jurnal tugas akhir riza turmuzi

23
1 GEOLOGI DAERAH BANGGALAMULYA DAN SEKITARNYA KECAMATAN KALIJATI KABUPATEN SUBANG JAWA BARAT _______________________________________________________________________ Oleh: Riza Turmudzi *) dan Djauhari Noor **) ABSTRAK Secara administratif daerah pemetaan mencakup dearah Banggalamulya dan sekitarnya Kecamatan Kalijati, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat, dengan luas 56 kilometer presegi. Geomorfologi daerah penelitian dibagi menjadi 3 (tiga) satuan geomorfologi, yaitu : Satuan Geomorfologi Perbukitan Lipat Patahan, Satuan Geomorfologi Perbukitan Gunungapi dan Satuan Geomorfologi Dataran Aluvial. Pola aliran sungai yang terdapat dan berkembang adalah pola aliran sungai trellis, rektangular dan dendritik dengan genetika sungai obsekuen dan konsekuen dengan jentera geomorfik dewasa. Tatanan batuan di daerah penelitian dari yang tua ke muda, adalah ; Satuan batulempung sisipan batupasir (Formasi Subang) yang berumur Miosen Akhir (N15N17) di endapkan pada lingkungan laut dangkal yaitu pada neritik tengahluar (20-200 m). Selaras diatasnya diendapkan satuan batulempung selangseling batupasir (Formasi Kaliwangu) yang berumur Pliosen Awal (N18 N19) pada lingkungan laut dangkal yaitu pada neritik tengah (20-100 m). Secara tidak selaras diatas satuan ini diendapkan satuan tufa lapili yang berumur lebih muda dari N20 atau ekivalen dengan Formasi Tambakan (Koenigswald, 1935), yaitu berumur Pleistosen Awal pada lingkungan darat / proximal volcaniclastic facies (Visser, 1972). Pada kala holosen, satuan aluvial sungai menutupi satuan-satuan yang lebih tua yang tersingkap di daerah penelitian Strukturstruktur geologi yang berkembang di daerah penelitian berupa kekar gerus dan kekar tarik sedangkan struktur lipatan berupa antiklin Cijengkol berarah barattimur berada di bagian tengah daerah penelitian. Struktur patahan yang berkembang berupa sesar mendatar menganan Cilamaya dan sesar mendatar mengiri Cikeruh. Struktur geologi yang berkembang di daerah penelitian terjadi pada kala Plio-plistosen dengan gaya utama berarah Utara-Selatan yaitu N 175° E. .

Upload: muhamad-kuncoro-bayuaji

Post on 26-Oct-2015

190 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

Pemetaan Geologi

TRANSCRIPT

Page 1: Jurnal Tugas Akhir Riza Turmuzi

1

GEOLOGI DAERAH BANGGALAMULYA DAN SEKITARNYA

KECAMATAN KALIJATI KABUPATEN SUBANG

JAWA BARAT _______________________________________________________________________

Oleh:

Riza Turmudzi *) dan Djauhari Noor **)

ABSTRAK

Secara administratif daerah pemetaan mencakup dearah Banggalamulya dan

sekitarnya Kecamatan Kalijati, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat, dengan luas 56

kilometer presegi.

Geomorfologi daerah penelitian dibagi menjadi 3 (tiga) satuan geomorfologi, yaitu :

Satuan Geomorfologi Perbukitan Lipat Patahan, Satuan Geomorfologi Perbukitan

Gunungapi dan Satuan Geomorfologi Dataran Aluvial. Pola aliran sungai yang terdapat dan

berkembang adalah pola aliran sungai trellis, rektangular dan dendritik dengan genetika

sungai obsekuen dan konsekuen dengan jentera geomorfik dewasa.

Tatanan batuan di daerah penelitian dari yang tua ke muda, adalah ; Satuan

batulempung sisipan batupasir (Formasi Subang) yang berumur Miosen Akhir (N15– N17) di

endapkan pada lingkungan laut dangkal yaitu pada neritik tengah–luar (20-200 m). Selaras

diatasnya diendapkan satuan batulempung selang–seling batupasir (Formasi Kaliwangu) yang

berumur Pliosen Awal (N18 – N19) pada lingkungan laut dangkal yaitu pada neritik tengah

(20-100 m). Secara tidak selaras diatas satuan ini diendapkan satuan tufa lapili yang berumur

lebih muda dari N20 atau ekivalen dengan Formasi Tambakan (Koenigswald, 1935), yaitu

berumur Pleistosen Awal pada lingkungan darat / proximal volcaniclastic facies (Visser,

1972). Pada kala holosen, satuan aluvial sungai menutupi satuan-satuan yang lebih tua yang

tersingkap di daerah penelitian

Struktur–struktur geologi yang berkembang di daerah penelitian berupa kekar gerus

dan kekar tarik sedangkan struktur lipatan berupa antiklin Cijengkol berarah barat–timur

berada di bagian tengah daerah penelitian. Struktur patahan yang berkembang berupa sesar

mendatar menganan Cilamaya dan sesar mendatar mengiri Cikeruh. Struktur geologi yang

berkembang di daerah penelitian terjadi pada kala Plio-plistosen dengan gaya utama berarah

Utara-Selatan yaitu N 175° E.

.

Page 2: Jurnal Tugas Akhir Riza Turmuzi

2

I. UMUM

1.1. Pendahuluan

Secara regional, geologi daerah Banggalamulya, Kecamatan Kalijati, Kabupaten

Subang berada pada cekungan Jawa Barat Utara yang masuk dalam mandala sedimentasi

paparan kontinen dengan sejarah perkembangan cekungannya yang relatif stabil (Soejono,

1984).

Mandala Kontinen Jawa Barat Utara dibatasi oleh suatu sistem antiklin dan sinklin

yang umumnya berarah barat–timur yang di pengaruhi oleh sesar naik Baribis dan di selatan

di batasi oleh struktur Rajamandala yang mempunyai pola struktur barat daya-timur laut

mengikuti pola sesar Cimandiri, di bagian timur di pengaruhi oleh sesar Baribis yang

umumnya berarah barat laut-tenggara, dapat di simpulkan bahwa daerah Subang merupakan

daerah sedimentasi laut dangkal dengan arah sedimentasi dari utara karena di bagian

selatannya merupakan daerah cekungan laut dalam dan daerah Subang merupakan pertemuan

dari dua pola struktur, yakni barat daya-timur laut dan barat laut - tenggara.

Daerah ini dipilih sebagai daerah penelitian disamping untuk mengetahui persebaran

batuannya, stratigrafi, struktur geologi, sejarah geologi dan potensi geologi ekonomi serta

untuk mengetahui sejarah sedimentasi perkembangan cekungan Jawa Barat Utara.

1.2. Tujuan Penelitian.

Tujuan penelitian adalah mengetahui kondisi geologi daerah Banggalamulya dan

sekitarnya, Kecamatan Kalijati, Kabupaten Subang, Jawa Barat yang mencakup sejarah

perkembangan cekungan, sejarah perkembangan tektonik dan sejarah perkembangan

bentangalam (geomorfologi).

