v hasil dan pembahasan - repository.ipb.ac.id v... · v hasil dan pembahasan ... (1986) bahwa salah...

17
32 V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik Permukiman Tradisional Madura Permukiman tradisional Madura dibentuk oleh kelompok-kelompok rumah dipisahkan oleh lahan garapan atau jalan. Kelompok-kelompok rumah dibangun di sepanjang sisi jalan raya atau jalan setapak atau ditengah-tengah lahan pertanian. Pola permukiman tradisional madura terbentuk dari kombinasi tatanan rumah-rumah tradisional, jalan, dan lahan pertanian (Gambar 17). Fasilitas seperti lapangan dan masjid merupakan tempat berkumpul bagi masyarakat dan umumnya terletak di pusat desa. Masalah-masalah yang timbul dalam masyarakat umumnya diselesaikan dengan musyawarah yang dipimpin oleh kiai atau kalebun (kepala desa) atau sesepuh kampung. Gambar 17. Karakter permukiman tradisional Madura Lanskap permukiman Desa Lenteng Timur didominasi oleh permukiman rumah tinggal dan lahan pertanian. Struktur permukiman dibentuk oleh kelompok- kelompok rumah tinggal, lahan pertanian, dan jalan lingkungan sebagai akses utama. Pola permukiman berbentuk cluster yang dipisahkan oleh jalan dan lahan pertanian. Setiap kluster terdiri dari satu atau lebih kelompok rumah yang setiap kelompok rumah tersebut memiliki hubungan kekerabatan. Kelompok-kelompok rumah tersebut umumnya dipisahkan oleh pagar yang mengelilingi komplek perumahan. Pagar tersebut dapat berupa pagar hidup atau pagar tembok (Gambar 18). Pola permukiman tradisional Madura yang berbentuk kelompok-kelompok permukiman ini sesuai dengan pendapat Leibo (1986) bahwa salah satu bentuk pola permukiman di perdesaan adalah cluster village yaitu rumah-rumah mengelompok dengan dikelilingi lahan pertaniannya. Selain itu pola permukiman tradisional Madura juga merupakan bentuk adaptasi terhadap kondisi alam, sebagai bentuk pertahanan (defense), dan jenis mata pencaharian. Kondisi alam yang kering dan kurang subur menyebabkan masyarakat Madura berkumpul dan mendirikan rumah tinggal di lahan yang subur dan dekat dengan sumber air. Pola

Upload: nguyencong

Post on 21-Mar-2019

229 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

32

V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Karakteristik Permukiman Tradisional Madura

Permukiman tradisional Madura dibentuk oleh kelompok-kelompok rumah

dipisahkan oleh lahan garapan atau jalan. Kelompok-kelompok rumah dibangun

di sepanjang sisi jalan raya atau jalan setapak atau ditengah-tengah lahan

pertanian. Pola permukiman tradisional madura terbentuk dari kombinasi tatanan

rumah-rumah tradisional, jalan, dan lahan pertanian (Gambar 17). Fasilitas seperti

lapangan dan masjid merupakan tempat berkumpul bagi masyarakat dan

umumnya terletak di pusat desa. Masalah-masalah yang timbul dalam masyarakat

umumnya diselesaikan dengan musyawarah yang dipimpin oleh kiai atau kalebun

(kepala desa) atau sesepuh kampung.

Gambar 17. Karakter permukiman tradisional Madura

Lanskap permukiman Desa Lenteng Timur didominasi oleh permukiman

rumah tinggal dan lahan pertanian. Struktur permukiman dibentuk oleh kelompok-

kelompok rumah tinggal, lahan pertanian, dan jalan lingkungan sebagai akses

utama. Pola permukiman berbentuk cluster yang dipisahkan oleh jalan dan lahan

pertanian. Setiap kluster terdiri dari satu atau lebih kelompok rumah yang setiap

kelompok rumah tersebut memiliki hubungan kekerabatan. Kelompok-kelompok

rumah tersebut umumnya dipisahkan oleh pagar yang mengelilingi komplek

perumahan. Pagar tersebut dapat berupa pagar hidup atau pagar tembok (Gambar

18).

Pola permukiman tradisional Madura yang berbentuk kelompok-kelompok

permukiman ini sesuai dengan pendapat Leibo (1986) bahwa salah satu bentuk

pola permukiman di perdesaan adalah cluster village yaitu rumah-rumah

mengelompok dengan dikelilingi lahan pertaniannya. Selain itu pola permukiman

tradisional Madura juga merupakan bentuk adaptasi terhadap kondisi alam,

sebagai bentuk pertahanan (defense), dan jenis mata pencaharian. Kondisi alam

yang kering dan kurang subur menyebabkan masyarakat Madura berkumpul dan

mendirikan rumah tinggal di lahan yang subur dan dekat dengan sumber air. Pola

33

cluster atau berkelompok merupakan bentuk pertahanan dari gangguan musuh dan

hewan liar. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Hastijanti (2005) bahwa elemen

permukiman Madura yang berbentuk tanean lanjhang dan kampung mejhi

merupakan elemen yang mengakomodir ritual carok. Mata pencaharian penduduk

madura sebagai petani mempengaruhi karakter permukiman sehingga tampak

selalu dekat dengan lahan pertanian. Tanah sebagai lahan pertanian tidak dapat

dipisahkan dari permukiman tradisional Madura karena rumah tinggal hampir

selalu dibangun didekat lahan garapan. Penelitian de Jonge (1989) bahkan

menyebutkan bahwa komplek rumah tinggal tradisional madura yang disebut

tanean lanjhang tidak dapat dipisahkan dari lahan garapan. Hal ini sesuai dengan

pendapat Rapoport (1969) bahwa pola permukiman tradisional dipengaruhi oleh

bentuk tapak, upaya petahanan, dan aspek ekonomi.

