upaya peninjauan kembali (pk) ( analisis hukum...
TRANSCRIPT
UPAYA PENINJAUAN KEMBALI (PK) DALAM PERKARA PIDANA PEMBUNUHAN MUNIR
( ANALISIS HUKUM ISLAM )
SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
Amiril Mujahidin NIM : 102043124906
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing I Pembimbing II
H. Zubair Laini, SH Asmawi, M.Ag NIP : 197210101997031008
KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB FIQIH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1430 H/2009 M
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..............................................................................................
DAFTAR ISI .............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................................. 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ......................................................... 8
C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan ......................................................... 8
D. Metode Penelitian ............................................................................. 9
E. Sistematika Penulisan ....................................................................... 12
BAB II DESKRIPSI YURIDIS PENINJAUAN KEMBALI
A. Pengertian Peninjauan Kembali ........................................................ 14
B. Peninjauan Kembali Menurut Pasal 263 KUHAP ............................ 16
C. Peninjauan Kembali Menurut Undang-Undang No. 04 Tahun 2004
Tentang Kekuasaan Kehakiman ....................................................... 20
BAB III DESKRIPSI TENTANG PENINJAUAN KEMBALI KASUS MUNIR
A. Kronologi Pembunuhan Munir ........................................................ 23
B. Proses Hukum Kasus Munir ............................................................ 28
C. Sidang Peninjauan Kembali Dalam Kasus Munir ............................. 33
D. Tinjauan Yuridis Terhadap Pasal 263 KUHAP Dan Undang-Undang
Tentang Kekuasaan Kehakiman Dalam Kasus Munir ...................... 42
E. Hubungan Antara Pasal 263 KUHAP Dengan Undang-Undang No.4
Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman ................................... 47
BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP UPAYA PENINJAUAN
KEMBALI DALAM PERKARA PIDANA PEMBUNUHAN MUNIR
A. Konsepsi Hukum Acara Pidana Islam .............................................. 52
B. Analisis Hukum Islam Terhadap Prosedur Peninjauan Kembali Kasus
Munir ................................................................................................. 63
C. Pandangan Hukum Islam terhadap Argumentasi Hukum Dalam
Peninjauan Kembali Kasus Munir ................................................... 70
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................................... 77
B. Saran .................................................................................................. 80
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
Hukum yang ideal seharusnya mampu mengakomodir tiga faktor penting yang
menentukan kelayakan sebuah aturan hukum, yakni hukum harus bernilai
yudikatif, sosiologis, dan filosofis. Hanya dengan ketiga faktor tersebut sebuah
hukum memungkinkan untuk diterapkan dalam sebuah komunitas masyarakat
atau dalam sebuah negara. Lebih lanjut dikemukakan bahwa syarat
keberlangsungan sebuah tatanan masyarakat yang sehat diperlukan beberapa
faktor yakni aturan hukum yang baik, aparat penegak hukum yang baik, fasilitas
yang memadai, serta masyarakat yang baik pula.1
Dalam proses penerapan hukum, para penegak hukum akan selalu
menghadapi tantangan antara mengedepankan ketertiban hukum atau ketentraman
umum, dimana keduanya tidaklah kemudian menghendaki pembedaan karena
kedua hal tersebut merupakan satu kesatuan. Ketertiban hukum atau tertib hukum
sangat diperlukan oleh aparat penegak hukum sebagai alat dalam menerapkan
aturan hukum dan memperoleh kepastian hukum, sedangkan ketentraman umum
atau kedamaian yang menjadi cita-cita hukum, dalam beberapa kondisi kadang
tidak selalu selaras dengan kepentingan ketertiban hukum. Seringkali kedua hal
1 Dr. Soerjono Soekanto SH.,MA dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum Dalam
Masyarakat, (Jakarta : CV. Rajawali, 1980), hal. 13-18.
2
tersebut bersinggungan karena ketertiban hukum lebih menyangkut kepetingan
penguasa atau negara, sedangkan segi ketentraman dan kedamaian menyangkut
kepentingan warga negara.2
Salah satu contoh dalam diskursus ini adalah ketika proses peradilan dalam
kasus pembunuhan aktivis HAM Munir, dimana terjadi sebuah terobosan hukum
dalam proses beracara sebagai upaya penyelesaian kasus ini, dimana hal ini telah
melampaui tertib hukum acara pidana yang ada, namun hal ini dipandang perlu
untuk tetap dilakukan oleh pihak kejaksaan demi menjaga tujuan hukum yakni
mewujudkan ketenteraman dalam kehidupan warga negara, karena jika kasus ini
tidak dituntaskan secara adil maka akan melukai rasa keadilan dalam masyarakat.
Maka berangkat dari asumsi apakah putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap sudah memenuhi keadilan materiil atau belum3, maka
Peninjauan kembali (PK) dalam kasus pembunuhan aktivis HAM Munir dengan
termohon Pollycarpus Budihari Priyanto dilakukan oleh jaksa (yang menurut
peraturan dalam KUHAP pasal 263 ayat 1, PK merupakan hak bagi terpidana atau
ahli warisnya) sebagai upaya untuk menjaga wibawa lembaga peradilan. Karena
pemenuhan keadilan atas korban tindak kejahatan merupakan hal yang wajib
dipenuhi oleh negara, karena peran negara adalah melindungi dan mengayomi
2 Dr. Soerjono Soekanto SH., MA dan Mustafa Abdullah........, hal. 25-27. 3 Adi Andojo Soetcipto, Prospek Penyelesaian Kasus Munir Melalui Peninjauan Kembali
Putusam MA, Dalam Komite Solidaritas Aksi Untuk Munir (KASUM), Risalah Kasus Munir, Kumpulan Catatan dan Dokumen Hukum, (Jakarta: C.V. Rinam Antartika, 2007) hal.281.
3
serta mensejahterakan warga negaranya.4 Jadi disamping jaksa mewakili
kepentingan negara disatu pihak jaksa juga mewakili kepentingan korban tindak
kejahatan yang notabene merupakan warga negara yang juga harus mendapatkan
perlindungan di muka pengadilan. Mengutip keterangan Ibn Khaldun, bahwa
negara atau penguasa seringakali memiliki kecenderungan untuk menggunakan
otoritasnya untuk melakukan ketidakadilan, 5 maka negara juga membutuhkan
kontrol dari warga negara itu sendiri. Perwujudan kontrol terhadap negara
difasilitasi melalui undang-undang tentang jaminan perlindungan terhadap
keamanan dan kesejahteraan rakyatnya.
Yang menarik dalam proses peninjauan kembali kasus Munir adalah, bahwa
peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa yang menjadi hak bagi
terdakwa atau ahli warisnya, namun ketentuan ini diterobos oleh jaksa penuntut
umum melalui berbagai argumentasi hukum yang akan penulis paparkan pada
bab-bab selanjutnya.
Jika dalam Pasal 263 KUHAP6 dijelaskan bahwa :
1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
2) Permintaan peninjauan kembali dapat dilakukan atas dasar : a) Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat bahwa jika
keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung,
4 Prof. Dr. Mr. L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1996), Cet. Ke-26, hal. 10-16.
5 Ibn Khaldun, Muqaddimah, Penerjemah: Ahmadie Toha , (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006) Cet. Ke-6, hal. 187-190.
6 Peninjauan Kembali atau PK diatur dalam KUHAP pasal 263-269, Lihat. Dr. Andi Hamzah, KUHP & KUHAP, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004) Cet. Ke-11, hal.339-342.
4
hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
b) Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau kenyataan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
c) Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
3) Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.
Maka pasal ini diterobos oleh pihak kejaksaan dengan menggunakan undang-
undang nomor 4 tahun 2004 pasal 23 tentang kekuasaan kehakiman yang
berbunyi :
Pasal 23
1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang.
2) Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.
Lebih lanjut pihak kejaksaan menambahkan bahwa pasal 23 ayat satu
menjelaskan bahwa pihak-pihak yang berkepentingan dapat mengajukan
peninjauan kembali, sehingga pasal ini mengandung penafsiran bahwa jaksa juga
memiliki hak untuk mengajukan peninjauan kembali kepada mahkamah agung.
Salah satu ketentuan atau syarat dalam mengajukan PK adalah ketika ditemukan
novum atau bukti baru dalam satu perkara pidana yang dapat mengarahkan pada
kebenaran materiil.
5
Namun demikian aturan mengenai peninjauan kembali memang bukanlah
tanpa cela sebagaimana yang akan Penulis sajikan pada bab-bab selanjutnya,
Sebagai pendahuluan dalam pembahasan ini Penulis kemukakan bahwa
Peninjauan Kembali merupakan aturan hukum yang diproduksi pada zaman
kolonial belanda. Sejarah mencatat bahwa pada mulanya peninjauan kembali
dikenal dengan istilah Herziening dimana lembaga ini tidak berlaku bagi
inlander,7 namun para ahli hukum negara kita menyadari bahwa kondisi yang
demikian memberikan peluang bagi penguasa atau negara untuk melakukan
pelanggaran HAM8 tanpa dapat tersentuh oleh hukum, sehingga peninjauan
kembali dirumuskan dalam rangka melindungi terpidana jika di kemudian hari
diketahui telah terjadi kesalahan dalam penerapan hukuman.
Perdebatan juga terjadi seputar ayat-ayat yang ada dalam pasal 263 KUHAP
terutama ayat 3 yang menyatakan bahwa PK dapat diajukan terhadap putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum apabila dalam putusan itu
suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak
diikuti oleh suatu pemidanaan. Ayat ini ditafsirkan oleh kalangan ahli hukum
bahwa putusan bebas yang dalam ayat 1 pasal 263 sedianya tidak dapat diajukan
peninjauan kembali oleh pihak penuntut umum atau jaksa menjadi dapat diajukan
7 S. Tanusubroto, Dasar-dasar hukum acra pidana, (Bandung: C.V. Armico, 1989), Cet. II,
hal. 161. Inlander adalah kata yang digunakan oleh Belanda untuk menyebut penduduk pribumi, yang berarti bahwa penduduk pribumi mendapatkan perlakuan yang lebih rendah daripada warga Belanda.
8 Pelanggaran HAM adalah pelanggaran terhadap hak dasar seseorang karena adanya penyelewengan atau penyalahgunaan otoritas negara. Jadi pelaku pelanggaran HAM adalah selalu aparat negara. Lihat Simon S.H dan Mugiyanto, Mengenal HAM dan Hak Korban Seri Buku Saku , ( Jakarta: Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), Kontras Aceh, Catholic Agency for Overseas Development, t.t) hal. 19.
6
peninjauan kembali jika melihat teks ayat 3 pasal 263, karena dakwaan yang
terbukti tetapi tidak diikuti pemidanaan dapat diartikan sebagai putusan bebas.9
Inilah beberapa kerancuan yang ada dalam pasal-pasal mengenai pengaturan
mekanisme PK.
Jika kita menarik persoalan peninjauan kembali ke dalam sistem hukum Islam
terlebih dahulu harus diketahui bahwa PK merupakan persoalan dalam rangka
proses beracara di muka sidang peradilan, Kesulitan dalam penulisan skripsi ini
adalah bahwa dalam perkuliahan yang sudah Penulis jalani, Penulis hanya
mendapatkan KUHPnya (hukum materiil) hukum Islam saja, tetapi Penulis belum
mendapatkan bagaimana proses beracara atau KUHAPnya hukum Islam sebagai
pedoman melaksanakan proses peradilan di muka persidangan, misalnya yang
berlangsung di beberapa dunia Islam, katakanlah Mesir atau Arab Saudi, , atau
bagaimana proses beracara pada masa Islam generasi nabi atau era sahabat nabi,
atau generasi dinasti-dinasti Islam, sehingga diperoleh preseden mengenai proses
peradilan yang berlaku di dalam hukum Islam. Sehingga ini merupakan
tantangan tersendiri, setidaknya sebagai usaha untuk belajar menggali khazanah
hukum Islam, tanpa niat sama sekali untuk mengecilkan persyaratan ijtihad yang
ditawarkan atau disyaratkan oleh ulama-ulama Islam terdahulu,10 serta sebagai
9 M. Yahya Harahap, S.H, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP ( Jakarta,
Sinar Grafika, 2006 ) Cet. 8, Hal. 649. 10 Karena penting untuk dipahami bahwa al-Qur’an secara berulang-ulang menegaskan
gagasan tentang tanggung jawab dan pertanggung jawaban pribadi. Pada hari akhir tidak seorangpun akan menanggung dosa orang lain dan tidak seorangpun dapat menghapus dosa orang lain. Pada dasarnya, setiap orang harus menyelidiki dan mencari hukum Tuhan, dan kemudian menaatinya dengan penuh keimanan. Namun demikian lebih lanjut dikemukakan bahwa meskipun manusia
7
usaha untuk mewarnai dan memberi solusi dalam pergulatan wacana dalam
hukum Islam.
Ide dalam skripsi ini adalah, bahwa dalam rangka mencari keadilan dan
kebenaran, cara-cara yang melampaui norma-norma yang bersifat positifistik
perlu untuk dilakukan karena hukum yang sudah terpositifisasi kadang sudah
tidak mampu lagi digunakan sebagai upaya mendapatkan keadilan, sementara
bukti-bukti yang dapat mengarahkan didapatkannya kebenaran secara materiil
seringkali terbentur aturan-aturan hukum yang sudah terpositifisasi.
Berdasar pada ide di atas tersebut maka Penulis ingin menelusuri sejauh mana
Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan
dan kebenaran, memberikan dukungan dalam usaha memperjuangkan nilai-nilai
kemanusiaan, keadilan dan kebenaran itu, dalam rangka proses pengungkapan
nilai-nilai dasar tersebut di depan pengadilan di dunia, sebelum mempertanggung
jawabkan semuanya di akhirat nanti.
Kronik dalam pemikiran ini menjadi sesuatu yang menarik karena Penulis
meyakini bahwa nilai dan norma dalam ajaran agama Islam mampu memberikan
ketenteraman dalam kehidupan, menjangkau dan melintasi batas ras, suku, dan
bangsa. Namun tanpa pengkajian yang mendalam, nilai-nilai universal yang ada
dalam hukum Islam menjadi sesuatu yang usang, yang pada akhirnya kita sendiri
dipandang sebagai pelaksana kehendak Tuannya, mereka sebenarnya pelaksana yang tidak sepenuhnya bebas, karena terikat dengan seperangkat instruksi khusus yang dikeluarkan oleh Tuannya. Lihat Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan, Penerjemah R. Cecep Lukman Yasin, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2004). Hal. 51-53.
8
sebagai umat Islam mengkerdilakan peranan Islam dan hukum Islam sebagai
sumber ide dalam mewarnai kehidupan dalam rangka menuju perdamaian.
B. Rumusan dan Batasan Masalah
Dari paparan latar belakang diatas didapat beberapa rumusan permasalahan
berikut ini :
1. Bagaimanakah prosedur peninjauan kembali dalam kasus Munir menurut
KUHAP ?
2. Bagaimanakah substansi argumentasi hukum yang diajukan oleh jaksa
terhadap upaya peninjauan kembali dalam kasus Munir ?
3. Bagaimanakah pandangan hukum Islam terhadap prosedur dan substansi
argumentasi hukum peninjauan kembali dalam kasus Munir ?
Agar pembahasan dalam skripsi ini tidak melebar maka masalah dalam skripsi
ini dibatasi dengan dua hal, yakni :
1. Pandangan hukum Islam mengenai peninjauan kembali dalam kasus Munir.
2. Ketentuan Peninjauan Kembali yang diatur dalam pasal 263 KUHAP dan UU
No. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman.
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Tujuan penulisan skripsi ini adalah :
1. Untuk mengetahui prosedur peninjauan kembali dalam kasus Munir.
9
2. Untuk mengetahui substansi argumentasi hukum yang dipergunakan oleh
jaksa dalam pengajuan peninjauan kembali kasus Munir.
3. Untuk mendeskripsikan pandangan hukum Islam terhadap prosedur dan
substansi argumentasi hukum dalam peninjauan kembali kasus Munir.
Adapun manfaat penelitian ini adalah :
1. Pengembangan wacana bagi hukum pidana Islam.
2. Memberikan informasi tentang hal-hal terkait peninjauan kembali dalam
hukum acara pidana di Indonesia.
3. Memberikan informasi mengenai pandangan hukum Islam terhadap upaya
mencari keadilan keadilan melalui peninjauan kembali seperti yang dilakukan
oleh jaksa dalm kasus Munir.
D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif karena data-data yang
digunakan dalam skripsi ini merupakan data yang bersifat normatif doktriner,
yakni berupa perundang-undangan dan putusan pengadilan.11 Disamping data
primer tersebut, data yang akan digunakan sebagai pendukung juga merupakan
data kualitatif yang merupakan data sekunder berupa artikel, buku-buku terkait
11 Lihat Amiruddin, S.H., M.Hum dan H. Zainal Asikin, S.h., S.U, Pengantar Metode
Penelitian, (Jakarta : Rajawali Press, 2006), hal. 118
10
persoalan yang sedang diteliti. Dengan demikian penelitian ini juga termasuk
dalam kategori penelitian kualitatif.12
Selanjutnya penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yakni sebagai
upaya untuk memberikan gambaran yang tepat dari suatu gejala, dan memberikan
analisis yang cermat mengenai fenomena hukum yang ada, dimana dalam skripsi
ini akan dijelaskan mengenai upaya peninjauan kembali yang diajukan oleh jaksa
atas kasus pembunuhan aktivis HAM Munir.
2. Sumber Data
Adapun data-data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data-
data sekunder karena merupakan data-data berupa peraturan perundang-
undangan juga buku-buku yang telah dibuat oleh peneliti-peneliti terdahulu.13
Data-data sekunder yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini dapat
dibedakan menjadi tiga yaitu : 14
1. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum dalam bentuk peraturan
perundang-undangan, antara lain :
a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
b. Al-Qur’an al-karim dan al-Hadits
c. Undang-undang No. 4 tahun 2004 mengenai kekuasaan kehakiman
12 Ibid, hal. 25, 13 Lebih lanjut lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu
Tinajauan Singkat, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001 ), hal.1 14 Ibid., hal. 24.
11
d. Beberapa yurisprudensi mengenai peninjauan kembali yang dilakukan
oleh jaksa.
2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan tertulis yang dipergunakan untuk
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku
pidana, artikel, dan lain-lain.
3. Bahan hukum tertier yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk terhadap
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang lelebih dikenal dengan
nama bahan acuan bidang hukum dan bahan rujukan bidang hukum, seperti
bibliografi hukum, ensiklopedia, kamus hukum, dan sebagainya.
Dari data-data yang telah dikumpulkan kemudian menganalisis data tersebut,
dengan menggunakan metode analisis kualitatif yaitu data yang diperoleh
kemudian disusun secara sistematis, untuk selanjutnya dianalisa secara kualitatif
untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas.15
3. Teknik Pengumpulan Data
Data dikumpulkan dengan tekhnik studi dokumenter, yakni dengan cara
mengumpulkan berbagai informasi berupa dokumen-dokumen hukum selama
proses persidangan kasus Munir, maupun data-data berupa artikel dan tulisan
beberapa ahli hukum yang membicarakan topik yang dimaksud dalam penelitian
ini.
