v hasil dan pembahasan - repository.ipb.ac.id v... · v hasil dan pembahasan ... (1986) bahwa salah...
TRANSCRIPT
32
V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Karakteristik Permukiman Tradisional Madura
Permukiman tradisional Madura dibentuk oleh kelompok-kelompok rumah
dipisahkan oleh lahan garapan atau jalan. Kelompok-kelompok rumah dibangun
di sepanjang sisi jalan raya atau jalan setapak atau ditengah-tengah lahan
pertanian. Pola permukiman tradisional madura terbentuk dari kombinasi tatanan
rumah-rumah tradisional, jalan, dan lahan pertanian (Gambar 17). Fasilitas seperti
lapangan dan masjid merupakan tempat berkumpul bagi masyarakat dan
umumnya terletak di pusat desa. Masalah-masalah yang timbul dalam masyarakat
umumnya diselesaikan dengan musyawarah yang dipimpin oleh kiai atau kalebun
(kepala desa) atau sesepuh kampung.
Gambar 17. Karakter permukiman tradisional Madura
Lanskap permukiman Desa Lenteng Timur didominasi oleh permukiman
rumah tinggal dan lahan pertanian. Struktur permukiman dibentuk oleh kelompok-
kelompok rumah tinggal, lahan pertanian, dan jalan lingkungan sebagai akses
utama. Pola permukiman berbentuk cluster yang dipisahkan oleh jalan dan lahan
pertanian. Setiap kluster terdiri dari satu atau lebih kelompok rumah yang setiap
kelompok rumah tersebut memiliki hubungan kekerabatan. Kelompok-kelompok
rumah tersebut umumnya dipisahkan oleh pagar yang mengelilingi komplek
perumahan. Pagar tersebut dapat berupa pagar hidup atau pagar tembok (Gambar
18).
Pola permukiman tradisional Madura yang berbentuk kelompok-kelompok
permukiman ini sesuai dengan pendapat Leibo (1986) bahwa salah satu bentuk
pola permukiman di perdesaan adalah cluster village yaitu rumah-rumah
mengelompok dengan dikelilingi lahan pertaniannya. Selain itu pola permukiman
tradisional Madura juga merupakan bentuk adaptasi terhadap kondisi alam,
sebagai bentuk pertahanan (defense), dan jenis mata pencaharian. Kondisi alam
yang kering dan kurang subur menyebabkan masyarakat Madura berkumpul dan
mendirikan rumah tinggal di lahan yang subur dan dekat dengan sumber air. Pola
33
cluster atau berkelompok merupakan bentuk pertahanan dari gangguan musuh dan
hewan liar. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Hastijanti (2005) bahwa elemen
permukiman Madura yang berbentuk tanean lanjhang dan kampung mejhi
merupakan elemen yang mengakomodir ritual carok. Mata pencaharian penduduk
madura sebagai petani mempengaruhi karakter permukiman sehingga tampak
selalu dekat dengan lahan pertanian. Tanah sebagai lahan pertanian tidak dapat
dipisahkan dari permukiman tradisional Madura karena rumah tinggal hampir
selalu dibangun didekat lahan garapan. Penelitian de Jonge (1989) bahkan
menyebutkan bahwa komplek rumah tinggal tradisional madura yang disebut
tanean lanjhang tidak dapat dipisahkan dari lahan garapan. Hal ini sesuai dengan
pendapat Rapoport (1969) bahwa pola permukiman tradisional dipengaruhi oleh
bentuk tapak, upaya petahanan, dan aspek ekonomi.
Gambar 18. Pagar hidup pada rumah tinggal madura
6.2 Faktor-Faktor Pembentuk Permukiman Tradisional Madura
Permukiman tradisional Madura dibentuk oleh kombinasi tiga faktor
dominan, yaitu faktor strata sosial, faktor religi, dan faktor kekerabatan. Ketiga
faktor tersebut membentuk ruang permukiman pada skala meso (ketetanggaan)
berdasarkan aktivitas masyarakat Madura.
6.2.1 Faktor Strata Sosial
Permukiman tradisional Madura sangat dipengaruhi oleh kebudayaan
Madura. Kebudayaan yang berhubungan dengan strata sosial merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi bentuk permukiman. Strata sosial di Madura
dibagi menurut beberapa sudut pandang sehingga lapisan antar golongan saling
bertumpang tindih. Pelapisan sosial masyarakat Madura dalam hal keagamaan
membagi masyarakat menjadi tiga golongan, yaitu kiai, santre dan benne santre.
Penggolongan ini merupakan bentuk strata yang masih kuat di masyarakat. Kyai
sebagai golongan tertinggi memegang peranan penting dalam masyarakat yaitu
sebagai guru yang memberikan teladan dan sumber ilmu keagamaan sehingga
seorang kyai sangat dihormati. Ada kepercayaan yang menyebutkan bahwa orang
34
yang menentang kyai akan mendapatkan sial (kenneng tola) sehingga
penghormatan kepada kyai seringkali melebihi penghormatan kepada penguasa
wilayah.
