upaya diplomasi preventif indonesia dalam sengketa kepulauan spratly
DESCRIPTION
Mengamati bagaimana upaya-upaya Indonesia dalam mengelola potensi konflik dalam isu overlapping claim area di wilayah Kepulauan Spratly, Laut Cina Selatan.Upaya ini dilakukan dalam rangka menjaga stabilitas dan keamanan concentric circle Asia Tenggara sebagai kawasan yang memiliki nilai strategis amat tinggi dalam berbagai hal termasuk jalur perdagangan internasional tersibuk di dunia.TRANSCRIPT
BAB I
Eskalasi Potensi Konflik Laut Cina Selatan
Salah satu persoalan yang paling mendasar dan krusial yang dapat memicu
konflik antar negara adalah masalah perbatasan. Termasuk Indonesia yang mempunyai
persoalan dengan perbatasan, terutama mengenai garis perbatasan di wilayah perairan
laut dengan negara-negara tetangga. Apabila dicermati, banyak negara-negara di Asia
Pasifik juga menghadapi masalah yang sama. Anggapan bahwa situasi regional sekitar
Indonesia dalam tiga dekade ke depan tetap aman dan damai, mungkin ada benarnya,
namun di balik itu sebenarnya bertaburan benih konflik, yang dapat berkembang
menjadi persengketaan terbuka. Faktor-faktor yang dapat menyulut persengketaan antar
negara dapat berupa ketidaksepahaman mengenai garis perbatasan antar negara yang
banyak yang belum terselesaikan melalui mekanisme perundingan, peningkatan
persenjataan dan eskalasi kekuatan militer baik oleh negara-negara yang ada di kawasan
ini maupun dari luar kawasan, ataupun juga eskalasi aksi terorisme lintas negara dan
gerakan separatis bersenjata yang dapat mengundang kesalahpahaman antar negara
bertetangga.1
Dengan melihat berbagai faktor di atas, beberapa pengamat politik
menyimpulkan bahwa potensi konflik di kawasan Asia Pasifik sesungguhnya sangat
bervariasi, baik sifat, karakter, maupun intensitasnya. Namun memperhatikan beberapa
konflik terbatas dan berintensitas rendah yang terjadi selama ini, terdapat beberapa hal
yang dapat memicu terjadinya konflik terbuka berintensitas tinggi yang dapat
berkembang menjadi konflik regional bahkan internasional. Faktor-faktor potensial
yang dapat menyulut persengketaan terbuka itu bisa saja berasal dari implikasi dari
internasionalisasi konflik internal di satu negara yang dapat menyeret negara lain ikut
dalam persengketaan, pertarungan antar elite di suatu negara yang karena berbagai
faktor merambat ke luar negeri, ataupun juga meningkatnya persaingan antara negara-
negara maju dalam membangun pengaruh di kawasan ini. Konfliknya bisa berwujud
persengketaan antar sesama negara maju, atau salah satu negara maju dengan salah satu
negara yang ada di kawasan ini. Disamping itu, ada hal lain juga yang dapat menyulut
potensi persengketaan terbuka yaitu eskalasi konflik antar negara berkembang
1 http://indronet.files.wordpress.com/2007/09/konflik-perbatasan-asia-pasifikrefisi1.pdf. Diakses pada 7 April 2009
1
melampaui ambang batas toleransi keamanan regional sehingga menyeret pihak ketiga
terlibat di dalamnya. Ini biasanya bermula dari ”dispute territorial” antar negara
terutama mengenai garis batas perbatasan antar negara.2
Dalam makalah ini akan dibahas tentang sengketa konflik Laut Cina Selatan di
Kepulauan Spratly yang mencerminkan adanya konflik dalam konteks klaim antar
wilayah di kawasan Asia Pasifik. Penulis membaginya ke dalam tiga bab, dimana bab
pertama menjabarkan kerangka pemikiran penulisan agar dapat lebih mudah
menganalisis eskalasi konflik yang terjadi. Bab kedua menjelaskan latar belakang
konflik di Kepulauan Spratly dan peran diplomasi preventif Indonesia dalam mencegah
sengketa antar negara. Dan bab ketiga berupa kesimpulan secara keseluruhan dari
penulisan makalah ini.
Berdasarkan uraian diatas, maka research question yang penulis ajukan adalah
“Apa upaya-upaya diplomasi preventif Indonesia dalam kasus sengketa
Kepulauan Spratly di Laut Cina Selatan ?”