1.3. Metodologi Penelitian.

Metodologi yang dipakai dalam penelitian ini adalah kajian pustaka, pemetaan

geologi lapangan, pekerjaan laboratorium dan studio serta pembuatan laporan. Kajian pustaka

dilakukan untuk mempelajari hasil penelitian terdahulu yang berhubungan dengan daerah

penelitian sedangkan pemetaan geologi lapangan berupa pengamatan, pengukuran, dan

penyontohan batuan. Adapun pekerjaan laboratorium berupa analisis petrografi, analisis

mikropaleontologi, analisis sedimentologi. Pekerjaan studio berupa pembuatan peta-peta dan

analisa struktur geologi, pembuatan laporan sebagai bagian akhir dari proses penelitian.

1.4. Letak, luas, kesampaian dan waktu pelaksanaan.

Secara administratif, daerah penelitian termasuk ke dalam wilayah Kecamatan

Kalijati, Kabupaten Subang. Kabupaten Subang Propinsi Jawa Barat. Secara geografis batas-

batas daerah penelitian adalah sebagai berikut : 1070 33’30’’ BT, 06

0 33’00’’ LS - 107

0

37’45’’ BT, 060

33’00’’ LS ; 1070

37’45’’ BT, 06037’45’’ LS - 107

0 37’45’’ BT, 06

0 37’45’’

LS dengan luas wilayah + 8 km x 7 km atau sekitar 56 km2.

Daerah penelitian dapat dicapai dengan menggunakan kendaraan roda empat atau

roda dua, sedangkan untuk mencapai lapangan kerja daerah penelitian di lakukan dengan

menggunakan kendaraan bermotor dan berjalan kaki.

Page 3: Jurnal Tugas Akhir Riza Turmuzi

3

Waktu pelaksanaan penelitian kurang lebih 6 (enam) bulan di mulai sejak awal bulan

September 2011 hingga Februari 2012, dimulai dari kajian literaatur, pemetaan geologi

lapangan, pekerjaan laboratorium dan studio serta penyusunan laporan.

II. GEOLOGI UMUM

Gambar 1.1 Peta Geologi Daerah Banggamulya, Kecamatan Kalijati

Kabupaten Subang, Jawa Barat

2.1. Geomorfologi

2.1.1. Fisiografi Regional

Berdasarkan bentuk morfologi serta litologinya Van Bemmelen, (1949) membagi

fisiografi Jawa Barat menjadi 4 Zona Fisiografi (Gambar 1.2), yaitu : (1). Zona Dataran

Pantai Jakarta; (2). Zona Bogor; (3). Zona Depresi Tengah (Zona Bandung) dan (4). Zona

Pegunungan Selatan Jawa Barat.

Page 4: Jurnal Tugas Akhir Riza Turmuzi

4

Gambar 1.2. Peta fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949)

Geomorfologi daerah penelitian berdasarkan pembagian Fisiografi Jawa Barat

menurut Van Bemmelen (1949) termasuk dalam Zona Dataran Pantai Jakarta dan Gunung

Api Kuarter.

2.1.2. Geomorfologi Daerah Penelitian

Secara umum morfologi daerah penelitian terdiri dari dataran dan perbukitan

bergelombang landai, umumnya di susun oleh batuan sedimen yang berumur tersier dan

batuan gunung api yang berumur kuarter, terdiri dari penjajaran bukit dan lembah yang

berarah barat–timur dengan ketinggian berkisar 50 m – 450 m, bentuk penjajaran bukit dan

lembah ini di kontrol oleh struktur perlipatan yang berarah barat-timur dan patahan yang

berarah baratlaut-tenggara serta baratdaya-timurlaut, sedangkan di bagian utara di tempati

oleh satuan Geomorfologi Perbukitan Gunungapi.

Berdasarkan genetika pembentukan geomorfologinya maka daerah penelitian dapat di

bagi menjadi tiga (3) satuan yaitu: (1). Satuan Geomorfologi Perbukitan Lipat Patahan; (2).

Satuan Geomorfologi Perbukitan Gunungapi; dan (3). Satuan Geomorfologi Dataran Aluvial.

1. Satuan Geomorfologi Perbukitan Lipat Patahan. Genesa satuan geomorfologi ini

dibentuk oleh batuan sedimen yang terlipat dan terpatahkan yang dicirikan oleh

bentuk perbukitan bergelombang landai memanjang dari barat-timur. Satuan ini

menempati ± 74 % luas daerah penelitian (gambar 1.3). Bentuk morfometri dari

satuan ini memperlihatkan relief landai sampai bergelombang lemah dengan

prosentase lereng 2% - 10% dengan ketingian 100-500 m dan stadia geomorfik dalam

stadia dewasa.

2. Satuan Geomorfologi Perbukitan Gunungapi. Genesa satuan ini dibentuk oleh

hasil pengendapan material erupsi gunungapi tufa lapili, menempati ± 16 % luas

daerah penelitian, Morfometri satuan ini dicirikan oleh prosentase kelerengan 5% -

10% dengan kisaran ketinggian 100-200 m. Berdasarkan bentuk-bentuk

morfologinya, jentera satuan ini masuk dalam stadia muda.

3. Satuan Geomorfologi Dataran Aluvial Sungai. Genesa pembentukan satuan

geomorfologi ini disusun oleh material hasil pengendapan sungai, menempati ± 10%

Page 5: Jurnal Tugas Akhir Riza Turmuzi

5

luas daerah penelitian, tersebar disepanjang sungai utama daerah penelitian yaitu

sungai Cikeruh, dengan kelerengan berkisar antara 0% – 2%, ketinggian 0-50 m, di

susun oleh material - material berukuran lempung sampai bongkah.

Secara umum pola aliran sungai daerah penelitian dapat digolongkan kedalam pola

aliran sungai Sub-Trellis dimana antara sungai utama dan cabang-cabangnya membentuk

bentuk yang menyerupai bentuk pagar, dengan genetika sungainya berupa sungai subsekuen,

obsekuen dan konsekuen dengan stadia sungai menuju dewasa.

Gambar 1.3. Peta Geomorfologi Daerah Banggalamulya

2.2. Stratigrafi

2.2.1. Stratigrafi Regional.

Berdasarkan struktur dan sejarah sedimentasi daerah Jawa Barat (Soejono, 1984)

Jawa Barat dibagi menjadi 3 mandala sedimentasi, yaitu: Mandala Paparan Kontinen,

Cekungan Bogor dan Cekungan Banten. Mandala Paparan menempati bagian utara Jawa

Barat, dengan batas selatan di bagian timur adalah Gunung Kromong, Jatiluhur sampai

Cibinong Jawa Barat, menyebar ke utara ke lepas pantai utara pulau Jawa.