Permukiman golongan kyai merupakan pusat aktivitas masyarakat yang
berkaitan dengan proses belajar-mengajar keagamaan dan kegiatan
kemasyarakatan (Gambar 19). Hal ini menyebabkan di beberapa tempat rumah
tinggal kyai dilengkapi dengan masjid dan pondok pesantren sebagai ruang
aktivitas publik. Permukiman golongan santre dan benne santre umumnya
memiliki pola ruang yang sama dengan masyarakat madura pada umumnya.
Gambar 19. Komplek rumah kyai
Pelapisan sosial menurut dimensi ekonomi mempengaruhi penggunaan
material dalam permukiman. Masyarakat dengan strata sosial tinggi umumnya
membangun rumah tinggal dengan tipe atap berbentuk bangsal dan pacenan
dengan material bangunan berupa batu bata putih. Sedangkan bagi masyarakat
dengan starata sosial menengah dan rendah (rakyat jelata) umumnya membangun
rumah dengan menggunakan tipe atap trompesan atau pegun. Namun, tidak
terdapat ketentuan khusus dalam penggunaan tipe atap tersebut. Pemilihan bentuk
atap hanya didasarkan pada kemampuan dan selera pemilik rumah.
6.2.2 Faktor Religi
Kehidupan masyarakat Madura tidak lepas dari suasana religi yang kuat.
Kegiatan-kegiatan bernuansa islam berkembang di masyarakat dan seringkali
dilaksanakan secara berkala. Hal ini menyebabkan fasilitas keagamaan manjadi
pusat orientasi kegiatan masyarakat.
Permukiman tradisional secara makro menunjukkan bahwa kegiatan
masyarakat madura berorientasi pada Masjid dan komplek rumah kyai (Gambar
20). Masjid menjadi tempat melaksanakan ibadah sholat lima waktu, belajar
agama, belajar mengaji, dan ritual khataman Qur’an.
6.2.3 Faktor Kekerabatan
Faktor Kekerabatan merupakan faktor yang paling dominan membentuk
permukiman tradisional Madura. Penataan permukiman masyarakat Madura
35
didasarkan pada hubungan kekerabatan antar anggota permukiman. Semakin
dekat jarak rumah tinggal atau komplek permukiman maka hampir dapat
dipastikan anggota masyarakata tersebut memiliki hubungan kekerabatan yang
dekat.
Gambar 20. Masjid dan komplek rumah kyai sebagai pusat orientasi kegiatan
Elemen utama permukiman yang berupa rumah tinggal dibangun secara
berkelompok sesuai dengan jumlah anak perempuan sehingga membentuk tanean
lanjhang (Gambar 21). Tanean lanjhang ini selain sebagai tempat tinggal juga
menjadi pamolean bagi saudara laki-laki yang telah bercerai atau pulang dari
merantau. Oleh sebab itu anak perempuan selalu mewarisi rumah beserta
pekarangannya sedangkan anak laki-laki berbagi dengan saudara perempuannya
mewarisi lahan pertanian/garapan. Fungsi pewarisan rumah dan pekarangan pada
anak perempuan adalah untuk tetap menjaga keutuhan hubungan kekerabatan.
Kelompok permukiman baru dapat terbentuk apabila pihak laki-laki yang akan
menikahi wanita dapat menyediakan lahan dan rumah di tempat yang baru
sehingga menjadi cikal bakal tanean lanjhang yang baru.
Gambar 21. Komplek rumah tanean lanjhang
36
5.3 Elemen Pembentuk Permukiman Tradisional Madura
Permukiman tradisional Madura dibentuk oleh elemen-elemen permukiman
yang memiliki orientasi tertentu sehingga membentuk karakter permukiman
tradisional Madura yang khas. Adapun elemen lanskap permukiman tradisional
Madura adalah sebagai berikut.
5.3.1 Rumah tinggal tradisional
Rumah tinggal tradisional Madura merupakan suatu komplek rumah tinggal
yang disatukan dalam satu pagar. Didalamnya terdapat satu atau lebih rumah
tinggal dan beberapa bangunan yang dibangun berjajar dari barat ke timur
menurut orientasi tertentu sehingga membentuk tanean lanjhang (halaman
panjang). Setiap rumah tinggal yang ada dalam tanean lanjhang memiliki ikatan
kekerabatan satu sama lain. Elemen dan pola tata ruang dalam tanean lanjhang
merupakan manifestasi dari konsep buppa-babbu-guru-rato secara mikro.
Elemen utama penyusun tanean lanjhang adalah rumah tinggal, langghar,
dapur, kandang, tanean, dan pagar hidup. Rumah-rumah yang terdapat dalam
tanean lanjhang bervariasi menurut jumlah anak perempuan yang dimiliki.