15 Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta : Ghalia
Indonesia, 2002), hal. 116.
12
4. Teknik Analisis Data
Karena data-data yang sudah dikumpulkan merupakan data-data dokumen
tertulis maka data kemudian dianalisis dengan teknik analisis isi secara kualitatif
(qualitative content analysis),16
Adapun teknik penulisan yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman
pada buku ”Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi” yang diterbitkan
oleh U I N Syarif Hidayatullah Jakarta 2007 M.
E. Sistematika Penulisan
Skripsi ini ditulis dalam empat bab pembahasan dengan sistematika penulisan
sebagai berikut :
Bab Pertama Pendahuluan, Dalam bab ini akan dibahas mengenai Latar
Belakang Masalah, Tujuan Penulisan, Metodologi Penelitian, dan Sistematika
Penulisan.
Bab kedua berjudul Deskripsi Yuridis Peninjauan Kembali Dalam KUHAP,
Dalam Bab Ini Akan membahas tentang Pengertian Peninjauan Kembali menurut
Pasal 263 KUHAP, serta Pengertian Peninjauan Kembali Menurut Undang-
Undang Nomor 04 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
16 Drs. Sumadi Suryabrata, B.A, M.A, Ed.S, Ph.D, Metodologi Penelitian ( Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 2005) Hal. 40.
13
Bab ketiga menjelaskan tentang deskripsi peninjauan kembali kasus munir,
Bab ini akan membahas mengenai kronologi pembunuhan Munir, Proses Hukum
Kasus Munir, Peninjauan Kembali Dalam Kasus Munir, dan Hubungan Antara
Pasal 263 KUHAP dengan Undang-undang Kehakiman Dalam Kasus Munir.
Bab keempat adalah analisis hukum Islam terhadap upaya peninjauan kembali
(PK) dalam perkara pidana pembunuhan munir, Pada bab ini akan diuraikan
Konsepsi Hukum Acara Pidana Islam, Analisi Hukum Islam Terhadap Prosedur
Peninjauan Kembali Kasus Munir Sebagai Upaya Untuk Mendapatkan Keadilan.
Serta Pandangan Hukum Islam Terhadap Substansi Argumentasi Hukum Dalam
Peninjauan Kembali Kasus Munir.
Bab kelima penutup, Bab ini berisi kesimpulan dari penelitian yang penulis
lakukan serta saran-saran yang mungkin membangun.
14
BAB II
DESKRIPSI YURIDIS PENINJAUAN KEMBALI (PK)
A. Pengertian Peninjauan Kembali
Dilihat secara gramatikal, peninjauan adalah proses atau cara meninjau.
Dalam buku Kamus Besar Bahasa Indonesia meninjau bisa berarti melihat
sesuatu dari ketinggian, mempelajari dengan cermat, dan memeriksa untuk
memahami.21 Dari ketiga makna tersebut, istilah peninjauan lebih relevan dengan
makna yang ketiga yaitu memeriksa untuk memahami, karena memeriksa itu
berarti melihat dengan teliti untuk mengetahui keadaan.22 Dengan demikian,
peninjauan kembali secara gramatikal berarti melihat dan memahami kembali
dengan teliti suatu keadaan untuk memperoleh pemahaman baru.
Tujuan dilakukannnya PK sebagai upaya hukum adalah untuk memeriksa
sebuah putusan hukum di tingkat kasasi yang dianggap belum memenuhi keadilan
materiil agar benar-benar memenuhi asas keadilan sekaligus demi menjaga
wibawa hukum di hadapan masyarakat, karena keadilan hukum materiil itu lebih
penting daripada kepastian hukum yang bersifat formil. Dengan demikian secara
ilmiah kepastian hukum itu dapat diterobos oleh keadilan hukum materiil. Jadi
untuk kepentingan keadilan itulah KUHAP mengatur PK sebagai upaya hukum
21Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 2002), Edisi Ketiga, Cet. II, hal. 1198 22Ibid., h. 858
15
luar biasa.23 Disebut hukum luar biasa, karena sejatinya PK adalah memeriksa
kembali putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.
Zainul Bahry dalam buku Kamus Umum di Bidang Hukum dan Politik
menjelaskan bahwa PK merupakan suatu upaya hukum luar biasa, dari keputusan
hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diajukan kepada
Mahkamah Agung oleh terpidana, ahli warisnya atau kejaksaan.24
Dalam bukunya, Yahya Harahap menyebut PK sebagai upaya hukum luar
biasa yang dilakukan terhadap putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap
sehingga kasus yang belum memperoleh ketetapan hukum tidak dapat diajukan
PK.25 Sementara S. Tanusubroto menyebut PK sebagai lembaga Herziening, yang
diartikan sebagai upaya hukum yang mengatur tentang tata cara untuk melakukan
peninjauan kembali suatu putusan yang telah memperoleh suatu kekuatan hukum
yang tetap.26
Dari uraian mengenai pengertian PK di atas, maka dapat disarikan sebuah
definisi bahwa PK adalah sebuah upaya hukum luar biasa yang dilakukan sebagai
23Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir (KASUM), Risalah Kasus Munir; Kumpulan Catatan
dan Dokumen Hukum, (Jakarta: C.V. Rinam Antartika, 2007), Cet. I, h. 281
24Zainul Bahry, Kamus Umum; Khususnya Bidang Hukum & Politik, (Bandung: Angkasa, 1996), h. 238
25 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2006), Edisi Kedua, Cet. VIII, h. 614 26 S. Tanusubroto, Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana, (Bandung: CV. Armico, 1989), Cet.
II, h. 161, lebih lanjut diterangkan bahwa lembaga “herziening” tersebut tidak berlaku bagi pengadilan “inlander”.
16
usaha untuk menemukan kebenaran dan keadilan yang dilakukan terhadap
putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
B. Peninjauan Kembali Dalam Pasal 263 KUHAP
Pada sub bab pengertian PK menurut Pasal 263 KUHAP ini akan
dipaparkan terlebih dahulu pengertian KUHAP dan hal-hal yang terkait dengan
KUHAP secara singkat agar diperoleh pemahaman PK secara komprehensif.
KUHAP merupakan kependekan dari Kitab27 Undang-Undang Hukum Acara
Pidana.
Membahas Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tentu
tidak terlepas dari pembahasan Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP) itu sendiri.
KUHAP biasanya disebut juga dengan hukum pidana formil, sedangkan KUHP
bisanya disebut juga dengan hukum pidana materiil.
Van Apeldoorn menjelaskan bahwa hukum pidana materiil itu
menunjukkan peristiwa-peristiwa pidana atau peristiwa-peristiwa yang dikenai
hukum beserta hukumannya.28 Sedangkan hukum pidana formil mengatur cara
bagaimana pemerintah menjaga kelangsungan pelaksanaan hukum pidana
27Kitab berasal dari bahasa Arab yang berarti kumpulan atau buku. 28L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1996), Cet.
XXVI, h. 324
17
materiil.29 Artinya pembagian hukum pidana menjadi dua bagian ini secara
aplikasi tidak bisa dipisahkan.
Terkait dengan Hukum Acara Pidana ini, Zainul Bahri merumuskan
pengertian Hukum Acara Pidana ini dengan ketentuan-ketentuan hukum yang
mengatur bagaimana caranya tertib hukum pidana dapat ditegakkan dan
dipertahankan jika terjadi suatu pelanggaran ataupun tindak kejahatan.30
Secara filosofis, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
dibentuk dalam rangka untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya
mendekati kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya
(sejati) dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara
pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang
dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum dan selanjutnya meminta
pemeriksaan dan putusan dari Pengadilan guna menentukan apakah terbukti
bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu
dapat dipersalahkan.31
Penjelasan filosofis di atas menunjukkan bahwa pembentukan KUHAP itu
ditetapkan bertujuan untuk mencari dan mendapatkan keadilan yang tidak sekedar
hitam-putih suatu peristiwa pidana. Kebenaran selengkap-lengkapnya adalah
29Ibid.,h. 335 30Zainul Bahry, Kamus Umum; Khususnya Bidang Hukum & Politik, (Bandung: Angkasa,
1996), h. 99 31S. Tanusubroto, Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana, (Bandung: CV. Armico, 1989), Cet. II,
h. 13
18
kebenaran yang memenuhi aspek formil dan materiil yang didasarkan pada
keadilan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia.
S. Tanusubroto mengidentifikasi pokok-pokok Hukum Acara Pidana
sebagai berikut:
1. Cara bagaimana harus diambil tindakan-tindakan jikalau ada sangkaan, bahwa telah terjadi suatu tindakan pidana, cara bagaimana mencari kebenaran-kebenaran tentang tindak pidana apakah yang telah dilakukan.
2. Siapa dan cara bagaimana harus mencari, menyelidik dan menyidik orang-orang yang disangka bersalah terhadap tindak pidana itu, bagaimana caranya menangkap, menahan dan memeriksa orang itu.
3. Cara bagaimana mengumpulkan barang-barang bukti, memeriksa, menggeledah badan dan tempat-tempat lain serta menyita barang-barang itu.
4. Cara bagaimana memeriksa dalam sidang Pengadilan terhadap terdakwa oleh hakim sampai dijatuhkannya pidana.
5. Siapa dan cara bagaimana putusan hakim itu harus dilaksanakan.32
Dengan demikian kedudukan KUHAP merupakan instrument untuk
mengungkap suatu peristiwa pidana dari awal kejadian sampai dengan eksekusi di
pengadilan. Namun untuk mengungkap suatu peristiwa pidana tersebut tidak
cukup hanya dengan petunjuk-petunjuk yang bersifat legalistic-positifistik semata
melainkan juga harus bersifat subtantif, karena dalam proses persidangan
kadangkala beberapa kasus pidana bisa sangat rumit dan kompleks.
Berbicara PK berdasarkan KUHAP di atas, maka PK dijelaskan
sebagaimana pada pasal 263 sampai dengan 269 sebagai berikut;
Pasal 263 1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
32Ibid, h. 12-13
19
2) Permintaan peninjauan kembali dapat dilakukan atas dasar : a) Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat bahwa jika
keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
b) Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau kenyataan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
c) Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
3) Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh sutau pemidanaan.
Pasal 264 1) Permintaan peninjauan kembali oleh pemohon sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 263 ayat (1) diajukan kepada panitera pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama dengan menyebutkan secara jelas alasannya.
2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 ayat (2) berlaku juga bagi permintaan peninjauan kembali.
3) Permintaan peninjauan kembali tidak dibatasi dengan suatu jangka waktu. 4) Dalam hal pemohon peninjauan kembali adalah terpidana yang kurang
memahami hukum, panitera pada waktu menerima permintaan peninjauan kembali wajib menanyakan apakah alasan ia mengajukan permintaan tersebut dan untuk itu panitera membuatkan surat permintaan peninjauan kembali.
5) Ketua pengadilan segera mengirimkan surat permintaan peninjauan kembali beserta berkas perkaranya kepada Mahkamah Agung, disertai suatu catatan penjelasan.
Pasal 265 1) Ketua pengadilan setelah menerima permintaan peninjauan kembali
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1) menunjuk hakim yang tidak memeriksa perkara semula yang dimintakan peninjauan kembali itu untuk memeriksa apakah permintaan peninjauan kembali tersebut memenuhi alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (2).
2) Dalam pemeriksaan sebagaimana tersebut pada ayat (1), pemohon dan jaksa ikut hadir dan dapat menyampaikan pendapatnya.
3) Atas pemeriksaan tersebut dibuat berita acara pemeriksaan yang ditandatangani oleh hakim, jaksa, pemohon dan panitera dan berdasarkan
20
berita acara itu dibuat berita acara pendapat yang ditandatangani oleh hakim dan panitera.
4) Ketua pengadilan segera melanjutkan permintaan peninjauan kembali yang dilampiri berkas perkara semula, berita acara pemeriksaan dan berita acara pendapat kepada Mahkamah Agung yang tembusan surat pengantarnya disampaikan kepada pemohon dan jaksa.
5) Dalam hal suatu perkara yang dimintakan peninjauan kembali adalah putusan pengadilan banding, maka tembusan surat pengantar tersebut harus dilampiri tembusan berita acara pemeriksaan serta berita acara pendapat dan disampaikan kepada pengadilan banding yang bersangkutan.
Pasal 266 1) Dalam hal permintaan peninjauan kembali tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana tersebut pada Pasal 263 ayat (2), Mahkamah Agung menyatakan bahwa permintaan peninjauan kembali tidak dapat diterima dengan disertai dasar alasannya
2) Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permintaan peninjauan kembali dapat diterima untuk diperiksa, berlaku ketentuan sebagai berikut: a. apabila Mahkamah Agung tidak membenarkan alasan pemohon,
Mahkamah Agung menolak permintaan peninjauan kembali dengan menetapkan bahwa putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu tetap berlaku disertai dasar pertimbangannya;
b. apabila Mahkarnah Agung membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung membatalkan putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu dan menjatuhkan putusan yang dapat berupa: 1. putusan bebas; 2. putusan lepas dari segala tuntutan hukum; 3. putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum; 4. putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
3) Pidana yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula.
Pasal 267 1) Salinan putusan Mahkamah Agung tentang peninjauan kembali beserta berkas
perkaranya dalam waktu tujuh hari setelah putusan tersebut dijatuhkan, dikirim kepada pengadilan yang melanjutkan permintaan peninjauan kembali.
2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 243 ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) berlaku juga bagi putusan Mahkamah Agung mengenai peninjauan kembali.
Pasal 268 1) Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan tidak menangguhkan
maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut.
21
2) Apabila suatu permintaan peninjauan kembali sudah diterima oleh Mahkamah Agung dan sementara itu pemohon meninggal dunia, mengenai diteruskan atau tidaknya peninjauan kembali tersebut diserahkan kepada kehendak ahli warisnya.
3) Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja.
PasaI 269 Ketentuan sebagaimana tersebut pada Pasal 263 sampai dengan Pasal 268 berlaku bagi acara permintaan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.33
Dari paparan pasal 263-269 KUHAP di atas ternyata tidak didapati
pengertian atau definisi secara eksplisit mengenai peninjauan kembali, namun di
dapat beberapa hal-hal yang terkait dengan PK, seperti unsur atau syarat yang
membuat sebuah keputusan dapat dilakukan peninjauan kembali. Sehingga
mengenai definisi mengenai PK kiranya penulis cukupkan pada beberapa definisi
umum yang sudah penulis kemukakan di atas.
Mencermati isi pasal 263 diatas secara eksplisit didapat penjelasan bahwa
secara formil pihak-pihak yang dapat mengajukan PK adalah terpidana atau ahli
warisnya, dan tidak ada keterangan secara eksplisit mengenai kewenangan jaksa
untuk mengajukan PK. Sehingga PK dalam hal ini adalah milik terdakwa serta
ahli warisnya dalam upaya hukum luar biasa.
Penjelasan diatas juga memberikan penjelasan bahwa pada dasarnya PK
digunakan sebagai perlindungan terhadap terpidana, karena dalam konteks hukum
pidana, terpidana berhadapan dengan negara yang notabene memiliki kekuatan,34
33Andi Hamzah, KUHP & KUHAP, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004), h. 339-342 34 Peninjauan undang-undang semacam ini dikenal dengan metode Legislative History.
22
sehingga dalam situasi seperti ini antisipasi terhadap penyalahgunaan
kewenangan negara serta perlindungan terhadap terdakwa mutlak menjadi
perhatian hukum. Kehadiran RUU pasal 263 ini bebrbarengan dengan
mengemukanya wacana tentang penegakan HAM, sehingga RUU pasal ini juga
mendapat perhatian dari publik agar terdakwa mendapat perlakuan yang lebih
baik, untuk itulah jaksa (yang dalam konteks ini mewakili negara) kemudian
dibatasi agar tidak diberi hak melakukan peninjauan kembali.35
Tetapi pada ayat 3 pasal 263 terdapat kerancuan hukum (Il concidere)
seiring dengan adanya frase “.......suatu perbuatan yang didakwakan telah
dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh sutau pemidanaan.” Frase ini
mengandung pengertian bahwa terhadap putusan bebas dapat diajukan PK, namun
dengan dibatasinya pihak yang berhak mengajukan PK pada ayat 1, serta ketidak
mungkinan terdakwa untuk mengajukan PK terhadap putusan bebas yang telah
diberikan pada terdakwa, memunculkan penafsiran bahwa ayat 3 memberikan
peluang bagi jaksa untuk mengajukan PK.36 Dalam undang-undang tentang
kekuasaan kehakiman pasal 23 juga disebutkan bahwa pihak-pihak yang
berkepentingan dapat mengajukan PK, tanpa ada limitasi bagi terdakwa atau ahli
35 M. Yahya Harahap, S.H, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Edisi Kedua,
(Jakarta : Sinar Grafika, 2006), cet. VIII, hal. 651. Menurut pemikiran penulis jika dalam kasus ini jaksa mengajukan peninjauan kembali adalah bukan dalam konteks membela kepentingan negara secara langsung, tetapi membela kepentingan warga negara atau dalam kasus ini menuntut dan memberikan keadilan bagi keluarga Munir, sehingga perlu adanya perubahan keadilan retributif manjadi keadilan sosiologis.
36 Lebih lanjut pembahasan mengenai kronik dalam pasal 263 akan dibahas pada bab IV.
23
warisnya, sementara pihak-pihak yang berkepentingan dalam peradilan adalah
terdakwa, hakim, dan jaksa. Inilah beberapa “kontroversi” yang ada dalam pasal
263 KUHAP, sehingga pasal ini menurut M. Yahya Harahap dinilai sebagai pasal
yang Il concider atau tidak jelas.37
Namun dalam kondisi tertentu penafsiran secara ekstensif tetap perlu
dilakukan bila ada fakta hukum baru yang dapat mengarahkan pembuktian pada
kebenaran demi tercapainya kebenaran materiil. Jika kita tarik dalam kasus
pembunuhan Munir, maka kejahatan terhadap Munir adalah kejahatan yang
dilakukan oleh aparatur negara,38 sehingga dalam hal ini negara harus membenahi
aparaturnya melalui proses peradilan yang seadil-adilnya. Mengingat rumitnya
kasus ini, maka tanpa penafsiran ulang yang progresif terhadap undang-undang
yang ada, kasus ini mustahil dapat diselesaikan secara adil.
Kiranya pembahasan seputar siapa yang berhak untuk mengajukan PK
dalam bab ini kita cukupkan dengan merujuk pada undang-undang yang ada,
karena berbagai penafsiran terhadap undang-undang ini akan penulis sajikan pada
pembahsan mengenai tinjauan yuridis terhadap peninjauan kembali kasus Munir.
Selanjutnya mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh para pihak
yang berkepentingan, agar permohonan PK dapat diproses di pengadilan antara
lain seperti yang dijelaskan dalam pasal 263 KUHAP.