Gambar 18. Pagar hidup pada rumah tinggal madura

6.2 Faktor-Faktor Pembentuk Permukiman Tradisional Madura

Permukiman tradisional Madura dibentuk oleh kombinasi tiga faktor

dominan, yaitu faktor strata sosial, faktor religi, dan faktor kekerabatan. Ketiga

faktor tersebut membentuk ruang permukiman pada skala meso (ketetanggaan)

berdasarkan aktivitas masyarakat Madura.

6.2.1 Faktor Strata Sosial

Permukiman tradisional Madura sangat dipengaruhi oleh kebudayaan

Madura. Kebudayaan yang berhubungan dengan strata sosial merupakan salah

satu faktor yang mempengaruhi bentuk permukiman. Strata sosial di Madura

dibagi menurut beberapa sudut pandang sehingga lapisan antar golongan saling

bertumpang tindih. Pelapisan sosial masyarakat Madura dalam hal keagamaan

membagi masyarakat menjadi tiga golongan, yaitu kiai, santre dan benne santre.

Penggolongan ini merupakan bentuk strata yang masih kuat di masyarakat. Kyai

sebagai golongan tertinggi memegang peranan penting dalam masyarakat yaitu

sebagai guru yang memberikan teladan dan sumber ilmu keagamaan sehingga

seorang kyai sangat dihormati. Ada kepercayaan yang menyebutkan bahwa orang

34

yang menentang kyai akan mendapatkan sial (kenneng tola) sehingga

penghormatan kepada kyai seringkali melebihi penghormatan kepada penguasa

wilayah.

Permukiman golongan kyai merupakan pusat aktivitas masyarakat yang

berkaitan dengan proses belajar-mengajar keagamaan dan kegiatan

kemasyarakatan (Gambar 19). Hal ini menyebabkan di beberapa tempat rumah

tinggal kyai dilengkapi dengan masjid dan pondok pesantren sebagai ruang

aktivitas publik. Permukiman golongan santre dan benne santre umumnya

memiliki pola ruang yang sama dengan masyarakat madura pada umumnya.

Gambar 19. Komplek rumah kyai

Pelapisan sosial menurut dimensi ekonomi mempengaruhi penggunaan

material dalam permukiman. Masyarakat dengan strata sosial tinggi umumnya

membangun rumah tinggal dengan tipe atap berbentuk bangsal dan pacenan

dengan material bangunan berupa batu bata putih. Sedangkan bagi masyarakat

dengan starata sosial menengah dan rendah (rakyat jelata) umumnya membangun

rumah dengan menggunakan tipe atap trompesan atau pegun. Namun, tidak

terdapat ketentuan khusus dalam penggunaan tipe atap tersebut. Pemilihan bentuk

atap hanya didasarkan pada kemampuan dan selera pemilik rumah.

6.2.2 Faktor Religi

Kehidupan masyarakat Madura tidak lepas dari suasana religi yang kuat.

Kegiatan-kegiatan bernuansa islam berkembang di masyarakat dan seringkali

dilaksanakan secara berkala. Hal ini menyebabkan fasilitas keagamaan manjadi

pusat orientasi kegiatan masyarakat.

Permukiman tradisional secara makro menunjukkan bahwa kegiatan

masyarakat madura berorientasi pada Masjid dan komplek rumah kyai (Gambar

20). Masjid menjadi tempat melaksanakan ibadah sholat lima waktu, belajar

agama, belajar mengaji, dan ritual khataman Qur’an.

6.2.3 Faktor Kekerabatan

Faktor Kekerabatan merupakan faktor yang paling dominan membentuk

permukiman tradisional Madura. Penataan permukiman masyarakat Madura

35

didasarkan pada hubungan kekerabatan antar anggota permukiman. Semakin

dekat jarak rumah tinggal atau komplek permukiman maka hampir dapat

dipastikan anggota masyarakata tersebut memiliki hubungan kekerabatan yang

dekat.

Gambar 20. Masjid dan komplek rumah kyai sebagai pusat orientasi kegiatan

Elemen utama permukiman yang berupa rumah tinggal dibangun secara

berkelompok sesuai dengan jumlah anak perempuan sehingga membentuk tanean

lanjhang (Gambar 21). Tanean lanjhang ini selain sebagai tempat tinggal juga

menjadi pamolean bagi saudara laki-laki yang telah bercerai atau pulang dari

merantau. Oleh sebab itu anak perempuan selalu mewarisi rumah beserta

pekarangannya sedangkan anak laki-laki berbagi dengan saudara perempuannya

mewarisi lahan pertanian/garapan. Fungsi pewarisan rumah dan pekarangan pada

anak perempuan adalah untuk tetap menjaga keutuhan hubungan kekerabatan.

