universitas indonesia dilema politik aspek …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-ta-niwa...

78
UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK LEGITIMASI DALAM PERKEMBANGAN DOKTRIN INTERVENSI KEMANUSIAAN / RESPONSIBILITY TO PROTECT (R2P) TUGAS KARYA AKHIR NIWA RAHMAD DWITAMA 0906524274 FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL DEPOK JUNI 2013 Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Upload: lekhue

Post on 12-May-2018

230 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

UNIVERSITAS INDONESIA

DILEMA POLITIK ASPEK LEGITIMASI

DALAM PERKEMBANGAN DOKTRIN INTERVENSI

KEMANUSIAAN / RESPONSIBILITY TO PROTECT (R2P)

TUGAS KARYA AKHIR

NIWA RAHMAD DWITAMA 0906524274

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL DEPOK

JUNI 2013

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 2: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

UNIVERSITAS INDONESIA

DILEMA POLITIK ASPEK LEGITIMASI

DALAM PERKEMBANGAN DOKTRIN INTERVENSI

KEMANUSIAAN / RESPONSIBILITY TO PROTECT (R2P)

TUGAS AKHIR

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Sosial pada Program Studi Ilmu Hubungan Internasional

NIWA RAHMAD DWITAMA

0906524274

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

DEPOK JUNI 2013

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 3: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

ii  

Universitas Indonesia

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS

Review Literatur ini adalah hasil karya saya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Niwa Rahmad Dwitama

NPM : 0906524274

Tanda Tangan :

Tanggal : 12 Juli 2013

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 4: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

iii  

Universitas Indonesia

LEMBAR PENGESAHAN

Tugas Akhir ini diajukan oleh : Nama : Niwa Rahmad Dwitama NPM : 0906524274 Program Studi : Ilmu Hubungan Internasional Judul : Dilema Politik Aspek Legitimasi dalam Perkembangan Doktrin Intervensi Kemanusiaan / Responsibility to Protect (R2P) Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial pada Program Studi Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia

DEWAN PENGUJI

Pembimbing : Dwi Ardhanariswari, MA (....................................) Penguji : Avyanthi Azis, MS (....................................) Ketua Sidang : Dra. Nurul Isnaeni, MA (....................................) Sekretaris Sidang : Andrew W. Mantong, M.Sc (....................................) Ditetapkan di : Depok Tanggal : 9 Juli 2013

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 5: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

iv  

Universitas Indonesia

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis hantarkan ke hadirat Allah SWT yang memberikan

penulis segenap kekuatan untuk menyelesaikan Tugas Karya Akhir ini.

Ketertarikan terhadap isu intervensi kemanusiaan dimulai sejak penelitian yang

dilakukan terkait keterlibatan penulis dalam Harvard Model United Nations pada

tahun 2011. Pengetahuan tersebut kemudian diperkuat dengan partisipasi dalam

kelas konflik dan perdamaian yang diambil selama semester ke-6 di Universitas

Indonesia dan dua semester selama program pertukaran pelajar di Tokyo

University of Foreign Studies.

Tidak ada isu politik internasional yang lebih kontroversial dan menjadi

perdebatan begitu panjang dan kompleks seperti intervensi kemanusiaan.

Meskipun intervensi kemanusiaan rentan akan dampak negatif karena kepentingan

negara tertentu, suatu tindakan diam atas genosida dan kejahatan kemanusiaan

juga merupakan suatu norma yang tidak dapat ditoleransi. Setiap manusia

memiliki hak untuk hidup dan dilindungi dari kekerasan, tirani, dan pelanggaran

HAM. Melalui kajian ilmiah ini, penulis berniat untuk mengangkat salah satu

dilema politik yang ada dalam doktrin intervensi kemanusiaan dan R2P yaitu

aspek legitimasi dalam intervensi. Kecurigaan atas kepentingan politik dalam

intervensi berasal dari mekanisme penentuan legitimasi dalam intervensi.

Beberapa pihak percaya akan keharusan adanya legitimasi legal, sedangkan pihak

lainnya percaya bahwa legitimasi moral sudah cukup menjadi justifikasi dalam

penyelamatan isu kemanusiaan melalui intervensi. Melalui literatur review ini,

penulis akan menjelaskan kedua perdebatan tersebut secara komprehensif.

Penulis megucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah

membantu dan mendukung penulisan tugas akhir ini. Sesungguhnya

kesempurnaan hanya dimiliki oleh Yang Maha Sempurna. Oleh karena itu,

penulis mengharapkan masukan dan saran yang membangun dari pembaca.

Semoga tulisan ini dapat menjadi inspirasi dan manfaat bagi kita bersama.

Depok, 10 Juli 2013

Niwa Rahmad Dwitama

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 6: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

v  

Universitas Indonesia

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulisan tugas karya akhir ini dilakukan dengan penuh suka dan duka. Di

balik arang yang melintang, terdapat dukungan kuat dari berbagai pihak, sahabat

dan keluarga. Penulisan Tugas Karya Akhir ini dilakukan dalam rangka

memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Sosial Departemen

Hubungan Internasional. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan

dari berbagai pihak, sangat sulit bagi penulis untuk dapat menyelesaikan karya

akhir ini tepat waktu. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dwi Ardhanariswari S. Sos., MA selaku dosen pembimbing yang telah

bersedia meluangkan waktu di tengah kesibukannya dan membantu

pemikiran untuk mengarahkan penyusunan tugas akhir.

2. Yuni Reti Intarti, SIP., M. Si sebagai pembimbing akademis yang telah

memberikan perhatian dan masukan konstruktif selama masa perkuliahan.

3. Dra. Nurul Isnaeni, MA selaku ketua program Sarjana Ilmu Hubungan

Internasional yang telah mendukung dan membimbing dalam berbagai hal.

4. Avyanthi Azis, MS, penguji sidang tugas karya akhir, yang begitu kritis dan

memberikan berbagai input konstruktif untuk meningkatkan kualitas dari

tugas akhir penulis.

5. Andrew Wiguna Mantong, M.Sc atas bimbingan, pengetahuan yang telah

diberkan selama Colloquium dan penyusunan proposal literatur review.

6. Sahabat dan teman-teman terdekat di HI 2009: Kiki, Hanifah, Iman,

Andhyta, Fahmi, Lia, Gesa, Mikha, Candini; Darang, Diky Avianto, dan

teman-teman Colloquium rezim baru: Jeklin, Vale, Imung, dan Sandy.

7. Sensei dan sahabat selama menempuh studi di Tokyo University of Foreign

Studies: Housam Sensei, Hakoyama Sensei, Hug Sensei, Senpai Dipta,

Oman san, Ceputra 様,Candice, Takatoki, Kentaro, Kaori-chan, Yuya,

Yukimi, Samantha dan Ivan.

8. Seluruh pihak yang telah berjasa dalam mendukung penulis dalam

mengikuti tahapan pemilihan mahasiswa berprestasi yang berlangsung

bersamaan selama proses penyusunan TKA ini: Pak Arman Nevi, Kak Adi,

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 7: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

vi  

Universitas Indonesia

Kak Rio, Mas Abud, Rahmi, Kak Ayu dan ke-12 teman teman mapres

fakultas yang begitu baik dan tidak sombong.

9. Kak Yeremia Lalisang, atas bimbingannya selama proses pemilihan mapres

dan karya tulis mapres.

10. Teman-teman Indonesian Future Leaders (IFL): Rifqah, Jessica, Leny,

Mazmur dan Angga. Rekan-rekan di KSM Eka Prasetya: Nopita, Rina,

Tika, Vina, Aditio, Oza, Wize dan Rara atas pertemanan dan pengalaman

selama di KSM. Teman –teman delegasi Harvard Model United Nations:

Dennys, Garlan, Fatya dan Mike.

*** Terkhusus kepada kedua orang tua penulis Mama Yeni Zafitri dan Papa

Deswan Putra yang karena untuk mereka berdualah penulis memiliki

semangat kuat untuk lulus dan mencapai cita-cita masa depan. Sang adik

Oktafiani Tri Ananda yang selalu berprestasi, menginspirasi dan membuat

penulis terkadang merasa insecure. Bang Niwa Hidayah Prima yang telah

membantu dalam berbagai hal.

Akhir kata, semoga Tuhan Yang Maha Kuasa membalas segala kebaikan

semua pihak yang telah membantu dan mendukung penyelesaian karya akhir ini.

Semoga tugas akhir ini dapat membawa manfaat bagi pengembangan ilmu

hubungan internasional dan memberi pengetahuan serta inspirasi bagi

pembacanya.

Depok, 10 Juli 2013

Niwa Rahmad Dwitama

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 8: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

vii  

Universitas Indonesia

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Niwa Rahmad Dwitama NPM : 0906524274 Program Studi : Ilmu Hubungan Internasional Departemen : Hubungan Internasional Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jenis karya : Tugas Karya Akhir (Literatur Review) demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty- Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : Dilema Politik Aspek Legitimasi dalam Perkembangan Doktrin Intervensi Kemanusiaan/ Responsibility to Protect (R2P). beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalih media/ format- kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Depok Pada tanggal : 10 Juli 2013

Yang menyatakan ( Niwa Rahmad Dwitama )

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 9: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

viii  

Universitas Indonesia

ABSTRAK

Nama : Niwa Rahmad Dwitama Program Studi : Ilmu Hubungan Internasional Judul : Dilema Politik Aspek Legitimasi dalam Perkembangan Doktrin Intervensi Kemanusiaan/ Responsibility to Protect (R2P) Kajian dalam review literatur ini membahas perdebatan ilmiah yang terjadi dalam aspek legitimasi intervensi kemanusiaan/ Responsibility to Protect (R2P). Sebagai norma internasional, R2P menghadapi berbagai dilema politik pada tataran perumusan dan implementasi kebijakan intervensi dalam sistem PBB. Salah satu dilema politik yang terjadi adalah aspek legitimasi. Legitimasi adalah suatu proses legalitas di mana intervensi harus dilakukan hanya melalui validasi wewenang Dewan Keamanan PBB (Bab VII, Piagam PBB). Di lain pihak, beberapa akademisi berpendapat bahwa legitimasi legal rentan akan kontestasi kepentingan anggota DK sehingga legitimasi moral/ etis adalah hal yang lebih penting dalam membentuk legitimasi dan lebih adil dalam menyelamatkan isu kemanusiaan. Legitimasi moral dibentuk melalui aksi multilateralisme dan pembuktian tragedi kemanusiaan. Melalui analisis komparatif perdebatan legitimasi legal dan moral dalam karya akademisi hubungan internasional, hukum internasional dan HAM, review literatur ini mengidentifikasi bahwa kontestasi antara pembentukan legitimasi tersebut merupakan pengejawantahan dari pertentangan paradigmatis realisme dan konstruktivisme, yaitu narasi: (1) faktor material lawan ideasional, (2) logika konsekuensi lawan logika kepatutan, (3) norma sebagai kegunaan lawan norma sebagai hak, dan (4) aktor top-down lawan agen bottom-up. Kata kunci: Intervensi Kemanusiaan, Responsibility to Protect (R2P), legitimasi legal, legitimasi moral, realisme dan konstruktivisme.

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 10: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

ix  

Universitas Indonesia

ABSTRACT

Name : Niwa Rahmad Dwitama Study Program : International Relations Title : Political Dilemma of Legitimacy Aspect in Humanitarian Intervention Doctrine/ Responsibility to Protect (R2P). The studies in this literature review discusses the scientific debate that occurred in the aspect of legitimacy of humanitarian intervention / Responsibility to Protect (R2P). As an international norm, R2P is facing numbers of political dilemmas at the level of policy formulation and implementation in UN system. One of the political dilemmas is divisive voice on legitimacy aspect in intervention. Legitimacy is a legal process in which intervention should be done only through UN Security Council authority (Chapter VII of the UN Charter). On the other hand, some scholars argue that legal legitimacy is vulnerable to contestation of interests of security council members, thus moral/ ethical legitimacy is more important in establishing legitimate and fairer intervention in saving humanity from humanitarian tragedy. Moral legitimacy is formed through multilateralism mechanism in intervention and empirical evidence of human tragedy. Through a comparative analysis of the legal and moral legitimacy debate in the work of international relations scholars, international law and human rights intellectuals, this literature review identifies that the contestation in legitimacy aspect of intervention epitomizes paradigmatic opposition between realism and constructivism. This can be explicated through following points: (1) material factors versus ideational, (2) the logic of appropriateness versus the logic of consequence, (3) the norm as benefit versus the norm as right, and (4) top-down actor versus bottom-up agent. Keywords: Humanitarian Intervention, Responsibility to Protect (R2P), Legal Legitimacy, Moral Legitimacy, Realism, and Constructivism.

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 11: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

x  

Universitas Indonesia

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ..................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. ii

KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii

UCAPAN TERIMA KASIH ................................................................................. iv

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ............................. vi

ABSTRAK ............................................................................................................ vii

ABSTRACT .......................................................................................................... viii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix

BAB 1: PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ............................................................................................... 1

1.2. Tujuan dan Signifikansi ................................................................................. 5

BAB 2: KONSEP LEGITIMASI, R2P DAN KASUS KONTEKSTUAL

2.1. Legitimasi dalam HI ....................................................................................... 6

2.2. Perkembangan Konsep R2P ........................................................................... 9

2.3. Studi Kasus ..................................................................................................... 15

2.3.1. Kosovo 1999 ........................................................................................ 11

2.3.2. Irak 2003 .............................................................................................. 13

2.3.3. Georgia 2008 ........................................................................................ 14

2.3.4. Libya 2011 ........................................................................................... 16

2.2.4.1. Advokasi Negara dalam R2P ................................................... 18

2.2.4.2. Syria: Sebuah Refleksi ............................................................. 23

BAB III: PEMBAHASAN

3.1. Aspek Legalitas dalam Legitimasi Doktrin R2P ............................................ 21

3.1.1. Wewenang DK PBB ............................................................................. 21

3.1.2. Aktor Intervensi .................................................................................... 22

3.1.3. Analisis Dokumen R2P ......................................................................... 24

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 12: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

xi  

Universitas Indonesia

3.2. Aspek Moralitas/ Etis dalam Legitimasi Doktrin R2P ................................... 29

3.2.1. R2P sebagai Norma Internasional ......................................................... 29

3.2.2. Legitimasi Moral ................................................................................... 30

3.2.3. Proposal Aktor Intervensi ..................................................................... 34

BAB IV: ANALISIS TEORITIS ........................................................................ 42 4.1. Realisme dan Konstruktivisme ...................................................................... 43

4.1.1. HAM Internasional .............................................................................. 45

4.2. Perdebatan Teoritis dalam Aspek Legitimasi ................................................ 47

4.2.1. Faktor Material lawan Faktor Ideasional ............................................. 47

4.2.2. Logika Konsekuensi lawan Logika Kepatutan .................................... 49

4.2.3. Norma sebagai Kegunaan lawan Norma sebagai Hak ......................... 51

4.2.4. Aktor Top-down lawan Agen Bottom-up ............................................. 53

BAB V: PENUTUP

5.1. Kesimpulan .................................................................................................... 59

5.2. Rekomendasi .................................................................................................. 61

DAFTAR REFERENSI ........................................................................................ 62

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 13: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

xii  

Universitas Indonesia

DAFTAR GRAFIK

Grafik 1 Jumlah perang sipil, jumlah operasi perdamaian PBB, 1970-2002

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Perbedaan Dokumen ICISS dan World Summit Outcome Document 2005 Tabel 2 Legitimasi Kasus Kontekstual

Tabel 3 Faktor potensial pengaruh realisasi R2P Tabel 4 HAM Internasional dalam Realisme dan Konstruktivisme

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 14: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

1  

Universitas Indonesia

BAB I: PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Intervensi kemanusiaan merupakan isu yang sejak Pasca Perang Dingin

hingga kini masih belum menemukan titik terang yang menciptakan konsensus

dalam penerapannya di tataran politik internasional. Akan tetapi, norma intervensi

kemanusiaan telah membawa suatu pergeseran besar dalam konsep kedaulatan

negara di mana kedaulatan tidak semata-mata dilihat sebagai batasan legitimasi

negara untuk melakukan wewenangnya ke dalam, tetapi juga sebagai suatu

tanggung jawab kepada masyarakatnya untuk memberikan perlindungan dari

kekerasan. Demikianlah justifikasi yang dibawa Responsibility to Protect (R2P)

untuk dapat diterima sebagai suatu norma dan peraturan internasional. Diantara

berbagai aspek perdebatan yang masih terjadi, isu legitimasi, legalitas, moral, dan

metode intervensi merupakan beberapa aspek penting yang masih menjadi

pembahasan untuk menciptakan implementasi R2P yang memiliki legitimasi dan

penerimaan internasional.

Diskursus yang menganalisis tentang intervensi kemanusiaan dan R2P

dalam hubungan internasional bukanlah suatu hal yang baru. Sejak akhir Perang

Dingin, pembahasan tentang intervensi kemanusiaan menjadi semakin intens

karena aksi intervensi yang mengatasnamakan misi kemanusiaan secara perlahan

menjadi salah satu norma yang

berkembang pesat di tingkat

internasional. Hal ini dibuktikan

dengan fakta bahwa setidaknya

ada 9 intervensi selama 1991-

2000.1 Grafik 1. disamping dapat

menggambarkan peningkatan

operasi perdamaian PBB dalam

                                                                                                               1 Sir Adam Roberts, “The United Nations and Humanitarian Intervention,“ dalam Humanitarian Intervention and Internaional Relations, ed. Jennifer M. Welsch (New York: Oxford University Press, 2004), 162.

Grafik 1. Jumlah perang sipil, jumlah operasi perdamaian PBB, 1970-2002

 

1  Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 15: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

2  

Universitas Indonesia

perang sipil yang ada di berbagai belahan dunia sejak Perang Dingin berakhir.2

Setelah International Commission on Intervention and State Sovereignity (ICISS)

– sebuah komisi independen - mengeluarkan laporannya pada tahun 2001,

perdebatan mengenai hal operasional dalam intervensi menjadi semakin hangat.

Laporan yang menegaskan norma intervensi kemanusiaan sebagai kewajiban

(bukan hak) ini dibentuk dalam rangka merespon pertanyaan Sekjen PBB Kofi

Annan tahun 1999 mengenai tanggapan komunitas internasional terhadap

gagalnya intervensi untuk menghentikan tragedi kemanusiaan yang ada di

Rwanda (1994) dan Srebrenica (1995) sebagai suatu refleksi untuk intervensi di

masa depan.

Dalam aspek legitimasi3 terdapat perbedaan pandangan dalam menentukan

apakah suatu intervensi memiliki legitimasi atau tidak dalam kebijakannya.

Legitimasi dapat dilihat dari dimensi yang berbeda. Pada satu sisi, legitimasi

dilihat sebagai suatu konformitas terhadap aturan dan hukum yang ada sehingga

membentuk legitimasi legal dalam intervensi. Di lain pihak, legitimasi dilihat

sebagai suatu penerimaan komunitas internasional dengan dasar nilai moralitas

suatu intervensi melalui justifikasi tragedi kemanusiaan di suatu negara dan aktor

intervensi yang multilateral. Perbedaan pandangan ini terjadi akibat acap kali

terjadi kontestasi kepentingan politik diantara negara anggota Dewan Keamanan

(DK) PBB dalam memutuskan suatu kebijakan intervensi yang menciptakan

nuansa skeptisme dari berbagai pihak, termasuk kecurigaan negara selatan yang

curiga akan keranga intervensi yang dapat digunakan negara big power sebagai

upaya imperialisme modern.

Oleh karena itulah, suatu pertimbangan dan pendekatan moral menjadi isu

yang terus mendapat perhatian dari dunia akademis. Sebagai contoh, Scholte

memberikan kontribusi pemikiran melalui interpretasinya terhadap legitimasi

dengan menyertakan konsep moral. Scholte menyatakan bahwa pemerintahan

                                                                                                               2 Ramesh Takur, The United Nations, Peace and Security, (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 38. 3 Menurut, Ensiklopedia Filosofi Stanford, Legitimasi adalah penerimaan masyarakat (dalam hal ini komunitas internasional) terhadap otoritas dan kebutuhan untuk mematuhinya. Masyarakat dapat memiliki kepercayaan atas otoritas tersebut tunbuh karena tradisi, karisma pemimpin, atau hukum (Weber, 1964). Legitimasi juga terkait dengan justifikasi moral yakni sepanjang klaim tersebut diikuti dengan penerimaan yag cukup. (Raz, 1986). Lihat Stanford Encyclopedia of Philosophy, diakses pada 23 Mei 2013, http://plato.stanford.edu/entries/legitimacy/.

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 16: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

3  

Universitas Indonesia

global yang memiliki legitimasi dibangun melalui kombinasi antara demokrasi

global, efisiensi global, hukum global, kepemimpinan global dan moralitas global

– tidak dapat muncul hanya melalui desain barat yang memaksakan, tetapi butuh

tingkat interkultural yang baik.4

Skeptisme muncul dari perdebatan legal dan moral yang bertabrakan

degan kontestasi kepentingan dan penggunaan veto dalam Dewan Keamanan

(DK) PBB. Intervensi ke Kosovo, Irak, Georgia merupakan contoh kebijakan

intervensi yang dilancarkan tanpa wewenang PBB dan menciptakan fase baru bagi

doktrin R2P. Perdebatan terletak pada pertanyaan apakah suatu intervensi harus

dilakukan melalui legitimasi legal atau legitimasi moral atau dengan prasyarat

kedua aspek legitimasi tersebut. Namun demikian, R2P kian terus berkembang

hingga digunakan secara resmi dalam sistem PBB pada tahun 2005. Tanpa adanya

legitimasi, sudah jelas intervensi kemanusiaan akan semakin mempertajam

kesenjangan dan kecurigaan antar negara (terutama negara maju dan negara

berkembang – yang dapat menjadi potensi target intervensi).

Review literatur ini ditulis untuk membahas secara komprehensif

perdebatan legitimasi dalam ranah legal dan moral/ etis dan memetakan aspek

penting dalam perdebatan tersebut. Hasil temuan dari review literatur kemudian

akan dianalisis dalam tataran paradigmatis ilmu hubungan internasional. Melihat

kontestasi yang ada dalam menentukan legitimasi suatu intervensi, pertanyaan

yang akan dijawab melalui kajian illmiah ini adalah: Bagaimana perdebatan dan

dilema politik yang terjadi dalam menentukan legitimasi suatu intervensi

kemanusiaan?