Kerangka Pemikiran
Diplomasi adalah salah satu upaya untuk mengatur hubungan-hubungan antar
negara (dalam konteks dunia internasional) dengan cara melakukan negosiasi-negosiasi
yang dilakukan oleh seorang duta besar yang mewakili negaranya masing-masing.3
Salah satu jenis dari diplomasi yaitu diplomasi preventif. Yang dimaksud
dengan diplomasi preventif yaitu suatu tindakan yang ditujukan untuk mencegah
perselisihan antara pihak-pihak yang bertikai, mencegah adanya pertikaian yang lebih
luas dan menjadi konflik dan jika sudah menjadi konflik, harus dibatasi penyebarannya.4
Istilah diplomasi preventif mulai dipakai oleh SekJen PBB Dag Hammerskjold
dalam pidatonya saat sidang umum PBB pada era perang dingin tahun 1960-an. Latar
belakang munculnya pemikiran diplomasi preventif adalah pencegahan konflik yang
dianggap bisa menyebar sehingga bisa menimbulkan perang dunia dalam kerangka
perang dingin. Definisi diplomasi preventif bermacam-macam tergantung pada
organisasi atau lembaga penelitian. Diplomasi preventif lebih dari sekedar
2 Ibid3 http://assets.cambridge.org/97805218/39167/excerpt/9780521839167_excerpt.pdf. Diakses pada 8 April 20094 http://www.skripsi-tesis.com/07/04/peranan-unmik-dalam-memulihkan-keadaan-di-kosovo-pasca-konflik-etnis-pdf-doc.htm. Diakses pada 8 April 2009
2
menyelamatkan dunia tetapi untuk mencegah agar tidak terisolasi dari masyarakat
internasional. Diplomasi preventif memiliki tiga tujuan:
(1) mencegah konflik antar negara atau antara pemerintah dengan kelompok
minoritas di dalam negara,
(2) untuk mencegah perselisihan menjadi konflik terbuka,
(3) jika konflik pecah, memastikan penyebarannya sekecil mungkin.5
Syarat-syarat untuk keberhasilan diplomasi preventif ada tiga, yaitu:
1. Diplomasi preventif harus dilaksanakan secepatnya sebelum ketegangan menjadi
buruk bahkan sampai terjadi konflik. Untuk melakukan diplomasi preventif
secepatnya, situasi ketegangan harus diketahui secepatnya.
2. Negara yang menerima diplomasi preventif harus setuju dengan adanya intervensi
3. Negara-negara besar diperlukan untuk mendukung diplomasi preventif yang
dilaksanakan oleh rezim internasional karena diplomasi preventif biasanya
dilaksanakan sesuai dengan sanksi ekonomi atau bantuan ekonomi sebagai alat
untuk menyukseskannya.6
Diplomasi preventif merupakan penggabungan antara elemen-elemen dari
diplomasi publik serta diplomasi diam-diam. Ins Claude Jr, menggambarkan diplomasi
preventif sebagai fungsi penetral untuk dijalankan sejauh mungkin oleh negara-negara
yang sikap tidak memihaknya dan membuat PBB sebagai penyeimbang hubungan
International yang efektif.
Pada awalnya penerapan diplomasi preventif adalah untuk mencegah semakin
meluasnya hegemonitas dua kekuatan raksasa, yaitu Amerika dan Uni Soviet. Namun
seiring dengan perkembangan waktu peran dari Diplomasi preventif ini pun mulai
dijalankan oleh PBB terhadap konflik-konflik yang menimbulkan jatuh korban jiwa
cukup besar di suatu wilayah atau negara agar tidak semakin meluas ke negara-negara
lain diluar negara konflik sehingga tidak semakin menimbulkan jatuh korban yang lebih
banyak lagi. Sarana utama stabilitasi adalah ditetapkannya suatu “kehadiran PBB”
5 Sukawarsini Djelantik. Diplomasi antara Teori dan Praktik. 2008. Graha Ilmu: Yogyakarta, hal 1626 http://assets.cambridge.org/97805218/39167/excerpt/9780521839167_excerpt.pdf. Diakses pada 8 April 2009
3
dalam persengketaan peripheral. Bisa dikatakan, PBB menjadi pasukan pemadam
kebakaran di dunia yang sangat mudah terbakar.
Membahas mengenai diplomasi preventif, Sekjen PBB telah memberikan
batasan sebagai tindakan untuk mencegah pertikaian yang muncul di antara para pihak,
dan mencegah adanya pertikaian yang meningkat menjadi konflik dan untuk membatasi
meluasnya konflik tersebut apabila terjadi. Pelaksanaan diplomasi yang bisa diharapkan
efisien adalah untuk meredakan ketegangan sebelum hal ini menjadi konflik. Atau jika
konflik itu pecah, maka tindakan harus dilakukan secara cepat untuk membendungnya
dan menyelesaikan sebab-musababnya yang menjadi dasar konflik.