37 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP.......hal. 649 38 Pollycarpus adalah pilot maskapai penerbangan Garuda, dimana maskapai ini adalah milik
Negara yang tergabung dalam BUMN, sehingga keterlibatan pollycarpus dalam pembunuhan Munir merupakan tanggung jawab Negara, maka pembunuhan terhadap Munir dpat dikategorikan pelanggaran HAM.
24
Dari kandungan pasal 263 KUHAP dapat diidentifikasi beberapa syarat
formil yang harus menyertai permohonan PK. 39
1. Putusan pengadilan harus telah memiliki kekuatan hukum tetap, karena
bagi putusan yang belum memiliki kekuatan hukum tetap, cukup ditempuh
dengan pengadilan biasa dan banding, karena memang PK merupakan
upaya hukum luar biasa.
2. Menurut pasal 263 pihak yang boleh mengajukan PK adalah terpidana
atau ahli warisnya, karena pasal ini diperuntukkan untuk melindungi
terdakwa dari kesalahan putusan pengadilan. Sedangkan upaya hukum
luar biasa yang dapat ditempuh oleh jaksa adalah upaya kasasi demi
kepentingan hukum sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 260
KUHAP.40
3. Apabila ditemukan keadaan baru (novum) yang dapat membebaskan
terpidana dari segala tuntutan atau meringankan hukuman, jika
diketemukan bukti baru yang demikian maka terpidana boleh mengajukan
PK. Persoalan yang muncul adalah bagaimana jika novum yang
diketemukan belakangan justru mengarah pada bersalahnya terpidana,
sementara PK hanya diperuntukkan buat terdakwa. Persoalan ini akan
dibahas pada bab IV mengenai proses persidangan kasus Munir.
39 M. Yahya Harahap, S.H, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Edisi Kedua,
(Jakarta : Sinar Grafika, 2006), cet. VIII, hal. 619 40 Ibid,……hal : 338
25
4. Adanya putusan yang saling bertentangan, biasanya hal ini terjadi antara
peraturan yang diatur dalam KUHP dengan peraturan yang diatur dalam
KUHPerdata, namun pertentangan yang dimaksud dalam kasus ini
haruslah pertentangan yang nampak secara jelas sebagaimana dapat dilihat
dalam putusan MA tanggal 13 Juni 1984 Reg. No. 8 PK/Pid/1983,
sehingga dibutuhkan kecermatan oleh pihak pengadilan sebelum
memutuskan apakah pertentangan putusan tersebut pantas untuk dibawa
pada persidangan PK.41
5. Adanya kekhilafan dari hakim, dengan kapasitasnya sebagai manusia
biasa tentu seorang hakim dapat saja khilaf atau lalai dalam memutuskan
suatu perkara, sehingga terpidana dapat mengajukan PK jika diketahui
dikemudian hari didapati bahwa hakim telah khilaf dalam memutuskan
persoalan.
Adapun batas waktu pengajuan PK tanpa dibatasi waktu, sesuai dengan
ketentuan pasal 264 ayat (3) KUHAP. Demikianlah syarat-syarat formil yang
harus dipenuhi agar permohonan PK dapat diterima oleh pengadilan.
Selanjutnya mengenai tata cara mengajukan PK sesuai dengan ketentuan
yang tercantum dalam pasal 264, terpidana dapat mengajukan PK dengan
ketentuan sebagai berikut :
1. Permohonan PK diajukan secara tertulis kepada pihak panitera,
41 M. Yahya Harahap, S.H, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP.......hal : 621
26
2. Menyebutkan secara jelas alasan-alasan yang mendasari permintaan PK,
3. Boleh diajukan secara lisan, dengan demikian sesuai ketentuan dalam pasal
264 ayat 4, panitera harus membantu pemohon dengan menuangkan dan
merumuskan permohonan PK oleh terdakwa dalam bentuk surat permintaan
PK yang berisi alasan-alasan yang dikemukakan pemohon.
Setelah semua proses diatas dilakukan, selanjutnya untuk pertanggung
jawaban yuridis akta permintaan peninjauan kembali ditandatangani oleh panitera
dan pemohon, kemudian akte tersebut dilampirkan dalam berkas perkara.
Demikianlah proses pengajuan PK yang diatur dalam pasal 264 ayat 2 jo.
Pasal 245 ayat 2 KUHAP.42
C. Peninjauan Kembali Dalam Undang-Undang Nomor 04 Tahun 2004 Tentang
Kekuasaan Kehakiman
Kekuasaan adalah hak yang diberikan oleh Undang-Undang atau
pemerintah (yang berwenang) untuk dapat bertindak atau mengurus sesuatu
seperti apa-apa yang telah digariskan. Kehakiman adalah hal-hal yang
menyangkut peradilan dan hukum.43 Berarti Kekuasaan Kehakiman adalah hak
yang diberikan oleh undang-undang atau pemerintah terhadap lembaga tertentu
untuk mengatur hal-hal yang berkaitan dengan peradilan dan hukum. Di
42 Ibid, hal : 625 43Zainul Bahry, Kamus Umum; Khususnya Bidang Hukum & Politik, (Bandung: Angkasa,
1996), h. 136
27
Indonesia, peradilan atau kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah
Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang.44
PK dalam UU Nomor 04 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman
dijelaskan pada pasal 23 sebagai berikut;
1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang.
2) Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.45
Penjelasan pasal 23 ayat (1) di atas diterangkan bahwa yang dimaksud
dengan ”hal atau keadaan tertentu” dalam ketentuan ini antara lain adalah
ditemukannya bukti baru (novum) dan/atau adanya kekhilafan/kekeliruan hakim
dalam menerapkan hukumnya.
Ketentuan dalam UU ini nampaknya tidak ingin menghilangkan begitu
saja hak jaksa dalam upaya peninjauan kembali, mengingat dalam beberapa kasus
konspiratif, seringkali novum baru ditemukan justru ketika terdakwa dinyatakan
bebas, sehingga tertutup upaya hukum apapun bagi penyelasaian suatu kasus
hukum. Menganut asas posteriori derogat lex priori maka menurut Nur Syamsi
penggunaan UU ini dapat diterapkan.46
44Ibid 45http://www.hukumunsrat.org/uu/uu_4_04.htm 46 http://hukumonline.com/detail.asp?id=19740&cl= Berita ,data diakses tanggal 30 Agustus
2009
28
Dalam pasal ini juga tidak ditemukan definisi secara eksplisit mengenai
peninjauan kembali, dalam penjelasan pasal ini hanya diterangkan beberapa unsur
atau syarat mengenai diperbolehkannya mengajukan PK. Dan hanya ditekankan
bahwa PK dapat dilakukan karena adanya bukti baru (novum) atau karena adanya
kekhilafan atau kekeliruan hakim dalam menerapkan hukum. Dengan
ditemukannya bukti-bukti baru yang mengarah kuat pada keterlibatan Pollycarpus
dalam peristiwa terbunuhnya Munir, menjadikan MA yakin untuk mengabulkan
peninjauan kembali yang dimohonkan oleh jaksa.
29
BAB III
DESKRIPSI TENTANG PENINJAUAN KEMBALI KASUS MUNIR
A. Kronologi Pembunuhan Munir
Untuk memulai pembahasan mengenai proses hukum kasus Munir, akan
kita mulai dengan terlebih dahulu mengetahui tentang proses kematian aktivis
HAM Munir yang tergolong sebagai kematian yang misterius, mengingat bahwa
kematiannya disebabkan oleh racun arsenik serta tempat kematiannya yang sangat
mencengangkan yakni di dalam pesawat Garuda sebuah pesawat terbang milik
Indonesia yang notabene adalah maskapai milik instansi pemerintah.
Berikut ini adalah kronologi proses pembunuhan Munir berdasarkan
monitoring persidangan yang dilakukan oleh Kontras dan KASUM (Komite
Solidaritas Aksi Untuk Munir).1 Berdasarkan temuan investigasi yang dilakukan
oleh tim pencari fakta (TPF)2 kasus munir, serta berdasarkan keterangan para
saksi didapat narasi fakta tentang kronologi pembunuhan Munir sebagai berikut.3
Bahwa terdakwa Pollycarpus Budihari Priyanto yang sejak tahun 1999 telah
melakukan berbagai kegiatan dengan dalih untuk menegakkan negara kesatuan
republik Indonesia (NKRI), melihat sosok Munir, S.H, yang merupakan ketua
1 http://www.kontras.org/munir/sidang.php 2 Anggota TPF terdiri atas Sdr. Brigjend Pol.Drs. Marsudhi Hanafi SH., MH; Sdr. Asmara
Nababan; . Sdr. Bambang Widjajanto; . Sdr. Hendardi; . Sdr. Usman Hamid; Sdr. Munarman;. Sdr. Smita Notosusanto; Sdr. I Putu Kusa; . Sdri. Kamala Tjandrakirana; Sdr. Nazarudin Bunas; Sdri. Retno L.P. Marsudi; Sdr. Arif Havas Oegroseno; Sdr. Rachland Nashidik; Sdr. dr. Mun’im Idris
3 Detail kronologi pembunuhan Munir akan Penulis lampirkan.
30
dewan pengurus Kontras dan direktur eksekutif Imparsial merupakan orang yang
seringkali mengidentifikasi dirinya adalah pelopor dan penggerak pembangunan
demokrasi serta pembela Hak-Hak Asasi Manusi (HAM), dimana dalam berbagai
kesempatan, Munir seringkali melontarkan kritikan tajam dan negatif terhadap
beberapa kebijakan pemerintah yang dinilai oleh Munir dan kawan-kawan
seperjuangannya sebagai sesuatu yang melanggar ketentuan undang-undang serta
tidak mencerminkan demokrasi serta mencederai hak-hak kemanusiaan. Namun
dimata terdakwa Pollycarpus serta pihak-pihak tertentu, kegiatan yang dilakukan
oleh Munir dianggap sebagai sesuatu yang sangat mengganggu dan menghalangi
pelaksanaan program-program pemerintah, sehingga hal ini membuat terdakwa
dan pihak-pihak tertentu merasa tidak terima dan terganggu. Berbagai kegiatan
Munir, S.H diatas membuat terdakwa merasa perlu untuk menghentikan kegiatan
korban Munir, dengan merencanakan cara-cara yang matang.
Untuk memuluskan rencana tersebut terdakwa memulai untuk menyusun
langkah-langkah serta cara bagaimana menghilangkan nyawa Munir. Rencana
tersebut dimulai dengan memantau berbagai aktifitas dan kegiatan Munir, baik
secara langsung maupun tidak langsung, sampai akhirnya terdakwa mendapat
kabar bahwa Munir akan melakukan perjalanan ke Belanda demi melanjutkan
pendidikannya.
Kemudian untuk memastikan keberangkatan Munir, pada tanggal 4
September 2004 Polly menghubungi Munir yang ternyata diterima oleh istrinya
Suciwati, Suciwati memberitahukan bahwa Munir akan berangkat tanggal 6
31
September 2004. Setelah memperoleh kepastian tanggal keberangkatan Munir ke
Belanda, terdakwa Pollycarpus mengusahakan cara agar dapat berangkat
bersama-sama Munir, yakni dengan cara meminta perubahan tugas penerbangan
sebagai ekstra crew, sedangkan sesuai jadwal tugasnya terdakwa harus ke Peking
China tanggal 5 hingga 9 September 2004, perubahan jadwal penerbangan
terdakwa tersebut tertuang dalam nota perubahan nomor : OFA/219/04 tanggal 6
September 2004 yang dibuat oleh Rohainil Aini, yang menurut terdakwa surat
tersebut sebagai surat tugas atas dirinya karena tugas dari saksi Ramelgia Anwar
selaku Vice President Corporate Security PT. Garuda Indonesia, yang mana
kemudian penugasan tersebut tidak pernah ada. Namun karena alasan tersebut
maka diterbitkanlah General Declaration bagi keberangkatan Terdakwa ke
Singapura sebagai Extra Crew dinyatakan untuk melaksanakan tugas Aviation
Security, sementara tugas Aviation Security tersebut bukanlah merupakan
spesialisasi tugas Terdakwa yang tugas pekerjaannya di lingkungan PT. Garuda
Indonesia adalah sebagai Pilot, atau setidak-tidaknya Terdakwa tidak mempunyai
surat khusus sebagai Aviation Security.
Selanjutnya pada tanggal 6 September 2004 tibalah waktunya Munir dan
terdakwa Pollycarpus untuk berangkat ke Singapura untuk transit sebelum
berangkat ke Belanda, namun sebelum keberangkatan, Munir dan terdakwa
sempat bertemu dan berbincang, terdakwa menanyakan tempat duduk Munir yang
oleh munir ditunjukkan yakni no. 40 kelas ekonomi, namun kemudian terdakwa
menawarkan tempat duduknya yang bernomor 3 K di kelas bisnis kepada korban
32
Munir, yang mana hal ini dilakukan untuk mempermudah terdakwa untuk
melaksanakan rencananya. Hal inipun dilaporkan oleh terdakwa kepada saksi
Brahmanie Hastawati selaku purser pesawat, bahwa ada perubahan tempat duduk,
dengan tujuan menghilangkan berbagai kecurigaan.
Sesaat setelah pesawat tinggal landas Oedi Iriato selaku pramugara
pesawat bergegas menyiapkan welcome drink kapada para penumpang, sementara
terdakwa Pollycarpus bergegas menuju pantry dekat bar premium. Terdakwa
memasukkan racun ke dalam orange juice karena terdakwa tahu bahwa Munir
tidak minum alkohol, sedangkan welcome drink hanyalah orange juice dan wine.
Saat itu Munir duduk bersebelahan dengan Lie Khie Ngian yang
berkewarganegaraan Belanda. Saksi Yeti Susmiarti yang bertindak sebagai
pramugari kemudian menawarkan welcome drink kepada Munir dan Lie Khie
Ngian, sementara terdakwa, Oedi Irianto, dan Yeti Susmiarti tahu dan dapat
memastikan bahwa Lie Khie Ngian yang warga belanda pasti akan mengambil
wine, sedangkan Munir tanpa ragu mengambil orange juice yang telah dicampur
dengan racun arsen. Pada saat bersamaan terdakwa terus mengamati segala
kegiatan yang telah direncanakannya.
Pada pukul 23.32 wib, atau kurang lebih 120 menit perjalanan, pesawat
dengan nomor penerbangan GA-974 mendarat di bandara Changi Singapura
untuk transit. Pukul 00.45 wib pesawat tinggal landas dari bandara Changi
Singapura, selang 15 menit setelah pesawat tingal landas, Munir mulai merasa
mual akibat reaksi dari racun arsen dalam tubihnya, yang mengakibatkan korban
33
mual dan muntah-muntah, mendapati keadaan korban yang demikian, crew
pesawat memutuskan untuk membawa korban ke bisnis class untuk dibaringkan
dan sempat mendapat perawatan dari dokter Dr. Tarmizi.
Namun dua jam sebelum mendarat Munir dinyatakan meninggal dunia
akibat sakit perut dan muntaber, selanjutnya Dr. Tarmizi membuatkan surat
kematian. Namun berdasarkan hasil visum et repertum yang dibuat pro justitia
dari Kementrian Kehakiman lembaga Forensik Belanda tanggal 13 Oktober 2004
yang ditandatangani oleh dr. Robert Visser, dokter dan patolog bekerja sama
dengan dr. B. Kubat, menerangkan bahwa berdasar otopsi yang telah dilakukan
dari tanggal 8 September 2004 hingga 13 Oktober 2004, menyimpulkan bahwa
kematian Munir disebabkan konsentrasi arsen yang meningkat sangat tinggi
dalam tubuh Munir.
Demikianlah paparan singkat tentang kronologi Pembunuhan Munir.
B. Proses Hukum Kasus Munir
Persidangan Pollycarpus di Pengadilan Negeri 4
Sidang kasus Munir dengan terdakwa Pollycarpus di pengadilan negeri
berlangsung dari tanggal 17 Agustus 2005 sampai dengan 20 Desember 2005,
dalam persidangan tingkat pertama ini pengadilan menjerat Pollycarpus dengan
dua dakwaan, dakwaan pertama yaitu ikut serta dalam pembunuhan berencana,
oleh karena itu Pollycarpus dijerat dengan pasal 340 KUHP jo pasal 55 (1)
4 Data diperoleh dari arsip KASUM
34
KUHP, sedangkan dakwaan kedua yaitu tentang menggunanakan surat tugas
palsu, dimana dalam hal ini Pollycarpus dijerat dengan pasal 263 KUHP jo pasal
55 (1) ke-1 KUHP.
Dalam Sidang Pollycarpus ke-II. Pembela Pollycarpus, Moh. Assegaf
dalam eksepsinya menyatakan bahwa dakwaan JPU tidak lengkap, tidak cermat,
dan prematur, namun dalam sidang Pollycarpus ke-III. jaksa Domu P Sihite yang
juga mantan anggota TPF meminta majelis hakim untuk menolak eksepsi (nota
keberatan) yang diajukan terdakwa Pollycarpus. Permintaan jaksa tersebut
dikabulkan majelis hakim pada sidang Pollycarpus ke-IV. Dengan demikian
sidang terus dilanjutkan.
Dalam persidangan-persidangan selanjutnya dihadirkan keterangan para
saksi terkait kasus pembunuhan terhadap Munir, beberapa saksi tersebut antara
lain Suciwati (istri Munir) yang memberikan kesaksian seputar upaya Pollycarpus
untuk mengontak Munir sebelum Munir bertolak ke Belanda. Saksi kedua adalah
Indra Setiawan (mantan Dirut P.T Garuda). Kesaksian Indra seputar penugasan
Pollycarpus sebagai extra crew pada penerbangan Jakarta-Singapura. Indra
Setiawan hanya mengakui adanya kesalahan administrative dalam penugasan
kerja Pollycarpus.
Pada sidang tingkat pertama ini pengadilan juga menghadirkan beberapa
saksi, baik dari jajaran PT. Garuda Indonesia, Badan Intelejen Negara (BIN),
kepolisian maupun beberapa saksi ahli, saksi-saksi tersebut antara lain sebagai
berikut :
35
1. Ramelgia Anwar, yang pada saat sidang ini ia selaku Mantan Vice President
Corporate Security PT Garuda.
2. Rohainil Aini selaku Sekretaris Chief Pilot Airbus
3. Karmel Sembiring selaku Chief Pilot Airbus.
4. Eddy Santoso dan Akhirina, selaku bagian administrasi penjadwalan.
5. Hermawan selaku crew tracking.
6. Sabur Muhammad Taufiq, selaku Kapten pilot GA-974 Jakarta-Singapura.
7. Alex Maneklarang, selaku bagian keuangan PT. Garuda
8. Brahmanie Hastawati, selaku purser Garuda
9. Oedi Irianto, seorang pramugara Garuda
10. Tri Wiryasmadi, seorang pramugara
11. Pantun Matondang, kapten pilot GA-974 Singapura-Amsterdam
12. Yeti Susmiarti, seorang pramugari Garuda
13. Tia Ambari, seorang pramugari Garuda
14. Majib Nasution, Purser Garuda
15. Bondan, Pramugara
16. Addy Quresman, Puslabfor Mabes Polri
17. DR. Tarmizi, dokter yang sempat memberikan perawatan kepada Munir.
18. Ridla Bakri, Ahli di bidang racun
19. Budi Sampurna, Ahli forensic
Setelah mendengarkan berbagai keterangan dari para saksi, jaksa
menuntut agar Pollycarpus dihukum dengan hukuman penjara seumur hidup,
36
namun pengadilan tingkat pertama memutuskan, bahwa Pollycarpus dihukum
dengan hukuman penjara selama empat belas tahun.