Page 6: Jurnal Tugas Akhir Riza Turmuzi

6

Tatanan batuan yang menyusun Mandala Paparan Kontinen dari yang tertua hingga

muda adalah Formasi Cibulakan yang terdiri dari napal, batupasir, batulempung dan

batugamping, selaras diatas formasi ini ditutupi oleh Formasi Parigi berupa batugamping

yang berumur Miosen Tengah, selanjutnya diatasnya secara selaras diendapkan Formasi

Subang berupa lempung sisipan batupasir, kemudian diendapkan Formasi Kaliwangu berupa

batupasir dan batulempung yang kaya moluska dan diatas satuan ini diendapkan Formasi

Tambakan berupa endapan gunungapi muda yang berumur Kuater.

Lingkungan pengendapan pada Mandala Paparan Kontinen ini menunjukan proses

pengendapan laut dangkal dengan kondisi tektonik yang stabil.

Gambar 1.4. Peta Mandala Sedimentasi Jawa Barat (Soejono,1984)

2.2.2. Stratigrafi Daerah Penelitian

Stratigrafi Daerah Penelitian terdiri atas 4 (empat) satuan batuan, di mulai dari tua ke

muda yaitu (tabel 1-1):

1. Satuan Batulempung Sisipan Batupasir

2. Satuan Batulempung Selang Seling Batupasir

3. Satuan Tufa Lapili

4. Satuan Aluvial Sungai

1. Satuan Batulempung Sisipan Batupasir.

a. Penamaan

Penamaan satuan ini berdasarkan atas dominasi kehadiran batulempung sebagai

penyusun utamanya dan batupasir hanya sebagai sisipan.

Page 7: Jurnal Tugas Akhir Riza Turmuzi

7

b. Penyebaran dan Ketebalan.

Satuan batulempung sisipan batupasir menempati luas sekitar + 43 % dari daerah

penelitian dengan penyebaran umumnya dari barat ke arah timur tersingkap di sepanjang

sungai Cikeruh bagian tengah, sungai Cilamaya bagian tengah, sungai Cijengkol, dan sungai

Cilaja. Kedudukan satuan ini umumnya kurang baik karena satuan batuan ini bersifat masif.

Adapun di bagian sisipan yang berupa batupasirnya, kedudukan lapisannya berkisar antara N

1230E/17

0 sampai N 301

0E/15

0, sedangkan ketebalan satuan ini menurut penelitian Soejono

(1984) yaitu kurang lebih 800 m, sedangkan ketebalan dari hasil pengukuran penampang +

2500 m.

Foto 1-1. Foto singakapan Batulempung bernodul Gamping (kiri) CKR 13 dan

singakapan Batulempung sisipan Batupasir (kanan) CKR 27. Batulempung

gampingan

Page 8: Jurnal Tugas Akhir Riza Turmuzi

8

b. Penyebaran dan Ketebalan.

Satuan batulempung sisipan batupasir menempati luas sekitar + 43 % dari daerah

penelitian dengan penyebaran umumnya dari barat ke arah timur tersingkap di sepanjang

sungai-sungai Cikeruh bagian tengah, Cilamaya bagian tengah, Cijengkol, dan Cilaja.

Kedudukan satuan ini umumnya sulit di ukur karena satuan batuan ini bersifat masif. Adapun

di bagian sisipan yang berupa batupasirnya, kedudukan lapisannya berkisar antara N

1230E/17

0 sampai N 301

0E/15

0, sedangkan ketebalan satuan ini berdasarkan penampang

geologi diatas 1500 m dan menurut Soejono (1984) yaitu kurang lebih 800 m.

c. Ciri Litologi.

Pada umumnya satuan batulempung sisipan batupasir tersingkap dengan kondisi yang

segar, di beberapa tempat singkapan satuan ini sudah mengalami pelapukan. Ciri litologi

satuan ini mulai dari yang terbawah disusun oleh batulempung bernodul batugamping dan

kadang–kadang menyerpih, sedangkan ke arah atas berubah menjadi lempung dan tidak di

temukan nodul gamping. Bagian tengah satuan batuan ini di cirikan oleh lempung masih

tidak berlapis dan masif, Kemudian bagian atas satuan ini di dominasi oleh lempung dan

mulai muncul sisipan batupasir yang merupakan batas dengan satuan batuan di atasnya dan

terdapat struktur paralel laminasi, Satuan ini di daerah penelitian tersingkap di sungai-sungai

Cikeruh, Cilamaya, Cijengkol dan Cilaja. Secara megaskopis batulempung berwarna abu-

abu, karbonatan, kompak, retas sampai agak keras. Sedangkan nodulnya berwarna coklat

terang, kompak dan keras serta karbonatan, berukuran antara 10-60 cm.

d. Umur dan Lingkungan Pengendapan

Untuk menentukan umur satuan Batulempung sisipan Batupasir ini, penulis

menganalisa sample batuan di 2 (dua) lokasi yang mewakili bagian atas dan bagian bawah

satuan Batulempung sisipan Batupasir, sebagai berikut:

Tabel 1-2. Kisaran umur fosil planktonik berdasarkan Zonasi Blow (1969), pada Satuan

Batulempung sisipan Batupasir yang berlokasi di sungai Cilamaya

Sampel CLMY-01 mewakili satuan batuan bagian atas dan sample CKR-13 mewakili

bagian bawahnya. Berdasarkan hasil analisa fosil foraminifera plantonik pada sample

CLMY-01, di jumpai fosil-fosil Globigerina foliata, Orbulina universa, Globigerina nepten,

dan Globorotalia ciperensis, yang menurut zonasi Blow menunjukan kisaran umur Miosen

Akhir atau N15-N17 (lihat tabel 1-2), sedangkan pada sample CKR-13, dijumpai sebaran fosil-

fosil Globarotalia menardi, Orbulina universa, Globorotalia miocea, dan Globarotalia

morgaritae, yang menunjukan kisaran umur Miosen Akhir atau N16. (lihat tabel 1-3).

Page 9: Jurnal Tugas Akhir Riza Turmuzi

9

Berdasarkan kedua sample tersebut diatas maka dapat di simpulkan bahwa umur kisaran

satuan Batulempung sisipan Batupasir adalah berumur Miosen Akhir atau N15-N17.

Tabel 1-3. Kisaran umur fosil planktonik berdasarkan Zonasi Blow (1969), pada satuan

Batulempung sisipan Batupasir yang berlokasi di sungai Cikeruh.

Untuk menentukan lingkungan pengendapan satuan Batulempung sisipan Batupasir

ini, penulis mengambil sample batuan di 2 lokasi yang mewakili bagian atas dan bagian

bawahnya, sebagai berikut:

Tabel 1-4. Kisaran kedalaman fosil benthonik berdasarkan F.B. Phleger (1962), pada

satuan Batulempung sisipan Batupasir yang berlokasi di sungai Cilamaya

(CLMY 01).

