uu perlindungan konsumen fix
DESCRIPTION
hukumTRANSCRIPT
HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
Perlindungan konsumen adalah perangkat hukum yang diciptakan untuk
melindungi dan terpenuhinya hak konsumen.Sebagai contoh, para penjual
diwajibkan menunjukkan tanda harga sebagai tanda pemberitahuan kepada
konsumen.
Pengertian konsumen adalah setiap pemakai barangdan/atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain,
maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Sesuai dengan pasal 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen, tujuan
dari perlindungan ini adalah:
Adapun azas perlindungan konsumen antara lain :
1. Azas manfaat : Mengamanatkan bahwa segala upaya dalam
penyelenggaraan perlindungan ini harus memberikan manfaat sebesar-
besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara
keseluruhan
2. Azas keadilan : Partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara
maksimal dan memberikan kesempatan pada konsumen dan pelaku usaha
untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil
3. Azas keseimbangan : Memberikan keseimbangan antara kepentingan
konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual
4. Azas keamanan dan keselamatan konsumen : Memberikan jaminan atas
keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau
digunakan
5. Azas kepastian hukum : baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati
hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan
perlindungan konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum.
Prinsip-Prinsip Perlindungan Konsumen
Menurut Prof. Hans W. Micklitz, dalam perlindungan konsumen secara
garis besar dapat ditempuh dua model kebijakan. Pertama, kebijakan yang bersifat
komplementer, yaitu kebijakan yang mewajibkan pelaku usaha memberikan
informasi yang memadai kepada konsumen (hak atas informasi).Kedua, kebijakan
kompensatoris, yaitu kebijakan yang berisikan perlindungan terhadap kepentingan
ekonomi konsumen (hak atas keamanan dan kesehatan).
Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam
perlindungan konsumen. Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam
hukum dapat dibedakan sebagai berikut:
1. Prinsip Tanggung Jawab Berdaasarkan Unsur Kesalahan
Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability atau
liability based on fault) adalah prinsip yang cukup umum, namun berlaku
dalam hukum pidana dan perdata. Dalam KUH Perdata, khususnya pasal
1365, 1366, dan pasal 1367, prinsip ini dipegang secara teguh. Prinsip ini
menyatakan, seseorang baru dapat dimintakan pertanggujawabannya secara
hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Pasal 1365 KUH Perdata
berbunyi: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian
kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Pasal ini lazim dikenal sebagai
pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya empat
unsur pokok, yaitu: (1) adanya perbuatan, (2) adanya unsur kesalahan, (3)
adanya kerugian yang diderita, dan (4) adanya hubungan kausalitas antara
kesalahan dan kerugian.
Maksud dari kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan
hukum.Pengertian hukum tidak hanya bertentangan dengan undang-undang,
tetapi juga kepatuhan dan kesusilaan dalam masyarakat.
Ketentuan diatas juga sejalan dengan teori umum dalam hukum acara,
yakni asas audi et alteram partem atau asas kedudukan yang sama antara
semua pihak yang diperkara. Disini hakim harus member para pihak beban
yang seimbang dan patut, sehingga masing-masing memiliki kesempatan
yang sama untuk memenangkan perkara tersebut.
Bila melihat bahwa produsen yang bertanggung jawab, maka konsumen
menggugatnya tidak dengan wanprestasi, karena tidak ada hubungan
kontraktual (privity of contract, yaitu hubungan langsung dengan
konsumen).Jadi, bila tidak ada hubungan tersebut maka menggugatnya harus
berdasarkan perbuatan melawan hukum (law of Tort atau tortius
liability).Tortius Liability adalah Fault liability menggugat berdasarkan Pasal
1365 KUH Perdata, berarti siapa yang mengendalikan, dia harus
membuktikan.Bila diterapokan dalam kasus biscuit beracun, maka konsumen
harus membuktikan bahwa produsen yang bersalah.Ini tidak menguntungkan
bagi konsumen. Perlindungan terhadap konsumen menjadi mustahil kalau
berdasrakan fault liability, karena yang mengendalikan harus membuktikan.
Di Indonesia terdapat Vicarious Liability, yaitu perbuatan melawan hukum
yang berada dalam tanggungjawab majikan terhadap pekerjaan buruhnya
(Pasal 1367 KUH Perdata).
Building Owner Liability : pemilik gedung
Pete’s Master Liability : pemilik binatang peliharaan yang
bertanggungjawab.
Contoh:
Kasus Secure Parking
Dalam kasus Anny R. Gultom dan Hontas Tambunan, keduanya
kehilangan mobilnya di Plaza Cempaka Mas pada 2000 lalu.Kini perkaranya
sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht).Keduanya berhasil meminta ganti
rugi pada Secure Parking Rp 60 juta sebagai kompensasi kehilangan mobil.
Putusan Mahkamah Agung (MA) No. 1246/K/PDT/2003 menegaskan, sesuai
dengan Pasal 1365 jo Pasal 1367 KUH Perdata, Secure Parking selaku
pengelola perparkiran, bertanggung jawab atas perbuatan melawan
hukum yang dilakukan sendiri ataupu pegawainya yang mengakibatkan
kerugian penggugat (Anny R. Gultom dan Hontas Tambunan).
2. Prinsip Praduga untuk Selalu Bertanggung Jawab
Prinsip ini menyatakan, “Tergugat selalu dianggap bertanggung jawab
(presumption of liability principle) sampai ia membuktikan ia tidak
bersalah”.Jadi, beban pembuktian ada pada si tergugat.Tampak beban
pembuktian terbalik (omkering van bewijslast) diterima dalam prinsip
tersebut. UUPK pun mengadopsi sistem pembuktian terbalik ini, sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 19, 22, 23, dan 28 UUPK.
Dasar dari teori pembalikan beban pembuktian adalah seseorang dianggap
tidak bersalah sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya.Hal
ini tentu bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah
(presumption of innocence) yang lazim dikenal dalam hukum. Namun, jika
diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak bahwa asas demikian cukup
relevan. Jika digunakan teori ini, maka yang berkewajiban unhtuk
membuktikan kesalahan itu ada di pihak pelaku usaha yang digugat.Tergugat
ini yang harus menghadirkan bukti-bukti dirinya tidak bersalah.Tentu saja
konsumen tidaklah berarti dapat sekehendak hati mengajukan gugatan-
gugatan. Posisi konsumen sebagai penggugat selalu terbuka untuk digugat
balik oleh pelaku usaha, jika ia gagal menunjukkan kesalahan si tergugat.
3. Prinsip Praduga untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab
Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumption of non
liability principle) hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang
sangat terbatas dan pembatasan demikian biasanya secara common sense
dapat dibenarkan.
4. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak
Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sering diidentikkan dengan
prinsip tanggung jawab absolut (absolute liabilty).Kendati demikian ada pula
para ahli yang membedakan kedua terminologi diatas.Ada pendapat yang
mengatakan strict liability adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan
kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan.Namun, ada pengecualian-
pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab,
misalnya keadaan force majeure.Sebaliknya, absolute liability adalah prinsip
tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya.
Biasanya, prinsip tanggung jawab mutlak ini diterapkan karena:
a. Konsumen tidak dalam posisi menguntungkan untuk membuktikan adanya
kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi yang kompleks.
b. Ketika ada gugatan atas kesalahannya, misalnya dengan asuransi atau
menambah komponen biaya tertentu pada harga produknya.
5. Prinsip Tanggung Jawab dengan Pembatasan
Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability
principle) sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai
klausul eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya.Dalam perjanjian
cuci cetak film misalnya, ditentukan bila film yang dicuci cetak itu hilang
atau rusak (termasuk akibat kesalahan petugas), maka si konsumen hanya
dibatasi ganti kerugian sebesar sepuluh kali harga satu rol film baru.Prinsip
tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila diterapkan secara
sepihak oleh pelaku usaha.Dalam UUPK yang baru, seharusnya pelaku usaha
tidak boleh secara sepihak menentukan klausula yang merugikan konsumen,
termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya.Jika ada pembatasan
mutlak harus ada peraturan perundang-undangan yang jelas.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen
Populasi penduduk Negara Indonesia yang tinggi sudah tentu merupakan
representasi dari banyaknya konsumen.Konsumen dalam jumlah yang besar ini
juga harus dilindungi karena perlindungan konsumen merupakan salah satu tugas
melalui kebijakan-kebijakan Negara.Kebijakan ini telah dituangkan melalui
adanya Undang-undang nomor 8 tahun 1999 mengenai perlindungan
konsumen.Perangkat hukum ini terdiri dari 15 Bab dan terdiri dari 65 pasal.
Klausul Bab 1 tentang ketentuan umum Undang-undang nomor 8 tahun 1999
dapat dilihat seperti dibawah ini :
Pasal 1
Dalam undangundangini yang dimaksud dengan :
(1) Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastianhukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen
(2) Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia
dalammasyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain
maupun makhlukhidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
(3) Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik
yangberbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan
dan berkedudukanatau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersam-samamelalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalamberbagai bidang ekonomi.
(4) Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik
bergerakmaupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat
dihabiskan, yang dapatuntuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau
dimanfaatkan oleh konsumen.
(5) Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang
disediakanbagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.
(6) Promosi adalah kegiatan pengenalan atau penyebarluasan informasi suatu
barangdan/atau jasa untuk menarik minat beli konsumen terhadap barang
dan/atau jasa yangakan dan sedang diperdagangkan.
(7) Impor barang adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah
pabean.
(8) Impor jasa adalah kegiatan penyediaan jasa asing untuk digunakan di
dalam wilayahRepublik Indonesia.
(9) Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat adalah lembaga
nonpemerintahyang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang mempunyai
kegiatanmenangani perlindungan konsumen.
(10) Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syaratyang
telahdipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh
pelaku usaha yangdituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian
yang mengikat dan wajib dipenuhioleh konsumen.
(11) Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas
menanganidan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan
konsumen.
(12) Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah badan yang dibentuk
untukmembantu upaya pengembangan perlindungan konsumen.
(13) Menteri adalah menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya
meliputibidang perdagangan.
Bab 2 Undang-undang nomor 8 tahun 1999 mengenai perlindungan konsumen
mencakup tentang Asas dan tujuan dari Undang-undang Perlindungan konsumen
itu sendiri.
Pasal 2
Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan,
keamanan dankeselamatan konsumen, serta kepastian hukum.
