abstrak - sinta.unud.ac.id · dirumuskan permasalahan bagaimana penjabaran doktrin act of ultra...
TRANSCRIPT
10
ABSTRAK
Direksi Perseroan Terbatas bertugas mempunyai tugas dan kewenangan
menjalankan pengurusan Perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan
dalam batas yang diberikan oleh Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang
Perseroan Terbatas (UUPT) dan Anggaran Dasar Perseroan. Bilamana Direksi
Perseroan melakukan perbuatan diluar dari maksud dan tujuan Perseroan serta
melampaui batas kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Perseroan
Terbatas, anggaran dasar maupun keputusan RUPS maka perbuatan Direksi
tersebut dapat dikategorikan sebagai act of ultra vires. Doktrin act of ultra vires
ini tercermin dalam beberapa pasal pada UUPT. Atas tindakan ultra vires Direksi
ini akan berdampak kerugian bagi para stakeholders Perseroan terutama internal
stakeholders. Mengacu pada ketentuan dalam Pasal 97 UUPT bilamana Direksi
melakukan act of ultra vires maka Direksi harus bertanggung jawab secara pribadi
atas kerugian yang dialami oleh Perseroan maupun para stakeholders. Namun
pada kenyataannya masih sulit memintakan pertanggungjawaban secara pribadi
kepada Direksi Perseroan yang terindikasi melakukan act of ultra vires.
Berdasarkan kesenjangan antara das sollen dan das sein tersebut, maka dapat
dirumuskan permasalahan bagaimana penjabaran doktrin act of ultra vires dalam
Undang-Undang Perseroan Terbatas dan bagaimana tanggung jawab Direksi
Perseroan Terbatas terhadap internal stakeholders dalam hal adanya act of ultra
vires.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris dengan sifat penelitian
deskriptif. Data yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah data primer dan
data sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik
wawancara dan studi dokumen. Teknik penentuan sampel penelitian yaitu
menggunakan teknik non-random sampling dan data yang diperoleh disajikan
dengan cara deskriptif kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadinya perbedaan antara
ketentuan dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas dengan kenyataannya di
lapangan oleh karena kurangnya sosialisasi terhadap doktrin act of ultra vires ini
dalam UUPT serta tidak ada sanksi yang mengatur atas tindakan tersebut,
ditambah dengan lemahnya mentalitas Direksi Perseroan dan aparat penegak
hukum sehingga tidak memberikan perlindungan hukum bagi internal
stakeholders.
Kata Kunci: Direksi, Wewenang, Act of Ultra Vires, Tanggung Jawab
ix
11
ABSTRACT
The Board of Directors of the Limited Liability Company has the duty and
authority to carry out the management of the Company in accordance with the
objectives and objectives of the Company within the limits granted by Law No.
40/2007 on Limited Liability Company (UUPT) and Company's Articles of
Association. If the Company's Board of Directors performs acts outside of the
intent and purpose of the Company and exceeds the limits of the authority granted
by the Limited Liability Company Law, the statutes and resolutions of the GMS
(RUPS), the act of the Board of Directors may be categorized as act of ultra vires.
The doctrine act of ultra vires is reflected in several articles on UUPT. The ultra
vires of the Board of Directors will have an impact on the Company's
stakeholders, especially internal stakeholders. Referring to the provisions of
Article 97 of UUPT when the Board of Directors exercises an act of ultra vires,
the Board of Directors shall be personally liable for losses suffered by the
Company and its stakeholders. However, in reality it is still difficult to request
personal responsibility to the Board of Directors of the Company that is indicated
to act of ultra vires. Based on the gap between das sollen and das sein, the
formulation of the doctrine act of ultra vires in the Law of Limited Liability
Company and how the responsibility of the Limited Liability Company to internal
stakeholders in the case of act of ultra vires can be formulated.
This research is empirical law with descriptive research characteristic. The data
used in this thesis research are primary data and secondary data. The data
collection techniques are interview techniques and document studies. The
technique of determining the research sample is using non-random sampling
technique and the data obtained is presented by qualitative descriptive method.
The result of the research shows that there is a difference between the provisions
of the Limited Company Law with the reality due to the lack of socialization of the
doctrine act of ultra vires in UUPT and there is no sanction to regulate the action,
plus the weak mentality of the Board of Directors and apparatus of Law so it will
not provide legal protection for internal stakeholders.
Keywords: Board of Directors, Powers, Act of Ultra Vires, Responsibility
x
13
DAFTAR ISI
JUDUL HALAMAN
HALAMAN SAMPUL DEPAN
HALAMAN SAMPUL DALAM ................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... iii
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT .............................................. iv
UCAPAN TERIMA KASIH ......................................................................... v
HALAMAN ABSTRAK ................................................................................ vii
HALAMAN ABSTRACT ............................................................................... viii
RINGKASAN TESIS ..................................................................................... ix
DAFTAR ISI ................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1
1.1 Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................. 16
1.3 Ruang Lingkup Masalah ........................................................ 16
1.4 Tujuan Penelitian ................................................................... 17
1.4.1 Tujuan Umum ............................................................ 17
1.4.2 Tujuan Khusus ............................................................ 17
1.5 Manfaat Penelitian ................................................................. 17
1.5.1 Manfaat Teoritis ......................................................... 18
1.5.2 Manfaat Praktis .......................................................... 18
1.6 Orisinalitas Penelitian ............................................................ 18
xii
14
1.7 Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir ............................ 20
a. Landasan Teoritis ............................................................ 20
b. Kerangka Berpikir ........................................................... 34
1.8 Metode Penelitian................................................................... 35
1.8.1 Jenis Penelitian ........................................................... 35
1.8.2 Sifat Penelitian .............................................................. 36
1.8.3 Data dan Sumber Data ................................................ 36
1.8.4 Teknik Pengumpulan Data ......................................... 37
1.8.5 Teknik Penentuan Sampel Penelitian ......................... 38
1.9.7 Pengolahan dan Analisis Data .................................... 38
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERSEROAN TERBATAS
DAN DOKTRIN PENYELENGGARAAN PERSEROAN
TERBATAS ................................................................................. 39
2.1 Tinjauan Umum Perseroan Terbatas ...................................... 39
2.1.1 Pengertian dan Karakteristik Perseroan Terbatas ...... 39
2.1.2 Struktur Organ Perseroan Terbatas ............................ 46
2.2 Prinsip-Prinsip Pengelolaan Perseroan Terbatas .................... 60
2.3 Tinjauan Tentang Doktrin Act of Ultra Vires dan Doktrin-
Doktrin Modern Lainnya dalam Pengelolaan Perseroan
Terbatas ................................................................................. 64
BAB III PENJABARAN DOKTRIN ACT OF ULTRA VIRES DALAM
UNDANG-UNDANG PERSERORAN TERBATAS .............. 81
3.1 Kedudukan Hukum Direksi Sebagai Organ Perseroan Terbatas 81
3.2 Tugas dan Wewenang Direksi dalam Perseroan Terbatas .... 90
3.3 Doktrin Act of Ultra Vires dalam Ketentuan Undang-Undang
Perseroan Terbatas ................................................................ 99
xiii
15
BAB IV TANGGUNG JAWAB DIREKSI TERHADAP INTERNAL
STAKEHOLDERS DALAM HAL ADANYA ACT OF
ULTRA VIRES ............................................................................. 110
4.1 Bentuk-Bentuk Tindakan Direksi yang Dikategorikan
Sebagai Act of Ultra Vires..................................................... 110
4.2 Perlindungan Hukum Terhadap Internal Stakeholders dalam
Hal Adanya Act of Ultra Vires ............................................... 129
4.3 Tanggung Jawab Direksi Terhadap Tindakan yang
Bertentangan dengan Anggaran Dasar …………………….. 139
BAB V PENUTUP .................................................................................... 160
5.1 Simpulan ................................................................................ 160
5.2 Saran .................................................................................... 161
DAFTAR PUSTAKA
xiv
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Perusahaan atau korporasi dan bisnis sebagai pendorong utama globalisasi
dan perkembangan ekonomi dapat membantu memastikan bahwa pasar,
perdagangan, teknologi, dan keuangan dapat memberikan manfaat baik manfaat
ekonomi bagi perusahaan yang bersangkutan, manfaat ekonomi bagi negara
(sumber pemasukan negara), maupun manfaat bagi masyarakat pada umumnya.1
Untuk itu dalam melangsungkan suatu bisnis, para pengusaha membutuhkan suatu
wadah untuk dapat bertindak melakukan perbuatan hukum dan bertransaksi.
Pemilihan jenis badan usaha ataupun badan hukum yang akan dijadikan sebagai
sarana usaha tergantung pada keperluan para pendirinya. Sarana usaha yang
paling populer digunakan adalah Perseroan Terbatas. Ini karena Perseroan
Terbatas memiliki sifat, ciri khas dan keistimewaan yang tidak dimiliki oleh
bentuk badan usaha lainnya.2
Sri Rejeki Hartanto berpendapat bahwa: 3
Bentuk badan usaha Perseroan Terbatas sangat dinikmati oleh masyarakat
karena pada umumnya Perseroan Terbatas mempunyai kemampuan
mengembangkan diri, mampu mengadakan kapitalisasi modal dan sebagai
wahana yang potensial untuk memperoleh keuntungan baik bagi
instansinya sendiri maupun bagi para pendukungnya (pemegang saham).
