v. hasil dan pembahasan penelitian berdasarkan gambar 5.5, diketahui bahwa nilai indeks...
TRANSCRIPT
75
V. HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN
5.1 Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil analisis existing condition pengelolaan rumpon di Barat
Daya perairan Pelabuhanratu, Jawa Barat yang menggunakan aplikasi Rapfish
dengan metode Multidimensional Scaling (MDS), diperoleh status keberlanjutan
setiap dimensi (ekologi, ekonomi, teknologi, sosial) dan status keberlanjutan
keterpaduan dimensi (multidimensi) pengelolaan rumpon. Untuk
merekomendasikan kebijakan yang akan di lakukan untuk pengelolaan rumpon
yang berkelanjutan di Barat Daya perairan Pelabuhan ratu, diperoleh hasil
analisis kebijakan dengan menggunakan Analitical Hierarchy Process (AHP)
5.1.1 Status Keberlanjutan Pengelolaan Rumpon Setiap Dimensi
5.1.1.1 Status Keberlanjutan Pengelolaan Rumpon Dimensi Ekologi
Terkait dengan dimensi ekologi ini, analisis MDS dengan
mempertimbangkan beberapa atribut yang berpengaruh menghasilkan indeks
keberlanjutan pengelolaan rumpon di Pelabuhanratu yang kemudian disingkat
Ikb-PENGRUMPON-Ekologi. Atribut yang dipertimbangkan dalam analisis
MDS dari dimensi ekologi ini terdiri dari: (1) tingkah laku ikan di sekitar
rumpon, (2) suhu perairan, (3) salinitas perairan, (4) arus perairan, (5) kedalaman
atraktor rumpon di perairan, (6) zona/kawasan pengelolaan rumpon di perairan,
dan (7) batas wilayah administrasi pengelolaan rumpon di perairan.
Berdasarkan hasil analisis MDS, diketahui nilai indeks keberlanjutan
pengelolaan rumpon dari dimensi ekologi (Ikb-PENGRUMPON-Ekologi) adalah
57,14 pada skala keberlajutan 1 – 100. Nilai indeks ini menunjukkan bahwa dari
analisis tujuh atribut yang ada, status keberlanjutan pengelolaan rumpon di
perairan Pelabuhanratu termasuk kategori ”cukup” secara ekologi. Menurut
Kruskal dalam Jhonson dan Wichern (1992), kategori cukup bila nilai indeks
berada pada kisaran 51 – 75. Gambar 5.1 memperlihatkan hasil analisis MDS
76
yang menunjukkan nilai indeks keberlanjutan pengelolaan rumpon di Barat
Daya perairan Pelabuhanratu dari dimensi ekologi.
57.14
BAD
DOWN
GOOD
UP
-60
-40
-20
0
20
40
60
0 20 40 60 80 100 120
Sumbu X Setelah Rotasi : Skala Keberlanjutan
Sum
bu
YSete
lah
Rota
si
Ikb-PENGRUMPON-Ekologi Titik Referensi Utama
Titik Referensi Tambahan
Gambar 5.1 Hasil analisis MDS yang menunjukkan nilai Ikb-PENGRUMPON-
Ekologi di Barat Daya perairan Pelabuhanratu
Untuk mengetahui atribut sensitif yang memberikan kontribusi terhadap
nilai indeks keberlanjutan pengelolaan rumpon dari dimensi ekologi, maka
dilakukan analisis leverage. Berdasarkan hasil analisis leverage yang dilakukan,
diketahui bahwa atribut zona/kawasan pengelolaan rumpon merupakan atribut
yang paling tinggi kontribusinya yaitu dengan nilai 12,37. Sedangkan atribut
lainnya yang kontribusinya cukup besar terhadap nilai indeks keberlanjutan
pengelolaan rumpon dari dimensi ekologi adalah arus perairan dengan nilai 9,37,
suhu perairan dengan nilai 8,38, dan salinitas perairan dengan nilai 6,49. Secara
detail kontribusi setiap atribut terkait dimensi ekologi disajikan pada Gambar
5.2.
77
Analisis Leverage Dimensi Ekologi
1.23
8.38
6.49
9.37
2.73
12.37
3.17
0 2 4 6 8 10 12 14
Tingkah laku ikan
Suhu perairan
Salinitas perairan
Arus perairan
Kedalaman atraktor rumpon di perairan
Zona/kaw asan pengelolaan rumpon
Batas w ilayahA
trib
ut
Perubahan Root Mean Square (RMS) Ordinasi Jika Salah Satu Atribut Dihilangkan
(pada Skala Keberlanjutan 0 - 100)
Gambar 5.2 Peran masing-masing atribut dari dimensi ekologi yang dinyatakan
dalam bentuk perubahan nilai RMS
5.1.1.2 Status Keberlanjutan Pengelolaan Rumpon dari Dimensi Ekonomi
Analisis Multidimensional Scaling (MDS) terkait status keberlanjutan
pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu dari dimensi ekonomi
dilakukan dengan mempertimbangkan enam atribut yang relevan. Adapun
keenam atribut tersebut adalah : (1) rasio usaha perikanan tangkap yang
bergantung rumpon dianalisis, (2) pertumbuhan usaha pendukung penangkapan,
(3) nilai B/C ratio usaha pennagkapan ikan di sekitar rumpon, (4) kontribusi
terhadap PAD, (5) pendapatan nelayan rumpon (terutama nelayan skala kecil),
dan (6) konsumsi rumah tangga nelayan rumpon (terutama nelayan skala kecil)
diukur dari konsumsi beras per tahun.
Dari analisis MDS yang dilakukan, diketahui bahwa nilai indeks
keberlanjutan pengelolaan rumpon di perairan Pelabuhanratu dari dimensi
ekonomi (Ikb-PENGRUMPON-Ekonomi) adalah 82,67 pada skala keberlajutan
1 – 100. Berdasarkan nilai indeks tersebut, maka status keberlanjutan
pengelolaan rumpon di perairan Pelabuhanratu termasuk kategori ”baik” secara
ekonomi karena nilainya berada pada kisaran 76 - 100. Hal ini berarti
pengelolaan rumpon di perairan Pelabuharatu dilihat dari dimensi ekonomi telah
memberikan manfaat yang lebih besar dibandingkan dengan dimensi ekologi.
Gambar 5.3 memperlihatkan hasil analisis MDS terkait status keberlanjutan
pengelolaan rumpon dari dimensi ekonomi.
78
82.67
BAD GOOD
DOWN
UP
-60
-40
-20
0
20
40
60
0 20 40 60 80 100 120
Sumbu X Setelah Rotasi : Skala Keberlanjutan
Sum
bu
YSete
lah
Rota
si
Ikb-PENGRUMPON-Ekonomi Titik Referensi Utama
Titik Referensi Tambahan
Gambar 5.3 Hasil analisis MDS yang menunjukkan nilai Ikb-PENGRUMPON-
Ekonomi di Barat Daya perairan Pelabuhanratu
Untuk mengetahui jenis-jenis atribut yang sensitif memberikan kontribusi
terhadap nilai indeks keberlanjutan pengelolaan rumpon dari dimensi ekonomi
tersebut, maka disajikan hasil analisis leverage pada Gambar 5.4.
Analisis Leverage Dimensi Ekonomi
6.96
5.45
3.21
4.24
8.72
5.08
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Rasio usaha perikanan tangkap bergantung rumpon
Pertumbuhan usaha pendukung penangkapan
Nilai B/C ratio
Kontribusi terhadap PAD
Pendapatan nelayan rumpon (terutama nelayan kecil)
Konsumsi RTN rumpon (terutama nelayan skala kecil)
Atr
ibu
t
Perubahan Root Mean Square (RMS) Ordinasi Jika Salah Satu Atribut Dihilangkan
(pada Skala Keberlanjutan 0 - 100)
Gambar 5.4 Peran masing-masing atribut dari dimensi ekonomi yang
dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS
79
Berdasarkan Gambar 5.4, diketahui bahwa atribut pendapatan nelayan
rumpon (terutama nelayan kecil) merupakan atribut yang paling sensitif yaitu
dengan nilai 8,72, kemudian berturut-turut diikuti oleh atribut rasio usaha
perikanan tangkap yang bergantung pada rumpon dengan nilai 6,96,
pertumbuhan usaha pendukung penangkapan dengan nilai 5,45, dan konsumsi
rumah tangga nelayan / RTN rumpon (terutama nelayan skala kecil) dengan nilai
5,08.
5.1.1. 3 Status Keberlanjutan Pengelolaan Rumpon dari Dimensi Teknologi
Analisis Multidimensional Scaling (MDS) terkait status keberlanjutan
pengelolaan rumpon di perairan Pelabuhanratu dari dimensi teknologi dilakukan
dengan mempertimbangkan enam atribut yang relevan. Adapun keenam atribut
tersebut adalah : (1) penerapan teknologi ramah lingkungan, (2) rasio hasil
tangkapan terhadap TAC, (3) keuntungan nelayan dari penangkapan di sekitar
rumpon, (4) tingkat investasi pengusahaan rumpon, (5) penggunaan BBM untuk
penangkapan di rumpon, dan (6) Tingkat akuntabilitas (pemenuhan ketentuan
hukum dan perundang-undangan berlaku (CCRF, UU No 31/2002 tentang
Perikanan, Peraturan Daerah, dan hukum adat). Gambar 5.5 memperlihatkan
hasil analisis MDS terkait status keberlanjutan pengelolaan rumpon dari dimensi
teknologi tersebut.