Apabila dalam sebuah keluarga tidak memiliki anak perempuan maka hampir
dapat dipastikan tanean tidak akan berkembang memanjang. Desain rumah tinggal
seperti ini disebut dengan rumah mejhi (Gambar 22). Rumah tinggal tradisional
Madura umumnya menggunakan ukuran 6x9 m2 atau 7x9 m
2 atau 5x15 m
2
sehingga apabila ada 6 rumah dalam satu tanean, panjang tanean dapat mencapai
36 m.
Gambar 22. Rumah Mejhi
1. Rumah tinggal tradisional
Rumah tinggal terdiri dari rumah induk dan rumah anak perempuan. Rumah
induk disebut rumah tongghu (Gambar 23). Rumah ini merupakan rumah yang
ditempati oleh orang tua/pemilik taneyan dan selalu dibangun di sisi barat taneyan
menghadap selatan. Tata letak rumah tongghu di ujung barat tanean merupakan
37
manifestasi dari konsep buppa-babbu yang bermakna bahwa orang tua adalah
panutan yang harus dipatuhi dan memberikan teladan dalam tanean. Apabila
orang tua meninggal dunia rumah tongghu akan diwariskan pada anak perempuan
pertama agar dapat dipelihara. Apabila orang tua tidak memiliki anak perempuan,
biasanya ada salah satu anak laki-laki yang akan diminta untuk mendiami rumah
tongghu dan penentuannya dilakukan melalui musyawarah keluarga. Menurut
Subaharianto dkk (2005) hal ini berkaitan dengan kepercayaan bahwa lahan
pekarangan dan rumah tongghu didiami oleh roh leluhur sehingga tidak boleh
dibiarkan kosong agar ada yang dapat menghormati roh-roh leluhur tersebut.
Rumah anak perempuan biasanya dibangun berjajar dari barat ke timur
sesuai dengan jumlahnya. Apabila lahan tidak mencukupi, rumah-rumah baru
dibangun dengan pola sebaliknya, yaitu dari barat ke timur sehingga bangunan
rumah saling berhadap-hadapan. Namun menurut Wiyata (2002) Hal ini telah
menyalahi aturan tanean lanjhang. Pola permukiman tanean lanjhang ini
mengikat sebuah keluarga, terutama keluarga perempuan, dengan kuat sehingga
sampai saat ini dapat ditemui tanean lanjhang yang telah dihuni selama 3-5
generasi.
Gambar 23. Rumah tongghu
Material bangunan yang digunakan pada rumah tradisional saat ini telah
mengalami penyesuaian. Jika pada masa dahulu material bangunan yang
digunakan adalah bambu atau kayu sebagai dinding dan rangka bangunan,
genteng dan ijuk sebagai atap, serta lantai berupa tanah padat, maka saat ini
material yang digunakan berupa tembok semen, genteng dan lantai semen atau
keramik. Namun, bentuk arsitektur rumah relatif tidak berubah. Hal ini tampak
dari bentuk atap, tiang sasaka agung, dan ukir-ukiran sebagai ragam hias rumah
tradisional. Rumah-rumah tradisional Madura umumnya dibedakan menurut
bentuk atapnya. Tipe atap bangsal dan pacenan biasa digunakan sebagai atap
rumah tongghu atau rumah tinggal anak. Selain itu tipe atap bangsal dan pacenan
umumnya digunakan oleh kalangan bangsawan prijaji dan kalangan menengah.
38
Tipe atap trompesan dan pegun biasanya digunakan sebagai bentuk atap
bangunan-bangunan penunjang lain seperti langghar, dapur, dan kandang.
2. Langghar
Langghar merupakan bangunan yang digunakan sebagai tempat
manjalankan ibadah (Gambar 24). Bangunan ini merupakan bangunan yang
sangat penting karena berfungsi sebagai tempat orang tua memberikan nasihat
kepada putra-putrinya. Selain itu langghar juga digunakan sebagai tempat tidur
anak laki-laki yang telah akil baligh, melakukan musyawarah keluarga, dan
menerima tamu laki-laki. Dalam konsep budaya madura, langghar menempati
posisi guru dalam tanean. Hal ini didasarkan pada fungsi langghar sebagai
penjaga dan penerus nilai-nilai budaya dalam keluarga.
Langghar dibangun di ujung barat tanean berhadapan langsung dengan pintu
masuk tanean agar pemilik tanean dapat mengawasi keseluruhan tanean.
Keberadaan langghar menandai eksistensi sebuah tanean. Tanean diakui sebagai
kelompok rumah yang mandiri apabila telah dibangun langghar baru di
halamannya. Sehingga dengan kata lain langghar merupakan orientasi utama
dalam tanean. Bangunan langghar umumnya berupa rumah panggung setingi
lebih kurang 1 m dengan ukuran 3x4 m2. Bagian yang menghadap ke timur
dibiarkan terbuka dan dilengkapi dengan teras. Material bangunan langghar
umumnya dari kayu atau bambu atau tembok semen.