1Kristian, 2014, Hukum Korporasi Ditinjau dalam The United Nations Global Compact,
Nuansa Aulia, Bandung, h.1. 2Adrian Sutedi, 2015, Buku Pintar Hukum Perseroan Terbatas, Raih Asa Sukses, Jakarta,
h.17. 3 Agus Budiarto, 2002, Kedudukan Hukum dan Tanggung Jawab Pendiri Perseroan
Terbatas, Ghalia Indonesia, Jakarta, h.13.
1
2
Ada beberapa faktor atau alasan mengapa seorang pengusaha memilih
Perseroan Terbatas untuk menjalankan usaha dibandingkan dengan bentuk
perusahaan lain seperti Persekutuan Perdata, Koperasi, Firma, CV, yaitu :
a. Semata-mata untuk mengambil manfaat karakteristik pertanggungjawaban
terbatas.
b. Atau dengan maksud kelak manakala diperlukan mudah melakukan
transformasi perusahaan.
c. Atau alasan fiskal.4
Atas dasar sebagaimana yang diuraikan diatas inilah yang membuat
sebagian pengusaha cenderung memilih untuk mendirikan dan menjalankan usaha
di Indonesia berbentuk Perseroan Terbatas.5
Sebagai suatu wadah untuk melakukan kegiatan usaha, Perseroan Terbatas
didukung oleh perangkat organisasi yang mengendalikannya. Untuk itu
dibutuhkan kerangka kerja hukum yang pasti agar unit usaha ini dapat bekerja
dengan produktif dan efisien. Landasan hukum diperlukan agar kerancuan hukum
dapat diatasi, dan terdapat arahan hukum yang jelas bagi perseroan terbatas dalam
dalam melaksanakan kegiatannya.
Perkembangan perangkat hukum untuk menciptakan dan melindungi hak
manusia sebagai anggota masyarakat terus mengalami perkembangan. Misalnya
dalam kegiatan ekonomi perusahaan, hak seseorang sebagai pelaku usaha dalam
menjalankan perusahaan berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat.
4Binoto Nadapdap, 2014, Hukum Perseroan Terbatas Berdasarkan Undang-Undang No.
40 Tahun 2007, Aksara, Jakarta, h.3. 5Yetty Komalasari Dewi, 2011, Pemikiran Baru Tentang Commanditaire Vennontschap
(CV): Studi Perbandingan KUHD dan Wvk serta Putusan Pengadilan Indonesia dan Belanda,
FHUI, Jakarta, h.5.
3
Karena pada akhir-akhir ini telah muncul pemikiran-pemikiran mengenai sifat dan
hakikat hukum perusahaan yang menampung kebutuhan masyarakat yang
berkepentingan (stakeholder) dari perusahaan. Hal yang menjadi pemikiran dalam
hukum perusahaan adalah kondisi perusahaan yang berbentuk badan hukum
“Perseroan Terbatas” atau Limited Liability Company.
Di Indonesia perangkat hukum yang mengatur perusahaan berbentuk
badan hukum Perseroan Terbatas pada awalnya diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Dagang pada Pasal 36 sampai dengan Pasal 56, namun
pengaturannya masih sangat sumir dan sederhana sehingga tidak mampu
mengikuti perkembangan zaman. Bahwa disamping bentuk badan hukum
Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang, saat itu juga masih terdapat bentuk badan hukum lain dengan nama
Maskapai Andil Indonesia yang diatur dalam Ordonansi Maskapai Andil
Indonesia (Ordonnantie op de Indonesische Maatschapppij op Aandeelen)
Staatsblad 1939 : 569 juncto 717. Oleh karenanya diperlukan pembaharuan dan
kesatuan pengaturan mengenai Perseroan Terbatas.
Pembaharuan hukum perusahaan menurut Undang-Undang Perseroan
Terbatas ditujukan untuk memberi jawaban atas tuntutan perkembangan zaman
yang begitu pesat atas eksistensi dan peranan Perseroan Terbatas sebagai salah
satu bentuk badan hukum bagi pelaku usaha. Guna menjawab tantangan tersebut
maka diundangkanlah Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan
Terbatas. Adapun alasan penggantian sebagaimana yang tercantum dalam
konsideran Undang-Undang Perseroan Terbatas tersebut, antara lain :
4
1. Ketentuan Perseroan Terbatas yang diatur dalam KUHD dianggap
sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan ekonomi dan dunia
usaha yang semakin pesat, baik secara nasional maupun internasional.
2. Menciptakan kesatuan hukum dalam perseroan yang berbentuk badan
hukum (rechts person, legal person, legal entity).
Kemudian pada tanggal 16 Agustus 2007, diundangkan Undang-Undang
No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (yang selanjutnya disebut dengan
UUPT 40/2007) sebagai Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 Tentang
Perseroan Terbatas (yang selanjutnya disebut dengan UUPT 1/1995) dan yang
menjadi alasan dilakukannya penggantian UUPT 1/1995 sebagaimana dalam
konsideran UUPT 40/2007 yaitu :6
1. Bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasarkan atas
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi,
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,, kemandirian,
serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional, perlu didukung oleh kelembagaan perekonomian yang kokoh
dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat.
2. Bahwa dalam rangka lebih meningkatkan pembangunan perekonomian
nasional dan sekaligus memberikan landasan yang kokoh bagi dunia
usaha dalam menghadapi perkembangan perekonomian dunia dan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di era globalisasi pada masa
mendatang, perlu didukung oleh suatu undang-undang yang mengatur
6 Habib Adjie, 2008, Status Badan Hukum, Prinsip-Prinsip dan Tanggung Jawab Sosial
Perseroan Terbatas, Mandar Maju, Bandung, h.1.
5
tentang Perseroan Terbatas yang dapat menjamin terselenggaranya
iklim dunia usaha yang kondusif.
3. Bahwa Perseroan Terbatas sebagai salah satu pilar pengembangan
perekonomian nasional perlu diberikan landasan hukum untuk lebih
memacu pembangunan nasional yang disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan asas kekeluargaan.
4. Bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan
Terbatas dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
hukum dan kebutuhan masyarakat sehiingga perlu diganti dengan
undang-undang yang baru.
Dasar alasan yang disebut dalam konsideran dimaksud, diperjelas lagi
dalam Penjelasan Umum yang menegaskan bahwa :7
1. Dalam perkembangannya ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1995 dipandang tidak lagi memenuhi perkembangan hukum dan
kebutuhan masyarakat karena keadaan ekonomi serta kemajuan ilmu
pengetahuan, teknologi dan informasi sudah berkembang begitu pesat,
khususnya era globalisasi.
2. Meningkatnya tuntutan masyarakat akan layanan yang cepat dan
kepastian hukum.
3. Tuntutan akan perkembangan dunia usaha yang sesuai dengan prinsip
pengelolaan perusahaan yang baik (Good Corporate Governance).
7Kansil C.S.T dan Cristine S.T.Kansil, 2007, Seluk Beluk Perseroan Terbatas Menurut
Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007, Rineka Cipta, Jakarta, h.37.
6
Semua hal yang disebutkan diatas menuntut perlunya dilakukan
penyempurnaan pada UUPT 1/1995. Namun apakah kemudian dengan
diundangkannya UUPT 40/2007 telah mampu menampung tuntutan
perkembangan perekonomian, ilmu pengetahuan, dan teknologi secara substansial
karena masih sulit untuk menilai apakah pembaruan hukum Perseroan yang
kemudian diatur dalam UUPT 40/2007 secara substansi sudah lebih baik, lebih
sempurna, dan lebih memberikan kepastian hukum jika dibandingkan dengan
UUPT 1/1995.
Sebelumnya perlu dicermati definisi Perseroan Terbatas dalam UUPT
40/2007. Pada ketentuan Pasal 1 angka 1 UUPT 40/2007 mengatur bahwa
Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut dengan Perseroan adalah badan
hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian,
melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam
saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta
peraturan pelaksanaannya, dengan ciri-ciri atau karakteristik sebagai berikut : 1)
Berbadan hukum memiliki harta kekayaan yang terpisah dengan harta pribadi, 2)
Modal terdiri atas saham-saham sehingga tanggung jawab pemegang saham
terbatas pada jumlah sejumlah saham yang dimasukkannya, 3) Sistemnya lebih
tertutup sehingga segala teknis pengoperasian, pembubaran dan aturan lainnya
diatur berdasarkan Undang-Undang.8
Perseroan Terbatas sebagai badan hukum, hal itu bermakna bahwa
Perseroan Terbatas merupakan subyek hukum, dimana Perseroan Terbatas sebagai
8H. Zainal Asikin, 2012, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Rajagrafindo Persada,
Jakarta,h. 122-123.
