hukum transendental; argumentasi hukum …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4814/1/pen....
TRANSCRIPT
1
1
HUKUM TRANSENDENTAL; ARGUMENTASI HUKUM MENGGUNAKAN NORMA-NORMA AGAMA
DI PENGADILAN NEGERI PURWOREJO
Penulis
Drs. Badwan, M.Ag
Farkhani, S.HI., S.H., M.H
2
2
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah swt dan shalawat serta salam semoga tetap
tercurah kepada Nabi Muhammad saw, keluarga, sahabat dan
pengikutnya sampai akhir zaman.
Kajian keilmuan di bidang hukum, berjalan dan beriring dengan
perkembangan keilmuan secara umum dalam dunia global. Ia bergerak
mengikuti siklus pergerakan keilmuan secara umum, ada saat dimana ia
muncul, berkembang dan tegak di atas permukaan keilmuan, terkadang
pula tertutupi oleh tren kemajuan dan perkembangan keilmuan dalam
sektor lain. Dalam keilmuan hukum berlaku pula falsifikasi, dekontruksi
maupun rekonstruksi dan bahkan pula ia berkutat dalam satu tren
kemudian bergerak secara evolutif menuju kejenuhan terhadap tren yang
dianggapnya sudah tidak lagi kompatibel terhadap kebutuhan dan
pergeseran kehidupan masyarakat.
Di Indonesia, proses seperti ini terasa pula dalam perkembangan
pewacanaan ilmu hukum. Positivisme hukum yang pernah jaya dan
diagungkan mulai dikritisi karena berbagai kegagapan dan kegagalan
dalam mewujudkan cita-cita hukum. Berdasarkan pada argumentasi ini,
ditopang semakin goyahnya positivisme menuju post positivisme
(bermula dari gerakan modernisme menuju post modernisme) serta
keinginan untuk mengkaji pada apa yang disebut hukum yang
berkeindonesiaan, muncullah berbagai macam tawaran wacana atau
pradigma keilmuan dalam ilmu hukum, sebut saja hukum progresif,
hukum non-sistemik, hukum profetik, hukum ala al-takwil al-ilmi dan
hukum transendental.
3
3
Penelitian ini mencoba memperbincang hukum transendental,
yakni suatu ajaran hukum yang bersumber pada nilai-nilai suci yang
terkandung dalam ragam kitab suci yang ada pada agama-agama dunia
(yang diakui di Indonesia) yang selanjutnya diobjektifikasi dalam ranah
realitas hukum yang dihadapi, yang diharapkan menghasilkan satu
produk hukum yang bernilai ilahiyah sekaligus kompatibel bagi
perkembangan kehidupan manusia, yang sudah barang tentu, salah satu
hasilnya tercermin dalam ragam argumentasi hukum yang dilakukan oleh
para pembelajar hukum, termasuk hakim-hakim pada sistem peradilan
yang berlaku di Indonesia.
Oleh karenanya dalam buku ini, kajian-kajian yang ada
didalamnya adalah berkenaan dengan apa yang dimaksud dengan hukum
transendental dan bagaimana mula perbincangan hukum transendental
ini terlacak. Kemudian bagaimana aplikasi dan prospek hukum
transendatal itu dalam ranah realitas hukum, salah satunya dipergunakan
dalam argumentasi hukum yang biasa dipakai oleh hakim dalam
memutuskan sebuah perkara. Untuk melihat perbincangan tersebut,
secara spesifik, buku ini mengkaji salah satu Putusan Pengadilan Negeri
Purworejo (Putusan Nomor: 61/Pid.B/2011/PN.Pwr). Dari sana, kita
dapat melihat bagaimana pradigma berfikir hakim yang mencoba
menerapkan hukum transendental dalam putusan pengadilannya.
Akhirnya, penulis bersyukur kepada Allah Swt yang memberikan
kekuatan untuk menyelesaikan buku kecil ini, selanjutnya selaku penulis
mengharap adanya koreksi dari berbagai pihak terutama para pembaca
yang insya Allah akan kami jadikan sebagai bahan revisi buku pada
kesempatan yang akan datang. Selamat membaca dan terima kasih.
Penulis
Drs. Badwan, M.Ag
Farkhani, S.HI., S.H., M.H
4
4
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ………………………………………………………
DAFTAR ISI ..……………………………………………………………
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………
A. Gerak dan Arah Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia...
B. Norma Agama Sebagai Sumber Hukum Transendenta..........
BAB II HUKUM TRANSENDENTAL DAN ARGUMENTASI HUKUM
DALAM PUTUSAN HAKIM ....................................……
A. Hukum Transendental ........................ …………………….......
B. Akaar Diskursus Hukum Transendental …………………………..
C. Argumentasi Hakim dalam Putusan Hakim ...................................
D. Implementasi Hukum Transendental Sebagai Argumentasi Hukum
dalam Putusan Hakim ................................................................
BAB III KABUPATEN PURWOREJO DAN PENGADILAN NEGERI
PURWOREJO ..............................................................................
A. Sekilas Kabupaten Purworejo ..........................................................
B. Pengadilan Negeri Purworejo ..........................................................
BAB IV PARADIGMA BERFIKIR HUKUM HAKIM PENGADILAN
NEGERI PURWOREJO DALAM PUTUSAN NOMOR:
61/Pid.B/2011/PN.Pwr....................................................................
A. Paradigma Berfikir Hukum ............................................................
B. Analisis Paradigma Berfikir Hukum Hakim Pengadilan Negeri
Purworejo dalam Putusan Nomor 61/Pid.B/2011/PN.Pwr......
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………
5
5
BAB I
PENDAHULUAN
A. Gerak dan Arah Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia
Gerak dan wacana hukum, dalam perkembangannya terus
mengalami perubahan dan pergeseran. Bermula dari kajian tentang
filsafat alam yang berkembang pada zaman Yunani Kuno, kemudian
dengan kehadiran Socrates, Plato dan Aristoteles filsafat yang semula
hanya memperbincangkan perdebatan diseputar penciptaan alam
kemudian bergeser pada problem keseharian hidup manusia atau situasi
manusiawi (Otje Salman S, 2012: 2). Pada masa ini, alam dimana manusia
itu tinggal dianggap sebagai suatu kekuasaan yang mengancam manusia.
Oleh karenanya perlu ada orang yang mampu menghadapi alam sebagai
sesuatu yang penuh misteri dan sakral itu dan sebab manusia itu juga
hidup dalam alam, maka manusia pun dianggap sesuatu yang
mengandung misteri juga (Theo Huijber, 1982: 19).
Socrates, Plato dan Aristoteles mencoba merubah paradigma
masyarakakat Yunani Kuno yang religio primitif, menjadi lebih realitis
dan rasionalis dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendasar
tentang tujuan hidup. Ajaran yang dibawakan oleh tiga filosof guru dan
murid jelas merubah alam pemikiran manusia yang sebelumnya bahwa
kehidupan itu berjalan sebagai suatu keharusan alamiah saja menjadi
lebih manusiawi. Bermula dari pemikiran mereka, lalu muncul pemikiran
tentang hukum. Sebab pemikiran awal yang muncul adalah tentang
filsafat alam, maka aliran hukum yang pertama muncul adalah aliran
filsafat hukum alam, kemudian seiring perkembangan zaman muncul
aliran-aliran hukum lainnya seperti positifisme, utulitarianisme, aliran
hukum wahyu dan lain-lain. Diantara aliran-aliran itu ada dominasi
6
6
dalam penerapan hukum ada pula yang berhenti dalam tataran makna
dan hanya berlaku dalam kurun waktu yang pendek kemudian berhenti
dalam diskursus ilmu pengetahuan hukum.
Dari banyaknya aliran pemikiran hukum pada masa klasik sampai
pada post modernisme, Stanley L. Poulsen dan Shidarta membaginya
dalam dua model aliran hukum yang pembagian tersebut berangkat dari
pola hubungan antara hukum, fakta dan moral; pertama hukum yang
menyatu dengan fakta (reductive thesis) dan terpisah dari fakta (normativity
thesis). Kedua, hukum menyatu dengan moral (morality thesis) dan terpisah
dari moral (separability thesis). Dari pola ini Poulsen tidak merinci pada
banyak aliran-aliran pemikiran dalam hukum, ia hanya melampirkan tiga
aliran pemikiran hukum, yaitu; aliran hukum kodrat (natural law theory),
aliran legisme hukum ala Kelsenian (Klesen’s pure theory of law) dan aliran
realisme hukum (empirico-positivist theory of law) (Shidarta dalam Absori
dkk, 2017: 4).
Pada masa dasa warsa terakhir, muncul ragam tawaran pemikiran
hukum baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Di dalam negeri
muncul aliran hukum progresif yang diinisiasi oleh begawan hukum dari
Universitas Dipenogoro Semarang, Satjipto Raharjo, hukum non sistemik
yang dipelopori oleh Anthon F. Susanto seorang dosen Fakultas Hukum
Universitas Pasundan Bandung, di Univesitas Islam Indonesia (UII)
Yogyakarta muncul ide penafsiran hukum al-ta’wil al-ilmi yang berawal
dari model pembacaan teks dengan model bayani, burhani dan irfani-nya
Syed Hossein Naser, di Univeritas Muhammadiyah Surakarta dan
Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta muncul ide hukum profetik.
Ilmu Hukum Profetik yang digaungkan di UII Yogyakarta belum
memiliki arah pemikiran yang jelas, sementara Ilmu Hukum Profetik yang
dikembangkan di UM Surakarta, oleh Kelik Wardiono dikembangkan
dengan meminjam pola pemikiran Ilmu Sosial Profetik yang dikenalkan
7
7
oleh Kuntowijoyo (Absori dkk, 2015, dan Kelik Wardiono, 2016) dan
akhir-akhir ini Universitas Muhammadiyah Surakarta sedang gencar
menyebarkan wacana hukum transendental. Istilah wacana hukum
langitan juga pernah dilontarkan oleh Anthon F. Susanto yang ditulisnya
dalam sebuah buku kecil yang dikhususkan untuk mengkritisi wacana
hukum profetik yang kedua buku tersebut dilaunching pada acara
Konferensi Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI) ke-5 di Universitas
Muhammadiyah Surakarta (Anthon F. Susanto, 2015). Terakhir adalah
istilah hukum langit dari prosiding disertasi Muhyar Fanani (2008) yang
menjelaskan upaya nasionalisasi hukum Islam dan Islamisasi hukum
nasional.
Munculnya wacana pemikiran hukum yang beyond
postmodernisme di Indonesia itu tidak lain adalah bermula pada
kegagalan legal positifisme hukum dalam memecahkan persoalan-
persoalan kontemporer hukum yang sesungguhnya tidak an sich
membutuhkan kepastian hukum dan legalitas atas segala perbuatan
hukum, baik yang bersifat onrechtsmatigedaad maupun yang
zaakwarneming. Kasus-kasus seperti pencurian biji kakao oleh nenek
Minah, semangka afkiran oleh Kholil dan Basar, sandal jempit oleh pelajar
SMK di Palu, kayu bakar oleh nenek Asyani, pisang batu oleh kakek Klijo
Sumarto, minyak kayu putih oleh nenek Hasnah, piring oleh nenek
Rasminah, penebang pohon Mangrove oleh Busri dan beberapa kasus
semisal lainnya berbanding terbalik oleh kasus pembakaran hektaran
hutan di Riau, dan korupsi menjadi bukti nyata ketidakmampuan
positifisme hukum dalam menciptakan tujuan hukum diantara keadilan,
kemanfaatan dan kepastian hukum.
Mengubah arah pemikiran hukum dari para penegak hukum di
Indonesia bukan urusan semudah membelah pisang. Penancapan alur
fikir legal positifisme sangat panjang, dimana awal masa munculnya
8
8
pemikiran hukum legal formalisme pada tahun 1650 M, Belanda melalui
VOC-nya dan pemerintahan kolonialnya telah menancapkan kuku
imperialisme besarta tatanan nilai-nilai (norma dan teori) hukum, hingga
masa akhir kejayaan paham teori ini (awal abad 19) Belanda masih tetap
bercokol di Bumi Indonesia. Masa tanam dan internalisasi norma dan
produk hukum kolonial yang positifistik ini jelas telah mengurat akar, dan
sangat sulit dihilangkan dalam sejarah perkembangan hukum di
Indonesia, maka dapat saja dipahami mengapa hakim-hakim itu
mayoritas terkungkung dan nyaman terjebak dalam lingkaran legal
formalistik yang positifitik, rasionalistik dan empiristik (Farkhani dan Evi
Aryani, 2016: 31).
Legal formalistik yang positifistik, seusungguhnya tidak begitu
buruk bilamana konsistensi dalam menjalankan hukum untuk keadilan
dan kepastian hukumnya diterapkan secara adil kepada siapapun, prinsip
atau azas equal before the law dipegangi dengan teguh oleh seluruh
penegak hukum.
Ketidakkonsistenan yang selama ini diperlihatkan membuat
pesimistis terhadap sistem hukum dan peradilan selama ini. Realitas yang
kasat mata mempertontonkan para penegak hukum menjadi sangat
cekatan, tegas dan mantap memproses hukum pada para terdakwa dari
kalangan masyarakat kaum proletar, membunyikan peraturan
perundang-undangan dan sedikit berkreasi bila kasusnya di publish dan di
blow up oleh berbagai media massa, baik cetak dan elektronik dan diikuti
oleh aksi demontrasi dari kalangan mahasiswa, lembaga swadaya
masyarakat dan aksi solidaritas lainnya. Sementara pada kasus-kasus
yang melibatkan politisi, birokrat, selebriti, penguasa dan pemilik modal,
kebenaran dan keadilan hukum diperdagangkan (Farkhani dan Evi
Aryani, 2016: 32). Equality before the law hanya menjadi mimpi buruk bagi
para pencari keadilan hukum dari masyarakat proletar.
9
9
Zaman terus bergerak dan berubah, ilmu pengetahuan terus
dikembangkan, kesenjangan antara idealita dan kehidupan praksis terus
didekatkan dalam semua sisi kehidpan manusia, termasuk dalam hal
pemikiran ilmu hukum dan penerapannya dalam kasus perkasus. Para
hakim sebagai benteng terakhir penegakan hukum, mulai ada yang berani
membuka diri, menggali ilmu, nilai dan norma yang dapat dipedomani
sebagai sumber hukum. Norma adat, norma kesopanan, norma kesusilaan
dan norma agama mulai lebih sering dilirik, dijadikan bahan hukum guna
tercapainya keadilan hukum sedekat mungkin dengan keadilan yang
sesungguhnya.
Terkhusus dengan norma agama, hakim yang hidup dalam negara
Indonesia yang berke-Tuhan-an Yang Maha Esa dan dalam setiap irah-
irah putusannya tercantum “Demi Keadilan yang berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa”, menjadikan hakim sebagai “wakil” Tuhan di muka
bumi untuk penegakan keadilan bagi seluruh manusia. Artinya bahwa
setiap putusan yang hakim keluarkan harus benar-benar dapat dipastikan
bahwa putusannya itu dapat dipertangungjawabkan dihadapan Tuhan
Yang Maha Esa.
Dalam sejarah putusan pengadilan di Indonesia, sunguh telah ada
hakim yang memiliki pemikiran bahwa hakim adalah “wakil” Tuhan.
Nama Bismar Siregar (dalam posisi sebagai judex facti) menjadi rujukan
utama sebagai salah satu hakim yang paling sering menggunakan
argumentasi yang berlandaskan norma-norma agama dalam setiap
putusannya. Beliau menjadi hakim yang paling berani melawan aras
hukum yang menjadi ideologi hukum para hakim pada umumnya.
Norma-norma agama, terutama ajaran dalam al-Quran dan Injil sering
kali beliau jadikan sebagai argumentasi untuk jatuhnya putusan dalam
akhir sebuah persidangan. Hal ini menunjukan bahwa norma hukum
transendental dapat pula dijadikan sebagai bahan pertimbangan sebagai
10
10
argumentasi hukum dalam putusan pengadilan, dan sangat mungkin ada
peluang untuk menjadikannya sebagai norma hukum nasional.
Setelah era Bismar Siregar, sulit didapatkan hakim yang
menggunakan norma agama menjadi salah satu argumentasi dalam
memutuskan perkara dalam persidangan, bukan berarti tidak ada. Akhir-
akhir ini muncul putusan hukum yang semisal dengan apa yang pernah
dilakukan oleh Bismar Siregar. Dalam sebuah persidangan pada perkara
pembunuhan berencana di Pengadilan Negeri Purworejo, majlis hakim
yang diketuai oleh Purnawan Narsongko, S.H., dengan hakim anggota
Alex. TMH. Pasaribu, S.H. dan Mardiana Sari, S.H., M.H., menggunakan
norma-norma agama sebagai salah satu argumentasi pemberian hukuman
pada terdakwa Adriawan bin Subarjo.
