ulama riza - pendahuluan singapore_rumah

Upload: radiophon666

Post on 08-Jul-2015

66 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Keterlibatan Ulama Dalam Pemilihan Walikota Medan Tahun 2010

Pendahuluan Relasi Ulama dan politik bukanlah hal baru. Ulama hampir tidak dapat menghindar dari realitas politik masyarakat sekitarnya, kharakter khas politik Ulama terletak pada misi apa yang mereka emban yaitu merealisasikan gagasan ideal agama, bagaimana keyakinan agama memengaruhi perilaku politik individu atau kelompok, bagaimana agama sebagai sarana atau alat mencapai tujuan politik, atau sebaliknya bagaimana politik digunakan sebagai sarana mencapai tujuan agama. Dengan perkembangan sosial politik kontemporer Ulama dituntut berpartisipasi untuk mewarnai dan memberikan pencerahan terhadap realitas politik yang selama ini dianggap tidak Islami. Di era desentralisasi ini peran Ulama semakin strategis dengan adanya dinamika politik lokal berikut kompleksitasnya. Transformasi tatanan kemasyarakatan yang lebih demokratis dibebankan kepada mereka, tanpa menegasikan peran dan keterlibatan komunitas civil society lainnya. Bagaimana sesungguhnya keterlibatan Ulama dalam kegiatan politik elektoral sebagaimana yang berkembang di era desentralisasi ini? Tulisan ini akan membahas keterlibatan ulama sebagai pemimpin otoritas keagamaan dan organisasi mereka dalam proses pemilihan Walikota Medan tahun 2010, menelusuri ketegangan politik dan anatominya, serta mengurai kelemahan-kelemahan pelaku politik lokal dalam menjalankan budaya demokrasi dan mewujudkan stabillitas politik, terutama keterbukaan pergaulan dengan etnis Cina. Kemudian, bagaimana persepsi publik terhadap ulama yang terlibat dalam kegiatan politik elektoral tersebut? apa konsekuensi logis dari semua itu? Medan dan Anatomi Konflik Kota Medan memiliki luas wilayah 265,10 km atau 3,6 persen dari keseluruhan wilayah provinsi Sumatera Utara. Dibandingkan dengan kota atau kabupaten lainya, Medan memiliki luas wilayah yang relatif kecil dengan jumlah penduduk yang relatif besar. Jumlah penduduk kota Medan tahun 2010 lebih kurang 2.097.610 jiwa (BPS Kota Medan 2010). Laju pertumbuhan penduduk Medan periode tahun 2000-2004 cenderung mengalami peningkatan rata-rata 0,09 persen. Sedangkan tingkat kapadatan penduduk mengalami peningkatan 7.183 jiwa per km pada tahun 2004 dengan angka harapan hidup bagi laki-laki adalah 69 tahun sedangkan bagi wanita adalah 71 tahun. Keadaan ini sebagai akibat industrialisasi Medan di mana migrasi dan urbanisasi menjadi masalah krusial. Kota terus berkembang, daerah-daerah yang dulunya merupakan daerah pinggiran, kini menjadi pusat keramaian, pemukiman rapat, rumah-rumah berhimpitan bercampur baur dengan pertokoan ataupun pabrik-pabrik serta kemacetan lalu lintas. Sejak masa kolonial Belanda Kota Medan memiliki daya tarik yang kuat terhadap para migran. Sebagai kota pelabuhan Medan memiliki aktifitas ekonomi yang cukup besar di Sumatera Utara, apalagi di wilayah Sumatera Utara banyak perkebunan besar, sehingga Medan terus berkembang seiring dengan nilai tambah yang dihasilkan dari perkebunan-perkebunan di Sumatera Utara. Kemudian, Orde Baru memberlakukan kebijakan ekonomi pertumbuhan dengan strategi industrialisasi di perkotaan Indonesia. Industrialisasi dianggap mampu membuat kota Medan berkembang lebih pesat dibandingkan periode sebelumnya. sehingga Kota Medan tidak sekedar menjadi kota pelabuhan, melainkan juga kota perdagangan, agribisnis, pengembangan kebudayaan, pendidikan, pariwisata, serta berbagai macam pusat kegiatan.

Page1

Keterlibatan Ulama Dalam Pemilihan Walikota Medan Tahun 2010

Page1

Medan merupakan kota multietnik. Tercatat beberapa etnis lokal yang mukim di sini seperti Melayu, Mandailing, Toba, Simalungun, Nias dan Pakpak dan etnis pendatang seperti Jawa, Aceh, Minang, Arab, Tamil, dan Tionghoa. Sementara pluralitas agama antara lain Islam sebagai mayoritas, disusul protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Medan merupakan wilayah yang paling potensial dan strategis di Sumatera Utara baik secara ekonomi maupun politik. Industrialisasi telah menjadi magnit yang menggerakkan gelombang migran dan memadati kota Medan. masuknya para migran tersebut tidak hanya merubah jumlah penduduk, tetapi komposisi penduduk berdasar etnik. Dinamika ini pada setiap waktu dapat saja berubah dengan cepat. Dalam perubahan ini etnik Melayu adalah etnik yang secara drastis mengalami penurunan peranan, baik dari segi politik, sosial ekonomi dan kebudayaan. Perluasan kota Medan telah mendorong perubahan pola pemukiman kelompok-kelompok etnis. Etnis Melayu dan Mandailing banyak yang tinggal di pinggiran kota. Etnis Tionghoa dan Minangkabau yang sebagian besar hidup di bidang perdagangan, 75 persen dari mereka tinggal di sekitar pusat-pusat perbelanjaan. Pemukiman orang Tionghoa dan Minangkabau sejalan dengan arah pemekaran dan perluasan fasilitas pusat perbelanjaan. Politik desentralisasi membuat gairah politik lokal berlangsung dinamis, ada banyak perubahan yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Namun, perkembangan derajat demokratisasi tersebut tidak selalu diiringi dengan perkembangan budaya demokrasi yang membutuhkan sejumlah unsur antara lain; percaya pada orang lain, jaringan keterlibatan warga, toleransi, keterlibatan politik, sikap percaya pada institusi politik, dukungan terhadap nilai-nilai demokrasi, dukungan terhadap negara bangsa, warga negara yang setia pada sistem, dan aktivis yang toleran (Saiful Mujani:2006). Memang, bagi daerah yang masyarakatnya plural menjaga harmoni sosial-politik bukan perkara mudah. Pembangunan yang diharapkan dapat menciptakan kehidupan demokratis dan lepas dari ikatan-ikatan tradisional ternyata memiliki kompleksitas tersendiri dalam mewujudkannya. Persoalan Putra Daerah, Golongan Pribumi dan Non Pribumi, peraturan para penganut agama, kedaerahan, dan sebagainya tidak dapat diabaikan dari agenda pemerintahan. Pasang surut pergesekan sosial, kerusuhan antar warga, konflik anti-Cina terus membayang terutama saat terjadi persaingan di antara elit lokal untuk menguasai posisi politik. Pemilihan walikota Medan tahun 2010 adalah contoh kasus di mana konflik mungkin dengan segera muncul ke permukaan ketika tidak banyak pihak yang mencoba berupaya menghindari dan mencari solusi atasnya. Peristiwa pemilihan Walikota merupakan uji kedewasaan berdemokrasi bagi masyarakat ketika ada seorang dari Etnis Cina ikut menyalonkan diri sebagai walikota. Di sini ulama mengalami problem teologispolitis yang kompleks, sehingga terjadi polarisasi perilaku politik di kalangan Ulama yang pada gilirannya berdampak pada umat. Desentralisasi memang telah menggeser arena pertarungan politik dari pusat ke daerah. Lokus perebutan kekuasaan politik dan ekonomi terjadi antar warga lokal sendiri, atau juga elit nasional yang menggeser kepentingannya ke daerah. Karena itu konflik kekuasaan di tingkat lokal adalah suatu yang tak dapat dihindarkan. Berbagai kekuatan ideologi berebut posisi politik untuk menegaskan identitas ideologisnya tanpa memedulikan semangat desentralisasi.