7
sebuah badan yang dapat dibebani hak dan kewajiban seperti halnya manusia pada
umumnya sebagaimana halnya yang disebutkan dalam Black’s Law Dictionary9
badan hukum disebut juga sebagai Legal Entity yang dipersamakan dengan
Artificial Person. Legal Entity adalah “a body. Other than a natural person, that
can function legally, sue or be sued, and make decision, through agents, yang
artinya sebuah badan, selain orang pribadi, yang dapat berfungsi secara hukum,
menggugat atau digugat, dan membuat keputusan, melalui perwakilan. Adapun
Artificial Person adalah “an entity such as a corporation, created by law and
given a certain legal rights and duties of human.10
Artinya Badan seperti
perusahaan/korporasi, diciptakan oleh hukum dan diberikan hak-hak hukum
tertentu, dan kewajiban-kewajiban seperti manusia.
Unsur utama dari badan hukum adalah apa yang disebut Separate
Patrimony, yaitu memiliki kekayaan terpisah dari pemegang saham sebagai
pemilik, karakteristik yang kedua dari badan hukum adalah tanggung jawab
terbatas dari Pemegang Saham sebagai pemilik perusahaan dan pengurus
perusahaan.11
Dalam Perseroan Terbatas selain kekayaan perusahaan dan
kekayaan pemilik modal terpisah, juga ada pemisahan antara pemilik perusahaan
dan pengelola perusahaan. Orang-orang yang menjalankan, mengurus dan
mengawasi Perseroan inilah yang disebut dengan organ. Sebagaimana layaknya
seorang manusia, Perseroan Terbatas juga memiliki organ hanya saja organ yang
dimiliki hanya 3 (tiga) yaitu : Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi
9 Bryan A Garner, 2009, Black’s Law Dictionary, Ninth Edition, St Paul, West, United
States of America, h.976. 10
Ibid, h.1258 11
Erman Raja Gukguk, 2011, Butir-Butir Hukum Ekonomi, Lembaga Studi Hukum dan
Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, h.191.
8
dan Dewan Komisaris.12
Organ yang paling bertanggung jawab terhadap
pengelolaan perusahaan adalah Direksi.
Dalam Pasal 1 angka 5 UUPT 40/2007 disebutkan bahwa Direksi adalah
Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan
Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan
Perseroan serta mewakili Perseroan baik didalam maupun di luar pengadilan
sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Direksi disebut juga organ yang
mengemban fiduciary duties. 13
Dalam buku Black’s Law Dictionary14
, fiduciary
duty diartikan sebagai “ a duty to act with the highest degree of honesty and
loyalty toward another person and in the best interests of the other person (such
as duty that one partner owes to another)” yang memiliki makna “kewajiban
untuk bertindak dengan kejujuran dan kesetiaan penuh demi dan atas kepentingan
terbaik untuk orang lain.” Terkait dengan fiduciary duties dalam Perseroan
Terbatas Cornelius Simanjuntak dan Natalie Mulia15
menjelaskan bahwa tugas
dan tanggung jawab melakukan pengurusan sehari-hari Perseroan untuk
kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan tersebut
dalam sistem common law dikenal dengan prinsip fiduciary duties. Seorang
direktur memiliki hubungan fidusia dengan Perseroan dimana Direktur tersebut
telah mengikatkan diri dengan atau kepada Perseroan untuk bertindak dengan
itikad baik untuk kemanfaatan atau keuntungan Perseroan. Dalam pengelolaan
12
Ridwan Khairandy, 2007, Perseroan Sebagai Badan Hukum, Jurnal Hukum Bisnis,
Vol. 26, h.5. 13
Adrian Sutedi, Op.Cit., h. 120. 14
Bryan A Garner, Op.Cit., h.656 15
Cornelius Simanjuntak, Natalie Mulia, 2009, Organ Perseroan Terbatas, Sinar Grafika,
Jakarta, h.39
9
Perseroan atau perusahaan, para anggota Direksi adalah salah satu organ vital
dalam perusahaan tersebut dan merupakan pemegang amanah (fiduciary) yang
harus berperilaku sebagaimana layaknya pemegang kepercayaan. Hubungan
fiduciary duties tersebut didasarkan atas kepercayaan dan kerahasiaan (trust and
confidence) yang dalam peran ini meliputi, ketelitian (scrupulous), itikad baik
(good faith), dan keterusterangan (candor). Dalam memahami hubungan
pemegang kepercayaan (fiduciary relationship) tersebut, common law mengakui
bahwa orang yang memegang kepercayaan secara natural memiliki potensi untuk
menyalahgunakan wewenangnya. Oleh sebab itu hubungan pemegang
kepercayaan tersebut harus didasarkan kepada standar yang tinggi.16
Seorang Direksi dalam pelaksanaan tugasnya tidak hanya terikat pada apa
yang secara tegas dicantumkan dalam maksud dan tujuan serta kegiatan usaha
Perseroan melainkan juga dapat menunjang atau memperlancar tugas– tugasnya
(sekunder), namun masih berada dalam batas yang diperkenankan atau masih
dalam ruang lingkup tugas dan kewajibannya (intra vires) asalkan sesuai dengan
kebiasaan, kewajaran, dan kepatutan. Direksi disebut intra vires jika seorang
Direksi yang melakukan tugas–tugasnya masih berada dalam batas yang
diperkenankan atau masih dalam ruang lingkup tugas dan kewajibannya
sebagaimana yang ditentukan dalam UUPT 40/2007 dan/atau anggaran dasar,
sedangkan disebut act of ultra vires apabila tindakan yang dilakukan berada
diluar kapasitas Direksi perusahaan, yang dinyatakan dalam maksud dan tujuan
perusahaan yang tercantum dalam anggaran dasar dan/atau diluar batas dalam
16
Charity scoot, 1997, Caveat Vendor: Broker Dealer Liability Undert the Securities
Exchange Act, Securites Regulation Law Journal, Vol.17, h. 291.
10
ketentuan UUPT 40/2007. Ultra vires yang dilakukan oleh Direksi adalah
berkenaan dengan kewenangan Direksi dalam mengurus korporasi.17
Kewenangan
Direksi dalam mengurus korporasi meliputi segala hal yang dapat dilakukan
Direksi tanpa perlu persetujuan pemegang saham, tetapi harus mengacu pada
anggaran dasar dan ketentuan hukum korporasi. Lingkup otoritas atau
kewenangan (authority) dan juga batasan (limitation) Direksi diatur dalam
anggaran dasar suatu korporasi. Perbuatan hukum Direksi yang tidak mengacu
pada anggaran dasar dan ketentuan hukum korporasi tersebut adalah ultra vires.18
Istilah act of ultra vires ini diterapkan tidak hanya jika perseroan melakukan
tindakan yang sebenarnya dia tidak punya kewenangan, melainkan juga terhadap
tindakan yang dia punya kewenangan, tetapi dilaksanakan secara tidak teratur.
Penjabaran doktrin act of ultra vires tercermin dalam ketentuan pasal
UUPT 40/2007. Hal ini dapat kita lihat dalam pembatasan kewenangan yang
diberikan pada organ-organ Perseroan. Organ Perseroan dalam UUPT 40/2007
yaitu RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham), Direksi, dan Dewan Komisaris
(vide Pasal 1 angka 2 UUPT 40/2007). Apabila disimak lebih lanjut dalam
ketentuan Pasal 92 ayat (1) dan ayat (2) jis Pasal 97 ayat (1), (2), dan (3) serta
Pasal (98) ayat (1) dan ayat (3) UUPT 40/2007 secara umum menentukan bahwa
Direksi adalah organ perseroan yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan
perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik
didalam maupun diluar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar,
17
Munir Fuady, 2014, Doktrin Doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya
dalam Hukum Indonesia, Citra Aditya Bhakti, Bandung (Selanjutnya disebut Munir Fuady I),
h.72. 18
Freddy Harris & Teddy Anggoro, 2010, Hukum perseroan Terbatas ;Kewajiban
Pemberitahuan Oleh Direksi, Ghalia Indonesia, Bogor, h. 68.
11
didalam pasal-pasal itu disebutkan ruang lingkup batas kewenangan Direksi
dalam menjalankan perbuatan pengurusan dan penguasaan, serta mengatur
pertanggungjawaban pribadi seorang Direksi atas kerugian Perseroan dalam hal
Direksi bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan maksud dan
tujuan Perseroan.
Kendati demikian dalam prakteknya masih banyak kasus-kasus yang
muncul terkait penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pihak Direksi
Perseroan. Praktik penyalahgunaan kewenangan tersebut dapat terjadi oleh karena
keterbatasan pemahaman tentang doktrin hukum yang melandasi dan membatasi
penyelenggaraan yang diberikan perusahaan dalam pengelolaan kegiatannya
sehari-hari selain itu juga karena tidak adanya ketentuan sanksi yang tegas atas act
of ultra vires Direksi dalam UUPT 40/2007.
Hal ini berakibat Direksi yang terbukti melakukan tindakan ultra vires
dengan mudah untuk membebaskan diri dari pertanggungjawaban pribadi atas
perbuatan yang dilakukan diluar ketentuan anggaran dasar Perseroan sebagaimana
diatur dalam Pasal 97 UUPT 40/2007.
Seperti fenomena yang terjadi pada salah satu Perseroan Terbatas yang
berkedudukan di Jimbaran Bali, sebut saja PT. Jatayu Megamarta Indonesia.
