dalam sepanjang sejarahnya. Perlu dicacat bahwa pengambialan

simpel respon pembaca ini tidak bisa didasarkan pada tanggapan individual,

melainkan dari yang mewakili norma pada masa waktu tertentu. Ketiga, secara

intertekstual. Dengan cara meneliti fenomena resepsi pengarang terhadap yang

pernah dibacanya dilibatkan dalam ciptaannya dengan menelaah terhadap

hiporam-nya.

Stilistika

Secara bahasa, stilistika berarti pemakaian atau penggunaan bahasa dalam

karya sastra. Sedangkan dalam pengertiannya secara umum, dapat dikatakan,

bahwa ia merupakan bagian dari ilmu linguistik yang memusatkan perhatiannya

kepada variasi penggunaan bahasa. Fokus penelitian stilistika terhadap sastra

adalah untuk menentukan suatu prinsip yang mendasari kesatuan karya sastra dan

dapat menemukan suatu tujuan estetika umum yang menonjol dalam sebuah karya

sastra, yang mungkin juga dapat diarahkan untuk membahas isi.

Jika yang dibahas atilistika adalah penggunaan bahas atau yang disebut

dengan gaya bahasa, tetapi, apa itu gaya bahasa? Menurut Enkvist, gaya berarti

pembungkus yang membungkus pemikiran atau pernyataan yang telah ada

sebelumnya. Bisa juga berarti pilihan di antara pernyataan yang mungkin. Atau

sekumpulan ciri pribadi. Atau bisa juga berarti penyimpangan norma atau kaidah.

Atau hubungan antara sekumpulan bahasa yang dinyatakan dalam teks yang lebih

luas daripada sebuah kalimat.

Ada yang berpendapat bahwa gaya bahasa itu sejatinya datang dari

kepribadian seseorang yang tidak bisa ditiru sehingga menjadikan antara satu

Page 7: VAL3

orang pengarang dengan pengarang lainnya pasti berbeda, menunjukkan ciri khas.

Ada pula yang berpendapat ia merupakan ciri sebuah teks yang dapat dicontoh.

Ada juga yang menyatakan bahwa ia merupakan kesan yang dihubungkan oleh

sebuah kelompok tertentu, lahir dari sebuah kultur.

Kajian stilstika di dalam sastra dapat dilakukan dengan menganalisis

tentang sistem linguistik dan membedakan sistem satu dengan sistem lain dengan

metode kontras, mangamati deviasi dan distorsi terhadap pemakaian bahasa yang

normal dan berusaha menemukan estetisnya.

Sosiologi Sastra

Sastra menampilkan kehidupan sementara kehudupan itu sendiri, adalah

kenyataan sosial. Sastra dapat menumbuhkan siakap sosial tertentu atau bahkan

mencetuskan peristiwa tertentu. Sastra merupakan institusi sosial yang ditentukan

oleh sastrawan sebagai anggota masyarakat. Dari asumsi ini maka lahirlah kajian

sastra menggunakan pendekatan sosial yang disebut dengan sosiologi sastra..

Apa yang maksud dengan sosiologi sastra? Sosiologi sastra adalah kajian

sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan. Tujuannya adalah

untuk mendapatkan gambaran lengkap, utuh dan menyeluruh tentang hubungan

timbal balik antara sastrawan, karya sastra dan masyarakat. Yakni: seberapa

jauhkah nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial, dan seberapa jauhkah nilai sosial

mempengaruhi nilai sastra.

Sosiologi sastra mempunyai tiga sasaran yang dibahas. Sasaran pertama

adalah bahwa ia mengkaji fungsi sosial dari sebuah karya sastra: apakah karya

sastra yang dikajinya ini memposisikan dirinya sebagai Nabi, atau ia menganggap

karya sastranya sebagai penghibur saja, atau mengkompromikan keduanya?

Sasaran kedua adalah konteks sosial dari  sastrawan itu sendiri yang meliputi; apa

dan bagaimana pencaharian pengarang, profesionalisme kepengarangannya dan

masyarakat yang dituju pengarang. Dan sasaran yang ketiga adalah bahwa sejauh

mana karya itu mencerminkan sebuah masyarakat.

Ada beberapa hal yang perlu diketahui oleh peneliti bahwa sastra mungkin

tidak dapat dikatakan cermin masyarakat saat ia ditulis, bahwa sifat “lain dari

yang lain” sastrawan mempengaruhi pemilihan dan penampilan  fakta-fakta sosial

Page 8: VAL3

dalam karyanya, bahwa genre sosial biasanya/sering merupakan sikap sosial

seluruh masyarakat kelompok tertentu dan bukan sikap seluruh sosial masyarakat

dan bahwa satra yang berusaha menampilkan keadaan masyarakat secermat-

cermatnya, mungkin saja tidak dapat diterima sebagai cerminan masyarakat.