Penelitian ini mencoba untuk mengkaji putusan hukum hakim
Pengadilan Negeri Purworejo dalam menggunakan norma agama sebagai
argumen hukum untuk pemberian hukuman pada terdakwa, dan bertolak
dari persoalan ini juga akankah semakin terbuka dan berani para penegak
hukum untuk menggunakan norma hukum transendental sebagai norma
hukum yang keberlakuannya diakui secara terbuka dan menasional.
B. Norma Agama Sebagai Sumber Hukum Transendental
Ilmu modern yang bercorak rasional positifistik dianggap bukan
segala-galanya, sebab alam kehidupan manusia tidak melulu yang bersifat
wadag dan dapat ditangkap oleh rasio manusia yang memiliki
keterbatasan. Rasionalisasi yang dipegangteguhi oleh positifisme jelas
akan sangat terbata-bata untuk memperbincangkan segala hal yang
bersifat batiniyah. Sebab positifisme erat terkait dengan tangkapan
indrawi dan bukti empirik. Akal manusia dijadikan sebagai alat ukur
terhadap suatu problem dengan jawaban pasti; logis dan tidak logis.
11
11
Menurut Absori (dalam Absori dkk, 2017: 14-15), pemikiran
transendental berkaitan dengan pemahaman yang menempatkan ilmu
pada jangkauan yang lebih luas melampaui batas-batas normatif kaidah
ilmu yang bersifat rasional. Binkai ilmunya bersifat metafisik,
supranatural dan sering kali irasional. Immanuel Kant memaknai
transendental sebagai sebuah pemahaman yang melampaui batas-batas
pengalaman. Menurut kaum Skolastik, transendental dipahami bersifat
superkategoris, yakni mencakup segala hal yang lebih luas dari
kategorisasi tradisional, baik dalam bentuk, potensi dan aksi.
Transendental mampu mengungkap ciri universal dan adiindrawi dari
yang ada yang ditangkap melalui intuisi yang melampaui pengalaman
apapun. Transendental menunjukkan eksistensi melalui akumulasi
kegiatan berfikir, kesadaran dan dunia (Lorens Bagus, 1996: 1118-1122).
Roger Garaudy, memaknai transendental dalam tiga perspektif;
pertama, pengakuan ketergantungan manusia kepada Sang Pencipta,
kedua, pengakuan terhadap kontinuitas dan ukuran bersama antar Tuhan
dan manusia dan ketiga, mengakui keunggulan norma-norma mutlak
yang melampaui akal manusia (M. Fahmi, 2005: 97). Dari pemahaman ini
semua, diyakini bahwa agama, spiritual, etika dan moral sebagai bagian
dari transendensi dalam kehidupan manusia.
Agama (penuh muatan transendensi) diyakini sebagai suatu sistem
nilai dan ajaran memiliki fungsi yang jelas dan pasti untuk
pengembangan kehidupan umat manusia yang lebih beradab dan
sejahtera. Dalam perspektif ajaran dan sejarah, agama apa pun turun ke
dunia untuk memperbaiki moralitas manusia, dari kebiadaban menuju
manusia bermoral. Di dalam agama terdapat nilai-nilai transenden berupa
iman, kepercayaan kepada Tuhan, serangkaian ibadah ritual dan petunjuk
kehidupan manusia sebagai manifetasi kepercayaan dan kepatuhan
kepada Sang Pencipta. Menurut Abd A’la (dalam Adi Sulistyono, 2008: 2),
12
12
transendensi agama bersifat fungsional, bukan sekadar untuk kehidupan
akhirat yang bersifat ekskatologis murni dan terpisah dari kehidupan
sekarang. Namun hal itu juga berfungsi praktis dan applicable untuk
kehidupan dunia.
Agama sebagai petunjuk hidup yang didalammnya tertera banyak
norma, termasuk norma yang bermuatan hukum, dapat dijadikan sebagai
sumber hukum dan dapat pula dijadikan sebagai argumen hukum dalam
mempertimbangan pemberian hukuman bagi pelanggar hukum. Bermula
dari pemahaman ini kemudian muncul istilah hukum transendental yang
sedang dikembangwacanakan oleh para sarjana hukum di Universitas
Muhammadiyah Surakarta. Konsep hukum transendental tercipta setelah
mengelaborasi; (1) berbagai pemahaman dari para sarjana tentang
transendental, (2) introdusir Spiritual Intellegence-nya Danar Zohar dan
Ian Marshall yang diyakininya sebagai The Ultimate Intellegence, (3)
konsep Emotional Spiritual Quotient-nya Ari Ginanjar Agustian dan (4)
konsep hukum yang membahagiakannya Satjipto Rahardjo diperolehlah
pemahaman bahwa yang dimaksud dengan hukum transendental adalah
hukum yang mendasarkan pada nilai dan norma luhur agama, spiritual,
etik dan moral untuk mengatur perilaku tutur dan tingkah laku
masyarakat hukum agar tercipta kehidupan yang harmoni,
mensejahterakan dan membahagiakan lahir dan batin. Hukum
transendental juga tidak hanya menghendaki konten hukumnya tetapi
juga pada sikap para penegak hukumnya yang menginternalisasi nilai-
nilai transendensi.
Argumentasi hukum sifatnya wajib bagi hakim dalam setiap
pemberian hukuman kepada pelanggar hukum. Keberadaannya di
pastikan ada pada setiap putusan pengadilan pada saat mengakhiri
persidangan. Dalam Terminologi Hukum (Rahuhandoko, 1996: 67), istilah
‘argument’ diartikan sebagai berusaha mempercayakan orang lain dengan
13
13
mengajukan alasan-alasan. Dalam Kamus Filasafat (Rakhmad, 1995: 22-
23), ‘argument’ dari bahasa Latin ‘arguere’ yang berarti menjelaskan alasan-
alasan (bukti) yang ditawarkan untuk mendukung atau menyangkal
sesuatu. Adapun hukum secara ringkas diartikan sebagai aturan.
Sehingga dapat dimakna bahwa yang dimaksud dengan argumentasi
hukum adalah alasan-alasan yang dianggap logis yang memuat norma-
norma hukum yang bertujuan meyakinkan pihak lain atas alasan yang
dikemukakan. Argumentasi hukum yang biasa dijadikan pertimbangan
pemberian putusan bagi hakim meliputi unsur-unsur legal justice, moral
justice dan social justice.
Aspek-aspek yang termasuk dalam moral justice adalah falsafah
humanisme, psikologi, pendidikan dan agama. Aspek (norma) agama
sangat jarang diungkap secara tegas dalam putusan-putusan hakim
pengadilan, terkhusus pengadilan negeri dan lebih khusus pada kasus
pidana.
14
14
BAB II
HUKUM TRANSENDENTAL DAN
ARGUMENTASI HUKUM DALAM PUTUSAN HAKIM
A. Hukum Transendental
Kebebasan beragama (religious freedom) menjadi salah satu bagian
terpenting dalam kluster hak asasi manusia. Dalam sejarah pembentukan
dan perubahan konstitusi di Indonesia, klausul kebebasan beragama tidak
pernah hilang, bahkan mengalami penguatan dari waktu ke waktu dan
semakin diperhatikan keberadaannya. Sebab sangat urgennya hak
kebebasan beragama (religious freedom) dimasukan dalam klasifikasi
sebagai non-derogable right - hak lainnya; hak atas hidup (freedom to life),
hak bebas dari penyiksaan (rights to be free from torture), hak bebas dari
perbudakan (rights to be free from slavery), hak bebas dari penahanan
karena gagal memenuhi perjanjian (utang), hak bebas dari pemidanaan
yang berlaku surut, hak atas kebebasan berfikir, keyakinan dan agama-,
artinya hak kebebasan beragama adalah hak yang tidak boleh dikurangi
dalam kondisi apapun (bencana, darurat ataupun perang) (Ifdhal Kasim,
2001: xii-xiii). Hak non-derogable right ini juga secara tegas tertuang dalam
UUD 1945 pasal 28 huruf I ayat 1.
Kebebasan beragama (religious freedom) tidak boleh dikurangi,
hanya diperbolehkan dilakukan pembatasan dengan alasan-alasan yang
dibenarkan dan berdasarkan pada peraturan perundang-undangan.
Adapun keterangan yang dimaksud dengan pembatasan adalah
sebagiamana terangkum dalam;
1. Konvensi internasional hak sipil dan politik yan telah diratifikasi
melalui Undang-Undang No. 12 tahun 2005 dalam pasal 18 ayat 3
yang berbunyi; “kebebasan untuk menjalankan agama atau
15
15
kepercayaannya seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan hukum,
yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau
moral masyarakat atau hak dan kebebasan mendasar orang lain”.
2. Deklarasi hak asasi manusia PBB (DUHAM) terangkum dalam
pasal 29 ayat 2; “dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-
kebebasannya, setiap orang harus tunduk hanya pada pembatasan-
pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang yang tujuannya
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang tepat
terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk
memenuhi syarat-syarat yang adil dalam hal kesusilaan, ketertiban dan
kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis”.
3. Deklarasi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Berdasarkan Agama dan Kepercayaan (Declaration on the
Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimination Based on
Religion and Belief) tahun 1981, pada pasal 1 Ayat 3; “Setiap orang
berhak atas kehidupan, kebebasan dan keamanan pribadi”.
4. Konvensi Hak-Hak Anak Persyarikatan Bangsa-Bangsa (Convention
on the Rights of the Child), terdapat dalam pasal 14 ayat 3; “kebebasan
untuk menyatakan agama seseorang atau kepercayaan seseorang, dapat
tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan seperti yang ditentukan oleh
undang-undang dan yang diperlukan untuk melindungi keselamatan
umum, ketertiban umum, kesehatan atau kesusilaan atau hak-hak atau
kebebasan-kebebasan dasar orang lain”.
Komponen-komponen yang menjadi pembatasan dari hak
kebebasan beragama yang tercantum dalam berbagai konvensi dan
deklarasi internasional itu, kemudian dijadikan bahan untuk menyusun
pasal 28 huruf j UUD 1945; (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi
manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.(2) Dalam menjalankan dan melindungi hak asasi dan kebebasannya,
16
16
setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-
undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan
yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketetiban umum.
Berkenaan dengan hal tersebut, ada perdebatan yang cukup
menarik antar hakim Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK No.
140/PUU-VII/2009 berkenaan dengan penodaan agama, yang berpusat
pada dua titik pemahaman dalam memahami kebebasan beragama dalam
secara forum internum (sikap batiniyah) dan forum eksternum (sikap
lahiriyah) (Suparman Marzuki, 2013: 200-203).
Berkaitan dengan persolan ini, mendasarkan pada UUD 1945 pasal
28 huruf I ayat 1, sangat mungkin melahirkan kebebasan berfikir dan
berpendapat yang berdasarkan pada pemahaman atas keyakinan agama
seseorang. Oleh karena tidak dapat disangkal bila kemudian ditemukan
pemikiran-pemikiran dari para cerdik cendikia yang berkompeten di
bidangnya masing-masing, ada kalanya mengikutsertakan pemahaman
atau keilmuan yang berkaitan dengan agama pada persoalan yang sedang
diperbincangkan atau bahkan menjadi landasan argumentasi dalam
pandangan-pandangannya, baik secara tertulis maupun lisan.
Dalam ranah hukum, penyampaian argumentasi atau pendapat
pribadi yang dikaitkan pada persoalan hukum yang sedang dihadapi bisa
saja terjadi; apakah berasal dari para pihak yang bersengketa, terdakwa,
kuasa hukum, penuntut umum bahkan dari hakim itu sendiri dalam
pertanyaan-pertanyaan di persidangan sampai pada argumentasi hukum
dalam putusannya.
Argumentasi yang mendasarkan pada hak kebebasan beragama
termasuk didalamnya menggunakan diktum-diktum ajaran agama dalam
kehidupan, biasa digunakan dengan istilah norma agama. Norma agama
17
17
adalah norma luhur dan adi luhung, atau ia adalah norma yang
melampaui batas-batas rasionalitas (rasionalisme) yang didukung oleh
kemampuan daya tangkap dan daya tampung panca indera manusia
(empirisme). Selanjutnya nilai atau norma tersebut dikenal dengan istilah
transendental.
Pengenalan istilah transendental sejatinya telah lama, yakni suatu
pola pemikiran yang terlahir dari phythagorianisme yang mempengaruhi
pemikiran Plato dan para pengikutnya serta kaum Neoplatonis, dan terus
diperbincangkan dalam zaman Skolastik serta beberapa sarjana
mewacanakannya sebagai anti tesis dari wacana yang telah popoler dan
berkembang sebelumnya. Diantara tokoh yang mengangkat tesis ini
adalah Immanuel Kant.
Tesis Kant (trancendental philosophy) tentang hal ini bermula dari
perdebatan antara paham rasionalisme dan empirisme, khususnya
rasionalisme G.W. Leibniz (1646-1716), dan empirisme David Hume (1711-
1776). Kritik Kant berkenaan dua paham yang saling beroposisi
melahirkan satu tesis baru yang “melampaui” batas-batas paradigma
yang dipergunakan oleh dua paham tersebut. Kant tidak terpuaskan oleh
argumentasi-argumentasi yang digunakan oleh rasionalisme yang lebih
mengandalkan pada hasil pemikiran rasio semata. Ia menentang jargon
yang diusung oleh Rene Descrtates “cogito erga sum” (saya berfikir maka
saya ada”. Pemikiran Descrates ini seolah-olah tidak ada jalan pemikiran
dan keilmuan kecuali dengan cara mengeksploitasi kemampuan pikir
manusia. Ketidaksetuajuan Kant terhadap empirisme juga terlihat nyata,
ia tidak sepakat atau tidak terpuaskan dengan argumentasi kaum
empirisme yang menyatakan bahwa satu satunya sumber pengetahuan
adalah pengalaman inderawi, atau dengan kata lain bahwa sesuatu dapat
dikatakan ilmu kebenaran yang dipancarkan dari ilmu itu dapat
ditangkap dan dibuktikan secara nyata oleh indera manusia.
18
18
Kritik Immanuel Kant terhadap rasionalisme dan empirisme ini
sebab keduanya tidak mampu atau mengeluarkan segala sesuatu atau
pengetahuan yang berasal dari sumber yang berada di luar rasia dan
inderawi, misalkan memperbincangkan tentang Tuhan dan jiwa (ruh).
Pemikiran Kant yang berkecenderungan bersifat metafisis memang
mengalami pertentang-pertentangan dalam zamannya, namun
pemikirannya sampai saat ini tidak hilang bahkan menjadi jalan lain
(alternatif) atas kebuntuan-kebuntuan dari ilmu yang terpapar
rasionalisme dan empirisme. Transendentalisme menjadi tren baru di fase
post modernisme.
Begitu pula dalam ranah hukum, kejenuhan terhadap ragam
produk dan pemikiran hukum yang bersifat rasional dan empiri mulai
diragukan karena ketidakmampuannya untuk melahirkan keadilan dan
rasa keadilan masyarakat yang menjadi subyek dari hukum itu sendiri.
Hukum yang bersifat transendental mulai diangkat sebagai upaya lain
untuk menerobos kekakuan-kekakuan hukum yang selama ini menjadi
persoalan pelik dan selalu debatable, terutama dalam ranah law enforcment
dari produk-produk hukum yang lebih mengunggulkan kepastian
hukum.
Transendental, dalam bahasa Inggris ‘transcendent’, berasal dari
bahasa Latin ‘trancender’. Trans bermakna seberang, atas, melampaui dan
scender bermakna memanjat. Dari arti bahasa ini, muncul beberapa
pengertian tentang makna istilah dari transendental; 1) sesuatu yang lebih
tinggi, unggul, agung, melampaui, superlatif, 2) melampaui apa yang
dalam pengalaman, 3) berhubungan dengan apa yang selamanya
melampaui pemahaman terhadap pengalaman biasa dan penjelasan
ilmiah, 4) tidak tergantung dan sendiri.
Dari penjelasan awal muncul wacana transendentalia pada abad
pertengahan, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan
19
19
transendental adalah sesuatu yang berada di luar batas kemampuan dan
pengalaman-pengalaman yang berawal dari eksploitasi ruang rasio dan
inderawi manusia, ia adalah sesuatu yang tinggi, agung, suci, dan unggul,
metafisis dan sangat mungkin bersifat ilahiyah.
Bila pengertian ini diterapkan pada ranah hukum, disebut sebagai
hukum transendantal, secara sederhana adalah hukum yang tidak hanya
terpaku pada produk-produk hukum yang argumentasi dan tafsirnya
yang terpancang pada segala apa yang dapat ditangkap oleh logika
hukum yang rasionalistik empiristik, tetapi melampaui batas-batas itu
yang bersifat metafisis dan ilahiyah. Sebab dalam ranah hukum, produk
hukum akan selalu terkait dengan sumber hukumnya dan idea of law,
maka jalur yang paling singkat dan mudah untuk menemukan dan
memahaminya adalah dalam norma-norma agama yang tersimpan rapih
dalam diktum-diktum ajaran agama dalam masing-masing kitab suci
agama. Selanjutnya lebih mudah menyebutnya sebagai norma dan/atau
nilai agama. Singkatnya hukum transendental adalah objektifikasi norma
dan/atau nilai agama menjadi hukum bagi manusia.
