universitas indonesia penerapan cognitive …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2015-5/20391289-sp-arya...
TRANSCRIPT
i
UNIVERSITAS INDONESIA
PENERAPAN COGNITIVE BEHAVIOUR THERAPY DAN ASSERTIVE
TRAINING PADA KLIEN RISIKO PERILAKU KEKERASAN DENGAN
MENGGUNAKAN PENDEKATAN MODEL STUART DAN ADAPTASI
ROY DIRUANG GATOT KACA RS.DR.H MARZOEKI MAHDI BOGOR
KARYA ILMIAH AKHIR
ARYA RAMADIA
1106122341
UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI NERS SPESIALIS KEPERAWATAN JIWA
DEPOK, JUNI 2014
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
ii
UNIVERSITAS INDONESIA
PENERAPAN TERAPI COGNITIVE BEHAVIOUR THERAPY DAN
ASSERTIVE TRAINING PADA KLIEN RISIKO PERILAKU
KEKERASAN DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN MODEL
STUART DAN ADAPTASI ROY DIRUANG GATOT KACA RS.DR.H
MARZOEKI MAHDI BOGOR
KARYA ILMIAH AKHIR
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Spesialis Keperawatan Jiwa (Sp.Kep.J)
ARYA RAMADIA
1106122341
UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI NERS SPESIALIS KEPERAWATAN JIWA
DEPOK, JUNI 2014
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
LEMBAR PERSETUJUAN
Karya llmiah dengan Judul:
PENERAPAN COGNITIVE BEHAWO(IR THERAPY DAN,4.S,SER TIVE TRAINING
PADA KLIEN RISIKO PERILAKU KEKERASAN DENGAN MENGGUNAKAN
PENDEKATAN MODEL STUART DAN ADAPTASI ROY DIRUANG GATOT
KACA RS.DR.H MARZOEKI MAHDI BOGOR
Telah diperiksa dan disetujui oleh Pembimbing serta telah dipertahankan dihadapan tim
penguji Karya Ilmiah Akhir Spesialis Keperawatan Jiwa Universitas Indonesia
Depok, hli20l4
Depok, Juli 2014
Pembimbing I
Prof Achir
Pembimbing II
Dr.Novy Helena, CD, S.Kp, MSc
tlt
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
PERNYATAAN ORISINALITAS
Karya Ilmiah ini adalah hasil karya saya sendiri dan semua sumber baikyang dikutip
maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar
Nama : Arya Rrmadia
NPM: 1106122341
TandaTangan :
Tanggal :O7Juni2014
f-
.s;
lv
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
HALAMAN PENGESAHAN
Karya Ilmiah Akhir ini diajukan oleh:
NamaNPMProgram StudiJudul KIA
Penguji
Arya Ramadia1106122341Ners Spesialis Keperawatan JiwaPeneralran cognitive Behsviour Therapy Dan Assertive
Training Pada Klien Risiko perilaku Kekerasan Dengan
Menggunakan Pendekatan Model Stuart Dan Adaptasi Roy
Diruang Gatot Kaca Rs.Dr.H Marzoeki Mahdi Bogor
Telah berhasil dipertahankan dihadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai
bagran persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Spesialis
Keperawatan Jiwa pada Program Studi Ners Spesialis Keperawatan Jiwa Fakultas
Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
DEWAI\I PENGUJI
Pembimbing I : Prof. Achir yani. S.Hamid, MN., DNSC
Penguji : Dr. Mustikasari, MARS
Penguji : dr. Feranindhya Agiananda Sp.KJ
:Heni Dwi Windarwati, S.Kp, M.Kep,Sp."* f.lfr 9 :. . ..,
Ditetapkan di : Depok
Tanggal : 15 Juli 2014
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLlKASITUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan dibawah ini:Nama : Arya RamadiaNPM : 1106122341Program Studi : Pasca SarjanaFakultas : IImu KeperawatanJenis Karya : Karya IImiah Akhir
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty
Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :
Penerapan Cognitive Behaviour Therapy Dan Assertive Training Pada Klien
Risiko Perilaku Kekerasan Dengan Menggunakan Pendekatan Model Stuart Dan
Adaptasi Roy Diruang Gatot Kaca Rs.Dr.H Marzoeki Mahdi Bogor.
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif nu Universitas Indonesia berhak menyimpan,
mengaIihmedia/formatkan, mengeIoIa dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya
selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai
pemilik Hak Cipta.
Demikian pemyataan ini saya buat dengan sebenamya.
Dibuat di : Depok
Pada tanggal : 15 Juli 2014
Yang mJya~ak~n,
(ArY~~dia)
viPenerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
vii
ABSTRAK
Nama : Arya Ramadia
Program Studi : Pendidikan Perawat Spesialis Jiwa
Judul : Penerapan Cognitive Behaviour Therapy Dan Assertive
Training Pada Klien Risiko Perilaku Kekerasan Dengan
Menggunakan Pendekatan Model Stuart Dan Adaptasi
Roy Diruang Gatot Kaca Rs.Dr.H Marzoeki Mahdi
Bogor
Perilaku kekerasan merupakan respon maladaptif dari marah. Respon Maladaptif
yang muncul dari marah dapat mengancam dan membahayakan diri sendiri, keluarga dan
lingkungan masyarakat sehingga meraka memerlukan pengobatan dan perawatan dirumah
sakit. Tujuan penulisan karya ilmiah akhir ini adalah menggambarkan penerapan
terapi cognitive behaviour therapy dan assertive training dengan pendekatan
Model Adaptasi Roy pada klien risiko perilaku kekerasan di Rumah Sakit
Marzoeki Mahdi Bogor. Intervensi keperawatan yang dilakukan adalah cognitive
behaviour therapy dan assertive training pada 8 orang dan assertive training pada
10 orang klien dalam kurun waktu 17 Februari – 18 April 2014 di Ruang Gatot
Kaca RSMM Bogor. Hasil pelaksanaan cognitive behaviour therapy dan assertive
training dapat menurunkan tanda dan gejala perilaku kekerasan pada aspek
kognitif, afektif, fisiologis, perilaku dan sosial dan peningkatan kemampuan
koping adaptif dalam menghadapi peristiwa yang menimbukan perilaku
kekerasan. Berdasarkan hasil diatas rekomendasi penulisan ini adalah terapi
cognitive behaviour therapy dan assertive training pada klien risiko perilaku
kekerasan dapat dijadikan standar terapi spesialis keperawatan jiwa.
Key Word : Risiko Perilaku Kekerasan, Cognitive Behavior Therapy, Assertive
Training, Model Adaptasi Roy
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
viii
ABSTRACT
Nama : Arya Ramadia
Program Studi : Mental Health Care Nursing Specialist Education
Judul : Application of Cognitive Behaviour Therapy and
Assertive Training for violent behavior clients by using
the approach of Roy Adaptation model and Stuart Model
at Marzoeki Mahdi Hospital Bogor
Violence behavior is a maladaptive response of anger. Maladaptive Response that
occur in anger can menca and endanger ownself, family and society enviroment so
they need treatment and medication in hospital . The aim of this Study is to
describe the application of Cognitive Behavior Therapy and assertive training by
using Roy Adaptation Model to client risk of violent behavior at Marzoeki Mahdi
Hospital. in Bogor. Nursing interventions was cognitive behavior therapy and
assertive training on 8 people and assertive training to 10 clients during 17
February to 18 April 2014 at Gatot Kaca Room RSMM in Bogor. The results of
the implementation of assertive training and cognitive behavior therapy may
reduce signs and symptoms of violence behavior in cognitive, affective,
physiological, behavioral and social and increase in adaptive coping skills to face
of events that raises violence behavior. Based on the result above,
recommendation from this paper is Cognitive Behavior Therapy and Assertive
Training can be used as standard therapy of psychiatric nursing specialist to client
with risk of violence behavior
Key Word: Risk of Violence Behavior, Cognitive Behavior Therapy, Assertive
Training, Roy Adaptation Model
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
ix
KATA PENGANTAR
Puji Syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan Karya
Ilmiah Akhir dengan judul “Penerapan Terapi Cognitive Behaviour Therapy dan
Assertive Training pada klien Risiko Perilaku Kekerasan Dengan Menggunakan
Pendekatan Model Stuart Dan Adaptasi Roy Diruang Gatot Kaca Rumah Sakit
Marzoeki Mahdi Bogor”. Karya Ilmiah Akhir ini disusun dalam rangka
menyelesaiakan tugas akhir untuk memperoleh gelar Spesialis Keperawatan Jiwa
pada Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
Penyusunan Karya Ilmiah Akhir dibantu, dibimbing dan didukung oleh berbagai
pihak, dengan segala kerendahan hati penulis penulis menyampaikan terima kasih
yang setulusnya atas bantuan, bimbingan serta dukungan pada kesempatan ini
kepada yang terhormat :
1. Ibu Dra Juniati Sahar, S.Kp, M.App, Sc, Phd selaku Dekan Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia.
2. Ibu Henny Permatasari S.Kp, M.Kep, Sp.Kom selaku Ketua Program
Pascasarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
3. Ibu Prof. Achir Yani S.Hamid, DNSc selaku pembimbing I karya ilmiah akhir
yang telah membimbing penulis dengan sabar dan sudah memberikan
masukan serta motivasi dalam penyelesaian karya ilmiah akhir ini.
4. Ibu Dr.Novy Helena, CD,S.Kp, M.Sc selaku pembimbing II karya ilmiah
akhir, yang dengan sabar membimbing penulis, senantiasa meluangkan waktu,
dan sangat cermat memberikan masukan untuk perbaikan karya ilmiah akhir
ini.
5. Staf Pengajar Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia yang telah membekali dengan ilmu sehingga penulis mampu
menyusun tugas akhir.
6. Direktur Utama RS Dr.H.Marzoeki Mahdi Bogor yang telah memberikan izin
untuk praktik klinik keperawatan jiwa 3.
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
x
7. Seluruh rekan perawat ruangan, khususnya ruang Gatotkaca, terima kasih atas
kerja sama selama penulis menjalani praktik klinik keperawatan jiwa 3
8. Bapak Mursyid, S.KM, MMR selaku dekan Fakultas Kesehatan dan MIPA
Universitas Muhammadiyah Sumatra Barat yang telah memberikan
kesempatan dan izin kepada penulis untuk mengikuti program pendidikan
Pasca Sarjana di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
9. Keluarga tercinta, kedua orang tua penulis yang selalu mengirimkan doa dan
restu untuk penulis dalam menggapai cita-cita.
10. Sahabat penulis dalam suka dan duka “Mbak Riris, Bg Jek, kak Muslimah dan
Bunda puji” yang saling memotivasi dan berbagi ilmu dan informasi dalam
segala hal tentang tesis.
11. Rekan-rekan angkatan 7 khususnya program kekhususan keperawatan jiwa
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia atas motivasi dan
dukungannya bagi penulis.
Mudah-mudahan karya ilmiah akhir ini dapat menjadi awal untuk melakukan
penelitian pengembangan terapi dalam keperawatan jiwa dalam upaya
peningkatan mutu pelayanan asuhan keperawatan jiwa.
Depok, Juli 2014
Penulis
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL .................................................................................... i
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ ii
LEMBAR PERSETUJUAN ........................................................................... iii
PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................................ iv
LEMBAR PENGESAHAN v
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI vi
ABSTRAK ....................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR .................................................................................... ix
DAFTAR ISI ................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ........................................................................................... xii
DAFTAR SKEMA .......................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xv
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ......................................................................... 1
1.2. Tujuan Karya Ilmiah Akhir ...................................................... 8
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Input .......................................................................................
2.1.1 Faktor Predisposisi..............................................................
2.1.2 Faktor presipitasi.................................................................
2.1.3 Penilaian stresor..................................................................
2.1.4 Sumber Koping...................................................................
2.1.5 Diagnosa Keperawatan.......................................................
2.2 Proses .......................................................................................
2.2.1 Mekanisme Koping.............................................................
2.2.2 Penatalaksanaan Risiko Prilaku Kekerasan.......................
2.2.2.1 Cognitive Behaviour Therapy.............................................
2.2.2.2 Assertive Trainning.............................................................
2.3 Out Put.................... ................................................................
12
12
17
18
20
22
23
24
25
25
32
39
BAB 3. PROFIL RUMAH SAKIT Dr. H. MARZOEKI MAHDI
BOGOR
3.1 Gambaran Umum Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor
3.2 Gambaran Pengembangan Manajemen Keperawatan Jiwa
Profesional (MPKP) RSMM Bogor..............................................
3.3 Model Praktik Keperawatan Profesional di Ruang Gatot
Kaca.........
40
42
43
BAB 4 MANAJEMEN ASUHAN DAN PELAYANAN
KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN HARGA DIRI
RENDAH KRONIS
4.1 Hasil Pengkajian Klien dengan Risiko Perilaku Kekerasan di
Ruang Gatot Kaca .......................................................................
4.1.1 Karakteristik Klien............................................................
4.1.2 Faktor Predisposisi...........................................................
50
50
51
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
xii
4.1.3 Faktor presipitasi..............................................................
4.1.4 Penilaian Terhadap Stresor .............................................
4.1.5 Diagnosis Keperawatan dan Medik...................................
4.1.6 Sumber Koping.................................................................
4.1.7 Mekanisme Koping...........................................................
4.2 Penatalaksanaan Klien dengan Diagnosa Keperawatan Risiko
Perilaku Kekerasan
4.2.1 Rencana Tindakan.............................................................
4.2.2 Implementasi Keperawatan..............................................
4.2.3 Evaluasi Hasil....................................................................
4.3 Kendala Pelaksanaan Asuhan Keperawatan...........................
4.4 Rencana Tindak Lanjut...............................................................
52
53
55
56
57
58
59
60
63
63
BAB 5 PEMBAHASAN
5.1.Karakteristik Klien Risiko Perilaku Kekerasan di Ruang Gatot
Kaca...............................................................................................
5.2Hasil Pengkajian Kondisi Klien dengan Risiko Perilaku
Kekerasan......................................................................................
5.3 Penerapan Terapi pada Klien Risiko Perilaku Kekerasan dengan
Pendekatan Model Adaptation Roy...............................
5.4 Efektifitas Penerapan AT dan CBT pada klien Risiko Perilaku
Kekerasan
64
67
74
78
BAB 6 SIMPULAN DAN SARAN
6.1 . Simpulan .................................................................................... 81
6.2 . Saran .......................................................................................... 82
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Pelaksanaan Manajemen Pelayanan MPKP di Ruang Gatot Kaca
RSMM Bogor......................................................................................
46
Tabel 4.1 Distribusi karakteristik pasien di ruang Gatot Kaca RSMM
Bogor...................................................................................................
51
Tabel 4.2 Distribusi Faktor Predisposisi Klien dengan Risiko Perilaku
Kekerasan di ruang Gatot Kaca RSMM
Bogor....................................
52
Tabel 4.3 Distribusi Faktor Presipitasi Klien dengan Risiko Perilaku
Kekerasan di ruang Gatot Kaca RSMM Bogor..................................
53
Tabel 4.4 Distribusi Penilaian Stresor klien dengan Risiko Perilaku Kekerasan
di Ruang Gatot Kaca RSMM Bogor....................................................
54
Tabel 4.5 Distribusi Diagnosa Keperawatan yang menyertai pada klien
Risiko Perilaku Kekerasan di Ruang Gatot Kaca.............................
56
Tabel 4.6 Distribusi Diagnosa Medis dan Terapi Psikofarmaka pada klien
Risiko Perilaku Kekerasan di Ruang Gatot Kaca RS.Marzoeki
Mahdi Bogor........................................................................................
57
Tabel 4.7 Distribusi Sumber Koping Klien dengan Risiko Perilaku
Kekerasan di Ruang Gatot Kaca RS.Marzoeki Mahdi Bogor..........
57
Tabel 4.8 Distribusi Mekanisme Koping Klien dengan Risiko Perilaku
Kekerasan di Gatotkaca RS.Marzoeki Mahdi Bogor.......................
59
Tabel 4.9 Perencanaan Penatalaksanaan pada Klien dengan Risiko Perilaku
Kekerasan di Gatotkaca RS.Marzoeki Mahdi Bogor.......................
61
Tabel 4.10 Distribusi Pelaksanaan Terapi Spesialis Keperawatan Jiwa pada
Klien Risiko Perilaku Kekerasan di Gatotkaca RS.Marzoeki Mahdi
Bogor....................................................................................................
61
Tabel 4.11 Distribusi Evaluasi Respon Terhadap Stresor Klien dengan Risiko
Perilaku Kekerasan sebelum dan sesudah Pemberian Cognitive
Behavior Therapy dan Assertive training di Ruang Gatot Kaca
RS. Marzoeki Mahdi Bogor ................................................................
62
Tabel 4.12 Distribusi Evaluasi Kemampuan CBT dan AT pada pasien Risiko
Perilaku Kekerasan di Ruang Gatot Kaca RS. Marzoeki Mahdi
Bogor ...................................................................................................
63
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
xiv
Tabel 4.13 Distribusi Evaluasi Kemampuan AT pada pasien Risiko Perilaku
Kekerasan di Ruang Gatot Kaca RS. Marzoeki Mahdi Bogor ...
63
DAFTAR SKEMA
Skema 2.1 Integrasi Aplikasi Model Adaptasi Stuart dan Model Adaptasi Roy.................. 11
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Tanda dan Gejala Risiko Perilaku kekerasan
Lampiran 2. Evaluasi Kemampuan Pasien Pada Pelaksanaan Assertive Trainning
Lampiran 3. Evaluasi Kemampuan Pasien Pada Pelaksanaan CBT
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
1
Universitas Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Undang-undang Republik Indonesia nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan
menjelaskan bahwa kesehatan merupakan keadaan dimana sehat baik secara
fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk
dapat hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Kesehatan adalah salah satu
unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan dan merupakan hak asasi manusia
yang mana sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Sehat adalah suatu kondisi dimana memungkinkan setiap orang untuk
produktif secara sosial dan ekonomi, berada dalam kondisi emosional yang
baik, kondisi fisik yang baik dan merupakan unsur kesejahteraan. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa sehat adalah suatu kondisi dimana memungkinkan
setiap orang untuk produktif secara sosial dan ekonomi, berada dalam kondisi
emosional yang baik, kondisi fisik yang baik dan merupakan unsur
kesejahteraan yang harus diwujudkan.
Sehat jiwa adalah keadaan fungsi jiwa yang baik, menghasilkan kegiatan yang
produktif, adanya hubungan yang baik dan kemampuan untuk beradaptasi
dengan perubahan dan mengatasi kesulitan (Stuart,2013). Kesehatan jiwa
sangat diperlukan untuk kesejahteraan individu, keluarga dan hubungan
interpersonal serta kontribusi seseorang dalam masyarakat (Stuart, 2013).
Kesehatan jiwa merupakan suatu keadaan positif yang ditandai dengan adanya
rasa tanggung jawab, menunjukkan kesadaran diri, mampu menunjukkan diri,
bebas dari rasa cemas dan menghadapi masalah yang dihadapi sehari-hari
(Shives, 2012). Kesehatan jiwa dapat juga diartikan sebagai kemampuan
individu dalam menyesuaikan diri terhadap berbagai tuntutan perkembangan
sesuai kemampuannya, baik itu tuntutan dalam diri sendiri maupun dari luar
dirinya. (Videbeck, 2010). Mental Action Plan mendefinisikan kesehatan jiwa
sebagai kondisi sejahtera dimanapun mampu mengelola pikiran, perasaan,
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
2
Universitas Indonesia
perilaku dan hubungan dengan orang lain (WHO, 2013-2030). Sehingga dapat
disimpulkan bahwa seorang individu dikatakan sehat jiwa apabila individu
mampu beradaptasi dengan perubahan dalam dirinya maupun dari luar dirinya
dan mampu mengengelola dirinya saat menghadapi permasalahan dan tetap
produktif.
Menurut WHO (2009) prevalensi gangguan jiwa diperkirakan sebanyak 450
juta jiwa dimana sekitar 10% orang dewasa yang mengalami gangguan jiwa
dan 25% penduduk diperkirakan akan mengalami gangguan jiwa pada usia
tertentu selama hidupnya. Prevalensi gangguan jiwa menurut riskesdas tahun
2007 menunjukkan data prevalensi nasional untuk gangguan jiwa berat yaitu
4,6 per 1.000 penduduk. Sedangkan prevalensi gangguan jiwa berat menurut
Riskesdas 2013 mencapai 1,7 per 1.000 penduduk populasi di Indonesia.
Dapat disimpulkan bahwa gangguan jiwa yang terjadi baik didunia maupun
diindonesia cukup besar.
Gangguan jiwa merupakan perubahan pola perilaku, psikologis, persepsi dan
perasaan seseorang akibat stresor yang menyebabkan gangguan fungsi peran
sosial serta penurunan kualitas hidup seseorang dimana hal ini bukan akibat
penyimpangan sosial atau konflik masyarakat (Stuart, 2013). Salah satu
bentuk gangguan jiwa berat adalah skizofrenia. Skizofrenia merupakan
penyakit otak kronis berupa sindrom klinis yang melibatkan perubahan
pikiran, emosi, persepsi, gerakan dan perilaku individu serta membutuhkan
strategi penatalaksanaan jangka panjang dan keterampilan koping (Videback,
2008). Skizofrenia merupakan kombinasi dari gangguan berfikir, persepsi,
perilaku dan hubungan sosial. Skizofrenia merupakan penyakit mental serius
yang mengganggu kemampuan seseorang untuk berfikir secara jelas,
mengelola emosi, membuat keputusan dan kemampuan berhubungan dengan
orang lain (NAMI, 2013). Kaplan & Sadock (2007) menjelaskan bahwa
skizofrenia merupakan sekumpulan sindroma klinik yang ditandai dengan
perubahan pikiran, emosi, persepsi dan aspek lain dari perilaku. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa skizofrenia merupakan gangguan jiwa berat yang
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
3
Universitas Indonesia
dapat menyebabkan perubahan pikiran, emosi, persepsi, perilaku dan
hubungan sosial seseorang.
Gejala yang dapat muncul pada klien skizofrenia dibagi menjadi dua gejala
utama yakni gejala positif dan gejala negatif (Stuart, 2013). Gejala positif
diantaranya delusi, halusinasi, kekacauan kognitif, disorganisasi bicara dan
perilaku tidak teratur dan perilaku kekerasan (Videback, 2008). Gejala negatif
yang dialami klien skizofrenia seperti afek datar, tidak punya kemauan,
merasa tidak nyaman, kurang motivasi, menarik diri dari lingkungan sosial
dan harga diri rendah (Sadock & Sadock, 2004). Fontain (2009) menyebutkan
bahwa gejala negatif dari klien skizofrenia dapat dilihat dari terjadinya
penurunan motivasi, hilangnya kemampuan dalam melakukan aktivitas sehari-
hari, ketidakmampuan dalam merawat diri, tidak mampu mengekspresikan
perasaan serta hilangnya spontanitas dan rasa ingin tahu. Gejala yang muncul
pada klien skizofrenia baik berupa gejala positif dan gejala negatif dijadikan
sebagai dasar oleh kalangan medis dalam menegakkan diagnosa skizofrenia.
Perilaku kekerasan dapat dijumpai pada pasien skizofrenia yang tidak diobati.
Perilaku maladaptif dari gejala positif skizofrenia seperti halusinasi dapat
menjadi pencetus terjadinya perilaku kekerasan (Ranjan, Prakash, Sharma &
Shigh, 2010). Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah yang
mungkin meliputi salah satu dari kelima panca indra (Townsend, 2013).
Halusinasi merupakan suatu pengalaman persepsi yang salah tanpa adanya
stimulus dan pengalaman persepsi tersebut merupakan hal nyata bagi klien
sehingga halusinasi bisa menjadi pemicu terjadinya perilaku kekerasan akibat
persepsi yang salah dan perintah-perintah dari halusinasi yang didengar
(Lelono, Keliat, & Besral, 2011) . Beberapa penelitian menyebutkan bahwa
kelompok individu yang didiagnosa skizofrenia memiliki insiden lebih tinggi
mengalami perilaku kekerasan (APA, 2000 dalam Sadino, 2007). Dari survey
yang dilakukan oleh The National Institute of Mental Nursing Health’s
Epidemiologic Cathment Area terhadap 10.000 orang yang pernah melakukan
perilaku kekerasan ditemukan 37,7 % berhubungan dengan penyalahgunaan
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
4
Universitas Indonesia
zat, 24,6% alkoholik, 12,7% skizofrenia, 11,7% gangguan depresi berat, 11%
gangguan bipolar dan 2,1% tanpa gangguan (Kaplan & Saddock, 1995 dalam
keliat 2003).Wahyuningsih (2009) menyatakan bahwa klien skizopenia
memiliki riwayat kekerasan baik sebagai pelaku, korban atau saksi sebanyak
62,5%. Sehingga dapat disimpulkan perilaku kekerasan dapat dipicu dari
gejala positif skizofrenia yaitu halusinasi.
Perilaku kekerasan merupakan respon maladaptif dari marah. Perilaku
kekerasan dipahami sebagai perilaku atau tindakan seseorang ketika ia tidak
mampu mengatasi stresor lingkungan yang dialaminya, dapat juga berupa
kebiasaan atau upaya untuk merefleksikan stresor tersebut (Stuart, 2013).