47.20
DOWN
BAD GOOD
UP
-60
-40
-20
0
20
40
60
0 20 40 60 80 100 120
Sumbu X Setelah Rotasi : Skala Keberlanjutan
Sum
bu
YSete
lah
Rota
si
Ikb-PENGRUMPON-Teknologi Titik Referensi Utama
Titik Referensi Tambahan
Gambar 5.5 Hasil analisis MDS yang menunjukkan nilai Ikb-PENGRUMPON-
Teknologi di barat Daya perairan Pelabuhanratu
80
Berdasarkan Gambar 5.5, diketahui bahwa nilai indeks keberlanjutan
pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu dari dimensi
teknologi (Ikb-PENGRUMPON-Teknologi) adalah 47,20 pada skala
keberlajutan 1 – 100. Untuk mengetahui jenis-jenis atribut yang sensitif terhadap
nilai indeks keberlanjutan pengelolaan rumpon dari dimensi ekonomi tersebut
diperlukan hasil analisis leverage. Seperti pada Gambar 5.6
Analisis Leverage Dimensi Teknologi
6.23
5.45
4.36
8.12
7.64
1.29
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Penerapan teknologi ramah lingkungan
Rasio hasil tangkapan terhadap TAC
Keuntungan nelayan dari penangkapan di sekitar
rumpon
Tingkat investasi pengusahaan rumpon
Penggunaan BBM untuk penangkapan di rumpon
Tingkat akuntabilitas
Atr
ibu
t
Perubahan Root Mean Square (RMS) Ordinasi Jika Salah Satu Atribut Dihilangkan
(pada Skala Keberlanjutan 0 - 100)
Gambar 5.6 Peran masing-masing atribut dari dimensi teknologi yang
dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS
Hasil analisis leverage pada Gambar 5.6 memperlihatkan peran masing-
masing atribut dalam memberikan kontribusi terhadap nilai indeks keberlanjutan
pengelolaan rumpon dari dimensi teknologi di peroleh ada 4 (empat) atribut
sensitif yaitu; 1) tingkat investasi pengusahaan rumpon, 2) penggunaan BBM
untuk penangkapan di rumpon, 3) penerapan teknologi ramah lingkungan, 4)
rasio hasil tangkapan terhadap TAC.
5.1.1.4 Status Keberlanjutan Pengelolaan Rumpon dari Dimensi Sosial
Dalam analisis Multidimensional Scaling (MDS) terkait status
keberlanjutan pengelolaan rumpon di perairan Pelabuhanratu dari dimensi sosial
ini digunakan sembilan atribut untuk pertimbangan. Adapun kesembilan atribut
tersebut adalah : (1) tingkat pendidikan nelayan, (2) kemudahan mendapat
pelayanan kesehatan, (3) status penggunaan bahan berbahaya, (4) Pengaruh
81
terhadap habitat, (5) keamanan bagi nelayan, (6) keamanan hasil tangkapan
sekitar rumpon bagi konsumen, (7) potensi konflik stakeholders (antar nelayan),
(8) pengaruh terhadap keanekaragaman hayati dan (9) pengaruh terhadap ikan-
ikan yang dilindungi. Adapun hasil MDS tersebut diperlihatkan pada Gambar
5.7.
66.52
BAD GOOD
DOWN
UP
-60
-40
-20
0
20
40
60
0 20 40 60 80 100 120
Sumbu X Setelah Rotasi : Skala Keberlanjutan
Sum
bu
XSete
lah
Rota
si
Ikb-PENGRUMPON-Lingkungan-Sosial
Titik Referensi Utama
Titik Referensi Tambahan
Gambar 5.7 Hasil analisis MDS yang menunjukkan nilai Ikb-PENGRUMPON-
Sosial di Barat Daya perairan Pelabuhanratu
Berdasarkan analisis MDS yang dilakukan, diketahui bahwa nilai indeks
keberlanjutan pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu dari
dimensi sosial (Ikb-PENGRUMPON-Sosial) adalah 66,52 pada skala
keberlajutan 1 – 100. Bila mengacu kepada kategori indeks, maka status
keberlanjutan pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu
termasuk kategori ”cukup” secara dimensi sosial karena nilainya berada pada
kisaran 51 - 75.
Untuk mengetahui jenis-jenis atribut yang sensitif memberikan
kontribusi terhadap nilai indeks keberlanjutan pengelolaan rumpon dari dimensi
sosial, maka pada Gambar 5.8 disajikan hasil analisis leverage terhadap setiap
atribut yang dipertimbangkan. Berdasarkan Gambar 5.8 tersebut, diketahui
bahwa diperoleh 5(lima) atribut sensitif dalam pengelolaan rumpon dimensi
82
sosial yaitu: 1) atribut pengaruh terhadap ikan-ikan yang dilindungi, 2) atribut
pengaruh terhadap ikan-ikan yang dilindungi, 3) potensi konflik stakeholders, 4)
pengaruh terhadap habitat, 5) pengaruh terhadap keanekaragaman hayati.
Analisis Leverage Dimensi Lingkungan Sosial
2.37
2.12
3.94
4.32
1.25
0.46
4.42
3.12
5.25
0 1 2 3 4 5 6
Tingkat pendidikan nelayan
Kemudahan mendapat pelayan kesehatan
Status penggunaan bahan berbahaya
Pengaruh terhadap habitat
Keamanan bagi nelayan
Keamanan hasil tangkapan bagi konsumen
Potensi konflik stakeholders
Pengaruh terhadap keanekaragaman hayati
Pengaruh terhadap ikan-ikan yang dilindungi
Atr
ibu
t
Perubahan Root Meran Square (RMS) Ordinasi Jika Salah Satu Atribut Dihilangkan
(pada Skala Keberlanjutan 0 - 100)
Gambar 5.8 Peran masing-masing atribut dari dimensi sosial yang dinyatakan
dalam bentuk perubahan nilai RMS
5.1.2 Status Keberlajutan Pengelolaan Rumpon dengan Keterpaduan
Dimensi Pengelolaan (Multidimensi)
Gambar 5.9 memperlihatkan hasil analisis MDS detail tentang nilai
indeks keberlanjutan pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu
dari pertimbangan terpadu dimensi ekologi, ekonomi, teknologi dan lingkungan
sosial. Berdasarkan Gambar 5.9, diketahui bahwa nilai Ikl-PENGRUMPON-
Pelabuhanratu sebesar 55,96 pada skala keberlanjutan 1 – 100. Nilai indeks ini
berada pada kisaran 51 – 75 sehingga status keberlanjutan pengelolaan rumpon
di Barat Daya perairan Pelabuhan termasuk kategori ”cukup” berdasarkan
keterpaduan semua dimensi pengelolaan yang ada.
83
55.96
UP
DOWN
GOODBAD
-60
-40
-20
0
20
40
60
0 20 40 60 80 100 120
Sumbu X Setelah Rotasi : Skala Keberlanjutan
Sum
bu
YSete
lah
Rota
si
Ikb-PENGRUMPON-Pelabuhanratu
Titik Referensi Utama
Titik Referensi Tambahan
Gambar 5.9 Hasil analisis MDS yang menunjukkan nilai Ikb-PENGRUMPON-
di Barat Daya Perairan Pelabuhanratu
Adapun nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi, ekonomi, teknologi
dan sosial digambarkan dengan diagram layang (kite diagram, seperti Gambar
5.10.
Gambar 5.10 Kite diagram keberlanjutan pengelolaan rumpon di Barat Dayaperairan Pelabuhanratu
Dari 28 atribut dimensi yang dianalisis, terdapat17 atribut sensitif yang
berpengaruh atau perlu diintervensi untuk meningkatkan status keberlanjutan
0.00
20.00
40.00
60.00
80.00
100.00Ekologi
Ekonomi
Teknologi
Lingkungan Sosial
84
pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu Jawa Barat. Atribut-
atribut sensitif tersebut adalah seperti yang ditampilkan pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1 Atribut yang sensitif mempengaruhi indeks keberlanjutan pengelolaanrumpon di perairan pelabuhanratu
No Dimensi Pengelolaan Atribut Yang Sensitif1 Ekologi Zona/kawasan pengelolaan rumpon
Arus perairan Suhu perairan Salinitas perairan
2 Ekonomi Pendapatan nelayan rumpon (terutamanelayan kecil)
Rasio usaha perikanan tangkap yangbergantung pada rumpon
Pertumbuhan usaha pendukungpenangkapan
Konsumsi rumah tangga nelayan / RTNrumpon (terutama nelayan skala kecil)
3 Teknologi Tingkat investasi pengusahaan rumpon Penggunaan BBM untuk penangkapan
di rumpon Penerapan teknologi ramah lingkungan Rasio hasil tangkapan terhadap TAC
4 Sosial Pengaruh terhadap ikan-ikan yangdilindungi
Potensi konflik stakeholders Pengaruh terhadap habitat Status penggunaan bahan berbahaya Pengaruh terhadap keanekaragaman
hayati
Untuk mengetahui apakah hasil analisis MDS untuk setiap dimensi
maupun untuk keterpaduan dimensi (multidimensi) layak dan menyerupai
kondisi sebenarnya kegiatan pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan
Pelabuhanratu, maka perlu dilakukan uji terhadap koefisien diterminasi (R2) dan
stress. Bila hasil uji statistik tidak sesuai dengan yang dipersyaratkan, maka
perlu dilakuan kroscek dan penambahan atribut baru dalam analisis. Adapun
hasil uji statistik terhadap koefisien diterminasi (R2) dan stress di tampilkan
pada Tabel 5.2.
85
Tabel 5.2 Hasil uji statistik terhadap koefisien diterminasi (R2) dan stress
Hasil UjiMulti
DimensiDimensiEkologi
DimensiEkonomi
DimensiTeknologi
DimensiLingkungan
Sosial
Stress 0.21 0.2 0.13 0.22 0.19
R2 0.95 0.96 0.98 0.95 0.96
Selanjutnya dalam analisis keberlanjuta juga dilakukan uji Monte Carlo,
yaitu untuk mengkroscek hasil pengujian tingkat kepercayaan nilai indeks
keberlanjutan pengelolaan rumpon baik untuk setiap dimensi maupun untuk
keterpaduan dimensi dengan hasil uji Monte Carlo tersebut. Hasil analisis
Monte Carlo tersebut disajikan pada tabel 5.3.