Kelompok permukiman baru dapat terbentuk apabila pihak laki-laki yang akan

menikahi wanita dapat menyediakan lahan dan rumah di tempat yang baru

sehingga menjadi cikal bakal tanean lanjhang yang baru.

Gambar 21. Komplek rumah tanean lanjhang

36

5.3 Elemen Pembentuk Permukiman Tradisional Madura

Permukiman tradisional Madura dibentuk oleh elemen-elemen permukiman

yang memiliki orientasi tertentu sehingga membentuk karakter permukiman

tradisional Madura yang khas. Adapun elemen lanskap permukiman tradisional

Madura adalah sebagai berikut.

5.3.1 Rumah tinggal tradisional

Rumah tinggal tradisional Madura merupakan suatu komplek rumah tinggal

yang disatukan dalam satu pagar. Didalamnya terdapat satu atau lebih rumah

tinggal dan beberapa bangunan yang dibangun berjajar dari barat ke timur

menurut orientasi tertentu sehingga membentuk tanean lanjhang (halaman

panjang). Setiap rumah tinggal yang ada dalam tanean lanjhang memiliki ikatan

kekerabatan satu sama lain. Elemen dan pola tata ruang dalam tanean lanjhang

merupakan manifestasi dari konsep buppa-babbu-guru-rato secara mikro.

Elemen utama penyusun tanean lanjhang adalah rumah tinggal, langghar,

dapur, kandang, tanean, dan pagar hidup. Rumah-rumah yang terdapat dalam

tanean lanjhang bervariasi menurut jumlah anak perempuan yang dimiliki.

Apabila dalam sebuah keluarga tidak memiliki anak perempuan maka hampir

dapat dipastikan tanean tidak akan berkembang memanjang. Desain rumah tinggal

seperti ini disebut dengan rumah mejhi (Gambar 22). Rumah tinggal tradisional

Madura umumnya menggunakan ukuran 6x9 m2 atau 7x9 m

2 atau 5x15 m

2

sehingga apabila ada 6 rumah dalam satu tanean, panjang tanean dapat mencapai

36 m.

Gambar 22. Rumah Mejhi

1. Rumah tinggal tradisional

Rumah tinggal terdiri dari rumah induk dan rumah anak perempuan. Rumah

induk disebut rumah tongghu (Gambar 23). Rumah ini merupakan rumah yang

ditempati oleh orang tua/pemilik taneyan dan selalu dibangun di sisi barat taneyan

menghadap selatan. Tata letak rumah tongghu di ujung barat tanean merupakan

37

manifestasi dari konsep buppa-babbu yang bermakna bahwa orang tua adalah

panutan yang harus dipatuhi dan memberikan teladan dalam tanean. Apabila

orang tua meninggal dunia rumah tongghu akan diwariskan pada anak perempuan

pertama agar dapat dipelihara. Apabila orang tua tidak memiliki anak perempuan,

biasanya ada salah satu anak laki-laki yang akan diminta untuk mendiami rumah

tongghu dan penentuannya dilakukan melalui musyawarah keluarga. Menurut

Subaharianto dkk (2005) hal ini berkaitan dengan kepercayaan bahwa lahan

pekarangan dan rumah tongghu didiami oleh roh leluhur sehingga tidak boleh

dibiarkan kosong agar ada yang dapat menghormati roh-roh leluhur tersebut.

Rumah anak perempuan biasanya dibangun berjajar dari barat ke timur

sesuai dengan jumlahnya. Apabila lahan tidak mencukupi, rumah-rumah baru

dibangun dengan pola sebaliknya, yaitu dari barat ke timur sehingga bangunan

rumah saling berhadap-hadapan. Namun menurut Wiyata (2002) Hal ini telah

menyalahi aturan tanean lanjhang. Pola permukiman tanean lanjhang ini

mengikat sebuah keluarga, terutama keluarga perempuan, dengan kuat sehingga

sampai saat ini dapat ditemui tanean lanjhang yang telah dihuni selama 3-5

generasi.

Gambar 23. Rumah tongghu

Material bangunan yang digunakan pada rumah tradisional saat ini telah

mengalami penyesuaian. Jika pada masa dahulu material bangunan yang

digunakan adalah bambu atau kayu sebagai dinding dan rangka bangunan,

genteng dan ijuk sebagai atap, serta lantai berupa tanah padat, maka saat ini

material yang digunakan berupa tembok semen, genteng dan lantai semen atau

keramik. Namun, bentuk arsitektur rumah relatif tidak berubah. Hal ini tampak

dari bentuk atap, tiang sasaka agung, dan ukir-ukiran sebagai ragam hias rumah

tradisional. Rumah-rumah tradisional Madura umumnya dibedakan menurut

bentuk atapnya. Tipe atap bangsal dan pacenan biasa digunakan sebagai atap

rumah tongghu atau rumah tinggal anak. Selain itu tipe atap bangsal dan pacenan

umumnya digunakan oleh kalangan bangsawan prijaji dan kalangan menengah.