Diplomasi preventif dapat dilakukan oleh Sekjen PBB pribadi atau melalui
pejabat senior atau badan-badan khusus atau program, oleh Dewan Keamanan maupun
Majelis Umum dan oleh organisasi-organisasi regional bekerjasama dengan PBB.
Diplomasi preventif memerlukan langkah-langkah untuk menciptakan kepercayaan,
membuat satu peringatan dini dengan pengumpulan informasi dan misi pencarian fakta
baik secara resmi maupun tidak resmi, di samping juga harus melibatkan penempatan
pasukan preventif, dan dalam keadaan tertentu menempatkan wilayah bebas militer
4
BAB II
Sengketa Teritorial Kepulauan Spratly di Laut Cina Selatan
Pada bulan April tahun 1988 terjadi ketegangan di Kepulauan Spratly antara
Vietnam dengan Cina. Dua puluh kapal perang Cina yang sedang berlayar di Laut Cina
Selatan mencegat Angkatan Laut Vietnam sehingga terjadi bentrokan. Bentrokan antara
Cina dan Vietnam ini terjadi di Karang Johnson Selatan di Kepulauan Spratly pada 14
Maret 1988 yang mengakibatkan hilangnya 74 tentara Vietnam. Peristiwa ini dikenal
sebagai peristiwa 14 Maret 1988.7
Pertikaian di kepulauan tersebut sebenarnya sudah berlangsung lama dan aktor
yang berperan di dalamnya tidak hanya Vietnam dan Cina, tetapi juga melibatkan dua
negara anggota ASEAN, yaitu Malaysia dan Filipina, serta Taiwan. Sebab dasarnya
dapat dilacak kembali ke klaim historik yang beranekaragam, konsiderasi ekonomi,
serta pertimbangan geostrategis negara-negara yang terlibat. Zona Ekonomi Eksklusif
(ZEE) dari hampir semua negara yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan saling
tumpang tindih, sehingga menimbulkan masalah penentuan batas. Pemilikan sejumlah
pulau-pulau kecil di Laut Cina Selatan memperbesar permasalahan ini sehingga
menimbulkan ketegangan tentang hak atas laut teritorial atau Landas Kontinen.
Kepulauan Spratly adalah sebuah gugusan pulau-pulau kecil dan pulau-pulau
karang kira-kira jumlahnya sebanyak 600-an dan 100-an diantaranya kerap tertutup
permukaan air laut jika sedang pasang. Kepulauan Spratly, bila dilihat dalam tata
lautan internasional merupakan kawasan bernilai ekonomis, politis, dan strategis.
Kawasan kepulauan ini menjadi sangat penting karena kondisi potensi geografisnya
maupun potensi sumber daya alam yang dimilikinya, seperti minyak, gas, dan bahan
tambang lainnya. Ini berarti mendapatkan kepulauan tersebut sudah dapat diperkirakan
akan mengurangi ketergantungan minyak dari negara-negara kawasan Teluk. Perkiraan
cadangan minyak di Kepulauan Spratly mencapai sekitar 10 milyar ton, jikakalau Cina
tidak dapat menemukan sumber minyak di daratan, maka Cina harus mengimpor
sekitar 100 juta ton minyak pada tahun 2010.8 Selain itu, kawasan tersebut merupakan
jalur pelayaran, kapal perdagangan internasional, dan komunikasi internasional (jalur
7 http://jurnal-politik.blogspot.com/2009/01/konflik-kepulauan-separatly.html. Diakses pada 7 April 20098 http://tumoutou.net/702_05123/j_judiono.htm. Diakses pada 7 April 2009
5
lintas laut perdagangan internasional), sehingga menjadikan kawasan itu mengandung
potensi konflik sekaligus potensi kerjasama.