Pasal 3
Perlindungan konsumen bertujuan :
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk
melindungidiri;
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya
dari eksesnegatif pemakaian barang dan/atau jasa;
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan
menuntuthak-haknyasebagai konsumen;
d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukumdan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan
informasi;
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan
konsumensehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam
berusaha;
f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan
usaha
g. Produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan
keselamatankonsumen.
Bab 3 Undang-undang nomor 8 tahun 1999 mengenai Hak dan Kewajiban.Bab
pertama mengenai hak dan kewajiban konsumen yang dituangkan dalam pasal 4
dan 5.Sedangkan, bagian kedua mengenai mencakup Hak dan Kewajiban pelaku
usaha yang terangkum dalam pasal 6 dan pasal 7.
Bagian Pertama
Hak dan Kewajiban Konsumen
Pasal 4
Hak konsumen adalah :
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barangdan/atau jasa;
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau
jasatersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan;
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barangdan/atau jasa;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan;
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketaperlindungan konsumen secara patut;
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. Hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila
barangdan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimanamestinya;
i. Hak-hakyang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya.
Pasal 5
Kewajiban konsumen adalah :
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatanbarang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen
secara patut.
Bagian Kedua
Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Pasal 6
Hak pelaku usaha adalah :
a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai
kondisidan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
Hak pelaku usaha untuk menerima atau mendapatkan pembayaran sesuai
dengan kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan
menunjukkan bahwa pelaku usaha tidak dapat menuntut lebih banyak apabila
barang dan/atau jasa yang diberikan kepada konsumen tidak atau kurang
memadai. Kejadian yang biasa terjadi bahwa barang yang sama tetapi
mempunyai kualitas yang berbeda, maka barang yang lebih rendah harganya
akan lebih murah dibanding kualitasnya yang lebih tinggi. Bahkan dalam
praktek terjadi diskon, tetapi barangnya adalah barang yang kualitas rendah,
barang yang tidak laku, dan bahkan barang tersebut cacat.
b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang
beritikad tidakbaik;
Konsumen yang melakukan pemfitnahan pada pelaku usaha atau mencuri
barang dari toko pelaku usaha, dapat dituntut oleh pelaku usaha untuk
mengembalikan keuntungannya dan/atau nama baiknya.
c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian
hukum sengketa konsumen;
Karena negara indonesia adalah negara hukum, setiap pihak yang bersengketa
diberi praduga tak bersalah, maka pelaku usaha pun berhak memiliki
pengacara untuk membela diri dalam penyelesaian sengketa dengan
konsumennya dalam hukum. Hak pelaku usaha untuk mendapat perlindungan
hukum, melakukan pembelaan diri, dan rehabilitasi sesungguhnya merupakan
hak-hak yang berkaitan dengan instansi pemerintahan.Dan badan
penyelesaian sengketa konsumen serta pengadilan dalam tugasnya yang
menyelesaikan sengketa konsumen.Melalui hak-hak tersebut diharapkan tidak
mengabaikan kepentingan pelaku usaha dalam menuntut hak-haknya.
d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa
kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
Jika konsumen mengklaim bahwa barang dan/atau jasa dari pelaku usaha
tidak sesuai dengan perjanjian yang ada yang diakibatkan dari kesalahan
pelaku usaha, dan konsumen tersebut mengumumkan kepada masyarakat luas
mengenai kesalahan pelaku usaha tersebut, sehingga nama baik perusahaan
atau pelaku usaha tercemar. Namun, setelah ditelusuri lebih lanjut, kesalahan
tersebut karena ulah konsumen, maka pelaku usaha berhak merehabilitasi
namanya atau nama perusahaannya agar kembali dipercaya oleh masyarakat.
e. Hak-hakyang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Pasal 7
Kewajiban pelaku usaha adalah :
a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
Kewajiban pelaku usaha beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya
merupakan salah satu asas yang terdapat dalam hukum perjanjian.Asas ini
terdapat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata menyatakan bahwa
perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barangdan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,
perbaikan dan pemeliharaan;
Kewajiban kedua bagi pelaku usaha adalah memberikan informasi yang
benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Di
sisi lain, pelaku usaha berkewajiban memberi penjelasan penggunaan,
perbaikan dan pemeliharaan, disebabkan karena informasi merupakan hak
konsumen, karena ketiadaan informasi yang tidak memadai dari pelaku usaha
merupakan salah satu jenis cacat produk (cacat informasi) yang sangat
merugikan konsumen.
Contoh seperti yang diatur dalam Pasal 111 Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan, bahwa setiap makanan dan minuman yang
dikemas wajib diberi tanda atau label yang berisi :
1. nama produk;
2. daftar bahan yang digunakan;
3. berat bersih atau isi bersih;
4. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukan makanan
dan minuman ke dalam wilayah Indonesia; dan
5. tanggal, bulan dan tahun produksi dan kadaluarsa.
Pemberian tanda atau label harus dilakukan secara benar dan akurat.
Pentingnya penyampaian informasi yang benar terhadap konsumen mengenai
suatu produk, agar konsumen tidak salah terhadap gambaran mengenai suatu
produk tertentu.Penyampaian informasi terhadap konsumen tersebut dapat
berupa representasi, per-ingatan maupun yang berupa instruksi.
Contoh Pasal 114 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 menyatakan
bahwa setiap orang yang memproduksi atau memasukkan rokok ke wilayah
Indonesia wajib mencantumkan peringatan kesehatan. Maksud peringatan
kesehatan adalah tulisan yang jelas dan mudah terbaca dan dapat disertai
gambar atau bentuknya. Contoh “Merokok dapat menyebab-kan kanker,
serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin
Menurut ketentuan Pasal 1 Peraturan Pemerin-tah Nomor 69 Tahun 1999
tentang Label dan Iklan Pangan menyatakan bahwa setiap keterangan atau
pernyataan mengenai pangan dalam bentuk gambar, tulisan atau bentuk lain
yang dilakukan dengan berbagai cara untuk pemasaran dan atau perdagangan
pangan. Di sisi lain, terdapat peraturan lain yang terkait label dan iklan, yakni
UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU Nomor 7 Tahun 1996
tentang Pangan, dan UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.
Representasi yang benar terhadap suatu produk diperlukan bagi
konsumen.Karena, salah satu penyebab terjadinya kerugian terhadap
konsumen adalah terjadinya salah representasi terhadap produk
tertentu.Dalam kaitannya ini, dengan salah representasi, banyak disebabkan
karena tergiur oleh iklan atau brosur produk tertentu, sedangkan iklan atau
brosur tersebut tidak selamanya memuat informasi yang benar, karena pada
umumnya hanya menonjolkan kelebihan produk yang dipromosikan,
sebaliknya kelemahannya ditutupi.
Informasi yang diperoleh konsumen melalui brosur dapat menjadi salah
satu alat bukti yang dipertimbangkan oleh hakim dalam gugatan konsumen
terhadap produsen.Penyampaian informasi melalui brosur-brosur secara tidak
benar yang merugikan konsumen, dikategorikan sebagai wanprestasi.Brosur
dianggap sebagai penawaran dan janji-janji yang bersifat perjanjian, sehingga
brosur dianggap diperjanjikan dalam ikatan jual beli meskipun tidak
dinyatakan secara tegas.Maka, pelaku usaha harus berhati-hati dalam
membuat brosur atau iklan, karena jika tidak sesuai dengan kenyataan dapat
dikategorikan sebagai kebohongan publik.
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
Pelaku usaha dilarang membeda-bedakan konsumen dalam memberikan
pelayanan.pelaku usaha dilarang membeda-bedakan mutu pelayanan kepada
konsumen. Melayani konsumen secara benar dan jujur tidak diskriminatif,
harus dilakukan oleh pelaku usaha.Pelayanan ini dapat berupa pelayanan
purna jual, di mana pelaku usaha yang memproduksi barang yang
pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu sekurang-kurangnya satu
tahun wajib menyediakan suku cadang dan atau fasilitas purna jual dan wajib
memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan.
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa
yang berlaku;
Asas lainnya bahwa perjanjian tidak boleh melanggar undang-undang,
ketertiban, kesusilaan, dan kepatutan.Pentingnya asas ini dalam perundingan-
perundingan atau perjanjian para pihak, yaitu pelaku usaha dengan konsumen.
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba
barangdan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas
barang yang dibuatdan/atau yang diperdagangkan;
Hal ini merupakan pembuktian dari kebenaran pemberian informasi pelaku
usaha atas barang dan/atau jasa yang diberikan. Sehingga, pelaku usaha dapat
lepas dari tuntutan kebohongan publik
f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
Pelaku usaha bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan atau gugatan
konsumen apabila tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang
dan atau fasilitas perbaikan dan tidak memenuhi atau gagal memenuhi
jaminan dan atau garansi yang diperjanjikan.Pelaku usaha yang
memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan atau garansi yang
disepakati dan atau diperjanjikan.Pelaku usaha wajib menjamin mutu barang
dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan standar
mutu barang dan/atau jasa yang berlaku. Standardisasi mutu barang diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi
Nasional, yaitu standar yang ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional
dan berlaku secara nasional. Peraturan ini dalam mendukung peningkatan
produktivitas daya guna produksi, mutu barang, jasa, proses, sistem dan atau
personel, yang dimaksudkan untuk meningkatkan daya saing, perlindungan
konsumen, pelaku usaha, tenaga kerja dan masyarakat, khususnya di bidang
keselamatan, keamanan, kesehatan dan lingkungan hidup. Di sisi lain,
Indonesia telah ikut serta dalam persetujuan pembentukan Organisasi
Perdagangan Dunia (World Trade Organization) yang di dalamnya mengatur
pula masalah standardisasi berlanjut dengan kewajiban untuk menyesuaikan
peraturan di bidang standardisasi. Standar adalah spesifikasi teknis atau
sesuatu yang dibakukan termasuk tata cara dan metode yang disusun
berdasarkan konsensus semua pihak yang terkait dengan memperhatikan
syarat-syarat keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup,
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pengalaman,
perkembangan masa kini dan masa yang akan datang untuk memperoleh
manfaat yang sebesar-besarnya. Standardisasi adalah proses merumuskan,
menetapkan, menerapkan dan merevisi standar, yang dilaksanakan secara
tertib dan bekerja sama dengan semua pihak.