Pada bagian awal, tulisan ini akan mengulas tentang gambaran singkat

perkembangan konsep intervensi kemanusiaan hingga diadopsi dalam sistem PBB

pada tahun 2005 dalam bentuk Responsibility to Protect (R2P). Melalui review

literatur secara eklektik, penulis akan menjelaskan beberapa unit analisis yang

terjadi dalam perdebatan legitimasi dari aspek legal dan juga aspek moral/ etis.

Analisis legitimasi dalam aspek legal akan diekstraksi melalui karya akademis

oleh Nicholas J. Wheeler, Ramesh Takur, Luke Glanville, Gareth Evans, William

                                                                                                               4 James Brassett dan Eleni Tsingou, The Politics of Legitimate Global Governance, (England: University of Warwick, 2012), 12-13.

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 17: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

4  

Universitas Indonesia

Pace, Maya Stanulova, Carsten Stahn. Sedangkan analisis terhadap aspek

legitimasi secara moral/ etis akan dibahas melalui karya Jennifer M. Welsch,

Aidan Hehir, Jennifer M. Welsch, Fernando R. Teson, Eric. Heinze, Richard Falk,

Eric. A. Heinze, James Pattison, Daniele Archibugi, Jonathan Graubart, Gareth

Evans, William F. Schulz, Alynna J. Lyon, Adele Simmons and April Donnellan.

Analisis ini kemudian akan ditarik ke dalam paradigma keilmuan

hubungan internasional. Dalam pembahasannya, penulis berargumen bahwa

kontestasi legal melawan moral yang terjadi dalam menentukan legitimasi suatu

intervensi kemanusiaan merupakan refleksi dari perdebatan teoritis yang terjadi

antara paradigma realisme dan konstruktivisme.

Perdebatan ini dapat dilihat melalui gambaran empat analisis, yaitu: (1)

faktor material lawan ideasional, (2) logika konsekuensi lawan logika kepatutan,

(3) norma sebagai kegunaan lawan norma sebagai hak, (4) aktor top-down lawan

agen bottom-up. Literatur review ini tidak bermaksud untuk menilai aspek

legitimasi yang mana yang lebih baik maupun teori ilmu hubungan internasional

mana yang lebih bisa menjelaskan dilema politik dalam legitimasi intervensi

kemanusiaan. Analisis dilakukan untuk memetakan perdebatan akademis yang

ada dalam suatu kajian ilmiah, memetakan unit analisis dalam perdebatan dan

mengektraksikannya dalam analisis teoritis. Satu hal penting yang dapat

dimengerti dari pembahasan dalam literatur review ini adalah bahwa meskipun

intervensi kemanusiaan dan R2P memiliki kerentanan atas penyalahgunaan

(abuse) terhadap kepentingan suatu pihak tertentu, penjelasan konstruktivisme

dapat mengangkat aspek emansipasi dalam penerapan R2P dan internalisasi

norma HAM internasional. Suatu diskursus norma R2P harus tetap dilanjutkan

untuk sosialisasi dan advokasi tujuan kemanusiaan di komunitas internasional.

Pendekatan bottom-up oleh aktor negara dan non-negara dapat secara signifikan

berkontribusi untuk menginternalisasi doktrin R2P dan legitimasi moral menuju

penciptaan intervensi kemanusiaan yang adil dan bermoral; demi penyelamatan

isu kemanusiaan.

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 18: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

5  

Universitas Indonesia

1.2. Tujuan dan Signifikansi

Dalam implementasi R2P sebagai kebijakan politik internasional, terdapat

pertentangan argumen yang jelas dalam menentukan legitimasi intervensi

kemanusiaan. Pertentangan tersebut terjadi dalam menentukan apakah legitimasi

aktor yang melakukan intervensi harus didefinisikan secara hukum melalui

piagam PBB dan konvensi yang terkait atau sebetulnya secara nilai moral HAM,

legitimasi cukup dibentuk melalui aspek moral yang membentuk upaya

multilateral (coalition of the willing) dan pembuktian adanya kriminal

kemanusiaan. Pembahasan literatur review mengenai dilema politik aspek

legitimasi dalam perkembangan doktrin R2P ini menjadi signifikan karena

legitimasi atau tidaknya suatu intervensi kemanusiaan akan menentukan seberapa

kuatnya komunitas internasional menerima aksi intervensi dan kemudian

membantu meredupkan skeptisme yang ada tentang intervensi sebagai agenda

Barat.

Pertanyaan yang akan dijawab melalui kajian illmiah ini adalah:

Bagaimana perdebatan dan dilema politik yang terjadi dalam menentukan

legitimasi suatu intervensi kemanusiaan? Kajian ilmiah ini ditulis untuk

memetakan perdebatan aspek legal dan etis oleh akademisi hubungan

internasional, hukum internasional, dan HAM. Kemudian, tulisan akan

menganalisis aspek legal dan moral tersebut dalam tataran analisis paradigmatis

ilmu hubungan internasional.

Analisis legitimasi intervensi kemanusiaan dalam aspek legal akan

diekstraksi melalui karya akademis oleh Maya Stanulova, Nicholas J. Wheeler,

Ramesh Takur, Luke Glanville, Gareth Evans, William Pace, Carsten Stahn.

Sedangkan analisis terhadap aspek legitimasi secara moral/ etis akan dibahas

melalui karya Jennifer M. Welsch, Aidan Hehir, Jennifer M. Welsch, Fernando R.

Teson, Eric. Heinze, Richard Falk, Eric. A. Heinze, James Pattison, Daniele

Archibugi, Jonathan Graubart, Gareth Evans, William F. Schulz, Alynna J. Lyon,

Adele Simmons and April Donnellan.

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 19: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

6  

Universitas Indonesia

BAB II: KONSEP LEGITIMASI, R2P DAN KASUS KONTEKSTUAL

2.1. Legitimasi dalam HI

Bellamy berpendapat bahwa terdapat dua prinsip mendasar terkait diskusi

legitimasi dalam intervensi kemanusiaan. Pertama, perang harus dilancarkan

hanya melalui niat yang patut, bukan karena perasaan benci, keinginan untuk

mendominasi, tetapi harus dengan niat mempertahankan perdamaian dan keadilan.

Meski tidak mungkin mengetahui secara akurat tentang intensi suatu negara,

sejumlah tes dapat menguji untuk memastikan intensi negara dalam melancarkan

perang yaitu dengan mengeksplorasi alasan-alasan negara melakukan intervensi

dan membandingkannya dengan pejelasan potensial lainnya atas aksi tersebut.

Prinsip kedua terkait legitimasi adalah bahwa intensi dapat dilihat melalui aksi itu

sendiri. Sebagai misal, negara yang tidak berniat untuk membunuh non-kombatan

tentunya akan mengambil berbagai tindakan untuk memastikan, sebisa mungkin,

upaya atau kebijakan, pencegahan terhadap kelompok non-kombatan menjadi

korban dalam suatu intervensi. Melalui hal ini pun kepatutan suatu intensi

intervensi dapat dinilai. 5 Dengan demikian Bellamy, menekankan intensi sebagai

hal paling penting dalam suatu legitimasi intervensi, bukan hal lainnya seperti

outcome dari suatu intervensi.

Selain itu, Reus Smit berpendapat bahwa legitimasi adalah mengenai aktor

dan tatanan politik. Aktor dengan karakter agen yang jelas, seperti PBB dan

WTO, tidak hanya entitas yang dapat diakui sebagai legitimasi atau tidak, namun

institusi dan suatu tatanan sekalipun dapat dinyatakan legitimasi atau tidak.

Institusi merupakan suatu norma, peraturan dan prinsip yang membentuk suatu

relasi sosial yang kemudian membentuk aktor sebagai agen sosial yang

berpengetahuan dan memiliki sikap tertentu. Dalam hal ini, Smit menekankan

bahwa legitimasi tidak hanya sekedar kapasitas untuk melakukan sesuatu tetapi

kumpulan norma, peraturan dan prinsip yang disahkan secara sosial. Terminologi

                                                                                                               5 Alex J. Bellamy, Motives, Outcomes, Intent and the Legitimacy of Humanitarian Intervention (Brisbane: University of Quesland), 226-230.

 

 6  

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 20: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

7  

Universitas Indonesia

legitimasi itu sendiri tidak boleh dipersempit menjadi bahasa seperti rasionalitas,

keadilan, legalitas dan moralitas.6

Legitimasi telah menjadi suatu landasan fundamental dalam hubungan

internasional. Prinsip utama dari legitimasi menunjukkan suatu perjanjian sosial

mengenai siapa yang berhak untuk berpartisipasi dalam hubungan internasional

dan tingkat kepatutan perilaku aktor. Dengan demikian, legitimasi menunjukkan

eksistensi dari masyarakat internasional.7 Ian Clark dalam studinya menunjukkan

legitimasi sebagai kerangka dalam masyarakat internasional, yaitu sebagai

konstruksi teoritis dan suatu rangkaian historis. Clark menyebut bahwa legitimasi

menjadi pembahasan yang begitu penting karena tiga hal. Pertama, karena

evolusi dari formasi legitimasi membentuk suatu sejarah penting dalam

masyarakat internasional. Sebagai contoh, landasan keanggotaan yang sah dalam

organisasi internasional menjadi salah satu bentuk pergeseran dalam ide

kenegaraan dan bagaimana suatu negara telah berperan sebagai `midwife` atau

`pengasuh` terhadap negara lainnya. Dalam hal kebenaran perilaku, terdapat bukti

peranan dari negara great power yang dipertimbangkan dengan penerimaan

konsensus. Hal ini kemudian berkaitan dengan pembentukan norma internasional.

Kedua, klaim bahwa ide dari legitimasi membentuk perilaku negara dan

karenanya hubungan internasional butuh, secara serius, menelaah aspek legitimasi

suatu kebijakan. Ketika komitmen sosial hadir dalam menjalani hubungan antar-

negara, dan munculnya suatu ikatan antar negara, maka hal ini menunjukkan

bahwa perilaku negara tersebut telah terpengaruh dalam suatu ikatan sosial.

Ketiga, terdapat hubungan antara legitimasi dan stabilitas. Clark berpendapat

bukan bahwa legitimasi menciptakan stabilitas, tetapi dalam kondisi stabil suatu

legitimasi dapat tercipta dengan lebih gampang. Suatu krisis dalam pemerintahan

tidak tercipta melalui ketidaksetujuan (defisit legitimasi), tetapi gabungan dari

kejadian-kejadian yang salah satu diantaranya dapat dipicu oleh defisit legitimasi

tersebut. Dengan demikian, legitimasi dan stabilitas bukanlah hal terpisah dan

berhubungan kausal. Legitimasi dan stabilitas merupakan suatu keadaan yang

                                                                                                               6 Christian Reus-Smit, “International Crisis of Legitimacy,“ International Politics no. 44 (2007): 157-174, doi:10.1057/palgrave.ip.8800182. 7 Ian Clark, Legitimacy in International Society (Oxford: Oxford University Press, 2005), 1-2.

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 21: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

8  

Universitas Indonesia

setara dan dapat saling mempengaruhi sebagai salah satu komponen pembentuk

dinamika internasional, tidak terkait langsung secara kausal.

Clark menjelaskan pergeseran bertahap yang terjadi dalam legitimasi

sebagai basis normatif. Pada awal kelahirannya, legitimasi dianggap sebagai

konsepsi teologis moral. Kemudian pada abada ke-18-an, legitimasi dikaitkan

dengan suatu tatanan hukum. Setelah Vienna, legitimasi dikaitkan dengan suatu

sistem konstitusi yang mengatur tatanan masyarakat internasional. Westphalia

pada dasarnya adalah prinsip konsensus yang lahir dari konsep legalitas.

Akhirnya, Perang Dunia membawa modifikasi yang signifikan yaitu munculnya

prospek masyarakat internasional yang universal, kontinuitas kriteria demokratis

dan pengakuan terhadap HAM. Sebagai isu kontemporer, legitimasi pasca perang

dingin memiliki kaitan yang cukup erat terhadap nilai dari demokrasi. 8

Legitimasi tanpa diragukan memiliki kualitas normatif, namun acap kali

disalahpahami sebagai skala substantif dari suatu nilai, seperti dengan legalitas,

moralitas, atau konstitusionalitas. Pada akhirnya legitimasi tidak dapat dibentuk

dan dikodifikasi percis seperti hukum perang. Praktik legitimasi dibentuk oleh

aktor dan aksi tertentu. Suatu penilaian folosofis terhadap aktor dan aksi tersebut

dibentuk dari derajat penerimaan dan bagaimana masyarakat internasional melihat

suatu situasi. Hal ini memungkinkan interpretasi yang muncul dari norma yang

dipersuasi, namun tidak selalu dapat dilakukan. Legitimasi adalah properti sosial

yang tidak dapat diatributkan dalam suatu aksi.

Oleh karena itu, legitimasi tidak dapat dibentuk dalam bentuk kriteria

dalam menilai suatu persitiwa. Legitimasi pada akhirnya bergantung kepada

bagaimana masyarakat internasional sebagai anggota dapat melihat peristiwa

tersebut. Kita dapat mengerucutkan kriteria legitimasi dalam salah satu

konformitas terhadap hukum, moral atau konstitusi namun interpretasi terhadap

moral dan konstitusi sekalipun dapat berbeda tergantung aktor membaca keadaan.

Bagaimana masyarakat internasional melihat peristiwa lebih dapat menunjukkan

legitimasi yang bersifat kompleks dengan dinamika politik, konsensus dan isu

power dalam tataran praktis. 9 Kompleksitas ini diafirmasi oleh Mulligan bahwa

                                                                                                               8 Ibid., 245-250. 9 Ibid., 250-256.

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 22: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

9  

Universitas Indonesia

pergeseran makna legitimasi dalam sejarah menunjukkan suatu bentuk

perkembangan yang erat kaitannya dengan perubahan makna bahasa. Legitimasi

pada akhirnya merupakan suatu tes dalam setiap kasus tertentu sebagai suatu

pertarungan ide.10

2.2. Perkembangan Konsep R2P

Terdapat berbagai definisi dari intervensi kemanusiaan. Konsep tersebut

dapat dijabarkan dalam suatu konsep dalam bidang politik, ekonomi hingga sosial

seperti intervensi pemberian bantuan bencana alam besar di suatu negara. Sebagai

suatu rujukan pada aktivitas substansi dan istilah yang juga sering digunakan di

publik dan kamus akademisi, intervensi humaniter dalam pembahasan ini

didefinisikan sebagai: 11 aksi militer yang dilakukan oleh satu negara, kelompok

negara atau aktor non-negara, di kawasan teritorial negara lain, tanpa persetujuan

negara yang bersangkutan, yang dapat dijustifikasi, melalui aspek signifikan

tertentu, sebagai isu kemanusiaan dari masyarakat negara yang diintervensi. Selama Perang Dingin, intervensi dengan retorika kemanusiaan sudah

terjadi. Namun, mayoritas anggota PBB memiliki kecurigaan tinggi terhadap

doktrin intervensi. Sejak pertengahan 1960, negara bekas jajahan tidak mentolerir

doktrin intervensi karena dianggap sama dengan penjelmaan kolonialisme.

Respon badan PBB terhadap intervensi militer secara konsisten ditolak; sekalipun

yang dianggap memiliki justifikasi humaniter. Banyak isu yang bahkan tidak

dibahas melalui DK, banyak pula yang di veto oleh salah satu kekuatan polaritas

Barat dan Timur yaitu: Uni Soviet (USSR) atau Amerika Serikat (AS). Sidang

Umum juga secara rutin mengutuk dan melarang beberapa intervensi militer

seperti Anglo-French di Suez (1956), intervensi soviet di Hungary (1956),

intervensi Indonesia di East Timor (1975) dan lainnya.12

                                                                                                               10 Shane P. Mulligan, “The Uses of Legitimacy in International Relations,“ Millennium - Journal of International Studies no. 34 (2006) 349, DOI: 10.1177/03058298060340021801, mil.sagepub.com. 11 Aidan Hehir, Humanitarian Intervention: An Introduction (London: Palgrave Macmillan, 2010), 20-21. 12 Sir Adam Roberts, The United Nations and Humanitarian Intervention, 162.

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 23: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

10  

Universitas Indonesia

Setelah Perang Dingin, terjadi perubahan struktur power di DK. Anggota

permanen tampak lebih kooperatif untuk membahas isu tentang keamanan. Suatu

pengakuan bahwa intervensi terhadap keamanan domestik dapat menciptakan

stabilitas internasional mulai muncul dan menjadi diskursus tertentu. Hal ini dapat

dilihat melalui fakta bahwa terdapat 9 kasus intervensi selama 1991-2000, yaitu:

Irak Utara (1991), Bosnia dan Herzegovina (1992-5), Somalia (1992-3), Rwanda

(1994), and Haiti (1994), Albania (1997), Sierra Leone (1997-2000), Kosovo

(1998-9), dan Timor Timur (1998-9).13

Noam Chomsky berpendapat bahwa politik Pasca Perang Dingin telah

melahirkan Amerika Serikat sebagai Pemenang dan menjadi pemain yang harus

mempertahankan kekuatan internasionalnya untuk meraih apa yang mereka sebut

dengan `kebaikan dunia` melalui demokrasi dan liberty.14 Tidak adanya lawan

politik (soviet sebagai penangkal/ deterrant), Amerika mengalihkan kebijakan

containment 15 yang dilancarkan selama Perang Dingin menjadi perluasan

pengaruh (enlargement), sebagai contoh: penyerangan pemerintahan George Bush

terhadap Panama setelah tembok Berlin runtuh. Kekuatan militer menjadi

instrumen yang lebih berguna untuk melancarkan penyebaran pengaruh Amerika

di dunia.16 Dengan demikian, Noam Chomsky berpendapat bahwa awal Perang

Dingin telah membawa Intervensi Kemanusiaan yang dipimpin oleh kepentingan

Amerika Serikat.

Seiring berjalannya waktu, intervensi yang terjadi selama 1990 hingga

2003 menunjukkan pertumbuhan norma internasional dalam melihat Hak Azazi

Manusia (HAM) sebagai sesuatu yang mulai mendapat perhatian dan penerimaan

terutama bagi anggota Dewan keamanan PBB. Norma internasional HAM

dianggap dapat membatasi kedaulatan negara atas warganya dan kedaulatan

dilihat sebagai suatu norma yang menunjukan kewajiban untuk melindungi warga

                                                                                                               13 Ibid., 81. 14 Noam Chomsky, “Humanitarian Intervention,“ Boston Review (1993), http://www.chomsky.info/articles/199401--02.htm. 15 Kebijakan Containment merupakan langkah AS dalam Perang Dingin untuk menghadapi kekautan ekspansif dari Uni Soviet dan mencegahnya menjadi kekuatan dominan dalam dunia. Selama masa tersebut, konflik regional muncu sebagai perang proxi yang menunjukkan upaya pencegahan konfrontasi langsung dari kedua kekuatan bipolar. Lihat Martin Griffiths dan Terry O`Callaghan, IR The Key Concepts (New York: Routledge, 2002), 53. 16 Noam Chomsky, Humanitarian Intervention.

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 24: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

11  

Universitas Indonesia

sipil dari kekerasan – konsep yang disebut dengan Soveregnity as Responsibility.

Penerimaan internasional juga terbukti dengan tidak adanya negara (sekalipun

non-barat) yang menolak secara terang-terangan terhadap upaya intervensi pada

kasus kemanusian yang mengancam kehidupan warga sipil.

Meskipun norma HAM internasional berkembang sebagai nilai yang mulai

dihargai penting dalam politik internasional, pertanyaan terhadap legitimasi  

intervensi tetap menjadi tantangan besar dalam perdebatan konsep intervensi

kemanusiaan terutama karena kebijakan Bush menyerang Irak 2003 dalam war

against terrorism. Invasi AS ke Irak bersifat unilateral dan ditanggapi skeptis oleh

berbagai pihak internasional.

Invasi unilateral AS terhadap Irak 2003 menjadi momentum ketakutan atas

sulitnya doktrin R2P diterima pada World Summit 2005. Namun pada akhirnya

konsep dapat diterima dengan penekanan utama pada upaya diplomatis dan non-

kekerasan.17 Invasi Kosovo 1999 dan Irak 2003 juga menciptakan pandangan

bahwa Intervensi kemanusiaan dapat menciptakan preseden adanya

penyalahgunaan norma R2P oleh negara yang agresif. Namun argumen ini dalah

premis yang tidak meyakinkan. Beberapa penjelasan yang ditawarkan Fernando

Teson adalah: (1) Apakah kemudian non-intervensi menyarankan pembiaran

terhadap peristiwa holocaust terjadi? (2) Tirani, anarkisme, dan non-intervensi

atas pelanggaran HAM ekstrim setidaknya memiliki peluang untuk menciptakan

instabilitas dan kekacauan yang sama seperti ketakutan gagalnya intervensi. (3)

klaim empiris bahwa intervensi humaniter tidak dapat dijustifikasi dan

mengancam dunia adalah klaim yang tidak dapat diterima. Melihat berbagai

intervensi kemanusiaan yang telah dilakukan sejak 1990, intervensi tersebut tidak

menciptakan ancaman berarti bagi politik internasional. Adapun instabilitas

didunia terjadi bukan karena intervensi tetapi karena permusuhan etnik dan faktor

sejenis.18

                                                                                                               17 William Pace, Nicole Deller, dan Sapna Chhatpar, “Realizing the Responsibility to Protect in Emerging and Acute Crisis: A Civil Society Proposal for the United Nations“ dalam Responsibility to Protect: The Global Moral Compact for the 21st Century, ed. Richard H. Cooper dan Juliette Voinov Kohler (New York: Palgrave Macmillan, 2009), 132. 18 Fernando R. Teson, “The Liberal Case for Humanitarian Intervention“ dalam Humanitarian Intervention: Ethical, Legal, and Political Dilemmas, ed. Robert O. Keohane dan J. L. Holzgrefe (New York: Cambridge University Press, 2003), 231.