Persidangan Pollycarpus di Pengadilan Tinggi
Pada persidangan tingakt pertama ada dua hal yang didakwakan kepada
Pollycarpus, yang pertama yaitu pembunuhan berencana dan kedua pemalsuan
surat, yang mana pada sidang tingkat pertama Pollycarpus sudah dikenakan
hukuman penjara selama 14 tahun. Namun pada sidang permohonan banding di
pengadilan tinggi DKI Jakarta majelis hakim memutuskan untuk membebaskan
terdakwa dari tuduhan pembunuhan berencana, karena menurut majelis hakim
dakwaan kesatu dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.
Sehingga melalui putusan pengadilan tinggi hari Senin tanggal 27 Maret
2006, dengan surat putusan bernomor 16/PID/2006/PT.DKI, memutuskan untuk
membebaskan Pollycarpus dari dakwaan ke satu dan hanya menghukum terdakwa
selama 4 tahun karena pidana pemalsuan surat.
Kasasi 5
Putusan sidang kasasi dengan No. 1185 K/PID/2006 dibacakan pada
sidang terbuka untuk umum pada tanggal 3 Oktober 2006, beberapa pokok-pokok
pertimbangan putusan MA adalah sebagai berikut :
- Pertimbangan Judex factie hanya didasarkan pada asumsi dan bukan
didasarkan pada alat bukti yang terungkap dipersidangan.
5 Risalah Kasus Munir,……..hal : 272-273
37
- Tidak dapat dibuktikan bahwa terdakwalah yang menyebabkan kematian
Munir dengan memberikan racun arsen ke dalam juice atau mie goreng yang
dimakan atau diminum korban.
- Tidak dapat dibuktikan bahwa terdakwa telah memasukkan atau menyuruh
memasukkan racun arsen kedalam minuman atau makanan yang disajikan
kepada korban dalam penerbangan Jakarta-Singapura GA 974.
- Berdasarkan pertimbangan tersebut, MA berpendapat bahwa unsur-unsur
dakwaan kesatu tidak terpenuhi sehingga dakwaan kesatu tidak dapat
dibuktikan secara sah dan meyakinkan, sehingga terdakwa harus dibebaskan.
- MA dalam pertimbangannya juga memisahkan antara dakwaan kesatu dan
kedua sebagai tindak pidana yang terpisah dan berdiri sendiri, sehingga tindak
pidana tersebut tidak terkait satu sama lainnya.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut MA menetapkan amar
putusan sebagai berikut :
1. Menyatakan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan kesatu;
2. Membebaskan terdakwa dari dakwaan kesatu;
3. Menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana “ menggunakan surat palsu “;
4. Menjaruhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 2 (dua)
tahun.
38
Dari amar putusan diatas jelas terlihat bahwa MA terlampau positifistik
dalam memutuskan sebuah persoalan, hal ini nampak dalam putusan MA yang
seolah menghendaki adanya saksi yang melihat secara kasat mata terdakwa
memasukkan racun arsen kedalam minuman atau makanan yang disajikan untuk
Munir di dalam pesawat, dengan mengabaikan sama sekali fakta hukum yang
sebenarnya saling berkaitan.
Beberapa fakta hukum yang diabaikan begitu saja oleh MA misalnya :
1. Bahwa benar Pollycarpus dan Munir menggunakan pesawat terbang yang
sama ke Singapura;
2. Bahwa benar Pollycarpus menggunakan surat tugas palsu untuk berangkat ke
Singapura;
3. Bahwa benar Pollycarpus hanya beberapa jam di Singapura;
4. Bahwa benar Pollycarpus melakukan beberapakali pembicaraan melalui
telepon dengan personil Badan Intelijen Negara (BIN);
5. Bahwa benar Pollycarpus memiliki kegiatan sampingan selain sebagai pilot
Garuda.
Sedangkan penjelasan dari fakta-fakta hukum diatas sudah dijelaskan
dalam rangkaian peristiwa pembunuhan Munir pada sidang tingkat pertama, dan
seharusnya fakta hukum yang ada tidak bisa diabaikan begitu saja.
39
C. Sidang Peninjauan Kembali Kasus Munir
Dengan ditemukannya bukti baru (novum) dalam perkara pidana terdakwa
Pollycarpus maka Jaksa memutuskan untuk melakukan peninjauan kembali meski
dalam KUHAP pasal 263 tidak diatur secara eksplisit tentang pengajuan
peninjauan kembali oleh jaksa, untuk itu jaksa kemudian menggunakan
penafsiran secara ekstensif 6 pada pasal tersebut serta merujuk pada UU Nomor
04 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman. Usman Hamid mengatakan bahwa
“Ada sejumlah saksi-saksi baru yang memperkuat pengajuan peninjauan kembali
(PK) kasus pembunuhan Munir”. Saksi-saksi itu memperkuat fakta konspirasi
pembunuhan aktivis HAM itu. Setidaknya ada 4-5 orang. Itu untuk yang lama.
Belum lagi untuk fakta yang menunjuk ke arah konspirasi, jadi cukup kuat.
Hendarman juga mengungkapkan sejumlah bukti baru (novum). Novum itu
antara lain saksi yang melihat mantan terpidana kasus pembunuhan Munir
membawa gelas minuman untuk Munir. Semua disebutkan oleh Hendarman
Supandji, baik itu dari saksi yang melihat tersangka, atau mantan terpidana kasus
pembunuhan munir, membawa gelas minuman untuk Munir. Maupun keterangan
lain yang berasal dari lingkungan Garuda yang mengindikasikan konspirasi.
Bahwa apa yang dilakukan pihak Garuda Indonesia, bukan semata-mata inisiatif
sendiri. Tapi atas permintaan dari lingkungan di luar Garuda. Hal-hal itulah yang
menjadi novum PK kasus Munir. Pihaknya merasa novum ini cukup meyakinkan
untuk dibuktikan dalam majelis PK. Dalam sidang PK dapat diketahui siapa-siapa
6 Risalah kasus Munir,………hal : 283
40
yang terlibat dalam konspirasi ini. Dan tentu setelah PK ini selesai, tahap
selanjutnya adalah mengejar atau menuntut nama-nama baru, baik itu dari
kalangan Garuda maupun dari Badan Intelijen Negara (BIN). Ada yang lebih
baru, semuanya disebutkan Hendarman. Hendarman tidak nutup-nutupi semua,
tapi malah menjelaskan secara langsung yang menjadi novum. Hanya memang
tidak semua hal bisa disampaikan. Hendarman berharap setelah majelis PK
dibuka, baru bisa diketahui publik secara keseluruhan, termasuk nama-nama
barunya.7
Pro kontra pengajuan PK oleh Jaksa tidak menyurutkan tekad mahkamah
agung untuk meninjau kembali kasus pembunuhan terhadap Munir, maka pada
tanggal 9 Agustus 2007 digelar sidang pertama PK atas terdakwa Pollycarpus
Budihari Prijanto.
Sidang PK ini diselenggarakan dalam enam kali persidangan, dalam
permohonan PK nya jaksa melandasi permohonan tersebut dengan Bab XVIII
tentang Upaya Hukum Luar Biasa, Bagian Kedua tentang Peninjauan Kembali
(PK) putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, Pasal
263-268, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP).
Saksi-saksi baru dalam persidangan PK ini adalah :
1. Saksi Fakta:
7 http://ad.detik.com/link/peristiwa/prs-relion.ad Detikcom, 03 Agustus 2007 14:54 WIB
41
a. Indra Setiawan (Mantan Dirut. PT. Garuda Indonesia)
b. Raden Mohamad Patma Anwar, alias Ucok, alias Empe, alias Aa. (Mantan
Agen BAKIN)
c. Raymond J. J. Latuihamallo, alias Ongen (Penumpang GA-974)
d. Asrini Putri (Penumpang GA-974 di 2J)
e. Joseph Ririmase (Penumpang GA-974 di 2K)
2. Saksi Konfrontasi/Verbalisan:
a. BrigJen. (Pol) Matius Salempang (Penyidik Polri, Ketua Tim Pemeriksa)
Makasar, 9 Juli 1953. Kristen Protestan
b. KomBes. (Pol) Pambudi Pamungkas (Penyidik Poldi, Anggota Tim
Pemeriksa) Tuban, 12 Maret 1963. Asrama Polisi Pejaten. Islam.
3. Saksi Ahli:
Dr. Rer. Nat. I Made Agus Gelgel Wirasuta, Msi., Apt.
(Apoteker, Peneliti, Dosen Kimia Universitas Udayana)
20 April 1968. Jimbaran. Hindu
Farmasi ITB. Doktor toksikologi forensik.
Berikut ini akan Penulis paparkan permohonan serta tanggapan terhadap
permohonan PK oleh jaksa. 8
8 Seluruh data penulis dapatkan dari hasil monitoring sidang PK kasus Munir yang dilakukan
oleh KASUM (komite aksi solidaritas untuk Munir) dan Kontras. Untuk efektifitas dalam skripsi ini
42
Dasar hukum yang dipergunakan oleh jaksa untuk mengajukan peninjauan
kembali dalam kasus Munir adalah KUHAP pasal 263, jaksa juga menggunakan
keputusan menteri kehakiman RI No. M.01.PW.07.03 tahun 1982 tentang
Pedoman pelaksanaan KUHAP yang menyatakan bahwa tidak adanya larangan
bagi JPU untuk mengajukan permohonan Peninjauan kembali kepada Mahkamah
Agung, oleh karena itu JPU dapat melakukan permohonan PK.
Selain itu jaksa juga mengemukakan bahwa KUHAP pasal 263 ayat 3,
tentang putusan bebas dari segala tuntutan hukum, dimana ayat tersebut
menyatakan “terhadap dakwaan yang terbukti tetapi diikuti pemidaan”, dipandang
oleh jaksa sebagai hak yang diberikan kepada jaksa mengingat terpidana tidak
akan mungkin mengajukan PK terhadap keputusan bebas yang telah ia dapatkan,
maka penafsiran terhadap KUHAP pasal 263 secara harfiah akan membuat
seorang terdakwa tidak dapat lagi dapat diproses secara hukum meskipun
ditemukan novum yang dapat dipergunakan untuk membuktikan kesalahan
terdakwa, sehingga perlu ada pergeseran hukum acara dari offender oriented
menjadi victim oriented, serta dari keadilan retributif menjadi keadilan restoratif
atau sosiologis, sehingga upaya hukum dalam hal ini merupakan mekanisme
perlindungan korban kejahatan dalam lingkup prosedural ketika peradilan sering
tidak memenuhi rasa keadilan. Jadi, dalam melakukan upaya hukum, termasuk
PK, jaksa mewakili kepentingan masyarakat, kolektif maupun individual.
penulis hanya menyadur saja, Seluruh data mengenai alasan serta tanggapan terhadap PK kasus Munir akan penulis lampirkan.
43
Dalam dunia hukum dikenal prinsip persamaan hak dan persamaan hukum
dimuka pengadilan, sehingga jaksa juga merasa memiliki kepentingan untuk
melakukan PK karena jaksa mewakili kepentingan negara, masyarakat, ,maupun
individu.
Namun berbagai dasar serta argumentasi hukum diatas dibantah oleh
pihak kuasa hukum Pollycarpus terutama mengenai KUHAP pasal 263. Menurut
kuasa hukum Pollycarpus, KUHAP memuat hukum limitatif terbatas apa yang
ditulis, sehingga apa yang dilarang berarti tidak diperbolehkan, sehingga menurut
kuasa hukum Polly, penafsiran yang dilakukan oleh jaksa berada diluar batas
karena hukum formil memuat prosedur.
Lebuh lanjut tim kuasa hukum Polly menyatakan bahwa pergeseran
perspektif hukum acara tersebut adalah pendapat DR. H. Parman Soeparman,
S.H., M.H. dari bukunya Pengaturan Hak Mengajukan Upaya Hukum Peninjauan
Kembali (Refika Aditama; 2007). jaksa mencuplik seadanya sehingga konteksnya
bergeser. Dalam bukunya (hal. 11) yang disebut “offender” itu sudah jelas
pelakunya, offender yang nyata. Dalam perkara yang diajukan PK ini, offender-
nya tidak atau belum jelas. Selain itu Polly telah dibebaskan secara hukum oleh
MA, sehingga secara hukum offender-nya bukan Polly karena dia telah
dibebaskan. Selain itu menurut kuasa hukum Pollycarpus, peraturan mengenai PK
adalah peraturan yang dibuat untuk melindungi terdakwa.
44
Selanjutnya mengenai alasan peninjauan kembali, jaksa mengemukakan
bahwa Dalam pertimbangannya, Judex Jurist dengan jelas memperlihatkan suatu
kekhilafan atau suatu kekeliruan nyata. Jaksa menyatakan bahwa MA salah
mengutip amar putusan Pengadilan Tinggi Jakarta dalam pertimbangan putusan
Kasasinya.
Selain itu menurut jaksa Judex Jurist telah khilaf dan keliru langsung
menyimpulkan bahwa unsur-unsur Dakwaan Kesatu tidak terpenuhi secara sah
dan meyakinkan, tanpa terlebih dahulu membatalkan putusan Judex Factie.
Ketidak cermatan Judex Jurist juga ditunjukkan ketika Judex Jurust keliru
atau salah dalam pertimbangannya sehingga menyatakan Judex Factie salah
dalam menerapkan hukum pembuktian, karena Judex Jurist tidak
menghubungkan fakta satu dengan yang lain, dengan sama sekali tidak
mempertimbangkan bahwa pembunuhan Munir tidak lepas dari penggunaan surat
palsu oleh Pollycarpus. Seharusnya, karena penggunaan surat palsu terbukti,
maka pembunuhan yang didakwakan juga terbukti. Oleh karena itu, Hakim
Kasasi telah salah menyimpulkan bahwa pendapat Judex Factie terhadap
dakwaan kesatu tidak didukung satu pun alat bukti. Padahal surat palsu bukan
hanya alat bukti dalam dakwaan kedua, tetapi juga dalam dakwaan kesatu, yaitu
sebagai sarana untuk melakukan pembunuhan berencana.
Kekhilafan lain yang meurut jaksa dilakukan oleh Hakim Kasasi adalah,
bahwa hakim kasasi dalam pertimbangan putusannya melakukan penilaian
45
terhadap fakta hukum yang diterangkan oleh Judex Factie. Hakim Kasasi
menganggap kesimpulan Judex Factie yang menyatakan bahwa masuknya racun
arsen adalah dalam penerbangan Jakarta-Singapura sebagai kesimpulan yang
salah, karena terdapat tiga kemungkinan saat masuknya racun arsen ke dalam
tubuh korban (Munir), yaitu sebelum penerbangan, dalam penerbangan, dan
sesudah penerbangan Kakarta-Singapura.
Menurut jaksa, Judex Jurist seharusnya tidak melakukan penilaian
terhadap pembuktian yang merupakan kewenangan Judex Factie. Sesuai
jurisprudensi MA No. 14PK/Pid/1997 yang menegaskan bahwa penilaian hasil
pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan tidak dapat
dipertimbangkan dalam tingkat kasasi, dan pemeriksaan mengenai faktas-fakta
hukum berakhir pada tingkat banding, sehingga pemeriksaan kasasi bukan
mengenai peristiwa dan pembuktiannya.
Alasan peninjauan kembali yang digunakan oleh jaksa penuntut umum
ditanggapi oleh kuasa hukum Polly bahwa kekhilafan Judex Jurist Hanyalah
kesalahan redaksional semata. Masih menurut kuasa hukum Polly, bahwa
kesimpulan tersebut juga ditarik tanpa pertimbangan yang jelas, bertentangan
dengan Pasal 25 UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaaan Kehakiman dan Pasal
197 (1) butir d KUHAP. Pasal 197 (2) KUHAP menyatakan bahwa putusan tanpa
dasar atau kurang dasar batal demi hukum. Menurut kuasa hukum Polly tidak ada
46
hubungan sebab-akibat langsung (kausalitas) antara surat palsu dengan
meninggalnya alm. Munir.
Berdasar pada berbagai novum baru yang ditemukan maka juga terjadi
perubahan dakwaan, Dakwaan semula menyatakan bahwa pelaku pembunuhan
adalah Pollycarpus, Yeti Susmiarti, serta Oedi Irianto, berdasar pada novum baru
yang ditemukan, maka dalam dakwaan PK dinyatakan bahwa pelaku pembunuhan
adalah Pollycarpus sendiri.
Perubahan dakwaan juga terjadi pada locus (tempat kejadian perkara),
dalam dakwaan sebelumnya dinyatakan bahwa Munir diracun dalam pesawat GA-
974, namun berdasarkan novum baru Munir dinyatakan diracun di Coffee Bean,
bandara Changi, Singapura. Sehingga racun arsen tidak dimasukkan dalam
welcome drink, melainkan dalam minuman yang diberikan kepada Munir.
Setelah mendengarkan berbagai keterangan, pada tanggal 25 Januari 2008
Sidang pengajuan PK memutuskan Pollycarpus dinyatakan terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah dalam tindak pidana pembunuhan berencana dan
melakukan pemalsuan surat, maka sidang pengadilan PK memutuskan hukuman
penjara selama 20 tahun bagi Pollycpus Budihari Priyanto.
47
D. Tinjauan Yuridis PK Kasus Munir Berdasarkan Pasal 263 KUHAP Dan
Undang-Undang No. 04/2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Terlebih dahulu Penulis ingin memaparkan kronik yang ada dalam isi
pasal 263 KUHAP dimana kemudian kronik ini menjadi persoalan dalam
menggunakan pasal 263 KUHAP sebagai legitimasi hukum.
Keberadaan Pasal 263 memang sangat membingungkan, dimana pasal ini
membatasi kewenangan mengajukan PK hanya pada terpidana atau ahli warisnya,
tetapi disaat yang bersamaan memberi peluang diajukannya PK pada putusan
bebas yang tertuang dalam ayat tiga, sedangkan apakah mungkin terpidana atau
ahli warisnya akan mengajukan PK padahal terpidana sudah diputus bebas?.