Pelaku usaha yang menerapkan standar nasional Indonesia yang
diberlakukan secara wajib, harus memiliki sertifikat atau tanda SNI.Pelaku
usaha dilarang memproduksi dan atau mengedarkan barang atau jasa yang
tidak memenuhi dan atau tidak sesuai dengan standar nasional Indonesia yang
telah diberlakukan secara wajib.Pelaku usaha yang barang dan atau jasa telah
memperoleh sertifikat produk dan atau tanda standar nasional Indonesia dari
lembaga sertifikasi produk, dilarang memproduksi dan mengedarkan barang
dan atau jasa tang tidak memenuhi SNI. SNI yang diberlakukan secara wajib
dikenakan, baik terhadap barang dan atau jasa produksi dalam negeri maupun
terhadap barang dan atau jasa impor.Dengan adanya standardisasi nasional,
akan ada acuan tunggal dalam mengukur mutu produk dan atau jasa di dalam
perdagangan, yaitu, SNI, sehingga dapat meningkatkan perlindungan kepada
konsumen, pelaku usaha, tenaga kerja, dan masyarakat lainnya. Baik untuk
keselamatan, keamanan, kesehatan maupun pelestarian fungsi
lingkungan.Pelaku usaha wajib memberi kesempatan kepada konsumen untuk
menguji dan atau mencoba barang dan atau jasa serta memberi jaminan dan
atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan.Pelaku usaha
wajib menyediakan suku cadang dan atau fasilitas purna jual dan wajib
memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan.Pelaku
usaha bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan atau gugatan konsumen
apabila tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan atau
fasilitas perbaikan.Pelaku usaha bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi
dan gugatan kepada konsumen apabila tidak memenuhi atau gagal memenuhi
jaminan dan atau garansi yang diperjanjikan.
g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasayang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa, wajib memenuhi jaminan dan
atau garansi yang disepakati dan atau diperjanjikan.Pelaku usaha wajib
memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan konsumen tidak sesuai dengan
perjanjian.Kewajiban pelaku usaha memberi ganti rugi akibat ketidaksesuaian
terhadap barang yang diperjanjikan.Hal ini dapat berupa kelalaian atau
kesalahan pelaku usaha.Bentuk ganti rugi ini dapat berupa pengembalian
uang, penggantian barang dan jasa setara nilainya, dan perawatan kesehatan
dan atau pemberian santunan.Pemberian ganti rugi harus dilaksanakan dalam
tenggang waktu tujuh hari sejak tanggal transaksi.Pemberian ganti rugi juga
tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan
pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
Pelaku usaha dibebaskan dari kewajiban memberi ganti rugi kepada
konsumen apabila :
1. Dapat membuktikan bahwa konsumen yang melakukan kesalahan;
2. Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau dimaksudkan
untuk diedarkan;
3. Cacat barang timbul pada kemudian hari;
4. Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;
5. Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen;
6. Lewatnya jangka waktu penuntutan empat tahun sejak barang dibeli atau
lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.
Para pihak harus bertindak dengan mengingat kepentingan-kepentingan
yang wajar dari pihak lain. Bagi masing-masing pihak dalam perjanjian
terdapat suatu kewajiban untuk mengadakan penyelidikan dalam batas-batas
yang wajar terhadap pihak lawan sebelum menandatangani kontrak, atau
masing-masing pihak harus mena-ruh perhatian yang cukup dalam menutup
kontrak yang berkaitan dengan itikad baik.
Bab 4 Undang-undang nomor 8 tahun 1999 mengenai perbuatan yang dilarang
bagi pelaku usaha.Bab ini terdiri dari pasal 8 sampai dengan pasal 17.
Pasal 8
(1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang
dan/atau jasayang:
a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan
Ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam
hitungansebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang
tersebut;
c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam
hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran
sebagaimanadinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang
dan/atau jasa tersebuttidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi,
proses pengolahan, gaya, mode,atau penggunaan tertentu sebagaimana
dinyatakan dalam label atau keteranganbarang dan/atau jasa tersebut;
e. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan,
iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
f. Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/
pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
g. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana
pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label;
h. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat
nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai,
tanggalpembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta
keteranganlain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/
dibuat;
i. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang
dalam bahasa indonesia sesuai dengan ketentuan perundangundanganyang
berlaku.
(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau
bekas, dantercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar
atas barang dimaksud.
(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang
rusak,cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan
informasi secaralengkap dan benar.
(4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang
memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari
peredaran.
Pasal 9
(1) Pelaku usaha dilarang menawarkan, memproduksikan, mengiklankan suatu
barangdan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah:
a. Barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga
khusus,standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik
tertentu, sejarah atauguna tertentu;
b. Barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;
c. Barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki
sponsor,persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu,
ciricirikerja atau aksesoritertentu;
d. Barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai
sponsor,persetujuan atau afiliasi;
e. Barang dan/atau jasa tersebut tersedia;
f. Barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;
g. Barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;
h. Barang tersebut berasal dari daerah tertentu;
i. Secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa
lain;
j. Menggunakan kata-katayang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya,
tidakmengandung risiko atau efek sampingan tampak keterangan yang
lengkap;
k. Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
(2) Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang
untukdiperdagangkan.
(3) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat (1) dilarang
melanjutkanpenawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa
tersebut.
Pasal 10
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau
membuatpernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai:
a. Harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;
b. Kegunaan suatu barang dan/atau jasa;
c. Kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang
dan/atau jasa;
d. Tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;
e. Bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.
Pasal 11
Pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau
lelang, dilarangmengelabui/ menyesatkan konsumen dengan;
a. Menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolaholah
b. Telah memenuhi standar mututertentu;
c. Menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolaholah
d. Tidak mengandung cacattersembunyi;
e. Tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan
maksud untukmenjual barang lain;
f. Tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah yang
cukup denganmaksud menjual barang yang lain;
g. Tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup
denganmaksud menjual jasa yang lain;
h. Menaikkan harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan obral.
Pasal 12
Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan
suatu barangdan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah
tertentu, jika pelakuusaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannya
sesuai dengan waktu dan jumlahyang ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan.
Pasal 13
(14)Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan
suatu barangdan/jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa
barang dan/atau jasa lainsecara cuma-cumadengan maksud tidak
memberikannya atau memberikan tidaksebagaimana yang dijanjikannya.
(15)Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan
obat, obattradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan
kesehatan dengancara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau
jasa lain.
Pasal 14
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian, dilarang untuk:
a. Tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan;
b. Mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa;
c. Memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan;
d. Mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.
Pasal 15
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang dilarang
melakukan dengancara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan
gangguan baik fisik maupun psikisterhadap konsumen.
Pasal 16
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan
dilarang untuk:
a. tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai
dengan yangdijanjikan;
b. tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi.
Pasal 17
(1) Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang:
a. Mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan
hargabarang dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang
dan/atau jasa;
b. Mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa;
c. Memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang
dan/ataujasa;
d. Tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa;
e. Mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang
ataupersetujuan yang bersangkutan;
f. Melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan
perundangundanganmengenaiperiklanan.
(1) Pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah
melanggarketentuan pada ayat (1).
Bab 5 Undang-undang nomor 8 tahun 1999 mengenai ketentuan pencantuman
klausula baku. Bab ini terdiri dari pasal 18.
Pasal 18
(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan
untukdiperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku
pada setiapdokumen dan/atau perjanjian apabila:
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
barangyang dibeli konsumen;
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
uang yangdibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh
konsumen;
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik
secaralangsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan
sepihak yangberkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran;
e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau
pemanfaatanjasa yang dibeli oleh konsumen;
f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau
Mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan
baru,tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak
oleh pelakuusaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang
dibelinya;
h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha
untukpembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap
barang yangdibeli oleh konsumen secara angsuran.
(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau
bentuknya sulitterlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang
pengungkapannya sulitdimengerti.
(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen
atauperjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2)dinyatakan batal demi hukum.
(4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan
undangundangini.
Bab 6 Undang-undang nomor 8 tahun 1999 mengenai tanggung jawab pelaku
usaha.Bab ini terdiri dari pasal 19 sampai dengan pasal 28.
Pasal 19
(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas
kerusakan,pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi
barang dan ataujasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian
uangatau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya,
atauperawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan
ketentuanperaturan perundang-undanganyang berlaku.
(3) Pemberian gantirugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari
setelahtanggal transaksi.Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) tidak
(4) Menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan
pembuktian lebihlanjut mengenai adanya unsur kesalahan.Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabilapelaku
usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan
kesalahankonsumen.
Pasal 20
Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan
segala akibatyang ditimbulkan oleh iklan tersebut.
Pasal 21
(1) Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor
apabilaimportasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan
produsen luarnegeri.
(2) Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing apabila
penyediaan jasaasing tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan
penyedia jasa asing.
Pasal 22
Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana
sebagaimanadimaksud dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan
beban dantanggungjawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa
untuk melakukanpembuktian.
Pasal 23
Pelaku usaha yang menolak dan atau tidak memberi tanggapan dan atau tidak
memenuhiganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19 ayat (1),ayat (2),ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui badan
penyelesaian sengketa konsumen ataumengajukan ke badan peradilan di tempat
kedudukan konsumen.
Pasal 24
1. Pelaku usaha yang menjual barang dan atau jasa kepada pelaku usaha lain
bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan atau gugatan konsumen
apabila:
a. Pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan
apa punatas barang dan/atau jasa tersebut;
b. Pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya
perubahanbarang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau
tidak sesuai dengancontoh, mutu, dan komposisi.
2. Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari tanggung
jawabatas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku
usaha lain yangmembeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada
konsumen dengan melakukanperubahan atas barang dan/atau jasa tersebut.
Pasal 25
1. Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan
dalambatas waktu sekurang-kurangnya1 (satu) tahun wajib menyediakan suku
cadangdan/atau fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi
sesuai denganyang diperjanjikan.
2. Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas
tuntutanganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut:
a. Tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas
perbaikan;
b. Tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang
diperjanjikan.
Pasal 26
Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau
garansi yangdisepakati dan/atau yang diperjanjikan.
Pasal 27
Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas
kerugianyang diderita konsumen, apabila:
a. Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak
dimaksudkan untukdiedarkan;
b. Cacat barang timbul pada kemudian hari;
c. Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;
d. Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen;
e. Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli
atau lewatnyajangka waktu yang diperjanjikan.
Pasal 28
Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi
sebagaimanadimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban
dan tanggungjawabpelaku usaha.
Bab 7 Undang-undang nomor 8 tahun 1999 mengenai pembinaan dan
pengawasan.Bagian pertama mengenai pembinaan yang terdiri dari pasal
29.Sedangkan, bagian kedua mencakup pengawasan yang terdapat dalam pasal
30.