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 25: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

12  

Universitas Indonesia

Dengan demikian, ketakutan akan penyalahgunaan dari doktrin R2P

sejatinya dapat menjadi peringatan untuk dapat menciptakan operasionalisasi yang

lebih jelas dan terukur, bukan malah menolak doktrin. Penolakan doktrin R2P

berarti sama dengan pembiaran terhadap isu kemanusiaan yang telah terjadi di

masa lalu dan kemungkinan terjadinya tragedi kemanusiaan di berbagai belahan

dunia di masa mendatang.

Pertanyaan penting dalam intervensi kemanusiaan adalah apakah

komunitas internasional bisa menjamin politik intervensi di masa depan didukung

melalui persetujuan oleh PBB agar terciptanya suatu legitimasi dan mencegah

pelanggaran. James Pattison menekankan bahwa terdapat justifikasi dan legitimasi

dalam intervensi kemanusiaan sesuai mandat piagam PBB. Berhasilnya konsep

R2P untuk diakui dalam sistem PBB yaitu dalam dokumen hasil World Summit

tahun 2005 adalah bukti penerimaan norma tersebut dalam sistem PBB. Pattison

menjelaskan perbedaan yang terjadi dalam konsepsi R2P dalam doktrin laporan

ICISS 2001 dan penerapannya dalam dokumen hasil Pertemuan Dunia 2005:

Tabel 1. Perbedaan Dokumen ICISS dan World Summit Outcome Document 2005

Doktrin ICISS

Dokumen Pertemuan Dunia 2005 a) b) 1. Jika Negara `unable` dan/ atau

`unwilling` dalam melindungi warga sipil, maka kewajiban berpindah pada komunitas Internasional.

c) d) 2. Batas ambang `Just Cause` dalam

menanggapi pembunuhan dalam skala besar. 3. Reaksi tanggap terhadap krisis merupakan suatu kewajiban komunitas global.

e) 4. Dewan Keamanan menjadi pintu awal atas panggilan aksi kemanusiaan, tanpa melupakan United for Peace Procedure.

a) b) 1. Penekanan terhadap indikator kegagalan

Negara melindungi warga sipil harus termanifestasi, baru R2P dipindahkan kepada pihak internasional

c) d) 2. Just Cause terbatas kepada empat kasus

ekstrim kemanusiaan (Genosida, Kejahatan Perang, Perang terhadap kemanusiaan dan pembersihan etnik)

e) f) 3. Setiap negara harus `bersiap` untuk

melakukan aksi kolektif namun dinilai melalui mekanisme kasus per kasus.

g) h) 4. Aksi kolektif yang hanya melalui

persetujuan DK PBB i)

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 26: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

13  

Universitas Indonesia

Perbedaan mencolok dari perbedaan tabel diatas terletak pada dua hal.

Pertama, Dokumen Pertemuan Dunia 2005 yang lebih menekankan pada indikasi

yang dapat menunjukkan indikator kegagalan negara dalam melindungi warganya

harus jelas, sehingga pemindahan tanggung jawab kedaulatan untuk melindungi

warga sipil dapat berpindah ke tangan komunitas internasional. Kedua, adanya

keinginan DK yang lebih besar atas fleksibilitas dalam asesmen berdasar analisis

kasus per kasus.

Meskipun sudah terintegrasi dalam sistem PBB, terbukti bahwa kebijakan

intervensi belum dapat menyelamatkan isu kemanusian dengan baik. Data

Departemen of Peacekeeping Operation (DPKO) menyatakan bahwa terdapat 1,1

juta displaced person hingga 2006 karena konflik dan ketiadaan pemerintah yang

efektif di Somalia dan juga 3,4 juta orang meninggal akibat konflik di Congo

(International Crisis Group Data, 2008). Data ini merupakan bukti kasus yang

belum terselesaikan dalam isu kemanusiaan. Pertanyaan penting yang kemudian

dilontarkan adalah siapa yang seharusnya memiliki tanggung jawab dan hak untuk

melakukan intervensi. Amerika Serikat menekankan bahwa penerimaan terhadap

prinsip tanggung jawab tersebut tidak berarti sama dengan bertindak untuk hal

tersebut. Lemahnya political will dan kapasitas menjadi hambatan politik dalam

implementasi R2P. 19

Hal yang tergambar jelas dalam perkembangan doktrin intervensi

kemanusiaan adalah suatu prinsip perdamaian liberal atau liberal peace yang

menjadi salah satu nilai yang dipegang dalam norma internasional. Advokat

internasionalis liberal meng-klaim bahwa norma internasional baru

memprioritaskan hak individual untuk yang menciptakan suatu upaya penerbitan

laporan tentang R2P oleh ICISS 2001. Namun, dalam pandangan pragmatis, hal

ini memberikan celah yang lebih luas terhadap negara barat untuk meramu alasan

dalam melakukan intervensi ke luar negeri. Krisis legitimasi pada akhirnya

                                                                                                               19 Lee Feinstein and Erica De Bruin, “Beyond Words: U.S. Policy and the Responsibility to Protect“ dalam Responsibility to Protect: The Global Moral Compact for the 21st Century, ed. Richard H. Cooper dan Juliette Voinov Kohler (New York: Palgrave Macmillan, 2009), 139.

f) 5. Prinsip Precautionary (right intention, last resort, proportional means, reasonable prospect.

j) 5. Tidak ada referensi terhadap kriteria intervensi.

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 27: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

14  

Universitas Indonesia

ditantang dalam suatu dinamika antara moralitas dan Realpolitik. Hal ini menjadi

tantangan tersendiri bagi ide berbasis moral dalam konsep perdamaian liberal.

Terjadinya perbedaan antara apa yang diamksud dengan legitimasi secara moral

dan hal apa yang benar dalam hukum internasional telah menunjukkan disparitas

antara keseimbangan power internasional pada Irak 2003 dan pada 1945 ketika

piagam PBB diciptakan.20 Namun pada dasarnya Realpolitik dan moralitas tidak

kontradiktif. R2P menunjukkan bahwa moralitas dapat bekerja mendukung

power, namun tidak sebaliknya.

Chandler berpendapat bahwa jika negara hanya dapat menjamin moralitas

aksinya melalui akuntabilitas kepada masyarakat internasional dan ancaman

intervensi, maka negara major power sekalipun tidak terbebas dari akuntabilitas

sehingga tingkat pelanggaran dapat diminimalisir. Dengan demikian, negara

major power, yang mengemban gelar `good international citizen` akan beraksi

melalui legitimasi moral yang tinggi dari negara lain.21 Dalam hal inilah terlihat

bagaimana liberal peace menjadi suatu bagian penting dalam norma internasional,

namun tidak terlepas dari kerentanan Realpolitik.

                                                                                                               20 David Chandler, “The Responsibility to Protect“, Center for the Study of Democracy, University of Westminster, no. 11 (2004): 75-76, http://www.tandfonline.com/loi/finp20. 21 Ibid.

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 28: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

15  

Universitas Indonesia

2.2. Studi kasus

Suatu nuansa konstroversi kebijakan intervensi kemanusiaan oleh

komunitas internasional dapat dilihat melalui contoh kasus intervensi di Kosovo

1999, Irak 2003, Georgia 2008 dan Libya 2011. Keempat kasus ini dipilih karena

kontroversi legitimasi dalam pelaksanaan intervensi. Dengan penjelasan singkat

atas keempat kasus, diharapkan kita dapat melihat aspek pembentuk legitimasi

dari intervensi kemanusiaan.

Penjelasan pada subbab ini akan menjelaskan kasus intervensi NATO ke

Kosovo 1999, Intervensi AS ke Irak 2003, invasi Rusia ke Georgia 2008 dan

NATO di Libya 2011 secara singkat untuk menunjukkan permainan justifikasi

legal oleh negara besar dan pengaruhnya terhadap doktrin R2P. Dalam penjelasan

kasus intervensi tersebut, juga dapat dilihat bagaimana suatu legitimasi moral

pada akhirnya dapat berperan sebagai justifikasi dan legitimasi intervensi yang

diterima oleh komunitas internasional. Tabel dibawah dapat mengilustrasikan

legitimasi legal dan moral yang terbentuk dalam keempat studi kasus intervensi

kemanusiaan.

Tabel 2. Legitimasi Kasus Kontekstual

Legalitas Legitimasi Moral Pengintervensi

Kosovo ✗ ✔ NATO

Irak ✗ ✗ AS - Inggris

Georgia ✗ ✗ Rusia

Libya ✔ ✔ NATO

2.2.1. Kosovo 1999

Jika Perang Gulf (1990-1) menandai awal tatanan dunia baru dalam

intervensi untuk kemanusiaan, Kosovo merupakan tragedi pertama yang

`memaksa` NATO untuk melancarkan perang humaniter tanpa otoritas PBB.

Meskipun tragedi kemanusiaan yang terjadi di Kosovo merupakan hal yang cukup

nyata bagi banyak pihak internasional, penggunaan kekerasan oleh entitas

regional NATO tanpa otoritas PBB menjadikan kejadian tersebut sebagai

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 29: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

16  

Universitas Indonesia

preseden yang tidak baik bagi larangan penggunaan kekerasan secara legal.

Namun demikian, satu hal yang pasti tentang Kosovo adalah bahwa perlindungan

terhadap pelanggaran atas HAM dapat menjadi suatu prinsip yang menentukan

dalam yurisdiksi domestik negara.22 Meskpun ilegal, invasi ke Kosovo dapat

dianggap memiliki legitimasi secara moral karena tragedi kemanusiaan yang

berkepanjangan merupakan suatu fakta yang dapat dibuktikan dan diakui

masyarakat internasional.

Tidak terciptanya konsensus intervensi Kosovo terjadi karena ancaman

veto Cina dan Rusia yang memiliki hubungan dengan Rezim Milosevic, padahal

mayoritas anggota DK menunjukan sikap positif terhadap kebijakan untuk invasi.

Wheeler berpendapat bahwa Invasi NATO ke Kosovo 1999 yang tidak melalui

persetujuan badan PBB akhirnya tidak bisa ditolak karena aksi tersebut memiliki

tujuan perlindungan yang cukup nyata atas warga sipil di Yugoslavia. Lebih lagi,

retorika tentang kegagalan PBB dalam mencegah pembunuhan masalah di

Rwanda 1994 dan Srebrenica 1995 menjadi alasan kuat sebagai batasan non-

intervensi untuk menyelamatkan nyawa warga sipil oleh komunitas internasional.

Meskipun pada awalnya veto hampir dilayangkan Rusia, hubungan AS dan Rusia

setelah invasi tidak secara signifikan terganggu. Fakta bahwa hubungan politik

antara Amerika dan Rusia tidak secara signifikan terganggu ini menunjukkan

Amerika serikat yang memiliki kekuatan politik lebih kuat (realpolitik).23 Selain

itu, Invasi ke Kosovo juga menjadi momentum yang menunjukkan suatu fase baru

dalam politik internasioal di mana NATO ingin menciptakan stabilitas

kewilayahan lebih luas dan Amerika Serikat ingin mempertegas pengaruh politik

dan superioritas militernya di wilayah Eropa.24

                                                                                                               22 A. J. R. Groom dan Paul Taylor, “The United Nations System and the Kosovo Crisis,“ dalam Kosovo and the Challenge of humanitarian intervention: Selective Indignation, Collective Action, and International Citizenship, ed. Albrecht Schnabel dan Ramesh Takur (Tokyo: United Nations University, 2000), 291-318. 23 Nicholas J. Wheeler, “The Humanitarian Responsibility of Sovereignty: Explaining the Development of A New Norm of Military Intervention for Humanitarian Purposes in International Society“ dalam Humanitarian Intervention and International Relations, ed. Jennifer M. Welsch (New York: Oxford University Press, 2004), 166. 24 G. John Ikenberry, “The costs of victory: American power and the use of force in the contemporary order,“ dalam Kosovo and the Challenge of Humanitarian: Selective Indignation, Collective Action, and International Citizenship, ed. Albrecht Schnabel dan Ramesh Takur (Tokyo, United Nations University Press, 2000), 86-87.

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 30: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

17  

Universitas Indonesia

Bagi banyak negara Barat, NATO merupakan aliansi dari negara-negara

demokrasi dan oleh sebab itu memiliki validasi dalam tesis perdamaian

demokratis. Menurut mereka, kebijakan untuk mengintervensi Kosovo secara

militer dan tanpa wewenang DK diakibatkan oleh hambatan institusional untuk

melakukan aksi yang efektif dan tepat oleh PBB. Oleh karena itu, intervensi ilegal

oleh NATO masih dapat dianggap sebagai suatu aksi yang memiliki legitimasi.

Komisi Internasional Independen Kosovo yang diketuai Richard

Goldstone and Carl Tham berkesimpulan bahwa intervensi NATO adalah ilegal

namun memiliki legitimasi. Legitimasi memiliki kedudukan diatas legalitas:

Sehingga rezim Apertheid yang legal di Afrika Selatan merupakan sesuatu yang

dapat dikatakan legal tetapi tidak memiliki legitimasi karena adanya ketidakadilan

sosial dan penolakan masyarakat.25 Jane Stromseth menyebutnya dengan istilah

`excusable breach` di mana intervensi melanggar norma legal piagam PBB namun

aktor intervensi tidak mendapat sanksi karena secara moral dan politik, invasi

NATO dapat dijustifikasi sebagai kasus pengecualiaan (exceptional

circumstance). 26 Dengan demikian legitimasi bukanlah suatu indikator yang

diukur hanya berdasarkan hukum internasional tetapi juga melalui pertimbangan

moral dan etis yang berasal dari norma internasional.

2.2.3. Irak 2003

Jika NATO berhasil membentuk legitimasi normatif bagi komunitas

internasional untuk membentuk argumen humaniter dalam intervensi Kosovo,

Presiden Bush dan Blair memiliki kesulitan yang lebih rumit dalam membentuk

justifikasi humaniter atas invasinya ke Irak 2003. Amerika Serikat tidak berhasil

meyakinkan komunitas internasional atas kepemilikan Irak atas senjata pembunuh

masal (Weapon of Massive Destruction/ WMD).

Alasan yang dijadikan pembenaran invasi AS dan Inggris ke Irak secara

ilegal dan okupasi terhadap Irak pada Maret 2003 telah dibuktikan salah. Alasan

adanya senjata pemusnah masal (WMD/ Weapon of Massive Destruction) tidak

                                                                                                               25 Ramesh Takur, The United Nations, Peace and Security, 215-217. 26 Jane Stromseth, “Rethinking Humanitarian Intervention: The Case for Incremental Change,“ dalam Humanitarian Intervention: Ethical, Legal, and Political Dilemmas, ed. Robert O. Keohane, J. L. Holzgrefe (Cambridge University Press: Cambridge, 2003), 243.

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 31: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

18  

Universitas Indonesia

dapat dibuktikan dan klaim bahwa koneksi antara terorisme al Qaeda dan rezim

Saddam hussein adalah sesuatu yang tidak terbukti dan merupakan alasan buatan

AS untuk menciptakan dukungan publik dalam invasi Irak. Motif sebenarnya dari

aksi kedua sekutu adalah untuk mengontrol dan mendominasi Timur Tengah.

Mendirikan hegemoni di kawasan dan menjamin kontrol terhadap kawasan

dengan cadangan minyak terbesar dan memperkuat posisi strategis AS sebagai

sekutu Israel. 27

Invasi Irak 2003 mengkonfirmasi bahwa, sekalipun perihal terorisme,

agresi perang merupakan taktik yang tak dapat diterima. Berbagai survey

internasional telah menunjukkan penolakan terhadap intervensi AS ke Irak 2003.28

Justifikasi intervensi kemanusiaan untuk pembebasan terhadap masyarakat Irak

dari pemerintahannya merupakan pengaburan atas perang AS terhadap pemerintah

Taliban di Afghanistan. Amerika adalah negara besar dan memiliki strategi yang

tegas akan kebijakan luar negerinya; strategis secara konsisten, tetapi tidak secara

moral.29 Invasi Amerika ke Irak merupakan salah satu pembuktian bagaimana

negara dengan kekuatan besar menjadikan konsep R2P sebagai justifikasi dan

pembenaran terhadap aksi militer untuk penyamaran dari kepentingan

keamanannya dalam War on Terror.

2.2.3. Georgia 2008

Pada tahun 2008, Pemerintah Rusia berargumen bahwa operasi militer

yang dilancarkan kepada Georgia dapat dijustifikasi melalui Responsibility to

Protect (R2P). Presiden Dmitry Medvedev, Perdana Mentri Putin dan Dubes

Rusia untuk PBB, Vitaly Churkin menyatakan aksi Georgia melawan masyarakat

lokal di Ossetia Selatan sebagai Genosida, dan oleh karena itu Menteri Luar

Negeri Sergey Lavriv secara jelas juga menyebutkan bahwa aksi militer Rusia ke

Georgia tersebut merupakan pelaksanaan dari doktrin R2P untuk misi

                                                                                                               27 “World Tribunal on Iraq,“ Transnational Institute, terakhir dimodifikasi 17 November 2005, diakses 2 Mei 2013, http://www.tni.org/archives/mil-docs_wti. 28 Ibid., 237. 29 Ibid., 241.

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 32: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

19  

Universitas Indonesia

penyelamatan masyarakat sipil.30 Aksi ini mendapat berbagai penolakan oleh

komunitas internasional.

Gareth Evans menjelaskan beberapa faktor yang menyebabkan invasi

tersebut tidak dapat diterima sebagai suatu upaya R2P. Alasan pertama adalah

karena Invasi bertujuan untuk melindungi warga Rusia yang tinggal di dan dekat

dari Ossetia Selatan. Upaya untuk melindungi warga negaranya yang tinggal di

luar teritorialnya ini jelas bukan merupakan rasional R2P. Penyerangan Rusia ke

Ossetia, yang merupakan bagian dari wilayah Georgia lebih tepat dinyatakan

sebagai self-defense. Negara menganggap warga negaranya menjadi terancam

ketika terdapat ancaman yang berada diluar teritorialnya dan ditakutkan

mengancam keamanan negara, sehingga suatu tindak penyelamatan harus

dilakukan dengan cara intervensi ke wilayah yang bukan merupakan teritorialnya.

Namun penyerangan militer tersebut mendapat berbagai penolakan dari komunitas

internasional dan menciptakan skeptisme dari berbagai pihak atas upaya Rusia

untuk menciptakan justifikasi misi intervensinya.

Alasan kedua adalah tidak adanya upaya awal R2P dalam bentuk

diplomasi dan aksi non-kekerasan lainnya sebelum invasi secara militer. Invasi

secara militer hanya boleh dilakukan atas kasus ekstrim tertentu yang tidak dapat

diselesaikan lagi melalui upaya diplomatis dan non-kekerasan. Dalam invasi ke

Georgia, Rusia tidak menunjukkan upaya awal untuk dapat menyelesaikan

permasalahan secara non-kekerasan melalui DK PBB atau instrumen PBB lainnya

agar membentuk legitimasi dari komunitas internasional untuk penggunaan aksi

militer. Justifikasi yang digunakan tidak dapat memberikan kesan serius atas

ancaman yang ada, apalagi terhadap Genosida atau kejadian yang mendekati.

Aksi Penyerangan pemerintah Georgia ke Tskhinvali (Ibukota Ossetia

Selatan, Georgia) memang melanggar, tapi bukan berarti hal tersebut menjadi

indikasi dan manifestasi dari kegagalan Pemerintah Georgia dalam melindungi

masyarakatnya. Dengan demikian, tidak ada kekuatan hukum dalam intervensi

Rusia ke Georgia. Sebuah argumen yang sebenarnya Moskow juga perkarakan                                                                                                                30 Gareth Evans, “Russia in Georgia: Not a Case of The Responsibility to Protect,“ The center for the Study of Democratic Institutions: New Perspectives Volume 25, no. 4 (2008): 53-55, doi/10.1111/npqu.2008.25.issue-4/issuetoc

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 33: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

20  

Universitas Indonesia

dan bertikai panjang saat AS mengabaikan velidasi wewenang DK pada invasi

NATO di Kosovo 1999 dan di Irak 2003. Peristiwa ini dapat menunjukkan salah

satu pragmatisme dari negara besar untuk mengendarai doktrin sebagai alasan

intervensi untuk kepentingan nasionalnya. Alih-alih penyelamatan isu

kemanusiaan pada akhirnya tidak dapat dibuktikan dan menimbulkan kecurigaan

dan skeptisme dari berbagai pihak dalam politik internasional.

2.2.4. Libya 2011

Kebijakan Intervensi lainnya yang kontroversial dan membuka fase

signifikan dalam perkembangan doktrin R2P adalah intervensi NATO ke Libya

2011. Gareth Evan, Tim Dunne, Jess Gifkins, Mohammed Nuruzzaman

menyatakan bahwa intervensi NATO ke Libya merupakan suatu tantangan bagi

doktrin PBB karena menimbulkan berbagai kecurigaan tidak hanya dari negara

BRIC tetapi negara-negara lainnya. Alih-alih melindungi masyarakat dari

kekejian rezim Gadafi, intervensi Libya terlihat sebagai upaya penaklukan rezim.

Menurut Gareth Evan, hal inilah yang menjadi salah satu alasan terhalangnya

intervensi untuk Suriah hingga saat ini. Intervensi NATO yang dianggap telah

melewati batas logika intervensi dan membantu penggulingan Rezim Gadafi

menjadi kecurigaan besar oleh Cina, Rusia dan negara lainnya.

Mohammed Nuruzzaman mencoba melakukan evaluasi terhadap kebijakan

intervensi ke Libya: apakah resolusi 1973 telah mengikuti aspek-aspek yang ada

di dalam dokumen World Summit dan dokumen terdahulu lainnya mengenai R2P.