Sebuah perseroan bergerak di bidang kepariwisataan dan pada saat itu mengelola
Garuda Crown Boulevard, dimana Garuda Crown Boulevard yang dikenal dengan
sebutan GCB merupakan sebuah icon dan masterpiece yang spektakuler karena
konsep dan designnya mutakhir berkat tangan dingin sang maestro pematung yang
merupakan Putra Bali yang nama dan karyanya tersohor di Indonesia bahkan di
12
mancanegara. Sebagai icon pariwisata di Bali, GCB mempunyai konsep yang
cukup membumi. Mengingat proyek pembangunan GCB membutuhkan social
support dari masyarakat setempat, political will dari pemerintah serta support
dana yang jumlahnya tidak sedikit dan ini merupakan persoalan yang krusial
dalam pembangunan proyek GCB.
Proyek GCB yang rencananya akan selesai pada tahun 2017 ini merupakan
proyek yang pernah terhenti sekitar kurang lebih 16 (enam belas) tahun lamanya
dan pernah mengalami pergantian desain patung sebanyak 5 kali. Seperti halnya
patung Liberty yang mengandung makna politik yang dikaitkan dengan nilai-nilai
perjuangan Amerika kearah demokrasi, patung GCB akan menjadi satu lambang
politik dari keindonesiaan, GCB akan mewakili kemajemukan Indonesia. Namun
dibalik prestiusnya mega proyek tersebut, terdapat dinamika internal yang cukup
tajam mempengaruhi perjalanan pembangunan proyek GCB.
Berikut ini diuraikan secara singkat mengenai latar belakang pendirian dan
kepemilikan saham dalam Perseroan yang menaungi GCB dalam pembangunan
dan pengelolaannya. Pada awalnya proyek GCB dikelola oleh PT. Jatayu
Megamarta (PT. JAM) kemudian proyek ini mendapat dukungan modal dari
pemerintah pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto yang disalurkan melalui
penyertaan modal yang diwakili oleh PT. Sentra Wisata Dewata (PT.SWD)
sehingga 18 % saham milik PT. SWD, namun sekitar tahun 1997 terjadi krisis
moneter yang melanda Indonesia, semua persiapan yang dilakukan untuk
pembangunan menjadi blunder. Dukungan pemerintah menjadi mundur karena
pengaruh krisis moneter. Ditengah kemelut akibat krisis moneter ini terdapat
13
komitmen untuk memperjuangkan ide pembangunan Garuda Crown Boulevard
(GCB) tetap dipertahankan dengan membuka GCB Expo. Pasca peresmian GCB
Expo kembali muncul masalah-masalah baru yang diakibatkan karena GCB
belum begitu dikenal oleh Publik sehingga kunjungan ke GCB masih sangat
minim. Hal ini mengakibatkan para investor dalam GCB Expo menarik
investasinya yang berdampak meningkatnya hutang GCB sedangkan disisi lain
GCB telah menampung pekerja sebesar 80% penduduk lokal dan dalam kondisi
belum adanya income dari GCB Expo saat itu, beban dari pekerja ikut memiliki
andil meningkatkan pinjaman kepada pihak ketiga (kreditur). Untuk mengatasi
semua kesulitan ini ide untuk membangun Supporting Resort Area (SRA) dalam
bentuk villa dan perumahan yang ditempatkan di sisi samping kawasan GCB
dengan diberi akses sendiri dengan maksud untuk dapat dijual kepada publik. Ide
ini dikerjasamakan oleh perusahaan PT. JAM dengan Investor yang berakhir
dengan wanprestasi. Direktur Utama PT JAM juga melakukan tindakan-tindakan
diluar anggaran dasar sehingga diberhentikan tanpa acquit et de charge. Pada
tahun 2003 PT. Jatayu Megamarta (PT. JAM) berubah nama menjadi PT. Jatayu
Megamarta Indonesia (PT. JAIN) dan pada saat ini juga dilakukan perubahan
struktur kepengurusan perusahaan termasuk pergantian Direksi Perseroan.
Adapun Persentase kepemilikan saham PT. JAIN terdiri atas 82% saham PT.
Ultimate City Indonesia (PT.UCI) yang 50% sahamnya milik Dirut PT. UCI
(sekaligus dirut PT. JAIN) dan rekan dan 18% saham PT. SWD
Pada Tahun 2010 pemegang saham PT. UCI sepakat berencana untuk
menjual 100% (seluruh) sahamnya yang ada di PT. JAIN (82% saham PT. UCI di
14
PT.JAIN) dikarenakan adanya kejanggalan dalam Perusahaan, karena pemegang
saham mendapat laporan bahwa PT. JAIN selalu mengalami material injury dan
tidak pernah adanya Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) tahunan. Sehingga
semua perbuatan hukum yang berhubungan dengan hak dan kewajiban perseroan
yang dicatat dalam Laporan Tahunan (pembukuan perseroan) dan seharusnya
disampaikan dalam RUPS tahunan, tidak pernah dilakukan oleh Direksi PT.
JAIN.
Atas rencana penjualan 100% saham PT. UCI di PT. JAIN dimaksud
diatas, kemudian pemegang saham PT. UCI memperoleh investor PT. Natural
Rayon Genuine Tbk (PT.NARAINE Tbk) yang bersedia men take over
(mengambil alih) kepemilikan saham mayoritas PT. UCI di PT. JAIN dan
berkomitmen untuk melanjutkan proyek GCB. Sehingga komposisi kepemilikan
saham PT. JAIN menjadi PT. NARAINE Tbk 82% saham dan PT.SWD sebesar
saham 18%. Selanjutnya PT. NARAINE memberikan pembayaran kepada para
Pemegang Saham PT.UCI sebagai pembayaran tahap pertama dan sisanya akan
dibayarkan kemudian saat Direksi PT. UCI yang juga merupakan Direksi PT.
JAIN menyelesaikan kewajiban-kewajibannya. Setelah kurang lebih 15 bulan
berjalan, mulai muncul adanya laporan-laporan yang diterima oleh pemegang
saham tentang:
a. pajak penghasilan yang belum dibayarkan
b. pesangon karyawan PT.JAIN yang belum diselesaikan sepenuhnya
c. sertifikasi tanah PT. JAIN yang belum diselesaikan, dan
d. adanya somasi oleh kreditur.
15
Adanya peristiwa tersebut selain mengakibatkan sisa pembayaran
penjualan saham belum dapat direalisasikan oleh PT. NARAINE Tbk juga
menyebabkan adanya permasalahan pada “managemen”19
Perseroan. Hal ini
memberi dampak kerugian bagi stakeholders Perseroan khususnya internal
stakeholders akibat dari act of ultra vires Direksi PT. UCI. Menurut Kasali,
internal stakeholders adalah stakeholders (pemangku kepentingan) yang berada
didalam lingkungan organisasi misalnya : karyawan, manajer dan pemegang
saham (shareholders).20
Jika merujuk pada Pasal 97 UUPT 40/2007 maka
seharusnya Direksi PT. UCI lah yang bertanggung jawab secara pribadi atas
kerugian yang dialami oleh internal stakeholders, namun dalam prakteknya sangat
sulit untuk dimintakan pertanggungjawabannya.
Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa terdapat kesenjangan antara
pengaturan (das sollen) dengan pelaksanaannya (das sein), sehingga menarik
untuk diteliti dan diangkat sebagai karya ilmiah dalam bentuk tesis. Di samping
dalam rangka keperluan memperjelas Hukum Perseroan juga berkaitan dengan
upaya menciptakan kepastian hukum dan memberikan perlindungan kepada pihak
internal stakeholders Perseroan yang sangat berperan dalam kemajuan Perseroan.
Untuk itu akan dilakukan penelitian lebih lanjut yang akan dituangkan dalam
bentuk Tesis dengan judul “TANGGUNG JAWAB DIREKSI PERSEROAN
TERBATAS TERHADAP INTERNAL STAKEHOLDERS DALAM HAL
ADANYA ACT OF ULTRA VIRES”.
19
Abdul R. Saliman, 2014, Hukum Bisnis untuk Perusahaan; Teori dan Contoh Kasus,
Cet-ke 4, Kencana Prenadamedia, Jakarta, h.5-6. “Secara sederhana pengertian managemen dapat
diartikan penyelesaian pekerjaan melalui orang lain. Dimana keberhasilan pencapaian pekerjaan
tersebut dilakukan melalui fungsi perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing),
kepemimpinan (leading) dan pengontrolan (controlling)”. 20
Yusuf Wibisono, 2007, Membedah Konsep dan Aplikasi CSR, Fascho Publishing,
Gresik, h. 90.
16
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian mengenai latar belakang masalah seperti di atas
dapatlah dirumuskan dua pokok masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah penjabaran doktrin act of ultra vires dalam Undang-
Undang Perseroan Terbatas?
2. Bagaimanakah tanggung jawab Direksi Perseroan Terbatas terhadap
internal stakeholders dalam hal adanya act of ultra vires?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Sehubungan dengan maksud memperoleh hasil analisis yang terfokus,
maka terhadap rumusan masalah diatas perlu diberikan batas-batas atau ruang
lingkupnya untuk mendapatkan gambaran tentang apa yang akan diuraikan dalam
tesis ini yang pertama yaitu penjabaran doktrin act of ultra vires dalam UUPT
40/2007 termasuk juga faktor penyebab adanya pelanggaran doktrin act of ultra
vires oleh Direksi PT. UCI.