Jika diamati, peta yang dikeluarkan masing-masing negara yang terlibat
sengketa kepulauan ini menamainya dengan berbeda-beda. Taiwan misalnya
menamakan Kepulauan Spratly dengan Shinnengunto, Vietnam menyebut dengan Dao
Truong Sa (Beting Panjang), Filipina menyebut Kalayaan (kemerdekaan), Malaysia
menyebut dengan Itu Aba dan Terumbu Layang, sedangkan Cina lebih suka menyebut
Nansha Quadao (kelompok Pulau Selatan). Perbedaan nama dimaksudkan agar
kepulauan tersebut terisyaratkan sebagai milik negara yang memberikan nama. Nama
internasional yang lazim diberikan kepada gugusan kepulauan itu ialah Spratly.9
Kenyataannya terjadi perang klaim dan upaya-upaya penguasaan atas wilayah-
wilayah di Kepulauan Spratly itu. Persoalannya menjadi lebih berat karena klaim-klaim
tersebut saling tumpang tindih karena masing-masing negara mendasarkan klaimnya
pada “kebenaran” versinya sendiri, baik historis maupun legal formal. Yang kemudian
menarik untuk disoroti adalah proses penguasaan dan dasar argumentasi yang
dikemukakan masing-masing negara itu untuk menguasai gugusan pulau yang terdapat
di Spratly.
Tuntutan Cina terhadap Spratly didasarkan pada sejumlah catatan sejarah,
penemuan situs, dokumen-dokumen kuno, peta-peta, dan penggunaan gugus-gugus
pulau oleh nelayannya. Berdasarkan penemuan-penemuan tersebut Cina menyatakan
bahwa Kepulauan Spratly secara historis merupakan wilayah kekuasaan Cina sejak
masa kekaisaran Dinasti Han, yakni 206-220 SM sampai ke masa Dinasti Ming dan
Dinasti Ching yang berkuasa pada tahun 1400-an M. Klaim ini didukung bukti-bukti
arkeologis Cina dari Dinasti Han.10 Vietnam menentang pendapat Cina dengan
menyebutkan bahwa Kaisar Gia Long dari Vietnam pada tahun 1802 telah
mencantumkan Spratly sebagai wilayah kekuasaannya. Nelayan Vietnam pun telah lama
sebelumnya melakukan pelayaran ke dan di wilayah Kepulauan Spratly itu.11
Sedangkan Filipina menduduki kelompok gugus pulau di bagian Timur
kepulauan Spartly yang disebut sebagai Kalayaan. Tahun 1978 menduduki lagi gugus
pulau Panata. Alasan Filipina menduduki kawasan tersebut karena kawasan itu
9 http://jurnal-politik.blogspot.com/2009/01/konflik-kepulauan-separatly.html. Diakses pada 7 April 200910 http://dewitri.wordpress.com/2009/01/03/dilema-keamanan-asean-dalam-konflik-laut-cina-selatan/. Diakses pada 7 April 200911 http://jurnal-politik.blogspot.com/2009/01/konflik-kepulauan-separatly.html. Diakses pada 7 April 2009
6
merupakan tanah yang tidak sedang dimiliki oleh negara-negara manapun. Filipina juga
menunjuk perjanjian perdamaian San Francisco 1951, yang menyatakan bahwa Jepang
telah melepaskan haknya terhadap Kepulauan Spartly selama PD II dan
meninggalkannya setelah kekalahannya tanpa menyebutkan kepada siapa kepulauan
tersebut akan diserahkan.
Malaysia mengatakan bahwa sebagian dari Kepulauan Spratly merupakan
wilayah negara bagian Sabah yang dinamai Terumbu Layang. Menurut Malaysia,
Langkah itu diambil berdasarkan peta Batas Landas Kontinen Malaysia tahun 1979,
yang mencakup sebagian dari Kepulauan Spartly. Dua kelompok gugus pulau lain, juga
diklaim Malaysia sebagai wilayahnya yaitu Terumbu Laksamana yang diduduki oleh
Filipina dan Amboyna yang diduduki Vietnam. Sementara Brunei Darussalam yang
memperoleh kemerdekaan secara penuh dari Inggris pada 1 Januari 1984 kemudian juga
ikut mengklaim wilayah di Kepulauan Spratly. Namun, Brunei hanya mengklaim
peraian dan bukan gugus pulau. Akhirnya, Taiwan mengklaim Kepulauan Spratly
sebagai bagian dari warisan kekaisaran Cina dengan dalih yang sama dengan dalih
klaim yang diajukan Cina.12
Klaim tumpang tindih tersebut mengakibatkan adanya pendudukan terhadap
seluruh wilayah kepulauan bagian selatan kawasan Laut Cina Selatan. Sampai saat ini,
negara yang aktif menduduki di sekitar kawasan ini adalah Taiwan, Vietnam, Filipina,
dan Malaysia. Sementara Cina sendiri baru menguasai kepulauan tersebut pada tahun
1988, secara agresif membangun konstruksi dan instalansi militer serta menghadirkan
militernya secara rutin di kepulauan tersebut.
