arya wengker

65
Arya Wengker Kisi-kisi cerita: ‘Perjanjian ponorogo 1742’ & keadaan setahun setelahnya. Pemberontakan Mas Said atas kesewenang-wenangan VOC, sebagian bangsawan & kebanyakan petani berada di pihak Mas Said. Kumuda sebagai tokoh utama cerita memiliki kenangan pahit “pembantaian petani Jagaraga” dan tewasnya sang ayah angkat 5 tahun setelahnya. Selanjutnya Kumuda menjadi orang kepercayaan Mas Said (Pangeran Sambernyowo), serta mendapatkan gelar kehormatan ‘Bekel Singayuda’, disebabkan keberhasilannya dalam misi gerilya di Madiun & Ponorogo melawan pasukan Surakarta-VOC. Keberadaan tokoh pendekar misterius yang menyebut dirinya ‘Arya Wengker’, bergerak seorang diri di malam hari. Melenyapkan nyawa para antek-kumpeni (VOC), seringkali mensabotase loge-loge VOC. Juga tak segan-segan menghajar gerompolan perampok yang memeras hasil bumi warga desa.

Upload: fibri-wignyo-sumarto

Post on 29-Jun-2015

208 views

Category:

Documents


21 download

DESCRIPTION

history roman-fiction, setting in javanese succession war third (1746-1757 AD). Tell Divided the Mataram's Empire into two kingdom; Kasunanan Surakarta and Kasultanan Ngayogyakarta (Giyanti Treaty 1755) and one principality, Mangkunegaran (Salatiga Treaty 1757). Kumuda (then who called name Bagus Burhan) one of actor in this story, incognito as 'The Dark Warrior' who name (Arya wengker).

TRANSCRIPT

Page 1: Arya Wengker

Arya Wengker

Kisi-kisi cerita:

‘Perjanjian ponorogo 1742’ & keadaan setahun setelahnya.

Pemberontakan Mas Said atas kesewenang-wenangan VOC, sebagian bangsawan &

kebanyakan petani berada di pihak Mas Said.

Kumuda sebagai tokoh utama cerita memiliki kenangan pahit “pembantaian petani

Jagaraga” dan tewasnya sang ayah angkat 5 tahun setelahnya. Selanjutnya Kumuda

menjadi orang kepercayaan Mas Said (Pangeran Sambernyowo), serta mendapatkan gelar

kehormatan ‘Bekel Singayuda’, disebabkan keberhasilannya dalam misi gerilya di

Madiun & Ponorogo melawan pasukan Surakarta-VOC.

Keberadaan tokoh pendekar misterius yang menyebut dirinya ‘Arya Wengker’, bergerak

seorang diri di malam hari. Melenyapkan nyawa para antek-kumpeni (VOC), seringkali

mensabotase loge-loge VOC. Juga tak segan-segan menghajar gerompolan perampok

yang memeras hasil bumi warga desa.

Page 2: Arya Wengker

1

Perjanjian Ponorogo

Awal Desember 1742, Ponorogo

Di kediaman bupati Ponorogo, tampak seseorang dengan perawakan tinggi besar

berdiri termenung, di ruang khusus yang diperuntukkan baginya. Dia adalah Kanjeng

Susuhunan Pakubuwono II, raja Mataram itu merenungi keputusan yang akan diambilnya

besok. Tawaran bantuan VOC untuk mengembalikan tahtanya dan sekaligus menumpas

pemberontakan Sunan Kuning, yang didukung orang-orang Cina perantauan dan sebagian

bangsawan. Namun dirinya masih ragu menerima tawaran itu, apalagi VOC melalui

utusannya mensyaratkan penyerahan wilayah pesisir utara Jawa dan Madura Barat. Suatu

pertaruhan yang sangat besar dan terlalu berharga. Raja Mataram itu berada dalam posisi

yang sulit, menerima tawaran itu berarti kehilangan wilayah yang paling kaya dari

kerajaannya. Tetapi jika menolaknya, itu sama dengan membiarkan kerajaannya dikuasai

orang-orang Cina pendukung Mas Garendi, yang mereka gelari Amangkuar V. Tidak ada

jalan lain bagi Pakubuwono II, selain mengambil satu keputusan diantara dua keputusan

yang sulit.

Ke esokan Harinya, Desember 1742, Ponorogo

Pada hari itu di waktu dan tempat yang telah ditentukan, di bawah sebuah pohon

beringin yang besar dan tua ketika matahari sepenggalah. Pakubuwono II di iringi

beberapa pangeran senior dan selusin pengawal, bertemu dengan perwakilan VOC untuk

melakukan perundingan. Jumlah seluruh perwakilan VOC yang hadir, kurang lebih

sebanding dengan jumlah rombongan Pakubuwono. Perundingan antara kedua pihak pun

segera dimulai dan berlangsung alot, “Kami hanya mau membantu anda yang mulia

Susuhunan, asalkan seluruh pesisir utara di serahkan kepada kami.” Kata seorang

penerjemah VOC dalam bahasa daerah, menjelaskan kata-kata juru runding VOC.

Susuhunan pun menyahut, “Pesisir utara terlalu berharga bagi Mataram, apalagi aku

belum berunding dengan semua saudaraku pangeran-pangeran yang lain.” Meskipun

begitu juru runding VOC tak menyerah untuk mendesak sang raja. “Tapi cobalah yang

mulia pikirkan lagi, selain kami saat ini siapa yang mampu menyelamatkan kerajaan?”

Kembali kata-kata penerjemah terdengar. Rupanya kata-kata itu menggoyahkan hati

Sunan Pakubuwono II, sejenak ia menoleh ke ajudannya dan berbisik, “Bagaimana

menurutmu, Tumenggung Sarayuda?” Jawaban yang terdengar kemudian semakin

menggoyahkan hatinya, “Hamba terlalu bodoh untuk memikirkannya paduka, apapun

keputusan paduka kami menaatinya.” Pakubuwono II baru menyesali keadaannya

sekarang, kenapa selama ini ia mengelilingi dirinya dengan orang-orang yang tidak bisa

Page 3: Arya Wengker

berpikir, justeru orang-orang visioner disingkirkannya dari pemerintahan. Sedangkan

beberapa pangeran senior yang menyertainya, tidak lebih dari para pemandu sorak dan

tukang angguk.

Akhirnya dengan berat hati, Susuhunan Pakubuwono II menandatangani

perjanjian itu. Isi dari perjanjian itu adalah, pertama penyerahan seluruh wilayah pesisir

utara jawa, daerah-daerah sebelah barat kali Citanduy dan Cilosari serta Madura Barat

(sedangkan bagian Timurnya, telah lebih dulu diserahkan seusai Perang Suksesi Jawa I)1

kepada VOC. Kedua, Mataram mendapatkan ganti rugi dari penyerahan itu sebesar 20

ribu ringgit per tahun. Ketiga, VOC mengakui Pakubuwono II sebagai raja Mataram yang

sah dan bersedia membantunya menumpas pemberontakan Mas Garendi.

2

1 Serangkaian perang perebutan tahta Mataram, perang Suksesi jawa I (1704-1708), antara Amangkuart III yang di dukung Surapati Vs P. Puger/Pakubuwono I yang di dukung VOC. Perang suksesi Jawa II (1719-1723), antara Amangkurat IV Vs saudara-saudaranya yang menuntut tahta, hanya dengan bantuan VOC tahta Amangkurat IV berhasil di pertahankan. Perang Suksesi Jawa III (1746-1757) terbagi tiga tahap, antara Mataram-Surakarta yang di dukung VOC Vs P. Mangkubumu & RM. Said (1745-1751), perang segitiga Surakarta-VOC Vs P. Mangkubumi Vs RM. Said (1752-1755), Surakarta-Yogyakarta-VOC Vs RM. Said (1756-1757).

Page 4: Arya Wengker

Musnahnya Sebuah Desa

Pertengahan Desember 1743 (setahun kemudian), Jogorogo (ngawi)

Sudah hampir setahun sejak penyerahan wilayah pasisiran dari Pakubuwono II ke

VOC. Keamanan di wilayah Mataram kembali pulih, terutama setelah berakhirnya

‘Perang Cina’2 (dalam babad Tanah Jawa dikenal sebagai, ‘Geger Pecinan’).

Pemberontakan Mas Garendi atau Sunan Kuning berakhir, dengan kalahnya pasukan

Cina oleh pasukan VOC di Tanjung Mandaliko. Mas Garendi yang menjadi pemimpin

pemberontakan ditangkap, dan oleh VOC di asingkan ke Sailan, tempat yang sama

dimana buyutnya Sunan Mas juga di asingkan. Pasca peristiwa itu berangsur-angsur

keamanan pulih kembali, satu-persatu bekas pengikut Mas Garendi menyerahkan diri.

Susuhunan Pakubuwono II pun cukup bermurah hati, dengan mengampuni mereka

semua.

Demikian juga keadaan di pagi hari itu di sebuah desa di wilayah Jogorogo

(Ngawi). Desa Liman yang cukup asri, dengan pemandangan alam persawahan serta

dikelilingi hutan yang cukup lebat. Seperti hari-hari yang biasa mereka lalui, pada hari ini

para penduduk desa sibuk menggarap sawahnya, sedangkan para wanitanya mengurusi

keperluan dapur dan rumah tangga. Tiba-tiba kedamaian desa itu terusik dengan suara

derap langkah kuda yang mungkin jumlahnya sekitar puluhan, penduduk desa sudah hafal

dengan suara ini. Suara derap langkah pasukan berkuda, hanya saja mereka tidak tahu

kali ini dari pihak siapa, Surakarta, pemberontak atau VOC? Tapi apapun yang terjadi,

penduduk desa sudah siap bersikap kooperatif. Sama seperti masa-masa sebelumya.

Derap langkah kaki kuda itu berhenti di lapangan desa, tidak lama kemudian terdengar

bunyi kentongan sebagai isyarat agar warga berkumpul di balai desa. Para penduduk desa

kebanyakan laki-laki, dalam waktu singkat berkumpul di balai desa. Pemandangan di

sepanjang jalan menuju desa membuat hati setiap orang bergidik, betapa tidak di sana

berdiam sekitar 40 orang pasukan berkuda VOC atau yang lebih di kenal sebagai

kumpeni. Meski tidak semuanya berkulit putih dan berambut jagung, namun kelengkapan

senjata setiap penunggang kuda yang menyandang senapan di punggung dan pedang

panjang di pinggang, pasti membuat nyali siapapun menjadi ciut. Setelah dirasa semua

memulai pembicaraan “Selamat pagi para sedulurku.. warga desa liman, hari ini kita

mendapat tamu istimewa dari ‘surodadu’3 pengawal Kanjeng Susuhunan. Yang mana kali

ini di pimpin Letnan Sekeber, di samping saya sekarang ajudan beliau, vandrig4 Abram.”

Ki lurah mengambil nafas sejenak, “Untuk lebih jelasnya, tuan Abram akan menjelaskan 2 Perang antara orang-orang Cina yang di dukung para bangsawan Mataram anti-VOC melawan VOC di seluruh pesisir Jawa Tengah dan Jawa Timur 1741-43. Peristiwa ini dipicu oleh pembantaian Cina di Batavia tahun 1740, atas perintah Gubernur Jenderal Adrians Valkeniers. Pada awalnya PB II dari Kartasura mendukung perlawanan orang-orang Cina, tapi berbalik mendukung VOC setelah orang-orang Cina terdesak karena Cakraningrat IV dari Madura Barat berada di pihak VOC.

3 Sebutan untuk serdadu.

4 Pembantu Letnan, jenjang kepangkatan militer dalam VOC.

Page 5: Arya Wengker

maksud kedatangan mereka. Silakan tuan”. Setelah panjang lebar menjelaskan kondisi

yang ada, ki lurah pun mempersilakan Abram untuk menyampaikan maksudnya.

”Mungkin ke datangan kami kemari cukup mengejutkan kalian”. Abram memulai

pembicaraannya, “Perlu kalian ketahui hingga saat ini Mas Said beserta pengikutnya

belum kembali ke Surakarta, meskipun Sunan sudah menjanjikan pengampunan bagi

semua pihak yang terlibat dalam ‘Geger Pecinan’”. Suara vandrig Abram keras

mengguntur “Karena itu kanjeng sunan mengkhawatirkan pemberontakan timbul

kembali, maka kali ini kami sebagai kepanjangan tangan Kanjeng Sunan menanyakan

kepada kalian, siapakah yang merasa bertanggung jawab atas terbunuhnya salah seorang

teman kami?!” Penjelasan Abram cukup membuat semua orang di dalam balai desa itu

terhenyak, perkataan Abram yang seorang Ambon itu dapat mereka pahami dengan jelas.

Salah seorang dari penduduk desa angkat suara “Maaf tuan, kami sama sekali tidak tahu-

menahu perihal itu. Tidak seorangpun dari kami melihat ada serdadu kumpeni masuk

desa ini”.

“Bohong!” Bentakan serdadu kumpeni itu mengagetkan semua orang, betapa kasarnya

sikap seorang serdadu VOC walaupun pribumi. “Coba kalian lihat keluar, kalian pikir

keranda mayat siapa itu?” Abram menunjuk arah sambil memberikan isyarat, terlihat dua

anggota pasukan kumpeni mendekat sambil menyeret sebuah keranda berada di

belakangnya. Kami menemukan mayat teman kami, di tengah hutan desa ini dan terdapat

tanda-tanda penutupan jejak, sampai kami menemukan benda-benda ini”. Abram

memperlihatkan pada mereka sebuah selongsong peluru dan lencana/tanda pengenal

pengawal Kartasura. “Kami menduga sempat terjadi perkelahian antara teman kami

dengan seorang pengikut Mas Said. Dan orang itu mungkin saja berkeliaran di tempat

ini!” Kembali Abram memberikan isyarat dan pasukan VOC atau kumpeni yang berada

di luar segera bergerak menuju rumah-rumah warga. “Tuan, sebenarnya apa yang terjadi?

Dan apa yang akan pasukan kumpeni lakukan pada desa kami?!” Ki lurah mulai

mengeluarkan protes, tapi cukup mengejutkan reaksi dari vandrig Abram. Dia langsung

menampar mulut Ki lurah di sertai bentakan “Tutup mulutmu orang dungu! Hanya

dengan menangkap wanita dan anak-anak, kami bisa membuat kalian mengaku”. Terlihat

seringai sinis di wajah vandrig kumpeni itu.

Tak berapa lama kemudian pasukan itu kembali ke alun-alun desa dengan

membawa ratusan wanita dan anak-anak. Terdengar jeritan para wanita dan tangisan

anak-anak kecil, terlihat pula seorang pemuda belasan tahun dengan kondisi babak-belur,

tetapi masih mencoba melawan. Dari kejauhan orang-orang melihat pemuda itu akhirnya

tersungkur, dengan sepatu lars kumpeni menginjak punggungnya. “Itu Kumuda, Ki

Wayah putramu juga mereka tangkap!” Sahut salah seorang warga. “Biadab kalian!”

Salah seorang warga yang naik pitam meloncat ke depan sambil mengayunkan sabitnya,

nampaknya dia ayah pemuda itu. Namun dengan tangkas Abram mengelak dan sekaligus

menyarangkan tendangan ke perut penyerangnya, Ki Wayah terhuyung-huyung sambil

memegangi perutnya, sabitnya terlempar ke samping. “Ki wayah, tahan amarahmu!”

Page 6: Arya Wengker

Terdengar suara Ki Lurah mengingatkan, tapi suara itu justeru mendatangkan akibat fatal

baginya. Vandrig Abram langsung berbalik dan menembakkan pistolnya, kepala Ki

Lurah berlubang di jidatnya darah mengucur dari lubang itu. Beberapa detik kemudian

peristiwa yang terjadi sangat memilukan, para warga desa menjadi tak terkendali. Ki

wayah kembali menyerang Abram, kali ini dengan tendangannya berhasil menjatuhkan

pistol Vandrig itu. Sementara warga desa lainnya menjadi beringas, dua orang serdadu

kumpeni di dekat pintu masuk balai desa menjadi sasaran mereka. Dalam waktu singkat

dua orang serdadu kumpeni itu menjadi bulan-bulanan warga, apalagi keduanya tidak

sempat mengokang senapan atau mencabut pedangnya. Tidak berapa lama keduanya pun

roboh ke tanah bersimbah darah, sementara itu Letnan Sekeber memerintahkan sebagian

pasukannya membentuk formasi tempur, setelah melihat kondisi berubah menjadi tak

terkendali. Dua puluh orang di perintahkannya menjadi dua baris, dengan formasi bersaf.

Sepuluh orang di depan dalam posisi berdiri dan siap menembakkan senapan, sedangkan

sepuluh orang di belakangnya jongkok sambil mengisi peluru dan mengokang

senapannya. Kemudian drama pembantaian di mulai, warga desa yang tidak puas dengan

hanya menewaskan dua serdadu kumpeni, mereka merangsek ke depan dengan senjata

seadanya, cangkul, sabit, keris dan pentungan kayu atau apapun yang ada di sekitarnya.