Penyerangan NATO ke Libya menjadi momen penting dalam perkembangan

lanjutan dari R2P karena tindakan tersebut melibatkan penjatuhan atas rezim

Gadafi. Padahal Kejadian di Yemen dan Suriah memiliki tingkat keparahan yang

tidak kalah sadisnya. Disinilah Nuruzzaman mencoba membuktikan adanya motif

norma R2P yang bercampur dengan Realpolitik. Nuruzzaman menjelaskan tiga

alasan utama mengapa penjatuhan rezim Gadafi pada Oktober 2011 lalu memberi

dampak detrimental terhadap doktrin R2P:31

                                                                                                               31 Mohammed Nuruzzaman, “The Responsibility to Protect Doctrine: Revived in Libya, Buried in Syria,“ Insight Turkey, no. 15.2 (2013): 57-66, search.proquest.com.libproxy1.nus.edu.sg/docview/1350533876

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 34: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

21  

Universitas Indonesia

1. Kekuatan militer dilancarkan dengan begitu cepat. Hal ini melanggar dalil

yang ada dalam dokumen World Summit 2005 tentang upaya non-militer

sebagai kebijakan terakhir dalam upaya intervensi; bahwa kekuatan militer

hanya boleh dilakukan dalam kasus ekstrim. Pada April 2011, saat Uni

Afrika berupaya untuk mengadakan negosiasi antara kubu pemerintahan

Gadafi dan pemberontak dari National Transitional Council (NTC),

Negara Barat (Prancis, AS dan Inggris) malah melakukan sabotase

terhadap upaya tersebut.

2. Adanya pertentangan atau paradoks antara kejahatan kemanusiaan dan

Kejahatan Perang. Setelah NATO intervensi, terdapat puluhan ribu rakyat

sipil yang meninggal akibat upaya pemboman NATO ke Libya. Fakta ini

ditunjukkan dalam laporan Human Rights Watch (HRW), Amnesty

internasional, New York Times, dan juga BBC yang menyebutkan 2000-

30.000 orang meninggal akibat bombardir NATO.

3. Resolusi 1973 secara moral dan etis juga tidak dapat diterima karena

kebijakan barat pasca intervensi yang tidak baik. Segera setelah

penjatuhan rezim, NATO meninggalkan Libya dan membiarkan kelompok

NTC di Libya berhadapan dengan masalah internal dan perpecahan dan

berakhir pada terhambatnya upaya rekonsiliasi politik internal.

Jelas ketiga faktor inilah yang menciptakan kecurigaan bagi masyarakat

dunia, negara-negara dari belahan bumi Asia, Afrika, Latin Amerika dan lainnya.

Dengan skeptisme yang muncul pasca intervensi NATO ke Libya, banyak negara

yang sungkan mendukung intervensi di Syria. Alasan-alasan ini juga digunakan

oleh Rusia dan Cina dalam ancaman veto terhadap intervensi yang dicanangkan

oleh DK mengenai kekerasan yang terjadi di Suriah. Intervensi ke Suriah

mendapat hambatan besar dan doktrin R2P menghadapi masa depan yang cukup

suram.

Aspek lain yang dapat dipelajari dari intervensi Libya adalah posisi Cina

yang memberikan preseden yang berbeda dari sebelumnya. Secara tradisional,

Cina adalah negara yang memiliki prinsip keras akan kedaulatan dan percaya akan

kebijakan non-intervensi terhadap permasalahan negara lain. Namun, pada

intervensi Libya 2011 lalu yang dianggap beberapa pihak sebagai keberhasilan

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 35: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

22  

Universitas Indonesia

pertama untuk menerapkan R2P pasca World Summit 2005, negara-negara BRIC

(pada tahun 2011 merupakan anggota DK PBB) dan Jerman memilih untuk tidak

menentang resolusi tetapi mengambil posisi abstain. Hal ini dilakukan karena

kuatnya dukungan institusi regional dalam resolusi menjadikan BRIC tidak dapat

menciptakan legitimasi atas pelarangan intervensi. Perlawanan terhadap upaya

intervensi dapat menyebabkan kritik tajam dari berbagai pihak. Hilangnya

popularitas Gadafi terlihat dari bagaimana Gulf Cooperation Council (GCC) dan

Konferensi Negara Islam (OIC) pada 12 Maret 2011 mengutuk tindakan

Pemerintahan Gadafi, mengeluarkannya dari keanggotaan organisasi regional, dan

Liga Arab pun mengeluarkan resolusi no-fly zone untuk melindungi rakyat sipil.32

Dengan demikian, Intervensi di Libya memang dapat disebut sebagai fase baru

dari konsep R2P di mana konsensus regional dapat menjadi suatu penentu

permainan (political game-changer).

2.2.4.1. Advokasi Negara dalam R2P

Dibalik argumen skeptis berbagai pihak tentang intervensi NATO ke

Libya, Tim Dune dan Jess Gifkins (2011) membaca satu pelajaran penting yang

dapat kita tarik dari proses diplomasi yang ada. Kasus Libya dapat menunjukkan

bahwa advokasi oleh negara (state based advocacy) adalah suatu tahapan yang

penting dalam pembentukan legitimasi dari prinsip R2P. Dalam analisisnya Dune

dan Gifkins menelaah peranan diplomatis dari Canberra. Beberapa poin singkat

berikut dapat menggambarkan peranan diplomatis Australia dalam

mengadvokasikan intervensi dalam kasus Libya:33

• Seminggu setelah pemberontakan di Libya mulai, Kevin Rudd membuat

pernyataan tegas melalui radio berita ABC; menyatakan dukungannya atas

aspirasi para pemrotes yang menuntut hek kebebasan dan hidup yang lebih

baik.

                                                                                                               32 Andrew Garwood, “China and the Responsibility to Protect: The Implications of the Libyan Intervention,“ Asian Journal of International Law, no. 2 (2012), 375-393. 33 Tim Dunne & Jess Gifkins, “Libya and the State of Intervention,“ Australian Journal of International Alffairs 65, no. 5 (2013): 58, http://www.tandfonline.com/loi/caji20

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 36: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

23  

Universitas Indonesia

• Bersamaan dengan itu, Liga Arab sebagai organisasi regional menghentikan

keanggotaan Libya pada Februari 2011.

• Diplomasi Australia mencoba meningkatkan pengaruh advokasi mereka

melalui pendekatan kepada anggota permanen DK PBB, kemudian

pendekatan kepada Human Rights Council (HRC). Menteri Luar Negeri juga

mendesak DK untuk memberikan pesan tegas kepada rezim Gadafi dan tidak

akan mentolerir kekerasan yang mereka ciptakan.

• Pemerintah Australia juga menulis kepada Brazil yang pada saat itu adalah

Presiden DK PBB untuk mengeluarkan pernyatakan tegas kepada rezim

Gadafi.

• Pada saat yang bersamaan, Australia meningkatkan konstribusinya dan

menjadi donor ketiga terbesar untuk dana kemanusiaan (Humanitarian Aid)

Dengan demikian, Australia telah membantu proses sekuritisasi kasus

Libya ke dalam konteks dokstrin R2P melalui tiga upaya: (1) Menggerakkan

urgensi isu Libya ke agenda internasional, (2) Menggarisbawahi pentingnya aksi

tegas oleh DK PBB, dan (3) Upaya justifikasi kekerasan dalam konteks

pengecualian untuk melakukan intervensi militer. Hal ini dapat menjadi

pembelajaran dalam perkembangan doktrin R2P bahwa advokasi suatu negara

dapat mempengaruhi prosesi dan dinamika kebijakan intervensi kemanusiaan.

Dengan kata lain, untuk merealisasikan intervensi kemanusiaan secara tegas, aktor

negara dapat berkontribusi sebagai pembentuk urgensi isu intervensi ke suatu

negara yang mengalami tragedi kemanusiaan.

2.2.4.2. Suriah: Sebuah Refleksi

Skeptisme yang muncul dari kasus penaklukan rezim di Libya memiliki

efek detrimental terhadap suatu negosiasi intervensi kemanusiaan di Suriah. Alih-

alih ketakutan atas penggulingan rezim Assad melalui intervensi, Rusia dan Cina

memblok negosiasi di DK PBB. Konfrontasi yang tejadi antara pemerintahan

Assad dan pemberontak di Suriah telah memakan begitu banyak korban warga

sipil, namun intervensi atas krisis belum kunjung dapat dilancarkan. Gareth Evan

menyebutkan bahwa terdapat empat faktor yang merupakan pengaruh lingkungan

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 37: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

24  

Universitas Indonesia

geopolitik yang membuat intervensi ke Suriah tidak berhasil dilakukan. Pertama,

kompleksitas perpecahan internal yang terjadi di Syria dapat menjadi ancaman

besar dan memberikan dampak negatif bagi negara – negara tetangga.

Pemberontak dapat keluar dari Libya untuk menyelamatkan kekuatan dan

perpindahan refugee dan Internally Displaced Person (IDP) akan menjadi beban

yang tidak ringan bagi negara tetangga.

Faktor kedua adalah komitmen dan hubungan baik yang terjalin lama

antara Rusia dan Rezim Assad. Hal ini mencegah Rusia untuk meloloskan suatu

resolusi yang mengutuk Rezim Assad, apalagi untuk kebijakan intervensi. Namun

dalam praktiknya, Rusia menggunakan justifikasi pelanggaran dan penjatuhan

rezim di Libya 2011 sebagai alasan penopang kebijakan Rusia untuk mem-veto

resolusi intervensi ke Suriah.

Ketiga, tidak adanya persetujuan kuat dari Liga Arab untuk melancarkan

aksi yang keras terhadap Suriah; berbeda dengan awal mula inisiasi untuk

intervensi Libya yang didukung oleh berbagai institusi regional di Timur Tengah.

Keempat, Kuatnya tentara bersenjata Suriah, terutama pertahanan udara. Hal ini

dianggap dapat menjadi tantangan utama karena intervensi akan sangat sulit

dilakukan dan dapat menelan banyak korban.34 Salah satu faktor penghambat –

komitmen dan relasi Rusia dengan rezim Assad – menjadi faktor yang

mencitrakan kepentingan nasional Rusia untuk dapat melindungi aliansinya.

Alhasil, Rusia merupakan negara yang mengancam akan menggunakan veto

apabila DK PBB memutuskan untuk melakukan intervensi ke Suriah. Dengan

demikian, terjadilah deadlock dalam negosiasi Dewan Keamanan PBB.

                                                                                                               34 Gareth Evan, “Libya,“ The World Today, no. 68. 8/9 (2012): 30-32, earch.proquest.com.libproxy1.nus.edu.sg/docview/1170904293

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 38: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

25  

Universitas Indonesia

BAB III: PEMBAHASAN

3.1. Aspek Legalitas dalam Legitimasi Doktrin R2P 3.1.1. Wewenang DK PBB

Berdasarkan Customary Law sebelum lahirnya Piagam PBB, suatu

intervensi merupakan hal yang boleh dilakukan untuk penyelamatan terhadap

HAM, meski ada perlawanan dari pihak atau negara lain. Sedangkan setelah

Piagam PBB diciptakan hal ini tidak berlaku lagi. Dalil yang ada dalam pasal 2(4)

Piagam PBB mencegah upaya yang dapat melampaui kedaulatan suatu negara.

Sekalipun suatu upaya intervensi kemanusiaan harus dilakukan maka kebijakan

tersebut harus sah melalui wewenang DK PBB untuk membentuk suatu legitimasi

hukum inernasional. Dalam hal ini, intervensi kemanusiaan bukanlah suatu

pengecualian tetapi merupakan suatu hal yang harus patuh akan hukum

internasional juga.35 Intervensi kemanusiaan pada dasarnya merupakan ekstensi

dari kekuatan Dewan Keamanan dalam Bab VII yang melegalkan penggunaan

kekerasan sebagai upaya dalam melindungi warga sipil dari kekerasan dalam

suatu kasus ektrim tertentu. Melalui poin inilah kemudian Negara Barat

memimpin berbagai intervensi untuk melindungi kehidupan warga sipil di Irak,

Somalia, Haiti, Balkan dan intervensi militer lainnya.36

Ramesh Takur melihat sentralitas DK PBB sebagai hambatan dalam

pembentukan legitimasi legal dalam intervensi kemanusian. Takur menjelaskan

argumennya melalui tiga faktor. Pertama, sentralitas keputusan intervensi yang

rentan akan kepentingan nasional anggota P-5 dengan veto merupakan hambatan

yang signifikan.37 Intervensi yang dilakukan tanpa wewenang DK pada akhirnya

akan menjadi preseden yang buruk dalam hukum internasional dan pencemaran

bagi landasan politik internasional. Faktor kedua adalah bahwa, pada akhirnya,

tidak ada pihak yang dapat memaksa DK PBB untuk mencapai konsensus dalam

kasus humaniter karena pemaksaan tersebut hanya akan menciptakan kelumpuhan

                                                                                                               35 Maya Stanulova, Has Humanitarian Intervention Become an Exception to the Prohibition on the Use of Force in Article 2(4) of the UN Charter? (England: Edinburgh University, 2010), 16. 36 Nicholas J. Wheeler, The Humanitarian Responsibility of Sovereignity, 112. 37 Ramesh Takur, The United Nations, Peace and Security, 67.

25  

 

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 39: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

26  

Universitas Indonesia

politik karena anggota DK yang memiliki keinginan politik dan sumber daya

(untuk intervensi) pun bisa menjadi pasif dan apatis terhadap intervensi yang akan

dilaksanakan. Oleh karena itu, suatu intervensi harus melalui validasi kewenangan

dari Dewan Keamanan untuk menciptakan suatu legitimasi legal. Pelanggaran

terhadap ketentuan ini berarti pelanggaran terhadap hukum internasional.

Ketiadaan wewenang DK berarti preseden buruk bagi intervensi kemanusiaan

berikutnya.

3.1.2. Aktor Intervensi dalam sistem PBB

Dalam implementasi R2P, PBB harus tetap menjadi focal point karena

Institusi ini yang memiliki keanggotaan universal, memiliki legitimasi global dari

dan melalui piagamnya. Berbagai tingkatan badan di dalamnya juga dapat

mengakomodasi berbagai aspek perdebatan. Namun, dalam melaksanakan banyak

dari fungsinya, termasuk yang terkait perdamaian dan keamanan, PBB memiliki

reputasi lambat tanggap, dan birokratis. Belum lagi isu finansial, kekurangan

tenaga operasi perdamaian dan lainnya. Beberapa fakta ini diantaranya membentuk

respon yang lamban dan tidak tanggap terhadap isu kemanusiaan yang ada di

Rwanda dan Srebrinica. Namun, solusi dari permasalahan tersebut bukanlah untuk

mencari pengganti atau menghindari tetapi mencari cara agar PBB dapat berfungsi

dengan lebih baik dalam hal ini. Dalam praktek intervensi kemanusiaan, Maya Stanulove menawarkan

beberapa opsi aktor yang dapat melakukan intervensi sesuai dengan prosedur yang

ada dalam piagam PBB. Prinsip yang melandasi upaya intervensi harus dapat

merujuk pada pasal 33 Piagam PBB yang menyatakan intervensi hanya boleh

dilakukan setelah seluruh aksi non-kekeraan telah dan gagal dilakukan. Aktor yang

memiliki wewenang untuk melakukan intervensi tersebut adalah:38

• Dewan Keamanan PBB sebagai aktor utama yang memiliki kontrol atas aksi

internasional untuk memonitor situasi dan memberikan wewenang atas

penggunaan kekerasan. Dengan sistem ini maka kemungkinan pelanggaran

pun dapat direduksi, meskipun ketakutan atas penyalahgunaan selalu ada.

                                                                                                               38 Maya Stanulova, Has Humanitarian Intervention Become an Exception.

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 40: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

27  

Universitas Indonesia

• Jika DK PB gagal maka Sidang Umum dapat mengambil langkah melalui apa

yang disebut dengan Uniting for Peace Resolution (UPR), karena pada

akhirnya sidang umum dapat mewakili opini publik dunia. Namun menurut

Luke Glanville39 pada akhirnya UPR adalah hal yang sulit untuk dilakukan

karena upaya ini memiliki kemungkinan kecil untuk disetujui oleh anggota

DK PBB karena dapat mendiskreditkan wewenang dan kekuatan veto

mereka. Selain itu, menurut International Court of Justice (ICJ), UPR harus

dilaksanakan melalui rujukan DK.

• Jika Sidang Umum tidak berhasil, organisasi internasional/ kawasan dapat

melakukan intervensi. Hal serupa sudah mulai ditunjukan oleh Uni Afrika,

dalam undang-undang Konstitusi Uni Afrika (Pasal 4, tahun 2000) yang

menyatakan kebutuhan intervensi oleh organisasi kawasan saat ditemukannya

kejahatan kemanusiaan di Afrika. Gareth Evan menyebutkan bahwa

organisasi regional juga diakui dalam Bab VIII Piagam PBB yang

mengidentifikasi peranannya. Aktor regional paling aktif dalam isu

perdamaian dan keamanan adalah North Atlantic Treaty organization

(NATO), Uni Afrika (AU), Uni Eropa (EU), dan mitra subregionalnya,

Organization for Security and Cooperation in Europe (OSCE). Adapun

badan lainnya, namun misi utama berfokus ekonomi, seperti OAS, CIS,

ASEAN, dan SCO. Kerjasama dengan institusi regional memiliki keuntungan

komparatif, karena: (1) pemahaman terhadap dinamika krisis di wilayah:

kultur, sejarah, (2) relatif lebih diterima sebagai peacemaker dari pada

outsider, (3) relatif efektif secara pendanaan karena kedekatan geografis, (4)

lebih memiliki “ownership“ dari krisis tersebut dalam hal penyelesaian

masalah.40

                                                                                                               39 Luke Glanville, “The International Community`s Responsibility“ dalam Protecting the Displaced: Deepening the Responsibility to Protect, ed. Sara E. Davies dan Luke Glanville (The Netherlands: Koninklijke Brill NV, 2010), 225. 40 Gareth Evans, The Responsibility to Protect: Ending Mass Atrocity Crimes Once and For All (Washington: Brookings Institution, 2008), 125-200.

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 41: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

28  

Universitas Indonesia

Dewan Keamanan PBB, Sidang Umum, Human Rights Council (HRC)

merupakan badan utama PBB yang memiliki peran sentral dalam koordinasi

doktrin R2P. Dalam kesekretariatan PBB, Sekjen, The office of the special Adviser

on the Prevention of Genocide, The Office of the High Commissioner for Human

Rights (OHCHR), Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA).

Departement of Peacekeeping Operations (DPKO) juga menjadi aktor kunci

pelaksanakaan dan monitoring R2P.41 Keseluruhan aktor yang telah dijelaskan

diatas merupakan pihak-pihak yang dapat terlibat dalam prosesi kebijakan

intervensi kemanusiaan dalam sistem PBB. Untuk menciptakan suatu legitimasi

hukum, maka kebijakan intervensi hanya dapat dilakukan melalui mekanisme yang

tercantum dalam piagam PBB dan konvensi-konvensi terkait. Suatu tindakan aktor

diluar mekanisme tersebut akan dianggap sebagai suatu pelanggaran dan

pencemaran terhadap hukum internasional.

3.1.3. Analisis Dokumen R2P

Dalam perkembangannya, konsep R2P telah menghasilkan beberapa

dokumen dan konvensi internasional yang membentuk norma legal pada tingkat

politik internasional. Dalam aspek legalnya, naskah dalam dokumen hasil World

Summit 2005 dapat disebut sebagai dokumen paling kuat diantara empat dokumen

yang ada.42 Dokumen tersebut menunjukkan seberapa besar keinginan negara

untuk menciptakan norma legal R2P dalam sistem PBB. Sebagai suatu slogan

politik (political catchword), konsep R2P memiliki perkembangan yang cukup

pesat di tingkat internasional. Hal ini berkaitan dengan beberapa spektrum

penggunaan konsep dalam hukum internasional.

Carsthen Stahn menyebutkan bahwa konsep R2P memiliki pemaknaan

yang berbeda dalam empat dokumen yang telah dihasilkan dalam perkembangan

doktrin: laporan Commission on State Sovereignity and Intervention, Laporan

High-Level Panel, laporan Sekjen PBB, dan dokumen hasil World Summit 2005.

                                                                                                               41 William Pace, Realizing the Responsibility to Protect in Emerging and Acute Crisis, 67. 42 Carsten Stahn, “Responsibility to Protect: Political Rehtoric or Emerging Legal norm?,“ The American Journal of International Law 101, no. 1 (2007): 99-120, http://www.jstor.org/stable/4149826

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 42: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

29  

Universitas Indonesia

(1) Laporan Commission on State Sovereignity and Intervention tahun 2001

adalah dokumen yang paling komprehensif membahas dilema hukum dan politik

dalam intervensi kemanusiaan dan merupakan dokumen yang menghasilkan

konsep kedaulatan sebagai tanggung jawab (bukan hak). Kedaulatan lebih

dianggap sebagai amanat negara untuk melindungi masyarakatnya dari kekerasan

dibanding kuasa atas kontrol domestik oleh negara. Laporan Komisi ini juga

mengembangkan lima kriteria legitimasi dalam intervensi yang dapat diterapkan

dalam DK PBB yaitu prinsip dasar dari konsep Just War: Just cause, right

intention, last resort, proportionality of means, dan reasonable prospect of

success.

(2) Laporan High Level Panel on Threats, Challenges and Change (2004)

menghasilkan keputusan yang mengarah kepada reformasi institusi PBB. Laporan

secara jelas menyebutkan konteks penggunaan kekerasan dalam artikel Piagam

PBB Bab VII, ancaman internal dan tanggung jawab melindungi. Hal penting

dalam laporan menyebutkan hubungan antara visi untuk pembagian tanggung

jawab bersama dalam PBB. Diciptakannya laporan ini menjadikan konsep R2P

untuk pertama kalinya secara resmi menjadi kata baru dalam kamus PBB.

(3) Dokumen berikutnya adalah Laporan Sekjen PBB. Laporan tersebut

menyadari sensitivitas yang terlibat dalam isu ini. Konsep R2P akhirya

dipindahkan dari pasal tentang penggunaan kekerasan menjadi bagian dalam pasal

tentang kekebasan kehormatan hidup. Hal ini dilakukan untuk melepaskan ikatan

konsep R2P dari perbandingan terhadap kekuatan militer. Konsep diarahkan

kepada penekanan terhadap cara-cara damai, namun laporan tidak menyatakan

tentang kemungkinan aksi unilateral (misal saat terjadi veto di DK PBB).