Gambar 24. Letak langghar dalam tanean
3. Dapur dan kandang
Dapur dan kandang (Gambar 25) merupakan lambang kemandirian setiap
keluarga yang ada dalam tanean. Setiap rumah dalam tanean memiliki dapur
sendiri, sedangkan keberadaan kandang disesuaikan dengan mata pencaharian
masing-masing kepala keluarga. Selain itu dapur juga menjadi simbol area
perempuan dalam tanean. Dapur dan kandang dibangun berhadapan dengan
rumah tinggal. Hewan yang diternakkan umumnya adalah sapi. Jumlah sapi yang
dimiliki biasanya menjadi tolak ukur kekayaan seseorang.
39
Gambar 25. Dapur dan kandang
4. Tanean
Tanean merupakan ruang terbuka yang berada di tengah-tengah komplek
bangunan. Tanean berfungsi sebagai pusat interaksi sosial antar anggota keluarga
yang tinggal dalam tanean. Selain itu tanean juga berfungsi sebagai tempat
menjemur hasil pertanian dan menyelenggarakan hajatan. Apabila pemilik tanean
memiliki banyak anak perempuan, maka tanean akan berkembang memanjang
sehingga disebut dengan tanean lanjhang (Gambar 26).
Gambar 26. Rumah mejhi yang berkembang menjadi tanean lanjhang
Bentukan lahan tanean umumnya datar dan menjadi bidang dasar bagi
bangunan-bangunan diatasnya. Keberadaan taneyan menyatukan elemen
bangunan sehingga menimbulkan harmonisasi antar elemen. Ruang dengan
bentukan datar pada taneyan memberikan kesan terbuka, netral, dan stabil.
5. Pagar Hidup
Pagar hidup merupakan barisan pohon dan semak yang ditanam
mengelilingi tanean. Desain penanaman pagar hidup sengaja dibuat agar tumbuh
rapat sehingga dapat menjadi penanda batas area tanean dan melindungi penghuni
tanean dari serangan musuh. Adanya pagar hidup ini merupakan bentuk defense
penghuni tanean dari musuh-musuh yang mungkin ada serta menjadi batas
teritorial kekuasaan pemilik tanean.
40
Tanaman yang digunakan sebagai pagar hidup adalah tanaman produktif
dan dapat dimanfaatkan oleh pemilik rumah. Daftar tanaman yang digunkan
sebagai pagar hidup dan fungsi turunannya dapat dilihat pada tabel 6.
Tabel 6. Tanaman yang digunakan sebagai pagar hidup dan fungsi turunannya
No. Nama Tanaman Nama Latin Fungsi turunan
1 Pohon waru Pakan ternak
2 Pohon Jaran Dolichandrone
spathacea Pakan ternak
3 Bintaos Pakan ternak
4 Cabe Jawa Jamu, dijual
5 Kelor Moringa oleifera Bahan pangan
6 Pepaya Dijual
7 Mangga Mangifera indica Dijual
8 Bambu Bambusa sp. Dijual
9 Rambutan Dijual
10 Pisang Dijual
11 Nangka Artocarpus integra Dijual
12 Sarikaya Annona squamosa Dijual
13 Kenanga Cananga odorata Dijual
14 Turi Aeschynomene
grandiflora Bahan pangan
15 Cempaka Michelia champaca Estetika
16 Mawar Rosa sp. Estetika
17 Melati Jasminum sambac Estetika
18 Beluntas Pluchea indica Bahan pangan, jamu
Sumber : survei lapang 2013
5.3.2 Lahan Garapan
Lahan garapan di Pulau Madura sebagian besar merupakan lahan kering
sehingga sistem pertanian yang diterapkan oleh petani Madura adalah sistem
pertanian lahan kering atau perladangan (Gambar 27). Pada musim hujan
(nambara’) petani menanam padi dengan sistem tadah hujan sedangkan pada
musim kemarau (nemor) petani menanam jagung dan tembakau. Pada tanah
tegalan ditanam kacang hijau dan ubi-ubian. Pada sisi-sisi ladang ditanami dengan
kelapa. Pohon kelapa berfungsi sebagai peneduh dan hasilnya dijual ke pasar.
Lahan garapan biasanya terletak di sekeliling permukiman. Hal ini menyebabkan
antara permukiman yang satu dengan permukiman yang lain cenderung terpencar.
Lahan garapan umumnya terletak disisi luar tanean atau berada disekeliling
tanean. Hal ini dimaksudkan agar petani bekerja tidak jauh dari rumahnya
sehingga seringkali rumah dibangun diatas tanah garapan. Tidak ada orientasi
khusus dimana harus membangun rumah. Biasanya hal ini diserahkan pada
dhukon atau kyai untuk menentukan dimana tempat yang baik untuk membangun
rumah.
