undang undang desa dan permasalahan sosial budaya.docx

94
Undang Undang Desa dan Permasalahan Sosial Budaya Oleh: Dr. Didik Sukriono, SH., M.Hum. 1 Pendahuluan Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa yang dikenal dengan sebutan UU Desa telah disahkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dan dinggap sebagai babak baru dalam pembagian kekuasaan, penataan dan desentralisasi Desa. Terbitnya UU Desa ini dianggap sebagai pengakuan negara atas eksistensi Desa sebagai sebuah wilayah otonom, baik desa sebagai sebuah kesatuan hukum maupun desa sebagai kesatuan adat di Nusantara. Selanjutnya sebagai dasar dan petunjuk hukum implementasi UU Desa, Pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa. UU Desa ini oleh banyak kalangan dikatakan sebagai UU Desa terlengkap dibanding UU Desa sebelumnya. UU ini telah mengakomodasi banyak hal yang muaranya untuk melindungi dan memberdayakan desa agar menjadi kuat, maju, mandiri dan demokratis. Dalam UU ini kedudukan desa ditempatkan pada posisi lebih terhormat dan diakui sebagai subyek yang berprakarsa. Selanjutnya di dalam Penjelasan UU ini juga disebutkan, bahwa “Mengingat kedudukan, kewenangan, dan keuangan desa yang semakin kuat, penyelenggaraan pemerintahan desa diharapkan lebih akuntabel yang didukung oleh sistem pengawasan dan keseimbangan antara pemerintah desa dan lembaga desa”. Artinya secara substantif UU ini, memberikan kepercayaan, amanah dan tanggung jawab kepada berbagai pihak, yaitu jajaran pemerintahan nasional, daerah, lokal, terutama para pemangku kepentingan di desa-desa. 2 Salah satu kekuatan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa adalah adanya komitmen negara untuk mengakui atau rekognisi dan 1 . Dosen Hukum dan Kewarganegaraan (HKn) Universitas Negeri Malang, Anggota Dewan Pembina Malang Corruption Watch (MCW) , Anggota Asosiasi Pengajar HTN dan HAN, Anggota Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jl. Klayatan Gg. I No. 12 Malang, Email: [email protected] , Hp. 0816552682. 2 Penjelasan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, Fokusmedia Bandung, 2014, Hlm. 79.

Upload: neola-prayogo

Post on 14-Nov-2015

71 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Undang Undang Desa dan Permasalahan Sosial BudayaOleh:Dr. Didik Sukriono, SH., M.Hum.[footnoteRef:2] [2: . Dosen Hukum dan Kewarganegaraan (HKn) Universitas Negeri Malang, Anggota Dewan Pembina Malang Corruption Watch (MCW), Anggota Asosiasi Pengajar HTN dan HAN, Anggota Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jl. Klayatan Gg. I No. 12 Malang, Email: [email protected], Hp. 0816552682.]

PendahuluanUndang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa yang dikenal dengan sebutan UU Desa telah disahkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dan dinggap sebagai babak baru dalam pembagian kekuasaan, penataan dan desentralisasi Desa. Terbitnya UU Desa ini dianggap sebagai pengakuan negara atas eksistensi Desa sebagai sebuah wilayah otonom, baik desa sebagai sebuah kesatuan hukum maupun desa sebagai kesatuan adat di Nusantara. Selanjutnya sebagai dasar dan petunjuk hukum implementasi UU Desa, Pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa. UU Desa ini oleh banyak kalangan dikatakan sebagai UU Desa terlengkap dibanding UU Desa sebelumnya. UU ini telah mengakomodasi banyak hal yang muaranya untuk melindungi dan memberdayakan desa agar menjadi kuat, maju, mandiri dan demokratis. Dalam UU ini kedudukan desa ditempatkan pada posisi lebih terhormat dan diakui sebagai subyek yang berprakarsa. Selanjutnya di dalam Penjelasan UU ini juga disebutkan, bahwa Mengingat kedudukan, kewenangan, dan keuangan desa yang semakin kuat, penyelenggaraan pemerintahan desa diharapkan lebih akuntabel yang didukung oleh sistem pengawasan dan keseimbangan antara pemerintah desa dan lembaga desa. Artinya secara substantif UU ini, memberikan kepercayaan, amanah dan tanggung jawab kepada berbagai pihak, yaitu jajaran pemerintahan nasional, daerah, lokal, terutama para pemangku kepentingan di desa-desa.[footnoteRef:3] [3: Penjelasan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, Fokusmedia Bandung, 2014, Hlm. 79.]

Salah satu kekuatan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa adalah adanya komitmen negara untuk mengakui atau rekognisi dan melindungi desa-desa atau nama lain di seluruh Indonesia guna melaksanakan konstitusi pasal 18 B UUD 1945. Desa-desa tersebut tidak saja diakui secara legal formal oleh negara, tetapi juga diberikan jaminan sumber pendapatan yang pasti yang berasal dari APBN, APBD, dan sumber pendapatan asli desa itu sendiri.Mencermati ketentuan-ketentuan dalam UU Desa di atas, sekilas terlihat sangat indah dan mulia, tetapi jika melihat proses kelahirannya yang tidak lepas dari desakan Parade Nusantara atau kalangan LSM sebagai kelompok penekan (pressure group) yang memobilisasi perangkat desa, maka UU tersebut cenderung bersifat segmented, artinya hanya menguntungkan segmen-segmen tertentu, khususnya kepala desa dan perangkat desa, LSM dan parpol-parpol. Masyarakat desa dalam UU itu tetap hanya dijadikan obyek katimbang subyek. Pendekatan kapitalistik dengan menebar uang ke desa dalam UU tersebut, dapat dikatakan mirip dengan politik uang (money politics) yang dilegalkan oleh negara.[footnoteRef:4] [4: Internet]

Oleh karena itu kajian terhadap UU Desa merupakan keharusan dan bukan tidak mungkin UU Desa ini juga berpotensi menimbulkan permasalahan-permasalahan sosial budaya baru serta cenderung bersifat counter-productive terhadap cita-cita membangun desa dan kesejahteraan warga perdesaan. Salah satu indikatornya adalah UU Desa ini bukan affirmative policy yang memposisikan seluruh rakyat desa sebagai pihak pertama yang akan dibela dan diberdayakan. Seharusnya UU ini menentukan angka minimal, misalnya 50% dari total anggaran desa, diwajibkan dialokasikan untuk membangun infrastruktur publik pedesaan (jalan-jalan desa/kampung, pemeliharaan parit-parit, kuburan-kuburan desa, perpustakaan desa, membangun gedung-gedung sekolah TK/SD/SMP, puskesmas, merawat saluran irigasi desa, meningkatkan sanitasi kampung-kampung nelayan, dsb.).Ketidakmunculan angka afirmatif dalam UU Desa ini, maka hal negatif yang perlu diantisipasi adalah penyimpangan keuangan desa oleh aparatur pemerintahan desa (kepala desa, perangkat desa dan anggota-anggota Badan Permusyawaratan Desa) atau pihak ketiga (rent-seekers/para pemburu rente). Dengan demikian salah satu kelemahan pokok UU desa ini adalah anggaran desa dihabiskan atau dihambur-hamburkan, misalnya untuk upacara-upacara adat yang terlalu sering dilakukan, dikorupsi aparatur desa, untuk diboroskan dengan membeli mobil atau sepeda motor dinas; untuk studi banding, atau untuk foya-foya.

Refleksi Pengaturan Desa di Era Orde BaruSebelum terbentuknya negara modern, desa merupakan entitas sosial yang memiliki identitas dan kelengkapan budaya asli, tradisi atau pranata lokal yang beragam, sebuah pemerintahan yang demokratis, dan pernah memiliki otonomi khas (asli) dalam mengatur kehidupannya sendiri (self governing community).[footnoteRef:5] Antara desa, kerajaan, ataupun negara merupakan sama-sama bentuk organisasi yang berbeda kawasannya, namun sama obyek dan subyek pelakunya, yaitu rakyat.[footnoteRef:6] [5: Koentjaraningrat, Masyarakat Desa di Indonesia, (Jakarta: LPFE UI,1984), hlm. 1-18. Lihat juga. Prof. Sayogjo, "Pengantar" dalam Duto Sosialismanto, Hegemoni Negara, Ekonomi Politik Pedesaan di Jawa, (Yogyakarta: LAPERA Pustaka Utama. 2001), hlm. xiv-xv. ] [6: Francis Wahono, Bersekongkol atau Saling Kontrol, dalam Duto Sosialismanto, Ibid, hlm. Xxi.]

Realitas desa di atas, telah mengalami perubahan, yakni kemiskinan, keterisoliran dan ketidakberdayaan. Tetapi ironisnya, pada masa Orde Lama dan Orde Baru justru diklaim memberikan kontribusi signifikan terhadap bidang ekonomi dan politik. Reforma Agraria (di Jawa masa Orde Lama), program pembangunan, transmigrasi, Keluarga Berencana, kerja bakti, ABRI Masuk Desa (AMD), aktivitas inovasi pertanian (padi varietas unggul) dan intensifikasi pertanian; semuanya berlangsung di desa. Bahkan dalam pemilihan umum, para kandidat partai politik mengandalkan dukungan masa yang berasal dari rakyat desa. Gambaran tersebut sekaligus menunjukkan kecenderungan obyektifikasi desa oleh tekanan politik dan ekonomi yang umumnya berasal dari luar desa.[footnoteRef:7] [7: Irene Heraswati Gayatri, Dinamika Kelembagaan Desa: Gampong Era Otonomi Khusus Aceh, LIPI, 2007, hlm. 2. ]

Obyektifikasi desa dalam bentuk regulasi jika ditarik garis waktu sejak zaman Orde Baru sampai dengan reformasi, pemerintah telah empat kali melakukan pergantian undang-undang untuk mengatur tentang desa, yaitu UU No. 5 Tahun 1979, UU No. 22 Tahun 1999, UU No. 32 Tahun 2004, dan terakhir adalah UU No. 6 Tahun 2014. Keempat undang-undang tersebut, konsep desa diberi definisi secara beragam, meskipun secara subtansial keempat definisi tersebut tidak jauh berbeda. Konsekuensi perbedaan definisi desa, secara normatif sangat berpengaruh pada wewenang yang dimiliki oleh desa. UU No. 5 Tahun 1979 memberikan definsi desa sebagai suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. UU No. 22 Tahun 1999 definisi desa atau nama lain sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten. Sedang UU No. 32 Tahun 2014 memberikan definisi desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-asul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dan UU No. 6 Tahun 2014 desa didefinisikan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus pemerintahan berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.[footnoteRef:8] [8: Undang Undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa, Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undang Undang Nomor32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.]

Perbedaan definisi yang terlihat kontras adalah UU No. 5 Tahun 1979, di mana desa dianggap sebagai suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk. Desa hanya diposisikan hanya sebagai sebuah tempat masyarakat tinggal dan hidup. Sedang UU UU No. 6 Tahun 2014 terdapat penambahan menjadi desa adat sebagai bentuk akomodasi oleh pemerintah terhadap beberapa desa di daerah yang memiliki keunikan dan berbeda dari desa pada umumnya (desa adat). UU No. 5 Tahun 1979, desa tidak diberikan hak penuh dalam mengelola pemerintahannya, namun berada di bawah Camat. Sedang UU berikutnya, desa diberikan kewenangan lebih luas (otonomi) utuk mengurus daerahnya berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat. Kata asal-usul tersebut dianggap menutup pintu partisipasi masyarakat, sehingga kata tersebut diubah menjadi prakarsa dalam UU terbaru. Dengan menggunakan kata prakarsa diharapkan dapat mampu membuka partisipasi seluas-luasnya terhadap masyarakat.[footnoteRef:9] [9: Fahrul Muzaqqi dan Priyatmoko Dirdjosuseno, Urgensi UU No. 6 Tahun 2014 Dalam Konteks Desa-Desa Di Jawa Timur, Disampaikan pada Sosialisasi dan Bintek Pengembangan Kapasitas Camat dan Kepala Desa Untuk Menunjang Tatakelola Desa Mandiri, Sejahtera dan Partisipatoris Berbasiskan UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa, September-Nopember 2014, Hlm. 12.]