Namun keberingasan mereka di redam oleh ‘keunggulan’ teknik persenjataan kumpeni,

berturut-turut sepuluh orang warga jatuh tersungkur sambil mengerang kesakitan, di ikuti

yang lainnya dengan jumlah yang sama. Para serdadu kumpeni tak henti-hentinya

menembak, seolah ini medan perang yang sesungguhnya. Wanita-wanita dan anak-anak

hanya bisa menjerit-jerit sekerasnya dan menangis tersedu-sedu, kematian suami-suami

dan ayah-ayah mereka di depan mata kepala mereka sendiri, sangat menyayat hati. Hanya

dalam waktu kurang dari setengah jam, desa Liman telah menjadi kuburan. Di pihak

warga 88 orang tewas termasuk kepala desa, puluhan orang terluka dan terpaksa

menyerah dalam keadaan terikat. Di pihak kumpeni hanya dua orang tewas, dan seorang

luka-luka, Abram sendiri nyaris tewas di ujung keris Ki Wayah. Jika saja orang paruh

baya itu tidak menyerah setelah melihat banyaknya warga yang tewas. Tiga puluh pria

dewasa sekarang dalam keadaan terikat, siap menerima hukuman dari regu tembak,

sedangkan lima belas orang lagi yang dalam keadaan luka parah langsung di bunuh di

tempat.

Para wanita dan anak-anak hanya bisa terisak-isak, suara mereka seolah-olah

habis. Di barisan anak-anak terlihat, seorang pemuda belasan tahun menyimpan bara di

matanya. Dia marah tapi tidak tahu harus berbuat apa, tangannya terikat dan

tenaganyapun sudah habis. Ke tiga puluh orang warga desa itu di eksekusi dalam tiga

tahap, setiap tahap eksekusi membuat seluruh warga desa tertunduk. Kini tahap terakhir

eksekusi, giliran Ki wayah dan Sembilan orang temannya. “Hai orang tua yang keras

kepala, apa permintaan terakhirmu?” Terdengar suara Letnan Sekeber, “Semua ini

kesalahanku, kalau bisa bebaskanlah wanita dan anak-anak. Kesembilan orang ini juga

tidak bersalah, mereka hanya terpancing sikapku, bebaskanlah juga!” Ki Wayah

mengucapkan kata-kata terakhirnya dengan lantang. “Tidak Ki Wayah, sebagaimana

Page 7: Arya Wengker

dirimu kami juga siap mati!” Ke sembilan orang itu menyatakan sikapnya hampir

bersamaan. Merekapun tersenyum satu sama lain. “Permintaanmu akan

kupertimbangkan, Abram kau pimpin eksekusi mereka”. Dengan senang hati Vandrig

asal Ambon ini menerimanya, begitu ia memberikan aba-aba, suara senapan menyalak

dari setiap moncong senapan regu tembak. “Benar-benar akhir yang tragis, bukan begitu

anak muda?” Sekeber mengucapkan kata-kata itu sambil tersenyum sinis ke arah

Kumuda.

Ternyata kumpeni tidak benar-benar memenuhi permintaan Ki Wayah. Mereka

tetap mengambil wanita-wanita muda dan paruh baya sebagai tawanan, sedangkan anak-

anak mereka ikat di tiap batang pohon 4-5 anak sekaligus. Nasib wanita-wanita tua dan

orang-orang jompo lebih tragis, mereka di kumpulkan dalam beberapa rumah dan di

bakar mulai dari atap dan daun-daun pintunya. Terdengar teriakan-teriakan minta tolong

dari dalam rumah, sungguh menyayat hati. Sebelum meninggalkan desa itu vandrig

Abram menghampiri Kumuda yang terikat di pohon, lalu menancapkan sebilah keris

berluk tiga di hadapan anak muda itu “Hai, anak muda yang pemberani. Ingat-ingatlah

wajahku ini, jika kau masih bisa hidup carilah aku dan gunakan senjata bapakmu untuk

menuntut balas”. Setelah mengatakan hal itu Abram langsung melangkah pergi menuju

kudanya, kemudian bersana pasukannya meninggalkan desa Liman, yang telah menjadi

karang-abang.

Hingga tengah malam kondisi desa itu benar-benar sunyi dan mencekam, hanya

tercium bau anyir darah dan bau gosong dari puing-puing bangunan. Pasukan kumpeni

nyaris tidak menyisakan apapun, kecuali puing-puing dan anak-anak yang hamper mati

kehausan. Tidak hanya para wanita, kumpeni juga merampas seluruh hewan ternak dan

semua harta benda yang ada. Sementara itu suara lolongan anjing liar makin terdengar

bersahut-sahutan. Nasib dari ke 120-an anak yang berada dalam kondisi tangan dan kaki

terikat dengan setiap 4-5 anak anak di ikat melingkar di batang pohon, kebanyakan dari

mereka pingsan. Malah sebagian ada yang mati kehausan. Ada seorang dari mereka yang

masih terjaga , tetapi keadaannya seperti antara hidup dan mati. Berilah aku kesempatan

hidup ‘Gusti Pangeran’,5 yang memberi kehidupan. Akan kubalas kekejaman ini dengan

setimpal, mereka akan kuhabisi satu-persatu. Lama-kelamaan Kumuda semakin

melemah, meski tak henti-henti ia berdo’a dan mengutuk kekejaman pasukan kumpeni,

akhirnya iapun pingsan akibat lelah dan haus. Antara pingsan dan sadar ia mendengar

suara roda pedati dan hiruk-pikuk suara orang. “Apakah ‘Gusti Pangeran’ sudah berkenan

mengirimkan malaikat maut menjemputku?” Kemudian ia benar-benar tidak sadarkan

diri.

3

Keramaian di Surakarta

5 Tuhan

Page 8: Arya Wengker

Surakarta, Grebeg Maulid, 1745

Pagi hari itu suasana kotaraja Surakarta sangat ramai, para pedagang makanan dan

cendera mata di berbagai sudut kota, semakin memeriahkan suasana. Sementara itu di

samping sebuah panggung, tampak seorang remaja kira-kira 18 tahunan sedang

termangu-mangu melihat ke arah kerumunan di jalanan, kelihatannya orang-orang itu

menunggu keluarnya ‘gunungan’.6 Tempat anak muda itu berdiri dan kerumunan orang-

orang itu, hanya 200 meter dari Gerbang Keraton Surakarta. Anak muda itu masih

termangu-mangu sampai sebuah suara lembut menyadarkannya.

“Kang Burhan, Bopo Sadat menunggu kakang di dalam tenda”. Seorang gadis berkebaya

coklat dengan jarit coklat dan kerudung merah, telah berdiri di sampingnya.

“Oh..eh ya, kamu mengagetkanku saja Arum. Sampaikan ke bopo aku akan segera ke

sana”. Sahut Burhan kemudian. “Hmm, kang Burhan ini masih saja suka melamun. Hati-

hati kang bisa kesambet nanti!” Sambil berkata begitu Arum langsung berlari-lari kecil

menghindari jeweran Burhan, terdengar cekikikan Arum yang tertahan. Melihat itu

Burhan hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, memang selama ini gadis manis itulah

yang selalu menghiburnya, terutama saat-saat ia mulai murung.

Tidak berapa lama kemudian Burhan sudah berada di dalam tenda, untuk menemui bopo

Sadat. Seorang pria tua yang ramah tapi tegas, usianya kira-kira mendekati 60 tahun. Pria

tua itu menyambut ke datangannya dengan ramah, dan mempersilakan anak muda itu

duduk di hamparan tikar.

“Bagaimana keadaanmu pagi hari ini ngger, Bagus Burhan?” Pria tua yang di panggil

bopo Sadat itu menanyakan keadaan anak angkatnya.

“Alhamdulilah sehat-sehat saja bopo, apakah ada hal penting sehingga bopo memanggil

saya?” Sahut Burhan kemudian.

“Sebenarnya ada dua hal yang ingin bopo bicarakan, pertama bagaimana persiapanmu

untuk pertunjukan kita nanti malam. Ingat, peran sebagai Ki Ageng Mangir Wonoboyo7

tidaklah gampang”. Bopo Sadat berhenti sejenak menunggu jawaban Burhan.

“Insyaallah saya sudah siap tampil sebaik mungkin, karena jauh-jauh hari sebelumnya

saya sudah banyak berlatih dan belajar dari yang lebih berpengalaman, seperti kang

Kasan dan kang Soleh”.

6 Replika gunung yang terbuat dari buah-buahan atau sayur-sayuran, biasanya dibagi dua sesi: gunungan putri (lambang kesuburan) dan gunungan kakung (kejantanan).

7 Salah seorang tokoh perlawanan (pemimpin Tanah Perdikan Mangir) dalam era awal ekspansi Mataram, pada mulanya adalah pendukung Senapati dalam peperangan dengan Sultan Pajang (1583), tetapi kemudian berbalik memusuhi Senapati. Setelah penguasa Mataram itu mengangkat dirinya sebagai pewaris Sultan Pajang dan mendaku seluruh wilayah kekuasaan pajang, termasuk Tanah Perdikan Mangir.

Page 9: Arya Wengker

“Syukurlah kalau begitu, aku jadi semakin yakin kalau paguyuban Kethoprak ‘Wong

Mantingan’ akan moncer pamornya ke seluruh penjuru negeri, setelah malam ini”.

Sambil tertawa renyah, bopo Sadat menyatakan ke optimisannya. Burhan juga ikut

tertawa, “Lalu apa yang kedua, bopo?” Kali ini Burhan balik bertanya.

“Oh aku jadi lupa saking senangnya, kulihat beberapa bulan terakhir ini kamu semakin

akrab dengan Arum Sekar, putri kandung bopo satu-satunya”. Bopo Sadat menyebutkan

pertanyaannya yang kedua, “Bukan maksud bopo melarang kalian dekat-dekat, tapi ada

sedikit kekhawatiran di hatiku. Meskipun kau kuanggap anak sendiri, tapi bagaimanapun

kalian berdua bukan saudara kandung”.

“Jadi maksud bopo?” Burhan menjadi was-was.

“Katakan sejujurnya ngger, bagaimana perasaanmu kepada Arum Sekar?” Bopo Sadat

menegaskan maksudnya.

“Selama ini saya hanya menganggapnya sebagai adik saya sendiri, apalagi dia setahun

lebih muda. Dan dia selalu menghibur saya setiap kali teringat peristiwa kelam, dua tahun

yang lalu”. Sambil menjawab pertanyaan, Burhan yang bernama asli Kumuda kembali

mengingat saat-saat kumpeni meluluh-lantakkan desanya. Meskipun dia tidak bisa

mengelak, jika sebenarnya di dalam hatinya tersimpan rasa suka kepada adik angkatnya

itu.

“Aku minta maaf ngger, bukan maksud bopo menyakiti hatimu. Tapi sebagai orang yang

sudah mengecap ‘asam garam’ kehidupan, bopo bisa membaca arah dari hubungan

kalian”.

“Sepertinya saya memang tidak ahli berbohong, bopo. Saya lupa kalau ada yang lebih

ahli dalam hal asmara”. Kali ini dengan terpaksa Burhan membenarkan dugaan bopo

Sadat.

“Kalau kalian memang saling menyukai, bopo tidak bisa menghalangi, tapi saranku

tunggulah barang 2-3 tahun lagi. Kalian masih terlalu muda, tapi jangan katakan ini

kepada siapapun termasuk Arum”. Kali ini bopo Sadat, setengah berbisik memberikan

persetujuannya, “Tapi jangan tiru bopo, usia 44 tahun baru menikah. Meskipun dapat

jodoh 20 tahun lebih muda, bopo terlambat menikah”.

“Ja..jadi sebenarnya selama ini bopo mengetahui perasaan saya ke Arum dan bopo tidak

marah? Terima kasih bopo! Burhan langsung mencium punggung tangan bopo Sadat.

“Sst, jangankeras-keras nanti rencana ini ketahuan”, bopo Sadat kembali berbisik. Tanpa

sepengetahuan keduanya ada sesosok berkebaya dan berjarit coklat dengan berkerudung

merah dan berselempang kain sutra hijau, menguping di luar tenda. Tak salah lagi dia

Arum, dia mendengar semua pembicaraan ayahnya dengan Burhan dari luar tenda, dari

rona wajahnya terlihat dirinya agak tersipu-sipu. Memang selama ini keduanya saling

menyimpan rasa suka, hanya saja kurang berani mengungkapkannya.

Page 10: Arya Wengker

Beberapa jam kemudian Gerbang Kraton terbuka, dan terlihat ‘gunungan’ yang di

arak keluar oleh para abdi dalem. Terlihat kerumunan orang menyongsongnya dan saling

berebutan, mengambil segala buah-buahan dan apa saja yang terdapat di gunungan itu.

Dari kejauhan Burhan hanya memicingkan mata. Dasar orang-orang payah aku tidak mau

jadi seperti mereka, katanya dalam hati. “Kakang tidak bergabung dengan mereka?

Kelihatannya mengasyikkan”. Tanpa dia sadari Arum sudah berdiri di samping kanannya.

“Buat apa? Aku malah muak dengan pemandangan ini. Keberadaan orang-orang seperti

mereka, yang memperebutkan gunungan, hanya akan mengekalkan kuasa pihak istana”.

Burhan menjelaskan alasan ketidaksetujuannya.

“Lalu, solusimu sendiri seperti apa?” Tiba-tiba seseorang menyela pembicaraan mereka.

“Oh, ternyata kang Kasan. Tertarik dengan arak-arakan gunungan mungkin, koq tiba-tiba

ikut nimbrung”. Sahut Burhan.

“Tidak juga, hanya saja aku terkesan gaya bicaramu yang seakan seperti pujangga

kenamaan”. Kasan yang baru dating menyinggung ucapan Burhan. “Apa yang kau

katakana mungkin ada benarnya, tapi kau melupakan satu hal. Arak-arakan gunungan

yang menjadi bagian perayaan Grebeg Maulid tidak bisa hanya di lihat dari segi politik

saja, seharusnya kau juga melihat dari segi budaya dan adat Jawa”.

“Adat dan budaya yang sengaja di ciptakan dinasti Mataram, untuk mengekalkan

kekuasaannya”. Burhan menimpali kata-kata Kasan, dia terlihat tidak suka dengan

penjelasan dan pendapat Kasan.

“Burhan, lama-lama aku jadi heran dengan sikapmu. Kenapa kau melihat segala hal,

secara hitam dan putih?” Kali ini Kasan kelihatan kesal, setelah kata-katanya di bantah

oleh Burhan.

“Faktanya memang seperti itu kan? Semua Raja-raja di Jawa selalu menciptakan mitos-

mitos dan dongeng-dongeng mengenai kehebatan dirinya dan di lanjutkan oleh para

keturunannya”. Burhan memulai lagi pendapatnya, “Majapahit dengan kitab Pararaton,

sedangkan Mataram Islam dengan Babad Tanah Jawa. Dan arak-arakan gunungan yang

kita lihat sekarang, adalah bagian dari mitos itu”.

“Ya mungkin saja itu benar, tapi coba lihatlah mereka semua gembira dengan perayaan

ini, tidak ada yang merasa dirugikan”. Kasan coba memberikan alasan logis.

“Itu karena mereka bodoh semua, apalagi di antara penduduk Mataram banyak yang

masih menganut ajaran kejawen yang sarat dengan kepercayaan Hindu-Buddha”. Kali ini

Burhan mengurai lebih dalam lagi, “Celakanya pihak keraton memanfaatkan kondisi ini,

dengan menciptakan konsep baru. Mereka menggabungkan sifat-sifat Raja-raja Jawa

dengan Khalifah dalam ajaran Islam. Sehingga setiap raja Mataram, sejak zaman Sultan

Agung mendapat tambahan gelar ‘Sayidin Panatagama Khalifah Tanah Jawa’. Padahal

keadaan raja Mataram Surakarta saat ini, bagaikan orang yang terikat di batang pohon

Page 11: Arya Wengker

dan seseorang membidikkan senjata api ke arahnya. Pantaskah orang seperti itu mereka

puja dan hormati?!”

“Cukup Burhan…cukup, ngomongmu semakin melantur. Bisa-bisa kepalamu hilang

karenanya, ingatlah sekarang kau ada dimana?!” Kasan yang semakin kewalahan

meladeni perkataan Burhan, akhirnya memperingatkan Burhan. Karena memang pada

saat itu posisi seorang raja masih sakral, barang siapa menghinanya di ancam hukuman

mati atau penjara seumur hidup. Keduanya masih mendengus kesal, sampai terdengar

teriakan Arum memanggil mereka. “Kang Kasan, kang Burhan sarapan dulu, makanan

sudah siap!” Rupanya saat mereka berdua sibuk berdebat, Arum telah meninggalkan

mereka untuk menyiapkan makanan.

Tapi baru saja beberapa langkah menuju tenda, baik Kasan maupun Arum dan

para anggota tonil kethoprak ‘Wong Mantingan’, terkejut dengan tindakan Burhan. Dia

berlari ke arah kerumunan yang memperebutkan gunungan, menyibakkan orang-orang,

bahkan mendorong beberapa di antaranya. Setelah semua orang terpaku di depan tenda

hamper setengah jam, burhan kembali dengan membopong seorang ibu yang pingsan.

Kira-kira usianya separuh baya dengan seorang anak laki-laki kecil, usianya mungkin 6

atau 7 tahun. “Kakang, ada apa ini? Terus ibu ini kenapa?” Arum kebingungan dan terus

memburu Burhan dengan pertanyaan. “Nanti saja ku jelaskan, cepat siapkan tikar dan air

minum. Jangan lupa makanan kalau ada”. Burhan belum menjawab pertanyaan Arum,

tapi meminta tolong untuk keperluannya.

Beberapa jam kemudian. Wanita paruh baya itu yang kira-kira berusia 40-an

tahun, akhirnya siuman juga. “Burhan, ibu yang kau tolong tadi pagi sudah sadar!” Kasan

setengah berteriak memanggil Burhan. Arum menepuk pundak Kasan, sambil menegur,

“Gak perlu teriak-teriak kenapa sih kang? Temui saja langsung, tidak lihat ya Ibu ini baru

sadar”. Kasan hanya meringis dan menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

Sementara di luar tenda Burhan sedang menghibur anak si Ibu, dengan

memperagakan wayang rumput buatannya. “Ayo Panji, kita temui ibumu?” Ajak Burhan

pada anak itu, setelah mendengar suara panggilan dari Kasan. “Ya, tunggu sebentar”.