Dekonstruksi

Dekontruksi lahir dilatarbelakangi dari sikap seorang filsuf kontemporer

bernama Jaques Derrida yang menolak logosentrisme. Logosentrisme adalah

keinginan akan suatu pusat atau suatu “kehadiran” akan sabda Tuhan, yang

mampu menjelaskan segalanya. Ia merupakan sebuah usaha yang terus-menerus

untuk menghancurkan dan meniadakan pemusatan (decentering). Cara Derrida

menjalankan misinya itu adalah dengan membangun teori semiotik yang disebut

“gramatologi”, yaitu mempertanyakan kembali tanda dan tulisan dengan menolak

konsep tanda Sassure penanda dan petanda, dengan konsep “jejak” (trace) yang

misterius dan tidak terungkap (imprecitible), deferinsiasi dan tulisan

Dalam aplikasinya, dekonstruksi berusaha untuk membalikkan herarkis

terhadap sistem oposisional yang sudah ada. Kemudian melakukan oposisi-oposisi

yang sudah klasik, pemelesetan besar-besaran terhadap sistem itu secara

keseluruhan. Caranya adalah dengan menentukan oposisi-oposisi tertentu

merupakan pemaksaan ideologi  metafisik dengan satu membawa preoposisi-

preoposisi dan peranannya dalam nilai metafisika. Menunjukkan bagaimana

sistem itu dihancurkan dalam teks yang mengungkap dan bersandar kepadanya.

Mempertanyakan oposisi dengan  memakainya dalam argumen sendiri dan

menerima kembali dengan suatu pembalikan yang memberinya status akibat dan

akibat yang berbeda. Akan tetapi perlu dicatatat bahwa dekonstruksi bukanlah

sebuah teori. Ia anti teori dan yang dapat kita ambil adalah hanya semangatnya

saja.

Eksistensialisme

Eksistensialisme adalah gerakan filsafat yang mengusung ide bahwa manusia

menciptakan makna dan hakekat hidup mereka sendiri. Karenanya, filsafat harus

mengacu pada manusia yang konkrit, yaitu manusia sebagai eksistensi. Beberapa

tokoh penting gerakan eksistensialisme, dengan perbedaan-perbedaan

Page 9: VAL3

pandangannya, antara lain: Kierkegaard, Nietzsche, Berdyaev, Jaspers, Heidegger,

Sartre, dan Camus (meskipun Camus sendiri tidak mau disebut sebagai seorang

eksistensialis)

Feminisme

Feminisme merupakan gerakan yang menyuarakan ketidakadilan dan

ketidaksetaraan peran antara laki-laki dan perempuan. Teori feminis dimaksudkan

untuk memahami ketidaksetaraan dan difokuskan pada politik gender, hubungan

kekuasaan, dan seksualitas.

Fenomenologi

Fenomenologi memanfaatkan pengalaman intuitif atas fenomena, sesuatu yang

hadir dalam refleksi fenomenologis, sebagai titik awal dan usaha untuk

mendapatkan fitur-hakekat dari pengalaman dan hakekat dari apa yang kita alami. 

G.W.F. Hegel dan Edmund Husserl adalah dua tokoh penting dalam

pengembangan pendekatan filosofis ini.

Formalisme

Formalisme merupakan sebuah cara mengkaji karya sastra yang difokuskan pada

bentuk daripada isi. Teori formalis lebih berkonsentrasi pada pembahasan fitur-

fitur teks, khususnya properti-properti bahasa yang digunakan daripada konteks

penciptaan karya dan konteks penerimaannya.

Gynocriticism

Gynocriticism adalah pembelajaran tentang sejarah, gaya, tema, genre, dan

struktur tulisan yang dikarang oleh perempuan, dinamika kejiwaan dari kreatifitas

perempuan, perkembangan karir perempuan secara perorangan atau kelompok,

dan evolusi atau aturan-aturan tradisi kesusastraan perempuan.

Humanisme Liberal

Page 10: VAL3

Humanisme Liberal mencoba menjembatani pembaca dan teks sastra dengan

berpegang pada beberapa prinsip dasar, antara lain; bahwa sastra yang baik

mengandung makna abadi, bahwa makna karya sastra ada di dalam karya itu

sendiri, bahwa manusia dan sifat-sifatnya tetap sama, dan bahwa bentuk dan isi

karya sastra tidak dapat dipisahkan.

Kritik Psikoanalisis

Kritik psikoanalisis merupakan bentuk kritik sastra yang menggunakan teknik-

teknik psikoanalisis dalam merancang interpretasi sastra. Secara singkat,

psikoanalisis adalah terapi untuk memahami interaksi antara unsur-unsur

kesadaran dan ketidaksadaran dalam otak manusia.

Kritik Sosiologis

Kritik sosiologis dimaksudkan untuk memahami sastra dalam konteks sosial yang

lebih luas. Melalui metode sosiologi, kritik ini menggambarkan konstruksi sosial

dari karya-karya sastra.

Marxisme

Marxisme adalah teori sekaligus gerakan politik yang diambil dari pemikiran Karl

Marx dan Friedrich Engels. Tujuan dari Marxisme adalah menciptakan

masyarakat tanpa kelas, yang didasarkan pada kepemilikan alat-alat produksi,

distribusi, dan pertukaran.

Materialisme Kultural

Materialisme Kultural adalah sebuah studi tentang bahan sejarah dalam sebuah

kerangka politik. Materialisme Kultural berhubungan dengan dokumen sejarah,

analisisnya, dan penciptaan ulang pandangan tentang suatu periode sejarah

tertentu. Materialisme Kultural juga membahas tekanan hegemonik pada

masyarakat dalam penciptaan karya-karya kanon.