Politik hukum UU No. 5 Tahun 1979 adalah menyeragamkan desa, yakni ada semangat campur tangan pemerintah pusat terhadap desa. Artinya desa tidak diberikan akses untuk mewadahi dan memfasilitasi keanekaragaman yang dimiliki. Implikasinya desa tidak lagi diimajinasikan memiliki keistimewaan dan orisinalitasnya yang beragam, melainkan diperlakukan secara seragam (diseragamkan). Hal tersebut berdampak pada hilangnya hak ulayat dan hak atas sumber kehidupan, seperti hak atas hutan yang dimiliki desa menjadi milik negara dan pungutan atas kekayaan alam yang diambil alih oleh pemerintah daerah tingkat I dan II. Sebagai gantinya pemerintah desa mendapatkan Uang Pembangunan Desa (Bangdes) dari pemerintah pusat. Di samping itu muncul pula Lembaga Musyawarah Desa (LMD) sebagai penampung aspirasi masyarakat. Namun, pimpinan lembaga tersebut dirangkap oleh Kepala Desa dan Sekertaris Desa.[footnoteRef:10] [10: Ibid, Fahrul Muzaqqi dan Priyatmoko Dirdjosuseno, Hlm. 12.]

Selanjutnya dalam UU No. 22 Tahun 1999 terdapat pergeseran atas posisi dan kewenangan desa dengan unit pemerintahan di atasnya (negara). Pergeseran itu terutama pada bagaimana otonomi desa mulai ditekankan kembali setelah sekian lama di bawah sentralisme politik dan penyeragaman desa. Landasan pemikiran dalam UU ini adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi, dan pemberdayaan masyarakat. Penyelenggaraan pemerintahan desa merupakan subsistem dari sistem penyelenggaraan pemerintahan, sehingga Desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya. Kepala Desa bertanggung jawab kepada Badan Perwakilan Desa dan menyampaikan laporan pelaksanaan tugasnya kepada Bupati. Badan Perwakilan Desa (BPD) mempunyai posisi sangat kuat dan berfungsi sebagai lembaga legislasi, pengawasan dalam pelaksanaan Peraturan Desa (Perdes), Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes), dan Keputusan Kepala Desa. Kepada desa diberikan kewenangan eksplisit yang mencakup: (a) kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa, (b) kewenangan yang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku belum dilaksanakan oleh daerah dan pemerintah, serta (c) tugas pembantuan yang diberikan oleh pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten. Ruang kosong kewenangan pemerintahan yang belum diisi oleh pemerintah daerah dan oleh pemerintah pusat, menurut UU ini sebenarnya boleh diambil oleh desa, tetapi realitasnya tidak mudah diisi.[footnoteRef:11] [11: Ibid, Fahrul Muzaqqi dan Priyatmoko Dirdjosuseno, Hlm. 13.]

Kemudian dalam UU No. 32 Tahun 2014 menempatkan desa bukan sekadar sebagai komunitas yang memerintah sendiri (self-governing community), melainkan juga pemerintahan lokal yang mandiri (local self government). Namun demikian, pada saat yang sama UU ini memperkenalkan konsep urusan pemerintahan. UU ini hanya membagi urusan pemerintahan dan pada saat yang sama tidak membagi kewenangan pemerintahan. Artinya kewenangan desa mengikuti urusan yang diberikan oleh pemerintah di atasnya. Istilah otonomi desa dalam UU ini didefinisikan secara terbatas, yakni dilaksanakan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya, nyata dan bertanggungjawab yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan perimbangan keuangan.[footnoteRef:12] [12: Prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah/desa diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Daerah/Desa memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah/desa untuk memberi pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah/Desa. Sedangkan otonomi yang bertanggungjawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah/Desa termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.]

Terdapat dua prinsip utama pembagian kewenangan dalam UU ini, yaitu: (1) kewenangan pemerintah yang secara absolut tidak dapat dilimpahkan kepada daerah/desa karena menyangkut kepentingan kelangsungan hidup bangsa dan negara, antara lain meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional serta agama; dan (2) tidak ada urusan pemerintah yang sepenuhnya dapat diserahkan kepada daerah/desa. Sedangkan bagian-bagian kewenangan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah/desa hanya kewenangan yang menyangkut kepentingan masyarakat setempat, dan atas dasar prinsip ini kewenangam yang dimiliki desa secara otonom hanya akan terjadi pada kewenangan asal-usul saja sebagaimana dalam pasal 206 huruf a.Otonomi desa yang dikandung dalam semangat UU No. 32 Tahun 2004 bersifat pemberian dan bukannya bawaan, yaitu kewenangan yang diperoleh atas dasar pemberian oleh unit pemerintahan yang lebih tinggi. Sedangkan hak bawaan merupakan serangkaian hak yang muncul dari suatu proses sosial, ekonomi, politik dan budaya dari suatu masyarakat hukum tertentu, termasuk hasil dari proses interaksi dengan persekutuan-persekutuan masyarakat hukum lainnya.[footnoteRef:13] Otonomi sebagai hak berian itu secara implisit masih menggambarkan bahwa desa pada dasarnya masih belum otonom sejauh tidak diberikan otonomi oleh pemerintahan di atasnya (negara). Semangat otonomi terbatas (pemberian) dijelaskan secara lebih detail dalam PP No. 72 Tahun 2005. Pasal 7 PP itu menyatakan, urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa mencakup: (a) urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa; (b) urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa; (c) tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota; dan (d) urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa. [13: Taliziduhu Ndraha, Desa Masa Depan, Garis Depan Demokrasi, dalam Angger Jati Wijaya, et.al., Reformasi Tata Pemerintahan Desa menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, bekejasama dengan YAPPIKA dan Forum LSM DIY, 2000.]

Dalam hal pemerintahan desa, UU No. 32 Tahun 2004 menjelaskan pemerintahan desa terdiri dari Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Kepala Desa mempunyai kewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada Bupati/Walikota, memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada BPD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada masyarakat. Kepala Desa tidak lagi bertanggung jawab kepada BPD sebagaimana ketentuan pada UU sebelumnya. Untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat di tingakt desa, ditegaskan bahwa sekretaris desa (Sekdes) diisi oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS), yang artinya seorang pejabat/pegawai karier

Politik Hukum Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa Jika merunut ke belakang, landasan yuridis politik hukum pemerintahan desa dapat digambarkan sebagai berikut:[footnoteRef:14] [14: Didik Sukriono, Politik Hukum Pemerintahan Desa Dalam Perspektif Filosofis, Yuridis dan Sosiologis, Majalah Ilmu Hukum Kertha Wicaksana, Universitas Warmadewa Denpasar, Volume 17 No. 2, Juli 2011, Hlm. 170.]

No.PerundanganDesa

1.Regeringsreglement (RR) Pasal 71, Tahun 1854.Mengatur tentang pengesahan dan pemilihan Kepala Desa dan Pemerintah Desa, serta hak Desa untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.

2.Osamu Seirei No. 7 tahun 2604 (1944)Pemilihan dan pemberhentian kepala desa, dan sebutan kepala desa sebagai Kuco.

3.UU No. 1 Tahun 1945Tidak ada pengaturan tentang desa secara eksplisit

4UU No. 22 Tahun 1948Kemungkinan atau mengarahkan desa sebagai Daerah Otonom Tingkat III

5UU No. 1 Tahun 1957Kemungkinan dibentuk Daerah Otonom Tingkat III, namun harus hati-hati

6UU No. 19 Tahun 1965Desa ditempatkan sebagai Daerah TingkatIII dengan tata dan sebutan Desapraja

7.UU No. 5 Tahun 1974Mengaturan tentang pemerintahan Desa yang berdasar perundang-undangan tersendiri.

8.Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1978 tentang GBHNBerisi: memperkuat pemerintahan desa agar makin mampu menggerakkan masyarakat datam partisipasinya dalam pembangunandan penyelenggaraan administrasi desa yang makin meluas dan efektif. Untuk itu perlu disusun Undang-Undang tentang Pemerintahan Desa.

9.UU 5 Tahun 1979Desa berkedudukan langsung di bawah Camat, dimana Camat merupakan Kepala Wilayah yang menjalankan satuan pemerintahan vertikal (dekonsentrasi).

10.UU 22 Tahun 1999Desadiaturdalamsuatuundang-undang dengan Pemerintahan Daerah. Desa merupakan subsistem dari pemerintahanyangpengaturannya lebihlanjut diserahkankepadadaerahKabupatendenganmembentukPerda.Tanpa ada penjelasan lanjut mengenai subsistem, maka posisi desa berada di dalam atau di luar rumah tangga kabupaten.

11.UU 32 Tahun 2004Desakembaliditempatkandalam undang-undang mengenai Pemerintahan Daerah, yang menempatkan desa di dalam pemerintahan Kabupaten/Kota.

Selanjutnya arah UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, sebagaimana telah disahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 15 januari 2014, bertujuan: (1) Memberikan pengakuan dan penghormatan atas desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia; (2) Memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia;(3) Mmelestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat desa; (4) mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat desa untuk pengembangan potensi dan aset desa guna kesejahteraan bersama; (5) Membentuk pemerintahan desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab; (6) Meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum; (7) Meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat desa guna mewujudkan masyarakat desa yang mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional; (8) Memajukan perekonomian masyarakat desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional; dan(9) Memperkua tmasyarakat desa sebagai subjek pembangunan.[footnoteRef:15] [15: Pasal 4 Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, Fokusmedia, Bandung, 2014, Hlm. 5-6.]

Sedangkan asas pengaturan dalam UU Desa ini adalah: (1) Rekognisi, yaitu pengakuan terhadap hak asal usul;(2) Subsidiaritas, yaitu penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat desa; (3) Keberagaman, yaitu pengakuan dan penghormatan terhadap sistem nilai yang berlaku di masyarakat desa, tetapi dengan tetap mengindahkan sistem nilai bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; (4) Kebersamaan, yaitu semangat untuk berperan aktif dan bekerja sama dengan prinsip saling menghargai antara kelembagaan di tingkat desa dan unsur masyarakat desa dalam membangun desa; (5) Kegotongroyongan, yaitu kebiasaan saling tolong-menolong untuk membangun desa;(6) Kekeluargaan, yaitu kebiasaan warga masyarakat desa sebagai bagian dari satu kesatuan keluarga besar masyarakat desa; (7) Musyawarah, yaitu proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan masyarakat desa melalui diskusi dengan berbagai pihak yang berkepentingan; (8) Demokrasi, yaitu sistem pengorganisasian masyarakat desa dalam suatu sistem pemerintahan yang dilakukan oleh masyarakat desa atau dengan persetujuan masyarakat desa serta keluhuran harkat dan martabat manusia sebagai makhluk tuhan yang maha esa diakui, ditata, dan dijamin; (9) Kemandirian, yaitu suatu proses yang dilakukan oleh pemerintah desa dan masyarakat desa untuk melakukan suatu kegiatan dalam rangka memenuhi kebutuhannya dengan kemampuan sendiri.[footnoteRef:16] [16: Pasal 3 Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, Fokusmedia, Bandung, 2014, Hlm. 5.]