(4) Dokumen Hasil World Summit 2005 adalah penanda digunakannya

terminologi R2P secara resmi dalam sistem PBB. Dokumen ini menegaskan

doktrin R2P sebagai tanggung jawab moral. Namun, Dubes AS, John Bolton,

tidak setuju atas pengwajiban pihak tertentu (Negara atau Dewan Kemanan) untuk

mengemban kewajiban tersebut dibawah payung hukum internasional. Tanggung

jawab ini dilihat sebagai suatu tanggung jawab moral bagi dunia internasional

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 43: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

30  

Universitas Indonesia

untuk apat bergerak bersama saat ditemukannya indikasi atas kejahatan

kemanusiaan. Konsep R2P dilihat sebagai suatu kewajiban moral dari komunitas

internasional untuk menggunakan diplomasi, mekanisme ekonomi, humaniter dan

cara damai lainnya, termasuk Bab VI dan VIII (Penyelesaian pertikaian secara

damai dan pengaturan mekanisme kawasan) dalam piagam PBB.

Negosiasi multilateral telah berusaha mencegah reduksi makna menjadi

konsep moral tanggung jawab dan menjadikannya lebih jelas secara hukum.

Tetapi paragraph 138 dan 139 dari dokumen hasil World Summit 2005

menunjukkan bahwa terdapat pertimbangan politik dan legal yang

membingungkan tentang pemaknaan konsep. Setiap individu negara memiliki

tanggung jawab melindungi masyarakat dari genosida, kejahatan perang,

pembersihan etnik dan kejahatan kemanusiaan (paragraf 138). Namun pengakuan

terhadap doktrin R2P tidak sama dengan kesediaan negara untuk melakukan

intervensi karena hal tersebut membutuhkan kemampuan material dan keinginan

politik (political will) dari suatu negara yang bersangkutan.

Dokumen World Summit 2005 memperkuat kedudukan doktrin R2P di

dalam institusi PBB di satu sisi, namun garis pedoman teknis dalam metode

intervensi tidak berhasil diciptakan. Jika pada Laporan ICISS 2011 disebutkan

lima kriteria Just War untuk mendefinisikan ambang batas kebijakan intervensi,

World Summit menghasilkan keputusan yang lebih tidak jelas dalam hal kriteria

diberlakukannya intervensi. Penilaian terhadap keperluan kebijakan intervensi

dinilai berdasarkan konteks kasus yang ada (case-by case basis) oleh anggota

Dewan Keamanan. Kontradiktif terhadap tujuan untuk menghasilkan mekanisme

sistematis dalam intervensi kemanusiaan yang ingin diciptakan oleh ICISS tahun

2011.

Selain dari pada itu, dalil yang menyatakan R2P sebagai suatu tanggung

jawab `bersama` dari negara anggota PBB dapat menjadi suatu ketidakjelasan dan

pengabur dalam menentukan aktor yang memiliki tanggung jawab dalam hal

intervensi. Dalil ini dapat meninggalkan celah di mana pihak yang memiliki

kapasitas untuk melakukan intervensi (misal negara P5) dapat mempermainkan

interpretasi tanggung jawab siapa atas kasus kejahatan kemanusiaan apa. Hal ini

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 44: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

31  

Universitas Indonesia

cenderung menjadi celah yang dapat menjadi suatu pelanggaran (abuse) dalam

politik internasional untuk kepentingan suatu pihak tertentu.

Paragraf 139 dalam dokumen hasil World Summit 2005 menyebutkan

tanggung jawab bersama tersebut muncul ketika suatu negara secara

termanifestasi telah gagal untuk melindungi masyarakatnya dari kekerasan.

Ukuran dan bukti telah gagalnya suatu negara tersebut juga tidak terdefinisikan

secara jelas. Hal ini terlihat dalam kasus Darfur di mana pemerintah Sudan telah

termanifestasi gagal dalam melindungi warga, namun aksi kolektif komunitas

internasional tidak secara tegas berupaya menghentikan kekerasan yang ada.

Tidak terangkatnya isu Darfur dan tidak adanya kepentingan negara Barat

menjadikan intervensi Darfur tidak dilaksanakan secara tegas permasalahan

kekerasan dan kejahatan kemanusiaan. Meski keempat dokumen menyatakan

intervensi militer merupakan kebijakan paling akhir ketika pendekatan secara

damai telah gagal dilakukan, keempat dokumen tersebut tidak secara gamblang

menyebutkan penolakan terhadap opsi unilateral dalam pelaksanaannya.

Hal ini menunjukkan pencegahan atas posisi jelas dalam tataran

implementasi dan kurangnya spesifisitas hukum yang mengatur. Analisis legal ini

membuktikan bahwa doktrin R2P yang berperan sebagai slogan politik (political

catchword) dapat menjadi dua sisi pedang yang berbahaya karena dalil-dalilnya

yang multi-interpretatif, sehingga dapat digunakan oleh negara adidaya untuk

mencapai kepentingan nasionalnya alih-alih menyelamatkan masyarakat.

Dengan demikian terdapat tiga indikator utama yang dapat menunjukkan

bagaimana dokumen internasional yang membentuk formulasi doktrin R2P dalam

sistem PBB bersifat kurang spesifik dan menjadi multiinterpretatif. Pertama,

intervensi kemanusiaan sebagai suatu tanggung bersama yang tidak menjelaskan

operasionalisasi dari tanggung jawab bersama oleh siapa, hak dan kewajiban

siapa. Hal ini menjadi suatu celah yang dapat diinterpretasikan negara big power

untuk melancarkan suatu intervensi kepada negara tertentu yang dapat

memberikan kepentingan militer atau ekonomi tertentu kepada negara

pengintervensi. Terlebih lagi, penggunaan kata yang moderat ini juga dapat

menjadi potensi pengabaian terhadap suatu tragedi kemanusiaan di negara

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 45: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

32  

Universitas Indonesia

(sebagai misal di Darfur) yang tidak penting bagi suatu negara big power; hingga

tidak masuk dalam pembahasan.

Indikator kedua adalah ketiadaan garis pedoman dalam melaksanakan

intervensi. Apabila komisi independen dalam ICISS 2011 mengeluarkan laporan

yang memberikan rekomendasi atas pentingnya penaksiran atas suatu kebijakan

intervensi kemanusiaan melalui konsep Just war (Just cause, right intention, last

resort, proportionality of means, dan reasonable prospect of success), dokumen

hasil World Summit 2005 tidak memasukkan klausul tersebut dan sebagai

gantinya menyatakan bahwa penaksiran justifikasi atas tragedi kemanusiaan

dilakukan melalui analisis kasus per kasus (case-by case) oleh anggota dewan

keamanan PBB. Hal ini jelas mereduksi spesifisitas dari peraturan atas doktrin

R2P tersebut.

Indikator ketiga adalah ketidakjelasan kapan suatu negara dikatakan

(secara termanifestasi) gagal melakukan kewajibannya melindungi warga sipil.

Ketiadaan indikator atau penjelasan konkrit terhadap dalil ini dapat menjadi alat

bagi negara pengintervensi untuk memformulasikan alasan dan justifikasi untuk

kegagalan suatu negara sehingga mereka dapat masuk dan melakukan intervensi

ke negara tersebut.

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 46: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

33  

Universitas Indonesia

3.2. Aspek Moralitas/ Etis dalam Legitimasi Doktrin R2P Perdebatan legal dan moral/ etis yang ada dalam penerapan R2P menurut

Welsch berasal dari filosofi penolakan terhadap intervensi tersebut. Terdapat

perbedaan pandangan pada batas konsensus yang ada tentang hubungan antara

legitimasi negara dan perlindungan dan penerapan HAM dan batasan bahwa

intervensi kemanusiaan dapat mengatasnamakan komunitas internasional. Hal

inilah yang dikategorikan dalam debat masalah legal dan etis.43 Jika bagian

sebelumnya telah menjelaskan aspek-aspek legal yang dapat membentuk

legitimasi suatu negara atau kelompok negara dalam melancarkan suatu intervensi

kemanusiaan, maka tulisan berikutnya akan mengulas tentang unit pembentuk

legitimasi intervensi dari aspek moralitas dan nilai etis suatu intervensi.

3.2.1. R2P sebagai Norma Internasional

Pertengahan tahun 1990-an negara Barat mulai menunjukkan komitmen

terhadap etika kebijakan luar negeri yang kontradiktif dengan fokus realisme atas

power dan kepentingan nasional. Liberal, kosmopolitanis dan solidaris

berpendapat bahwa pergeseran dalam prioritas kebijakan luar negeri ini adalah

hasil dari advokasi humaniter yang akademisi, organisasi HAM dan NGO telah

berhasil yakinkan kepada negara Barat untuk memasukan pertimbangan moral

dalam hubungan luar negeri.44 Pertimbangan moral dalam konteks ini adalah

tanggung jawab moral/ etis dari negara untuk dapat melindungi masyarakat sipil

dari tindak kekerasan kemanusiaan yang dapat melanggar prinsip dasar dalam

nilai universal HAM.

Pertanyaan Kofi Annan dalam laporan sekjen tahun 1999 terkait keamanan

manusia akhirnya meghasilkan terobosan suatu konsep. Dalam rangka

menanggapi pertanyaan tersebut, Pemerintah Kanada membentuk suatu komisi

internasional yang bertugas untuk membahas pertanyaan, legal, moral,

operasional dan politis dalam suatu intervensi kemanusian. Dibentuk oleh aktor                                                                                                                43 Jennifer M. Welsch, “Taking Consequences Seriously: Objections to Humanitarian Intervention,“ dalam Humanitarian Interventional and International Relations, ed. Jennifer M. Welsch (New York: Oxford University Press, 2004), 169. 44 Aidan Hehir, “Humanitarian Intervention: An Introduction,“ (London: Palgrave Macmillan, 2010), 11-20.

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 47: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

34  

Universitas Indonesia

independen, komisi akhirnya datang dengan suatu konsep yang dinamakan

Responsibility to Protect (R2P) dalam laporan ICISS 2001. Melalui pembahasan

lanjutan di dalam sistem PBB, akhirnya terminologi R2P dapat diterima dan

digunakan secara resmi dalam sistem PBB (melalui dokumen hasil World Summit

2005), terlepas dari pemaknaan yang tidak percis sama dengan laporan hasil

ICISS.

Hal ini telah menunjukkan bahwa suatu intervensi kemanusiaan sebagai

tanggung jawab internasional untuk melindungi masyarakat dari kejahatan masal

merupakan norma internasional yang telah diakui secara meluas. Meskipun masih

ada negara-negara yang memandangnya dengan sebelah mata, tidak ada negara

yang secara terang-terangan menolak penerimaan terhadap norma R2P dalam

sistem PBB itu sendiri.

Welsch berpendapat bahwa terdapat tiga poin penting yang dapat dijaga

untuk melindungi doktrin R2P demi tujuan kemanusian. Pertama adalah dengan

mempertahankan doktrin kedaulatan sebagai tanggung jawab, bukan sebagai hak

sehingga justifikasi terhadap intervensi kemanusiaan dapat lebih diterima. Kasus

kompleks seperti keruntuhan negara Somalia dan Sierra Leone mungkin akan

lebih mendapat dukungan dari pada kasus penggantian rezim atau hukuman atas

kelompok minoritas seperti di Haiti dan Kosovo. Kedua, pembuat kebijakan harus

lebih serius dalam memperbaiki isu representasi dan efektifitas dalam DK PBB

agar diterima komunitas internasional. Ketiga, dalam sovereignity as

responsibility, penekanan terhadap cara non-militer harus lebih diutamakan dalam

operasionalisasinya. 45

3.2.2. Legitimasi Moral

Intervensi Humaniter dapat dijustifikasi secara moral dalam kasus tertentu

melalui asumsi filosofis politik liberal, bahwa setiap orang memiliki standar moral

dalam individunya. Manusia adalah pemegang hak tersebut dan memiliki

konsekuensi normatif untuk manusia yang lain. Dalam artian, standar moral yang

dimiliki bermakna: (1) kewajiban untuk menghormati hak tersebut; (2) kewajiban                                                                                                                45 Jennifer M. Welsch, Taking Consequences Seriously: Objections to Humanitarian Intervention, 192.

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 48: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

35  

Universitas Indonesia

mempromosikannya kepada semua orang; (3) sesuai situasi, kewajiban

melindungi korban tirani dan anarkis. Kewajiban no (3) merupakan bagian dari

hak untuk menyelamatkan korban, seperti hak dalam intervensi.

Argumen liberal dalam intervensi kemanusiaan memiliki dua komponen:

pertama, tirani dan anarkisme oleh pemerintah merupakan bentuk ketidakadilan

terhadap manusia. Kedua, intervensi eksternal (setidaknya) boleh dilakukan untuk

menghentikan ketidakadilan tersebut. Untuk melakukan hal tersebut, negara dapat

menjadi aktor yang memiliki legitimasi. Konsep Kantian terhadap negara

mengatakan bahwa negara memiliki justifikasi sebagai institusi yang dibentuk

oleh agen etis, yaitu oleh autonomous person. Intervensi kemanusiaan adalah

suatu alat untuk menghentikan tindak anarkis dan tirani dari pemerintah karena

kondisi demikian mencegah seseorang untuk menjalani kehidupan yang bermakna

dan rencana kehidupannya (autonomous). 46

Melalui suatu analisis diatas maka dapat dimengerti bahwa HAM yang

dimiliki berbagai kultur diseluruh dunia dan telah diakui sebagai suatu norma

universal internasional menjadikan kewajiban negara untuk melindungi HAM

bagi warga negaranya dan secara tidak langsung juga berarti kewajiban komunitas

internasional untuk melindungi HAM seorang individu yang merupakan bagian

dari negara dan bagian dari komunitas inernasional yang berada diatasnya.

Pelanggaran terhadap HAM seorang individu berarti ketidakadilan terhadap hak

dasar individu tersebut dan oleh karenanya pihak luar dapat mencegah dan

menghentikan ketidakadilan tersebut dengan cara intervensi eksternal.

Pertimbangan moralitas dan etis ini kemudian dapat membentuk suatu legitimasi

tersendiri yang dapat dibentuk sebagai bagian dari penerimaan norma HAM dan

intervensi kemanusiaan R2P.

***

Agen intervensi yang memiliki legitimasi dapat secara bervariasi

ditentukan oleh distribusi internasional power, keadaan politik, atau faktor agen

spesifik tertentu. Menentukan aktor yang memiliki kapabilitas untuk melakukan

intervensi tidak hanya dilihat dari aspek material tetapi juga non-material.

                                                                                                               46 Fernando R. Teson, The Liberal Case for Humanitarian Intervention, 112.

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 49: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

36  

Universitas Indonesia

47Elemen dasar (faktor material) dalam menentukan kemampuan aktor adalah hal

yang dapat diukur melalui kemampuan militer agen tersebut. Selain itu, faktor

non-material juga membentuk faktor legitimasi dalam masyarakat internasional,

yaitu: legitimasi multilateral, kualifikasi humaniter dari agen intervensi dan posisi

agen intervensi dalam konteks politik internasional. Hanya dengan pertimbangan

kedua faktor material dan non material tersebut consequentialism 48 dapat

menjawab masalah agen dalam intervensi kemanusiaan.

Pertama, intervensi kemanusiaan seharusnya dilakukan secara multilateral

untuk mendapatkan legitimasi, seperti melalui organisasi internasional. Dalam

diskursus legal, unilateral merujuk pada sesuatu yang belum divalidasi suatu

pemegang wewenang sedangkan multilateral sudah dianggap mendapat validasi

tertentu. Suatu negara yang sudah mendapat legitimasi organisasi internasional

universal seperti PBB dapat dikatakan legal dalam intervensinya. Dalam konteks

ini, secara kuantitatif, keterlibatan beberapa negara juga dapat mencegah

eksploitasi dan penyalahgunaan dalam wewenang untuk intervensi. Dengan

demikian, pendekatan Consequentialist ini menempatkan nilai tinggi terhadap

legitimasi multilateral.

Isu intervensi kemanusiaan merupakan topik yang paling terbagi dalam

masyarakat sipil global. Sebagai misal dalam kasus intervensi di Kosovo,

kelompok yang anti-intervensi mengatakan ketiadaan mandat DK PBB

memberikan dampak buruk dan preseden negatif kepada komunitas internasional,

sedang kelompok pro intervensi menganggap intervensi sebagai “coalition of the

willing“ sudah cukup membuat landasan legitimasi atas intervensi dari isu

kemanusiaan yang jelas dan terbukti di Kosovo. Suatu legitimasi moral dapat

melangkahi legalitas yang menghambat karena distribusi kekuatan di DK telah

mengakibatkan veto oleh Rusia dan Cina.49

                                                                                                               47 Eric A. Heinze, Waging Humanitarian Law, 231. 48 Konsekuensialisme adalah suatu pandangan bahwa aspek normatif tergantung pada konsekuensi yang terjadi. Benar atau tidaknya suatu aksi secara moral tergantung pada konsekuensi dari aksi tersebut. Lihat Stanford Encyclopedia of Philosophy, lihat “Consequentialism,“ Stanford University, terakhir dimodifikasi 27 Juni 2011, diakses 11 Mei 2013, http://plato.stanford.edu/entries/consequentialism/ 49 Richard Falk, “Civil Society Perspectives on Humanitarian Intervention“, Journal of Civil Society 4, no. 1 (2008): 3-14. http://www.researchgate.net/journal/1744-8689_Journal_of_Civil_Society

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 50: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

37  

Universitas Indonesia

Faktor kedua yang dapat membentuk legitimasi moral adalah kualifikasi

humaniter agen intervensi. Agen yang melakukan intervensi seharusnya

merupakan entitas yang menjunjung tinggi norma HAM dan kehormatan manusia

kepada penduduknya. Alasan Inilah juga yang memunculkan argumen bahwa

intervensi NATO di Kosovo masih mempertahankan legitimasi substansial karena

dilakukan secara multilateral melalui NATO dan NATO merupakan aliansi negara

yang menjunjung nilai demokrasi dan HAM. Dengan logika ini, meski invasi

NATO ke Kosovo ilegal karena tidak melalui validasi DK PBB, legitimasi moral

masih dapat dijadikan sebagai suatu justifikasi moral untuk intervensi

kemanusiaan. NATO adalah aliansi dari negara-negara yang paling demokratik

dan menghormati HAM, serta memiliki kredibilitas militer.

Faktor ketiga adalah konteks politik. Konteks politik yang dimiliki agen

intervensi yaitu bagaimana komunitas internasional melihat agen tersebut sebagai

aktor yang menghormati norma dan peraturan internasional menjadi pertimbangan

tersendiri untuk legitimasi dan kemampuan agen dalam menjalani intervensi.50

Melalui tiga faktor inilah , menurut Eric Heinze, suatu legitimasi moral dalam

intervensi kemanusiaan dapat dibentuk.

Intervensi kemanusiaan yang harus melalui kewenangan DK PBB menjadi

hal problematis karena keberadaan hak veto dari Negara anggota permanen.

Sebagai misal pada saat intervensi NATO ke Kosovo 1999, Rusia dan Cina

menggunakan veto mereka untuk menolak resolusi. Hal ini terjadi karena

kepentingan Rusia yang memiliki hubungan dengan pemerintahan Milosevic

sehingga Rusia berkepentingan untuk melindungi aliansinya dari peyerangan

intervensi.

Lebih jauh lagi, pattison menyatakan bahwa R2P merupakan pengerucutan

dari konsep intervensi kemanusiaan yang lebih luas (tidak membutuhkan

persetujuan DK PBB). Dengan demikian, Pattison menawarkan bahwa suatu

intervensi R2P yang dilakukan melalui ketentuannya tetap harus menjadi jalur

utama dalam proses kebijakan intervensi kemanusiaan. Namun, hal ini tidak

menutup kemungkinan intervensi kemanusiaan yang tidak melalui DK PBB jika

                                                                                                               50 Eric. A. Heinze, Waging Humanitarian Law: the Ethics, Law, and Politics of Humanitarian Intervention (New York: State University of New York Press, 2009), 255.

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 51: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

38  

Universitas Indonesia

R2P terhalang dengan konflik kekuatan dan kepentingan politik antar Negara

anggota DK PBB. Dengan pertimbangan inilah menurut Pattison doktrin R2P

harus dikonseptualisasi demi mencapai kedua tujuan yaitu secara intervensi yang

memiliki legitimasi dan mencegah krisis humaniter di berbagai belahan dunia.51

Untuk mencapai legitimasi tersebut, Invasi Kosovo yang tidak melalui

persetujuan PBB telah menjadi suatu bukti tersendiri bahwa suatu legitimasi dari

tindakan intervensi dapat dibentuk tidak hanya melalui legitimasi legal tetapi juga

legitimasi moral/ etis.

3.2.3. Proposal tentang Aktor Intervensi Melalui Pendekatan Moderat Instrumentalis (Moderate Instrumentalist)

Pattison mencoba menguak dilema internasional atas aktor siapa dan mengapa

aktor tersebut dapat diklaim sebagai pemilik hak dan tanggung jawab atas nR2P.

Pattison berpendapat bahwa aktor yang berhak dan berkewajiban memiliki

legitimasi atas intervensi adalah aktor yang memiliki ambang batas terbesar dalam

hal (1) intervensi tidak seharusnya terlalu memberatkan bagi pihak yang

mengintervensi (adanya kemampuan ekonomi, politik, militer) (2) memiliki

dukungan dari populasi domestik dan adanya keterkaitan isu terhadap kasus.

Aktor yang berhak adalah semua yang memiliki kriteria tersebut sedangkan yang

memiliki kewajiban adalah yang memiliki legitimasi terbesar yang dalam hal ini,

menurut Pattison adalah NATO dan Hybrid forces. Jika tidak bisa, kemudian

kewajiban dilakukan oleh aktor yang paling memiliki legitimasi dibawahnya.52

Selain itu, Daniel Archibugi menawarkan proposal kosmopolitanisme

dalam menentukan aktor intervensi. Menurutnya, alternatif institusi

kosmopolitanisme dibutuhkan sebagai kerangka insitusional dalam intervensi

kemanusiaan agar dapat secara sistematis mengelola masalah dan perdebatan

dalam isu intervensi kemanusiaan. Moral kosmopolitan atas nilai universal HAM

dalam intervensi kemanusiaan akan menjadi sebatas omongan dan perdebatan

tanpa kejelasan jika institusi kosmopolitannya tidak dapat dibentuk.