41
Gambar 27. Pertanian lahan kering
Lahan garapan yang dimiliki petani madura pada masa lalu sangatlah luas.
Hal ini dapat dilihat dari pola permukiman tanean lanjhang yang dapat dibangun
oleh pemilik pertama tanean. Namun saat ini, sesuai dengan hukum waris
menurut syariat islam, tanah pertanian telah dibagi-bagi sehingga terpetak-petak
menurut jumlah keluarga. Letaknya pun terpencar-pencar karena sebagian
pewarisnya lebih memilih untuk menjual tanah pertanian. Tanah pertanian
umumnya dijual untuk menambah biaya naik haji. Fenomena ini tidak sejalan
dengan pendapat Subaharianto (2009) bahwa masyarakat madura memiliki ikatan
tanah dengan roh leluhur sehingga menjual tanah sama dengan menjual roh
leluhur. Penjualan tanah hanya dapat dilakukan kepada keluarga dekat sehingga
seharusnya cukup sulit untuk menjual tanah di madura.
5.3.3 Masjid
Masjid bagi masyarakat madura merupakan simbol ketaatan masyarakat
madura terhadap Allah SWT. Masjid digunakan sebagai tempat ibadah shalat,
Pengajian, dan tempat berkumpul. Penggerak utama kegiatan masjid adalah kyai.
Pada umumnya rumah seorang kyai dilengkapi langghar yang digunakan anak-
anak belajar mengaji. Kemudian langghar ini dapat berkembang menjadi masjid
dan dapat pula menjadi cikal bakal pesantren.
Selain di rumah kyai, masjid juga dapat didirikan diatas tanah wakaf
menurut kesepakatan masyarakat. Tidak ada ketentuan berapa masjid yang harus
dibangun dalam satu desa. Kebutuhan masjid disesuaikan dengan kondisi
kebutuhan dan keberadaan tanah wakaf. Tapi hampir dapat dipastikan dalam satu
desa terdapat minimal satu buah masjid. Masjid merupakan pusat orientasi
aktivitas keagamaan permukiman tradisional.
5.3.4 Tanah Pemakaman
Masyarakat Madura tradisional tidak mengenal pemakaman umum.
Biasanya keluarga yang meninggal dunia akan dimakamkan di dalam tanean atau
di tanah tegalnya. Tidak ada aturan khusus dimana harus memakamkan, yang
42
terpenting adalah arwah jenazah yang dimakamkan dapat kembali menyatu
dengan tanah dan lebih tenang keberadaannya.
Pemakaman umum yang dikenal saat ini merupakan hasil dari wakaf
anggota masyarakat. Tata letak pemakaman umum tidak ditentukan secara pasti.
Umumnya tanah pemakaman ditempatkan pada dataran yang lebih tinggi dari
sekitarnya agar terhindar dari banjir saat hujan.
5.4 Pola Permukiman Tradisional Madura
Karakter permukiman tradisional Madura dipengaruhi oleh sistem pertanian
lahan kering dan kekerabatan sehingga membentuk pola permukiman yang
mengelompok namun terpencar. Setiap keluarga yang memiliki hubungan
kekerabatan cenderung membentuk permukiman yang mengelompok, namun
antar kelompok umumnya terpisah oleh lahan pertanian sehingga membentuk
permukiman yang terpencar. Pola permukiman ini dapat dikategorikan sebagai
kombinasi antara the scattered formstead community dan the cluster village
(Leibo 1986). The scattered formstead community adalah pola permukiman yang
sebagian penduduknya berdiam di pusat layanan, sementara yang lainnya tersebar
bersama sawah ladangnya masing-masing, sedangkan the cluster village adalah
pola permukiman yang penduduknya tinggal mengelompok dengan dikelilingi
sawah ladangnya.
Pusat layanan dalam ruang permukiman tradisional madura juga berperan
sebagai pusat aktivitas sosial masyarakat. Pusat layanan dan aktivitas sosial ini
dapat berupa masjid, pondok pesantren, atau lapangan kampung. Tata letak masjid
pada permukiman tradisional Madura umumnya berada pada jalur sirkulasi primer
dan menjadi penanda (landmark) sekaligus simpul aktivitas (nodes)bagi kawasan
permukiman.