Kemarahan merupakan respon yang normal namun apabila tidak diungkapkan
dengan tidak tepat dapat menimbulkan permusuhan dan agresi (Videback,
2010). Cara mengekspresikan marah ini berfluktuasi dalam rentang adaptif
dan maladaptif mulai dari asertif, pasif dan agresif (Varcarolis, 2009; Stuart,
2013). Kemarahan yang tidak mampu diungkapkan secara asertif dapat
memanjang hingga respon yang paling maladaptif yaitu perilaku kekerasan.
perilaku kekerasan merupakan suatu bentuk perilaku yang dapat mencederai
diri sendiri, orang lain, lingkungan secara verbal atau fisik (Stuart & Laraia,
2005). Sehingga dapat disimpulkan bahwa perilaku kekerasan merupakan
respon maladaptif dari marah yang dapat memunculkan perilaku yang dapat
mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan baik secara fisik maupun
verbal.
Respon Maladaptif yang muncul dari marah dapat mengancam dan
membahayakan diri sendiri,keluarga dan lingkungan masyarakat sehingga
mereka memerlukan pengobatan dan perawatan dirumah sakit. Penelitian
Keliat (2003) tentang pemberdayaan klien dan keluarga dalam perawatan klien
skizofrenia dengan perilaku kekerasan di RSJP Bogor menemukan bahwa
perilaku kekerasan merupakan salah satu gejala yang menjadi alasan keluarga
untuk merawat klien dirumah sakit jiwa. Perilaku kekerasan merupakan
penyebab utama klien dibawa kerumah sakit yaitu 68%. Tindakan
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
5
Universitas Indonesia
keperawatan yang diberikan kepada klien perilaku kekerasan bertujuan untuk
mencegah dampak negatif dari perilaku kekerasan terhadap klien, keluarga
dan lingkungan.
Tindakan keperawatan yang diberikan kepada klien perilaku kekerasan tidak
hanya ditujukan kepada klien. Beberapa penelitian mengatakan keluarga harus
menjadi pusat pengantar pelayanan kesehatan karena bertanggung jawab
untuk mengontrol kebutuhan kesehatan anggota keluarganya yang sakit,
kebutuhan sosial dan kebutuhan emosional. Mereka menambahkan sistem
kesehatan harus memungkinkan keluarga untuk berfungsi sebagai pembuat
keputusan, caregiver, pendidik dan advokat untuk orang sakit (WFMH, 2010).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Keliat (2006) bahwa angka
kekambuhan pada klien gangguan tanpa terapi keluarga sebesar 25-50%
sedangkan angka kekambuhan pada klien yang diberikan terapi keluarga
sebesar 5-15%. Ini berarti bahwa tindakan keperawatan yang tepat pada klien
dan keluarga baik di pelayanan rumah sakit maupun dimasyarakat dan
dukungan keluarga sangatlah penting dalam mengurangi masalah yang
muncul akibat perilaku kekerasan dan mengurangi angka kekambuhan
melalui tindakan psikoterapi.
Tindakan keperawatan generalis yang diberikan kepada klien perilaku
kekerasan dapat berupa kelompok maupun individu. Tindakan keperawatan
individu yang diberikan pada klien perilaku kekerasan adalah dengan
pemberian latihan fisik berupa tarik nafas dalam, pukul bantal kasur,
penjelasan mengenai 6 benar obat, melatih klien mengungkapkan secara
verbal meminta, menolak dan mengungkapkan marah dengan baik, melatih
mengontrol marah dengan spiritual. Tindakan keperawatan kelompok dapat
berupa terapi aktivitas kelompok. Untuk keluarga tindakan keperawatan yang
diberikan seseuai dengan tugas perkembangan keluarga menurut Friedman
(2010) berupa pemberian latihan yang sama dengan klien, menjelaskan cara
merawat perilaku kekerasan, menciptakan lingkungan yang nyaman bagi klien
dan menggunakan pelayanan kesehatan untuk mencegah kekambuhan.
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
6
Universitas Indonesia
Tindakan Keperawatan spesialis yang dapat diberikan dan telah diteliti antara
lain terapi perilaku kognitif, terapi asertif, Rational Emotive Behaviour
Therapy (REBT). Wahyuningsih (2009) melakukan penelitian terhadap 36
klien skizofrenia dengan perilaku kekerasan didapatkan hasil terapi Asertive
Training (AT) dapat menurunkan respon perilaku kekerasan secara bermakna.
Terjadi penurunan respon maladaptif (perilaku, sosial, kognitif, respon fisik
dan komposit perilaku kekerasan ) sebesar 7,50-25,78 setelah dilakukan AT.
Penelitian Alini (2010) menunjukkan bahwa AT menurunkan komposit
perilaku kekerasan (respon kognitif, afektif, perilaku, sosial, fisik) sebesar
50,4%. Fauziah (2009) mengatakan terapi perilaku kognitif dapat
meningkatkan kemampuan kognitif dan perilaku klien skizofrenia dengan
perilaku kekerasan. Kemampuan kognitif klien perilaku kekerasan
meningkatkan sebesar 7,92 setelah dilakukan CBT dengan p value <α 0,05
dibandingkan dengan kelompok kontrol -0,07. Kemampuan perilaku asertif
klien perilaku kekerasan setelah dilakukan CBT meningkat secara bermakna
sebesar 25,46 dengan p value < α 0,05 dibandingkan dengan kelompok kontrol
0,92. Terapi yang diberikan pada klien perilaku kekerasan diatas berfokus
pada upaya penurunan perilaku kekerasan dengan menstimulasi kognitif atau
melihat respon kognitif, respon fisik, respon sosial dan respon perilaku.
Penelitian lain Hidayat (2011), Lelono (2011) dan Sudiatmika (2011) tentang
pengaruh CBT dan REBT pada klien perilaku kekerasan menunjukkan
peningkatan secara bermakna kemampuan klien mengatasi masalah dan
penurunan tanda dan gejala marah klien perilaku kekerasan.
Berdasarkan jumlah klien yang dirawat oleh mahasiswa diruangan Gatot kaca
sebanyak 81 orang, diperoleh gambaran diagnosis medis antara lain
Skizofrenia paranoid 60 klien (85,18%), psikotik akut 10 klien (12,3%) dan
gangguan bipolar 2 orang (2,4%). Sedangkan gambaran diagnosa keperawatan
diperoleh sebagai berikut resiko perilaku kekerasan 80,24%, halusinasi
87,65%, isolasi sosial 55,5%, HDR 55,5% dan waham 7,4%. Diagnosa
keperawatan terbanyak diruang gatot kaca adalah resiko perilaku kekerasan.
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
7
Universitas Indonesia
Tindakan keperawatan spesialis yang difokuskan pada karya ilmiah ini adalah
terapi perilaku kognitif dan terapi asertif untuk klien dengan resiko perilaku
kekerasan. Terapi ini diberikan untuk membantu klien meningkatkan fungsi
dan keseimbangan perilaku melalui nurturance, protection dan stimulation.
Diharapkan dengan pemberian terapi ini dapat membuat klien beradaptasi
dengan stimulus baru dan mempertahankan perilaku yang diharapkan
(nurturance), melakukan perilaku baru yang dilatih (stimulation) dan
mempertahankan perilaku dari stimulus yang kurang menyenangkan
(protection).
Pengkajian merupakan tahap penting yang dilakukan untuk mengetahui
penyebab klien mengalami gangguan jiwa. Dengan pendekatan Model Stress
Adaptation Stuart (2013) membagi pengkajian menjadi beberapa komponen
yaitu faktor predisposisi, stressor presipitasi dan penilaian terhadap stressor
serta sumber koping. Sedangkan adaptasi Roy membagi kedalam stimulus
fokal, stimulus kontekstual dan stimulus residual. Stimulus fokal yaitu semua
stimulus yang langsung menyerang individu, stimulus kontekstual yaitu semua
stimulus yang ada pada saat itu yang berkontribusi terhadap efek dari stimulus
fokal dan stimulus residual adalah faktor lingkungan yang memberi efek
terhadap situasi tertentu. Jika klien tidak mampu beradaptasi terhadap stimulus
yang diterimanya dengan menggunakan mekanisme koping yang sesuai, dapat
berdampak terhadap konsep diri, fungsi peran dan interdependensi serta
perilaku yang memunculkan tanda-tanda perilaku kekerasan yang dapat
ditujukan pada diri sendiri, orang lain bahkan dapat merusak lingkungan.
Asuhan dasar model teori adaptasi Roy (2009) yang digunakan dalam
membahas kasus perilaku kekerasan adalah setiap orang selalu menggunakan
koping yang bersifat positif maupun negatif sedangkan kemampuan
beradaptasi seseorang dipengaruhi oleh penyebab utama terjadinya perubahan
dan pengalaman beradaptasi. Roy mengatakan bahwa proses adaptasi
merupakan proses dan hasil dari berfikir dan berperasaan manusia sebagai
individu atau kelompok yang menggunakan kesadarannya untuk berintegrasi
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
8
Universitas Indonesia
dengan lingkungan (Roy,2009). Model adaptasi Roy digambarkan sebagai
suatu model yang terdiri dari input, proses kontrol, efektor dan output. Input
terdiri dari stimulus-stimulus yang berasal dari diri maupun lingkungan.
Proses kontrol merupakan mekanisme koping yang digunakan dalam
mengatasi stimulus yang ada. Sedangkan efektor merupakan model sistem
adaptasi internal seseorang yang meliputi fungsi fisiologis, konsep diri, fungsi
peran dan interdependensi. Output merupakan respon adaptif atau respon
maladaptif yang muncul pada seseorang.
Dengan menggunakan pendekatan model adaptasi stuart dan model Adaptasi
Roy, pemberian asuhan keperawatan klien dengan risiko perilaku kekerasan
yang dilakukan di ruangan Gatot Kaca RS Dr. Marzoeki Mahdi Bogor dapat
optimal dan didukung dengan pemberian pelayanan yang tepat dengan
menggunakan manajemen pelayanan model praktek keperawatan profesional
(MPKP). Hasil penulisan dan analisis terapi serta model yang digunakan
dilaporkan dalam bentuk penulisan karya ilmiah.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Menganalisis Penerapan Cognitive Behaviour Therapy dan Assertive Therapy
pada klien Risiko perilaku Kekerasan dengan menggunakan pendekatan
Stuart dan model Adaptasi Roy di ruang Gatot Kaca RSMM Bogor.
1.2.2 Tujuan Khusus
1.2.2.1 Mengidentifikasi karakteristik klien Risiko Perilaku Kekerasan
menggunakan pendekatan teori Stuart dan Adaptasi Roy di ruang
Gatot Kaca RSMM Bogor
1.2.2.2 Mengidentifikasi masalah dan kebutuhan klien Risiko Perilaku
Kekerasan menggunakan pendekatan teori Stuart dan Adaptasi Roy
di ruang Gatot Kaca RSMM Bogor
1.2.2.3 Menyusun rencana asuhan keperawatan pada klien Risiko Perilaku
Kekerasan dengan menggunakan pendekatan teori Stuart dan
Adaptasi Roy di ruang Gatot Kaca RSMM Bogor
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
9
Universitas Indonesia
1.2.2.4 Melaksanakan asuhan keperawatan pada klien Risiko Perilaku
Kekerasan dengan menggunakan pendekatan teori Stuart dan
Adaptasi Roy di ruang Gatot Kaca RSMM Bogor
1.2.2.5 Mengidentifikasi hasil evaluasi pelaksanaan asuhan keperawatan
pada klien Risiko Perilaku Kekerasan menggunakan pendekatan
teori Stuart dan Adaptasi Roy di ruang Gatot Kaca RSMM Bogor
1.2.2.6 Menyusun rencana tindak lanjut klien Risiko Perilaku Kekerasan
menggunakan pendekatan teori Stuart dan Adaptasi Roy di ruang
Gatot Kaca RSMM Bogor
1.2.2.7 Menyusun rekomendasi berdasarkan implikasi hasil pelaksanaan
asuhan keperawatan Risiko Perilaku Kekerasan menggunakan
pendekatan teori Stuart dan Adaptasi Roy di ruang Gatot Kaca
RSMM Bogor
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
10
Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Karya tulis ilmiah ini dilandasi oleh teori Stress Adaptasi Model Stuart-Laraia,
dan teori keperawatan Adaptasi Roy pada klien Risiko Perilaku kekerasan (RPK)
yang mendapatkan Assertive Training (AT) dan Cognitive Behaviour Therapy
(CBT) di ruang Gatot Kaca RSMM Bogor. Kerangka teori yang digunakan
sebagai dasar karya ilmiah ini terdiri dari proses pengkajian (input) yang terdiri
dari data awal klien perilaku kekerasan, proses yang merupakan tindakan yang
diberikan dalam mengatasi masalah yang ditemukan pada input dan output
sebagai hasil dari pencapaian proses yang dilakukan.
Pada karya ilmiah ini, input berupa proses pengkajian untuk menetapkan suatu
diagnosa dari klien. proses pengkajian pada Model Stress Adaptation Stuart
(2013) dimulai dengan mengkaji faktor predisposisi, stresor presipitasi dan
penilaian terhadap stresor. Faktor predisposisi meliputi biologi, psikologi dan
sosiokultural. Penilain terhadap stressor terdiri dari respon kognitif, afektif,
fisiologis, perilaku dan sosial. Berdasarkan hasil pengkajian yang diperoleh maka
ditegakkanlah diagnosa Risiko Perilaku Kekerasan. Selanjutnya dengan
mengidentifikasi sumber koping dan mekanisme koping yang dimiliki individu
dalam menyelesaikan permasalahan dapat menjadi penentu intervensi yang akan
diberikan kepada klien untuk menyelesaikan masalah resiko perilaku kekerasan.
Pada tahap implementasi (proses), fokus tindakan keperawatan yang diberikan
pada klien yaitu dengan memberikan Cognitive Behaviour Therapy dan Assertive
therapy. Pemberian terapi ini diharapkan mampu membuat klien beradaptasi
dengan perilaku yang baru saat berhadapan dengan stimulus yang baru yang tidak
menyenangkan.
Output merupakan hasil yang diharapkan setelah melalui tahap implementasi dari
proses tindakan yang diberikan berupa perilaku adaptif. Perubahan perilaku
kekerasan dapat dilihat dari penurunan tanda dan gejala RPK, peningkatan
kemampuan klien dalam menghadapi stresor dan hubungan interpersonal yang
meningkat. Berikut akan dijelaskan tentang pelaksanaan mulai dari input, proses
dan output dalam framework berikut ini :
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
11
Universitas Indonesia
Skema 2.1
Integrasi Aplikasi Model Adaptasi Stuart dan Model Adaptasi Roy
Input Proses kontrol &
Efektor Output
STIMULUS
1. Stimulus Fokal (Faktor presipitasi
klien RPK) : Biologi, psikologi,
sosialkultural
2. Stimulus Kontekstual (Faktor
Predisposisi klien RPK) : Biologi,
psikologi, sosialkultural
3. Stimulus Residual : sikap, norma,
keyakinan dan pemahaman individu
yang mempengaruhi keadaan tidak
efektif
Penilaian terhadap stresor : kognitif,
afektif, fisiologis, perilaku, sosial
Sumber Koping : Kemampuan
personal, Dukungan sosial, Material
Aset, Keyakinan Positif
Risiko Perilaku
Kekerasan
Perilaku
Mode Adaptasi
Fisiologis
Konsep diri
Fungsi peran
interdependensi
Mekanisme Koping
Klien RPK
Regulator
Kognator
Tindakan Keperawatan
1. Tindakan Generalis
2. Tindakan Spesialis
CBT
Sesi 1: Identifikasi pikiran dan keyakinan maladaptif
Sesi 2: Mengubah pola pikir dan keyakinan maladaptif
Sesi 3 : Mengubah perilaku maladptif
Sesi 4 : Penyelesaian masalah
Sesi 5 : Evaluasi pelaksanaan CBT
AT
Sesi 1 :identifikasi kejadian yang membuat marah/kesal
Sesi 2 :Mengungkapkan kebutuhan dan keinginan serta cara
memenuhinya
Sesi 3 : Latihan Sikap asertif dalam mengungkapkan
kebutuhan dan keinginan
Sesi 4: Latihan mengatakan “Tidak” terhadap permintaan
orang lain
Sesi 5 : Mempertahankan sikap asertif dalam mengungkapkan
kebutuhan dan keinginan
MPKP
Adaptif
Inefektif
Outcome
Perilaku Adaptif
Perubahan tanda
dan gejala dan
peningkatan
kemampuan pada
klien RPK
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
12
Universitas Indonesia
2.1 Komponen Input Sistem Asuhan Keperawatan
Pengkajian merupakan tahap penting yang dilakukan untuk mengetahui penyebab
klien mengalami gangguan jiwa. Dengan pendekatan Model Stress Adaptation
Stuart (2013) membagi pengkajian menjadi beberapa komponen yaitu faktor
predisposisi, stressor presipitasi dan penilaian terhadap stressor serta sumber
koping. Teori adaptasi Roy membagi kedalam stimulus fokal, stimulus
kontekstual dan stimulus residual. Stimulus fokal yaitu semua stimulus yang
langsung menyerang individu, stimulus kontekstual yaitu semua stimulus yang
ada pada saat itu yang berkontribusi terhadap efek dari stimulus fokal dan
stimulus residual adalah faktor lingkungan yang memberi efek terhadap situasi
tertentu.
Konsep utama dari model adaptasi Roy adalah proses adaptasi. Roy mengatakan
bahwa proses adaptasi merupakan proses dan hasil dari berpikir dan berperasaan
manusia sebagai individu atau kelompok yang menggunakan kesadarannya untuk
berintegrasi dengan lingkungan (Roy,2009). Roy membagi dua bentuk mekanisme
koping yaitu regulator dan kognator. Roy juga menjelaskan tentang empat model
adaptif pada individu, yakni model fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan
interdependensi. Hasil akhir dari proses adaptasi adalah respons yang adaptif.
2.1.1 Faktor Predisposisi (Stimulus kontekstual)
Dengan menggunakan model teori adaptasi Roy terdapat stimulus kontekstual
yang merupakan stimulus yang dialami seseorang baik itu berasal dari eksternal
maupun internal
Stuart mengatakan bahwa pengalaman masa lalu memiliki makna dan pengaruh
tersendiri bagi setiap individu. Faktor predisposisi dibagi menjadi tiga elemen
yaitu biologi, psikologi dan sosiokultural.
2.1.1.1 Biologi
Faktor biologis terjadinya perilaku kekerasan pada individu dikaitkan
dengan struktur otak. Struktur otak yang berhubungan dengan perilaku
agresif adalah sistem limbik, lobus frontal dan hipotalamus. Sistem limbik
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
13
Universitas Indonesia
berkaitan erat dengan mediasi dorongan dasar (basic drive) dan ekspresi
emosi serta tingkah laku manusia seperti : makan, agresi dan respon
seksual, termasuk proses informasi dan memori. Sintesa informasi dan
memori. Sintesa informasi ke dan dari area lain di otak mempengaruhi
emosi dan perilaku (Stuart, 2013). Perubahan dalam fungsi sistem limbik
mengakibatkan terjadinya peningkatan atau penurunan perilaku agresif,
amuk dan rasa takut (Varcarolis, 2010). Lobus frontal memiliki peran
penting dalam mengarahkan perilaku dan berpikir rasional. Kerusakan
lobus frontal dapat mengakibatkan perubahan kepribadian, gangguan
penilaian, kesulitan dalam mengambil keputusan, melakukan hal yang
tidak pantas dan perilaku agresif. Hipotalamus juga berperan dalam
mempengaruhi terjadinya perilaku agresif/ kekerasan. Ketika individu
menghadapi stres yang berlebihan maka kondisi ini akan meningkatkan
level hormon steroid yang disekresi kelenjer adrenal, selanjutnya
hipotalamus merangsang kelenjer pituitari untuk menghasilkan lebih
banyak steroid (Varcarolis, 2010). Stimulasi yang berulang akan membuat
system berespon lebih kuat dan menyebabkan stress traumatik pada
individu yang bersifat permanen. Keadaan tersebut dapat merangsang
munculnya perilaku kekerasan maupun halusinasi terutama pada individu
yang rentan mengalami masalah tersebut. Ketidakseimbangan
neurotransmitter juga dapat menyebabkan munculnya perilaku kekerasan.
Norepinefrin merupakan neurotransmitter yang mempengaruhi mood dan
pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa gangguan pada zat ini akan
menyebabkan gangguan jiwa terutama yang berhubungan dengan mood,
ansietas, menarik diri, dan depresi. Serotonin berperan dalam
menyebabkan halusinasi, waham dan menarik diri pada pasien skizofrenia.
Gangguan pada kadar dopamin akan menimbulkan gangguan psikotik dan
parkinson. Asam Gama-amnobutirat berperan penting dalam penyakit
degeneratif seperti huttington dan alzheimer (Guyton, 1996;Videbeck,
2008;Stuart, 2009, Varcarilos, 2010).
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
14
Universitas Indonesia
Townsend (2013) memaparkan bahwa ada relasi yang kuat antara perilaku
kekerasan dengan alkohol dan penggunaan zat terlarang seperti kokain,
amfetamin, zat halusinogen dan anbolik steroid. Kejadian perilaku
kekerasan ditemukan 12 kali lebih besar pada penggunnaan alkohol dan
obat-obatan serta 16 kali lebih besar pada individu dengan ketergantungan
obat (Nolan, dkk dalam Stuart, 2013).
Faktor herediter dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya gangguan
jiwa. Penelitian akan adanya pengaruh genetik dalam gangguan jiwa telah
dikembangkan sejak tahun 1998 hingga 2003 oleh Human Genom Project.
Berdasarkan penelitian tersebut diketahui bahwa faktor genetik memiliki
peran dalam menyebabkan gangguan jiwa ditandai dengan banyaknya
penelitian yang melihat hubungan orang tua dan anak atau kejadian
gangguan jiwa pada kembar terutama monozigotik. Faktor genetik
berperan dalam kejadian depresi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Joska dan Stein (2008), ditemukan bahwa kejadian depresi meningkat
secara signifikan pada kembar monozigotik, yaitu sekitar 37%. Jika salah
satu dari kembar monozigotik mengalami depresi maka kembar lainnya
akan memiliki kemungkinan sebesar 37% juga.
2.1.1.2 Psikologi
Faktor predisposisi psikologi yang dapat menyebabkan gangguan jiwa
termasuk intelegensia, kemampuan bicara, moral, kepribadian,
pengalaman masa lalu, konsep diri, motivasi, pertahanan psikologis, san
kemampuan pengontrolan diri.
Konsep diri merupakan penilaian individu terhadap dirinya berdasarkan
perilaku sesuai dengan ideal dirinya (Stuart, 2013). Konsep diri dapat
berkembang dari masa kanak-kanak dan dipengaruhi oleh adanya
penerimaan, lingkungan, dan penghargaan dari orang lain. Ketiadaan
faktor-faktor tersebut atau adanya gangguan dalam masa pertumbuhan
akan mempengaruhi konsep diri individu.
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
15
Universitas Indonesia
Perubahan atau gangguan pada masa tumbuh kembang dianggap menjadi
faktor penyebab terjadinya gangguan jiwa berdasarkan teori psikoanalitik
Sigmund Freud’s dan Erikson. Freud (1969, dalam Varcarolis 2010)
menyatakan bahwa gangguan perilaku muncul apabila terjadi gangguan
dalam perkembangan psikoseksual yang terbagi menjadi 5 tahap yaitu fase
oral, anal, phalic, latency dan genital. Misalnya gangguan pada tahap anal
(1-3 tahun) dapat memunculkan gejala pola pikir kaku, Obsessive
Compulsive Disorder (OCD) atau perilaku merusak, tidak terarah dan
kejam. Erik erikson (1963, dalam Varcarolis, 2010) juga menghasilkan
teori yang sama seperti gangguan pemenuhan tugas perkembangan
industry pada usia sekolah dapat menyebabkan anak menjadi harga diri
rendah.
Faktor psikologis lainnya yang dapat menyebabkan gangguan jiwa adalah
pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan seperti kejadian
pengalaman melihat kecelakaan, peristiwa yang melukai, mendapat vonis
penyakit tertentu, saksi pembunuhan atau kekerasan, terpapar perang atau
bencana alam, serangan teoris, perampokan, sandera, korban kekerasan
fisik, seksual, emosional, termasuk juga konflik sipil. Bahkan pada
beberapa kejadian menunjukkan akibat pemberhentian kerja dan
perceraian serta proses persidangan kasus karena selama persidangan
berlangsung korban kekerasan terus terstimulus untuk mengingat kejadian
sehingga korban tidak dapat menganggapnya sebagai kejadian yang telah
lalu (Blanchard et al, 1996;Ehlers et al, 1998, dalam NCCMH, 2005).
Pertahanan psikologis juga memiliki peran penting terhadap munculnya
gangguan jiwa. Ketahanan seseorang terhadap stresor akan menghasilkan
bentuk perilaku yaitu adaptif dan maladaptif. Kemampuan untuk bereaksi
secara normal terhadap masalah. Ketahanan psikologis dapat diukur
menggunakan instrumen yang mengukur kepribadian, kemampuan,
pertahanan, konsep diri dan konflik interpersonal (Stuart, 2013). Gangguan
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
16
Universitas Indonesia
akibat pengalaman akan kejadian traumatik berhubungan dengan adanya
ketidakstabilan pertahanan psikologis. Maknanya, gejala hanya
berkembang pada orang yang memiliki kepribadian tidak stabil,
sebelumnya pernah memiliki masalah kesehatan mental (Gersons &
Carlier, 1992; Kinzie & Goetz, 1996; van der Kolk et al, 1996, dalam
NCCMH, 2005).