Tabel 1-5. Kisaran kedalaman fosil benthonik berdasarkan F.B. Phleger (1962), pada

satuan Batulempung sisipan Batupasir yang berlokasi di sungai Cikeruh

(CKR 13)

Sampel CLMY-01 mewakili satuan batuan bagian atas dan sample CKR-13 mewakili

bagian bawahnya. Berdasarkan hasil analisa fosil foraminifera bentonik pada sample CLMY-

01 di jumpai fosil-fosil, Texturalia sp, Robulus sp, Cibicides sp dan , Quinquecolina tenagos

yang menurut F.B. Phleger menunjukan kisaran kedalaman 20-100 m atau Neritik Tengah

Page 10: Jurnal Tugas Akhir Riza Turmuzi

10

(tabel 1-4), sedangkan pada sample CKR-13, di jumpai sebaran fosil-fosil, Bolivina sp,

Robulus sp, Cibicides sp dan Lagena sp yang menunjukan kisaran kedalaman 20-200 m atau

Neritik Tengah sampai Neritik Luar (tabel 1-5). Berdasarkan kedua sample tersebut di atas

maka dapat di simpulkan bahwa lingkungan pengendapan satuan Batulempung sisipan

Batupasir adalah Neritik Luar ke Neritik Tengah atau dengan katalain terjadi Regresi dari

lingkungan Neritik Luar ke Neritik Tengah.

e. Hubungan Stratigrafi

Berdasarkan kedudukan batuan di lapangan satuan Batulempung sisipan Batupasir

dengan satuan yang berada di bawahnya tidak di ketahui di karenakan satuan yang lebih tua

dari satuan ini di daerah penelitian tidak tersingkap, tetapi hubungan stratigrafi dengan satuan

yang ada di atasnya yaitu satuan Batulempung selang-seling Batupasir adalah selaras dengan

kedudukan batuannya yang sama dan juga ditunjang dengan adanya pengendapan yang

menerus.

f. Kesebandingan Stratigrafi

Berdasarkan umur satuan ini dengan Formasi Subang yaitu sebanding pada N17 dan di

tunjang dengan ciri litologi satuan Batulempung sisipan Batupasir yang memiliki kesamaan

dengan ciri-ciri litologi Formasi Subang, maka di simpulkan satuan ini sebanding dengan

Formasi Subang.

2. Satuan Batulempung selang-seling Batupasir

a. Penamaan.

Penamaan satuan ini didasarkan atas adanya perulangan antara batulempung dengan

batupasir sebagai penyusun utama, satuan ini tersingkap di bagian utara dan selatan daerah

penelitian.

Foto 1-2. Singkapan perselingan batulempung dan batupasir bagian atas dari

daerah penelitian, terdapat di lokasi CKR 07.

Page 11: Jurnal Tugas Akhir Riza Turmuzi

11

b. Penyebaran dan Ketebalan.

Satuan batulempung selang–seling batupasir menempati + 31 % daerah penelitian.

Satuan ini umumnya mempunyai ke dudukan batuan berarah barat–timur, kedudukan batuan

yang ada di utara berkisar N 2960 E/26

0 - N 312

0 E/32

0 sedangkan di bagian selatan daerah

penelitian kedudukannya adalah N 890

E/290 - N 121

0 E/31

0. Satuan ini tersingkap di

sepanjang sungai-sungai Cikeruh bagian hulu, Cilamaya bagian hulu, Cibayawak,

Cibalupang, Cigunungleutik dan Ciledang. Ketebalan satuan ini berdasarkan penampang

geologi berkisar 1250 m sedangkan menurut Soejono (1984) yaitu kurang lebih 690 meter.

c. Ciri Litologi.

Satuan batuan ini tersingkap dengan segar dan jelas pada daerah penelitian sehingga

dapat menentukan kedudukan dari satuan batuan ini. Di cirikan dengan perselingan antara

Batulempung dan Batupasir. Berdasarkan hasil pengamatan lapangan, bagian bawah satuan

ini di cirikan oleh hadirnya batupasir sebagai sisipan di dalam Batulempung dengan ketebalan

batu pasir berkisar 5 - 10 cm dan kearah bagian atas mulai terjadi perselingan dan dominasi

Batupasir semakin dominan, dan Batupasirnya bersifat tufaan, pada perselingan tersebut di

perkirakan ketebalan Batupasir berkisar antara 0,2 m – 4 m sedangkan Batulempung berkisar

antara 0,2 - 3 m (gambar 1-6). Serta di temukan struktur sedimen Paralel laminasi dan

Graded Bedding (Foto 3-3) yang menunjukan satuan ini di endapkan pada arus yang tenang.

Secara megaskopis, Batulempung dengan warna hitam keabu–abuan, kompaksi keras

dan non karbonatan. Sedangkan Batupasir, warna coklat terang, kompak, bentuk butir

membulat–membulat tanggung, ukuran butir 0,125-0,5 mm (pasir halus – sedang), pemilahan

sedang, kemas terbuka, porositas baik dan bersifat non karbonatan, tebal lapisan 0,2 m – 3 m

dengan komposisi mineral, Kuarsa 22 %, Biotit 27 %, Plagioklas 28 %, Piroksen 10 %, dan

Ortokhlas 13 %. Secara Mikroskopis satuan batulempung selangseling batupasir ini (lihat

lampiran petrografi) adalah Chiefly Volcanic Wacke sandstone (Gilbert, 1953).

d. Umur dan Lingkungan Pengendapan.

Untuk menentukan umur satuan Batulempung selangseling Batupasir ini, penulis

mengambil sample batuan di 2 (dua) lokasi yang mewakili bagian atas dan bagian bawah

satuan Batulempung selangseling Batupasir, sebagai berikut :

Tabel 1-6. Kisaran umur fosil planktonik berdasarkan Zonasi Blow (1969),

pada satuan Batulempung selang-seling Batupasir yang berlokasi

di sungai Cilamaya (CLMY 12)

Page 12: Jurnal Tugas Akhir Riza Turmuzi

12

Tabel 1-7. Kisaran umur fosil planktonik berdasarkan Zonasi Blow (1969),

pada satuan Batulempung selang-seling Batupasir yang berlokasi

di sungai Cigunungleutik (CGLT 02).

Sampel CLMY-12 mewakili satuan batuan bagian atas dan sample CGLT-02

mewakili bagian bawahnya. Berdasarkan hasil analisa fosil foraminifera plantonik pada

sample CLMY-12, di jumpai sebaran fosil-fosil Globorotalia limbata, Orbulina universa,

Globorotalia miocenica, dan Pulleniatina primalis, yang menunjukan kisaran umur Pliosen

awal atau N18 – N19. (tabel 1-6). Sedangkan pada sample CGLT-02 di jumpai fosil-fosil

Globigerinoides extremus, Orbulina universa, Globorotalia margaritae, dan Globorotalia

plesiutumida, yang menurut zonasi Blow menunjukan umur Pliosen awal atau N18 (tabel 1-7).

Berdasarkan kedua sample tersebut di atas maka dapat di simpulkan bahwa umur satuan

Batulempung selang-seling Batupasir adalah berumur Pliosen Awal atau N18-N19.