Pertimbangan disahkannya UU Desa Nomor 6 Tahun 2014 adalah: (1) Bahwa desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat dan berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (2) Bahwa dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, desa telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalammelaksanakanpemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dansejahtera; (3) Bahwa desa dalam susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan perlu diatur tersendiri denganundang-undang.[footnoteRef:17] [17: Konsideran Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, Fukusmedia, Bandung, 2014, Hlm.1]

Konsideran di atas, didasarkan atas landasan semangat penerapan amanat konstitusi, yaitu pengaturan masyarakat hukum adat sesuai dengan ketentuan Pasal 18B ayat (2) untuk diatur dalam susunan pemerintahan sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (7). Walaupun demikian, kewenangan kesatuan masyarakat hukum adat mengenai pengaturan hak ulayat merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan sektoral yang berkaitan. Lebih lanjut juga disebutkan, dengan konstruksi menggabungkan fungsi self-governing community dengan local self government, diharapkan kesatuan masyarakat hukum adat yang selama ini merupakan bagian dari wilayah Desa, ditata sedemikian rupa menjadi Desa dan Desa Adat.UU ini memberikan posisi yang kuat kepada kepala desa dan memperkenalkan lembaga baru yang disebut musyawarah desa yang merupakan sebuah forum permusyawaratan yang diikuti oleh BPD, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat desa untuk memusyawarahkan hal yang bersifat strategis. Artinya, setiap desa harus menghidupkan sebuah forum politik yang inklusif di mana persoalan strategis dimusyawarahkan bersama. Dengan demikian diharapkan masyarakat desa akan berkembang menjadi komunitas yang kohesif. Dalam pengelolaan pembangunan, UU ini menggunakan dua pendekatan, yaitu Desa membangun dan membangun Desa. Penggabungan pendekatan itu dimaksudkan agar pembangunan desa efektif meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui penyediaan pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan. Untuk itu, desa harus menyusun perencanaan pembangunan sesuai dengan kewenangannya dengan mengacu pada perencanaan pembangunan kabupaten/kota. Dokumen rencana pembangunan desa merupakan satu-satunya dokumen perencanaan di desa dan sebagai dasar penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. Perencanaan pembangunan desa diselenggarakan dengan mengikutsertakan masyarakat desa melalui musyawarah perencanaan pembangunan desa, yang menetapkan prioritas, program, kegiatan, dan kebutuhan pembangunan desa yang didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, swadaya masyarakat desa, dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota. Pembangunan desa dilaksanakan dengan semangat gotong royong serta memanfaatkan kearifan lokal dan sumber daya alam desa. Sementara itu, pelaksanaan program sektor yang masuk ke desa diinformasikan kepada pemerintah desa dan diintegrasikan dengan rencana pembangunan desa. Kebersamaan dan kohesivitas akan lebih mudah direalisasikan jika ditegakkan tanpa transparansi. Masyarakat desa berhak mendapatkan informasi dan melakukan pemantauan mengenai rencana dan pelaksanaan pembangunan desa. Menyadari sangat pentingnya tranparansi, UU ini mengharuskan dikembangkannya sistem informasi desa yang bisa diakses oleh masyarakat desa dan semua pemangku kepentingan.

Potensi Permasalahan Sosial BudayaBanyak sekali perubahan mendasar dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, mulai dari pengelolaan keuangan desa, pembagian kekuasaan politik desa, pengelolaan sumber daya dan strategi pembangunan desa-desa di Indonesia. Perubahan-perubahan itu nampaknya tidak mudah untuk disinkronisasikan dengan realitas masyarakat pedesaan terkini dan berpotensi menimbulkan permasalahan baru dalam kehidupan sosial budaya. Potensi permasalahan-permasalahan sosial budaya dalam UU ini, dapat dipetakan sebagai berikut:1. Konsep desa dan desa adatPengertian desa adat berbeda antara sebelum terbitnya UU Desa ini dengan sesudah terbitnya UU ini. Di Bali. Pengertian desa adat adalah tempat pelaksanaan ajaran agama dalam sepirit takwa, etika, dan upacara yang bertalian pada wilayah pawongan (warga/krama desa), palemahan (wilayah desa), dan parahyangan (keyakinan agama). Sedangkan dalam UU ini, desa adat adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat. Perbedaan konsep desa adat ini dapat diapstikan menimbulkan gejolak di kemudian hari.Ketentuan Pasal (6) UU Desa, bahwa desa terdiri dari desa dan desa adat, tetapi penjelasan pasal 6 dinyatakan bahwa dalam satu wilayah hanya terdapat desa atau desa adat dan untuk daerah yang sudah terjadi tumpang tindih antara desa dan desa adat dalam satu wilayah harus dipilih salah satu jenis sesuai dengan ketentuan UU Desa itu. Implikasi dari ketentuan ini akan menyebabkan desa adat (Desa Pakraman) di Bali akan hilang, karena semata-mata ingin mendapatkan dana bantuan Rp. 1 miliar dari APBN. Nama Desa Pakraman mungkin masih ada, tetapi ruhnya akan hilang karena harus dilantik dan diatur kepengurusannya oleh pemerintah. Padahal keberadaan desa dinas dan desa adat di Bali sudah berjalan baik dan mempunyai fungsinya berbeda, yaitu desa dinas mengurusi pemerintahan dan desa pakraman mengurusi adat.[footnoteRef:18] [18: Pastika, Implikasi penerapan UU Desa yang baru itu di Denpasar, hari Rabu (18/6), seperti dikutip Antara.]

Hal yang sama adalah ketentuan Pasal 37 ayat (1), bahwa kepala desa dan perangkat desa diberikan penghasilan tetap setiap bulannya dan atau tunjangan. Penggajian terhadap kepala desa, sekretaris desa, dan perangkat desa, merupakan tindakan yang kontra-produktif dengan prinsip otonomi desa masa lalu yang tidak mengenal penggajian karena kerja mereka dianggap pengabdian. Artinya penggajian ini tidak memiliki alasan filosofis-sosiologis desa sebagai entitas otonom. Sepetinya penggajian ini hanya didasarkan pada alasan hak sebagai orang yang sudah bekerja, orang yang sudah mendapatkan SK (Surat Keputusan) pengangkatan sebagai kepala desa, sekretaris desa, dan atau perangkat desa. Dan implikasi sosiologis-strukturalnya adalah sangat mungkin para perangkat desa itu tetap dan memiliki kecenderungan besar mengabdi kepada negara, bukan kepada rakyat meski di pasa-pasal lain diatur peran dan tugas mereka sebagai pamong rakyat.2. Alokasi Dana Desa Setiap desa akan mendapatkan dana alokasi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) paling sedikit 10 persen setiap tahunnya. Maka, dapat diperkirakan setiap desa akan mendapatkan dana sekitar 1.2 hingga 1.4 Miliar setiap tahunnya. Berdasarkan perhitungan dalam penjelasan UU Desa yaitu, 10 persen dari dana transfer daerah menurut APBN untuk perangkat desa sebesar Rp. 59, 2 triliun, ditambah dengan dana dari APBD sebesar 10 persen sekitar Rp. 45,4 triliun. Total dana untuk desa adalah Rp. 104, 6 triliun yang akan dibagi ke 72 ribu desa se-Indonesia.UU Desa ini ingin mendelegasikan secara penuh kekuasaan mengelola anggaran desa (rata-rata 1,4 Milyar/Desa) setiap tahun. Padahal selama ini desa belum berpengalaman mengelola anggaran sebesar itu. Di sisi lain pada otonomi daerah di level lebih tinggi (provinsi/kabupaten/kota) menunjukkan banyak sekali kepala daerah yang terjerat masalah hukum akibat korupsi. Artinya dengan total dana sebanyak itu, tidak mustahil akan diselewengkan oleh perangkat desa yang tidak bertanggungjawab.Sebenarnya inilah titik paling kritis ketentuan dalam UU Desa 2014 dibanding substansi materi undang-undangnya, yaitu gejala-gejala negatif yang tidak mampu diduga dengan diberikannya dana sebesar 1 Milyar kepada desa. Ekses-ekses negatif dengan adanya dana 1 Milyar tersebut akan terjadi jauh lebih cepat dibanding kemampuan desa untuk mengorganisir dan menginternalisasi pengetahuan dan pranata-pranata baru di dalam masyarakat. Uang akan menumbuhkan inkonsistensi dan inkoherensi pranata dan relasi sosial desa yang kontraproduktif dengan ide-ide kebaikan dalam UU Desa 2014. Logika ontologisnya adalah akibat masuknya UU Desa 2014 justru menguatkan kesadaran realitas masyarakat bahwa penguasa semakin berkuasa dan yang tidak berkuasa tetap dalam kondisi lemah dan uang menjadi tidak punya makna.[footnoteRef:19] [19: Emil E. Elip, Desa, UU Desa 2014 dan Perubahan Sosial, tp://sosbud.kompasiana.com/2014/03/12/desa-uu-desa-2014-dan-perubahan-sosial-641031.html]

3. Masa Jabatan Kepala DesaUU Desa ingin membumikan praktek demokrasi elektoral di tingkat terbawah melalui pemilihan kepala desa secara serentak di sebuah kota/kabupaten sebagaimana pemilu legislatif dan presiden, padahal saat ini masyarakat menyaksikan bagaimana politik itu dinodai oleh praktek politik uang, intimidasi dan oligarkhi kekuasaan yang akut.Masa jabatan kepala desa 6 (enam) tahun dan dapat dipilih kembali dalam 3 periode, boleh berturut-turut atau tidak. Masa jabatan yang tergolong lama ini, ditakutkan akan lahir raja-raja kecil di desa. Terlebih lagi dengan kewenangan yang diberikan pada setiap kepala desa cukup bebas dan keuntungan-keuntungan menjadi kepala desa yang dapat menggiurkan bagi setiap orang, memungkinkan seseorang dengan segala cara agar dapat menduduki jabatan sebagai kepala desa. Untuk itu, masyarakat desa harus jeli memilih kepala desa yang memang berkompeten dalam menanggulangi permasalahan-permasalahan yang ada di desanya. Dengan menggunakan pemilihan secara langsung, masyarakat desa diharapkan mampu menempatkan orang-orang terbaik di desanya pada setiap posisi di perangkat desanya, terlebih pada posisi kepala desa. Tingkat kepedulian masyarakat desa dalam berdemokrasi, secara tidak langsung, juga akan berpengaruh dalam pembangunan-pembangunan di wilayahnya. Penempatan orang baik dan memang mampu mengatasi permasalahan desa pada tingkat kepala desa, dipastikan akan berdampak positif dalam perubahan-perubahan yang terjadi ke depannya. Sebaliknya, jika salah memilih, bukan malah mengatasi permasalahan tetapi akan menimbulkan permasalahan baru yang mungkin lebih besar lagi.Masa jabatan 6 tahun dan dapat dipilih untuk tiga periode masa jabatan, sebenarnya belum cukup bagi Kepala Desa untuk memaksimalkan program kerja dan visi misinya. Apalagi dengan diperbolehkan menjabat selama tiga periode, akan dapat menghambat kaderisasi kepemimipinan di tingkat desa. Disamping itu, masa jabatan yang enam tahun akan mendorong stabilitas politik desa terguncang kembali setiap enam tahun. Pengalaman menunjukkanbahwa pemilihan kepala desa sering menorehkan luka, dendam berkepanjangan dan menimbulkan konflik horizontal/vertikal bagi para pihak terkait yang sulit dihilangkan dalam beberapa tahun. Acapkali pihak-pihak yang kalah/dirugikan menjegal program-program kepala desa terpilih, sehingga menghambat kelancaran peyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan. Apalagi sesuai UU Desa yang baru, biaya pemilihan kepala desa menjadi beban APBD Kabupaten/Kota, sehingga dengan periode jabatan yang singkat, biaya Pilkades akan membebani APBD. 4. Kedudukan Desa Dalam KetatanegaranKedudukan Desa (atau nama lainnya), dalam UUD 1945 Pasal 18B (2) Negara memberikan pengakuan dan penghormatan terhadap desa sebagai kesatuan-kesatuanmasyarakat hukum adatsertahak-haktradisonalnyasepanjangmasihhidupdan sesuai dengan perkembang-an masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yangdiaturdenganUndangUndang.[footnoteRef:20] [20: Rosjidi Ranggawidjaja, "Pasal 18B ayat (2), dalam Abdurahman, Ali et al (ed), Satu Dasawarsa Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, Bandung: Fakultas Hukum Unpad-PSKN FH Unpad, 2013.]