2.1.1.3 Sosiokultural
Predisposisi sosiokultural meliputi faktor usia, jenis kelamin, pendidikan,
penghasilan, pekerjaan, status sosial, latar belakang budaya, agama,
keyakinan dan pengalaman sosialisasi (Stuart, 2013).
Identifikasi faktor sosial dianggap penting karena berdasarkan beberapa
penelitian ditemukan bahwa faktor sosial menjadi faktor resiko munculnya
gangguan jiwa. Kecenderungan tingginya angka kejadian pada kelompok
jenis kelamin tertentu, kelompok usia tidak dapat disimpulkan secara
umum karena setiap bentuk gangguan memiliki kekhasan tersendiri.
Perubahan status sosial, seperti kehilangan pasangan, adanya penurunan
kemampuan fisik, kehilangan pekerjaan, penghasilan atau karena tidak
tercapainya suatu keinginan dapat menyebabkan munculnya gangguan
konsep diri (Stuart, 2009;Varcarolis & Halter, 2010).
Perbedaan budaya pada setiap wilayah juga mempegaruhi angka kejadian
gangguan jiwa atau perilaku maladaptif lainnya.. Sebagai contoh perilaku
minum-minuman beralkohol di negara-negara asia cenderung rendah, Hal
ini terjadi karena terdapat pengaruh budaya dalam bentuk pola pikir dan
perilaku individu. Budaya asia cenderung menganggap minuman
beralkohol merupakan minuman haram yang tidak baik dikonsumsi.
Contoh lainnya adalah pengguna NAPZA wanita jauh lebih sedikit jika
dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini karena wanita pengguna NAPZA
akan memiliki citra diri lebih negatif sehingga mencegah peningkatan
angka kejadian (Varcarolis & Halter, 2010).
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
17
Universitas Indonesia
Dukungan sosial dan hubungan baik dengan orang lain berperan terhadap
munculnya gangguan. Sebagaimana dikatakan bahwa tidak adanya
dukungan sosial setelah individu mengalami kejadian traumatik akan
meningkatkan risiko terjadinya PTSD kronik (Brewin et al, 2000;Ozer et
al, 2003). Pengalaman akan kejadian traumatik seringkali menimbulkan
rasa tidak percaya dengan orang lain terutama bagi korban kekerasan
sehingga mempengaruhi hubungan secara sosial. Hal ini akan
menyebabkan masalah menjadi semakin berat.
2.1.2 Faktor Presipitasi (Stimulus fokal)
Faktor presipitasi terkait dengan stimulus yang dipersepsikan individu
sebagai suatu kesempatan, tantangan, ancaman/tuntutan. Stimulus tersebut
dapat menguras energi, menyebabkan stres dan tekanan (Cohen, 2000 dalam
Stuart, 2013). Sedangkan menurut Roy stimulus fokal yaitu semua stimulus
yang ada pada saat itu yang berkontribusi terhadap efek dari stimulus fokal.
Faktor presipitasi dapat berupa elemen yang sama dengan faktor
predisposisi yaitu meliputi biologi, psikologi dan sosiokultural namun faktor
presipitasi memiliki kejelasan yang meliputi empat hal yaitu sifat stresor,
asal stresor, lamanya stresor yang dialami, dan banyaknya stresor yang
dihadapi oleh seseorang (Stuart, 2013). Faktor presipitasi terjadinya masalah
perilaku kekerasan pada klien skizoprenia dengan model adaptasi Roy
meliputi stresor biologi, psikologis dan sosial budaya.
Asal stresor terdiri dari stresor internal dan eksternal. Stresor internal
meliputi seluruh faktor yang menimbulkan kelemahan, menurunnya rasa
percaya diri, takut sakit, hilang kontrol atau terjadinya proses penuaan pada
individu. Stresor eksternal adalah stresor yang berasal dari luar individu,
seperti keluarga, kelompok masyarakat, dan lingkungan sekitar
Lama dan jumlah stresor yaitu terkait dengan sejak kapan, sudah berapa
lama, berapa kali kejadiannya (frekuensi) serta jumlah stresor. Bila baru
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
18
Universitas Indonesia
Kognitif
Afektif
Psikologi Perilaku
Sosial
pertama kali terkena masalah, maka penanganannya juga memerlukan suatu
upaya yang lebih intensif dengan tujuan untuk tindakan pencegahan primer.
Frekuensi dan jumlah stresor juga mempengaruhi individu, bila frekuensi
dan jumlah stresor terkena masalah lebih sedikit juga akan memerlukan
penanganan yang berbeda dibandingkan dengan yang mempunyai frekuensi
dan jumlah stresor lebih banyak. Dengan kata lain seorang perawat harus
memahami kondisi stresor yang dialami oleh seorang individu sehingga
penanganannya juga akan lebih baik.
Menurut Roy (2009), stimulus residual meliputi sikap, norma, keyakinan
dan pemahaman individu yang mempengaruhi keadaan tidak efektif.
Stimulu residual terdiri dari faktor internal dan eksternal yang relevan
dengan situasi yang ada tetapi sulit untuk diobservasi namun dapat
mempengaruhi munculnya gejala.
2.1.3 Penilaian terhadap stresor
Penilaian terhadap stresor merupakan suatu proses evaluasi secara
menyeluruh yang dilakukan oleh individu terhadap stresor dengan tujuan
untuk melihat tingkat kemaknaan dari suatu kejadian yang dialaminya
(Stuart, 2013). Terdapat lima respon yang dapat menggambarkan perubahan
keadaan psikologis individu yaitu kognitif, perilaku, afektif, psikologis dan
sosial (gambar 2.1). berikut penjelasan kelima faktor tersebut .
Gambar 2.1
Respon Penilaian Terhadap Stressor (Stuart,2013)
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
19
Universitas Indonesia
2.1.3.1 Respon kognitif:Bingung, perubahan status mental secara tiba-tiba,
disorientasi, gangguan daya ingat dan ketidakmampuan mengikuti petunjuk,
ada isi pikir yang delusi dan paranoid (Boyd & Nihart, 1998; Stuart, 2013),
tidak mampu memecahkan masalah, mendominasi (Keliat & Sinaga, 1991).
Pada individu dengan perilaku agresif atau perilaku kekerasan berpikir
secara irrasional akan tercermin dari kata-kata yang digunakan. Kata-kata
yang tidak logis menunjukkan cara berpikir yang salah dan kata-kata yang
tepat menunjukkan cara berpikir yang tepat.
2.1.3.2 Respon afektif: perasaan tidak nyaman, merasa tidak berdaya, jengkel,
merasa ingin berkelahi, mengamuk, bermusuhan, sakit hati, menyalahkan,
menuntut, mudah tersinggung, euporia yang berlebihan atau tidak tepat, dan
afek labil Stuart (2013), iritabilitas, depresi, apatis (Boyd & Nihart, 1998).
2.1.3.3 Respon Fisiologis: frekuensi pernafasan meningkat, ketegangan tubuh,
muka memerah, dan sorot mata yang tajam (Rawlins, Williams & Beck,
1993) peningkatan frekuensi nadi, tekanan darah serta keringat yang banyak
(Boyd & Nihart, 1998). Respon fisiologis pada perilaku kekerasan timbul
karena kegiatan sistem syaraf otonom bereaksi terhadap sekresi epinefrin
sehingga tekanan darah meningkat, takikardi (frekuensi denyut jantung
meningkat), wajah memerah, pupil membengkak, frekuensi pembuangan
urin meningkat. Peningkatan denyut jantung, mempersiapkan orang untuk
bergerak, dan peningkatan aliran darah ke tangan, menyiapkan mereka
untuk menyerang (Novaco, 2010). Keringat meningkat (terutama ketika
kemarahan itu intens), sekresi oleh adrenal medula dari katekolamin,
epinefrin, dan norepinefrin dan oleh glukokortikoid korteks adrenal
memberikan sistem simpatik efek yang memobilisasi tubuh untuk tindakan
segera. Menurut Stuart (2013), Perilaku kekerasan dapat dilihat dari wajah
tegang, tidak bisa diam, mengepalkan atau memukulkan tangan, rahang
mengencang, peningkatan pernafasan, dan kadang tiba-tiba seperti kataton.
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
20
Universitas Indonesia
2.1.3.4 Respon perilaku: mondar-mandir, tidak mampu untuk duduk tenang, tangan
mengepal, menghentikan aktivitas motorik dengan tiba-tiba, kata-kata
menekan, suara keras, memerintah (Stuart, 2013). Kekerasan fisik yang
ditujukan pada diri sendiri berupa ancaman melukai. Kekerasan pada orang
lain berupa serangaan fisik, memukul dan melukai. Kekerasan pada
lingkungan berupa merusak perabotan rumah tangga, merusak harta benda
dan membanting pintu (Morison, 1993).
2.1.3.5 Respons sosial:cenderung menyalahkan orang lain, membicarakan
kesalahan orang lain, mengejek, berkata kasar dan menolak hubungan
dengan orang lain, melanggar batas jarak personal saat berinteraksi
(Rawlins, Williams & Beck, 1993), kekerasan verbal terhadap orang lain
berupa kata-kata kasar, nada suara tinggi dan bermusuhan (Morison, 1993).
Ancaman yang ditujukan pada objek nyata atau imajiner, menimbulkan
gangguan untuk menarik perhatian, suara keras, kata-kata menekan (Stuart,
2013).
2.1.4 Sumber Koping
Sumber koping adalah pilihan atau strategi yang dapat membantu untuk
memutuskan apa yang terbaik dilakukan. Menurut Stuart (2013) sumber
koping yang dimiliki individu dalam menghadapi depresi yang dialami
terdiri dari kemampuan individu (personal ability), dukungan sosial (Social
Support), material asset dan positive believe.
2.1.4.1Kemampuan Individu
Peningkatan kemampuan personal terutama dalam menghadapi masalah dan
dampaknya akan mempengaruhi mekanisme koping pasien. pengetahuan
dan intelegensia memungkinkan individu untuk melihat cara yang berbeda
dalam menghadapi situasi sulit. Kemampuan personal yang ingin dicapai
oleh pasien adalah kemampuan dalam menghadapi situasi sulit, pengetahuan
pasien akan kondisi sehat, sakit, cara penyelesaiannya.
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
21
Universitas Indonesia
2.1.4.2 Dukungan sosial
Dukungan sosial menjadi penting keberadaannya bagi pasien dalam
menghadapi masalah. Tanpa adanya dukungan sosial yang cukup,
pengetahuan dan kemampuan hanya akan menjadi sia-sia karena mengalami
hambatan dalam mengaplikasikannya. Dukungan sosial dapat diberikan oleh
pasangan, keluarga, lingkungan dan masyarakat sekitar.
Keluarga berperan sebagai pemberi motivasi, pengawas, sumber ekonomi
dan lainnya. Adanya dukungan sosial akan meningkatkan motivasi pasien
untuk meningkatkan status kesehatannya. Peran ekonomi juga menjadi
faktor penting. Hal ini karena pasien dengan gangguan jiwa biasanya akan
mengalami penurunan produktivitas sehingga mempengaruhi penghasilan.
Ini berarti segala bentuk dukungan hidup sehari-hari dan kebutuhan akan
pengobatan sementara akan dipenuhi oleh anggota keluarga lainnya. Fungsi
pengawasan berperan dalam mengontrol pengobatan dan melihat
perkembangan kemajuan atau kemunduran keadaan pasien. pengawasan
akan aplikasi terapi yang telah dipelajari juga dapat dilakukan.
2.1.4.3 Aset materi
Kepemilikan jaminan kesehatan, sumber rujukan dan pelayanan kesehatan
dimasyarakan serta sumber keuangan merupakan aset materi yang dimiliki
oleh pasien untuk meningkatkan kemampuan dalam menghadapi masalah.
2.1.4.4Keyakinan positif
Keyakinan diri yang positif dapat meningkatkan harapan sehingga
mempengaruhi kemampuan individu dalam menghadapi masalah bahkan
dalam situasi yang membingungkan.
2.1.5 Diagnosa Keperawatan
Hasil dari pengkajian faktor predisposisi, stresor presipitasi dan penilaian
terhadap stresor menghasilkan beberapa diagnosa keperawatan. Pada
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
22
Universitas Indonesia
penulisan ini diagnosa yang diangkat adalah Resiko Perilaku Kekerasan
(RPK).
Risiko perilaku kekerasan adalah perilaku individu yang dapat
membahayakan diri sendiri, orang lain baik secara fisik, emosional dan atau
seksualitas (Nanda, 2012). Perilaku kekerasan merupakan salah satu respon
terhadap stresor, ditunjukkan dengan perilaku aktual melakukan kekerasan
baik pada diri sendiri, orang lain maupun lingkungan baik secara verbal
maupun non verbal (Stuart, 2013).
Dari survey yang dilakukan oleh The National Institute of Mental Nursing
Health’s Epidemiologic Cathment Area terhadap 10.000 orang yang pernah
melakukan perilaku kekerasan ditemukan 37,7 % berhubungan dengan
penyalahgunaan zat, 24,6% alkoholik, 12,7% skizoprenia, 11,7% gangguan
depresi berat, 11% gangguan bipolar dan 2,1% tanpa gangguan (Kaplan &
Saddock, 1995 dalam keliat 2003).Wahyuningsih (2009) menyatakan bahwa
klien skizopenia memiliki riwayat kekerasan baik sebagai pelaku, korban
atau saksi sebanyak 62,5%. Sehingga dapat disimpulkan perilaku kekerasan
dapat dipicu dari gejala positif skizoprenia yaitu halusinasi.
Berdasarkan jumlah klien yang dirawat oleh mahasiswa diruangan Gatot
kaca sebanyak 81 orang, diperoleh gambaran diagnosis medis antara lain
Skizoprenia paranoid 60 klien (85,18%), psikotik akut 10 klien (12,3%) dan
bipolar 2 orang (2,4%). Sedangkan gambaran diagnosa keperawatan
diperoleh sebagai berikut resiko perilaku kekerasan 80,24%, halusinasi
87,65%, isolasi sosial 55,5%, HDR 55,5% dan waham 7,4%.
2.2 Komponen Proses Sistem Asuhan Keperawatan
Penatalaksanaan tindakan keperawatan untuk menyelesaikan diagnosa
keperawatan resiko perilaku kekerasan dilakukan dalam konteks
Manajemen Pelayanan Keperawatan Profesional (MPKP). MPKP terdiri
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
23
Universitas Indonesia
atas 4 pilar utama yaitu Management Approach, Compensatory Reward,
Professional Relationship dan Patient Care Delivery.
Pilar pertama adalah pendekatan manajemen yang terdiri dari: perencanaan
(planning), pengorganisasian (organizing), pengarahan (directing), dan
pengendalian (controlling). Fungsi perencanaan terdiri dari kegiatan
merumuskan visi, misi, filosofi, rencana jangka pendek (harian, bulanan dan
tahunan). Fungsi pengorganisasian terdiri dari kegiatan pembentukan
struktur organisasi, jadual dinas dan daftar alokasi pasien. Fungsi
pengarahan terdiri dari kegiatan operan, pre dan post conference, supervisi,
pendelegasian dan penciptaan iklim motivasi. Fungsi pengendalian terdiri
dari kegiatan penghitungan indikator mutu, survey diagnosa keperawatan
dan medis, survey kepuasan, dan audit dokumentasi
Kompensasi dan penghargaan merupakan pilar kedua dari pendekatan
manajemen yang mengarahkan bagaimana cara pembenrian penghargaan
terhadap staf ruang MPKP terhadap kinerja yang sudah dilakukannya.
Kegiatan yang dilakukan dalam pilar ini adalah penilaian kinerja dan
pengembangan staf. Pilar yang ketiga yaitu hubungan professional antara
perawat dengan dengan perawat sendiri, misalnya dalam melakukan rapat
tim keperawatan, dan juga antara perawat dengan profesi kesehatan lain
misalnya melalui rapat tim kesehatan, konferensi kasus, dan visit dokter.
Pilar keempat adalah pemberian asuhan keperawatan yang menjelaskan
tentang kompetensi yang harus dimiliki oleh perawat ruang MPKP dalam
memberikan asuhan keperawatan bagi klien dan keluarga yang pada
penulisan ini lebih menekankan pada penatalaksanaan diagnosa resiko
perilaku kekerasan. Berdasarkan paparan penatalaksanaan diagnosa diatas
diketahui bahwa terdapat beberapa pikoterapi yang dapat diterapkan untuk
menyelesaikan diagnosa tersebut yaitu Cognitive Behaviour Therapy (CBT)
dan Assertiveness Training.
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
24
Universitas Indonesia
2.2.1 Mekanisme Koping
Stuart (2013) menyatakan bahwa mekanisme koping merupakan segala
upaya yang diarahkan pada manajemen stres. Ada tiga tipe mekanisme
koping yaitu fokus permasalahan, fokus secara kognitif dan fokus pada
emosi. Untuk mekanisme konstruktif, individu menjadikan kecemasan
sebagai suatu alaram atau tanda peringatan. Individu menerimanya sebagai
suatu pilihan dalam penyelesaian masalah seperti negosiasi terhadap,
meminta saran pada orang lain. Sedangkan mekamisme koping yang
destriktif yaitu dengan menghindari kecemasan tersebut tanpa
menyelesaikan permasalahan yang terjadi.
Roy juga menjelaskan ada dua bentuk .mekanisme koping, yaitu regulator
dan kognator. Selain mekanisme koping, Roy juga menjelaskan tentang
empat model adaptif pada individu, yakni model fisiologis, konsep diri,
fungsi peran dan interdependensi. Hasil akhir dari proses adaptasi berupa
respon adaptif, namun jika perilaku yang ditampilkan individu tidak
menggambarkan integritas maka akan berubah menjadi respon yang
inefektif (Robinson & Kish, 2001).
Roy (2009) menjelasakan bahwa mekanisme koping yang terjadi pada
individu diharapkan mampu mencapai mode adaptasi yang telah dilakukan
yang terdiri dari proses :
2.2.1.1 Fungsi fisiologis (biologis) yaitu sistem adaptasi terhadap oksigenasi,
nutrisi, eliminasi, aktivitas dan istirahat, integritas kulit, indera, cairan
dan elektrolit, fungsi neurologis dan endokrin
2.2.1.2 Konsep diri (Psikologis) yaitu kemampuan klien mengenali pola-pola
interaksi sosial dalam berhubungan dengan orang lain
2.2.1.3 Fungsi peran (Sosiokultural) yaitu proses penyesuaian yang berhubungan
dengan bagaimana peran seseorang dalam mengenal pola-pola interaksi
sosial dalan berhubungan dengan orang lain
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
25
Universitas Indonesia
2.2.1.4 Interdependen (Sosiokultural) merupakan kemampuan seseorang
mengenal pola-pola tentang kasih sayang, cinta yang dilakukan melaui
hubungan secara interpersonal pada tingkat individu maupun kelompok
2.2.2 Penatalaksanaan Risiko Perilaku Kekerasan
2.2.2.1 Cognitive Behaviour Therapy
Pada bagian ini akan dibahas mengenai pengertian Cognitive Behaviour
Therapy, tujuan, teknik dan prosedur Cognitive Behaviour Therapy,
keuntungan Cognitive Behaviour Therapy.
Cognitive behaviour therapy (CBT) adalah terapi yang membantu individu
merubah cara berfikir dan perilakunya sehingga perubahan itu membuat
individu merasa lebih baik, dan terapi ini berfokus pada masalah here and
now serta kesulitan yang dihadapi (British Association for Behavioural
and Cognitive Psychotherapies, 2006).
CBT merupakan kombinasi dari terapi cognitive dan behaviour dan
memiliki pengaruh untuk mengatasi gangguan mood dan ansietas
(Chambless & Ollendick, 2001; DeRubeis & Crists-Christoph, 1998 dalam
Cully & Teten, 2008). CBT adalah salah satu bentuk terapi komunikasi
(Kassel & Rais, 2010). Sehingga dapat dikatakan bahwa CBT merupakan
terapi yang menggunakan pendekatan penyelesaian masalah dengan
mempelajari cara pengontrolan pikiran melalui perubahan persepsi
terhadap orang dan situasi tertentu.
CBT dilakukan melalui hubungan interpersonal pasien dengan terapis.
Hubungan yang mengedepankan rasa empati, tidak memaksakan, selama
pasien membagi pengalamannya mengalami skizofrenia. Pada terapi ini,
terapis tidak berorientasi pada mengarahkan klien untuk berfikir bahwa
gejala yang dialami tidak rasional melainkan berusaha membantu pasien
untuk fokus pada keyakinan pasien akan gejala yang dirasakan dan
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
26
Universitas Indonesia
menciptakan mekanisme pertahanan yang berhubungan dengan gejala
tersebut.
2.2.2.2 Tujuan
Stallard (2002), menyebutkan bahwa CBT adalah intervensi terapeutik
yang bertujuan untuk mengurangi tingkah laku mengganggu dan
maladaptif dengan mengembangkan proses kognitif. CBT didasarkan pada
asumsi bahwa afek dan tingkah laku adalah produk dari kognisi oleh
karena itu intervensi kognitif dan tingkah laku dapat membawa perubahan
dalam pikiran, perasaan, dan tingkah laku. CBT pada dasarnya bertujuan
untuk mengubah keadaan atau status emosi individu, akan tetapi emosi
tidak dapat diintervensi secara langsung. Emosi dihasilkan dari adanya
stimulasn internal dan eksternal dan dipengaruhi oleh adanya perubahan
pola pikir dan perilaku. Tujuan untuk menstabilkan emosi dicapai
menggunakan CBT dengan merubah pikiran dan perilaku yang
berkontribusi menyebabkan distress emosi. CBT bertujuan untuk
menciptakan ketrampilan yang memungkinkan individu untuk
meningkatkan kesadaran akan pikiran dan perasaannya, mengidentifikasi
bagaimana situasi, pikiran dan perilaku mempengaruhi perasaan dan
meningkatkan kemampuan untuk merubah pikiran dan perilaku maladaptif
(Cully & Teten, 2008).
2.2.2.3 Teknik Pelaksanaan Terapi
Sesi I : Identifikasi pikiran dan keyakinan maladaptif
CBT meyakini bahwa terdapat 3 struktur pola pikir maladaptif atau
disfungsional terjadi pada pasien yang mengalami gangguan
psikologis yaitu pikiran otomatis, keyakinan menengah dan
keyakinan inti.
Terapi kognitif percaya bahwa respon maladaptif timbul dari distorsi
kognitif, distorsi tersebut dapat meliputi kesalahan logika, kesalahan
dalam penalaran, atau pandangan dunia individual yang tidak
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
27
Universitas Indonesia
mencerminkan realitas yang distorsi mungkin baik positif atau
negatif.
Jenis-jenis pikiran negatif atau distorsi pikiran yang ditemukan pada
klien depresi menurut Varcarolis (2008), Cullen dan Teten (2008),
Stuart (2013) :
1. All or nothing thinking yaitu seseorang memikirkan segala
sesuatu seperti warna hitam dan putih, tidak berupaya untuk
menggapai hal yang tinggi karena pada jenis distorsi ini
seseorang cenderung menghindari hal-hal yang rumit dalam
kehidupannya.
2. Overgeneralization yaitu berpikir bahwa segala sesuatu yang
dilakukan tidak akan menghasilkan yang baik, mereka cenderung
menggunakan pemikiran sesuatu yang dihasilkan akan berakibat
buruk atau kurang bagus. Labeling yaitu bentuk
overgeneralization dimana karakteristik atau kejadian dijadikan
sebagai pedoman atau standar bagi diri sendiri atau orang lain.
Contohnya : ”karena gagal dalam ujian kompetensi, saya akan
mengalami kegagalan dalam hal lain, saya lebih baik mundur”.
3. Mental Filter yaitu fokus pada kejadian negatif atau kejadian
buruk dan membiarkan pikiran tersebut mencemari atau
mempengaruhi hal yang lain.
4. Disqualifying the positive yaitu mempertahankan pandangan
negatif dengan mengulang informasi yang mendukung
pandangan positif menjadi sesuatu yang tidak relevan, tidak
akurat atau seseuatu yang tidak dipertimbangkan
5. Jumping on conclusions yaitu membuat interpretasi negatif tanpa
adanya fakta yang mendukung. Jenis distorsi ini terbagi menjadi
dua yaitu : 1) mind reading ditandai dengan menyimpulkan
pikiran negatif, respon dan motif dari orang lain,. percaya
seseorang mengetahui pikiran orang lain tanpa mengecek
kebenarannya. Contoh :”mereka pasti berfikir kalau dirinya
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
28
Universitas Indonesia
terlalu gemuk atau terlalu kurus”.; 2) fortune-teeling terror,
mengasumsi hasil negatif dari orang lain sebagai sesuatu yang
tidak dapat dielakkan lagi.
6. Magnification or minimization yaitu melebih-lebihkan sesuatu
(seperti kegagagalan atau kesuksesan orang lain) tapi tidak
mengakui hal tersebut terdiri dari catastrophizing yaitu sebagai
bentuk yang ekstrim dari magnification dimana kesalahan
diasumsikan sebagai sesuatu hasil yang akan terjadi.
7. Emotional reasoning yaitu menggambarkan kesimpulan
berdasarkan atas pernyataan emosional. Should and must
statement yaitu memberanikan diri mengarahkan diri sendiri
untuk memegang kontrol dari hal-hal yang tidak realistik dari
kejadian eksternal.
8. Personalization yaitu merasa bertanggungjawab atas kejadian
eksternal atau sistuasi yang terjadi diluar kontrol personal
9. Mudah menyimpulkan (Arbitary Inference)
Menggambarkan kesimpulan yang salah tanpa didukung data.
Contoh :”teman saya tidak pernah lama menyukai saya sebab ia
tidak mau diajak pergi”.
