uji elisa sapi

84
KAJIAN PENGGUNAAN ELISA SEBAGAI UJI CEPAT DALAM MENDETEKSI SALMONELLA SPP PADA HATI SAPI IMPOR NURYANI ZAINUDDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

Upload: wiwidastra

Post on 20-Jan-2016

234 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

uji elisa pada sapi

TRANSCRIPT

Page 1: Uji Elisa Sapi

KAJIAN PENGGUNAAN ELISA SEBAGAI UJI CEPAT DALAM MENDETEKSI SALMONELLA SPP

PADA HATI SAPI IMPOR

NURYANI ZAINUDDIN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2009

Page 2: Uji Elisa Sapi

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Penggunaan ELISA

sebagai Uji Cepat dalam Mendeteksi Salmonella spp pada Hati Sapi Impor adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2009

Nuryani Zainuddin NIM B251064074

Page 3: Uji Elisa Sapi

ABSTRACT

NURYANI ZAINUDDIN. Study on the Application of ELISA as a Rapid Test for Detection of Salmonella spp in Imported Beef Liver. Under direction of DENNY W. LUKMAN and SURACHMI SETYANINGSIH.

Animals and their products are important as a major source of protein for human. However, food of animal origin can be contaminated by biological, chemical and physical agents, causing a food borne disease, therefore, their safety should be an absolute requirement as this become develops into an issue and obtain concerns from producers, consumers, decision makers and security bodies. These concerns are correlated to the human health and economical impacts in line of local, regional and global trade. To fulfill the demand of beef, offal is still imported to Indonesia including liver which has potential risks to be contaminated by Salmonella spp.

The aims of this research were to detect Salmonella spp in imported beef liver transported from and into Agricultural Quarantine Agency of Tanjung Priok Port using a commercial ELISA kit. The kit was evaluated for sensitivity and specificity to Salmonella contamination particularly in imported liver beef.

Samples size was calculated using detect disease formula and selected by random sampling. Data regarding the proportion of Salmonella positive samples were analyzed descriptively, while the kit evaluated using sensitivity and spesifisity. The agreement of the two test evaluated with kappa statistic.

Sixty samples of beef livers imported from Australia, New Zealand and Canada. The true prevalence of Salmonella spp in beef livers imported through Tanjung Priok port was 5% (n=60). Compared to the bacteriological method, the sensitivity and specificity of the RIDASCREEN® ELISA kit was estimated to be 100% and 98%, respectively. With the Kappa value of 0.848, the kit showed an excellent agreement with the bacteriological method for Salmonella spp detection. In addition, cross reaction of the anti-Salmonella antibodies against other gram negative bacteria was nil. Based on the results, it is recommended that the ELISA kit could be applied in screening test of Salmonella spp in order to support the quarantine measures.

Keywords: Salmonella spp, imported beef liver, ELISA.

Page 4: Uji Elisa Sapi

RINGKASAN

NURYANI ZAINUDDIN. Kajian Penggunaan ELISA sebagai Uji Cepat dalam Mendeteksi Salmonella spp pada Hati Sapi Impor. Dibimbing oleh DENNY W. LUKMAN dan SURACHMI SETIYANINGSIH.

Pangan asal hewan dan produknya sangat dibutuhkan manusia sebagai sumber protein utama tetapi pangan asal hewan dapat terkontaminasi oleh bahaya biologis, kimiawi atau fisik yang dapat mengakibatkan foodborne diseases. Oleh karena itu, keamanan pangan asal hewan dan produknya merupakan persyaratan mutlak dan selalu merupakan isu aktual yang perlu mendapat perhatian dari produsen, aparat, konsumen, dan para penentu kebijakan, karena selain berkaitan dengan kesehatan masyarakat, juga mempunyai dampak ekonomi pada perdagangan lokal, regional, maupun global. Untuk memenuhi kebutuhan daging sapi Indonesia masih mengimpor daging maupun jeroan sapi, diantaranya hati yang diketahui sangat beresiko terkontaminasi Salmonella.

Tujuan dari penelitian ini adalah mendeteksi Salmonella spp pada hati sapi impor yang dilalulintaskan di Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok dengan menggunakan kit ELISA komersial dan menilai sensitivitas serta spesifisitas kit ELISA komersial sebagai uji tapis dalam mendeteksi bahan makanan yang terkontaminasi Salmonella spp terutama pada hati sapi impor. Sampel yang diambil dihitung berdasarkan rumus deteksi penyakit (Thrusfield 2005). Pengujian dilakukan secara paralel dengan menggunakan kit ELISA dan metode standar (BAM 2006). Data yang dihasilkan dari penelitian ini dianalisis dengan menggunakan uji statistik terhadap proporsi sampel positif Salmonella, deskriptif statistik (Kleinbaum 1994). Untuk membandingkan efektivitas antara metode pengujian ELISA dan metode konvensional, dilakukan pendugaan nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai prediktif positif, nilai prediktif negatif, dan uji kesesuaian Kappa (Thrusfield 2005).

Dari 60 sampel yang diperoleh terdapat 3 sampel positif Salmonella. Dengan tingkat kepercayaan 95% maka diperoleh true prevalence 5%, sensitivitas kit ELISA 100%, spesifisitas kit 98%, nilai prediktif positif 75%, dan nilai prediktif negatif 100%. Dari hasil analisis diperoleh nilai kappa sebesar 0.848, yang menyatakan tingkat kesesuaian yang sangat baik diantara uji menggunakan kit ELISA dan metode kultur. Penelitian ini memberikan gambaran bahwa hati sapi yang diimpor sangat berisiko terkontaminasi oleh Salmonella spp bahkan bakteri patogen lainnya. Untuk mengawasi kegiatan importasi tersebut dibutuhkan pengujian yang cepat, tepat dan akurat. Sebagai pintu terdepan, Karantina Hewan selayaknya meningkatkan pengawasan terhadap kegiatan impor hewan dan produk hewan terutama dari aspek kesehatan masyarakat veteriner. Oleh sebab itu, kit ELISA tersebut dapat digunakan sebagai uji tapis di karantina dalam rangka menunjang kegiatan perkarantinaan di Indonesia.

Kata kunci: Salmonella spp, hati sapi impor, ELISA

Page 5: Uji Elisa Sapi

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, menuliskan

karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis

dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

Page 6: Uji Elisa Sapi

KAJIAN PENGGUNAAN ELISA SEBAGAI UJI CEPAT DALAM MENDETEKSI SALMONELLA SPP

PADA HATI SAPI IMPOR

NURYANI ZAINUDDIN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2009

Page 7: Uji Elisa Sapi

Judul Tesis : Kajian Penggunaan ELISA sebagai Uji Cepat dalam Mendeteksi Salmonella spp pada Hati Sapi Impor

Nama : Nuryani Zainuddin

Nomor Pokok : B251064074

Program Studi : Kesehatan Masyarakat Veteriner

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. drh. Denny W. Lukman, MSi Ketua

drh. Surachmi Setiyaningsih, PhD Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

Dr. drh. Denny W. Lukman, MSi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

Tanggal ujian: 7 Januari 2009 Tanggal lulus :

Page 8: Uji Elisa Sapi

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: drh. Abdul Zahid Ilyas, MSi

Page 9: Uji Elisa Sapi

LEMBAR PERSEMBAHAN

Kupersembahkan thesis ini kepada:

Suamiku yang tercinta…..

Anak-anakku Anita dan Rayhan…..

Badan Karantina Pertanian Departemen Pertanian

Page 10: Uji Elisa Sapi

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan

rahmat dan hidayah-Nya atas kekuatan lahir dan batin, sehingga penulis dapat

menyelesaikan tesis ini. Tema penelitian ini adalah Kajian Penggunaan ELISA

sebagai Uji Cepat dalam Mendeteksi Salmonella spp pada Hati Sapi Impor.

Penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan

kepada Dr. drh. Denny W. Lukman, MSi sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan

drh. Surachmi Setiyaningsih, PhD sebagai Anggota Komisi Pembimbing, atas

segala dukungan, bimbingan, dan arahan terhadap penulis selama penelitian dan

penulisan tesis. Penulis sampaikan pula ucapan terima kasih yang tak terhingga

kepada, Kepala Badan Karantina Pertanian dan jajarannya yang telah memberikan

beasiswa S-2 sehingga penulis dapat menempuh program pascasarjana ini.

Tak lupa juga penulis menghaturkan terima kasih kepada Manajer Program

Kelas Khusus Karantina Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner (PS

Kesmavet) drh. Chaerul Basri, MSi serta pak Agus yang sudah membantu

kelancaran studi ini. Terima kasih juga kepada rekan-rekan sejawat Kelas Khusus

Karantina PS Kesmavet (Iswan, Muji, Risma, Rita, Era, Tatit, Endah, Yoyok,

Arief, Edi, Arum, Melani, Maya, dan Duma) atas hari-hari yang indah, penuh

semangat, dan penuh kenangan yang pernah kita lewati bersama.

Akhirnya ucapan terima kasih yang dalam kepada ayahanda Drs. H.

Zainuddin Sialla’ dan Ibunda Dra. Hj. Mariani S, Papi dan Mami Mertua, kakak-

kakak, adik dan suami tercinta Hamsuri Halim, S.Tp dan anak-anaku tersayang

Anita dan Rayhan yang telah memberikan dukungan moral dan material dalam

menyelesaikan penulisan tesis ini.

Atas segala kebaikan yang telah penulis terima, semoga Allah SWT

berkenan melimpahkan rahmat dan ridha-Nya kepada kita semua. Harapan

penulis semoga tulisan ini dapat bermanfaat untuk mendukung kegiatan

perkarantinaan hewan di Indonesia, amien.

Bogor, Januari 2009

Nuryani Zainuddin

Page 11: Uji Elisa Sapi

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ujung Pandang, Sulawesi Selatan pada tanggal 26

Agustus 1976, merupakan anak ketiga dari empat bersaudara pasangan Bapak

Drs. H. Zainuddin Sialla’ dan Ibu Dra. Hj. Mariani.

Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar pada tahun 1989 di SDN

Mangkura I Ujung Pandang dan pada tahun 1992 menyelesaikan pendidikan

Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 5 Ujung Pandang. Selanjutnya

penulis menyelesaikan Sekolah Menengah Atas di SMA Muhammadiyah 1

Yogyakarta dan lulus pada tahun 1995. Tahun 1995 penulis melanjutkan kuliah

di Institut Pertanian Bogor, pada tahun 1995 masuk Fakultas Kedokteran Hewan

Institut Pertanian Bogor dan meraih gelar Dokter Hewan pada tahun 2001.

Selama berstatus sebagai mahasiswa, penulis pernah bertugas sebagai asisten luar

biasa pada Laboratorium Histologi dan Laboratorium Kesehatan Masyarakat

Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Pada tahun 2002 sampai akhir 2003 penulis bekerja menjadi tenaga honorer

di Dinas Pehewanan Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan dan pada akhir tahun

2003 penulis diangkat menjadi pegawai negeri sipil di Balai Karatina Hewan

Kelas I Makassar, kemudian pada bulan Mei 2006 penulis dipindahkan ke Balai

Besar Karantina Hewan Soekarno Hatta, dan sejak bulan Februari 2007 penulis

menjadi Kepala Seksi Pelayanan Pengujian Karantina Hewan pada Balai Besar

Uji Standar Karantina Pertanian, Badan Karantina Pertanian. Pada Tahun 2007

penulis mendapatkan beasiswa dari Badan Karantina Pertanian untuk melanjutkan

pendidikan ke jenjang S2 pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner,

Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Page 12: Uji Elisa Sapi

x

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI…………………………………………………………. x

DAFTAR TABEL …………………………………………………… xii

DAFTAR GAMBAR…………………………………………………. xiii

DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………. xiv

PENDAHULUAN Latar belakang………………………………………………….. Tujuan………………………………………………………….. Manfaat……………………………………………………….... Hipotesis………………………………….……………………..

1334

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Jerohan…….………………………………………….. Karakteristik Hati Sapi…………………………………………. Mikroorganisme pada Hati……………………………………... Salmonella……………………………………………………… Nomenklatur Salmonella……………………………………….. Sifat dan Karakteristik Salmonella…………………………….. Resistensi Terhadap Antibiotik………………………………… Penyebaran Geografis………………………………………….. Sumber Infeksi dan Cara Penularan……………………............. Salmonelosis pada Manusia……………………………………. Salmonelosis pada Hewan……………………………………... Kontaminasi Salmonella pada Hati ……………………………. Standar Salmonella pada Pangan………………………………. Pengujian Salmonella pada Pangan…………………………….

558

1010131415161819202223

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian………………………………….. Alat dan Bahan…………………………………………............. Metode Pengambilan Sampel…………………………………... Pengujian Sampel………………………………………………. Pengujian Salmonella…………………………………………... Analisis Data……………...…………………………………….

272728292932

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sistem Pengemasan dan Pengangkutan Jeroan……...…………. Pemeriksaan Organoleptik……………………………………... Akurasi Kit ELISA untuk Mendeteksi Salmonella...................... Prevalensi Salmonella spp pada Hati Sapi Impor ......……......... Pencemaran Salmonella pada Pangan dan Pengendaliannya…...