Jawabnya, baru dia berdiri anak kecil tadi langsung berhambur ke dalam. Berlari-lari

kecil menemui ibunya, sambil berurai air mata “Ibu, maafkan aku ibu. Buah yang ibu

ambil dari gunungan tadi sudah di rebut orang”. Anak kecil itu masih terus terisak, sang

ibu dengan gerakan yang lemah mengusap kepala anaknya dengan penuh kasih. “Panji,

sebaiknya kau minta Ibumu makan dulu. Kelihatannya kalian belum makan sedari pagi”.

Dengan kata-kata yang lembut Arum, meminta Ibu dan anak itu supaya mau makan.

“Walahhh…jadi lupa ini, bukankah kita tadi sebenarnya mau sarapan”. Kata-kata Kasan

yang sedikit kocak, di sambut tawa semua penghuni tenda itu. Mau tak mau Ibu dan anak

itu juga ikut tertawa, tapi kemudian ibu itu batuk-batuk dan anaknya segera meminumkan

segelas air segar pada ibunya.

Page 12: Arya Wengker

Mereka semua segera menuju bilik khusus di tenda itu, yang cukup luas untuk

makan. Ibu itu dituntun anaknya dan Arum menuju tempat makan. Tenda ini cukup luas,

di dalamnya diberi sekat-sekat dari kain yang membaginya menjadi empat. Sebuah ruang

khusus untuk bopo Sadat, pemimpin rombongan. Sebuah bilik lagi khusus untuk para

lelaki dan, sebuah lagi untuk ruang pertemuan juga untuk makan. Setelah makan, semua

pandangan tertuju ke ibu dan anak itu. Si ibu makan sedikit saja, ia justeru lebih banyak

menyuapi sang anak lelaki. Sementara itu suara berdehem terdengar, bopo Sadat baru

keluar dari biliknya kelihatannya ia baru selesai sholat dhuhur. “Wah-wah, banyak sekali

makanannya, ayam bakar, saur bobor, trancam, bubur kacang ijo, kolak pisang, lepet. Eh,

sebentar ada tamu rupanya, maaf nyai berdua ini siapa?” Dengan ramah bopo Sadat

bertanya ke Ibu dan anak itu, belum sampai si Ibu menjawab sudah di dahului oleh

Burhan “Mereka berdua yang aku tolong tadi pagi bopo, Nyai Wignyo dan putranya Panji

Wicaksono. Jauh-jauh kesini untuk mengikuti prosesi gunungan, tapi mereka hampir

terinjak-injak orang”.

“Panji, kenapa kau menceritakan pada orang asing darimana kita berasal?” Tanya si Ibu

ke anaknya, sambil sedikit mendelik.

“Bu, kakak itu baik sekali memberikan mainan ini”. Sang anak seolah tidak tahu

kekhawatiran Ibunya, malah menunjukkan dua buah wayang rumput buatan Burhan.

“Maafkan aku nyi, aku hanya trenyuh melhat peristiwa tadi pagi. Entah apa yang tetjadi

kalau aku tidak cepat bertindak, sedangkan wayang rumput ini sengaja kuberikan biar

Panji senang dan mau menceritakan kondisi kalian”. Tapi mungkin Nyai sendiri sudi

menjelaskan, tentang keluarga Nyai dan maksud sebenarnya dating ke Surakarta”.

“Baiklah, terima kasih atas bantuanmu anak muda dan juga kalian semua. Semoga

mendapat balasan yang lebih baik”. Nyi Wignyo kemudian menjelaskan siapa dirinya.

Beberapa tahun yang lalu saat terjadi ‘Geger Pecinan’, putra sulung Ki Wignyo dan Nyai

Wignyo adalah prajurit Mataram yang berpihak ke Mas Garendi. Dalam pertempuran di

Mandaliko, pesisir utara Jawa putranya beserta sejumlah besar pengikut Mas Garendi dan

juga orang-orang cina di bantai oleh pasukan gabungan Pakubuwono II dan kumpeni

(VOC). Setahun kemudian musibah turut menimpa keluarganya, suaminya yang juga

Jagabaya di sebuah kademangan, Nangka Jajar di kadipaten Banyumas difitnah orang.

Sepasukan dari Surakarta menangkapnya dan juga teman-teman dekatnya, mereka

dituduh telibat dalam pemberontakan Mas Garendi. Bahkan beberapa teman suaminya

yang memberikan perlawanan, karena merasa tidak bersalah di tembak mati oleh

kumpeni, yang juga menjadi bagian dari pasukan Surakarta. Tidak hanya itu saja, tiga

orang anak gadisnya yang salah seorang dari mereka seumuran Arum juga ditangkap dan

dibawa ke Surakarta. Tanahnya dirampas paksa oleh orang-orang yang memfitnah

suaminya, yang tak lain adalah Ki Demang sendiri dan komplotannya. Lalu dia

bermaksud menemui Pakubuwono II, untuk minta keadilan. Untuk membiayai perjalanan

ke Kotaraja, Nyi Wignyo terpaksa menjual rumah milik suaminya. Sampai dirinya nekad

berebut di arak-arakan gunungan ini, adalah agar mendapat ‘berkah’ supaya

Page 13: Arya Wengker

keinginannya menemui Sunan Pakubuwono II terkabul. Sebagian yang hadir di ruang itu

sampai menitikkan air mata, bahkan bopo Sadat juga ikut larut.

“Jangan khawatir Nyi akan kubantu keinginanmu bertemu Susuhunan, kalian semua

dalam pertunjukan nanti malam aku mohon kerjasamanya. Bopo Sadat, Arum dan kakang

Kasan, kalian bertiga berperan sebagai Juru Mertani, putri Pembayun dan Senapati

Ingalaga. Sekali lagi aku minta bantuannya. Hanya dengan tampil bagus di pertunjukan di

alun-alun Surakarta, kita bisa menemui Susuhunan Pakubuwono II!”

Dengan berapi-api Burhan menjelaskan rencananya. Dengan serentak para para

anggota kethoprak Wong Mantingan, berseru mendukungnya. “Bagus ngger, kau

memiliki ide yang cerdas. Bukankah nanti malam Susuhunan Pakubuwono II, juga

menonton langsung pertunjukan kita, lagipula beliau seorang pecinta seni”. Bopo Sadat

mendukung sekali tindakan Burhan. “Menurut kabar yang kudengar dari orang-orang di

pasar pagi tadi, beliau akan di dampingi Patih Pringgoloyo dan Pangeran Mangkubumi.

Kalau nasib kita baik mungkin saja pangeran itu, akan mengetahui maksud kita dan

menyampaikannya ke Susuhunan”. Seorang anggota yang selama ini jarang berbicara,

Mat Sholeh turut memberikan info yang penting. “Ada baiknya kita segera menyiapkan

diri, Arum ikut denganku sebentar”. Burhan kemudian mengajak Arum keluar, sepertinya

ada hal penting yang mau di bicarakan. Pandangan semua anggota kethoprak yang lain

mengiringi langkah mereka berdua.

***

Ba’da ‘isya’ waktu yang di tunggu-tunggu oleh seluruh warga kota Surakarta.

Pertunjukan kethoprak dengan lakon “KI Ageng Mangir Wonoboyo” baru dimulai, layar

diatas panggung terbuka dan Nampak adegan pertempuran sengit. Babak ini

menceritakan pertempuran antara pasukan Mataram dengan pasukan Tanah Perdikan

Mangir, yang dipimpin langsung oleh Ki Ageng Mangir Wonoboyo. Terlihat dalam

bagian ini Ki Ageng Mangir, yang diperankan oleh Bagus Burhan alias Kumuda dengan

tangkas bertempur, tak terhitung sudah prajurit Mataram yang tewas di ujung tombak

Kyai Baru Klinting-nya. Applaus penonton menyambut penampilan Burhan sebagai

Mangir Wonoboyo. Cerita berlanjut ke adegan berikut, saat Panembahan Senapati

menerima saran patihnya, Ki Juru Mertani atau Ki Mandaraka. Bagian paling

mengharukan adalah ketika, Ki Ageng Mangir bertemu dengan Putri Pembayun yang

menyamar sebagai penari tayub keliling. Setiap adegan dari tiap babak, dirankan para

aktornya dengan penuh penjiwaan, sorak-sorai dan tepukan tangan penonton selalu

menyertai penampilan mereka. Tibalah sekarang adegan terakhir, yaitu saat Panembahan

Senapati membunuh menantunya sendiri Mangir Wonoboyo, dengan membenturkan

kepalanya ke pegangan dampar kencana. Tepuk tangan penonton kembali membahana di

seluruh alun-alun, Susuhunan Pakubuwono II terlihat puas. Tiba-tiba adegan yang

mengejutkan semua orang muncul, karena tokoh ini tidak ada sedari awal cerita. Muncul

seorang ibu separuh baya yang menuntun anak laki-lakinya, menghampiri Putri

Pembayun yang meratapi kematian tragis suaminya. “Hentikan tangisanmu tuan putri,

Page 14: Arya Wengker

tidak akan merubah keadaan. Sebaiknya didiklah anakmu supaya menjadi ksatria yang

jujur dan berwibawa, untuk itu ikutlah bersamaku. Aku tinggal di lereng bukit di wilayah

Banyumas, sangat tepat untuk membesarkan anakmu”. Selanjutnya mengejutkan sekali

adegan diatas panggung, sang Putri tiba-tiba bangkit dan mengikuti langkah sang Ibu

misterius. Masih belum hilang keterkejutan penonton, wanita paruh baya itu berbalik kea

rah Panembahan Senapati, masih dalam keadaan menunduk “Wahai junjungan kami,

inikah yang menjadi keinginanmu? Melenyapkan nyawa setiap orang, baik itu lawanmu

ataupun pendukungmu sendiri? Hidup hanya sebentar yang mulia Panembahan, berlaku

adilah dan perhatikan kesejahteraan rakyatmu!” Selesai wanita itumengucapkan kata-

katanya, layar ditutup. Semua yang hadir disana terdiam, mengingat adegan terakhir tadi

secara tidak langsung telah menyinggung Sinuhun Pakubuwono II. Sampai akhirnya

Sinuhun Pakubuwono II bertepuk tangan, semua orang yang tadi terdiam akhirnya juga

ikut bertepuk tangan.

“Sinuhun, mereka telah lancang merusak pakem cerita dan secara tak langsung telah

menghina istana..”. Belum sempat Patih Pringgoloyo menyelesaikan kata-katanya,

Pangeran Mangkubumi memotongnya, “Kalau pendapat hamba pertunjukan tadi bagus

sekali, kakanda Susuhunan”. Kemudian lanjutnya “Sindiran atau satire dalam seni

kasusastran maupun drama adalah wajar, sebagaimana Reog Ponorogo diciptakan sebagai

sindiran terhadap Prabhu majapahit”. Mendengar kata-kata adiknya, Pakubuwono II pun

mengangguk-angguk “Aku sepakat dengan pendapatmu, dimas pangeran”. Terlihat raja

Mataram itu justeru menyukai pertunjukan tadi, “Sarayuda kemarilah”. Susuhunan

kemudian memanggil ajudannya, “Hamba yang mulia, apapun yang paduka perkenankan

hamba siap melaksanakan!” Dengan cepat dan sigap Tumenggung Sarayuda memenuhi

panggilan sang raja. “Pergilah ke tempat tonil yang tampil tadi, suruh mereka menghadap

besok pagi di paseban agung di pendopo. Jangan lupa bawakan beberapa lembar pakaian

dan kain batik buatan keraton, supaya pasowanan besok lebih terlihat meriah”. Dengan

rinci sang raja Mataram itu member perintah. “Sendika dawuh,8 kanjeng Susuhunan”.

Tak berapa lama kemudian, Tumenggung Sarayuda segera beranjak dari tempatnya untuk

melaksanakan perintah junjungannya.

***

Hari masih pagi, sebagian orang masih terlelap tidur. Kota Surakarta masih sepi,

meskipun mulai terlihat obor-obor berjalan dari para pedagang yang mulai membuka

dagangannya. Sayup-sayup terdengar suara adzan dari Masjid Agung, beberapa saat

kemudian beberapa barisan bermunculan dari segala penjuru menuju Masjid Agung,

beberapa orang juga keluar dari tenda tonil Kethoprak Wong Mantingan. Mereka adalah

Ki Sadat, Kasan, Sholeh dan Bagus Burhan. Keempatnya mulai berjalan menuju suara

adzan, “Sudah kau bangunkan yang lainnya untuk menjaga tempat ini, selagi kita sholat

subuh”. Ki Sadat bertanya kepada Kasan, “Sudah bopo, barusan Handoko dan Bramanti

8 Siap laksanakan!

Page 15: Arya Wengker

kubangunkan, saat aku keluar mereka sedang cuci muka. Tapi aku sudah berpesan supaya

mereka menjaga tempat ini”. Sambil berkata, keempatnya terus berjalan.

Masjid Agung Surakarta berdiri hampir bersamaan, dengan dibangunnya keraton

Kasunanan. Ketika pembangunan keraton Kasunanan dan Masjid Agung rampung,

Susuhunan Pakubuwono II telah menunjuk Imam-khatib untuk Masjid Agung Surakarta.

Memang sejak era Sultan Agung Hanyokrokusumo, tepatnya sekitar 1630-an, pasca

penaklukan Giri kedaton, Sultan tidak hanya ‘merampas’ gelar Sunan tetapi juga

menunjuk ‘Yogosworo’ (penghulu/imam-khatib resmi dari keraton), di seluruh wilayah

Mataram. Penguasa manapun dari era apapun selalu membutuhkan kaum agamawan,

untuk mengokohkan legitimasinya. Sebenarnya ini adalah penyingkiran secara halus

terhadap kaum ulama, dari lingkaran kekuasaan. Demikian pula keadaan di dalam masjid

ketika jama’ah sholat subuh saat ini, hanya ada tiga shaf jama’ah yang meramaikan

masjid. Seolah menjadi pertanda bagi kemunduran Mataram, yang segaris lurus dengan

menurunnya rasa keagamaan masyarakatnya. Tidak terasa sholat jama’ah subuh yang

cukup khusyu’ itu selesai, bacaan ayat suci sang Imam sangat menghanyutkan jama’ah

dan mereka baru tersadar ketika Imam mengucapkan salam.

Satu persatu jama’ah segera meninggalkan masjid, seusai dzikir. Tapi Burhan

masih terlihat bersujud, meskipun ayah angkat dan saudara-saudara angkatnya telah

selesai duluan. Sampai akhirnya hanya tinggal dia dan sang Imam yang masih terus

berdzikir, sesekali sang Imam menengok, cukup heran dengan sujudnya penuda itu.

Kemudian diapun segera menyelesaikan dzikirnya dan menghampiri Burhan,

“Assalamu’alaikum, apa andika baru kali ini di Surakarta?”

“Wa’alaikum salam warahmatullah, benar Kyai”. Sambil menjawab salam, Burhan alias

Kumuda bangkit dari sujudnya. “Saya anggota tonil ‘Wong Mantingan’, yang tampil

sebagi tokoh utama di pertunjukan tadi malam di alun-alun”.

“Masya Allah jadi andika yang berperan sebagai Mangir Wonoboyo? Sayang sekali saya

hanya mendengar dari cerita warga, tadi malam di Masjid acaranya cukup padat”.

Kumuda hanya tersenyum mendengarnya.

“Sepertinya nakmas sedang dalam masalah?”

“Kurang lebih begitu Kyai, beberapa waktu lalu desa kami diserang perampok, mereka

menjarah semuanya dan hanya meninggalkan puing-puing dan anak-anak muda yang

menjadi yatim”. Dengan pelan tapi pasti, Kumuda alias Burhan menceritakan kisahnya.

“Sampai akhirnya saya menemukan keluarga baru di tonil ini”.

“Aku turut prihatin dengan keadaanmu, memang pada masa-masa kacau sekarang ini

setiap orang menjadi serigala bagi yang lain. Perampok dan begal di mana-mana, wibawa

pasukan kerajaan turun semenjak peristiwa ‘Geger Pecinan’”. Sejenak sang Imam

mengkaitkan kondisi terakhir Surakarta.

Page 16: Arya Wengker

“Sebenarnya Susuhunan yang paling layak dipersalahkan, beliau menukar wilayah luas di

pesisir hanya demi sebuah tahta. Mungkin saat ini sultan Agung Hanyokrokusumo

meratapi nasib kerajaannya, dari alam sana”.

“Nampaknya nakmas, cukup ahli di bidang pemerintahan. Maaf nama nakmas siapa?

Saya Syeih Ngerum, saya berasal dari negeri Rum9 sebelah utara Damsyik dan sudah 10

tahun tinggal di tanah Jawa.”

“Seharusnya saya yang minta maaf Kyai, panggil saja Burhan. Bagus Burhan, tempat

tinggal saya berpindah-pindah, mengikuti tonil ini”. Kumuda memperkenalkan nama

barunya, yang menjadi identitasnya dua tahun terakhir. “Maaf Kyai saya mohon diri dulu.

Soalnya kami harus menuju Banyumas pagi ini, assalamu’alaikum”.

“Wa’alaikum salam, hati-hati nakmas kalau lain kali ke Surakarta lagi tolong sempatkan

silaturrahim kesini!” Dia bisa menjadi tulang punggung perjuangan Mas Said dan

Pangeran Mangkubumi. Syaikh Ngerum berkata dalam hati.