Keterlibatan Ulama Dalam Pemilihan Walikota Medan Tahun 2010

1

http://www.abeproject.wordpress.com

Page1

Masyarakat lokal sebagai subyek demokrasi pun kian terpinggirkan. Desentralisasi yang diharapkan memunculkan iklim perubahan belum memperlihatkan tanda-tanda kebaikan. Kuatnya primordialisme, Rendahnya kualitas pendidikan dan tingginya angka kemiskinan berpengaruh pada tingkat partisipasi dan cara masyarakat dalam demokrasi. Di sinilah celah bagi aktor politik lokal memanfaatkan situasi yang tidak tertib yang pada gilirannya membuka kemungkinan terhadap munculnya tirani baru. Pada Era Reformasi 1998, tuntutan perbaikan di segala bidang merupakan hal yang tidak terelakkan, namun ketidakpuasan politik segera berkembang menjadi kerusuhan anti Cina. Saya menyaksikan langsung Kota Medan mengalami chaos, terjadi pembakaran dan penjarahan terhadap hak milik orang Cina. Peristiwa tersebut secara beruntun selama tiga hari berturutturut sejak tanggal 5 sampai 8 Mei 1998, kemudian menyebar secara massif ke beberapa daerah sekitar Medan antara lain; Lubuk-Pakam, Perbaungan, Tebing-Tinggi, Pematang-Siantar, Tanjungmorawa, Pantailabu, Galang, Pagarmerbau, Beringin, Batangkuis, Percut Sei Tuan. Peristiwa sejenis itu dahulu pernah juga terjadi pada tahun 1980, sekelompok mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU) bersepeda motor keliling kota, sambil memekikkan teriakan anti suku peranakan Cina, kemudian, berujung pada perkelahian.1 Pandangan dan perlakuan diskriminatif terhadap etnis Cina terus membayangi kehidupan masyarakat Medan dan streotipe terhadap mereka belum sepenuhnya hilang. Laporan Goverment Decentralization Survey (GDS) tahun 2002 yang dilaksanakan oleh Centre for Population and Policy Studies Universitas Gajah Mada (UGM) menjelaskan bahwa setelah dilaksanakannya desentralisasi politik, sejumlah daerah belum dapat mengakomodir ragam kepentingan yang dinamis di daerah, akibatnya konflik pun tidak dapat dihindari. Medan merupakan salah satu daerah yang belum lepas dari sematan sebagai daerah rawan konflik. Survey GDS tersebut menempatkan Medan dengan indeks rawan konflik 1,686. Angka ini lebih tinggi dibandingkan daerah lain di Sumatera Utara seperti Labuhan Batu dan Tapanuli Tengah. Sebuah angka yang wajar dengan melihat posisi Kota Medan sebagai Ibukota tempat konsentrasi kegiatan politik ekonomi masyarakat, pluralitas etnis dan agama, profesi dan ragam kepentingan lainnya. Misalnya, peristiwa tewasnya Abdul Aziz Angkat ketua DPRD Sumatera Utara tahun 2009 saat terjadi demonstrasi besar yang menuntut pemekaran Provinsi Tapanuli dari Provinsi Sumatera Utara. Peristiwa ini menunjukkan bahwa konflik kepentingan di daerah akan mengarah ke pusat kota sebagai pusat pemerintahan. Dibandingkan kasus lain, konflik antar warga adalah kasus tertinggi. Media massa sering memberitakan peristiwa konflik kekerasan antar warga, terutama di wilayah pesisir utara yaitu Medan Labuhan. Peranan kelompokkelompok pemuda terlihat menyolok dalam kehidupan masyarakat, karena itu tidak sulit menemukan titik-titik konflik yang dipicu oleh perebutan penguasaan atas wilayah tertentu dengan adanya pos-pos jaga di sudut jalan, persimpangan, kedai kopi, dan tempat hiburan. Perebutan atas lahan tersebut sering menyulut konflik antar kelompok pemuda dan sering berujung pada jatuhnya korban. Selain konflik warga, pesisir utara punya masalah soal kemiskinan dan pemerataan pembangunan, karena itu desakan pemekaran Medan Utara juga terus digulirkan. Panitia Persiapan Pembentukan Pemerintahan Kota Medan