Penelusuran masalah ini dapat kita mulai terhadap penyusunan legal
drafting atau rancangan undang-undang (RUU) pasal 263 yang dilakukan oleh
DPR pada waktu itu. RUU Pasal 263 diambil pemerintah dari rumusan pasal 356
dan 357 Sv, atau PERMA. No. 1 /1996 dan PERMA. No.1/1980, dimana pasal ini
tidak mendapat tanggapan ataupun alasan mengenai penutupan ruang bagi
penuntut umum untuk melakukan PK, ternyata dari sudut pandang sejarah
pembentukannya, didapati bahwa aturan PK yang tertuang dalam pasal 263 lahir
pada saat maraknya isu tentang penegakan HAM pada wilayah peradilan dan
perundang-undangan, peraturan mengenai PK kemudian dirumuskan untuk lebih
melindungi kepentingan terdakwa dari kesewenang-wenangan negara, untuk
itulah akses jaksa terhadap PK ditiadakan. Lebih lanjut PK bertujuan agar
48
terpidana yang dikemudian hari mampu membuktikan ketidakbersalahannya
dapat meninjau ulang putusan yang telah diputuskan oleh pengadilan.9
Namun kebijakan terhadap penutupan ruang bagi jaksa untuk mengajukan
PK ternyata tidak serta merta menuntaskan persoalan, disamping itu pasal ini juga
mengindikasikan adanya asas equal before law yang dikesampingkan, yakni tidak
memberikan hak yang sama kepada para pihak yang berkepentingan dalam
persidangan.
Persoalan akan muncul manakala terdapat kasus seperti dalam kasus
pembunuhan Munir, dimana negara memiliki peran ganda yakni harus melindungi
kepentingan terdakwa, namun negara juga memiliki kepentingan untuk
menuntaskan kasus yang semakin menunjukkan titik terang untuk mengungkap
siapa dalang dibalik pembunuhan Munir. Dimana penuntasan kasus ini juga akan
memiliki akibat hukum yang baik bagi penegakan hukum dan HAM di Indonesia
dimasa yang akan datang.
Ada beberapa opsi yang dapat dilakukan sebagai upaya untuk memahami
dan menafsirkan pasal 263 KUHAP,10 pertama-tama ada baiknya jika
pembahasan ini dimulai dengan mengedepankan aspek pendekatan Legislative
History. Dalam pengkajian yurisprudensi dikenal doktrin : to discover and to
expund (mencari dan menemukan makna) suatu ketentuan undang-undang jika
9 M. Yahya Harahap, S.H, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP.......hal : 651 10 M. Yahya Harahap, S.H, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Edisi
Kedua, Hal. 648-653.
49
rumusan undang-undang yang dimaksud luas ketentuannya (Broad term),
ambiguitas (ambiguity), dan tidak jelas rumusannya (unclear outline).
Pasal 263 kiranya telah mengandung ambiguitas serta mengandung makna
yang luas, terutama pada ayat (3), sehingga menimbulkan kontroversi yang cukup
berarti dalam proses persidangan.
Metode yang dapat digunakan ketika menggunakan teori Legislative
History antara lain yaitu dengan :
1. Legislative Intent atau legislative purpose, yakni mempelajari maksud
pembuat undang-undang, mengkaji perdebatan yang terjadi saat pembahasan
pasal tersebut serta membaca dan mempelajari laporan-laporan komisi.
2. Mencari dan menemukan kehendak publik yang bersifat umum atau general
public purpose, pada saat dibentuknya suatu undang-undang.
Dari penggabungan dua metode legislative history tersebut peradilan
dibenarkan melakukan penafsiran luas bahkan pada penafsiran liberal. Mengingat
bahwa kasus pembunuhan Munir merupakan kasus yang berat, rumit dan
kompleks sehingga kasus ini dapat dikategorikan sebagai Hard Cases, maka
dalam kondisi demikian seorang hakim kadangkala tidak bisa hanya mengikuti
alur berfikir linear formal karena metode berfikir semacam ini dapat
menyesatkan, karena metodenya yang sering terlalu positifistik. Dalam kasus
semacam inilah tidak hanya dibutuhkan kecerdasan tetapi juga moral dari seorang
hakim melakukan pertimbangan secara komprehensif apabila perlu hakim
50
melakukan terobosan hukum waras (reasonable legal breaktrough) sehingga
sejauh mungkin keadilan dapat ditegakkan.11
Jika kita amati secara seksama maka pasal 263 KUHAP sesungguhnya
mengandung ill concider12 (mengandung ketidak jelasan dan pertentangan),
ketika merumuskan pasal ini nampaknya para perumusnya tidak benar-benar
matang dalam memenuhi doktrin maturity of law, artinya bahwa isi pasal ini tidak
rasional dan sulit untuk diterapkan terutama pada ayat 3,13 dalam pasal ini
disebutkan bahwa “apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan
telah dinyatakan terbukti tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan”. maka dapat
ditafsirkan bahwa pernyataan “terbukti tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan
“ ini adalah pernyataan putusan bebas, jadi ayat ini mengandung pengertian
bahwa putusan bebas dapat dimohonkan peninjauan kembali, dengan demikian
pernyataan dalam pasal ini “melunakkan” jika tidak ingin dikatakan
“bertentangan” dengan pasal 263 ayat 1, lalu siapakah yang berhak melakukan
permohonan peninjauan kembali ?, tentu dalam hal ini jaksa lah yang paling
rasional dan memungkinkan untuk mengajukan peninjauan kembali sebab
terpidana tidak mungkin melakukannnya karena akan merugikan dirinya. Tetapi
11 Andre Ata Ujan Ph.D, Mengevaluasi Argumen Dalam Kasus Hukum H. Muchdi
Puwopranjono, Sebuah Persepsi Filosofis, Dalam Hasil Eksaminasi Publik Atas Putusan Bebas Terdakwa Muchdi Pr, ( Jakarta : KASUM, 2009), hal : 53-54
12 Opcit,.......hal : 649 13 Pasal 263 ayat 3 KUHAP “ Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat
(2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.
51
ayat (1) pasal ini secara tegas telah memberikan limitasi bagi pihak-pihak yang
akan mengajukan PK yakni terpidana atau ahli warisnya.
Pada wilayah inilah pasal 263 dan undang-undang kekuasaan kehakiman
dapat dipertemukan. Pasal 23 UU kekuasaan kehakiman menyebutkan “terhadap
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap pihak-pihak
yang bersangkutan dapat melakukan peninjauan kembali.........” jika ditarik dalam
pasal 263 ayat (3) KUHAP, maka UU kekuasaan kehakiman ini dapat
menerangkan kegelapan siapa yang akan mengajukan permohonan peninjauan
kembali dalam pasal 263 ayat (3) KUHAP, karena dalam proses peradilan pihak
yang berkepentingan adalah terdakwa, jaksa, serta hakim yang bertugas
mengadili.
Dengan demikian entah kurangnya perhatian para perumus RUU pasal
263 waktu itu sehingga kerancuan pasal 263 terjadi, atau karena pemerintah juga
tidak ingin menghapus begitu saja peran jaksa dalam upaya PK, karena untuk
mengatisipasi kasus-kasus besar dikemudian hari. Kiranya kerja keras dari aparat
pemerintah untuk menmgungkap suatu kasus kejahatan benar-benar dibutuhkan,
sehingga terobosan hukum yang dilakukan menghasilkan ketentraman dalam hati
masyarakat luas.
52
E. Hubungan Antara Pasal 263 KUHAP dengan Undang-undang No. 04 Tahun
2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Persoalan penafsiran terhadap undang-undang memang sangat mungkin
dan memang seringkali terjadi, mengingat bahwa sebuah aturan hukum dibuat
setelah adanya tindak pidana, sedangkan kehidupan masyarakat terus berkembang
mengikuti alur jaman, kemajuan-kemajuan yang terjadi pada masyarakat ternyata
juga diikuti oleh beragamnya tindak pidana dengan motif dan dengan cara-cara
yang baru. Seringkali undang-undang yang ada kalah satu langkah dengan bentuk
tindak pidana yang baru. Sehingga undang-undang yang ada tidak mampu lagi
mengakomodir kebutuhan hukum yang sedang berkembang. Hal demikian secara
langsung dapat kita temukan dalam proses persidangan kasus pembunuhan Munir.
Dalam proses persidangan didapat bukti berupa fakta hukum yang
ditemukan pada persidangan tingkat pertama yang kemudian fakta hukum
tersebut membuat seorang Pollycarpus dihukum selama 14 tahun, setelah melalui
proses banding dan kasasi Pollycarpus dinyatakan tidak bersalah karena
keikutsertaannya dalam konspirasi pembunuhan Munir dianggap tidak terbukti
secara sah dan meyakinkan. Tetapi kemudian ditemukan sebuah fakta baru, yang
mana fakta baru tersebut lebih dapat memperjelas posisi kasus, tetapi undang-
undang tentang beracara dipengadilan secara tertulis memberikan pembatasan
upaya hukum sampai hanya sampai upaya hukum PK, yang mana dalam pasal
263 ayat (1) KUHAP, PK hanya diperuntukkan bagi terdakwa atau ahli warisnya
dan menutup peluang bagi jaksa untuk mengajukannya. Sementara Pollycarpus
53
yang sudah mendapatkan vonis bebas tentu tidak akan mau meninjau ulang
kasusnya karena dapat merugikan dirinya.
Dalam kondisi kasus seperti ini jika kita mengikuti alur berpikir lenear
dan positifistik, maka fakta hukum yang ada tinggallah fakta hukum yang tidak
berarti apa-apa, meskipun begitu kuat fakta itu dalam menunjukkan posisi kasus
yang sebenarnya, Karena PK hanya manjadi hak terdakwa. Untuk itulah
penafsiran secara ekstentif terhadap undang-undang perlu dilakukan dalam kasus-
kasus semacam ini.
Perdebatan seputar penggunaan undang-undang No. 4 Tahun 2004 untuk
menafsirkan pasal 263 KUHAP terjadi seputar persidangan PK kasus Munir.
Menurut Etty Utju Ruhayati Dosen Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara
yang sekaligus sebagai ahli yang diajukan oleh Pollycarpus saat uji materi di
Mahkamah Konstitusi, menyatakan bahwa hubungan antara KUHAP dan UU
Kekuasaan Kehakiman, maka berlaku asas lex specialis derogat legi generali.
“Kalau bicara hukum acara (pengajuan PK) ya pakai KUHAP. Kalau UU No.4
Tahun 2004 itu kan judulnya kekuasaan kehakiman. Etty punya sedikit kritik
tambahan terhadap frase tersebut. “Seharusnya disebutkan secara rinci dan
limitatif mengenai siapa saja pihak-pihak yang bersangkutan,” tambahnya.
Sedangkan menurut Anggota Komisi III bidang hukum Nur Syamsi Nurlan
mengaku tak sependapat. Ia mengatakan Pasal 23 ayat (1) berlaku terhadap
sejumlah jenis acara, termasuk acara pidana. Ia pun mengungkapkan risalah
54
persidangan pembentukan UU Kekuasaan Kehakiman di DPR. “Frase itu
memang untuk mengakomodir pengajuan PK oleh jaksa,” tegasnya.14
Nur Syamsi mengungkapkan upaya mengakomodir PK oleh jaksa
terinspirasi kasus Mochtar Pakpahan. Kasus ini memang sempat menghebohkan
dunia hukum Indonesia, ketika pengajuan PK oleh jaksa pertama kalinya
dikabulkan oleh hakim. Sehingga pro kontranya pun masih ada sampai sekarang.
Nur Syamsi mengaku terinspirasi Sajtipto Rahardjo. Guru Besar Sosiologi
Hukum Universitas Diponegoro ini memang maestronya hukum progresif di
Indonesia. Hakim Konstitusi Mahfud MD seperti tertarik untuk menggali
pemikiran seputar hukum progresif ini. Guru Besar HTN UII Yogyakarta ini
paham betul bahwa teori hukum progresif adalah hakim tak boleh dibelenggu oleh
norma.
Mahfud menanyakan dalam hal apa hukum progresif bisa diterapkan.
“Dalam hukum materil atau formil. Atau bisa dua-duanya,” ujarnya. Menurutnya,
pertanyaan ini cukup penting sebagai pertimbangan hakim konstitusi mengambil
putusan.
Nur Syamsi menjawab dalam hal kedua-duanya bisa digunakan. Ia
mengamini bahwa dalam praktek, ada yang berpendapat hukum formil atau acara
memang tak bisa diprogresifkan. Tak bisa diganggu gugat. Namun, ia tak sepakat
14 http://hukumonline.com/detail.asp?id=19740&cl= Berita ,data diakses tanggal 30 Agustus
2009
55
dengan pendapat ini. “Ini kan kait berkait. Kalau materiil saja tak didukung
hukum formil kan tak bisa,” tuturnya.
Selain itu, terkait asas lex specialis legi generali yang digunakan ahli
pemohon, Nur Syamsi punya dalil yang berbeda. Ia menggunakan asas lex
posteriori derogat legi priori. Yaitu, UU yang terbaru mengesampingkan UU
yang lama. Dalam hal ini, Nur Syamsi menganggap UU Kekuasaan Kehakiman
lebih dulu dari KUHAP. Sehingga sangat wajar bila UU Kekuasaan Kehakiman
yang didahulukan.
Apapun keputusan dari hasil sebuah persidangan, bahkan seburuk apapun
keputusan tersebut haruslah tetap dihormati karena kepastian hukum juga
merupakan suatu keharusan yang wajib dipenuhi dan dihormati. Tetapi barangkali
juga tidak berlebihan jika pemenuhan keadilan materiil haruslah tetap
diutamakan, karena sekali lagi hukum formil seringkali tertinggal satu langkah
dengan kebenaran materiil.
“lebih baik membebaskan orang bersalah daripada menghukum orang yang tidak bersalah, namun juga bagaimana seorang hakim atau jaksa bisa tidur dengan nyenyak manakala seseorang yang bersalah berkeliaran dengan bebas tanpa dihukum”15
Ungkapan ini memberikan sebuah peringatan agar selalu hati-hati dan
cermat dalam proses persidangan, karena apapun hasil persidangan bisa
berdampak baik atau buruk.
15 Andre Ata Ujan Ph.D, Mengevaluasi Argumen Dalam Kasus Hukum H. Muchdi
Puwopranjono, Sebuah Persepsi Filosofis, Dalam Hasil Eksaminasi Publik Atas Putusan Bebas Terdakwa Muchdi Pr, ( Jakarta : KASUM, 2009), hal : 55
56
Dengan demikian penafsiran ekstensif terhadap sebuah undang-undang
seharusnya didasarkan pada fakta-fakta yang sangat kuat, sehingga ide tentang
hukum progresif yang dilontarkan oleh Satjipto Rahardjo meniscayakan adanya
pembuktian yang serius dan komprehensif, sehingga terobosan hukum yang
dilakukan menghasilkan sebuah keputusan hukum yang adil serta menjunjung
tinggi nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan.
57
BAB IV
ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP UPAYA PENINJAUAN KEMBALI
DALAM PERKARA PIDANA PEMBUNUHAN MUNIR
A. Konsepsi Hukum Acara Pidana Islam
Sistem hukum dalam setiap bentuk masyarakat memiliki karakteristik,
sifat dan ruang lingkupnya masing-masing, begitu juga dengan hukum Islam.
Hukum Islam -atau yang disebut fiqih- merupakan hukum yang unik, dia bukan
merupakan pengetahuan hukum dalam pengertiannya yang sempit dan terpisah,
tetapi merupakan satu kesatuan dengan ajaran agama, sehingga ketaatan
seseorang terhadap hukum Islam dinilai sebagai sebuah ibadah,1 dan sebagai alat
ukur keimanan seseorang. Daniel Pipes,2 dalam “The Western Mind of Radical
Islam” menegaskan bahwa kunci utama yang membedakan hukum Islam dengan
Hukum barat adalah “Siapa anda dan bukan dimana anda berada” sehingga
dimanapun seorang muslim berada syari’at Islam akan selalu membayanginya.
Maka dalam kerangka inilah penelusuran terhadap keberadaan hukum acara
dalam sistem hukum Islam penulis lakukan sebagai seorang akademisi sekaligus
sebagai seorang muslim.
1 Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, (Bandung : Penerbit Pustaka, 1994), cet. II,
hal. xv 2 Pengantar penerbit dalam Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, (Jogjakarta : Islamika,
2003)
58
Dalam dunia hukum dikenal adanya hukum materiil dan hukum formil,
hukum materiil merupakan aturan yang dibuat sebagai acuan untuk menentukan
nilai suatu perbuatan, apakah suatu perbuatan dinilai benar atau dinilai salah
sehingga patut untuk dihukum. Sedangkan hukum formil yaitu seperangkat
peraturan yang dibuat untuk menyelenggarakan proses persidangan, untuk
menguji kebenaran bukti-bukti yang ditemukan selama persidangan dan
menentukan kebenaran suatu hukum materiil, sehingga menjadi jelas apakah
seseorang patut dinyatakan bersalah dan kemudian dihukum ataukah seseorang
patut untuk dibebaskan.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia hukum acara adalah hukum yang
menentukan proses pengadilan dalam penyelesaian sengketa.3 Sementara dalam
kamus umum yang ditulis oleh Zainul Bahry dikatakan bahwa hukum acara
adalah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur bagaimana caranya agar
hukum materiil dapat ditegakkan dan ditaati.4 Dalam bukunya Van Apeldoorn
menyebut hukum acara sebagai hukum yang mengatur cara-cara yang harus
diperhatikan dalam mengadakan perkara (di pengadilan), lebih lanjut dikatakan
bahwa hukum acara digunakan sebaga alat untuk mempertahankan hukum
materiil.5 Dengan demikian hukum acara disusun guna menyelenggarakan proses
3 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi
ketiga, (Jakarta : Balai Pustaka, 2002) Cet. II, hal : 410 4 Zainul Bahry, Kamus Umum, Khususnya Bidang Politik Dan Hukum, (Bandung : Angkasa,
1996), hal : 5
5 Prof. Dr. Mr. L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Alih Bahasa : Oetarid Sadino, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1996), cet. XXVI, hal. 224 dan 249
59
persidangan di pengadilan, agar kebenaran materiil dapat ditegakkan. Jadi hukum
acara menghendaki adanya proses secara bertahap dan teratur mengikuti aturan
yang sudah tertulis dalam undang-undang.