Tabel 5.3 Hasil analisis Monte Carlo terkait nilai indeks keberlanjutan
Nilai Indeks KeberlanjutanDimensi Pengelolaan Analisis
MDSAnalisis
Monte Carlo
Keterangan
Multidimensi 55.96 56.21 Identik
Dimensi Ekologi 57.14 57.05 Identik
Dimensi Ekonomi 82.67 82.81 Identik
Dimensi Teknologi 47.20 47.33 Identik
Dimensi Sosial 66.52 66.48 Identik
5.1.3 Atribut Kunci
Untuk menentukan atribut kunci yang merupakan dasar dalam
penyusunan alternatif kebijakan pengelolaan rumpon yang berkelanjutan di Barat
Daya perairan Pelabuhanratu, diperlukan analisis keterkaitan dari atribut
existing conditon yang berpengaruh (sensitif) dalam analisis keberlanjutan
pengelolaan rumpon. Hasil analisis keterkaitan atribut berpengaruh (sensitif)
tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.11
86
Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor yang
Berpengaruh pada Sistem yang Dikaji
Konsumsi
RTN rumpon Pengaruh thd habitat
Penerapan teknologi
ramah lingkungan
Penggunaan BBMTingkat investasi
pengusahaan rumpon
Pertumbuhan usaha
pendukung penangkapan
Pendapatan
nelayan rumpon
Rasio UPT bergantung
rumpon
Arus perairan
Zona pengelolaan rumpon
Salinitas perairanPengaruh terhadap
keanekaragaman hayati
Suhu perairan
Status penggunaan
bahan berbahaya
Rasio hasil
tangkapanPotensi konflik
Pengaruh terhadap
ikan yg dilindungi
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 1.60 1.80 2.00
Ketergantungan
Pengaru
hpotensi konflik
Gambar 5.11 Tingkat kepentingan atribut sensitif yang berpengaruh dalamanalisis keberlanjutan pengelolaan rumpon di Barat Daya perairanPelabuhanratu
Berdasarkan Gambar 5.11, terdapat empat atribut dengan ketergantungan
dan pengaruh tinggi dan tiga atribut dengan pengaruh tinggi dalam pengelolaan
rumpon. Atribut yang mempunyai ketergantungan dan pengaruh tinggi ada 4
atribut yaitu tingkat investasi pengusahaan rumpon, zona/kawasan pengelolaan
rumpon, pendapatan nelayan rumpon (terutama nelayan kecil) dan potensi
konflik. Sedangkan atribut yang mempunyai pengaruh tinggi dalam pengelolaan
rumpon terdiri dari pengaruh terhadap ikan-ikan yang dilindungi, penggunaan
BBM, dan rasio usaha perikanan tangkap yang bergantung pada rumpon.
5.1.4 Hasil Analisis Kebijakan Pengelolaan Rumpon Yang Berkelanjutan
Berdasarkan hasil analisis kebijakan terhadap pengelolaan rumpon di
Barat Daya Pelabuhanratu, diperoleh 5 (lima) level dengan rasio kepentingannya
seperti tampilan pada Gambar 5.12
87
Gambar 5.12 Struktur Hierarkhi dan rasio kepentingan Pengelolaan Rumponyang Berkelanjutan di Barat Daya Perairan Pelabuhanratu, JawaBarat.
Berdasarkan Gambar 5.12, bahwa pada level 2 struktur tersebut aktor
yang mempunyai berkepentingan utama adalah nelayan kemudian baru,
pengusaha, pemerintah dan ilmuan, lebih dirinci terlihat pada Gambar 5.13.
Level 5alternatif
Perbaikanmekanisme
pembiayaan
pengadaanrumpon dan
investasi(0.291)
Penetapanzona pengelolaan rum
pon
(0.460)
Penyediaan BBMkhususuntuk
penangkapanikan dirumpon(0.100)
Pengaturan jumlahnelayan
danarmadapenangKapan(0.149)
Level 4Sub kriteria
Level 3Dimensi/kriteria
Teknologi(0.055)
Sosial(0.262)
Pendapatannelayan(0.568)
Tingkatinvestasi
(0.071)
Pengaruhterhadapikan-ikanyang dilindungi
(0.167)
Rasio usahaperikananperairan(0.112)
Pertumbuhan UP(0.244)
KonsumsiRTN
(0.057)
Penggunaan BBM(0.571)
Teknologi RL(0.122)
Rasio TAC(0.235)
Potensi konflik( 0.497)
Pengaruh terhadap
Habitat (0.064)
Status penggunaanbahan berbahaya
(0242)
Pengaruh thdkeanekaragaman
hayati (0.037)
Ekologi(0.118)
Ekonomi(0.565)
Arusperairan(0.239)
SalinitasPerairan
(0.065)
Zona/kawasan(0.594)
Suhuperairan
(0.147)
Level 2Aktor
Pengelolaan Rumpon Yang Berkelanjutan
Pemerintah(0.155)
Pengusaha(0.247)
Ilmuan(0.057)
Nelayan(0.541)
Level 1Fokus/Tujuan
88
Gambar 5.13 Hasil Analisis Kepentingan Aktor Pengelolaanrumpon
Pada level 3, yaitu dimensi yang mempengaruhi keberlanjutan
pengelolaan rumpon, diperoleh hasil kepentingan sesuai dengan Gambar 5.14.
Pada level 4 ini, dimensi ekonomi mempunyai kepentingan utama, setelah itu
diikuti oleh dimensi sosial, ekologi dan terakhir teknologi.
Gambar 5.14 Hasil Analisis Kepentingan Dimensi Pengelolaan
Pada level 4, diperoleh rasio kepentingan sub-kriteria dimensi ekonomi
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.15
89
Rasio Kepentingan
0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6
pendapatan Nelayan
rasio Usaha Perikanan
pertumbuhan UP
konsumsi RTN
Rasio Kepentingan
Gambar 5.15. Rasio Kepentingan sub-kriteria Dimensi Ekonomi
Pada dimensi sosial, rasio kepentingan sub kriterianya ditunjukkan pada
Gambar 5.16.
Rasio kepentingan
0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6Ikan
ygdilin
dung
ikonflik
habitat
baha
nbe
rbah
aya
kean
ekarag
aman
Rasio kepentingan
Gambar 5.16 Rasio Kepentingan sub-kriteria Dimensi Sosial.
Sedangkan hasil analisis AHP, sub-kriteria ekologi dan teknologi serta
rasio kepentingannya masing-masing ditampilkan pada Gambar 5.17 dan
Gambar 5.18
90
Rasio Kepentingan
0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7
zona
arus
suhu
salinitas
Rasio Kepentingan
Gambar 5.17. Rasio Kepentingan sub-kriteria Dimensi Ekologi.
Rasio Kepentingan
0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6
tkt investasi
pengg. BBM
teknologi RL
rasio TAC
Rasio Kepentingan
Gambar 5.18. Rasio Kepentingan sub-kriteria Dimensi Teknologi.
Berdasarkan judgement semua stakeholder dan pakar pada setiap level
diperoleh bobot dan prioritas alternatif kebijakan pengelolaan rumpon di Barat
Daya perairan Pelabuhanratu. Hasil analisis alternatif kebijakan disajikan pada
Gambar 5.19.
91
Gambar 5.19 Hasil analisis kepentingan alternatif kebijakan pengelolaan rumpon
5.2 Pembahasan
5.2.1 Analisis Keberlanjutan Dimensi Pengelolaan Rumpon di Barat Daya
Perairan Pelabuhanratu
Berdasarkan hasil analisis leverage (Gambar 5.2) dimensi ekologi, bahwa
dari 7 (tujuh) atribut dimensi ekologi yang dianalisis diperoleh 4 (empat) atribut
sensitif yaitu: 1) atribut zona/kawasan pengelolaan rumpon merupakan atribut
yang paling tinggi kontribusinya yaitu dengan nilai (12,37), 2) atribut arus
perairan dengan nilai (9,37), 3) suhu perairan dengan nilai 8,38, dan 4) salinitas
perairan dengan nilai 6,49. Atribut sensitif ini merupakan atribut pengungkit
yang dapat memberikan kontribusi besar terhadap nilai indeks keberlanjutan
pengelolaan rumpon dimensi ekologi di Barat Daya perairan Pelabuhanratu.
Atribut-atribut ini perlu menjadi perhatian dan dikelola dengan baik dalam
penentuan arah dan kebijakan dari dimensi ekologi sehingga atribut sensitif
tersebut dapat meningkatkan keberlanjutan dimensi ekologi pengelolaan
rumpon. Hal ini karena walaupun saat ini status pengelolaan rumpon sudah
termasuk berkelanjutan dalam kategori ”cukup berkelanjutan” maka diperlukan
peningkatan kategori keberlanjutan dari dimensi ekologi.
Munculnya atribut zona/kawasan pengelolaan sebagai atribut sensitif,
karena saat ini pemasangan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu belum
mempertimbangkan zona/kawasan pengelolaan rumpon secara ekologi . Hal ini
0.460
0.149
0.290
0.100
92
merupakan sesuatu yang penting, karena zona merupakan ruang yang
berdasarkan karateristik biologis dan potensi sumberdaya yang merupakan daya
dukung yang berlangsung sebagai satu kesatuan ekosistem. Zona ini merupakan
suatu hasil dari analisis ruang yang menyangkut kualitas-kualitas fisik dan
sesuatu pernyataan mengenai pola kesesuaian dan penggunaan sumberdaya yang
ada serta dapat merupakan petunjuk menyeluruh bagi perencanaan.
Dengan tidak adanya pengaturan dari zona pemanfaatan dan pemasangan
rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu, maka sumberdaya yang
dimanfaatkan dalam jangka panjang akan terancam. Selain itu, akibat belum
adanya zona/kawasan pemasangan rumpon cenderung akan menimbulkan
konflik penggunaan ruang di laut tersebut yang sangat menentukan
keberlanjutan rumpon. Berdasarkan data dilapangan bahwa konflik yang terjadi
berkaitan dengan rumpon adalah perebutan fishing ground,
pencurian/pengrusakan rumpon, jalur pelayaran dan konflik wilayah
pengelolaan. Mengacu pada nilai sensitifitas atribut zona/kawasan cukup besar,
oleh karena itu perlu pengaturan zona/kawasan agar pemasangan rumpon
dilakukan pada zona/kawasan pemanfaatan atau pada zona/kawasan pemanfaatan
terbatas yang telah disepakati oleh semua yang berkepentingan dan ditetapkan
secara hukum sehingga secara sifnifikan meningkatkan status keberlanjutan
rumpon secara ekologi.