38

Tipe atap trompesan dan pegun biasanya digunakan sebagai bentuk atap

bangunan-bangunan penunjang lain seperti langghar, dapur, dan kandang.

2. Langghar

Langghar merupakan bangunan yang digunakan sebagai tempat

manjalankan ibadah (Gambar 24). Bangunan ini merupakan bangunan yang

sangat penting karena berfungsi sebagai tempat orang tua memberikan nasihat

kepada putra-putrinya. Selain itu langghar juga digunakan sebagai tempat tidur

anak laki-laki yang telah akil baligh, melakukan musyawarah keluarga, dan

menerima tamu laki-laki. Dalam konsep budaya madura, langghar menempati

posisi guru dalam tanean. Hal ini didasarkan pada fungsi langghar sebagai

penjaga dan penerus nilai-nilai budaya dalam keluarga.

Langghar dibangun di ujung barat tanean berhadapan langsung dengan pintu

masuk tanean agar pemilik tanean dapat mengawasi keseluruhan tanean.

Keberadaan langghar menandai eksistensi sebuah tanean. Tanean diakui sebagai

kelompok rumah yang mandiri apabila telah dibangun langghar baru di

halamannya. Sehingga dengan kata lain langghar merupakan orientasi utama

dalam tanean. Bangunan langghar umumnya berupa rumah panggung setingi

lebih kurang 1 m dengan ukuran 3x4 m2. Bagian yang menghadap ke timur

dibiarkan terbuka dan dilengkapi dengan teras. Material bangunan langghar

umumnya dari kayu atau bambu atau tembok semen.

Gambar 24. Letak langghar dalam tanean

3. Dapur dan kandang

Dapur dan kandang (Gambar 25) merupakan lambang kemandirian setiap

keluarga yang ada dalam tanean. Setiap rumah dalam tanean memiliki dapur

sendiri, sedangkan keberadaan kandang disesuaikan dengan mata pencaharian

masing-masing kepala keluarga. Selain itu dapur juga menjadi simbol area

perempuan dalam tanean. Dapur dan kandang dibangun berhadapan dengan

rumah tinggal. Hewan yang diternakkan umumnya adalah sapi. Jumlah sapi yang

dimiliki biasanya menjadi tolak ukur kekayaan seseorang.

39

Gambar 25. Dapur dan kandang

4. Tanean

Tanean merupakan ruang terbuka yang berada di tengah-tengah komplek

bangunan. Tanean berfungsi sebagai pusat interaksi sosial antar anggota keluarga

yang tinggal dalam tanean. Selain itu tanean juga berfungsi sebagai tempat

menjemur hasil pertanian dan menyelenggarakan hajatan. Apabila pemilik tanean

memiliki banyak anak perempuan, maka tanean akan berkembang memanjang

sehingga disebut dengan tanean lanjhang (Gambar 26).

Gambar 26. Rumah mejhi yang berkembang menjadi tanean lanjhang

Bentukan lahan tanean umumnya datar dan menjadi bidang dasar bagi

bangunan-bangunan diatasnya. Keberadaan taneyan menyatukan elemen

bangunan sehingga menimbulkan harmonisasi antar elemen. Ruang dengan

bentukan datar pada taneyan memberikan kesan terbuka, netral, dan stabil.

5. Pagar Hidup

Pagar hidup merupakan barisan pohon dan semak yang ditanam

mengelilingi tanean. Desain penanaman pagar hidup sengaja dibuat agar tumbuh

rapat sehingga dapat menjadi penanda batas area tanean dan melindungi penghuni

tanean dari serangan musuh. Adanya pagar hidup ini merupakan bentuk defense

penghuni tanean dari musuh-musuh yang mungkin ada serta menjadi batas

teritorial kekuasaan pemilik tanean.

40

Tanaman yang digunakan sebagai pagar hidup adalah tanaman produktif

dan dapat dimanfaatkan oleh pemilik rumah. Daftar tanaman yang digunkan

sebagai pagar hidup dan fungsi turunannya dapat dilihat pada tabel 6.

Tabel 6. Tanaman yang digunakan sebagai pagar hidup dan fungsi turunannya

No. Nama Tanaman Nama Latin Fungsi turunan

1 Pohon waru Pakan ternak

2 Pohon Jaran Dolichandrone

spathacea Pakan ternak

3 Bintaos Pakan ternak

4 Cabe Jawa Jamu, dijual

5 Kelor Moringa oleifera Bahan pangan

6 Pepaya Dijual

7 Mangga Mangifera indica Dijual

8 Bambu Bambusa sp. Dijual

9 Rambutan Dijual

10 Pisang Dijual

11 Nangka Artocarpus integra Dijual

12 Sarikaya Annona squamosa Dijual

13 Kenanga Cananga odorata Dijual

14 Turi Aeschynomene

grandiflora Bahan pangan

15 Cempaka Michelia champaca Estetika

16 Mawar Rosa sp. Estetika

17 Melati Jasminum sambac Estetika

18 Beluntas Pluchea indica Bahan pangan, jamu

Sumber : survei lapang 2013

5.3.2 Lahan Garapan

Lahan garapan di Pulau Madura sebagian besar merupakan lahan kering

sehingga sistem pertanian yang diterapkan oleh petani Madura adalah sistem

pertanian lahan kering atau perladangan (Gambar 27). Pada musim hujan

(nambara’) petani menanam padi dengan sistem tadah hujan sedangkan pada

musim kemarau (nemor) petani menanam jagung dan tembakau. Pada tanah

tegalan ditanam kacang hijau dan ubi-ubian. Pada sisi-sisi ladang ditanami dengan