Untuk menentukan lingkungan pengendapan satuan Batulempung selang-seling

Batupasir ini, penulis mengambil sample batuan di 2 (dua) lokasi bagian atas dan bawah

satuan Batulempung selangseling Batupasir, sebagai berikut:

Tabel 1-8. Kisaran kedalaman fosil benthonik berdasarkan F.B. Fhleger

(1962), pada satuan Batulempung selang-seling Batupasir yang

berlokasi di sungai Cilamaya (CLMY 12).

Sample CLMY-12 mewakili bagian atas dan sample CGLT 02 mewakili bagian

bawah satuan ini. Berdasarkan hasil analisa fosil foraminifera Bentonik pada sampel CLMY-

12, di jumpai sebaran fosil-fosil, Robulus sp, Pyrgo sp dan Texturalia sp yang menunjukan

kisaran kedalaman 20 – 40 m atau Neritik Tengah. (tabel 1-8), sedangkan pada sampel

CGLT-02, di jumpai sebaran fosil-fosil, Lagena sp, Quinquecolina tenagos dan Texturalia sp

yang menunjukan kisaran kedalaman 20-100 m atau Neritik Tengah (tabel 1-9). Berdasarkan

Page 13: Jurnal Tugas Akhir Riza Turmuzi

13

kedua sampel tersebut di atas maka dapat di simpulkan bahwa lingkungan pengendapan

satuan Batulempung selangseling Batupasir adalah 20-100 m atau Neritik Tengah.

Tabel 1-9. Kisaran kedalaman fosil benthonik berdasarkan F.B. Phleger

(1962), pada satuan Batulempung selang-seling Batupasir yang

berlokasi di sungai Cikeruh (CGLT 02).

e. Hubungan Stratigrafi.

Berdasarkan kedudukan batuan di lapangan, bahwa hubungan stratigrafi satuan

Batulempung selang–seling Batupasir dengan satuan yang ada di bawahnya yaitu satuan

Batulempung sisipan Batupasir adalah selaras, didasarkan atas kedudukan satuan batuan yang

sama dan ditunjang dengan adanya pengendapan yang menerus tanpa ada rumpang waktu

antara satuan Batulempung sisipan Batupasir yang berumur Miosen Akhir (N15 - N17) dan

Batulempung selang–seling Batupasir yang berumur Pliosen Awal (N18 - N19). Hubungan

satuan ini dengan satuan batuan di atasnya yaitu satuan Tuffa lapili adalah tidak selaras atas

dasar perbedaan kedudukan batuannya yang berbeda.

f. Kesebandingan Stratigrafi.

Berdasarkan ciri batuannya, satuan ini dengan sebanding dengan ciri litologi formasi

Kaliwangu.

3. Satuan Tufa Lapili

a. Penamaan

Penamaan satuan ini didasarkan kepada Tufa Lapili sebagai penyusun utama satuan batuan

ini.

b. Penyebaran dan Ketebalan

Satuan tufa lapili ini tersingkap di bagian utara daerah penelitian, umumnya tersingkap di

perbukitan, satuan ini menempati sekitar ± 16 % dari luas daerah penelitian, di wakili oleh

warna coklat pada peta geologi. Satuan ini membentuk perbukitan dan dataran memanjang

dari barat ke timur, di sekitar daerah Pasir Gombong. Pada daerah penelitian, kedudukan dari

satuan tufa lapili ini tidak memperlihatkan bidang–bidang perlapisan dan persebarannya

mengikuti relief topografi oleh karena itu untuk ketebberdasarkan ketinggian kontur di mana

ketinggian kontur yang paling rendah yaitu 100 m dan yang paling tinggi 200 m maka

ketebalannya diperkirakan 100 meter.

Page 14: Jurnal Tugas Akhir Riza Turmuzi

14

Foto 1-3. Singkapan satuan Tufa Lapili

c. Ciri Litologi

Secara umum, satuan batuan ini memiliki kondisi singkapan yang segar hingga lapuk,

tidak mempunyai perlapisan atau masif, satuan ini tersingkap di bagian utara daerah

penelitian membentuk bukit-bukit gunung api. Secara megaskopis tufa lapili ini memiliki ciri

litologi: warna coklat kemerahan, bentuk butir membulat–membulat tanggung dengan ukuran

butir 0,125–0,5 mm, pemilahan Sedang, kemas terbuka, porositas baik, kekompakan retas

dengan komposisi mineral Gelas.Berdasarkan pengamatan mikroskopik satuan Tuff lapili ini

(lihat lampiran) dengan nama batuan Lithic Crystall (Pettijohn, 1975).

c. Umur dan Lingkungan Pengendapan

Berdasarkan urutan stratigrafi daerah penelitian, satuan tufa lapili ini berumur lebih

muda dari N20, sedangkan mengacu pada umur regional Formasi Tambakan yang sebanding

dengan satuan ini menurut Koenigswald (1935), berumur Pleistosen Awal yang di endapkan

pada lingkungan darat.

d. Hubungan Stratigrafi

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, satuan tufa lapili dengan satuan yang ada di

bawahnya tidak selaras karena adanya perbedaan kedudukan batuannya.

e. Kesebandingan Stratigrafi

Berdasarkan umunya yang kuarter dan di tunjang ciri litologi satuan tufa lapili memiliki

kesamaan dengan umur dan ciri-ciri litologi pada Formasi Tambakan yang berumur kuarter

dan di cirikan oleh Tuff pasiran, maka satuan ini sebanding dengan Formasi Tambakan.

4. Satuan Endapan Aluvial.

Satuan ini menyebar di sekitar sungai besar di daerah penelitian. Satuan ini menempati

sekitar ± 10 % dari luas daerah penelitian dan di wakili oleh warna abu-abu pada peta

geologi. Penyebarannya di sekitar sungai Cikeruh, biasanya menempati dataran banjir, dan

meander-meander akibat dari erosi lateral lebih dominan dari pada erosi vertikal. Ketebalan

satuan ini berdasarkan pengamatan di lapangan, memiliki ketebalan + 3 meter.

Page 15: Jurnal Tugas Akhir Riza Turmuzi

15

2.3. Struktur Geologi

2.3.1. Struktur Geologi Regional.

Menurut Van Bemmelen (1949), selama zaman Tersier Jawa Barat telah mengalami

tiga kali periode tektonik (orogenesa), yaitu:

1. Orogenesa Oligo-Miosen. Pada orogenesa ini terjadinya pembentukan cekungan

Bogor, di mana sebelumnya terletak pada cekungan depan busur menjadi cekungan

belakang busur.

2. Orogenesa Intra Miosen. Orogenesa periode ini di cirikan oleh perlipatan dan

pensesaran yang kuat, terjadi pembentukan geantiklin yang terletak di sebelah selatan

Pulau Jawa yang melahirkan gaya ke arah utara. Gaya – gaya ini membentuk lipatan –

lipatan yang berarah barat – timur dan sesar – sesar mendatar dengan arah barat daya

– timur laut. Periode tektonik ini di perkirakan berlangsung dari kala Miosen hingga

Pliosen.