Keterlibatan Ulama Dalam Pemilihan Walikota Medan Tahun 2010

Utara (P4KMU) sering menggelar rapat dan telah mendeklarasikan perjuangan mereka untuk memisahkan diri dari Medan. para pejabat dan politisi sadar betul dengan kondisi wilayah Utara yang terdiri dari empat kecamatan, Medan Deli, Medan Labuhan, Medan Marelan dan Medan Belawan. Daerah ini punya potensi yang cukup signifikan karena keberadaan pelabuhan Belawan, tak kurang dari 1,2 triliyun disumbangkan oleh empat kecamatan ini setiap tahunnya kepada pemerintah kota Medan, karena itu, pemekaran akan merugikan Medan secara keseluruhan. Konflik sebab pencemaran lingkungan juga menjadi masalah, Banjir adalah bencana rutin tahunan di Medan akibat buruknya drainase dan massifnya pembangunan gedung perkantoran dan pusat-pusat perbelanjaan mempersempit ruang hijau dan sungai kota, polusi kendaraan, menejemen pengelolaan sampah yang buruk ikut menyumbang memperparah wajah kota Medan dan mengancam kesehatan masayarakat. Kemudian, Soal penertiban peternakan babi menjadi isu sensitif, bukan sekedar isu lingkungan melainkan juga merembet pada isu keagamaan yang dikhawatirkan akan mengakibatkan konflik karena menyangkut dimensi keyakinan agama antara Islam dan Kristen. Di Medan, kekuatan Islam lebih dominan, meski demikian konflik agama dapat dikatakan relatif tidak muncul, kecuali dalam konteks tertentu seperti dalam perebutan kekuasaan, Agama sering menjadi isu yang mudah digunakan untuk memicu konflik. Ulama, Afiliasi, dan Mesin Politik Ulama dalam Alquran adalah pewaris para Nabi. Eksistensinya dipercaya dapat memengaruhi perkenan Tuhan terhadap kehidupan masyarakat, tetapi Ulama tidak hanya berfungsi sebagai pembimbing kehidupan spiritual masyarakat, lebih dari itu ulama sering berlaku sebagai pengarah kehidupan sosial politik. Sekitar 67 persen penduduk muslim Medan, kurang lebih 500 mesjid dan 800-an kelompok pengajian yang membutuhkan bimbingan dan pelayanan sosial keagamaan dari para Ulama, peran ini pada prosesnya menjadi basis loyalitas kultural masyarakat terhadap sosok Ulama. Di Sumatera Utara, Ulama disebut juga Syeikh, Ustadz atau Ustadzah (perempuan), yang artinya guru agama Islam, orang yang memiliki pengetahuan yang luas di bidang agama. Seperti Tuan guru di NTB dan Kyai di Jawa, Ulama di Medan memegang otoritas spiritual yang amat penting dalam pandangan dan kehidupan masyarakat. Ulama di Medan tidak banyak yang memiliki pesantren seperti Kyai di Jawa, tetapi mereka memiliki komunitas pengajian yang banyak, mereka memimpin organisasi Islam nasional di tingkat lokal seperti NU dan Muhammadiyah, juga organisasi lokal terbesar di Sumatera Utara Alwashliyah, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Beberapa dari mereka sebagai Profesor atau pengajar di Institute Agama Islam Negeri (IAIN) Sumatera Utara, alumni dari universitas di Timur Tengah seperti Al-Azhar cairo, Maroko, Sudan. Melalui ceramah-ceramah di komunitas pengajian, khotbah Jumat, dan memimpin ritual, mereka membangun pengaruh emosional dan kedekatan kepada masyarakat dan konsekuensi dari itu mereka sangat disegani dan dihormati. Terlebih lagi, teologi mainstream adalah ahlussunnah wal Jamaah yang mengisyaratkan ketakziman kepada sosok Ulama dan keluarganya. Kompetensi Ulama sangat beragam. Ada yang memegang otoritas teologi, ortodoksi, afiliasi politik dan pengaruh politik yang berbeda-beda meskipun tidak secara tegas menjadi anggota partai politik. Sebagian mereka

Page1

Keterlibatan Ulama Dalam Pemilihan Walikota Medan Tahun 2010

memiliki reputasi internasional seperti Muhammad Hatta ketua MUI Medan yang dikenal di Malaysia dan Brunei Darussalam. KH. Zulfikar Hajar pemimpin komunitas pengajian Jabal Noor, Nizar Syarif pemimpin Alwashliyah Wilayah Sumatera Utara. Dengan melihat kepemimpinan kultural para ulama dan jejaring religius mereka, tidaklah sulit mengatakan bahwa mereka dapat memobilisasi massa dalam situasi yang dibutuhkan. Biasanya mereka berlaku sebagai penyeru yang ajakannya segera diikuti oleh banyak pengikutnya. Ini pula yang menjadi dasar bagi para aktor politik lokal untuk menggandeng mereka dalam kegiatan politik elektoral. Pemilihan Walikota Medan Tahun 2010 Bagaimana bentuk-bentuk keterlibatan Ulama dalam kegiatan politik elektoral tersebut?. Sejauh mana ketegangan yang timbul dalam pemilihan Walikota Medan tahun 2010, sehingga Ulama terlibat jauh di dalamnya?. Sebagaimana dalam Pemilu anggota legislatif maupun pemilihan presiden, potensi terjadi ketegangan sipil sangat terbuka apalagi pada waktu yang berdekatan Pemilihan kepala daerah juga berlangsung di 24 Kabupaten di Sumatera Utara.2 Sehingga pemerintah bersama polisi bertanggung jawab dan berupaya menjaga stabilitas sosial, mensosialisasikan upayanya dalam menjaga masyarakat dari gangguan keamanan. Pihak Kepolisian Kota Besar Medan melakukan langkah taktis dengan menurunkan sebanyak 1638 personilnya ke lapangan, di titik-titik rawan.3 Polisi menyadari keterbatasannya. Karena itu kerjasama dengan komunitas masyarakat madani dan Ulama merupakan hal strategis untuk melengkapi keterbatasan polisi dalam melakukan tugasnya. KPUD memelopori gerakan pemilihan damai, mengambil kesepakatan dari para kontestan pemilihan walikota Medan 2010 untuk bersama melaksanakan pemilihan secara damai. Gagasan ini juga diikuti oleh sejumlah ormas untuk menjaga ketertiban selama proses pemilihan berlangsung. Seperti Organisasi keagamaan Alwashliyah, Muhammadiyah, organisasi kepemudaan, dan pemuka agama mitra kamtibmas. Mereka menganjurkan kepada masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya dan mendukung tertibnya keamanan serta menghindari ketegangan sipil. Anjuran-anjuran tersebut banyak terpampang pada spanduk, leaflet yang di tempel di persimpangan jalan atau di titik keramaian yang strategis. Ketua MUI Medan, Muhammad Hatta, mengatakan dalam menghadapi pemilihan Walikota Medan ini umat Islam hendaknya melakukan beberapa hal antara lain; menjadi pemilih, tidak melakukan statemen yang bersifat penzaliman pribadi terhadap pasangan lain, aktif memantau terhadap praktek pelanggaran norma-norma agama dan hukum, dalam berdakwah hendaknya penuh kedamaian dan jangan menimbulkan masalah serta polemik di antara ulama dan ustadz.4 Lemahnya institusionalisasi kepartaian, tidak adanya ideologi, dan kaderisasi yang tidak berjalan membuat aktor politik mencari jalan lain yangKabupaten Kota yang melangsungkan Pilkada, yakni Kota Medan, Binjai, Serdang Bedagai (Sergai), Tapsel, Tobasa, Asahan, Labuhan Batu, Pak-Pak Barat, Siantar, Humbang Hasundutan (Humbahas), Sibolga, Tebing Tinggi, Madina, Samosir, Simalungun, Tanjung Balai, Tanah Karo, Tapteng, Labuhan Batu Selatan (Labusel), Labuhan Batu Barat (Labura), Nias, Gunung Sitoli, Nias Barat, Nias Utara dan Nias Selatan. 3 http://www.waspada.co.id/index.php?option...ilkada&catid=165:pilkada medan&itemid:94 (diakses 4 Maret 2010) 4 Wawancara dengan Muhammad Hatta, Tanggal 3 Maret 2010 di Medan2