                                                                                                               51 James Pattison, Humanitarian Intervention & Responsibility to Protect: Who Should Intervene? (New York: Oxford University Press, 2010), 176. 52 Ibid.

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 52: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

39  

Universitas Indonesia

Proposal institusi kosmopolistan yang ditawarkan Archibugi adalah (1)

Suatu kasus dievaluasi oleh komisi hukum internasional yang memiliki garis

pedoman (guideline) atas krisis untuk memberikan label darurat kemanusiaan dan

kemudian disetujui SU PBB, (2) yang melakukan otorisasi adalah pengadilan

dunia atas mandat oleh DK PBB, (3) sebuah komite kerjasama dan organisasi

humaniter sipil mengembangkan garis pedoman intervensi, (4) membentuk rescue

army permanen yang terdiri dari tentara, polisi dan sipil sebagai agen yang siap

untuk melakukan intervensi. Dan harus adanya kerelaan dari masyarakat global

dan negara untuk menerima institusi tersebut sehingga tercapai konsensus dalam

penerapan norma intervensi kemanusiaan, mencegah kekhawatiran kepentingan

agenda politik dalam intervensi, terutama oleh negara barat kepada negara

berkembang yang selama ini menjadi isu di permukaan. 53 Kedua proposal diatas

adalah diantara upaya untuk meminimalisir pengabaian terhadap kasus intervensi

dan membentuk mekanisme yang jelas terhadap aktor yang melakukan proses

kebijakan intervensi.

Namun, penulis berpendapat bahwa pada akhirnya keduanya akan sulit

dilakukan. Pertama, karena pemaksanaan atau penunjukkan kepada suatu

institusi seperti NATO untuk melakukan intervensi akan menciptakan

pelaksanaan yang apatis dan prematur karena suatu pembebanan terhadap institusi

– tidak akan tercipta rasa kepemilikan untuk mengatasi konflik. Kedua,

pembentukan institusi kosmopolitanisme akan sangat sulit untuk diciptakan.

Anggota DK PBB tidak akan mungkin menginginkan hak perogatifnya untuk

memberikan penilaian terhadap suatu kasus dalam intervensi kepada institusi lain

karena pada akhirnya hanya DK yang memiliki wewenang untuk memberikan

validasi penggunaan kekerasan untuk penyelamatan isu kemanusiaan sesuai

piagam PBB.

Oleh karena itu, bagian ini akan lebih melihat proposal tentang aktor

intervensi yang berlandaskan pada pendekatan bottom-up, yaitu aktor –aktor siapa

saja yang dapat mempengaruhi sistem penerapan R2P dalam PBB dan membantu                                                                                                                53 Daniele Archibugi, “Cosmopolitan Guidelines for Humanitarian Intervention“ Global, Local, Political 29, no. 1 (2004): 1-21. https://proxylogin.nus.edu.sg/libproxy1/public/login.asp?logup=false&url=http://www.jstor.org/stable/40645102

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 53: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

40  

Universitas Indonesia

pengangkatan isu kemanusiaan yang terjadi di berbagai belahan dunia. Dengan

pendekatan ini diharapkan suatu legitimasi moral dapat terbentuk untuk

menopang justifikasi bahwa suatu intervensi kemanusiaan harus atau tidak harus

dilakukan ke suatu negara.

Pertama, advokasi oleh suatu negara dan organisasi kawasan – kumpulan

beberapa negara di kawasan - dapat menjadi political game-changer. Advokasi

yang dilakukan oleh Australia dalam pengangkatan isu urgensi intervensi ke

Libya menjadi suatu pembelajaran bahwa negara pun dapat melakukan lobby dan

advokasi dalam prinsip dan penerapan R2P. Demikian pula halnya dengan

organisasi kawasan. Dengan kedekatan geografis, pengetahuan tentang

kewilayahan dan perasaan “ownership“ atas konflik yang terjadi di wilayahnya,

organisasi kawasan dapat menjadi garda terdepan dalam memberikan penilaian

atas isu kejahatan manusia atau bahkan terlibat secara langsung dalam upaya

intervensi militer untuk menghentikan suatu peristiwa genosida atau kejahatan

yang mendekati.

Mengingat skeptisme dan kecurigaan banyak datang dari kelompok negara

selatan (negara berkembang), sejatinya negara selatan juga dapat secara aktif

mengadvokasikan isu kemanusiaan yang terjadi di suatu sudut dunia. Hal ini akan

membentuk suatu mekanisme partisipati yang akan mebantu pembentukan

implementasi intervensi kemanusiaan yang lebih adil, transparan dan tidak tebang

pilih atau selektif dalam menyelamatkan warga sipil. Hal ini sesuai dengan

argumen Jennifer M. Welsch bahwa jika setiap anggota komunitas internasional

seharusnya menganggap intervensi kemanusiaan sebagai suatu tanggung jawab,

maka ia harus ikut terlibat setidaknya dalam mengadvoasikan urgensi isu.54

Dengan inilah kasus kompleks keruntuhan negara Somalia dan Sierra Leone

mungkin akan lebih mendapat dukungan dari pada suatu penggantian rezim.

Suatu keterlibatan negara selatan juga dapat mengatasi masalah yang

disebut Jonathan Graubart55 sebagai Pragmatic Liberal Intervention – penerimaan

                                                                                                               54 Jennifer M. Welsch, Taking Consequences Seriously: Objections to Humanitarian Intervention, 192. 55 Jonathan Graubart, “R2P and Pragmatic Liberal Interventionsim: Values in the Service of Interests,“ Human Rights Quarterly 35 (2013): 69-90, http://libra.naz.edu/validate?url=http%3A%2F%2F0-

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 54: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

41  

Universitas Indonesia

suatu kebijakan intervensi dengan justifikasi bahwa AS dan negara barat adalah

aktor yang patuh pada prinsip liberal demokrasi - HAM dan oleh sebab itu

merupakan aktor yang patut untuk menentukan dan melaksanakan suatu

intervensi. Hal inilah yang menurut penulis harus diatasi dengan intensifikasi

interaksi negara selatan dalam upaya pengangkatan isu hingga keterlibatan dalam

intervensi itu sendiri. Sejauh negara tersebut memiliki kemampuan, upaya ini

akan membentuk suatu kosolidasi dari apa yang disebut sebagai tanggung jawab

bersama dalam doktrin R2P.

Kedua, Richard Falk menawarkan bahwa kelompok independen dapat

memainkan perannya dalam perkembangan doktrin R2P. Kelompok independen

dapat memberikan saran terhadap kontroversi dalam intervensi kemanusiaan dan

akhirnya membentuk komisi independen yang terdiri dari aktor individu penting

dalam intervensi kemanusiaan. Suatu komisi dapat diinisiasikan oleh pemerintah

yang mendanai intervensi kemanusiaan, sehingga hasil dari penilaian dapat

mempengaruhi perbedaan pendapat publik terhadap intervensi. Inisiasi semacam

ini yang membentuk International Commission on Kosovo (IICK) dan setelah itu,

munculnya inisiasi pemerintah Kanada untuk membentuk International

Commission on Intervention and State Sovereignity (ICISS) yang pada tahun 2001

menghasilkan laporan R2P. 56 Pendekatan melalui pembentukan kelompok

independen ini telah terbukti dapat menghasilak laporan (ICISS 2011) yang secara

signifikan mempengaruhi dinamika perdebatan tentang intervensi kemanusiaan.

Oleh sebab itu, suatu pembentukan komisi independen semacam ini dapat menjadi

salah satu penopang pembentuk pengakuan internasional dan legitimasi moral

dalam R2P.

Contoh lainnya adalah World Tribunal on Iraq. Untuk mencapai tujuan

yang perlindungan HAM dalam intervensi kemanusiaan, kita harus dapat melihat

solidaritas dari bawah untuk melindungi kemanusiaan dari kejahatan masif yang

tidak dapat ditolerir. Pada tahun 2003, saat awal mula invasi AS dan Inggris ke

Irak, terdapat gerakan publik yang membentuk citizen tribunai (World tribuanal on

                                                                                                                                                                                                                                                                                                               muse.jhu.edu.libra.naz.edu%3A80%2Fjournals%2Fhuman_rights_quarterly%2Fv035%2F35.1.graubart.pdf 56 Richard Falk, Civil Society Perspectives on Humanitarian Intervention.

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 55: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

42  

Universitas Indonesia

Iraq) untuk mengusut kriminal AS dan pejabat sekutu saat operasi Irak. 57

Pengadilan ini adalah suatu inisiatif dari beberapa kaum intelek, advokat HAM dan

NGO yang ada dari 10 negara yang berbeda.58 Tidak satu pun pihak yang dapat

menghentikan invasi ke Irak oleh kedua sekutu, namun suatu pergerakan akar

rumpur seperti ini dapat bergerak atas dasar legitimasi kemanusiaan dan kesadaran

bersama. Secara idependen, gerakan akar rumput semacam ini dapat menilai secara

netral kebijakan invasi sekutu ke Irak.

Aktor ketiga adalah komunitas HAM. Genosida di Rwanda 1994

membunuh setidaknya 800.000 jiwa. Satu-satunya cara membuat pemerintah AS

bersedia untuk melancarkan intervensi pada saat itu adalah komunitas HAM yang

dapat mengumpulkan protes masif menuntut intervensi. 59 Meski adanya kewajiban

dalam konvensi Genosida, AS butuh tekanan oleh penduduknya untuk melakukan

hal yang benar, terutama ketika negara yang akan diintervensi tidak memiliki suatu

komponen kepentingan nasionalnya. Salah satu gagalnya intervensi kemanusiaan

yang tegas dan dapat mengentikan genosida di Rwanda adalah, menurut Gareth

Evan, kurangnya kapasitas dan pergerakan HAM sebagai alarm dalam kasus

Rwanda.

Terdapat 40.000 lebih NGO yang beroperasi secara internasional dan

jutaan lebih beroperasi dalam tingkat nasional. Hal ini menunjukkan bahwa NGO,

terutama yang bergerak di bidang HAM dan resolusi konflik, menjadi aktor yang

tidak bisa dilupakan begitu saja. Secara kolektif, aktor NGO dapat berperan dalam

perdebatan, baik sebagai think thank, institusi penelitian, forum kebijakan,

kampanye dan advokasi. Polling oleh Gallup pada Februari 2005 mengatakan

bahwa 86% orang Amerika percaya bahwa promosi dan perlindungan HAM di

negara lain adalah tujuan penting dalam kebijakan luar negeri AS. Ketika NGO

dapat berperan mengangkat isu ke permukaan dan menarik atensi masyarakat

maka, sebagai global power, Amerika Serikat tidak dapat menolak bahwa

kebijakan pemerintah AS untuk melakukan intervensi secara tegas demi menjaga

reputasi dan pengaruh globalnya.                                                                                                                57 Jonathan Graubart, R2P and Pragmatic Liberal Interventionism, 69-90. 58 “World Tribunal on Iraq,“ Transnational Institute, terakhir dimodifikasi 17 November 2005, diakses 2 Mei 2013, http://www.tni.org/archives/mil-docs_wti. 59 Gareth Evans, The Responsibility to Protect, 138.

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 56: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

43  

Universitas Indonesia

Suatu pemerintah tidak akan melakukan intervensi hanya semata-mata

untuk alasan menghentikan kejadian buruk terhadap orang lain jika tidak ada

hubungan atau dampak langsung kepada kepentingan ekonomi dan keamanannya.

Hal ini juga yang menjadi pertimbangan Presiden Clinton dalam mendukung

intervensi NATO di Kosovo. Oleh karena itu, untuk menjadikan R2P lebih dari

sekedar retorika dan slogan, dibutuhkan reaksi popular yang kuat dari konstituen

akar rumput sebagai suatu faktor signifikan yang dapat membantu mendobrak

hambatan kepentingan negara dalam menyelamatkan dunia bebas dari genosida

dan kejahatan masal atas kemanusiaan.

Keempat adalah aktor media. Koalisi pergerakan masyarakat dan media

tidak akan langsung menghentikan genosida, namun dapat memotivasi pejabat

publik, sistem pengadilan internasional dan bahkan mendorong mobilisasi militer.

Jika ingin menjadikan R2P sebagai mekanisme efektif untuk mengakhiri kejahatan

masal, sejumlah besar masyarakat dunia harus bersikeras dan berupaya

menunjukkan keinginan tersebut sama sekali. Tidak ada pemimpin (dengan

reputasi) yang tidak menanggapi hal tersebut. R2P harus diimplementasikan dalam

berbagai level berbeda dalam pembuatan keputusan, tidak hanya diantara kekuatan

pejabat publik tetapi juga masyarakat umum.60 Pelibatan atensi masyarakat suatu

negara dapat menjadi provokasi tersendiri bagi arah kebijakan luar negeri suatu

pemerintahan.

Menurut Lyon, semakin banyak faktor yang hadir, maka legitimasi dan

penerimaan masyarakat sipil terhadap tindak intervensi tersebut semakin tinggi.

Seperti indikator-indikator yang dapat ditunjukkan tabel dibawah ini.61

                                                                                                               60 William F. Schulz, “Spread Wide the Word: Organizing the Grassroots to End Atrocity Crimes“ dalam Responsibility to Protect: The Global Moral Compact for the 21st Century, ed. Richard H. Cooper dan Juliette Voinov Kohler (New York: Palgrave Macmillan, 2009), 187. 61 Alynna J. Lyon, “Global Good Samaritans: When Do We Heed `the Responsibility to Protect`?“ Irish Studies in Internaitonal Affairs 20 (2009): 41-54. http://www.jstor.org/discover/10.2307/25735149?uid=3738224&uid=2&uid=4&sid=21102525380537

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 57: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

44  

Universitas Indonesia

Tabel. 3 Faktor potensial pengaruh realisasi R2P

Melihat hasil riset diatas, keterlibatan liputan media dan pembentukan

opini publik dapat menjadi faktor yang mengadvokasikan dilaksanakan atau

tidaknya suatu intervensi. Seperti pada tabel diatas, intervensi yang dilakukan ke

Somalia dan Kosovo dilakukan dengan adanya opini publik dan liputan media

yang mendukung aktor intervensi mengirimkan pasukan untuk menyelamatkan

isu kemanusiaan melalui intervensi militer. Berbeda halnya dengan Rwanda yang

sekalipun kasus pelanggaran HAM-nya jelas, namun minimnya peliputan media

dan rendahnya opini publik telah membentuk urgensi bagi intervensi militer yang

tegas ke negara tersebut. Negara dengan kekuatan dominan, menurut realisme,

pada dasarnya akan mendahulukan kepentingan nasionalnya. Namun, faktor

legitimasi yang dibentuk oleh masyarakat internasional dapat mendorong suatu

negara atau komunitas internasional untuk melakukan suatu kebijakan yang lebih

tegas, dalam hal ini penghentian tragedi kemanusiaan. Dengan hal ini negara big

power tersebut dapa mempertahankan pengaruhnya dalam politik internasional.

Aktor kelima adalah pihak swasta. pihak swasta pun dapat mengambil

andil dalam suatu mekanisme advokasi penyelamatan isu kemanusiaan. Kerangka

R2P dalam World Summit 2005 tidak akan terjadi tanpa dukungan dari The

Carnegie Corporation, William and Flora Hewlett Foundation, Macarthur

Foundation, Rockfeller Foundation, dan Simons Foundation. Mereka adalah entitas

yang turut mendukung pembentukan Comission on Intervention and State

Sovereignity (ICISS) oleh pemerintah Canada pada tahun 2000.

Laporan ICISS memformulasikan konsep tanggung jawab untuk

melindungi, mencegah, dan membangun (Responsibility to protect, to prevent, and

to rebuild) yang kini telah diterima secara global. Oleh karena itu, senada dengan

pesan Sekjen Ban Ki Moon yang mengadakan pameran yang bertemakan

“Pelajaran dari Genosida Rwanda,“ yaitu pencegahan genosida adalah tanggung

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 58: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

45  

Universitas Indonesia

jawab kolektif dan individual. Setiap orang memiliki peranan: pemerintah, media,

organisasi masyarakat, kelompok agama and individu. Kemitraan global adalah hal

yang dibutuhkan.

Terdapat keuntungan komparatif yang dimiliki peranan pihak swasta

dibanding aktor pemerintah. Dalam beberapa kasus, pemerintah kurang bersedia

secara politik untuk bertindak karena harus mengorbankan uang dan waktu.

Sebagai contoh, saat Amerika telah banyak menghabiskan waktu dan uang untuk

Somalia, AS menolak secara bersamaan terlibat dalam kasus di Rwanda 1994. 62

Pihak swasta, berbeda dengan pemerintah, unggul dalam hal sumber daya

finansial, pengaruh, kemampuan bertindak cepat dan ketidakberpihakan. Tidak

adanya konflik kepentingan, pihak swasta memiliki independensi dalam upaya

investigasi HAM. Aktor swasta semacam ini dapat berkontribusi sebagai

komplementer upaya pemerintah dalam implementasi R2P dan upaya peace-

building, termasuk sebagai mediator.

                                                                                                               62 Adele Simmons dan April Donnellan, “Reaching Across Borders: Philantrophy`s Role in the Prevention of Atrocity Crimes“ dalam Responsibility to Protect: The Global Moral Compact for the 21st Century, ed. Richard H. Cooper dan Juliette Voinov Kohler (New York: Palgrave Macmillan, 2009), 145.

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 59: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

46  

Universitas Indonesia

BAB IV: ANALISIS TEORITIS

Melalui penjelasan diatas, perdebatan mengenai legitimasi intervensi

kemanusiaan R2P adalah suatu diskursus yang terbagi dan secara jelas

menimbulkan pertentangan pada tataran ide atas apa yang kemudian dinamakan

dengan legitimasi. Legitimasi legal terbentuk melalui kepatuhan atas peraturan

dalam Piagam PBB dan konvensi internasional terkait intervensi kemanusiaan dan

R2P. Dengan kata lain, aspek ini merupakan faktor regulatif dari ketentuan hukum

internasional yang mengatur interaksi dalam politik internasional. Sedangkan

legitimasi moral dibentuk atas dasar landasan kepatutan atas norma HAM

internasional bahwa komunitas internasional sudah selayaknya bertanggung jawab

untuk menghentikan tragedi kemanusiaan. Aspek moral ini menurut legitimasi

moral jauh lebih penting dibandingkan legitimasi legal dalam intervensi

kemanusiaan yang acap kali berhadapan dengan hambatan institusional dalam DK

PBB.

Melalui pembabakan perdebatan legalitas legal dan moral, penulis

berkesimpulan bahwa kedua aliran dan pandangan yang berbeda dalam

mendefinisikan aspek legitimasi ini merupakan perdebatan yang terjadi antara

narasi paradigma realisme dan konstruktivisme dalam ilmu hubungan

internasional. Kontestasi antara kedua paradigma ini dapat dijelaskan secara

komprehensif melalui penjelasan selanjutnya. Dalam penjelasan selanjutnya,

penulis akan menerangkan kontestasi yang terjadi melalui beberapa pembabakan

analisis, yaitu pertentangan antara: (1) Material melawan Ideasional, (2) Logika

konsekuensi (consequence) melawan logika kepatutan (appropriateness), (3)

Norma sebagai daya guna melawan norma sebagai hak,63 (4) Aktor Top-Down

melawan Agen Bottom-Up. Namun, sebelum menjelaskan keempat analisis

paradigmatis tersebut, subbab berikutnya akan terlebih dahulu menjelaskan secara

singkat teori realisme dan konstruktivisme.

                                                                                                               63 Aspek No (1), (2), dan (3) merupakan penamaan kontestasi yang digunakan dalam pembahasan rasionalisme Vs konstruktivisme oleh James Fearon dan Alexander Wendt, “Rationalism Vs Constructivism: A Skeptical View,“ dalam Handbook of International Relations, ed. Walter Carlsnaes, Thomas Risse, Beth A. Simmons (London: Sage Publication, 2002), 53-68.

 

46  Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 60: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

47  

Universitas Indonesia

4.1. Realisme dan Konstruktivisme

Realisme, sebagai salah satu teori tradisional dalam hubungan

internasional, memiliki fokus perhatian pada aktor negara. Hal ini tidak menafikan

peranan non-aktor seperti MNC, LSM, terorisme dan lainnya, tetapi negara

merupakan unit analisis utama dalam hubungan internasional. Selain itu, agenda

utama dalam realisme adalah keamanan nasional, dan isu lain seperti sosio-

ekonomil dan lainnya merupakan agenda sekunder.64 E. H. Carr dan Hans. J.

Morgenthau adalah aktor penting yang memulai penggunaan istilah realisme

dalam hubungan internasional. Mereka mengklaim bahwa tidak ada harmoni

dalam kepentingan antar negara.65

Asumsi dalam realisme neoklasik oleh Morgenthau berpendapat bahwa

setiap manusia memiliki keinginan untuk meningkatkan power-nya.66 Politik pada

dasarnya adalah perjuangan atas power atas pihak lain dan proses mendapatkan,

mempertahankan dan menunjukkan power tersebut membentuk suatu teknik dari

kebijakan politik. 67 Dalam politik Internasional, negara selalu berfokus pada

kepentingan nasional seperti keamanan dan kemakmuran. Untuk melindungi

kepentingan tersebut, intervensi dapat menjadu suatu opsi. Morgenthau

menyatakan bahwa intervensi dilakukan ketika kepentingan nasional

membutuhkannya dan ketika kekuatan kita memungkinkan untuk melakukannya.

Hal ini dilakukan melalui kalkulasi kepentingan dan kekuatan yang dimiliki.68 Hal

inilah yang kemudian disebut sebagai Realpolitik, sebuah kebijakan yang

berlandaskan pada pertimbangan kekuatan dan kepentingan material dari pada

pertimbangan etis dan ideal.69 Suatu perhitungan dan rasionalitas negara lebih

penting dari pada pertimbangan etis dan moralitas.