Landasan ini memisahkan antara satuan pemerintahan daerah yang diberi otonomi dengan kesatuan masyarakat hukum. Urusan yang dikelola oleh satuan pemerintahan daerah menunjukkan pemencaran kekuasaan, sementara, sepanjang masih ada, urusan yang dikelola oleh Desa merupakan pengakuan. Tentunya tetap dimungkinkan terdapat tugas pembantuan yang diberikan oleh Kabupaten, Provinsi, maupun Pemerintah Pusat. Dalam (Pasal 1) UU ini, Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedang kedudukan desa tercermin dalam Pasal 2 dan Pasal 5 undang-undang tersebut, yaitu: Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika. Dan dalam pasal 5, Desa berkedudukan di wilayah Kabupaten/Kota . Ketentuan di atas menegaskan kedudukan Desa sebagai bagian dari Pemerintahan Daerah. Hal ini pula yang menjadikan Peraturan Desa atas dasar Ketetapan MPR No. III/MPR/ 2000 (vide Pasal 3 ayat (7) huruf c) dan UU No. 10 Tahun 2004 (vide Pasal 7 ayat (2) huruf c) sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan sebagai bagian dari peraturan daerah. Tetapi dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Praturan Perundang-undangan, Peraturan Desa tidak dikategorikan sebagai peraturan daerah, walaupun undang-undang tersebut mengakui keberadaan peraturan yang ditetapkan oleh kepala desa atau pejabat yang setingkat (vide Pasal 8 ayat (1)).Dengan demikian pemerintahan desa yang ada sekarang adalah kelanjutan dari pemerintahan desa jaman dahulu, hanya saja pemerintahan desa sekarang sudah kehilangan rohnya sebagai desa yang mandiri. Desa yang ada sekarang bukan lagi sebagai inlandsche gemeenten, yaitu sebagai pemerintahan asli bangsa Indonesia. Pemerintahan Desa sekarang lebih tepat disebut pemerintahan semu atau bayang-bayang (quasi government organization).[footnoteRef:21] [21: Ibid, Rosjidi Ranggawidjaja, 2013.]

Sedangankan kedudukan Kepala Desa, sejak UU No. 5 Tahun 1979 sampai dengan UU No. 6 Tahun 2014, melakukan penyeragaman terhadap kedudukan dan pengsian jabatan kepala desa serta penghasilan pemerintah desa. Konkritnya adalah: (1) kedudukan Kepala Desa adalah sebagai pimpinan Pemerintah Desa atau yang disebut dengan nama lain dan dibantu oleh perangkat Desa atau yang disebut dengan nama lain (Pasal 25 UU No. 6 Tahun 2014). Walaupun Kepala Desa dipilih langsung oleh penduduk Desa (Pasal 34 (1)), pengesahan (Pasal 37 (5)) dan pelantikan (Pasal 38 (1)) Kepala Desa dilaksanakan oleh Bupati/Walikota; dan (2) pelantikan tersebut linier dengan penghasilan Kepala Desa. Pasal 66 (1) melegitimasi bahwa Kepala Desa dan perangkat Desa memperoleh penghasilan tetap setiap bulan ditambah dengan jaminan kesehatan dan dapat memperoleh penerimaan lainnya yang sah (ayat (4)). Penghasilan tetap Kepala Desa dan perangkat Desa bersumber dari dana perimbangan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diterima oleh Kabupaten/Kota dan ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota (Pasal 66 ayat (2)).Selain penghasilan tetap, Kepala Desa dan perangkat Desa menerima tunjangan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (Pasal 66 ayat (3)). Skema sumber pendapatan Kepala Desa tersebut menunjukkan ketergantungan keuangan yang cukup besar bagi penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Gerusan terhadap otonomi Desa pun diperkuat lagi dalam pembentukan Desa. Walaupun belum tentu sifat asal-usul dan hak-hak tradisional masyarakat Desa serta merta hilang karena kebijakan pemekaran Desa, keberadaan Desa secara formal tidak lagi merupakan komunitas sosial yang tumbuh melalui ikatan sosiologis.UU ini juga tidak melakukan perubahan status kepala desa menjadi pejabat negara. Hal ini disebabkan kepala desa sejak dahulu, walaupun memimpin satuan pemerintahan yang bersifat otonom (desa) tidak bertindak untuk dan atas nama negara sebagaimana karakter yang melekat pada pejabat negara.Namun tetap sebagai pejabat pemerintahan karena merupakan salah satu penyelenggara pemerintahan desa. 5. Kedudukan CamatSecara sosiologis hubungan antara kecamatan dengan desa adalah bersifat sistemik, artinya saling ketergantungan, saling mempengaruhi dan berinteraksi secara langsung dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan desa. Praktek interaksi sistemik kecamatan dan desa didasarkan pada pandangan bahwa desa memiliki beragam keterbatasan, yaitu: keterbatasan kapasitas aparatur, keterbatasan sarana-prasarana dan keterbatasan manajemen pemerintahan desa. Artinya potret keterbatasan desa di atas, pemerintahan desa membutuhkan pembinaan langsung dari kecamatan. Hanya permasalahannya UU Desa ini tidak memberikan legitimasi kewenangan kepada Camat terhadap desa selaku atasan Kepala Desa.[footnoteRef:22] [22: Irawan Rumekso, Makalah Telaah Kritis Terhadap Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.]

Pola hubungan kecamatan dan desa seperti itu, seharusnya diatur dengan kewenangan yang jelas, walaupun secara formal Camat tidak ditempatkan sebagai atasan langsung Kepala Desa atau sejajar. Padahal secara empiris Camat adalah atasan riil Kepala Desa, artinya Camat yang sehari-hari memberikan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan desa dan tempat kades dan perangkat desa berkonsultasi menyangkut pelaksanaan tugas dan kewajiban. Di dalam UU Desa yang terdiri 122 pasal, hanya dua ayat yang memberikan kewenangan kepada Camat dan itupun bukan kewenangan substantif, yaitu Pasal 49 ayat 3 dan Pasal 53 (3) Kepala Desa akan mengangkat/memberhentikan perangkat desa terlebih dahulu berkonsultasi dengan Camat An. Bupati/Walkota. Namun demikian masih ada peluang bagi kewenangan Camat, yaitu Pasal 112 (2), bahwa dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan kepada desa, Bupati/Walikota dapat mendelegasikan kepada perangkat daerah. Sehinga kuncinya ada di tangan Bupati/Walikota untuk memberikan delegasi kepada Camat untuk memaksimalkan tugas dan kontribusinya bagi praktek penyelenggaran pemerintahan, tugas-tugas pembangunan, pembinanan serta pemberdayaan masyarakat.Tiga alasan perlunya keterlibatan Camat dalam pembinaan dan pengawasan jalannya pemerintahan desa, yaitu: (1) Karena dimungkinkan atau diberi pelung oleh peraturan perundang-udangan; (2) Untuk efektifitas dan efisiensi pembinaan dan pengawasan, karena Camat dan jajarannya yang beriteraksi dan berhubungan langsung dengan Kepala Desa dan perangkat desa; dan (3) Dalam konteks sistem pemerintahan Republik Indonesia dalam peraturan perundangan yang berlaku, desa disamping sebagai entitas yang mempunyai hak otonomi, desa juga diberi peran sebagai bagian dari entitas administrasi negara dengan tugas-tugas pelayanan publik dan tugas-tugas birokrasi. Oleh karena itu menjadi relevan kalau Desa mendapat pembinaan danpengawasan dari aparatur birokrasi (Camat).[footnoteRef:23] [23: Ibid, Irawan Rumekso.]

PenutupFilosofis keanekaragaman, perlindungan, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi, dan pemberdayaan masyarakat, sebenarnya sudah menjadi cita hukum politik hukum pemerintahan desa dalam UUD 1945 (sebelum dan sesudah perubahan). Tetapi ide dasar pluralisme hukum dengan penempatan desa sebagai desa adat (self governing community) atau desa otonom (local self government), maupun desa administratif (local state government), secara bergantian berubah-ubah seiring dengan keberlakuan UU organiknya.Sebagai UU organik, UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa mencantumkan kebijakan-kebijakan yang progresif dan strategis bagi kemajuan dan perkembangan desa. UU ini juga menghargai eksistensi desa dan peranan aparatur desa dan secara tegasa memberikan ancaman pemberian sanksi kepada kepala desa yang tidak menjalankan kewajibannya. Sanksinyabisa teguran tertulis, pemberhentian sementara dan pemberhentian tetap. Hal ini tentu positif untuk mendorong kinerjadan disiplin pemerintah desa. Sedang kelemahan dari UU ini adalah terletak pada pengertian desa adat yang berbeda dengan pengertian masyarakat desa adat itu sendiri. Perbedaan ini mungkin saja akan menimbulkan dampak dikemudian hari jika tidak ditanggulangi sejak diri. Dana alokasi yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan tergolong cukup besar terhadap setiap desa per tahunnya, juga bisa menjadi permasalahan jika tidak diawasi secara maksimal dan berkala. Kemudian, tidak adanya pembahasan secara khusus pada UU Desa tentang penempatan perempuan minimal 30 persen pada perangkat desa. Dan yang terpenting adalah, belum siapnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada di desa untuk menjalankan UU Desa ini dan tentunya akan berdampak terhadap tata kelola pemerintahan desa itu sendiri.

Daftar Bacaan

Anwar, Chairul, Konstitusi dan Kelembagaan Negara. Jakarta: CV. Novindo Pustaka Mandiri, 1999.Bagir Manan, Menegakkan Hukum Suatu Pencarian. Jakarta: Asosiasi Advokat Indonesia, 2009.Didik Sukriono, Politik Hukum Pemerintahan Desa Dalam Perspektif Filosofis, Yuridis dan Sosiologis, Majalah Ilmu Hukum Kertha Wicaksana, Universitas Warmadewa Denpasar, Volume 17 No. 2, Juli 2011Duto Sosialismanto, Hegemoni Negara, Ekonomi Politik Pedesaan di Jawa, Yogyakarta: LAPERA Pustaka Utama. 2001. Emil E. Elip, Desa, UU Desa 2014, dan Perubahan Sosial, htp://sosbud.kompasiana .com/2014 /03/12/ desa-uu-desa-2014-dan-perubahan-sosial-641031.htmlFrancis Wahono, Bersekongkol atau Saling Kontrol, dalam Duto Sosialismanto, Hegemoni Negara, Ekonomi Politik Pedesaan di Jawa, Yogyakarta: LAPERA Pustaka Utama. 2001.Fahrul Muzaqqi dan Priyatmoko Dirdjosuseno, Urgensi UU No. 6 Tahun 2014 Dalam Konteks Desa-Desa Di Jawa Timur, Disampaikan pada Sosialisasi dan Bintek Pengembangan Kapasitas Camat dan Kepala Desa Untuk Menunjang Tatakelola Desa Mandiri, Sejahtera dan Partisipatoris Berbasiskan UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa, September-Nopember 2014.Heraswati Gayatri, Dinamika Kelembagaan Desa: Gampong Era Otonomi Khusus Aceh, LIPI, 2007. Irawan Rumekso, Makalah Telaah Kritis Terhadap Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.Koentjaraningrat, Masyarakat Desa di Indonesia, Jakarta: LPFE UI,1984.Pastika, Implikasi penerapan UU Desa yang baru itu di Denpasar, hari Rabu (18/6), seperti dikutip Antara.Rosjidi Ranggawidjaja, "Pasal 18B ayat (2), dalam Abdurahman, Ali et al (ed), Satu Dasawarsa Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, Bandung: Fakultas Hukum Unpad-PSKN FH Unpad, 2013.Taliziduhu Ndraha, Desa Masa Depan, Garis Depan Demokrasi, dalam Angger Jati Wijaya, et.al., Reformasi Tata Pemerintahan Desa menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, bekejasama dengan YAPPIKA dan Forum LSM DIY, 2000.Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Undang Undan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan DesaUndang Undan Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan DaerahUndang Undan Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan DaerahUndang Undan Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 Tentang DesaPeraturan Pemerintah Nomor 43 Tentang Pelaksanaan UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang DesaPeraturan Pemerintah Nomor 60 Tentang Dana Desa

.