kelapa. Pohon kelapa berfungsi sebagai peneduh dan hasilnya dijual ke pasar.

Lahan garapan biasanya terletak di sekeliling permukiman. Hal ini menyebabkan

antara permukiman yang satu dengan permukiman yang lain cenderung terpencar.

Lahan garapan umumnya terletak disisi luar tanean atau berada disekeliling

tanean. Hal ini dimaksudkan agar petani bekerja tidak jauh dari rumahnya

sehingga seringkali rumah dibangun diatas tanah garapan. Tidak ada orientasi

khusus dimana harus membangun rumah. Biasanya hal ini diserahkan pada

dhukon atau kyai untuk menentukan dimana tempat yang baik untuk membangun

rumah.

41

Gambar 27. Pertanian lahan kering

Lahan garapan yang dimiliki petani madura pada masa lalu sangatlah luas.

Hal ini dapat dilihat dari pola permukiman tanean lanjhang yang dapat dibangun

oleh pemilik pertama tanean. Namun saat ini, sesuai dengan hukum waris

menurut syariat islam, tanah pertanian telah dibagi-bagi sehingga terpetak-petak

menurut jumlah keluarga. Letaknya pun terpencar-pencar karena sebagian

pewarisnya lebih memilih untuk menjual tanah pertanian. Tanah pertanian

umumnya dijual untuk menambah biaya naik haji. Fenomena ini tidak sejalan

dengan pendapat Subaharianto (2009) bahwa masyarakat madura memiliki ikatan

tanah dengan roh leluhur sehingga menjual tanah sama dengan menjual roh

leluhur. Penjualan tanah hanya dapat dilakukan kepada keluarga dekat sehingga

seharusnya cukup sulit untuk menjual tanah di madura.

5.3.3 Masjid

Masjid bagi masyarakat madura merupakan simbol ketaatan masyarakat

madura terhadap Allah SWT. Masjid digunakan sebagai tempat ibadah shalat,

Pengajian, dan tempat berkumpul. Penggerak utama kegiatan masjid adalah kyai.

Pada umumnya rumah seorang kyai dilengkapi langghar yang digunakan anak-

anak belajar mengaji. Kemudian langghar ini dapat berkembang menjadi masjid

dan dapat pula menjadi cikal bakal pesantren.

Selain di rumah kyai, masjid juga dapat didirikan diatas tanah wakaf

menurut kesepakatan masyarakat. Tidak ada ketentuan berapa masjid yang harus

dibangun dalam satu desa. Kebutuhan masjid disesuaikan dengan kondisi

kebutuhan dan keberadaan tanah wakaf. Tapi hampir dapat dipastikan dalam satu

desa terdapat minimal satu buah masjid. Masjid merupakan pusat orientasi

aktivitas keagamaan permukiman tradisional.

5.3.4 Tanah Pemakaman

Masyarakat Madura tradisional tidak mengenal pemakaman umum.

Biasanya keluarga yang meninggal dunia akan dimakamkan di dalam tanean atau

di tanah tegalnya. Tidak ada aturan khusus dimana harus memakamkan, yang

42

terpenting adalah arwah jenazah yang dimakamkan dapat kembali menyatu

dengan tanah dan lebih tenang keberadaannya.

Pemakaman umum yang dikenal saat ini merupakan hasil dari wakaf

anggota masyarakat. Tata letak pemakaman umum tidak ditentukan secara pasti.

Umumnya tanah pemakaman ditempatkan pada dataran yang lebih tinggi dari

sekitarnya agar terhindar dari banjir saat hujan.

5.4 Pola Permukiman Tradisional Madura

Karakter permukiman tradisional Madura dipengaruhi oleh sistem pertanian

lahan kering dan kekerabatan sehingga membentuk pola permukiman yang

mengelompok namun terpencar. Setiap keluarga yang memiliki hubungan

kekerabatan cenderung membentuk permukiman yang mengelompok, namun

antar kelompok umumnya terpisah oleh lahan pertanian sehingga membentuk

permukiman yang terpencar. Pola permukiman ini dapat dikategorikan sebagai

kombinasi antara the scattered formstead community dan the cluster village

(Leibo 1986). The scattered formstead community adalah pola permukiman yang

sebagian penduduknya berdiam di pusat layanan, sementara yang lainnya tersebar

bersama sawah ladangnya masing-masing, sedangkan the cluster village adalah

pola permukiman yang penduduknya tinggal mengelompok dengan dikelilingi

sawah ladangnya.