Kedua jenis hukum ini saling berkait dan saling memenuhi dalam upaya
menemukan titik terang suatu kasus, namun yang perlu diperhatikan adalah
bahwa keberadaan hukum formil adalah cara atau alat untuk menemukan
kebenaran materiil, sehingga jika dikemudian hari terdapat kasus-kasus tertentu
dimana hukum formil dirasa tidak mampu mengakomodir kepentingan
pembuktian hukum atau jika aturan formal hukum acara dirasa menghambat
kepentingan untuk menemukan kebenaran materiil maka hukum formil (acara)
harus ditafsiri secara ekstentif bahkan liberal guna memecahkan kasus-kasus yang
pelik dan rumit.6
Dalam hukum Islam terdapat aturan-aturan hukum yang mana aturan-
aturan ini meliputi peraturan yang berkaitan dengan persoalan munakahat
(perdata) atau jinayat (pidana), beberapa ketentuannya merupakan hasil ijtihad
para ulama’ fiqih dan dikembangkan secara terus menerus hingga saat ini. Tetapi
perlu untuk diketahui bahwa beberapa kitab fikih hasil ijtihad ulama klasik ini
hanya merupakan rujukan hukum (pendapat ahli) saja, Karena Seringkali terjadi
kerancuan pada masyarakat muslim di Indonesia dalam memahami dan
6 Adi Andojo Soetjipto, Prospek Penyelesaian Kasus Munir Melalui Peninjauan Kembali
Putusan MA, dalam Risalah Kasus Munir, (Jakarta : KASUM, 2007), hal. 281, lihat juga Andre Ata Ujan, Ph.D, dalam Hasil Eksaminasi Publik Atas Putusan Bebas Terdakwa Muchdi Pr, (Jakarta : KASUM, 2009), hal. 53-56
60
menghayati hukum Islam, seringkali fikih diidentifikasi oleh umat Islam sebagai
syari’at, bahkan kerancuan ini tidak saja terjadi pada masyarakat awam bahkan
pada lingkungan peradilan agama, sehingga terjadi disparitas antara putusan yang
satu dengan putusan yang lain dalam perkara yang sama,7 sebuah catatan sejarah
berikut ini barangkali akan menegaskan posisi fikih dalam ranah sistem hukum
yang ada. Sejarah menuturkan bahwa Imam Malik pernah menolak permintaan
pemerintah agar kitabnya dijadikan peraturan hukum resmi pemerintah pada
waktu itu, beliau menyatakan bahwa biarlah kitabnya hanya menjadi rujukan saja
sementara pemerintah harus membuat sebuah peraturan tersendiri guna mengatur
kehidupan warga negaranya.8 Dan sejalan dengan Imam Abu Hanifah, Imam
Malik juga tidak pernah berniat membuat sebuah aliran madzhab pemikiran
hukum Islam,9 Nampaknya Imam malik benar-benar menyadari akan beragamnya
pemikiran hukum dalam Islam, sehingga beliau tidak ingin hasil pemikirannya
menegasikan pemikiran ulama lain yang bisa jadi lebih mendekati kebenaran atau
lebih cocok dan memungkinkan untuk diterapkan pada suatu masyarakat dalam
waktu dan kondisi tertentu.
Berbagai ketentuan hukum dalam hukum Islam dapat kita jumpai dalam
beberapa kitab fikih karya para ulama’ baik pada zaman klasik maupun kitab fikih
tulisan para ulama’ fikih kontemporer saat ini yang jumlahnya sangat banyak dan
7 M. Yahya Harahap, S.H, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, UU No. 7 Tahun 1989, (Jakarta : Sinar Grafika, 2005), Cet. III, Hal. 19
8 Muhammad Abu Zahrah, Imam Syafi’I, Penerjemah : Abdul Syukur, Ahmad Rivai Uthman, (Jakarta : Lentera, 2007), hal.
9 Philip K. Hitti, History Of The Arabs,Alih bahasa oleh R. Cecep Lukman Yasin, Dedi Slamet Riyadi, (Jakarta : Serambi, 2005), hal. 498
61
tersistematisasi dengan beragam pembahasan. beragamnya pemikiran dalam fikih
yang ada merupakan konsekwensi atas sifat global dari al-Qur’an dan cara
menerapkan al-Hadits sebagai sumber hukum kedua, disamping itu letak
geografis yang berbeda dari tiap-tiap ulama menjadi salah satu faktornya.
Dalam bukunya Yahya Harahap Mengutip Dr. Abdul Wahab Khallaf dan
Fazlur Rahman. Dikatakan bahwa fikih bukanlah hukum positif bagi umat Islam
melainkan hanya doktrin hukum semata, dan al-Qur’an juga bukan merupakan
kitab undang-undang melainkan kitab yang berisi ajaran-ajaran dan petunjuk
Allah untuk kepentingan umat manusia, artinya bahwa ajaran al-Qur’an tidak
berarti harus diterapkan secara harfiah pada segala jaman dan suasana.10
Selanjutnya mengenai konsepsi hukum acara dalam dunia hukum Islam
nampaknya akan menjadi tantangan tersendiri bagi penulis untuk mencari tahu,
sebab pada masa awal kehidupan umat Islam, sejarah tidak menuturkannya secara
jelas bagaimana proses pembuktian kebenaran ketika ada suatu kasus hukum baik
yang menyangkut hukum perdata maupun pidana, bagaimana tata cara beracara di
muka pengadilan ketika ada suatu kasus hukum yang harus diselesaikan. Sejarah
hanya mencatat bahwa setiap kasus hukum yang terjadi pada masa awal
kehidupan umat Islam diselesaikan dengan cara mengembalikan setiap persoalan
pada kebijakan Nabi Muhammad Saw dengan merujuk pada wahyu Allah, karena
secara praktis selama kehidupannya, nabi Muhammad menjalankan perannya
10 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama,........Hal.
20,lihat juga Prof. Dr. Emeretus John Gilissen, Prof. Dr. Emeretus Frits Gorle, Sejarah Hukum, Alih Bahasa : Drs. Freddy Tengker, SH., CN, (Bandung : Refika Aditama, 2007), cet. II, hal. 387
62
sebagai nabi, pembuat hukum, pemimpin agama, hakim, komandan pasukan dan
kepala pemerintahan sipil, semua menyatu pada diri nabi,11 Kondisi yang
demikian menghadirkan semacam peradilan informal “tahkim” sebagai wadah
dan sarana tempat masyarakat kota menyelesaikan berbagai persoalan dan
persengketaan yang terjadi dalam kehidupan mereka,12 dan dari sudut pandang
hukum secara institusional, institusi ini adalah legal karena orang-orang dalam
masyarakat pada waktu itu menggunakan institusi ini untuk menyelesaikan
sengketa.13 hal inipun nampaknya masih berlangsung hingga masa kepemimpinan
empat khalifah pertama (khulafa al-rasyidin). Sedangkan konsepsi hukum acara
yang dikehendaki dalam konteks saat ini adalah hukum acara yang sudah
terlembaga dalam institusi peradilan dan tertulis dalam satu kitab undang-undang
khusus yang membahas mengenai semua hal tentang proses beracara didepan
pengadilan.
Sebagaimana keterangan diatas bahwa penyelesaian berbagai persoalan
hukum pada masa kehidupan awal umat Islam diserahkan sepenuhnya kepada
Nabi Muhammad, yang mana tradisi ini dilanjutkan oleh khalifah yang dengan
segala kekuasaannya menentukan siapa yang akan menjadi Qadli (hakim),
11 Ibid……….hal. 174 12 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama,........Hal. 21,
Gambaran ini sebenarnya penulis ambil dari gambaran masyarakat sejak kehadiran awal Islam di Indonesia yakni abad ke XIII masehi, namun ada kesamaan dimana setelah Islam mendapatkan kedudukannya yang kukuh di nusantara segala persoalan hukum berada ditangan seorang fuqaha, setelah sebelumnya berada di tangan para saudagar. lihat juga Prof. Dr. Emeretus John Gilissen, Prof. Dr. Emeretus Frits Gorle, Sejarah Hukum................hal. 391
13 Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Social, Alih Bahasa : M Khozim, (Bandung : Nusa Media, 2009), Cet. II, hal. 8
63
biasanya penunjukan seorang qadli didasarkan atas penguasaannya terhadap al-
Qur’an dan hadits, serta keterampilan mereka dalam berijtihad,14 percakapan
antara Nabi dengan Muadz bin Jabal berikut ini nampaknya telah menjadi
inspirasi bagi para khalifah dalam menunjuk seorang qadli, sekaligus menjadi
landasan bagi para qadli dalam berijtihad menetukan hukum. Diriwayatkan dalam
sebuah hadits yang sangat terkenal berikut ini :15
عن شب ةريغي المن أخرو ابمن عب ارثالح نع نوأبي ع نة عبعش نع رمع نب فصا حثنداس حأن نة عبأن رسول الله صلى الله عليه وسلم لما أراد أن يبعث معاذا أصحاب معاذ بن جبلهل حمص من من أ
ت قال فإن لم اب اللهتي بكاء قال أقضقض لك ضري إذا عقضت فن قال كيمإلى الي اب اللهتي كف جدى الله عليه وسلم ولا قال فبسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم قال فإن لم تجد في سنة رسول الله صل
سر برلا آلو فضأيي ور هدتقال أج اب اللهتي كف لهل دمقال الحو هردص لمسو هليع لى اللهص ول اللهول اللهسي رضرا يمل ول اللهسول رسر فقي والذ
عنو عن ناس من أصحاب معاذ حدثنا مسدد حدثنا يحيى عن شعبة حدثني أبو عون عن الحارث بن عمرأن رسول الله صلى الله عليه وسلم لما بعثه إلى اليمن فذكر معناه معاذ بن جبل
Artinya : Mengabarkan kepada kami Hafsha bin Umar dari Syu’bah dari Abu ‘Aun dari Harits bin ‘Amr dan dari saudaraku mughiroh bin Syu’bah dari Unas dari keluarga Himsha dari sahabat Mu’adz bin Jabal, ketika Rasulullah. Saw hendak mengutus Mu’adz ke Yaman beliau bertanya : “Bagaimanakah engkau menguhukumi persoalan hukum yang diserahkan kepadamu?” Mu’adz menjawab : “Aku akan menguhukumi dengan kitab Allah“, Rasul bertanya : “ Jika tidak kau temukan dalam kitab Allah ?”, Mu’adz menjawab : “ Maka dengan sunnah Rasulullah “, Rasul bertanya : “ Jika tidak kau temukan dalam kitab Allah dan juga dalam sunnah Rasulullah ?’, Mu’adz menjawab : “ Aku akan berijtihad dengan pendapatku, tidak meringkas ijtihad dan tidak meninggalkan keluasan ijtihad ”, Rasulullah pun memukul (tanda senang) punggung Mu’adz sambil berkata “ Segala puji bagi Allah
14 Dr. H. Abdul Manan, S.H., S.IP., M.Hum., Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan
Peradilan, (Jakarta : Kencana, 2007), hal. 18 15 Abu Daud, Sunan Abu Daud ,juz 6 (Kairo : Dar el-Hadits, 2001), hal. 425
64
yang benar-benar menolong utusan Rasulullah yang telah diridloi oleh Rasulullah. (H.R. Abu Daud).
Meskipun hadits diatas seringkali dikutip sebagai hadits yang
melegitimasi penggunaan nalar untuk berijtihad,16 namun tidaklah berlebihan
kiranya jika hadits diatas juga sedikit menggambarkan bagaimana proses
penegakan hukum pada masa awal kehidupan umat Islam.
Syari’at harus menjadi pedoman bagi para qodli dalam menyelesaikan
segala macam persoalan hukum karena syari’at merupakan jalan yang harus
ditempuh, ia merupakan aturan yang diwahyukan. Syari’at kemudian dijelaskan
oleh fikih.17 Karena syari’at merupakan prinsip-prinsip agama Islam yang
mengandung nilai-nilai yang terdapat dalam al-Qur’an. Wahyu menetukan norma-
norma dan konsep dasar hukum Islam serta dalam banyak hal merintis dobrakan
terhadap adat dan sistem hukum kesukuan arab pra Islam,18 didalamnya terdapat
aturan-aturan menyangkut peribadatan dan aktifitas sosial, untuk yang disebutkan
terakhir barangkali ulama fikih banyak berperan dalam mengaktualisasikannya
dalam kehidupan umat Islam, karena memang peraturan menyangkut aktifitas
sosial umat Islam sebagian besar disebutkan dalam al-Qur’an dalam bentuk yang
global sehingga membutuhkan penjelasan. Hal inilah yang menyebabkan para raja
sengaja membentuk peradilan umum dengan undang-undang yang disebut qanun,
dengan qadli, hakim agama dan kaum terpandang sebagai penyelenggara
16 Lihat, Philip K. Hitti, History Of The Arabs……..hal. 497 17 Prof. Dr. Emeretus John Gilissen, Prof. Dr. Emeretus Frits Gorle, Sejarah Hukum, Alih
Bahasa : Drs. Freddy Tengker, SH., CN, (Bandung : Refika Aditama, 2007), cet. II, hal.387 18 Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup…….hal. xv
65
hukum.19 Namun sekali lagi bahwa tidak ada catatan mengenai prosedur beracara
yang jelas mengenai hal ini.
Nampaknya prosedur beracara memang merupakan problem tersendiri
bagi penegakan syari’at Islam di beberapa negara yang mencoba menerapkan
syari’at Islam katakanlah di Sudan, lebih lanjut dikatakan bahwa karena lemahnya
informasi historis yang handal, maka sulit melakukan survei rinci tentang
administrasi peradilan pidana yang terjadi dalam sejarah Islam.20 Hal inilah yang
kemudian membuat sistem hukum Barat mudah untuk diakomodir oleh umat
Islam karena memang memiliki sistem hukum yang lebih tersistematisasi baik
hukum materiil maupun hukum formilnya, disamping karena memang prinsip-
prinsip dalam hukum Islam -terutama hukum mengenai persoalan duniawi-
memiliki sifat yang fleksibel dalam penerapannya.21 Sehingga memungkinkan
untuk berdialektika dengan baik terhadap setiap perubahan sosial.
Keberadaan hukum materiil seharusnya meniscayakan adanya hukum
formil (acara), karena keberadaan hukum formil adalah untuk mempertahankan
keberadaan hukum materiil. Entah sebagai sebuah kesengajaan22 atau tidak jika
pada akhirnya kita memang tidak mendapati adanya konsepsi hukum acara
19 Ibid…………391 20Abdullahi Ahmed An-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, Alih Bahasa Ahmad Suaedy,
Amirudin ar-Rany, (Yogyakarta : LKIS, 2004), cet. IV, hal. 165-172 21 Prof. Dr. Emeretus John Gilissen, Prof. Dr. Emeretus Frits Gorle, Sejarah Hukum........hal.
391 22 Karena apakah Islam memang dengan sengaja membentuk suatu negara atau tidak masih
interpretable, yang mana keberadaan Islam menjadi negara atau tidak akan berimplikasi pada hukum yang dihasilkannya, apakah menjadi sumber hukum saja sehingga dalam proses persidangan hukum Islam merupakan rujukan saja dan disesuaikan dengan kondisi di tiap-tiap negara. ataukah menjadi aturan hukum yang sudah mendapat legitimasi kekuasaan negara.
66
(dalam pengertiannya yang mutakhir) dalam khazanah sistem hukum Islam, tapi
yang pasti bahwa hukum Islam memiliki sebuah sistem hukum materiil meski
hanya tertuang dalam kitab karya ahli hukum Islam (fuqaha)-terlepas apapun
aliran madzhabnya- adalah sebuah kebenaran sejarah, meskipun fikih hanya
merupakan sebuah yurisprudensi. Meski pula dikemudian hari kesulitan
penerapan syari’ah tetap menjadi kendala karena keberadaan aturan hukum
materiil dalam sistem hukum Islam tidak dibarengi dengan keberadaan hukum
formil yang sistematis pula. Mengacu pada konsepsi diatas didapat sebuah
konklusi bahwa dengan ditemukannya sistem hukum materiil dalam hukum Islam
seharusnya hukum acara juga harus ada, entah dalam bentuknya yang mungkin
sangat sederhana.
Kisah berikut ini barangkali menggambarkan bagaimana hukum materiil
dalam hukum Islam ditegakkan melalui persidangan yang mungkin masih dalam
bentuknya yang sangat sedrhana. Dikisahkan bahwa Ubai bin Ka’ab pernah
mengajukan tuntutan kepada khalifah Umar bin Khattab atas perkara pertikaian,
kasus ini kemudian disidangkan pada mahkamah syari’ah dengan Zaid bin Tsabit
bertindak sebagai hakim, sidang ini akhirnya dimenangkan oleh pihak Umar
karena Ubai tidak mampu menunjukkan bukti yang cukup.23
Kisah diatas kiranya cukup memberi informasi bahwa proses
menyelesaikan suatu perkara hukum didepan hakim juga dikenal dalam hukum
23 Dr. H. Abdul Manan, S.H., S.IP., M.Hum., Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan
Peradilan, (Jakarta : Kencana, 2007), hal. 13
67
Islam, meski kisah tersebut belumlah cukup untuk memberikan gambaran secara
memuaskan tentang hukum acara dalam sistem hukum Islam.
Kesimpulan dari pembahasan ini adalah, Bisa dipastikan bahwa hukum
acara dalam sistem hukum Islam adalah tidak ada, manakala hukum acara kita
sepakati hanya dalam kerangka pemahaman sistem hukum modern, yang
menghendaki hukum acara tersistematisasi dalam lembaga peradilan dengan
prosedur-prosedur yang lengkap dan tertuang dalam kitab undang-undang hukum
acara pidana. Namun dalam pengertiannya yang sederhana, sesungguhnya hukum
acara dalam hukum Islam dapatlah dikatakan ada meskipun dalam bentuk
peradilan informal. Karena bagaimanapun, dalam bentuknya yang primitif
sekalipun suatu komunitas masyarakat tentu memiliki seperangkat peraturan, dan
pelanggaran terhadap aturan-aturan hidup bersama yang disepakati oleh suatu
komunitas pasti membutuhkan penyelesaian walaupun dengan cara yang paling
sederhana.
Dengan demikian mengamati hukum acara dalam hukum Islam harus
dalam kerangka bagaimana sebuah sistem hukum berproses menuju bentuknya
yang paling mutakhir, tanpa paradigma seperti ini maka bisa dipastikan bahwa
hukum acara dalam hukum Islam tidak pernah ada, dengan demikian, maka
hukum materiil dalam hukum Islam juga tidak pernah ada. Wallahu ‘Alam bi al-
shawab.
68
B. Analisis Hukum Islam Terhadap Prosedur Peninjauan Kembali Kasus
Munir
Pada bab sebelumnya telah penulis paparkan tentang berbagai macam
persoalan dalam upaya penyelesaian kasus pembunuhan terhadap aktifis pejuang
HAM Munir. Dalam pengungkapan kasus ini telah terjadi sebuah terobosan pada
prosedur hukum acara pidana yang telah menyentak berbagai pihak, terobosan
tersebut sekaligus sebagai sebuah pembelajaran bagi kita semua bahwa kebenaran
sudah seyogyanya harus ditegakkan.
Pada bab-bab sebelumnya penulis sudah memaparkan beberapa teori dan
argumentasi hukum sebagai upaya agar kebenaran materiil dapat dicapai. Hukum
acara pidana telah mengatur bahwa pengajuan PK secara formil adalah menjadi
hak bagi terpidana atau ahli warisnya, dengan demikian tertutuplah peluang bagi
jaksa untuk mengajukan PK. Namun dalam perjalanan penuntasan kasus
pembunuhan Munir ditemukan bukti-bukti yang semakin membawa kita semua
pada titik terang siapakah dalang pembunuh Munir, namun ironisnya adalah
justru bukti-bukti tersebut ditemukan saat secara formil tertutup sudah upaya
hukum yang menjadi hak jaksa sebagai pengemban amanat hati publik, karena
hanya menyisakan upaya hukum PK yang notabene hanyalah menjadi hak
terpidana atau ahli warisnya, sementara terdakwa Pollycarpus tentu tidak akan
mem PK dirinya sendiri karena telah diputus bebas pada sidang kasasi.