Page 11: VAL3

Potret Wanita Dalam Novel Harga Seorang Wanita Karya Februana (Kajian Sosiofeminis)#

Nama                    : Deasy Rahmawati TirayohNomor Stambuk    : A1D1 02 033Program Studi        : Program Studi Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia Dan DaerahJudul Penelitian       : Potret Wanita Dalam Novel Harga Seorang Wanita Karya Februana (Kajian Sosiofeminis)Dosen Pembimbing  :1. Drs. Ahid Hidayat, M.Hum. 2. Sumiman Udu, S.Pd., M.Hum.Tahun Skripsi           : 2009

ABSTRAKDunia sastra tidak terlepas dari cakupan pendidikan, dalam hal ini menganalisis teks-teks sastra khususnya novel sebagai bentuk apresiasi terhadap perkembangan kesusastraan di Indonesia. Menganalisis salah satu unsur ekstrinsik yaitu melalui kajian sosiofeminis pada novel Harga Seorang Wanita karya penulis Indonesia bernama Februana, berupaya menguak gejala pendeskriminasian yang lahir dari patriarkisme di Indonesia khususnya di pulau Jawa. Merupakan bentuk apresiasi terhadap dunia sastra sekaligus terhadap kaum wanita, dua hal tersebut yang melatarbelakangi penelitian ini dilakukan.    Masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah potret dalam novel Harga Seorang Wanita serta bagaimana penggambaran yang seharusnya berdasarkan teks novel tersebut dan ideologi apa yang membentuk penggambaran tersebut dalam kajian sosiofeminis?”. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana potret wanita dalam novel Harga Seorang Wanita serta bagaimana penggambaran yang seharusnya berdasarkan teks novel dan ideologi yang membentuk penggambaran tersebut dalam kajian sosiofeminis.    Penelitian ini tergolong penelitian kepustakaan. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Data dalam penelitian ini adalah unsur patriarkisme yang 

Page 12: VAL3

membentuk penggambaran tokoh wanita dalam kajian sosiofeminis. Sumber data dalam penelitian ini adalah data tulis berupa teks novel Harga Seorang Wanita karya Februana serta data tertulis lainnya yang mendukung penelitian ini. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosiofeminis yaitu suatu pendekatan yang mengarahkan fokus analisis pada penggambaran wanita dalam teks sastra serta bagaimana penggambaran yang seharusnya berdasarkan teks dan ideologi yang membentuk penggambaran tokoh wanita dalam novel Harga Seorang Wanita karya Februana.

I.    PENDAHULUAN1.1    Latar BelakangEmansipasi dalam sastra adalah pelepasan diri perempuan dari kedudukan sosial ekonomi yang rendah atau dari pengekangan hukum yang membatasi kemungkinan perempuan untuk berkembang dan maju. Sungguh wajar jikalau fakta yang kemudian muncul dalam penulisan bergenre “dunia perempuan” terdapat perspektif yang tidak sepenuhnya terbebas terhadap bias gender sebab bagaimanapun juga novel-novel yang ditulis oleh penulis laki-laki mengandung kegemangan wacana, berbeda jika tema perempuan ditulis oleh perempuan sendiri. Asumsi ini memang tidak sepenuhnya bisa dibuktikan kebenarannya. Tetapi dengan maraknya perkembangan wacana yang mengarah ke persoalan gender serta kecenderungan pengangkatan tema perempuan bukan oleh perempuan pada akhirnya menanggung beban “maskulinitas” di dalamnya. Karena (a) menindaki secara lugas mengenai perempuan bukan terbatas hanya pada tubuh dan seksualitasnya saja, tetapi juga pada esensi perempuan itu sendiri secara psikologis, fisik, dan sosial kemasyarakatannya. (b) membidik persoalan perempuan ternyata tidak bisa melalui perspektif sepihak, dan (c) realitas telah menyiratkan netapa jamaknya kehidupan perempuan yang tertangkup dalam jaring-jaring maskualinisme dan konteks multidimensional dan perempuan sulit membuka diri dan bersuara (Sukri, 2001:66).Mengenai bias gender yang sering hadir dalam karya sastra Indonesia, sesungguhnya pokok persoalannya berakar pada bagaimanakah memposisikan feminisme tanpa terpolarisasi secara langsung oleh maskualinisme  yang berimbas pada ketimpangan wacana, yakni pihak perempuan secara diam-diam terhegemoni atau sekurang-kurangnya regulasi feminisme haruslah murni, tidak terkoordinasi oleh kaum laki-laki. Kemudian bagaimana menyimak lebih dalam lagi yakni melakukan perlawanan terhadap ketimpangna tersebut. Dengan kata lain, bagaimna kedmudian “politik wacana perempuan” tampil lebih berimbang dalam konstalasi sastra (Suwandi, 2003:22).Selain itu ada fakta lain yang menunujukkan bahwasanya dalam karya sastra dalam rentang waktu berabad lamanya, perempuan digambarkan dengan cara yang sama yaitu mereka mematuhi kodrat, pasrah dalam hubungannya antara jenis kelamin, dan cenderung bersifat pasif dan tanpa pilihan (Arivia 2005:128).Hal ini misalnya terdaoat pada novel ketiga Februana dengan judul Harga Seorang Wanita dengan gambaran dunia perempuan Jawa khususnya Yogyakarta. Penulisnya 