3. Orogenesa Plio-Plistosen. Orogenesa pada periode ini di cirikan oleh adanya

aktifitas gunung api, gaya-gayanya mengarah ke Utara dan menyebabkan terjadinya

amblesan pada Zona Bandung bagian Utara. Proses amblesan Bandung ini

mengakibatkan tekanan-tekanan kuat terhadap Zona Bogor sehingga terbentuk lipatan

dan sesar naik yang berkembang di bagian Utara Zona Bogor dan memanjang dari

Subang hingga Gunung Ceremai.

Menurut Sukendar (1986) pola umum struktur Jawa Barat berdasarkan data gaya berat dan

data seismik di bagi menjadi tiga pola arah umum (gambar 3- ):

1. Pola struktur Barat Laut-Tenggara, secara umum sesar ini membatasi daerah Bogor,

Purwakarta, Bandung, Sumedang, Tasikmalaya, Banjar dan menerus ke sebagian

Jawa Tengah. Sebagian besar daerah ini termasuk ke dalam Zona Fisiografi Bogor.

2. Pola struktur Barat-Timur, memotong sepanjang jalur Pegunungan Selatan,

merupakan sesar normal dengan bagian Utara yang relatif turun terhadap bagian

Selatannya.

3. Pola struktur Timurlaut-Baratdaya, seperti yang terlihat di lembah Cimandiri dekat

Pelabuhan Ratu.

Ketiga pola struktur tersebut sangat di pengaruhi oleh posisi jalur subduksi dan busur

magmatik Indonesia. Seiring dengan proses yang terjadi, maka terjadi pula deformasi dan

perkembangan tektonik hingga terbentuk morfologi pada masa sekarang. Sesar regional yang

mempengaruhi geologi Jawa Barat, di antaranya adalah sesar regional Cimandiri dan Baribis.

Keberadaan kedua sesar ini di yakini berbeda dalam hal umur serta mekanisme

pembentukannya. Berbeda dengan sesar Cimandiri, sesar Baribis merupakan sesar muda

(pola Jawa) yang terbentuk pada periode tektonik Plio-Plistosen dan di yakini masih aktif

hingga sekarang (Pulunggono dan Martodjojo, 1984). Sesar Baribis untuk pertama kalinya di

kemukakan oleh Van Bemmelen (1949) sebagai sesar naik yang membentang mulai dari

Purwakarta hingga ke daerah Baribis di Majalengka.

Beberapa peneliti mempunyai pandangan seperti yang di kemukakan oleh Martodjojo

(1984), Simandjuntak (1994), Haryanto dkk (2002) dan Rahardjo dkk (2002). Martodjojo

(1984), meyakini bahwa sesar Baribis menerus ke arah Tenggara melalui kelurusan Citanduy

sebagai sesar naik, sedangkan Haryanto dkk (2002) berpendapat bahwa penerusan sesar ke

arah Tenggara sebagai sesar mendatar dekstral. Berbeda dengan kedua penulis di atas,

Simandjuntak (1994) berpendapat bahwa sesar Baribis menerus ke arah Timur melalui daerah

Page 16: Jurnal Tugas Akhir Riza Turmuzi

16

Kendeng dan berakhir di sekitar Nusa Tenggara Barat, sehingga penulis ini menamakannya

sebagai Baribis-Kendeng Fault Zone. Selanjutnya Rahardjo dkk (2002) berpendapat bahwa

sesar Baribis merupakan sesar inversi yang semula merupakan sesar normal berubah menjadi

sesar naik.

Gambar 1-5. Pola Struktur Umum Jawa Barat (Sukendar, 1986)

2.3.2. Struktur Geologi Daerah Penelitian

Berdasarkan hasil pengamatan lapangan di daerah penelitian di jumpai indikasi struktur

geologi yang berupa kekar, lipatan dan sesar.

1. Struktur Kekar

Struktur kekar yang berkembang di daerah penelitian dapat di bedakan menjadi : (1).

Shear joint atau “compression joint”, yaitu kekar yang terbentuk akibat gaya tekanan dan (2).

Tension joint, yaitu kekar yang terbentuk akibat gaya tarikan.

2. Struktur Lipatan

Struktur lipatan yang terdapat di daerah penelitian berupa struktur antiklin yang

diketahui berdasarkan adanya pembalikan arah kemiringan perlapisan batuannya, dengan

kemiringan rata-rata sayap bagian utara 600 dan kemiringan rata–rata sayap bagian selatan

adalah 610. Sumbu lipatan berada di bagian tengah daerah penelitian memanjang dari barat

ke timur sepanjang 6 km, melalui sungai Cijengkol dan dapat di klasifikasikan sebagai

struktur antiklin yang simetris.

3. Struktur Sesar

Berdasarkan hasil pengamatan unsur-unsur struktur geologi di lapangan dapat di

ketahui bahwa di daerah penelitian terdapat 2 jenis sesar mendatar, yaitu: (1). Sesar Geser

Cilamaya dan (2). Sesar Geser Cikeruh.

Lokas penelitian

Page 17: Jurnal Tugas Akhir Riza Turmuzi

17

1. Sesar Geser Cilamaya

Sesar geser Cilamaya adalah sesar geser dengan panjang kurang lebih kurang 7 km

memanjang dari baratdaya daerah penelitian hingga kearah timurlaut melalui sungai

Cilamaya. Adapun bukti-bukti sesar geser Cilamaya di lapangan diindikasikan oleh gejala

struktur geologi berupa:

a) Cermin Sesar pada batu lempung dengan kedudukan N 1240 E/66

0, gores garis 41

0, N

1310 E, Pitch 40

0 yang terdapat di sungai Cilamaya, pada lokasi CLMY-01 (Foto 4.2).

b) Cermin Sesar pada batu lempung dengan kedudukan N 1210 E/47

0, gores garis 46

0, N

940 E, Pitch 41

0. yang terdapat di sungai Cilamaya, pada lokasi CLMY-01 (Foto 4.3).

c) Kekar Gerus pada batulempung dengan arah umum berkisar N2910 E/54

0 dan N39

0

E/460, dengan arah Minolitisasi N325

0E, di peroleh kedudukan N325

0E, gores garis

170, N180

0E, Pitch 15

0 (lihat lampiran), pada lokasi sungai Cilamaya, pada lokasi

CLMY-02 (Foto 4.4).

Foto 1-4. Indikasi struktur geologi

berupa cermin sesar yang terdapat

pada batulempung.

Lokasi sungai Cikeruh pada

Sta.CLMY 01 di sungai Cikeruh.

Foto 1-5. Indikasi struktur geologi

berupa cermin Sesar pada batu

lempung dengan kedudukan N 1210

E/470, gores garis 46

0, N 94

0 E, Pitch

410.

Lokasi sungai Cilamaya, pada Sta.

CLMY-01 (Foto 4.3).

Foto 1-6. Indikasi struktur geologi

berupa kekar Gerus pada batulempung

dengan arah umum berkisar N2910

E/540 dan N39

0 E/46

0, dan arah

minolitisasi N3250E, di peroleh

kedudukan N3250E, gores garis 17

0,

N1800E, Pitch 15

0.