10. Perfeksionis (Perfectionism)
Segala harus dilakukan dengan sempurna untuk merasakan
kesempurnaan dirinya, contoh : aku akan merasa gagal jika aku
tidak mendapatkan nilai A untuk semua ujianku”
11. Ekternalisasi nilai atau standar diri (Externalization self worth)
Menentukan tata nilai sendiri untuk diterapkan pada orang lain,
contoh :”saya sudah berusaha untuk kelihatan baik setiap waktu
tetapi teman-teman saya yang tidak menginginkan saya ada
disampingnya.”
Pengkajian terhadap pikiran dan perilaku negatif klien merupakan
langkah awal yang dilakukan dalam terapi ini. Klien akan
menceritakan tentang pikiran, perasaan dan perilaku negatif yang
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
29
Universitas Indonesia
dialami. Pikiran negatif biasa dianggap sebagai pikiran yang nyata.
Pikiran otomatis muncul pada situasi tertentu dan muncul lebih cepat
dibandingkan dengan munculnya pikiran positif terhadap diri.
Pikiran otomatis merupakan manifestasi nyata dari adanya keyakinan
yang salah pada pasien dengan gangguan psikiatri.
Keyakinan menengah dapat dianggap sebagai pola yang diikuti oleh
individu mengenai kondisi tertentu namun tidak spesifik. Individu
menciptakan asumsi berdasarkan informasi yang diterima dari
lingkungan dan pola pikirnya akan berkontribusi menciptakan
pikiran dan perilaku tertentu. Sedangkan keyakinan inti adalah
keyakinan yang dipersepsikan berdasarkan pengalaman. Karena
pasien gangguan jiwa cenderung menerima informasi dengan
negatif, keyakinan positif akan cenderung perfasif.
Hasil identifikasi pikiran otomatis kemudian di informasikan dan
dijelaskan proses terjadinya pikiran tersebut kepada pasien untuk
meningkatkan kesadaran akan gangguan kognitif yang terjadi. Hal
ini menjadi penting karena kesadaran akan gangguan yang dialami
dan pemahaman akan membantu proses pelaksanaan terapi dan
tingkat keberhasilan sebagaimana dijelaskan oleh Norcross (2010)
pada penelitiannya mendapati bahwa penyusunan tujuan bersama
meningkatkan pelayanan kesehatan pada pasien gangguan jiwa
sedangkan pada pasien berguna mencegah kegagalan terapi,
menurunkan gejala dan meningkatkan kemampuan untuk
beradaptasi.
Pada tahap berikutnya, seluruh pikiran otomatis dikategorikan atau
diprioritaskan denga melihat berat dan ringannya pikiran otomatis
yang muncul. Berbagai pendekatan dapat dilakukan untuk
memprioritaskan pikiran ototmatis seperti membuat skala untuk
setiap pikiran dan mengurutkannya dari pikiran bernilai besar ke
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
30
Universitas Indonesia
kecil. Atau cara lainnya adalah melihat frekuensi kemunculan
pikiran ototmatis berdasarkan situasi tertentu. Perawat harus mampu
menekankan pada kebutuhan yang berorientasi pada pasien bukan
kebutuhan atau berdasarkan persepsinya.
Sesi 2 : Mengubah pola pikir dan keyakinan maladaptif
Perawat membantu pasien untuk mengenali pikiran otomatisnya,
mengklasifikasikan, mengenal keuntungan dan kerugian pikiran
otomatis. Perawat membantu klien untuk mengenal distorsi
negatifnya. Perawat dan klien sama-sama mempelajari bentuk
distorsi dan mempelajari bentuk distorsi yang ada pada klien.
perawat membantu klien untuk mengembangkan keseimbangan
berfikir dengan menanyakan beberapa pertanyaan seperti :
1. Bukti apa menunjukkan bahwa pikiran tersebut nyata?
2. Bukti apa yang menunjukkan bahwa pikiran tersebut tidak
nyata?
3. Apa yang harus saya katakan pada orang yang saya sayangi
jika ia mengalami hal ini?
4. Bila pikiran tersebut nyata apa kejadian buruk yang akan
terjadi?
5. Bila pikiran tersebut nyata apa kejadian baik yang akan
terjadi?
6. Berdasarkan beberapa sumber yang kamu miliki, apakah ada
pikiran alternatif lain yang bisa muncul berdasarkan situasi
tersebut?
7. Bisakan orang yang saya percaya, memandang situasi ini
dalam cara yang berbeda?
Pada situasi tertentu, pasien tertentu, kemampuan untuk merubah
pola pikir otomatis maladaptif tidak berjalan lancar sehingga perlu
diberikan motivasi lebih berupa reinforsemen positif dan
pemahaman pentingnya kemampuan mengkounter bagi pasien.
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
31
Universitas Indonesia
Apabila pasien telah memiliki kemampuan melihat adanya bukti
kontraindikasi terhadap pikiran otomatis, langkah selanjutnya adalah
membantu pasien untuk menyelesaikan masalah daripada menguji
pikiran baru yang tercipta.
Sesi 3 : Perubahan perilaku
Pendekatan terapi keperawatan yang bertujuan merubah perilaku
maladaptif seperti mondar-mandir, tidak mampu untuk duduk
tenang, tangan mengepal, menghentikan aktivitas motorik dengan
tiba-tiba, kata-kata menekan, suara keras, memerintah (Stuart, 2013)
diawali dengan memberikan pemahaman kepada pasien hubungan
perubahan mood dengan perilaku. Langkah selanjutnya yaitu
membantu klien mengidentifikasi bentuk aktivitas yang dapat
dilakukan untuk meningkatkan perasaan positif, atau perilaku lain
yang dapat membantu mengatasi pikiran otomatis.
Sesi 4 : Penyelesaian masalah
Penyelesaian masalah merupakan teknik yang secara umum dalam
proses mengidentifikasi mekanisme koping positif dalam kehidupan
sehari-hari. Dalam pengertian lainnya dikatakan bahwa penyelesaian
masalah adalah langkah untuk menganalisa masalah,
mengidentifikasi berbagai pilihan penyelesaian maslah, evaluasi dan
memutuskan perencanaan serta mengembangkan strategi dalam
pelaksanaan perencanaan (Cully & Teten, 2008).
Sesi 5 : Evaluasi hasil pelaksanaan CBT
Pada sesi lima kegiatan yang dilakukan adalah menjelaskan
pentingnya obat dan terapi modalitas untuk mencegah kekambuhan
dan mempertahankan serta membudayakan pikiran positif dan
perilaku positif yang telah dilatih.
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
32
Universitas Indonesia
2.2.3 Assertiveness Training
Assertiveness Training merupakan tindakan untuk melatih seseorang
mencapai perilaku asertif (Kaplan & Saddock, 2010). Menurut Hopkins
(2005), Assertive Training yaitu terapi untuk melatih kemampuan
seseorang untuk mengungkapkan pendapat, perasaan, sikap dan hak tanpa
disertai adanya perasaan cemas. Assertive Training merupakan komponen
dari terapi perilaku dan suatu proses dimana individu belajar
mengkomunikasikan kebutuhan, menolak permintaan dan
mengekspresikan perasaan positif dan negatif secara terbuka, jujur,
langsung dan sesuai dengan pemahaman. Individu menggunakan respon
asertif mempertahankan haknya dan respek terhadap hak dan harkat orang
lain (Fortinash, 2004).
2.2.3.1 Tujuan
Tujuan Assertive Training yaitu meningkatkan penilaian diri dan orang
lain, meningkatkan harga diri, mengurangi kecemasan, meningkatkan
kemampuan dalam membuat keputusan hidup, mengekpresikan sesuatu
secara verbal dan non verbal (Hopkins, 2005), mengekpresikan kebutuhan
dan hak (Forkas, 1997), melatih keterampilan interpersonal dasar
seseorang (Stuart & Laraia, 2005), mempelajari prosedur kognitif, afektif
dan perilaku untuk meningkatkan kemampuan interpersonal, mengurangi
penghalang secara kognitif dan afektif untuk berperilaku asertif seperti
kecemasan, pikiran tidak rasional, perasaan bersalah dan marah.
2.2.3.2 Teknik Pelaksanaan terapi
Menurut Stuart dan Laraia (2005) dalam membentuk perilaku asertif ,
tahapan yang digunakan yaitu :
a. Describing, yaitu menggambarkan perilaku baru untuk dipelajari
b. Learning, Yaitu belajar perilaku baru melalui petunjuk dan
demonstrasi
c. Practicing, yaitu mempraktekkan perilaku baru dengan umpan balik
d. Transferring, menerapkan perilaku baru kedalam lingkungan yang
nyata
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
33
Universitas Indonesia
Dimodifikasi dari penelitian dan teori Forkas (1997), Stuart dan Laraia
(2005) dan Vinick (1983) serta Assertiveness Training yang dikembangkan
dan diterapkan oleh mahasiswa spesialis keperawatan jiwa angkatan 1 dan
2 tahun 2008 dan 2009 dibagi menjadi lima sesi yaitu :
a. Sesi satu : melatih kemampuan mengungkapkan pikiran dan perasaan.
Tujuannya : klien mampu mengidentifikasi pikiran dan perasaan dan
mengungkapkan pikiran, perasaan dengan cara yang tepat.
Tehnik pelaksanaan melalui describing, modelling, role playing,
feedback, transferring.
b. Sesi dua: melatih kemampuan mengungkapkan keinginan dan
kebutuhan.
Tujuannya : klien mampu mengidentifikasi kebutuhan (sesuatu yang
memang diperlukan oleh klien) dan keinginan (sesuatu yang
diinginkan tapi kurang diperlukan oleh klien) dan mampu
mengungkapkan dengan cara yang tepat.
Tehnik pelaksanaan melalui describing, modelling, role playing,
feedback, transferring.
c. Sesi tiga : mengekspresikan kemarahan.
Tujuannya yaitu: mengidentifikasi penyebab marah, alasan, ekspresi
marah yang biasa dilakukan dan dampaknya serta melatih klien cara
mengekspresikan marah secara tepat yang meliputi bagaimana,
mengapa dan alternatif.
Tehnik pelaksanaan melalui describing, modelling, role playing,
feedback, transferring.
d. Sesi empat : mengatakan ”tidak” untuk permintaan yang tidak rasional
dan menyampaikan alasan.
Tujuannya: melatih klien mengidentifikasi permintaan yang tidak
rasional dan alasannya, mengidentifikasi cara biasa klien menolak dan
dampaknya, mengatakan ”tidak” untuk permintaan yang tidak
rasional dan alasan secara asertif.
Tehnik pelaksanaan melalui describing, modelling, role playing,
feedback, transferring.
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
34
Universitas Indonesia
e. Sesi lima : mempertahankan perubahan asertif dalam berbagai situasi.
Tujuannya: klien memahami perilaku asertif yang telah dilatih,
memahami hambatan perilaku asertif, memahami manfaat perilaku
asertif dan mempertahankan perilaku asertif pada situasi yang lain.
Tehnik pelaksanaan melalui describing, transferring dan feedback
Penatalaksanaan keperawatan dalam mengatasi resiko perilaku kekerasan
dengan menggunakan CBT dan AT dilakukan dengan pendekatan model
Adaptasi Stuart dan Model Adaptasi Roy. Konsep utama model Roy adalah
adaptasi. Roy mengungkapkan adaptasi merupakan proses dan hasil dari
berpikir dan berperasaan manusia sebagai individu atau kelompok yang
menggunakan kesadarannya untuk berintegrasi dengan lingkungan (Roy,
2009).
Model adaptasi Roy digambarkan sebagai suatu model yang terdiri atas
input, proses kontrol, efektor dan output. Input pada manusia berupa
stimulus-stimulus yang diterima baik yang berasal dari lingkungan luar atau
dari dirinya sendiri. Stimulus tersebut meliputi stimulus internal yang
merupakan tingkat adaptasi individu dan menggambarkan rentang stimulus
yang bisa ditoleransi oleh individu (Fitzpatrick & Whall, 1989). Input selain
berupa stimulus yang terdiri dari faktor predisposisi dan presipitasi juga
terdiri dari penilaian terhadap stresor dan sumber koping. Stimulus yang
masuk melalui input selanjutnya akan diproses melalui proses kontrol.
Proses kontrol dari manusia adalah mekanisme koping. Ada dua mekanisme
koping, yaitu regulator dan kognator. Kedua mekanisme koping ini
bertindak untuk mencapai mode adaptif. Regulator merupakan mekanisme
koping yang berespon terhadap system saraf, kimiawi, dan endokrin (Tomey
& Alligood, 2006). Sedangkan kognator merupakan mekanisme koping
yang berespon terhadap jalur pikiran dan emosi, meliputi proses persepsi-
informasi, proses belajar, pengambilan keputusan, dan emosi (Fitzpatrick &
Whall, 1989). Mekanisme koping regulator lebih cenderung untuk masalah
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
35
Universitas Indonesia
fisik atau mekanisme tubuh, sedangkan kognator lebih cenderung kearah
pikiran dan emosi.
Mekanisme koping yang diterapkan bertujuan untuk mencapai model
adaptif, yang telah disebutkan sebelumnya. Keempat model ini ditentukan
dengan menganalisa dan mengelompokkan perilaku klien, digambarkan
sebagai suatu system yang berinteraksi dengan regulator dan kognator,
sehingga perilaku yang dihasilkan dari aktivitas regulator dan kognator ini
bisa diamati dalam keempat model adaptif tersebut (Fitzpatrick & Whall,
1989). Stimulus yang ada akan mempengaruhi invidivu sehingga akan
membuat mekanisme koping bekerja (regulator dan kognator) yang nantinya
akan mempengaruhi mode adaptif individu tersebut. Perilaku yang muncul
adalah hasil proses mekanisme koping terhadap model adaptif yang
terganggu akibat stimulus yang muncul
Efektor dalam model Roy ini terbagi atas empat model adaptif yaitu model
fisiologis, yaitu berkaitan dengan proses fisik dan kimiawi meliputi fungsi
dan aktivitas makhluk hidup. Ada lima kebutuhan yang teridentifikasi pada
model ini, yaitu oksigenasi, nutrisi, eliminasi, aktivitas dan tidur, dan
perlindungan. Kebutuhan dasar dari model ini adalah tercapainya integritas
fisiologis (Tomey & Alligood, 2006). Berdasarkan model fisiologis ini,
semua hal yang berkaitan dengan masalah mekanisme kerja tubuh untuk
mencapai suatu kondisi yang berdaptasi. Model selanjutnya adalah konsep
diri, yang merupakan salah satu model psikososial. Model ini focus pada
psikososial dan spiritual makhluk hidup. Kebutuhan dasar dari moel ini
adalah bagaimana individu untuk menjadi sesuatu atau bermakna dengan
perasaan kesatuan, bermakna dan berguna bagi lingkungan. Konsep diri
merupakan gabungan dari keyakinan dan perasaan tentang dirinya yang
terbentuk dari persepsi internal dan persepsi dari luar dirinya sendiri
(Tomey & Alligood, 2006). Model konsep diri ini adalah merupakan
bagaimana persepsi diri individu tentang dirinya dan apa arti dan manfaat
individu untuk orang lain dan lingkungan.
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
36
Universitas Indonesia
Model yang ketiga adalah model fungsi peran, yaitu model sosial yang
berfokus pada peran individu di masyarakat. Peran yang merupakan
pengharapan tentang bagaimana individu menjalankan posisinya. Peran
yang ditampilkan individu bersupa peran primer, sekunder dan tersier. Peran
primer merupakan perilaku utama yang dipakai oleh individu selama
periode tertentu, berdasarkan usia, jenis kelamin, dan tahap perkembangan.
Peran sekunder meliputi semua asumsi individu untuk memenuhi tugas yang
berkaitan dengan tahap perkembangan dan peran primer. Sedangkan peran
tersier berkaitan dengan peran sekunder dan menggambarkan bagaimana
inividu memenuhi peran yang mereka jalani. Peran tersier ini menetap
secara alami, bebas dipilih oleh individu, dan meliputi aktivitas seperti klub
atau hobi (Tomey & Alligood, 2014). Model peran ini adalah peran yang
disandang oleh individu dalam kehidupannya, dimana individu tidak hanya
menyandang satu peran tapi banyak peran baik untuk diri sendiri atau di
komunitas dimana mereka berada.
Model yang terakhir adalah model interdependensi atau saling
ketergantungan. Model ini berfokus pada hubungan dekat dari seseorang.
Hubungan saling ketergantungan meliputi keinginan dan kemampuan untuk
memberi dan menerima dari orang lain meliputi semua aspek yang
ditawarkan. Ada dua hubungan yang fokus pada model ini, yaitu
interdependensi dengan orang lain yang berarti, dan interdependensi dengan
support system (Tomey & Alligood, 2014). Model interdependensi adalah
menggambarkan keterkaitan individu dengan orang lain dan support system
dimana akan ada proses memberi dan menerima dengan orang lain dan
lingkungan.
Setelah input, proses kontrol yang melibatkan mekanisme koping regulator
dan kognator, kemudian dilanjutkan dengan efektor. Efektor akan melihat
model adaptasi mana yang terganggu, bisa satu model ata beberapa model
bisa terganggu pada satu kesempatan. Hasilnya akan terlihat di output. Pada
output akan terlihat respon adaptif jika individu mampu mengatasi stimulus
yang ada dan respon inefektif jika individu tidak mampu berespon terhadap
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
37
Universitas Indonesia
stimulus dengan kemampuan yang dimilikinya (Fitzpatrick & Whall, 1989).
Jika yang muncul adalah respon yang tidak efektif ini akan membuat siklus
terulang kembali, respon inefektif tersebut menjadi stimulus dan proses
terjadi kembali sampai pada output.
Roy juga menjelaskan ada empat elemen penting yang masuk dalam teori
adaptasi, yaitu individu, lingkungan, kesehatan dan keperawatan.
Keperawatan terdiri atas dua kegiatan yaitu tujuan keperawatan dan
aktivitas keperawatan. Roy mendefenisikan keperawatan secara umum
sebagai professional kesehatan yang berfokus pada proses dan pola
kehidupan manusia, menekankan pada promosi kesehatan untuk individu,
keluarga, kelompok dan masyarakat sebagai satu kesatuan (Tomey &
Alligood, 2006). Jadi keperawatan merupakan suatu profesi yang bekerja
untuk meningkatkan kesehatan klien dalam seluruh proses kehidupannya.
Keperawatan memegang peranan penting dalam mencapai derajat kesehatan
yang optimal.
Roy memandang keperawatan sebagai suatu ilmu dan sebagai suatu praktik.
Keperawatan sebagai ilmu berfungsi untuk mengamati, menggolongkan,
dan menghubungkan proses dimana individu secara positif mempengaruhi
status kesehatannya. keperawatan sebagai praktik berfungsi menggunakan
ilmu pengetahuan untuk memberikan pelayanan pada kliennya (Fitzpatrick
& Whall, 1989). Tujuan keperawatan adalah untuk meningkatkan interaksi
seseorang dengan lingkungan dengan cara meningkatkan adaptasi dalam
empat model, yaitu : (1) fungsi fisiologis, (2) konsep diri, (3) fungsi peran,
(4) interdependensi. Adaptasi akan meningkatkan integritas dan
berkontribusi terhadp kesehatan individu, kualitas hidup, dan meninggal
dengan kemuliaan. Tujuan keperawatan dapat dicapai ketika stimulus fokal
berada di area adaptasi yang sudah ditetapkan oleh individu, sehingga saat
stimulus fokal muncul, individu akan mampu beradaptasi atau berespon
secara positif (Fitzpatrick &Whall, 1989).
Roy menggambarkan manusia sebagai model yang adaptif. Sebagai suatu
model yang adaptif, manusia adalah suatu keseluruhan dengan bagian-
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
38
Universitas Indonesia
bagian yang berfungsi sebagai satu kesatuan untuk mencapai tujuan (Tomey
& Alligood, 2006). Definisi lain menyebutkan bahwa manusia adalah suatu
sistem yang hidup, terbuka dan adaptif yang bertukar energy dan masalah
dengan lingkungan. Sebagai system, manusia juga bisa dideskripsikan
dalam hal input, proses kontrol dan umpan balik, dan output (Fitzpatrick &
Whall, 1989). Jadi manusia adalah suatu sistem yang terdiri dari input,
kontrol dan umpan balik dan output yang terbuka dan adaptif yang
berinteraksi dengan lingkungannya.
Lingkungan digambarkan sebagai dunia di dalam dan sekitar individu.
Lingkungan merupakan input untuk individu sebagai sistem yang adaptif
dan lingkungan bisa juga sebagai stimulus baik internal maupun eksternal.
Stimulus ini yang nantinya bisa dikelompokkan menjadi stimulus fokal,
kontekstual dan residual. Sehingga defenisi akhir dari lingkungan adalah
semua kondisi, situasi dan pengaruh lingkungan yang mempengaruhi
perkembangan dan perilaku dari individu atau kelompok (Fitzpatrick &
Whall, 1989). Perubahan lingkungan akan mendorong individu untuk
berespon untuk mencapai kondisi yang adaptif. Kesehatan adalah suatu
kondisi dan proses hidup dan menjadi individu yang memiliki integritas dan
keseluruhan. Jadi, integritas adalah kesehatan, jika tidak ada integritas
berarti turunnya kesehatan. Sehingga kesehatan diartikan tidak hanya
kondisi yang bebas penyakit, tapi juga usaha mempertahankan kondisi
sejahtera (Fitzpatrick & Whall, 1989).
Aplikasi model adaptasi Roy pada asuhan keperawatan pada klien dengan
resiko perilaku kekerasan ini akan dijelaskan dengan memasukkan variable-
variabel yang berkontribusi terhadap timbulnya resiko perilaku kekerasan
kedalam model adaptasi Roy. Respon resiko perilaku kekerasan
berdasarkan model adaptasi Roy dapat disebabkan oleh tiga stimulus yang
muncul dalam kehidupan individu yaitu stimulus fokal, kontekstual, dan
residual. Stimulus fokal adalah segala sesuatu atau stresor yang datang dari
luar atau dari dalam individu yang akan mencetuskan terjadinya resiko
perilaku kekerasan, diantaranya stresor biologis, psikologis maupun sosial
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
39
Universitas Indonesia
kultural. Stimulus fokal pada tulisan ini adalah faktor presipitasi yang
memunculkan respon-respon pada klien RPK seperti: respon kognitif,
afektif, perilaku, dan respon sosial.
Stimulus kontekstual adalah stimulus yang berasal dari internal atau
eksternal yang mempengaruhi stimulus fokal. Stimulus kontekstual pada
klien RPK meliputi biologi, psikologi dan sosialbudaya yang terdiri dari
karakteristik klien, yaitu usia, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, status
perkawinan, status ekononi, dan lama mengalami sakit. Sedangkan stimulus
residual adalah faktor lingkungan lain yang mungkin membawa pengaruh
pada kondisi klien tapi sulit untuk diukur. Stimulus residual pada klien RPK
menurut Townsend (2009) diantaranya kepercayaan, pengalaman,
pengetahuan, sikap, atau ancaman yang mempengaruhi perilaku klien.
2.3 Komponen Output Sistem Asuhan Keperawatan
Pada komponen output merupakan hasil dari pelaksanaan terapi yang
diberikan pada klien dengan resiko perilaku kekerasan. Dengan pemberian
asuhan keperawatan melalui pendekatan model Adaptasi Roy dan Model
Adaptasi Stuart menunjukkan terjadinya penurunan tanda dan gejala dan
peningkatan kemampuan dalam menghadapi stimulus yang berdampak
negatif pada diri klien, orang lain dan lingkungan. Tujuan pemberian
cognitive Behaviour Therapy dan Assertive Therapy adalah untuk
meningkatkan kemampuan klien dalam berperilaku adaptif dalam
menghadapi stimulus. Dengan pemberian Assertive Therapy diharapkan
klien mampu mengungkapkan kebutuhan, menolak permintaan dan
mengekspresikan perasaan positif dan negatif secara terbuka, jujur,
langsung dan sesuai dengan pemahaman. Individu menggunakan respon
asertif mempertahankan haknya dan respek terhadap hak dan harkat orang
lain (Fortinash, 2004). Dan dengan pemberian terapi CBT dapat membantu
klien dalam pengaturan kembali komponen kognitif terhadap perilaku
kekerasan. Pengaturan kembali goal,set, choice akan menghasilkan
perilaku yang adaptif.
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
40
Universitas Indonesia
BAB 3
MANAJEMEN PELAYANAN KEPERAWATAN DI RS.MARZOEKI
MAHDI BOGOR
Manajemen asuhan keperawatan spesialis jiwa pada klien risiko perilaku
kekerasan ini dilakukan pada tanggal 18 Februari – 18 April 2014 di Ruang Gatot
Kaca RSMM Bogor. Berikut akan di uraikan mengenai gambaran umum RSMM
Bogor, ruangan Gatot Kaca dan manajemen ruangan tempat praktik klinik
keperawatan jiwa III.
3.1 Gambaran Umum Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor
Rumah Sakit Dr.H Marzoeki Mahdi merupakan Rumah Sakit Jiwa (RSJ)
pertama di Indonesia. Didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda mendirikan
rumah sakit jiwa Bogor secara resmi pada tanggal 1 Juli 1882. Pada tahun
2001 sesuai dengan visi rumah sakit sebagai model kemandirian dan
perkembangan zaman serta adanya peningkatan pengetahuan di bidang
keperawatan, dan tahun 2009 berganti nama menjadi RS Dr. H. Marzoeki
Mahdi Bogor. RS Dr. H. Marzoeki Mahdi bekerja sama dengan Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia (FIK-UI) telah mengembangkan bentuk
pelayanan keperawatan profesional yang dikenal dengan Model Praktik
Keperawatan Profesional (MPKP).