Sehubungan dengan rumusan masalah yang kedua permasalahannya
berkisar mengenai pengaturan perlindungan hukum terhadap internal
stakeholders terdiri atas karyawan dan pemegang saham (shareholders) atas act of
ultra vires yang dilakukan oleh Direksi Perseroan Terbatas dan bagaimana
pertanggungjawaban pribadi Direksi PT. UCI atas tindakannya yang
dikategorikan sebagai act of ultra vires, yang mengakibatkan kerugian terhadap
Perseroan terutama para internal stakeholders Perseroan.
17
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah sesuatu yang ingin dicapai melalui proses
penelitian. Tujuan penelitian ini dapat di kemukakan dalam bentuk tujuan umum
dan tujuan khusus.
1.4.1 Tujuan Umum
Bertitik tolak dari paradigma yang menyatakan bahwa science as process
(ilmu sebagai proses) ilmu pengetahuan itu akan senantiasa berkembang
(berproses), dengan paradigma ini ilmu tidak akan pernah berhenti (final) dalam
panggilannya atas kebenaran di bidang obyeknya masing-masing.21
Maka tujuan
umum penelitian ini untuk mengembangkan ilmu pengetahuan hukum khususnya
dalam bidang hukum bisnis yang terkait dengan tanggung jawab Direksi
Perseroan Terbatas terhadap internal stakeholders atas act of ultra vires.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengkaji dan menganalisis penjabaran doktrin act of ultra vires
dalam Undang-Undang Perseroan terbatas.
2. Untuk mengkaji dan menganalisis tanggung jawab Direksi terhadap
internal stakeholders dalam hal adanya act of ultra vires.
1.5 Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini, diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis
maupun secara praktis.
21
Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana,
2013 Pedoman Penulisan; Usulan Penelitian Tesis dan Penulisan Tesis Program Studi Magister
(S2) Ilmu Hukum,Udayana Press, Denpasar, h.28.
18
1.5.1 Manfaat Teoritis
Secara Teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
positif bagi perkembangan ilmu hukum. Khususnya bidang hukum perusahaan
yang keberadaannya sangat amat dibutuhkan.
1.5.2 Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai
pengetahuan bagi para pemangku kepentingan Perseroan dalam lingkungan
Perseroan (internal stakeholders), pengurus Perseroan, masyarakat maupun aparat
penegak hukum untuk mengetahui bagaimana penjabaran doktrin act of ultra vires
dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas, dan bagaimana tanggung jawab
Direksi serta konsekuensi yuridis yang harus dibebankan kepada Direksi atas
tindakan yang melampaui kewenangan yang diberikan dan diatur dalam ketentuan
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas dan/atau
anggaran dasar Perseroan serta bagaimana perlindungan hukum terhadap internal
stakeholders dalam hal adanya act ultra vires oleh Direksi Perseroan.
1.6 Orisinalitas Penelitian
Tulisan mengenai penelitian ini belum pernah ditulis atau diteliti oleh
peneliti lainnya akan tetapi terdapat beberapa penelitian serupa diantaranya:
1. Penelitian tentang Perlindungan Perlindungan Hukum Terhadap Pihak III
dalam hal Direksi Perseroan melakukan Tindakan Ultra Vires yang diteliti
oleh, Putu Pramiwihari Sumadi dari Universitas Udayana Tahun 2010
yang meneliti tentang Tindakan ultra vires oleh Direksi yang dapat
merugikan pihak ketiga yang sangat berperan dalam menunjang
kelangsungan usaha perseroan. Namun dalam Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 perlindungan hukum terhadap pihak ketiga yang dirugikan
19
akibat Tindakan ultra vires Direksi tidak mengatur secara jelas dan tegas
Oleh karena itu sangat membutuhkan perlindungan hukum.
2. Penelitian tentang Tanggung Jawab Direksi Perseroan Terbatas Dalam
Tindakan Ultra Vires yang diteliti oleh, Erlina dari Universitas Sumatera
Tahun 2004 yang meneliti tentang belum adanya pengaturan yang tegas
dan jelas mengenai doktrin ultra vires dan tanggung jawab Direksi
Perseroan atas tindakan ultra vires dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas, demi perlindungan hukum
terhadap Perseroan dan pihak ketiga.
3. Penelitian tentang Tinjauan Yuridis Doktrin Ultra Vires dan Tanggung
Jawab Direksi Perseroan Terbatas yang diteliti oleh, Yandri Sudarso dari
Universitas Sumatera Tahun 2003 yang meneliti tentang ultra vires dalam
hubungan dengan anggaran dasar Perseroan, ultra vires dalam
hubungannya dengan peraturan perundang-undangan, kasus-kasus ultra
vires yang masih kontroversi saat ini yang kemudian disirnpulkan bahwa
Indonesia juga mengadopsi doktrin ultra vires yang tercantum dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas
namun, undang-undang tidak mengatur secara jelas akibat hukum bila
terjadi perbuatan yang mengandung ultra vires tersebut.
4. Penelitian tentang Analisis Yuridis Terhadap Prinsip-Prinsip Pengelolaan
Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance) Dalam Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas yang diteliti
oleh Hertu Apriyana dari Universitas Sebelas Maret Tahun 2014 yang
20
meneliti tentang apakah terdapat norma-norma yang mengatur prinsip-
prinsip pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governance)
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
dan apakah prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang baik (good
corporate governance) dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas sudah memberikan perlindungan hukum
terhadap stakeholders.
Dari hasil penelitian tersebut diatas maka penelitian tentang Tanggung
Jawab Direksi Perseroan Terbatas Terhadap Internal Stakeholders Dalam Hal
Adanya Act of Ultra Vires” dengan rumusan masalah :
1. Bagaimanakah penjabaran doktrin act of ultra vires Dalam
Undang-Undang Perseroan Terbatas?
2. Bagaimanakah tanggung jawab Direksi Perseroan Terbatas
terhadap internal stakeholders dalam hal adanya act of ultra vires?
Sampai saat ini belum ada yang meneliti, sehingga menjamin orisinalitas dalam
penelitian ini.
1.7 Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir
a. Landasan Teoritis
Landasan teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasi teori hukum, yang
akan dipakai landasan untuk membahas permasalahan penelitian. Untuk itu maka
harus dihindari teori-teori yang bertentangan satu sama lain.
21
Menurut Meuwissen Teori Hukum adalah Berada pada tataran abstraksi
yang lebih tinggi ketimbang ilmu hukum, ia mewujudkan peralihan ke filsafat
hukum. Teori hukum merefleksi objek dan metode dari berbagai bentuk ilmu
hukum. Karena itu, teori hukum dapat dipandang sebagai suatu jenis filsafat ilmu
dari ilmu hukum. 22
Dalam menjawab permasalah yang terkait dengan “ Tanggung Jawab
Direksi Perseroan Terbatas Terhadap Internal Stakeholders Dalam Hal Adanya
Act of Ultra Vires”, maka dalam hal ini akan diuraikan melalui teori-teori hukum
sebagai berikut:
1. Untuk menjawab rumusan masalah yang pertama mengenai penjabaran
doktrin act of ultra vires Dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas
menggunakan Teori Efektivitas Hukum.
2. Untuk menjawab rumusan masalah yang kedua yaitu tanggung jawab
Direksi Perseroan Terbatas terhadap internal stakeholders dalam hal
adanya act of ultra vires digunakan teori-teori dan konsep sebagai
berikut:
a. Teori Stakeholders
b. Teori Tanggung Jawab Hukum
c. Teori Sistem Hukum
d. Konsep Perlindungan Hukum
22
H. Salim HS, Erlies Septiana Nurbani, 2014, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian
Tesis dan Disertasi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.5.
22
a. Teori Efektivitas Hukum
Secara etimologi efektivitas berasal dari kata efektif, dalam Bahasa inggris
effectiveness yang memiliki makna “berhasil”. Penelitian kepustakaan yang ada
mengenai teori efektivitas memperlihatkan keanekaragaman dalam hal indikator
penilaian tingkat efektivitas suatu hal. Hal ini terkadang mempersulit penelaahan
terhadap suatu penelitian yang melibatkan teori efektivitas, namun secara umum,
efektivitas suatu hal diartikan sebagai keberhasilan dalam pencapaian target atau
tujuan yang telah ditetapkan.
Menurut Drucker efektivitas adalah suatu tingkatan yang sesuai antara
keluaran secara empiris dalam suatu sistem dengan keluaran yang diharapkan.
Efektivitas berkaitan dengan suatu kegiatan untuk bekerja dengan benar demi
tercapainya hasil yang lebih baik sesuai dengan tujuan semula. Sementara itu
menurut Bernard efektivitas adalah pencapaian sasaran dari upaya bersama,
dimana derajat pencapaian menunjukkan derajat efektivitas.23
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa suatu hal dapat dikatakan
efektif apabila hal tersebut sesuai dengan yang dikehendaki. Artinya, pencapaian
hal yang dimaksud merupakan pencapaian tujuan dilakukannya tindakan-tindakan
untuk mencapai hal tersebut. Efektivitas dapat diartikan sebagai suatu proses
pencapaian suatu tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Suatu usaha atau
kegiatan dapat dikatakan efektif apabila suatu usaha atau kegiatan tersebut telah
mencapai tujuannya. Apabila tujuan yang dimaksud adalah tujuan suatu instansi
23
Sukmaniar, 2007, “Efektivitas Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pengelolaan
Program Pengembangan Kecamatan (PPK) Pasca Tsunami Di Kecamatan Lhoknga Kabupaten
Aceh Besar”, (Tesis) Program Studi Magister (S2) Teknik Pembangunan Wilayah dan Kota
Universitas Diponegoro, Semarang.