4

Paseban Agung Keraton Surakarta

9 Nama kuno untuk Konya, salah satu kota di Anatolia (Turki sekarang).

Page 17: Arya Wengker

Pagi hari itu ketika matahari naik sepenggalah, paseban agung keraton Surakarta

sudah penuh dengan orang. Karena pada hari ini selain acara sungkeman dari para

kerabat keraton, juga pemberian gelar dari kanjeng Susuhunan Pakubuwono II kepada

orang-orang yang di anggap berjasa. Dan juga pemberian gelar formal bagi para

kemenakan Susuhunan, yang sudah beranjak remaja. Semua orang hadir di tempat ini

dalam posisi duduk di lantai, hanya Susuhunan yang duduk di dampar kencana. Jumlah

orang yang berada di dalam paseban sekitar seratus orang, termasuk Susuhunan sendiri.

Tampak di barisan belakang empat orang anggota tonil Mantingan, Ki Sadat, Kasan,

Sholeh dan Bagus Burhan. Satu-persatu maju ke muka dan mencium lutut sang raja,

sampai akhirnya tiba giliran Bagus Burhan, sama seperti yang lain dia berjalan jongkok.

Namun dia berhenti, ketika berjarak tiga depa dari dampar kencana. “Ada apa anak muda,

kenapa tidak kau lanjutkan langkahmu?” Kanjeng Susuhunan cukup heran dengan

tindakan Burhan, demikian juga semua orang merasa heran.

“Beribu-ribu maaf kanjeng sinuhun, jika diperkenankan hamba yang hina ini memiliki

sebuah permintaan!”

“Lancang sekali, kau hanya seorang pemain tonil anak muda. Bisa bertemu dengan

kanjeng Sinuhun saja, kau seharusnya sudah bersyukur!” Terdengar suara mengguntur

Patih Dalem, Pringgoloyo. Menimpali perkataan Bagus Burhan.

“Mendekatlah anak muda, sebutkan apa keinginanmu?” Dengan berwibawa kanjeng

Susuhunan menjawab pertanyaan Burhan. Kemudian Bagus Burhan kembali berjalan

jongkok. Sementara terdengar bisik-bisik dari kerabat Keraton, bahwa sebelum berkata

tadi kanjeng Sinuhun mendapat saran dari Pangeran Mangkubumi. Perhatian mereka

kembali teralih ke Burhan.

“Permintaan hamba sudilah kiranya, kanjeng Sinuhun membebaskan seorang Jagabaya

dari Banyumas, Ki Wignyo yang ditangkap pasukan kerajaan beberapa bulan lalu”.

Burhan menyebutkan permintaannya, tepat pada jarak satu depa dari Susuhunan. Sang

raja berpikir sejenak, sambil mendengarkan saran dari adiknya, Pangeran Mangkubumi

dan Patih Dalem Pringgoloyo. Sesekali Pakubuwono II coba melihat wajah Bagus

Burhan, yang sepintas mirip dengannya ketika masih muda. “Coba sekarang angkat

wajahmu dan sebutkan bila ada permintaan lagi”. Kembali terdengar suara kanjeng

Susuhunan menggema di ruangan.

“Hamba juga mohon kebebasan tiga putri beliau, beserta warga desa lainnya. Selain itu

hamba mohon kasus di desa Nangka Jajar di periksa ulang”.

“Maaf anak muda, Ki Wignyo meninggal seminggu setelah di tahan. Dia menolak makan

dan minum, sehingga kondisinya melemah”. Kali ini Pringgoloyo yang angkat bicara

mewakili Sinuhun.

Page 18: Arya Wengker

“Mengenai ketiga putrid Ki Wignyo, hari ini juga mereka bisa pulang. Selama ini mereka

menjadi pelayan di keraton, berkat jaminan dimas mangkubumi”. Kembali kanjeng

Susuhunan berbicara, warga desa yang lain juga akan di bebaskan, dan bila bersedia kau

kuangkat menjadi Demang sementara di desa itu. Berkenaan dengan hal itu aku

menyertakan Sarayuda bersamamu, dan menginaplah barang sehari di istana, sebab aku

juga akan menitipkan surat untuk Bupati Banyumas kepadamu. “Kata-kata kanjeng

Susuhunan membuat semua yang hadir terkejut, jarang sekali raja mereka bertindak

seperti ini.

Tak lama kemudian Susuhunan Pakubuwono II memerintahkan penjaga penjara,

melalui Sarayuda membebaskan watga desa dari banyumas. Pada hari itu juga, ketika hari

mulai siang tonil ‘Wong Mantingan’ bergerak dalam rombongan yang cukup besar,

meninggalkan Surakarta. Bersama mereka turut serta 20 orang warga desa Nangka Jajar,

Banyumas. Total 49 orang di dalam rombongan, tapi tidak terlihat Bagus Burhan, dia

masih di keraton Surakarta. Sebagai wujud penghargaan dari kanjeng Susuhunan,

disebabkan perannya yang memikat sebagi Mangir Wonoboyo dan keberaniannya dalam

berpendapat. Rombongan itu sudah meninggalkan perbatasan Kotaraja setelah senja hari,

lima buah pedati itu kini memasuki Monconegoro Kulon.10 Tiga buah pedati adalah

hadiah dari Pangeran Mangkubumi, lengkap dengan lembu penariknya.

Sementara malam hari itu di Surakarta. Di barak prajurit keraton tampak Bagus

Burhan mengamati gladi perang, dari luar bilik tempatnya menginap. Terlihat Sarayuda,

ajudan kanjeng Susuhunan menjadi salah satu instruktur prajurit, sesekali membenarkan

kuda-kuda para prajurit. Gladi perang itu terbagi dalam beberapa regu, Sarayuda menjadi

instruktur regu yang berlatih dasar-dasar beladiri tangan kosong. Sedangkan regu yang

lain berlatih tombak, pedang dan panah, sebuah regu yang lain berlatih menembakkan

bedil di damping seorang instruktur kumpeni. “Mereka tampak kokoh dan kuat secara

jasmaniah, tapi jiwa dan hatinya lemah”. Burhan berkata pada dirinya sendiri . “Burhan

kemarilah, akan ku ajarkan beberapa gerakan!” Teriak Sarayuda dari kejauhan. Burhan

pun mengikuti ajakannya. Kemudian dalam sesi singkat, Sarayuda mengajarkan langsung

beberapa teknik pukulan, tendangan, tangkisan, kuncian dan bantingan kepada Bagus

Burhan. Ternyata Burhan cepat beradaptasi, beberapa kali dia mampu menjatuhkan

Sarayuda dan prajurit lainnya dalam permainan bantingan, meskipun dia juga sempat

beberapa kali dijatuhkan. Setelah merasa lelah regu yang dilatih Sarayuda dan regu-regu

lainnya beristirahat, sambil santap malam.

“Burhan tubuhmu sempurna, sebenarnya kau lebih pantas menjadi prajurit daripada

pemain tonil kethoprak!” sahut Sarayuda memuji Burhan, sembari menyuapkan nasi

pecel lele ke mulutnya dengan tangan.

10 Salah satu wilayah dalam sistem administrasi Mataram, Monconegoro adalah wilayah luaran. Karena berada di luar Kutagara (Ibukota) dan Negaragung (wilayah di sekitar kutagara dan tunduk langsung ke Sultan/Sunan), Monconegoro dipimpin oleh seorang Bupati Wedana (mirip gubernur sekarang), yang menjadi koordinator para bupati dan sekaligus penghubung mereka dengan Sultan/Sunan di Kutagara. Pada masa itu (1745-49) Monconegoro dibagi dua; Kulon (Jawa Tengah) dan Wetan (Jawa Timur).

Page 19: Arya Wengker

“Sampeyan terlalu memuji, saya tidak ada bakat untuk itu, lagipula menjadi pemain tonil

kethoprak sudah menjadi garis takdir saya”. Tukas Burhan.

“Jangan merendah begitu, yang tadi itu apa. Kau beradaptasi dengan cepat dalam teknik

dasar beladiri, apa kau pernah berlatih sebelumnya?”

“Tidak juga, kalau pun latihan aku hanya berlari mengelilingi desa tiap pagi. Sehari-hari

membantu bopo ku di sawah dan menimba air dari sumur untuk mengisi blandong”.

Jawab Burhan.

“Bagiku itu sama dengan latihan. Tepatnya secara fisik kau terasah dengan alami, tenaga

luarmu sudah terlatih secara langsung. Tinggal tenaga dalammu yang perlu di

bangkitkan”. Kini Sarayuda telah menyelesaikan makannya.

“Sayangnya aku tidak suka kekerasan, karena itu tidak terlalu tertarik beladiri. Sejak kecil

aku ingin menjadi dalang, bahkan aku sendiri membuat wayang dari rumput”, sambil

berkata demikian, Burhan menunjukkan wayang ciptaannya. Ada lima belas buah di

kotak simpanannya. Semua terlihat sama.

“Semuanya sama, bagaimana semisalnya membedakan antara Cakil dan Bambang. Atau

Srikandi dan Drupadi”. Sarayuda mengungkapkan keherananya.

“Begini caranya”, Burhan langsung memperagakan adegan Bambangan-Cakil dengan

singkat. Semua mata terlihat takjub dengan pertunjukan Burhan, puluhan tepuk tangan

terdengar. “Intinya tergantung pada imajinasi kita, ini bisa menjadi Cakil maupun

Bambang. Sebenarnya ayah kandungku yang lebih tahu hal ini”. Dengan bangga Burhan

menjelaskannya.

“Menarik sekali, mungkin lain kali aku bisa bertemu beliau?”

“Sayang sekali beliau meninggal dua tahun lalu, saat desa kami disatroni perampok”.

Burhan berusaha menyamarkan musibah yang pernah dialaminya, untuk menutup

identitas.

“Maafkan aku Burhan, aku sama sekali tidak mengetahui hal itu”. Kemudian untuk

mencairkan suasana kembali, Sarayuda memanggil salah seorang prajurit di bilik itu.

“Suwela, bawa kemari ubi talasnya! Beginilah tabiat kami prajurit penjaga kraton,

banyak berlatih dan banyak makan”. Suasana mencair kembali.

Malam itu suasana cukup akrab antara para prajurit Prawirataman, dengan Bagus

Burhan. Saat tengah malam Burhan tertidur, sebaliknya Sarayuda dan 40 orang

pasukannya berjaga di sekitar taman keputren. Keraton dijaga sekitar 320-an prajurit di

setiap sepertiga hari, secara total ada kurang lebih seribu prajurit, yang di pecah menjadi

tiga kelompok. Kelompok pertama berjaga dari tengah malam hingga terbit fajar,

kelompok kedua berjaga mulai dari terbit fajar hingga mendekati senja, kelompok ketiga

mulai berjaga dari senja hingga tengah malam. Itu belum termasuk para prajurit yang

Page 20: Arya Wengker

tinggal di luar keraton, yang bermukim di kampung-kampung sekitar keraton. Bila

waktunya tiba ribuan orang siap berkumpul memenuhi tugas, dengan senjata lengkap.

Tapi hal ini tidak dapat menyamai kebesaran dan ketangguhan kota Karta (kota Gede

sekarang), di zaman Sultan Agung Hanyokrokusumo. Kemegahan Surakarta’ternodai’

oleh keberadaan benteng VOC di luar keraton, di setiap sisi benteng VOC itu dipasang

meriam dengan 200 serdadu eropa dan pribumi. Kerajaan ini benar-benar telah di awasi

dari luar dan dalam. Pengaruh asing setiap hari semakin bertambah kuat saja.

5

Mandat Dari Kanjeng Sunan Pakubuwono II

Page 21: Arya Wengker

Pagi ini Burhan kembali menghadap kanjeng susuhunan pakubuwono II, dengan

di damping Tumenggung Sarayuda. Kanjeng Susuhunan duduk di dampar kencana,

sementara di samping kiri dan kanannya duduk, Patih Pringgoloyo dan Pangeran

Mangkubumi. Baik Sarayuda maupun Burhan masing-masing member salam ke kanjeng

Susuhunan, lalu baru duduk bersila setelah dipersilakan.

“Bagaimana keadaanmu Burhan? Jika ada yang kurang berkenan dari Sarayuda, kau bisa

menyampaikannya padaku sekarang”. Susuhunan Pakubuwono II mulai membuka

pembicaraan.

“Beribu-ribu terima kasih yang mulia, hamba tidak kurang suatu apa pun. Dari

Tumenggung Sarayuda saya telah belajar banyak hal, kemarin malam”. Jawab Burhan.

“Burhan, seperti yang kujanjikan padamu kemarin. Hari ini juga kau kuberi mandate

menjadi demang sementara di Banyumas Selatan, tepatnya di Desa Nangka Jajar. Untuk

tugas ini temuilah dulu bupati Banyumas dan berikan ini padanya”. Sambil menjelaskan

tugas yang diberikan, kanjeng Susuhunan memberikan sebuah nawala kepada Burhan.

Dan Burhan pun beringsut maju untuk menerimanya. “Dan kau Sarayuda, tugasmu

menjaga keselamatan bagus Burhan selama di perjalanan. Selanjutnya aku mengharapkan

kalian bisa bekerjasama”.

“Kami sanggup melaksanakan perintah anda yang mulia”. Jawab Sarayuda dan Burhan

hampir bersamaan. Meskipun mungkin alasan kepatuhan mereka, masing-masing tidak

sama.

***

Beberapa saat kemudian mereka sudah berada dalam perjalanan. Sesuai dengan

pesan kanjeng Susuhunan, maka Burhan dan tumenggung Sarayuda beserta 10 orang

prajuritnya, menyamar sebagai rombongan pedagang. Ini demi kelancaran tugas untuk

mencegah hal-hal yang tak di inginkan, karena jika berpakaian resmi dikhawatirkan

terlalu mencolok dan nantinya malah membocorkan rencana yang sudah tersusun rapi.

Sekilas penampilan mereka memang tak ubahnya seperti pedagang, hanya saja cirri khas

mereka dengan baju batik lengan panjang bercorak wulung dan kain lurik yang di ikatkan

di pinggang, memang mencirikan mereka dari Kotaraja Surakarta. Agar lebih mirip

seperti rombongan pedagang, Sarayuda dan enam orang prajurit lainnya mengendarai

kuda, sedangkan Bagus Burhan beserta empat orang prajurit sisanya berada di dalam

pedati yang seolah-olah berisi banyak barang. Kali ini Bagus Burhan berperan sebagai

ketua rombongan pedagang, empat orang prajurit di dalam pedati sebagai pembantunya,

sedangkan Sarayuda dan enam prajurit yang berkuda menjadi pengawal-pengawalnya.

Setelah satu hari perjalanan yang melelahkan, rombongan itu baru sampai di lereng

Gunung Merapi. “Maaf, kisanak apa di desa ini ada sebuah penginapan?” Sarayuda

mencoba bertanya dengan ramah ke salah satu penduduk.

Page 22: Arya Wengker

“Sebaiknya kalian terus lanjutkan perjalanan, disini terlalu berbahaya bagi para pedagang

seperti kalian”. Tanpa banyak berkata orang itu langsung pergi.

“Aneh, biasanya orang-orang di pegunungan sangat bersahabat”. Sahut salah seorang

prajurit yang kini menyamar sebagai pengawal pedagang.

“Tapi nampaknya kita harus segera menemukan tempat menginap kakang, hari sudah

semakin larut dan hewan-hewan tunggangan sudah kelelahan, kita pun juga lelah”.

Sarayuda dan yang lain mengangguk-angguk. Kalaupun tidak ada penginapan, mereka

masih bisa mendirikan tenda. Merekapun kembali melanjutkan perjalanan, setelah sekitar

seratus meter berjalan, sebuah suara menghentikan mereka. “Tunggu kisanak, jika tidak

keberatan menginaplah barang semalam, kalian sudah terlihat cukup kelelahan”. Seorang

pria paruh baya muncul di pelataran rumah yang cukup luas, malahan lebih mewah

dibandingkan rumah-rumah di sekitarnya. “Bagaimana den Bagus?” Sarayuda bertanya

ke Burhan, “Baiklah, kita menginap di sini”. Jawaban itu di ikuti dengan turunnya

Sarayuda dan enam orang temannya dari punggung kuda, lalu menuntun kuda masing-

masing ke pekarangan dan menambatnya di tempat yang di sediakan. Sedangkan pedati

tempat Burhan dan empat prajurit yang menyamar, masing-masing sebagai kusir, wakil

rombongan dan dua pelayan, juga memasuki pekarangan. Lalu berhenti di dekat kuda-

kuda yang di tambat. Seperti sudah disiapkan sebelumnya, jongos rumah itu langsung

mengisi wadah makan dan minum hewan kemudian memberikannya kepada kuda-kuda

yang di tambat. Tak ketinggalan, lembu penarik pedati juga mendapat jatah makan dan

minum.

“Silakan masuk ki sanak, jangan sungkan-sungkan anggap saja rumah sendiri”. Ujar pria

paruh baya itu dengan sikapnya yang ramah, atau bisa dikatakan terlalu ramah. Pria paruh

baya itu kemudian mempersilakn mereka ke ruang makan, setelah beramah-tamah di

kampong. Ki Dharmo nama yang diperkenalkan pria itu, seperti memiliki keramahan

yang di luar batas dan di sela-sela makan dia masih sempat melucu. “Begitulah akhir

cerita kancil, untuk kesekian kalinya dia lolos dari bahaya, dengan mengakali puluhan

buaya di bengawan…”. Di sambut gelak tawa orang-orang di ruangan itu. Tapi Sarayuda

terlihat kurang antusias, “Maaf ki, pakiwan di sebelah mana? Saya sudah menahan dari

tadi:. Dia beralasan ingin ke belakang, sebenarnya lebih bermaksud memeriksa keanehan

di sekitar rumah. “Parmin, tolong antarkan kisanak ini ke belakang”.