Page1

Keterlibatan Ulama Dalam Pemilihan Walikota Medan Tahun 2010

memungkinkan mereka dan partainya mendapatkan dukungan publik. Salah satu yang dapat diupayakan adalah dengan melibatkan para ulama. Para politisi yang akan berkompetisi dalam Pemilihan Walikota Medan kembali mendekatkan diri kepada para Ulama baik berlaku sebagai pemberi restu Politik, juru kampanye, tim sukses pemenangan, atau sekedar pemohon perkenan Tuhan. Sampai di sini dapat dilihat eksploitasi terhadap simbol keagamaan tidak terhindarkan demi melegitimasi pencalonan dan mendapatkan dukungan. Pelajaran penting bagi masyarakat Medan adalah peristiwa penangkapan Abdillah dan Ramli (Walikota dan Wakil Walikota periode 2005-2010) akibat penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, dan membuat keduanya di hukum penjara.5 Karena itu, agenda pemberantasan korupsi menjadi prioritas dalam melihat figur-figur yang muncul sebagai kontestan pada pemilihan Walikota Medan 2010. Dalam laporan KPUD Medan, ada sepuluh pasangan yang maju sebagai kontestan dalam Pemilihan Walikota dan Wakil walikota Tahun 2010 yang digelar 16 April 2010, antara lain; Syahrial Anas-Yahya Sumardi, Sigit Pramono Asri-Nurlisa Ginting, Indra Sakti-Delyuzar, Bahdin Nur Tanjung- Kasim Siyo, Joko Susilo-Amir Mirza Hutagalung, Rahudman Harahap-Dzulmi Eldin, M. ArifSupratikno Ws, Maulana Pohan-Ahmad Arif, Ajib Shah-Binsar Situmorang, dan Sofyan Tan-Nelly Armayanti. Dari sepuluh pasangan kandidat, pasangan Sofyan Tan- Nelly Armayanti menjadi figur yang cukup menarik perhatian. Khususnya Sofyan Tan, dia orang pertama dari Etnis Cina yang muncul sebagai kandidat dalam pemilihan walikota Medan, sedangkan Nelly Armayanti berasal dari Etnik Minang. Ini merupakan perkembangan positif dari terkikisnya isu rasial dan membaiknya perlakuan terhadap etnik Cina terutama sejak masa Reformasi.6 Sejak awal publik tidak memperkirakan bahwa pasangan Sofyan Tan-Nelly Armayanti akan mendapatkan dukungan yang besar. Sebab, selain dari etnis Cina Sofyan juga non-muslim, meski memiliki proporsi 10 persen dari total jumlah penduduk Medan, etnis Cina sebelumnya tidak pernah diperhitungkan secara politik oleh banyak pihak.7 Partisipasi masyarakat Cina dalam kegiatan politik biasanya tidak pernah terlihat langsung, seperti menjadi peserta kampanye, aktif terlibat dalam rapat-rapat umum dan memobilisasi massa apa lagi menjadi kontestan. Tetapi, partisipasi mereka dilakukan dengan cara yang tertutup, seperti sebagai donatur untuk kandidat atau sekadar ikut voting.8 Jadi ini sebuah langkah maju. Menurut laporan KPUD Medan pemilihan walikota Medan tahun 2010 memperebutkan 764.173 suara di 21 Kecamatan. Pasangan Rahudman-Eldin menduduki peringkat pertama dengan raihan 150.671 suara atau 22 persen disusul urutan kedua pasangan Sofyan Tan-Nelly Armayanti dengan raihan 140.676 atau 20 persen. Sigit Pramono Asri Nurlisa Ginting 97.295, Ajib Shahhttp://www.acch.com (3 Juni 2010) Tahun 1990 Abdurrahman Wahid pernah merilis artikelnya berjudul Beri Jalan Orang Cina. Artikel inilah yang disebut-sebut sebagai langkah awal penghapusan diskriminasi terhadap etnik Cina. Kemudian Wahid bersama para reformis mengamandemen UUD 1945 ke arah yang lebih humanis dan anti rasial. 7 Keberterimaan masyarakat terhadap warga keturunan Cina memang berbeda dengan keturunan lain seperti Arab dan Tamil. Misalnya, keberterimaan masyarakat terhadap Abdillah Walikota Medan periode 2000-2005 dan 2005-2010 yang merupakan keturunan Arab. 8 Bobby Irwansyah, Tingkat Ekonomi dan Partisipasi Etnis Tionghoa Dalam Pilkada Kota Medan, Jurnal Politeia Vol 2, No 2, Juli 2011, h 76-785 6