3536374446

Page 13: Uji Elisa Sapi

xi

SIMPULAN DAN SARAN………………………………………….. 53

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………… 54

LAMPIRAN …………………………………………………............. 60

Page 14: Uji Elisa Sapi

xii

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Komposisi dan kandungan gizi hati sapi (per 100 g) ........………....... 7

2 Batasan suhu, pH, dan aktivitas air (aw) optimal untuk pertumbuhan Salmonella spp ........................................……………………………. 13

3 Frekuensi rata-rata impor jeroan melalui pelabuhan Tanjung Priok ... 28

4 Hasil uji Samonella sp pada TSIA dan LIA ......................................... 31

5 Interpretasi hasil uji biokimia dan uji serologi Salmonella .................. 32

6 Tabel 2X2 untuk pengujian diagnosis .................................................. 33

7 Hasil pengujian Salmonella spp pada hati sapi impor menggunakan metode ELISA dan kultur ..................................…………………….. 38

8 Proporsi populasi yang diklasifikasi-silangkan berdasarkan hasil uji dengan metode berbeda ..................... …………..………………....... 39

9 Spesifisitas kit ELISA yang di uji terhadap bakteri gram negatif dan bakteri gram positif .............................………………………………. 41

10 Prevalensi Salmonella sp pada hati sapi yang diimpor melalui pelabuhan Tanjung Priok……………………………………………... 44

Page 15: Uji Elisa Sapi

xiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Hati sapi ..…………………………………………………………..... 6

2 Bakteri Salmonella typhi dengan pewarnaan gram ...……................... 11

3 Kegiatan impor hati, kemasan yang digunakan, dan cara pengambilan sampel hati di Instalasi Karantina Hewan Sementara .......…………... 36

Page 16: Uji Elisa Sapi

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Data pengambilan sampel hati sapi impor .......…………………........ 60

2 Skema pengujian Salmonella dengan menggunakan Kit ELISA RIDASCREEN® Salmonella .....…………………………………….. 61

3 Skema pengujian Salmonella dengan metode kultur………………..... 62

4 Penghitungan sensitivitas, spesifisitas, nilai prediktif dan true prevalecei hati sapiimpor ......……………………………………….. 63

5 Penghitungan Kappa Statistic untuk ukuran kesepakatan .................. 64

6 Data hasil pengujian sampel dengan metode ELISA dan metode kultur .........…………………………………………………………... 65

Page 17: Uji Elisa Sapi

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pangan asal hewan dan produknya sangat dibutuhkan manusia sebagai

sumber protein hewani utama karena mengandung asam-asam amino yang

mendekati susunan asam amino yang dibutuhkan manusia, sehingga akan lebih

mudah dicerna dan lebih efisien pemanfaatannya (IPB 1982). Namun demikian,

pangan asal hewan dan produknya akan menjadi tidak berguna dan

membahayakan kesehatan manusia apabila tidak aman untuk dikonsumsi. Oleh

karena itu, keamanan pangan asal hewan dan produknya merupakan persyaratan

mutlak (Winarno 1996).

Pentingnya keamanan pangan ini sejalan dengan semakin baiknya kesadaran

masyarakat akan pangan asal hewan dan produknya yang berkualitas, artinya

selain nilai gizinya tinggi, produk tersebut aman dan bebas dari cemaran biologis,

cemaran kimiawi atau cemaran fisik lainnya yang dapat mengganggu kesehatan

manusia. Oleh karena itu, keamanan pangan asal hewan dan produknya selalu

merupakan isu aktual yang perlu mendapat perhatian dari produsen, konsumen,

dan para pembuat kebijakan, karena selain berkaitan dengan kesehatan

masyarakat juga mempunyai dampak ekonomi pada perdagangan lokal, regional

maupun internasional.

Di Indonesia kebutuhan daging sapi dan produknya masih sangat kurang.

Berdasarkan data Ditkesmavet (2007), produksi daging sapi nasional sejumlah

317 411 ton, sedangkan konsumsi daging sapi nasional sebesar 371 998 ton,

sehingga terdapat kekurangan ketersediaan daging sebesar 54 588 ton. Untuk

mencukupi kebutuhan tersebut, pemerintah memutuskan untuk mengimpor daging

dan jeroan dengan komposisi 20 ribu ton daging sapi dan 34.6 ribu ton jeroan

sapi.

Hati sapi yang diperoleh dari hasil penyembelihan memberikan jenis

makanan alternatif yang menarik dari segi kandungan nutrisinya dan memiliki

citarasa dan tekstur yang lengkap. Meskipun demikian, kualitas organoleptik hati

yang bisa dimakan tersebut belum bisa diterima secara universal. Di Asia

Tenggara, hati dikonsumsi dan memiliki nilai ekonomis yang kurang lebih sama

Page 18: Uji Elisa Sapi

2

dengan karkas. Di Amerika Serikat, hati sapi digunakan sebagai campuran bahan

baku pakan hewan, terutama hewan kesayangan seperti anjing dan kucing (pet

food). Di beberapa negara di dunia hati tidak dikonsumsi manusia karena

mengandung cemaran mikroba, cemaran kimiawi atau cemaran lainnya yang

dapat menjadi sumber penularan penyakit dan dikenal dengan nama foodborne

diseases.

Foodborne diseases adalah penyakit yang disebabkan akibat mengonsumsi

makanan atau minuman yang tercemar. Lebih dari 250 foodborne diseases

tersebar diseluruh dunia, salah satunya adalah salmonelosis (Lukman 2007).

Salmonelosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Salmonella spp dan

merupakan bakteri kedua penyebab gastroenteritis pada manusia di Australia dan

beberapa negara lainnya di dunia, serta bertanggung jawab terhadap hampir semua

wabah foodborne diseases yang terjadi (Mead et al. 1999; OzFoodNet Working

Group 2003). Salmonella spp merupakan bakteri intrinsik yang dapat menginfeksi

hati, karena hati sebagai salah satu media yang sangat baik untuk pertumbuhan

bakteri (Gill 1981, diacu dalam Pearson dan Dutson 1988). Prevalensi Salmonella

spp untuk hati sapi pada RPH di Australia mencapai 32% (Smeltzer dan Thomas

1981b), untuk hati ayam mencapai 31.43% (Arroyo dan Arroyo 1995), dan pada

hati babi mencapai 15% (Sofos et al.2002).

Impor hati sapi ke Indonesia sangat berisiko terkontaminasi dan terinfeksi

Salmonella spp. Berdasarkan Standar Nasional Indonesia nomor 01-6366-2000,

kontaminasi Salmonella spp pada pangan asal hewan (daging, telur dan susu)

adalah negatif. Walaupun penerapan SNI tersebut masih bersifat sukarela

(voluntary) tetapi akan berdampak terhadap aspek kesehatan manusia. Oleh sebab

itu, diperlukan tindakan pengawasan karantina terhadap kegiatan impor tersebut.

Salah satu tindakan karantina yang dapat dilakukan adalah melalui pengujian

laboratorium.

Standar pengujian laboratorium (gold standard) untuk mendeteksi

Salmonella spp pada bahan makanan adalah dengan menggunakan metode kultur

atau biakan pada media agar (BAM 2006). Metode ini membutuhkan waktu yang

cukup lama dan pekerjaan yang rumit, serta menggunakan berbagai macam bahan

uji. Hal ini mengakibatkan pesatnya pengembangan berbagai metode pengujian

Page 19: Uji Elisa Sapi

3

cepat untuk mendeteksi kontaminasi Salmonella pada makanan, salah satu

diantaranya adalah metode uji menggunakan teknik enzyme-linked

immunosorbant assay (ELISA).

Sebagai uji serologik, ELISA menggunakan kombinasi antara antibodi

spesifik dengan enzim yang berfungsi sebagai pelacak keberadaan antigen.

Adanya ikatan antibodi dan antigen dapat dideteksi melalui penambahan substrat

yang akan terurai oleh enzim penanda tersebut dan dapat dilihat secara langsung

melalui perubahan warna atau dengan menggunakan spektofotometer.

Saat ini banyak dikembangkan kit ELISA komersial untuk uji tapis terhadap

Salmonella salah satunya adalah RIDASCREEN® Salmonella. Sebelum kit

tersebut digunakan, maka perlu dilakukan validasi dan evaluasi terhadap

sensitivitas dan spesifisitasnya sehingga hasil pengujian yang dilakukan sebagai

salah satu dasar tindakan karantina untuk pemeriksaan hati sapi impor terhadap

kontaminasi Salmonella menjadi tepat dan akurat.

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeteksi cemaran Salmonella spp

pada hati impor yang dilalulintaskan di Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung

Priok dengan menggunakan kit ELISA komersial serta mengevaluasi sensitivitas

dan spesifisitas uji tersebut dengan cara membandingkan efektivitas metode

pengujian ELISA dengan metode biakan konvensional sebagai uji tapis dalam

mendeteksi keberadaan Salmonella spp pada hati impor.

Manfaat

Penelitian ini diharapkan akan menjadi bahan informasi ilmiah yang sangat

berguna bagi institusi terkait seperti Badan Karantina Pertanian (Pusat Karantina

Hewan, Pusat Informasi dan Keamanan Hayati, Balai Besar Uji Standar Karantina

Pertanian dan Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok) dalam melakukan

pengawasan terhadap kontaminasi Salmonella pada hati impor serta menentukan

teknik dan metode yang cepat, tepat dan akurat yang dilakukan oleh institusi

karantina sebagai upaya perlindungan kesehatan masyarakat veteriner. Hasil

Page 20: Uji Elisa Sapi

4

penelitian ini juga dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk membuat

petunjuk teknis impor hati dan sebagai bahan pertimbangan untuk melengkapi

petunjuk teknis Pengujian Cemaran Mikroba pada Pangan Segar Asal Hewan

nomor 468/Kpts/OT.210/L/12/2007.

Hipotesis

1. Hati yang diimpor terkontaminasi oleh Salmonella spp.

2. Kit ELISA merupakan uji tapis yang tidak handal dan tidak memiliki

kesesuaian yang baik dengan metode konvensional (kultur) untuk mendeteksi

kontaminasi Salmonella spp pada hati sapi impor.

3. Kit ELISA dapat digunakan sebagai uji tapis untuk mendeteksi kontaminasi

Salmonella spp pada hati sapi impor.

Page 21: Uji Elisa Sapi

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Jeroan

Definisi daging secara umum adalah bagian dari tubuh hewan yang

disembelih yang aman dan layak dikonsumsi manusia. Termasuk dalam definisi

tersebut adalah daging atau otot skeletal dan organ-organ yang dapat dikonsumsi.

Secara teknis, daging adalah otot rangka (sceletal muscle), sedangkan offal adalah

seluruh bagian tubuh hewan yang disembelih secara halal dan higienis selain

karkas, yang terdiri dari organ-organ di rongga dada dan rongga perut, kepala,

ekor, kaki mulai dari tarsus/karpus ke bawah, ambing dan alat reproduksi. Jeroan

(edible offal) disebut juga variety meat atau fancy meat, yaitu organ atau jaringan

selain otot rangka yang lazim dan layak dikonsumsi manusia yang tidak

mengalami proses lebih lanjut selain dari pendinginan atau pembekuan.

Jeroan (hati, jantung, limpa, ginjal, paru dan usus) kepala, kaki dan kulit

terpisah dari karkas karena bagian tersebut merupakan by-products, yaitu hasil

sampingan yang berasal dari bahan baku yang dapat dimanfaatkan kembali. Hasil

sampingan tersebut ada yang dapat di konsumsi (edible) dan ada juga yang tidak

dapat dikonsumsi (inedible). Hasil sampingan yang dapat ataupun tidak dapat

dikonsumsi ditentukan oleh penerimaan konsumen, peraturan perundang-

undangan yang berlaku, kebersihan, tradisi yang berkembang di masyarakat dan

agama yang dianut. Jeroan terdiri dari jantung, lidah, hati, daging di kepala, otak,

timus dan atau pankreas, babat, usus, ginjal, ekor (Lukman et al. 2007).

Dari beberapa jeroan yang ada hati merupakan pilihan utama yang umum

dikonsumsi oleh manusia selain jantung dan organ-organ lainnya. Oleh sebab itu,

Indonesia memperbolehkan importasi jeroan hati dan jantung sapi. Hati memiliki

nilai ekonomis karena selain diperjual belikan untuk dikonsumsi hati juga dapat

digunakan sebagai bahan baku pakan hewan terutama untuk anjing dan kucing.

Karakteristik Hati

Hati tersusun atas sel-sel hati, dan dihubungkan oleh pembuluh darah dan

barisan epitel sinusoid yang terletak diantara sel-sel hati. Sel hati tersusun

Page 22: Uji Elisa Sapi

6

sedemikian rupa dalam lobus poligon yang saling melekat dengan bantuan

jaringan penghubung. Hati melekat pada bagian anterior dinding abdominal dan

diafragma oleh ligamen, serta melekat pada lambung di bagian omasum. Ketika

hati akan dipisahkan maka semua ligamen tersebut harus dipotong beserta

kantong empedu.

Warna hati digunakan untuk menentukan kualitas hati, Hati dengan kualitas

baik biasanya berwarna merah kecoklatan sampai coklat tua, sedangkan untuk

kualitas yang buruk biasanya berwarna biru sampai kehitaman (Pearson dan

Dutson 1988).

Gambar 1 Hati sapi; (1) lobus kanan, (2) lobus kiri, (3) lobus kaudal, (4) lobus kuadral, (5) Arteri hepatica dan Vena porta, (6) Lymphonodus hepatica, (7) kantung empedu.

Pada saat sapi lahir, berat hati mencapai ± 2.2% dari berat hidupnya,

sedangkan pada saat usia dewasa berat hati mencapai ± 1.3-1.45% dari berat

hidupnya. Pada sapi dengan berat hidup 300-400 kg, perkiraan berat hati sekitar

3000-4600 g, sedangkan sapi dengan berat hidup 450-600 kg maka perkiraan

berat hati akan mencapai 4000-8600 g. Berat tersebut dapat berkurang hingga 8%

jika sapi diistirahatkan selama 24 jam atau akan berkurang 12% jika sapi

diistirahatkan selama empat hari sebelum dilakukan penyembelihan (Pearson dan

Dutson 1988).