                                                                                                               64 Paul R. Viotti & Mark V. Kauppi, International Relations Theory: Realism, Pluralism, Globalism,“ 2nd ed. (New York: Macmillan Publishing Company, 1993), 63-64. 65 Martin Griffiths dan Terry O`Callaghan, IR The Key Concepts, (New York: Routledge, 2002), 261-263. 66 Robert Jackson and Georg Sørensen, Introduction to International Relations: Theories & Approaches, 4th ed. (New York: Oxford University Press, 2010), 66. 67 Ibid. 68 Hans Morgenthau, “To Intervene or Not to Intervene,” Foreign Affairs (1967), 103. http://www.foreignaffairs.com/articles/23877/hans-j-morgenthau/to-intervene-or-not-to-intervene 69 Alexander DeConde et al, Encyclopedia of American Foreign Policy (New York: Charles Scribner`s Sons, 2002), 552.

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 61: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

48  

Universitas Indonesia

Kenneth Waltz, akademisi ternama dalam neorealisme, berpendapat

bahwa fokus dalam realisme terletak pada sistem internasional yang anarkis dan

ketiadaan wewenang sentral yang mengatur politik internasional. Dalam sistem

internasional self-help, kebijakan luar negeri suatu negara ditentukan berdasarkan

kepentingan nasionalnya. 70 Negara secara kontinyu berupaya untuk

mempertahankan kepentingannya dan memastikan survival karena hanya dirinya

sendiri yang dapat mecanpai hal tersebut dalam sistem self-help. Dengan

demikian realisme klasik dan neorealisme memiliki kesamaan pada kepentingan

nasional dan keinginan negara untuk meningkatkan powernya. Sesuai narasi oleh

Hobbes yang pesimis akan karakter manusia yang mencitrakan keinginan negara

untuk terus menjadi kekuatan politik yang kuat karena ketiadaan “leviathan“ atau

kekuatan supernasional.71 Perbedaan keduanya terletak pada realisme klasik yang

berfokus pada karakter manusia yang mencari power, sedangkan neorealisme

berfokus pada sistem internasional yang anarkis.

Namun, politik tidak hanya sekedar perjuangan atas kekuatan, tetapi juga

suatu kontes dalam legitimasi. Power dan legitimasi adalah dua hal yang tidak

anti-tesis atau bertentangan, tetapi komplementer. Manusia pada dasarnya bukan

seutuhnya makhluk moral dan bukan pula seutuhnya sinis. 72 Adalah fakta politik

bahwa kepercayaan atas benar dan salah membantu seseorang untuk mengarahkan

tindakannya, dan oleh karena itu legitimasi merupakan salah satu sumber dari

kekuatan. Jika suatu negara dianggap tidak memiliki legitimasi, biaya politik dari

suatu kebijakan akan menjadi tinggi. Negara merujuk pada hukum internasional

dan organisasi untuk melakukan legitimasi terhadap kebijakan negaranya, dan hal

tersebut membentuk taktik dan hasil kebijakan.

***

Berbeda dari realisme, konsktruktivis adalah pendekatan dalam hubungan

internasional yang menekankan pada dimensi sosial dan intersubjektif dalam

politik dunia. Konstruktivis menentang bahwa hubungan internasional dapat

dipersempit dalam aksi rasional dan interaksi dalam hubungan material (seperti                                                                                                                70 Jonelle Lonergan, “Neo-Realism and Humanitarian Action: From Cold War to Our Days,” Journal of Humanitarian Assistance (2011): 58. 71 Viotti Kauppi, International Relations Theory, 40. 72 Oded Lowenheim, Predators and Parasites: Persistent Agents of Transnational Harm and Great Power Authority (US: University of Michigan Press, 2009), 35-36.

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 62: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

49  

Universitas Indonesia

nosi realis) atau dalam hambatan institusional (seperti nosi liberal). Bagi

konstruktivis, interaksi negara tidak mutlak ditentukan kepentingan nasional saja

tetapi dapat dimengerti sebagai suatu pola aksi yang membentuk dan dibentuk

oleh identitas yang terus berkembang seiring dengan waktu. Konstruktivis sosial

menunjukkan bahwa model interaksi interasional yang berbicara tentang pengaruh

normatif dalam struktur fundamental dari isntitusi dan hubungan antara perubahan

normatif dan identitas negara dan kepentingan. 73

Institusi internasional memiliki fungsi regulatif dan konstitutif. Norma

regulatif mengatur peraturan dasar untuk standardisasi pelaksanaan suatu

tindakan. Norma konstitutif mendefinisikan suatu tindakan dan membentuk suatu

arti terhadap perilaku tersebut. Tanpa norma konstitutif, suatu aksi tidak dapat

dimengerti secara komprehensif. Analogi yang paling baik dalam

mengilustrasikan pendekatan ini adalah suatu peraturan permainan, yaitu catur.

Norma konstitutif memungkinkan aktor untuk bermain dan membentuk

pengetahuan penting bagi aktor untuk melakukan respon terhadap langkah dan

strategsi satu sama lain.74 Institusi pada dasarnya adalah entitas kognitif yang

tidak ada tanpa adanya ide dari aktor tentang bagaimana dunia berinteraksi.

Konstruktivis memberikan perhatian yang lebih kepada institusi yang lahir atas

hal fundamental dalam masyarakat internaisonal, seperti hukum internasional,

diplomasi dan kedaulatan. Namun, rezim juga merupakan hal yang penting karena

dapat membentuk dampak yang bersifat konstitutif dan normatif.

                                                                                                               73 Martin Griffiths dan Terry O`Callaghan, IR The Key Concepts, 50-51. 74 Ibid.,

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 63: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

50  

Universitas Indonesia

4.1.1. HAM Internasional

Bagi seorang realis, norma internasional seperti HAM lahir dan mendapat

penerimaan melalui nilai tersebut dipromosikan oleh kekuatan hegemon atau

kelompok negara yang dominan. 75 Konten dari isu HAM merefleksikan

kepentingan dari negara tersebut yang memiliki keunggulan lebih kekuatan militer

dan ekonomi.76

Di lain pihak, konstruktivis mempertanyakan penjelasan berbasis

kepentingan oleh negara dalam sistem internasional. Ruggie berpendapat bahwa

mengetahui struktur kekuatan internasional membantu untuk mengerti bentuk

tatanan tetapi tidak isinya. Dibutuhkan informasi tambahan tentang norma dan ide

itu sendiri melalui struktur dari tujuan sosial, mengetahui konten dan konsekuensi.

Bagi konstruktivis, norma seperti HAM internasional menerima kekuatannya

karena kualitas universal intrinsiknya.

Menurut Schmitz dan Sikkink, terdapat tiga ketentuan konstruktivis terkait

HAM internasional. Pertama, kekuatan normatif memiki keterkaitan langsung

dengan prinsip Barat atau berasal dari potensinya untuk berkembang dengan ide

kehormatan manusia yang ada di berbagai kultur berbeda di seluruh dunia. Kedua,

suatu revolusi atau krisis besar dapat menjadikan pergeseran kekuatan yang akan

mempercepat penerimaan atas suatu ide dan norma baru. Sebagai misal akhir dari

Holocaust telah mendesak konsensus dunia untuk mengadopsi apa yang disebut

sebagai deklarasi universal HAM. Ketiga, aktor non-negara seperti Amnesty

internasional telah lahir sebagai aktor utama dalam HAM di tingkat global.77

Partisipasi mereka telah memiliki konstribusi tersendiri untuk mendapat

pengakuan dari aktor negara berdasarkan hasil kerja yang terpercaya dan

informasi akar rumput yang baik. Schmitz dan Sikkink menyimpulkan analisis

teoritisnya mengenai HAM internasional melalui tabel dibawah ini.78

                                                                                                               75 John G. Ikenberry dan Charles Kupchan, The Cost of Victory, 283-315. 76 Sephen D. Krasner, “Sovereignity, Regimes, and Human Rights,“ dalam Regime Theory and International Relations, ed. Volker Rittberger (Oxford: Clarendon Press, 1993) 66. 77 Ann Marie Clark, Diplomacy of Conscience: Amnesty International and Changing Human Rights (Princeton: Princeton University Press, 2001), 165. 78 Hans Peter Schmitz, Kathryn Sikkink, “International Human Rights“ dalam Handbook of International Relations, ed. Walter Calrsness, Thomas Risse dan Beth A. Simmons (London: Sage Publication, 2002), 522-524.

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 64: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

51  

Universitas Indonesia

Tabel. 4 HAM Internasional dalam Realisme dan Konstruktivisme

Realisme berpendapat bahwa HAM internasional pada dasarnya

merupakan pemaksaan penerimaan nilai dan norma HAM yang dilakukan oleh

kekuatan hegemoni untuk tetap mempertahankan kekuatannya dengan

menyebarkan nilai yang dianutnya. Untuk mengembangkannya, seorang realis

tidak akan sungkan untuk melakukan suatu praktek kekerasan agar norma yang

dianutnya dapat diterima. Meskipun upaya dominasi ditunjukkan untuk

mempertahankan kekuatan dan kepentingan nasional, realis akan berupaya untuk

beradaptasi dalam menggunakan media dan saluran yang dapat digunakan,

termasuk upaya justifikasi dalam mendapatkan legitimasi.

Dilain pihak, konstruktivis percaya bahwa HAM internasional datang

melalui suatu upaya sosialisasi norma oleh apa yang disebut dengan “norm

entrepreneur.“ Suatu norma pada dasarnya membentuk nila-nilai yang dianut

aktor internasional dan suatu interaksi sosial kemudian menyebabkan

pembentukan aspek baru dalam norma tersebut; hal yang disebut sebagai aspek

konstitutif dalam aspek institusional konstruktivisme. Suatu perkembangan yang

melalui proses yang timbal balik ini menciptakan suatu penerimaan aktif terhadap

nilai. Suatu jaringan advokasi internasional juga secara signifikan berkontribusi

pada penerimaan HAM internasional dengan kesadaran aktor yang bersangkutan.

Suatu penerimaan ini pada akhirnya tercipta karena adanya kesadara moralitas dan

logika kepatutan bahwa manusia memiliki hak dasar yang sama dalam hidup

untuk dapat terlindungi dari kekerasan dan suatu tirani.

Teori Asal Evolusi Jalur Kepatuhan

Mode aksi

Realisme

Pemaksaan hegemoni

Dominasi hegemoni

Praktek

kekerasan

Dominasi dan

adaptasi

Konstruktivisme

Mobilisasi normatif melalui “norm

entrepreneur“

Perkembangan

norma dan sosialisasi

transaksional

Penerimaan

aktif; sosialisasi

oleh jaringan advokasi

transnasional

Logika

kepatutan: argumentasi

moral

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 65: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

52  

Universitas Indonesia

4.2. Kontestasi Paradigmatis dalam Aspek Legitimasi

4.2.1. Material melawan Ideasional

Perdebatan antara legitimasi legal dan moral dalam intervensi berupa

kontestasi antara aspek material melawan ideasional suatu doktrin. Salah satu

perbedaan mendasar dalam paradigma realisme dan konstruktivis adalah fokus

terhadap faktor material dan faktor ide atau suatu nilai dalam masyarakat

internasional. Sebagai seorang rasionalis, realisme percaya bahwa suatu aktor

selalu bertindak atas dasar kepentingan diri atas suatu keuntungan material,

sedangkan konstruktivis percaya bahwa manusia selalu bertindak dengan landasan

norma atau nilai universal yang diakui dalam banyak kultur – suatu abstraksi nilai

yang secara bersama diyakini dan dipercayai dalam menjalani hidup. 79

Konstruktivisme tidak menolak adanya kepentingan material yang melandasi

pemikiran dan tindak-tanduk seseorang tetapi meyakini bahwa terdapat peranan

kesadaran sosial (social consciousness) yang lebih mendasari tindakan awal dari

suatu kebijakan.

Seorang realis tetap berupaya untuk membentuk justifikasi kemanusiaan

dalam aksi intervensinya. Oded Lowenheim berargumen bahwa power dan

legitimacy pada akhirnya bukan sesuatu yang anti-tesis tetapi saling melengkapi.

Adanya institusi PBB menjadi potensi negara kekuatan besar untuk membentuk

legitimasi dan menciptakan tingkat wewenangnya dalam organisasi tersebut.

Sehingga, kekuatan material dasar yang dimiliki di tingkatkan dalam suatu

konvensi sosial internasional dalam bentuk legitimasi. Namun, sesuai logika

dasarnya yang materialistik, legitimasi dapat diabaikan ketika kepentingan

nasional yang ingin dituju jauh lebih penting dan signifikan bagi negara.

Dalam konteks ini, seorang realis akan melakukan intervensi kemanusiaan

terhadap negara yang dirasa merupakan bagian dari kepentingan nasionalnya

untuk menghentikan tragedi kemanusiaan yang ada dan menjaga stabilitas serta

kontrol di negara atau kawasan tersebut. Kemudian, realis cenderung memandang

sebelah mata terhadap tragedi kemanusiaan di negara lain. Hal inilah yang                                                                                                                79 James Fearon dan Alexander Wendt, “Rationalism Vs Constructivism: A Skeptical View,“ dalam Handbook of International Relations, ed. Walter Carlsnaes, Thomas Risse, Beth A. Simmons (London: Sage Publication, 2002), 58-59.

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 66: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

53  

Universitas Indonesia

mengangkat isu selektivitas dalam intervensi. Ketika Somalia, Rwanda,

Srebrenica dan Darfur dinilai tidak begiu urjen untuk intervensi militer yang

tegas, kasus di Irak 2003 dan Georgia 2008 menjadi intervensi yang dilakukan

oleh negara P5 sekalipun tanpa validasi dari DK PBB. Padahal kasus di negara-

negara yang disebut diawal (Somalia, Rwanda) menunjukkan pelanggaran HAM

internasional yang nyata, tetapi tidak ada intervensi militer yang tegas untuk

menghentikan pelanggaran HAM yang terjadi.

Begitu pula dengan intervensi NATO di Kosovo dan Libya. NATO

memiliki kepentingan untuk melindungi keamanan kawasannya dan AS ingin

menunjukkan kontrol keamanannya di Eropa melalui peranan NATO untuk

intervensi kemanusiaan di Kosovo. Sama halnya di Libya 2011, AS dan sekutu

melakukan intervensi untuk mempertahankan pengaruh politik di Libya dan

kawasan Timur Tengah, terkait dengan kepentingannya akan percadangan minyak

terbesar di kawasan tersebut. Disinilah realisme berhasil menjelaskan perdebatan

legitimasi intervensi kemanusiaan yang pada akhirnya dimanfaatkan oleh negara

adidaya untuk melancarkan dan melindungi kepentingan material nasionalnya.

Dari aspek konstruktifis, Ide bahwa manusia memiliki kehormatan untuk

mendapat perlindungan dari kekerasan adalah nilai yang diakui dalam berbagai

kultur diseluruh dunia. Ide ini merupakan nilai universal yang dibawa dalam R2P

yang seharusnya dapat dimenangkan melalui doktrin R2P. Akan tetapi, dunia

yang anarkis dan eksistensi realpolitik terus menjadi bayangan yang akan selalu

ada dalam menegakkan norma HAM melalui instrimen internasional yang disebut

dengan R2P.

4.2.2. Logika konsekuensi melawan logika kepatutan

(Logic of consequence Vs logic of appropriateness)

Cara berikut dalam melihat kontestasi realisme dan konstruktivisme dalam

menginterpretasikan perdebatan legitimasi intervensi kemanusiaan adalah dengan

menarik premisnya ke dalam tataran logika berpikir. Logika konsekuensi

merupakan suatu pola berpikir yang menilai suatu tindakan berdasarkan kalkulasi

terhadap mekanisme mana yang paling efisien. Sedangkan logika kepatutan

adalah pola pikir yang bertindak melalui pertimbangan penerimaan atas suatu

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 67: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

54  

Universitas Indonesia

kebiasaan yang telah ada dalam masyarakat; hal-hal apa saja yang pantas untuk

dilakukan. Hal ini berarti melalui logika kepatutan, manusia bertindak untuk dapat

secara sosial diterima dan dianggap sesuatu yang patut untuk dilaksanakan.

Logika kepatutan merupakan premis yang membentuk legitimasi moral

dalam pelaksanakaan intervensi kemanusiaan. Legitimasi inilah yang kemudian

memenangkan invasi NATO ke Kosovo tahun 1999 yang dianggap beberapa ahli

(Eric A. Heinze, Richard Falk) sebagai sesuatu yang memiliki legitimasi moral

dan penerimaan internasional meskipun ilegal karena terhambat oleh veto Cina

dan Rusia. Intervensi dianggap dapat diterima karena hal tersebut adalah suatu

kebijakan yang patut dilakukan untuk menyelamatkan warga Albania dan Serbia

Kosovo. Perkembangan logika kepatutan moral ini mencerminkan bahwa

internalisasi dari norma HAM internasional terus berkembang dan mendapat

atensi yang kuat dari berbagai pihak internasional.

Logika konsekuensi dalam bagian ini dapat menjelaskan bagaimana

realisme menjadi paradigma yang melatarbelakangi negara untuk

mempertahankan negara dan isu keamanannya. Sebagai contoh, Intervensi AS ke

Irak 2003 dan Rusia ke Georgia 2008 merupakan upaya intervensi (namun tidak

legitimasi) yang sebenarnya lebih tepat disebut sebagai self-defense. Meskipun

power dan legitimasi dapat menjadi komponen yang saling melengkapi, intervensi

Irak dan Georgia dilakukan tanpa legitimasi sama sekali oleh PBB dan

masyarakat internasional. Hal dilakukan dengan pertimbangan kuat atas

kepentingan nasional negara pengintervensi untuk mendapatkan atau

mempertahankan kepentingan mereka di negara yang bersangkutan. Kuatnya

keinginan tersebut melampaui signifikansi pembentukan legitimasi dan

mengambil konsekuensi untuk tetap melancarkan intervensi secara unilateral

tanpa landasan hukum dan pengakuan internasional. Aspek legalitas secara

pragmatis ditinggalkan karena apabila intervensi tidak dilakukan, konsekuensi

atau biaya politik (political cost) yang akan ditanggung menjadi signifikan.

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 68: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

55  

Universitas Indonesia

4.2.3. Norma sebagai kegunaan melawan norma sebagai hak

Rasionalis berpendapat bahwa manusia mengikuti norma sesuai hanya

karena dan ketika kepatuhan tersebut memiliki manfaat untuknya, sedangkan

konstruktivis menganggap bahwa seseorang termotivasi untuk mengikuti norma

karena mereka berpikir hal tersebutlah yang benar atau memiliki legitimasi untuk

dilakukan, bukan karena pragmatis untuk kepentingan sendiri. Kontruktivis

melihat suatu preferensi atas norma (tindakan atau norma apa yang akan

diprioritaskan) seperti `taste`, sebagai contoh untuk coklat (makanan); di mana

preferensi tersebut tidak mendahului dan melanggar suatu kekuatan norma yang

mendasarinya.80

Aspek legalitas dalam dokumen dan konvensi mengenai R2P yang multi-

interpretatif dan kurang spesifik menjadi alat rasionalisasi bagi seorang realis

untuk menentukan perlunya intervensi dilakukan atau tidak. Rasionalisasi ini

dilakukan oleh anggota P5 yang memiliki sentralitas dalam pelaksanaan intervensi

kemanusiaan. Hal ini menjadi suatu cara tersendiri untuk melakukan praktik

kekerasan dengan justifikasi R2P.

Beberapa aspek yang menjadi celah interpretasi tersebut adalah: (1) R2P

sebagai tanggung jawab bersama tidak secara jelas menyatakan pihak atau

institusi mana yang pada akhirnya memiliki hak dan kewajiban dalam aksi

intervensi. (2) Tidak dimasukkannya kriteria Just War, (3) ketidakjelasan

indikator kegagalan negara dalam melindungi warga sipilnya (sehingga aksi

intervensi militer dapat dilakukan) dengan membentuk suatu rasional yang

meyakinkan bahwa negara yang bersangkutan telah gagal atau belum dapat

melindungi warganya. Beberapa faktor ini mencerminkan suatu upaya legalisasi

R2P secara moderat ke dalam hukum internasional, sehingga Dewan keamanan

lebih memiliki keluwesan dalam menginterpretasikan kapan, kepada siapa dan

bagaimana intervensi militer dapat dilaksanakan. Suatu norma yang dijadikan

kegunaan bagi kepentingan nasional pihak atau negara tertentu.

Ambiguitas dalam menginterpretasikan juga dapat dilihat dalam berbagai

pidato oleh pemimpin negara aktor intervensi. Sebagai contoh, Tony Blair

                                                                                                               80 Alexander Wendt, Rationalism Vs Constructivism, 60-61.

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 69: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

56  

Universitas Indonesia

menyatakan pandangannya tentang invasi Kosovo pada April 199981, sebagai

berikut:

“Under international law a limited use of force can be justifiable in support of purposes laid down by the Security Council but without the Council’s express authorization when that is the only means to avert an immediate an overwhelming humanitarian catastrophe. Any such case would in the nature of things be exceptional and would depend on an objective assessment of the factual circumstances at the time and on the terms of relevant decisions of the Security Council bearing on the situation in question.“ Dalam pernyataan diatas terlihat argumen pemerintah inggris yang cukup

ambigu dan multi-interpretatif. Pertama bencana kemanusiaan luar biasa

(overwhelming humanitarian catastrophe) yang disebutkan pada akhirnya

dapat diinterpretasikan secara subjektif dan tidak terukur secara jelas. Kedua,

Kasus luar biasa tersebut pada akhirnya akan diputuskan melalui keputusan

relevan dari DK sehingga kekuatan politik DK PBB untuk menentukan kapan

intervensi tanpa wewenang dapat dilakukan masih menjadi keuntungan

interpretasi subjektif dari salah satu atau beberapa anggota DK PBB saja. Hal

ini menjelaskan bagaimana norma dapat dilihat sebagai suatu kegunaan.

Di lain pihak, konstruktivis memandang suatu kodifikasi R2P dalam

sistem PBB sebagai upaya untuk menegakkan norma HAM sebagai norma yang

universal dan dapat dimiliki oleh setiap individu di atas dunia. Perkembangan dan

evolusi doktrin intervensi kemanusiaan menjadi kewajiban untuk melindungi atau

R2P setidaknya membuktikan penguatan suatu nilai intrinsik universal atas Hak

Azazi manusia bagi komunitas internasional. Untuk itu, suatu persepsi hak

sebagai norma universal harus tetap dipegang teguh dan dipromosikan kepada

dunia.