Pusat layanan dalam ruang permukiman tradisional madura juga berperan

sebagai pusat aktivitas sosial masyarakat. Pusat layanan dan aktivitas sosial ini

dapat berupa masjid, pondok pesantren, atau lapangan kampung. Tata letak masjid

pada permukiman tradisional Madura umumnya berada pada jalur sirkulasi primer

dan menjadi penanda (landmark) sekaligus simpul aktivitas (nodes)bagi kawasan

permukiman.

Jalur sirkulasi (path) pada permukiman tradisional Madura dapat dibedakan

menjadi jalur sirkulasi primer dan sekunder. Jalur sirkulasi primer adalah jalur

sirkulasi utama yang menghubungkan antar wilayah. Letak jalur sirkulasi primer

dalam permukiman tradisional tidak mengikuti pola permukiman, namun dapat

membelah kawasan permukiman tradisional sehingga jalan utama dapat

digunakan sebagai pembatas antar ruang permukiman (edges) dalam satu desa

atau dusun. Jalur sirkulasi sekunder adalah jalur sirkulasi yang menghubungkan

kelompok rumah dengan kelompok rumah atau dengan lahan pertanian berupa

jalan lingkungan. Pada umumnya jalur sirkulasi sekunder hanya menghubungkan

antar titik dalam ruang permukiman.

Tepian (edges) permukiman tradisional madura umumnya dibatasi oleh

batas fisik dan batas alam. Di wilayah Desa Lenteng Timur, daerah tepian dibatasi

oleh jalan, lahan pertanian, dan sungai. Lahan pertanian yang luas dan banyaknya

jumlah jalan sekunder menyebabkan batas tepi permukiman menjadi kurang tegas

sehingga tidak menjadi batas wilayah yang jelas.

Orientasi permukiman pada skala ketetanggaan cenderung tidak ada.

Permukiman padat umumnya terkonsentrasi menurut letak fasilitas dan pelayanan

umum, ketersediaan akses (jalur sirkulasi), atau jumlah kerabat. Hal ini berbeda

dengan permukiman tradisional pada skala mikro yang menggunakan konsep

taneyan lanjhang. Permukiman tradisional taneyan lanjhang berorientasi pada

arah kiblat. Kiblat menjadi pedoman dalam menentukan arah pembangunan

43

rumah tinggal dalam taneyan lanjhang. Hal ini menyebabkan posisi rumah tidak

sejajar dengan jalan utama.

5.5 Tata Ruang Permukiman Tradisional Madura

Ruang permukiman tradisional madura dibentuk oleh budaya masyarakat

madura yang sangat erat dengan faktor religi dan kekerabatan. Faktor religi dan

kekerabatan membentuk pelapisan sosial sehingga berpengaruh terhadap pola

ruang aktivitas masyarakat. Tata ruang permukiman tradisional masyarakat

madura dapat dibagi dalam tiga klasifikasi, yaitu tata ruang menurut fungsi, tata

ruang menurut sifat, dan tata ruang menurut aktivitas.

5.5.1 Tata Ruang Permukiman Tradisional Madura menurut Fungsi

Berdasarkan fungsi ruang, tata ruang permukiman tradisional madura

dibedakan menjadi ruang tinggal, ruang sosial, dan ruang produksi (Gambar 28).

Ruang tinggal merupakan area permukiman yang terikat oleh faktor kekerabatan

dan menjadi tempat tinggal masyarakat. Ruang tinggal terdiri atas kelompok-

kelompok rumah yang berpola mejhi dan tanean lanjhang. Ruang sosial

merupakan ruang tempat masyarakat melakukan aktivitas secara bersama dan

dapat digunakan oleh siapa pun. Ruang sosial dapat berupa lapangan, masjid, dan

pemakaman umum. Ruang produksi merupakan ruang yang digunakan

masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ruang produksi dapat berupa

lahan pertanian dan pasar.

Gambar 28 Tata ruang menurut fungsi

5.5.2 Tata ruang permukiman Tradisional menurut Sifat

Berdasarkan sifatnya, ruang permukiman dibagi menjadi ruang publik dan

ruang privat (Gambar 29). Ruang publik merupakan ruang yang dapat diakses

oleh semua orang. Ruang publik mengakomodasi kegiatan sosial dan keagamaan

seperti kamrat, muslimatan, musyawarah warga, lomba karapan sapi, ziarah

kubur, dan sebagainya. Elemen permukiman dalam ruang publik adalah masjid,

lapangan, dan pemakaman umum. Ruang privat merupakan ruang yang hanya

dapat diakses oleh individu masyarakat yang memiliki ruang tersebut. Ruang

privat mengakomodasi kebutuhan produksi dan tinggal menetap. Elemen

permukiman yang termasuk dalam ruang privat adalah elemen rumah tinggal dan

lahan pertanian.