Komposisi dan kandungan gizi hati menyerupai komposisi dan kandungan

gizi daging, yaitu dengan kandungan terbesar adalah air dan protein. Oleh sebab

itu, hati merupakan pangan yang sangat baik sebagai sumber protein yang

Page 23: Uji Elisa Sapi

7

dibutuhkan oleh manusia. Komposisi dan kandungan gizi hati secara lengkap

diuraikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi dan kandungan gizi hati sapi (Pearson dan Dutson 1988)

Komposisi dan kandungan gizi hati Nilai (per 100 gram)

Air (g) 68.99 Protein (g) 20 Lemak (g) 3.85 Karbohidrat (g) 5.82 Energi (Kal) 143 Asam amino (g/gN)

Triptofan Treonin Isoleusin Leusin Lisin Metionin Sistin Fenylalanin Tirosin Valin Arginin Histidin Alanin Asam aspartat Asam glutamat Glisin Prolin Serin

0.09 0.286 0.286 0.588 0.434 0.158 0.096 0.333 0.248 0.386 0.393 0.171 0.373 0.601 0.847 0.358 0.330 0.300

Vitamin Tiamin (mg) Riboflavin (mg) Niasin (mg) Asam pantotenat (mg) B6 (mg) Folasin (mcg) B12 (mcg) Vitamin A (I.U) Asam askorbat (mg)

0.258 2.780 12.78 7.618 0.94 248

69.19 35 346 22.4

Mineral (mg/100g) Ca Fe Mg P K Na Zn Co Mn

6

6.82 19

318 323 73

3.92 2.763 0.264

Page 24: Uji Elisa Sapi

8

Berat hati sapi dan komposisi kandungan gizi pada berbeda-beda pada setiap

hewan dan juga sangat bervariasi. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu

bangsa hewan (breed), jenis kelamin, jenis dan status gizinya, serta manajemen

pemeliharaannya. Namun mengingat komposisi tersebut di atas, daging dan hati

juga merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme (Lukman et

al. 2007).

Mikroorganisme pada Hati

Produksi hati di rumah pemotongan hewan (RPH) banyak menimbulkan

masalah terutama pada saat adanya kesalahan dalam hal penanganan, pendinginan

atau pembekuan, pengemasan (pengepakan), penyimpanan, dan transportasi. Hati

merupakan salah satu komoditi yang mudah rusak (perishable food) sehingga

dibutuhkan penanganan yang tepat agar kualitasnya tetap terjaga sampai pada saat

akan dikonsumsi.

Bakteri secara umum terdapat pada hati. Menurut Hanna et al. (1982)

jumlah bakteri pada hati setelah pemotongan <104 /cm2. Apabila jumlah bakteri

melebihi 105 /cm2, hal tersebut mencerminkan kemungkinan penanganan hati yang

buruk atau proses pendinginan yang tidak sempurna.

Penyimpanan hati sapi pada suhu 2 °C selama 3 hari tidak menunjukkan

peningkatan jumlah mikroba, tetapi setelah mencapai 4 hari maka terjadi

peningkatan jumlah bakteri terutama bakteri coryneform dan Micrococcus sp.

Pada hari ke-5 setelah penyimpanan umumnya ditemukan Pseudomonas sp.

Penyimpanan pada suhu 30 °C selama 6-12 jam akan meningkatkan pertumbuhan

mikroorganisme, tetapi apabila disimpan pada suhu -20 °C selama 4 hari maka

tidak ada pertambahan jumlah mikroorganisme.

Pada umumnya jeroan memiliki kandungan karbohidrat yang rendah

dibandingkan dengan karkas, kecuali pada hati. Karbohidrat pada hati mencapai

5.3% dan sebagian besar berupa glikogen. Menurut Shelef (1975) hati yang

masih segar mempunyai pH 6.3. Nilai pH tersebut akan mengalami penurunan

hingga 5.9 apabila mikroba mensintesis glikogen menjadi glukosa dan

memproduksi asam laktat. Hal ini menyebabkan terjadinya pembusukan pada

hati.

Page 25: Uji Elisa Sapi

9

Penelitian yang dilakukan Oblinger et al. (1982) dengan membandingkan

mikroorganisme pada hati yang masih segar, beku, dan hati yang disimpan pada

kondisi yang tidak layak. Pada hati yang masih segar umumnya ditemukan

Micrococcus sp, bakteri gram negatif dan Escherichia coli. Pada hati yang

disimpan beku ditemukan bakteri gram positif yang lebih dominan dibandingkan

dengan Enterobacteriaceae, sedangkan Pseudomonas sp lebih banyak ditemukan

pada pada hati yang tidak layak penyimpanannya.

Pada dasarnya sumber pencemaran mikroorganisme pada hati

dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu, sumber pencemaran dari dalam

(intrinsik) dan sumber pencemaran dari luar (ekstrinsik). Hati diperoleh setelah

dikeluarkan dari karkas, hati membawa mikroorganisme intrinsik dan ekstrinsik.

Mikroorganisme ekstrinsik pada hati didominasi oleh bakteri-bakteri mesofilik

Gram positif, terutama Micrococcus. Jenis mikroorganisme intrinsik pada

umumnya hampir sama dengan jenis mikroorganisme ekstrinsik yang

mengkontaminasi hati. Hal tersebut mengindikasikan bahwa bakteri-bakteri

intrinsik bermigrasi melalui sel-sel sinusoid hati yang terbuka pada saat eviserasi

dilakukan (pelepasan hati dari karkas). Sebaliknya, jika pada mulanya terdapat

sejumlah kecil bakteri intrinsik yang berada dalam jaringan hati, maka jumlah dari

kontaminasi bakteri intrinsik tersebut dapat bertambah akibat adanya bakteri

ekstrinsik yang menginvasi ke dalam jaringan selama pemisahan organ

berlangsung. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bakteri intrinsik yang

diisolasi dari jaringan hati kemungkinan juga dapat berasal akibat kontaminasi

dari luar.

Jumlah bakteri pada hati yang berasal dari kontaminasi ekstrinsik yaitu

antara 103-105 /cm2 sedangkan jumlah kontaminasi bakteri intrinsik adalah 102 /g

(Gill yang diacu dalam Pearson dan Dutson, 1988). Berdasarkan penelitian

Patterson dan Gibbs (1979), jumlah cemaran mikroba pada hati yang masih segar

di rumah potong hewan adalah 3.26 x 105 /cm2, sedangkan hati yang sudah

didinginkan mencapai 1.28 x 106 /cm2. Menurut Shelef (1975) hati sapi akan

mengalami pembusukan apabila jumlah bakteri mencapai log10 7.7/g.

Hati merupakan salah satu media yang sangat baik untuk pertumbuhan

bakteri, karena hati memiliki pH >6.2 dan kaya akan glukosa (± 6 mg/g). Bakteri

Page 26: Uji Elisa Sapi

10

Pseudomonas mendominasi permukaan hati selama masa penyimpanan pada suhu

dingin dengan kondisi aerobik. Bakteri pembusuk lainnya yang terdapat pada

permukaan hati adalah Acinetobacter, Alcaligenes, Enterobacter dan Brocothrix

thermosphacta. Di sisi lain, bakteri aerobik gram negatif, Pseudomonas,

Acinetobacter dan Alcaligenes tidak dapat diisolasi dari jaringan internal hati atau

bukan merupakan bakteri intrinsik pada hati, tetapi didominasi oleh bakteri

Lactobacillus. Bakteri gram negatif yang tumbuh dalam kondisi anaerobik

fakultatif misalnya Aeromonas dan Enterobacter merupakan bakteri intrinsik yang

mengkontaminasi hati.

Bakteri Lactobacillus dan bakteri fakultatif anaerob lainnya dapat diisolasi

dari hati dengan penyimpanan pada suhu dingin yang dikemas menggunakan

plastik-gas permeable, tetapi hanya bakteri Lactobacillus, Streptococcus dan

Leuconostoc spp yang paling dominan dan dapat diisolasi dari hati yang dikemas

menggunakan plastik yang telah divakum (Hanna et al. 1982).

Salmonella

Berdasarkan taksonominya, Salmonella spp dapat digolongkan sebagai

berikut (Brenner 2000):

Kingdom : Bacteria

Filum : Proteobacteria

Kelas : Gamma Proteobacteria

Ordo : Enterobacteriales

Famili : Enterobacteriaceae

Genus : Salmonella

Spesies : Salmonella

Nomenklatur Salmonella

Berdasarkan klasifikasi yang diperoleh dari U.S Centers for Disease Control

and Prevention (CDC) dan World Health Organization (WHO) yang dikutip dari

CFSPH (2005) menyatakan bahwa terdapat dua spesies dari genus Salmonella,

yaitu Salmonella enterica dan Salmonella bongori. Salmonella enterica memiliki

6 subspesies yaitu: S. enterica subsp. enterica atau subspesies I; S. enterica subsp.

Page 27: Uji Elisa Sapi

11

salamae atau subspesies II; S. enterica subsp. arizonae atau subspesies IIIa; S.

enterica subsp. diarizonae atau subspecies IIIb; S. enterica subsp. houtenae atau

subspesies IV; dan S. enterica subsp. indica atau subspecies VI.

Gambar 2 Bakteri Salmonella typhi dengan pewarnaan gram.

Sampai saat ini diketahui Salmonella mempunyai 2500 serotipe (Popoff

2001). Nama serotipe ini biasanya dikaitkan dengan tempat ditemukannya bakteri

tersebut. Serotipe dari S. enterica subsp. enterica merujuk berdasarkan nama

tertentu. Penulisan nama dari serotipe tersebut dapat dipersingkat dari nama

lengkapnya menjadi genus dan serotipenya saja. Sebagai contoh Salmonella

enterica subsp enterica ser. Enteritidis dapat ditulis menjadi Salmonella ser.

Enteritidis atau Salmonella Enteritidis.

Antigen O atau antigen somatik, terdiri dari badan sel bakteri dan diperoleh

dengan pemanasan suspensi bakteri selama satu jam pada suhu 80-100 °C atau

dengan metode ekstraksi menggunakan alkohol panas. Prosedur ini juga dapat

digunakan untuk melepaskan antigen H atau antigen flagelar. Variasi antigen O

ditandai dengan nomor 2, 3, 4, 6, 7, 8, 9, dan 10. Berdasarkan hubungan yang

erat, kelompok spesies Salmonella ditandai dengan tipe A, B, C, dan seterusnya.

Spesies tunggal boleh memiliki lebih dari satu antigen O, yang dapat mempunyai

satu kelompok antigen yang pada umumnya mempunyai banyak anggota dalam

kelompoknya (Brenner et al. 2000).

Page 28: Uji Elisa Sapi

12

Antigen H atau antigen flagelar, terdiri dari sel flagela dan dipersiapkan oleh

supensi pokok bakteri ke formalin yang diduga memperbaiki flagelar di luar

permukaan bakteri sehingga menutup badan sel antigen O. Antigen ini tidak

tahan panas. Antigen H terdiri dari 2 fase yaitu fase spesifik dan fase non-

spesifik. Fase spesifik hanya terdiri dari komponen-komponen antigen yang

spesifik untuk spesies atau turunan dari organisme tersebut. Antigen-antigen ini

ditandai dengan a, b, c, dan seterusnya. Fase non-spesifik ditunjukkan dengan

bagian antigen dari spesies lain pada tipe kelompok lain. Antigen-antigen ini

ditandai dengan 1, 2, 3, 4, dan seterusnya (Brenner et al. 2000).

Sebagian besar penulisan serotipe dari 5 subspesies S. enterica dan S.

bongori merujuk berdasarkan formula antigeniknya. Formula tersebut terdiri dari

penggolongan spesies/subspsies (I, II, IIIa, IIIb, IV atau VI untuk Salmonella

enterica dan V untuk Salmonella bongori), antigen O (somatik) yang diikuti oleh

tanda titik dua, antigen H (flagelar) fase I yang diikuti oleh tanda titik dua, dan

antigen H fase 2 (jika ada). Berdasarkan hasil kesepakatan maka S. enterica

subsp. houtenae dengan memiliki antigen O menunjuk 45, antigen H menunjuk g

dan z51, dan tidak memiliki antigen H fase 2 dapat dituliskan sebagai Salmonella

serotipe IV 45:g,z51.

Menurut Brenner et al. (2003), komponen utama dari permukaan

Salmonella pada umumnya terdiri dari flagela (disebut sebagai antigen H), dan

lipopolisakarida (disebut sebagai antigen O). Kedua antigen ini yang sering

menyebabkan reaksi silang diantara mikroba genus Salmonella. Beberapa strain

Salmonella dapat bertahan dari aktivitas fagositosis karena adanya mutasi pada

gen lipopolisakarida dan kehilangan antigen O nya.

Grup subspesies I termasuk kedalam serotipe penyebab penyakit pada

manusia dan hewan berdarah panas seperti S. enterica, S. typhi, S. paratyphi, S.

sendai, S. typhimurium, S. enteritidis, S. cholerasuis, S. dublin, S. gallinarum, S.

pullorum dan S. abortusovis. Grup subspesies II sampai dengan VI adalah serovar

yang biasa ditemukan pada hewan berdarah dingin. Klasifikasi dan deteksi dari

bakteri ini didasarkan pada uji serologis dan phage susceptibility assay (Baumler

et al. 1998).

Page 29: Uji Elisa Sapi

13

Sifat dan Karakteristik Salmonella spp

Salmonella spp adalah bakteri gram negatif yang termasuk dalam famili

Enterobacteriaceae berbentuk batang, motil, tanpa spora, dan hidup dalam

kondisi aerobik dan anaerobik fakultatif. Spesies Salmonella dibagi menjadi

beberapa serotipe yang didasarkan pada lipopolisakarida (O), protein flagelar (H),

dan antigen kapsular (Vi).

Salmonella spp dapat hidup secara optimal pada suhu 35-37 °C, tetapi

mampu hidup pada kisaran suhu 5-47 °C (D’Aoust 2000). Kondisi pH yang

diperlukan untuk pertumbuhan bakteri Salmonella spp sangat bervariasi, pH

optimal pertumbuhannya adalah 6.5-6.7, tetapi mampu tumbuh pada kisaran pH

4.5-9.0 (Garbutt 1997).

Dalam larutan asam asetat dengan pH 5.4 dan asam sitrat pH 4.05 bakteri

Salmonella spp masih dapat tumbuh (Adams dan Moss 1995). Perubahan pH

yang sangat ekstrim menyebabkan bakteri akan mati. Kondisi pH optimum yang

diperlukan untuk pertumbuhan dengan menggunakan asidulan asam laktat dan

asam asetat (D’Aoust 2000).