23
maka proses pencapaian tujuan tersebut merupakan keberhasilan dalam
melaksanakan program atau kegiatan menurut wewenang, tugas, dan fungsi
instansi tersebut.
Adapun apabila kita melihat efektivitas di bidang hukum, Achmad Ali24
berpendapat bahwa ketika kita ingin mengetahui sejauh mana efektivitas dari
hukum, maka kita pertama-tama harus dapat mengukur sejauh mana aturan
hukum itu ditaati atau tidak ditaati. Lebih lanjut ia mengemukakan bahwa pada
umumnya faktor yang banyak mempengaruhi efektivitas suatu perundang-
undangan adalah professional dan optimal pelaksanaan peran, wewenang dan
fungsi dari para penegak hukum, baik di dalam menjelaskan tugas yang
dibebankan terhadap diri mereka maupun dalam menegakkan perundang-
undangan tersebut.
Menurut Soerjono Soekanto25
adalah bahwa efektif atau tidaknya suatu
hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor, yaitu:
1. Faktor hukumnya sendiri (undang-undang)
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku
atau diterapkan.
5. Faktor Kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Kelima faktor di atas saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena
merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada
efektivitas penegakan hukum. Pada elemen pertama, yang menentukan dapat
24
Achmad Ali, 2010, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, Vol.1, Kencana,
Jakarta, h.375. 25
Soerjono Soekanto, 2008, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, h.8.
24
berfungsinya hukum tertulis tersebut dengan baik atau tidak adalah tergantung
dari aturan hukum itu sendiri.
Menurut Soerjono Soekanto26
ukuran efektivitas pada elemen pertama
adalah:
1. Peraturan yang ada mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu sudah
cukup sistematis.
2. Peraturan yang ada mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu sudah
cukup sinkron, secara hierarki dan horizontal tidak ada pertentangan.
3. Secara kualitatif dan kuantitatif peraturan-peraturan yang mengatur
bidang-bidang kehidupan tertentu sudah mencukupi.
4. Penerbitan peraturan-peraturan tertentu sudah sesuai dengan
persyaratan yuridis yang ada.
Pada elemen kedua yang menentukan efektif atau atau tidaknya kinerja
hukum tertulis adalah aparat penegak hukum. Dalam hubungan ini dikehendaki
adanya aparatur yang handal sehingga aparat tersebut dapat melakukan tugasnya
dengan baik. Kehandalan dalam kaitannya disini adalah meliputi keterampilan
professional dan mental yang baik.
Menurut Soerjono Soekanto27
bahwa masalah yang berpengaruh terhadap
efektivitas hukum tertulis ditinjau dari aparat akan tergantung pada hal berikut:
1. Sampai sejauh mana petugas terikat oleh peraturan-peraturan yang ada.
2. Sampai batas mana petugas diperkenankan memberikan kebijaksanaan.
3. Teladan macam apa yang sebaiknya diberikan oleh petugas kepada
masyarakat.
4. Sampai sejauh mana derajat sinkronisasi penugasan-penugasan yang
diberikan kepada petugas sehingga memberikan batas-batas yang tegas
pada wewenangnya.
Pada elemen ketiga tersedianya fasilitas yang berwujud sarana dan
prasarana bagi aparat pelaksana di dalam melakukan tugasnya. Sarana dan
26
Ibid, h.80. 27
Ibid, h.82.
25
prasarana yang dimaksud prasarana atau fasilitas yang digunakan sebagai alat
untuk mencapai efektivitas hukum. Sehubungan dengan sarana dan prasarana
yang dikatakan dengan istilah fasilitas ini, Soerjono Soekanto28
memprediksi
patokan efektivitas elemen-elemen tertentu dari prasarana, dimana prasarana
tersebut harus secara jelas memang menjadi bagian yang memberikan kontribusi
untuk kelancaran tugas-tugas aparat di tempat lokasi kerjanya.
Kemudian ada beberapa elemen pengukur efektivitas yang tergantung dari
kondisi masyarakat, yaitu:
1. Faktor penyebab masyarakat tidak mematuhi aturan walaupun
peraturan yang baik.
2. Faktor penyebab masyarakat tidak mematuhi peraturan walaupun
peraturan yang sangat baik dan aparat sudah sangat berwibawa.
3. Faktor penyebab masyarakat tidak mematuhi peraturan baik, petugas
atau aparat berwibawa serta fasilitas mencukupi.
Elemen tersebut diatas memberikan pemahaman bahwa disiplin dan
kepatuhan masyarakat tergantung dari motivasi yang secara internal muncul.
Internalisasi faktor ini ada pada tiap individu yang menjadi elemen terkecil dari
komunitas sosial. Oleh karena itu pendekatan paling tepat dalam hubungan
disiplin ini adalah melalui motivasi yang ditanamkan secara individual. Dalam hal
ini derajat kepatuhan hukum masyarakat menjadi salah satu parameter tentang
efektif atau tidaknya hukum itu diberlakukan sedangkan kepatuhan masyarakat
tersebut dapat dimotivasi oleh berbagai penyebab, baik yang ditimbulkan oleh
kondisi internal maupun eksternal.
28
Ibid.
26
Kondisi internal muncul karena ada dorongan tertentu yang bersifat positif
maupun negatif. Dorongan positif dapat muncul karena adanya rangsangan yang
positif yang menyebabkan seseorang tergerak untuk melakukan sesuatu yang
bersifat positif. Sedangkan yang bersifat negatif muncul karena adanya
rangsangan dari sifat negatif seperti perlakuan tidak adil dan sebagainya.
Kondisi eksternal muncul karena semacam tekanan dari luar yang
mengharuskan atau bersifat memaksa warga masyarakat agar tunduk pada hukum.
Pada takaran umum, keharusan masyarakat untuk tunduk dan menaati hukum
disebabkan karena adanya sanksi atau punishment yang menimbulkan rasa takut
atau tidak nyaman sehingga lebih memilih untuk taat hukum daripada melakukan
pelanggaran yang pada gilirannya dapat menyusahkan mereka.
Teori efektivitas ini digunakan untuk menjawab permasalahan mengenai
kenyataan di lapangan terkait dengan adanya Direksi yang melakukan
pelanggaran terhadap doktrin act of ultra vires.
b. Teori Stakeholders
Friedman‟s memberikan definisi tentang stakeholders yaitu : any group
or individual who can affect or is affected by achievement of the organization‟s
objectives.”29
Definisi tersebut menyatakan bahwa stakeholder merupakan kelompok/
individu yang dapat mempengaruhi dan/atau dipengaruhi oleh suatu pencapaian
tujuan tertentu. Stakeholders theory lahir atas kritikan dan kegagalan shareholders
theory atau Friedman‟s paradigm yang dikemukakan oleh Milton Friedman‟s
dalam upaya meningkatkan tanggung jawab perusahaan, yang terletak pada
tanggung jawab tunggal manajemen terhadap stakeholders. Kegagalan tersebut
29
Busyra Azheri, 2011,Corporate Social Responsibility (Dari Voluntary Menjadi
Mandatory), PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta, h.112 .
27
mendorong munculnya stakeholders theory yang melihat shareholders sebagai
bagian dari stakeholders itu sendiri.
Menurut R.Edward Freeman, stakeholders memiliki hubungan serta
kepentingan terhadap perusahaan. Stakeholders merupakan keterikatan yang
didasari oleh suatu kepentingan tertentu, membahas mengenai stakeholders theory
berarti membahas hal-hal yang menyangkut tentang kepentingan dari berbagai
pihak.
Menurut Thomas dan Andrew Stakeholders Theory30
yaitu:
1. Suatu perusahaan memiliki hubungan dengan banyak kelompok-
kelompok konstituen (stakeholder) yang mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh keputusan perusahaan.
2. Teori ini ditekankan pada sifat alami hubungan dalam proses bagi
perusahaan dan stakeholder.
3. Kepentingan semua legitimasi stakeholder memiliki nilai secara
hakiki dan tidak membentuk kepentingan yang di dominasi satu
sama lain.
4. Teori ini memfokuskan pada pengambilan keputusan manajerial.
Stakeholders merupakan individu, kelompok manusia, komunitas atau
masyarakat baik secara keseluruhan maupun parsial, internal maupun eksternal
yang memiliki hubungan serta kepentingan terhadap perusahaan, yang dapat
mempengaruhi maupun dipengaruhi oleh perusahaan baik secara langsung
maupun tidak langsung.31
Berdasarkan kedekatan dengan pihak yang terkait
dengan perusahaan, maka teori stakeholders/stakeholders theory dapat
30
Nor Hadi, 2012, Corporate Social Responsibility, Graha Ilmu, Yogyakarta, h.94. 31
Elvinard Ardianto dan Dindin M.Machfudz, 2011, Efek Kedermawanan Pebisnis dan
CSR Berlipat-lipat, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta, h. 75
28
dikelompokkan menjadi 2 bagian, yaitu kelompok primer dan kelompok
sekunder. 32
Kelompok primer terdiri atas pemilik modal/saham (owners),
kreditor, karyawan, pemasok, konsumen, penyalur dan pesaing/rekanan.