Pasal 29
1. Pemerintah bertanggungjawab atas pembinaan penyelenggaraan
perlindungankonsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan
pelaku usaha sertadilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha.
2. Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan
konsumensebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri
dan/atau menteriteknis terkait.
3. Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan koordinasi atas
penyelenggaraan perlindungan konsumen.
4. Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud
padaayat (2) meliputi upaya untuk:
a. Terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara
pelaku usahadan konsumen;
b. Berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
c. Meningkatnya kualitas sumberdaya manusia serta meningkatnya
kegiatanpenelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen.
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan penyelenggaraan perlindungan
konsumendiatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 30
1. Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta
penerapanketentuan peraturan perundang-undangannyadiselenggarakan oleh
pemerintah,masyarakat,dan lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat.
2. Pengawasan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakanoleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait.
3. Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen
swadayamasyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar
di pasar.
4. Apabila hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
ternyatamenyimpang dari peraturan perundangundanganyang berlaku dan
membahayakankonsumen, Menteri dan/atau menteri teknis mengambil
tindakan sesuai denganperaturan perundangundanganyang berlaku.
5. Hasil pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga
perlindungankonsumen swadaya masyarakat dapat disebarluaskan kepada
masyarakat dan dapatdisampaikan kepada Menteri dan menteri teknis.
6. Ketentuan pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1),ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bab 8 Undang-undang nomor 8 tahun 1999 mengenai badan perlindungan
konsumen nasional.Bagian Pertama mencakup Nama, Kedudukan, Fungsi, dan
Tugas.
Pasal 31
Dalam rangka mengembangkan upaya perlindungan konsumen dibentuk Badan
Perlindungan Konsumen Nasional.
Pasal 32
Badan Perlindungan Konsumen Nasional berkedudukan di Ibu Kota Negara
RepublikIndonesia dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Pasal 33
Badan Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai fungsi memberikan saran
danpertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan
konsumen diIndonesia.
Pasal 34
1. Untuk menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33,
BadanPerlindungan Konsumen Nasional mempunyai tugas:
a. Memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka
penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen;
b. Melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-
undanganyang berlaku di bidang perlindungan konsumen;
c. Melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut
keselamatan konsumen;
d. Mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat;
e. Menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan
konsumen danmemasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen;
f. Menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat,
lembaga
g. Perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha;
h. Melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen.
2. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
BadanPerlindungan Konsumen Nasional dapat bekerjasama dengan
organisasi konsumeninternasional.
Bagian Kedua
Susunan Organisasi dan Keanggotaan
Pasal 35
1. Badan Perlindungan Konsumen Nasional terdiriatas seorang ketua merangkap
anggota,seorang wakil ketua merangkap anggota, serta sekurang-
kurangnya15 (lima belas)orang dan sebanyak-banyaknya25 (duapuluh lima)
orang anggota yang mewakilisemua unsur.
2. Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional diangkat dan
diberhentikan olehPresiden atas usul Menteri, setelah dikonsultasikan kepada
Dewan Perwakilan RakyatRepublikIndonesia.
3. Masa jabatan ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Perlindungan Konsumen
Nasionalselama (3) tiga tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali
masa jabatanberikutnya.
4. Ketua dan wakil ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional dipilih oleh
anggota.
Pasal 36
Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional terdiri atas unsur:
a. Pemerintah;
b. Pelaku usaha;
c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
d. Akademis; dan
e. Tenaga ahli.
Pasal 37
Persyaratan keanggotaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah:
a. Warga negara Republik Indonesia;
b. Berbadan sehat;
c. Berkelakuan baik;
d. Tidak pernah dihukum karena kejahatan;
e. Memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen;
dan
f. Berusia sekurang-kurangnya30 (tiga puluh) tahun.
Pasal 38
Keanggotaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional berhenti karena:
a. Meninggaldunia;
b. Mengundurkan diri atas permintaan sendiri;
c. Bertempat tinggal di luar wilayah republik indonesia;
d. Sakit secara terus menerus;
e. Berakhir masa jabatan sebagai anggota; atau
f. Diberhentikan.
Pasal 39
1. Untuk kelancaran pelaksanaan tugas, Badan Perlindungan Konsumen,
Nasional dibantuoleh sekretariat.
2. Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang
sekretaris yangdiangkat oleh Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
3. Fungsi, tugas, dan tata kerja sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diaturdalam keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
Pasal 40
1. Apabila diperlukan Badan Perlindungan Konsumen Nasional dapat
membentukperwakilan di Ibu Kota Daerah Tingkat I untuk membantu
pelaksanaan tugasnya.
2. Pembentukan perwakilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
lebih lanjutdengan keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen
Nasional.
Pasal 41
Dalam pelaksanaan tugas, Badan Perlindungan Konsumen Nasional bekerja
berdasarkantata kerja yang diatur dengan keputusan Ketua Badan Perlindungan
Konsumen Nasional.
Pasal 42
Biaya untuk pelaksanaan tugas Badan Perlindungan Konsumen Nasional
dibebankan kepadaanggaran pendapatan dan belanja negara dan sumber lain yang
sesuai dengan peraturanperundang-undanganyang berlaku.
Pasal 43
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan Badan Perlindungan
Konsumen Nasionaldiatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bab 9 Undang-undang nomor 8 tahun 1999 mengenai lembaga perlindungan
konsumen swadaya masyarakat
Pasal 44
1. Pemerintah mengakui lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat
yangmemenuhi syarat.
2. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat memiliki kesempatan
untukberperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen.
3. Tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat meliputi
kegiatan:
a. Menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak
dankewajiban dan kehatihatiankonsumen dalam mengkonsumsi barang
dan/ataujasa;
b. Memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;
c. Bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan
perlindungankonsumen;
d. Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk
menerima
Keluhan atau pengaduan konsumen;
e. Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap
Pelaksanaan perlindungan konsumen.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas lembaga perlindungan konsumen
swadayamasyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Bab 10 Undang-undang nomor 8 tahun 1999 mengenai penyelesaian sengketa
Bagian Pertama
Umum
Pasal 45
1. Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui
lembaga yangbertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku
usaha atau melaluiperadilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
2. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau
diluarpengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
3. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) tidakmenghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam
Undang-undang.
4. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan,gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya
tersebut dinyatakantidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak
yang bersengketa.
Pasal 46
(1) Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:
a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;
b. Kelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;
c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi
syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran
dasarnyamenyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi
tersebut adalahuntuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah
melaksanakan kegiatansesuai dengan anggaran dasarnya;
d. Pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang
dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar
dan/atau korbanyang tidak sedikit.
2. Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan
konsumenswadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b,huruf c,atau huruf d diajukan kepada peradilan umum.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian materi yang besar dan/atau korban
yang tidaksedikit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diatur dengan
PeraturanPemerintah.
Bagian Kedua
Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan
Pasal 47
Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk
mencapaikesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau
mengenai tindakan tertentuuntuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak
akan terulang kembali kerugian yangdiderita oleh konsumen.
Bagian Ketiga
Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan
Pasal 48
Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan
tentangperadilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam
Pasal 45.
Bab 11 Undang-undang nomor 8 tahun 1999 mengenai badan penyelesaian
sengketa konsumen
Pasal 49
1. Pemerintah membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen di Daerah
Tingkat IIuntuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan.
2. Untuk dapat diangkat menjadi anggota badan penyelesaian sengketa
konsumen,seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Warga negara Republik Indonesia;
b. Berbadan sehat;
c. Berkelakuan baik;
d. Tidak pernah dihukum karena kejahatan;
e. Memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan
konsumen;
f. Berusia sekurang-kurangnya30 (tiga puluh) tahun.
3. Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas unsur pemerintah,
unsure konsumen, dan unsur pelaku usaha.
4. Anggota setiap unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berjumlah
sedikit-dikitnya3(tiga) orang, dan sebanyak-banyaknya5 (lima) orang.
5. Pengangkatan dan pemberhentian anggota badan penyelesaian sengketa
konsumenditetapkan oleh Menteri.
Pasal 50
Badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal
49 ayat (1)terdiri atas:
a. Ketua merangkap anggota;
b. Wakil ketua merangkap anggota;
c. Anggota.
Pasal 51
1. Badan penyelesaian sengketa konsumen dalam menjalankan tugasnya
dibantu olehsekretariat.
2. Sekretariat badan penyelesaian sengketa konsumen terdiri atas kepala
sekretariat dananggota sekretariat.
3. Pengangkatan dan pemberhentian kepala sekretariat dan anggota sekretariat
badanpenyelesaian sengketa konsumen ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 52
Tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen meliputi:
a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan
cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;
b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
c. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
d. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran
ketentuan dalam undang-undangini;
e. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen
tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
f. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan
konsumen;
g. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran
terhadap perlindungan konsumen;
h. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang
yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang-undangini;
i. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi,
saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan
huruf h, yang tidak bersediamemenuhi panggilan badan penyelesaian
sengketa konsumen;
j. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti
lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;
k. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak
konsumen;
l. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan
pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
m. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar
ketentuan undang-undangini.
Pasal 53
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang badan
penyelesaiansengketa konsumen Daerah Tingkat II diatur dalam surat keputusan
menteri.
Pasal 54
1. Untuk menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen, badan
penyelesaiansengketa konsumen membentuk majelis.
2. Jumlah anggota majelis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ganjil dan
sedikit-dikitnya3 (tiga) orang yang mewakili semua unsur sebagaimana
dimaksud dalamPasal 49 ayat (3), serta dibantu oleh seorang panitera.
3. Putusan majelis final dan mengikat.
4. Ketantuan teknis lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas majelis diatur
dalam suratkeputusan menteri.
Pasal 55
Badan penyelesaian sengketa konsumen wajib mengeluarkan putusan paling
lambat dalamwaktu 21 (dua puluh satu) hari kerja setelah gugatan diterima.
Pasal 56
1. Dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak menerima putusan
badanpenyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55
pelakuusaha wajib melaksanakan putusan tersebut.
2. Para pihak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri paling
lambat 14(empatbelas) hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan
tersebut.
3. Pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu
sebagaimanadimaksud pada ayat (2) dianggap menerima putusan badan
penyelesaian sengketakonsumen.
4. Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) tidak
dijalankanoleh pelaku usaha, badan penyelesaian sengketa konsumen
menyerahkan putusantersebut kepada penyidik untuk melakukan penyidikan
sesuai dengan ketentuanperundangundanganyang berlaku.