Tabel 2 Batasan suhu, pH, dan aktivitas air (aw) optimal untuk pertumbuhan Salmonella spp (Baumler et al. 1998)

Kondisi Minimal Optimal Maksimal

Suhu (°) 5.2 35-43 46.2

pH 3.8 7.0-7.5 9.5

Aktivitas air 0.94 0.99 0.99

Salmonella spp mampu mereduksi nitrat menjadi nitrit, memproduksi gas

dari glukosa, memproduksi gas H2S dari pada triple sugar iron agar, dapat

tumbuh pada sitrat. Indol dan urease negatif, lisin, ornitin, dekarboksilase positif.

Salisin, inositol, sukrosa, dan amigdalin negatif.

Salmonella spp dapat bertahan hidup dalam waktu yang lama pada

lingkungan tertentu. Bakteri tersebut memiliki beberapa perbedaan mekanisme

untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya (Foster dan Spector 1995). Hal

ini yang memungkinkan bakteri tersebut mampu mempertahankan hidupnya pada

Page 30: Uji Elisa Sapi

14

saat terjadi perubahan lingkungan secara tiba-tiba dan mampu bertahan pada

waktu lama di lingkungan yang berbeda-beda.

Salmonella spp dapat diisolasi dari beberapa sumber termasuk dari limbah

peternakan, limbah manusia, dan air. Berdasarkan hasil penelitian Forshell dan

Ekesbo (1996) dan Baloda (2001), bakteri ini dapat bertahan pada bagian

permukaan, kotoran, dan pada feses kering yang tidak terkena sinar matahari.

Hasil penelitian menyebutkan bahwa Salmonella dapat bertahan selama 5½ tahun

pada lantai tempat defekasi sapi. Salmonella cholerasuis berhasil diisolasi selama

450 hari dari daging babi dan beberapa bulan dari feses. Salmonella

Typhimurium dan Salmonella dublin telah ditemukan mampu bertahan lebih dari

satu tahun pada lingkungan (CFSPH 2005).

Resistensi Terhadap Antibiotik

Pada industri peternakan, pemberian antimikroba selain untuk pencegahan

dan pengobatan penyakit, juga digunakan sebagai imbuhan pakan untuk memacu

pertumbuhan, meningkatkan produksi, dan meningkatkan efisiensi penggunaan

pakan (Bahri et al.2000). Di Negara-negara Eropa, ada beberapa antimikroba

yang diperbolehkan digunakan sebagai imbuhan pakan seperti olaquinodik,

basirasin, flavomisin, monensin, salinomisin, tilosin, virginiamisin, avoparsin, dan

avilamisin (Witte1997). Di Indonesia, pemanfaatan antimikroba sebagai imbuhan

pakan ternak sudah dilakukan, hasil penelitian yang dilakukan Balai Penelitian

Veteriner menunjukkan 71.43% (5/7) pabrik pakan di Kabupaten Bogor, Cianjur,

Tangerang, Bekasi dan Sukabumi memberikan tambahan golongan tetrasiklin dan

sulfonamide pada produk pakannya (Kusumaningsih 2007).

Dari kenyataan di lapangan dapat dipastikan bahwa pemakaian antimikroba

sebagai imbuhan pakan ternak cenderung berlebihan dan kurang tepat. Beberapa

peneliti mengkhawatirkan bahwa penggunaan antimikroba secara terus menerus

dan dalam waktu lama melalui air minum atau pakan dalam konsentrasi rendah

akan memicu terjadinya resistensi bakteri terhadap antimikroba pada ternak (Bahri

et al. 2000). Munculnya fenomena resistensi antimikroba pada bakteri patogen

sangat berbahaya. Hal ini diduga dapat mengakibatkan terjadinya perpindahan

Page 31: Uji Elisa Sapi

15

sifat resistensi antimikroba bakteri pada ternak dan manusia dan dapat

mengakibatkan kegagalan pengobatan penyakit yang disebabkan oleh bakteri.

Munculnya resistensi antimikroba pada bakteri pathogen disebabkan oleh adanya

peran gen resistensi baik yang bersifat permanen dalam kromosom bakteri

maupun yang dapat berpindah antar bakteri melalui perpindahan plasmid atau

transposon. Transfer gen resistensi antimikroba pada bakteri dari ternak ke

manusia dapat pula melalui gen resistensi antimikroba yang terdapat pada

pathogen komensal dan pathogen asal makanan seperti S. Enteritidis

(Kusumaningsih 2007).

Gen resistensi antimikroba merupakan gen yang mengendalikan suatu

enzim yang dapat merubah aktivitas kerja antimikroba spesifik menjadi produk

yang tidak berbahaya sehingga bakteri tersebut dapat melindungi dirinya dari efek

antimikroba yang mematikan. Gen bakteri yang mengendalikan sifat resistensi

antimikroba umumnya spesifik terhadap antimikroba atau golongan antimikroba

tertentu, tetapi beberapa gen resistensi dapat mengendalikan satu jenis atau

golongan antimikroba yang sama. Sebagai contoh pada kloramfenikol terdapat 7

gen resistensi (Chen et al. 2004).

Penyebaran Geografis

Salmonelosis tersebar di seluruh dunia, umumnya terdapat pada lingkungan

hewan. Program pemberantasan Salmonella banyak dilakukan terhadap hewan-

hewan domestik dan manusia, tetapi penting diingat bahwa hewan-hewan liar

merupakan reservoir Salmonella. Serotipe yang paling banyak ditemukan dari

kasus salmonelosis adalah Salmonella Enteritidis dan Salmonella Typhimurium

(CFSPH 2005).

Hasil surveilan di Amerika Serikat pada tahun 2002 terhadap serotipe

Salmonella yang telah diisolasi dari manusia adalah Salmonella enteritidis,

Salmonella typhimurium, Salmonella montevideo, Salmonella muenchen,

Salmonella oranienburg, dan Salmonella saintpaul. Kemudian pada tahun yang

sama CDC dan National Veterinary Services Laboratory (NVSL) melaporkan

bahwa serotipe Salmonella yang berhasil diisolasi dari hewan yang secara klinis

memperlihatkan gejala salmonelosis adalah Salmonella typhimurium, Salmonella

Page 32: Uji Elisa Sapi

16

newport, Salmonella agona, Salmonella heidelberg, Salmonella derby,

Salmonella anatum, Salmonella cholerasuis, Salmonella montevideo, Salmonella

kentucky, Salmonella senftenberg, dan Salmonella dublin (CFSPH 2005).

Di Selandia Baru dan Australia, Salmonella spp telah diisolasi pada manusia

dan hewan terutama Salmonella Typhimurium, tetapi Salmonella Typhimurium

DT104 yang diketahui sebagai serotipe yang resisten terhadap antibiotik hanya

diisolasi dari manusia pada tahun 2003 dan 2004. Prevalensi Salmonella spp pada

sapi dan kambing di Selandia Baru mencapai 1-5%. Salmonella dublin

merupakan serotipe yang umum terdapat pada sapi dan kambing di beberapa

negara di dunia, tetapi belum pernah ditemukan di Selandia Baru (MAFNZ 2006).

Di Kanada, S. typhimurium dan S. hadar telah diisolasi dari manusia dan non-

manusia selama 10 tahun terakhir, sedangkan S. heidelberg, S. enteritidis, dan S.

infantis juga sering diisolasi dari sampel yang diperoleh dari manusia (Kakira et

al. 1997).

Sumber Infeksi dan Cara Penularan

Penularan Salmonella spp terutama terjadi melalui rute fecal-oral. Bakteri

tersebut umumya terdapat di dalam saluran pencernaan dan kantung empedu

hewan tanpa menimbulkan gejala klinis, kemudian secara terus menerus atau

kadang-kadang dikeluarkan bersama feses. Salmonella spp dapat tinggal menetap

di kelenjar getah bening mesenterika atau tonsil tanpa terjadi shedding, tetapi

bakteri tersebut dapat menjadi aktif kembali akibat adanya faktor-faktor pemicu

misalnya cekaman atau tekanan tanggap kebal.

S. typhi dan S. paratyphi merupakan penyebab utama salmonelosis pada

manusia. Hewan merupakan reservoir dari Salmonella spp. Hampir semua

pangan hewani dapat terkontaminasi oleh Salmonella spp dan kemudian dapat

menyebabkan infeksi salmonelosis pada manusia. Wahana utama penyebaran

Salmonella spp ke manusia adalah daging unggas, daging babi, daging sapi, telur,

susu dan hasil olahannya. Pangan nabati yang terkontaminasi oleh produk

hewani, ekskreta manusia, atau peralatan kotor, baik dalam proses penanganan

industri maupun dapur rumah tangga, merupakan salah satu wahana penularan

Page 33: Uji Elisa Sapi

17

salmonelosis pada manusia. Air yang terkontaminasi Salmonella merupakan

sumber penting terhadap penularan salmonelosis.

Manusia umumnya menderita salmonelosis akibat dari mengonsumsi

pangan yang terkontaminasi Salmonella. Faktor penting yang berperan dalam

penularan penyakit ini adalah kesalahan dalam cara memasak, waktu dan tempat

penyimpanan, serta pemanasan kembali sebelum dihidangkan. Manusia dapat

terinfeksi secara langsung dari hewan dan hewan kesayangan yang terkontaminasi

atau terinfeksi Salmonella seperti kura-kura, monyet, hamster, anjing dan hewan

reptil lainnya.

Penularan antar manusia sangat penting bila terjadi di rumah sakit dimana

pasien anak-anak menjadi korban utamanya. Lalat merupakan vektor mekanis

yang membawa organisme dari lingkungan terkontaminasi ke perumahan

penduduk. Berdasarkan hasil penelitian Olsen dan Hammack (2000), beberapa

lalat rumah seperti Musca domestica dan Hydrotaea aenescens berpotensi sebagai

reservoir dan vektor dari foodborne Salmonella terutama pada unggas dengan

prevalensi mencapai 13%.

Penularan dari hewan ke hewan dapat berlangsung melalui ekskreta, pakan,

dan sumber air minum yang terkontaminasi oleh Salmonella spp. Di beberapa

negara berkembang, sumber infeksi utama adalah kontaminasi lingkungan dan

sumber air yang merupakan tempat hewan sering berkumpul. Burung (unggas)

dan tikus dapat menyebarkan Salmonella spp ke hewan. Karnivora dapat

terinfeksi melalui daging, telur dan produk hewan lainnya yang tidak dimasak

atau melalui proses pemasakan yang tidak sempurna sebagai bahan baku

pakannya. Penularan dari hewan ke hewan tidak hanya terjadi di lingkungan

kandang tetapi dapat terinfeksi selama masa transportasi, pada saat di pasar

hewan, dan di tempat penampungan (holding ground) RPH sebelum hewan

tersebut disembelih. Penularan secara vertikal dapat terjadi pada unggas, dimana

bakteri tersebut dapat menembus membran vitelin, albumen, dan kemudian masuk

ke dalam kuning telur. Salmonella spp juga dapat ditransmisikan melalui rahim

hewan mamalia (CFSPH 2005).

Page 34: Uji Elisa Sapi

18

Salmonelosis pada Manusia

Gejala klinis salmonelosis yang paling umum pada manusia adalah

gastroenteritis. Masa inkubasi penyakit pada umumnya mencapai 12 jam sampai

dengan 3 hari. Demam enterik biasanya muncul setelah 10-14 hari pasca-infeksi.

Pada manusia gejala klinis salmonelosis sangat bervariasi mulai dari

gastroenteritis sampai terjadi septisemia. Tingkat keparahan pada setiap individu

berbeda-beda, tergantung dari kondisi induk semang (host) dan tingkat virulensi

dari Salmonella yang menginfeksi. Infeksi asimtomatik juga dapat terjadi.

Semua serotipe Salmonella dapat menyebabkan terjadinya salmonelosis,

tetapi berbeda dalam hal gejala klinis yang dihasilkan, misalnya infeksi pada

manusia yang diperoleh dari Salmonella spp yang berasal dari reptil umumnya

menimbulkan gejala klinis yang sangat parah yaitu terjadi septikemia dan

meningitis. Hampir semua kasus salmonelosis yang berasal dari reptil menyerang

anak-anak di bawah umur 10 tahun dan pada manusia yang mengalami

imunosupresi.

Gastroenteritis ditunjukkan gejala klinis seperti mual, muntah, sakit perut,

diare (berdarah). Sakit kepala, demam, menggigil, dan sakit pada otot juga dapat

terlihat. Dehidrasi dapat terjadi pada anak bayi dan orang tua yang terinfeksi.

Kematian banyak terjadi pada anak-anak, orang tua, dan orang yang mengalami

imunosupresi. Infeksi Salmonella spp. dapat menyebabkan peradangan pada

organ-organ tertentu, misalnya septic arthritis, abses, endokarditis dan

pneumonia.

Salmonelosis pada manusia dapat ditularkan ke orang lain dan hewan

melalui feses. Shedding pada feses dapat terjadi beberapa hari bahkan sampai

beberapa minggu. Manusia juga dapat bertindak sebagai carrier selama beberapa

bulan. Rata-rata 0.3-0.6% pasien yang terinfeksi non-typhoidal Salmonella dapat

mengalami shedding virus pada fesesnya selama satu tahun. Pada beberapa

serotipe spesifik seperti Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi yang

diketahui juga sebagai foodborne patogen dapat menyebabkan infeksi sistemik

yang dikenal dengan demam tifoid dan demam paratifoid. Penyebaran penyakit

ini didominasi oleh adanya kontaminasi feses orang yang sakit dan terkontaminasi

pada air dan makanan.

Page 35: Uji Elisa Sapi

19

Secara umum dapat dikatakan bahwa dosis infeksi, masa inkubasi, gejala

klinis dan cara penularan Salmonella yang disebabkan oleh serotipe yang berbeda

adalah sama, yaitu gejala klinis yang dijumpai seperti diare, demam, dan sakit

pada daerah abdominal. Pada orang tua, bayi dan orang yang mengalami

penurunan sistem imunitas akan terlihat lebih parah.

Salmonella Enteritidis and Salmonella Typhimurium merupakan seroptipe

yang paling sering dilaporkan sebagai penyebab kasus salmonelosis pada

manusia. Berdasarkan laporan CDC (2002), kasus salmonelosis pada tahun 2002

disebabkan paling banyak oleh Salmonella Enteritidis yaitu 25% dari kasus yang

dilaporkan, kemudian oleh Salmonella Typhimurium sebanyak 12.1%.