Jalur sirkulasi (path) pada permukiman tradisional Madura dapat dibedakan
menjadi jalur sirkulasi primer dan sekunder. Jalur sirkulasi primer adalah jalur
sirkulasi utama yang menghubungkan antar wilayah. Letak jalur sirkulasi primer
dalam permukiman tradisional tidak mengikuti pola permukiman, namun dapat
membelah kawasan permukiman tradisional sehingga jalan utama dapat
digunakan sebagai pembatas antar ruang permukiman (edges) dalam satu desa
atau dusun. Jalur sirkulasi sekunder adalah jalur sirkulasi yang menghubungkan
kelompok rumah dengan kelompok rumah atau dengan lahan pertanian berupa
jalan lingkungan. Pada umumnya jalur sirkulasi sekunder hanya menghubungkan
antar titik dalam ruang permukiman.
Tepian (edges) permukiman tradisional madura umumnya dibatasi oleh
batas fisik dan batas alam. Di wilayah Desa Lenteng Timur, daerah tepian dibatasi
oleh jalan, lahan pertanian, dan sungai. Lahan pertanian yang luas dan banyaknya
jumlah jalan sekunder menyebabkan batas tepi permukiman menjadi kurang tegas
sehingga tidak menjadi batas wilayah yang jelas.
Orientasi permukiman pada skala ketetanggaan cenderung tidak ada.
Permukiman padat umumnya terkonsentrasi menurut letak fasilitas dan pelayanan
umum, ketersediaan akses (jalur sirkulasi), atau jumlah kerabat. Hal ini berbeda
dengan permukiman tradisional pada skala mikro yang menggunakan konsep
taneyan lanjhang. Permukiman tradisional taneyan lanjhang berorientasi pada
arah kiblat. Kiblat menjadi pedoman dalam menentukan arah pembangunan
43
rumah tinggal dalam taneyan lanjhang. Hal ini menyebabkan posisi rumah tidak
sejajar dengan jalan utama.
5.5 Tata Ruang Permukiman Tradisional Madura
Ruang permukiman tradisional madura dibentuk oleh budaya masyarakat
madura yang sangat erat dengan faktor religi dan kekerabatan. Faktor religi dan
kekerabatan membentuk pelapisan sosial sehingga berpengaruh terhadap pola
ruang aktivitas masyarakat. Tata ruang permukiman tradisional masyarakat
madura dapat dibagi dalam tiga klasifikasi, yaitu tata ruang menurut fungsi, tata
ruang menurut sifat, dan tata ruang menurut aktivitas.
5.5.1 Tata Ruang Permukiman Tradisional Madura menurut Fungsi
Berdasarkan fungsi ruang, tata ruang permukiman tradisional madura
dibedakan menjadi ruang tinggal, ruang sosial, dan ruang produksi (Gambar 28).
Ruang tinggal merupakan area permukiman yang terikat oleh faktor kekerabatan
dan menjadi tempat tinggal masyarakat. Ruang tinggal terdiri atas kelompok-
kelompok rumah yang berpola mejhi dan tanean lanjhang. Ruang sosial
merupakan ruang tempat masyarakat melakukan aktivitas secara bersama dan
dapat digunakan oleh siapa pun. Ruang sosial dapat berupa lapangan, masjid, dan
pemakaman umum. Ruang produksi merupakan ruang yang digunakan
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ruang produksi dapat berupa
lahan pertanian dan pasar.
Gambar 28 Tata ruang menurut fungsi
5.5.2 Tata ruang permukiman Tradisional menurut Sifat
Berdasarkan sifatnya, ruang permukiman dibagi menjadi ruang publik dan
ruang privat (Gambar 29). Ruang publik merupakan ruang yang dapat diakses
oleh semua orang. Ruang publik mengakomodasi kegiatan sosial dan keagamaan
seperti kamrat, muslimatan, musyawarah warga, lomba karapan sapi, ziarah
kubur, dan sebagainya. Elemen permukiman dalam ruang publik adalah masjid,
lapangan, dan pemakaman umum. Ruang privat merupakan ruang yang hanya
dapat diakses oleh individu masyarakat yang memiliki ruang tersebut. Ruang
privat mengakomodasi kebutuhan produksi dan tinggal menetap. Elemen
permukiman yang termasuk dalam ruang privat adalah elemen rumah tinggal dan
lahan pertanian.
44
Gambar 29. Tata ruang menurut sifat
5.5.3 Tata ruang Permukiman Tradisional menurut Kepercayaan
Berdasarkan aspek kepercayaan, ruang permukiman tradisional madura
dapat dibagi menjadi ruang profan dan ruang suci (Gambar 30). Ruang profan
merupakan ruang yang bersifat keduniawian sehingga aktivitas yang diakomodir
dalam ruang ini adalah aktivitas-aktivitas sosial yang berkaitan dengan
pemenuhan kebutuhan ekonomi dan hubungan sesama manusia. Elemen
permukiman yang termasuk dalam ruang profan adalah lahan pertanian. Ruang
suci merupakan ruang yang bersifat spritual sehingga aktivitas yang diakomodir
adalah kegiatan yang bersifat keagamaan dan pelaksanaan kepercayaan. Elemen
permukiman yang termasuk dalam ruang suci adalah masjid, rumah tinggal, dan
tanah pemakaman.