5. Putusan badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada
ayat (3)merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk
melakukan penyidikan.
Pasal 57
Putusan majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (3)
dimintakan penetapaneksekusinya kepada Pengadilan Negeri di tempat konsumen
yang dirugikan.
Pasal 58
1. Pengadilan Negeri wajib mengeluarkan putusan atas keberatan sebagaimana
dimaksuddalam Pasal 56 ayat (2) dalam waktu paling lambat 21 (duapuluh
satu) hari sejakditerimanya keberatan.
2. Terhadap putusan Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
para pihakdalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dapat mengajukan
kasasi ke MahkamahAgung Republik Indonesia.
3. Mahkamah Agung Republik Indonesia wajib mengeluarkan putusan dalam
waktu palinglambat 30 (tiga puluh) hari sejak menerima permohonan kasasi.
Bab 12 Undang-undang nomor 8 tahun 1999 mengenai penyidikan
Pasal 59
1. Selain Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri
Sipil tertentudilingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya dibidangperlindungan konsumen juga diberi wewenang
khusus sebagai penyidik sebagaimanadimaksud dalam Undang-
undangHukum Acara Pidana yang berlaku.
2. Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)berwenang:
a. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan
berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
b. Melakukan pemeriksaan terhadap orang lain atau badan hukum yang
diduga melakukan tindak pidana dibidang perlindungan konsumen;
c. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum
sehubungan dengan peristiwa tindak pidana dibidang perlindungan
konsumen;
d. Melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain
berkenaan
e. Dengan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
f. Melakukan pemeriksaan ditempat tertentu yang diduga terdapat bahan
bukti serta melakukan penyitaan terhadap barang hasil pelanggaran yang
dapat dijadikanbukti dalam perkara tindak pidana di bidang perlindungan
konsumen.
g. Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak
pidana di bidang perlindungan konsumen.
3. Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)memberitahukan dimulainya penyidikan dan hasil penyidikannya kepada
PenyidikPejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
4. Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)menyampaikan hasil penyidikan kepada Penuntut Umum melalui Penyidik
Pejabat PolisiNegara Republik Indonesia.
Bab 13 Undang-undang nomor 8 tahun 1999 mengenai s a n k s i
Bagian Pertama
Sanksi Administratif
Pasal 60
1. Badan penyelesaian sengketa konsumen berwenang menjatuhkan sanksi
administratifterhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) dan
ayat (3), Pasal 20, Pasal25 dan Pasal 26.
2. Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp
200.000.000,00(duaratus juta rupiah).
3. Tata cara penetapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diaturlebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Sanksi Pidana
Pasal 61
Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya.
Pasal 62
1. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
8, Pasal9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a,
huruf b, huruf c,hurufe, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun ataupidana denda paling banyak Rp
2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
2. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11, Pasal12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1)
huruf d dan huruf fdipidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana
denda paling banyakRp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3. Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat
tetap ataukematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.
Pasal 63
Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat
dijatuhkan hukumantambahan, berupa:
a. Perampasan barang tertentu;
b. Pengumuman keputusan hakim;
c. Pembayaran ganti rugi;
d. Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya
kerugian konsumen;
e. Kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
f. Pencabutan izin usaha.
Bab 14 Undang-undang nomor 8 tahun 1999 mengenai ketentuan peralihan
Pasal 64
Segala ketentuan peraturan perundang-undanganyang bertujuan melindungi
konsumenyang telah ada pada saat undang- undangini diundangkan, dinyatakan
tetap berlakusepanjang tidak diatur secara khusus dan/atau tidak bertentangan
dengan ketentuan dalamundang-undangini.
Bab 15 Undang-undang nomor 8 tahun 1999 mengenai ketentuan penutup
Pasal 65
Undang-undangini mulai berlaku setelah 1 (satu) tahun sejak diundangkan.Agar
setiaporang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undangundangini
denganpenempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Kasus-Kasus Yang Terkait Dengan Perlindungan Konsumen
Pelanggaran Hak Konsumen pada Kasus BBM
Pada kasus kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), masyarakat
konsumen tetaplah menjadi objek penderita meskipun akan diupayakan adanya
subsidi dan kompensasi dalam berbagai bentuk. Ini berarti bahwa produk-produk
kebijakan pemerintah di bidang ekonomi, yang ditandai dengan kenaikan elpiji
dan harga BBM semakin memperjelas beban masyarakat sebagai konsumen akan
semakin berat.
Apa yang dilakukan pemerintah saat ini sama sekali bertentangan dengan
ketentuan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).
Sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal 29 UUPK, bahwa pemerintah
bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen
yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta
dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha. Secara teknis, kewajiban
pemerintah itu dilaksanakan oleh menteri, atau menteri teknis terkait.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang seharusnya memperjuangkan nasib
rakyat, ternyata sekadar stempel pemerintah agar kebijakan-kebijakan yang
diambil dapat memperoleh legitimasi dari masyarakat.Kalaupun terjadi perubahan
dalam hal persentase kenaikannya, nilai perubahan itu dapat dipastikan tidak
sesuai dengan kondisi yang berkembang dan tuntutan masyarakat.Rakyat menjerit
karena harga-harga sudah telanjur meningkat jauh sebelum kepastian kenaikan
harga BBM diputuskan. Meskipun pemerintah secara aktif dan terus-menerus
melakukan sosialisasi, kenyataannya upaya tersebut tidak akan mampu
mempengaruhi melambungnya harga-harga.
Evaluasi yang dilakukan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)
menyebutkan, bidang pengaduan YLKI menerima 457 pengaduan konsumen
(melalui surat dan datang langsung).Jumlah pengaduan di atas sebenarnya belum
tercakup unit bisnis atau usaha massa, seperti BBM. Bayangkan saja, jika
kenaikan harga BBM yang dilakukan pemerintah, dalam hal ini Pertamina, jumlah
pengaduan mungkin akan bertambah banyak dan tidak terhitung jumlahnya.
Pengaduan tersebut bisa secara perseorangan (individu) ataupun organisasi/
lembaga.Tapi yang perlu kita pahami di sini adalah kenyataan bahwa masyarakat,
terutama masyarakat kecil tetap menjadi korban.Dengan demikian, eksistensi
UUPK tampaknya semakin melenceng tidak sesuai yang sebagaimana seharusnya.
Bila kita tarik ke belakang, secara historis, UUPK lahir dimaksudkan
untuk lebih memberdayakan konsumen. Konsumen tidak lagi dijadikan sebagai
target pasar semata, melainkan dapat menjadi mitra dan jaminan pasar jangka
panjang. Atas dasar itulah, maka pada tanggal 20 April 1999 pemerintahan
Habibie mengesahkannya menjadi UU, dan mulai berlaku sejak 1 Januari 2000.
Ini berarti usia UUPK hampir memasuki usia 12 tahun, dan hebatnya, setiap
memasuki tahun baru konsumen selalu menyambutnya dengan kenaikan harga-
harga, termasuk elpiji dan BBM.
Cukup sudah selama 12 tahun mungkin untuk proses implementasi
sehingga target yang diharapkan dari UUPK dapat tercapai. Akan tetapi apa yang
menyebabkan UUPK tidak dapat diimplementasikan sampai saat ini? Dilihat dari
perkembangan yang ada, UUPK tidak berjalan dengan baik disebabkan oleh
beberapa hal, adalah sebagai berikut:
1. UUPK adalah warisan kabinet Habibie. Kebiasaan yang terjadi di negara
kita adalah bahwa setiap ada pergantian kepemimpinan (kabinet), maka
akan diikuti dengan pergantian kebijakan, sehingga pemerintahan yang
baru hanya mengutamakan produk kebijakannya untuk memperoleh
popularitas. Kebijakan lama yang dibuat oleh pemerintahan sebelumnya
hanya dipandang sebagai suatu proses dan bukan pada nilai
kemanfaatannya.
2. Adanya tarik-menarik kekuasaan. Apa yang tergambarkan saat ini di mana
hampir pada setiap partai politik selalu muncul konflik internal. Masing-
masing kelompok menginginkan posisi dan kedudukan yang lebih besar.
Pada kasus kenaikan harga BBM, orang-orang yang ada di DPR tidak
memiliki kemauan kuat untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat
dengan cara mengkaji lebih mendalam faktor penyebab dan bentuk
kompensasi yang efektif atas kenaikan tersebut.
3. Lemahnya perangkat hukum dan kurang tegasnya aparatur. Kondisi yang
terakhir ini memang telah dirasakan jauh sebelum UU itu disahkan. Peta
hukum kita yang masih berpihak pada kelompok atau individu yang kuat
menjadikan konsumen kita selalu lemah di hadapan hukum.
Adapun contoh-contoh kasus tidak seriusnya pemerintah dalam menangani
perlindungan hak-hak konsumen, adalah sebagai berikut:
a. Kasus Ajinomoto
b. Kasus Kratingdaeng
c. Kasus Minuman Tradisional
d. Kasus Obat nyamuk
e. Kasus obat-obat impor dan lain-lain
Dan juga belum termasuk masalah-masalah yang terkait dengan pelayanan
publik, seperti tarif listrik, telepon dan PDAM.Kasus-kasus tersebut hilang begitu
saja, dan bahkan muncul dengan tampilan baru. Kasus-kasus tersebut tidak
mampu diselesaikan secara tuntas mengingat masyarakat harus berhadapan
dengan para pengusaha besar (konglomerat) yang terkadang ikut menyetir
jalannya proses hukum. Dalam istilah yang sederhana bisa dikatakan bahwa
konsumen Indonesia telah termakan oleh hukum yang melindungi mereka sendiri.
Menyikapi kondisi yang terjadi saat ini, pemerintah dan lembaga-lembaga
terkait tidak boleh tinggal diam. Kita memang patut mendukung upaya-upaya
yang dilakukan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan elemen
mahasiswa yang selalu mengkritisi munculnya kebijakan kenaikan harga-harga.
Maka untuk menegakkan UUPK dan perlindungan hak-hak konsumen perlu di
ingat dan dipertahankan sebagai berikut:
1. UUPK menjamin hak-hak konsumen sebagaimana diatur dalam pasal 4
UUPK bahwa konsumen dilindungi haknya atas informasi yang benar,
jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa (poin
c). Dalam hal ini pemerintah harus dapat menjamin bahwa kenaikan harga
BBM harus betul-betul didasarkan atas perhitungan untung rugi
(matematik), dan barang yang diperjualbelikan benar-benar layak untuk
dikonsumsi.