Struktur organisasi RS Dr. H. Marzoeki Mahdi berdasarkan pada keputusan
Menteri Kesehatan RI ditetapkan menjadi 15 UPT Depkes dengan
menerapkan PPK-BLU berdasarkan SK Menkes No. 756/Menkes/SK/VI/2007
tanggal 26 Juni 2007 dan berubah status menjadi Badan Layanan Umum
(BLU). Struktur organisasni terdiri dari Direktur Utama yang membawahi 3
Direktorat yaitu Medik dan Keperawatan, SDM dan Pendidikan, Keuangan
dan Administrasi Umum. Selain itu terdapat Dewan Pengawas, Komite Medik
yang membawahi staf medik fungsional, Komite Etik dan Hukum, serta
Satuan Pemeriksaan Intern.
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
41
Universitas Indonesia
Visi dari rumah sakit ini adalah “Terwujudnya Rumah Sakit mandiri melalui
profesionalisme dan pelayanan yang bermutu dengan mengutamakan
kepuasan pelanggan dan terjangkau oleh rakyat miskin”. Misi antara lain 1).
Melaksanakan pelayanan dengan unggulan kesehatan jiwa dan NAPZA, 2)
Memberdayakan seluruh potensi yang ada di rumah sakit, 3) Mengembangkan
pelayanan kesehatan jiwa menjadi pusat rujukan nasional, 4) Mengembangkan
pendidikan kesehatan dan penelitian serta kemitraan yang seluas-luasnya, 5)
Mencapai kesejahteraan bersama. Tujuan: 1) Tercapainya jasa layanan
kesehatan jiwa dengan kualitas prima, 2) Tercapainya produk unggulan dalam
bidang kesehatan jiwa, 3) Tersedianya sumber daya manusia bidang kesehatan
jiwa yang professional dan kemitraan. Budaya Organisasi: 1) Belajar dan
berkembang profesionalisme, 2) Bekerja seimbang kebersamaan, 3) Saling
menghargai, 4) Melayani dengan baik dan tulus, 5) Motivasi dan kemitraan.
Jenis pelayanan kesehatan yang tersedia di RS Dr. H. Marzoeki Mahdi yaitu:
1) Pelayanan kesehatan jiwa: Pelayanan Gawat Darurat Psikiatri, Pelayanan
Rawat Jalan Psikiatri, Pelayanan Rawat Inap Psikiatri, 2) Pelayanan NAPZA:
Rawat Jalan, Rawat Jalan Spesialistik, Detoksifikasi, Rawap Inap, Gawat
Darurat, 3) Pelayanan umum, 4) Pelayanan Penunjang, 5) Pelayanan Hotline
Service, 6) Bagian Pendidikan dan Penelitian. Fasilitas pelayanan kesehatan
yang tersedia meliputi layanan kesehatan umum, pelayanan gawat darurat
umum dan psikiatri, pelayanan Rawat Inap Psikiatri. RSMM juga
menyediakan 1 ruangan khusus untuk pelayanan yang mengintegrasikan
masalah kesehatan fisik dengan kebutuhan psikososial klien. Ruangan ini
dibangun berdasarkan konsep Consultation Laisson Mental Health Nursing
(CLMHN). Ruangan yang diberi nama Consultation Laisson Psychiatric
(CLP) direncanakan akan dibuka untuk umum April 2013.
Ruang rawat inap psikiatri terdiri dari: Ruang Akut (Ruang Kresna Pria dan
Wanita), ruang Intermediate (Ruang Gatot kaca, Utari), Ruang Rehabilitasi :
Ruang Bratasena, Antareja, Arimbi, Nakula, Drupadi, Yudistira, ruang khusus
Anak dan Remaja (Dewi Amba), Mental Organik (Ruang Abimanyu), dan
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
42
Universitas Indonesia
Psikogeriatrik (Ruang Saraswati). Ruang psikiatri lain yang dapat menerima
klien langsung dari IGD atau Poli Psikiatri adalah ruang Sadewa dan Srikandi.
3.2 Gambaran Pengembangan Manajemen Keperawatan Jiwa Profesional
(MPKP) RSMM Bogor
Pengembangan manajemen keperawatan di RSMM Bogor merupakan
langkah strategik dalam pencapaian visi RSMM pda tahun 2001, yakni
profesionalisme dan layanan bermutu. Pengembangan ini selanjutnya dikenal
sebagai Manajemen Keperawatan Jiwa Profesional (MPKP). Langkah
selanjutnya adalah kerjasama dengan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia (FIK UI) dalam pengembangan secara operasional.
MPKP pertama kali diterapkan di tiga ruang perawatan yaitu Srikandi, Kresna
dan Sadewa. Berdasarkan informasi yang diperoleh terjadi peningkatan mutu
setelah MPKP diterapkan. Hal ini dapat dilihat dari BOR sebesar 65-80% dan
AvLOS sebesar 25 hari. Angka BOR berada pada rata-rata nasional dengan
nilai AvLOS lebih rendah dari standar nasional, hal ini menunjukkan angka
yang ditampilkan di ruang MPKP RSMM lebih baik dari standar nasional.
Berdasarkan hasil tersebut sejak awal tahun 2006 kerja sama antara FIK-UI
dan RSMM dilanjutkan dengan menempatkan mahasiswa magister
keperawatan Jiwa di ruang rawat inap RSMM. Kerja sama antara FIK-UI dan
RSMM dilanjutkan dengan menempatkan mahasiswa magister keperawatan
jiwa di ruang rawat inap RSMM, dengan tujuan menerapkan MPKP baik
untuk manajemen pelayanan keperawatan maupun manajemen kasus spesialis
keperawatan jiwa di 4 ruang fisik dan 13 ruang psikiatri. Selain itu mahasiswa
juga ditempatkan di ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) Psikiatri, dan Poli
Jiwa dengan tujuan pencapaian kompetensi dalam menangani kasus gangguan
jiwa akut dengan tujuan mengenalkan dan menerapkan MPKP baik untuk
manajemen pelayanan keperawatan maupun manajemen kasus spesialis
keperawatan jiwa dan perkembangan MPKP pada tahun 2013 ini yaitu 4
ruangan fisik, 14 ruangan psikiatri, dan IGD telah melaksanakan MPKP.
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
43
Universitas Indonesia
Penerapan manajemen pelayanan yang dikembangkan bertujuan untuk
menunjang pemberian pelayanan keperawatan yang paripurna, khususnya
keperawatan jiwa. Sehingga berdampak pada peningkatan mutu asuhan
keperawatan pada klien gangguan jiwa. Semua ruangan psikiatri di RSMM
telah menerapkan MPKP, sehingga secara umum kegiatan MPKP sudah
membudaya di setiap ruangan. Untuk pemberian asuhan keperawatan, telah
terintegrasi antara pemberian terapi generalis dan terapi spesialis keperawatan
jiwa.
3.3 Model Praktik Keperawatan Profesional di Ruang Gatotkaca
Ruang Gatot Kaca merupakan ruang intermediate psikiatri, kelas III laki-laki
yang melayani klien umum. Rata-rata lama rawat klien diruang ini adalah
sekitar 7-14 hari. Fasilitas pelayanan yang tersedia diantaranya adalah kantor
perawatan, ruang diskusi dan ruang TAK yang merangkap ruang makan,
ruang perawatan klien dengan kapasitas 35 tempat tidur, 2 kamar isolasi,
kantor perawat, taman, kamar mandi, tempat cuci piring dan gudang. Tenaga
kesehatan yang bertanggung jawab atas pemberian pelayanan di Ruang Gatot
Kaca adalah 18 orang perawat (2 orang pendidikan S1 Keperawatan, 2 orang
pendidikan Ners Keperawatan, 1 orang pendidikan S1 Kesmas, dan 13 orang
pendidikan D3), 2 orang pramu husada, 1 orang psikiater, 1 orang psikolog
dan 1 orang dokter umum. Pelaksanaan MPKP sejak tahun 2006 sd sekarang
dan berada pada level MPKP I (basic). Sudah semua tenaga perawat
mengikuti pelatihan MPKP (100%).
Indikator mutu pelayanan di Ruang Gatot Kaca pada bulan Maret 2014 yaitu
BOR sebesar 89,14 %, ALOS 7,73 hari, TOI 1,25 hari. Masalah keperawatan
pada bulan Maret 2014 sesuai dengan urutannya adalah halusinasi 24,53 %,
resiko perilaku kekerasan 17,45 %, isolasi sosial 22,41 %, Defisit perawatan
diri 14,86%, Harga diri rendah 18,63 %, Waham 1,89 % dan risiko bunuh diri
0,24%. Diagnosa medis terbesar adalah skizofrenia paranoid yaitu sebesar
97,8 %, skizoprenia dan epilepsi sebesar 2,2%.
Pelaksanaan manajemen kasus spesialis merupakan bagian dari manajemen
pelayanan yang telah di terapkan di ruang Gatotkaca selama ini. Manajemen
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
44
Universitas Indonesia
pelayanan yang dikembangkan adalah pengembangan ruang rawat
menggunakan model praktik keperawatan profesional. Model Praktik
keperawatan profesional dirancang berdasarkan empat pilar profesional yaitu
pendekatan manajemen, sistem kompensasi dan penghargaan, hubungan
profesional, dan sistem pemberian asuhan keperawatan (Keliat & Akemat,
2010). Metode penugasan yang diterapkan di ruang MPKP adalah metode
penugasan metode tim. Tenaga keperawatan yang ada di ruangan terdiri dari
Kepala Ruangan, katim, dan perawat pelaksana dengan latar pendidikan S1
Keperawatan dan D3 Keperawatan.
Pilar pendekatan manajemen berisi kegiatan manajemen yaitu perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan dan pengendalian. Fungsi perencanaan terdiri
dari kegiatan penentuan visi, misi, filosofi dan pembuatan rencana jangka
pendek (tahunan, bulanan, dan harian). Fungsi pengorganisasian terdiri dari
kegiatan pembuatan struktur organisasi dan pembagian alokasi klien. Fungsi
pengarahan terdiri dari kegiatan operan, pre dan post conference, supervisi,
pendelegasian, dan penciptaan iklim motivasi. Fungsi pengarahan terdiri dari
kegiatan penghitungan indikator mutu, survei diagnosa medis dan
keperawatan, survei kepuasan, dan audit dokumentasi.
Pilar kompensasi dan penghargaan mengatur tentang mekanisme pemberian
reward terhadap kinerja staf ruang MPKP. Pilar ini terdiri dari dua kegiatan
yaitu penilaian kinerja dan pengembangan staf. Pilar hubungan profesional
mengatur tentang bagaimana pola hubungan antar tenaga kesehatan baik antar
sesama perawat maupun dengan tenga kesehatan lain. Kegiatan yang tercakup
dalam pilar ini adalah rapat tim kesehatan, rapat tim keperawatan, case
conference, dan kolaborasi saat visit dokter.
Pilar sistem pemberian asuhan keperawatan mengatur tentang kompetensi
yang harus dimiliki perawat ruang MPKP dalam memberikan asuhan
keperawatan pada klien dan keluarganya. Kegiatan yang tercakup dalam pilar
ini adalah pemberian asuhan keperawatan pada klien dan keluarga dengan
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
45
Universitas Indonesia
diagnosa halusinasi, risiko perilaku kekerasan diri, harga diri rendah, isolasi
sosial, defisit perawatan diri, waham dan risiko bunuh diri.
Berdasarkan uraian diatas diketahui bahwa jumlah kegiatan MPKP adalah 32
kegiatan. Ke-32 kegiatan ini harus dikuasai oleh kepala ruangan. Kegiatan
yang menjadi kompetensi ketua tim berjumlah 19 kegiatan, yaitu pembuatan
rencana bulanan dan harian, alokasi klien, pre dan post conference, supervisi,
iklim motivasi, pendelegasian, penilaian kinerja, kolaborasi saat visit dokter,
case conference dan pemberian asuhan keperawatan pada klien dan keluarga
pada tujuh diagnosa keperawatan yang sudah ditetapkan. Kegiatan yang
menjadi kompetensi perawat pelaksana berjumlah 8 kegiatan yaitu pembuatan
rencana kerja harian dan pemberian asuhan keperawatan pada klien dan
keluarga pada tujuh diagnosa keperawatan.
Pelaksanaan kegiatan MPKP yang dilakukan oleh perawat diruang Gatot Kaca
baik itu yang dilakukan oleh kepala ruangan dan ketua Tim telah dilakukan
pembudayaan terhadap 32 kemampuan kepala ruangan dan 19 kemampuan ketua
Tim. Hasil pelaksanaan tersebut dapat dilihat pada tabel 3.1
Tabel 3.1
Pelaksanaan Manajemen Pelayanan MPKP
Ruang Gatot Kaca Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor, April 2014
No Kegiatan
Hasil Res 3 (Februari - April 2014)
RTL Ka Ru Katim 1 Katim 2 OD
SE EK SE EK SE EK
Management Approach
Perencanaan
1 Visi 100 100 √ Pembudayaan
2 Misi 100 100
√ Pembudayaan
3 Filosofi 100 100 √ Pembudayaan
4 Rencana Harian 100 100
100 90 75 90 √ Pembudayaan
Rencana Bulanan 100 100 75 100 75 90 √ Pembudayaan
Rencana Tahunan 100 100 100
√ Pembudayaan
Pengorganisasian
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
46
Universitas Indonesia
1 Struktur organisasi 100 100
- Pembudayaan
2 Daftar Dinas 100
100 100 100
100 100 √ Pembudayaan
3 Daftar Alokasi Pasien 100 100
100 100 100 100 √ Pembudayaan
Pengarahan
1 Operan 100 100
√ Pembudayaan
2 Pre conference 100 100 100 85
75 80 √ Pembudayaan
3 Post conference 100 100 100 85
75 80 √ Pembudayaan
4 Iklim motivasi 100 100 100 100
75 90 √ Pembudayaan
5 Pendelegasian 100 100 100 100
100 100 √ Pembudayaan
6 Supervisi 100 100 75 85
75 90 √ Pembudayaan
Pengendalian
1 Indikator Mutu 100 100
√ Pembudayaan
2 Audit Dokumentasi 75 90
√ Pembudayaan
3 Survey Kepuasan 100 100
√ Pembudayaan
4 Survey Masalah Keperawatan 100 100
√ Pembudayaan
Compensatory Reward
1 Penilaian Kinerja 75
100 100 100
75 85 √ Pembudayaan
2 Pengembangan Staf 100
100
Pembudayaan
Professional Relatioship
1 Rapat Keperawatan 100 100
- Pembudayaan
2 Case Conference 100 100 75 90 75 90
√ Pembudayaan
3 Rapat Tim Kesehatan 75 90
√ Pembudayaan
4 Visite Dokter 100 100 100 100
100 100 √ Pembudayaan
Patient Care Delivery
1 Harga diri rendah 100 100 100 85 100 100 Pembudayaan
2 Risiko perilaku kekerasan 100 100 100 85 100 100 Pembudayaan
3 Isolasi sosial 100 100 100 85 100 100 Pembudayaan
4 GSP: Halusinasi 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan
5 GPP: Waham 100 100 75 90 75 90 Pembudayaan
6 Risiko bunuh diri 100 100 75 80 75 80 Pembudayaan
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
47
Universitas Indonesia
7 Defisit perawatan diri 100 100
100 100 100 100 Pembudayaan
Kemampuan 32 dari 32
kemampuan
19 dari 19
kemampuan
19 dari 19
kemampuan
Berdasarkan hasil praktik klinik keperawatan jiwa 3 di ruang Gatotkaca.
Diketahui bahwa kepala ruangan Gatotkaca sudah mempunyai 32
kemampuan melaksanakan kegiatan MPKP, ketua tim 19 kegiatan, dan
perawat pelaksana 9 kegiatan. Pelaksanaan MPKP khususnya pilar
pemberian asuhan keperawatan sangat berkaitan dengan pelaksanaan
manajemen kasus spesialis yang dilakukan oleh residen.
Perawat ruang Gatotkaca sudah mempunyai kemampuan dalam
memberikan asuhan keperawatan pada tujuh diagnosa keperawatan jiwa.
Asuhan keperawatan klien risiko perilaku kekerasansudah pernah
dilakukan supervisi insidentil karena selama praktik klinik keperawatan
jiwa III terjadi peningkatan klien risiko bunuh diri, sehingga perlu
dilakukan supervisi insidental untuk kasus tersebut, dan juga telah
dilakukan penyegaran untuk asuhan keperawatan pada klien dengan risiko
bunuh diri. Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
perawat ruang Gatotkaca mempunyai kemampuan yang baik dalam
memberikan asuhan keperawatan pada klien gangguan jiwa, khususnya
untuk klien dengan risiko perilaku kekerasan.
Ruang Gatotkaca memberikan asuhan keperawatan tidak hanya pada klien
namun juga pada keluarga baik secara individu maupun kelompok.
Pemberian asuhan keperawatan untuk kelompok klien, diberikan dalam
bentuk terapi aktivitas kelompok (TAK). Ruang Gatotkaca mengadakan
terapi aktivitas kelompok sebanyak satu kali sehari. Terapi aktivitas
kelompok dipimpin oleh perawat ruang Gatotkaca secara bergantian. Jenis
TAK yang dilakukan adalah sosialisasi, stimulasi persepsi, orientasi
realita, dan stimulasi sensori. Pencatatan pelaksanaan kegiatan dan
pencapaian klien TAK dicatat dalam buku laporan TAK.
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
48
Universitas Indonesia
3.4 Penatalaksanaan Masalah Risiko Perilaku Kekerasan di Ruang
Gatotkaca
3.4.1 Penatalaksanaan Keperawatan
Kondisi klien dengan risiko perilaku kekerasan di ruangan Gatot Kaca
pada umumnya sudah mengalami penurunan tanda dan gejala
kekerasan. Penatalaksanaan manajemen marah sudah dilakukan di
ruang Kresna. Klien yang dipindahkan ke ruang Gatot Kaca sudah
diajarkan cara mengontrol marah dengan cara fisik (tarik nafas dalam
dan pukul bantal).
Strategi preventif, antisipasi dan manajemen krisis sesuai Stuart
(2009) dilakukan di ruang ini. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain
seperti dokter atau psikolog dilakukan dalam pemberian terapi
psikofarmaka (pilar ke-3). Kesinambungan akan tindakan
keperawatan dilakukan melalui operan, pre dan post conference (pilar
ke-1) serta untuk menjamin pelayanan tetap baik dan bermutu maka
dilakukan evaluasi mutu serta pemberian reward (pilar ke-2).
Penatalaksanaan keperawatan masalah resiko perilaku kekerasan di
ruangan Gatotkaca, menggunakan pendekatan proses keperawatan,
mulai dengan kegiatan pengkajian tanda dan gejala klien dengan
menggunakan format pengkajian keperawatan yang telah tersedia di
ruangan, perumusan diagnosis keperawatan, perencanaan berdasarkan
standar asuhan keperawatan untuk masalah resiko perilaku kekerasan
yang telah tersedia di ruangan, implementasi dan evaluasi yang
dilanjutkan dengan pendokumentasian tindakan dan kemampuan klien
dan keluarga pada catatan perkembangan klien.
Tindakan preventif dan antisipasi perilaku kekerasan sudah dilakukan
dengan baik. Perawat menggunakan komunikasi asertif untuk
meningkatkan kesadaran diri, pendidikan kesehatan , baik terintegrasi
dalam terapi generalis dan TAK Stimulasi Persepsi untuk klien
Perilaku Kekerasan. Strategi lingkungan belum dapat dilakukan secara
maksimal, terkait dengan faktor lain yng tidak bisa dikontrol, yakni
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
49
Universitas Indonesia
saat mahasiswa/praktikan dari beberapa instansi keperawatan dan
profesi lain melakukan praktik secara bersamaan dan dalam jumlah
yang besar. Lingkungan berubah menjadi padat, ribut, dan tidak
adanya privasi di ruang perawatan dan ruangan lain sehingga tidak
kondusif untuk proses terapi. Perawat melakukan pengaturan terhadap
jadual interaksi oleh perawat dan pengaturan ulang terhadap jadwal
klien/ruangan serta tidak memaksakan suatu kegiatan pada klien dan
lain-lain.
3.4.2 Penatalaksanaan Medis
Penanganan medis klien dengan masalah risiko perilaku kekerasan di
ruangan Gatotkaca diberikan berdasarkan diagnosis medis klien.
Pemberian terapi medis risiko perilaku kekerasan pada umumnya
masih menggunakan antipsikotik generasi pertama (APG 1) sesuai
dengan standar pengobatan dari pembiayaan pemerintah
(Jamkesda/Jamkesmas). Klien perilaku kekerasan juga mendapat
antipsikotik generasi kedua (APG 2) sesuai dengan kondisi penyakit.
Obat antipsikotik generasi pertama (APG 1) merupakan obat yang
paling sering digunakan.
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
50
Universitas Indonesia
BAB IV
MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN SPESIALIS JIWA PADA
KLIEN DENGAN RISIKO PERILAKU KEKERASAN
DI RUANG GATOT KACA
Bab ini akan menjelaskan tentang pelaksanaan manajemen asuhan keperawatan
dan manajemen pelayanan keperawatan pada klien risiko perilaku kekerasan
dengan pemberian Cognitive Behaviour Therapy dan Assertiveness Therapy
dengan menggunakan pendekatan teori Adaptasi Roy diruang Gatot Kaca RSMM
Bogor. Pelaksanaan asuhan keperawatan dimulai dari pengkajian karakteristik,
faktor predisposisi, presipitasi, penilaian terhadap stresor, sumber koping dan
mekanisme koping.
4.1 Pengkajian
4.1.1 Karakteristik Pasien
Ruang gatot kaca merupakan ruang intermediette laki-laki. Pelaksanaan
asuhan keperawatan dilakukan mulai tanggal 17 Februari-18 April diruang
gatot kaca pada 18 klien yang mengalami Risiko prilaku kekerasan.
Karakteristik klien dikelompokkan berdasarkan usia, jenis kelamin,
pekerjaan, pendidikan pada tabel 4.1
Tabel 4.1
Distribusi karakteristik pasien diruang Gatot Kaca RSMM
(n=18)
No Karakteristik Jumlah Presentase
(%)
1 Usia
18-24 tahun
25-60 tahun
5
13
27,8
72,2
2 Jenis Kelamin
Laki-laki
18
100
3 Pendidikan
SD
Menengah (SMP-SMA)
Perguruan Tinggi
4
13
1
22,2
72,2
5,6
4 Pekerjaan
Bekerja
5
27,8
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
51
Universitas Indonesia
Tidak Bekerja 13 72,2
5 Status Perkawinan
Menikah
Belum Menikah
Duda
5
9
4
27,8
50
22,2
4.1.2 Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi adalah faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan
sumber daya seseorang yang dapat digunakan dalam menangani stres
(Stuart, 2013). Faktor predisposisi meliputi biologi, psikologis dan
sosialkultural. Pada klien dengan risiko perilaku kekerasan, faktor
predisposisi terjadinya masalah risiko perilaku kekerasan dapat
diidentifikasi berdasarkan tiga komponen tersebut (Stuart, 2013). Secara
rinci faktor predisposisi dapat dilihat pada tabel 4.2
Tabel 4.2
Distribusi Faktor Predisposisi Klien dengan Risiko Perilaku Kekerasan
Di Ruang Gatot Kaca RS.Marzoeki Mahdi Bogor
17 Februari-18 April 2014 (n=18)
No Faktor Predisposisi Jumlah Presentase
(%)
1 Biologi
Faktor Herediter
Riwayat gangguan jiwa
sebelumnya
Riwayat penggunaan Napza
6
9
5
33,3
50
27,8
2 Psikologi
Kepribadian Tertutup
Riwayat
Kegagalan/Kehilangan
Pengalaman yang tidak
menyenangkan
13
18
13
72,2
100
72,2
3 Sosial Kultural
Pendidikan Rendah
Status ekonomi rendah
Masalah Pekerjaan
PHK
Tidak punya pekerjaan
7
11
8
13
38,9
61,1
44,4
72,2
Tabel 4.2 menunjukkan bahwa faktor predisposisi biologi terbanyak klien
risiko perilaku kekerasan adalah riwayat gangguan jiwa sebelumnya
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
52
Universitas Indonesia
sebanyak 9 orang (50%). Pada aspek psikologis yaitu riwayat
kehilangan/kegagalan sebanyak 18 orang (100%). Sedangkan aspek
sosialkultural yaitu tidak punya pekerjaan sebanyak 13 orang (72,2%).