Sikap dan tindakan Cina itu merupakan bentuk frontal penolakan terhadap
serentetan protes yang dilakukan Vietnam dan seruan agar diadakan perundingan-
perundingan mengenai Kepulauan Spratly. Hal ini semakin jelas karena Cina berusaha
mengukuhkan kehadirannya di Laut Cina Selatan secara de jure, dengan mengeluarkan
Undang-Undang tentang Laut Teritorial dan Contiguous Zone pada tanggal 25 Februari
1992, dan telah diloloskan parlemen Cina yang memasukkan Kepulauan Spratly sebagai
wilayahnya. Secara de facto, Cina telah memperkuat kehadiran militernya di kawasan
12http://dewitri.wordpress.com/2009/01/03/dilema-keamanan-asean-dalam-konflik-laut-cina-selatan/. Diakses pada 7 April 2009
7
tersebut serta melakukan modernisasi kekuatan pertahanan menuju ke arah tercapainya
armada samudra.13
Peta klaim tumpang tindih teritorial Kepulauan Spratly
Peran Diplomasi Preventif Indonesia Dalam Menyelesaikan Kasus Sengketa
Kepulauan Spratly
Kasus sengketa di wilayah Laut Cina Selatan ini akan menjadi sebuah sumber
konflik yang potensial di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara jika tidak ada pihak
yang berinisiatif untuk mencegah terjadinya konflik terbuka di kawasan ini. Indonesia
sebagai salah satu negara yang terletak di sebelah selatan Laut Cina Selatan berupaya
untuk meredam konflik ini. Indonesia berpendapat bahwa instabilitas di kawasan
13 Ibid
8
berpeluang menggoncangkan keutuhan internal ASEAN, hal ini terkait dengan adanya
empat negara ASEAN yang mengklaim, yakni Malaysia, Filipina, Vietnam, dan Brunei
Darussalam. Jika keempat negara tersebut tetap bersikukuh untuk saling mengakui
Kepulauan Spratly, maka keutuhan ASEAN pun akan dipertanyakan oleh dunia luar,
apakah ASEAN sebagai salah satu organisasi regional di kawasan Asia Tenggara masih
eksis atau tidak.
Indonesia ditunjuk sebagai penengah dalam upaya untuk menyelesaikan kasus
sengketa ini karena Indonesia dianggap sebagai negara yang netral. Walaupun Indonesia
secara geografis terletak di sebelah selatan Laut Cina Selatan, namun Indonesia tidak
termasuk dalam salah satu pihak yang bersengketa dalam memperebutkan Kepulauan
Spratly. Hal inilah yang kemudian menjadikan Indonesia sebagai pengambil inisiatif
dalam menyelesaikan sengketa ini. Indonesia dianggap dapat mengetahui keadaan yang
sebenarnya terjadi di kawasan Laut Cina Selatan karena lokasinya yang tidak terlampau
jauh, sehingga Indonesia dapat memberikan pendapat yang sifatnya netral kepada
semua negara yang bersengketa.
Indonesia juga memiliki alasan tersendiri mengapa sengketa di Laut Cina
Selatan ini harus segera diselesaikan. Alasan Indonesia antara lain adalah untuk
mengamankan kepentingan ekonominya. Hal ini dikarenakan jika keamanan dan
ketertiban di Laut Cina Selatan dapat tercapai, maka aktifitas perdagangan dan
eksplorasi alam yang dilakukan oleh Indonesia di kawasan laut yang sangat strategis
bagi pelayaran dan juga kaya akan hasil alam ini akan menjadi lancar.14 Selain itu,
Indonesia juga memiliki kepentingan lainnya, diantaranya adalah keamanan dan
keutuhan nasional, pemberantasan pelanggaran hukum di laut dan perlindungan
terhadap lingkungan.15 Kepentingan Indonesia juga terletak pada penarikan garis
perbatasan di sekitar Laut Natuna –yang kaya akan gas alam-, yang juga masuk dalam
wilayah Laut Cina Selatan. Bila Cina masih bersikeras mengimplementasikan garis
datarnya seperti yang tercantum pada peta tahun 1947, klaim ini menginterupsi wilayah
ZEE dan landas kontinen Indonesia. Selain itu, Indonesia berkepentingan memberantas
14 “The Spratly Islands Dispute in the South China Sea: Problems, Policies, and Prospects for Diplomatic Accommodation”. Diakses dari http://www.southchinasea.org/docs/Joyner,%20Spratly%20Islands%20Dispute.pdf, tanggal 4 April 200915 “PERAN DIPLOMASI PREVENTIF INDONESIA DALAM MENCEGAH SENGKETA ANTAR NEGARA: STUDI KASUS LAUT CINA SELATAN”. Diakses dari http://fitriyaniriduan.blogspot.com/2008/07/peran-diplomasi-preventif-indonesia.html, tanggal 4 April 2009