Page 13: VAL3

memampangkan dengan lugas polemik perempuan pelosok Jawa yang termarginalkan, dibumbuhi dengan mitos-mitos, sejarah, adat-istiadat dalam kehidupan masyarakatnya. Berdasarkan hal tersebut peneliti berasumsi bahwa gambaran wanita dalam novel Harga Seorang Wanita Karya Februana merupakan sketsa fiksi yang relevan dengan kehidupan nyata sehingga dapat dianalisis sebagai sebuah bentuk teks sastra. Selain akan membuka akses bagi para penulis muda, juga memberi kesempatan tidak hanya untuk insan sastra Indonesia semata, melainkan juga khalayak luas yang inigin menjenguk khasanah budaya Jawa dalam kubu-kubu penceritaan kisah yang disuguka oleh seorang Februana. Dengana adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah sastra utamanya pada aspek kritik dan esai kesusastraan Indonesia.1.2    Kajian Teori1.2.1    NovelMenjadikan novel sebagai objek penelitian bukanlah hal baru. Meskipun demikian, novel banyak diteliti sebagai karya sastra daripada sebagai alat komunikasi. Penelitian tentang novel sebagai karya naratif fiktif sudah banyak dilakukan. Berbagai istilah dilakukan orang untuk menyebut kajian atas novel sebagai teks, misalnya analisis teks, semiotika, puitik, analisis stilistika, struktural, dan sejumlah nama lain lagi. Ini membuktikan bahwa kajian novel sebagai teks naratif fiktif memang masih mencari bentuknya yang lebih mapan (Hoed, 1992:15).Novel adalah rangkaian teks fiksi. Ada anggapan bahwa teks fiksi identik dengan teks khayalan, atau teks yang menyajikan sesuatu secara tidak langsung berkorespondensi satu persatu dengan kenyataan aktual. Tentu saja anggapan ini tidak serta merta menjadikan teks fiksi sepenuhnya adalah kebohongan. Dalam satu segi, menurut Art Van Zoest (Hidayat, 2006:48) fiksi juga mengungkapkan kebenaran.Novel adalah jenis sastra dari Eropa yang muncul dari kaum Borjuis di Inggris di pertengahan abad 18. Novel adalah produk masyarakat yang terpelajar, mapan, kaya, yang punya cukup waktu luang untuk menikmatinya. Di Indonesia masa subur novel terjadi pada tahun 1970-an yakni ketika cukup banyak golongan pembaca wanita dari golongan menengah-atas terpelajar (Sugihastuti, 2003:12)Dalam ranah sastra, terutama novel dan cerpen selain tema “dunia perempuan” yang cukup diminati dan mendapatkan tempat, ada hal lain yang signifikan dilirik, yaitu semakin mencuatnya “warna budaya”. Sejauh ini budaya tetap mendapat tempat eksklusif dimata sastrawan warna budaya (Susanto, 1992:143).1.2.2    Wanita Indonesia    Pertama-tama dapatlah kita merujuk pada segi pengertian emansipasi yang kurang lebih dapat dimaknai sebagai evolusi manusia dan lebih dipopulerkan oleh perempuan karena proses evolusi ini sebagian besar adalah pembebasan diri dari cengkraman penindasan serta pembebasan untuk mengaktualisasikan potensi-potensi yang dimiliki (Whertheim, 1976:98). Dengan demikian, kita dapat lebih memberi privatisasi terhadap pandangan umum mengenai bagaimanakah citra perempuan di era emansipasi dan sesudahnya.

Page 14: VAL3

    Sejarah wacana keadilan gender di Indonesia telah berdenyut sejak lama. Ironisnya cana tersebut nampaknya berjalan di tempat. Wanita Indonesia secara general terutama di tingkat masyarakat bawah mengalami diskriminasi, ketidakadilan, bahkan penindasan. Sejauh ini masih belum ada tanda-tanda yang memperlihatkan perubahan yang signifikan dalam relasi sosial antara perempuan dan laki-laki dalam masyarakat.    Wanita Indonesia dalam bidang pendidikan dan kebudayaan pada tahun 2000 menurut Arivia (2003:62), di samping memainkan peran ganda sebagai istri, ibu, ahli profesional, pencari nafkah, pendidik, teman putra-putrinya, akan tetapi dihargai dan diakui bila dapat memberikan sekaligus memperoleh pemenuhan kebutuhan kasih sayang, rasa aman dan perlindungan untuk dapat menghidupi dan memberikan keturunan sesuai kemampuan yang apa adanya.    Nawal El Sadaawi (2003) dalam sebuah pengantar bukunya menuliskan, perempuan bukanlah makhluk yang lemah kualitas akalnya dibanding laki-laki, sebagaimana yang diyakini banyak orang. Bahkan sejarah menunjukkan kepada kita bahwa wanita lebih dulu berpikir dengan akalnya daripada laki-laki, ilmu pengetahuan di dalam sejarah kemanusiaan. Dewa pertama pengetahuan adalah Euzeus sedang sebelumnya adalah Hawa.    Spesifikasi perempuan Indonesia yakni perempuan Jawa yang mumpuni (seyogyanya) digambarkan sebagai perempuan yang pendiam, pemalu, penurut, sopan santun, dan lemah lembut. Gambaran semacam ini membuat perempuan Jawa kehilangan kebebasan berkreasi dan mengembangkan kemampuannya sehingga potensi diri mereka terpendam. Sayangnya tidak semua perempuan menanggapi fenomena itu sebagai kondisi negatif yang merugikan. Sebagian justru menikmatinya, mereka merayakan ketergantungan itu adalah pengabdian, yang diberikan sebagai perempuan (Budi,1992:26).    Tokoh emansipasi perempuan Indonesia, R.A. Kartini dalam suratnya yang diperuntukkan bagi temannya berkebangsaan Belanda, Stella Zeehandelaar pada 23 Agustus 1900 menuliskan; Yang pertama dan utama, aku akan menghapus adat kebiasaan buruk yang lebih memihak anak laki-laki daripada anak perempuan. Kita tidak seharusnya terkejut akan sifat laki-laki yang memikirkan diri sendiri saat kita menyadari bagaimana sejak kecil dia sudah dimenangkan dari perempuan, yang sudah semenjak masa kanak-kanaknya laki-laki sudah diajari untuk merendahkan perempuan (Toer, 2003:27).1.2.3    Wanita dalam  Sastra Novel    Pembahasan mengenai posisi dan peran wanita dalam sastra novel terbagi dua, yaitu wanita sebagai penulis novel serta wanita sebagai tokoh dalam novel itu sendiri. Hal ini kian menjelaskan bahwa wanita hadir sebagai pelaku sastra sekaligus pelakonnya, terlepas dari asumsi dan tendensi yang kerap muncul mengenai penulis karya sastra dan isi yang dihasilkannya yang kemudian membentuk citra wanita dalam dunia sastra terkesan tidak serta merta dapat diterima karena kenyataan membuktikan bahwa penulis wanita mempunyai apresiasi yang tidak bisa dipandang sebelah mata.