Kiranya apa yang dilakukan oleh jaksa dengan mengajukan PK terhadap
putusan kasasi MA tentang kasus pembunuhan Munir merupakan sesuatu yang
69
perlu kita apresiasi, mengingat independensi dan tekad yang besar untuk
menegakkan hukum oleh lembaga peradilan kerapkali mendapatkan tekanan dari
oknum penguasa yang berkepentingan.
Beberapa alasan yang membuat upaya PK yang ditempuh oleh jaksa
adalah karena ditemukannya bukti-bukti baru (novum), dan jaksa memohon
kepada para hakim demi penegakan hukum agar pasal 263 bisa ditafsiri secara
ekstensif mengingat begitu kuatnya bukti-bukti yang ditemukan. Jaksa juga
menggunakan UU No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman, yang tidak
memberikan limitasi pengajuan PK hanya untuk terpidana atau ahli warisnya
melainkan pihak-pihak yang berkepentingan di pengadilan.
Cara-cara yang dilakukan baik oleh hakim maupun jaksa dalam upaya PK
bukannya tanpa resiko, karena dengan demikian kepastian hukum yang menjadi
tuntutan setiap proses penyelesaian perkara menjadi dipertanyakan.
Bagaimanakah hukum Islam merespons persoalan ini. upaya PK yang
dilakukan oleh jaksa seolah ingin menegakkan hukum dengan melanggar hukum
(demikian kata pengacara Pollycarpus), karena telah menerobos ketentuan hukum
acara yang ada.
Salah satu karakter yang membuat hukum Islam mampu bertahan hingga
saat ini adalah kemampuannya beradaptasi dengan berbagai bentuk kebudayaan
dengan melintasi ruang dan jaman, tanpa merubah prinsip utamanya.24 Ruang
24 Prof. Dr. Emeretus John Gilissen, Prof. Dr. Emeretus Frits Gorle, Sejarah Hukum........hal.
391
70
ijtihad telah memberikan wahana dan wacana agar hukum Islam mampu
merespons berbagai persoalan hukum dengan baik.
“Engkau lebih mengerti urusan duniamu” Demikianlah Rasulullah
berpesan, pesan ini menggambarkan betapa Rasul memiliki pandangan yang
begitu luas terhadap persoalan hukum dalam tubuh umat Islam mengingat
wilayah kekuasaan Islam yang bertambah besar. Sejarah merekam dengan indah
diskusi antara Nabi Muhammad dengan Mu’adz bin Jabal sesaat sebelum beliau
mengutusnya untuk menjadi qadli di Yaman,25
عش نع رمع نب فصا حثنداس حأن نة عبعن شب ةريغي المن أخرو ابمن عب ارثالح نع نوأبي ع نة عب نم صمل حأه نلمبن جب اذعاب محاذا أصعث معبأن ي ادا أرلم لمسو هليع لى اللهص ول اللهسأن ر
ب الله ى اليمن قال كيف تقضي إذا عرض لك قضاء قال أقضي بكتاب الله قال فإن لم تجد في كتاإلول اللهسر ةني سف جدت قال فإن لم لمسو هليع لى اللهص ول اللهسر ةنلا قال فبسو لمسو هليع لى اللهص
و هردص لمسو هليع لى اللهص ول اللهسر برلا آلو فضأيي ور هدتقال أج اب اللهتي كف لهل دمقال الح لهالذي وفق رسول رسول الله لما يرضي رسول ال
Artinya : Mengabarkan kepada kami Hafsha bin Umar dari Syu’bah dari Abu
‘Aun dari Harits bin ‘Amr dan dari saudaraku mughiroh bin Syu’bah dari Unas dari keluarga Himsha dari sahabat Mu’adz bin Jabal, ketika Rasulullah. Saw hendak mengutus Mu’adz ke Yaman beliau bertanya : “Bagaimanakah engkau menguhukumi persoalan hukum yang diserahkan kepadamu?” Mu’adz menjawab : “Aku akan menguhukumi dengan kitab Allah“, Rasul bertanya : “ Jika tidak kau temukan dalam kitab Allah ?”, Mu’adz menjawab : “ Maka dengan sunnah Rasulullah “, Rasul bertanya : “ Jika tidak kau temukan dalam kitab Allah dan juga dalam sunnah Rasulullah ?’, Mu’adz menjawab : “ Aku akan berijtihad dengan pendapatku, tidak meringkas ijtihad dan tidak meninggalkan keluasan ijtihad ”, Rasulullah pun memukul (tanda senang) punggung Mu’adz sambil berkata “ Segala puji bagi Allah
25 Abu Daud, Sunan Abu Daud, juz 6 (Kairo : Dar el-Hadits, 2001), hal. 425
71
yang benar-benar menolong utusan Rasulullah yang telah diridloi oleh Rasulullah. (H.R. Abu Daud).
Hadits ini kiranya mencukupi sebagai alat analisa terhadap upaya jaksa
yang mengajukan PK dengan menerobos peraturan yang tertulis dalam hukum
acara pidana di Indonesia. Karena ijtihad merupakan upaya untuk menemukan
hukum yang mungkin belum terungkap atau bahkan tidak kita dapati aturannya
secara jelas dalam al-Qur’an.26
PK merupakan aturan hukum yang dibuat oleh sebuah sistem hukum
modern, dimana aturan mengenai PK tidaklah diketemukan dalam sistem hukum
Islam, tetapi bahwa apa yang telah dilakukan oleh jaksa dengan mengajuan PK
walaupun dengan menerobos aturan hukum yang ada merupakan suatu upaya
untuk menegakkan keadilan, dimana hal ini merupakan tujuan tertinggi dari
adanya hukum Islam secara khusus dan tujuan hukum secara umum.
Pernyataan yang dipaparkan oleh Ahmad Hasan berikut ini kiranya adalah
gambaran dari tradisi hukum Islam awal yang paling sederhana yang sudah
memberikan ruang berijtihad bagi persoalan yang baru, meski dalam beberapa
kasus harus “melanggar” hukum yang sudah ada :
Teori hukum dalam Islam tentunya telah ada dalam bentuknya yang sederhana pada masa sahabat nabi, ketika mereka berhadapan dengan kondisi-kondisi yang baru. Mereka tentu telah berfikir mengenai sumber hukum dan metode penalaran untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang baru. Dalam
26 Lihat.... Drs. Moh. Adib Bisri, Terjemah Al-Faraidul Bahiyyah, (Kudus : Menara Kudus,
tt), hal. 33
72
kasus-kasus tertentu mereka membuat aturan sendiri dan melanggar praktek yang sudah berlaku.27
Kisah berikut ini barangkali dapat kita pakai sebagai pengayaan wacana,
meskipun kisah ini sangat berbeda kasus dan konteksnya. Pada masa
pemerintahan khalifah Umar bin Khattab, terjadi musim paceklik yang
berkepanjangan sehingga kemiskinan dimana-mana dan dalam kadarnya yang
sangat memprihatinkan, dalam kondisi demikian khalifah Umar pernah menolak
untuk memberlakukan hukuman potong tangan bagi para pencuri, dimana
hukuman ini tertera dalam al-Qur’an serta disepakati oleh umat Islam Arab
selama bertahun-tahun.28 Dan ternyata banyak kisah yang menuturkan bahwa
para khalifah awal umat Islam banyak sekali melakukan terobosan hukum,29
menghapus hukum yang lama dan menggantinya dengan hukum yang baru, meski
lagi-lagi hanya seputar perubahan hukum materiil, tetapi bahwa terobosan hukum
selalu diperlukan guna menata kehidupan masyarakat yang lebih baik.
Beberapa informasi diatas kiranya memberikan informasi kepada kita
bahwa upaya untuk menerobos hukum yang sudah tertulis sesungguhnya sudah
dikenal sejak lama, selama bahwa terobosan hukum yang dilakukan adalah
didasarkan pada kaidah ijtihad yang benar serta untuk kepentingan hukum dan
membawa keadilan dan kedamaian bagi warga masyarakat.
27 Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup………….hal. xvi-xvii 28 http://www.nu.or.id/page.php data diakses tanggal 30-09-09 29 Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta : Kencana, 2008), cet. VIII, hal. 239-
240
73
Upaya PK yang dilakukan oleh jaksa dalam kasus munir terhadap
Pollycarpus adalah dalam kerangka memenuhi keadilan dan menemukan
kebenaran agar ketentraman dalam masyarakat dapat diwujudkan. Bukti-bukti
baru yang ditemukan oleh jaksa adalah alasan kuat yang membuat MA
mengabulkan permohonan PK yang diajukan oleh jaksa, meski dengan
menerobos aturan hukum acara yang ada.
Tetapi perlu dicermati pula bahwa upaya jaksa dalam menerobos hukum
acara bukanlah dilakukan secara serampangan dan sembarangan, melainkan
berdasar pada yurisprudensi kasus Mukhtar Pakpahan serta dengan menafsirkan
pasal 263 secara ekstentif dengan merujuk pada UU No.4 Tahun 2004 tentang
kekuasaan kehakiman yang tidak memberikan limitasi terhadap siapa yang berhak
mengajukan PK, lebih dari itu bahwa PK diajukan adalah karena adanya bukti
baru yang lebih valid yang dapat menunjukkan kebenaran, yang mana jika tidak
diproses maka ini benar-benar melukai rasa kadilan dalam masyarakat. Bukankah
dalam al-Qur’an telah diperintahkan agar kita memutuskan setiap kasus hukum
dengan adil.
¨βÎ) ©! $# öΝ ä.ã� ãΒ ù'tƒ βr& (#ρ–Š xσè? ÏM≈uΖ≈ tΒF{ $# #’n<Î) $yγÎ=÷δr& # sŒÎ) uρ Ο çFôϑ s3ym t ÷t/ Ĩ$Ζ9$# β r& (#θßϑä3 øtrB ÉΑ ô‰yèø9 $$ Î/ 4 ¨βÎ)
©! $# $ −ΚÏèÏΡ / ä3 Ýà Ïètƒ ÿ ϵÎ/ 3 ¨βÎ) ©! $# tβ%x. $ Jè‹ Ïÿxœ #Z�� ÅÁt/ )٥٨: النساء(
Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat. ( Q.S. An-Nisa’ [4] : 58)
74
!$‾Ρ Î) !$uΖ ø9 t“Ρr& y7ø‹ s9 Î) |=≈ tG Å3ø9 $# Èd,ysø9 $$Î/ zΝ ä3óstG Ï9 t ÷t/ Ĩ$Ζ9$# !$oÿ Ï3 y71 u‘ r& ª!$# 4 Ÿωuρ ä3s? tÏΖ Í←!$ y‚ù=Ïj9 $ Vϑ‹ ÅÁ yz
)١٠٥: النساء(
Artinya : Sesungguhnya kami Telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang Telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), Karena (membela) orang-orang yang khianat ( Q.S. An-Nisa’ [4] : 10530
Mencermati prosedur pengajuan PK yang dilakukan oleh jaksa diatas
memang bertentangan dengan prosedur hukum acara pidana yang berlaku, dan
sudah selayaknya mendapatkan tanggapan yang beragam. tetapi keadilan dan
kebenaran juga tidak boleh dikesampingkan karena hal tersebut menjadi cita-cita
tertinggi dibentuknya hukum. Lalu bagaimanakah pandangan hukum Islam
menyikapi prosedur PK yang dilalui oleh jaksa.
Menilik percakapan antara Nabi dan Mu’adz diatas, kiranya dapat kita
dapati suatu kondisi dimana prosedur PK yang dilakukan oleh jaksa
mengindahkan betul konsep “tidak meringkas ijtihad dan meninggalkan keluasan
ijtihad”, karena jaksa menerobos aturan hukum acara dengan ketentuan hukum
acara itu sendiri. Artinya walaupun PK yang diajukan jaksa adalah dengan
menerobos aturan hukum yang sudah tertulis, namun terobosan itu dilakukan
30 ayat Ini dan beberapa ayat berikutnya diturunkan berhubungan dengan pencurian
yang dilakukan Thu'mah dan ia menyembunyikan barang curian itu di rumah seorang Yahudi. Thu'mah tidak mengakui perbuatannya itu malah menuduh bahwa yang mencuri barang itu orang Yahudi. hal Ini diajukan oleh kerabat-kerabat Thu'mah kepada nabi s.a.w. dan mereka meminta agar nabi membela Thu'mah dan menghukum orang-orang Yahudi, kendatipun mereka tahu bahwa yang mencuri barang itu ialah Thu'mah, nabi sendiri hampir-hampir membenarkan tuduhan Thu'mah dan kerabatnya itu terhadap orang Yahudi. Lihat ........
75
berdasarkan kaedah-kaedah hukum yang juga mendapatkan legitimasi, baik
secara teori maupun yurisprudensi. Dengan demikian menurut penulis prosedur
PK yang dilakukan oleh jaksa sudah sangat Islami.
C. Pandangan Hukum Islam Terhadap Argumentasi Hukum Dalam
Peninjauan Kembali Kasus Munir
Substansi dibentuknya hukum adalah sebagai alat rekayasa sosial (social
engineering) agar suatu komunitas masyarakat dapat menjalankan kehidupan
sehari-hari dengan baik, karena dengan adanya peraturan hukum yang baik
diharapkan suatu masyarakat dapat tertata secara tertib dan damai, serta
terpenuhinya penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Demikian juga dengan apa yang dilakukan oleh jaksa ketika melakukan
permohonan PK terhadap terdakwa Pollycarpus dalam kasus pembunuhan Munir,
adalah suatu upaya hukum agar substansi dan tujuan daripada hukum dapat
dicapai, meski dengan cara-cara yang “liberal” dan menggunakan argumentasi
hukum yang seolah-olah melanggar ketentuan hukum.
Menurut penulis argumentasi hukum yang diajukan jaksa dalam
mengajukan PK terhadap Pollycarpus pada kasus pembunuhan Munir benar-benar
berangkat dari penemuan bukti-bukti baru yang dapat menunjukkan siapa dalang
dibalik terbunuhnya Munir, yang mana jika ini tidak diproses dapat melukai rasa
keadilan dan melemahkan wibawa lembaga peradilan.
76
Pasal 263 ayat (1) KUHAP memberikan limitasi bahwa yang berhak
mengajukan PK adalah terpidana atau ahli warisnya, namun pasal ini ditafsirkan
secara ekstensif mengingat pasal 263 ayat 3 mengandung disparitas dengan
seolah-olah memberikan peluang kepada selain terpidana dan ahli warisnya untuk
mengajukan PK. Mengapa perlu ditafsirkan secara ekstensif adalah mengingat
bahwa bukti baru yang ditemukan begitu kuat, sementara Pollycarpus telah
diputus bebas dalam sidang kasasi, sedangkan secara formil habis sudah upaya
hukum bagi jaksa untuk melanjutkan persidangan, dan pihak Polly tak mungkin
mengajukan PK bagi dirinya yang telah diputus bebas.
Dalam kasus konspiratif dan pelik semacam ini memang seorang hakim
ataupun jaksa tidak bisa semata-mata mengikuti alur berfikir yang teramat
positifistik karena cara berfikir semacam ini dapat menyesatkan,31 pada bab
terdahulu penulis sudah memaparkan bahwa pasal 263 merupakan pasal yang
memang kontroversial, untuk mengurainya ada beberapa teori hukum yang dapat
digunakan yaitu, legislative history dan general public purpose yang mana
dengan menggabungkan kedua teori tersebut jaksa dapat menafsirkan undang-
undang bahkan menafsirkan undang-undang secara bebas atau liberal,32 jika
memang undang-undang yang ada tidak mampu menyelesaikan persoalan hukum
yang rumit dan pelik.
31 Andre Uta Ujan dalam Hasil Eksaminasi Publik Atas Putusan Bebas Terdakwa Muchdi Pr,
(Jakarta : KASUM, 2009), hal. 53-56
32 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP........hal. 650
77
Dalam dunia akademis ada beberapa aliran atau yang dikenal dengan
madzhab hukum, diantaranya kita kenal dengan madzhab Positivistik, yaitu aliran
hukum yang mendasarkan hukum pada kondisi faktual dan empiris, dalam aliran
ini dikenal adanya pemisahan antara kondisi faktual dan normatif-dalam aras
formal, artinya sebuah fakta tidak serta merta menuntut adanya sebuah keharusan,
lebih lanjut menurut aliran ini, hukum yang baik adalah hukum yang memenuhi
tujuan yang ingin dicapai dari adanya hukum dan juga hukum yang secara
prosedural normatif memenuhi terciptanya sebuah hukum.33 Prinsip inilah yang
tidak dipahami secara mendalam dari teori ini.
Sehingga dalam proses implementasinya madzhab positivistik dikenal
cenderung dogmatis dan sangat legal formal sehingga fakta yang ada tidak serta
merta bisa merubah keadaan formal hukum yang tidak sesuai dengan aturan yang
tertulis, cara berfikir yang terlalu positivistik semacam ini membuat manusia
harus masuk dalam kerangka hukum atau dengan kata lain hukum yang
menguasai manusia dan bukan sebaliknya. Sesungguhnya yang dikehendaki
adalah, substansi dari tujuan hukum itu sendiri, sehingga jika terdapat aturan yang
dirasa tidak memenuhi asas keadilan maka tak ada alasan untuk tidak melakukan
penafsiran atau bahkan perubahan terhadap aturan hukum, karena hukum dibuat
adalah untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia.
33 Antonius Cahyadi, E. Fernando M. Manulang, Pengantar ke Filsafat Hukum, (Jakarta :
Kencana Prenada Media Group, 2007), Cet. I, hal. 58-59,
78
Apa yang dilakukan oleh jaksa dalam kasus ini harus dipandang dalam
kerangka yang proporsional, dimana inti dari suatu proses peradilan adalah
ditemukannya kebenaran, meski hal inipun tetap akan menyisakan persoalan.
Dalam kasus pengajuan PK yang dilakukan oleh jaksa terhadap Pollycarpus
menyisakan satu pertanyaan serius yaitu bahwa dengan diterobosnya ketentuan
formil maka kepastian hukum menjadi dipertanyakan. Barangkali pertanyaan ini
dapat kita jawab manakala kita kembali merujuk pada nilai-nilai filosofis
dibentuknya hukum yakni agar kedamaian dan ketenteraman dan penghargaan
terhadap harkat dan martabat manusia dapat dijaga, dengan pandangan ini maka
barangkali tidaklah berlebihan jika dengan ditemukannya kebenaran juga
merupakan kepastian hukum itu sendiri.
Beberapa argumentasi hukum yang diajukan oleh jaksa dalam upaya
mengajukan PK terhadap terdakwa Pollycarpus antara lain :
1. Pasal 263 KUHAP.
2. Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M.01.PW.07.03 tahun 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP: Tidak adanya larangan bagi JPU untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung, oleh karena itu JPU dapat melakukan permohonan PK.
3. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan, atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil. Oleh karena itu, KUHAP harus secara maksimal digunakan dengan melenturkan atau mengembangkan atau menafsirkan secara ekstensif ketentuan-ketentuannya, in casu 263 KUHAP.
4. Pembacaan Pasal 263 (2) KUHAP secara harafiah mengakibatkan terdakwa tidak dapat lagi diapa-apakan meskipun kemudian ditemukan novum yang dapat dipergunakan untuk membuktikan perbuatan pidana dan kesalahan terdakwa. Supaya adil, ayat tersebut hendaknya dibaca secara a contrario,
79
5. Perlu pergeseran perspektif hukum acara dari offender oriented menjadi victim oriented, dari keadilan retributif menjadi restoratif/sosiologis. Upaya hukum dalam hal ini merupakan mekanisme perlindungan korban kejahatan dalam lingkup prosedural ketika peradilan sering tidak memenuhi rasa keadilan. Jadi, dalam melakukan upaya hukum, termasuk PK, JPU mewakili kepentingan masyarakat, kolektif maupun individual.
6. Atas dasar Asas Keseimbangan Hak, JPU harus diberikan kesempatan yang sama untuk mengajukan PK. Hal ini sesuai dengan Model Keseimbangan Kepentingan yang memperhatikan pelbagai kepentingan yang harus dilindungi hukum pidana, yaitu kepentingan negara, umum, individu, pelaku tindak pidana dan korban kejahatan.
7. Dalam putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, JPU lah pihak yang mengajukan PK. Hal ini sejalan dengan Pasal 263 (3) KUHAP perihal PK terhadap putusan yang menyatakan dakwaan terbukti tapi tidak diikuti pemidanaan. PK pasti tidak diajukan oleh terpidana karena tidak adanya pemidanaan, jadi oleh JPU. Tidak adil bila terdakwa telah melakukan tindak pidana tetapi tidak dapat dihukum karena alasan formal.
8. Untuk memperoleh penyelesaian perkara yang lebih fair dari aspek kepentingan umum dan tuntutan rasa keadilan yang lebih hakiki serta manusiawi (“according to the principle of justice”) MA telah melakukan penafsiran ekstensif dalam bentuk growth of meaning atau melakukan overrule terhadap ketentuan-ketentuan imperatif dalam KUHAP.
9. Meskipun hukum acara pidana tidak menganut Asas Kekuatan Mengikat dari Preseden (binding force of precedent), namun untuk memelihara keseragaman putusan (consistency in court decision), MA dalam perkara PK berikutnya telah cenderung mengikuti putusan perkara PK terdahulu. Putusan-putusan a quo merupakan pedoman dalam memeriksa dan mengadili perkara yang sama, sekaligus sumber hukum dan pembentukan hukum.
10. MA telah beberapa kali menerima permohonan PK oleh JPU, yaitu:
• Perkara atas nama terdakwa Muchtar Pakpahan (Putusan MA Nomor: 55PK/Pid/1996 tanggal 25 Oktober 1996)
• Perkara atas nama terdakwa Ram Gulumal alias V. Ram (Putusan MA Nomor: 3PK/Pid/2001 tanggal 2 Agustus 2001)
• Perkara dengan terdakwa Soettiyawati alias Ahua binti Kartaningsih (Putusan MA Nomor: 15PK/Pid/2006 tanggal 9 Juni 2006).
80
Beberapa argumentasi hukum yang diajukan oleh jaksa dalam pengajuan
PK ini adalah dilakukannya penafsiran secara ekstensif oleh jaksa terhadap pasal
263, yang mana hal ini didasarkan pada yurisprudensi MA RI yang telah
melakukan penafsiran secara ekstensif dalam bentuk to growth the meaning atau
overrule, yang mana hal ini adalah diskresi demi memenuhi rasa keadilan. Juga
perlu menggeser perspektif offender oriented menjadi victim oriented, dari
keadilan retributive menjadi keadilan restorative atau sosiologis.34
Sekali lagi bahwa aturan administrasi hukum acara pidana tidak kita
dapati secara valid dalam khazanah hukum Islam, maka untuk mengkaji
bagaimanakah pandangan hukum Islam terhadap argumentasi hukum dalam PK
kasus Munir, nampaknya penulis harus menghubungkannya dengan prinsip-
prinsip dalam hukum Islam.
Yang menjadi kontroversi dalam proses pengajuan PK terhadap terdakwa
Pollycarpus adalah tentang argumentasi hukum yang digunakan oleh jaksa, yakni
dengan menafsirkan pasal 263 KUHAP secara ekstensif.
Jika dalam teori hukum umum kita dapati teori to growth the meaning
(mengembangkan maksud undang-undang) atau overrule, yang dapat mana hal ini
membuat undang-undang dapat ditafsirkan secara ekstensif demikianlah anjuran
dari MA. Dalam kaidah fiqih35 juga terdapat suatu teori yang menyatakan قةشالم
dari kaidah pokok ini melahirkan (kesulitan itu membawa kemudahan) ريسيتثجلب ال
34 Risalah Kasus Munir………..283 35 Drs. Moh. Adib Bisri, Terjemah Al-Faraidul Bahiyyah, (Kudus : Menara Kudus, tt), hal. 21
81
beberapa kaidah cabang antara lain kaidah yang menyatakan الامر ذاا ضاق التسع
(sesuatu itu apabila sempit, maka menjadi luas), Dengan demikian penafsiran
secara ekstensif terhadap pasal 263 sesuai dengan kaidah fikih ini. Jaksa
menafsirkan pasal 263 secara ekstensif karena hukum formil yang ada dirasa
mempersempit ruang gerak lembaga peradilan untuk memperjuangkan keadilan
bagi korban Munir, sedangkan bukti baru yang ditemukan sangat kuat.
Dari informasi diatas kiranya kita dapati bahwa terobosan hukum serta
argumentasi hukum yang digunakan oleh jaksa dalam penuntasan kasus Munir
merupakan upaya hukum yang sudah memperhatikan aturan-aturan hukum yang
ada.
Bagaimana mungkin seorang hakim bisa tidur nyenyak manakala ada seorang yang tidak bersalah mendapatkan hukuman, dan bagaimana pula seorang hakim bisa tidur dengan nyenyak manakala seorang yang bersalah berkeliaran bebas ditengah-tengah masyarakat. Demikianlah sebuah petuah mengingatkan.
82
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
“......bahkan apabila masyarakat politik bersepakat membubarkan diri, harus dipastikan bahwa orang terakhir yang sudah dinyatakan bersalah harus
dihukum sesuai dengan kesalahannya, ini penting agar pelaku kejahatan tidak dibiarkan berbaur dengan anggota masyarakat lainnya hanya karena masyarakat
gagal menghukumnya” (Imanuel Kant).1 Hukum yang ideal seharusnya mampu mengakomodir tiga faktor penting
yang menentukan kelayakan sebuah aturan hukum, yakni hukum harus bernilai
yudikatif, sosiologis, dan filosofis. Hanya dengan ketiga faktor tersebut sebuah
hukum memungkinkan untuk diterapkan dalam sebuah komunitas masyarakat
atau dalam sebuah negara. Lebih lanjut dikemukakan bahwa syarat
keberlangsungan sebuah tatanan masyarakat yang sehat diperlukan beberapa
faktor yakni aturan hukum yang baik, aparat penegak hukum yang baik, fasilitas
yang memadai, serta masyarakat yang baik pula.2
Demikian penting arti dari sebuah penegakan supremasi hukum, karena
hukum merupakan alat untuk mencapai tujuan agar penghargaan terhadap harkat
dan martabat manusia bisa dicapai dan dijaga. Untuk itulah hukum acara atau
hukum formil disusun sedemikian rupa sebagai upaya untuk memberikan
1 Andre Ata Ujan Ph.D, Mengevaluasi Argumen Dalam Kasus Hukum H. Muchdi
Puwopranjono, Sebuah Persepsi Filosofis, Dalam Hasil Eksaminasi Publik Atas Putusan Bebas Terdakwa Muchdi Pr, ( Jakarta : KASUM, 2009), hal : 52
2 Dr. Soerjono Soekanto SH.,MA dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat, (Jakarta : CV. Rajawali, 1980), hal. 13-18.
83
keadilan pada hukum materiil, karena keadilan yang bersifat materiil lebih
penting untuk dipenuhi daripada keadilan formil, sehingga jika hukum formil
sudah tidak mampu lagi memberikan keadilan materiil, maka hukum formil
haruslah dirubah sehingga memenuhi keadilan materiil.
Berbicara mengenai PK tentu kita akan berbicara mengenai Pasal 263
karena pasal inilah yang dijadikan rujukan awal yang mengatur seluk beluk PK.
Pasal 263 juga harus tetap dipandang sebagai upaya untuk melindungi terdakwa
dalam sebuah proses persidangan, karena terdakwa dalam hal ini berperkara
dengan negara yang menurut Ibn Khaldun memiliki kekuatan dan kekuasaan
untuk memaksa, sehingga apapun kondisi dan seberapapun besar kejahatan yang
dilakukan oleh terdakwa, dia harus tetap benar-benar dilindungi, hal ini sebagai
perwujudan dan penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Namun dalam kondisi tertentu penafsiran secara ekstensif terhadap
undang-undang perlu dilakukan jika undang-undang formil yang ada belum
cukup untuk menuntaskan kasus yang ada, ini penting karena ini untuk memenuhi
rasa keadilan.
Jaksa selain sebagai perwakilan negara juga mewakili kepentingan umum.
Dalam konteks kasus Munir Jaksa memiliki kewajiban memenuhi keadilan pada
terdakwa sekaligus terhadap keluarga Munir, karena pembunuhan Munir
merupakan konspirasi yang melibatkan negara. Kasus ini terbilang sebagai kasus
yang kompleks dan berat sehingga hakim tidak bisa semata-mata mengikuti alur
berfikir linear formal, karena seringkali cara berfikir semacam ini dapat
84
menyesatkan, sehingga pada kasus-kasus semacam ini hakim tidak hanya dituntut
untuk cerdas tetapi juga memiliki moral dan dedikasi yang tinggi terhadap
kebenaran dan keadilan, hingga pada titik tertentu, melalui analisa yang
komprehensif hakim dapat melakukan terobosan hukum yang waras demi
tercapainya keadilan materiil.
Pengajuan PK dengan menerobos pasal 263 sebagai upaya penuntasan
kasus Munir patut diapresiasi dengan baik, mengingat bukti yang diajukan dalam
persidangan PK begitu kuat, terlepas dari berbagai kontroversinya. Ini sebagai
preseden bahwa hukum harus ditegakkan tidak peduli bahwa terdakwa terlibat
dengan aparatur negera atau dengan dalih menjalankan tugas negara.
Tentang kontroversi penerobosan jaksa terhadap pasal 263 memang logis.
Benar bahwa pada ayat 1 pasal 263 memberikan batasan tentang siapa yang
berhak mengajukan peninjauan kembali, tetapi ayat 3 pasal 263 memberikan
peluang kepada jaksa karena jika ditemukan bukti baru yang kuat seorang
terdakwa tidak akan mau mengajukan PK bagi dirinya sendiri yang sudah diputus
bebas.
Bahwa baik prosedur maupun argumentasi hukum yang digunakan oleh
jaksa dalam mengajukan PK adalah dengan menggunakan undang-undang
sehingga upaya hukum yang dilakukan oleh jaksa sudah memenuhi kaidah dalam
hukum Islam, yakni bahwa “dalam memproses dan memutuskan suatu perkara
hukum tidak boleh menyederhanakan kaidah hukum secara gegabah juga tidak
boleh mempersempit hukum” kaidah inilah yang harus diteladani dari percakapan
85
Nabi dengan Mu’adz bin Jabal. Begitu juga dengan argumentasi hukum yang
digunakan oleh jaksa dalam menafsirkan pasal 263 secara ekstensif untukl
mengajukan PK bisa kita dapati “padanannya” dalam hukum Islam.
Dengan demikian upaya hukum yang dilakukan oleh jaksa dalam
menuntaskan kasus pembunuhan Munir, dapat dikatakan memenuhi beberapa
kaidah dalam hukum Islam. Tetapi yang menggembirakan dalam upaya PK yang
dilakukan oleh jaksa adalah, bahwa jaksa berhasil membuktikan independensinya,
ditengah sistem peradilan kita yang masih belum sepi dari campur tangan
penguasa.
B. Saran
1. Pengkajian terhadap konsep hukum acara pidana dalam hukum Islam tetap
harus dilanjutkan, karena belum ada literatur yang menjelaskan secara berani
bahwa hukum acara dalam hukum Islam tidak ada.
2. Pasal 263 harus tetap dalam kerangka melindungi terdakwa, karena terdakwa
berhadapan dengan negara dengan segala kekuasaannya. Meski dalam kasus
tertentu tidak harus selalu demikian.
3. Dalam menerapkan sebuah aturan hukum sebaiknya jangan terlampau
positifistik formal, mengingat aturan hukum formil tidak selalu dapat
memenuhi kebutuhan dalam mengungkap kebenaran materiil.
4. Memenuhi kebenaran materiil adalah tujuan diadakannya proses persidangan,
sehingga kebenaran formil harus diutamakan.
86
5. Dilakukanya perbaikan pada aturan-aturan hukum yang masih rancu, serta
peningkatan profesionalitas di lingkungan peradilan, hal ini dilakukan sebagai
upaya memenuhi prasyarat terbentuknya masyarakat yang sehat, karena jika
syarat-syarat terbentuknya masyarakat yang sehat tidak dapat terpenuhi secara
keseluruhan, setidaknya aturan dan penegak hukumnya haruslah benar-benar
sehat. Karena dalam hal ini negara memiliki kekuatan dan kekuasaan lebih
besar dalam proses sosial engineering ke arah yang lebih baik.
6. Independensi lembaga peradilan harus di tingkatkan, karena tanpa
independensi yang penuh dari lembaga peradilan, maka mustahil lembaga
peradilan dapat membuat keputusan yang menenteramkan masyarakat.
87
DAFTAR PUSTAKA
Amin, KH. Ma’ruf. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam. Jakarta : eLSAS, 2008 Abdurrahman, H. SH. MH, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta : CV.
Akademika Pressindo, 2004 Amin, Darori. Islam dan Kebudaya Jawa. Yogyakarta: Gama Media, 2000 An-Na’im, Abdullahi Ahmed, Dekonstruksi Syari’ah, Alih Bahasa Ahmad Suaedy,
Amirudin ar-Rany, (Yogyakarta : LKIS, 2004 Apeldoorn, Prof. Dr. Mr. L.J. Van Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : PT Pradnya
Paramita, 1996 Arikunto, Prof. Dr. Suharsimi, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek, edisi
revisi V. Jakarta : Rineka Cipta, 2002 Bahry, Zainul, Kamus Umum; Khususnya Bidang Hukum & Politik, Bandung: Angkasa,
1996 Bisri, Drs. Moh. Adib, Terjemah Al-Faraidul Bahiyyah, Kudus : Menara Kudus, tt Cahyadi, Antonius, M. Manulang, E. Fernando, Pengantar ke Filsafat Hukum, (Jakarta :
Kencana Prenada Media Group, 2007) Daud, Abu, Sunan Abu Daud ,juz 6, Kairo : Dar el-Hadits, 2001 El Fadl, Khaled M, Abou. Atas Nama Tuhan, Penerjemah R. Cecep Lukman Yasin.
Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta, 2004 Friedman, Lawrence M, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Social, Alih Bahasa : M Khozim,
Bandung : Nusa Media, 2009 Gilissen, Prof. Dr. Emeretus John, Gorle, Prof. Dr. Emeretus Frits, Sejarah Hukum, Alih
Bahasa : Drs. Freddy Tengker, SH., CN, Bandung : Refika Aditama, 2007 Harahap, S.H, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Jakarta,
Sinar Grafika, 2006 Harahap, S.H, M. Yahya, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, UU
No. 7 Tahun 1989, Jakarta : Sinar Grafika, 2005 Hasan, Ahmad, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Bandung : Penerbit Pustaka, 1994
88
Hitti, Philip K. History of The Arabs, Penerjemah : R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Ryadi, Jakarta : Serambi Ilmu Semesta, 2002
Hanafi, Ahmad. Asas-Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta : PT Bulan Bintang, 2005 Hamzah, Dr. Andi. KUHP & KUHAP. Jakarta : PT Rineka Cipta, 2004 Khaldun, Ibn. Muqaddimah. Penerjemah: Ahmadie Toha, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2006 Manan, S.H., S.IP., M.Hum., Dr. H. Abdul, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan
Peradilan, (Jakarta : Kencana, 2007), Mujieb, M. Abdul dkk. Kamus Istilah Fiqih. Jakarta : Pustaka Firdaus, 1994 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 2002 Suminto, H. Aqib. Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta : LP3ES, 1985 Scacht, Joseph. Pengantar Hukum Islam. Penerjemah : Joko Supomo. Jogjakarta:
Penerbit Islamika, 2003 Simon S.H dan Mugiyanto, Mengenal HAM dan Hak Korban Seri Buku Saku , Jakarta:
Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), Kontras Aceh, Catholic Agency for Overseas Development, t.t
Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri. Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Singkat. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001 Soemitro, Ronny Hanitijo. Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta : Ghalia
Indonesia, 2002 Soekanto SH.,MA, Dr. Soerjono dan Abdullah Mustafa, Sosiologi Hukum Dalam
Masyarakat, Jakarta : CV. Rajawali, 1980 Soetcipto, Adi Andojo, Prospek Penyelesaian Kasus Munir Melalui Peninjauan Kembali
Putusam MA, Dalam Komite Solidaritas Aksi Untuk Munir (KASUM), Risalah Kasus Munir, Kumpulan Catatan dan Dokumen Hukum, Jakarta: C.V. Rinam Antartika, 2007
Syarifuddin, Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana, 2008 Tanusubroto, S. Dasar-dasar hukum acra pidana. Bandung: C.V. Armico, 1989
89
Ujan Ph.D, Andre Ata, Mengevaluasi Argumen Dalam Kasus Hukum H. Muchdi Puwopranjono, Sebuah Persepsi Filosofis, Dalam Hasil Eksaminasi Publik Atas Putusan Bebas Terdakwa Muchdi Pr, Jakarta : KASUM, 2009
Zahrah, Muhammad Abu, Imam Syafi’I, Penerjemah : Abdul Syukur, Ahmad Rivai
Uthman, Jakarta : Lentera, 2007
Data Dari Media Internet :
http://www.hukumunsrat.org/uu/uu_4_04.htm
http://hukumonline.com/detail.asp?id=19740&cl= Berita
http://www.kontras.org/munir/sidang.php
http://ad.detik.com/link/peristiwa/prs-relion.ad Detikcom
http://hukumonline.com/detail.asp?id=19740&cl= Berita
http://www.nu.or.id/page.php