“Mari kisanak, saya antarkan”. Sahut orang yang di suruh.

“Saya ijin sebentar den mas”. Kata Sarayuda ke Burhan, sambil memberikan isyarat

mata. Ketika berjalan di belakang jongos itu, Sarayuda mengamati hal-hal di sekitarnya

yang mungkin mencurigakan. Di dalam pakiwan, tepatnya di dalam kamar mandi

Sarayuda pura-pura buamg air. Sementara dengan pendengaran tajam seorang prajurit

terlatih, apalagi pengalamannya bertahun-tahun mengawal raja Mataram, ia dengan jelas

mendengar bisik-bisik orang. “Sst..jangan keras-keras, katakan ke Jalak Seta kali ini yang

singgah ada 12 orang, 7 orang berkuda dan 5 orang di dalam pedati”. Sepertinya suara

Page 23: Arya Wengker

jongos itu, “Baik akan ku sampaikan, aku akan kembali tengah malam nanti bersama

kakang Gagak Ireng, lebih baik kalau mereka tidur kekenyangan”. Lalu orang itu

langsung pergi dengan melompati dinding, bagai seekor kera. Sementara itu di dalam

kamar mandi Sarayuda berkata dalam hati, “Celaka, pemilik rumah ini berkomplot

dengan perampok, akan kuberitahu ke yang lain”. Di luar kamar mandi si jongos sudah

pergi, setelah menyampaikan pesan ke penghubung Jalak Seta.

Sejurus kemudian Sarayuda sudah kembali ke ruang makan. Tapi dia tidak

melihat Ki Dharmo disini, “Kemana perginya tuan rumah?” Dia bertanya kepada Burhan,

“Tadi dia ijin sebentar, katanya ada ‘garangan’11 yang berkeliaran di sekitar rumahnya”.

Yang lain hanya mengangguk-angguk, “Pantas, aku tadi melihat ada garangan besar

meloncati tembok belakang rumah ini”. Sambil mengucapkan itu, Sarayuda mengambil

sesuatu dari kantungnya di pinggang, kemudian meletakkannya di meja. Enam butir

benda hitam kecil bulat, lau dia mengambil pisau kecil yang terselip di pinggangnya dan

memotong masing-masing menjadi dua. “Masing-masing ambil satu dan langsung telan,

tidak apa-apa hanya untuk menetralisir yang barusan kita makan”. Tanpak kemudian

masing-masing melakukan perintahnya, kelihatannya mereka mulai waspada ada

kemungkinan makanan atau minuman yang dimakan mengandung racun. Meskipun

Burhan belum begitu paham maksud dari Sarayuda, tapi dia juga ikut menelan pil itu. Dia

percaya sepenuhnya kepada Sarayuda, seorang prajurit yang berpengalaman.

Beberapa saat kemudian muncul jongos, yang mengantarkan mereka ke ruang

istirahat. Tepatnya di bilik yang cukup luas dan hanya diterangi sebuah lentera yang

bercahaya remang-remang, sama luasnya dengan salah satu bilik di barak pasukan

Surakarta, mampu memuat sekitar 40 orang. Kebanyakan dari mereka segera merebahkan

diri, kecuali Sarayuda dan Burhan yang masih duduk dan merenung. “Belum ngantuk

kakang?” Kata Burhan ke Sarayuda, “Belum den mas, jika sudah mengantuk duluan saja

tidur. Keamanan tempat ini serahkan padaku”. Jawab Sarayuda. “Baiklah, aku duluan

tidur kakang”. Burhan kemudian merebahkan dirinya di atas tikar pandan, seperti sepuluh

orang lainnya. Tampaknya aku harus segera merebahkan diri dan pura-pura tidur, untuk

mengelabuhi orang yang mengawasiku. Sarayuda pun segera merebahkan diri dan pura-

pura tidur. Setelah kurang lebih dua jam berselang, jongos yang sedari tadi megawasi

mereka menggumam lirih, “Bagus sekali, mereka sudah tertidur kelelahan. Saatnya

kuberitahu yang lain”. Dia segera ke halaman rumah, lalu melepaskan panah sendaren12

ke arah langit.

Sementara itu di bukit kecil yang hanya berjarak 200 meter dari rumah itu,

tampak sekitar 20 orang berpakaian hitam dan bercadar. Berbagai macam senjata tajam di

tangan mereka, 2 diantaranya berada di atas punggung kuda. “Saatnya kita bergerak

sekarang, sudah ada tanda dari pelayan Ki Dharma!” Sahut yang lebih muda dari

keduanya. “Jangan dulu Gagak Ireng, sebaiknya perintahkan dulu Wanara dan enam

11 Sejenis musang, disini sebagai kata sandi.

12 Panah api, biasa dipakai sebagai isyarat penyerangan dari sebuah pasukan.

Page 24: Arya Wengker

orang lainnya ke sana. Aku punya firasat buruk kali ini”. Jawab yang lebih tua. “Wanara,

ajak enam orang temanmu turun duluan. Kirimkan tanda bila sudah aman”. Tanpa banyak

bicara Gagak Ireng menjalankan saran dari Jalak Seta. Dan yang diperintahkan langsung

berloncatan turn ke bawah bukit kecil itu, di ikuti enam orang di belakangnya, sepintas

mereka seperti sekelompok kera di kegelapan malam.

Di dalam bilik tempat Burhan dan Sarayuda beserta 10 orang lainnya beristirahat,

tampak Sarayuda yang terjaga dari tadi dan hanya pura-pura tidur, setelah mendengar

bunyi sendaren ia langsung bangkit dan membangunkan yang lain. Ia menyanyikan lirih

kalimat sandi untuk membangunkan kesepuluh temannya, sedangkan untuk Burhan ia

menekan pergelangan tangannya. Setelah semua bangun ia berkata pada salah satu

temannya, “Suwela, ambilkan senjata kita di dalam pedati, hati-hati jangan sampai

ketahuan”. Suwela segera beringsut dari tempatnya. “Kalian dengarkan aku, sekarang

kita masing masing naik ke langit-langit, kau dan Burhan berdiri di samping kanan dan

kiri pintu”. Sarayuda menjelaskan rencananya, “Kalau ada yang masuk, pukul sekeras-

kerasnya dengan kayu ini”. Sambil menyerahkan sebuah gerendel pintu dan sebuah kayu

penumbuk lesung yang ia temukan, ke seorang temannya dan Burhan. Rencana sudah

dijalankan, tapi keadaan mulai tegang. Tiba-tiba pintu terbuka dengan dorongan keras, 2

orang masuk dan disambut pukulan kayu keras mengarah ke tengkuk, seorang terkena

telak dan tergeletak pingsan, tapi seorang lagi luput dan menyarangkan sebuah pukulan

pedang ke Burhan. Dia menangkisnya dengan kayu penumbuk yang dipegangnya, kayu

penumbuk itu patah menjadi dua oleh pukulan yang bertenaga itu.

Pada saat yang genting itu Suwela datang dan melemparkan sebilah pedang ke

Burhan, dengan sigap ia berhasil menangkapnya. Kini keadaan seimbang Burhan dan

lawannya sama-sama menggenggam sebilah pedang, dengan cepat pula Suwela

melemparkan pedang ke seorang temannya dan kembali ditangkap dengan sempurna.

Hanya beberapa detik kemudian lima orang berhamburan masuk ke dalam bilik itu,

Burhan dan seorang prajurit yang menyamar dan Suwela segera memasang kuda-kuda.

Sial baru kali ini aku memegang pedang sungguhan, umpat Burhan dalam hatinya. “Mana

yang lainnya?!” Bentak Wanara ke tiga orang itu, sambil memerintahkan kedua temannya

meringkus mereka. Tapi tanpa dia sadari, tiga orang temannya di belakang tiba-tiba

tergeletak tak berdaya, setelah mendapatkan pukulan keras pisau tangan di tengkuk

mereka dari tiga orang yang meluncur dari langit-langit. Wanara langsung terkesiap dan

menyerang ketiga orang itu, di saat yang bersamaan Suwela menendang keras karung

berisi pedang di dekatnya ke arah tiga orang temannya. Sambil menghindari serangan

Wanara ketiganya menjatuhkan diri lalu mengambil pedang dari dalam karung itu,

sekarang mereka balik menyerang Wanara dalam sebuah formasi yang mengurungnya.

“Bangsat, siapa sebenarnya kalian?!” Umpatnya, ketiga orang itu diam tak menjawab.

Enam orang lagi kembali menjatuhkan diri dari langit-langit, Wanara dan dua temannya

yang tersisa sekarang benar-benar terdesak.

Page 25: Arya Wengker

Sebentar saja ruang itu sudah ramai dengan dentingan bunyi pedang yang saling

beradu. Ada enam orang yang mengepung Wanara dalam sebuah formasi serangan,

sedangkan dua orang teman Wanara masing-masing berhadapan dengan tiga orang.

Burhan tampak bersama-sama dua orang prajurit yang menyamar, menyerang seorang

perampok yang ternyata kemampuan silatnya cukup tinggi. Berkali-kali perampok itu

mampu menangkis serangan mereka, bahkan sempat mengancam mereka dengan

serangan pedangnya yang kadang menusuk dan menyambar. Sementara itu Wanara yang

cukup kewalahan meladeni serangan Sarayuda dan kelima temannya, masih sulit untuk

dijatuhkan meskipun ia juga kesulitan menembus formasi yang mengurungnya. Sabit

kembar di tangan salah satu orang kepercayaan Jalak Seta ini terus berkelebat, dari

warnanya yang kelam telah membuktikan jika senjata ini sudah berkali-kali merenggut

nyawa orang. Sesekali bunga api terpercik dari senjata-senjata yang beradu, sehingga

suasana di dalam bilik yang hanya diterangi cahaya remang-remang sebuah lentera kecil

ini bertambah mencekam. Sampai akhirnya nasib kedua orang perampok itu berakhir

setelah salah seorang memekik tertahan terkena tusukan pedang salah seorang prajurit,

dia menggelepar sesaat di atas lantai beralaskan tikar pandan kemudian diam untuk

selamanya. Sementara yang lain berhasil diringkus setelah pedangnya terlempar oleh

hantaman pedang seorang prajurit, lalu dia sendiri terdorong keras ke belakang oleh

sebuah tendangan terbang dari Burhan. “Kerja yang bagus, Burhan”. Puji seorang prajurit

padanya. Lalu dengan cekatan seorang prajurit mengalungkan pedang ke leher perampok

yang sudah tak berdaya itu.

Melihat posisinya terdesak, Wanara semakin membabi-buta menyerang ke enam

orang lawannya. Dengan sabit kembarnya ia mengerahkan segala kemampuan, dan

berhasil menjebol formasi yang mengepungnya. Dua orang lawannya terlempar, masing-

masing memegangi dadanya yang koyak, sedangkan Sarayuda justeru maju

menyerangnya. Tepat saat Wanara siap membabatkan sabitnya, Sarayuda tiba-tiba

menjatuhkan diri dan mengkaitkan kakinya ke kaki anak buah Jalak Seta itu. Wanara pun

limbung dan jatuh ke lantai beralaskan tikar pandan itu, dia mencoba bangkit dengan

menolakkan kedua telapak tangannya ke belakang dan berdiri di atas kedua kaki. Tapi

ketika dia sudah berdiri, sebuah tendangan terbang dari rekan Sarayuda mendorongnya

dengan keras ke belakang membentur tiang penyangga ruangan hingga dua sabitnya

terlempar, dia mengaduh perlahan dan pingsan.

“Awas ada yang kabur!” Mereka dikejutkan oleh lolosnya seorang perampok yang tadi di

ringkus. “Dia bagian kita”, kata salah seorang yang tadi mengepung Wanara. Mereka

segera berlari mengejarnya. Sesampai di halaman rumah , perampok yang barusan kabur

mengeluarkan siulan panjang terputus-putus, lalu dia langsung berbalik ke belakang

dengan keris yang dicabutnya dari pinggang. Dua orang yang mengejarnya juga sudah

siap dengan keris di tangan masing-masing, tapi mereka berdua terkejut dengan pekikan

tertahan perampok itu. Sebuah pedang menembus punggungnya tembus ke depan,

“Kalian terlalu lama mengatasi satu orang saja”. Tampak Suwela tersenyum bangga

dengan tangan kirinya mencengkeram kerah baju seorang pria paruh baya, Ki Dharmo.

Page 26: Arya Wengker

“Sehabis membereskan seorang dari mereka, aku langsung keluar memeriksa keadaan.

Sebab waktu mengambil pedang tadi aku mendengar bisik-bisik mencurigakan orang tua

ini dengan jongosnya.”

“Karena itu Ki Dharmo kau tangkap, tapi dimana jongosnya? Kenapa tidak kau tangkap

sekalian”. Tanya salah seorang prajurit yang tadi mengejar keluar. “Sayangnya dia

keburu kabur begitu aku mendatangi mereka, ternyata mereka berdua komplotan Jalak

Seta”. Kata Suwela kemudian, “Jalak Seta, yang selama ini dibicarakan para pedagang

yang singgah di Kotaraja?” Sahut seorang prajurit lagi yang bertanya. “Tepat sekali, dan

dari orang tua ini akan kita korek keterangan lebih lengkap!” Ki dharmo terlihat

ketakutan dengan wajah tertelungkup. Dia tak mengira kalau rombongan pedagang yang

dijebaknya ternyata, adalah pasukan Surakarta yang menyamar.

Sementara itu di atas bukit Nampak Gagak Ireng dengan mengumpat-umpat

berkata kepada kakaknya, “Sialan, bangsat. Firasatmu benar kakang kita dijebak!”

Sambil memandangi pedangnya yang berlumuran darah, sambil sesekali melihat kea rah

jasad yang sudah tak bernyawa. Jongos itu menjadi kambing hitam kegagalan operasi

perampokan Jalak Seta, dan nyawanya berakhir di ujung senjata Gagak Ireng. “Kita ubah

rencana, sementara kita biarkan mereka merasa menang”. Sahut Jalak Seta kepada

seluruh anak buahnya yang tinggal 12 orang, “Menurut keterangan jongos ini sebelum

mampus, salah seorang dari mereka tak sengaja menyebut nama Tumenggung Sarayuda.

Jadi kemungkinan besar mereka pasukan khusus Surakarta, yang ditugaskan menumpas

kita”. Tukas Gagak Ireng lagi, “Bisa jadi, tapi kita harus tetap mengawasi rumah itu”.

Jawab Jalak Seta. Lamat-lamat ia seperti pernah mendengar nama Sarayuda, tak terasa ia

kembali mengingat masa-masa saat ‘Geger Pecinan’, dimana ia menjadi pendukung Mas

Garendi dan membelot dari kesatuan pasukan Kartasura. “Reuni pasukan khusus

Kartasura segera dimulai”. Kata Jalak Seta lirih, nyaris tak terdengar.

6

Kemunculan Arya Wengker

Page 27: Arya Wengker

Sang mentari mulai muncul dari balik bukit, menyinari desa di lereng gunung

merapi ini. Kicauan burung yang seakan bernyanyi, semakin menambah keindahan pagi.

Para warga desa mulai menjalankan aktivitas hariannya, para lelaki berangkat ke sawah

atau ladang. Sementara ibu-ibu rumah tangga dibantu anak gadis masing-masing,

menyalakan tungku perapian untuk memasak sekaligus menyiapkan kiriman makan

untuk suami masing-masing, baik yang bekerja di sawah maupun di lading. Nafas

kehidupan mereka seolah sejalan dengan gemericik air sungai, yang mengalir dari mata

air di atas bukit.

Sementara itu di kediaman Ki Dharmo, Nampak di halaman rumah ada tujuh

orang dengan aktivitasnya masing-masing. Sarayuda dan empat orang temannya sedang

memandikan kuda mereka, dengan air yang ditimba dari sumur belakang rumah.

Demikian pula kusir pedati juga sedang memandikan lembunya, seorang lagi, Suwela

sibuk berlatih pedang sesekali ia memperagakan gerakan menebas lalu menusuk. Di

sertai gerakan melompat dan berguling-guling di tanah, sambil terus memainkan

pedangnya. Sarayuda dan lima orang temannya tersenyum melihat Suwela yang

bersemangat latihan, sesekali dengan iseng mereka melempar batu sekepalan tangan ke

arahnya, tapi dengan tangkas Suwela menangkisnya dengan pedang.

Di dalam rumah enam orang dalam keadaan terikat, Ki Dharmo, Wanara dan

empat orang temannya berada satu ruangan di njogan. Yang menjadi tempat perkelahian

semalam, tampak dua jenazah berbungkus kain putih di belakang mereka. Seorang

prajurit yang menyamar sedang menjaga mereka di dalam ruangan. “Kalian yang sabar

sedikit, sebentar lagi Burhan dan temanku akan kembali bersama Jogoboyo dan bebahu

kademangan ini untuk mengambil kalian”.

“Diam kau!” Wanara membentak dengan marah. Kalau saja aku tidak di ikat dan simpul

syarafku tidak ditotok, sudah kucekik kau dari tadi. Katanya dalam hati sambil

mendengus kesal. Ki Dharmo hanya tertunduk lesu.