Atribut arus, salinitas dan suhu perairan muncul sebagai atribut sensitif
muncul karena berkaitan kesesuaian penempatan rumpon dengan parameter
fisika dan kimia yang merupakan daya dukung perairan dalam arti lingkungan
perairan tempat kehidupan ikan yang berasosiasi dengan rumpon. Produktivitas
jangka panjang suatu stok ikan berkaitan dengan daya dukung atau lingkungan
perairan. Apabila daya dukung perairan terhadap ikan target rendah maka
produktifitasnya juga rendah sehingga mempengaruhi keberlanjutan dari rumpon
yang dipasang atau yang dimanfaatkan. Berdasarkan data diperoleh di lapangan,
di lokasi pemasangan rumpon suhu perairan adalah 22,2-22,7°C, salinitas
29,34‰ dan arus sebesar 0,75 knot. Menurut Cayre (1991), bahwa suhu
optimal dari ikan madidihang adalah 25-27°C, salinitas perairan yang optimal
bagi ikan tuna sebesar 33‰ dan arus perairan 0,75 knot (Gooding dan
93
Magnuson (1967). Nilai ini mencerminkan bahwa untuk daya dukung perairan
cukup baik sehingga tingkah laku ikan berasosiasi dengan rumpon juga cukup
mendukung, namun diperlukan lokasi yang optimal untuk mendukung
kesesuaian ikan target yang akan ditangkap. Menurut Batubara (1981), bahwa
kisaran suhu optimum dari jenis ikan tuna mata besar adalah 17 - 23°C pada
kedalaman 50 – 400 meter, madidihang adalah 14 - 22ºC pada kedalaman 200 –
300 meter. Selanjutnya disampaikan bahwa jenis ikan tuna dan cakalang pada
umumnya menghuni perairan dengan salinitas 18 - 38‰. Khusus untuk atribut
arus, penempatan rumpon di laut sangat dipengaruhi oleh kekuatan arus. Jika
arus perairan di laut besar maka keberadaan rumpon dapat terancam karena
rumpon bisa hanyut, dan sebaliknyai jika arus terlalu rendah juga tidak
mendukung produktifitas perairan. Oleh karena itu arus merupakan parameter
yang harus diperhatikan untuk keberlanjutan pemasangan dan pemanfaatan
rumpon di laut. Saat ini, penempatan rumpon di Barat Daya perairan
Pelabuhanratu mendukung keberlanjutan rumpon, hal ini dapat dibuktikan bahwa
jenis ikan yang ditangkap di rumpon selalu meningkat yang didominasi ikan
target yaitu ikan cakalang (K.Pelamis) dan jenis tuna (Thunnus,sp). Sesuai hasil
penelitian Martosubroto dan Malik (1989) bahwa sebaran kedua jenis ikan
tersebut diantaranya banyak terdapat di perairan Selatan Jawa dan hidup
berasosiasi dengan rumpon (Subani,1958). Hasil tangkapan ikan di perairan
Pelabuhanratu dengan adanya rumpon menjadi meningkat yaitu pada tahun 2004
(sebelum ada rumpon) poroduksi ikan tuna dan cakalang sebesar 793.813 kg,
sedangkan pada tahun 2005, 2006, 2007 berturut-turut (setelah ada rumpon)
yaitu 1.912.369 kg, 1.383,673 kg, 2.030.657 kg. Peningkatan dari produksi tuna
pada tahun 2005 disebabkan karena meningkatnya jumlah armada penangkapan
ikan dan nelayan yang menangkap ikan dengan menggunakan alat bantu rumpon.
Sesuai dengan teori Hochachka (1979) dalam Longhurst dan Pauly (1987) yang
menyatakan secara universal ikan tertarik pada benda terapung dan berasosiasi
dengan benda tersebut dalam hal ini rumpon sehingga membentuk scooling dan
menjadikan fishing ground baru bagi nelayan (Monintja,1995). Namun
berdasarkan hasil penelitian Nahib (2007), harga ikan semakin meningkat maka
cenderung effort penangkapan meningkat sehingga produksi meningkat, namun
94
dampak jangka panjang keberadaan rumpon akan menimbulkan produksi
semakin meningkat sehingga mengakibatkan penurunan stok ikan dan pada titik
tertentu akan menimbulkan keuntungan sumberdaya tidak lagi diperoleh.
Berdasarkan hasil analisis leverage dimensi ekonomi (Gambar 5.4),
diketahui bahwa atribut pendapatan nelayan rumpon (terutama nelayan kecil)
merupakan atribut yang paling sensitif yaitu dengan nilai 8,72, kemudian
berturut-turut diikuti oleh atribut rasio usaha perikanan tangkap yang bergantung
pada rumpon dengan nilai 6,96, pertumbuhan usaha pendukung penangkapan
dengan nilai 5,45, dan konsumsi rumah tangga nelayan / RTN rumpon (terutama
nelayan skala kecil) dengan nilai 5,08.
Atribut pendapatan nelayan yang memanfaatkan rumpon di Barat Daya
perairan Pelabuhanratu dari dimensi ekonomi muncul sebagai atribut sensitif
dengan nilai yang paling besar dibandingkan dengan atribut sensitif lainnya
dimensi ekonomi, karena dengan adanya rumpon sebagai alat bantu penangkapan
ikan jumlah hasil tangkapan meningkat sehingga pendapatan nelayan meningkat
dengan kata lain memberikan manfaat yang signifikan. Begitu juga dengan
munculnya atribut rasio usaha perikanan tangkap yang bergantung pada rumpon
sebagai atribut sensitif disebabkan karena dengan pemanfaatan rumpon sebagai
alat bantu penangkapan ikan rasio usaha penangkapan ikan yang bergantung
pada rumpon semakin meningkat. Atribut sensitif lainnya pada pengelolaan
rumpon yang berkelanjutan dimensi ekonomi adalah pertumbuhan usaha
pendukung penangkapan karena dengan semakin berkembangnya usaha rumpon
maka semakin meningkatnya usaha pendukung penangkapan ikan lainnya. Hal
ini dapat dilihat bahwa, jumlah nelayan yang menangkap dengan alat bantu
rumpon semakin meningkat dan jumlah armada penangkapan juga meningkat
maka usaha perikanan tangkap yang berkaitan dengan rumpon juga semakin
meningkat. Atribut lainnya yang muncul sebagai atribut sensitif adalah
konsumsi rumah tangga nelayan, karena dengan meningkatnya pendapatan
nelayan maka kebutuhan akan konsumsi rumah tangga nelayan yang dicirikan
dengan konsumsi beras semakin meningkat. Agar nilai indeks keberlanjutan
dapat meningkat maka diperlukan penekanan pada atribut-atribut sensitif
tersebut.
95
Berdasarkan nilai indeks keberlanjutan dimensi teknologi (Gambar 5.6),
maka status keberlanjutan pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan
Pelabuhanratu termasuk kategori ”kurang” secara teknologi karena nilainya
berada pada kisaran 26 – 50, artinya pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan
Pelabuhanratu dari dimensi teknologi tidak berkelanjutan. Bila melihat Gambar
5.6 tersebut, maka atribut sensitif yang paling tinggi berurutan adalah tingkat
investasi pengusahaan rumpon dengan nilai 8,12, penggunaan BBM untuk
penangkapan di rumpon dengan nilai 7,64, penerapan teknologi ramah
lingkungan dengan nilai 6,23, dan rasio hasil tangkapan terhadap TAC dengan
nilai 5,45. Tingkat akuntabilitas tidak memberikan kontribusi besar terhadap
indeks keberlanjutan dari dimensi teknologi bisa jadi karena dalam pengelolaan
rumpon saat ini belum terlalu dibutuhkan. Berarti dalam pengelolaan rumpon di
Barat Daya perairan Pelabuhanratu atribut sensitif ini tidak dikelola dengan baik
Hal ini terlihat bahwa penggunaan teknologi rumpon laut dalam sebagai alat
bantu penangkapan ikan tuna dan cakalang memerlukan teknologi yang lebih
komplek dibandingkan dengan rumpon laut dangkal. Oleh karena itu diperlukan
investasi yang besar. Munculnya atribut tingkat investasi pengusahaan rumpon
sebagai atribut sensitif karena pemanfaatan rumpon dilakukan oleh nelayan skala
kecil yang mempunyai modal terbatas, dan sesuai dengan CCRF (1995) bahwa,
penggunaan teknologi penangkapan dan alat bantu penangkapan hendaknya
investasi rendah. Saat ini pemasangan dan pembuatan rumpon berasal dari
bantuan pemerintah, dan pengusaha perikanan. Nelayan skala kecil hanya
sebagai pemanfaatan rumpon dan pendapatan nelayan dilakukan sistim bagi hasil
dengan pemilik investasi.. Berdasarkan hasil analisis di lapangan bahwa untuk
membuat satu unit rumpon laut dalam di Barat Daya perairan Pelabuhanratu
diperlukan biaya di atas Rp. 50.000.000,- bahkan sampai dengan Rp 102.000.000
(pada kedalaman > 400 m). Apabila nelayan tersebut akan berinvestasi untuk
pembuatan teknologi rumpon laut dalam ini maka dalam lima tahun pendapatan
bersihnya hanya lebih kurang Rp 45.000.000,-, artinya penerimaan bersih baru
dapat diterima pada tahun ke-5 yaitu dalam satu bulan hanya Rp.750.000,-. Oleh
karena itu pengelolaan rumpon dengan teknologi rumpon laut dalam sebaiknya
dilakukan dengan berkelompok. Dengan demikian atribut ini perlu perhatian
96
dalam pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu agar dapat
berkelanjutan.
Atribut penggunaan BBM untuk penangkapan ikan menjadi atribut
sensitif dimensi teknologi, karena biaya operasional penggunaan BBM untuk
penangkapan ikan 50-60% dari biaya total operasional penangkapan ikan. Sesuai
dengan CCRF (1995) hendaknya mengkonsumsi bahan bakar minyak rendah.