Sebagai contoh, UU Desa ingin mengembalikan egalitarianisme dan semangat gotong royong (solidaritas) yang khas masyarakat desa, padahal mereka saat ini sudah cenderung menjadi komunitas yang terbuka dan bergerak ke arah individualisme serta komersialisme hubungan sosial maupun ekonomi yang masif. UU Desa ingin mendelegasikan secara penuh kekuasaan mengelola anggaran desa (rata-rata 1,4 Milyar/Desa) padahal otonomi daerah di level lebih tinggi (provinsi/kabupaten/kota) menunjukkan banyak sekali kepala daerah yang terjerat masalah hukum akibat korupsi. UU Desa ingin membumikan praktek demokrasi elektoral di tingkat terbawah melalui pemilihan kepala desa secara serentak di sebuah kota/kabupaten sebagaimana pemilu legislatif dan presiden, padahal saat ini masyarakat menyaksikan bagaimana politik itu dinodai oleh praktek politik uang, intimidasi dan oligarkhi kekuasaan yang akut. UU Desa ingin mengakui hak adat dan ulayat pribumi asli termasuk tata kelola pemerintahannya padahal banyak sekali komunitas Adat yang sudah terlanjur lenyap dan kalaupun tersisa tidak lagi dihayati oleh anggota masyarakatnya karena hanya menjadi desa dinas yang lebih taat kepada aturan nasional daripada hukum adat. UU Desa ingin mengembalikan penguasaan terhadap sumber daya dan aset desa kepada masyarakat setempat, padahal saat ini sumber daya itu sudah banyak yang terlanjur dikuasai oleh kapitalis akibat liberalisasi ekonomi tanpa kendali. Bahkan, beberapa Kepala Daerah dan tokoh masyarakat, semisal dari Bali, sudah berencana akan melakukan judical review terhadap beberapa pasal dalam UU Desa ini yang dianggap akan mengganggu keberlanjutan desa adat (pakraman) dan kesinambungan sosial budaya di Bali. Bukan hanya Bali, Sumatera Barat dan sebagian besar masyarakat Adat di Sumatera juga merasa penyeragaman pemilihan kepala desa secara langsung oleh masyarakat sebagaimana tercantum dalam UU Desa ini dianggap akan menghilangkan peran adat Ninik Mamak yang selama ini berperan memilih wali nagari. Kekhawatiran terhadap beragam konflik atas ide pembentukan

desa-desa baru atau penghapusan dan penggabungan beberapa desa sebagai upaya penataan desa agar sesuai dengan persyaratan UU Desa juga bermunculan. Artinya, percepatan pebangunan desa yang diharapkan melalui implementasi UU Desa ini bisa saja terhambat oleh berbagai kendala multidimensi diatas. Disini peran sosiologi sangat penting untuk memberikan perspektif dan pendekatan selain dari kaca mata administrasi pemerintahan maupun ilmu politik. Sosiologi harus mampu memberikan penjelasan secara komprehensif terkait kondisi historis maupun potret desa hari ini beserta dampaknya jika UU Desa ini diimplementasikan. Desa di Indonesia telah demikian lama diposisikan sebagai secara marginal oleh negara. Desa juga diposisikan sebagai objek karena dianggap sebagai wilayah tertinggal dengan sumber daya manusia yang berkualitas dan berpendidikan rendah. Desa ramai-ramai ditinggalkan oleh penduduk dan tenaga kerjanya akibat dari pembangunan yang timpang di perkotaan. Lahan pertanian di desa dikonversi menjadi pemukiman, pabrik-pabrik dan saluran irigasi sebagai jantung pertaniannya hampir tidak pernah tersentuh oleh perbaikan. Hubungan kekerabatan dan solidaritas antar warga desa yang dulu menonjol kini makin tergerus dengan hubungan-hubungan kontraktual berbasis kepentingan ekonomi. Tanah atau lahan yang identik menjadi milik orang desa kini juga tidak lagi sepenuhnya dikuasai, sebaliknya malah banyak yang berpindah tangan dan orang desa kehilangan sebagian besar tanahnya. Desa mau tidak mau harus ikut berkompetisi dan bersaing dengan modal yang demikian minim. Spirit UU Desa ini salah satunya adalah mendorong percepatan pembangunan di desa sekaligus mendorong desa-desa agar mandiri secara ekonomi dengan kebebasan merencanakan arah pembangunan yang dianggap penting bagi mereka. Sebagai contoh, desa memiiki kewenangan untuk memanfaatkan teknologi tepat guna, melakukan investasi, menyisihkan dana desa untuk membeli aset-aset strategis di desa dan lain sebagainya. Disinilah kemudian dilema sosial itu muncul, di satu sisi warga desa ingin menikmati kesejahteraan yang setara dengan desa-desa lain bahkan dengan perkotaan, namun di sisi lain desa juga belum rela jika adat dan tradisi yang telah bertahan ratusan tahun itu lenyap akibat pola penyeragaman pengaturan desa-desa ini. Melihat dilema UU Desa - baik secara substansi filosofis, historis maupun sosiologis di atas, diperlukan sebuah tinjauan dan pembacaan ulang secara lebih komprehensif, terutama dari sudut pandang warga desa sebagai subjek pembangunan itu sendiri. Selama ini, mereka yang memperjuangkan UU Desa adalah para elit desa yang berusaha mencari jalan keluar dari dilema peran dan kekuasaan politiknya masing-masing. Perlu dibangun model implementasi UU Desa yang mampu mengintegrasikan faktor-faktor kearifan lokal (Adat), potensi Sumber Daya Alam, Sumber Daya Manusia, Teknologi Tepat Guna dan Infrastruktur fisik maupun sosial ekonomi lainnya agar menjadi satu kesatuan yang saling mengisi dalam mengartikulasikan UU Desa agar dapat bermanfaat seluas-luasnya bagi keberlanjutan desa dengan segala isinya.

DENPASAR, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Provinsi Bali akan menyiapkan tim dan bahan untuk melakukan uji materi (judicial review) terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa karena keberadaan desa di provinsi itu berbeda dengan di daerah lain."Memang langkah berikutnya menurut saya harus `judicial review`. Jadi saya minta tim mempersiapkan itu. Harus, tidak bisa tidak, supaya Indonesia tahu bahwa Bali ini lain. Kita tidak bisa disamakan begitu saja. Makanya Bali itu harus menjadi daerah otonomi khusus atau daerah istimewa dan kesempatan ini sebenarnya menjadi pintu masuk," kata Gubernur Bali, Made Mangku Pastika, saat mengadakan rapat koordinasi dengan bupati/wali kota se-Bali terkait Permasalahan-Permasalahan Sosial Budaya implikasi penerapan UU Desa yang baru itu di Denpasar, hari Rabu (18/6), seperti dikutip Antara.Dalam Pasal 6 UU Desa disebutkan bahwa desa terdiri dari desa dan desa adat. Namun penjelasan pasal 6 itu menyatakan bahwa dalam satu wilayah hanya terdapat desa atau desa adat. Dalam penjelasan pasal itu juga menyebutkan untuk daerah yang sudah terjadi tumpang tindih antara desa dan desa adat dalam satu wilayah harus dipilih salah satu jenis sesuai dengan ketentuan UU Desa itu.Pastika mengkhawatirkan implikasi dari pemberlakukan UU Desa itu akan menyebabkan desa adat (desa pakraman) di Bali akan hilang, karena semata-mata ingin mendapatkan dana bantuan Rp1 miliar dari APBN. Mungkin juga namanya tetap desa pakraman namun ruhnya hilang karena nantinya harus dilantik dan diatur kepengurusannya oleh pemerintah. Padahal selama ini keberadaan desa adat bersifat otonom."Sebenarnya selama ini keberadaan desa dinas dan desa adat di Bali sudah berjalan baik-baik saja, karena fungsinya berbeda. Desa dinas mengurusi pemerintahan dan desa pakraman mengurusi adat," kata dia.Namun, menurut dia, justru aturan yang baru dalam UU Desa untuk menyeragamkan keberadaan desa telah memicu timbulnya masalah di Bali. Hal itu akibat yang menyusun UU tersebut tidak paham dengan pembagian desa di Pulau Dewata serta tidak mengonsultasikan terlebih dahulu. "Tetapi karena sudah terjadi berarti memang langkah berikutnya menurut saya harus `judicial review`," tegas Pastika.Mantan Kapolda Bali itu meminta para bupati/wali kota se-Bali turut memikirkan secara serius persoalan tersebut dan turut menyosialisasikan supaya para bendesa (pimpinan desa adat) mengerti dan tidak hanya mengarahkan pikiran untuk mendapatkan dana bantuan pemerintah sebesar Rp1 miliar.Pihaknya juga tidak percaya kalau desa adat yang satu bisa digabungkan dengan desa adat yang lain, karena masing-masing memiliki kuburan dan Pura Kahyangan Tiga.Potensi DegradasiSementara itu, Kepala Biro Hukum Pemprov Bali, I Wayan Sugiada, mengemukakan beberapa permasalahan yang akan muncul apabila desa adat yang ditetapkan, di antaranya terdapat beberapa wilayah desa adat terletak di kecamatan atau kabupaten yang berbeda (saling seluk). Di Bali ada 716 desa dinas dan 1.488 desa adat sehingga rentan menimbulkan konflik besar, apalagi kalau sampai terjadi penggabungan desa adat."Dengan adanya bantuan dana, maka dimungkinkan desa adat akan membentuk desa adat baru. Belum lagi masalah kependudukan bagi penduduk yang tinggal di desa adatnya sekarang. Konsep `ngayah` atau gotong-royong secara ikhlas dari warga desa adat pun akan mengalami degradasi karena akan berlaku sistem pemerintahan desa yang mengacu pada aturan nasional. Demikian juga independensi desa adat akan terdegradasi karena harus tunduk pada UU negara," kata dia.Permasalahan lainnya, kata Sugiada, kalau 1.488 desa adat yang didaftarkan, maka jumlah ini belum tentu juga disetujui oleh pemerintah pusat, serta banyak desa adat yang jumlah warganya sangat sedikit dan tidak sesuai dengan jumlah minimum yang dipersyaratkan UU.Sedangkan kalau desa dinas yang ditetapkan atau didaftarkan, maka konsekuensinya desa adat belum diakui sebagai subjek hukum. Desa adat juga tidak akan hilang karena dijamin oleh UUD 1945 pasal 18B ayat 2. Desa dinas dapat mengadopsi desa adat termasuk mengalokasikan anggaran yang diperoleh dari pusat sesuai dengan pasal 95 UU Desa.Soal Anggaran"Memang desa adat tidak dapat mengakses anggaran pusat secara langsung, tetapi tetap bisa mendapatkan anggaran dari pemerintah daerah seperti saat ini dan bisa diperkuat dengan perda dan kemungkinan konflik lebih kecil. Di sisi lain, desa adat akan tetap merasa kurang dihargai seperti halnya desa dinas padahal beban kerja perangkat desa adat sangat besar termasuk urusan negara misalnya KB sistem banjar, keamanan lingkungan dan sebagainya," ujarnya.Bupati Badung, Anak Agung Gde Agung, dalam kesempatan pertemuan itu berpendapat bahwa desa adat dan desa dinas semestinya harus tetap eksis. "Adat tetap eksis untuk menunjang rohnya Bali ini karena dasarnya Tri Hita Karana, tetapi di lain pihak desa dinas menjadi perpanjangan tangan pemerintah," kata dia.Dia pun tidak setuju kalau desa adat harus tunduk pada aturan, dilantik bupati, dan diatur kepengurusan oleh bupati. Desa adat, menurut dia, harus tetap otonom.Lain lagi dengan Bupati Buleleng, Putu Agus Suradnyana, yang mengajak para pemangku kepentingan terkait untuk melihat persoalan itu secara menyeluruh, tidak hanya menekankan pada bantuan, tetapi seharusnya pengembangan makro dan mikro ekonomi.Sejarawan yang juga akademisi Universitas Udayana, Prof Parimartha, juga mengungkapkan bagaimana sejarah eksisnya desa adat di Bali mulai sejak Pemerintahan Kolonial Belanda. Dia mengungkapkan hanya di Bali saja desa adat masih bisa eksis dan di tempat lain sudah punah menjadi desa dinas. Dia sependapat dengan Gubernur Pastika bahwa perlunya mengajukan "judicial review". Penetapan UU Desa ini tak lepas dari penolakan. Di samping, ribuan kepala desa di seluruh Indonesia menyambut dengan gegap gempita dan penuh dengan sukacita, daerah Sumatera Barat menolak UU tersebut. Hal tersebut dikarenakan, menurut Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) se-Sumatera Barat, beranggapan bahwa UU Desa akan melemahkan eksistensi nagari di Sumbar sebagai satu kesatuan adat, budaya dan sosial ekonomi.Terlepas dari penolakan dari LKAAM Sumbar, UU ini secara umum mengatur materi mengenai asas pengaturan, kedudukan dan jenis desa, penataan desa, kewenangan desa, penyelenggaraan pemerintahan desa, hak dan kewajiban desa dan masyarakat desa, peraturan desa, keuangan desa dan aset desa, pembangunan desa dan pembangunan kawasan perdesaan, badan usaha milik desa, kerja sama desa, lembaga kemasyarakatan desa dan lembaga adat desa, serta pembinaan dan pengawasan. Selain itu, UU ini juga mengatur dengan ketentuan khusus yang hanya berlaku untuk Desa Adat sebagaimana diatur dalam Bab XIII.Salah satu poin yang paling krusial dalam pembahasan RUU Desa, adalah terkait alokasi anggaran untuk desa. Di dalam penjelasan Pasal 72 Ayat 2 tentang Keuangan Desa. Jumlah alokasi anggaran yang langsung ke desa, ditetapkan sebesar 10 persen dari dan di luar dana transfer daerah. kemudian dipertimbangkan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, kesulitan geografi. Ini dalam rangka meningkatkan masyarakat desa. Selain itu, poin-poin lain yang disepakati adalah terkait masa jabatan kepala desa. Kemudian diatur juga terkait kesejahteraan kepala desa dan perangkat desa. Baik kepala desa, maupun perangkat desa mendapat penghasilan tetap setiap bulan dan mendapat jaminan kesehatan.Di sisi lain, UU Desa juga mengandung kekurangan. Kekurangan pertama, adanya perbedaan pengertian desa adat menurut UU Desa dengan pengertian desa adat menurut masyarakat desa adat itu sendiri. Kekurangan kedua, tereletak pada dana alokasi kepada setiap desa per tahun yang dapat saja disalahgunakan. Kemudian, tidak menjelaskan secara khusus tentang penempatan perempuan minimal 3o persen pada perangkat desa. Selain itu, tingkat kesiapan tata kelola yang masih rendah dan kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada di desa, juga dapat menghambat tujuan-tujuan yang hendak dicapai setelah pengesahan UU Desa.Maka dari itu, makalah ini akan menganalisa kelebihan dan kekurangan dari UU Desa dan juf dalam hal kesiapan tata kelola serta SDM yang ada di desa.