4.1.3 Faktor Presipitasi
Stresor presipitasi adalah stimulus yang berupa tantangan, ancaman/
tuntutan yang datang pada seseorang. Faktor presipitasi terdiri dari empat
komponen yaitu sifat stresor (biologis, psikologis dan sosialkultural), asal
stresor (eksternal dan internal), waktu (lamanya stresor yang dialami) dan
jumlah stresor yang dihadapi klien dengan risiko perilaku kekerasan. Faktor
presipitasi dapat dilihat pada tabel 4.3
Tabel 4.3
Distribusi Faktor Presipitasi Klien dengan Risiko Perilaku Kekerasan
di Ruang Gatot Kaca RS. Marzoeki Mahdi Bogor
17 Februari – 18 April 2014 (n=18)
No Faktor Presipitasi Jumlah Presentase
(%)
1 Biologis
Putus Obat
Obat tidak efektif
15
3
83,3
16,7
2 Psikologis
Keinginan yang tidak
terpenuhi
Kehilangan orang yang
berarti
Putus Cinta
18
10
6
100
55,6
33,3
3 Sosial Kultural
Masalah ekonomi
Masalah Pekerjaan
Konflik Keluarga
9
13
6
50
72,2
33,3
4 Asal stressor
Internal
Eksternal
18
12
100
66,7
5 Waktu stresor
Kurang dari 6 bulan
Lebih dari 6 bulan
18
6
100
33,3
6 Jumlah stresor
1-2 stresor
>2stresor
2
16
11,1
88,9
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
53
Universitas Indonesia
Berdasarkan tabel 4.3 diatas dapat dijelaskan bahwa faktor presipitasi
biologis adalah putus obat 15 klien (83,3%). Penyebab klien putus obat
adalah karena klien tidak mau minum obat setelah dirumah dan merasa
sudah sembuh serta tidak mau kontrol ulang. Faktor psikologis penyebabnya
adalah keinginan yang tidak terpenuhi (100%), kehilangan orang yang
berarti (55,5%) dan putus cinta (33,3%). Sedangkan pada stresor
sosialkutural, sebagian besar penyebabnya adalah masalah pekerjaan 72,2%,
masalah ekonomi 50% dan konflik keluarga 33,3%. Waktu stresor
terbanyak yaitu kurang dari 6 bulan yaitu sebanyak 18 orang (100%).
Jumlah stresor terbanyak yaitu lebih dari 2 stresor yaitu sebanyak 16 orang
(88,9%).
4.1.4 Penilaian terhadap stresor
Penilaian terhadap stresor meliputi penentuan makna dan pemahaman
terhadap situasi yang penuh stres pada seseorang. Penilaian stresor meliputi
kognitif, afektif, fisiologis, perilaku dan respon sosial. Dapat dilihat pada
tabel 4.4
Tabel 4.4
Distribusi Penilaian Stresor klien dengan Risiko Perilaku Kekerasan
di Ruang Gatot Kaca RS.Marzoeki Mahdi Bogor
17 Februari – 18 April 2014 (n=18)
No Respon terhadap stresor Jumlah Presentase
(%)
1 Kognitif
a. Tidak mampu
mengontrol PK
b. Punya pikiran negatif dalam
menghadapi stresor
c. Mendominasi pembicaraan
d. Meremehkan keputusan
e. Flight of idea
f. Menyalahkan orang lain
12
14
6
6
2
12
66,7
77,8
33,3
33,3
11,1
66,7
2 Afektif
a. Afek labil
b. Marah
4
18
22,2
100
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
54
Universitas Indonesia
c. Kecewa/kesal
d. Curiga
e. Mudah tersinggung
f. Frustasi
g. Merasa tidak aman dan nyaman
h. Merasa Jengkel
i. Dendam
j. Ingin memukul orang lain
16
14
12
4
8
8
4
8
88,9
77,8
66,7
22,2
44,4
44,4
22,2
44,4
3 Fisiologis
a. Muka merah
b. Pandangan tajam
c. Mengatup rahang dengan kuat
d. Mengepalkan tangan
e. Tekanan darah meningkat
f. Tonus otot meningkat
g. Mual
h. Wajah tegang
i. Kewaspadaan meningkat
8
8
3
9
4
6
5
10
10
44,4
44,4
16,7
50
22,2
33,3
27,8
55,6
55,6
4 Perilaku
a. Mondar-mandir
b. Melempar/memukul benda/orang
lain
c. Merusak barang
d. Agresif
e. Sinis
f. Perilaku verbal ingin memukul
g. Memberontak
h. Nada suara keras
5
16
16
12
4
12
6
8
27,8
88,9
88,9
66,7
22,2
66,7
33,3
44,4
5 Sosial
a. Bicara kasar
b. Suara tinggi, menjerit, berteriak
c. Mengancam secara verbal atau fisik
d. Pengasingan
e. Penolakan
f. Ejekan
g. Menertawakan
h. Menarik diri
13
6
5
14
14
8
8
15
72,2
33,3
27,8
77,8
77,8
44,4
44,4
83,3
Tabel 4.4 dijelaskan bahwa sebagian besar klien dengan risiko perilaku
kekerasan memiliki respon kognitif punya pikiran negatif dalam
menghadapi stresor sebanyak 14 orang (77,8%). Respon afektif klien
risiko perilaku kekerasan merasa kecewa/kesal sebanyak 18 orang (100%).
Respon fisiologis klien ririko perilaku kekerasan yaitu wajah tampak
tegang dan kewaspadaan meningkat sebanyak 10 orang (55,6%). Respon
perilaku klien ririko perilaku kekerasan yaitu melempar dan merusak
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
55
Universitas Indonesia
barang sebanyak 16 orang (88,9%) dan respon sosial yaitu dengan
menarik diri sebanyak 15 orang (83,3%).
4.1.5 Diagnosa Keperawatan dan Diagnosa Medis
4.1.5.1 Diagnosa Keperawatan
Klien yang diberikan asuhan keperawatan oleh penulis tidak hanya
memiliki diagnosa risiko perilaku kekerasan saja tetapi memiliki diagnosis
keperawatan penyerta aeperti terlihat pada tabel 4.5
Tabel 4.5
Distribusi Diagnosa Keperawatan yang menyertai pada klien Risiko
Perilaku Kekerasan di Ruang Gatot Kaca RS.Marzoeki Mahdi Bogor
17 Februari – 18 April 2014 (n=18)
Diagnosa
Keperawatan
Diagnosa Penyerta Jumlah Persentase
(%)
Risiko Perilaku
Kekerasan
Halusinasi Pendengaran 16 88,9
Harga Diri Rendah 8 44,4
Defisit perawatan diri 8 44,4
Isolasi Sosial 12 66,7
Penatalaksanaan Regimen
Terapeutik Ineffektif
13 72,2
Koping Keluarga Ineffektif 8 44,4
Tabel 4.5 menunjukkan bahwa klien yang dirawat dengan risiko perilaku
kekekrasan memiliki diagnosa penyerta yaitu halusinasi pendengaran 16 orang
(88,9%), harga diri rendah 8 orang (44,4%), defisit perawatan diri 8 orang
(44,4%), isolasi sosial 12 orang (66,7%), PRTI 13 orang (72,2%),KKIE 8 orang
(44,4%).
4.1.5.2 Diagnosa Medis dan Terapi Medis
Berikut dipaparkan diagnosis medis pada klien risiko perilaku kekerasan
di Ruang Gatot Kaca Bogor pada tabel 4.6
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
56
Universitas Indonesia
Tabel 4.6
Distribusi Diagnosa Medis dan Terapi Psikofarmaka pada klien Risiko
Perilaku Kekerasan di Ruang Gatot Kaca RS.Marzoeki Mahdi Bogor
17 Februari – 18 April 2014 (n=18)
No Aspek Medis n (18) Persentase
(%)
1. Diagnosa Medis
- Skizofrenia paranoid
- Psikotik Akut
16
2
88,9
11,1
2. Terapi Medis
- Anti Psikotik Tipikal
- Antipsikotik Atipikal
13
5
72,2
27,8
Berdasarkan tabel 4.6 didapatkan data bahwa sebagian besar klien memiliki
diagnosa medis skizofrenia paranoid (88,9%). Pemberian terapi
psikofarmaka jenis anti psikotik tipikal terbanyak adalah chlorpromazine
dengan dosis 100 mg (1 tablet perhari), triheksipenidil 2 mg (3 tablet
perhari) dan haloperidol 5 mg (2-3 tablet perhari).
4.1.6 Sumber Koping
Sumber koping adalah pilihan atau strategi yang dapat membantu untuk
memutuskan apa yang terbaik dilakukan. Menurut Stuart (2013) sumber
koping yang dimiliki individu terdiri dari kemampuan individu (personal
ability), dukungan sosial (Social Support), material asset dan positive
believe seperti yang terlihat pada tabel 4.7
Tabel 4.7
Distribusi Sumber Koping Klien dengan Risiko Perilaku Kekerasan di
Ruang Gatot Kaca RS.Marzoeki Mahdi Bogor
17 Februari – 18 April 2014 (n=18)
No Sumber Koping Jumlah Presentase
(%)
1 Kemampuan personal
Tidak tahu cara mengatasi risiko
perilaku kekerasan
Tahu cara mengatasi risiko
perilaku kekerasan
10
8
55,6
44,4
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
57
Universitas Indonesia
2 Dukungan Sosial
a. Dukungan Keluarga
Keluarga tidak mengenal
masalah risiko perilaku
kekerasan
Keluarga tidak mampu
merawat klien risiko perilaku
kekerasan
b. Dukungan Kelompok
Tidak ada
c. Dukungan Masyarakat
Tidak Ada
15
15
18
18
83,3
83,3
100
100
3 Ketersediaan Aset
a. Pembayaran
1) BPJS
2) Pribadi
b. Jangkauan ke puskesmas/RS
1) Jauh
2) Dekat
16
2
4
14
88,9
11,1
22,2
77,8
4 Keyakinan Positif
1) Yakin akan sembuh
2) Tidak yakin akan sembuh
3) Yakin dengan pelayanan
kesehatan
18
0
18
100
0
100
Berdasarkan tabel 4.7 sebagian klien risiko perilaku kekerasan tahu cara
mengatasi masalah risiko perilaku kekerasan yaitu 10 orang (55,6%).
Sebagian besar keluarga klien tidak mengenal masalah risiko perilaku
kekerasan dan tidak mampu merawat risiko perilaku kekerasan yaitu 15
orang (83,3%). Klien tidak mendapat dukungan dari masyarakat dan
dukungan kelompok. Sebagian besar jaminan kesehatan yang digunakan
klien adalah BPJS. Sumber pelayanan kesehatan rata-rata dekat dari tempat
tinggal klien (88,9%). 18 orang klien memiliki keyakinan untuk sembuh dan
yakin dengan pelayanan kesehatan yang dijalani.
4.1.7 Mekanisme Koping
Mekanisme koping adalah segala upaya yang diarahkan pada manajemen
stres. (Tabel 4.8)
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
58
Universitas Indonesia
Tabel 4.8
Distribusi Mekanisme Koping Klien dengan Risiko Perilaku Kekerasan
di Gatotkaca RS.Marzoeki Mahdi Bogor
17 Februari – 18 April 2014 (n=18)
No Koping Mekanisme Jumlah Persentase
1.
2.
3.
4.
Diam/memendam masalah
Merokok berlebihan
Marah-marah
Menceritakan kepada orang lain
13
6
9
4
72,2
33,3
50
22,2
Mekanisme koping yang digunakan klien dengan risiko perilaku kekerasan
sebagian besar memilih untuk diam/memendam masalah sebesar 72,2%
yaitu sebanyak 13 orang.
4.2 Perencanaan
4.2.1 Rencana Tindakan
Rencana tindakan mengacu pada SAK, terapi spesialis yang diberikan pada
klien adalah CBT dan AT. Pemberian asuhan keperawatan pada klien dengan
risiko perilaku kekerasan dilakukan berdasar upaya pencegahan dan
pengelolaan perilaku agresif pada klien dengan ririko perilaku kekerasan
dimana berada pada rentang strategi pencegahan, strategi antisipasi dan
strategi pembatasan (Stuart, 2013). Perencanaan asuhan keperawatan dapat
dilihat pada Tabel 4.9.
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
59
Universitas Indonesia
Tabel 4.9
Perencanaan Penatalaksanaan pada Klien dengan Risiko Perilaku
Kekerasan di Gatotkaca RS.Marzoeki Mahdi Bogor
17 Februari – 18 April 2014 (n=18)
Strategi Pencegahan Strategi
Antisipasi
Strategi
Pembatasan
Th/Generalis Th/Spesialis Th/Spesialis Manajemen Krisis
Terapi Generalis Assertive
Trainning
Cognitive
Behaviour
Therapy
1. Restrain
2. Seclusion
4.2.2 Implementasi Keperawatan
Tindakan keperawatan yang diberikan meliputi terapi generalis dan terapi
spesialis yang dilakukan oleh mahasiswa dan bekerjasama dengan Tim
Kesehatan di Ruang Gatot Kaca RSMM Bogor. (Tabel 4.10)
Tabel 4.10
Distribusi Pelaksanaan Terapi Spesialis Keperawatan Jiwa pada Klien
Risiko Perilaku Kekerasan di Gatotkaca RS.Marzoeki Mahdi Bogor
17 Februari – 18 April 2014 (n=18)
No Terapi Keperawatan Jumlah
1 Terapi Generalis 18
2 Terapi Spesialis
a. Cognitive Behaviour Therapy &
Assertive Training
b. Assertive Training
8
10
Terapi generalis dilakukan kepada 18 klien, terapi generalis rata-rata
dilakukan sebanyak 3-4 kali. Tindakan keperawatan yang dilakukan berupa
mengevaluasi kemampuan yang telah dimiliki klien untuk mengontrol rasa
marahnya dan melatih kemampuan yang belum dimilki untuk mengontrol
perilaku kekerasan (cara fisik, verbal, sosial, spiritual dan patuh minum
obat). Tindakan generalis sebagian besar juga dilakukan oleh perawat
ruangan dan mahasiswa praktik yang lain.
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
60
Universitas Indonesia
Terapi spesialis merupakan terapi lanjutan, diberikan terhadap 18 klien,
yaitu: Assertive training (AT) diberikan pada 10 orang klien. Assertive
training diberikan pada klien yang menunjukkan perilaku marah namun
tidak dapat mengontrol marah tersebut namun tidak menimbulkan perilaku
yang dapat membahayakan diri sendiri,orang lain dan lingkungan. Terapi
AT rata-rata diberikan dalam 5-6 kali pertemuan. Keterampilan yang dilatih
kepada klien dalam pelaksanaan assertive trainning khususnya dengan
masalah risiko perilaku kekerasan yaitu melatih kemampuan
mengungkapkan marah secara langsung dan secara asetif kepada orang lain,
mengekspresikan sesuatu secara tepat, menyampaikan kebutuhan dan
keinginan. Setelah mengikuti assertive trainning, klien menunjukkan
peningkatan kemampuan dalam hal berperilaku secara asertif terutama
dalam hal mengekspresikan kebutuhan atau keinginan baik secara verbal
maupun non verbal.
Cognitive Behavior Therapy dan Assertive training diberikan terhadap 8
klien dengan frekuensi interaksi rata-rata 7-8 kali. Cognitive Behavior
Therapy dan Assertive training ini diberikan pada klien yang memiliki
pikiran negatif yang dapat memunculkan perilaku negatif yang dapat
membahayakan diri sendiri, orang lain dan lingkungan. Tujuan dari
pelaksanaan terapi ini adalah merubah pikiran maupun perilaku negatif yang
ada dalam diri klien untuk dirubah menjadi hal positif yang bersifat adaptif.
Setelah dilakukan terapi kognitif perilaku klien banyak mengalami
perubahan khususnya dalam respon kognitif, perilaku dan sosialnya.
4.2.3 Evaluasi Hasil
Setelah Pemberian asuhan keperawatan maka dilakukan pengukuran
terhadap tanda dan gejala risiko perilaku kekerasan. Pengukuran dilakukan
dengan menggunakan kuesioner penilaian risiko perilaku kekerasan yang
dimodifikasi berdasarkan hasil penelitian-penelitian sebelumnya. Alat ukur
ini digunakan pada saat sebelum dilakukan pemberian Cognitive Behavior
Therapy dan Assertive training dan setelah pemberian terapi selesai.
Evaluasi hasil kemampuan klien setelah diberikan tindakan keperawatan
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
61
Universitas Indonesia
adalah dengan membandingkan kondisi sebelum dan setelah mendapatkan
tindakan keperawatan. (Tabel 4.11)
Tabel 4.11
Distribusi Evaluasi Respon Terhadap Stresor Klien dengan Risiko
Perilaku Kekerasan sebelum dan sesudah Pemberian Cognitive
Behavior Therapy dan Assertive training di Ruang Gatot Kaca
RS. Marzoeki Mahdi Bogor
17 Februari – 18 April 2014 (n=18)
Respon AT & CBT (n=8) AT (10)
Pre Post Selisih Pre Post Selisih
Kognitif 3,75 1,86 1,89 2,8 1,5 1,3
Afektif 5,5 3 2,5 5,5 3,2 2,3
Fisiologis 3,63 0,63 3 3,4 2 1,4
Perilaku 5 2 3 3,9 1,9 2
Sosial 4,88 2,5 2,38 4,3 2,8 1,5
Berdasarkan tabel 4.11 menunjukkan bahwa terdapat penurunan tanda dan
gejala RPK setelah dilakukan pemberian terapi CBT dan AT pada respon
kognitif sebesar 1,89 poin, pada respon afektif sebesar 2,5 poin, respon
fisiologis sebesar 3 poin, respon perilaku sebesar 3 poin dan respon sosial
sebesar 2,38 poin. Pada klien yang mendapatkan terapi AT juga terjadi
penurunan tanda dan gejala RPK dimana pada respon kognitif terjadi
penurunan sebesar 1,3 poin, pada respon afektif sebesar 2,3 poin, pada
respon fisiologis sebesar 1,4 poin, pada respon perilaku sebesar 2 poin dan
respon sosial sebesar 1,5 poin.
Kemampuan klien dalam latihan asertif dievaluasi dengan menggunakan
alat ukur pada tiap-tiap sesi terapi. Alat ukur ini mengacu pada penelitian
Alini (2011). Kemampuan klien dalam latihan CBT juga dilakukan dengan
menggunakan alat ukur pada tiap-tiap sesi terapi CBT. Berikut kemampuan
klien RPK setelah mendapatkan terapi AT dan CBT. Total kemampuan
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
62
Universitas Indonesia
untuk CBT adalah 23 kemampuan. Total kemampuan AT adalah 26
kemampuan. (Tabel 4.12)
Tabel 4.12
Distribusi Evaluasi Kemampuan CBT dan AT pada pasien Risiko
Perilaku Kekerasan di Ruang Gatot Kaca RS. Marzoeki Mahdi Bogor
17 Februari – 18 April 2014 (n=8)
Nama
Pasien
AT CBT
I ∑ II ∑ III ∑ IV ∑ V ∑ I ∑ II ∑ III ∑ IV ∑ V ∑
Tn.1 3 3 4 4 8 9 4 4 5 6 3 3 3 3 3 3 2 3 7 10
Tn.2 3 3 4 4 8 9 3 4 6 6 3 3 3 3 3 3 3 3 10 10
Tn.3 3 3 4 4 8 9 3 4 5 6 1 3 2 3 2 3 3 3 9 10
Tn.4 2 3 3 4 6 9 4 4 6 6 3 3 1 3 2 3 2 3 8 10
Tn.5 3 3 4 4 7 9 2 4 5 6 3 3 3 3 3 3 3 3 9 10
Tn.6 3 3 4 4 7 9 4 4 6 6 2 3 2 3 3 3 3 3 10 10
Tn.7 3 3 3 4 7 9 4 4 6 6 3 3 3 3 2 3 3 3 10 10
Tn.8 3 3 3 4 6 9 2 4 4 6 3 3 3 3 1 3 2 3 4 10
Berdasarkan Tabel 4.12 terlihat bahwa terjadi peningkatan kemampuan
dalam mengatasi tanda dan gejala risiko perilaku kekerasan setelah diberi
CBT dan AT pada masing-masing klien meskipun peningkatannya tidak
maksimal.
Tabel 4.13
Distribusi Evaluasi Kemampuan AT pada pasien Risiko Perilaku
Kekerasan di Ruang Gatot Kaca RS. Marzoeki Mahdi Bogor
17 Februari – 18 April 2014 (n=10)
Nama
Pasien
AT
I ∑ II ∑ III ∑ IV ∑ V ∑
Tn.1 3 3 4 4 8 9 4 4 5 6
Tn.2 3 3 4 4 8 9 3 4 6 6
Tn.3 3 3 4 4 8 9 3 4 5 6
Tn.4 3 3 3 4 6 9 4 4 4 6
Tn.5 3 3 4 4 7 9 2 4 5 6
Tn.6 3 3 4 4 7 9 4 4 6 6
Tn.7 3 3 3 4 7 9 4 4 6 6
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
63
Universitas Indonesia
Tn.8 3 3 3 4 6 9 2 4 3 6
Tn.9 2 3 4 4 7 9 4 4 5 6
Tn.10 2 3 4 4 8 9 4 4 5 6
Berdasarkan Tabel 4.13 terlihat bahwa terjadi peningkatan kemampuan
dalam mengatasi tanda dan gejala risiko perilaku kekerasan setelah diberi
terapi asertif pada masing-masing klien meskipun peningkatannya tidak
maksimal.
4.3 Kendala Pelaksanaan Asuhan Keperawatan
Kendala yang ditemukan saat pelaksanaan terapi adalah kondisi klien yang
mudah berubah dengan waktu yang tidak bisa ditenukan/tiba-tiba sehingga
dalam pelaksanaan terapi disesuaikan dengan kesiapan klien sehingga perlu
dilakukan kontrak ulang. Tingkat kemampuan klien yang berbeda-beda
menjadikan pelaksanaan terapi tidak bisa berjalan sama. Hambatan lain
kondisi ruangan sering tidak kondusif saat melakukan terapi, hal ini
disebabkan karena jumlah praktikan yang banyak dan sering berinteraksi
dengan klien dan klien merasa jenuh jika harus berinteraksi lagi. Selain itu
belum adanya ruangan khusus yang dapat digunakan untuk perawat saat
melakukan terapi, idelanya pelaksanaan terapi membutuhkan privacy agar
klien dapat secara terbuka mengungkapkan masalahnya.
4.4 Rencana Tindak Lanjut
Rencana tindak lanjut yang dapat dilakukan pada klien adalah dengan
mengevaluasi kegiatan yang sudah dilakukan dan dijadualkan dengan
difasilitasi oleh perawat diruangan. Kemudian melakukan asuhan
berkesinambungan dimana saat klien dipindahkan keruang tenang, perawat
yang ada diruangan menyampaikan kemampuan apa saja yang sudah dimiliki
klien sehingga tidak terjadi pengulangan dalam pemberian tindakan
keperawatan saat diruang tenang. Untuk keluarga diharapkan sebagai support
system bagi klien agar rutin mengunjungi klien.
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
64
Universitas Indonesia
BAB 5
PEMBAHASAN
Pada bab ini akan dijeaskan tentang pembahasan dari hasil pelaksanaan
manajemen asuhan keperawatan spesialis pada klien dengan risiko perilaku
kekerasan di Ruang Gatot Kaca RSMM Bogor. Penjelasan hasil pelaksanaan
asuhan keperawatan ini dimulai dengan pendekatan model Stress Adaptation
Stuart tahun 2013 dan model Stress Adaptation Roy.
5.1. Karakteristik Klien Risiko Perilaku Kekerasan di Ruang Gatot Kaca
Hasil pengkajian karakteristik pada klien risiko perilaku kekerasan meliputi
Usia, Pendidikan, Jenis Kelamin, Status perkawinan
5.1.1 Usia
Hasil pengkajian usia terbanyak klien risiko perilaku kekerasan pada
rentang usia 25-60 tahun. Penelitian Pardede (2013) usia rata-rata klien
skizoprenia adalah 35 tahun dimana usia termuda 19 tahun dan usia tertua
58 tahun. Penelitian Sudiatmika (2011) pada klien skizofrenia di RS
Marzoeki Mahdi Bogor rata-rata usianya adalah 32 tahun dengan usia
termuda 18 tahun dan usia tertua 55 tahun. Penelitian klien skizofrenia juga
dilakukan oleh Lelono (2011) di RS marzoeki Mahdi dengan rata-rata usia
klien 31 tahun dengan usia termuda 18 tahun dan usia tertua 51 tahun. Sama
juga seperti penelitian yang dilakukan oleh Sulistiowati (2012) pada klien
skizofrenia di RS Marzoeki Mahdi dengan 60 responden bahwa usia rata-
rata 30 tahun dengan usia termuda 19 tahun dan usia tertua 45 tahun.
Berdasarkan pemaparan tentang usia klien skizofrenia di atas bisa
disimpulkan usia rata-rata yang menjadi responden adalah usia dewasa
muda dan usia pertengahan dimana sesuai dengan pendapat Stuart (2009)
yang menyatakan usia merupakan aspek sosial budaya terjadinya gangguan
jiwa dengan risiko frekuensi tertinggi pada usia 25-44 tahun
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
65
Universitas Indonesia
5.1.2 Jenis Kelamin
Jenis kelamin yang teridentifikasi diruangan Gatot Kaca adalah 100% laki-
laki dengan risiko perilaku kekerasan. Ruangan yang dilakukan intervensi
untuk pengambilan data adalah ruang intermediete laki-laki. Penelitian yang
dilakukan Abel, Drake dan Goldstein (2010) menunjukkan bahwa laki-laki
cendrung menunjukkan gejala negatif dari skizofrenia daripada wanita
dimana perbedaan dicerminkan dari proses perkembangan saraf dan dampak
hubungan sosial. Penelitian yang dilakukan Holey (2010) menunjukkan
bahwa laki-laki yang menderita skizofrenia akan mengalami hubungan
interpersonal yang lebih buruk yang ditandai dengan fungsi sosial yang
buruk dibanding perempuan yang mengalami skizofrenia. Shives (2012)
menyatakan bahwa skizofrenia biasanya muncul lebih awal pada laki-laki
dibanding wanita. Pendapat yang sama disampaikan oleh Townsend (2014)
bahwa gejala skizoprenia muncul lebih awal pada pria dibanding wanita.