44

Gambar 29. Tata ruang menurut sifat

5.5.3 Tata ruang Permukiman Tradisional menurut Kepercayaan

Berdasarkan aspek kepercayaan, ruang permukiman tradisional madura

dapat dibagi menjadi ruang profan dan ruang suci (Gambar 30). Ruang profan

merupakan ruang yang bersifat keduniawian sehingga aktivitas yang diakomodir

dalam ruang ini adalah aktivitas-aktivitas sosial yang berkaitan dengan

pemenuhan kebutuhan ekonomi dan hubungan sesama manusia. Elemen

permukiman yang termasuk dalam ruang profan adalah lahan pertanian. Ruang

suci merupakan ruang yang bersifat spritual sehingga aktivitas yang diakomodir

adalah kegiatan yang bersifat keagamaan dan pelaksanaan kepercayaan. Elemen

permukiman yang termasuk dalam ruang suci adalah masjid, rumah tinggal, dan

tanah pemakaman.

Gambar 30. Tata ruang menurut kepercayaan

45

5.6 Desain Permukiman Tradisional Madura

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan diatas dapat disimpulkan bahwa

konsep dasar desain permukiman tradisional Madura adalah berbentuk cluster.

Desain cluster merupakan desain permukiman yang mengakomodir beberapa unit

rumah pada suatu lokasi yang sempit untuk mendapatkan ruang terbuka yang

lebih luas (Russ 2009). Menurut Untermann dan Robert (1993) Perumahan

dengan desain cluster adalah perumahan yang saling dihubungkan sedemikian

rupa sehingga unit-unit individualnya membagi bersama, baik dinding, lantai,

ataupun langit-langitnya. Hal yang terpenting adalah unit-unit individual tersebut

membagi bersama pemakaian ruang terbuka dan fasilitas yang ada. Skala dan

organisasi permukiman cluster menggambarkan suatu wadah fisik dan sosial yang

terstruktur namun tetap fleksibel menurut nilai-nilai dan kebudayaan setempat.

Pengembangan desain cluster dapat mereduksi dampak visual dari

pengembangan yang dilakukan komunitas serta dapat mereduksi dampak

lingkungan. Bentuk cluster memungkinkan pengembang untuk memanfaatkan

lahan untuk memelihara nilai-nilai kawasan alami, lahan pertanian, zona riparian,

dan sebagainya (Russ 2009). Daftar atribut bagi permukiman dengan desain

cluster adalah sebagai berikut.

1. Mengakomodir sejumlah unit pada ruang sempit bagi ruang terbuka yang

lebih luas

2. Mereduksi dampak visual bagi komunitas penghuni permukiman

3. Mengakomodasi ruang penyangga diantara penggunaan yang berbeda

4. Memelihara fungsi lanskap alami penting

5. Mangangkat karakter perdesaan pada tapak

6. Sensitif terhadap karakter tapak

7. Membangun benchmark bagi pengembangan di masa datang

5.6.1 Konsep Ruang

Berdasarkan hasil analisis terhadap sifat dan fungsi penggunaan ruang serta

atribut desain cluster, area permukiman tradisional madura dapat dibagi dalam 3

ruang sebagai berikut :

1. Ruang privat

Ruang privat merupakan ruang yang hanya dapat diakses oleh penghuni

komunitas. Ruang privat berupa rumah tinggal yang ditata berkelompok-

kelompok menurut hubungan kekerabatan. Ruang privat mengakomodasi aktivitas

pribadi dan anggota komunitas dalam kelompok.

2. Ruang publik

Ruang publik adalah ruang yang dapat diakses oleh semua orang. Ruang

publik dapat berupa fasilitas umum dan fasilitas sosial seperti Masjid sebagai

sarana ibadah. Ruang publik merupakan pusat orientasi kegiatan masyarakat

dalam permukiman.

3. Ruang terbuka privat

Ruang terbuka privat adalah ruang terbuka yang dimiliki oleh anggota

komunitas. Ruang terbuka ini juga merupakan buffer antara kelompok rumah

yang satu dengan kelompok rumah yang lain. Ruang terbuka privat

mengakomodasi kegiatan produksi dan sosial. Elemen ruang terbuka privat adalah

lahan pertanian dan halaman bersama dalam komunitas.

46

Konsep tata ruang yang permukiman tradisional madura adalah ruang privat

diapit oleh ruang terbuka privat sehingga ruang terbuka privat berfungsi sebagai

buffer antar komunitas. Ruang publik berada ditengah permukiman sehingga

dapat diakses oleh seluruh penghuni permukiman (Gambar 31). Keterkaitan antar

ruang yang demikian memungkinkan dibuatnya fasilitas-fasilitias penunjang

permukiman pada area publik, sedangkan pada area privat dan ruang terbuka

privat ketersedian fasilitas komunal harus melalui musyawarah anggota

komunitas.

Gambar 31. Konsep Ruang Permukiman Tradisional Madura

5.6.2 Konsep Vegetasi

Konsep vegetasi berkaitan dengan konsep tata hijau dalam ruang

permukiman tradisional Madura. Penataan vegetasi pada permukiman tradisional

madura didasarkan pada fungsi dan manfaat vegetasi bagi penghuni permukiman.

Konsep tata hijau dalam ruang permukiman dibagi menjadi 2, yaitu sebagai

vegetasi penyangga dan vegetasi produksi. Vegetasi penyangga adalah vegetasi

yang berperan sebagai pembatas antar ruang dalam permukiman. Secara umum

vegetasi penyangga berfungsi sebagai batas teritori bagi penghuni komunitas.