ANALISASetiap produk hukum, seperti Undang-Undang, tidak terlepas dari kelebihan dan kekurangan setelah disahkan. Begitupula dengan UU Desa. Pada bab pendahuluan, sudah diterangkan secara singkat kelebihan dan kekurangan yang ada di UU Desa. Pada bab analisa ini, penulis akan menganalisa kelebihan dan kekurangan tersebut.

KelebihanPada UU Desa ini, terdapat poin yang memang sudah dicanangkan sekitar 7 tahun lamanya. Yaitu, adanya aturan yang membahas terkait alokasi anggaran untuk desa. Di dalam penjelasan Pasal 72 Ayat 2 tentang keuangan desa. Jumlah alokasi anggaran yang langsung ke desa, ditetapkan sebesar 10 persen dari dan di luar dana transfer daerah dengan mempertimbangkan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, kesulitan geografi.Dengan adanya dana alokasi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tersebut, tentu diharapkan pembangunan di desa semakin baik dan mampu menyejahterakan masyarakat desa dengan pemanfaatan dana alokasi secara maksimal. Jika mampu mengelola dengan baik dan bijaksana, maka bukan hal yang mustahil jika masyarakat desa yang berada di garis kemiskinan dapat berkurang dan mungkin saja dapat bersaing dengan masyarakat desa lainnya atau bahkan masyarakat global secara umumnya.Pada perangkat desa seperti kepala desa juga tidak luput dari pembahasan dalam UU Desa. kepala desa menurut UU Desa pasal 26 ayat 1, bertugas menyelenggarakan pemerintahan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa. Pada pasal yang sama di ayat 3 huruf c, dijelaskan bahwa kepala desa menerima penghasilan tetap setiap bulan, tunjangan, dan penerimaan lainnya yang sah, serta mendapat jaminan kesehatan. Selain itu, segala hal yang berhubungan dengan kepala desa, baik itu tugas, wewenang, larangan, hingga masa jabatan seorang kepala desa, juga tertuang di UU Desa. Pada jajaran perangkat desa lainnya, seperti Badan Permusyawaratan Desa (BPD) juga diberikan penjelasan-penjelasan terhadap seperti apa fungsi BPD, tugas-tugasnya, wewenang, kewajiban, hingga larangan-larangan yang tidak boleh dilakukan oleh BPD.Secara umum, UU Desa telah menjabarkan secara sistematis dan mampu memberikan hak-hak pada setiap desa di Indonesia untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada di desanya. Dengan adanya UU ini, maka setiap desa dapat menyejahterakan masyarakatnya sesuai dengan prakarsanya pada masing-masing desa. Adanya UU ini juga menjadi dasar hukum yang sangat berarti bagi setiap desa, karena UU ini bisa dijadikan sebagai dasar pijakan dalam menjalankan pembangunan-pembangunan di desa. Maka, kelebihan UU Desa yang paling terlihat adalah telah adanya dasar hukum yang jelas bagi setiap desa di Indonesia.

KekuranganDi balik kelebihan, tentu terdapat pula kekurangan. Begitupula pada UU Desa. Ada berbagai kekurangan yang terdapat dalam UU Desa. Tidak hanya dalam segi isi, namun juga dalam hal penerapannya.Dari segi isi, terdapat kekurangan terutama dalam pengertian desa adat. Sebelum terbitnya UU ini, setiap wilayah memiliki pengertian desa adat yang berbeda-beda. Sebagai contohnya, di Bali. Pengertian desa adat adalah tempat pelaksanaan ajaran agama dalam sprit takwa, etika, dan upacara yang bertalian pada wilayah pawongan (warga/krama desa), palemahan (wilayah desa), dan parahyangan (keyakinan agama). Sedangkan menurut UU Desa, desa adat adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat. Maka dari itu, harus ada penyeragaman pengertian arti desa adat, agar tidak ada gelojak dikemudian hari.Masih dalam segi isi UU Desa, dikatakan bahwa setiap desa akan mendapatkan dana alokasi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) paling sedikit 10 persen setiap tahunnya. Maka, dapat diperkirakan setiap desa akan mendapatkan dana sekitar 1.2 hingga 1.4 miliar setiap tahunnya. Berdasarkan perhitungan dalam penjelasan UU Desa yaitu, 10 persen dari dan transfer daerah menurut APBN untuk perangkat desa sebesar Rp. 59, 2 triliun, ditambah dengan dana dari APBD sebesar 10 persen sekitar Rp. 45,4 triliun. Total dana untuk desa adalah Rp. 104, 6 triliun yang akan dibagi ke 72 ribu desa se-Indonesia.Dengan total dana sebanyak itu, tidak mustahil akan diselewengkan oleh perangkat desa yang tidak bertanggungjawab. Maka, penting adanya pengawasan, dalam hal ini adalah tugas BPD dan pemerintah daerah setempat, yang dilakuan secara berkala terhadap setiap desa agar pembangunan desa lebih tepat sasaran. Masalah lainnya juga akan ditimbul, yaitu adanya perbedaan-perbedaan keadaan atau kondisi desa yang ada di Indonesia. Ada desa yang memang sudah mandiri dan sudah mampu menyejahterakan masyarakatnya dengan berbagai cara sebelum adanya lahirnya UU Desa. Akan tetapi, ada pula desa yang tertinggal dan masih belum belum bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Jika nantinya akan dikucurkan dana alokasi tersebut, dikhawatirkan akan mubazir bagi desa maju dan akan tetap merasa kekurangan bagi desa tertinggal. Sekali lagi, peran pengawasan sangat diharapkan mampu mengawasi penggunaan dana alokasi tersebut agar dana alokasi tersebut tepat sasaran sesuai kebutuhan dan keperluan masing-masing desa.Masa jabatan kepala desa juga mungkin saja akan menjadi permasalahan. Pada UU Desa, dijelaskan masa jabatan kepala desa adalah 6 tahun dan dapat dipilih kembali dalam 3 periode, boleh berturut-turut atau tidak. Masa jabatan yang tergolong lama ini, ditakutkan akan lahir raja-raja kecil di desa. Terlebih lagi, dengan kewenangan yang diberikan pada setiap kepala desa cukup bebas dan keuntungan-keuntungan menjadi kepala desa yang dapat mengiurkan bagi setiap orang, memungkinkan seseorang dengan segala cara agar dapat menduduki jabatan sebagai kepala desa. Untuk itu, masyarakat desa harus jeli memilih kepala desa yang memang berkompeten dalam menanggulangi permasalahan-permasalahan yang ada di desanya. Dengan menggunakan pemilihan secara langsung, masyarakat desa diharapkan mampu menepatkan orang-orang terbaik di desanya pada setiap posisi di perangkat desanya, terlebih pada posisi kepala desa. Tingkatan kepedulian masyarakat desa dalam berdemokrasi, secara tidak langsung, juga akan berpengaruh dalam pembangunan-pembangunan di wilayahnya. Penepatan orang baik dan memang mampu mengatasi permasalahan desa pada tingkat kepala desa, pastilah akan berdampak positif dalam perubahan-perubahan yang terjadi ke depannya. Sebaliknya, jika salah memilih, bukan malah mengatasi permasalahan tetapi akan menimbulkan permasalahan baru yang mungkin lebih besar lagi.Masih berkaitan dengan pentingnya masyarakat desa memahami demokrasi, maka masyarakat desa mau tidak mau harus memiliki pemahaman berdemokrasi itu sendiri. Salah satu caranya adalah dengan jalur pendidikan. Dengan pendidikan yang baik dan benar, akan menghasilkan masyarakat desa yang melek berdemokrasi dan juga dapat memberikan kontribusi terhadap pembangunan-pembangunan di desanya. Ini berkaitannya dengan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berbeda-beda ada pada setiap desa. Peran pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, juga harus mampu turun tangan dalam meningkatkan SDM masyarakat desa ini. Mengenai SDM, juga berkaitan erat dengan tata kelola yang akan dikerjakan oleh perangkat desa. Maka dari itu, dengan meningkatnya SDM di suatu desa, juga akan berdampak baik terhadap tata kelola pemerintahan desanya.Lalu, pada penempatan perangkat desa itu sendiri, UU Desa tidak secara khusus menjelaskan tentang keberadaan perempuan minimal 30 persen di perangkat desa. Hal tersebut dianggap penting, karena jangan sampai perempuan-perempuan di desa hanya akan dijadikan obyek pengaturan, bukan sebagai subyek. Dengan adanya perempuan di perangkat desa, diharapkan dapat menyalurkan aspirasi perempuan-perempuan lainnya di desa tersebut.Dari sekian kelebihan dan kekurangan yang telah disampaikan, UU Desa ini harus diapresiasikan. UU ini memberikan pengakuan terhadap setiap desa yang ada di Indonesia sebagai ujung tombak pemerintahan. UU ini juga memberikan keleluasaan pada setiap desa untuk mengatur pembangunan di desanya yang bertujuan sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat desa. UU Desa akan berfungsi baik jika semua pihak saling mendukung dan saling membantu dalam menjalankan amanah UU tersebut. Jika semua pihak mampu menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan yang diamanahkan, maka bukan tidak mungkin pembangunan di desa akan semakin baik dan dapat menyejahterakan masyarakat desa itu sendiri serta membantu pembangunan nasional secara keseluruhan.