Salmonelosis pada Hewan

Salmonella spp telah ditemukan pada semua spesies mamalia, unggas,

reptil, dan amfibi. Ikan dan invertebrata dapat juga terinfeksi. Prevalensi

salmonelosis paling banyak terdapat pada unggas, babi, dan reptil. Sejauh ini

infeksi Salmonella spp pada reptil ditemukan pada kura-kura, penyu, ular, dan

kadal (termasuk iguana). Beberapa serotipe mempunyai hubungan yang erat

dengan induk semangnya, sebagai contoh bahwa Salmonella choleraesuis

menyebabkan penyakit pada babi, Salmonella abortusovis menginfeksi kambing,

dan Salmonella pullorum menginfeksi unggas. Bagaimanapun sebagian besar

serotipe dapat menyebabkan penyakit pada banyak induk semang (CFSPH 2005).

Masa inkubasi pada hewan sangat bervariasi. Gejala klinis pada hewan

umumnya bersifat asimtomatik pada beberapa kasus infeksi salmonelosis. Gejala

klinis muncul apabila hewan mengalami stres akibat transportasi, kepadatan

populasi di kandang, partus, kedinginan, adanya infeksi virus dan parasit, serta

perubahan pakan yang tiba-tiba. Gejala klinis yang muncul juga bervariasi

tergantung pada dosis infeksi, status kesehatan hewan, serotipe dari Salmonella

yang menginfeksi, dan faktor-faktor lain, misalnya Salmonella cholerasuis yang

menimbulkan gejala septikemia sedangkan Salmonella typhimurium akan

berhubungan dengan infeksi saluran pencernaan.

Pada sapi, gejala klinis yang umum adalah enteritis dan septikemia. Infeksi

salmonelosis ditandai dengan diare, dehidrasi, depresi, rasa sakit pada bagian

Page 36: Uji Elisa Sapi

20

abdominal dan anoreksia. Konsistensi feses lembek sampai dengan cair, bau,

berisi reruntuhan mukosa membran dan berdarah. Demam terjadi pada awal

infeksi, kematian disebabkan karena adanya dehidrasi dan toksemia. Enteritis

subakut terjadi pada sapi dewasa ditandai dengan diare yang terus menerus dan

kehilangan berat badan. Serotipe Salmonella yang umum dijumpai menginfeksi

hewan sapi adalah S. anatum, S. dublin, S. montevideo dan S. typhimurium.

Kontaminasi Salmonella pada Hati

Pada hewan-hewan hidup, permukaan tubuhnya dapat terkontaminasi secara

langsung oleh mikroorganisme yang berasal dari lingkungan atau sebaliknya.

Berdasarkan beberapa hasil penelitian diketahui bahwa bagian dalam dari jaringan

atau karkas yang berasal dari hewan yang sehat dapat terkontaminasi oleh bakteri

saprofit, kemudian bakteri tersebut menginvasi ke dalam jaringan tubuh melalui

saluran pencernaan sebelum, selama, atau sesudah hewan mati ataupun

terkontaminasi pada saat proses pemotongan sedang berlangsung (Pearson dan

Dutson 1988).

Mikroorganisme patogen dapat merasuk ke dalam tubuh hewan hidup dan

bermanifestasi pada organ-organ spesifik. Mikroba tersebut dapat bertahan untuk

beberapa waktu sebelum akhirnya tereliminasi atau berpoliferasi sehingga

menimbulkan gejala klinis. Mikroba patogen yang menginfeksi hewan tersebut

dapat menimbulkan penyakit, tetapi terdapat pengecualian terhadap

mikroorganisme patogen yang terdapat pada hewan sehat, dimana hewan tersebut

tidak menimbulkan gejala klinis, sehingga mikroba tersebut disebut sebagai

mikroorganisme intrinsik.

Secara umum Salmonella terdapat pada Tractus intestinal dan terbawa pada

feses hewan dan manusia yang terinfeksi, sehingga banyak makanan terutama

makanan asal hewan, sangat mudah terkontaminasi dan telah diidentifikasi

sebagai vehicle/wahana terhadap penularan salmonelosis. Jeroan dan karkas

merupakan sumber foodborne salmonelosis (EFSA 2008).

Penyimpanan hati pada kondisi aerobik dengan suhu ruangan menyebabkan

E. coli dapat tumbuh dengan baik. Seperti diketahui bahwa E. coli merupakan

salah satu bakteri patogen dan dapat digunakan sebagai bakteri indikator untuk

Page 37: Uji Elisa Sapi

21

melihat tingkat sanitasi terhadap suatu proses penyiapan pangan asal hewan yang

sedang berlangsung. Apabila jumlah E. coli melebihi standar yang sudah

ditetapkan maka menunjukkan kondisi sanitasi yang buruk sehingga perlu

dilakukan tindakan perbaikan dan pengendalian untuk menurunkan jumlah bakteri

tersebut. Kondisi lingkungan yang mendukung pertumbuhan E. coli merupakan

kondisi yang baik untuk pertumbuhan Salmonella dan bakteri patogen lainnya,

sehingga hal ini menjadi sangat penting diperhatikan karena akan berdampak

terhadap kesehatan masyarakat (Gill dan Harrison 1985).

Berdasarkan laporan dari Gill yang diacu dalam Pearson dan Dutson (1988)

mikroorganisme yang telah diisolasi dari hati sapi adalah Clostridia dengan

prevalensi bervariasi antara 32-75%, Clostridium perferingens dengan prevalensi

12%, bakteri gram positif berbentuk coccus prevalensinya mencapai 80%, E. coli

dengan prevalensi 10% dan Salmonella berkisar 1-5%.

Sumber pencemaran dari luar dapat diperoleh akibat kontaminasi hati dari

lingkungan di sekitar RPH, kulit dan isi saluran cerna (Fegan et al. 2005), air,

alat-alat yang digunakan selama pemotongan, misalnya pisau dan penggantung

karkas (Smeltzer dan Thomas 1981; Kusumaningrum et al. 2002), kotoran/feses

(Bell 1997), udara, tangan dan pakaian pelindung pekerja (Smeltzer et al. 1980).

Sedangkan sumber pencemaran dari dalam adalah adanya mikroorganisme pada

hati yang berasal dari hewan yang terinfeksi pada saat masih hidup.

Perkembangan mikroorganisme pada hati dipengaruhi oleh faktor intrinsik

dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik meliputi derajat keasaman, aktivitas air

(aw), potensial oksidasi dan reduksi, nutrisi, keberadaan antimikroba, dan struktur

biologis, sedangkan faktor ekstrinsik meliputi suhu, kelembaban relatif,

keberadaan dan konsentrasi gas, serta proses pengolahan (Garbutt 1997).

EFSA (2008) menyatakan bahwa secara umum proporsi kasus Salmonella

positif pada karkas sapi dan produknya pada tahun 2001-2005 mencapai kurang

lebih 1%. Proporsi sampel positif pada produk segar pada saat di RPH sekitar

0.6%, tetapi berbeda apabila produk tersebut sudah berada di pasar, yang mana

sampel positif Salmonella menjadi 8.3%. Serotipe yang paling sering ditemukan

pada karkas sapi dan produknya adalah S. typhimurium, kemudian diikuti oleh S.

dublin dan S. enteritidis.

Page 38: Uji Elisa Sapi

22

Kontaminasi Salmonella pada hati di RPH umumnya terjadi pada saat

proses eviserasi dilakukan atau hewan terinfeksi oleh hewan yang sakit

(mengkontaminasi lingkungan) di tempat penampungan sebelum hewan tersebut

dipotong (Small et al. 2002). Penelitian yang dilakukan di RPH di Australia

membuktikan bahwa kontaminasi Salmonella pada hati berhasil diisolasi

sebanyak 32% setelah eviserasi dan 82% setelah pemeriksaan postmortem.

Kemudian dari 50 sampel hati sapi yang diperiksa, hanya 1 sampel yang positif

Salmonella pada bagian parenchyma hati. Kontaminasi Salmonella kemungkinan

berasal dari Tractus gastrointestinal dan Lymphoglandula mesenterica pada saat

proses eviserasi dilakukan (Samuel et al. 1980). Menurut Vanderlinde et al.

(1998), di Australia dilaporkan 1.4% karkas sapi positif Salmonella di RPH untuk

konsumsi domestik dan 0.27% karkas sapi positif Salmonella di RPH untuk

kebutuhan ekspor. Di Amerika dilaporkan bahwa prevalensi karkas beku yang

terkontaminasi Salmonella sp adalah 2.93% (Qiongzhen et al. 2004).

Kontaminasi Salmonella pada karkas di RPH di Ontario Kanada mencapai 1.6 %

(Johnson et al. 1999).

Standar Salmonella pada pangan

Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor 01-6366-2000 tahun 2000 tentang

Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Batas Maksimum Residu dalam Bahan

Makanan Asal Hewan menetapkan bahwa standar kontaminasi Salmonella sp

dalam pangan asal hewan (daging, telur, dan susu) adalah negatif, sedangkan

berdasarkan standar international yang mengatur tentang keamanan pangan yaitu

Codex Alimentarius Commission (CAC) hanya mengatur batas maksimum

kontaminasi Salmonella sp pada pangan yang siap untuk dikonsumsi. Beberapa

negara maju seperti Amerika Serikat tidak menetapkan standar maksimal cemaran

Salmonella sp, tetapi menerapkan system Hazard Analysis Critical Control Point

(HACCP) secara ketat dan melakukan proses pencegahan, eliminasi dan

mengurangi kontaminasi Salmonella sp pada pangan asal hewan. Kegiatan

tersebut dievaluasi dan dipantau oleh suatu lembaga pemerintah yaitu Food Safety

and Inspection Services (FSIS).

Page 39: Uji Elisa Sapi

23

Pengujian Salmonella pada Pangan

Kontaminasi Salmonella pada makanan dapat dideteksi dengan mengisolasi

bakteri menggunakan metode kultur pada media agar (BAM 2006) Metode ini

merupakan metode standar untuk mendeteksi Salmonella spp. Metode tersebut

mempunyai sensitivitas dan spesifisitas mencapai 100% (Burgess 1995). Metode

isolasi dan identifikasi Salmonella spp mempunyai prinsip-prinsip baku yang

terdiri dari lima tahap yaitu: pra-pengayaan (pre-enrichment), pengayaan

(enrichment), seleksi pada media agar, uji biokimia dan uji serologi. Pengujian

dengan metode ini membutuhkan waktu yang lama yaitu sekitar 7-10 hari.

Media pra-pengayaan (pre-enrichment) dan pengayaan (enrichment)

bertujuan untuk meningkatkan jumlah bakteri yang mengalami depresi atau

membangkitkan kembali Salmonella yang mengalami kerusakan, sehingga

memungkinkan untuk mengisolasi bakteri tersebut walaupun pada awalnya

bakteri terdapat dalam jumlah yang kecil. Salmonella dapat tumbuh pada

berbagai media, baik media selektif maupun media non-selektif yaitu pada agar

MacConkey, eosine methylen blue, bismuth sulfit, Salmonella-Shigella, dan

brilliant green.

Salmonella dapat diidentifikasi dengan uji biokimia menggunakan triple

sugar iron, lysine iron, methyl red-voges proskauer, urea, indole, citrate, lysine

decarboxylase, phenol red dulcitol, kalium cyanida, malonate, phenol red lactose,

phenol red sucrose. Penentuan serotipe dapat dilakukan dengan uji serologi yang

menggunakan antibodi terhadap antigen somatik (O), antigen flagelar (H) dan

antigen kapsular (Vi). Penentuan lebih lanjut pada beberapa serotipe tertentu

memerlukan identifikasi terhadap fase dan plasmid yang ada pada bakteri tersebut.

Untuk karakterisasi lebih lanjut, dapat dilakukan pada laboratorium-laboratorium

rujukan yang mempunyai kompetensi di bidangnya.

Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, beberapa

ahli mengembangkan berbagai metode pengujian untuk mendeteksi kontaminasi

Salmonella pada makanan baik metode cepat (rapid test) sampai dengan metode

yang sangat kompleks. Metode-metode tersebut misalnya metode yang

berdasarkan pada deteksi asam nukleat, deteksi biokimia dan enzimatik,

Page 40: Uji Elisa Sapi

24

meggunakan metode filtrasi membran, dan metode yang berdasarkan pada reaksi

antigen dan antibodi.

Metode yang sudah dikembangkan untuk mendeteksi asam nukleat saat ini

adalah metode hibridisasi dan polymerase chain reaction (Soumet et al. 1997).

Pada metode hibridisasi, sekuen DNA Salmonella yang telah diketahui dan saling

melengkapi serta dilabel oleh nukleotida probe dengan berbagai cara untuk

mendeteksi secara langsung sekuen Salmonella. Ada dua bentuk dari metode

hibridisasi yaitu fase solid hibridisasi dan fase likuid hibridisasi. Fase tersebut

menunjukkan lokasi dan sekuen target selama proses hibridisasi berlangsung.

Salah satu kit komersial untuk mendeteksi kontaminasi Salmonella pada makanan

dengan menggunakan prinsip hibridisasi adalah GENE-TRAK® Biolab Kanada.

Reaksi rantai polimerase atau Polymerase chain reaction yang disingkat

PCR adalah teknologi dalam biologi molekular yang sudah diterapkan secara

meluas untuk berbagai macam analisis biologi molekuler. Prinsip dari PCR

adalah mengeksploitasi berbagai sifat alami replikasi DNA. Dalam proses

tersebut, polimerase-DNA menggunakan DNA berserat tunggal sebagai cetakan

untuk mensintesis serat baru yang komplementer. Di laboratorium, cetakan

berserat tunggal dapat diperoleh dengan mudah melalui pemanasan DNA berserat

ganda pada suhu mendekati titik didih. Polimerase-DNA juga memerlukan suatu

wilayah berserat ganda pendek untuk memulai (“prime“) proses sintesis. Pada

PCR, posisi awal dan akhir sintesis DNA dapat ditentukan dengan menyediakan

suatu oligonukleotida sebagai primer yang menempel secara komplementer pada

cetakan sesuai dengan target yang diinginkan (Downes dan Ito 2001). Metode

PCR untuk mendeteksi Salmonella pada makanan telah dilaporkan oleh Soumet et

al. (1997).