Page 15: VAL3

    Ayu Utami seorang penulis novel Indonesia mengungkapkan bahwa dunia sastra adalah dunia keakuan yang memberikan gairah untuk hidup, tulisan adalah inspirasi terbesar, melalui keutuhan sastra mewadahi perempuan secara fisik, kognitif, emosional, maupun spiritual. Dengan segala kelemahan dan kelebihannya (Jurnal Perempuan, 2003:41).    Tetapi ada realitas yang sulit dibantah yaitu dunia yang kita huni ini adalah dunia yang mewarisi tradisi masyarakat patriarki selama berabad-abad. Selama itu pula kekuasaan pribadi perempuan dikerdilkan dan terpinggirkan. Termasuk dalam sastra, perempuan kerap termarginalkan . sedangkan, pada penulis pria seperti tak berbatas. Hal ini didukung pula dengan lingkungan yang riwayat sejarah budayanya memposisikan perempuan sebagai makhluk beyond. Pada tahapan tertentu, hal ini merupakan penghambat yang crucial bagi beberapa penulis perempuan (Loekito, 2003:65).    Perihal utama bukanlah semata-mata menanyakan apakah penulis perempuan itu, lebih kepada pertanyaan akan menjadi apakah hasil pemikirannya. Kemudian menghitung bagaimana hal itu diterima. Ada dua cara untuk mengerjakan hal itu: pertama dengan mempelajari segala penerimaan buku-buku hasil tulisan perempuan dan kedua adalah dengan melakukan empirisme mengenai bagaimana anggapan orang tentang sebuah tulisan jika jenis kelamin dari pengarang adalah perempuan (Ruthven, 2001:110).1.2.4    Feminisme    Analisa gender sebagai alat transformasi hak-hak perempuan umumnya dipergunakan oleh penganut aliran ilmu sosial konflik yang memusatkan perhatian pada ketidakadilan struktural dan sistem yang disebabkan oleh pembedaan jenis kelamin. Diskursus mengenai gender tidak bisa terlepas dari pengklasifikasian antara seks dan  gender. Seks (jenis kelamin) merupakan perbedaan biologis yang bersifat kodrat Tuhan. Karenanya secara permanen berbeda. Sementara gender adalah behavioral differences antara laki-laki dan perempuan yang dipengaruhi oleh konstruksi sosial, yakni pembedaan yang bukan kodrat, melainkan dibentuk oleh kaum laki-laki ataupun perempuan melalui proses sosial dan budaya yang sangat panjang (Fakih, 2001:6).    Feminisme adalah gerakan yang berangkat dari asumsi bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas, oleh karena itu harus ada upaya mengakhirinya. Dengan demikian, feminisme bukanlah selalu perjuangan emansipasi perempuan terhadap kaum laki-laki melainkan terbagi dalam berbagai perjuangan untuk transformasi sistem dan struktur yang adil bagi laki-laki dan perempuan yang dipengaruhi oleh konstruksi sosial, yaitu pembedaan yang bukan kodrat, melainkan dibentuk oleh kaum laki-laki ataupun perempuan melalui proses sosial dan budaya yang sangat panjang (Fakih,2001: 6).    Feminisme adalah gerakan yang berangkat dari asumsi bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas, oleh karena itu ada upaya untuk mengakhirinya. Dengan demikian, feminisme bukanlah selalu perjuangan emansipasi perempuan terhadap kaum laki-laki melainkan terbagi dalam berbagai perjuangan untuk transformasi sistem dan struktur yang adil bagi laki-laki dan perempuan. Dalam perkembangannya aliran feminisme 