2. Konsumen juga dilindungi haknya untuk didengar pendapat dan
keluhannya atas barang dan jasa yang digunakan (poin d). Banyaknya
minyak oplosan yang beredar, harus menjadi perhatian pemerintah, karena
hal itu tentu akan merugikan konsumen sebagai pemakai. Pelayanan yang
benar dan jujur, serta tidak diskriminatif juga merupakan hak-hak
konsumen yang harus diperhatikan. Apabila ketentuan-ketentuan di atas
tidak dipenuhi secara baik oleh badan usaha (pelaku usaha dan lembaga
pemerintahan), maka menjadi hak konsumen untuk mendapatkan
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian terhadap sesuatu yang tidak
sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
3. Peran serta dan keterlibatan pihak-pihak terkait seperti, Badan
perlindungan Konsumen Indonesia (BPKN, Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK), dan lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat (LPKSM), yang diwakili oleh YLKI, serta kelompok-
kelompok mahasiswa diharapkan dapat menjadi kontrol utama atas
kebijakan-kebijakan pemerintah. Sehingga, UUPK sangat strategis
dalam meningkatkan harkat dan martabat konsumen yang masih sering
diabaikan oleh para pelaku bisnis termasuk pemerintah.
Sehingga tercapailah keselarasan dan keseimbangan antara pihak penegak
hukum dan konsumen yang mana konsumen adalah salah satu aset yang mana
untuk menbantu dan ikut serta dalam pembangunan perekonomian di Indonesia
baik secara mikro ataupun secara makro.Di perlukan ketegasan dan konsistensi
penegak hokum untuk menjalankan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen (UUPK).Maka perlu dan wajib kiranya di lindungi hak-hak konsumen
terhadap produk dan jasa selama ini.
Pelanggaran Hak Konsumen pada Kasus Pesawat Wings Air
Di Surabaya, seorang advokat menggugat Lion selaku pemilik Maskapai
Penerbangan Wings Air karena penerbangan molor 3,5 jam. Maskapai tersebut
digugat oleh seorang advokat bernama David ML Tobing. David, lawyer yang
tercatat beberapa kali menangani perkara konsumen, memutuskan untuk
melayangkan gugatan setelah pesawat Wings Air (milik Lion) yang seharusnya ia
tumpangi terlambat paling tidak sembilan puluh menit.
Kasus ini terjadi pada 16 Agustus lalu.Ia berencana terbang dari Jakarta ke
Surabaya, pukul 08.35 WIB. Tiket pesawat Wings Air sudah dibeli.Hingga batas
waktu yang tertera di tiket, ternyata pesawat tak kunjung berangkat. David
mencoba mencari informasi, tetapi ia merasa kurang mendapat pelayanan. Pendek
kata, keberangkatan pesawat telat dari jadwal.
David menuding Wings Air telah melakukan perbuatan melawan hukum
dengan keterlambatan keberangkatan dan tidak memadainya layanan informasi
petugas maskapai itu di bandara. Selanjutnya David mengajukan gugatan terhadap
kasus tersebut ke pengadilan untuk memperoleh ganti rugi serta meminta
pengadilan untuk membatalkan klausul baku yang berisi pengalihan tanggung
jawab maskapai atas keterlambatan, hal mana dilarang oleh Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Dalam kasus yang menimpa David, tindakan yang dilakukan oleh pihak
Manajemen Wings Air dengan mencantumkan klausula baku pada tiket
penerbangan secara tegas merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum
perlindungan konsumen, sehingga terhadapnya dapat diklasifikasikan sebagai
tindak pidana ekonomi dalam arti luas.
Bila berbicara tentang hukum perlindungan konsumen maka kita harus pula
membicarakan tentang UU.RI No. 8 Tahun 1999 (UUPK).UUPK lahir sebagai
jawaban atas pembangunan dan perkembangan perekonomian dewasa ini.
Konsumen sebagai motor penggerak dalam perekonomian kerap kali berada
dalam posisi lemah atau tidak seimbang bila dibandingkan dengan pelaku usaha
dan hanya menjadi alat dalam aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang
sebesar-besarnya oleh pelaku usaha.
Berdasarkan penjelasan umum atas Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 8 Tahun 1999 disebutkan bahwa faktor utama yang menjadi kelemahan
konsumen dalam perdagangan adalah tingkat kesadaran konsumen masih amat
rendah yang selanjutnya diketahui terutama disebabkan oleh rendahnya
pendidikan konsumen. Mengacu pada hal tersebut, UUPK diharapkan menjadi
landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen
swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui
pembinaan dan pendidikan konsumen.Sehingga diharapkan segala kepentingan
konsumen secara integratif dan komprehensif dapat dilindungi.
Perlindungan konsumen sebagaimana pasal 1 ayat (1) menyebutkan arti dari
perlindungan konsumen yakni : segala upaya yang menjamin adanya kepastian
hukum untuk memberi kepada konsumen. Sedangkan arti yang tidak kalah
penting ialah Konsumen, yakni setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain
maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Kata tidak
diperdagangkan ini berarti konsumen yang dilindungi ialah konsumen tingkat
akhir dan bukanlah konsumen yang berkesempatan untuk menjual kembali atau
reseller consumer.
Perlindungan konsumen sesuai dengan pasal 3 Undang-undang
Perlindungan Konsumen, bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemampuan
dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri, mengangkat harkat dan
martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakaian
barang dan/atau jasa, meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,
menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen, menciptakan sistem
perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan
keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi, menumbuhkan
kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga
tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha, meningkatkan
kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang
dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.
Tindakan Wings Air mencantumkan klausula baku pada tiket penerbangan
yang dijualnya, dalam hal ini menimpa David, secara tegas bertentangan dengan
Pasal 62 Jo. Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia tentang Perlindungan
Konsumen dimana terhadapnya dapat dipidana penjara paling lama 5 tahun atau
pidana denda paling banyak RP. 2.000.000.000,-, namun dengan tidak
mengesampingkan prinsip Ultimum Remedium.
Yang dimaksud dengan klausula baku adalah segala klausula yang dibuat secara
sepihak dan berisi tentang pengalihan tanggung jawab dari satu pihak kepada
pihak yang lain.
Selanjutnya berdasarkan penjelasan Pasal 18 ayat (1) UUPK disebutkan
bahwa tujuan dari pelarangan adalah semata-mata untuk menempatkan kedudukan
Konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan
berkontrak.Selain itu khusus mengenai penerbangan, berdasarkan konvensi
Warsawa ditentukan perusahaan penerbangan tidak boleh membuat perjanjian
yang menghilangkan tanggung jawabnya.
Dalam kasus disebutkan bahwa, pada tiket penerbangan yang
diperjualbelikan memuat klausul “Pengangkut tidak bertanggung jawab atas
kerugian apapun juga yang ditimbulkan oleh pembatalan dan/atau keterlambatan
pengangkutan ini, termasuk segala kelambatan datang penumpang dan/atau
kelambatan penyerahan bagasi”. Berdasarkan pendapat saya, hal tersebut jelas
merupakan suatu bentuk klausula baku mengingat klausul yang termuat dalam
tiket tersebut dibuat secara sepihak oleh pihak Manajemen Wings Air yang
berisikan pengalihan tanggung jawab dalam hal terjadi kerugian dari pihak
manajemen kepada penumpang. Atas dimuatnya klausula tersebut jelas dapat
merugikan kepentingan konsumen.Penyedia jasa dapat serta merta melepaskan
tanggung jawabnya atas kerugian yang timbul baik yang ditimbulkan oleh
penyedia jasa sendiri maupun konsumen.Sehingga dapat disimpulkan bahwa
tindakan yang dilakukan oleh Wings Air selaku peusahaan milik Lion Air
bertentangan dengan pasal 18 UUPK dan Konvensi Warsawa tentang
penerbangan.
Terkait dengan penegakan hukum perlindungan konsumen, khususnya
mengenai pelarangan pemasukan klausula baku dalam setiap aktivitas
perdagangan, menurut pendapat saya belum berjalan dengan efektif dan sesuai
harapan. Disana-sini penggunaan klausula tersebut masih marak dan cukup akrab
dalam setiap aktivitas perekonomian. Selain itu, sampai sejauh ini pun
penggunaan sangsi pidana belum pernah diterapkan dalam setiap tindakan
pencantuman klausula baku. Hal tersebut menurut pendapat saya merupakan
indikator bahwa Undang-Undang No.8 Tahun 1999 belum ditaati dan diterapkan
dengan baik melainkan sejauh ini baru sampai pada tahap pemahaman dan
sosialisasi.
Pelanggaran Hak Konsumen pada Kasus Susu
Di Indonesia, nasib perlindungan konsumen masih berjalan tertatih-tatih.
Hal-hal menyangkut kepentingan konsumen memang masih sangat miskin
perhatian. Setelah setahun menunggu, Kementerian Kesehatan akhirnya
mengumumkan hasil survei 47 merek susu formula bayi untuk usia 0-6 bulan.
Hasil survei menyimpulkan, tidak ditemukan bakteri Enterobacter sakazakii.
Hasil ini berbeda dengan temuan peneliti Institut Pertanian Bogor, yang
menyebutkan, 22,73% susu formula (dari 22 sampel), dan 40% makanan bayi
(dari 15 sampel) yang dipasarkan April hingga Juni 2006 terkontaminasi E
sakazakii.
Apa pun perbedaan yang tersaji dari kedua survei tersebut, yang jelas,
kasus susu formula ini telah menguak fakta laten dan manifes menyangkut
perlindungan konsumen. Ini membuktikan bahwa hal-hal menyangkut
kepentingan (hukum) konsumen rupanya memang masih miskin perhatian dalam
tata hukum kita, apalagi peran konsumen dalam pembangunan ekonomi.
Dalam perlindungan konsumen sesungguhnya ada doktrin yang disebut
strict product liability, yakni tanggung jawab produk yang bertujuan untuk
memberikan perlindungan kepada konsumen. Ini dapat kita lihat dalam Pasal 22
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang
mengatur bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan menjadi
beban dan tanggung jawab pelaku usaha.
Doktrin tersebut selaras dengan doktrin perbuatan melawan hukum (pasal
1365 KUHPerdata) yang menyatakan, “Tiap perbuatan melanggar hukum yang
membawa kerugian bagi orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian, mengganti kerugian tersebut.”