Jenis vegetasi yang digunakan sebagai vegetasi penyangga adalah jenis pohon

seperti kelapa, mahoni, jati, sengon, jaran, dan waru. Vegetasi produksi

merupakan vegetasi yang berperan dalam pemenuhan kebutuhan penghuni

permukiman. Vegetasi produksi umumnya ditanam pada ruang terbuka privat.

Jenis vegetasi yang digunakan sebagai vegetasi produksi adalah jenis tanaman

pangan dan buah-buahan.

Desain penanaman dalam permukiman tradisional tidak mengenal aturan

khusus. Tata hijau lanskap didasarkan pada fungsi vegetasi dan ketersedian lahan

penanaman. Vegetasi yang berfungsi sebagai buffer umumnya ditanam

mengelilingi tapak, baik ruang terbuka privat maupun ruang privat.

5.6.3 Konsep sirkulasi

Sirkulasi pada permukiman tradisional madura tidak memiliki pola yang

khusus. Hierarki jalan permukiman dapat dibagi menjadi jalan utama dan jalan

47

lingkungan. Jalan utama merupakan jalur sirkulasi yang menghubungkan

permukiman dengan lanskap lain dan menghubungkan antar fasilitas dalam

permukiman. Sedangkan jalan lingkungan adalah jalur sirkulasi yang

menghubungkan antar cluster dalam permukiman. Jalan lingkungan umumnya

tidak memiliki pola yang jelas dan tegas.

5.6.4 Konsep Desain Permukiman tradisional Madura

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan mengenai pola permukiman

madura, konsep ruang, konsep vegetasi, dan konsep sirkulasi maka konsep desain

permukiman tradisional Madura adalah sebagai berikut.

1. Permukiman tradisional madura merupakan permukiman dengan desain

cluster.

2. Setiap cluster terdiri dari beberapa rumah yang berjajar menurut arah barat-

timur dan memiliki ikatan kekerabatan.

3. Permukiman tradisional Madura menyediakan ruang terbuka yang bersifat

privat bagi anggota komunitas/penghuni cluster.

4. Ruang publik terbatas pada penggunaan secara bersama dan sekaligus sebagai

fasilitas sosial dalam permukiman.

5. Ruang permukiman ditata dengan konsep ruang terbuka privat menjadi ruang

buffer dan pembatas antar cluster dalam permukiman.

Gambaran spasial dari konsep desain tersebut dapat dilihat pada gambar 32.

Gambar 32. Konsep desain permukiman tradisional Madura

5.7 Implikasi Penelitian

Pembangunan jembatan suramadu menumbuhkan industrialisasi di Madura.

Sebagai bagian dari kawasan GERBANGKERTOSUSILA (Gresik, Bangkalan,

Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, Lamongan) yang merupakan pusat pemerintahan,

Sirkulasi

primer

Sirkulasi

sekunder

U

48

industri,perdagangan, maritim dan pendidikan, Madura berpotensi untuk

berkembang lebih maju. Oleh karena itu, keberadaan jembatan Suramadu,

memberi harapan baru bagi masyarakat Madura.

Namun demikian, dampak negatif dari pembangunan suramadu harus tetap

diwaspadai. Aktivasi jembatan Suramadu akan menimbulkan perubahan sosial

masyarakat Madura yang selama ini dikenal masyarakat agraris. Sebagian

kalangan berpandangan, pola kehidupan warga Madura akan diwarnai

industrialisasi.

Dalam persoalan ini, kondisi Madura yang diasosiasikan sebagai masyarakat

yang religius agamis (Islam) seharusnya sangat relevan sebagai modal dasar

dalam rangka membentengi nilai-nilai luhur kearifan lokal dari ekses negatif

globalisasi dan modernisasi. Sejalan dengan itu, pemerintah daerah hendaknya

dapat merekontruksi kebijakan yang pro budaya lokal, dengan cerdas dan kritis

dalam menyikapi perkembangan industrialisasi nantinya.

Salah satu bentuk kemajuan dan perkembangan di Madura pasca

pembangunan jembatan suramadu adalah mulai berkembangnya bisnis perumahan

sebagai dampak dari pengembangan industri dan perdagangan di Pulau Madura.

Para pengembang perumahan yang saat ini mulai membuka lahan permukiman

baru dengan mengadaptasi bentuk-bentuk perumahan yang telah berkembang di

Pulau Jawa. Disisi lain, Madura juga memiliki nilai-nilai kearifan dalam menata

permukimannya. Oleh sebab itu, melalui penelitian ini diharapkan perkembangan

perumahan di Madura tidak melupakan nilai-nilai budaya lokal sehingga budaya

baru tetap dapat diterima oleh masyarakat.

Integrasi budaya lokal pada era modernisasi bukan dimaksudkan untuk

menghambat proses kemajuan pembangunan, melainkan dimaksudkan agar nilai-

nilai budaya lokal yang menjadi karakter masyarakat tetap menjadi acuan dalam

merencanakan pembangunan di Madura.