***

Pada waktu yang sama di Kademangan, tampak di ruang pendopo Kademangan

empat orang berdiskusi a lot. Ki Demang Wukir Sari dan ki Jogoboyo, bersama Bagus

Burhan dan seorang anggota rombongan, ke empatnya duduk berhadapan di atas lantai

kayu jati. “percayalah Ki Demang, aku berjanji paling lambat esok hari Jalak Seta dan

komplotannya sudah tertangkap”. Burhan terus berupaya agar Ki Demang mau

bekerjasama, menangani gerombolan Jalak Seta dan lima anggotanya yang kini di tahan

di rumah Ki Dharmo. “Aku masih sulit memutuskan, bagaimanapun selama ini mereka

yang melindungi Kademangan ini dan menjaga mata air di atas bukit”. Dengan ragu-ragu

Ki Demang menjawab.

Page 28: Arya Wengker

“Tapi Ki Demang, aku rasa ajakan mereka ada benarnya. Sampai kapan Kademangan ini

dikangkangi Jalak Seta dan gerombolannya? Setiap panen raya kita harus selalu

menyerahkan sepersepuluh hasil bumi, sebagai imbalan untuk perlindungan mereka!” Ki

Jogoboyo mulai menunjukkan sikap. “Jogoboyo, jaga bicaramu. Demang disini aku atau

kau?!” Nampaknya Ki Demang tersinggung dengan ucapan Ki Jogoboyo, apalagi ada

desas-desus mengatakan para pemuda mendukungnya menjadi Demang yang baru.

“Maaf Ki Demang, aku cukup sepakat dengan pendapat Ki Jogoboyo. Sekarang saatnya

mengembalikan wibawa desa ini”. Timpal anggota rombongan yang duduk di samping

Burhan.

“Mungkin bagi kalian aku sudah tidak memiliki wibawa lagi, sebagai demang di desa

berpenduduk 50 cacah13 ini”. Ki Demang kembali menjawab, “Tapi tidakkah kalian tahu

dan mengerti, keadaan di Surakarta tidak lebih baik dari desa ini, kekuasaan kanjeng

Sinuhun Pakubuwono II juga dikangkangi oleh kumpeni. Bangsa asing dari seberang

lautan itu dianggap manusia setengah dewa, yang sebenarnya sama saja dengan

gerombolan Jalak Seta”. Dengan berapi-api Ki Demang menjelaskan, alasan

kelemahannya selama ini. Sementara itu orang disamping Burhan tersulut emosinya,

hampir saja tangan kanannya mencabut keris dibalik punggungnya, jika saja Burhan tidak

meraba pergelangan tangannya. “Tahan kakang, ini bukan Surakarta”, bisik Burhan

menenangkannya.

“Hal itu memang tidak bisa kita bantah Ki Demang, tapi ada baiknya kita berusaha

dengan kemampuan kita. Tunjukkan kalau kita adalah rakyat Mataram!” Burhan

berusaha memompa semangat Ki Demang dan Ki Jogoboyo. “Kalau boleh tahu, berapa

banyak pengawal Kademangan ini?” Burhan menoleh ke arah Ki Jogoboyo.

“Saat ini ada 30 orang, mereka pemuda terbaik Kademangan ini, sebulan sekali aku

berembug dengan para orang tua mengenai perkembangan olah kanuragan putra-putra

mereka”. Jawab Ki Jogoboyo dengan mantap.

“Jadi selama ini diam-diam kau menyusun kekuatan untuk mendongkelku Jogoboyo?

Menurut laporan orang kepercayaanku, setiap pekan kau melatih puluhan pemuda

belasan tahun di halaman rumahmu”. Terlihat K Demang masih tidak suka dengan kata-

kata Ki Jogoboyo.

“Kau terlalu berprasangka Ki Demang, hal itu kulakukan juga demi Kademangan ini.

Kalau aku hanya berdiam diri buat apa menjadi Jogoboyo?” Kali ini Ki Jogoboyo

mengeluarkan kalimat dialektis, yang cukup menusuk hati Ki Demang.

“Ternyata selama ini aku berpikiran sempit, tak sadar aku telah menjual kemerdekaan

desa ini. Baiklah, nakmas Burhan hari ini juga tolong bawakan enam tawanan itu

kemari”. Kata-kata Ki Demang membuat semuanya menarik nafas lega, “Dan kau Ki

Jogoboyo, siapkan orang-orang terbaikmu untuk mengamankan Kademangan ini”.

13 Rumah tangga, cara penghitungan manual penduduk era Mataram. Sama dengan KK (kepala keluarga) untuk saat ini.

Page 29: Arya Wengker

“Baik Ki Demang, perintahmu aku laksanakan”. Ki Jogoboyo beringsut pergi dari

pendopo Kademangan, setelah menenggak tetes akhir wedang sereh dengan gula Jawa.

Burhan dan seorang anggota rombongan yang menemaninya juga berpamitan, setelah

lebih dulu menhabiskan minuman masing-masing. Sepanjang perjalanan menuju rumah

Ki Dharmo, anggota rombongan yang menemani Burhan tak henti-hentinya memuji

kehandalan diplomasinya.

***

Hari mulai beranjak malam, suasana di Kademangan Wukir Sari berubah

mencekam. Setiap gardu ronda dijaga oleh tiga hingga lima orang, kediaman Ki Demang

sendiri dijaga oleh sekitar sepuluh orang, penjagaan di seluruh desa dibagi menjadi lima

belas titik. Semuanya mencakup 60 orang pemuda yang dikerahkan menjadi pengawal

desa. Sedangkan di rumah Ki Dharmo terlihat tujuh orang yang berjaga di halaman

rumah, mereka adalah Sarayuda, Suwela dan lima prajurit lainnya yang berpakaian ala

pedagang Surakarta. Dua orang lainnya masih terbaring di salah satu bilik di rumah itu,

akibat luka-luka yang mereka alami pada pertarungan di malam sebelumnya. Seorang

tabib kenamaan di desa itu yang sengaja di datangkan, masih merawat dan mengobati

mereka. Bagus Burhan terlihat duduk di kursi kayu, di samping ambin tempat kedua

orang itu terbaring. “Bagaimana keadaan mereka ki?” Tanya Burhan pada tabib, “Mereka

harus beristirahat paling tidak lima hari lagi, sampai benar-benar sembuh. Semua racun

dari senjata yang digunakan menyerang mereka, sudah berhasil dikeluarkan.” Jawab tabib

itu. “Kira-kira apa lagi yang diperlukan ki?” Kembali Burhan bertanya. “Kencur dan

kunir untuk menambah nafsu makan dan mengembalikan kondisi tubuh, aku kehabisan

tumbuhan itu. Mungkin besok pagi aku ke bukit kecil itu, banyak tanaman obat disana”.

Sahut tabib itu kemudian.

“Jangan khawatir ki, malam ini juga aku kesana”. Jawab Burhan tiba-tiba. “Jangan ngger,

terlalu berbahaya. Anak buah Jalak Seta bisa menyerang tiba-tiba”. Tabib itu

menungkapkan kekhawatirannya.

“Tidak usah khawatir ki, aku akan berhati-hati. Apalagi Ki Jogoboyo telah mengerahkan

hampir seluruh pemuda desa ini”. Dengan tenang Burhan menepis kekhawatiran Ki

Tabib, “Tolong ki, jangan beritahu yang lain kalo aku keluar mala mini”. Bisik Burhan

dengan hati-hati, takut membangunkan dua orang yang terbaring. Ki tabib hanya

mengangguk, meskipun hatinya masih was-was.

Dengan hati-hati Burhan keluar lewat pintu belakang, tanpa sepengetahuan yang

lainnya kecuali Ki tabib. Ia memanfaatkan kelengahan dua orang yang menjaga halaman

belakang rumah, setelah berhasil keluar dengan hati-hati ia melangkah tanpa suara.

Untunglah selama dua tahun berkelana bersama tonil bopo Sadat, aku juga berlatih

kanuragan dua kali sepekan seperti yang lainnya, tapi mungkin aku sedikit keterlaluan

mempelajari diam-diam kitab silat rahasia milik beliau. Setelah dirasa aman, Burhan

meloncat dengan ringan ke atas pohon yang rimbun tidak jauh dari rumah itu, lalu

Page 30: Arya Wengker

membuka bungkusan yang ia ikatkan di punggung. Secepatnya ia menukar pakaiannya

dengan pakaian warok yang ia keluarkan dari peti ukuran tanggung, dari bungkusan itu,

lalu ia memakai topeng bujangganong14 dan ikat kepala warna wulung. Sebuah cemeti ia

ikatkan di pinggang, terakhir ia memakai alas kaki khusus yang dirancangnya sendiri.

Dengan pakaian yang aneh dan agak menyeramkan, Burhan meluncur ringan ke bawah

pohon tanpa menimbulkan suara. Saatnya beraksi, katanya dalam hati. Dengan

melangkah cepat sambil terus berlindung di balik setiap pohon, Burhan menempuh rute

yang ia dengar dari Ki Jogoboyo.

***

Di atas bukit tampak ke tiga belas orang termasuk Jalak Seta dan Gagak Ireng,

bersiap-siap menyerang Kademangan Wukirsari. “Kita harus memberi pelajaran ke

Tumenggung Sarayuda dan juga penduduk desa ini. Mereka telah berani menawan lima

orang kawan kita, dua orang kawan kita yang terbunuh harus ada tebusannya!” Dengan

berapi-api Jalak Seta membangkitkan semangat anak buahnya. “Mereka sebagai

gantinya, setiap seorang dari kita bernilai sepuluh orang warga desa ini!” Suara keras

Gagak Ireng menyambut kalimat Jalak Seta, langsung di ikuti teriakan-teriakan bernada

amarah dari anak buah mereka. Tiba-tiba teriakan mereka terhenti, saat tercium bau asap

dan kemudian mereka terkejut melihat api membakar pondok mereka. Belum hilang

keterkejutan mereka, gudang penyimpanan makanan mereka juga terbakar, tampak

sesosok hitam di atas atap pondok yang belum terbakar tertawa terbahak-bahak.

“Bangsat, setan macam apa kau aku tidak peduli, cepat turun. Kita bertarung secara

jantan!” Teriak Gagak Ireng dengan marah, sambil terus mengumpat. “Kata-katamu

membuatku ingin tertawa ki sanak”. Sambil menjawab kata-kata Gagak Ireng, sesosok

hitam itu meloncat turung dari atap pondok, dengan melayang ringan bagaikan kelelawar

dan mendarat tepat di kedua kakinya dalam posisi jongkok. Lalu ia berdiri sambil

berkacak pinggang, dan kembali tertawa terbahak-bahak, “Perkenalkan Ki sanak, namaku

Arya Wengker sisa dari sesuatu yang telah musnah dan terlupakan”. Dalam waktu

singkat sebelas orang mengepungnya dalam sebuah formasi, dengan berbagai senjata

setelah Gagak Ireng menggerakkan tangannya. Empat orang bersenjatakan pedang, dua

orang bersenjata golok dan lima orang lagi masing-masing bersenjata toya, tombak

panjang, nunchaku, pedang kembar tipis dan sepasang tombak pendek, “Rupanya seperti

ini cara kalian menyambut tamu yang baru datang”. Setelah berkata sosok berpakaian

hitam dengan topeng kayu itu, kembali tertawa terbahak-bahak. Kali ini lebih keras dari

sebelumnya, mengakibatkan tanah mereka berpijak serasa terguncang, tiga dari sebelas

orang yang mengepung itu mulai terpengaruh dan menjatuhkan senjatanya kemudian

menutup telinganya. Yang lainnya juga mulai terpengaruh, sampai Jalak Seta

melemparkan pisau kecil ke arah sosok hitam itu, seketika suara tawa itu terhenti.

Sosok hitam bertopeng itu pecah konsentrasinya setelah menangkap pisau kecil

Jalak Seta, dengan menjepitkan kedua jarinya. “Sekarang, serang!” Teriak Gagak Ireng, 14 Salah satu tokoh cerita dalam pertunjukan Reog Ponorogo. Juga menjadi salah satu tokoh penting, dalam legenda kerajaan Bantarangin sebagai Patih (Perdana Mentri) Kerajaan yang sekaligus adik Raja Kelanasewandana.

Page 31: Arya Wengker

lalu sebelas orang yang mulai sadar dari tekanan tadi, langsung bersiaga dan melancarkan

serangan saling bersusulan kea rah sosok hitam bertopeng kayu itu. Dengan tangkas

orang yang menamakan diri Arya Wengker itu berloncatan menghindar, meskipun agak

kewalahan meladeni serangan mereka, akhirnya ia memiliki kesempatan mengambil jarak

dengan sebuah lompatan panjang ke belakang dan menarik sebuah cemeti dari

pinggangnya. Terdengar kemudian suara meledak-ledak cemeti yang mengejutkan para

penyerangnya, keterkejutan mereka di manfaatkan Arya Wengker untuk memecah

formasi, sesaat kemudian dua buah pedang dan dua buah golok terlempar dan empat

orang yang kehilangan senjatanya mengaduh setelah dada masing-masing koyak dengan

luka melintang. Sabetan cemeti dari sosok hitam bertopeng kayu itu, cukup keras

bagaikan sabetan pedang yang mulai memakan korban. Kelihaiannya memainkan cemeti

diimbangi dengan ketangkasannya bergerak, sesekali berloncatan di udara dan terkadang

bergulingan di tanah sambil beberapa kali salto ke belakang, menjadikannya bagaikan

hantu malam bagi para penyerangnya.

“Kakang, lawan kita bukan orang sembarangan, entah dia ini suruhan warga desa ataupun

bagian dari pasukan yang mengejar kita. Dia betul-betul tidak bisa di remehkan”. Kata

Gagak Ireng kepada Jalak Seta. “Berhenti semua!” Jalak Seta tiba-tiba membuka suara, di

ikuti oleh ketujuh orang anak buahnya yang langsung menghentikan serangan. Meskipun

ketujuh orang itu belum tergeletak lemas seperti ke empat orang kawannya, tetapi tenaga

mereka benar-benar hampir terkuras. “Ki sanak, sebenarnya apa tujuanmu kemari? Jika

menginginkan harta jarahan kami, dengan senang hati kami akan membaginya. Asalkan

anda bersedia bergabung dengan kami”. Sambil berjalan perlahan, Jalak Seta mencoba

untuk melunakkan hati Arya Wengker, atau mungkin ingin membuatnya lengah, karena

tiba-tiba Jalak Seta menyerangnya dengan sebuah nunchaku berkepala tiga (triple stick).

Kembali duel terjadi kali ini antara Arya Wengker dengan Jalak Seta, keduanya

sama-sama tangkas dalam menyerang dan bertahan. Sesekali Arya Wengker dengan

sendal pancing menyabetkan cemetinya, dan kadang-kadang mengeluarkan tendangan

sambar kanan maupun kiri, meskipun Jalak Seta berkali-kali dapat menangkisnya tetapi

beberapa kali pergelangan tangan dan bahunya nyaris koyak oleh mata pisau yang selalu

menyembul tiba-tiba dari ujung alas kaki Arya Wengker. Berkali-kali pula sabetan cemeti

Arya Wengker dan sambaran nunchaku Jalak Seta saling berbenturan, sesekali tercipta

percikan bunga api, sepertinya ada besi di juntai cemeti itu sampai akhirnya sabetan

cemeti Arya Wengker mengenai dada Jalak Seta, tapi dia juga terdorong lima depa ke

belakang oleh tendangan terbang Jalak Seta. Arya Wengker masih bisa mendarat tepat di

atas kedua kakinya dengan posisi jongkok, kemudian ia berdiri sambil melihat bajunya

yang lumayan koyak di bahu kiri dan dada, beberapa bagian cemetinya juga terlihat

hangus seperti baru terkena bara api.

Jalak Seta masih berdiri tegak, di belakangnya tampak Gagak Ireng dan anak

buahnya yang lain bersorak-sorak. Tapi tanpa sadar ia memegang dadanya, terasa

olehnya tetesan darah bercampur keringat melalui luka yang membujur, mulai

Page 32: Arya Wengker

membasahi bajunya yang juga koyak di bagian depan. Sesaat kemudian ia jatuh terduduk,

dengan tangan yang masih memegangi luka. “Kakang Jalak Seta!” Terdengar teriakan

Gagak Ireng yang langsung menghampiri pemimpinnya, di ikuti teman-temannya yang

lain. “Dia harus mati”. Bisik Gagak Ireng sambil meraba hulu pedangnya, tapi belum

sampai ia melangkah Jalak Seta menahannya dengan isyarat, kemudian terlihat semburan

berwarna merah dari mulut kepala perampok itu. “Sekarang sudah lebih baik, beberapa

simpul syaraf sudah aku totok, hanya perlu istirahat beberapa hari”. Lalu dibantu Gagak

Ireng dan yang lainnya ia bangkit, sambil memberikan isyarat ke Arya Wengker untuk

mendekat, dengan sedikit ragu-ragu ia mendekat sambil mengikatkan kembali cemetinya

ke pinggang.

“Anak muda, aku salut padamu sudah bisa mengalahkanku. Kurasa tanah Jawa ini masih

memiliki bibit-bibit pendekar tangguh, rasanya aku seperti kembali ke masa ‘Geger

Pecinan’”. Jalak Seta menyelesaikan kalimatnya sambil terbahak-bahak, tetesan darah

terlihat di telapak tangannya setelah menyeka mulutnya. Untuk sekilas Arya Wengker

terpaku, setiap kali ‘Geger Pecinan’ di sebut-sebut ia selalu teringat pembantaian di

desanya. Tanpa sadar kedua tangannya mengepal, “Siapakah sebenarnya Ki Jalak Seta

ini?” Arya Wengker mulai bertanya sambil berusaha menyembunyikan ekspresinya.