9
pelanggaran hukum yang terjadi. Ancaman kekerasan, navigasi serta ancaman
kedaulatan dan hukum (penangkapan ikan secara ilegal, eksplorasi dan eksploitasi
sumber kekayaan alam secara ilegal) di wilayah ini secara langsung merugikan
kepentingan ekonomi Indonesia. Dan sebagai negara kepulauan yang sebagian
wilayahnya terdiri atas lautan, kerusakan lingkungan di wilayah ini secara tidak
langsung mempengaruhi ekosistem di perairan Indonesia. Ini menyebabkan hancurnya
perkembangbiakan ikan-ikan di perairan Indonesia dan menurunkan hasil tangkapan
ikan di Indonesia.16
Peran Indonesia dalam menyelesaikan sengketa ini ditunjukkan melalui
pembentukan perundingan diantara negara-negara yang bersengketa. Hal ini
diwujudkan dalam South China Sea Informal Meetings, yang diadakan tiap tahun.17
Dalam pertemuan yang digagas pertama kali pada tahun 1990 ini, dihasilkan beberapa
keputusan. Keputusan tersebut diantaranya adalah pembentukan kelompok kerja yang
bertugas untuk mengkaji sumber daya yang terkadung di Kepulauan Spratly,
kesepakatan tentang pelayaran, penagkapan ikan, dan juga komukasi yang legal di
kawasan ini.18 Signifikansi dari kelompok kerja yang disepakati dalam pertemuan
tersebut menghasilkan kesepakatan diantara negara-negara yang bersengketa untuk
mendirikan sebuah wilayah politik untuk bekerja sama dan berhubungan satu sama lain,
walaupun sengketa masih terdapat diantara negara-negara tersebut. Selain itu,
Confidence Building Measures (CBMs) juga menjadi bagan penting dalam agenda
pertemuan tersebut.19
Dialog ini dilakukan sebagai langkah awal menangani masalah kedaulatan yang
sangat sensitif. Semangat diplomasi preventif terefleksi dari semakin tingginya
kesadaran negara-negara sekitar untuk melihat masalah ini dari kacamata positif.
Serangkaian dialog ini kemudian dilanjutkan dengan diskusi masalah yang lebih detail
guna mencari celah-celah kerjasama yang bisa dibangun termasuk isu kedaulatan atas
Kepulauan Spratly, peran negara besar dalam kepentingannya atas wilayah ini dan
Confidence Building Measures (CBMs) untuk me-manage potensi konflik secara damai
dan bijaksana.
16 Ibid17 “The South China Sea Dispute: Prospects for Preventive Diplomacy”. Diakses dari http://www.usip.org/pubs/specialreports/early/snyder/South_China_Sea1.html, tanggal 4 April 200918 Ibid19 Ibid
10
Selain South China Sea Informal Meetings, Indonesia juga mengupayakan
perundingan damai lewat Technical Working Groups (TWGs), Groups of Experts (GEs)
dan Study Groups (SGs). Dalam dialog ini, tidak hanya melibatkan pihak pemerintah
dalam kapasitas informalnya, tapi juga ahli-ahli kelautan dan para akademisi. Tim
teknis ini memformulasikan proyek kerjasama program pelatihan monitoring ekosistem
di Laut Cina Selatan (Training Program for Ecosystem Monitoring in the South China
Sea). Indonesia kemudian terpilih menjadi koordinator untuk kelompok studi geologi
yang mengacu pada penelitian potensi hidrokarbon yang terkandung di dalamnya.20
Sayangnya, pembangunan kerjasama, studi dan manajemen sumber daya masih sangat
sensitif sehingga kemajuan progresif sulit dicapai. Kalaupun kesepakatan berhasil
dibuat, implementasi sangat susah dilaksanakan. Beberapa pihak juga meragukan
efektivitas workshop ini untuk meletakkan dasar bagi political will dan negosiasi tingkat
tinggi antar pihak yang mengklaim untuk mencegah sengketa teritorial. Penetrasi
formalisasi workshop untuk menghasilkan keputusan yang mengikat secara hukum jauh
dari ekspektasi banyak pihak.
Upaya yang dilakukan oleh Indonesia lainnya adalah upaya pembentukan
kerjasama. Proyek kerjasama yang berhasil disepakati antara lain adalah proyek
kerjasama dalam bidang penelitian keragaman hayati. Dalam proyek ini, Indonesia tetap
memegang kendali kepemimpinan, mengkomunikasikan hasil-hasil dialog kepada dunia
internasional, organisasi regional dan internasional demi mendapatkan dukungan dan
bantuannya untuk mengimplementasikan proyek kerjasama ini.