5.1.3 Pendidikan
Klien yang dirawat dengan masalah Risiko perilaku kekerasan di ruang
Gatot Kaca mayoritas berpendidikan menengah (SMP-SMA) yaitu 72,2%.
Sesuai dengan penelitian yang dilakukan Hastuti (2013) dimana didapatkan
hasil bahwa klien yang melakukan tindakan perilaku kekerasan
berpendidikan menengah sebanyak 46,5%. Penemuan ini berbeda dengan
penelitian terdahulu yang dilakukan Keliat (2003) dimana bahwa klien yang
melakukan tindakan perilaku kekerasan biasanya berpendidikan rendah.
Sedangkan penelitian yang dilakukan Pasaribu (2013) dimana 53,84% klien
yang dirawat diruang Gatot Kaca yang melakukan tindakan perilaku
kekerasan berpendidikan tinggi. Stuart (2013) menjelaskan bahwa strategi
koping sangat berhubungan dengan fungsi kognitif. Tingkat pendidikan
akan mempengaruhi cara berfikir, menganalisa suatu masalah, membuat
keputusan dan memecahkan masalah, serta mempengaruhi cara penilaian
klien terhadap stresor. Pendidikan yang tinggi mempengaruhi tingkat
pengetahuan seseorang. Semakin tinggi pendidikan semakin tinggi tingkat
pengetahuan seseorang dalam pembentukan perilaku kesehatan
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
66
Universitas Indonesia
(Notoatmojo,2010). Perilaku tidak hanya dipengaruhi oleh pendidikan tapi
juga diperoleh dari proses belajar dari lingkungan (Hambali & Jaenudin,
2013). Semakin tinggi tingkat pendidikan akan berbanding lurus dengan
keterampilan koping yang dimiliki. Stuart & Laraia (2005) menyatakan
bahwa pendidikan merupakan salah satu tolak ukur dalam membina
hubungan sosial dengan orang lain sehingga semakin tinggi pendidikan
maka akan semakin baik strategi koping yang digunakan.
5.1.4 Pekerjaan
Pada tulisan ini sebagian besar klien dengan risiko perilaku kekerasan tidak
bekerja (72,2%). Townsend (2013) mengatakan bahwa perilaku kekerasan
dikaitkan dengan masalah status sosial. Status sosial ekonomi rendah lebih
berpotensi mengalami gangguan jiwa dibanding tingkat ekonomi yang
tinggi termasuk skizoprenia. hal ini didukung oleh penelitian Sudiatmika
(2011) pada klien skizoprenia yang tidak bekerja sebanyak 53,3%.
Penelitian Lelono (2011) dalam penelitiannya pada klien skizoprenia yang
tidak bekerja sebanyak 51,7%. Keliat (2003) menyatakan bahwa perilaku
kekerasan dapat dipengaruhi oleh status klien yang tidak memiliki
pekerjaan. Keberhasilan dalam pekerjaan merupakan hal penting bagi
kehidupan pria dan wanita dimasa dewasa. Keberhasilan tidak hanya dari
segi ekonomi tapi juga hubungan pertemanan, kehidupan sosial dan
penghargaan terhadap rekan kerja. Individu yang tidak berhasil dalam
mempertahankan pekerjaan dapat menimbulkan stres. (Potter, P.A & Perry,
A.D. (2010).
5.1.5 Status Perkawinan
Berdasarkan hasil pengkajian, klien yang mengalami gangguan jiwa berada
pada usia dewasa. Menurut tahap perkembangan Erikson, pada usia dewasa
tahapan yang harus dicapai adalah menjalin hubungan intim dengan lwan
jenis dalam ikatan pernikahan. Stuart (2013) menyatakan bahwa faktor
predisposisi terjadinya perilaku kekerasan salah satunya adalah
ketidakmampuan mencintai sehingga klien yang bercerai atau tidak punya
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
67
Universitas Indonesia
pasangan beresiko mengalami gangguan jiwa. Dari data pengkajian,
sebanyak 9 orang (50%) klien dengan risiko perilaku kekerasan belum
menikah. Penelitian Pasaribu (2013) sebesar 69,23% dan penelitian Hastuti
(2013) sebesar 53,3% klien risiko perilaku kekerasan memiliki status
perkawinan belum menikah. Penelitian lain juga menyebutkan bahwa
angka kejadian perilaku kekerasan pada klien skizoprenia ditemukan pada
klien yang belum menikah (Bobes, Fillat, Arango (2009); Belli dan Ural,
2012). Hasil penelitian yang dilakukan Choi dan Marks (2011)
menunjukkan bahwa individu yang sudah menikah memiliki kualitas hidup
yang lebih baik dibanding individu yang belum menikah. Dikaitkan dengan
tahap tumbuh kembang diusia dewasa, pada usia ini individu membangun
identitas dirinya,memperdalam rasa kasih sayang dan peduli terhadap orang
lain. mereka mencari arti hubungan pertemanan dan mempererat hubungan
dengan orang lain. jika seorang dewasa tidak dapat membangun hubungan
pertemanan dan keakraban akan terjadi pemisahan karena mereka takut
ditolak dan kecewa (Berger, 2005 dalam Potter, P.A & Perry, A.D. (2010).
Erickson (1969, dalam Monks, Knoers & Haditono, 2001) mengatakan
bahwa seseorang dikatakan berada dalam dewasa awal berada dalam
hubungan hangat, dekat dan komunikatif dengan atau tanpa melibatkan
kontak seksual. Bila gagal dalam bentuk keintiman/intimasi maka ia akan
mengalami apa yang disebut isolasi (merasa tersisihkan dari orang lain,
kesepian, menyalahkan diri karena berbeda dengan orang lain). Dapat
disimpulkan bahwa risiko perilaku kekerasan dapat muncul pada klien yang
belum mencapai tahap perkembangan di usia muda dimana klien belum
memiliki pasangan hidup dan belum menikah.
5.2. Hasil Pengkajian Kondisi dengan Risiko Perilaku Kekerasan
Hasil pengkajian pada klien dengan risiko perilaku kekerasan terdiri dari
faktor predisposisi, faktor presipitasi, penilaian terhadap stresor, sumber
koping dan mekanisme koping.
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
68
Universitas Indonesia
5.2.1 Faktor Predisposisi
Roy mengatakan stimulus yang dialami seseorang dapat berasal dari
eksternal maupun internal. Menurut Stuart (2013) pengalaman masa lalu
memiliki makna dan pengaruh tersendiri bagi setiap individu. Faktor
predisposisi merupakan bagian dari stimulus kontekstual dalam teori
Adaptasi Roy. Faktor predisposisi meliputi biologi, psikologi dan
sosiokultural.
Hasil pengkajian faktor predisposisi pada klien dengan risiko perilaku
kekerasan di ruang Gatot Kaca didapatkan riwayat gangguan jiwa
sebelumnya. Hal ini sesuai dengan hasil pengkajian yang dilakukan Walter
(2011) dimana pada klien isolasi sosial diruang yudistira ditemukan 77,1%
klien memiliki riwayat gangguan jiwa sebelumnya. Penelitian lain
menunjukkan bahwa pasien dengan riwayat gangguan jiwa, riwayat trauma,
pengalaman yang tidak menyenangkan dan tidak adanya dukungan sosial
merupakan faktor risiko terjadinya gangguan jiwa (Brewin et al, 2000 dalam
NCCMH, 2005). Faktor biologis klien gangguan jiwa penting untuk
diketahui terkait dengan terapi psikofarmaka yang akan diberikan.
Faktor biologis terkait dengan struktur dan fungsi otak serta
neurotransmiter, selain itu dapat pula dipengaruhi oleh faktor genetik. Pada
pengkajian ini faktor genetik menjadi faktor predisposisi pada 6 orang klien
atau sebesar 33,3%. Menurut Townsend (2013) faktor genetik biasanya
ditemukan pada individu yang memiliki anggota keluarga dengan gangguan
jiwa. Faktor biologis lain adalah penggunaan Napza, hasil pengkajian
menunjukkan bahwa sebanyak 27,8% yaitu 5 orang klien memiliki riwayat
penggunaan napza.
Faktor predisposisi terkait psikologis ditemukan sebanyak 18 klien (100%)
pernah mengalami kegagalan/kehilangan. Stuart (2013) mengatakan bahwa
faktor psikologis yang meliputi konsep diri, intelektualitas, kepribadian,
moralitas, pengalaman masa lalu, koping dan keterampilan komunikasi
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
69
Universitas Indonesia
secara verbal mempengaruhi perilaku seseorang dalam hubungannya dengan
orang lain. Pengalaman masa lalu berupa kegagalan/kehilangan akan
mempengaruhi respon individu dalam mengatasi stresornya.
Faktor predisposisi terkait sosialkultural dimana ditemukan pada 13 klien
(72,2%) tidak bekerja. Townsend (2013) mengatakan bahwa perilaku
kekerasan dikaitkan dengan masalah status sosial. Status sosial ekonomi
rendah lebih berpotensi mengalami gangguan jiwa dibanding tingkat
ekonomi yang tinggi termasuk skizoprenia. hal ini didukung oleh penelitian
Sudiatmika (2011) pada klien skizoprenia yang tidak bekerja sebanyak
53,3%. Keliat (2003) menyatakan bahwa perilaku kekerasan dapat
dipengaruhi oleh status klien yang tidak memiliki pekerjaan. Faktor
predisposisi terkait sosialkultural lain adalah pendidikan yang rendah, status
ekonmi yang rendah dan kasus PHK.
5.2.2 Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi terkait dengan stimulus yang dipersepsikan individu
sebagai suatu kesempatan, tantangan, ancaman/tuntutan. Stimulus tersebut
dapat menguras energi, menyebabkan stres dan tekanan (Cohen, 2000 dalam
Stuart, 2013). Sedangkan menurut Roy stimulus fokal yaitu semua stimulus
yang ada pada saat itu yang berkontribusi terhadap efek dari stimulus fokal.
Faktor presipitasi dapat berupa elemen yang sama dengan faktor
predisposisi yaitu meliputi biologi, psikologi dan sosiokultural namun faktor
presipitasi memiliki kejelasan yang meliputi empat hal yaitu sifat stresor,
asal stresor, lamanya stresor yang dialami, dan banyaknya stresor yang
dihadapi oleh seseorang (Stuart, 2013).
Pada hasil pengkajian yang dilakukan pada klien diruang Gatot Kaca
ditemukan Faktor presipitasi terbanyak yang menyebabkan timbulnya
gangguan jiwa adalah putus obat (83,3%), Keinginan yang tidak terpenuhi
(100%), dan masalah pekerjaan (72,2%). Penelitian sebelumnya Pasaribu
(2013) dan Hastuti (2013) juga didapatkan hal yang sama yaitu klien
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
70
Universitas Indonesia
mengalami perilaku kekerasan karena putus obat. Klien mengalami putus
obat disebabkan oleh beberapa hal seperti klien merasa sudah sembuh,
adanya rasa jenuh, adanya kebosanan atau klien merasa ngantuk jika
minum obat. Varcarolis (2010) juga memaparkan bahwa pemicu klien
menghentikan pengobatan secara sepihak karena klien merasa tidak nyaman
dan tidak dapat bertoleransi terhadap efek samping dari obat yang
dikonsumsinya.
Kebanyakkan klien yang dirawat diruang Gatot Kaca mengalami gangguan
diakibatkan adanya stresor yang berasal dari luar. Stresor tidak hanya
bersumber dari eksternal tetapi juga dari internal klien. Stresor muncul
kurang dari 6 bulan dan jumlahnya lebih dari 2 stresor.
Faktor presipitasi dapat dikatakan sebagai stimulus fokal. Konsep Roy
menekankan pada proses manusia dalam beradaptasi dengan stimulus yang
ada. Stimulus yang ada akan mempengaruhi invidivu sehingga akan
membuat mekanisme koping bekerja yang nantinya akan mempengaruhi
mode adaptif individu tersebut. perilaku yang muncul adalah hasil proses
mekanisme koping terhadap model adaptif yang terganggu akibat stimulus
yang muncul. Perilaku kekerasan adalah perilaku yang muncul saat individu
menghadapi stimulus dan perilaku kekerasan tersebut bersifat maladaptif
atau inefektif sehingga perlu diarahkan untuk menjadi perilaku adaptif.
Faktor presipitasi dapat menjadi stimulus pencetus munculnya perilaku
kekerasan.
5.2.3 Penilaian Stresor
Penilaian terhadap stresor merupakan suatu proses evaluasi secara
menyeluruh yang dilakukan oleh individu terhadap stresor dengan tujuan
untuk melihat tingkat kemaknaan dari suatu kejadian yang dialaminya
(Stuart, 2013). Respon Kognitif pada klien dengan risiko perilaku kekerasan
yaitu punya pikiran negatif dalam menghadapi stresor sebanyak 14 orang
(77,8%). Penderita skizofrenia terdapat penurunan fungsi kognitif dan yang
sering ditemukan adalah gangguan memori dan fungsi eksekutif lainnya
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
71
Universitas Indonesia
(Sinaga, 2007). Gangguan memori yang paling sering terjadi adalah
gangguan memori segera dan memori jangka panjang dan fungsi eksekutif
yang terganggu adalah kemampuan berbahasa, memecahkan masalah,
mengambil keputusan, atensi dan perencanaan.
Respon afektif klien risiko perilaku kekerasan merasa kecewa/kesal
sebanyak 18 orang (100%). Sinaga (2007) menjelaskan bahwa respon
afektif berhubungan dengan rendahnya metabolisme glukosa di area
brodman 22 (korteks bahasa, asosiatif, sensori). Menurut stuart (2013)
respon afektif yang muncul perasaan tidak nyaman, merasa tidak berdaya,
jengkel, merasa ingin berkelahi, mengamuk, bermusuhan, sakit hati,
menyalahkan, menuntut, mudah tersinggung, euporia yang berlebihan atau
tidak tepat, dan afek labil, iritabilitas, depresi, apatis (Boyd & Nihart,
2002).
Respon fisiologis klien risiko perilaku kekerasan yaitu wajah tampak tegang
dan kewaspadaan meningkat sebanyak 10 orang (55,6%). Respon fisiologis
pada perilaku kekerasan timbul karena kegiatan sistem syaraf otonom
bereaksi terhadap sekresi epinefrin sehingga tekanan darah meningkat,
takikardi (frekuensi denyut jantung meningkat), wajah memerah, pupil
membengkak, frekuensi pembuangan urin meningkat. Peningkatan denyut
jantung, mempersiapkan orang untuk bergerak, dan peningkatan aliran
darah ke tangan, menyiapkan mereka untuk menyerang (Novaco, 2010).
Keringat meningkat (terutama ketika kemarahan itu intens), Sekresi oleh
adrenal medula dari katekolamin, epinefrin, dan norepinefrin dan oleh
glukokortikoid korteks adrenal memberikan sistem simpatik efek yang
memobilisasi tubuh untuk tindakan segera. Menurut Stuart (2013), Perilaku
kekerasan dapat dilihat dari wajah tegang, tidak bisa diam, mengepalkan
atau memukulkan tangan, rahang mengencang, peningkatan pernafasan, dan
kadang tiba-tiba seperti kataton.
Respon perilaku klien risiko perilaku kekerasan yaitu melempar dan
merusak barang sebanyak 16 orang (88,9%). Sering mondar-mandir, tidak
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
72
Universitas Indonesia
mampu untuk duduk tenang, tangan mengepal, menghentikan aktivitas
motorik dengan tiba-tiba, kata-kata menekan, suara keras, memerintah
(Stuart, 2009). Respon sosial yaitu dengan menarik diri sebanyak 15 orang
(83,3%). Klien dengan risiko perilaku kekerasan cenderung menyalahkan
orang lain, membicarakan kesalahan orang lain, mengejek, berkata kasar
dan menolak hubungan dengan orang lain, melanggar batas jarak personal
saat berinteraksi (Rawlins, Williams & Beck, 1998), kekerasan verbal
terhadap orang lain berupa kata-kata kasar, nada suara tinggi dan
bermusuhan (Morison, 1993). Ancaman yang ditujukan pada objek nyata
atau imajiner, menimbulkan gangguan untuk menarik perhatian, suara keras,
kata-kata menekan (Stuart, 2013).
5 .2.4 Sumber Koping
Sumber koping adalah pilihan atau strategi yang dapat membantu untuk
memutuskan apa yang terbaik dilakukan. Menurut Stuart (2013) sumber
koping yang dimiliki individu dalam menghadapi depresi yang dialami
terdiri dari kemampuan individu (personal ability), dukungan sosial (Social
Support), material asset dan positive believe. Dari hasil pengkajian,
sebagian klien risiko perilaku kekerasan tahu cara mengatasi masalah risiko
perilaku kekerasan yaitu 10 orang (55,6%). Sebagian besar keluarga klien
tidak mengenal masalah risiko perilaku kekerasan dan tidak mampu
merawat risiko perilaku kekerasan yaitu 15 orang (83,3%). Klien tidak
mendapat dukungan dari masyarakat dan dukungan kelompok. Sebagian
besar jaminan kesehatan yang digunakan klien adalah BPJS. Dukungan
finansial merupakan salah satu penyangga terhadap efek dari stres dimana
dengan mempunyai dukungan finansial yang kuat dapat meningkatkan
kemampuan koping klien dan keluarga meliputi harga diri dan efikasi diri
(Boen, Dalgard, Bjertnerss, 2012). Sumber pelayanan kesehatan rata-rata
dekat dari tempat tinggal klien (88,9%). 18 orang klien memiliki keyakinan
untuk sembuh dan yakin dengan pelayanan kesehatan yang dijalani.
Peningkatan kemampuan personal terutama dalam menghadapi masalah dan
dampaknya akan mempengaruhi mekanisme koping pasien. pengetahuan
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
73
Universitas Indonesia
dan intelegensia memungkinkan individu untuk melihat cara yang berbeda
dalam menghadapi situasi sulit. Dukungan sosial menjadi penting
keberadaannya bagi pasien dalam menghadapi masalah. Tanpa adanya
dukungan sosial yang cukup, pengetahuan dan kemampuan hanya akan
menjadi sia-sia karena mengalami hambatan dalam mengaplikasikannya.
Dukungan sosial dapat diberikan oleh pasangan, keluarga, lingkungan dan
masyarakat sekitar.
Keluarga berperan sebagai pemberi motivasi, pengawas, sumber ekonomi
dan lainnya. Adanya dukungan sosial akan meningkatkan motivasi pasien
untuk meningkatkan status kesehatannya. Kepemilikan jaminan kesehatan,
sumber rujukan dan pelayanan kesehatan dimasyarakan serta sumber
keuangan merupakan aset materi yang dimiliki oleh pasien untuk
meningkatkan kemampuan dalam menghadapi masalah. Sedangkan
Keyakinan diri yang positif dapat meningkatkan harapan sehingga
mempengaruhi kemampuan individu dalam menghadapi masalah bahkan
dalam situasi yang membingungkan.
5.2.5 Mekanisme Koping
Mekanisme koping adalah segala upaya yang diarahkan pada manajemen
stres. Hasil yang didapat pada klien yang dirawat di Gatot Kaca, mekanisme
koping yang paling banyak digunakan adalah mekanisme koping destruktif
yaitu diam/memendam masalah sebesar 72,2 %. Stuart (2013) mengatakan
pengabaian atau berdiam diri terhadap masalah yang dihadapi adalah
mekanisme koping yang berfokus pada kognitif dimana berusaha mengatasi
masalah dengan cara meredam permasalahan yang sedang dihadapi. Roy
mengatakan mekanisme koping yang diterapkan bertujuan untuk mencapai
model adaptif. Ada dua mekanisme koping, yaitu regulator dan kognator.
Kedua mekanisme koping ini bertindak untuk mencapai mode adaptif.
Regulator merupakan mekanisme koping yang berespon terhadap system
saraf, kimiawi, dan endokrin (Tomey & Alligood, 2010). Sedangkan
kognator merupakan mekanisme koping yang berespon terhadap jalur
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
74
Universitas Indonesia
pikiran dan emosi, meliputi proses persepsi-informasi, proses belajar,
pengambilan keputusan, dan emosi (Fitzpatrick & Whall, 1989). Mekanisme
koping regulator lebih cenderung untuk masalah fisik atau mekanisme
tubuh, sedangkan kognator lebih cenderung kearah pikiran dan emosi. Hasil
akhir dari proses adaptasi berupa respon adaptif, namun jika perilaku yang
ditampilkan individu tidak menggambarkan integritas maka akan berubah
menjadi respon yang inefektif (Robinson & Kish, 2001). Pemberian
tindakan keperawatan CBT dan AT bertujuan untuk membangun
mekanisme koping yang bertujuan untuk mengubah perilaku yang inefektif
menjadi adaptif ketika individu dihadapkan pada stimulus.
5.2.6 Diagnosa Medis
Hasil Pengkajian didapatkan data bahwa sebagian besar klien memiliki
diagnosa medis skizoprenia paranoid (88,9%). Kaplan dan Saddock (2007)
mengatakan bahwa jenis skizofrenia yang paling sering melakukan perilaku
kekerasan adalah skizofrenia paranoid.
5.3. Penerapan Terapi pada Klien Risiko Perilaku Kekerasan dengan
Pendekatan Model Adaptation Roy
Penatalaksanaan keperawatan dalam mengatasi resiko perilaku kekerasan
dengan menggunakan CBT dan AT dilakukan dengan pendekatan model
Adaptasi Stuart dan Model Adaptasi Roy. Konsep utama model Roy adalah
adaptasi. Roy mengungkapkan adaptasi merupakan proses dan hasil dari
berpikir dan berperasaan manusia sebagai individu atau kelompok yang
menggunakan kesadarannya untuk berintegrasi dengan lingkungan (Roy,
2009). Roy juga menjelaskan ada dua bentuk .mekanisme koping, yaitu
regulator dan kognator. Selain mekanisme koping, Roy juga menjelaskan
tentang empat model adaptif pada individu, yakni model fisiologis, konsep
diri, fungsi peran dan interdependensi. Hasil akhir dari proses adaptasi berupa
respon adaptif, namun jika perilaku yang ditampilkan individu tidak
menggambarkan integritas maka akan berubah menjadi respon yang inefektif
(Robinson & Kish, 2001).
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
75
Universitas Indonesia
Model adaptasi Roy digambarkan sebagai suatu model yang terdiri atas input,
proses kontrol, efektor dan output. Input pada manusia berupa stimulus-
stimulus yang diterima baik yang berasal dari lingkungan luar atau dari
dirinya sendiri. Stimulus tersebut meliputi stimulus internal yang merupakan
tingkat adaptasi individu dan menggambarkan rentang stimulus yang bisa
ditoleransi oleh individu (Fitzpatrick & Whall, 1989). Stimulus yang masuk
melaui input selanjutnya akan diproses melalui proses kontrol.
Proses kontrol dari manusia adalah mekanisme koping. Ada dua mekanisme
koping, yaitu regulator dan kognator. Kedua mekanisme koping ini bertindak
untuk mencapai mode adaptif. Regulator merupakan mekanisme koping yang
berespon terhadap system saraf, kimiawi, dan endokrin (Tomey & Alligood,
2010). Sedangkan kognator merupakan mekanisme koping yang berespon
terhadap jalur pikiran dan emosi, meliputi proses persepsi-informasi, proses
belajar, pengambilan keputusan, dan emosi (Fitzpatrick & Whall, 1989).
Mekanisme koping regulator lebih cenderung untuk masalah fisik atau
mekanisme tubuh, sedangkan kognator lebih cenderung kearah pikiran dan
emosi.
Mekanisme koping yang diterapkan bertujuan untuk mencapai model adaptif,
yang telah disebutkan sebelumnya. Keempat model ini ditentukan dengan
menganalisa dan mengelompokkan perilaku klien, digambarkan sebagai suatu
system yang berinteraksi dengan regulator dan kognator, sehingga perilaku
yang dihasilkan dari aktivitas regulator dan kognator ini bisa diamati dalam
keempat model adaptif tersebut (Fitzpatrick & Whall, 1989). Stimulus yang
ada akan mempengaruhi invidivu sehingga akan membuat mekanisme koping
bekerja (regulator dan kognator) yang nantinya akan mempengaruhi mode
adaptif individu tersebut. Perilaku yang muncul adalah hasil proses
mekanisme koping terhadap model adaptif yang terganggu akibat stimulus
yang muncul.
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
76
Universitas Indonesia
Efektor dalam model Roy ini terbagi atas empat model adaptif yaitu model
fisiologis, yaitu berkaitan dengan proses fisik dan kimiawi meliputi fungsi dan
aktivitas makhluk hidup. Ada lima kebutuhan yang teridentifikasi pada model
ini, yaitu oksigenasi, nutrisi, eliminasi, aktivitas dan tidur, dan perlindungan.
Kebutuhan dasar dari model ini adalah tercapainya integritas fisiologis
(Tomey & Alligood, 2010). Berdasarkan model fisiologis ini, semua hal yang
berkaitan dengan masalah mekanisme kerja tubuh untuk mencapai suatu
kondisi yang berdaptasi. Model selanjutnya adalah konsep diri, yang
merupakan salah satu model psikososial. Model ini focus pada psikososial dan
spiritual makhluk hidup. Kebutuhan dasar dari moel ini adalah bagaimana
individu untuk menjadi sesuatu atau bermakna dengan perasaan kesatuan,
bermakna dan berguna bagi lingkungan. Konsep diri merupakan gabungan
dari keyakinan dan perasaan tentang dirinya yang terbentuk dari persepsi
internal dan persepsi dari luar dirinya sendiri (Tomey & Alligood, 2010).