Padahal saat ini, lokasi pemasangan rumpon cukup jauh dengan waktu tempuh
menuju rumpon 26- 36 jam maka diperlukan suatu cara untuk menghemat BBM
yang digunakan. Alat tangkap yang digunakan adalah pancing, dimana saat ini
belum selektif karena ukuran pancing yang digunakan belum distandarkan
sehingga ikan-yang ditangkap cenderung berukuran kecil (baby tuna). Saat ini ,
usaha perikanan tangkap yang mendaratkan hasil tangkapannya di PPN
Pelabuhanratu yang ada lebih mengandalkan hasil tangkapan, dan bukan
bagaimana pengelolaan rumpon diantara anggota kelompok nelayan. Atribut
sensitif lainnya adalah penerapan teknologi ramah lingkungan, rasio hasil
tangkapan terhadap TAC dan keuntungan nelayan dari penangkapan di sekitar
rumpon disebabkan karena dengan penerapan teknologi ramah lingkungan
melalui selektifitas alat tangkap maka rasio penangkapan akan tidak melebihi
TAC sehingga keuntungan nelayan menangkap ikan di sekitar rumpon selalu
berkelanjutan. Semua atribut sensitif harus menjadi perhatian berdasarkan
dengan CCRF (1995) sehingga dapat meningkatkan status keberlanjutan
pengelolaan rumpon di barat Daya perairan Pelabuhanratu. Namun demikian,
selain atribut sensitif, atribut tingkat akuntabilitas tetap menjadi perhatian karena
harus menggunakan prinsip kehati-hatian dengan aturan yang telah ditetapkan.
Berdasarkan hasil analisis leverage dimensi sosial (Gambar 5.8), atribut
pengaruh terhadap ikan-ikan yang dilindungi merupakan atribut yang paling
tinggi kontribusinya terhadap status keberlanjutan pengelolaan rumpon yaitu
dengan nilai 5,25. Sedangkan atribut lainnya yang kontribusinya cukup besar
terhadap nilai indeks keberlanjutan pengelolaan rumpon dari dimensi sosial
adalah potensi konflik stakeholders dengan nilai 4,42, pengaruh terhadap habitat
dengan nilai 4,32, status penggunaan bahan berbahaya dengan nilai 3,94, dan
pengaruh terhadap keanekaragaman hayati dengan nilai 3,12. Keamanan hasil
97
tangkapan bagi konsumen merupakan atribut yang paling rendah kontribusinya
terhadap indeks keberlanjutan pengelolaan rumpon di perairan Pelabuharatu.
Hal ini bisa jadi karena hasil tangkapan rumpon memang tidak berbahaya
sehingga tidak terlalu dipermasalahkan secara sosial. Atribut sensitif pengaruh
terhadap ikan-ikan yang dilindungi muncul karena saat ini tingkat sosial dari
nelayan yang memanfaatkan rumpon sebagian besar rendah maka mereka tidak
mempedulikan jenis dan ukuran ikan yang diperbolehkan di tangkap. Hal ini
terbukti dengan banyaknya ikan-ikan yang berukuran kecil (baby tuna)
tertangkap dan tetap dijual. Hal ini sangat penting menjadi perhatian karena
apabila tidak dilakukan perhatian melalui penyuluhan oleh pembina sehingga
kelestarian sumberdaya ikan tetap lestari. Munculnya atribut sensitif potensi
konflik stakeholders karena adanya kecemburuan sosial antara nelayan yang
memanfaatkan rumpon dengan nelayan yang tidak memanfaatkan sehingga
dalam operasi penangkapan cenderung menimbulkan konflik. Atribut pengaruh
terhadap habitat muncul sebagai atribut sensitif karena keberadaan rumpon akan
mempengaruhi habitat sumberdaya ikan apabila tidak ditempatkan tidak sesuai
dapat mengakibatkan kerusakan habitat sumberdaya laut lainnya.
Begitu juga untuk atribut sensitif status penggunaan bahan berbahaya dan
pengaruh terhadap keanekaragaman hayati. Kedua atribut sensitif tersebut
berkaitan dengan tingkat pendidikan nelayan yang rendah maka cenderung
memperoleh hasil tangkapan dengan cara destruktif sehingga mengakibatkan
terancamnya keanekaragaman hayati. Oleh karena itu atribut ini perlu dikelola
dengan baik agar kelestarian sumberdaya laut dalam mendukung keberadaan
rumpon dapat berkelanjutan. Agar indeks keberlanjutan dimensi sosial dapat
ditingkatkan maka diperlukan perhatian terhadap atribut-atribut sensitif
disampaing atribut lainnya.
5.2.2 Analisis Keberlanjutan Multi Dimensi Pengelolaan Rumpon di
Barat Daya Perairan Pelabuhanratu
Status keberlanjutan pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan
Pelabuhanratu ini ditentukan melalui pertimbangan menyeluruh dengan kata lain
multidimensi dari dimensi pengelolaan yang ada. Terkait dengan ini, maka
dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dimensi teknologi, dan dimensi sosial yang
98
sebelumnya dianalisis secara tersendiri akan digabungkan sehingga didapatkan
nilai indeks keberlanjutan terpadu yang disingkat dengan Ikl-PENGRUMPON-
Pelabuhanratu. Berdasarkan Gambar 5.9, bahwa nilai indeks keberlanjutan
secara multidimensi (ekologi, ekonomi, teknlogi, sosial) diperoleh 55,96 yang
berarti pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu termasuk
berkelanjutan dengan kategori cukup. Walaupun indeks keberlanjutan
multidimensi pengelolaan rumpon di Barat daya perairan Pelabuhanratu saat ini
(existing condition) berkelanjutan, tetapi dimensi teknologi tidak berkelanjutan
dengan kategori kurang (47,20).
Berdasarkan Tabel 5.1 ada 17 atribut yang sensitif berkontribusi terhadap
indeks keberlanjutan pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu.
Untuk mendukung pengelolaan yang berkelanjutan, maka atribut yang sensitif
perlu dikelola dengan baik, sehingga memberi manfaat positif bagi keberlanjutan
pengelolaan rumpon di Pelabuhanratu. Hal ini penting supaya berbagai program
dan kebijakan terkait dengan rumpon dapat dilakukan secara efektif dan efisien
sesuai dengan kebutuhan pengelolaan di lokasi.
Untuk mengetahui apakah hasil analisis MDS untuk setiap dimensi
maupun untuk keterpaduan dimensi (multidimensi) layak dan menyerupai
kondisi sebenarnya kegiatan pengelolaan rumpon di barat Daya perairan
Pelabuhanratu, maka perlu dilakukan uji terhadap koefisien diterminasi (R2) dan
stress. Bila hasil uji statistik tidak sesuai dengan yang dipersyaratkan, maka
perlu dilakuan kroscek dan penambahan atribut baru dalam analisis. Tabel 5.2
memperlihatkan hasil uji statistik terhadap koefisien diterminasi (R2) dan stress
terkait keberlanjutan pengelolaan rumpon di Pelabuhanratu. Menurut Kavanagh
dan Pitcher (2004), model yang baik ditunjukkan dengan nilai R2 di atas
kepercayaan 95% (atau dalam bentuk rasio di atas 0,95) dan nilai stress dibawah
nilai 0,25. Terkait dengan ini, maka hasil analisis MDS yang diperoleh dalam
penelitian ini sesuai dengan yang dipersyaratkan baik untuk setiap dimensi
maupun untuk keterpaduan dimensi (multidimensi). Terkait dengan ini, maka
hasil analisis tersebut layak digunakan untuk menjelaskan keempat dimensi
pengelolaan rumon yang dianalisis. Semakin tinggi nilai koefisien determinasi
(semakin mendekati 1), maka hasil analisis semakin dipercaya. Sedangkan
99
semakin kecil nilai stress yang diperoleh, maka semakin baik kualitas hasil
analisis yang telah dilakukan.
Untuk menguji tingkat kepercayaan nilai indeks keberlanjutan
pengelolaan rumpon baik untuk setiap dimensi maupun untuk keterpaduan
dimensi, maka perlu dilakukan kroscek mengunakan analisis Monte Carlo.
Analisis Monte Carlo merupakan analisis yang dikembangkan menggunakan
teknik random number berdasarkan teori statistika untuk mendapatkan dugaan
peluang suatu model matematis. Upaya untuk mendapatkan solusi tersebut
dilakukan dengan perhitungan berulang-ulang. Dalam kaitan dengan pengujian
nilai indeks keberlanjutan pengelolaan rumpon hasil analisis MDS ini, analisis
Monte Carlo dibutuhkan untuk melihat pengaruh kesalahan pembuatan skor
untuk atribut dari setiap dimensi pengelolaan yag ditawarkan. Kesalahan
tersebut dapat bersumber dari kesalahan prosedur pelaksanaan penelitian,
perbedaan pemahaman peneliti dalam memberi nilai untuk setiap atribut,
kesalahan dalam pemasukan data atau adanya data yang hilang (missing data),
stabilitas proses analisis MDS yang terganggu, nilai stress yang terlalu tinggi dan
lainnya.
Berdasarkan Tabel 5.3 terlihat bahwa hasil analisis MDS terkait indeks
keberlanjutan pengelolaan rumpon identik atau serupa dengan hasil analisis
Monte Carlo. Hasil analisis kedua metode tersebut mengindikasikan: 1)
kesalahan dalam pembuatan skor setiap atribut tidak ada, 2) variasi pemberian
skor akibat perbedaan opini relatif kecil, 3) proses analisis yang dilakukan secara
berulang-ulang relatif stabil, dan 4) kesalahan pemasukan data dan adaya data
yang hilang dapat dihindari. Terkait dengan hasil analisis tersebut, maka nilai
indeks keberlanjutan yang digunakan untuk menjelaskan kondisi pengelolaan
rumpon di Pelabuhanratu dari dimensi ekologi, ekonomi, teknologi, dan
lingkungan, serta keterpaduan semua dimensi tersebut layak untuk dipercaya.
5.2.3 Analisis Atribut Kunci dalam Pengelolaan Rumpon
Peningkatan indeks keberlanjutan secara multidimensi sebaiknya dilakukan
dengan mengintervensi semua atribut sensitif dari masing-masing dimensi.