Kelompok sekunder terdiri atas pemerintah setempat, pemerintah asing, kelompok
sosial, media masa, kelompok pendukung, masyarakat pada umumnya dan
masyarakat setempat.
Atas dasar pengelompokan stakeholders, sudah tentu kelompok primer
yang harus diperhatikan terlebih dahulu, karena kelompok ini sangat menentukan
keberadaan dan keberhasilan suatu perusahaan dalam aktivitas usahanya oleh
karena kelompok primer berinteraksi langsung dalam aktifitas bisnis
perusahaan.33
Teori ini dapat dijadikan pisau analisis dalam membahas
permasalahan yang kedua terkait dengan perlindungan hukum terhadap internal
stakeholders Perseroan dari perbuatan yang dilakukan oleh Direksi yang lalai dan
atau melakukan kesalahan baik yang tidak sengaja sebagai akibat dari ketidak
hati-hatiannya sebagai pemimpin Perseroan maupun yang sengaja melakukan
tindakan diluar ketentuan Anggaran Dasar dan/atau UUPT.
c. Teori Tanggung Jawab Hukum
Terdapat 2 (dua) istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban dalam
kamus hukum, yaitu responsibility dan liability. Menurut Kamus Hukum Henry
Campbell Black, dalam Black’s Law Dictionary pengertian tanggung jawab yakni,
tanggung jawab bersifat umum disebut dengan responsibility sedangkan tanggung
32
Ibid, h.113 33
Dwi Kartini, 2009, Coorporate Social Responsibility Transformasi Konsep
Sustainability Management dan Implementasi di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, h.8.
29
jawab hukum disebut liability. Liability diartikan sebagai condition of being
responsible for a possible or actual loss, penalty, evil, expense or burden,
condition which creates a duty to performact immediately or ini the future.34
Dalam pengertian penggunaan praktis, istilah liability menunjuk pada
pertanggungjawaban hukum (konsekuensi hukum) yaitu tanggung jawab akibat
kesalahan yang dilakukan oleh subjek hukum, sedangkan istilah responsibility
menunjuk pada pertanggungjawaban politik atau kewajiban hukum (garis bawah
dari penulis).35
Mengenai persoalan pertanggungjawaban menurut Kranenburg dan Vegtig
ada dua teori yang melandasinya yaitu:36
a. Teori fautes de personalles, yaitu teori yang menyatakan bahwa
kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena
tindakannya itu telah menimbulkan kerugian. Dalam teori ini beban
tanggung jawab ditujukan pada manusia selaku pribadi.
b. Teori fautes de services, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian
terhadap pihak ketiga dibebankan pada instansi dari pejabat yang
bersangkutan. Menurut teori ini tanggung jawab dibebankan pada
jabatan. Dalam penerapannya, kerugian yang timbul itu disesuaikan
pula apakah kesalahan yang dilakukan itu merupakan kesalahan yang
berat atau kesalahan ringan, dimana berat atau ringannya suatu
kesalahan berimplikasi pada tanggung jawab yang harus ditanggung.
Teori tanggung jawab hukum diperlukan untuk dapat menjelaskan antara
tanggung jawab Direksi Perseroan yang berdasarkan dengan kewenangan yang
diberikan oleh UUPT 40/2007, anggaran dasar maupun keputusan RUPS dan
yang bertentangan dengan UUPT 40/2007, anggaran dasar maupun keputusan
RUPS. Kewenangan mana yang ternyata bertentangan atau melampaui batas
34
Henry Campbell Black, 1991, Black’s Law Dictionary, ST. Paul Minn West
Publishing. Co, Boston, h.941. 35
Ridwan H.R., 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
h.335-337. 36
Ibid, h.365.
30
kewenangan dari ketentuan dalam UUPT 40/2007, anggaran dasar, maupun
keputusan RUPS kemudian menjadi suatu delik atau perbuatan yang harus
dipertanggungjawabkan.
Selanjutnya mengenai kemampuan bertanggung jawab secara teoritis harus
memenuhi unsur yang terdiri atas:
1. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan
buruk yang sesuai hukum dan yang melawan hukum;
2. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan
tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.37
Sedangkan menurut Roscoe Pound pertanggungjawaban terkait dengan
suatu kewajiban untuk meminta ganti kerugian dari seseorang yang terhadapnya
telah dilakukan suatu tindakan perugian atau yang merugikan (injury), baik oleh
orang yang pertama itu sendiri maupun oleh sesuatu yang ada dibawah
kekuasaannya.38
Dalam ranah hukum perdata Roscoe Pound menyatakan hukum melihat
ada tiga pertanggungjawaban atas delik yaitu:
a. Pertanggungjawaban atas perugian yang disengaja;
b. Pertanggungjawaban atas perugian karena kealpaan dan tidak
disengaja;
c. Pertanggungjawaban dalam perkara tertentu atas perugian yang
dilakukan karena kelalaian serta tidak disengaja.39
37
Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, h.63. 38
Roscoe Pound, 1996, Pengantar Filsafat Hukum (an Introduction to the Philosophy of
Law), terjemahan Mohammad Radjab, Jakarta, h. 80. 39
Ibid, h.92.
31
Sedangkan J.H.Nieuwenhuis menyatakan tanggung jawab timbul karena
adanya perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan merupakan
penyebab oorzaak (timbulnya kerugian), sedangkan pelakunya yang bersalah
disebut schuld, maka orang itu harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.40
d. Teori Sistem Hukum
Permasalahan kedua mengenai tanggung jawab Direksi Perseroan
terhadap internal stakeholders dalam hal adanya act of ultra vires dibahas dengan
teori sistem hukum Lawrence M. Friedman dengan nama Three Elements of Legal
System, menurut Friedman hukum itu harus dipersepsikan sebagai suatu sistem,
maksudnya yaitu hukum itu bukan anasir tunggal melainkan eksistensinya mesti
didukung beberapa unsur yang saling mempengaruhi. Unsur yang dimaksud
menurut Friedman adalah legal structure (struktur hukum), legal substance
(substansi hukum), legal culture (budaya hukum).
Tiga sistem hukum menurut Friedman dalam Achmad Ali yang dimaksud
sistem hukum adalah:41
a. Struktur hukum yaitu keseluruhan institusi-institusi hukum yang ada
beserta aparatnya, mencakup antara lain kepolisian dengan para
polisinya, kejaksaan dengan para jaksanya, pengadilan dengan
hakimnya, dan lain-lain;
b. Substansi hukum yaitu keseluruhan aturan hukum, norma hukum dan
asas hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis termasuk putusan
pengadilan;
c. Kultur hukum yaitu opini-opini, kepercayaan-kepercayaan (keyakina-
keyakinan), kebiasaan-kebiasaan, cara berpikir dan cara bertindak,
baik dari penegak hukum, maupun dari warga masyarakat, tentang
hukum dan berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum.
40
J.H. Nieuwenhuis, 1985, Pokok-Pokok Hukum Perikatan (Hoofdstukken
Verbintenissenrecht), terjemahan Djasadin Saragih, Airlangga University Press, Surabaya, h.115. 41
Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal teory) dan Teori Peradilan (Judicial
Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, h.204.
32
Tiga unsur sistem hukum oleh Friedman diibaratkan seperti pekerjaan
mekanik. Struktur diibaratkan seperti mesin, substansi adalah apa yang dikerjakan
dan dihasilkan oleh mesin, sedangkan kultur hukum adalah apa saja atau siapa
saja yang memutuskan untuk menghidupkan dan mematikan mesin itu serta
memutuskan bagaimana mesin itu digunakan.
Kultur hukum menurut Friedman adalah sikap manusia terhadap hukum
dan sistem hukum kepercayaan, nilai, pemikiran serta harapannya. Kultur hukum
adalah suasana pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana
hukum itu digunakan, dihindari atau disalahgunakan. Budaya hukum erat
kaitannya dengan kesadaran hukum di masyarakat. Semakin tinggi kesadaran
hukum masyarakat maka akan tercipta budaya hukum yang baik dan dapat
merubah pola pikir masyarakat mengenai hukum selama ini. Secara sederhana
tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator
berfungsinya hukum.
e. Konsep Perlindungan Hukum
Menurut Philipus M. Hadjon42
perlindungan hukum dibedakan menjadi 2
(dua) macam yaitu:
1. Perlindungan hukum yang preventif yang bertujuan untuk mencegah
terjadinya permasalahan atau sengketa.
2. Perlindungan hukum yang represif yang bertujuan untuk
menyelesaikan permasalahan atau sengketa yang timbul.
42
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu,
Surabaya, h.205.