PENUTUPKesimpulanSetiap produk hukum, seperti Undang-Undang , tidak terlepas dari kelebihan dan kekurangan setelah disahkan. Begitupula UU Desa. Adapun kelebihan UU Desa yang paling terlihat adalah pemanfaatan UU Desa sebagai dasar pijakan dan dasar hukum yang jelas bagi setiap desa di Indonesia. Sedangkan, kekurangan UU Desa terletak pada pengertian desa adat yang berbeda dengan pengertian masyarakat desa adat itu sendiri. Perbedaan ini mungkin saja akan menimbulkan dampak dikemudian hari jika tidak ditanggulangi sejak diri. Dana alokasi yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan tergolong cukup besar terhadap setiap desa per tahunnya, juga bisa menjadi permasalahan jika tidak diawasi secara maksimal dan berkala. Kemudian, tidak adanya pembahasan secara khusus pada UU Desa tentang penempatan perempuan minimal 30 persen pada perangkat desa. Dan yang terpenting adalah, belum siapnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada di desa untuk menjalankan UU Desa ini dan tentunya akan berdampak terhadap tata kelola pemerintahan desa itu sendiri.Saran

UNDANG-Undang No.6 Tahun 2014 tentang Desa yang telah disahkan Pemerintah pada 15 Januari 2014 lalu, secara kebetulan atau tidak, lahirnya hampir bersamaan dengan masa-masa pemilu legislatif dan pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2014. UU tersebut juga dapat dikatakan merupakan hasil tekanan, demo-demo ke Jakarta dari elite-elit aparat desa (antara lain yang tergabung dalam Parade Nusantara). Beberapa aktivis LSM ikut membidani konsep akademis/draf RUU Desa. Sehingga tidak mengherankan bila kelompok-kelompok mereka pula yang pertama-tama potensial akan mendapatkan keuntungan, baik langsung maupun tidak, dari UU No. 6 Tahun 2014 tersebut. Selanjutnya yang potensial diuntungkan oleh UU ini adalah parpol-parpol dan para anggota Dewan yang mengharap dukungan dari para kepala desa dan warga desa dalam pemilihan umum 2014. UU No.6 tadi tidak mungkin disahkan oleh Pemerintah tanpa persetujuan DPR-RI yang anggota merupakan orang-orang parpol.Terlepas dari siapa saja yang terlibat dalam pembuatan naskah UU yang cukup banyak memiliki kelemahan tersebut, dan apa saja kepentingan yang diusung para pengusung UU No.6 tadi, saya berpendapat bahwa ada beberapa hal dari UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa dapat diapresiasi.Kekuatan dan Kelemahan Salah satu kekuatan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa adalah terlihatnya komitmen Negara untuk mengakui (rekognisi) dan melindungi desa-desa atau nama lain (sesuai adat masing-masing di daerah-daerah yang sangat beragam) di seluruh Indonesia guna melaksanakan konstitusi pasal 18 B UUD 1945. Bukan saja desa-desa tersebut diakui secara legal formal oleh Negara, namun juga diberikan jaminan sumber pendapatan yang pasti yang berasal dari APBN, dari APBD, serta dari sumber pendapatan asli desa itu sendiri.Ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam UU Desa sekilas terlihat sangat indah dan mulia! Namun bila kita perhatikan proses kelahiran UU No.6 Tahun 2014 yang antara lain adalah karena desakan-desakan dari Parade Nusantara atau kalangan LSM sebagai kelompok penekan (pressure group) yang memobilisasi perangkat desa, maka UU tersebut cenderung bersifat segmented, hanya menguntungkan segmen-segmen tertentu, khususnya kepala desa dan perangkat desa, LSM dan parpol-parpol. Masyarakat desa dalam UU itu tetap hanya dijadikan obyek katimbang obyek. Pendekatan kapitalistik dengan menebar uang ke desa dalam UU tersebut, menurut saya, mirip dengan politik uang (money politics) yang dilegalkan oleh Negara.Oleh karena itu saya berpendapat bahwa UU tersebut potensial mengandung kelemahan-kelemahan yang cenderung bersifat counter-productive terhadap cita-cita membangun desa dan kesejahteraan warga perdesaan. Mengapa? Salah satu faktornya adalah karena UU tersebut bukan affirmative policy yang memposisikan seluruh rakyat desa sebagai pihak pertama yang akan mereka bela dan berdayakan. Seharusnya UU ini menentukan angka minimal, misalnya 50% dari total anggaran desa, diwajibkan dialokasikan untuk membangun infrastruktur publik pedesaan (jalan-jalan desa/kampung, pemeliharaan parit-parit, kuburan-kuburan desa, perpustakaan desa, membangun gedung-gedung sekolah TK/SD/SMP, puskesmas, merawat saluran irigasi desa, meningkatkan sanitasi kampung-kampung nelayan, dsb.).Karena angka afirmatif tersebut tidak dimunculkan dalam UU No.6 Tahun 2014, maka hal negatif yang perlu diantisipasi adalah penyimpangan keuangan Desa oleh aparatur pemerintahan desa (kepala desa, perangkat desa dan anggota-anggota Badan Permusyawaratan Desa) atau pihak ketiga (rent-seekers/para pemburu rente). Jadi itulah salah satu kelemahan pokok UU tersebut menurut pendapat saya. Jangan sampai anggaran desa dihabiskan atau dihambur-hamburkan, misalnya untuk upacara-upacara adat yang terlalu sering dilakukan, dikorupsi aparatur desa, untuk diboroskan dengan membeli mobil atau sepeda motor dinas; untuk studi banding, atau untuk foya-foya (termasuk untuk melakukan womanizing.).Kelemahan kedua UU No. 6 Tahun 2014 adalah tidak adanya affirmative policy agar minimal 30% perempuan ada dalam struktur pemerintah desa dan BPD. Peluang tersebut tetap perlu dibuka dalam PP/Perda-perda Provinsi/Kabupaten/Kota yang akan menindaklanjuti pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2014. Jangan sampai kaum perempuan perdesaan hanya akan dijadikan obyek pengaturan, bukannya subyek. Hendaknya penguatan atau revitalisasi adat-istiadat di desa akibat lahirnya UU tersebut, justru akan semakin memberikan pengayoman dan mendukung kemajuan kaum wanita perdesaan. Hal tersebut perlu didukung dengan pembiayaan yang memadai yang dialokasikan dalam Anggaran Desa.Kelemahan ketiga UU No. 6 Tahun 2014 yaitu mengabaikan pentingnya peran Babinsa dan babinkamtibmas dalam mendukung ketahanan nasional desa dan warga pedesaan. Babinsa dan aparat keamanan yang dekat dengan rakyat dan mengayomi rakyat, akan dicintai rakyat. Babinsa dapat diambilkan dari militer yang menguasai ketrampilan sipil, seperti tutur kata yang halus, sikap yang bijak tapi tegas, pantang melakukan hal-hal buruk seperti korupsi, pungli, gratifikasi, kekerasan, pelecehan seksual, dll.. Babinsa dan babinkamtibmas yang kasar dan melukai hati rakyat harus segera ditindak oleh komandannya.Sehubungan dengan itu perlu PP, Kemendagri dan Perda yang mengakomodasi peran Babinsa dan babinkamtibmas, selain perwakilan LSM yang berintegritas, untuk dilibatkan secara terbatas (agar tidak melanggar peraturan perundangan) dalam Musyawarah Desa dan dalam kegiatan-kegiatan pendampingan di desa.Pengakuan Negara terhadap eksistensi desa dan desa adat dalam UU No.6 Tahun 2014 tidak berarti desa dan desa adat menjadi merdeka, atau tidak mau diatur atau diawasi pemerintah atasan. Dalam konsep self-governing community di mana pun di dunia, baik dalam Negara Kesatuan maupun Negara federal, Pemerintah Pusat/pemerintah atasan tetap mempunyai hak dan kewajiban mengawasi rakyat dalam rangka melindungi keutuhan dan keselamatan Negara dan Bangsa. Namun, pengawasan tersebut harus luwes tetapi efektif dan tidak boleh mematikan inisiatif dan kreativitas rakyat.Dalam kerangka pemerintahan lokal saat ini, pengawasan tersebut dapat didelegasikan oleh Pemerintah Pusat kepada Gubernur selaku alat Pusat. Namun, karena kabupaten lebih dekat kepada desa, maka pengawasan yang lebih efektif terhadap desa-desa sebenarnya ada pada bupati. Sehubungan dengan itu saya mengusulkan kepada Pemerintah/Kemendagri dan DPR, agar Revisi UU Pemerintahan Daerah yang saat ini sedang dikerjakan, merubah posisi bupati yang saat ini sebagai alat daerah saja, menjadi bupati sebagai alat daerah sekaligus alat Pusat (sebagaimana gubernur). Model peran ganda kepala daerah sebagai alat daerah dan sekaligus alat Pusat, atau ada yang menyebutnya integrated prefectoral system, saya duga lebih tepat untuk Indonesia yang menurut saya akan semakin banyak memiliki daerah-daerah otonom baru dan desa-desa pemekaran baru di masa datang. Saat ini Pemerintah Pusat sangat lemah karena hampir-hampir tidak mempunyai kepanjangan tangan di daerah-daerah. Buruknya kinerja otonomi daerah dalam menyejahterakan rakyat selama reformasi ini, menurut dugaan saya, salah satunya adalah karena kebijakan otonomi daerah yang kurang tepat, di samping karena karena lemahnya pengawasan dan pendampingan Pusat (khususnya Kemendagri) terhadap pemda-pemda. Terkait dengan masalah tersebut, maka pemilihan kepala daerah secara langsung atau pemilihan kepala daerah melalui DPRD, kedua-duanya perlu dikaji kembali oleh Pusat, mana yang lebih tepat untuk membangun nation-state (Negara Bangsa) Indonesia yang kokoh yang mampu mempercepat terwujudnya cita-cita alinea IV Pembukaan UUD 1945. Selanjutnya saya berpendapat, bahwa UU N Tahun 2014 sulit untuk dapat mempercepat pembangunan desa dan mengurangi kemiskinan dan kesenjangan ekonomi perdesaan apabila masalah tata niaga pertanian dan perdagangan yang cenderung menguntungkan para tengkulak, pemodal menengah dan besar --sebaliknya sangat merugikan para petani kecil-- tidak dibongkar dan diperbaiki oleh Pemerintah. Pasar-pasar swalayan modern hendaknya dilarang Pemerintah dan Pemda untuk masuk ke kecamatan dan desa-desa karena meminggirkan warung-warung, toko-toko para pedagang kecil (tradisional).Demikian juga masalah penguasaan tanah yang berlebihan pada pihak-pihak tertentu (misalnya kelompok pemodal/investor), perlu menjadi prioritas pertama bagi pemerintahan baru nanti untuk meninjau kembali dan melakukan perbaikan-perbaikan yang signifikan terhadap kebijakan pertanahan agar tidak menguntungkan hanya pada segelintir pemilik modal besar atau tuan-tuan tanah tertentu. Reformasi agraria dan pelaksanaan UU Agraria seperti yang sering diusulkan oleh kalangan LSM dan sejumlah akademisi, hendaknya lebih diperhatikan oleh pemerintah baru nanti.UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa harus ditinjau kembali/direvisi karena UU tersebut cenderung berpotensi merobohkan bangunan Negara Republik Indonesia berbentuk Kesatuan yang diproklamasikan Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945. Mengapa? Karena Indonesia bukanlah hanya sekedar bekas wilayah jajahan Belanda yang disebut Hindia Belanda. Sebelum penjajah datang Barat datang, telah ada Nusantara yang terdiri atas kerajaaan-kerajaan kecil dan besar, di samping kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat seperti desa, huta, kuria, marga, negeri, nagari, dan sebagainya. dengan tanah-tanah ulayat mereka.Karena UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa memberikan pengakuan akan eksistensi desa-desa adat dan masyarakat adat (seperti antara lain pemilihan kepala desa adat tidak harus dengan pilkades langsung yang berlaku untuk kades-kades non-adat), maka UU ini berpotensi membangkitkan kembali feodalisme di desa-desa adat serta dapat meningkatkan klaim-klaim masyarakat adat terhadap tanah (baik tanah adat maupun tanah publik). Oleh karena itu saya merekomendasikan kepada Pemerintah (Presiden dan DPR) hasil pemilu 2014 untuk SEGERA merevisi UU No. 6 T ahun 2014 tentang Desa. Semangat dasar UU Desa ini adalah mendemokratisasi desa, bukannya mengembalikan feodalisme lama atau memfasilitasi neo-tradisionalisme.Sebagai penutup, saya mengajukan beberapa usulan/saran kepada Pemerintahan Baru hasil pemilu 2014 :1. Presiden dan DPR hasil pemilu 2014 agar merevisi secara mendasar UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Revisi tersebut perlu mengatur baik kepala desa maupun kepala desa adat wajib dipilih melalui pemilihan secara langsung oleh warga desa. Sejak tahun1979 semua kepala desa dan kepala desa adat telah dipilih melalui pilkades. Terjadi kemunduran (setback) bila kepala desa adat dipilih/ditunjuk berdasar keturunan/darah berdasar UU No.6 Tahun 2014. Semangat UU No 6 Tahun 2014 adalah demokrasi, bukan feodalisme atau neo-tradisionalisme. Pengakuan (rekognisi) Negara kepada desa adat haruslah bersifat tertentu/terbatas/dirinci secara jelas batas-batasnya dalam PP.2. Revisi selanjutnya perlu dilakukan untuk mencabut pasal perubahan status desa/desa adat/kelurahan. Pasal tersebut sangat potensial menimbulkan konflik bila desa-desa/kelurahan menuntut menjadi desa adat dan mengkapling-kapling tanah-tanah publik sebagai tanah ulayat mereka. Jangan sampai UU Desa (dan peraturan pemekaran daerah) menjadi pintu masuk pihak-pihak tertentu (baik dari internal maupun eksternal Negara Indonesia ) untuk memecah-belah dan merobohkan NKRI. Mahkamah Konstitusi hendaknya bijaksana dalam mengambil keputusan-keputusan dengan menyeimbangkan antara pasal 18 UUD 1945 dan pasal 33 UU 1945 (UUD amandemen).3. Pemerintah perlu melakukan inventarisasi tanah-tanah ulayat yang saat ini dikuasai investor swasta maupun Pemerintah sendiri. Bila ternyata ada kerugian-kerugian yang diderita oleh masyarakat adat di wilayah tertentu akibat penguasaan tanah ulayat oleh negara/swasta, sebaiknya Pemerintah segera memperbaiki kebijakan yang ada, termasuk dengan memberikan kompensasi-kompensasi atau ganti-untung yang memadai. Selebihnya Pemerintah perlu melakukan pengaturan ulang mengenai tanah ulayat sehingga menguntungkan baik Negara/Pemerintah maupun masyarakat adat , demi keutuhan NKRI. Artinya, kedua pihak harus sama-sama memiliki nasionalisme yang tinggi. Kebijakan-kebijakan Pusat di bidang investasi, pertambangan, kehutanan, perkebunan, pertanahan dan perdagangan perlu dikaji ulang oleh Pemerintah sehingga dapat menguntungkan, bukan mengorbankan, kepentingan rakyat kecil, di Indonesia.(Penulis adalahAlumni Sarjana S1 dari Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM, S3 dari The Flinders University of South Australia Department of Asian Studies and Languages, dan alumni dari Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia/(LIPI) di Jakarta. Saat ini bekerja sebagai peneliti tamu pada Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (PSP3) Institut Pertanian Bogor-IPB).- See more at: http://m.jurnas.com/news/133227/Antisipasi-Permasalahan-dan-Usulan-Revisi-UU-Desa-2014/1/Nasional/Opini/#sthash.sQ8OZPEE.dpuf