Untuk dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum berdasar pasal
1365 KUHPerdata, suatu perbuatan harus memenuhi unsur-unsur, seperti adanya
perbuatan melawan hukum, adanya unsur kesalahan, kerugian, dan adanya
hubungan sebab-akibat yang menunjukkan adanya kerugian yang disebabkan oleh
kesalahan seseorang.
Unsur-unsur ini pada dasarnya bersifat alternatif.Artinya, untuk memenuhi
bahwa suatu perbuatan melawan hukum, tidak harus dipenuhi semua unsur
tersebut.Jika suatu perbuatan sudah memenuhi salah satu unsur saja, maka
perbuatan tersebut dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum.
Doktrin strict product liability masih tergolong baru dalam doktrin ilmu
hukum di Indonesia.Doktrin tersebut selayaknya dapat diintroduksi dalam doktrin
perbuatan melawan hukum (tort) sebagaimana diatur dalam pasal 1365 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.
Seorang konsumen, apabila dirugikan dalam mengonsumsi barang atau
jasa, dapat menggugat pihak yang menimbulkan kerugian.Pihak di sini bisa berarti
produsen/pabrik, supplier, pedagang besar, pedagang eceran/ penjual ataupun
pihak yang memasarkan produk.Ini tergantung dari siapa yang melakukan atau
tidak melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi konsumen.
Selama ini, kualifikasi gugatan yang masih digunakan di Indonesia adalah
wanprestasi (default).Apabila ada hubungan kontraktual antara konsumen dan
pengusaha, kualifikasi gugatannya adalah wanprestasi.Jika gugatan konsumen
menggunakan kualifikasi perbuatan melawan hukum (tort), hubungan kontraktual
tidaklah disyaratkan.Bila tidak, konsumen sebagai penggugat harus membuktikan
unsur-unsur seperti adanya perbuatan melawan hukum.Jadi, konsumen
dihadapkan pada beban pembuktian berat, karena harus membuktikan unsur
melawan hukum.
Hal inilah yang dirasakan tidak adil oleh konsumen, karena yang tahu
proses produksinya adalah pelaku usahanya. Pelaku usahalah yang harus
membuktikan bahwa ia tidak lalai dalam proses produksinya. Untuk membuktikan
unsur tidak lalai perlu ada kriteria berdasarkan ketentuan hukum administrasi
negara tentang “Tata Cara Produksi Yang Baik” yang dikeluarkan instansi atau
departemen yang berwenang.
Berdasarkan prinsip kesejajaran kedudukan antara pelaku usaha dan
konsumen, hal itu mestinya tidak dengan sendirinya membawa konsekuensi
konsumen harus membuktikan semua unsur perbuatan melawan hukum.Oleh
karena itu, terhadap doktrin perbuatan melawan hukum dalam perkara konsumen,
seyogianya dilakukan deregulasi dengan menerapkan doktrin strict product
liability ke dalam doktrin perbuatan melawan hukum.
Hal ini dapat dijumpai landasan hukumnya dalam pasal 1504 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang menegaskan bahwa penjual bertanggung
jawab adanya cacat tersembunyi pada produk yang dijual.
Menurut doktrin strict product liability, tergugat dianggap telah bersalah
(presumption of quality), kecuali apabila ia mampu membuktikan bahwa ia tidak
melakukan kelalaian/kesalahan. Seandainya ia gagal membuktikan
ketidaklalaiannya, maka ia harus memikul risiko kerugian yang dialami pihak lain
karena mengonsumsi produknya.
Doktrin tersebut memang masih merupakan hal baru bagi Indonesia.
Kecuali Jepang, semua negara di Asia masih memegang teguh prinsip konsumen
harus membuktikan kelalaian pengusaha.
Sekalipun doktrin strict product liability belum dianut dalam tata hukum
kita, apabila perasaan hukum dan keadilan masyarakat menghendaki lain, kiranya
berdasarkan Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang No 14 Tahun 1970, hakim wajib
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat
(living law).
Hasilnya, berkait kasus susu formula ada hal yang patut ditarik pelajaran.
Ternyata, selama ini yang masih terpampang adalah “kedigdayaan” produsen atau
pelaku usaha termasuk pengambil kebijakan.Terlihat, pihak-pihak terkait bersikap
defensif dengan seolah menantang konsumen yang merasa dirugikan untuk
membuktikan unsur “ada/tidaknya kelalaian/ kesalahan” terhadap sebuah produk.
Padahal, pihak-pihak berwenanglah yang harus membuktikan apakah betul ada
kesalahan/kelalaian dalam produknya tersebut.
Pelanggaran Hak Konsumen pada Kasus Munir di Garuda
Garuda sepertinya belum bisa lepas dari bayangan tragedi terbunuhnya
aktivis hak asasi manusia, Munir, di dalam salah satu pesawatnya.Flag carrier itu
dituntut membayar ganti rugi Rp 13,029 miliar oleh Suciwati, istri almarhum
Munir.Selain dianggap tidak memberikan perlindungan terhadap hak-hak
konsumen, perusahaan penerbangan itu juga dinilai tak memenuhi tanggung
jawabnya dalam menjamin keselamatan penumpang.
Seperti diketahui, Munir meninggal dalam perjalanannya menuju Belanda.
Ceritanya, mantan pendiri dan Ketua LSM Kontras itu hendak melanjutkan
pendidikan. Namun, saat di atas Rumania atau dua jam sebelum mendarat di
Bandara Schippol, Amsterdam, laki-laki yang juga aktif di lembaga Imparsial itu
telah wafat.
Meninggalnya aktivis hak asasi manusia itu lantas memicu kontroversi.
Berdasarkan hasil otopsi yang dilakukan oleh tim dokter dari Belanda, kematian
itu disebabkan oleh racun arsen. Kandungan zat beracun di dalam cairan lambung
sebanyak 83,9 miligram per liter, sedangkan dalam darah dan urinenya masing-
masing 3,1 dan 4,8 miligram per liter.
Benar, bahwa pengadilan telah menjatuhkan vonis 14 tahun penjara buat
Pollycarpus Budihari Priyanto.Pilot senior Garuda itu dinyatakan terbukti secara
meyakinkan turut serta melakukan pembunuhan secara berencana.Namun,
hukuman itu lebih rendah dari tuntutan penjara seumur hidup yang diajukan oleh
jaksa.Apalagi, hingga kini dalang di balik tragedi itu tak kunjung terungkap.
Hal-hal itulah yang antara lain memancing Suciwati melayangkan gugatan
terhadap PT Garuda Indonesia Tbk. Kasus ini menunjukkan banyak awak
maskapai penerbangan itu yang tidak profesional dan melanggar ketentuan
keamanan penerbangan. Salah satu contoh adalah seharusnya tidak boleh terjadi
pemindahan tempat duduk dengan alasan apa pun. Tetapi kenyataannya tempat
duduk Munir dipindah sehingga tidak sesuai dengan boarding pass.
Atas kesalahan itu, Garuda pun dianggap telah menabrak Undang-Undang
tentang Perlindungan Konsumen (UU No. 8 Tahun 1999) dan Peraturan
Pemerintah tentang Keamanan dan Keselamatan Penerbangan (PP No. 3 Tahun
2001).
Perusahaan penerbangan itu telah melakukan perbuatan melawan hukum dan
mesti membayar ganti rugi Rp 13,029 miliar kepada penggugat.Kerugian itu
timbul dari penghasilan yang mestinya didapat Munir, uang pendidikan, terapi,
dan obat untuk dua anaknya, serta ongkos yang telah dikeluarkan untuk mengikuti
pendidikan di Belanda.
Sayangnya, pihak Garuda mengaku belum menerima surat resmi dari
pengadilan. Akibatnya, Pudjobroto, Kepala Divisi Komunikasi PT Garuda
Indonesia Tbk., belum mau menanggapi upaya hukum dari Suciwati itu dengan
alasan harus mempelajari dan mengkaji isi gugatan tersebut.
Pelanggaran Hak Konsumen pada Makanan dan Minuman
Masih segar di ingatan, hebohnya kasus formalin pada makanan,
ditariknya produk pengusir nyamuk HIT karena dikhawatirkan mengandung
bahan yang berbahaya bagi keamanan dan keselamatan konsumen. Juga kasus
minuman isotonik yang mengandung zat pengawet berbahaya yang disinyalir oleh
Lembaga Komite Masyarakat Anti Bahan Pengawet (KOMBET) yang di
supervisi oleh LP3ES Jakarta di tahun-tahun lalu ketika meneliti sejumlah produk
minuman isotonik, hasilnya menginformasikan bahwa sejumlah minuman isotonik
mengandung zat pengawet berbahaya yakni natrium benzoat dan kalium sorbet
yang bisa menyebabkan penyakit yang dalam ilmu kedokteran disebut Systemic
Lupus Erythematosus (SLE), yaitu penyakit nan mematikan yang dapat
menyerang seluruh tubuh atau sistem internal manusia ketika antibodi yang
seharusnya melindungi tubuh manusia malah menggerogoti manusia itu sendiri.
Sekarang heboh jamu berbahaya, kosmetik berbahaya, makanan-minuman
mengandung susu produk RRC yang berbahaya, beras mengandung bahan
pengawet berbahaya dan seterusnya.
Semakin terbukanya pasar sebagai akibat dari proses mekanisme pasar
yang berkembang adalah hal yang tak dapat dielakkan. Seringkali dalam transaksi
ekonomi yang terjadi terdapat permasalahan-permasalahan yang menyangkut
persoalan sengketa dan ketidakpuasan konsumen akibat produk yang di
konsumsinya tidak memenuhi kualitas standar bahkan ada yang membahayakan.
Karenanya, adanya jaminan peningkatan kesejahteraan masyarakat serta kepastian
atas mutu, jumlah, dan keamanan barang dan jasa yang diperolehnya di pasar
menjadi urgen.
Berdasarkan UU Nomor Tahun 1999, Perlindungan konsumen adalah
segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi
perlindungan kepada konsumen. Perlindungan konsumen fokusnya bertujuan pada
usaha meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri, mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan jasa, meningkatkan
pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya
sebagai konsumen.
Sebenarnya, adanya UU ini cukup representatif apabila telah dipahami
oleh semua pihak, karena di dalamnya juga memuat tentang upaya menciptakan
sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan
keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi, menumbuhkan
kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga
tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha, kewajiban
mereka untuk meningkatkan kualitas barang dan jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan
dan keselamatan konsumen. Kemudian di dalam UU Perlindungan Konsumenpun,
diatur tentang pelarangan bagi pelaku usaha yang tidak mengikuti ketentuan
berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan
dalam label.