                                                                                                               81 Jane Stromseth, Rethinking Humanitarian Intervention, 247.

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 70: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

57  

Universitas Indonesia

4.2.4. Aktor Top-Down melawan Agen Bottom-Up

Konstruktivis memberikan penjelasan sosiologis dalam sistem

internasional bahwa aturan menjadi suatu bagian dari identitas aktor melalui

proses aktif sosialisasi dan internalisasi.82 Seseorang pun mengadopsi suatu aturan

bukan karena seutuhnya ia percaya kepada aturan tersebut, tetapi juga karena

proses konformitas untuk membentuk suatu keadaan legitimasi. 83 Hal ini

memberikan penjelasan bahwa suatu norma HAM internasional dan doktrin R2P

dapat menjadi suatu nilai yang berkembang dan berkelanjutan melalui proses

sosialisasi dan advokasi sehingga dapat memperdalam internalisasi nilai tersebut

kepada suatu aktor atau komunitas. Dengan demikian, suatu proses negosiasi,

sosialisasi dan advokasi kepada komunitas internasional untuk menciptakan

kepatutan dalam pelaksanaan intervensi kemanusiaan adalah hal yang siginifikan

dan memiliki arti penting untuk dilakukan.

Skeptisme yang muncul antara negara utara dan selatan atas kecurigaan

(imperialisme modern) dalam upaya intervensi adalah hal yang nyata. Namun, hal

ini bukan berarti suatu upaya bottom-up tidak akan mempengaruhi perkembangan

nilai dan norma internasional dan bagaimana aktor-aktor terkait (terutama negara)

dalam melihat, meyakini dan bertindak terhadap norma HAM internasional

tersebut. Menurut Risse, sosialisasi dan aktor non-negara memiliki peranan

berbeda yaitu sebagai agent of change.84 Krasner juga mengatakan bahwa aktor

negara yang terlibat dalam imitasi mimesis (mimetic imitation/ secara habitual

menjadi terbiasa) dalam bentuk superfisial karena mereka tidak yakin terhadap hal

yang harus dilakuan.85 Dengan demikian, suatu upaya negosiasi dan diskusi yang

berkelanjutan akan membentuk kebiasaan dan akhirnya penerimaan terhadap

seberapa intens kita menginginkan konsep R2P dipegang dan dilaksanakan

sebagai kebijakan politik internasional.

                                                                                                               82 Risse et all, The power of Human Rights: International Norms and Domestic Change (Cambridge: Cambridg University, 1999), 134. 83 William H. Meyer, “Confirming, Infirming, and Falsifying Theory of Human Rights: Reflection on Smith, Bolyard and Oppolito through the Lens of Lakatos,“ Human Rights Quarterly, 21 (1997): 189. 84 Risse, Thomas, Ropp, Stephen dan Sikkink, Kathryn (eds), The Power of Human Rights: International Norms and Domestic Change (Cambridge: Cambridg University, 1999), 228. 85 Stephen D. Krasner, Sovereignty: Organized Hypocrisy (Princeton: Princeton University Press, 1999), 64.  

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 71: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

58  

Universitas Indonesia

Jika aspek legalitas dalam legitimasi hanya menciptakan suatu pendekatan

top-down dalam pembuatan kebijakan intervensi kemanusiaan dengan sentralitas

DK PBB yang begitu kuat, legitimasi moral menjelaskan peranan agen-agen

lainnya yang dapat menyokong penerapan doktrin R2P. Melalui pembahasan

bagian akhir dalam aspek legitimasi moral, kita dapat mengidentifikasi beberapa

aktor yang dapat berkontribusi dalam proses sosialisasi dan internalisasi doktrin

R2P dalam intervensi yaitu: agen independen, aktor negara dan organisasi

kawasan, organisasi HAM, media, dan pihak swasta.

Dalam proposal peranan aktor ini, upaya negara selatan atau negara

berkembang tentunya akan berkontribusi pada penegakkan penerapan intervensi

kemanusiaan yang lebih transparan dan adil terhadap tragedi kemanusiaan.

Konstruktivis telah memberikan aspek emansipasi dalam perkembangan norma

HAM internasional dan internalisasi penerapan doktrin R2P. Melalui kapabilitas

dan peranan masing-masing, aktor tersebut diatas sejatinya dapat berkontribusi

secara signifikan dalam membentuk implementasi R2P yang lebih adil dan tepat

sasaran dalam menanggulangi tragedi kemanusiaan di berbagai belahan dunia.

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 72: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

59  

Universitas Indonesia

BAB V: PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Sebagai suatu norma internasional yang terus berkembang, intervensi

kemanusiaan/ Responsibility to Protect (R2P) menghadapi berbagai dilema politik

dalam tataran perumusan kebijakan dan implementasinya dalam sistem PBB.

Dilema tersebut terjadi dalam aspek legitimasi, legalitas, moral dan metode

intervensi. Dalam aspek legitimasi, terdapat perbedaan pandangan dalam

menentukan apakah suatu intervensi memiliki legitimasi atau tidak dalam

kebijakannya. Pada satu sisi, legitimasi dilihat sebagai suatu konformitas terhadap

aturan dan hukum yang ada sehingga membentuk legitimasi legal. Di lain pihak,

legitimasi dilihat sebagai suatu penerimaan komunitas internasional dengan dasar

nilai moralitas suatu intervensi melalui justifikasi tragedi kemanusiaan di suatu

negara dan aktor intervensi yang multilateral. Perbedaan pandangan ini terjadi

akibat acap kali terjadi kontestasi kepentingan politik diantara negara anggota

Dewan Keamanan (DK) PBB dalam memutuskan suatu kebijakan intervensi.

Alhasil, muncul nuansa skeptisme dari berbagai pihak, termasuk negara selatan

yang curiga akan keranga intervensi yang dapat digunakan negara big power

sebagai upaya imperialisme modern.

Skeptisme muncul dari perdebatan legal dan moral yang melandasi suatu

intervensi yang bertabrakan degan kontestasi kepentingan dan penggunaan veto

dalam Dewan Keamanan (DK) PBB. Intervensi ke Kosovo, Irak, Georgia

merupakan contoh kebijakan intervensi yang dilancarkan tanpa wewenang PBB

dan menciptakan fase baru bagi doktrin R2P. Perdebatan terletak pada pertanyaan

apakah suatu intervensi harus dilakukan melalui legitimasi legal atau legitimasi

moral atau dengan prasyarat kedua aspek legitimasi tersebut. Namun demikian,

R2P kian terus berkembang hingga digunakan secara resmi dalam sistem PBB

pada tahun 2005. Tanpa adanya legitimasi, sudah jelas intervensi kemanusiaan

akan semakin mempertajam kesenjangan dan kecurigaan antar negara (antar

negara maju dan negara berkembang yang dapat menjadi potensi target

intervensi).

 

59  

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 73: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

60  

Universitas Indonesia

Kajian ilmiah dalam review literatur ini menghasilkan pemetaan

perdebatan yang terjadi dalam aspek legalitas dan aspek moralitas dalam

pembentukan legitimasi kebijakan intervensi kemanusiaan PBB. Aspek legalitas

dilihat melalui tiga unit analisis yaitu wewenang Dewan Keamanan PBB yang

mencerminkan sentralitas anggota DK PBB, mekanisme prosedural aktor

intervensi yang ada dalam sistem PBB, dan analisis dokumen dan konvensi terkait

intervensi kemanusiaan/ R2P. Sedangkan aspek moralitas pembentuk legitimasi

ditelaah melalui tiga unit analisis yakni perkembangan doktrin R2P sebagai norma

internasional, legitimasi moral yang dibentuk formasi multilateralisme dalam

intervensi dan kualifikasi humaniter aktor, dan proposal tentang aktor intervensi.

Melalui analisis komparatif dalam tiga unit analisis tersebut, review

literatur ini mengidentifikasi bahwa pertentangan yang terjadi antara aspek-aspek

pembentukan legitimasi diatas merupakan pengejawantahan dari pertentangan

paradigmatis yang ada dalam teori ilmu hubungan internasional: realisme dan

konstruktivisme. Perdebatan ini dapat dilihat melalui gambaran empat analisis,

yaitu: (1) faktor material lawan ideasional, (2) logika konsekuensi lawan logika

kepatutan, (3) norma sebagai kegunaan lawan norma sebagai hak, dan (4) aktor

top-down lawan agen bottom-up.

Literatur review ini tidak bermaksud untuk menilai aspek legitimasi yang

mana yang lebih baik maupun teori ilmu hubungan internasional mana yang lebih

bisa menjelaskan dilema politik dalam legitimasi intervensi kemanusiaan. Analisis

dilakukan untuk memetakan perdebatan akademis yang ada dalam suatu kajian

ilmiah dan mengektraksikannya dalam analisis teoritis. Satu hal penting yang

dapat dimengerti dari pembahasan dalam literatur review ini adalah bahwa

meskipun intervensi kemanusiaan dan R2P memiliki kerentanan atas

penyalahgunaan (abuse) terhadap kepentingan suatu pihak tertentu, penjelasan

konstruktivisme dapat mengangkat aspek emansipasi dalam penerapan R2P dan

internalisasi aspek legitimasi dalam norma HAM internasional. Suatu diskursus

norma R2P harus tetap dilanjutkan untuk sosialisasi dan advokasi tujuan

kemanusian di komunitas internasional. Pendekatan bottom-up oleh aktor negara

(termasuk negara selatan) dan non-negara dapat secara signifikan berkontribusi

untuk memperkuat doktrin R2P dan membentuk legitimasi menuju penciptaan

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 74: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

61  

Universitas Indonesia

intervensi kemanusiaan yang adil dan bermoral, menyelamatkan individu dari

kejahatan kemanusiaan. Melalui diskursus ini, seperti argumen Mulligan dan

Clark, legitimasi pada akhirnya dapat berkembang menjadi suatu pemaknaan

terhadap norma di mana masyarakat internasional dapat melihat suatu peristiwa

sesuai dengan kompleksitas dengan dinamika politik, aspek legal-moral,

konsensus dan isu power dalam tataran praktis.

5.2. Rekomendasi

Analisis paradigmatis yang dilakukan dalam membandingkan aspek

legitimasi suatu intervensi kemanusiaan dalam review literatur ini telah

memberikan gambaran analisis kontestasi dua teori besar dalam ilmu hubungan

internasional. Namun, penulis menyadari bahwa kajian ilmiah ini hanya berfokus

pada analisis aspek legitimasi pada tataran ide dan teori ilmu hubungan

internasional, tanpa melakukan penelitian dan survei terhadap interpretasi negara-

negara anggota PBB dalam melihat legitimasi moral doktrin R2P. Oleh karena itu,

dibutuhkan suatu penelitian lanjutan yang dapat menelaah secara lebih mendalam

pertentangan legitimasi tersebut dalam tataran praktis kebijakan politik

internasional dan posisi negara terhadap legitimasi moral dalam intervensi

kemanusiaan.

Kajian ilmiah ini juga memberikan rekomendasi kepada negara selatan

dan aktor non-negara untuk dapat berperan aktif dalam proses sosialisasi dan

internalisasi suatu nilai dan norma R2P sebagai instrumen penyelamatan isu

kemanusiaan yang terjadi di berbagai belahan dunia. Dengan peranan Bottom-up

dari aktor tersebut, maka suatu proses konformitas terhadap doktrin dan

mekanisme kolaborasi serta check and balance dapat menyokong penciptaan

intervensi yang adil dan tepat sasaran.

Semoga kajian dalam review literatur ini dapat memberikan landasan

untuk pembahasan dan penelitian terkait selanjutnya dan memberikan inspirasi

serta manfaat akademis maupun praktis bagi pembaca.

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 75: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

62  

Universitas Indonesia

DAFTAR REFERENSI

“World Tribunal on Iraq,“ Transnational Institute, terakhir dimodifikasi 17

November 2005, diakses 2 Mei 2013, http://www.tni.org/archives/mil-docs_wti.

A. J. R. Groom dan Taylor, Paul. “The United Nations System and the Kosovo Crisis.“ Dalam Kosovo and the Challenge of Humanitarian Intervention: Selective Indignation, Collective Action, and International Citizenship. Diedit oleh Albrecht Schnabel & Ramesh Takur, 291-318. Tokyo: United Nations University, 2002.

Archibugi, Daniele. “Cosmopolitan Guidelines for Humanitarian Intervention.“ dalam Global, Local, Political, 29, no. 1 (2004). https://proxylogin.nus.edu.sg/libproxy1/public/login.asp?logup=false&url=http://www.jstor.org/stable/40645102

Bellamy, Alex J., Motives, outcomes, Intent and the Legitimacy of Humanitarian Intervention, (Brisbane: University of Quesland, 2004).

Chomsky, Noam. Humanitarian Intervention. Dalam Boston Review Edisi (Desember 1993/ Januari 1994). http://www.chomsky.info/articles/199401--02.htm

Christian, Reus-Smit, “International Crisis of Legitimacy.“ Dalam International Politics (2007) 44, doi:10.1057/palgrave.ip.8800182.

Clark, Ann Marie. Diplomacy of Conscience: Amnesty International and Changing Human Rigts. Princeton: Princeton University Press, 2001.

David Chandler, The Responsibility to protect, Center for the Study of Democracy, University Westminster, http://www.tandfonline.com/loi/finp20.

De Conde, Alexander, Richard Dean Burns, Fredrik Logevall, dan Louise B. kertz. Encyclopedia of American Foreign Policy. New York: Charles Scribner`s Sons, 2002.

Dunne, Tim & Gifkins, Jess. “Libya and the State of Intervention.“ Australian Journal of International Alffairs Vol. 65, No. 5 http://www.tandfonline.com/loi/caji20.

Evan, Gareth. The World Today. 68. 8/9 (Oct/ Nov 2012): 30-32 .earch.proquest.com.libproxy1.nus.edu.sg/docview/1170904293.

Evans, Gareth. “Russia in Georgia: Not a Case of The Responsibility to Protect.“ New Perspectives Quarterly 25, no. 4 (2008). The center for the Study of Democratic Institutions. /doi/10.1111/npqu.2008.25.issue-4/issuetoc.

Evans, Gareth. The Responsibility to Protect: Ending Mass Atrocity Crimes Once and For All, Washington: Brookings Institution, 2008.

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 76: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

63  

Universitas Indonesia

Falk, Richard. Civil Society Perspectives on Humanitarian Intervention. dalam Journal of Civil Society Vol. 4, No. 1,3-14, (2008). http://www.researchgate.net/journal/1744-8689_Journal_of_Civil_Society.

Feinstein, Lee dan Erica. Beyond De Bruin. “Words: U.S. Policy and the Responsibility to Protect.“ Dalam Responsibility to Protect: The Global Moral Compact for the 21st Century. Diedit oleh Richard Cooper H. & Juliette Voinov Kohler, 139. New York: Palgrave Macmillan. 2009.

Garwood, Andrew. China and the Responsibility to Protect: The Implications of the Libyan Intervention,“ Asian Journal of International Law 2 (2012): 375-393. http://eprints.qut.edu.au/49903/

Glanville, Luke. “The International Community`s Responsibility.“ dalam Protecting the Displaced: Deepening the Responsibility to Protect. Diedit oleh Davies, Sara E. dan Luke Glanville, 225. Netherlands: Koninklijke Brill NV, 2010.

Graubart, Jonathan. R2P and Pragmatic Liberal Interventionsim: Values in the Service of Interests. Human Rights Quarterly 35 (2013) 69-90. US: The John Hopkins University Press, 2013.

Griffiths, Martin dan Terry O`Callaghan. IR The Key Concepts. New York: Routledge, 2002.

Hehir, Aidan. Humanitarian Intervention: An Introduction. London: Palgrave Macmillan, 2010.

Heinze, Eric. A. Waging Humanitarian Law: the Ethics, Law, and Politics of Humanitarian Intervention. Oxford: Oxford University Press, 2005.

Ikenberry, G. John. “The Costs of Victory: American Power and the Use of Force in the Contemporary Order.“ Dalam Kosovo and the Challenge of Humanitarian: Selective Indignation, Collective Action, and International Citizenship. Diedit oleh Albrecht Schnabel dan Ramesh Takur, 283-315. Tokyo: United Nations University Press, 2000.

Jackson, Robert & Sørensen, Georg. Introduction to International Relations: Theories &Approaches. 4th ed. New York: Oxford University Press, 2010.

Jonelle Lonergan. “Neo-Realism and Humanitarian Action: From Cold War to Our Days.“ Journal of Humanitarian Assistance, (2011).

Krasner, Sephen D. “Sovereignity, Regimes, and Human Rights.“ dalam Regime Theory and International Relations. Diedit oleh Volker Rittberger, 66. Oxford: Clarendon Press, 1993.

Krasner, Stephen D. Sovereignty: Organized Hypocrisy. Princeton: Princeton University Press, 1999.

Lowenheim, Oded. Predators and Parasites: Persistent Agents of Transnational Harm and Great Power Authority. US: University of Michigan Press, 2009.

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 77: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

64  

Universitas Indonesia

Lyon, Alynna J. “Global Good Samaritans: When do we Heed `the Responsibility to protect`?.“ dalam Irish Studies in Internaitonal Affairs, Vol. 20 (2009): 41-54. http://www.jstor.org/discover/10.2307/25735149?uid=3738224&uid=2&uid=4&sid=21102525380537

Meyer, William H. “Confirming, Infirming, and Falsifying theory of Human Rights: Reflection on Smith, Bolyard and Oppolito through the Lens of Lakatos.“ Human Rights Quarterly, 21 (1997).

Morgenthau, Hans. “To Intervene or Not to Intervene,” Foreign Affairs. (1967). http://www.foreignaffairs.com/articles/23877/hans-j-morgenthau/to-intervene-or-not-to-intervene

Nuruzzaman, Mohammed. “The Responsibility to Protect Doctrine: Revived in Libya, Buried in Syria.“ Insight Turkey 15, no. 2 (2013): 57-66. search.proquest.com.libproxy1.nus.edu.sg/docview/1350533876.

Pace, William, Nicole Deller, dan Sapna Chatpar. “Realizing the Responsibility to Protect in Emerging and Acute Crisis: A Civil Society Proposal for the United Nations.“ Dalam Responsibility to Protect: The Global Moral Compact for the 21st Century. Diedit oleh Richard H. Cooper dan Juliette Voinov Kohler. New York: Palgrave Macmillan, 2009.

Pattison, James. Humanitarian Intervention & Responsibility to Protect: Who should intervene?. New York: Oxford University Press, 2010.

Ramesh Takur, The United Nations, Peace and Security, Cambridge: Cambridge University Press, 2006.

Risse, Thomas, Ropp, Stephen dan Kathryn Sikkink. The Power of Human Rights: International Norms and Domestic Change. Cambridge: Cambridge University, 1999.

Roberts, Sir Adam. “The United Nations and Humanitarian Intervention.“ Dalam Humanitarian Intervention and Internaional Relations. Diedit oleh Jennifer M Welsch, 162. New York: Oxford University Press, 2004.

Schmitz, Hans Peter dan Sikkink, Kathryn. “International Human Rights.“ dalam Handbook of International Relations. ed. Walter Calrsness, Thomas Risse dan Beth A. Simmons, 522-524. London: Sage Publication, 2002.

Schulz, William F. Spread Wide the Word: Organizing the Grassroots to End Atrocity Crimes. Dalam Responsibility to Protect: The Global Moral Compact for the 21st Century. Diedit oleh Richard H. Cooper dan Kohler, Juliette Voinov, 187. New York: Palgrave Macmillan, 2009.

Simmons, Adele dan Aprill Donnellan. “Reaching Across Borders: Philantrophy`s Role in the Prevention of Atrocity Crimes.“ Dalam Responsibility to Protect: The Global Moral Compact for the 21st Century. Diedit oleh Cooper, Richard H. & Kohler, Juliette Voinov, 145. New York: Palgrave Macmillan, 2009.

Stahn, Carsten. “Responsibility to Protect: Political Rehtoric or Emerging Legal

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013

Page 78: UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20350931-TA-Niwa Rahmad.pdfDennys, Garlan, Fatya dan Mike. ... beserta perangkat yang ada ... 4.2.1. Faktor

 

65  

Universitas Indonesia

norm?. “ The American Journal of International Law,101, no. 1 (2007). http://www.jstor.org/stable/4149826

Stanford Encyclopedia of Philosophy, diakses pada 23 Mei 2013, http://plato.stanford.edu/entries/legitimacy/)

Stanulova, Maya. Has Humanitarian Intervention Become an Exception to the Prohibition on the Use of Force in Article 2(4) of the UN Charter?. England: Edinburgh University, 2010.

Stromseth, Jane. Rethinking Humanitarian Intervention: The Case for Incremental Change. dalam Humanitarian Intervention: Ethical, Legal, and Political Dilemmas. Diedit oleh Robert O. Keohane dan J. L. Holzgrefe, 247. Cambridge University Press: Cambridge, 2003.

Teson, Fernando R. The Liberal Case for Humanitarian Intervention. dalam Humanitarian Intervention: Ethical, Legal, and Political Dilemmas. ed. Robert Keohane dan J. L. Holzgrefe. New York: Cambridge University Press, 2003.

Viotti, Paul R. & Kauppi, Mark V. International Relations Theory: Realism, Pluralism, Globalism 2nd ed. New York: Macmillan Publishing Company, 1992.

Welsch, Jennifer M. Taking Consequences Seriously: Objections to Humanitarian Intervention. dalam Humanitarian Interventiona and Internaional Relations. Diedit oleh Jennifer M. Welsch. New York: Oxford University Press, 2004.

Wendt, Alexander dan James Fearon. “Rationalism Vs Constructivism: A Skeptical View.“ dalam Handbook of International Relations. Diedit oleh Walter Carlsnaes, Thomas Risse, Beth A. Simmons, 53-68. London: Sage Publication, 2002.

Wheeler, Nicholas J. “The humanitarian Responsibility of Sovereignty: Explaining the Development of a New Norm of Military Intervention for humanitarian purposes in International Society.“ dalam Humanitarian Intervention and International Relations. Diedit oleh Jennifer M. Welsch. New York: Oxford University Press, 2004.

Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013