Lokasi sungai Cilamaya pada Sta.

CLMY 02,

Page 18: Jurnal Tugas Akhir Riza Turmuzi

18

Berdasarkan data-data tersebut di atas, dapat di simpulkan bahwa sesar Cilamaya merupakan

sesar mendatar dan berdasarkan hasil analisis dari data kekar, arah minolitisasi, kedudukan

arah cermin-cermin sesarnya pada proyeksi Stereografi Wulfnet di peroleh jenis sesar

mendatarnya adalah “Right Lateral Slip Fault, (Rickard, 1971)”.

3. Sesar Geser Cikeruh

Sesar geser Cikeruh adalah sesar geser dengan panjang kurang lebih kurang 8 km

memanjang dari tenggara daerah penelitian hingga kearah baratlaut melalui sungai Ckeruh.

Adapun bukti-bukti sesar geser Cilamaya di lapangan diindikasikan oleh gejala struktur

geologi berupa:

a) Adanya cermin sesar pada batu lempung dengan kedudukan N 380 E/61

0, gores garis

190, N 87

0 E, Pitch 22

0, yang terdapat di sungai Cilamaya, pada lokasi CLMY-05

(Foto 4.5).

b) Cermin sesar pada batu lempung dengan kedudukan N 520 E/69

0, gores garis 21

0, N

790 E, Pitch 11

0, yang terdapat di sungai Cikeruh, pada lokasi CKR-04 (Foto 4.6).

c) Adanya cermin sesar pada batu lempung dengan kedudukan N 450 E/72

0, gores garis

220, N 96

0 E, Pitch 25

0, yang terdapat di sungai Cikeruh, pada lokasi CKR-03 (Foto

4.7).

Foto 1-7. Indikasi struktur geologi

berupa cermin sesar yang terdapat pada

batulempung.

Lokasi sungai Cilamaya pada Sta.

CLMY 05.

Foto 1-8. Cermin sesar yang terdapat

pada Batulempung.

Lokasi sungai Cikeruh pada Sta. CKR

04.

Page 19: Jurnal Tugas Akhir Riza Turmuzi

19

Berdasarkan data-data tersebut di atas, dapat di simpulkan bahwa sesar Cikeruh merupakan

sesar geser dan berdasarkan hasil analisis dari data kekar, arah minolitisasi, kedudukan arah

cermin-cermin sesarnya pada proyeksi Stereografi Wulfnet di peroleh jenis sesar

mendatarnya adalah “Left Lateral Slip Fault, (Rickard, 1971)”.

2.3.3. Mekanisme pembentukan struktur geologi daerah penelitian.

Dari hasil analisis data-data cermin sesar dan data kekar-kekar yang di peroleh di

lapangan, maka gaya utama yang bekerja di daerah penelitian adalah Utara-Selatan (N 1750

E). Umur dari struktur-struktur geologi yang berkembang di daerah penelitian terjadi dalam

satu fase tektonik saja, yaitu pada kala Pliosen-Plistosen di mana gaya/aktifitas tektonik yang

terjadi pada kala Pliosen masih terus berlangsung sampai pada kala Plistosen sehingga pada

kala Plistosen memicu terjadinya aktifitas erupsi gunungapi di bagian tenggara daerah

penelitian yaitu Gunung Api Tangkuban Perahu yang endapannya menghasilkan satuan

endapan gunungapi berupa satuan Tufa Lapili pada daerah penelitian.

Mekanisme pembentukan struktur geologi daerah penelitian di mulai pada Kala Pliosen

seperti yang telah di sebutkan di atas dengan arah gaya utamanya adalah N 1750E yang

membentuk pola-pola kekar gerus (Tension), yang kemudian di ikuti dengan pembentukan

perlipantan berupa antiklin Cijengkol, kemudian gaya masih terus berlangsung sehingga

terbentuk sesar mendatar menganan Cilamaya dan sesar mendatar mengiri Cikeruh.

2.4. Sejarah Geologi

2.4.1. Sejarah Geologi Jawa Barat

Kondisi Paleogeografi Jawa Barat pada kala Miosen awal adalah bagian daratan berada

di bagian selatan Jawa Barat, yang meliputi sekitar Jampang Kulon, ke arah bagian tengah

berupa laut dalam yang meliputi daerah Sukabumi, Bogor, Cianjur, Bandung hingga ke

Tasikmalaya. Sedangkan di bagian utara Jawa Barat mulai Serang, Rangkas Bitung, Jakarta

hingga Cirebon berupa laut dangkal.

Pada kala akhir Miosen Tengah, kondisi Paleogeografi Jawa Barat daratan yang berada

di bagian selatan Jawa Barat sudah mengalami penyusutan, tersebar dari Jampang Kulon

Foto 1-8. Cermin sesar pada

Batulempung.

Lokasi sungai Cikeruh pada Sta. CKR

03.

Page 20: Jurnal Tugas Akhir Riza Turmuzi

20

hingga ke Ujung kulon, sedangkan ke arah bagian tengah Jawa Barat masih berupa laut

dalam dan ke arah utara di tempati oleh terumbu Batugamping yang menyebar hingga ke laut

Jawa. Laut dangkal berada di bagian utara, barat dan selatan laut Jawa, Selat Sunda dan

Samudra Hindia.

Pada kala Miosen Akhir kondisi paleogeografi Jawa Barat sudah mengalami perubahan

yang cukup berarti yaitu daratan ada pada bagian barat (Banten) dan selatan Jawa Barat

(Jampangkulon–Tasikmalaya). Kondisi laut dalam semakin menyempit, berada di bagian

tengah Jawa Barat sedangkan laut transisi berada di bagian utaranya tersebar dari selatan

Jakarta-Cirebon. Laut dangkal tersebar di bagian utara Jawa Barat mulai dari dataran pantai

Jakarta hingga Cirebon dan menerus hingga kelaut Jawa.

Pada Kala Pliosen kondisi Paleogeografi Jawa Barat hampir separuh Jawa Barat sudah

berupa daratan, yaitu mulai dari Serang, Rangkas Bitung, Bogor, Bandung hingga ke

Tasikmalaya. Ke arah utara di tempati oleh endapan kipas alluvial, sedangkan laut dangkal

menempati bagian utara Jawa Barat, mulai dari dataran pantai Jakarta hingga Cirebon dan

lautan berada di bagian utaranya yaitu di laut Jawa sekarang.

Kondisi Pelogeografi Jawa Barat Kala Pliestosen -Resen sudah seperti kondisi saat ini

di mana seluruh pulau Jawa Barat sudah berupa daratan, sedangkan lautan sama seperti

kondisi lautan saat ini.