Gambar 30. Tata ruang menurut kepercayaan
45
5.6 Desain Permukiman Tradisional Madura
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan diatas dapat disimpulkan bahwa
konsep dasar desain permukiman tradisional Madura adalah berbentuk cluster.
Desain cluster merupakan desain permukiman yang mengakomodir beberapa unit
rumah pada suatu lokasi yang sempit untuk mendapatkan ruang terbuka yang
lebih luas (Russ 2009). Menurut Untermann dan Robert (1993) Perumahan
dengan desain cluster adalah perumahan yang saling dihubungkan sedemikian
rupa sehingga unit-unit individualnya membagi bersama, baik dinding, lantai,
ataupun langit-langitnya. Hal yang terpenting adalah unit-unit individual tersebut
membagi bersama pemakaian ruang terbuka dan fasilitas yang ada. Skala dan
organisasi permukiman cluster menggambarkan suatu wadah fisik dan sosial yang
terstruktur namun tetap fleksibel menurut nilai-nilai dan kebudayaan setempat.
Pengembangan desain cluster dapat mereduksi dampak visual dari
pengembangan yang dilakukan komunitas serta dapat mereduksi dampak
lingkungan. Bentuk cluster memungkinkan pengembang untuk memanfaatkan
lahan untuk memelihara nilai-nilai kawasan alami, lahan pertanian, zona riparian,
dan sebagainya (Russ 2009). Daftar atribut bagi permukiman dengan desain
cluster adalah sebagai berikut.
1. Mengakomodir sejumlah unit pada ruang sempit bagi ruang terbuka yang
lebih luas
2. Mereduksi dampak visual bagi komunitas penghuni permukiman
3. Mengakomodasi ruang penyangga diantara penggunaan yang berbeda
4. Memelihara fungsi lanskap alami penting
5. Mangangkat karakter perdesaan pada tapak
6. Sensitif terhadap karakter tapak
7. Membangun benchmark bagi pengembangan di masa datang
5.6.1 Konsep Ruang
Berdasarkan hasil analisis terhadap sifat dan fungsi penggunaan ruang serta
atribut desain cluster, area permukiman tradisional madura dapat dibagi dalam 3
ruang sebagai berikut :
1. Ruang privat
Ruang privat merupakan ruang yang hanya dapat diakses oleh penghuni
komunitas. Ruang privat berupa rumah tinggal yang ditata berkelompok-
kelompok menurut hubungan kekerabatan. Ruang privat mengakomodasi aktivitas
pribadi dan anggota komunitas dalam kelompok.
2. Ruang publik
Ruang publik adalah ruang yang dapat diakses oleh semua orang. Ruang
publik dapat berupa fasilitas umum dan fasilitas sosial seperti Masjid sebagai
sarana ibadah. Ruang publik merupakan pusat orientasi kegiatan masyarakat
dalam permukiman.
3. Ruang terbuka privat
Ruang terbuka privat adalah ruang terbuka yang dimiliki oleh anggota
komunitas. Ruang terbuka ini juga merupakan buffer antara kelompok rumah
yang satu dengan kelompok rumah yang lain. Ruang terbuka privat
mengakomodasi kegiatan produksi dan sosial. Elemen ruang terbuka privat adalah
lahan pertanian dan halaman bersama dalam komunitas.
46
Konsep tata ruang yang permukiman tradisional madura adalah ruang privat
diapit oleh ruang terbuka privat sehingga ruang terbuka privat berfungsi sebagai
buffer antar komunitas. Ruang publik berada ditengah permukiman sehingga
dapat diakses oleh seluruh penghuni permukiman (Gambar 31). Keterkaitan antar
ruang yang demikian memungkinkan dibuatnya fasilitas-fasilitias penunjang
permukiman pada area publik, sedangkan pada area privat dan ruang terbuka
privat ketersedian fasilitas komunal harus melalui musyawarah anggota
komunitas.
Gambar 31. Konsep Ruang Permukiman Tradisional Madura
5.6.2 Konsep Vegetasi
Konsep vegetasi berkaitan dengan konsep tata hijau dalam ruang
permukiman tradisional Madura. Penataan vegetasi pada permukiman tradisional
madura didasarkan pada fungsi dan manfaat vegetasi bagi penghuni permukiman.
Konsep tata hijau dalam ruang permukiman dibagi menjadi 2, yaitu sebagai
vegetasi penyangga dan vegetasi produksi. Vegetasi penyangga adalah vegetasi
yang berperan sebagai pembatas antar ruang dalam permukiman. Secara umum
vegetasi penyangga berfungsi sebagai batas teritori bagi penghuni komunitas.