Namun demikian, untuk mendapatkan artribut kunci sebagai dasar alternatif
100
kebijakan, dilakukan analisis keterkaitan antar atribut sensitif. Atribut kunci
yang diperoleh mempunyai ketergantungan dan pengaruh tinggi atau minimal
mempunyai pengaruh tinggi dalam pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan
Pelabuhanratu. Tingkat ketergantungan dan pengaruh tingggi tersebut dapat
dilihat dari tingkat gangguan atribut yang serius terhadap pengelolaan bila tidak
diperhatikan, peran atribut yang hilang atau meningkat drastis tergantung kondisi
atribut, ketergantungan tinggi pelaku atau komponen pengelolaan terhadap
atribut, dan lain-lain. Untuk lebih akurat dan konprehensifnya arah dan
kebijakan yang diambil, maka tingkat pengaruh dan ketergantungan dari setiap
atribut yang sensitif tersebut perlu dianalisis.
Berdasarkan hasil analisis keterkaitan antar atribut sensitif yang dianalisis
(Gambar 5.11), terdapat empat atribut dengan ketergantungan dan pengaruh
tinggi dan tiga atribut dengan pengaruh tinggi dalam pengelolaan rumpon.
Atribut yang mempunyai ketergantungan dan pengaruh tinggi adalah tingkat
investasi pengusahaan rumpon, zona/kawasan pengelolaan rumpon, pendapatan
nelayan rumpon (terutama nelayan kecil) dan potensi konflik. Sedangkan atribut
yang mempunyai pengaruh tinggi adalah pengaruh terhadap ikan-ikan yang
dilindungi, penggunaan BBM untuk penangkapan di rumpon, dan rasio usaha
perikanan tangkap yang bergantung pada rumpon. Ketujuh atribut tersebut
menjadi “atribut kunci” yang akan dikelola dengan baik dalam suatu skenario
kebijakan pengelolaan sehingga terjadi keberlanjutan dalam pengeloalan rumpon
di Barat Daya perairan Pelabuhanratu, Jawa Barat.
Munculnya atribut tingkat investasi pengusahaan rumpon,
zona/kawasan pengelolaan rumpon, pendapatan nelayan rumpon dan potensi
konflik sebagai faktor kunci yang mempunyai ketergantungan dan pengaruh
tinggi disebabkan keempat atribut ini saling mempengaruhi dan saling
ketergantungan. Nelayan yang memanfaatkan rumpon adalah nelayan usaha
skala kecil, sedangkan investasi pemasangan rumpon cukup mahal maka saat ini
modal pemasangan dan pembuatan rumpon dilakukan oleh pemilik modal dan
pendapatan dilakukan dengan sistim bagi hasil sehingga pendapatan nelayan
tidak optimal. Jumlah nelayan yang belum memanfaatkan rumpon jauh lebih
besar dari yang telah memanfaatkan sehingga terjadi kecemburuan sosial yang
101
berpotensi menimbulkan konflik. Selain itu, potensi konflik juga dapat dipicu
karena belum adanya penetapan zona pengelolaan rumpon. Sesuai hasil analis
keterkaitan atribut sensitif, maka diperoleh atribut kunci yang merupakan kunci
dalam opsi atau alternatif kebijakan yang akan di terapkan di lokasi penelitian,
sehingga alternatif tersebut ditempatkan dilevel 5 pada struktur AHP.
Berdasarkan atribut kunci tersebut maka diperoleh alternatif kebijakan
pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu yang terdiri dari:
1. Penetapan zona pengelolaan rumpon
2. Pengaturan jumlah nelayan dan armada penangkapan yang memanfaatkan
rumpon
3. Penyediaan BBM khusus untuk penangkapan ikan di rumpon
4. Perbaikan mekanisme pembiayaan pengadaan rumpon
5.2.4 Analisis Kebijakan Pengelolaan Rumpon Yang Berkelanjutan di
Barat Daya Perairan Pelabuhanratu
Rancangan hierarki ini merupakan hasil pengembangan hubungan atau
interaksi terpadu semua komponen yang terkait dengan pengelolaan rumpon di
Barat Daya perairan Pelabuhanratu, Propinsi Jawa Barat. Hal ini penting supaya
alternatif kebijakan pengelolaan rumpon yang berkelanjutan yang dipilih benar-
benar merupakan alternatif terbaik yang telah mempertimbangkan berbagai
aspek/komponen yang terkait baik secara horizontal maupun vertikal. Untuk
mendapatkan hasil yang menyeluruh dan akurat, maka digunakan AHP atau
Analitical hierarkhi Process (AHP). Model AHP digunakan untuk memilih
kebijakan yang penting untuk dilaksanakan dan yang lebih aspiratif dari empat
alternatif kebijakan yang telah dirumuskan sebelumnya. Kriteria yang digunakan
dalam model AHP penentuan kebijakan pengelolaan rumpon adalah kriteria
manajemen pelaksanaan pembangunan, khususnya terkait: aktor/stakeholders,
dimensi pembangunan berkelanjutan, dan kriteria pelaksanaan untuk masing-
masing prinsip pengelolaan untuk menentukan prioritas kebijakan pengelolaan
rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu. Hirarki AHP disusun dengan lima
level yang memperlihatkan tahapan proses penetapan prioritas.
Keberlanjutan pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan
Pelabuhanratu, Propinsi Jawa Barat ditentukan oleh kondisi pengelolaan yang
102
ada saat ini, pihak yang berkepentingan (aktor), dimensi dan sub kriteria yang
mempengaruhi pengelolaan rumpon, alternatif kebijakan pengelolaan yang
ditawarkan serta strategi implementasi kebijakan yang akan diterapkan.
Hasil kajian pendahuluan di lokasi penelitian ada 4 (empat) pihak yang
berkepentingan atau disebut juga aktor yang ditempatkan pada level 2 yaitu
pemerintah, pengusaha, ilmuan dan nelayan. Pada level 3 merupakan dimensi
yang mempengaruhi pengelolaan rumpon saat ini, yaitu dimensi ekologi,
ekonomi, teknologi, sosial. Hasil analisis MDS pada Sub-Bab sebelumnya telah
dikaji status keberlanjutan pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan
Pelabuhanratu yang kemudian menjadi perhatian penting dalam analisis hierarki
menggunakan AHP ini. Berdasarkan analisis akhir dari MDS terkait tingkat
kepentingan berbagai atribut yang sensitif baik dari dimensi ekologi, ekonomi,
teknologi, dan sosial, diperoleh 17 (tujuh belas) atribut yang sensitif artinya
yang memberikan kontribusi atau pengungkit terhadap keberlanjutan pengelolaan
rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu. Atribut sensitif ini yang kemudian
digunakan untuk pencapaian dimensi yang dikelompokkan ke dalam empat
dimensi sesuai dengan dimensi pengelolaan rumpon di Pelabuhanratu yang telah
dianalisis sebelumnya. Atribut sensitif ini dalam struktur AHP merupakan sub-
kriteria dimensi, sehingga di tempatkan pada level 4 pada struktur AHP
pengelolaan rumpon yang berkelanjutan. Pada level 5, ditempatkan alternatif
kebijakan yang akan direkomendasikan untuk pengelolaan rumpon yang
berkelanjutan di Barat Daya perairan Pelabuhanratu Jawa Barat. Analisis
terhadap alternatif kebijakan ini merupakan tahapan akhir dari analisis AHP
terkait penentuan kebijakan terbaik/prioritas dalam pengelolaan rumpon yang
berkelanjutan untuk mengakomodir pihak yang berkepentingan dengan
dipengaruhi dimensi (ekologi, ekonomi, teknologi dan sosial) yang mempunyai
kepentingan yang lebih dibandingkan dengan dimensi yang lain.
Pengisian kuesioner matriks perbandingan berpasangan disampaikan
kepada stakeholders yang prominent di wilayah kajian. Keinginan dan
preferensi stakeholder merupakan aspirasi pemerintah, pengusaha, nelayan, dan
ilmuan terhadap kebijakan yang diinginkannya terkait dengan pengelolaan
rumpon yang berkelanjutan di Pelabuhanratu, baik untuk kepentingan saat ini
103
maupun di masa yang akan datang. Penentuan prioritas kebijakan dilakukan
dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan agar diperoleh hasil yang
partisipatif dan akomodatif sehingga kebijakan yang dihasilkan dapat
dilaksanakan dan didukung oleh semua stakeholder. Analisis dilakukan pada
setiap level dari hirarki penentuan kebijakan dalam pengelolaan rumpon yang
berkelanjutan di Barat Daya perairan Pelabuhanratu. Bobot dan prioritas yang
dianalisis adalah hasil kombinasi gabungan dari pendapat dan penilaian seluruh
stakeholder pada setiap matriks perbandingan berpasangan.
Pada level 2 (aktor) diperoleh hasil analisis yaitu nelayan mempunyai
nilai paling besar (bobot 0,542) yang berarti merupakan aktor yang mempunyai
kepentingan utama dalam penentuan kebijakan pengelolaan rumpon di Barat
Daya perairan Pelabuhanratu. Hal ini menunjukkan bahwa aspirasi nelayan
menjadi fokus perhatian dalam penentuan kebijakan yang akan diterapkan dalam
keberlanjutan rumpon. Hal ini sesuai dengan tujuan dari keberadaan rumpon
yaitu meningkatkan kesejahteraan nelayan di barat Daya perairan Pelabuhanratu.
Aktor yang menjadi prioritas kedua adalah pengusaha (bobot 0,247). Pengusaha
merupakan aktor penting dalam tahap implementasi kegiatan karena investasi
rumpon modalnya berasal dari pengusaha, sehingga keberlanjutan rumpon perlu
melibatkan pengusaha dalam tiap tahap kegiatan mulai dari perencanaan,
pelaksanaan hingga evaluasi. Oleh karena itu pengusaha dan nelayan
merupakan dua aktor yang bermitra dalam pengelolaan rumpon di Barat Daya
perairan Pelabuhanratu. Selain itu, pengusaha juga memegang peranan penting
dalam kegiatan pemanfaatan sumberdaya di lokasi penelitian.
Pemerintah dalam hal ini pemerintah daerah dan pusat merupakan aktor
prioritas ketiga dalam pengelolaan rumpon karena memegang otoritas dalam
pengaturan keberlanjutan rumpon mulai dari perencanaan sampai dengan
evaluasi untuk menjamin kelestarian pemanfaatan sumberdaya perikanan untuk
kesejahteraan masyarakat dengan didukung peran aktif ilmuwan dalam membuat
kajian ilmiah.