Page1

Keterlibatan Ulama Dalam Pemilihan Walikota Medan Tahun 2010

Binsar Situmorang 93.118. Maulana Pohan Ahmad Arif 76.351, Bahdin Nur Tanjung Kasim Siyo 35.586, Arif Nasution Supratikno 28.982 , Joko Susilo Amir Mirza Hutagalung 28.726, Sjahrial R Anas Yahya Sumardi 18.661 dan Indra Sakti Harahap Delyuzar 8.738. Pengumuman perhitungan suara oleh KPUD tersebut sekaligus menjelaskan bahwa hanya dua pasangan yang berhak mengikuti pemilihan walikota putaran kedua yang dijadwalkan 19 Juni 2010 yaitu pasangan Rahudman-Eldin dan Sofyan Tan-Nelly. Di luar dugaan banyak pihak, hasil perolehan suara tersebut mengonfirmasi kecenderungan menguatnya dukungan terhadap Sofyan Tan. Banyak pendapat yang muncul soal fakta banyaknya dukungan suara kepada Sofyan Tan. Polarisasi sikap para Ulama setidaknya terbelah menjadi dua poros, konservatif dan moderat. Poros konservatif merupakan kelompok yang paling reaktif dan cenderung resisten terhadap fakta mencuatnya dukungan terhadap Sofyan Tan, Karena mereka merasa jika Sofyan memenangkan pemilihan maka Medan yang mayoritas muslim akan dipimpin oleh orang Cina lagi non-Muslim. Sementara poros moderat ikut mendukung Sofyan Tan dengan mengacu pada nilai-nilai demokrasi. Sejak saat itu, masalah Pemilihan Walikota medan ini menjadi masalah serius bagi para ulama di Medan, dan konsekuensinya pemilihan Walikota Medan putaran kedua bernuansa politis-teologis, dan sangat beraroma isu SARA. NU Kota Medan adalah organisasi yang mengalami konflik internal dalam memberikan dukungan kepada Kandidat, dukungan NU terbelah, sebagian elitnya mendukung Rahudman-Eldin sebagian lainnya ke Sofyan Tan- Nelly. Rapat-rapat digelar dalam rangka konsolidasi dan menguatkan dukungan kepada Rahudman-Eldin sebagai pasangan muslim. Dalam sebuah pertemuan,9 Abdullahsyah ketua MUI Sumatera Utara menekankan sikap politiknya dengan pendekatan teologis. Ia mengatakan bahwa tuntutan dalam Islam telah jelas dalam memilih pemimpin. Saya atas nama pribadi mengajak umat untuk bersatu padu dan menguatkan silaturahim. Karena hanya dengan demikian kita akan memiliki daya dan kekuatan, tuturnya. Dia mengutip bunyi ayat Q.S. Ali Imran/3: 28 Janganlah orang-orang Mumin mengambil orang-orang kafir menjadi pemimpin dengan meninggalkan orang-orang Mumin. Barang siapa berbuat demikian niscaya lepaslah pertolongan Allah. Dalam pertemuan tersebut para Ulama mengeluarkan kesepakatan dan anjuran agar umat Islam bersatu, menghilangkan perbedaan demi kepentingan bersama yang lebih besar. Dengan demikian, umat akan memiliki kekuatan untuk mencapai kemenangan dalam pemilihan Walikota Medan. Pertemuan seperti ini terus dilanjutkan secara berkala sebelum Pilkada Kota Medan putaran kedua 19 Juni 2010 digelar. Ustadz Ahmad Muttaqin dari Medan Marelan, yang menjadi salah seorang tim perumus dalam acara itu menegaskan persatuan umat untuk mendukung satu pasangan calon mutlak harus dilakukan. Dia memberi arahan agar pasangan yang akan didukung memenuhi lima kriteria. Pertama, pasangan tersebut haruslah pasangan Islam-Islam. Kedua, tidak hanya beragama Islam, namun pasangan tersebut juga harus faham akan agama Islam yang dianutnya. Ketiga, adalah pasangan yang harusPertemuan dilaksanakan di kantor MUI Kota Medan, Minggu 21-februari 2010. Hadir dalam kesempatan itu Ketua MUI Sumut Prof Dr Abdullahsyah, Ketua MUI Medan Prof Moh Hatta, para ulama diantaranya Al Ustadz KH Zulkarnain, Ustadz Zulfikar Hajar, Prof Dr M Syahrin Harahap dan seratusan alim ulama Kota Medan.9