Page 16: VAL3

melahirkan wajah baru yang sesuai dengan kepentingan serta konflik yang ada.    Istilah feminisme pertama kali digunakan di dalam litelatur Barat baru pada abad ke-18, yang secara tegas menuntut kesetaraan hukum dan politik antara perempuan dan laki-laki. Istilah ini masih terus diperdebatkan, namun secara umum biasa dipakai untuk menggambarkan ketimpangan gender, subordinasi, dan penindasan terhadap perempuan (Bryson dalam Arivia, 2005:11).1.2.5    Kritik Sastra Feminis    Istilah gynocryticsm atau ginokritik disebut juga kritik sastra perempuan yang mengkaji penulis-penulis wanita, oleh Elaini Showalter dan sebagai revision oleh Andriana Rich. Ragam itu termasuk penelitian tentang sejarah karya sastra perempuan, gaya penulisan, rima, genre, dan struktur tulisan perempuan dalam semua aspek produksi, motivasi psikologi, analisis, dan integritas, termasuk juga dalam jurnal dan surat.di samping itu, dikaji juga tentang kreativitas penulis perempuan sabagai suatu perkumpulan, serta perkembangan dan pengaturan tradisi penulis perempuan.    Kritik feminis terhadap sebuah karya dengan mempelajari ideologi dan budaya yang berinteraksi dengan gerakan kontemporer untuk kebebasan dan persamaan sosial, ekonomi, dan budaya perempuan. Jadi, feminisme adalah usaha egalisasi gender yang terbuka bagi gender laki-laki maupun perempuan. Kritik sastra feminis merupakan tinjauan perjuangan egalisasi (persamaan) gender dalam sastra. Perjuangan itu bisa saja ditulis oleh laki-laki maupun perempuan asalkan mempunyai sense of feminism yang termaksud dalam ragam sastra feminis (Djajanegara, 2000: 28). Kritik feminisme adalah usaha egalisasi gender yeng terbuka bagi laki-laki maupun perempuan yang berdasar pada ideologi dan budaya yang berpusat pada perempuan (Women Contered).1.2.6    Kajian Sosiofeminis dalam Teks Sastra (Novel)    Dalam kajian sosiofeminis Ruthven menegaskan cakupan teks sastra, meliputi perempuan secara subtanstif dipengaruhi ideologi yang membentuk relevansi cerita fiktif dengan realitas agar perempuan mempelajari hal apa yang sejatinya dilakukan. Dengan demikian sastra sebagai media akan mampu membawa perubahan pada lingkup sosial di masyarakat pada kehidupan di luar rekayasa cerita. Sehingga sastra sebagai media merupakan bentuk kontempelasi dan pengendapan pengalaman batin yang terdalam guna mengapresiasikan segala bentuk ide, yaitu menanggapi persoalan perempuan dalam realitas kondisi masyarakat direspon secara imaginatif dan konseptual dalam sebentuk teks sastra (Ruthven, 2005:167-168).    Seperti halnya dalam definisi umum tentang feminisme, maka kajian sosiofeminis cenderung merujuk pada pandangan esensial, yakni segala sesuatu mengenai perempuan berspektif sosial. Yaitu wacana teks sastra yang menyoal perempuan meliputi fisiologis, psikologis dan seksiologis. Dalam novel Harga Seorang Wanita menampilkan eksistensi perempuan berlatar pendidikan yang rendah dengan standarisasi ekonomi yang rendah (miskin) sehingga rentan terjadi resistensi ketidakadilan.

Page 17: VAL3

II Metode Penelitian    Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Metode deskriptif maksudnya adalah penggambaran atau penyajian data berdasarkan kenyataan-kenyataan secara objektif sesuai data yang terdapat dalam buku novel Harga Seorang Wanita karya Februana.    Metode kualitatif dipakai untuk menganalisis konsep-konsep yang berhubungan dengan penelitian tanpa menggunakan prinsip-prinsip statistik tetapi berpedoman pada teori-teori sastra yang ada kaitannya dengan kritik feminis khususnya kajian sosiofeminis. Karena objek kajiannya berupa novel Harga Seorang Wanita karya Februana termasuk dalam penelitian kepustkaan.