Pada level 3, hasil analisis rasio kepentingan setiap dimensi yang
mempengaruhi keberlanjutan pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan
104
Pelabuhanratu diperoleh bahwa kepentingan dimensi ekonomi diperoleh pada
urutan pertama dengan rasio kepentingan sebesar 0.565, kemudian diikuti
diemnsi sosial sebesar 0.262, dimensi ekologi 0,118 dan dimensi tekonologi
sebesar 0.055 (Gambar 5.14). Hasil ini sesuai dengan urutan nilai indeks
keberlanjutan dari masing-masing dimensi yaitu keberlanjutan dimensi ekonomi
mempunyai nilai indeks paling besar yaitu 82,72, setelah itu diikuti oleh dimensi
sosial sebesar 66,52, ekologi sebesar 57,14 dan terakhir dimensi teknologi
sebesar 47,20. Hal ini merupakan indikator bahwa pada umumnya stakeholder
mementingkan aspek ekonomi karena tujuan dari keberadaan rumpon adalah
untuk meningkatkan kesejahteraan khususnya nelayan yang memanfaatkan
rumpon dan mendukung usaha yang berkaitan dengan keberadaan rumpon
dalam usaha penangkapan ikan di Barat Daya perairan Pelabuhanratu.
Pada dimensi ekologi dan sub-kriteria zona/kawasan (0.5940) yang
mempunyai kepentingan utama dibandingkan dngan sub-kriteria lainnya. Hal ini
disebabkan karena kepentingan zona/kawasan pengelolaan rumpon berkaitan
dengan kelestarian sumberdaya ikan khususnya bagi ikan target. Apabila ikan
target dari keberadaan rumpon tidak lestari maka mengakibatkan ketidak
berlanjutan rumpon dalam hal ini rumpon laut dalam karena daya dukung
sumberdaya ikan yang menurun. Namun yang lebih penting lagi, dengan adanya
zona pengelolaan rumpon maka rumpon yang dipasang dapat lebih bermanfaat
dan dapat mengurangi konflik sehingga dapat diterima oleh semua yang
berkepentingan pemanfaatan lokasi barat Daya perairan Pelabuhanratu Jawa
Barat.
Sub-kriteria penggunaan BBM (0.571) dari dimensi teknologi,
merupakan paling utama dan setelah itu baru sub-kriteria rasio total awalable
catch (TAC) (0.235) dalam keberlanjutan pengelolaan rumpon di Barat Daya
perairan Pelabuhanratu. Hal ini disebabkan karena bahwa penggunaan BBM
yang rendah merupakan hal yang penting dalam usaha penangkapan ikan di laut
tergantung pada teknologi kapal yang digunakan karena merupakan komponen
biaya operasional yang terbesar. Oleh sebab itu ketersediaan dan penggunaan
BBM sangat penting dalam usaha penangkapan ikan berbasis rumpon.
Penggunaan BBM yang rendah dengan biaya yang terjangkau oleh nelayan
105
merupakan salah satu kriteria pada pengelolaan perikanan secara bertanggung
jawab (Code of Conduct for Responsible Fisheries). TAC merupakan hal yang
penting dalam pengelolaan usaha perikanan tangkap karena penggunaan
teknologi rumpon dan alat tangkap akan berkaitan dengan jumlah ikan target
yang akan ditangkap, sehingga kelestarian sumberdaya ikan dapat dipertahankan
dengan pengaturan penangkapan ikan yang tidak melebihi TAC. Apabila jumlah
ikan yang ditangkap di Barat Daya perairan Pelabuhanratu melebihi TACnya,
maka kelestarian sumberdaya ikannya dapat menurun sehingga akan
mempengaruhi keberlanjutan rumpon yang dikelola.
Dimensi sosial mempunyai prioritas kedua dalam kepentingan
pengelolaan rumpon yang berkelanjutan disebabkan keberadaan rumpon telah
memberikan manfaat yang nyata bagi nelayan maupun bagi usaha yang berkaitan
dengan rumpon dan usaha pendukung perikanan tangkap lainnya. Namun
jumlah nelayan yang belum dapat memanfaatkan rumpon jauh lebih besar
dibandingkan dengan yang telah memanfaatkannya dan memicu potensi konflik.
Untuk itu diperlukan pengaturan dimensi sosialnya sehingga dapat
meminimalkan konflik. Pentingnya dimensi ekologi dalam pengelolaan rumpon
adalah karena mempertahankan kelestarian sumberdaya ikan yang menjadi target
penangkapan pada pengusahaan rumpon dan daya dukung perairan sehingga
rumpon dapat berkelanjutan. Dimensi teknologi pada urutan kepentingan paling
rendah disebabkan karena para responden masih beranggapan dengan
menggunakan alat tangkap yang ada sudah cukup mendapatkan hasil tangkapan
dibandingkan dengan sebelum keberadaan rumpon.
Pada level 4, sub-kriteria dari setiap dimensi pengelolaan, diperoleh hasil
analisis kepentingan setiap sub-kriteria tersebut. Pada dimensi ekonomi
(Gambar 5.15) yang merupakan prioritas kepentingan utama, diperoleh sub-
kriteria pendapatan nelayan (0.568) memiliki kepentingan utama dan kemudian
diikuti oleh sub-kriteria pertumbuhan usaha pendukung rumpon (0.244) dan rasio
usaha perikanan yang bergantung dengan keberadaan rumpon (0.122). Hal ini
disebabkan karena keberadaan rumpon memang sangat penting bagi nelayan
karena dapat meningkatkan pendapatannya dan meningkatkan pertumbuhan
106
usaha pendukung rumpon serta keberadaan rumpon akan meningkatkan
ketergantungan usaha perikanan lainnya.
Pada dimensi sosial, sub-kriteria potensi konflik (0.497) merupakan
prioritas utama disamping sub-kriteria lainnya karena keberadaan rumpon sangat
berpotensi terjadinya konflik antar nelayan karena kecemburuan sosial, seperti
yang ditunjukkan pada Gambar 5.16. Untuk itu perhatian dalam penanganan
konflik sangat menentukan keberlanjutan rumpon di Barat Daya perairan
Pelabuhanratu.
Pada dimensi ekologi, sub-kriteria zona/kawasan (0.5940) yang
mempunyai kepentingan utama (Gambar 5.17) dibandingkan dngan sub-kriteria
lainnya. Hal ini disebabkan karena kepentingan zona/kawasan pengelolaan
rumpon berkaitan dengan kelestarian sumberdaya ikan khususnya bagi ikan
target. Apabila ikan target dari keberadaan rumpon tidak lestari maka
mengakibatkan ketidak berlanjutan rumpon dalam hal ini rumpon laut dalam
karena daya dukung sumberdaya ikan yang menurun.
Sub-kriteria penggunaan BBM (0.571) dari dimensi teknologi (Gambar
5.18), merupakan paling utama dan setelah itu baru sub-kriteria rasio total
awalable catch (TAC) (0.235) dalam keberlanjutan pengelolaan rumpon di Barat
Daya perairan Pelabuhanratu. Hal ini disebabkan karena bahwa penggunaan
BBM yang rendah merupakan hal yang penting dalam usaha penangkapan ikan
di laut tergantung pada teknologi kapal yang digunakan karena merupakan
komponen biaya operasional yang terbesar. Oleh sebab itu ketersediaan dan
penggunaan BBM sangat penting dalam usaha penangkapan ikan berbasis
rumpon. Penggunaan BBM yang rendah dengan biaya yang terjangkau oleh
nelayan merupakan salah satu kriteria pada pengelolaan perikanan secara
bertanggung jawab (Code of Conduct for Responsible Fisheries). TAC
merupakan hal yang penting dalam pengelolaan usaha perikanan tangkap karena
penggunaan teknologi rumpon dan alat tangkap akan berkaitan dengan jumlah
ikan target yang akan ditangkap, sehingga kelestarian sumberdaya ikan dapat
dipertahankan dengan pengaturan penangkapan ikan yang tidak melebihi TAC.
Apabila jumlah ikan yang ditangkap di Barat Daya perairan Pelabuhanratu
107
melebihi TACnya, maka kelestarian sumberdaya ikannya dapat menurun
sehingga akan mempengaruhi keberlanjutan rumpon yang dikelola.
Berdasarkan Gambar 5.19, alternatif penetapan zona pengelolaan rumpon
mempunyai rasio kepentingan paling tinggi yang berarti merupakan prioritas
pertama dibandingkan empat alternatif kebijakan pengelolaan rumpon lainnya,
yaitu sebesar 0,460 pada inconsistency terpercaya 0,05. Kepentingan alternatif
kebijakan perbaikan mekanisme pembiayaan pengadaan rumpon diperoleh pada
urutan kedua dengan rasio kepentingan 0,290. Sedangkan alternatif kebijakan
pengaturan jumlah nelayan dan armada penangkapan yang memanfaatkan
rumpon dan alternatif kebijakan penyediaan BBM khusus untuk penangkapan
ikan di rumpon merupakan urutan ke tiga dan keempat dengan masing-masing
rasio kepentingan sebesar 0,149 dan 0,100.
Penetapan zona pengelolaan rumpon mempunyai rasio kepentingan
paling tinggi dibandingkan empat opsi kebijakan lainnya. Kepentingan zona
pengelolaan rumpon sebenarnya sudah terlihat pada persepsi kepentingan pada
sub-kriteria dimana mempunyai kepentingan paling tinggi dibandingkan dengan
sub-kriteria lainnya.
Menurut Dahuri (2000) pembangunan kelautan dan perikanan yang
berkelanjutan di wilayah pesisir dan lautan yang diarahkan pada aspek teknis,
ekologis, sosial ekonomi dan hukum. Keterpaduan aspek ini untuk pemanfaatan
sumberdaya perikanan dan kelautan yang harus memperhatikan keharmonisan
spasil (ruang), daya dukung perairan dan pemanfaatan secara berkelanjutan.