Jujur diakui bahwa wacana ini belum begitu populer dalam
perkembangan ilmu hukum, tetapi telah ada dan mulai dilirik dalam
berbagai kesempatan dalam ranah hukum terutama pada aspek
argumentasi hukum dan ada pula produk-produk hukum di Indonesia.
B. Akar Diskursus Hukum Transendental
Diskursus mengenai hukum dan aliran hukum terus melaju dan
berkembang, dimulai ketika para filsuf memperbincangkan manusia dan
alam. Oleh karenanya pemikiran yang lahir pada masa awal –yang
diyakini sebagai- lahirnya filsafat adalah berkaitan dengan manusia, jiwa,
alam raya dalam satu lingkaran makro kosmos.
20
20
Para ilmuan mengatakan bahwa orang yang pertama kali
memperbincangankan manusia dengan segala yang terkait dengan
kehidupannya adalah Socrates. Dia-lah yang mengangkat tema manusia
dengan segala seginya, termasuk bagaimana seharusnya manusia
berperilaku pada diri dan alam sekitarnya. Berperilaku disini bermakna
seharusnya manusia memposisikan diri sebagai organ makro kosmos
untuk tunduk pada aturan-aturan alamiah. Pemikiran utama Socrates ini
kemudian diperbincangkan dalam berbagai perspektif dan dari sini pula
diyakini perbincangan tentang filsafat hukum termasuk kategorisasi
aliran-aliran pemikiran hukum mulai berkembang. Pemikiran awal
tentang hukum ini kemudian masuk dalam kategori aliran pemikiran
hukum alam atau filsafat hukum alam.
Masa berikutnya adalah masa Plato. Plato adalah murid Socrates,
maka tidak heran bila pandangan filsafatnya (filsafat hukum) banyak
dipengaruhi oleh pemikiran Socrates. Tetapi perlu diketahui pula bahwa
Plato mengenal filsafat tidak hanya dari Socrates, ia juga belajar pada
filsuf-filsuf yang disebut sebagai filsuf pra sokratik, diantaranya Kratylos
dan Heraklietos. Plato juga belajar dari kaum Sofis, walaupun banyak
bertentangan dengan konsep relativisme moral kaum Sofis.
Dari hasil belajarnya, Plato memiliki idea filsafatnya sendiri. Ia
memulai bahwa apa yang ditangkap oleh indrawi adalah sebuah realitas
yang bisa dipertanggungjawabkan. Namun ia juga menyadari bahwa
alam inderawi senantiasa berada dalam perubahan, tidak tetap, tidak
sempurna, tidak abadi, majemuk dan puspa ragam (J.H. Rapar, 2001: 46).
Pemikiran Plato juga menjunjung dunia idea, dimana alam idea seringkali
tidak dapat ditangkap oleh alam inderawi. Untuk kepentingan keduanya,
perlu ada penghubung antar keduanya, dan Plato menyebutnya “jiwa”,
dalam bahasa lain adalah “ruh” (J.H. Rapar, 2001: 47). Dengan demikian,
jelas pengaruh Socrates sangat kental dalam pemikiran filsafatnya, yang
21
21
tidak mau dengan serta merta meninggalkan ajaran gurunya yang
beraliran hukum alam. Sedangkan hukum alam menurut Otje Salman
(2002: 63) adalah hukum yang normanya berasal dari Tuhan Yang Maha
Esa, dari alam semesta dan dari akal budi manusia.
Berawal dari pemikiran filsafat Plato ini, penulis meyakini sebagai
cikal bakal aliran filsafat hukum positif (positifisme, realisme hukum).
Statemen ini semakin jelas pemikiran hukum Aristotels yang merupakan
murid langsung dari Plato. Otje Salman (2002: 64) menyebut Aristoteles
sebagai pemikir hukum yang pertama-tama membedakan antara hukum
alam dan hukum positif.
Perdebatan atau diskursus biner antara hukum alam dan hukum
positif terus berlanjut sampai pada masa jauh setelah zaman Yunani kuno,
diantaranya Thomas Aquinas dan Hugo Grotius sebagai filsuf hukum
yang lebih condong beraliran hukum alam walau dengan bahasan yang
lebih rinci dan klasifikasi kategoris yang mendasarkan pada asal sumber
pemikiran hukumnya. Aquinas mengatakan bila antara hukum positif
dengan hukum alam terjadi pertentangan, maka yang dimenangkan
adalah hukum alam. Adapun Grotius mengatakan bahwa hukum alam
adalah hukum yang riil dan sama dengan hukum positif (Otje Salman,
2002: 64-65).
Abad Pertengahan (18-19 M) adalah abad kejayaan pemikiran
positifisme –aliran hukum positif. Para penstudi hukum sepakat bahwa
pelopor aliran pemikiran hukum ialah John Austin (1790-1859) yang
berpendirian bahwa hukum adalah perintah dari penguasa. Hakikat
hukum sendiri menurut Austin terletak pada unsur “perintah” (command).
Hukum dipandang sebagai suatu sistem atau corpus yang tetap, logis, dan
tertutup. Pemikiran itu kemudian berkelindan dengan pemikir yang
serupa seperti August Comte (1798-1857) yang berpendapat bahwa perlu
adanya kepatian dari hukum untuk mengikuti perkembangan untuk
22
22
mengatur roh manusia dan segala gejala hidup bersama dan itulah secara
mutlak. Comte juga hanya mau mengakui hukum yang dibuat oleh
negara.
Setelah dua tokoh itu, muncul Hans Kelsen (1881-1973) yang
mengusung teori hukum murni. Hans Kelsen semakin mempertegas
posisi dan kedudukan hukum positif di tengah menguatnya pemikiran
dan praktik negara modern. Dalam bukunya “The Pure Theory of Law”,
ia menyatkan “bahwa hukum itu harus dibersihkan dari anasir-anasir
yang tidak yuridis seperti etika, sosiologi, politik, sejarah, dan lain
sebagainya”. Selanjutnya menurut Kelsen bahwa orang menaati hukum
karena ia merasa wajib untuk menaatinya sebagai suatu kehendak negara.
hukum itu tidak lain merupakan suatu kaidah ketertiban yang
menghendaki orang menaatinya sebagaimana seharusnya.
Pada masa ini pergulatan antara hukum yang bersumber pada idea
Tuhan, kehendak alam dan akal budi manusia dan moral dengan hukum
adalah hukum yang dibuat oleh negara lebih banyak unggul yang
terakhir, kecuali pada negara-negara dibelahan Timur, terkhusus negara-
negara Islam yang berada dalam kekhilafahan Turki Utsmani. Sampai
pada persoalan ini John Gilisem dan Frits Gorle (dalam Anton F. Susanto,
2010: 74) menerangkan bahwa sejarah memperlihatkan hukum
berkembang dari apa yang kita kenal sebagai tatanan-tatanan hukum
yang primitif menjadi tatanan hukum yang modern. Perkembangan
selanjutnya menjadi semakin miris, karena melihat dunia hukum hanya
dari teleskop perundang-undangan belaka untuk kemudian menghakimi
peristiwa-peristiwa yang terjadi (Khudzaifah Dimyati, 2005: 60).
Aliran pemikiran hukum yang digjaya pada abad itu tentu saja
mempengaruhi alam pemikiran hukum di Indonesia. Sebab pada kurun
abad itu Indonesia di jajah oleh beberapa bangsa Eropa yang
menggunakan alam pemikiran positivisme (hukum) pada peraturan
23
23
perundang-undangannya, terutama Belanda. Tentu saja dengan berbagai
argumentasi, terutama asas konkordasi, hukum yang mereka miliki
diterapkan begitu saja kepada negara jajahannya serta diperkuat dengan
pembelajaran ilmu hukum yang mendukung madzhab pemikiran hukum
yang berjaya pada masa itu. Baik dengan cara menyediakan sekolah-
sekolah hukum bagi pribumi di negara mereka dan/atau mendirikan
sekolah hukum di negeri jajahan.
Sebab perkembangan yang demikian itu, menjadi wajar hal itu juga
memperngaruhi alam pemikiran hukum di Indonesia. Oleh sebab itu
corak pemikiran hukum para sarjana hukum dan peraturan perundang-
undangan yang ada masyoritas bergenre positivisme. Tercermin jelas
pada penekanan aspek legalitas, lebih sering mengesamping aspek-aspek
moralitas, etika dan agama dalam praktek produksi dan penegakan
peraturan perundang-undangan. Sebagai penguat atas statemen dimuka,
sebagian kecil kasus yang sempat menjadi tranding topic pada beberapa
tahun terakhir tulisan ini dibuat, diantaranya; pencurian minyak angin,
pencurian biji kakao, ketumbar, sandal jepit, pisang dan beberapa kasus
lainnya dengan skema penanganan yang serupa, siapa yang berbuat
salah, ketangkap, pencocokan antara perbuatan dengan paraturan
perundangan dan vonis.
Skema pemidanaan dalam pola positivistik hukum
Fakta dan skema hukum yang terlihat tersebut menunjukkan
bahwa hukum itu tidak lain adalah yang terdapat dalam undang-undang,
Tangkap Pelanggar Hukum
Vonis Hukuman
Temukan Peraturannya
24
24
dan bukan apa yang seharusnya, serta mengabaikan aspek moral, agama
dan sosial di masyarakat.
Selanjutkan sebab berbagai fakta yang terjadi dalam dunia ilmu
hukum dan hukum di Indonesia yang sangat terpengaruh oleh
positivisme hukum, menjadikan hukum di Indonesia terpenjara dalam
teks book peraturan perundang-undangan, mengabaikan terwujudnya cita
hukum yang hakiki, meninggalkan kekacauan dan ragam problema
dalam hukum baik dalam teks maupun implementasinya dalam law
enforcment.
Kegagalan positivisme hukum yang demikian massif itu
menimbulkan ragam kritik, yang intinya bahwa terjadinya kegagalan
hukum dalam memainkan peranan yang sejati adalah akibat penerapan
teori positivisme hukum dalam pembangunan hukum.
Dalam berapa kajian dan kritik yang dilakukan terhadap
positivisme hukum, termasuk terhadap penerapan positivisme hukum di
Indonesia datang dari para penganut penganut hukum responsif–sintesis
dari berbagai aliran hukum, terutama aliran Hukum Alam, Madzhab
Sejarah Hukum, Aliran Sociological Jurisprudence, Legal Realisme,
maupun Critical Legal Studies movement. Ilmu hukum modern mulai
digoyang, di geser ke berbagai lompatan wacana post modernisme yang
ingin membebaskan diri pada terkungkungan teks dan rasionalitas
empiris dalam berbagai ilmu yang selama ini diagungkan.
Hukum responsif (Philip Nonet dan Shilzinek) misalnya,
menganggap positivisme hukum itu sekedar menempatkan hukum di
sebuah ruang hampa, menjadi “aturan mati “sebagaimana yang tertera di
dalam kitab-kitab hukum. Positivisme hukum telah menjadikan hukum
itu sesuatu yang a sosial, padahal hukum itu diciptakan untuk manusia
demi tujuan sosial tertentu. Gerakan Critical Legal Studie, sebagai
diyakini oleh para penggeraknya –diantaranya Roberto M. Unger- bahwa
25
25
produk hukum (perundang-undangan) sangat sarat dengan kepentingan
(politik), oleh karenanya setiap produk perundangan-undangan sangat
terbuka untuk dicurigai ada muatan kepentingan tertentu yang membuat
tujuan dari penciptaan hukum tidak tercapai.
Anton F Susanto dalam buku Ilmu Hukum Non Sitemik (2010)
menolak klaim bahwa hukum berada dalam wilayah rasional-dogmatik
dan statis yang dipegang erat oleh positivistik hukum, tetapi merupakan
wilayah yang senantiasa mengalami retakan dan rekahan sehingga setiap
saat akan muncul tatanan baru yang menggantikan tatanan lama dan
usang. Sementara Kelik Wardiono (2016) mencoba memberikan tawaran
wacana Hukum Profetik, dimana hukum seharus memperhatikan pula
nilai-nilai luhur yang bersifat moralitas tertinggi dan nilai-nilai nubuwat.
Walaupun apa yang ditawarkan oleh Kelik itu masih perlu pendalaman
atau penegasan apa sesungguhnya hukum profetik itu.
Paling mutakhir yang sedang dikembangkan dan terus diupayakan
penggaliannya adalah wacana hukum transendental. Absori (2016) dan
para sarjana hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta sedang gencar
menyuarakan aliran baru ini. Sebuah aliran yang berkeinginan mem-
breakdown-kan nilai-nilai ajaran ilahiyah yang tertampung dalam ragam
kitab suci untuk menjadi solusi atas ketidakberhasilan ragam ilmu hukum
yang dikembangkan berdasarkan pada rasio dan meta rasio manusia.
C. Argumentasi Hukum dalam Putusan Hakim
Dari perkembangan tawaran aliran hukum transendental ini, terus
disebarkan kepada para pemegang kepentingan atas tegaknya hukum
yang sering kali terlihat semakin tidak menentu arahnya, sering meleset
dari rel keadilan dan jauh dari rasa keadilan masyarakat.
Upaya-upaya untuk pembenahan untuk terciptanya hukum yang
ideal terus diupayakan, termasuk merubah mainset para penegak hukum
26
26
dan menggunakan argumentasi hukum yang sebelumnya sangat terkotak
dalam idealita positivisme hukum. Terutama paradigma pemikiran
hukum para hakim sebagai benteng keadilan hukum yang terakhir.
Putusan-putusan pengadilan yang merupakan hasil karya pemikiran para
hakim, selama ini mayoritas didominasi pola pemikiran positivistik.
Argumentasinya lebih sering tertuju lebih banyak berlandaskan kitab-
kitab hukum (law in book law), sangat jarang mencari argumentasi hukum
berdasarkan pada norma-norma lain yang hidup dan diakui dalam sistem
hukum di Indonesia.
Andaipun ada, ujung-ujungnya hukum atau sanksi yang
diterapkan kembali lagi pada peraturan perundangan yang sudah ada,
sangat jarang yang hasil akhirnya out of the box dari positivisme.
Berkenaan dengan argumentasi hukum yang dapat saja dipakai
oleh siapa saja yang memiliki perkara atau kepentingan yang berkaitan
dengan hukum. Argumentasi hukum menjadi wajib untuk dikemukakan
agar pihak lain memahami persoalan yang sedang diperbincangkan atau
dihadapi.
Argumentasi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen
Pendidikan Nasional, 2015) bermakna “alasan untuk memperkuat atau
menolak suatu pendapat, pendirian, atau gagasan”. Sedangkan dalam
Black Law Dictionary (2004: 327), kata argumentasi (argument) bermakna
sebuah pernyataan yang mencoba membujuk., biasanya digunakan dalam
menganalisis dan menunjukkan atau menolak kesimpulan yang
diinginkan, atas bantuan pembuat keputusan. Dalam Kamus Hukum
(Sudarsono, 1992: 36), istilah ‘argumen’ berarti sebagai alasan yang dapat
dipakai untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian, atau
gagasan. Istilah argumentasi, diartikan sebagai pemberian alasan untuk
memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian atau gagasan.
27
27
Berargumentasi berarti memberikan alasan untuk memperkuat atau
menolak suatu pendapat, pendirian atau gagasan.
Berdasar pada arti bahasa argumentasi, kemudian sambungkan
dengan kata hukum yang secara sederhana berarti norma atau peraturan
yang mengatur tingkah laku manusia untuk berbuat atau tidak berbuat,
maka makna dari frasa argumentasi hukum adalah alasan atau landasan
pijak norma atau peraturan yang digunakan untuk meyakinkan secara
logic dan yuridis pendapat hukumnya atau menolak pendapat atau
gagasan hukum orang lain. Kusnu Goesniadhie memberikan pengertian
argumentasi hukum adalah “alasan berupa uraian penjelasan yang
diuraikan secara jelas, berupa serangkaian pernyataan secara logis, untuk
memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian atau gagasan,
berkaitan dengan asas hukum, norma hukum dan peraturan hukum
konkret, serta sistem hukum dan penemuan hukum”.
Berbicara dan menggunakan argumentasi hukum dalam praktik,
tidak bisa dipisahkan dengan penalaran (logika) hukum dan penafsiran
(interpretasi) hukum. Penalaran (logika) secara terminologi adalah suatu
metode yang penilaian terhadap ketepatan penalaran yang dipakai untuk
suatu argumentasi, sedangkan teori argumentasi ialah cara untuk
mengkaji bagaimana menganalisis dan merumuskan suatu argumentasi
(secara tepat dan jelas), serta rasional yang kemudian diimplementasikan
dengan cara mengembangkan kriteria universal dan/atau kriteria yuridis
sebagai suatu landasan rasional argumentasi hukum (Feteris, E.T., 1994: 2).