Page1

Keterlibatan Ulama Dalam Pemilihan Walikota Medan Tahun 2010

mengamalkan dengan baik dalam sejarah hidupnya selama ini. Keempat, adalah orang-orang yang telah nyata berbuat untuk kepentingan umat, kepentingan rakyat, bukan hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompok atau golongannya saja. Kelima, bagi pasangan yang mesti didukung adalah adanya dukungan kuat dari umat akan keberadaannya. Pada intinya para alim ulama yang hadir pada pertemuan itu menyepakati bahwa umat harus bersatu untuk bisa menang dalam pilkada. Dalam sebuah pertemuan lain yang saya hadiri, ketua MUI Medan Muhammad Hatta juga menyatakan sikap dengan mengadakan konsolidasi jajaran pengurus MUI Medan Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) se-Kota Medan. acara itu dihadiri juga oleh Kepala Kantor Kementerian Agama kota Medan Abdul Rahim.10 Menurut Ustadz Hatta selama ini umat Islam tidak pernah terusik dalam proses pemilukada. Namun, pada pemililhan Walikota tahun ini terjadi dua pasang calon walikota yang berbeda akidah. Yakni, pasangan seakidah Rahudman Harahap-Zulmi Eldin (Islam-Islam) serta pasangan Sofyan Tan-Nelly Armayanti (Budha-Islam). Ustadz Hatta menggunakan pendekatan yang sama dengan Abdullah Syah, dengan mengharuskan kaum muslim memilih pemimpin seakidah berdasarkan Alquran:An-nisa/3:144 dan at-Taubah:23 yang mengharamkan umat Islam memilih pemimpin dari kalangan kafir/non muslim. Kemudian Nizar Syarif selaku ketua komisi Fatwa MUI Medan juga menjabat sebagai ketua Alwashliyah Sumatera Utara mengeluarkan fatwa tentang larangan memilih calon pemimpin non-muslim.11 Pada waktu yang sama, KH. Zulfikar Hajar pemimpin komunitas pengajian Jabal Noor juga menasehati ummat agar mendukung pasangan Rahudman-Eldin dengan berlaku sebagai mufakkir, (pemikir), muatssir (memberi pengaruh), muharrik (penggerak), muqatil (orang yang siap siaga) muhawwil (penyandang dana). Faktor kelima ini menjadi sangat penting, sehingga umat Islam diharapkan mampu menyumbangkan dananya untuk pemenangan Rahudman-Eldin. Perbedaan sikap dan pandangan politik ditunjukkan oleh kelompok yang menamakan dirinya Forum Ustadz dan Ustadzah kota Medan. Forum ini dipimpin oleh Ustadz Asrorudin Sagala, ia mendukung Sofyan Tan karena komitmennya terhadap pluralisme sangat tinggi. Ustadz Sagala mengatakan komitmen Sofyan Tan terhadap kerukunan antar umat beragama dan menghargai perbedaan sangat tinggi.12 Forum ini didukung juga oleh KH. Ali Akbar Marbun pimpinan Pesantren Alkautsar,13 dan pemuka agama lain seperti Sutopo dari Walubi, ia mengatakan masyarakat keturunan Tionghoa merupakan bagian dari bangsa Indonesia dan telah ikut bersama masyarakatHadirnya Kepala kantor Kementerian Agama ini menjelaskan negara gagal menjaga netralitasnya dalam proses pemilihan yang sudah diatur oleh Undang-Undang. 11 Bentuk penggunaan Fatwa seperti ini sering dilakukakn oleh MUI terutama dalam konteks pemilihan. MUI menyatakan bahwa Muslim harus memberi suara pada Pemilu Presiden "Muslim." sekitar 700 ulama MUI di hari Minggu setuju bahwa Muslim tidak boleh golput dalam Pemilu jika calon presiden Muslim memang ada. Fatwa MUI biasanya mendapat tempat bagi umumnya umat Islam. Mereka akan tunduk pada fatwa karena tidak taat pada fatwa dianggap dosa dalam Islam. Fatwa larangan memilih Pemimpin perempuan juga pernah dikeluarkan oleh MUI di Jakarta dalam konteks merespon naiknya Megawati menggantikan Abdurrahman Wahid tahun 2001. 12 http//:www.pemiluindonesia.wordpress.com (diakses 15 Juni 2010) 13 KH. Ali Akbar Marbun merupakan kyai yang aktif dalam pertemuan lintas agama di Sumatera Utara.10

Page1

Keterlibatan Ulama Dalam Pemilihan Walikota Medan Tahun 2010

lainnya dalam pembangunan. Karena itu, warga keturunan juga berhak memilih dan dipilih. Pemilihan putaran kedua ini jauh lebih panas dan dengan ketegangan sipil. Konflik antara dua kubu ulama yang mendukung masing-masing calon tersebut menajam ke tingkat bawah, isu SARA menjadi hal liar menjelang pemilihan. Di lapangan keduanya menggunakan media keagamaan seperti khotbah Jumat, ceramah pengajian, dan bentuk tabligh lainnya untuk saling memojokkan dan bahkan saling mengkafirkan. Kuatnya dua poros kepentingan ini akan menyeret masyarakat dalam konflik yang tidak menguntungkan. Karena itu, pihak pemerintah dan civil society lainnya berusaha meredam isu tersebut dengan menganjurkan masyarakat untuk tidak terprovokasi. ada banyak tokoh yang berusaha menghindari konflik tersebut dan menawarkan solusi. Kepolisian Daerah Sumatera Utara meminta warga mewaspadai munculnya isu SARA dalam Pemilihan Walikota Medan tahun 2010. Untuk mengantisipasi keadaan yang tidak diinginkan kepolisian menerjunkan personel intelijen. Polda Sumut menghimbau masyarakat tidak terprovokasi kampanye menjelek-jelekkan lawan politik. Dan akan melakukan tindakan tegas terhadap pengacau keamanan.14 Seorang tokoh Cina-Muslim, Anton Medan menganjurkan agar kedua pasangan calon tidak mengekploitasi agama untuk tujuan politik, terutama untuk mendapat dukungan warga Medan.15 Menurut penasihat Masyarakat Muslim Tionghoa Indonesia ini, salah satu keprihatinan yang dilihatnya saat Medan menggelar Pilkada putaran kedua adalah adanya propaganda pasangan calon yang membawa-bawa agama. Anton Medan ingin melihat Medan menjadi kota yang baik, mendapat rahmat, dan masyarakatnya sejahtera. Dia juga berharap masyarakat Medan menggunakan hak pilih dan memilih walikota yang punya moral, visi dan misi jelas, jujur dan adil. Ridwan Rangkuti berpendapat bahwa Sofyan Tan telah berhasil menerobos sekat tabu politik masyarakat Medan yaitu primordialisme, keberhasilan itu dibuktikan dengan perolehan suaranya yang signifikan, yang mengantarkannya maju ke putaran kedua.16 Hal ini sangat penting dalam proses demokratisasi di Medan sekaligus menunjukkan membaiknya penghormatan terhadap HAM dan menipisnya konflik rasial. Nur Ahmad Fadhil mengemukakan bahwa isu agama yang muncul pada pemilihan Walikota itu akan mengembalikan umat pada tahun 1950-an. Sama sekali tidak menguntungkan. Selain itu, isu agama yang menjadi komoditas politik bisa memecah belah persatuan di kalangan masyarakat.17 Keadaan ini merupakan gejala kemunduran dari proses pembangunan demokrasi yang telah diperjuangkan sejak lama. Pemilihan Walikota Medan 2010 putaran kedua dimenangkan oleh pasangan Rahudman-Dzulmi setelah meraih 485.446 suara atau 65,88 persen, sedangkan Sofyan Tan-Nelly Armayanti mengumpulkan 251.436 suara atau 34,12 persen dari total 764.173 pemilih. Sementara, Pasangan Sofyan TanNelly Armayanti melihat ini sebagai hasil perjuangan yang harus diterimahttp//:www.vhrmedia.com/polda-sumut-waspada-isu-SARA.html (diakses 15 Juni 2010) http//:www.vhrmedia.com (diakses 15 Juni 2010) 16 Wawancara dengan Ridwan Rangkuti, seorang pengamat politik lokal staf pengajar di FISIP USU, 10 Juni 2010 17 Wawancara dengan Rektor IAIN-Sumatera Utara Nur Ahmad Fadhil tanggal 14 Juni 201014 15