Gambar 1-6. Paleogeografi kala Miosen Tengah

Gambar 1-7. Paleogeografi kala Miosen Akhir

Page 21: Jurnal Tugas Akhir Riza Turmuzi

21

Gambar 1-8. Paleogeografi Kala Pliosen

Gambar 1-9. Paleogeografi Kala Plistosen - Resen

2.4.2. Sejarah Geologi Daerah Penelitian

Sejarah geologi daerah penelitian di mulai pada kala Miosen Akhir, dengan kisaran

umur N15–N17, di endapkan satuan Batulempung sisipan Batupasir dengan lingkungan

pengendapan Neritik luar ke Neritik tengah dengan kedalaman 20-200 meter. Kemudian

di atasnya di endapkan secara selaras satuan batulempung selang – seling batupasir pada kala

Pliosen Awal (N18 –N19), dengan lingkungan pengendapan Neritik Tengah dengan kedalaman

20 sampai 100 meter. dengan kondisi laut pada saat itu masih mengalami Transgresi pada

satuan Batulempung sisipan Batupasir. Kedua satuan batuan tersebut memiliki kesamaan

pada proses lingkungan pengendapan berupa paparan dengan kondisi tektonik yang stabil

(back arc basin), kedua satuan ini terendapkan secara selaras dengan bukti berdasarkan

pengamatan kedudukan batuan di lapangan yang relatif sama dan searah yaitu barat-timur dan

juga di tunjang data hasil analisis fosil planktonik dengan umur yang menerus tanpa ada

rumpang waktu pengendapan.

Selanjutnya, pada kala Pliosen (N20) terjadi aktifitas tektonik (Orogenesa Pliosen) yang

mengakibatkan proses deformasi pada batuan yang diendapkan sebelumnya dengan

mekanisme pembentukannya di mulai pada Kala Pliosen (N20) dengan arah gaya utamanya

adalah N 1750

E yang membentuk pola-pola kekar gerus (Tension), yang kemudian di ikuti

dengan pembentukan perlipatan berupa antiklin Cijengkol, kemudian gaya masih terus

Page 22: Jurnal Tugas Akhir Riza Turmuzi

22

berlangsung sehingga terbentuk sesar geser menganan Cilamaya dan kemudian sesar

mendatar mengiri Cikeruh.

Tektonik ini juga memicu terjadinya aktifitas erupsi gunung api dibagian tenggara

daerah penelitian yaitu dari Gunung Tangkuban Perahu, yang menghasilkan satuan endapan

gunung api berupa tufa lapili di daerah penelitian yang di endapkan secara tidak selaras

karena satuan tufa lapili tidak memperlihatkan bidang perlapisan dan menutupi satuan yang

ada di bawahnya yang di endapkan pada lingkungan darat. Kemudian terjadi pula proses

eksogen berupa pelapukan, erosi dan sedimentasi, sehingga menghasilkan endapan aluvial

yang menutupi satuan batuan yang berada di bawahnya sepanjang aliran sungai dengan batas

berupa bidang erosi, sehingga di simpulkan bahwa keseluruhan proses pengendapan batuan di

daerah penelitian mengalami proses kenaikan cekungan atau regresi dari laut dangkal ke

darat.

III. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan diatas daerah penelitian yaitu daerah Banggamulya

dan sekitarnya, kecamatan Kalijati, Kabupaten Sumedaang, Jawa Barat dapat disimpulkan

sebagai berikut:

1. Satuan geomorfologi daerah penelitian dapat dikelompokan menjadi 3 (tiga) satuan

geomorfologi, yaitu: Satuan Geomorfologi Perbukitan Lipat Patahan, Satuan

Geomorfologi Perbukitan Gunungapi dan Satuan Geomorfologi Dataran Aluvial. Pola

aliran sungai daerah penelitian berpola Trellis dengan genetika sungai subsekuen,

konsekuen dan obsekuen dan jentera geomorfiknya berada pada tahap dewasa.

2. Tatanan batuan di daerah penelitian dari yang tua ke muda, adalah Satuan

Batulempung sisipan Batupasir (Formasi Subang) yang berumur Miosen Akhir (N15–

N17) dan di endapkan pada lingkungan laut dangkal yaitu Neritik Tengah-Luar (20-

200 m), kemudian diatasnya di endapkan secara selaras satuan Batulempung selang–

seling Batupasir (Formasi Kaliwangu) yang berumur Pliosen Awal (N18 – N19) yang

di endapkan pada lingkungan laut dangkal yaitu Neritik Tengah (20-100 m),

kemudian di atasnya di endapkan secara tidak selaras satuan Tufa Lapili diperkirakan

berumur Pleistosen Awal (N20) ekivalen dengan Formasi Tambakan (Koenigswald,

1935), diendapkan pada lingkungan darat yaitu pada facies Proximal Volcaniclastic

Facies. Satuan termuda berupa aluvial sungai yang menutupi satuan-satuan yang lebih

tua.

3. Struktur geologi yang berkembang di daerah penelitian adalah kekar gerus dan kekar

tensional dan ekstensional dan struktur lipatan antiklin Cijengkol serta sesar geser

menganan Cilamaya dan sesar geser mengiri Cikeruh. Keseluruhan struktur yang ada

terbentuk pada kala Pliosen Akhir hingga Plistosen Awal oleh gaya utama yang

berarah Utara-Selatan yaitu N 175° E.

IV. DAFTAR PUSTAKA

1. Bemmelen, R. W. Van, 1949, The Geology of Indonesia, Vol. IA : General Geology of

Indonesia and Adjacent Archipelagoes, Government Printing

Office, The Hague, 732 p.

Page 23: Jurnal Tugas Akhir Riza Turmuzi

23

2. Billings, Marlan P., 1960, Structural Geology, Second Edition, Prentice – Hall Inc.

Englewood Cliffs, New Jersey, 514 p.

3. Blow, W. H. and Postuma J. A. 1969. “Range Chart, Late Miosen to Recent

Planktonic Foraminifera Biostratigraphy”, Proceeding of The

First.

4. Kadarisman, D.S. 2001. Pedoman Praktikum Petrografi. Program Studi Teknik

Geologi Universitas Pakuan, Bogor.

5. Kadarisman, D.S. 2001. Pedoman Praktikum Mineral Optik. Program Studi Teknik

Geologi Universitas Pakuan, Bogor.

6. Martodjojo, Soejono, 1984, Evolusi Cegungan Bogor Jawa Barat, Disertasi Doktor,

Fakultas Pasca Sarjana, Institut Teknologi Bandung.

7. Mudjur M., 1985, Petrografi Batuan Metamorf dan Batuan Sedimen, Jurusan Teknik

Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Pakuan Bogor.

8. Noor, Djauhari, dan Kadarisman, Denny. S., 2002, Pedoman Ekskursi Geologi

Regional Jawa Barat – 2011, Edisi 4, Program Studi Teknik

Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Pakuan, Bogor.

9. Noor, Djauhari., 2006, Geomorfologi dan Geologi Foto Edisi I, Program Studi Teknik

Geologi Universitas Pakuan, Bogor.

10. Koesoemadinata, R.P. 1985, ”PRINSIP-PRINSIP SEDIMENTASI”, Jurusan Geologi,

Institut Teknologi Bandung, Bandung