Penalaran (logika) hukum yang diajukan dapat benar dan dapat
pula sesat. Benar, apabila ada korelasi logis antara premis dan konklusi
dan sesat, bila tidak ada korelasi logis antara premis dan konklusi. Oleh
sebab itu nalar yang baik dan benar perlu dilatih dengan berbagai metode
hingga ia menjadi sebuah keterampilan yang inhern pada pola pikir
28
28
seseorang. Peran nalar yang baik dan benar, runut dan argumentatif
sangat penting perannya dalam memberikan argumentasi hukum.
Adapun interpretasi hukum lebih merupakan suatu teknik untuk
memahami norma hukum (peraturan perundangan)agar dapat
menangkap pesan yang hendak dicapai oleh norma yang ada. Karena
hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan adalah buah karya
manusia dan merupakan produk politik yang sarat akan kepentingan.
Walaupun kodifikasi tersebut telah diupayakan dengan sungguh-
sungguh detail-detailnya tetap saja tidak akan sempurna, tetap
menyisakan celah yang dapat dimanfaatkan oleh siapa saja agar terhindar
dari jerat hukum. Apalagi akselerasi dinamika perubahan dan kemajuan
kehidupan manusia selalu lebih cepat daripada hukum yang terkodifikasi
tersebut. Oleh sebab itu muncul model-model penafsiran (interpretasi)
hukum, kodifikasi hanya berfungsi sebagai pedoman agar ada kepastian
hukum. Jangankan hukum yang diproduk manusia, hukum yang
diturunkan Tuhan melalui kitab suci nabi-nabi-Nya ternyata
memunculkan pula metode-metode penafsiran.
Bertalian dengan penafsiran hukum tersebut, Wirjono Prodjodikoro
menegaskan bahwa segala hukum baik yang tertulis yang termuat dalam
pelbagai undang-undang, maupun yang tidak tertulis, yaitu berdasar atas
adat kebiasaan seperti hukum adat, selalu membuka kemungkinan
ditafsirkan secara bermacam-macam. Tergantung dari tafsiran inilah
sebetulnya bagaimana isi dan maksud sebenarnya dari suatu peraturan
hukum harus dianggap. Kalau diingat, bahwa pada akhirnya penafsiran
dari hakimlah yang mengikat kedua belah pihak, maka dapat dikatakan
bahwa hakim adalah perumus dari hukum yang berlaku. Dengan
demikian pekerjaan hakim mendekati sekali pekerjaan pembuat undang-
undang selaku pencipta hukum (judge made law) (Farkhani, 2014: 97-98).
29
29
Interpretasi hukum hasil akhirnya adalah temuan hukum. Namun
demikian, norma hukum tidak dapat diinterpretasikan bila tidak
menggunakan alat yang disebut nalar hukum sebagaimana diterangkan di
atas.
Nalar hukum dan interpretasi hukum sebagai bahan utama
argementasi hukum harus benar-benar rasional. Argumentasi hukum
yang rasional mencakup tiga struktut
1. Struktur Logika:
Alur premis menuju pada konklusi dari suatu argumentasi harus
logis. Penalaran yg digunakan bisa berupa penalaran deduksi -
pendekatan UU - pendekatan precedence .
2. Struktur Dialektika:
Agar argumentasi tidak monoton, maka hrs diberikan sentuhan
dialektika, dan di dalam dialektika itu suatu argumentasi diuji,
terutama pada argumentasi prokontra.
3. Struktur Prosedural:
Dalam pemeriksaan pengadilan diatur oleh hukum formal yg
sekaligus merupakan rule of law dalam proses argumentasi dalam
penanganan perkara di pengadilan. Prosedur dialektika di
pengadilan diatur oleh hukum acara
(http://nanangsuprijadi.blogspot.co.id).
Putusan pengadilan diibaratkan sebagai karya ilmuah hakim.
Karena ia dapat dikatakan sebagai sebuah karya ilmiah, maka
argumentasi hukum yang dikemukakan oleh hakim sangat penting. Dari
argumentasi hukum itulah kualitas hakim dapat dinilai professionalitas,
akuntabiltas sekaligus integritasnya sebagai seorang hakim.
Argumentasi hukum juga merupakan pencerminan seorang hakim
(yuris) sampai mana ia mengetahui atau menguasai hukum itu sendiri.
Jadi para yuris haruslah memiliki suatu argumentasi hukum yang masuk
30
30
akal atau sesuai dengan aturan dan rasional. Realitas di lapangan ada
kalanya para yuris yang ahli berargumen membawa argumentasi kearah
yang membingungkan untuk tujannya pribadi ataupun kepentingan
kelompoknya. Pada beberapa kasus terakhir lemahnya argumentasi
hukum dari para hakim bukan karena lemahnya intelektualitas, tetapi
lebih sering dipengaruhi oleh faktor eksternal yang membuat
independensi dan kemerdekaan hakim menjadi rusak.
Ada 2 (dua) jenis argumentasi hukum, argumentasi tertulis dan
lisan serta argumentasi internal dan eksternal. Dalam persoalan yang
sedang kita bahas, yang diperlukan adalah arumentasi tertulis dan
argumentasi lisan, dan lebih khusus argumnetasi hukum secara tertulis.
Argumentasi hukum tertulis adalah argumentasi hukum yang
dirumuskan secara tertulis. Di dalam materi argumentasi tertulis
terkandung makna penemuan hukum dan pembentukan hukum yang
dilandasi dengan ilmu hukum, prinsip-prinsip hukum, asas-asas hukum,
teori hukum dan falsafah hukum. Argumentasi tertulis merupakan
landasan untuk melakukan argumentasi lisan. Seorang atau beberapa
orang ahli hukum dapat melakukan artikulasi dan improvisasi dengan
mengacu kepada argumentasi tertulis. Oleh karena itu, argumentasi lisan
tidak boleh bertentangan dengan argumentasi tertulis. Argumentasi lisan
akan memperkaya dan memperjelas apa yang terkandung di dalam
argumentasi tertulis. (Tommy Hendra P., 2011).
D. Implementasi Hukum Transendental sebagai Argumentasi Hukum
dalam Putusan Hakim
Secara teoritis dan praktis, hakim adalah “wakil” Tuhan yang
diberi wewenang oleh undang-undang untuk menghukum siapa saja
yang telah nyata dan terbukti dalam sidang pengadilan sebagai orang
yang bersalah atas tindakan atau perbuatan melawan hukum yang
31
31
dilakukannya. Adapun dalam persepsi masyarakat pada umumnya
tentang hakim adalah orang yang mengadili perkara di lembaga
peradilan, berpakaian toga hitam dan memiliki tingkat prestise yang baik
dalam strata sosial masyarakat pada umumnya. Hakim dipandang
sebagai orang “suci” karena kedudukannya dan pemahamannya terhadap
setiap persoalan hukum yang ada. Persepsi masyarakat tentang hakim
yang demikian itu tidak salah, akan tetapi memahami secara mendalam
tentang hakim sangat penting, terutama bagi para peminat ilmu hukum
(Farkhani dan Evi Ariyani, 2016: 41).
Pengertian hakim yang diberikan oleh para ahli memang tidak jauh
dari persoalan tersebut. Kata hakim secara khusus memiliki dua makna,
yaitu; 1) pembuat hukum, yang menetapkan, yang memunculkan dan
sumber hukum, 2) yang menemukan hukum, menjelaskan,
memperkenalkan, dan yang menyingkap hukum (Totok Jumantoro dan
Samsul Munir Amin, 2005: 76). Oleh sebab itu, hakim tidak boleh menolak
untuk memeriksa perkara dan mengadili perkara apapun, baik perkara
yang serta merta ia mengetahui hukum ataupun yang ia yakini belum ada
hukum yang mengaturnya. Mengadili dalam hal ini adalah serangkaian
tindakan hakim, untuk menerima memeriksa dan memutus perkara
pidana, perdata, tata usaha negara ataupun yang lainnya berdasarkan
asas bebas, jujur dan tidak memihak disidang pengadilan dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam pasal 1 ayat 9 KUHAP. Konklusinya,
hakim dianggap mengetahui aneka hukum (curialus novit). Jika aturan
hukum tidak ada ia harus menggalinya dengan ilmu pengetahuan
hukum, jika aturan hukum kurang jelas maka ia harus menafsirkannya.
Hakim sebagai pejabat negara dan penegak hukum wajib menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat serta dalam mempertimbangkan hukuman yang
tepat pada setiap perkara yang dihadapinya. Ketentuan tersebut tertera
32
32
jelas sebagai perintah UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
Tugas berat tersebut diperberat dengan kaharusan memulai
pembukaan setiap putusan hukum yang dikeluarkannya dengan klausul
“demi keadilan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (pasal 2 {1}
UU No. 49 tahun 2009). Dari frase ini saja sudah dapat dikatakan bahwa
hakim adalah wakil Tuhan dalam menetapkan keadilan di dunia. Jadi
keadilan yang lebih utama yang harus ditegakkan bukan hukum
(kepastian hukum). Memang sesuai dengan pasal 1 ayat (1) dan pasal 2
ayat (2) menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dan peradilan adalah
menegakkan hukum dan keadilan. Tetapi asas kemerdekaan hakim dan
kebebasan hakim untuk berbeda pendapat dalam menilai dan memberi
putusan pada suatu dakwaan kasus. Disinilah ruang penegakkan keadilan
yang seharusnya menonjol.
Tidak mudah untuk menemukan keadilan, karena persepsi setiap
orang terhadap keadilan berbeda. Putusan yang dianggap hakim sebagai
suatu keadilan belum tentu akan terasa adil bagi para pihak yang
berperkara ataupun bagi masyarakat. Ditambah lagi dengan tak ada satu
kata sepakat untuk devinisi tentang keadilan. Lord Denning yang seorang
Hakim Agung Inggris pernah mengatakan bahwa “Justice is not something
you can see. It is not temporal but eternal. How does a man know what is justice.
It is not the product of his intellect but of his spirit” (dalam Farkhani dan Evi
Ariyani, 2016: 43-44).
Irah-irah putusan yang berbunyi “demi keadilan yang berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa” dan statemen Hakim Agung Inggris Lord
Denning menunjukkan bahwa hakim tidak boleh lepas dari spirit
transendental dalam memutuskan setiap perkara. Transendensi, menurut
Kontowijoyo (2006: 98) secara singkat dijelaskan sebagai implementasi
keimanan kepada Tuhan, dalam Islam dibahasakan sebagai tu’minuna
33
33
billah (QS. Ali Imran: 110). Atau dapat pula diperlebar bahwa transendensi
adalah menempatkan nilai nilai agama pada kedudukan yang sentral dan
tinggi dalam ragam ilmu. Dalam ranah hukum dapat dimaknai bahwa
hukum transendental berisi nilai-nilai suci agama yang diimplementaskan
dalam produk hukum, termasuk didalamnya putusan pengadilan yang
dibuat oleh hakim.
Pemikiran ini merupakan reaksi atas ekses-ekses negatif yang
ditimbulkan oleh modernisasi dalam bidang ilmu sosial khusunya
(hukum) sehingga mendorong terjadinya gairah untuk menangkap
kembali alternatif-alternatif yang ditawarkan oleh agama untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan kemanusiaan. Dalam bingkai
modernisasi yang selama ini berlangsung menempatkan menempatkan
manusia sebagai produk renaissance yang berakar pada rasio manusia.
Pusaran antroposentrisme menjadikan manusia sebagai pusat dunia,
manusia merasa cukup dengan dirinya sendiri dan melepaskan diri dari
nilai-nilai di luar dirinya (sekularisasi). Dari proyek ini selanjutnya adalah
menempatkan rasio manusia di atas segalanya, manusia
memproklamirkan dirinya sebagai penguasa diri dan alam raya.
Kesombongan rasio ini pada akhirnya manusia menjalani kehidupannya
tanpa makna, termasuk pada setiap produk yang dihasilkan dari rasionya.
Rasionalisasi miskin transendensi, miskin transendensi berati miskin
makna, mengesampingkan moralitas, terperangkap dalam penjara yang
tertangkap indera.
Nilai-nilai transendensi yang diadopsi dalam dunia hukum akan
menjadi dasar dari humanisasi dan liberasi manusia yang menjadi subyek
hukum. Transendensi hukum (hukum transendental) diharapkan akan
memberi arah kemana dan untuk tujuan apa humanisasi dan liberasi itu
dilakukan. Transendensi hukum di samping berfungsi sebagai dasar nilai
bagi praksis humanisasi dan liberasi, juga berfungsi sebagai kritik.
34
34
Dengan kritik transendensi, kemajuan teknik dapat diarahkan untuk
mengabdi pada perkembangan manusia dan kemanusiaan, bukan pada
kehancurannya.
Dalam putusan hakim, dikenal istilah legal reasoning. Pengertian legal
reasoning digunakan dalam dua arti, yaitu dalam arti luas dan sempit.
Dalam arti luas, legal reasoning berkaitan dengan proses psikologi yang
dilakukan Hakim, untuk sampai pada keputusan atas kasus yang
dihadapinya. Studi legal reasoning dalam arti luas menyangkut aspek
psikologi dan aspek biographi. Legal reasoning dalam arti sempit, berkaitan
dengan argumentasi yang melandasi satu keputusan. (Golding, 1984: 1).
Legal reasoning atau argumentasi hukum keberadaannya adalah
wajib dalam setiap putusan pengadilan. Karena tidak mungin seorang
hakim atau juris pada umumnya, menghadapi persoalan hukum dalam
ruang hampa, pasti ada pijakan-pijakan yang akan dipilih untuk
menyusun logika argumentatif, menyesuaikan antara teks dengan
konteks. Hakim harus bertanggung jawab atas penetapan dan putusan
yang dibuatnya serta di dalam membuat pertimbangan hukum hakim
harus berdasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar
(pasal 68 A UU No. 49 Tahun 2009). Pada prakteknya, hakim lebih sering
berargumentasi hukum dengan hukum positif dengan simplikasi lebih
terjamin kepastian hukumnya.
Realita yang demikian walaupun mayoritas tidak berarti harus
diikuti untuk semua perkara hukum. Karena banyak juga kegagalan-
kegagalan yang ditimbulkan yang semata-mata mengacu pada hukum
positif sementara fakta tidak mesti sama persis dengan apa yang
diinginkan oleh hukum positif.
Marni Emmy Mustafa (www.pt-bandung.go.id) menegaskan bahwa
kepastian hukum tidak selalu menghasilkan keadilan. Mendiskusikan
kepastian hukum dalam bentuk "pro-contra" adalah tidak ada manfaatnya.
35
35
Kepastian hukum mungkin saja berguna untuk memastikan seberapa jauh
nilai yang dapat diberikan terhadap kepastian hukum dalam kasus tertentu,
sebagaimana dihadapkan pada pertimbangan-pertimbangan lain yang
melemahkan nilai kepastian hukum. Argumentasi untuk kepastian hukum
dalam kasus yang berbeda satu sama lain akan beragam sesuai dengan
ukuran yang pada gilirannya akan berubah-ubah sesuai waktu dan tempat
terjadinya kasus tersebut. Berbagai alasan yuridis yang berbeda-beda akan
dipergunakan atau berbagai macam metoda penemuan hukum akan
diterapkan, agar di samping kepastian hukum, putusan akhir pengadilan
juga akan dilandaskan pada pertimbangan akan keadilan.
Oleh karenanya yang perlu diperhatikan oleh hakim adalah
kesesuaian antara fakta dengan norma, norma yang dimaksud tidak
hanya berhenti pada norma hukum saja akan tetapi dapat juga
mempertimbangkan norma moral, doktrin bahkan norma agama yang
transendental dan bersumber pada kitab suci agama. Pada posisi seperti
ini, hakim memainkan posisi kunci dalam penggunaan norma yang akan
dijadikan sebagai pertimbangan atau argumentasi hukum. Bahkan sangat
mungkin apa yang dilakukan oleh hakim akan lebih berarti dibandingkan
dengan sekedar membunyikan undang-undang atau peraturang
perundangan lainnya. Franken menegaskan bahwa pembentukan
pembentukan hukum oleh hakim dianggap sebagai suatu hal yang baik
karena hakim melakukan perumusan aturan-aturan sedemikian rupa
sehingga melalui perumusan tersebut juga ditetapkan fakta yang dalam
hal ini adalah fakta hukum hasil pemeriksaan mana dalam kasus tertentu
menjadi relevan dan kemudian putusan akhir akan mengalir darinya
sebagai satu cara penyelesaian konkret dari sengketa (Herlien Budiono,
2006: 267).
Berlandaskan pada pemaparan dimuka dan didukung oleh
Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan
36
36
Undang-Undang No. 49 tahun 2009 tentang Peradilan Umum,
penggunaan agrgumentasi hukum yang bersifat transendental sungguh
sangat terbuka bagi hakim untuk semua level. Hingga seharusnya
mendorong untuk lahir hakim-hakim semacam Bismar Siregar yang
dikenal sangat kental argumentasi hukum transendentalnya dalam setiap
putusan yang dibuatnya.