Desa, UU Desa 2014, dan Perubahan SosialOleh: Emil E. ElipSudah ratusan tahun sejak jaman penjajahan Belanda, desa menjadi ajang pemikiran, arena eksplorasi dan eksploitasi, ajang perebutan, pergolakan politik, dll. Sebagian para ahli resah tidak rela jika desa dianggap replikasi dan bagian dari kekuasaan negara, sebagian ahli lain terutama ahli teknokrasi pembangunan sangat bersemangat bahwa desa merupakan bagian dari negara NKRI.Sebagian ahli yang tidak rela jika desa dianggap bagian dari negara secara struktural mengambil alasan bahwa pada jaman Belanda desa-desa sudah diakui otonominya oleh Belanda, bahkan adat istiadatnya dibiarkan berkembang. Kita harus akui bahwa para birokrat Belanda yang dikirimkan ke Indonesia pada penjajahan dulu adalah para sarjana yang sangat ahli dalam studi-studi sosial. Mereka paham betul dan sangat tepat memotret secara antropologis maupun sosiologis sendi-sendi kebudayaan masyarakat Indonesia di desa-desa, dan karena itu mereka tahu betul bagaimana caranya melemahkan dan memecah belah antara rakyat jelata, para priyayi keraton/raja, serta para elit adat dan agama.Agar kehausan para penjajah Belanda menguasai aset-aset di tingkat grassroot ini bisa terjadi secara langsung, dan tidak direcoki oleh para raja yang kekuasaannya tidak terbatas, maka desa harus sungguh-sungguh mereka pahami dan nampaknya mereka bisa menemukan kekuatan entitas desa sebagai teritorial maupun otonomi. Oleh karena itu kemudian dihembuskan desa sebagai entitas otonom dan bermartabat, agar memiliki kekuatan melawan raja mereka. Jika sebuah desa tak mampu ditahklukkan secara sosiologis, maka yang dilakukan adalah sebaliknya yaitu pusat kekuasaan raja yang didekati agar para raja lokal menekan desa dan rakyatnya sendiri. Ini bisa dilakukan karena para sarjana Belanda tersebut pun sangat paham kultur para priyayi kerajaan beserta simbol-simbol budaya kekuasaannya.Kepongahan kita adalah apa yang sudah ditemukan oleh Belanda itu kita anggap bagai pahlawan bahwa Belanda-pun menghormati adat istiadat dan otonomi desa. Para sarjana pongah ini kemudian membayangkan suatu kondisi dimana negara dan pemerintah dewasa ini seyogyanya dapat meniru sikap pemerintah Belanda atas otonomi dan kekhasan desa.Memberhentikan Sejarah DesaMembayangkan desa-desa saat ini seperti desa-desa di jaman penjajahan Belanda 350 sampai 400 tahun yang lalu sungguh sebuah kecenderungan yang menghentikan sejarah. Hal yang tidak bisa dihentikan adalah bahwa sejarah terus berjalan, seiring perubahan yang cepat ataupun lambat datang dari luar sebuah komunitas maupun desa. Kebudayaan sebuah komunitas hanya memiliki dua pilihan, yaitu menghindari sejarah atau mengikuti sejarah perubahan yang dipengaruhi oleh bermacam-macam faktor. Nampaknya sangat sedikit komunitas yang menyurutkan diri dari pertahutan relasi dengan dunia luar yang lebih luas.Komunitas-komunitas adat tersebut yang menjauhkan diri dari arus sejarah modern, misalnya saja komunitas Badui (dalam), sekali lagi hanya sangat sedikit. Eksklusifisme mereka justru sama sekali tidak bersinggungan dengan negara dalam urusan yang disebut desa baik secara teritori maupun tatakelolanya. Komunitas-komunitas adat yang tidak eksklusif, yang sudah bertautan dengan komunitas-komunitas terorganisir dalam sebuah sistem yang disebut desa, inilah yang sering menjadi perdebatan yang pelik seakan-akan menumbuhkan banyak persoalan.Bagaimanapun sebuah komunitas masyarakat tentu memiliki eksistensi kultural yang mereka yakini. Berhadapan dengan komunitas dunia luar maka tumbuh dua persoalan, Pertama, masyarakat dunia luar tidak mengetahui cara menghormati adat-budaya mereka dan disisi lain komunitas adat tersebut tetap ingin dihormati eksistensinya. Sesungguhnya ini hanya masalah pendidikan atas keberagaman yang sayang pemerintah sama sekali gagal mendidik masyarakatnya mengenai penghormatan atas keberagaman. Sementara itu para pengembara dunia politik yang kebanyakan pongah juga, memanfaatkan sentimen etnis, kelompok, dan golongan tersebut untuk mengais-ngais suara menggalanag kekuatan masa.Bagi saya konflik antar komunitas adat dan komunitas masyarakat disekitarnya adalah hal biasa. Dia merupakan bagian dari sintesa dan antitesa sosiologis. Konflik merupakan perjalanan sejarah suatu komunitas untuk meng-ada dan melakukan kompromi-kompromi solutif, asalkan tidak ada pihak ketiga yang mau memanfaatkannya. Setiap komunitas akan membangun pandangan-nya sendiri atas perbedaan, kemudian membangun pembelajarannya sendiri atas kejadian-kejadian yang dialaminya, selanjutnya dari pembelajaran itu akan membangun konstruksi solusi dalam bentuk tata nilai baru termasuk tata nilai dalam relasinya dengan dunia luar. Jika setiap komunitas masyarakat tidak memiliki kemampun mengkonstruksikan sejarah pengalaman hidupnya, maka komunitas-komunitas tersebuta akan punah dengan sendirinya saling membunuh. Setiap individu pada prinsipnya ingin hidup aman dan damai, begitu pula setiap komunitas yang merupakan kumpulan dari individu yang membangun pandangan hidup yang sama.Konflik yang berkepanjangan dan semakin tajam dikarenakan adanya pihak ketiga yang berupaya mengambil keuntungan dari komunitas-komunitas yang sedang berkonflik, entah konflik berbau agama, berlatar belakang etnis, konflik tapal batas, dll. Ranah konflik tersebut termasuk juga pada level para cendekiawan yang pongah, cendekiawan yang berfikir konvensional-romantis dengan penganut paham modern-absolut, yang ingin menghormati adat dengan cara menghentikan sejarahnya, dan macam-macam lain. Perubahan-perubahan kebijakan yang paling ideal biasanya menjadi sasaran arena perdebatan itu, sehingga belum sampai sebuah kebijakan tuntas dilaksanakan dan dikaji lessons-learned-nya arus perdebatan sudah bergulir sebegitu rupa seakan-akan perdebatan itulah solusi terbaik.Desa Dalam Teori-Teori Perubahan SosialSesungguhnya yang sedang kita upayakan dengan pembuatan udang-undang adalah untuk sebuah perubahan. Tentu saja dengan maksud untuk menuju perubahan yang lebih baik. Namun sebelumnya mari kita menelusuri apa makna perubahan itu, teori-teori apa yang telah menjelaskan tentang perubahan yang sudah terjadi dan atau diprediksikan akan terjadi di dalam masyarakat. Ada dua ranah besar perubahan yang akan dibahas di sini, yaitu perubahan sosial (social change) dan perubahan kebudayaan (cultural change). Apa hubungan antar keduanya, apa dimensi pada masing-masing perubahan tersebut, dan akhirnya mari kota coba menghubungan antara perubahan yang diharapkan melalui UU no 6 Tahun 2014 Tentang Desa (UU Desa 2014) yang baru dengan kedua jenis perubahan tersebut.Apakah Masyarakat (Society) Itu?Dampak yang diharapkan dari diberlakukannya UU Desa 2014 adalah suatu perubahan yang lebih baik di dalam masyarakat, dalam hal ini masyarakat di level grassroots, desa. Oleh karena itu perlu didiskusikan di awal apa makna masyarakat yang dibayangkan oleh UU Desa 2014 tersebut tentu dalam hal ini adalah persepsi yang dianut oleh para penyusun UU Desa 2014 tersebut tentang konsep masyarakat. Secara umum para ahli sosial dan perubahan masyarakat menganut dua jenis konsepsi tentang masyarakat, yaitu static perspective dan dynamic perspective. Static perspective mengasumsikan bahwa masyarakat itu bergerak atau berubah secara statis (pelan) sesuai dengan struktur sosial yang dimiliki. Sementara perpective dynamic berasumsi bahwa masyarakat akan selalu bergerak atau berubah secara dinamis, tergantung besar kecilnya faktor eksternal yang ber-relasi dengan masyarakat bersangkutan.Masyarakat adalah sekumpulan orang yang saling ber-relasi melalui seperangkat tata-nilai yang disepakati dan dipahami bersama, sebagai ikatan kehidupan. Sebagai sebuah sekumpulan orang-orang maka bisa dibedakan dengan jelas antara masyarakat (society) dengan kumpulan massa (group of mass), dan komunitas (community). Dua peristilah yang terakhir muncul untuk merujuk kepada budaya pop (pop-culture) yang berkembang dewasa ini. Maka segera bisa kita bedakan antara masyarakat desa dengan masyarakat perkotaan, dimana masyarakat perkotaan jelas lebih menyerupai group of mass dan atau community. Kumpulan massa sesungguhnya bukan kumpulan manusia (human) dalam pengertian konsepsi masyarakat. Di dalam kumpulan massa atau ko