Metode serologik merupakan salah satu metode alternatif yang dapat

digunakan sebagai uji tapis untuk mendeteksi kontaminasi Salmonella pada

pangan adalah metode uji aglutinasi dan enzyme linked immunosorbant assay

(ELISA). ELISA merupakan teknik biokimia yang digunakan terutama di bidang

immunologi untuk mendeteksi keberadaan sebuah antibodi atau antigen dalam

sampel baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Adanya ikatan antara antigen

dan antibodi yang berpasangan dikenali dengan menggunakan enzim spesifik dan

Page 41: Uji Elisa Sapi

25

dideteksi melalui penambahan substrat yang dapat dilihat secara visual melalui

perubahan warna atau dengan bantuan alat yang dikenal sebagai ELISA reader

berdasarkan panjang gelombang tertentu. Metode ELISA terdiri dari beberapa

konfigurasi antara lain: ELISA langsung, ELISA tidak langsung, ELISA

penangkap antigen atau ELISA sandwich, ELISA penangkap antibodi, dan ELISA

kompetitif atau ELISA pemblok (Burgess 1995).

ELISA langsung merupakan konfigurasi yang paling sederhana. Antigen

secara langsung diadsorbsikan ke suatu substrat padat. Permukaan substrat dicuci

dan antibodi yang ditempeli enzim digunakan untuk menunjukkan adanya antigen.

Hasilnya akan terlihat bila ditambah substrat. Konfigurasi ini memerlukan

antiserum yang spesifik untuk antigen yang dimaksud. Antiserum ini harus

dikonjugasikan pada enzim. Keterbatasan konfigurasi ini berkaitan dengan sifat

pengikatan substrat padat dan kualitas antibodi indikator. Pembatas utama sistem

ini adalah tidak adanya fleksibilitas. Sedangkan keuntungan utama adalah sistem

ini sederhana. Konfigurasi ini biasanya digunakan dalam pengujian untuk

mendeteksi atau mengenali suatu antigen. Adanya kontaminasi antigen dapat

ditunjukkan dengan terdapatnya warna pada supernatan. Warna yang ditunjukkan

tergantung dari substrat yang digunakan.

ELISA tidak langsung merupakan konfigurasi paling sederhana yang dapat

digunakan untuk mengukur titer antibodi. Antigen teradsorbsi pada substrat

padat. Antibodi primer tidak berlabel dan dapat diperoleh dari serum atau cairan

tubuh lain. Antibodi sekunder terikat pada enzim yang sesuai. Antibodi sekunder

ini biasanya disebut sebagai konjugat. Hasil akan tampak bila ditambahkan

substrat. Antigen dan antibodi sekunder biasanya dibuat konstan dan yang

berubah adalah antibodi primer. Kerapatan optik (optical density) berhubungan

dengan konsentrasi antibodi primer. Variasi sensitivitas dan spesifisitas dapat

diperoleh dengan secara hati-hati menentukan antigen dan konjugat antibodi

indikator. Kelemahan utama konfigurasi ini terletak pada tdak adanya spesifitas

sebagai akibat bereaksi dengan antigen yang tidak murni.

ELISA penangkap antigen atau ELISA sandwich merupakan konfigurasi

yang menggunakan antibodi yang terikat pada fase padat untuk menangkap

antigen secara spesifik, kemudian terdapat sejumlah variasi lebih lanjut. Jika

Page 42: Uji Elisa Sapi

26

tingkat antibodi yang terdapat dalam tubuh harus di ukur. Konfigurasi sisanya

serupa dengan ELISA tidak langsung. Antibodi penangkap, antigen, dan sistem

indikator dibuat konstan dan yang berubah adalah titer antibodi primer untuk

antigen spesifik. Jika antigen yang diukur, dapat digunakan konfigurasi serupa

atau sistem indikatornya menggunakan antibodi terkonjugasi spesifik untuk

antigennya. Antibodi monoklonal makin banyak dipakai untuk antibodi

penangkap dan dalam sistem indikator. Konfigurasi ini mempunyai potensi untuk

meningkatkan spesifisitas ELISA tidak langsung asalkan antibodi penangkapnya

dapat menghindarkan penempelan antigen yang ada dalam jumlah kecil yang

dapat mengganggu spesifisitas ELISA tidak langsung. Penggunaan antibodi

monoklonal digabung antigen murni atau antigen yang sudah diubah dapat

memperbaiki spesifisitas.

ELISA penangkap antibodi menggunakan antiglobulin yang terikat pada

substrat padat. Antibodi sampel yang diuji ditangkap dan sistem indikator

menempeli antigen berlabel. Spesifisitas teknik ini tidak menyebabkan masalah

utama. ELISA kompetitif atau ELISA pemblok dapat digunakan pada sejumlah

konfigurasi dasar. Kompetisi dapat terjadi terhadap antigen atau antibodi.

Pengujian kompetisi antibodi membutuhkan antigen untuk ditangkap antibodi

secara langsung maupun lewat antibodi spesifik ke substrat padat. Antibodi yang

telah dikenal bersaing dengan antibodi yang tidak dikenal untuk mendapatkan

tempat penempelan pada antigen. Antibodi yang telah diketahui dapat dilabel

atau dapat dideteksi menggunakan antibodi spesiesnya (Crowther 1996).

Metode ELISA sebagai metode tapis dalam mendeteksi Salmonella pada

makanan harus mempunyai minimal kriteria sebagai berikut, yaitu mampu

mendeteksi 2500 serotipe dari Salmonella dan juga mempunyai sensitivitas yang

cukup untuk mendeteksi patogen pada level tertentu, umumnya pada tahap

pengayaan (enrichment). Metode ELISA sudah banyak digunakan pada bahan

pangan misalnya oleh Ng et al. (1996) yang mendeteksi Salmonella pada karkas

babi dengan sensitivitas dan spesifisitasnya mencapai 100% dan 99%.

Saat ini telah banyak dikembangkan kit ELISA dalam mendeteksi

kontaminasi Salmonella pada makanan. Salah satu kit ELISA yang digunakan

adalah RIDASCREEN@ Salmonella yang menggunakan monoclonal antibody

Page 43: Uji Elisa Sapi

27

terhada antigen somatic O (dinding sel). Kit ELISA ini dibuat dengan konfigurasi

ELISA sandwich untuk mendeteksi kontaminasi Salmonella spp pada makanan,

pakan dan sampel lingkungan dalam waktu kurang dari 22 jam. RIDASCREEN@

Salmonella merupakan kit yang fleksibel dapat digunakan untuk mendeteksi

Salmonella, baik yang motil maupun yang non-motil, termasuk S. pullorum dan S.

gallinarum. Proses pengujian diawali dengan menggunakan tahap pengayaan

(enrichment) untuk recovery sel-sel bakteri yang rusak dan meningkatkan jumlah

sel bakteri. Selanjutnya pengujian ELISA menggunakan prinsip ELISA Sandwich

(R-Biofarm 2007).

Page 44: Uji Elisa Sapi

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan selama tiga bulan yang dimulai pada bulan Agustus

sampai dengan bulan Oktober 2008. Pengambilan sampel dilaksanakan di

Instalasi Karantina Hewan Sementara (IKHS) Balai Besar Karantina Pertanian

(BBKP) Tanjung Priok. Pengujian sampel dilaksanakan di Balai Besar Uji

Standar Karantina Pertanian (BBUSKP) Jl. Pemuda No. 64, Jakarta Timur.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari gergaji daging, kotak

pendingin, tabung reaksi, cawan petri, pipet ukur 1 ml, gelas ukur, ose (sengkelit),

labu erlenmeyer, stomacher, ELISA reader, sentrifus, tabung sentrifus, vortex,

homogenizer ultra turrax, waterbath (36±1 °C), mikropipet berbagai ukuran,

biosafety cabinet class II ESCO, dan inkubator (36±1 °C).

Bahan yang digunakan meliputi plastik sampel steril, plastik stomacher, kit

ELISA RIDASCREEN®Salmonella, lactose broth (Oxoid CM0137B) , selenite

cystine broth (Oxoid CM0699B), tetrathionate broth (Oxoid CM0029B),

Rappaport-Vassilidiasis medium (Oxoid CM0669B), xylose lysine desoxycholate

(Oxoid CM0469B), hektoen enteric agar (Oxoid CM0419B), bismuth sulfith agar

(Oxoid CM0201B), triple sugar iron agar (Oxoid CM0277B), lysine iron agar

(Oxoid CM0381B), methyl red-Voges Proskauer (Oxoid CM0043B), urea broth

(Oxoid CM0053B), indole (Oxoid L0042), pereaksi Kovacs (Merck

1.09293.0100), KOH (JT.Baker 3140-01), α-naphtol (Merck 1.06223.0050),

indikator methyl red (JT.Baker R086-02), Simmon citrate agar (Oxoid

CM0155B), lysine decarboxylase broth (Oxoid CM0308B), phenol red dulcitol

broth, kalium cyanida broth, malonate broth, phenol red lactose broth, phenol red

sucrose broth, brain heart infusion broth (Oxoid CM0255B), Salmonella O

polyvalent (Group Remel A-s) (R30858201), Salmonella H polyvalent phases 1&2

(R30858501), Salmonella typhimurium ATCC 14028 dan Salmonella typhi ATCC

54136. Kontrol negatif yang digunakan yaitu Staphylococcus aureus ATCC

25923, Eschericia coli ATCC 25922, dan Shigella sonei ATCC 25931.

Page 45: Uji Elisa Sapi

28

Metode Pengambilan Sampel

Sampel yang diambil adalah hati sapi beku. Jumlah sampel yang diambil

dihitung dengan menggunakan rumus deteksi penyakit (detect disease)

berdasarkan Thrusfield (2005). Rumus untuk mendeteksi penyakit adalah sebagai

berikut:

n = [1-(1-p)1/d] [N-d/2]+1]

dimana:

N = jumlah populasi

n = jumlah sampel

d = jumlah hati sapi yang positif Salmonella dalam populasi (diperoleh

dari prevalensi x jumlah populasi)

p = tingkat kepercayaan (confident interval)

Dari data yang diperoleh, rata rata populasi jeroan yang dilalulintaskan

melalui pelabuhan Tanjung Priok setiap bulannya adalah sebanyak 1 472 581 kg,

dan prevalensi dugaan sebesar 5% berdasarkan laporan Gill (1981) dalam Pearson

dan Dutson (1988), sehingga dengan menggunakan rumus di atas maka diperoleh

60 sampel hati. Setiap satu kali impor hati maka jumlah sampel yang diambil

sebanyak 6 sampel hati, sehingga frekuensi pengambilan sampel dilakukan

sebanyak 10 kali (10 shipment). Jumlah sampel yang diambil dari setiap negara

pengekspor dilakukan secara proporsional dengan metode probability

proportional to size (McGinn 2004). Berdasarkan data dari Teknik Metode

Karantina Hewan (2008), rata-rata frekuensi pemasukan jeroan melalui pelabuhan

Tanjung Priok dari setiap negara pengekpor dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Frekuensi rata-rata impor jeroan melalui pelabuhan Tanjung Priok (TMKH 2008)

Negara pengekspor Frekuensi rata-rata pemasukan/bulan

Amerika Serikat Australia Kanada Selandia Baru

4 161 4

170

Page 46: Uji Elisa Sapi

29

Dengan menggunakan metode probability proportional to size (McGinn

2004), berdasarkan data pada Tabel 3 maka pengambilan sampel dilakukan

sebanyak 4 kali dari Australia, 6 kali dari Selandia Baru, dan 1 kali dari Kanada

sehingga jumlah sampel dari Australia sebanyak 24 sampel, Selandia Baru 30

sampel, dan Kanada 6 sampel. Penentuan 6 sampel hati yang akan diambil di

instalasi dilakukan secara acak (random).

Beberapa data pendukung yang dikumpulkan antara lain: nama perusahaan

pengekspor, perusahaan pengimpor, Nomor Kontrol Veteriner (NKV), tanggal

produksi/pengemasan/pemotongan.

Pengujian Sampel

Sampel hati sapi diperiksa terhadap uji organoleptik atau sensorik, serta uji

keberadaan Salmonella dengan metode ELISA dan kultur. Pemeriksaan

organoleptik atau sensoris dilakukan dengan menggunakan pancaindra untuk

menganalisis warna, bau, konsistensi, tepi hati (kebengkakan), pembendungan,

ada tidaknya degenerasi, dan benjolan pada hati.

Pengujian Salmonella

Sebanyak 25 g dari masing-masing sampel dimasukkan ke dalam kantong

stomacher steril dan ditambahkan 225 ml lactose broth, kemudian dihomogenkan

selama 1-2 menit, dengan kecepatan 10000 rpm sampai dengan 12000 rpm.

Setelah selesai, sampel dipindahkan ke dalam tabung erlenmeyer steril dan

diinkubasi di inkubator pada suhu 36±1°C selama 16 jam untuk pengujian dengan

metode ELISA (duplo), lalu sampel dalam tabung erlenmeyer dimasukkan

kembali ke dalam inkubator hingga mencapai waktu inkubasi 24 jam untuk

pengujian dengan metode kultur berdasarkan BAM (2006).

Setelah sampel diinkubasi selama 16 jam (pra-pengayaan), sebanyak 100 µl

masing-masing sampel, kontrol positif, dan kontrol negatif dimasukkan ke dalam

masing-masing sumur pada microplate. Microplate tersebut ditutup dan

diinkubasi pada suhu 36±1 °C selama 30 menit. Setelah masa inkubasi selesai,

cairan yang ada dalam microplate dibuang dan microplate tersebut dicuci

sebanyak 7 kali dengan menggunakan 300 µl larutan buffer pencuci (washing

Page 47: Uji Elisa Sapi

30

buffer) yang bersuhu 36±1 °C pada setiap sumur. Kemudian ke dalam setiap

sumur ditambahkan 250 µl Salmonella broth (36±1 °C), microplate ditutup, lalu

diinkubasi pada suhu 36±1 °C selama 5.5 jam. Setelah inkubasi selesai, 100 µl

konjugat ditambahkan, microplate ditutup dan diinkubasi pada suhu 36±1 °C

selama 30 menit. Kemudian cairan yang ada dalam microplate dibuang dan

microplate tersebut dicuci sebanyak 7 kali dengan menggunakan 300 µl larutan

buffer pencuci (washing buffer) yang bersuhu 36±1°C pada setiap sumur.