33
Menurut Setiono Perlindungan Hukum adalah tindakan atau upaya untuk
melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang
tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman
sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai
manusia.43
Menurut Satjipto Rahardjo, perlindungan hukum adalah adanya upaya
melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan
kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut.44
Menurut Muktie A. Fadjar perlindungan hukum adalah penyempitan arti
dari perlindungan, dalam hal ini hanya perlindungan oleh hukum saja.
Perlindungan yang diberikan oleh hukum terkait pula dengan adanya hak dan
kewajiban, dalam hal ini yang dimiliki oleh manusia sebagai subyek hukum dalam
interaksinya dengan sesame manusia serta lingkungannya. Sebagai subyek hukum
manusia memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan suatu tindakan hukum.45
Dari pemaparan para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa perlindungan
hukum adalah berbagai upaya hukum dalam melindungi hak asasi manusia serta
hak dan kewajiban yang timbul karena hubungan hukum antar sesama manusia
sebagai subyek hukum. Konsep perlindungan hukum sangat relevan digunakan
untuk mengkaji permasalahan dalam penelitian ini yang terkait dengan
perlindungan hukum yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan kepada
internal stakeholders dalam hal adanya act of ultra vires yang dilakukan oleh
Direksi Perseroan yang merugikan internal stakeholders yang bersangkutan.
43
Setiono, 2004, Rule of Law (Supremasi Hukum), Magister Ilmu Hukum Program
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta, h.3. 44
Satjipto Rahardjo, 2003, Sisi lain dari Hukum di Indonesia, Kompas, Jakarta, h.21. 45
Tesis Hukum, Pengertian Perlindungan Hukum Menurut Para Ahli, available from:
URL : HTTP://tesishukum.com/pengertian-perlindungan-hukum-menurut-para-ahli/, diakses
tanggal 28 Maret 2016.
34
b. Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir dalam penelitian ini dibuat berlandaskan teori-teori
yang sudah baku yang dapat memberikan gambaran yang sistematis mengenai
masalah yang akan diteliti. Berlandaskan landasan teoritis dalam penelitian ini
maka dapat dipaparkan sebuah gambar kerangka berpikir yaitu sebagai berikut:
Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian Hukum yaitu Penelitian Hukum Empiris
2. Sifat Penelitian Deskriptif
3. Data dan Sumber Data yaitu Data Primer dan Data Sekunder
4. Teknik Pengumpulan Data adalah Teknik Wawancara dan Teknik Studi Dokumen
5. Teknik Penentuan Sampel Penelitian yaitu menggunakan Teknik Probabilitas/ Teknik Non-
Random Sampling
6. Pengolahan dan Analisis Data yaitu dengan cara Deskriptif Kualitatif
Tanggung Jawab Direksi Perseroan Terbatas Terhadap Internal Stakeholders
Dalam Hal Adanya Act of Ultra Vires
Adanya kesenjangan antara das sollen
dengan das sein terhadap Pasal 92 ayat
(1) dan ayat (2) jis Pasal 97 ayat (1), (2),
dan (3) serta Pasal (98) ayat (1) dan (3)
UUPT 40/2007 di PT. UCI
Penjabaran doktrin act of ultra vires
dalam Undang-Undang Perseroan
Terbatas
Tanggung jawab Direksi Perseroan Terbatas
terhadap internal stakeholders dalam hal
adanya act of ultra vires
Teori Efektivitas Hukum
Teori Stakeholder
Teori Perlindungan Hukum
Teori Tanggung Jawab Hukum
Teori Sistem Hukum
35
1.8 Metode Penelitian
Metodologi adalah ilmu tentang kerangka kerja untuk melaksanakan
penelitian yang bersistem, sekumpulan peraturan, kegiatan dan prosedur yang
digunakan oleh pelaku suatu disiplin ilmu; studi atau analisis teoritis mengenai
suatu cara /metode; atau cabang ilmu logika yang berkaitan dengan prinsip umum
pembentukan pengetahuan (knowledge). Penelitian sebagai upaya untuk
memperoleh kebenaran, harus didasari oleh proses berpikir ilmiah yang
dituangkan dalam metode ilmiah. Metode berasal dari bahasa yunani methodos,
terdiri dari dua kata yaitu meta (menuju, melalui, mengikuti) dan hodos (jalan,
cara, arah). Arti kata methodos adalah metode ilmiah yaitu cara melakukan
sesuatu menurut aturan tertentu.46
1.8.1 Jenis penelitian
Jenis Penelitian hukum dibagi menjadi 2 (dua) yaitu penelitian hukum
normatif yaitu penelitian mengenai substansi hukum yang terdiri dari norma,
kaidah, asas-asas hukum, doktrin dan peraturan perundang-undangan. Sementara
itu ada pula penelitian hukum empiris yaitu penelitian mengenai struktur dan
budaya hukum.47
Metode yang penulis pakai dalam penelitian ini adalah metode
penelitian Yuridis Empiris yaitu cara atau prosedur yang digunakan untuk
memecahkan masalah penelitian dengan meneliti data sekunder terlebih dahulu
dan kemudian dilanjutkan dengan data primer yang ada di lapangan. Penelitian ini
bertujuan untuk melihat apakah berlakunya hukum dalam praktek di masyarakat
46
Juliansyah Noor, 2014, Metodologi Penelitian Skripsi, Tesis, Disertasi& Karya Ilmiah,
Cet.IV, Kencana Prenadamedia, Jakarta, h.22. 47
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif &
Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 28.
36
sudah sesuai dengan undang-undang yang berlaku, serta memperoleh data tentang
hubungan dan pengaruh hukum terhadap masyarakat. Dengan jalan melakukan
penelitian atau terjun langsung ke dalam masyarakat atau lapangan untuk
mengumpulkan data yang obyektif, dimana peneliti meneliti bagaimana
wewenang dan tanggung jawab Direksi Perseroan Terbatas serta perlindungan
hukum terhadap internal stakeholder yang menderita kerugian akibat act of ultra
vires Direksi Perseroan Terbatas apakah telah sesuai dengan Undang-Undang No.
40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
1.8.2. Sifat Penelitian
Penelitian dalam penulisan tesis ini bersifat deskriptif. Pada penelitian
deskriptif pada umumnya, termasuk pula didalamnya penelitian ilmu hukum
bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu atau
kelompok tertentu, keadaan, gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya
hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat.48
1.8.3 Data dan Sumber Data
Adapun sumber data yang digunakan untuk mendukung penelitian ini
didapat dari 2 (dua) sumber yaitu:
a. Sumber Data Primer
Yaitu data yang bersumber dari penelitian lapangan yaitu suatu data
yang diperoleh langsung dari sumber pertama di lapangan yaitu baik
dari informan maupun responden.
48
Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana,
Op.Cit.,h.30.
37
b. Sumber Data Sekunder
Yaitu data yang bersumber dari penelitian kepustakaan yaitu data
yang diperoleh tidak secara langsung dari sumber pertamanya,
melainkan bersumber dari data-data yang terdokumenkan dalam
bentuk bahan-bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier atau dengan cara
mengkaji kembali peraturan yang sudah ada, baik dalam bahan bacaan
hukum ataupun dalam dokumen-dokumen yang memiliki keterkaitan
dengan materi dalam penelitian ini serta untuk menyempurnakan data
lapangan.
1.8.4 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
teknik wawancara (interview) untuk mengumpulkan data primer. Wawancara atau
interview adalah situasi antara pribadi bertatap muka (face to face) ketika
seseorang yakni pewawancara mengajukan pertanyaan yang dirancang untuk
memperoleh jawaban yang relevan dengan masalah penelitian secara umum.
Wawancara dapat dibagi ke dalam 2 (dua) bagian yaitu wawancara berencana
(standardized interview) dan wawancara tidak berencana (unstandardized
interview).49
Dalam penelitian ini digunakan teknik wawancara berencana dan
teknik studi dokumentasi untuk mengumpulkan data sekunder yang berkaitan
dengan objek penelitian yang dilakukan.
49
Bagong Suyanto, 2011, Metode Penelitian Sosial, Kencana Pranada Media Group,
Jakarta, h.11.
38
1.8.5 Teknik Penentuan Sampel Penelitian
Penelitian ini menggunakan teknik non-probabilitas/non-random
sampling. Pengambilan sampel dengan menggunakan teknik non-random
sampling. Pengambilan sampel dengan menggunakan teknik non-random
sampling memberikan peran yang sangat besar pada peneliti untuk menentukan
pengambilan sampelnya. Dalam teknik ini tidak ada ketentuan yang pasti berapa
sampel yang harus diambil agar dapat mewakili populasinya. Tidak semua elemen
dalam populasi mendapat kesempatan yang sama untuk menjadi sampel. Bentuk
non-random sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah snowball
sampling, pemilihan sekelompok subjek atas ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang
dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat
populasi yang sudah diketahui sebelumnya.
1.8.6 Pengolahan dan Analisis Data
Dalam penelitian ini data dianalisis secara kualitatif atau disebut juga
deskriptif kualitatif. Seluruh data primer maupun data sekunder diklasifikasikan
atau dikelompokkan sesuai dengan permasalahan kemudian dianalisis dengan
teori dan konsep yang relevan, selanjutnya dianalisis secara deskriptif kualitatif
untuk mendapatkan jawaban dari permasalahan yang ada.