Jenis vegetasi yang digunakan sebagai vegetasi penyangga adalah jenis pohon
seperti kelapa, mahoni, jati, sengon, jaran, dan waru. Vegetasi produksi
merupakan vegetasi yang berperan dalam pemenuhan kebutuhan penghuni
permukiman. Vegetasi produksi umumnya ditanam pada ruang terbuka privat.
Jenis vegetasi yang digunakan sebagai vegetasi produksi adalah jenis tanaman
pangan dan buah-buahan.
Desain penanaman dalam permukiman tradisional tidak mengenal aturan
khusus. Tata hijau lanskap didasarkan pada fungsi vegetasi dan ketersedian lahan
penanaman. Vegetasi yang berfungsi sebagai buffer umumnya ditanam
mengelilingi tapak, baik ruang terbuka privat maupun ruang privat.
5.6.3 Konsep sirkulasi
Sirkulasi pada permukiman tradisional madura tidak memiliki pola yang
khusus. Hierarki jalan permukiman dapat dibagi menjadi jalan utama dan jalan
47
lingkungan. Jalan utama merupakan jalur sirkulasi yang menghubungkan
permukiman dengan lanskap lain dan menghubungkan antar fasilitas dalam
permukiman. Sedangkan jalan lingkungan adalah jalur sirkulasi yang
menghubungkan antar cluster dalam permukiman. Jalan lingkungan umumnya
tidak memiliki pola yang jelas dan tegas.
5.6.4 Konsep Desain Permukiman tradisional Madura
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan mengenai pola permukiman
madura, konsep ruang, konsep vegetasi, dan konsep sirkulasi maka konsep desain
permukiman tradisional Madura adalah sebagai berikut.
1. Permukiman tradisional madura merupakan permukiman dengan desain
cluster.
2. Setiap cluster terdiri dari beberapa rumah yang berjajar menurut arah barat-
timur dan memiliki ikatan kekerabatan.
3. Permukiman tradisional Madura menyediakan ruang terbuka yang bersifat
privat bagi anggota komunitas/penghuni cluster.
4. Ruang publik terbatas pada penggunaan secara bersama dan sekaligus sebagai
fasilitas sosial dalam permukiman.
5. Ruang permukiman ditata dengan konsep ruang terbuka privat menjadi ruang
buffer dan pembatas antar cluster dalam permukiman.
Gambaran spasial dari konsep desain tersebut dapat dilihat pada gambar 32.
Gambar 32. Konsep desain permukiman tradisional Madura
5.7 Implikasi Penelitian
Pembangunan jembatan suramadu menumbuhkan industrialisasi di Madura.
Sebagai bagian dari kawasan GERBANGKERTOSUSILA (Gresik, Bangkalan,
Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, Lamongan) yang merupakan pusat pemerintahan,
Sirkulasi
primer
Sirkulasi
sekunder
U
48
industri,perdagangan, maritim dan pendidikan, Madura berpotensi untuk
berkembang lebih maju. Oleh karena itu, keberadaan jembatan Suramadu,
memberi harapan baru bagi masyarakat Madura.
Namun demikian, dampak negatif dari pembangunan suramadu harus tetap
diwaspadai. Aktivasi jembatan Suramadu akan menimbulkan perubahan sosial
masyarakat Madura yang selama ini dikenal masyarakat agraris. Sebagian
kalangan berpandangan, pola kehidupan warga Madura akan diwarnai
industrialisasi.
Dalam persoalan ini, kondisi Madura yang diasosiasikan sebagai masyarakat
yang religius agamis (Islam) seharusnya sangat relevan sebagai modal dasar
dalam rangka membentengi nilai-nilai luhur kearifan lokal dari ekses negatif
globalisasi dan modernisasi. Sejalan dengan itu, pemerintah daerah hendaknya
dapat merekontruksi kebijakan yang pro budaya lokal, dengan cerdas dan kritis
dalam menyikapi perkembangan industrialisasi nantinya.
Salah satu bentuk kemajuan dan perkembangan di Madura pasca
pembangunan jembatan suramadu adalah mulai berkembangnya bisnis perumahan
sebagai dampak dari pengembangan industri dan perdagangan di Pulau Madura.
Para pengembang perumahan yang saat ini mulai membuka lahan permukiman
baru dengan mengadaptasi bentuk-bentuk perumahan yang telah berkembang di
Pulau Jawa. Disisi lain, Madura juga memiliki nilai-nilai kearifan dalam menata
permukimannya. Oleh sebab itu, melalui penelitian ini diharapkan perkembangan
perumahan di Madura tidak melupakan nilai-nilai budaya lokal sehingga budaya
baru tetap dapat diterima oleh masyarakat.
Integrasi budaya lokal pada era modernisasi bukan dimaksudkan untuk
menghambat proses kemajuan pembangunan, melainkan dimaksudkan agar nilai-
nilai budaya lokal yang menjadi karakter masyarakat tetap menjadi acuan dalam
merencanakan pembangunan di Madura.