Kemudian 100 µl substrat kromogen ditambahkan ke dalam sumur, lalu

diinkubasi dalam suhu ruang dan gelap selama 15 menit. Perubahan warna dari

merah menjadi biru mengindikasikan adanya bakteri Salmonella pada sampel

yang diuji. Setelah inkubasi selesai, sebanyak 100 µl larutan penghenti reaksi

(stop solution) ditambahkan ke dalam setiap sumur, kemudian dibaca dengan

menggunakan ELISA reader dengan menggunakan dua filter yaitu filter utama

denagn 450 nm dan filter referensi 620 nm.

Hasil dinyatakan valid apabila nilai OD (optical density) kontrol positif ≥1,

sedangkan kontrol negatif <0.2. Kemudian sampel dikatakan negatif apabila nilai

OD <0.2 dan sampel dinyatakan positif apabila nilai OD ≥0.2.

Setelah sampel diinkubasi selama 24 jam (pra-pengayaan) menggunakan

lactose broth, biakan pra-pengayaan diaduk secara perlahan, kemudian dari

masing-masing biakan diambil 1 ml, lalu dimasukkan ke dalam media 10 ml

tetrathionate broth (TTB) dan 10 ml selenite cystein broth (SCB), sedangkan ke

dalam 10 ml Rappaport-Vassilidiasis (RV) dimasukkan 0.1 ml biakaan pra-

pengayaan. Media TTB dan SCB yang telah berisi sampel kemudian diinkubasi

pada suhu 35±1 °C (inkubator), media RV pada suhu 42±0.2 °C (penangas air)

selama 22-26 jam.

Setelah inkubasi selesai, dua atau lebih koloni dari masing-masing biakan

pengayaan diambil dengan jarum ose dan diinokulasikan pada media agar hektoen

enteric (HE), xylose lysine desoxycholate (XLD) dan bismuth sulfith (BSA).

Media agar diinkubasi selama 24-48 jam pada suhu 36±1 °C. Koloni Salmonella

pada media HE terlihat berwarna hijau kebiruan dengan atau tanpa titik hitam

(H2S). Pada media XLD koloni terlihat merah muda dengan atau tanpa titik

mengkilat atau terlihat hampir seluruh koloni hitam. Pada media BSA koloni

Page 48: Uji Elisa Sapi

31

terlihat keabu-abuan atau kehitaman, kadang metalik, media di sekitar koloni

berwarna coklat dan semakin lama waktu inkubasi maka akan berubah menjadi

hitam.

Identifikasi Salmonella dilakukan dengan mengambil koloni spesifik yang

diduga dari ketiga media tersebut, kemudian diinokulasi ke agar miring triple

sugar iron (TSIA) dan lysine iron (LIA) dengan cara menusukkan ose ke dasar

agar, selanjutnya digores pada bagian agar miring. Kedua agar miring tersebut

diinkubasi selama 24-48 jam pada suhu 36±1 °C. Koloni spesifik Salmonella

diamati dengan hasil reaksi seperti tercantum pada Tabel 4. Biakan positif pada

LIA yang menunjukkan reaksi positif terhadap Salmonella sebaiknya disimpan

untuk pengujian lebih lanjut.

Tabel 4 Hasil uji Samonella sp pada TSIA dan LIA (BAM 2006)

Media Agar miring (slant)

Agar dasar (buttom) H2S Gas

TSIA Alkalin / K (merah) Asam / A (kuning) Positif

(hitam) Negatif/ Positif

LIA Alkalin / K (ungu) Alkalin / K (ungu) Positif (hitam)

Negatif/ Positif

Hasil positif kemudian dilanjutkan dengan menggunakan uji biokimiawi

yang meliputi uji urease, uji indol, uji Voges-Proskeur, uji methyl red, uji lysine

decarboxylase broth (LDB), uji kalium sianida (KCN) dan uji sitrat. Uji gula-

gula yang digunakan meliputi phenol red dulcitol broth, malonate broth, phenol

red lactose broth, dan phenol red sucrose broth.

Uji serologis menggunakan antigen Salmonella Polyvalent Somatic (O) dan

Salmonella Polyvalent Flagellar (H). Uji serologis dilakukan dengan

mereaksikan antigen Salmonella Polyvalent Somatic (O) dan Salmonella

Polyvalent Flagellar (H) dengan koloni yang diduga Salmonella dan terlebih

dahulu telah dilakukan pemurnian. Interpretasi hasil uji biokimia dan uji serologi

dapat dilihat pada Tabel 5.

Page 49: Uji Elisa Sapi

32

Tabel 5 Interpretasi hasil uji biokimia dan uji serologi Salmonella (BAM 2006)

Substrat uji Hasil

Positif Negatif Salmonella

Glucose Tusukan kuning Tusukan merah +

Lysine decarboxilase Tusukan ungu Tusukan kuning +

H2S (TSIA dan LIA) Hitam Tidak hitam +

Urease Ungu -merah - +

Lysine decarboxilase broth Ungu Kuning

Phenol red dulcitol broth Kuning, ada gas Warna tetap, tidak ada gas

KCN broth Ada pertumbuhan Tidak ada pertumbuhan -

Malonat broth Biru Warna tetap -

Indole Permukaan berwarna merah

Permukaan berwarna kuning

-

Phenol red lactose broth Warna kuning dengan/tanpa adanya

gas

Tidak terbentuk dan tidak berubah warna

-

Phenol red sucrose broth Warna kuning dengan/tanpa adanya

gas

Tidak terbentuk dan tidak berubah warna

-

Voges-Proskauer Ungu sampai merah Tidak berubah warna -

Methyl red Merah menyebar kuning menyebar +

Simmons citrate Pertumbuhan warna biru

Tidak ada perubahan -

Polyvalent O (somatic) Aglutinasi Aglutinasi +

Polyvalent H (flagellar) Aglutinasi Aglutinasi +

Analisis Data

Data yang dihasilkan dari penelitian ini dianalisis dengan menggunakan uji

statistik terhadap proporsi sampel positif Salmonella, deskriptif statistik

(Kleinbaum 1994). vUntuk membandingkan efektivitas antara metode pengujian

secara serologis (ELISA) dan metode konvensional, dilakukan dengan

menggunakan bantuan Tabel 2x2 untuk menduga nilai sensitivitas, spesifisitas,

nilai prediktif positif, nilai prediktif negatif dan uji kesesuaian Kappa (Thrusfield

2005). vCara penghitungan tersebut dapat dilihat pada Tabel 6.

Page 50: Uji Elisa Sapi

33

Tabel 6 Tabel 2X2 untuk pengujian diagnosis

Metode Kultur (Standar)

Jumlah Positif Negatif

ELISA

Positif a b a+b

(Positif sebenarnya) (Positif palsu)

Negatif c d c+d

(Negatif palsu) (Negatif sebenarnya)

Jumlah a+c b+d n

Penghitungan dapat dilakukan sebagai berikut :

Sensitivitas = a__

(a+c)

Spesifisitas = d__

(b+d)

Nilai pediktif positif = a__

(a+b)

Nilai pediktif negatif = d__

(c+d)

Positif palsu = b__

(a+b)

Negatif palsu = c__

(c+d)

Prevalensi dugaan = a + b__

(n)

Prevalensi sebenarnya = a + c__

(n)

Dengan menggunakan Tabel 6 di atas, nilai Kappa dapat dihitung untuk

melihat kesesuaian dari dua jenis pengujian, dapat dilakukan sebagai berikut:

Proporsi positif uji baru (Kit ELISA) = a + b__

(n)

Page 51: Uji Elisa Sapi

34

Proporsi positif uji standar (kultur) = a + c__

(n)

Proporsi negatif uji baru (Kit ELISA) = c + d__

(n)

Proporsi negatif uji standar (Kultur) = b + d__

(n)

Proporsi kesesuaian yang nampak = a + d__

(n)

Kesesuaian positif yang diharapkan = [Proporsi (+) uji baru] X [Proporsi (+) uji standar]

Kesesuaian negatif yang diharapkan = [Proporsi (-) uji baru] X [Proporsi (-) uji standar]

Jumlah kesesuaian yang diharapkan = [Kesesuaian positif yang diharapkan] + [Kesesuaian negatif yang diharapkan]

Selisih kesesuaian dari yang nampak = [Proporsi Kesesuaian yang nampak] - [Jumlah kesesuaian yang diharapkan]

Selisih kesesuaian maksimum = 1- [Jumlah kesesuaian yang diharapkan]

Kappa = [Selisih kesesuaian dari yang nampak] / [Selisih kesesuaian maksimum]

Page 52: Uji Elisa Sapi

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sistem Pengemasan dan Pengangkutan Jeroan

Sebelum diekspor, hati sapi utuh terlebih dahulu dikemas dengan plastik

steril, kemudian dimasukkan kedalam karton yang masing-masing berisi 2 atau 3

hati sapi utuh, jumlah tersebut tergantung dari perusahaan pengekspor. Tujuan

penggunaan plastik yaitu untuk mencegah kontaminasi antara hati yang satu

dengan yang lainnya dan juga mencegah kontaminasi dari luar. Plastik digunakan

sebagai pembungkus makanan karena kuat dan kencang, mencegah dari

kelembapan dan gas, tahan terhadap suhu rendah, transparan dan fleksibel.

Pengemasan dapat diartikan sebagai usaha untuk menjamin keamanan produk

selama pengangkutan dan penyimpanan sehingga aman sampai di konsumen

(Brown dalam Herdiana 2007). Menurut Patterson dan Gibbs (1979),

pengemasan dengan menggunakan vacuum packaging dapat memperpanjang 2-3

minggu dari masa penyimpanan hati.

Hati sapi diangkut dengan menggunakan kapal besar yang didisain khusus

sebagai alat pengangkut barang/kontainer. Hati disimpan di dalam kontainer yang

bersuhu -20 °C, bersama-sama dengan produk hewan lainnya misalnya jantung,

daging, lidah dan ekor (buntut). Di dalam kontainer komoditi tersebut tersusun

rapi, dan kontainer disegel menggunakan kunci dengan kode nomor tertentu yang

tercatat dalam dokumen impor dan didisain khusus sehingga selama di perjalanan

kontainer tersebut tidak boleh dibuka. Suhu kontainer tersebut harus tetap terjaga,

stabil dan tercatat selama dalam perjalanan sampai dilakukan pembongkaran

kontainer di instalasi karantina hewan sementara (IKHS).

Lama perjalanan hati sapi dari negara pengekspor ke Indonesia tergantung

dari negara asalnya. Dari Australia memerlukan waktu 5-6 hari, Selandia Baru

sekitar 8-9 hari, dan Kanada sekitar 30-33 hari. Sampai di Indonesia jeroan

tersebut diperiksa kelengkapan administrasi impornya kemudian kontainer di

bawa ke instalasi karantina hewan sementara milik importir yang sudah

mendapatkan ijin (berdasarkan hasil studi kelayakan instalasi) dari Badan

Karantina Pertanian.

Page 53: Uji Elisa Sapi

36

Gambar 3 Kegiatan impor hati, kemasan yang digunakan, dan cara pengambilan sampel hati di Instalasi Karantina Hewan Sementara.

Di instalasi dilakukan pembukaan segel/kunci yang diawasi oleh dokter

hewan karantina yang bertugas, kemudian dilakukan pemeriksaan fisik dan

kesesuaian jumlah serta volume komoditi yang ada berdasarkan dokumen impor.

Apabila dalam pemeriksaan dan pengawasan terdapat hal-hal yang mencurigakan,

misalnya telah terjadi perubahan suhu selama masa perjalanan atau terdapat

komoditi yang mengalami pembusukan, maka dokter hewan yang bertugas segera

melakukan pengambilan sampel dan pengujian laboratorium sesuai pedoman yang

telah ditetapkan kemudian dilanjutkan dengan tindakan karantina.

Pemeriksaan Organoleptik

Hati merupakan salah satu jeroan yang memiliki rasa dan tekstur yang

diminati oleh manusia, hati sebagai salah satu sumber protein hewani yang

dibutuhkan oleh manusia, tetapi hati merupakan media yang baik bagi

Page 54: Uji Elisa Sapi

37

pertumbuhan mikroorganisme (Lukman et al. 2007). Oleh sebab itu, perlu

dilakukan pemeriksaan terhadap keamanan hati, salah satunya dengan

pemeriksaan organoleptik atau sensoris. Prinsip dari pemeriksaan organoleptik

adalah analisis warna, bau, rasa, dan konsistensi dilakukan dengan menggunakan

pancaindera.

Berdasarkan hasil pemeriksaan organoleptik terhadap 60 sampel hati sapi

impor yang berasal dari tiga negara menunjukkan bagian tepi hati tajam atau tidak

ada kebengkakan, bau khas hati (amis), teksturnya lunak, tidak ada

pembendungan dan degenerasi, tidak ada benjolan dan berwarna merah, merah

kecoklatan sampai dengan coklat tua. Warna hati digunakan untuk menentukan

kualitas dari hati tersebut, yaitu untuk hati dengan kualitas baik biasanya berwarna

merah kecoklatan sampai coklat tua, sedangkan untuk kualitas yang buruk

biasanya berwarna biru sampai kehitaman (Pearson dan Dutson, 1988). Dari hasil

pemeriksaan organoleptik menunjukkan bahwa hati sapi yang diimpor dari ketiga

negara tersebut mempunyai kualitas yang baik.