Page1

Keterlibatan Ulama Dalam Pemilihan Walikota Medan Tahun 2010

secara dewasa. Pemilihan secara umum berlangsung aman tanpa kekacauan, hal ini melegakan semua pihak karena sebelumnya banyak pihak mengkhawatirkan proses pemilihan akan berlangsung rusuh. Tetapi, pemilihan masih meninggalkan catatan-catatan pelanggaran seperti lemahnya pendataan pemilih, politik uang dan banyaknya jumlah Golput.18 Persepsi Publik dan Konsekuensi Ragam persepsi publik ditemukan ketika melihat keterlibatan Ulama yang telah begitu jauh dan terjebak dalam politik dukung-mendukung. Pernyataan Irma berikut ini dapat menjadi ilustrasi: menurut saya sah-sah saja, asalkan Ulama tersebut dapat lebih mengedepankan kepentingan masyarakat dan mengesampingkan kepentingan individunya. Sebagai pemuka agama dalam masyarakat ulama haruslah mencerminkan etika yang baik dan tidak mencoreng nama agama19 Ismail: Dalam sistem demokrasi, siapapun sah terlibat dalam politik, karena itu Hak asasi setiap orang. Namun, dalam pandangan masyarakat awam, politik adalah suatu hal yang tidak bersih dan itu tidak sesuai dengan para Ulama yang merupakan figur agamis dan dihormati.20 Seorang responden lain, Asniati, mengatakan: saya tidak setuju dengan keterlibatan Ulama masuk dalam politik elektoral. Seharusnya Ulama lebih memfokuskan diri pada masalah keagamaan atau membimbing kehidupan agama masyarakat agar nama baiknya tetap terjaga.21 Menjelang Pemilihan beberapa Ustadz menggeser orientasi komunitas pengajiannya sesuai kepentingannya. Pada keadaan biasa Ulama atau Ustadz berperan membimbing dan memberi pencerahan keagamaan kepada organisasi keagamaan, serta komunitas pengajian yang mereka pimpin. Namun, di masa-masa kampanye dan penggalangan dukungan, ulama sering menjadikan komunitas-komunitas pengajian dan organisasi keagamaan yang mereka pimpin berubah menjadi mesin politik layaknya partai. untuk kepentingan dukungan politik, ulama sering juga mengedepankan perangkat kerasnya berupa fatwa dalam mengarahkan pilihan-pilihan politik masyarakat. Keterlibatan ulama dalam politik dukung-mendukung seperti ini mengesankan kepentingan terbatas dan sesaat. Pernyataan Ayu: Saya tidak tahu banyak soal politik, tapi setiap selesai pengajian. Pak ustadz selalu berceramah soal pemimpin. Pemimpin yang harus dipilih dan gak boleh. Kalau tidak ada pilkada ya Cuma pengajian aja, materinya paling-paling seputar fardhu ain. Demikian halnya Di dalam khotbah-khotbah Jumat, materi ceramah juga mengarah kepada anjuran dukungan kepada salah seorang kandidat. Dari pernyataan tersebut dapat dimengerti bahwa masyarakat meragukan keteguhan moral dan idealisme para Ulama yang terlibat dalam kegiatan dukung-mendukung tersebut. Persepsi publik ini memiliki alasan historis yang traumatik. Ketika pemilihan Walikota periode tahun 2005, keterlibatan Ulama dalam dukung-mendukung kandidat juga sudahMenurut Laporan departemen hubungan masyarakat Panwaslu Kota Medan Fakhruddin berdasarkan tabulasi Media Centre pemilih sebanyak 764.173 suara, tingkat partisipasi pemilih 38,97 persen atau hanya meningkat 3,28 persen dari putaran I, sedangkan tingkat golput di putaran II ini mencapai 61,03 persen.19 20 21

18

Wawancara dengan Irma Ervianingsih Tanggal 6 Juni 2010 Wawancara dengan Ismail Tanggal 6 Juni 2010 Wawancara dengan Asniati Tanggal 6 Juni 2010

Page1

Keterlibatan Ulama Dalam Pemilihan Walikota Medan Tahun 2010

22 23

http//:www.hariansumutpos.com/arsip/?p.49898. diakses 4 Juni 2010. Wawancara Elektronik dengan Bir Ali, Tanggal 9 Juni 2010