37
37
BAB III
KABUPATEN PURWOREJE DAN
PENGADILAN NEGERI PURWOREJO
A. Sekilas Kabupaten Purworejo
1. Letak Geografi dan Sejarah Singkat Kabupaten Purworejo
Kabupaten Purworejo merupakan salah satu Kabupaten di
Provinsi Jawa Tengah yang terletak antara 109°47’28’’ sampai
110°8’20” Bujur Timur dan antara 7°32’’ sampai 7° 54’’ Lintang
Selatan. Sebelah Utara Kabupaten Purworejo berbatasan dengan
Kabupaten Wonosobo dan Magelang dan sebelah selatan berbatasan
dengan Samudra Indonesia. Sebelah barat berbatasan dengan
Kabupaten Kebumen dan sebelah timur berbatasan dengan wilayah
Daerah Istimewa Yogyakarta tepatnya Kabupaten Kulonprogo.
Kabupaten Purworejo terbagi dalam 16 kecamatan dan 494
desa/kelurahan. Wilayah Kabupaten Purworejo pada tahun 2016
mempunyai luas 103.481 ha atau sekitar 3,18 persen dari luas Provinsi
Jawa Tengah. Lahan seluas 103.481 ha di Kabupaten Purworejo terdiri
dari 87.105 ha (84,18 persen) lahan pertanian dan 16.375 ha (15,82
persen) bukan lahan pertanian. Lahan pertanian yang ada digunakan
sebagai lahan sawah 30.225 ha (34,70 persen) dan bukan lahan sawah
56.880 ha (65,30 persen).
38
38
Peta Kabupaten Purworejo
Wilayah Administrasi Kabupaten Purworejo terbagi dalam 16
Kecamatan. Wilayah tersebut terdiri dari 469 desa dan 25 kelurahan.
(Badan Pusat Statistik Kab. Purworejo, 2017: 3).
2. Sejarah Singkat Kabupaten Purworejo
Sejarah keberadaan Purworejo sebagai sebuah wilayah
administrasi pemerintahan dapat dilihat pada Prasasti Kayu Ara
Hiwang ditemukan di Desa Boro Wetan (Kecamatan Banyuurip), jika
dikonversikan dengan kalender Masehi adalah tanggal 5 Oktober 901.
Ini menunjukkan telah adanya pemukiman sebelum tanggal itu.
Bujangga Manik, dalam petualangannya yang diduga dilakukan pada
abad ke-15 juga melewati daerah ini dalam perjalanan pulang dari
Bali ke Pakuan. Sampai sekarang, kapan tepatnya tanggal ulang tahun
berdirinya Kabupaten Purworejo, masih jadi bahan perdebatan. Ada
yang berpatokan pada pada tanggal prasasti diatas, ada juga yang
berpatokan pada diangkatnya bupati Purworejo I pada 30 Juni 1830.
Pada masa Kesultanan Mataram hingga abad ke-19 wilayah ini lebih
dikenal sebagai Bagelen (dibaca /ba·gə·lɛn/). Saat ini Bagelen malah
hanya merupakan kecamatan di kabupaten ini.
39
39
Setelah Kadipaten Bagelen diserahkan penguasaannya kepada
Hindia Belanda oleh pihak Kesultanan Yogyakarta (akibat Perang
Diponegoro), wilayah ini digabung ke dalam Karesidenan Kedu dan
menjadi kabupaten. Belanda membangun pemukiman baru yang
diberi nama Purworejo sebagai pusat pemerintahan (sampai sekarang)
dengan tata kota rancangan insinyur Belanda, meskipun tetap
mengambil unsur-unsur tradisi Jawa. Kota baru ini adalah kota tangsi
militer, dan sejumlah tentara Belanda asal Pantai Emas (sekarang
Ghana), Afrika Barat, yang dikenal sebagai Belanda Hitam dipusatkan
pemukimannya di sini. Sejumlah bangunan tua bergaya indisch masih
terawat dan digunakan hingga kini, seperti Masjid Jami' Purworejo
(tahun 1834), rumah dinas bupati (tahun 1840), dan bangunan yang
sekarang dikenal sebagai Gereja GPIB (tahun 1879). Alun-alun
Purworejo, seluas 6 hektare, konon adalah yang terluas di Pulau Jawa.
(Wikipedia, diakses 28 Agustus 2017).
3. Jumlah Penduduk dan Prosentasi Pemeluk Agama
Menurut Angka Proyeksi Sensus Penduduk Tahun 2010,
Penduduk Kabupaten Purworejo pada tahun 2016 berjumlah 712. 686
jiwa dengan komposisi 49,32 persen penduduk laki-laki dan 50,68
persen penduduk perempuan. Kabupaten Purworejo dengan luas
wilayah 1.034,82 km² maka kepadatan penduduk setiap km² sebesar
689. Laju pertumbuhan pada tahun 2016 sebesar 0,32 persen (Badan
Pusat Statistik Kab. Purworejo, 2017: 63).
40
40
Persentase Penduduk Dirinci Menurut Agama yang Dianut Per
Kecamatan di Kabupaten Purworejo Tahun 2016
Kecamatan Islam Katolik Kristen Budha Hindu Lainnya Jumlah
Grabag 99.20 0.40 0.40 - - - 100
Ngombol 88.98 10.31 0.70 - 0.01 - 100
Purwodadi 96.84 1.40 1.70 0.05 0.01 - 100
Bagelen 96.33 1.00 1.10 1.55 0.02 - 100
Kaligesing 97.70 1.40 0.90 - - - 100
Purworejo 92.54 3.80 3.50 0.06 0.10 - 100
Banyuurip 97.38 1.10 1.50 - 0.02 - 100
Bayan 99.39 0.20 0.40 0.01 - - 100
Kutoarjo 93.98 2.60 3.30 0.08 0.01 - 100
Butuh 99.09 0.10 0.80 0.01 0.01 - 100
Pituruh 99.58 0.10 0.30 0.02 - - 100
Kemiri 99.60 0.10 0.30 - - - 100
Bruno 99.79 0.10 0.10 0.01 - - 100
Gebang 99.76 0.10 0.10 - 0.04 - 100
Loano 99.40 0.40 0.20 0.01 - - 100
Bener 99.70 0.10 0.20 - - - 100
Jumlah 97.28 1.46 1.16 0.08 0.02 0.00 100
Tahun
2015
97.28 1.46 1.16 0.08 0.02 0.03 100
Tahun
2014
97.46 1.45 0.96 0.11 0.01 0.08 100
Sumber: Kantor Kementerian Agama Kabupaten Purworejo
41
41
Aktivitas ekonomi kabupaten ini bergantung pada sektor
pertanian dan perkebunan, di antaranya padi, jagung, ubi kayu dan
hasil palawija lain. Di tingkat Provinsi Jawa Tengah, Purworejo
menjadi salah satu sentra penghasil rempah-rempah (Bahasa Jawa:
empon-empon), yaitu: kapulaga, kemukus, temulawak, kencur, kunyit
dan jahe. Selain itu Purworejo dikenal sebagai sentra kelapa yang
produksinya selain dimanfaatkan sebagai kelapa sayur, juga diolah
menjadi gula merah dan minyak kelapa serta merupakan pusat
penghasil mlinjo. Disamping itu Purworejo juga pernah memiliki
produk unggulan di bidang peternakan dan perikanan.
Pengembangan kambing Etawa peranakan sampai pernah ekspor ke
Malaysia. Adapun di bidang industri, Kabupaten Purworejo tidak
banyak memiliki sentra industri dan yang ada tidak banyak menyerap
tenaga kerja. Begitupula dari sisi pariwisata, walaupun ada sebagian
daerahnya menghadap ke laut namun belum ada pantai yang bisa
dijual untuk tujuan pariwata yang menarik minat pelancong.
Destinasi pariwisata yang adapun tidak begitu terkenal sampai keluar
Purworejo (https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Purworejo).
Dilihat dari sisi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
kondisi perekonomian Kabupaten Purworejo dalam kurun waktu
tahun 2005-2009, PDRB Kabupaten Purworejo atas harga berlaku
berturut-turut sebesar 2.951.647,48; 3.443.170,90; 4.094.294,69;
4.660.785,05 dan 5.328.179,09 juta rupiah atau meningkat tiap tahun
sebesar 14,21%. PDRB Perkapita atas dasar harga berlaku dalam
kurun waktu 2005-2009 adalah 4.812.345,86; 5.707.718,23; 6.478.747,52;
7.376.755,82; dan 8.098.565,72 rupiah atau tiap tahun naik sebesar
13,94%.
Jika PDRB perkapita tersebut diperbandingkan dengan beban
hidup masyarakat per tahun dapat dilihat dari selisih antara
42
42
Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) dan Upah Minimum Regional
(UMR)/Upah Minimum Kabupaten (UMK). Pada tahun 2005-2009
standar UMK di Kabupaten Purworejo adalah Rp. 410.000,-; Rp.
460.000,-; Rp. 500.000,-; Rp. 555.000,-. Dan Rp. 643.000 Sedang untuk
KHM masyarakat Rp. 420.893,-; Rp. 545.308,-; Rp. 586.219,-; 623.319,-.;
623.319,- Perbandingan Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) dan
Upah Minimum Kabupaten (UMK) Kabupaten Purworejo Tahun
2005-2009 sebagaimana tersaji pada gambar 4.5 berikut
(bappeda.purworejokab.go.id).
B. Pengadilan Negeri Purworejo
Purworejo, sebagai wilayah administrasi yang tidak terlalu luas
dan dengan dominasi kehidupan masyarakat pedesaan yang cenderung
guyub dan rukun, tidak begitu banyak peristiwa hukum yang
menimbulkan aksi hukum (legal action) yang harus diselesaikan melalui
meja peradilan. Oleh karena tidak begitu banyak perkara yang masuk di
meja Pengadilan Negeri Purworejo, kelas PN Purworejo masuk kategori
1B.
Contoh Statistik Perkara di Bulan September 2017
No Klasifikasi Sisa
Bulan
Lalu
Perkara
Masuk
Putus Minutasi
Belum
Minutasi
Sisa
1 Gugatan 19 4 2 1 1 21
2 Permohonan 3 1 4 3 1 O
3 Kepailitan 0 0 0 0 0 0
4 Penundaan
Kewajiban
0 0 0 0 0 0
43
43
Pembayaran Utang
5 Hak Kekayaan
intelektual
0 0 0 0 0 0
6 Pengadilan
Hubungan
Industrial
0 0 0 0 0 0
7 Perlawanan/Bantahan 0 0 0 0 0 0
8 Gugatan Sederhana 0 0 0 0 0 0
9 Pidana Biasa 36 6 11 4 7 30
10 Pidana Singkat 0 0 0 0 0 0
11 Pidana Cepat 0 31 31 31 0 0
12 Perkara Lalu-Lintas 0 2242 2242 2242 0 0
13 Pidana Anak 2 1 0 0 0 3
14 Pidana Praperadilan 0 0 0 0 0 0
Total 54
Sumber: pn-purworejo.go.id
1. Sejarah Singkat PN Purworejo
Pengadilan Negeri di Purworejo dahulu ada 2 (dua) yaitu
Pengadilan Negeri yang terletak di Purworejo dan Pengadilan Negeri
di Kutoarjo, Pada masa Mr. Wirjono Prodjodikoro menjadi Ketua
Pengadilan Negeri Purworejo oleh beliau Pengadilan Negeri Kutoarjo
dihapuskan dan dimasukkan dalam wilayah hukum Pengadilan
Negeri Purworejo. Daerahnya meliputi seluruh daerah tingkat II
Purworejo yang terdiri dari 16 (enam belas) kecamatan dan terdapat
496 (empat ratus sembilan puluh enam) desa, yang luas seluruhnya
104.137.788 Ha yang terdiri dari tanah darat dan dan tanah sawah.
Gedung Pengadilan Negeri Purworejo mempunyai 2 (dua)
kantor, Kantor lama terletak di Jalan Mayjend Sutoyo No.10
44
44
Purworejo, dibangun pada zaman penjajahan Belanda di atas tanah
seluas 2142 M2. Keadaan gedung sudah tua dan kurang luas baik
untuk persidangan maupun tempat bekerja untuk para pegawai yang
bertambah jumlahnya. Pada Tahun Anggaran 1979/1980 Pengadilan
Negeri Purworejo pernah menerima DIP No.76/XIII/3/1979
tertanggal 25 Mei 1979 untuk pembelian tanah dan pembangunan
gedung kantor baru namun baru memperoleh tanahnya saja, sedang
pembangunan gedung kantor tersebut tidak dapat diselesaikan
karena :
a. Sumber dana yang diterima dari pusat sangat lambat
b. Setelah gambar diterima ternyata harus ada ketentuan dari Dinas
Pekerjaan Umum Magelang, bahwa untuk daerah Kedu Selatan
termasuk daerah gempa, sehingga gambar dari Cipta Karya tidak
disetujui sehingga harus dirubah konstruksi pondasinya.
c. Perubahan nama memakan waktu lama sehingga pada waktu
tendernya tidak ada rekanan yang mau melaksanakan dan untuk
merenovasi DIP-nya sudah tidak mungkin.
Pada Tahun Anggaran 1986/1987 Pengadilan Negeri Purworejo
telah menerima DIP No.096/XIII/3/1986 tertanggal 1 Maret 1986
untuk untuk pembangunan gedung kantor baru yang terletak dijalan
Tentara Pelajar KM.04 Purworejo, di atas tanah seluas 5000 M2 dan
luas bangunan 624 M2 serta pengerasan tempat parkir seluas 600
M2. Mengingat bertambahnya pegawai pada kantor Pengadilan
Negeri Purworejo, maka pengadilan Negeri Purworejo pada Tahun
Anggaran 1993/1994 mendapat DIP No.42/XIII/3/1993 tertanggal
17 Maret 1993 guna perluasan gedung kantor baru seluas 600 M2.
2. Wilayah Kompetensi Relatif PN Purworejo
45
45
Pengadilan Negeri Purworejo merupakan salah satu pelaksana
kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum. Tugas pokok
Pengadilan Negeri Purworejo adalah sebagai berikut:
1. Mengadili, dan menyelesaikan perkara yang diajukan
kepadanya sesuai dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman.
2. Menyelenggarakan Administrasi Perkara dan Administrasi
Umum lainnya.
Pengadilan Negeri Purworejo masuk dalam wilayah hukum
Pengadilan Tinggi Jawa Tengah, dengan luas wilayah kurang lebih
1034,82 Km2 yang terdiri dari 16 (enam belas) kecamatan dan 496
(empat ratus sembilan puluh enam) Desa / Kelurahan sebagai berikut:
1. Kecamatan Purworejo, terdiri dari 17 (tujuh belas) Desa /
Kelurahan yaitu:
2. Kecamatan Banyuurip, terdiri dari 27 (dua puluh tujuh) Desa
/ Kelurahan
3. Kecamatan Bayan, terdiri dari 26 (dua puluh enam) Desa /
Kelurahan
4. Kecamatan Bener, terdiri dari 28 (dua puluh delapan) Desa /
Kelurahan
5. Kecamatan Bruno, terdiri dari 18 (delapan belas) Desa /
Kelurahan
6. Kecamatan Butuh, terdiri dari 41 (empat puluh satu) Desa /
Kelurahan
7. Kecamatan Gebang, terdiri dari 25 (dua puluh lima) Desa /
Kelurahan
8. Kecamatan Grabag, terdiri dari 32 (tiga puluh dua) Desa /
Kelurahan
46
46
9. Kecamatan Kaligesing, terdiri dari 21 (dua puluh satu) Desa
/ Kelurahan
10. Kecamatan Kemiri, terdiri dari 40 (empat puluh) Desa /
Kelurahan
11. Kecamatan Kutoarjo, terdiri dari 27 (dua puluh tujuh) Desa
/ Kelurahan
12. Kecamatan Loano, terdiri dari 21 (dua puluh satu) Desa /
Kelurahan
13. Kecamatan Ngombol, terdiri dari 57 (lima puluh tujuh) Desa
/ Kelurahan
14. Kecamatan Pituruh, terdiri dari 49 (empat puluh sembilan)
Desa / Kelurahan
15. Kecamatan Purwodadi, terdiri dari 40 (empat puluh) Desa /
Kelurahan
16. Kecamatan Purworejo, terdiri dari 25 (dua puluh lima) Desa
/ Kelurahan.
Struktur Organisasi
47
47
Sebagaimana tradisi dalam kepemimpinan di lingkungan
Mahkamah Agung, termasuk didalamnya berkenaan dengan struktur
organisasi pada lembaga peradilan di seluruh Indonesia, struktur
organisasi di Pengadilan Negeri Purworejo juga terus berubah dari
waktu ke waktu bahkan dalam rentang waktu yang tidak lama.
Dalam struktur terbaru, wakil ketua FX. Heru Santoso, S.H., M.H, kini
posisinya digantikan oleh Sutarno, S.H., M.Hum.
Gedung Pengadilan Negeri Purworejo
C. Norma Agama dalam Putusan Hakim di Pengadilan Negeri
Purworejo
Hukum diciptakan untuk terciptanya keadilan dalam kehidupan,
bermanfaat bagi kehidupan dan menjamin adanya kepastian hukum.