Pengaruhnya Terhadap Pencegahan Sengketa
Penggunaan mekanisme diplomasi preventif cukup signifikan pengaruhnya dalam
penyelesaian sengketa-sengketa secara damai. Pihak pemerintah negara-negara yang
mengklaim semakin menyadari efek konfrontasi militer berdampak buruk bagi semua
pihak dan biaya yang dikeluarkan untuk melakukan konflik tersebut juga terlalu besar.
Kekuatan confidence-building, pertemuan workshop termasuk pembahasan isu ini
dalam forum resmi ASEAN sangat terasa ketika negara yang mengklaim berusaha
menahan diri untuk tidak terlibat lagi dalam aksi saling menduduki daerah (melakukan
20 “PERAN DIPLOMASI PREVENTIF INDONESIA DALAM MENCEGAH SENGKETA ANTAR NEGARA: STUDI KASUS LAUT CINA SELATAN”, Op. Cit.
11
okupasi fisik). Pengaruh signifikan diplomasi preventif yang dijalankan Indonesia dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. mencegah negara-negara yang mengklaim untuk tidak meneruskan atau memperluas
klaimnya. Kesadaran ini mencegah terjadinya konflik bersenjata yang saat itu makin
memanas dalam usaha perebutan kepemilikan gugus-gugus kepulauan. Kesepakatan
yang dihasilkan menjadi rekomendasi untuk tidak menyelesaikan masalah dengan
jalan kekerasan.
2. menumbuhkan semangat kerjasama bilateral dan regional resmi dengan
mengesampingkan masalah kedaulatan teritorial. Selain itu, dialog ini berhasil
membangun visi kerjasama di bidang keamanan, politik, navigasi, manajemen
sumber daya alam, perlindungan lingkungan dan riset ilmiah kelautan serta
mekanismenya atau “norms-building”.
3. memperkuat usaha-usaha diplomatik resmi dalam kerangka regional untuk
menciptakan stabilitas di kawasan. Melalui forum ini, Indonesia mengemban peran
terdepan sehingga masalah ini menjadi isu yang dibahas dalam forum yang lebih
besar yaitu ARF (ASEAN Regional Forum) dan ASEAN Post-Ministerial
Conference, yang berhasil mendudukkan 22 negara se-Asia Pasifik untuk mencari
jalan penyelesaian.
4. terciptanya code of conduct antar negara yang bersengketa. Norms-building ini
penting untuk mengatur usaha-usaha kerjasama yang dilakukan.
Ditengah kritik tajam akan efektivitas workshop in dalam mencegah konflik
terbuka, second track diplomacy prakarsa Indonesia ini sangat besar artinya bagi
terciptanya kesadaran dan political will negara-negara yang mengklaim kepemilikan
pulau-pulau di Laut Cina Selatan, untuk duduk bersama –secara resmi- menemukan
jalan keluar yang bisa diterima masing-masing pihak bersengketa. Indonesia diakui
dunia internasional menjadi pihak aktif dalam mencari celah kemungkinan kerjasama
dan menyerukan arti penting kawasan Laut Cina Selatan tidak hanya bagi negara di
sekitarnya, tapi juga bagi negara di kawasan regional dan internasional.
12
BAB III
KESIMPULAN
Indonesia berpendapat bahwa instabilitas di kawasan ini berpeluang
menggoncang keutuhan internal dalam tubuh ASEAN, dimana terdapat empat negara
ASEAN yang terlibat dalam kasus sengketa teritori di Laut Cina Selatan, yaitu
Malaysia, Filipina, Vietnam, dan Brunei Darussalam. Indonesia ditunjuk sebagai
mediator untuk menjadi penengah dalam konflik ini dikarenakan Indonesia dianggap
sebagai pihak yang netral dan mempunyai pengaruh yang cukup kuat di dalam kawasan
Asia Tenggara, dan Indonesia tidak termasuk dalam salah satu pihak yang bersengketa.
Tetapi Indonesia memiliki alasan sendiri agar sengketa ini dapat segera diselesaikan,
alasan itu adalah beberapa kepentingan Indonesia, antara lain:
1. Untuk mengamankan kepentingan ekonominya baik secara perdagangan dan
keamanan sumber daya alam Indonesia di bawah laut.
2. Keamanan dan keutuhan nasional, pemberantasan pelanggaran hukum di laut
dan perlindungan terhadap lingkungan.