Pengaturan ruang laut memang sesuatu yang sudah harus diperlukan dan
merupakan kebutuhan utama dalam pengelolaan perikanan dan kelautan yang
berkelanjutan. Zona merupakan ruang yang penggunaannya disepakati bersama
antara berbagai pemangku kepentingan dan telah ditetapkan status hukumnya.
Penetapan zona khususnya di Selatan perairan Pelabuhanratu bertujuan sebagai
dasar dalam rangka penataan ruang laut untuk perencanaan, pemanfaatan dan
pengendalian pemanfaatan. Dengan adanya zona maka diperoleh zonasi-zonasi
yang mempertimbangkan keselarasan, keserasian keseimbangan dengan daya
dukung ekosistem, dimensi ruang dan waktu, dimensi teknologi dan sosial serta
ekonomi dan keterpaduan pemanfaatan sumberdaya. Hal ini mengingat bahwa
108
di Barat Daya perairan Pelabuhanratu termasuk Teluk Pelabuhanratu yang
merupakan perairan Samudera Hindia merupakan perairan yang kaya akan
keanekaragaman sumberdaya laut.
Perairan Barat Daya pelabuhanratu mempunyai potensi juga untuk
pengembangan sumberdaya laut lainnya yaitu budidaya laut, daerah
penangkapan ikan, lokasi pemijahan penyu dan ikan-ikan tertentu dan juga
merupakan suatu kawasan wisata laut yang indah dan alur perairan kapal-kapal
penangkap ikan yang akan mendaratkan hasil tangkapannya di PPN
Pelabuhanratu. Berdasarkan hasil penelitian Nahib (2008), bahwa keberadaan
rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu telah menyebabkan peningkatan
kemampuan daya tangkap sebesar 7-10%, peningkatan produksi sebesar 22%,
dan penurunan kapasitas daya dukung 3-10%. Hal ini berarti bahwa dengan
keberadaan rumpon sangat memberikan tingkat keuntungan yang relatif baik
bagi nelayan sehingga kecenderungan semakin banyaknya rumpon yang akan
diusahan. Dalam jangka pendek memang memberikan keuntungan yang nyata
bagi nelayan, apalagi ikan hasil tangkapan rumpon mempunyai harga lebih tinggi
dibandingkan dengan yang tidak dirumpon atau penambahan jumlah rumpon
semakin meningkat, sehingga ekploitasi ikan di rumpon semakin meningkat.
Apabila hal ini dibiarkan terus menerus, maka jangka panjang dapat menurunkan
hasil tangkapan karena kapasitas daya dukungnya dalam hal ini stok sumberdaya
ikan menurun sehingga keuntungan yang diperoleh juga akan menurun.
Berdasarkan penelitian bahwa dengan keberadaan rumpon Catch Per Unit Effort
(CPUE) meningkat, namun stok atau biomass ikan pada suatu lokasi tersebut
tetap sama sehingga ketersediaan sumberdaya ikan dapat menurun.
Pengaturan zona pengelolaan rumpon merupakan hal yang sangat penting
dan prioritas utama dilakukan. Hal ini disebabkan karena dengan adanya
pengaturan zona, maka zonasi dari pengelolaan dapat ditentukan sehinga jumlah
rumpon dan jumlah nelayan yang akan memanfaatkan rumpon dapat diatur dan
dipertanggung jawabkan oleh pengguna dan pemanfatan rumpon. Berdasarkan
hasil penelitian sebelumnya bahwa, di Barat Daya perairan Pelabuhanratu
termasuk Samudera Hindia merupakan daerah migrasinya ikan-ikan ekonomis
penting yaitu ikan target pada rumpon laut dalam. Oleh karena itu rumpon-
109
rumpon dipasang di sekitar perairan tersebut sehingga ikan target dapat
berkumpul dan mudah ditangkap di sekitar rumpon yang dipasang. Dtambah lagi
mengingat keberadaan rumpon tersebut termasuk perairan Samudera Hindia
yang pemanfaatan ikan pelagis besar telah berstatus secara penuh, maka
Samudera Hindia yang dalam pengelolaan bersama regional yang disebut Indian
Ocean Tuna Commission (IOTC)( merupakan salah satu organisasi Regional
Fisheries Management Orgazation (RFMO) di bawah FAO), pada sidang the
10Th session of the Scientific Committee of Indian Ocean Tuna Commission,
IOTC (FAO, 2007) merekomendasikan untuk menurunkan hasil tangkapan jenis-
jenis ikan tersebut sampai pada hasil tangkapan sebelum tahun 2003 di
Samudera Hindia, bahkan IOTC telah memberikan warning terhadap rumpon-
rumpon yang dipasang di Samudera Hindia.
Dengan adanya penetapan zona pengelolaan rumpon, maka kapasitas
rumpon dapat ditentukan di suatu zonasi yang merupakan zona dengan
mempertimbangkan kesesuaian ekologi, ekonomi, sosial nelayan dan pelaku
usaha penangkapan ikan di Barat Daya perairan Pelabuhanratu, sehingga daya
dukung sumberdaya ikan target dapat berlanjut dalam jangka panjang. Selain itu
dengan penetapan dan pengaturan zona pengelolaan rumpon di Barat Daya
perairan Pelabuhanratu, pelaku usaha yang berkepentingan harus mentaatinya
sehingga akan dapat meminimalisasikan potensik konflik antar nelayan bahkan
antar pengguna kawasan laut lainnya yang merupakan ancaman yang cukup
besar dalam keberlanjutan rumpon tersebut. Penetapan zona pengelolaan
rumpon dapat dilakukan oleh pemerintah pusat bersama-sama dengan
pemerintah daerah dan instansi lainnya yang terkait yang harus ditatati oleh
pelaku usaha rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu. Untuk itu
kepentingan ilmuan dalam meneliti zona pengelolaan tersebut sangatlah penting
dalam mendukung keberlanjutan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu.
Saat ini, Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Nomor 30 tahun 2004
tentang Pemanfaatan dan Pemasangan Rumpon menimbulkan beberapa
kerancuan dalam pemasangan rumpon. Pada Keputusan ini, bahwa belum diatur
secara jelas penetapan zona pemasangan rumpon, hanya lebih mengatur
kewenang pemasangan rumpon. Kewenangan pemberian izin pemasangan
110
rumpon di laut pada Keputusan tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang kewenangan Pemerintah Daerah yaitu, pemasangan
rumpon di perairan >12 mil dibeikan izin oleh pemerintah pusat, di perairan 4
mil – 12 mil diberikan izin oleh pemerintah provinsi dan di perairan <4 mil
diberikan izin oleh pemerintah Kabupaten/Kota. Selanjutnya pada keputusan
tersebut diatur bahwa pemasangan rumpon mempunyai jarak minimal 10 mil
antar rumpon yang lainnya, sedangkan Kabupaten/Kota hanya mempunyai
kewenangan 4 mil, dan provinsi hanya berkewenangan 6 mil. Hal ini juga
menimbulkan permasalah baik bagi pelaku usaha maupun bagi pemerintah.
5.2.5 Stategi Implementasi Pengelolaan Rumpon yang berkelanjutan di
Barat Daya Perairan Pelabuhanratu, Jawa Barat.
Berdasarkan analisis kebijakan, penetapan zona pengelolaan rumpon di
Barat Daya perairan Pelabuhanratu, Jawa Barat direkomendasikan sebagai
prioritas pertama kebijakan pengelolaan rumpon yang berkelanjutan, maka
diperlukan strategi implementasinya yaitu :
1. Pemerintah dalam hal ini pusat dan daerah sebagai regulator menyediakan
kebijakan penetapan zona pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan
Pelabuhanratu termasuk perairan Teluk perairan Pelabuhanratu. Dengan
adanya penetapan zona pengelolaan rumpon, maka dengan mengajak pelaku
usaha pengelolaan rumpon (nelayan) dan pemangku kepentingan lainnya
untuk menyepakati zona pengelolaan yang telah ditetapkan. Dengan
demikian maka antar nelayan dan pengusaha yang akan memanfaatkan
rumpon bersepakat untuk menetapkan lebih lanjut titik pengusahaan rumpon
di perairan tersebut dan akan diperoleh rasio jumlah rumpon yang akan
dipasang berdasarkan daya dukung dimensi pengelolaan rumpon. Dengan
adanya penetapan tersebut maka setiap yang memanfaatkan rumpon merasa
bertanggung jawab atas rumpon yang dipasang. Bagi pengusaha dan nelayan
yang memanfaatkan rumpon, penetapan zona tersebut merupakan jaminan
keamanan atas pengusahaan rumpon dan kepastian daerah penangkapan ikan,
sehingga keuntungan optimal dapat diperoleh.
111
2. Setelah penetapan zona pengelolaan, perlu dilakukan sosialisasi oleh
pemerintah kepada seluruh pemangku kepentingan pengelolaan rumpon di
selatan perairan Pelabuhanratu Jawa Barat.
3. Penetapan zona pengelolaan rumpon ini secara ilmiah harus diteliti berdasar
daya dukung dimensi pengelolaan rumpon. Hal ini penting karena terkait
dengan jaminan kelestarian sumberdaya ikan, habitat dan plasma nutfah yang
dibutuhkan bagi pengembangan IPTEKS dalam rangka pengelolaan rumpon
yang berkelanjutan. Selain itu, mengingat potensi konflik yang besar dalam
pemanfaatan rumpon, maka dimensi sosial juga merupakan pertimbangan
penelitian dalam penetapan zona pengelolaan rumpon.
4. Pelaku usaha (nelayan, pengusaha) perikanan tangkap yang memanfaatkan
rumpon mentaati aturan kebijakan penetapan zona pengelolaan rumpon.
5. Monitoring dan evaluasi terhadap pengelolaan rumpon
Monitoring dilakukan oleh pemerintah untuk memastikan rumpon yang
dipasang berada pada zona yang telah ditetapkan. Sedangkan evaluasi
dilakukan untuk mengetahui kelestarian sumberdaya ikan yang ditangkap di
Selatan perairan Pelabuhanratu.
6. Pembinaan oleh pemerintah terhadap nelayan pemanfatan rumpon di Selatan
Perairan Pelabuhanratu Jawa Barat. Agar keberadaan rumpon dapat berlanjut
perlu dilakukan pembinaan terhadap pengelolaan rumpon tersebut.