Ketertiban, keadilan, kedamaian dan kesejahteraaan adalah core utama
dari terciptanya hukum, walaupun banyak yang abai terhadap tujuan
substansi hukum itu diciptakan. Demi terwujudnya tujuan penciptaan
hukum, maka perlu adanya sanksi (pidana, perdata atau lainnya).
Institusi yang diperlukan untuk tegaknya dan tercapainya tujuan
hukum adalah tersedianya lembaga peradilan yang independen dan
48
48
bermartabat. Lembaga peradilan menjadi organ yang melaksanakan tugas
mengadili ragam pelangggaran hukum sesuai dengan kompetensi relatif
dan absolutnya. Aktor utama sekaligus benteng terakhir dari proses
penegakan hukumnya adalah hakim.
Hakim adalah pejabat yang memimpin persidangan. Ia yang
memutuskan hukuman bagi pihak yang dituntut. Hakim harus dihormati
di ruang pengadilan dan pelanggaran akan hal ini dapat menyebabkan
hukuman. Hakim biasanya mengenakan baju berwarna hitam. Sedangkan
menurut UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim
adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur oleh
undang-undang (pasal 31). Adapun yang dimaksud dengan kekuasaan
kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik
Indonesia (pasal 1).
Hakim disebut sebagai aparatur penegak hukum yang diberi
kedudukan tinggi dan wewenang oleh undang-undang diharapkan
memberikan putusan yang seadil-adilnya, memberi kepastian dan
manfaat hukum yang tepat untuk setiap kasus yang diajukan padanya.
Agar kedudukan hakim tetap pada pada posisinya yang mulia,
berbagai “rekayasa” agar kemuliaan hakim terjaga. Mulai dari sitem
seleksi calon hakim yang diperbaiki dari waktu ke waktu, ruang sidang
dan peraturan dalam ruang sidang yang dikondisikan sedemikian rupa,
kesejahteraan hakim diperhatikan, kemampuan dan professionalitasnya
terus ditingkatkan dan perilakunya diawasi. Namun hakim adalah
manusia yang sangat mungkin memiliki kelemahan, kekurangan dan
kesalahan. Pada posisi seperti itu ditangkap dengan jeli oleh para
perongrong hukum untuk menjadikan putusan hakim tidak berdiri di atas
kebenaran dan keadilan (Farkhani dan Evi Ariyani, 2016: 125-126).
49
49
Soerjono Soekanto (1982: 51) mengatakan bahwa pada diri
seseorang memiliki faktor-faktor yang dapat mempengaruhi karakter dan
kepribadiannya, yaitu;
1. Raw in put yaitu faktor-faktor individual dan latar belakang
kehidupan yang bersangkutan, misalnya pengaruh orang tua,
2. Instrumental in put yaitu faktor-faktor pendidikan formal, misalnya
pengaruh sekolah,
3. Environmental in put yaitu faktor-fakor yang berasal dari
lingkungan sosialnya secara luas.
Pendapat tersebut dikuatkan juga oleg Bismar Siregar (1986: 51), ia
mengatakan bahwa “kemandirian dan kebebasan hakim sangat
bergantung pada pribadinya dan kemandirian hakim bukan terletak pada
jaminan undang-undang tapi iman”.
Sebab begitu urgennya posisi hakim dalam penegakan hukum,
maka hakim diberikan kebebasan seluasnya untuk menggunakan norma
sebagai jaminan kemerdekaannya. Jaminan itu telah tertuang dalam
konstitusi pasal 24 UUD 1945 dan dipertegas dengan Undang-Undang
No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Kebebasan yang dimaksud dalam peraturan perundangan tersebut,
termasuk didalamnya kebebasan dalam menentukan argumentasi hukum
yang digunakan sebagai dasar pemberian hukum dalam putusan suatu
perkara hukum.
Begitupula dengan para hakim yang ada di Pengadilan Negeri
Purworejo, mereka memiliki kebebasan dalam membuat argumentas
hukum dalam setiap putusan-putusan pengadilan pada perkara yang
ditanganinya, termasuk menuangkan norma dari ajaran-ajaran agama
sebagai bagian dari argmentasi hukum dalam putusannya.
Setelah periode atau masa Bismar Siregar, tidak tampak mencolok
dalil-dalil hukum yang berasal dari norma jaran agama dipergunakan
50
50
oleh hakim sebagai argumentasi hukumnya. Kelangkaan pasca masa
Bismar ini, seolah-olah menguatkan kembali pada pemikiran para hakim
aliran positivisme hukum dalam dunia peradilan di Indonesia,
mengesampingkan nilai ajaran agama sebagai norma.
Oleh karenanya kasus yang terjadi di Pengadilan Negeri Purworejo
yang mengutip banyak norma agama-agama yang berlaku di Indonesia
menjadi satu pertanda atau angin segar terbukanya kembali norma
hukum yang bersifat transendental mewarnai putusan-putusan
pengadilan di Indonesia, walaupun titik awal pusarannya dari pengadilan
“kecil” kelas 1B di sebuah kabupaten yang tidak begitu terkenal di pesisir
Jawa bagian Selatan. Putusan yang dimaksud adalah Putusan Nomor:
61/Pid.B/2011/PN.Pwr. dalam kasus “percobaan berencana secara
berbarengan dan percobaan pembunuhan”. Majelis Hakim yang terlibat
dalam pembuatan putusan tersebut adalah Alex T.M.H. Pasaribu, S.H.,
Mardiana Sari, S.H., M.H., sebagai Hakim Anggota dan Purnawan
Narsongko, S.H., sebagai Hakim Ketua.
Argumentasi hukum yang diintrodusir dari norma-norma ajaran
agama-agama dalam putusan tersebut sebagai berikut;
“Bahwa ditinjau dari aspek EDUKATIF dan AGAMIS/RELIGIUS DIMANA TERDAKWA TINGGAL dan DIBESARKAN seharusnya tidaklah membentuk tingkah laku negatif. Pada dasarnya, pendidikan yang dimiliki terdakwa (sampai pada kelas 2 SMEA) seharusnya tidak menjadikan diri terdakwa melakukan perbuatan dan tindakan yang negatif meskipun terdakwa memiliki keinginan untuk mencari pekerjaan akan tetapi dikarenakan terdakwa tidak memiliki ongkos untuk pergi ke Jakarta maka membuat diri terdakwa lepas kontrol dan berniat untuk melakukan pencurian guna mendapatkan ongkos guna mewujudkan keinginannya pergi ke Jakarta sehingga terdakwa melakukan pembunuhan dua orang umat manusia dan seorang yang diberikan kehidupan kedua oleh Tuhan Yang Maha Esa sehingga perbuatan PEMBUNUHAN yang dilakukan oleh terdakwa terhadap korban AGNES SRI HARYATI DAN SRI UNDARI dapat
51
51
terungkap dengan cepat. Dimana perbuatan terdakwa tersebut bertentangan dengan norma dan ajaran pelbagai agama. Begitu pula dalam agama dan iman KATOLIK yang dianut oleh korban AGNES SRI HARYATI serta menurut agama KRISTEN PROTESTAN pembunuhan dilarang dalam KITAB KELUARAN 20:13 dan Injil Mateus 5: 21 yang berbunyi : “jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum.” Kemudian dalam agama HINDHU diatur dalam KITAB SUCI WEDA yaitu ATHARVAVEDA X:1:29 ditulis, bahwa : Jangan pernah membantai orang tidak bersalah, pembunuh orang yang tidak bersalah berkesudahan di dalam malapetaka, jangan membunuh manusia dan binatang bermanfaat.” Serta dalam Kitab SARASAMUSCCAYA pada CLOKA 141 disebutkan : “…Sekali-kali tidak pernah menyakiti mahluk lain, tidak mengikatnya, tidak membunuhnya…”. Di samping itu, khusus dari aspek agama ISLAM yang dianut oleh korban SRI UNDARI dan dimana terdakwa ANDRIAWAN Bin SUBARJO sebagai pemeluknya maka pembunuhan merupakan suatu dosa dan Agama Islam sendiri adalah Agama yang mengajarkan cinta kasih kepada sesama mahluk, mengajarkan perdamaian, kerja sama dalam 65 kebaikan, kerukunan dan persaudaraan antar sesama umat. Islam tidak mengajarkan kekerasan apalagi pembunuhan terhadap sesama Manusia yang merupakan hak Azasi Manusia. Khusus mengenai hak hidup yang merupakan hak Azasi Manusia yang harus dihormati dan dilindungi. Banyak ayat-ayat Al Qur’an yang melarang agar orang jangan melakukan pembunuhan terhadap orang lain kecuali atas dasar alasan yang sah. Misalnya terdapat dalam Al Qur’an Surah. Al-Isra 17:33 “Dan janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sungguh kami telah memberi kekuasaan kepada walinya, tetapi janganlah walinya itu melampaui batas dalam pembunuhan .Sesungguhnya dia adalah orang yang mendapat pertolongan”; dan perbuatan terdakwa yang telah melakukan pembunuhan kepada para korban sehingga apabila terdakwa menyesali akan perbuatan yang telah dilakukannya maka pintu ampunan terbuka bagi orang yang bertobat dimana menurut pandangan agama ISLAM terhadap dosa yang dilakukan umat manusia termaktub dalam AL-QUR’AN NURKARIM sebagai berikut: a. “Dan barang siapa mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia memohon ampun kepada Allah, niscaya
52
52
dia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Penyayang”. (AN NISAA 4 : 110) ; b. “Dan Allah tidak akan mengazab mereka, sedang engkau berada diantara mereka. Dan tidak (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka memohon ampun”. (AL ANFAAL 8 : 33) kemudian “Dan (juga) orang - orang yang bila berbuat keji atau zalim terhadap dirinya, mereka ingat kepada Allah, lalu mereka memohon ampun atas dosa-dosanya. Dan siapa lagi yang dapat mengampunkan dosa melainkan Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan keji itu, sedang mereka mengetahui”. (ALI IMRON 3 : 135). Selanjutnya menurut HADIST RIWAYAT TURMUDZI mengemukakan dalam HADIST SAHIHNYA, sebagaimana termuat dalam Buku terjemahan yang berjudul: “RIYADHUS SHALIHIN”, JILID 2, Karangan IMAM NAWAWI, Penerbit: PUSTAKA AMANI, JAKARTA, Halaman 668 dimana salah seorang sahabat Nabi Besar MUHAMMAD S.A.W. yang bernama ANAS RODHIALLAHU-ATAS NAMA telah meriwayatkan sebagai berikut : “Saya mendengar RASULULLAH S.A.W. bersabda: “Allah Ta’ala berfirman: “Wahai Anak Adam selama kamu berdoa dan mengharap kepadaku niscaya Aku ampuni dosa yang telah kamu lakukan dan aku tidak memperdulikan berapa banyaknya. Wahai Anak Adam, seandainya dosa - dosamu bagaikan awan di langit, kemudian kamu minta ampun kepada-Ku niscaya Aku mengampunimu, dan Aku tidak memperdulikan berapa banyak dosamu. Wahai anak Adam, seandainya kamu datang kehadapan-Ku dengan membawa dosa se isi bumi, kemudian bertemu dengan AKU tanpa menyekutukan sesuatu apapun dengan-KU, niscaya AKU akan mengampuni dosa yang se isi bumi itu.” Berdasarkan pandangan terhadap sesuatu dosa yang diperbuat umat manusia, yaitu sesuai wahyu ALLAH dalam AL-QUR’AN dan HADIST 66 NABI MUHAMMAD S.A.W. sebagaimana dikemukakan di atas, maka dapat dikonklusikan menurut ajaran agama ISLAM bahwa pintu ampunan atas tobat umat manusia adalah mutlak milik ALLAH dan merupakan rahasia ALLAH, bahwa bagi hamba TUHAN, yaitu mahluk manusia yang telah melakukan perbuatan dosa, baik berupa dosa besar berupa perbuatan keji maupun dosa kecil, maka pintu tobat dan ampunan masih terbuka dihadapan ALLAH dengan syarat si hamba atau manusia itu sendiri dengan sungguh- sungguh bertawaduk dan menghadap kepada ALLAH SUBHAANAWA TA’ALLA untuk tidak mengulangi
53
53
perbuatannya, serta tidak menyekutukan ALLAH kepada selain ALLAH, juga si hamba atau manusia tersebut dengan penyerahan diri secara mutlak berupa kepasrahan hati yang mutlak kepada ALLAH dan melaksanakan seluruh perintah ALLAH serta menjauhi segala larangan-NYA (Putusan Nomor: 61/Pid.B/2011/PN.Pwr. hal. 64-66)”
54
54
BAB IV
PARADIGMA BERFIKIR HUKUM HAKIM PENGADILAN NEGERI
PURWOREJO DALAM PUTUSAN NOMOR: 61/Pid.B/2011/PN.Pwr.
A. Paradigma Berfikir Hukum
Thomas Khun (18 Juli 1922 – 17 Juni 1996), diyakini sebagai ilmuan
yang pertama kali memperkenalkan konsep paradigma. Walaupun
sebenarnya paradigma telah ada dalam setiap perkembangan dan
perbedaan cara pandangan ilmuan dalam mengupas soalan dalam ilmu
pengetahuan. Hanya saja kita harus mengakui bahwa Khun adalaah
orang yang pertama kali menyusun konsepsi paradigma dalam bukunya
yang berjudul The Structure of Scientific Revolutions.
Paradigma berasal dari bahasa Yunani klasik “paradeigma”, yang
berarti ‘pola atau model berpikir’. Sedangkan dalam bahasa Inggris
disebut “paradigm” dan bahasa Perancis “paradigme”, ia berasal dari
bahasa Latin ”para” dan deigma”. Para berarti disisi, disamping dan
“deigma” berarti contoh, pola, model. Sedangkan deigma dalam bentuk
kata kerja deiknynai berarti menunjukkan atau mempertunjukkan sesuatu.
Dengan begitu, secara epistimologis, paradigma berarti disisi model,
disamping pola atau disisi contoh. Paradigma berarti pula sesuatu yang
menampakkan pola, model atau contoh. Paradigma juga sinonim dengan
guiding principle, basic point of view atau dasar perspektif ilmu, gugusan
pikir, model, pola, kadang ada pula yang menyebutnya konteks. Secara
terminologi, paradigma berarti jalinan ide dasar beserta asumsi dengan
variabel-variabel idenya (Zumri Bestado Sjamsuar, 2009: 12).
Bernard S. Phillips dalam bukunya “Social Research: Strategy and
Tactics” (1971) mengatakan, “A paradigm is a set of assumptions, both stated
and unstated, which provides the basis on which scientific ideas rest.” Sementara
55
55
Earl Babbie dalam buku “The Practice of Social Research” (2001)
menyatakan, “A paradigm is fundamental model or frame of reference we use to
organize our observations and reasoning.” (Shidarta dalam http://business-
law.binus.ac.id) Soetandyo Wignyosoebroto (https://soetandyo.wordpress.com)
memahami pradigma sebaga “suatu pangkal (an) atau pola berpikir yang
akan mensyarati kepahaman interpretatif seseorang secara individual
atau sekelompok orang secara kolektif pada seluruh gugus pengetahuan
berikut teori-teori yang dikuasainya”
Dari bebapa pengertian yang disampaikan oleh para ahli, dapat
dipahami bahwa paradigma merupakan cara, fondasi, titik tolak atau latar
pandang yang digunakan untuk melihat, menganalisis, meginterpretasi
terhadap suatu subyek kajian. Sebab paradigma yang digunakan maka
dapat saja terjadi saling menegasikan, saling memperkuat atau bahkan
memberikan tawaran alternatif yang sama sekali baru dari yang
sebelumnya.
Bila demikian adanya, maka sesungguhnya konsep paradigma itu
selalu berkelindan dari satu masa ke masa yang lain secara simultan
dengan pemikiran filosofis dan keilmiahan. Simultan berarti dapat
muncul dan dikembangkan bersamaan, berbarengan, tersurat, tersirat,
dan berkohesif dengan model pembentukan dan pengembangan asumsi,
postulat, asas, konsep, teori, dalil, dan logika yang dihasilkan oleh
pemikiran filosofis dan keilmiahan.
Menurut Shidarta (http://business-law.binus.ac.id) dalam pemikiran
ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan, kerap ditampilkan tiga kelompok
paradigma, yaitu positivisme, interpretif atau fenomenologi (terkadang
disebut dengan pospositivisme, naturalisme, atau konstruktivisme), dan
kritikal. Kaum positivis memandang objek ada di luar subjek. Oleh karena
realitas ada di luar diri si individu yang mengamati, maka diyakini akan
ada realitas objektif itu. Sebaliknya, penganut fenomenologi menyatakan
56
56
realitas justru diciptakan oleh si subjek melalui interpretasi subjektif.
Kaum kritikal di sudut lain berpendapat bahwa realitas berada di antara
subjektivitas dan objektivitas. Realitas terjadi melalui ketegangan-
ketegangan antara subjek-subjek.
Pengelompokan paradigma sebagaimana yang disampaikan
Shidarta, serta perkembangannya dalam dunia ilmu pengetahuan sosial,
terjadi pula dalam ilmu pengetahuan hukum. Paradigma ilmu hukum
ikut terbawa dalam tren perkembangan ilmu pengetahuan secara umum.