Model konsep diri ini adalah merupakan bagaimana persepsi diri individu
tentang dirinya dan apa arti dan manfaat individu untuk orang lain dan
lingkungan.
Model yang ketiga adalah model fungsi peran, yaitu model sosial yang
berfokus pada peran individu di masyarakat. Peran yang merupakan
pengharapan tentang bagaimana individu menjalankan posisinya. Peran yang
ditampilkan individu bersupa peran primer, sekunder dan tersier. Peran primer
merupakan perilaku utama yang dipakai oleh individu selama periode tertentu,
berdasarkan usia, jenis kelamin, dan tahap perkembangan. Peran sekunder
meliputi semua asumsi individu untuk memenuhi tugas yang berkaitan dengan
tahap perkembangan dan peran primer. Sedangkan peran tersier berkaitan
dengan peran sekunder dan menggambarkan bagaimana inividu memenuhi
peran yang mereka jalani. Peran tersier ini menetap secara alami, bebas dipilih
oleh individu, dan meliputi aktivitas seperti klub atau hobi (Tomey &
Alligood, 2010). Model peran ini adalah peran yang disandang oleh individu
dalam kehidupannya, dimana individu tidak hanya menyandang satu peran
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
77
Universitas Indonesia
tapi banyak peran baik untuk diri sendiri atau di komunitas dimana mereka
berada.
Model yang terakhir adalah model interdependensi atau saling
ketergantungan. Model ini berfokus pada hubungan dekat dari seseorang.
Hubungan saling ketergantungan meliputi keinginan dan kemampuan untuk
memberi dan menerima dari orang lain meliputi semua aspek yang
ditawarkan. Ada dua hubungan yang fokus pada model ini, yaitu
interdependensi dengan orang lain yang berarti, dan interdependensi dengan
support system (Tomey & Alligood, 2010). Model interdependensi adalah
menggambarkan keterkaitan individu dengan orang lain dan support system
dimana akan ada proses memberi dan menerima dengan orang lain dan
lingkungan.
Setelah input, proses kontrol yang melibatkan mekanisme koping regulator
dan kognator, kemudian dilanjutkan dengan efektor. Efektor akan melihat
model adaptasi mana yang terganggu, bisa satu model ata beberapa model bisa
terganggu pada satu kesempatan. Hasilnya akan terlihat di output. Pada output
akan terlihat respon adaptif jika individu mampu mengatasi stimulus yang ada
dan respon inefektif jika individu tidak mampu berespon terhadap stimulus
dengan kemampuan yang dimilikinya (Fitzpatrick & Whall, 1989). Jika yang
muncul adalah respon yang tidak efektif ini akan membuat siklus terulang
kembali, respon inefektif tersebut menjadi stimulus dan proses terjadi kembali
sampai pada output.
Roy juga menjelaskan ada empat elemen penting yang masuk dalam teori
adaptasi, yaitu individu, lingkungan, kesehatan dan keperawatan.
Keperawatan terdiri atas dua kegiatan yaitu tujuan keperawatan dan aktivitas
keperawatan. Roy mendefenisikan keperawatan secara umum sebagai
professional kesehatan yang berfokus pada proses dan pola kehidupan
manusia, menekankan pada promosi kesehatan untuk individu, keluarga,
kelompok dan masyarakat sebagai satu kesatuan (Tomey & Alligood, 2010).
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
78
Universitas Indonesia
Aplikasi model adaptasi Roy pada asuhan keperawatan pada klien dengan
resiko perilaku kekerasan ini akan dijelaskan dengan memasukkan variable-
variabel yang berkontribusi terhadap timbulnya resiko perilaku kekerasan
kedalam model adaptasi Roy. Respon resiko perilaku kekerasan berdasarkan
model adaptasi Roy dapat disebabkan oleh tiga stimulus yang muncul dalam
kehidupan individu yaitu stimulus fokal, kontekstual, dan residual. Stimulus
fokal adalah segala sesuatu atau stresor yang datang dari luar atau dari dalam
individu yang akan mencetuskan terjadinya resiko perilaku kekerasan,
diantaranya stresor biologis, psikologis maupun sosial kultural. Stimulus fokal
pada tulisan ini adalah respon-respon yang muncul pada klien RPK seperti:
respon kognitif, afektif, perilaku, dan respon sosial.
Stimulus kontekstual adalah stimulus yang berasal dari internal atau eksternal
yang mempengaruhi stimulus fokal. Stimulus kontekstual pada klien RPK
meliputi karakteristik klien, yaitu usia, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan,
status perkawinan, status ekononi, dan lama mengalami sakit. Sedangkan
stimulus residual adalah faktor lingkungan lain yang mungkin membawa
pengaruh pada kondisi klien tapi sulit untuk diukur. Stimulus residual pada
klien RPK menurut Townsend (2014) diantaranya kepercayaan, pengalaman,
pengetahuan, sikap, atau ancaman yang mempengaruhi perilaku klien.
5.4. Efektivitas Penerapan AT dan CBT pada klien Risiko Perilaku
Kekerasan
Pemberian CBT dan AT pada klien dengan Risiko Perilaku Kekerasan
diharapkan dapat membuat klien mampu bertahan dengan perilaku adaptif
saat menghadapi stimulus yang muncul. Hasil evaluasi menunjukkan CBT
dan AT memberikan dampak yang efektif dalam menurunkan tanda dan
gejala risiko perilaku kekerasan. CBT adalah intervensi terapeutik yang
bertujuan untuk mengurangi tingkah laku mengganggu dan maladaptif
dengan mengembangkan proses kognitif. CBT bertujuan untuk menciptakan
ketrampilan yang memungkinkan individu untuk meningkatkan kesadaran
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
79
Universitas Indonesia
akan pikiran dan perasaannya, mengidentifikasi bagaimana situasi, pikiran
dan perilaku mempengaruhi perasaan dan meningkatkan kemampuan untuk
merubah pikiran dan perilaku maladaptif (Cully & Teten, 2008).
Pola pikir dan perasaan yang negatif dapat mempengaruhi perilaku klien.
pada sesi satu CBT klien Klien akan menceritakan tentang pikiran, perasaan
dan perilaku negatif yang dialami. Pikiran negatif biasa dianggap sebagai
pikiran yang nyata. Pikiran otomatis muncul pada situasi tertentu dan muncul
lebih cepat dibandingkan dengan munculnya pikiran positif terhadap diri.
Hasil identifikasi pikiran otomatis kemudian di informasikan dan dijelaskan
proses terjadinya pikiran tersebut kepada pasien untuk meningkatkan
kesadaran akan gangguan kognitif yang terjadi. Kemudian klien diminta
untuk memilih pikiran negatif yang dirasa paling sering muncul dan sangat
mempengaruhi perasaan klien. Pada sesi dua, klien dilatih untuk melawan
pikiran otomatis yang muncul dengan menggantikan pikiran tersebut dengan
pikiran yang rasional. Pada sesi ketiga, klien diminta untuk menerima
perilaku baru yang lebih adaptif dan perawat membantu memfasilitasi klien
dalam melatih perilaku baru yang akan diubah. Disesi keempat, perawat
mengevaluasi perkembangan dan perilaku positif dengan mengevaluasi
kemampuan klien dalam menyebutkan manfaat dan hasil dari melawan
pikiran negatif. Kemudian sesi kelima memberikan penjelasan tentang
pentingnya psikofarmaka dan terapi modalitas untuk mencegah kekambuhan
dan mempertahankan serta membudayakan pikiran dan perilaku yang baru.
Pada terapi asertif pada sesi satu bantu klien melatih kemampuan
mengungkapkan pikiran dan perasaan pada kondisi yang tidak
menyenangkan. Pada sesi dua bantu klien untuk mampu mengungkapkan
keinginan dan kebutuhan. Pada sesi ketiga bantu klien melatih
mengekspresikan kemarahan. Pada sesi keempat bantu klien latihan
mengatakan “tidak” untuk permintaan yang tidak rasional. Dan pada sesi
kelima bantu klien mempertahankan perubahan asertif dalam berbagai
situasi.
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
80
Universitas Indonesia
Dengan pemberian tindakan keperawatan CBT dan AT mampu meningkatkan
kemampuan klien dalam mengatasi tanda dan gejala risiko perilaku
kekerasan. Hal ini dilihat dari hasil evaluasi dimana terdapat penurunan tanda
dan gejala RPK setelah dilakukan pemberian terapi CBT dan AT pada respon
kognitif sebesar 1,89 poin, pada respon afektif sebesar 2,5 poin, respon
fisiologis sebesar 3 poin, respon perilaku sebesar 3 poin dan respon sosial
sebesar 2,38 poin. Pada klien yang mendapatkan terapi AT juga terjadi
penurunan tanda dan gejala RPK dimana pada respon kognitif terjadi
penurunan sebesar 1,3 poin, pada respon afektif sebesar 2,3 poin, pada respon
fisiologis sebesar 1,4 poin, pada respon perilaku sebesar 2 poin dan respon
sosial sebesar 1,5 poin.
Penurunan tanda dan gejala RPK dengan menggunakan CBT juga dibuktikan
oleh penelitian yang dilakukan oleh Fauziah (2011), Hidayat (2011),
Sudiatmika (2011) dan Lelono (2011). Penurunan tanda dan gejala RPK
dengan menggunakan AT dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh
Alini (2011).
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
81
Universitas Indonesia
BAB 6
SIMPULAN DAN SARAN
Pada bab ini penulis menyimpulkan hasil penulisan Karya Ilmiah Akhir dan
menyajikan saran bagi berbagai pihak yang berubungan dengan praktik klinik
keperawatan jiwa ditatanan pelayanan RSMM Bogor.
6.1 Simpulan
Karya ilmiah akhir ini memberikan gambaran mengenai pelaksanaan
manajemen terapi keperawatan spesialis AT dan CBT di ruang Gatot Kaca
RSMM Bogor menggunakan pendekatan Model Adaptasi Stuart dan Model
Adaptasi Roy. Simpulan yang diperoleh antara lain sebagai berikut :
1. Karakteristik klien RPK diruang Gatot Kaca berusia 25 hingga 50 tahun,
berpendidikan menengah, tidak bekerja dan sebagian besar belum
menikah
2. Faktor predisposisi gangguan jiwa pada klien berdasarkan aspek biologi,
psikologi dan sosialbudaya adalah memiliki riwayat gangguan jiwa
sebelumnya, memiliki riwayat kegagalan/kehilangan seperti putus cinta,
kehilangan orang tua, dan tidak punya pekerjaan
3. Faktor presipitasi gangguan jiwa pada klien berdasarkan aspek biologi,
psikologi dan sosial budaya adalah putus obat, keinginan yang tidak
terpenuhi, memiliki masalah dalam pekerjaan, asal stresor berasal dari
internal, waktu stresor kurang dari 6 bulan dan jumlah stresor lebih dari 2.
4. Repon yang muncul pada klien RPK pada aspek kognitif yaitu punya
pikiran negatif dalam menghadapi stresor, respon afektif pada klien RPK
muncul rasa marah, fisiologi yaitu wajah tampak tegang dan kewaspadaan
meningkat,respon perilaku cendrung muncul perilaku melempar/memukul
benda/orang lain dan sosial klien RPK cendrung menarik diri.
5. Aplikasi AT dan CBT dapat diterapkan pada klien RPK dengan rata-rata
pertemuan 7-8 kali
6. Pelaksanaan AT dan CBT sebagai psikoterapi dengan pendekatan Model
Adaptasi Stuart dan Model Adaptasi Roy membantu dalam proses
pengkajian sehingga data yang didpatkan lebih komprehensif.Aplikasi
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
82
Universitas Indonesia
Model Aadaptasi Roy diharapkan dapat membantu klien membentuk
perilaku yang Adaptif.
6.2 Saran
6.2.1 Pelayanan Keperawatan
6.2.1.1 Kepala Bidang Keperawatan
Memfasilitasi penerapan pelayanan keperawatan spesialis melalui program
perencanaan pengembangan tenaga keperawatan spesialis jiwa dan
memfasilitasi untuk tersedianya ruang konsultasi keperawatan di unit poli
psikiatri sehingga klien yang sudah pulang dari rumah sakit dapat
menerima asuhan keperawatan spesialis secara berkelanjutan
6.2.1.2 Kepala Ruangan dan Perawat Gatot kaca
a. Mempertahankan dan meningkatkan peran sebagai role model dalam
menjalankan kegiatan pelayanan MPKP dan asuhan keperawatan jiwa
khususnya pelayanan di ruang intermediete dalam penerapan tindakan
keperawatan generalis baik untuk individu, kelompok dan keluarga
sesuai dengan standar asuhan keperawatan yang telah diterapkan.
b. Menerapkan kontuinitas asuhan yang telah diberikan di ruang Gatot
kaca untuk dilanjutkan pada ruangan dimana klien dipindahkan
sehingga asuhan keperawatan yang diberikan kepada klien
berkelanjutan dan diakhirnya dapat dinilai secara keseluruhan
penurunan tanda dan gejala sebelum di Gatot kaca dan setelah dirawat
di Gatot kaca dan juga saat klien akan pulang. Kontuinitas asuhan juga
untuk dapat menilai peningkatan kemampuan klien setelah
mendapatkan terapi baik psikofarmaka yang diberikan oleh medis
maupun terapi keperawatan.
6.2.2 Program Spesialis Keperawatan Jiwa FIK UI
Melanjutkan kerjasama dengan pihak rumah sakit Marzoeki Mahdi
Bogor dalam memfasilitasi mahasiswa untuk praktik sebagai upaya
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
83
Universitas Indonesia
meningkatkan pelayanan kepada klien khususnya klien rirsiko perilaku
kekerasan dengan menggunakan konsep dan teori keperawatan yang
tepat.
6.2.3 Riset Keperawatan
Perlunya dikembangkan penelitian tentang penggunaan konsep model teori
yang dapat digunakan di ruang intermediete dengan klien risiko perilaku
kekerasan
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Daftar Pustaka
Alini, Keliat, BA., Wardani IY., (2012) Pengaruh Terapi Assertiveness Training dan
Progressive Muscle Relaxation terhadap gejala dan kemampuan klien dengan perilaku
kekerasan Tesis. Jakarta. FIK UI. Tidak dipublikasikan
American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental
disorders (5th Ed). Washington, DC: Author
Arthur & Zheng (2006). Need of Family Member about Schizophrenia. Journal of
Psychological Nursing & mental Helath Services. February, Vol.44.pg 38
Boyd, M.A. & Nihart, M.A. (2002). Psychiatric nursing contemporary practice. USA:
Lippincott Raven Publisher
Christina, (2005). Persepsi Keluarga Terhadap Anggota Keluarga yang Menderita
Gangguan Jiwa di Unit Psikiatrik Rumah Sakit Duren Sawit .Skripsi, Tidak
dipublikasikan.
Cully, J.A., Teten, A.L. (2008). A Therapist’s guide to brief Cognitive Behavioural Therapy.
Departement of Veterans Affairs. Houston
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2008). Riset kesehatan dasar 2007.
http://www.litbang.depkes.go.id/LaporanRKD/IndonesiaNasional.pdf, diperoleh tanggal 15
Mei 2013.
Fauziah, Hamid,A.Y, Nuraini (2009). Pengaruh terapi perilaku kognitif pada klien skizoprenia
dengan perilaku kekerasan, Tesis. Jakarta. FIK UI. Tidak dipublikasikan
Fontaine, K.L. (2009). Mental Health Nursing. (6th ed). New Jersey: Upper saddle River
Pearson Prentice Hall
Friedman. (2010). Family nursing research, Theory, Practice. Pearson Education : New
Jersey.
Frisch, N.,C.& Frisch,L.,E (2006) Psychiatric Mental health Nursing. (3th Ed.).
Canada: Thomson corporation
Fitzpatrick, J.J & Whall, A.L (1989). Conceptual model of nursing analysis and application.
(2nd ed). Appleton & Lange. Norwalk, Connecticut San Marino, California.
Hambali, A dan Jaenudin, U. (2013). Psikologi Kepribadian. Bandung: Pustaka Setia
Hidayat, E Keliat,B.K, Wardani (2011). Pengaruh Cognitive Behavioral Therapy (CBT) dan
Rational Emotive Behavioral Therapy (REBT) terhadap klien dengan perilaku
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
kekerasan dan harga diri rendah Di RS Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. Tesis. Tidak
Dipublikasikan
Kaplan & Sadock. (2007). Sinopsis psikiatri: ilmu pengetahuan psikiatri klinis. (Jilid 1).
Jakarta: Bina Rupa Aksara.
Keliat & Sinaga.(1991), Asuhan keperawatan pada klien marah, Jakarta : EGC
Keliat, B.A. (2003). Pemberdayaan klien dan keluarga dalam perawatan klien skizofrenia
dengan perilaku kekerasan di RSJP Bogor. Disertasi. Jakarta. FKM UI. tidak
dipublikasikan
Keliat, B.A. & Akemat. (2006). Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC
Lelono SK, Keliat BA, Besral (2011). Efektivitas Cognitive Behavioral Therapy (CBT) dan
Rational Emotive Behavioral Therapy (REBT) Terhadap Klien Perilaku Kekerasan,
Halusinasi dan Harga Diri Rendah di RS Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. Tesis. Tidak
dipublikasikan
Martin, P.F. (2010). Cognitive Behavior Therapy. http://www.minddisorders.com/Br-
Del/Cognitive-behavioral-therapy.html. diperoleh 23 Juni 2013
Mohr, W. K. (2006). Psychiatric-mental health nursing. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins.
Morison. (1993). The measurement of agression and violence in hospitalizedpsychiatric
patient. International Journal Nursing
Muller, N (2004). Mechanisms of Relapse Prevention in Schizophrenia http://www.thieme-
connect.com/ejournals/abstract/pharmaco/doi/10.1055/s-2004-832668
NANDA. (2012). Nursing diagnoses: definition & classification 2012 – 2014. Indianapolis:
Willey – Balckwell.
NAMI. (2013). Mental Ilness ;What You Need to Know. Airlington
National Collaborating for Mental Helath. (2005). Post-traumatic Stress Disorder, The
management of PTSD in asults and children in primary and secondary care.
Gaskell and the British Paychological Society. London
National Institute Mental Health. (2010). The number count : Mental Disorders in America.
www.nimh.nih.gov/health/publications/the-number-count-mental-disorder-in-
america/index diakses tanggal 1 Juli 2014. Pukul 20.00 WIB.
Notoatmojo. (2010). Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
O’Brien,P, kennedy,W, Ballard, K (1996). Psychiatric Nursing. An Integration of Theory and
Practice. Mc.Graw Hill ompany, USA
Parker, M and Smith, M.C (2010). Nursing theories and nursing practice.3rd
Edition.
Philadelphia. F.A Davis Company.
Pasaribu. (2013). Manajemen Kasus Spesialis Keperawatan Jiwa Pada Klien Risiko Perilaku
Kekerasan Mengggunakan Pendekatan Johnson’s Behavioural System Model di Ruang
Gatot Kaca Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor. Karya Ilmiah Akhir. Tidak
dipublikasikan.
Potter, P.A & Perry, A.D. (2010). Fundamental keperawatan. Edisi 7. Jakarta: Salemba
Medika
Ranjan. J.K, Prakash. J, Sharma. V. K, & Singh. A. R (2010).Manifestation of Auditory
Hallucination in the Cases of Schizophrenia. SIS J. Proj. Psy. & Ment. Health
(2010) 17 : 76-79
Rawlin, William & Beck, (1998) Mental health psychiatric nursing a holistic life cycle
approach. 2nd
edition. St Louis: Mosby Year Book.Inc
Riyadi, S & Purwanto, T. (2009). Asuhan keperawatan jiwa. Yogyakarta: Graha Ilmu
Roy, C. (2009). The Roy adaptation model. (3rd. Ed.). New Jersey: Pearson Education, Inc.
Sadock & Sadock. (2010). Buku Ajar Psikiatri Klinis. Jakarta : EGC
Shives L.R.(2012).Basic Concepts of Psychiatric Mental Health Nursing.(8th
ed).Philadelphia:Lippincott William & Wilkins
Sinaga, B.R. (2007). Skizofrenia dan diagnosa banding. Jakarta: Balai Penerbit FIK UI
Sudiatmika IK, Keliat BA, Wardani IY, (2011) Efektivitas cognitive behaviour therapy dan
rational emotive behaviour therapy terhadap klien dengan perilaku kekerasan dan
halusinasi di Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor
Stanhope, M, Lancaster, J (2001). Foundation of nursing in community. Community oriented
practice. 2nd
edition. St. Louis. Mosby Company
Stuart, G.W (2013). Principles and practice of psychiatric nursing. (9th edition). St Louis:
Mosby
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Tomey, A.M & Alligood, M.R. (2014). Nursing theorists and their work. (6th
ed). St. Louis:
Mosby Years Book Inc.
Tomey, M.A (2001), Nursing Theories and Their Work, The C.V. Mosby Company St. Louis
: Mosby Years Book Inc.
Townsend, C.M. (2013). Essentials of psychiatric mental health nursing. (3th Ed.).
Philadelphia: F.A. Davis Company
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1966 Tentang Kesehatan Jiwa.
Varcarolis, Elizabeth M., dan Halter. (2010). Foundations of Psychiatric Mental Health
Nursing. (4th
edition). Philadelphia: FA Davis Company.
Videbeck, S.,L. (2010). Psychiatric mental health nursing. (3rd
edition). Philadhelpia:
Lippincott Williams & Wilkins.
Wahyuningsih, D. Keliat, B A , Hastono SP. ( 2009). Pengaruh assertiveness training terhadap
perilaku kekerasan pada klien skizoprenia di RSUD Banyumas, Tesis. Jakarta. FIK
UI. Tidak dipublikasikan
Walter.(2011). Penerapan Terapi Social Skills Training Pada Klien Isolasi Sosial Dengan
Pendekatan Teori Hubungan Interpersonal Peplau di Rumah Sakit Marzoeki Mahdi
Bogor. Karya Ilmiah Akhir. Jakarta.FIK UI. Tidak dipublikasikan.
World Federation for Mental Health. (2010). Mental Health and Chronic Physical Illness.
http://www.wfmh.org/2010DOCS/WMHDAY2010.pdf diakses tanggal 14 Februari
2013
WHO. (2001). The world health report: 2001: mental health: new Understanding, new hope.
http :// www.who.int/whr/2001/en/ diperoleh pada tanggal 15 Mei 2013
WHO. (2009). Improving Health System and Service for Mental Health : WHO Library
Cataloguing-in-Publication Data.
WHO. (2006). Investing in mental health.
http://www.who.int/mental_health/en/investing_in_mnh_final.pdf. diperoleh
tanggal 15 Mei 2013
WHO. (2011). Skizofrenia. http://www.who.int/mental_health/entity/. diperoleh tanggal 15
Mei 2013
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
EVALUASI TANDA DAN GEJALA RISIKO PERILAKU KEKERASAN
NAMA PASIEN : .......................... RUANGAN : ........................................ PENILAI : .................................
No. Tanda & Gejala Tanggal
I KOGNITIF
1 Tidak mampu mengontrol PK
2 Punya pikiran negatif dalam menghadapi stresor
3 Mendominasi pembicaraan
4 Meremehkan keputusan
5 Flight of idea
6 Menyalahkan orang lain
II AFEKTIF
1 Afek labil
2 Marah
3 Kecewa/ kesal
4 Curiga
5 Mudah tersinggung
6 Frustasi
7 Merasa tidak aman dan nyaman
8 Merasa jengkel
9 Dendam
10 Ingin memukul orang lain
III FISIOLOGIS
1 Muka merah
2 Pandangan tajam
3 Mengatup rahang dengan kuat
4 Mengepalkan tangan
5 Tekanan darah meningkat
6 Tonus Otot meningkat
7 Mual
8 Wajah tegang
9 Kewaspadaan meningkat
IV PERILAKU
1 Mondar-mandir
2 Melempar/memukul benda/ orang lain
3 Merusak barang
5 Agresif/ pasif
6 Sinis
7 Perilaku verbal ingin memukul
8 Memberontak
9 Nada suara keras
V SOSIAL
1 Bicara kasar
2 Suara tinggi, menjerit, berteriak
3 Mengancam secara verbal atau fisik
4 Pengasingan
5 Penolakan
6 Ejekan
7 Mentertawakan
8 Menarik diri
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
EVALUASI KEMAMPUAN TERAPI GENERALIS RISIKO PERILAKU KEKERASAN
NAMA PASIEN : ........................ RUANGAN : ..................................... PENILAI : ............................................
No Tanda & Gejala Tanggal
I Kemampuan Mengenali RPK
1 Menyebutkan penyebab marah/ jengkel
2 Menyebutkan tanda dan gejala saat marah
3 Menyebutkan perilaku yang dilakukan saat marah
4
Menyebutkan akibat perilaku yang dilakukan saat
marah
II Kemampuan Terapi Generalis
1 Melakukan relaksasi napas dalam
2
Melakukan pukul bantal / kasur dan membereskan
kembali tempat tidur
3
Membereskan kembali tempat tidur setelah pukul
bantak
4 Meminta dengan baik pada orang lain
5
Menolak dengan baik ajakan/ permintaan orang lain
yang tidak masuk akal
6
Mengungkapkan perasaan jengkel / marah pada orang
lain dengan baik
7
Meminta dan minum obat dengan prinsip 6 benar (
nama obat, dosis, jenis, rute/cara minum, waktu minum
obat, efek terapeutik dan efek samping obat)
8
Mengontrol marah secara spritual : berdoa, istighfar,
sembahyang
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014