III Hasil dan Pembahasan Penelitian3.1 Struktur Cerita Novel  Harga Seorang Wanita    Novel Harga Seorang Wanita terdiri dari dua belas bagian dan setiap bagian dipisahkan serta dibentukn oleh beberapa sekuen yang menjelaskan kronologis dengan tipe alur flash back (kilas-balik). Secara singkat novel ini terbagi dalam lima episode. Episode pertama diawali dengan suasana di sebuah ruangan penjara (bagian 1,8, 10, dan 11) yang berlanjut pada episode kedua yaitu pengambilan kisah yang berlatar kondisi geografis Gunung Kidul dan beberapa lokasi lain di Yogyakarta disertai tipikal masyarakatnya (bagian 2,3, dan 4), ketiga penggambaran suasana rumah tangga tokoh utama (bagian 3, 5, 6, 7, dan 8)., keempat deskripsi tentang babak baru kehidupan tokoh yang kontradiktif yakni berlatar tempat di sebuah panti pijat )bagian 6, 7, dan 8), dan episode kelima menjadi babak akhir (anti klimaks), dengan metode penceritaan yang beralur kilas-balik maka episode penutup berlatar suasana sidang di pengadilan, di penjara, kemudian pembebasan (bagian 9, 10, 11, dan 12).3.2 Wanita Dalam Novel Harga Seorang Wanita    Pengarang novel Harga Seorang Wanita, Februana adalah laki-laki kelahiran kota  Batu 4 Februari 1967 menuliskan kisah fiksi yang lahir dari kehidupan nyata. Februana melihat gejala-gejala patriarki di tanah Jawa dengan implikasi yang dimunculkannya, di antaranya lahirnya tindakan diskriminasi terhadap kaum wanita dan mewacanakannya dalam bentuk kisah dalam novel ke empatnya ini.Wanita di Ruang Domestik    Dalam berbagai strata sosial, wanita di ruang domestik senantiasa diposisikan sebagai pemeran utama dalam urusan domestik. Meskipun ada beberapa contoh kecil yang menampilkan wujud wanita dengan bingkai berbeda, yakni wanita independen yang memiliki kebebasan menentukan dirinya sendiri. Contoh seperti ini biasa terjadi di kota-kota besar dengan standar berpikir maju. Namun bagi masyarakat yang termarginalkan masih memberlakukan domestifikasi peran tunggal pada kaum wanita.    Terdapat kecenderungan memposisikan peran domestik pada kaum wanita, yaitu inferioritas peran, seperti urusan rumah tangga adalah sepenuhnya tugas dan tanggung 

Page 18: VAL3

jawab wanita. Ada yang keliru dalam paradigma sosial di masyarakat kita yang beranggapan bahwa dengan menjadi ibu rumah tangga maka domestifikasi peran akan setara dengan peran laki-laki di area publik. Padahal efek dari penerjemahan yang keliru tersebut adalah sebagai kepala keluarga yang memegang kekuasaan ekonomi, maka anak-anak akan lebih menghormati dan mengakui eksistensi ayahnya daripada ibunya, meski sepanjang pertumbuhan anak lebih banyak diurusi oleh ibu. Inilah alasan mengapa hubungan ibu dan anaknya secara intim terpengaruhi oleh bagaimana istri bertahan dengan suaminya (Beauvoir, 2003: 362).Wanita secara Individu    Tini sebagai tokoh utama perempuan yang dikisahkan, secara psikis merupakan ekspresi perempuan yang kerap menyimpan perasaannya dan cenderung tidak ingin menyusahkan hati orang lain dan merasa bahwa mencintai dan disintai adalah hak individu. Meskipun pada akhirnya perasaan tersebut harus pupus karena kenyataan perih yang tak terduga. Selang beberapa tahun usia pernikahan Tini dan Jono, mulailah terjadi perubahan perangai Jono. Hingga pada kondisi yang terjepit sebab lintah darat tempat mereka meinjam uang dengan menggadaikan sepetak ladang satu-satunya yang tersisa, Jono bertemu Parman dan menawarkan bantuan uang sebesar sepuluh juta, namun dengan catatan Tini istri Jono harus bekerja di panti pijat milik Parman di Yogyakarta. Tini masih belum siap mengungkapkan fakta yang sebenarnya, bahwa kepergiannya untuk bekerja di kota adalah untuk menjadi tukang pijit di panti milik Parman.    Pembahasan mengenai aspek psikis perempuan akan menggiring kita pada pemahaman bahwa eksistensi perempuan terbentuk oleh beragam faktor, temasuk  di dalamnya aturan-aturan, tata nilai, norma, adat dan budaya masyarakat merupakan peran penting selain bahwa perempuan itu sendiri adalah makhluk psikologis, makhluk berpikir, berperasaan, dan beraspirasi (Sugihastuti, 2000:95).Ideologi yang Membentuk Potret Wanita dalam Novel Harga Seorang Wanita    Ideologi adalah kumpulan keyakinan-keyakinan yang dirasionalkan dan disistematikan, yang mencerminkan situasi masyarakat pemiliknya. Menurut kaum feminis, ideologi merupakan pantulan dari situasi kelas-kelas yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan dalam doktrin-doktrin yang dirumuskan dalam sosial kemasyarakatan.    Novel karangan Februana ini menyuguhkan kisah dengan pengaruh patriarkisme yang membentuk penceritaan kisahnya. Merujuk pada kualitas dari budaya patriarkis yang merupakan refleksi dari tatanan masyarakat Jawa. Novel ini pun berupaya menampilkan konstruksi tersebut sebagai kesatuan pesan, yakni ada sebuah wilayah pergulatan dan perlawanan fisiologi dan psikologis dari tokoh wanitanya. Sistem patriarki yang bersifat paternalistik masih membelenggu kaum perempuan. Bahkan kalangan konservatif menganggap ketidaksetaraan antara lelaki dengan wanita secara sosial maupun hukum adalah takdir Tuhan. Sistem kekuasaan yang ada memiliki ciri laki-laki yang memiliki otoritas untuk menguasai dan mendominasi kehidupan perempuan di segala bidang, baik politik, ekonomi, maupun agama, dan sosial.