Bila melihat tren dalam dasawarsa belakangan, mulai ada
kejengahan dari para ilmuan untuk terus mengusung ilmu-ilmu modern
yang lebih bersifat positivistik-rasional-empirik. Kajian-kajian keilmuan
yang bersifat post modernisme digalakkan, termasuk dalam cara pandang
yang digunakan (paradigma) di bidang ilmu hukum.
Paradigma transendental hukum kini sedang digalakan karena
melaihat tawaran-tawaran baru tentang cara pandang terhadap hukum
dianggap belum memuaskan. Loncatan paradigma hukum baru
berpindah dari rasionalis menuju relativis sebagaimana yang ditawarkan
oleh gerakan kritik legal studi yang dipopulerkan oleh Reberto M. Unger
dan Hukum Non-Sistemik yang disampaikan oleh Anton F. Susanto.
Paradigma hukum transendental hadir dengan maksud melampaui apa
yang sebelumnya ada, menjadi sintesa dari ekstrim kanan dan ekstrim kiri
dalam pemikiran hukum, yakni dengan mendasarkan pada norma agama
yang terkandung dalam kitab suci yang dihormati oleh setiap ilmuan
yang beragama.
Dalam sejarah putusan peradilan di Indonesia modern, cara
pandang atau paradigma transendental itu sebenarnya telah dilakukan,
namun hanya oleh segelintir orang dan diperjuangkan secara pribadi.
Untuk menghadirkan contoh ini adalah putusan-putusan pengadilan
yang hadir didalamnya Bismar Siregar. Itu pun, apa yang dilakukan oleh
57
57
Bismar yang saat itu berperan sebagai hakim “judex factie” selalu
dikalahkan dalam jenjang peradilan lebih tinggi ketika putusannya
diajukan banding oleh terdakwa.
Kini paradigma hukum transendental sedang digalakan dan
disemai keseluruh pembelajar hukum, dan bersamaan dengan proses ini,
telah ada sebuah putusan pengadilan di Pengadilan Negeri Purworejo
yang memiliki jiwa yang sama sebagaimana pernah dilakukan oleh
Bismar Siregar, yakni pada PUTUSAN NOMOR: 61/Pid.B/2011/PN.Pwr.
B. Analisis Paradigma Berfikir Hukum Hakim Pengadilan Negeri
Purworejo dalam Putusan Nomor: 61/Pid.B/2011/PN.Pwr.
Sebagaimana telah disampaikan pada bab sebelumnya, bahwa
hukum tidak hadir dalam ruang hampa. Paling tidak anggapan secara
sosiologis membenarkan premis ini, sebab hukum tidak akan mungkin
berdaya guna apapun bila ia tidak hadir dalam komunitas masyarakat
dan memiliki keterkaitan dengan indivudu atau entitas tertentu yang
memiliki kewenangan untuk mendayagunakan hukum itu. Sebagai
contoh untuk memperkuat premis tersebut adalah kehadiran hukum
Islam yang bersumber pada kitab suci al-Qur’an, walaupun ia ciptaan
Tuhan tetapi Tuhan tidak menafikan bahwa hukum itu diperuntukan bagi
manusia, sehingga ia tidak menutup sama sekali terhadap budi, daya dan
karsa yang ada pada manusia. Abdullah Ahmed al-Na’im (2001: 214)
mengatakan: “....(hukum, pen) Islam tidak memulai dari lembaran putih
karena ia tidak hadir dalam ruang hampa keagamaan, ekonomi, sosial dan
politik...Islam merupakan kelanjutan dan kulminasi tradisi Ibrahimi.
Selain itu hukum Islam dalam syari’ah menerima dan memodifikasi
banyak aspek adat dan praktik Arab pra-Islam”.
Dari sisi hakim sebagai pejabat negara yang menjalankan fungsi
kekuasaan yudikatif dijamin oleh undang-undang untuk bebas dan
58
58
mandiri dalam mengambil putusan, termasuk dalam menyampaikan
secara tertulis dan lisan argumentasi yang digunakannya. Dari sisi hakim
sebagai manusia biasa yang ada keterbatasan di dalam pribadinya tidak
akan dapat terlepas dart berbagai faktor yang mempengaruhinya. Dalam
menjalankan funggsinya hakim tidak dapat bekerja sendiri. Hakim tidak
dapat terlepas dart organisasi peradilan, institusi lain termasuk dengan
terdakwa maupun masyarakat. Hakim bebas dari korektifa dan
rekomendasi baik dari eksekutif maupun pihak lain. Kebebasan dan
kemandirian ini segalanya tergantung pada pribadi hakim. Namun yang
perlu diingat adalah bahwa ketika putusan itu telah dibacakan dimuka
sidang, maka putusan itu telah menjadi milik publik. Mulai saat itulah
putusan hakim dapat dieksaminasi oleh siapapun untuk mengukur
seberapa profesionalnya ia, kapabilitas dan integritasnya, termasuk dari
sisi prosedur.
Berawal dari sinilah putusan pengadilan yang dibuat oleh hakim
dapat dianalisis pada konten putusan yang telah ia buat yang berarti pula
dapat dilihat paradigma berfikir hukum dari para hakim dalam mejelis
hakim yang menyidangkan suatu perkara.
Harus dipahami bahwa tugas hakim sungguh berat, terutama pada
saat akan mengambil putusan hukuman apa dan berapa lama atau berapa
banyak denda yang harus dibanyar, atau dalam menentukan kedudukan
hukum pada subyek hukum.
Putusan dalam ranah keilmuan hukum dianggap sebagai karya
ilmiah yang bisa saja dieksaminasi oleh pemerhati hukum (khalayak) dan
teman sejawat. Ketepatan hukum yang diambil akan mendatangkan
keadilan dan menenangkan rasa keadilan masyarakat, kesalahannya akan
mendatangkan caci maki dan sidang kode etik yang dapat saja berakibat
pada karir hakim terhenti. Tidak hanya itu, irah-irah “demi keadilan
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, menuntut hakim tidak hanya
59
59
benar di hadapan manusia tapi benar pula di hadapan Tuhan Yang Maha
Pengadil. Artinya putusan yang hakim jatuhkan akan dipertimbangkan
pula di akherat kelak. Bagi hakim yang beragama, beban ini bukan beban
yang ringan, membawa tekanan tersendiri.
Dalam pandangan Hakim Agung Amerika Serikat, Oliver Wendell
Holmes Jr., tugas hakim sebagai pemutus perkara, bahwa memutus bukan
semata-mata proses silogisme matematis dan mekanis, namun sebuah
makna yang sangat luas “... the life of the law has not been logic; it is has been
experience. The felt necessities of the time, the prevalent moral and political
theories, institution of public policy avowed or unconscious, even the prejudices
which judges share with their fellow ....” Holmes juga mengatakan, “The law
embodies the story of a nation’s development through many centuries, and it can
not be dealt with as if it contained only the axioms and corollaries of a book of
mathematics”. Dengan demikian putusan hakim merupakan cermin dari
sikap, moralitas, penalaran dan banyak hal lainnya yang digambarkan
oleh Holmes sebagai pengalaman. Hal itu mengisyaratkan bahwa putusan
hakim akan sangat berwatak relativisme kultural, atau dengan mengambil
pandangan Tamanaha tentang “mirror thesis” maka putusan
merefleksikan seperti cermin dari si pemutusnya” (Komisi Yudisial, 2014:
7-8).
Sekalipun tugas hakim sangat berat, hakim tetaplah seorang
manusia biasa yaitu makhluk biologis, yang memiliki juga hak psikologis
yaitu untuk menjadi takut, berani, jujur, khilaf, dan lainnya. Fakta
sosiologisnya, tipologi hakim bermacam-macam, tak ada satu model
hakim yang menjadi model untuk penyeragaman karena hakim adalah
manusia, yang hanya bisa disergamkan dalam toga dan prosedur
beracara, pada titik ini kita dapat melihat hakim tidak hanya sebagai
seorang birokrat hukum semata (Abraham S. Blumberg, 1970), namun
juga sebagai manusia, yang terdiri dari berbagai variabel yang dapat
60
60
melekat pada seorang hakim, seperti usia, latar belakang sosial, ras atau
etnis, agama, pendidikan, pengalaman, dan lain-lain yang keseluruhannya
memiliki peluang untuk turut menentukan bagaimana kecenderungan
seorang hakim untuk memutus (Komisi Yudisial, 2014: 9). Berkenaan
dengan tipologi hakim dalam memutus perkara, Satjipto Rahardjo (2003:
225) berpendapat paling tidak ada dua tipe hakim. Pertama, hakim yang
apabila memeriksa, terlebih dahulu menanyakan hati-nuraninya atau
mendengarkan putusan hati nuraninya dan kemudian mencari pasal-
pasal dalam peraturan untuk mendukung putusan tersebut. Kedua, hakim
yang apabila memutus terlebih dahulu berkonsultasi dengan kepentingan
perutnya dan kemudian mencari pasal-pasal utuk memberikan legitimasi
terhadap putusan perutnya.
Dalam ilmu Manajemen Kepemimpinan, Siagian (1991)
menyatakan bahwa ada aspek-aspek tertentu bersifat internal dan
eksternal yang dapat mempengaruhi proses pengambilan keputusan
(berlaku pla bagi hakim). Adapun aspek internal tersebut antara lain :
a. Pengetahuan
Pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang secara langsung
maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap
pengambilan keputusan. Biasanya semakin luas pengetahuan
seseorang semakin mempermudah pengambilan keputusan.
b. Aspek kepribadian
Aspek kepribadian ini tidak nampak oleh mata tetapi besar
peranannya bagi pengambilan keputusan.
Aspek eksternal dalam pengambilan keputusan, antara lain :
a. Kultur
Kultur yang dianut oleh individu bagaikan kerangka bagi
perbuatan individu. Hal ini berpengaruh terhadap proses
pengambilan keputusan.
61
61
b. Orang lain
Orang lain dalam hal ini menunjuk pada bagaimana
individu melihat contoh atau cara orang lain (terutama
orang dekat) dalam melakukan pengambilan keputusan.
Sedikit banyak perilaku orang lain dalam mengambil keputusan
pada gilirannya juga berpengaruh pada perilkau individu dalam
mengambil keputusan.
Arroba (1998) menyatakan ada beberapa hal yang dapat
mempengaruhi pengambilan keputusan yang dilakukan oleh seseorang,
antara lain: 1) Informasi yang diketahui perihal permasalahan yang
dihadapi, 2) Tingkat pendidikan, 3) Personality, 4. Coping, dalam hal ini
dapat berupa pengalaman hidup yang terkait dengan permasalahan
(proses adaptasi), dan 5. Kultur.
Dilihat dari berbagai hal yang telah dibahas sebelumnya, sekali lagi
bahwa putusan hakim atau putusan pengadilan apabila telah ditulis dan
dibacakan dimuka sidang, setelahnya menjadi hak publik untuk dapat
mengaksesnya, termasuk pada Putusan Pengadilan Negeri Purworejo,
dalam hal ini Putusan Nomor: 61/Pid.B/2011/PN.Pwr.
Dalam Putusan Nomor: 61/Pid.B/2011/PN.Pwr., Majelis Hakim
yang terlibat dalam pembuatan putusan tersebut adalah Alex T.M.H.
Pasaribu, S.H., Mardiana Sari, S.H., M.H., sebagai Hakim Anggota dan
Purnawan Narsongko, S.H., sebagai Hakim Ketua. Dari identitas agama
dari majlis hakim, satu orang beragama katolik dan dua orang beragama
Islam. Walaupun hanya ada dua agama yang dianut oleh majlis hakim,
ternyata 3 (tiga) kitab suci agama besar di Indonesia diintrodusir sebagai
argumentasi hukum untuk memperkuat pemberian hukuman bagi
terdakwa.
Alex T.M.H. Pasaribu, S.H. yang beragama Katolik rupanya paham
betul bahan kejahatan pembunuhan di larang dalam agama yang
62
62
dianutnya (bible). Dalam iman Kristen pembunuhan adalah perbuatan
yang dilarang. Majelis Hakim mengutip Kitab Keluaran 20:13 dan Injil
Mateus 5: 21 yang berbunyi : “jangan membunuh; siapa yang membunuh
harus dihukum.”
Sesungguhnya tidak hanya satu ayat yang berbicara tentang
pembunuhan, karena ditelisik pada bibel ada banyak ayat yang berbicara
tentang pidana pembunuhan, hanya saja yang paling umum dan tidak
menunjuk secara jelas hukuman apa yang akan dijatuhkan pada pelaku
kejahatan pembunuhan, diktum itulah yang paling mewakili.
Sementara itu ayat-ayat yang membahas tentang pidana
pembunuhan dengan jenis hukuman yang lebih jelas diantaranya; dalam
kitab Kejadian 9: 6 sangat jelas berkata: “Siapa yang menumpahkan darah
manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia, sebab Allah membuat manusia
itu menurut gambar-Nya sendiri.” Dalam Bilangan 35: 16 disebutkan “Jika ia
membunuh seseorang dengan senjata besi, ia adalah pembunuh, dan ia harus
mati”.
Dalam firman kelima Perjanjian Lama melarang merampas
kehidupan dengan sengaja, dari seseorang yang tidak bersalah dan yang
tidak memberi perlawanan: “Jika seseorang memukul orang dengan
benda besi (atau dengan sebuah batu atau dengan benda kayu) supaya
mati dan orang itu mati, maka ia adalah seorang pembunuh. Pembunuh
itu akan dimatikan” (Bil 35: 16-18). Bahkan dikatakan: “jika ia dengan rasa
permusuhan memukul dia dengan tangannya, dan orang itu mati, maka ia
adalah seorang pembunuh; penebus (goel) darah harus mematikan
pembunuh itu”
Penyajian ayat-ayat tentang pembunuhan dalam Bibel di atas
adalah sebagian kecil saja dari banyak ayat yang berbicara tentang
pembunuhan dan balasan (hukuman) yang harus diberikan pada
63
63
pembunuh. Oleh karenanya, secara garis besar dapat disimpulkan bahwa
menurut Bibel (Injil) pembunuh dihukum bunuh pula.
Dari temuan banyaknya ayat yang berbicara tentang pembunuhan
dan sanksi hukumnya, kemudian dibandingkan dengan argmentasi
Mejelis Hakim yang salah satu diantara anggota Majelis Hakim itu
beragama Katolik dengan Bibel sebagai kitab sucinya, menunjukan
kurang mendalamnya Majelis Hakim dalam menggali norma (hukum)
transendental yang terkandung dalam kitab suci Injil.
Selain mengutip salah satu ayat dalam bibel, Mejelis Hakim juga
mengutip norma yang ada dalam agama Hindu argumentasi hukum
dalam putusannya, -padahal dalam Majelis Hakim itu tidak ada satupun
yang beragama Hindu, tepatnya dari kitab suci Weda yaitu Atharvaveda
X: 1: 29, bahwa: “Jangan pernah membantai orang tidak bersalah, pembunuh
orang yang tidak bersalah berkesudahan di dalam malapetaka, jangan membunuh
manusia dan binatang bermanfaat.” Serta dalam Kitab Sarasamusccaya pada
Cloka 141 disebutkan: “…Sekali-kali tidak pernah menyakiti mahluk lain, tidak
mengikatnya, tidak membunuhnya…”.
Dalam argumentasi berlandaskan norma transendental agama
Hindu, Majelis Hakim hanya menampilkan satu norma tentang larangan
membunuh, dengan tidak menampilkan melandaskan argumentasi pada
norma yang memuat tentang sanksi yang harus ditanggung. Padahal
perbuatan membunuh manusia di dalam ajaran Hindu dikategorikan
sebagai perbuatan kejam dengan sebutan sad atatayi dalam Kitab
Perundangan Majapahit disebut kejahatan astadusta. Dalam Kitab
Slokantara, 71: 32 dijelaskan “Orang yang membakar rumah, suka meracuni,
dukun jahat, pembunuh, pemerkosa perempuan, penghianat, keenam ini
dimasukan dalam golongan “Atatayi”. Karena kategorisasi kejahatan yang
kejam, dalam kitab Hindu lainnya, sanksi membunuh adalah dibunuh
sebagai karma (balasan) atas perbuatannya sekaligus sebagai penghapus
64
64
dosa “… orang-orang yang telah melakukan pidana dan telah pula dihukum oleh
raja akan pergi ke surga karena telah bersih seperti halnya mereka yang telah
melakukan perbuatan yang bajik (Manawa Dharmasastra VIII.318).
Pada argumentasi yang berasal dari kitab suci agama Hindu juga,
hakim tidak begitu maksimal untuk menggali dan menemukan norma
transendental Hinduisme untuk perkara pembunuhan. Sekali lagi Majelis
Hakim hanya mengambil norma yang bersifat sangat umum. Ajaran
tentang Karma, yang bisa saja dikaitkan dalam peristiwa pembunuhan
dalam kasus ini seharusnya disampaikan sebagai argumentasi hukum
guna menunjukkan kepada terdakwa dan khalayak bahwa pembunuhan
apapun yang dilakukan oleh umat Hindu akan berakibat yang sama
padanya, hanya persoalan waktu, tempat dan cara saja si pembenuh akan
menerima karma matinya yang serupa di kemudian hari sebagaimana ia
melakukan hal yang sama kepada orang lain yang telah dibunuhnya.