3. Melindungi perbatasan sekitar Laut Natuna karena konflik ini akan mengubah
ZEE danlandas kontinen Indonesia.
4. Memberantas pelanggaran hukum yang terjadi,Ancama kekerasan,navigasi dan
ancaman kedaulatan secara ilegal.
5. Melindungi ekosistem di perairan Indonesia yang akan rusak bila terjadi perang.
Wujud diplomasi preventif dan upaya yang dilakukan Indonesia dalam kasus
sengketa Kepulauan Spratly di Laut Cina Selatan adalah menjaga perdamaian dengan
menjadikan potensi konflik menjadi potensi kerjasama dengan cara (peace making dan
peace building) menyelenggaraan kerjasama antar negara-negara yang terlibat konfik.
Penyelenggaraan dialog mengenai konflik di Laut Cina Selatan sejak tahun 1990
pertama kali hanya melibatkan perwakilan non-resmi negara-negara ASEAN. Namun
sejak tahun 1991, rangkaian lokakarya ini melibatkan negara-negara yang mengklaim
wilayah Kepulauan Spratly. Dialog ini terdiri dari:
13
a. Lokakarya tahunan dimana Indonesia sebagai tuan rumah, untuk membahas isu-
isu kerjasama serta melibatkan para pejabat pemerintah dalam kapasitas non
resmi.
b. Pertemuan Technical Working Group yang dilaksanakan di negara-negara yang
berbeda, untuk mengimplementasikan hasil dari sesi pleno workshop dalam
bentuk kerjasama Joint Working Group, yaitu Technical Working Groups
(TWGs), Groups of Experts (GEs), dan Study Groups (SGs).
Masalah-masalah yang menjadi pembahasan antara lain mengenai keamanan
navigasi, pelayaran, dan komunikasi, dan juga proyek kerjasama dalam bidang
Penelitian Keragaman Hayati. Para peserta lokakarya ini inklusif bagi semua pihak yang
berhubungan dengan masalah ini. Ini terbukti dari penyelenggaraan program pelatihan
bagi para navigator dan ahli kelautan yang direkrut dari negara-negara ASEAN dan
negara yang mengklaim. Selain itu, permasalahan legal dan perumusan aturan
berperilaku (code of conduct) diselenggarakan untuk mengatur mekanisme kerjasama.
Upaya diplomasi perventif Indonesia dalam wujud sebagai mediator melalui
usaha-usaha kerjasama dan dialog-dialog telah dilakukan dan dapat dikatakan berhasil
sejauh ini karena membuat negara-negara yang bersengketa untuk dapat duduk bersama
merumuskan suatu aturan berperilaku (code of conduct) bagi semua negara yang
bersengketa di kawasan Laut Cina Selatan. Second track diplomacy yang dilakukan
Indonesia ini sangat besar artinya bagi terciptanya kesadaran dan kemauan politik
(political will) negara-negara yang mengklaim kepemilikan pulau-pulau di Laut Cina
Selatan untuk duduk bersama mencari win-win solution yang tepat dan bisa diterima
oleh masing-masing pihak yang bersengketa sehingga Indonesia dapat mencegah
terjadinya perang terbuka antara enam negara yang berkonflik.
14
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Djelantik, Sukawarsini, (2008). Diplomasi antara Teori dan Praktik. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
A.R Soetopo, (1991). Hubungan Internasional Kawasan: Indonesia di Kawasan Asia
Pasifik. Jakarta: CSIS.
Website:
http://assets.cambridge.org/97805218/39167/excerpt/9780521839167_excerpt.pdf.
Diakses pada 8 April 2009
http://dewitri.wordpress.com/2009/01/03/dilema-keamanan-asean-dalam-konflik-laut-
cina-selatan/. Diakses pada 7 April 2009
http://fitriyaniriduan.blogspot.com/2008/07/peran-diplomasi-preventif-
indonesia.html tanggal 4 April 2009
http://indronet.files.wordpress.com/2007/09/konflik-perbatasan-asia-pasifikrefisi1.pdf.
Diakses pada 7 April 2009
http://jurnal-politik.blogspot.com/2009/01/konflik-kepulauan-separatly.html. Diakses
pada 7 April 2009
http://tumoutou.net/702_05123/j_judiono.htm. Diakses pada 7 April 2009
http://www.southchinasea.org/docs/Joyner,%20Spratly%20Islands
%20Dispute.pdf tanggal 4 April 2009
http://www.usip.org/pubs/specialreports/early/snyder/South_China_Sea1.html.
Diakses pada 4 April 2009
15