Page1

berlangsung. Banyak Ulama saat itu yang mendukung pasangan Abdillah-Ramli dan menghantarkan mereka memenangkan pemilihan. Namun, pada masa jabatannya Abdillah dinyatakan bersalah oleh pengadilan tindak pidana Korupsi dan dijatuhi hukuman penjara. Ulama pun membela-bela dan memberikan dukungan moril kepada Abdillah. Lalu ketika Abdillah telah habis masa tahanannya dan dibebaskan Ulama pun mengadakan zikir dan doa bersama menyambut kebebasannya.22 Perilaku Ulama yang demikian tersebut dianggap oleh publik melewati batas yang semestinya dan merendahkan martabat Ulama. Citra Ulama sangat baik ketika menganjurkan kebajikan kepada masyarakat untuk membantu pemerintah dalam menjaga perdamaian dan keamanan, tetapi jika keterlibatan mereka jauh ke dalam bentuk dukungan-dukungan kepada Calon tertentu itu sangat berlebihan.23 Karena politik dipahami sebagai wilayah yang tidak suci. Melibatkan ulama dalam proses politik bagi aktor politik sangat menguntungkan di tengah masyarakat yang mengedepankan religiusitas dalam kehidupan mereka. Pertama, mereka lebih mudah mendapatkan dukungan dari masyarakat. Kedua, aktor politik akan menuai citra yang religius dan peduli terhadap pembangunan keagamaan. Ketiga, kerja partai akan lebih ringan dalam menggalang simpati masyarakat. Dalam menyikapi inilah kemudian ulama sering bias dalam mengawal moral dan kehidupan spiritual masyarakat. Di sinilah kemudian Ulama dipandang mengalami disorientasi kesalihan dan spiritualitas. Belajar dari pengalaman lalu, keterlibatan ulama dalam perebutan kekuasaan beberapa tahun terakhir terkesan mengalami reduksi. Kepentingan politisi terhadap ulama seakan hanya terbatas pada waktu pemilihan. Adapun dalam rentang waktu antara pemilihan satu dengan pemilihan lain, peran mereka tetap dimarjinalkan oleh politisi. Di sinilah tampak bahwa para politisi memajang ulama hanya untuk menjadi pendulang suara pemilih. Oleh karena itu kharisma ulama sebagai referensi etik politik masyarakat dalam politik elektoral sudah mulai menunjukkan kepudaran. Merujuk hasil pemilihan legislatif tahun 2009 di Sumatera Utara, partai politik di mana para Ulama banyak bernaung seperti di PPP, PBB, PKB dan PKNU tidak mendapatkan dukungan yang signifikan dari masyarakat. Bahkan, tidak mendapatkan kursi di DPRD kota Medan, kecuali PPP yang mendapat dua kursi. Laporan penelitian saya di Lembaga Studi Demokrasi Indonesia (LSDI) tahun 2010 di Medan menunjukkan bahwa 56,2 persen masyarakat tidak merasa bersalah jika pilihan politiknya berbeda dengan anjuran ulamanya atau pemimpin organisasi keagamaannya, dan hanya 41,8 persen yang merasa sebaliknya. Sekitar 35 persen angka Golput (tidak menggunakan hak pilihnya) pada pemilihan Walikota Medan tahun 2010 juga menjelaskan betapa anjuran Ulama agar memilih (tidak golput) tidak lagi selalu ditaati. Temuan ini menunjukkan gejala bahwa Ulama secara perlahan kehilangan basis loyalitasnya. Gejala tersebut juga menjelaskan bahwa pemilih semakin rasional dan mandiri. Sebab, masalah perebutan jabatan memang ranah yang sarat dengan profanitas bukan sakralitas. Pilihan mandiri masyarakat semakin menguat karena dalam kegiatan politik elektoral mereka juga menyaksikan dukungan para ulama kerap berbeda-beda, baik di Pemilu legislative maupun Pemilihan Presiden. Pilihan ulama yang berbeda-beda ini

Keterlibatan Ulama Dalam Pemilihan Walikota Medan Tahun 2010

menguatkan dan meyakinkan masyarakat bahwa pembangkangan pilihan politik terhadap ulama merupakan perilaku yang absah, dan mengganggap semua pilihan politik sama benarnya. Di sinilah gerakan mobilisasi ulama tidak banyak berarti. Banyaknya ketidakakuran dan konflik antarulama dalam berpolitik adalah Realitas yang secara tidak langsung membuat posisi ulama sebagai teladan dalam berbagai hal, lebih-lebih dalam dunia politik praktis, menjadi tidak populis lagi. Mereka yang sebelumnya menempati posisi signifikan dalam struktur sosial masyarakat sebagai top opinion leader, secara berlahan mulai tergoyahkan sebagai akibat dari pertengkaran politik. Ada gejala para Ustadz dihukum oleh masyarakat, mulai dari dikritik, dicap buruk, sampai tidak diizinkan lagi berkhotbah di mesjid-mesjid mereka. Muhammad Iqbal, ahli fiqh siyasah, melihat keterlibatan ulama dalam politik elektoral bahkan dalam dukung- mendukung sebagaimana yang terjadi di Medan ini menunjukkan posisi mereka dalam dilema. Di satu sisi, keterlibatan Ulama dalam politik memiliki basis doktriner yang cukup argumentatif apalagi di kalangan Sunni. Isu kepemimpinan sangat krusial. Alghazali menganggap kepemimpinan itu suatu yang kudus, suci. Sementara Ibnu Taimiyah mengatakan lebih baik hidup 60 tahun dalam kezaliman dari pada tidak memiliki pemimpin selama satu hari.24 Namun, di sisi lain, ada fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa perilaku Ulama seperti yang tersebut sangat elitis dan tidak berpijak pada kepentingan masyarakat. Karenanya, masyarakat perihatin. Kesimpulan Pola keterlibatan ulama dan organisasi keagamaannya dalam pemilihan Walikota Medan Tahun 2010 terpolarisasi ke dalam berbagai bentuk, bersama negara mereka bekerja sama dan berupaya mendukung terciptanya stabilitas politik selama pemilihan berlangsung, dan menganjurkan budaya politik yang santun dan damai. Dalam konteks ini masyarakat menganggap positif upaya Ulama tersebut. Namun, ada juga Ulama yang terlibat dalam bentuk dukungmendukung salah satu kandidat, mereka bekerja dalam hal saling memengaruhi pilihan masyarakat. Kemudian, menciptakan organisasi keagamaan mereka dan kelompok-kelompok pengajian sebagai mesin politik pendulang suara. Kegiatan tersebut menuai persepsi dan reaksi negatif masyarakat terhadap ulama, mereka yang terlibat dalam dukung mendukung kandidat dinilai masyarakat menciptakan suasana ketidakakuran antar warga dan telah meninggalkan tugas sejatinya membimbing kehidupan agama masyarakat. Akibatnya, ulama tidak lagi populer di hadapan masyarakat Islam. Ulama yang terlibat politik elektoral dianggap mengalami kekurangan derajat kesalihan, tercemar dengan kepentingan elit politik yang terbatas.

24

Wawancara dengan Muhammad Iqbal, 17 juni 2010

Page1