Argumentasi hukum yang berasal dari norma transendental
hukum Islam adalah dengan memberikan penjelasan bahwa Islam adalah
agama damai dan perbuatan penghilangan nyawa tanpa hak adalah
perbuatan yang dilarang dalam Islam. Majelis Hakim mengutip al-Qur’an
Surah Al-Isra 17:33 “Dan janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan
Allah (membunuhnya), kecuali dengan suatu (alasan) yang benar. Dan
barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sungguh kami telah memberi kekuasaan
kepada walinya, tetapi janganlah walinya itu melampaui batas dalam
pembunuhan. Sesungguhnya dia adalah orang yang mendapat pertolongan”.
Selain itu Majelis Hakim juga menerangkan bahwa perbuatan terdakwa
yang telah melakukan pembunuhan kepada para korban sehingga apabila
terdakwa menyesali akan perbuatan yang telah dilakukannya maka pintu
ampunan terbuka bagi orang yang bertobat dimana menurut pandangan
agama Islam terhadap dosa yang dilakukan umat manusia termaktub
dalam al-Qur’an al-Karim sebagai berikut :
65
65
a. “Dan barang siapa mengerjakan kejahatan dan menganiaya
dirinya, kemudian ia memohon ampun kepada Allah, niscaya dia
mendapati Allah Maha Pengampun lagi Penyayang”. (QS. Al-
Nisa, 4: 110) ;
b. “Dan Allah tidak akan mengazab mereka, sedang engkau berada
diantara mereka. Dan tidak (pula) Allah akan mengazab mereka,
sedang mereka memohon ampun”. (QS. Al-Anfal, 8: 33)
kemudian “Dan (juga) orang - orang yang bila berbuat keji atau
zalim terhadap dirinya, mereka ingat kepada Allah, lalu mereka
memohon ampun atas dosa-dosanya. Dan siapa lagi yang dapat
mengampunkan dosa melainkan Allah? Dan mereka tidak
meneruskan perbuatan keji itu, sedang mereka mengetahui”. (QS.
Ali Imran, 3: 135).
Selain mengutip beberapa ayat al-Qur’an, Majelis Hakim juga
mengutip hadits yang menerangkan tentang pertaubatan manusia dari
segala perbuatan dosa, yaitu hadits riwayat Turmudzi buku “Riyadhus
Shalihin”, Anas r.a. telah meriwayatkan sebagai berikut:
“Saya mendengar Rasulullah Saw.. bersabda: “Allah Ta’ala berfirman: “Wahai Anak Adam selama kamu berdoa dan mengharap kepadaku niscaya Aku ampuni dosa yang telah kamu lakukan dan aku tidak memperdulikan berapa banyaknya. Wahai Anak Adam, seandainya dosa - dosamu bagaikan awan di langit, kemudian kamu minta ampun kepada-Ku niscaya Aku mengampunimu, dan Aku tidak memperdulikan berapa banyak dosamu. Wahai anak Adam, seandainya kamu datang kehadapan-Ku dengan membawa dosa seisi bumi, kemudian bertemu dengan AKU tanpa menyekutukan sesuatu apapun dengan-KU, niscaya AKU akan mengampuni dosa yang seisi bumi itu.”
Setelah mengutip beberapa ayat dan hadits, kemudian Majelis
Hakim menambahkan pandangannya terhadap perbuatan pembunuhan
itu dengan argumentasi sebagai berikut:
66
66
“ Berdasarkan pandangan terhadap sesuatu dosa yang diperbuat umat manusia, yaitu sesuai wahyu Allah dalam al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad Saw. sebagaimana dikemukakan di atas, maka dapat dikonklusikan menurut ajaran agama Islam bahwa pintu ampunan atas tobat umat manusia adalah mutlak milik Allah dan merupakan rahasia Allah, bahwa bagi hamba Tuhan, yaitu mahluk manusia yang telah melakukan perbuatan dosa, baik berupa dosa besar berupa perbuatan keji maupun dosa kecil, maka pintu tobat dan ampunan masih terbuka dihadapan Allah dengan syarat si hamba atau manusia itu sendiri dengan sungguh-sungguh bertawaduk dan menghadap kepada Allah Swt. untuk tidak mengulangi perbuatannya, serta tidak menyekutukan Allah kepada selain Allah, juga si hamba atau manusia tersebut dengan penyerahan diri secara mutlak berupa kepasrahan hati yang mutlak kepada Allah dan melaksanakan seluruh perintah Allah serta menjauhi segala larangan-Nya”.
Mendasarkan pada kitab suci al-Qur’an sebagai argumentasi
hukum transendentalnya, berbeda ketika merujuk pada dua kitab
sebelumnya (Injil dan Weda). Ayaut suci al-Qur’an yang dikutip oleh
Mejelis Hakim memberikan petunjuk yang jelas bahwa sanksi hukum
jarimah pembunuhan adalah dibunuh, dalam bahasa al-Qur’an yang
lainnya disebut qishash.
Dalam hal argumentasi hukum ini, 2 (dua) orang hakim yang
beragama Islam juga tidak melakukan pengkajian yang layak, seperti
mencoba mengkaji delik pembunuhan dalam perspektif Fiqh Jinayah.
Pengkajian terhadap jarimah pembunuhan dalam perspektif Fiqh Jinayah
akan terungkap hukuman apa yang layak, pantas dan kompatibel
terhadap pembunuhan yang telah dilakukan. Para hakim, sekali lagi
hanya mengutip dalil-dalil agama yang bersifat umum tanpa ada
keinginan untuk mengkajinya secara mendalam menurut kitab suci-kitab
suci yang dijadikan landasan sumber hukumnya.
Memperhatikan beberapa argumentasi hukum Mejelis Hakim yang
beberapa norma agama (transendental) sebagai bagian dari argumentasi
hukumnya, secara umum, paradigma berfikir hukum transendal yang
67
67
dilakukan oleh hakim sudah dapat dikatakan baik sebagai sebuah
terobosan dan awal mula pembiasaan berargumentasi hukum dengan
memperhatikan norma lain di luar norma hukum positif.
Namun argumentasi hukum yang diantaranya mengintrodusir
norma hukum transendental dari Majelis Hakim terkesan hanya memilih
dan memilah norma hukum hukum agama (transendental) yang bersifat
umum. Dalam hal ini hanya memilih norma (diktum suci) agama
(transendental) mengenai larangan perbuatan membunuh tanpa disertai
dengan ancaman sanksi atas perbuatan yang dimaksud. Padahal di dalam
Bibel (Injil), Weda, al-Qur’an dan Hadits terdapat banyak diktum-diktum
suci yang menyebutkan sanksi atas kejahatan pembunuhan yang
dilakukan baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Adapun kasus yang
dihadapi dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang disengaja dengan
argumentasi pelaku pembunuhan (terpidana) telah mempersiapkan dan
membawa senjata tajam (golok) untuk digunakan sebagai alat
menghilangkan nyawa orang bila perbuatan jahatnya diketahui oleh
orang lain. Lebih dalam lagi, bahwa pembunuhan (penghilangan nyawa)
mengakibatkan 2 (dua) korban meninggal dunia dan 1 (satu) korban
terluka arah akibat perbuatan terdakwa.
Melihat pada fakta persidangan, tuntutan jaksa penuntut umum
dan alasan untuk meringankan hukuman terhadap pelaku oleh kuasa
hukum dan mempertimbangkan norma hukum positif diserta dengan
argumentasi hukum dan non hukum lainnya, Majelis Hakim
merumuskan perbuatan terdakwa sebagai perbuatan yang sesuai pasal
340 KUHP “Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu
menghilangkan nyawa orang lain, dihukum karena pembunuhan direncanakan
(moord), dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara
sementara selama-lamanya dua puluh tahun” jo pasal 65 ayat (1) KUHP
“dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai
68
68
perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, yang
diancam dengan pidana pokok yang sejenis, maka dijatuhkan hanya satu pidana”
dan ketiga primair pasal 338 KUHP “barangsiapa dengan sengaja merampas
nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling
lama lima belas tahun” jo pasal 53 ayat (1) KUHP “mencoba melakukan
kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dan adanya permulaan
pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan
karena kehendaknya sendiri.
Berdasarkan legalitas KUHP di atas, dalam perkara Adriawan bin
Subarjo hakim menjatuhkan hukuman sebagaimana yang dituntut oleh
Jaksa Penuntut Umum (JPU), maka dalam hal ini argumentasi hukum
transendental dengan cara mengintrodusir norma agama sebagai bagian
dari argumentasi hukum dalam putusan belum atau tidak berpengaruh
apa-apa terhadap putusan yang dibuat oleh Majelis Hakim. Artinya
argumentasi hukum transendental yang tertuang dalam Putusan Nomor:
61/Pid.B/2011/PN.Pwr. belum menuntun Majelis Hakim untuk
menjatuhkan hukuman maksimal (hukuman mati) sebagaimana yang
tertera dalam pasal 340 KUHP.
Dari pembahasan atas konten argumentasi hukum transendental
Mejelis Hakim dalam Putusan Nomor: 61/Pid.B/2011/PN.Pwr,
paradigma berfikir hukum transendenntal pada para hakim yang terlibat,
pertama, baru sebatas argumentasi yang hanya menghiasai lembar-lembar
putusan pengadilan saja, belum sampai pada adanya pengaruh yang
cukup signifikan terhadap hasil akhir dari putusan hakim tersebut. Hal
tersebut dapat dipahami karena Majelis Hakim dalam perkara ini hanya
memilih dan memilah diktum suci yang bersifat umum terhadap larangan
perbuatan pidana tanpa menyertakan sanksi hukum apa yang layak
untuk perbuatan berupa kejahatan pembunuhan berencana, apa lagi
korbannya lebih dari satu orang meninggal dunia.
69
69
Kedua, penyajian argumentasi hukum transendental berupa
pengampunan terhadap perbuatan dosa yang ada dalam 4 (empat)
diktum suci agama hanya sebatas sebagai pemberitahuan atau informasi
saja kepada terdakwa untuk menerima hukuman, belum sampai pada
upaya obyektifikasi terhadap diktum tersebut untuk aplikasinya dalam
realitas hukum yang dihadapi.
Pengkajian paradigma transendental hukum justru terjadi pada
daerah dimana hampir tidak ada kasus hukum yang menjadi sorotan
berita nasional (PN Purworejo), walaupun begitu ini adalah awal yang
menggembirakan untuk penyemaian hukum Indonesia yang
transendentalis.
Paradigma berfikir hukum transendental yang tertuang dalam
argumentasi hukum dalam putusan pengadilan ini, terjadi pada sebah
Pengadilan Negeri Purworejo dengan klasifikasi 1B. Sedangkan telah
menjadi maklum bahwa kelas pengadilan ini menunjukkan tidak begitu
banyak persidangan yang dilakukan oleh PN Purworejo, walaupun secara
kompetensi relatif, wilayah kekuasaan Kabupaten Purworejo cukup luas.
Kiranya dominasi wilayah pedesan yang mayoritas dengan tipologi rural
society yang guyub dan rukun menjadikan problematika atau sengketa
hukum tidak begitu banyak ditangani oleh PN Purworejo. Dari sisi
keragaman beragama, Islam mayoritas di seluruh wilayah kecamatan
yang ada dalam Kabupaten Purworejo.
70
70
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku dan Jurnal
Abdullah Ahmed al-Na’im, 2001, Dekonstruksi Syari'ah: Wacana Kebebasan
Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasioanl dalam
Islam, Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara.
Abraham S. Blumberg, 1970, Criminal Justice, Toronto: Burns and Mac
Eachem Ltd.
Absori dkk, 2017, Transendensi Hukum Prospek dan Implementasi,
Yogyakarta: Gentha Publishing.
Anton F. Susanto, 2015, Kritik Teks Hukum Ulasan dan Komentar Terhadap
“Wacana Hukum Langitan”, Bandung: Logos Publishing.
Anton F. Susanto, 2010, Ilmu Hukum non Sistemik, Fondasi Filsafat
Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, Yogyakarta: Genta
Publishing.
Badan Pusat Statistik Kab. Purworejo, 2017, Kabupaten Purworejo dalam
Angka, Purworejo: Sekretariat Badan Pusat Statistik Kab.
Purworejo.
Bryan A. Garner, 2004, Black’s Law Dictionary Eight Edition, New York:
West Publising Co.
Departemen Pendidikan Nasional, 2015, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka.
Farkhani, 2014, Pengantar Ilmu Hukum Cetakan Keempat, Salatiga: STAIN
Salatiga Press.
Farkhani dan Evi Aryani, 2016, Hukum dan Wajah Hakim dalam Dinamika
Hukum Acara Peradilan, Surakarta: Pustaka Iltizam.
71
71
Feteris, E.T., 1994, Redelijkheid in Jurisdische Argumentatie, Een Overzicht van
Theorieen Over Het Rechtvaardigen van Juridische
Beslissingen, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle.
Herlien Budiono, 2006, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia,
Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia,
Bandung: P.T. Citra Aditya Bakti
Ifdhal Kasim, 2001, Hak Sipil dan Politik, Jakarta: Elsam.
IPM. Ranuhandoko, 1996, Terminologi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika.
Jalaluddin Rakhmad, 1995, Kamus Filsafat, Jakarta: Rosda Karya.
J.H. Rapar, 2001: Filsafat Politik: Plato Aristoteles Augustinus Machiavelli,
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Kelik Wardiono, 2016, Paradigma Profetik Pembaruan Basis Epistimologi Ilmu
Hukum, Yogyakarta: Gentha Publishing.
Khudzaifah Dimyati, 2005, Teorisasi Hukum: Studi tentang Perkembangan
Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990, cetakan keempat,
Surakarta: MuhammadiyahUniversity Press.
Komisi Yudisial, 2014, Kualitas Hakim dalam Putusan, Jakarta: Sekretaris
Jenderal Komisi Yudisial Republik Indonesia.
Kuntowijoyo, 2006, Islam Sebagai Ilmu: Epistimologi, Metodologi dan Etika,
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Loren Bagus, 1996, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia.
Martin P. Golding, 1984, Legal Reasoning, New York: Alfreda A. Knoff Inc.
M. Fahmi, 2005, Islam Transendental, Menelusuri Jejak-Jejak Pemikiran Islam
Kuntowijoyo, Yogyakarta: Pilar Religia.
Muhyar Fanani, 2008, Membumikan Hukum Langit Nasionalisasi Hukum
Islam dan Islamisasi Hukum Nasional Pasca Reformasi,
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Otje Salman, 2012, Filsafat Hukum (Perkembangan dan Dinamika Masalah),
Bandung: Refika Aditama.
72
72
Robert M. Unger, 2010, Teori Hukum Kritis Posisi Hukum dalam Masyarakat,
Bandung: Nusa Media.
Satjipto Rahardjo, 2003, Sisi-Sisi Lain dari Hukum Indonesia, Jakarta:
Kompas.
Soerjono Soekanto, 1982, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: CV. Rajawali.
Sondang P. Siagian, 1991, Organisasi, Kepemimpinan dan Perilaku
Administrasi, Jakarta: Gunung Agung.
Sudarsono, 1992, Kamus Hukum, Jakarta: Rineka Cipta.
Theo Huijbers, 1982, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta:
Kanisius.
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, 2005, Kamus Ilmu Tasawuf,
Bukittinggi: IAIN Bukittinggi.
T. Arroba,1998, “Decision Making by Chinese –US”, Journal of Social
Psychology. Vol. 38.
Zumri Bestado Sjamsuar, 2009, Paradigma Manusia Surya, Membongkar
Mitos Parokhialitas Sumber Daya Manusia. Pontianak:
Yayasan Insan Cita.
Suparman Marzuki, 2013, “Pertarungan Antara Kuasa dan Tafsir”, Jurnal
Yudisial Vol. 6 No. 3 Desember 2013.
Tommy Hendra P, “Penafsiran, Penalaran dan Argumentasi Hukum”,
MMH, Jilid 40 No. 2 April 2011
.
B. Situs Internet
bappeda.purworejokab.go.id, diakses 28 September 2017
https://soetandyo.wordpress.com, diakses tanggal 19 Oktober 2017.
http://nanangsuprijadi.blogspot.co.id, diakses tanggal 9 Oktober 2017
http://business-law.binus.ac.id diakses tanggal 20 Oktober 2017
pn-purworejo.go.id diakses 29 September 2017
Shidarta dalam http://business-law.binus.ac.id, diakses tanggal 20 Oktober 2017.
73
73
www.pt-bandung.go.id, diakses pada tanggal 28 Agustus 2017
wikipedia, diakses 28 Agustus 2017
C. Perundang-Undangan
Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang No. 49 tahun 2009 tentang Peradilan Umum,