Page 19: VAL3

    Ada beberapa aspek yang menjadi penunjang dari patriarkisme dalam novel tersebut, antara lain:1.    Aspek Sosial Budaya    Masyarakat Jawa pada umumnya meyakini bahwa laki-laki lebih layak dan unggul berada di atas dan mendominasi semua kepentingan-kepentingan sosial kemasyarakatan. Hal ini dapat ditelaah sebagaimana Februana dengan lugas merepresentasikan bentuk kisah fiksinya sebagai refleksi dari tatanan budaya Jawa yang dirasakan masih sarat dengan sistem paternalistiknya.2.    Aspek Ekonomi    Cerita dalam novel Harga Seorang Wanita adalah buah pikir dari pengarangnya. Kurang lebih berdasarkan pengalamannya sendiri dengan merasakan atau justru melihat kenyataan yang terjadi disekelilingnya. Kisah yang sejujurnya menggambarkan sebuah tanda bagaimana kultur patriarki berakar kuat dalam kehidupan masyarakat Indonesia khususnya di masyarakat Jawa. Posisi perempuan senantiasa diragukan bahkan dianggap sebagai mahkluk pilihan kedua. Karya sastrapun tak ayal melihat semua gejala tersebut kemudian menyuguhkannya dalam bentuk fiksionasi.    Ketika pada gilirannya kisah rekaan itu digiring dalam kehidupan nyata maka ada banyak contoh kekerasan pada perempuan menyangkut persoalan ekonomi yang muncul dari kemiskinan dan harus dibebankan terhadap perempuan. Tak terkecuali jika harus menjual perempuan tersebut demi sejumlah iming-iming materi dan penghidupan yang layak. Tanpa meninjau lebih dekat kondisi jiwa perempuan itu yang pada dasarnya tidak menerima bahkan menolak keras hal tersebut.3.    Aspek Pendidikan    Nampaknya problem dari maraknya kekerasan terhadap kaum perempuan adalah karena juga ketidakmampuan mereka mencerna berbagai bentuk tindak diskriminasi sebagai ketimpangan hak-hak kemanusiaan. Hal itu dikarenakan tingkat pendidikan yang kurang memadai sehingga menutup akses berpikir perempuan itu sendiri untuk berontak. Demikian yang tergambar dari penokohan seorang Tini karena kemiskinan dan latar belakang ekonomi keluarga yang mencukupi, menjadikannnya lemah dan tak berdaya melawan pembodohan akan dirinya.    Februana menciptakan tokoh Tini sebagai “manusia perempuan” dan bukan sekedar “konsep” mengenai bagimana seharusnya menjadi perempuan. Tokoh yang berjalan menapaki realitas sosial yang sangat realistis. Menghadapi tekanan dan berbagai bentuk karakter tandingan dalam novel tersebut. Novel ini menggambarkan keperihan perempuan pelosok yang kurang berpendidikan dalam kehidupan rumah tangga, bersosialisasi, hukum, dan seksual. Realitas ini disampaikan dengan bagus  dalam berbagai ilustrasi dan dialog yang membentuk sebuah teks sastra fiksi.Kesimpulan    Sekilas novel ini memberikan pengetahuan dan informasi mengenai situasi budaya yang berlatarkan dunia patriarki di sebuah daerah di Wonosari-Gunung Kidul Yogyakarta, dengan tatanan serta tradisi yang unik. Februana tidak sekedar menyajikan 

Page 20: VAL3

kisal jual-beli perempuan semata. Tetapi juga menyuguhkan beragam polemik yang terwacanakan lewat kisah biografi perempuan korban ketidakadilan gender.     Bukan hanya penebar kata-kata, namun novel ini serta merta menegaskan keberpihakan penulisnya terhadap kaum perempuan yang tersingkir karena kelemahan fisik dan ekonomi. Kemudian menggelarkan segala bentu tekanan sebagai implikasi dari budaya patriarkis dan dominasi laki-laki yang implusif dan cenderung egois serta sangat merugikan perempuan.    Dapat disimpulkan bahwa (1) patriarkisme ditempatkan sebagai akar penindasan wanita dalam novel Harga Seorang wanita, (2) cara pandang paternalistik yang tidak berkeadilan inidisuguhkan Februana sebagai sumber lahirnya polemik dan konflik pada novelnya, (3) ada faktor lain yang menunjang lahirnya patriarkisme dan subordinasi terhadap tokoh wanita yaitu sosial budaya, ekonomi, hukum, politik, dan pendidikan, (4) kaum wanita perlu dibekali dengan bebagai bentuk penyadaran akan esensi dirinya agar wanita dapat menggali potensi dirinya agar tidak selalu direpresi oleh dominasi laki-laki, (5) novel ini layak dianalisis berdasarkan kajian sosiofeminis karena memiliki cakupan yang representatif dalam menggambarkan tokoh wanita dan persoalannya dengan ideologi yang membentuk penggambaran tersebut gejala sehingga dapat disimpulkan bagaimana seharusnya bertindak berdasarkan penggambaran tersebut.

DAFTAR PUSTAKAAmiruddin, Mariana. 2003. “Sex And Tex (Sext): Konsep Pembebasan Seksualitas Perempuan Lewat Sastra” dalam Jurnal Perempuan Edisi 30/2003. Jakarta: YPJ.APIK, LBH dan Ford Fondation. 1999. Perisai Perempuan (Kesepakatan Internasional Untuk Perlindungan Perempuan). Jakarta: LBH APIK.Februana. 2006. Harga Seorang Wanita. Jakarta: Destan Books.Djajanegara, Soehardjati. 2000. Kritik Sastra Feminis-sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.

Page 21: VAL3