“Mungkin selama ini bagi kebanyakan orang, aku hanyalah seorang perampok kejam

yang suka merampas harta setiap saudagar dan pedagang yang lewat dan juga panenan

warga”. Jalak Seta kembali berkata, “Sebenarnya aku adalah Tumenggung Nagayudha,

salah seorang perwira pasukan Kartasura yang memihak Mas Garendi dan

menghancurkan kraton Kartasura. Tapi kemudian aku menjadi buronan pihak kraton dan

VOC, setelah mereka memukul mundur kami dari Kartasura dan Mas Garendi

tertangkap”. Senyuman getir tersungging di bibir Jalak Seta, mengingat masa lalunya.

“Kehormatan bagi saya bisa bertarung dengan tokoh legendaris ‘Geger Pecinan’, seorang

kepercayaan Sunan Kuning. Tapi kenapa sekarang anda mengambil jalan tercela seperti

ini?” Tanya Arya Wengker lagi.

“Tutup mulutmu! Bagaimanapun bagi kami, kakang Jalak Seta adalah pahlawan”. Gagak

Ireng membentak Arya Wengker yang di anggapnya berkata keterlaluan.

“Sabarlah dimas, mungkin benar yang dia katakan jika kita sekarang hanyalah seonggok

manusia. Tapi meskipun keadaan kami seperti ini, di hati kami masih tersimpan

kebencian pada kumpeni, mereka merebut setiap jengkal tanah negeri ini dengan licik”.

Dengan bijak Jalak Seta mendinginkan suasana.

Kobaran api telah padam yang menyisakan bekas-bekas hangus terbakar, pondok

dan gudang itu tinggal separuh yang tersisa. Pertarungan Arya Wenger dan Jalak Seta

berakhir dengan mengharu biru, karena secara tak sengaja telah menguak jati diri Jalak

Seta, ternyata dia adalah desertiran pasukan Kartasura. Keduanya akhirnya membuat

kesepakatan, bahwa esok hari saat matahari di atas kepala, Jalak Seta akan berduel

dengan kawan lamanya Sarayudha di halaman Kademangan. Dari jalak Seta atau

Page 33: Arya Wengker

Nagayudha, Arya Wengker memperoleh keterangan darinya, bahwa setelah pasukan Mas

Garendi di desak hingga ke utara dan dihancurkan di Mandaliko, Nagayudha seorang diri

berhasil selamat. Tapi dia terpisah dari teman-temannya yang lain, untuk menghindari

kejaran pasukan Pakubuwono dan VOC, dia menyamar sebagai pengemis hingga tiba di

tempatnya sekarang. Sambil mengumpulkan informasi dengan terus menyamar sebagai

pengemis dan terkadang menjadi penjudi sabung ayam di setiap desa yang disinggahi,

Nagayudha kemudian berhasil membentuk gerombolan perampok dari kumpulan

‘sampah’ masyarakat, mulai dari gelandangan, pengemis dan preman pasar. Sejak saat itu

ia merubah namanya menjadi JALAK SETA.

Meskipun menjadi pemimpin dari 20 orang perampok, Jalak Seta tidak

sepenuhnya kejam, dia hanya mencegat dan merampok pedagang yang terlihat kaya saja.

Sedangkan hasil bumi yang diserahkan warga desa Wukirsari setiap panenan, itu terpaksa

dilakukan karena ia harus menghidupi kelompoknya, apalagi dia juga telah melindungi

desa itu dari ancaman gerombolan perampok lain. Hanya saja Ki Dharmo yang menjadi

penghubung Jalak Seta dengan Kademangan, telah mengambil keuntungan dari kedua

pihak. Sebenarnya semua kejahatan dan kemerosotan moral yang terjadi saat ini hanyalah

akibat, dari kebobrokan pemerintahan Surakarta yang dikendalikan VOC. Burhan yang

masih berpakaian hitam dan bertopeng, merutuk di dalam hatinya. Tanpa terasa, ia sudah

berada di halaman Kademangan, kedatangannya yang tiba-tiba mengejutkan sepuluh

orang pemuda yang berjaga. “Berhenti, siapa kau?!” Bentak seorang pemuda yang

kelihatannya adalah pemimpin regu. “Aku kesini ingin menemui Ki Demang dan Ki

Jogoboyo, tolong sampaikan pada mereka ada pesan dari Jalak Seta”. Jawaban Burhan

yang masih dalam penyamaran itu, mengejutkan semua pemuda yang berjaga. Seketika

itu juga mereka langsung menghunuskan pedangnya, “Kalian tenanglah, aku tidak ada

urusan dengan kalian!” Teriak Burhan dengan menyamarkan suaranya, tapi tanpa

mempedulikan kata-katanya para pemuda itu mengerubutinya dan bersiap-siap

mengayunkan pedang. Dengan gerakan cepat dan tangkas ia menghindari setiap sabetan

pedang, sampai tiba kesempatan ia meloncat jauh dan berhenti tepat di beranda rumah Ki

Demang. “Cepat tangkap dia, jangan biarkan lolos!” Perintah pemuda pemimpin regu

kepada teman-temannya. Pada waktu bersamaan Ki Demang dan Ki Jogoboyo keluar dari

pintu depan, setelah mendengar suara ribut-ribut di luar.

“Berhenti, ada apa ini?!” Tanya Ki Demang.

“Maafkan aku, Ki Demang dan juga Ki Jogoboyo. Mungkin kedatanganku mengejutkan

kalian, perkenalkan namaku adalah Arya Wengker. Beberapa jam lalu aku mengalahkan

Jalak Seta dalam sebuah duel, kami membuat kesepakatan, gerombolannya tidak akan

mengganggu desa kalian tapi dengan satu syarat”. Jelasnya.

“Syarat?” Ki Demang dan Ki Jogoboyo berpandangan keheranan, demikian juga para

pemuda yang berada di halaman.

Page 34: Arya Wengker

“Syarat apa yang dimintanya? Selama ini Jalak Seta membayangi kekuasaan Ki Demang,

bisakah kata-katanya dipercaya? Lagipula kami tidak mengenalmu, bisa saja kau

sebenarnya berkomplot dengannya dan berbohong untuk menjebak kami”. Ki Jogoboyo

masih sanksi dengan keterangan Arya Wengker.

“Ini jaminannya”, Arya Wengker menyerahkan sebuah nunchaku berkepala tiga ke

tangan Ki Jogoboyo, yang tadi ia sembunyikan di balik bajunya. “Syaratnya besok siang

saat matahari tepat di atas kepala, ia ingin berduel dengan kawan lamanya Ki Sarayudha,

ketua pengawal rombongan pedagang dari Surakarta yang singgah di desa kalian”. Tukas

Arya Wengker. Setelah menyelesaikan kalimatnya ia langsung melesat pergi dengan dua

loncatan, pertama melintas di atas kerumunan pemuda di halaman dan mendarat di pagar

Kademangan lalu meloncat lagi dan hilang ditelan kegelapan malam. Semua orang di

Kademangan masih terpaku keheranan, kejadian malam ini sangat tiba-tiba dan

mencengangkan.

***

Malam semakin larut dan mulai beranjak ke waktu fajar. Lima dari tujuh orang

yang berjaga di halaman rumah Ki Dharmo terlihat tertidur di bale bambu di beranda

rumah, hanya Sarayudha dan Suwela yang masih terjaga sambil keduanya mondar-

mandir di depan beranda. Tapi akhirnya mereka berdua tak bisa menahan kantuk dan

akhirnya bersandar di tiang beranda rumah, lalu tertidur. Sementara itu Burhan dengan

mengendap-endap membuka pintu belakang rumah dengan hati-hati, lalu menutupnya

kembali dilihatnya dua orang yang berjaga di halaman belakang sudah tertidur di atas

ambin. Sambil terus melangkah hati-hati ia pun memasuki rumah, di dalam bilik tempat

kedua orang anggota rombongan itu dirawat ia melihat Ki Tabib sedang terkantuk-

kantuk, antara sadar dan tidur. “Ki…ki, aku sudah mendapatkan barang yang dibutuhkan.

Bangunlah sebentar”. Dengan hati-hati ia membangunkan ki Tabib. “Oahemmm, rupanya

aku tertidur. Nakmas tidak apa-apa kan”. Tanya ki tabib yang baru bangun sambil

menerima tanaman obat yang dibawa Burhan, “Syukurlah ki, perjalananku aman-aman

saja semalam. Hanya saja aku sempat melihat nyala api di atas bukit dan suara hiruk-

pikuk mirip perkelahian, tempat aku mencari kunir dan kencur”. Burhan coba

menceritakan sebagian dari kejadian semalam, tanpa menjelaskan apa yang terjadi

sebenarnya. “Aneh sekali, apa mungkin ada serangan dari kelompok perampok lain. Tapi

setahuku gerombolan perampok Jalak Seta cukup disegani di wilayah ini. Meskipun baru

muncul dua tahun belakangan, tapi di setengah tahun awal mereka telah menundukkan

gerombolan perampok-perampok lain”. Tabib itu menceritakan sekilas sepak-terjang

gerombolan Jalak Seta. “Banaspati, Kalalodra dan Yaksasinga adalah kelompok-

kelompok perampok terkenal yang sudah dikalahkan. Termasuk kelompok Moto Sitok

yang menjadi penguasa bukit kecil itu sebelumnya”. Kembali ki tabib melanjutkan

ceritanya, sambil tangannya dengan cekatan meracik obat.

Burhan hanya mengangguk-angguk, rasa bangga mulai bersemi di hatinya. Kini

aku bisa menjadi ‘ksatria kegelapan’ yang terus berkelana, menundukkan setiap durjana

Page 35: Arya Wengker

dan langkah awal telah dilakukan. Tanpa sadar kesombongan telah mewarnai hatinya,

tapi kemudian ia tersentak setelah seseorang menggamitnya dari belakang. Tabib itu

memintanya istirahat sebentar karena ia belum tidur semalaman, “Baik ki, sekalian nanti

setelah aku selesai sembahyang subuh”. Ki tabib hanya tersenyum mendengarnya, “Di

sebelah timur Kademangan ada surau kecil, selama ini jarang digunakan kecuali waktu

jum’atan dan hari-hari besar. Nakmas bisa sembahyang di sana dan jadi imamnya kalau

bisa”. Kemudian tabib itu mulai membangunkan kedua orang yang terbaring itu untuk

meminumkan ramuannya, “Terima kasih ki, bisa sholat sendiri saja sudah cukup. Ilmuku

belum nyampai untuk jadi imam”. Kemudian Burhan melangkah keluar bilik menuju

pintu depan, ia masih mendengar suara ki tabib. Di desa ini selain dicekam ketakutan

selama dua tahun terakhir oleh gerombolan Jalak Seta, juga sangat sedikit yang bisa

menulis kawi15 maupun pegon,16 kecuali Ki Demang dan Ki Jogoboyo serta beberapa

keluarga terpandang yang memang memiliki trah bangsawan. Berarti kemungkinan kecil

di desa ini yang bisa membaca Al-Qur’an apalagi memahaminya, ia pun sadar beberapa

hari ini juga jarang membaca kitab sucinya itu sholat pun selalu ia jamak, karena selalu

dalam perjalanan. Muslim macam apa aku ini, katanya dalam hati.

Untuk pertama kalinya setelah terakhir kali adzan di desa Liman dua tahun lalu,

Burhan kembali mengumandangkan adzan di surau sebelah timur Kademangan. Alunan

suara adzan yang ia kumandangkan mengalir bagaikan tembang merdu, beberapa

penduduk yang sempat bangun dan mendengarnya pun keheranan dengan suara itu.

Jarang sekali adzan berkumandang di desa itu. Sarayudha dan Suwela pun juga terbangun

setelah mendengar suara adzan itu, “Seperti suara Burhan kakang”. Kata Suwela kepada

Sarayudha, Sarayudha hanya mengangguk. Pagi itu tidak seperti biasanya surau kecil di

timur Kademangan digunakan sholat subuh, Burhan menjadi imamnya setelah para

jama’ah yang terdiri dari Ki Demang, Ki Jogoboyo dan beberapa pemuda yang menjaga

rumah Ki Demang termasuk Sarayudha dan Suwela memaksanya. Nampaknya Ki

Demang dan Ki Jogoboyo serta beberapa pemuda desa, menganggap sholat mereka kali

ini adalah rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa. Seusai sembahnyang mereka masih di

surau sebentar, Ki Demang menceritakan kejadian aneh dan mengejutkan tadi malam.

Suwela dan Sarayudha tampak terkejut, demikian juga Burhan.

7

Perjumpaan Dua Sahabat Lama

Siang itu di kediaman Ki Demang Wukirsari tampak sudah ramai seperti hari

pasaran, ratusan orang berkumpul di sana, nampak Ki Demang ditemani Ki Jogoboyo

15 Huruf jawa.

16 Huruf arab tapi berbahasa jawa atau melayu.

Page 36: Arya Wengker

berdiri di beranda rumah. Sementara itu Sarayudha yang akan bertanding dengan Jalak

Seta, bersama Suwela dan Burhan serta empat orang anggota rombongan yang lain

sedang duduk di pendopo, tempat itu memang dikhususkan untuk mereka. Sarayudha

terlihat duduk tenang sambil mengatur nafas, kelihatannya ia sedang bermeditasi. Lima

orang lainnya tidak terlihat, sengaja disuruh tetap berada rumah mereka menginap. “Ki

Sarayudha bersiaplah, Jalak Seta dan anak buahnya sudah datang!” Teriak Ki Jogoboyo

memanggil Sarayudha. “Sudah datang rupanya”. Sambil membuka matanya Sarayudha

kemudian berdiri di ikuti teman-temannya yan lain, ia melihat ke arah kerumunan orang-

orang yang menyibakkan diri dan mengosongkan bagian tengah halaman rumah Ki

Demang. Terlihat dua ekor kuda memasuki gerbang rumah Ki Demang, tampak dua

orang diatasnya yang sama-sama gagah dan kekar dengan jambang lebat di wajah

masing-masing, menampakkan kesan sangar dan menakutkan. Apalagi di belakang

mereka berjalan sebelas orang dengan ciri yang hampir sama, mereka memakai pakaian

bercorak hitam kelam dengan ikat pinggang bergambar kepala burung berwarna putih di

ujungnya, meskipun empat orang di antaranya dibalut kain penutup luka di beberapa

bagian tubuhnya. Hal itu tidak mengurangi kesan sangar di wajah mereka, pita merah

yang di kenakan di lengan kiri masing-masing menunjukkan bahwa mereka siap mati.

“Jalak Seta menyembunyikan lukanya tadi malam”. Burhan menggumam lirih, setelah

melihat Jalak Seta berpakaian cukup rapi dan menampakkan kesan yang biasa.

“Kau berkata sesuatu Burhan?” Suwela bertanya padanya.

“Oh, tidak kakang hanya kelihatannya duel siang ini sangat banyak yang menonton”.

Sahutnya kemudian, berbohong untuk menghindari kecurigaan.

“Kalian semua doakan aku”. Kata Sarayudha kepada teman-temannya, termasuk Burhan.

“Hati-hati kakang”. Tukas Burhan.

Kemudian Sarayudha memasuki arena di tengah halaman dengan menenteng

sebuah pedang besar dan panjang, dengan rantai di hulu pedang yang ia ikatkan di jari

tengahnya. Jalak Seta pun turun dari punggung kudanya, seorang anak buahnya lalu

memegangkan kendali kudanya. Kedua belas anak buah Jalak Seta berdiri di sisi pinggir

arena. Ia kemudian menggerakkan tangan kirinya keatas sambil memandang kearah Ki

Jogoboyo, langsung sebuah benda berkilauan terkena cahaya matahari melayang di udara

di lemparkan Ki Jogoboyo kearahnya, dengan sigap mantan perwira pasukan Mas

Garendi itu menangkapnya sempurna. Lalu terlihat sebuah nunchaku berkepala tiga

berputaran bergantian di tangan Jalak Seta, senjata itu terus berpindah dari tangan kiri ke

kanan dan sebaliknya, kemudian ia berhenti senjata itu ia jepit ujungnya di ketiak.

“Giliranmu sekarang, teman”. Katanya ke arah Sarayudha. Langsung saja ajudan Sunan

Surakarta itu unjuk kebolehan memainkan pedang besar panjang miliknya. Berbagai

jurus ia peragakan termasuk keliahaiannya berdiri terbalik dengan kaki diatas kepala

dibawah, dengan hanya bertumpu dengan jari tengahnya di hulu pedang yang

ditancapkan ditanah. Tepuk tangan warga yang menonton membahana diseluruh arena.

Page 37: Arya Wengker

“Pertunjukan yang bagus Sarayudha, tapi ingat pertarungan antara hidup dan mati

bukanlah sirkus”. Sambil mengatakan itu, Jalak Seta sempat bertepuk tangan.

Kemudian keduanya saling mendekat ke tengah arena. Saling membungkuk

memberi hormat, lalu segera menjaga jarak dan memasang kuda-kuda serang. “Lama

tidak bertemu, Tumenggung Nagayudha. Atau Jalak Seta”. Kata-kata Sarayudha nyaris

tak terdengar karena riuh-rendah sorak-sorai warga yang menonton, sambil ia

mengeluarkan sebuah serangan ke Jalak Seta. Sebuah sambaran pedang yang ia padukan

dengan tendangan memutar, lalu di ikuti sebuah tendangan sambar ke arah pinggang.