Hak-hak konsumen dalam UU Nomor 8 Tahun 1999, telah diatur secara
jelas. Namun, memang pada realitanya, terkadang konsumen seringkali berada
pada posisi yang kurang menguntungkan dan daya tawarnya lemah. Ini karena
mereka belum memahami hak-hak mereka dan terkadang sudah menganggap itu
persoalan biasa saja. Untuk itu mesti di bangun gerakan secara massif antar
elemen masyarakat yang peduli terhadap advokasi kepentingan konsumen.
Dalam hal ini, peran lembaga yang bergerak di bidang perlindungan
konsumen menjadi penting, peran-peran ini diakui oleh pemerintah. Lembaga
perlindungan konsumen yang secara swadaya didirikan masyarakat memiliki
kesempatan untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen.
Lembaga perlindungan konsumen berperan untuk menyebarkan informasi
dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian
konsumen dalam mengkonsumsi barang dan jasa, memberikan nasihat kepada
konsumen yang memerlukannya, serta bekerja sama dengan instansi terkait dalam
upaya mewujudkan perlindungan konsumen, membantu konsumen dalam
memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen,
melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap
pelaksanaan perlindungan konsumen.
Secara nasional, selama ini dapat dinilai bahwa yang bertanggung jawab
terhadap pengawasan peredaran barang-barang dan jasa yang dikonsumsi
masyarakat adalah BPOM dan departemen terkait yang mengeluarkan izin
produksi, perdagangan dan peredaran suatu produk. Mestinya pihak-pihak ini
teliti sebelum mengeluarkan izin terhadap suatu produk, jangan sampai dibohongi
pengusaha, yang akhirnya rakyat dirugikan oleh hadirnya produk yang
membahayakan. Padahal seperti kasus formalin, HIT dan juga minuman isotonik
misalnya, merupakan kasus yang sebenarnya sudah lama diketahui, namun ketika
media ramai-ramai mengangkatnya, barulah mereka bergerak.
Untuk konteks daerah, BPOM dan dinas-dinas terkait juga selalu reaktif
dalam menanggapi persoalan. Seharusnya mereka lebih proaktif dan antisipatif,
bukan menunggu telah muncul kasus ke permukaan akibat keluhan konsumen
baru mereka bertindak.
Kemudian, problem pembinaan terhadap pelaku usaha juga mesti
diperhatikan agar tumbuh kesadaran mereka untuk tidak memproduksi produk-
produk yang tidak berkualitas dan menjualnya kepada konsumen. Lebih lanjut,
penindakan secara hukum mesti tegas agar tidak menjadi preseden buruk dan
kejadiannya berulang.
Untuk itu, konsumenpun perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan,
kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya.
Sosialisasi perlindungan konsumen mesti di lakukan terutama untuk strata sosial
menengah ke bawah, dengan asumsi bahwa untuk konsumen dari strata menengah
ke bawah inilah yang lebih rentan terhadap masalah-masalah yang memerlukan
perlindungan konsumen akibat ketidakpahaman mereka.
Keberpihakan kepada konsumen dimaksudkan untuk meningkatkan sikap peduli
yang tinggi terhadap konsumen (wise consumerism). Untuk peningkatan
kesadaran dan kewaspadaan konsumen, konsumen juga memiliki kewajiban untuk
membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan jasa, demi keamanan dan keselamatan. Maka telitilah
sebelum membeli dan mengkonsumsi suatu produk!
Pelanggaran Hak Konsumen pada Kosmetik Bermerkuri
Razia produk kosmetik yang berasal dari luar negeri seharusnya tidak
perlu dilakukan jika konsumen sadar untuk tidak menggunakan produk yang
mengandung bahan berbahaya bagi tubuh tersebut.Badan Pengawas Obat dan
Makanan (BPOM) Kepri menemukan 179 merek kosmetika berbahaya yang
beredar di Batam.Penemuan ini tentunya bukan suatu hal yang mengejutkan
mengingat letak Batam yang berdekatan dengan negara tetangga Malaysia dan
Singapura.
Razia ini merupakan tindak lanjut keluarnya surat peringatan BPOM
nomor KH.00.01.432.6147 tanggal 26 November 2008 tentang Kosmetik
Mengandung Bahan Berbahaya dan Zat Warna yang Dilarang. Pengujian yang
dilakukan BPOM menyimpulkan terdapat 27 (dua puluh tujuh) merek kosmetik
yang mengandung bahan berbahaya dan zat warna yang dilarang digunakan dalam
kosmetik yaitu : Merkuri (Hg), Asam Retinoat (Retinoic Acid), zat warna
Rhodamin (Merah K.10) dan merah K.3. Penggunaan bahan tersebut dalam
sediaan kosmetik dapat membahayakan kesehatan dan dilarang digunakan
sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI
No.445/MENKES/PER/V/98 Tentang Bahan, Zat Warna, Substratum, Zat
Pengawet dan Tabir Surya pada Kosmetik dan Keputusan Badan POM No
H.K.00.05.4.1745 Tentang Kosmetik.
Merkuri (Hg) / Air Raksa termasuk logam berat berbahaya, yang dalam
konsentrasi kecilpun dapat bersifat racun. Pemakaian Merkuri (Hg) dapat
menimbulkan berbagai hal, mulai dari perubahan warna kulit, yang akhirnya dapat
menyebabkan bintik-bintik hitam pada kulit, alergi, iritasi kulit, kerusakan
permanent pada susunan syaraf, otak, ginjal dan gangguan perkembangan janin
bahkan paparan jangka pendek dalam dosis tinggi dapat menyebabkan muntah-
muntah, diare dan kerusakan ginjal serta merupakan zat karsinogenik
(menyebabkan kanker) pada manusia.
Bahaya penggunaan Tretinoin/Retinoic Acid/Asam Retinoat dapat
menyebabkan kulit kering, rasa terbakar, teratogenik (cacat pada janin).Bahan
pewarna Merah K.10 (Rhodamin B) dan Merah K.3 merupakan zat warna sintetis
yang umumnya digunakan sebagai zat warna kertas, tekstil atau tinta.Zat warna ini
merupakan zat warna karsinogenik (dapat menyebabkan kanker).Rhodamin dalam
konsentrasi tinggi dapat menyebabkan kerusakan hati.
Penggunaan bahan-bahan ini dapat merugikan konsumen.Sehingga BPOM
telah menginstrusikan kepada produsen/importir/distributor untuk melakukan
penarikan produk tersebut dari peredaran dan memusnahkannya. Ancaman
hukumannya pun cukup berat yang melanggar UU no 23 tahun 1992 tentang
Kesehatan yang dapat diancam hukuman pidana 5 (lima) tahun atau denda paling
banyak Rp100.000.000 (seratus juta). Selain itu, pelaku usaha juga dapat
dikenakan tuntutan pelanggaran UU No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen dengan ancaman Pidana Penjara 5 (lima) tahun dan denda paling
banyak Rp2.000.000.000 (dua miliar rupiah). Bagi konsumen, seharusnya berhati-
hati sebelum menggunakan produk kosmetik.Langkah sederhana yang harus
dilakukan adalah melihat kandungan yang terdapat pada produk kosmetik
tersebut.
Selanjutnya adalah melihat apakah produk kosmetik tersebut telah terdaftar pada
BPOM dengan melihat nomor registrasinya.Dan saatnya konsumen pro aktif
untuk mengingatkan pelaku usaha jika menemukan produk kosmetik berbahaya.
Simpulan
Dengan adanya undang-undang perlindungan konsumen maka konsumen
akan mendapatkan hak-haknya selain itu juga diatur tentang kewajibannya. Bukan
hanya konsumen tetapi juga kebijakan menyangkut pelaku usaha.
MAKALAH
PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN INSTRUMEN HUKUMNYA
Kelompok
I Made Dewa Satya P 115020300111038
Devi nur Cahya N 115020300111040
Lu’luil Bahiroh 115020300111041
Elis Nur Rohma 115020300111051
Siti Rodiah Hasana 115020300111066
Fadhilah Mega I 115020300111074
JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2012
DAFTAR PUSTAKA
Ahira, Anne. Perlindungan
konsumen.http://www.anneahira.com/artikel-umum/perlindungan-
konsumen.htm. (online).diakses tanggal 07 Mei 2012.
Ihsan, Soffa. 2011.Kasus Susu Formula dan Perlindungan Konsumen.
http://www.investor.co.id/home/kasus-susu-formula-dan-perlindungan-
konsumen/15923. (online).diakses tanggal 11 Mei 2012.
Kurniawan, Aries.2008.Kosmetik Bermerkuri Sebabkan Kulit Rusak Permanen.http://www.infogue.com/viewstory/2008/12/04/kosmetik_bermerkuri_sebabkan_kulit_rusak_permanen/?url=http://ariesaja.wordpress.com/2008/12/02/merkuri-sebabkan-kulit-rusak-permanen/.(online).diakses tanggal 11 Mei 2012.
Ndud, Okky.2011.Contoh Kasus tentang Perlindungan Konsumen.http://okky-
ddendud.blogspot.com/2011/05/contoh-kasus-tentang-perlindungan.html.
(online).diakses tanggal 11 Mei 2012.
Pratama, Nova Nuriati. 2011. Peranan Lembaga Perlindungan Konsumen
terhadap Hak-Hak Perlindungan
Konsumen.http://nevacipid.blogspot.com/2011/04/pernanan-lembaga-
perlindungan-konsumen.html. (online).diakses tanggal 11 Mei 2012.
Saor, Fernandes Raja. http://raja1987.blogspot.com/2008/11/analisis-kasus-posisi-
perlindungan.html. (online).diakses tanggal 11 Mei 2012.
Wikipedia. 2012. Perlindungan Konsumen.
http://id.wikipedia.org/wiki/Perlindungan_konsumen). (online).diakses
tanggal 07 Mei 2012.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen. (http://prokum.esdm.go.id/uu/1999/uu-
8-1999.pdf). (online).diakses tanggal 07 Mei 2012.
2011.Pengingkaran perlindungan hak-hak konsumen pada kasus bahan bakar
minyak (BBM).http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/05/pengingkaran-
perlindungan-hak-hak-konsumen-pada-kasus-bahan-bakar-minyak-bbm/.
(online).diakses tanggal 11 Mei 2012.