Jalak Seta dengan tangkas menangkis sambaran pedang itu dengan putaran nunchakunya

dan sedikit miringkan badan menghindari tendangan itu, selanjutnya mencondongkan

badannya ke kanan sambil menangkis tendangan dengan tangan kiri. “Terserah kau

panggil aku apa, tapi aku tidak pernah melupakan pertemanan kita dulu. Termasuk

sikapmu yang terus membela raja pengecut itu!” Sekarang Jalak Seta balas menyerang

dengan sepenuhnya mengandalkan perputaran nunchaku berekepala tiga itu, sambil

sesekali merangkainya dengan gerakan berloncatan di udara dan bergulingan di tanah,

mengitari Sarayudha untuk membuatnya bingung. Beberapa kali senjata mereka

berbenturan, menimbulkan suara berdentingan dan percikan bunga api yang membuat

ngeri orang awam yang menonton. Terlihat beberapa penonton khususnya yang

perempuan, menutup matanya dengan kedua tangannga, beberapa lagi berpegangan pada

suaminya.

“Jaga bicaramu Nagayudha, kau pikir siapa yang melantikmu menjadi Tumenggung dan

menggajimu selama berada di Kartasura. Kau mengkhianati orang yang

mempercayaimu!” Sambil mengatakan itu Sarayudha kembali melancarkan serangannya

ke Jalak Seta atau Nagayudha, kembali terdengar dentingan senjata beradu dan bunyi

udara yang terkena sambaran pedang maupun nunchaku.

Sebuah tendangan menyerupai patukan kobra mengenai dada Sarayudha,

membuatnya jatuh berguling-guling di tanah. Tapi ia masih bisa berdiri dengan

menolakkan kedua tangannya ke belakang. Kemudian ia menarik rantai yang mengikat

pedangnya, dengan sigap berhasil dipengangnya kembali pedang besar panjang itu.

“Kemampuanmu sudah menurun kawan. Tidak seperti Sarayudha yang aku kenal,

padahal dulu aku hampir mati oleh sambaran pedangmu di dadaku ini”. Kata Jalak Seta

sambil memegang dadanya. Nunchaku berkepala tiga miliknya masih berputaran seperti

perisai yang melindunginya, sehingga berkali-kali pedang besar panjang Sarayudha

bagaikan membentur perisai baja setiap kali berusha menerobos putaran nunchaku itu.

Orang-orang di kedua belah pihak saling mendukung keduanya, sampai akhirnya putaran

nunchaku Nagayudha melemah, entah dia sengaja atau sudah kehabisan tenaga. Tiba-tiba

Sarayudha memanfaatkan celah yang ada dari melemahnya putaran nunchaku itu, sebuah

tusukan mengarah ke leher ia lancarkan tapi Jalak Seta masih bisa menghindar meskipun

bahu kirinya tergores. Masih belum cukup dengan itu sebuah pukulan tepak tangan

Sarayudha mengenai dada Jalak Seta yang mengaduh perlahan, tapi ia juga berhasil

Page 38: Arya Wengker

mengayunkan ujung nunchaku miliknya nyaris mengenai dahi Sarayudha. Ia

menangkisnya dengan ayunan pedang, terdengar bunyi keras mirip ledakan disertai

percikan bunga api yang cukup besar.

Akhirnya benturan terakhir terjadi, dengan sisa tenaga yang di milikinya Jalak

Seta mengayunkan nunchaku berkepala tiganya kearah kepala Sarayudha. Ajudan Sunan

Surakarta itu menangkisnya dengan melontarkan pedangnya dengan jari tengahnya

terikat pada rantai, jarinya serasa putus dan pedang patah menjadi tiga bagian. Tapi

bagian pedang itu yang masih tersisa di hulunya, menancap di dada Jalak Seta yang

terlihat tersenyum ke arah Sarayudha. Bagai tercekat Sarayudha melihat kondisi kawan

lamanya itu, perlahan ia mendekatinya dan menjatuhkan dirinya dengan kedua siku kaki

di tanah, “Keparat kau Nagayudha, kenapa kau memilih mati dengan cara seperti ini?”

Terdengar umpatan Sarayudha, terlihat ekspresi marahnya bercampur sedih. “Lebih baik

bagiku mati sebagai ksatria, daripada hidup dengan menyaksikan negeri ini hancur

perlahan-lahan. Pesanku padamu tolong jaga bumi mataram dan tanah Jawa tempat kita

tinggal..” Belum selesai ia berkata batuk darah Jalak Seta terdengar parah, lalu ia

melanjutkan kalimatnya. “..dari keserakahan orang-orang kumpeni yang licik. Mereka

memanfaatkan kebodohan para bangsawan yang gila harta dan tahta. Terakhir

bebaskanlah semua orangku, termasuk yang kalian tahan, sedangkan Ki Dharmo terserah

penduduk Desa. Selamat tinggal Sarayudha, salamku untuk kanjeng Susuhunan

Pakubuwono II”. Setelah mengatakan hal itu, Jalak Seta atau Nagayudha diam untuk

selamanya. Dengan perlahan Sarayuda mengusap kedua mata sahabat lamanya agar

terpejam, kemudian ia memejamkan matanya sebentar. Mengingat kenangan lama ketika

masih di Kartasura, mereka bersama-sama meniti karir. Lalu ia bangkit sambil

membopong mayat kawan lamanya itu dan berjalan ke arah anak buah Jalak Seta,

semuanya menundukkan wajah berkabung. “Rawat baik-baik jasad pemimpin kalian,

seperti pesannya tinggalkanlah desa ini carilah tempat lain dan kehidupan baru, mulailah

berbuat hal-hal yang baik”. Kata Sarayudha kepada Gagak Ireng yang masih

menundukkan wajahnya, kemudian wajahnya terangkat dan mengangguk perlahan

menerima jasad pemimpinnya dibantu yang lain menaikkannya ke punggung kuda.

***

Pada hari itu juga gerombolan Jalak Seta yang telah kehilangan pemimpinnya,

dalam duel hidup-mati dengan Tumenggung Sarayudha, meninggalkan Kademangan

Wukirsari untuk selamanya. Tiada yang tahu kemana tujuan mereka, hanya saja sesuai

syarat yang di minta almarhum Jalak Seta alias Nagayudha lima anggota mereka yang

sempat di tahan, akhirnya dibebaskan dan turut pergi bersama ketujuh belas anggota

Jalak Seta yang lain. Pada waktu yang hampir bersamaan Burhan bersama Sarayudha dan

Suwela beserta rombongannya, juga berpamitan ke warga desa meninggalkan

Kademangan Wukirsari. Mereka masih bisa menjaga kerahasiaan identitasnya dengan

menyamar sebagai rombongan pedagang dari Surakarta. “Lain kali mampirlah nakmas

Burhan, orang dengan kemampuan merencanakan sesuatu dan juga alim seperti jenengan

Page 39: Arya Wengker

sangat dibutuhkan Kademangan ini”. Kata Ki Demang kepada Burhan. “Terima kasih Ki,

insyaallah bila ada waktu aku mampir. Masih banyak yang harus kuselesaikan, barang-

barang yang kami bawa harus segera sampai ke Banyumas, sudah dua hari perjalanan ini

tertunda”. Sahut Burhan menjawab kata-kata Ki Demang. “Baiklah terserah nakmas saja,

hati-hati di jalan”. Kata terakhir Ki Demang mengiringi kepergian mereka, roda pedati

yang memuat Burhan dan empat orang anggota rombongan termasuk dua orang yang

masih belum sembuh benar mulai bergerak, perlahan namun pasti mereka semakin jauh

meninggalkan Kademangan Wukirsari.

Sedangkan Ki Dharmo dikarenakan berbagai kesusahan yang di akibatkan

ulahnya selama ini, mendapatkan hukuman sanksi sosial. Seluruh hartanya disita untuk

kepentingan warga, selain itu ia harus merawat mushola atau surau kecil di sebelah timur

Kademangan dan mengerjakan semua kepentingan warga tanpa upah. Tapi masih ada

satu rahasia yang belum terungkap, yaitu mengenai siapa sebenarnya Arya Wengker yang

telah menundukkan gerombolan Jalak Seta dan memaksa mereka membuat kesepakatan

mengenai nasib desa.

***

Sementara itu di kota Banyumas seorang gadis berkerudung merah muda, dengan

kebaya warna coklat dan kain jarit yang berwarna coklat tua, tampak duduk termenung di

belakang pedati. Arum Sekar sangat merindukan kehadiran saudara angkatnya, atau lebih

tepatnya kekasih hatinya, Bagus Burhan. Kakang kenapa kau lama sekali, aku sudah

hampir selalu menunggu kedatanganmu tiga hari ini. Gadis manis berkulit kuning langsat

itu menggerutu dalam hatinya, sambil mengamat-amati dan mengayun-ayunkan sebuah

wayang kecil dari rumput. Tidak jauh darinya tampak seorang pemuda terlihat kesal,

“Pasti dia sedang memikirkan kekasihnya, si Burhan itu. Apa istimewanya dia? Hanya

seorang pemuda banyak bicara dan sok pintar, hanya saja dia beruntung mendapatkan

anugerah besar yang tak terduga dari kanjeng Sunan Surakarta”. Gerutunya dengan lirih.

Sampai sebuah suara mengejutkannya.

“Ada masalah, ngger Kasan”. Tanya Ki Sadat yang tiba-tiba muncul dari dalam tenda

yang mereka dirikan tidak jauh dari pasar Kota Banyumas.

“Mboten bopo, tidak ada apa-apa. Hanya bosan saja harus menunggu kedatangan Burhan,

padahal sudah tiga hari kita menunggu kedatangannya tapi belum datang juga”. Kasan

berusaha menutupi kegusarannya yang sebenarnya.

“Kita semua sebenarnya juga berpikiran sama, Kasan. Tapi kita harus tetap menunggu

Burhan sebagai syarat kita bertemu dengan kanjeng Bupati Banyumas, nasib Nyi Wignyo

dan putranya beserta warga desa Nangka Jajar ada bersama nawala yang sekarang dibawa

Burhan. Camkan itu”. Dengan sareh dan sabar Ki Sadat berusaha menjelaskan kepada

salah satu anak angkatnya ini, kenapa mereka harus tetap menunggu Burhan.

Page 40: Arya Wengker

“Maafkan saya bopo, mungkin terlalu memikirkan diri sendiri. Saya mohon ijin ke pasar

kota sebentar bopo ada yang harus saya beli”. Sahut Kasan kemudian sambil pamit

keluar. “Ya, tapi jangan lama-lama ya? Siapa tahu entah sore ini atau tengah malam nanti

Burhan dan rombongannya datang”. Tukas Ki Sadat yang dijawab dengan anggukan

Kasan.

“Bibit-bibit kecemburuan diantara mereka bertiga mulai terjadi, yaah semoga saja tidak

membawa hal-hal buruk!” Gumam Ki Sadat perlahan. “Handoko, roda pedati yang

satunya sudah selesai kau perbaiki?!” Teriaknya pada seorang pemuda yang terlihat

memeriksa roda pedati, “Sudah bopo, tinggal yang satu ini!” Jawab yang ditanya.

Waktu sore di Banyumas mulai beranjak ke petang, suasana semakin ramai.

Terutama di sekitar pasar kota, dengan beragam keramaian dan berbagai barang

dagangan yang ditawarkan oleh para pedagang, tak henti-hentinya mereka merayu setiap

orang yang lewat. Di salah satu sudut pasar tepatnya di sebuah warung bercahaya

remang-remang, tampak Kasan meminun sesuatu dari dalam wadah bamboo “Lama

sekali aku tidak meminumnya, tuak asli buatan orang Tuban. Peraturan dari bopo Sadat

sangat ketat, menjadikanku kurang bebas”. Selagi ia asik meminum tuak, di sudut lain

warung itu tampak seorang pria berwajah indo dengan tajam mengawasinya. Nampaknya

aku punya sasaran baru untuk dijadikan bidak, kelihatannya perawakannya memenuhi

syarat untuk menjadi orang bayaranku. Kata pria berwajah indo itu, yang kira-kira

berusia sekitar 30-an tahun dan tingginya hampir dua meter, itu setelah ia berdiri dan

berjalan menghampiri Kasan.

“Apa kabar kawan, mau kutraktir minum-minum?” Tanyanya seramah mungkin kepada

Kasan. Lalu duduk di kursi sebelahnya.

“Boleh juga, tapi ngomong-ngomong anda ini siapa? Saya rasa kita belum pernah kenal

sebelumnya.

“Perkenalkan, namaku John Osvald Van Romany. Romany adalah nama keluargaku,

tepatnya keluarga kakek dari ayah yang bangsawan Rusia, meskipun begitu ibuku adalah

orang melayu”.

“Siapa namamu tadi, John…o. Oh ya Jono, anda dari bangsa apa rase, rasi..waduhh sulit

aku mengucapkannya, biasa lidahku jawa tulen tidak seperti orang Eropa”. Dengan agak

mabuk Kasan menanggapi perkataan John Osvald.

“Terserah kau memanggilku apapun, tapi yang penting aku memiliki tawaran menarik”.

Sambil mengatakan hal itu John Osvald mendekatkan wajahnya ke Kasan, lalu

membisikkan sesuatu. “Bunuhlah seseorang untukku, kau akan minum sepuasnya setelah

melakukannya”.

“Siapa yang harus ku bunuh”. Tanya Kasan hampir setengah mabuk. “Seorang pejabat

penting VOC yang sebentar lagi kesini, Baron Van Imhoff”. Jawab John Osvald, reaksi

Page 41: Arya Wengker

tak terduga muncul dari Kasan seketika itu juga ia menyemburkan tuak yang ia minum ke

muka pria indo itu.

“Apa, mungkin aku memang mabuk tidak segila itu. Dasar bule sinting, aku harus pergi

dari sini secepatnya, teman-temanku menunggu!” langsung begitu saja Kasan

meninggalkan pria itu, sambil terus menyerocos.

“Rileks, rileks..aku belum selesai bicara, baiklah tapi lain kali aku akan menemuimu di

manapun kau berada”. Setelah ia lihat Kasan sudah pergi jauh, namun ia masih sempat

member isyarat kepada seseorang untuk membuntuti Kasan.

Ekstra (sekilas penggambaran Bab 8 ‘Arya Wengker’, Rahasia yang Terungkap),

beberapa tokoh yang ada di bab 8;

John Osvald van Romany, seorang pedagang senjata bermuka dua menutupi

aktivitasnya sebagai penjual barang-barang antik. Dengan licik menjual senjata kedua

belah pihak yang bertempur. Anak haram dari putra bangsawan Wangsa Romanov Rusia,

yang menjadi saudagar kaya di Malaka. Ibunya seorang melayu yang menjadi wanita

simpanan. John kurang mahir dalam duel tangan kosong, tapi ia seorang jago pedang dan

penembak jitu. Bakat itu ia warisi dari ayahnya, vladimir Osvald Romanov. Agar lebih

dikenal akrab dikalangan pembesar VOC, John menyogok mereka dan mendapatkan

status terpandang, ia juga mengubah namanya yang semula hanya John, menjadi John

Osvald van Romany. Selain negoisator ulung ia juga kolektor pedang, ia memiliki koleksi

pedang dari setiap negara/kerajaan yang dikunjunginya. Kata-katanya yang sering

diucapkan, “Tak peduli kawan atau lawan, aku menghargai penawaran tertinggi”. (baru

muncul di bab 7)

Ma Chang Tan; sering dijuluki Tuan Ma, terkadang orang salah mengenalnya sebagai

encik Macan (julukan Tan Pan Cian), pemimpin pasukan Cina yang tewas dalam ‘Geger

Pecinan’. Karena memang ketangguhan dan keberaniannya dalam setiap kali bertarung,

tak peduli siapapun lawan yang dihadapi, menyamai kegarangan seekor macan jantan.

Bersenjatakan nunchaku berkepala tiga ganda, yang kemana-mana selalu dia kalungkan

dilehernya. Ia selalu memakai pakaian biru dengan dengan jubah hitam. Awalnya dia

pendukung sunan Kuning, setelah pemimpinnya ditangkap dan dibuang ke Ceylon, ia

berpihak ke VOC. Dia dijanjikan kebebasan kawan-kawannya yang dipenjarakan dan

dijanjikan jabatan kapitan Cina, disalah satu kota pesisir utara jawa oleh VOC. Syaratnya

ia menangkap hidup atau mati Mas Said dan orang-orang yang mendukungnya, sempat

berkeinginan bertarung rahasia dengan Sarayuda, setelah mendengar kematian

Nagayudha ditangan perwira pasukan Surakarta itu. Tapi begitu mendengar Arya

Wengker mengalahkan Nagayudha sehari sebelumnya, ia beralih memburu pendekar

bertopeng itu, apalagi VOC juga memasang harga tinggi untuk kepalanya setelah mereka

kehilangan seorang kapten Eropa dan seorang letnan pribumi. Kata-kata yang sering dia

Page 42: Arya Wengker

ucapkan, “Setiap kota adalah tempat harimau mendekam dan naga bersarang”. Posturnya

tinggi besar. Tinggi 197 cm dan berat 90 kg. (baru muncul di bab 8)

Waginah, Rara dan Suci; ketiganya putri Nyi Wignyo, usia ketiganya masing-masing

terpaut satu dan dua tahun. Masing-masing gadis itu menaruh hati pada Sarayuda, Suwela

dan Bagus Burhan, untuk selanjutnya terjadi persaingan antara Suci dan Arum

memperebutkan simpat dari Burhan. (baru muncul di bab 8)

Raden Mas Said; keponakan pakubuwono II yang sangat membenci VOC sejak kecil.

Salah seorang pendukung utama Mas Garendi (Sunan Kuning) dalam “Geger Pecinan”,

tetap melancarkan gerilya meskipun Mas garendi tertangkap. Cukup pendek, tetapi

posturnya kekar meskipun bertubuh murni. Dia jarang sekali muncul, kecuali bila

keadaan sudah benar-benar memaksanya. (baru muncul di bab 9)