Akurasi Kit ELISA untuk Mendeteksi Salmonella

Deteksi Salmonella spp terhadap hati sapi impor yang melalui pelabuhan

Tanjung Priok telah berhasil dilaksanakan dengan menggunakan dua metode

pengujian yang berbeda, yaitu dengan kit ELISA komersial dan metode kultur

berdasarkan BAM (2006). Prevalensi Salmonella spp terhadap hati sapi impor

dengan menggunakan kit ELISA komersial RIDASCREEN® Salmonella

mencapai 6.7% yaitu 4 positif dari 60 sampel yang diperiksa. Dari 4 sampel

positif, 2 sampel berasal dari Australia dan 2 sampel berasal dari Selandia Baru

dan dari Kanada memperlihatkan hasil negatif. Konfirmasi dilakukan dengan

pengujian menggunakan metode kultur yang merupakan metode standar (BAM

2006).

Hasil pengujian dengan metode kultur (gold standard) menunjukkan

prevalensi Salmonella spp pada hati sapi adalah 5%, yaitu 3 sampel positif dari 60

sampel yang diperiksa. Dari 3 sampel positif, 2 sampel positif berasal dari

Page 55: Uji Elisa Sapi

38

Selandia Baru dan 1 sampel positif berasal dari Australia. Hasil selengkapnya

dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Hasil pengujian Salmonella spp pada hati sapi impor menggunakan metode ELISA dan kultur

Negara pengekspor Salmonella positif

ELISA Kultur

Australia (n=24) 2 1

Kanada (n=6) 0 0

Selandia Baru (n=30) 2 2

Prevalensi (n=60) 4 (6.7%) 3 (5.0%)

Dari hasil pengujian yang diperoleh, terdapat perbedaan hasil antara metode

kultur sebagai uji standar dengan uji serologi yang menggunakan kit ELISA.

Menurut Burgess (1995), umumnya dalam pengujian diagnostik metode

mikrobiologi (kultur) merupakan metode standar (gold standard) yang diakui

mempunyai akurasi pengukuran yang hampir mencapai 100%. Akurasi dari suatu

metode pengujian diukur dan diekspresikan melalui nilai sensitivitas dan

spesifisitasnya (Salman 2008).

Untuk mengetahui sensitivitas dan spesifisitas metode uji yang baru dalam

hal ini kit ELISA, maka hasil pengujian dengan menggunakan kit tersebut dapat

dibandingkan dengan hasil pengujian dengan metode standar (BAM 2006) yang

dituangkan dalam tabel 2x2. Perbandingan terhadap metode standar (gold

standard) seperti ini akan menghasilkan sensitivitas dan spesifisitas yang

sebenarnya untuk uji baru terhadap sensitivitas dan spesifisitas uji standar.

Kemudian menurut Thorner dan Remein (1961) perbandingan metode uji yang

baru terhadap metode tertentu yang sudah divalidasi terlebih dahulu akan

menghasilkan sensitivitas dan spesifisitas relatif terhadap sensitivitas dan

spesifisitas metode tersebut.

Dengan menggunakan Tabel 8 di bawah ini, maka dapat dilakukan

penentuan sensitivitas, spesifisitas, nilai prediktif positif, dan nilai prediktif

negatif dari kit ELISA, serta menghitung statistik kappa untuk mengukur seberapa

Page 56: Uji Elisa Sapi

39

besar kesesuaian diantara hasil-hasil pengujian dalam mendeteksi Salmonella spp

pada hati sapi yang diimpor (Martin dan Bonnet 1987).

Tabel 8 Proporsi populasi yang diklasifikasi-silangkan berdasarkan hasil uji dengan metode berbeda

Metode Kultur (standar)

Jumlah Positif Negatif

ELISA kit Positif 3 1 4

Negatif 0 56 56

Jumlah 3 57 60

Berdasarkan Tabel 8 dengan tingkat kepercayaan 95% maka diperoleh

sensitivitas kit ELISA 100%, spesifisitas kit 98%, nilai prediktif positif 75%, dan

nilai prediktif negatif 100% (Lampiran 4). Nilai sensitivitas tersebut diperoleh

dari jumlah sampel hati yang memberikan hasil positif dengan kedua metode uji

(true positive) dibagi dengan sampel hati yang benar-benar terkontaminasi

Salmonella spp, dengan kata lain sensitivitas adalah proporsi hati sapi yang

terkontaminasi Salmonella spp yang memberikan hasil uji positif, sekaligus dapat

digunakan untuk mengetahui kemampuan metode uji yang bersangkutan untuk

mendeteksi adanya negatif palsu.

Nilai spesifisitas diperoleh dari jumlah sampel hati yang memberikan hasil

negatif dengan kedua metode uji (true negative) dibagi dengan sampel hati yang

tidak benar-benar terkontaminasi Salmonella spp, dengan kata lain spesifisitas

adalah proporsi hati sapi yang tidak terkontaminasi Salmonella spp yang

memberikan hasil uji negatif, sekaligus dapat digunakan untuk mengetahui

kemampuan metode uji yang bersangkutan untuk mendeteksi adanya positif palsu

(Budiharta dan Suardana 2007).

Sensitivitas dan spesifisitas kit ELISA merupakan ciri uji diagnostik yang

harus dimiliki oleh sebuah alat uji dan dibutuhkan dalam membuat kajian

epidemiologi suatu penyakit. Sensitivitas dan spesifisitas digunakan sebagai

ukuran kinerja yang cenderung dihasilkan oleh uji tersebut dalam populasi.

Page 57: Uji Elisa Sapi

40

Nilai prediktif positif adalah proporsi hati sapi terkontaminasi Salmonella

spp (true positive) diantara sampel yang bereaksi positif terhadap pengujian

dengan kit ELISA, sedangkan nilai prediktif negatif adalah proporsi hati sapi yang

tidak terkontaminasi Salmonella spp (true negative) diantara sampel yang bereaksi

negatif terhadap pengujian dengan kit ELISA. Pada penelitian ini didapatkan nilai

prediktif positif kit ELISA mencapai 75%. Hal ini menunjukkan dari 4 sampel

hati yang memberikan hasil positif hanya 75% sampel yang benar-benar

terkontaminasi Salmonella spp atau dengan kata lain terdapat 1 sampel positif

palsu.

Nilai prediktif negatif sebesar 100%, hal ini berarti sampel yang

memberikan hasil negatif benar-benar merupakan sampel yang negatif atau

dengan kata lain tidak terdapat sampel yang memberikan hasil negatif palsu. Nilai

prediktif tidak hanya dipengaruhi oleh sensitivitas dan spesifisitas, tetapi

dipengaruhi oleh prevalensi sebenarnya (true prevalence) dalam suatu populasi.

Prevalensi sebenarnya merupakan hal yang sulit diketahui maka tidak dapat secara

langsung dianggap bahwa suatu pengujian yang memiliki nilai prediksi tertinggi

selalu paling sensitif dan spesifik.

Positif palsu sering terjadi pada uji serologi terhadap bakteri hal ini

disebabkan oleh adanya reaksi silang antara beberapa spesies bakteri. Seperti

diketahui bahwa beberapa bakteri mempunyai kemiripan pada beberapa struktur

tubuhnya, misalnya bakteri yang termasuk dalam bakteri gram negatif yang

mempunyai struktur dinding sel yang sama yaitu mempunyai lipopolisakarida.

Pada penelitian ini dengan menggunakan uji ELISA diperoleh 1 sampel

memberikan hasil positif palsu. Sebagai uji tapis, kit RIDASCREEN®Salmonella

dikembangkan dengan menggunakan monoclonal antibody terhadap antigen

somatik O pada rantai samping O lapisan lipopolisakarida yang melekat pada

dinding sel Salmonella dan diketahui sebagai determinan virulensi pada

Salmonella. Antigen somatik O terdapat pada semua genus Salmonella tetapi

beberapa bakteri Enterobactericeae misalnya Citrobacter dan Providencia juga

mempunyai antigen somatik O, sehingga kemungkinan akan menyebabkan

terjadinya reaksi silang dan menghasilkan positif palsu (Burgess 1995).

Page 58: Uji Elisa Sapi

41

Kit ELISA ini mempunyai potensi terhadap munculnya negatif palsu karena

berdasarkan informasi dari produsen, kit tersebut mempunyai limit deteksi 1-5

sel/25 g sampel atau setara dengan 104 Salmonella/ml setelah pengayaan (R-

biopharm 2007). Hal ini berarti apabila Salmonella yang mengkontaminasi pada

hati kurang dari 1-5 sel maka besar kemungkinan tidak dapat terdeteksi oleh kit

ELISA ini.

Pada penelitian ini juga dilakukan pengujian secara serologis terhadap lima

jenis kultur bakteri untuk melihat spesifisitas dari kit ELISA serta mengetahui

kemungkinan adanya reaksi silang dengan spesies bakteri lainnya. Lima jenis

bakteri tersebut terdiri dari empat jenis bakteri gram negatif yaitu Salmonella

typhimurium, Salmonella typhi, Eschericia coli, dan Shigella sonei, serta satu

jenis bakteri gram positif yaitu Staphylococcus aureus. Bakteri-bakteri tersebut

diuji menggunakan kit ELISA tanpa melalui tahapan pengayaan dan dengan

tahapan pengayaan terlebih dahulu selama 16 jam pada buffered peptone water.

Hasil pengujian dikatakan valid apabila optical density (OD) dari kontrol

positif ≥1.0 dan OD dari kontrol negatif <0.2. Kemudian sampel dinyatakan

negatif jika OD <0.2 dan sampel dinyatakan positif apabila OD ≥2.0. Hasil

pengujian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nilai OD pada kedua spesies

Salmonella yang melalui pengayaan dan tanpa pengayaan.

Tabel 9 Spesifisitas kit ELISA yang di uji terhadap bakteri gram negatif dan bakteri gram positif

Bakteri Nilai OD 450 Hasil

ELISA Hasil Kultur Tanpa

pengayaan Setelah

Pengayaan

Salmonella typhimurium 1.031 1.941 + +

Salmonella typhi 1.150 2.268 + +

Eschericia coli 0.054 0.062 - -

Shigella sonei 0.052 0.059 - -

Staphylococcus aureus 0.046 0.049 - -

Kontrol negatif Kontrol positif Cut off

0.045 1.313 0.200

Page 59: Uji Elisa Sapi

42

Dari Tabel 9 terlihat bahwa nilai OD dari kedua spesies Salmonella yang

melalui pengayaan lebih tinggi dari bakteri yang tidak melalui pengayaan, tetapi

kedua spesies bakteri tersebut mempunyai nilai OD lebih besar dari nilai cut off

yaitu 0.200. Hasil pengujian pada bakteri gram negatif lainnya yaitu E. coli dan

Shigella sonei baik yang melalui pengayaan dan tanpa pengayaan memberikan

nilai OD yang lebih kecil dari cut off, sehingga dikatakan negatif atau tidak terjadi

adanya reaksi silang. Bakteri gram positif yaitu S. aureus memiliki nilai OD lebih

rendah dari cut off.

Pada penelitian ini dilakukan analisis uji kesesuaian dengan statistik kappa

terhadap pengujian menggunakan kit ELISA untuk mendeteksi kontaminasi

Salmonella spp pada hati sapi impor. Dari data pada Tabel 7 menyatakan bahwa

pengujian standar memberikan prevalensi kontaminasi Salmonella spp pada hati

sapi impor sebesar 5.0%, sedangkan dengan menggunakan kit ELISA komersial

prevalensi sebesar 6.7%, dan kedua uji sama-sama memberikan reaksi positif

terhadap 5% dari keseluruhan sampel yang diperiksa. Data ini tidak memberikan

indikasi bahwa reaksi positif berarti status terinfeksi dan reaksi negatif berarti

status tidak terinfeksi. Hal ini hanya memberikan indikasi bahwa pengujian

dengan menggunakan kit ELISA memberikan proporsi positif lebih besar dari

pada pengujian standar, sehingga perlu menghitung kesesuaian antara kedua

pengujian tersebut. Nilai kappa adalah rasio antara nilai selisih kesesuaian dari

yang nampak dengan nilai selisih kesesuaian maksimum (Thrusfield 2005).

Dari hasil analisis perhitungan, nilai kappa diperoleh sebesar 0.848

(Lampiran 5). Menurut Fleiss et al. (2003) yang diacu dalam Thrusfield (2005),

nilai kappa ≥0.75 mengindikasikan kesesuaian sangat baik (excellent agreement),

sedangkan nilai kappa ≤0.4 menunjukkan kesesuaian jelek (poor agreement).

Menurut standar Everitt (1998) yang diacu dalam Thrusfield (2005) nilai kappa

>0.81 mengindikasikan kesesuaian sangat baik (almost perfect agreement), 0.61-

0.80 kesesuaian baik (substantial agreement), 0.41-0.60 kesesuaian sedang

(moderate agreement), 0.21-0.40 kesesuaian kurang (fair agreement), 0.21-0

kesesuaian buruk (slight agreement) dan 0 menunjukkan kesesuain sangat buruk

(poor agreement). Berdasarkan kedua standar tersebut maka nilai kappa 0.848

menyatakan tingkat kesesuaian yang sangat baik, antara uji menggunakan kit

Page 60: Uji Elisa Sapi

43

ELISA dan metode kultur. Nilai kesesuaian yang diperoleh tersebut di luar dari

pada faktor kebetulan yang mungkin terjadi (Martin dan Bonnet 1987).

Dengan demikian kit ELISA ini dapat direkomendasikan untuk digunakan

di karantina sebagai uji tapis karena memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang

baik. Menurut Salman (2008), dalam memilih metode uji untuk keperluan uji

tapis terutama untuk mendeteksi kontaminasi bakteri patogen pada makanan,

maka nilai sensitivitas yang tinggi menjadi pertimbangan utama karena semakin

tinggi nilai sensitivitas maka semakin kecil diperoleh adanya negatif palsu. Hal

yang sama juga dikemukakan oleh Burgess (1995), metode ELISA sebagai uji

tapis dalam mendeteksi Salmonella pada makanan harus mempunyai minimal

kriteria sebagai berikut, yaitu mampu mendeteksi 2500 serotipe dari Salmonella

spp dan juga mempunyai sensitivitas yang baik untuk mendeteksi patogen pada

level tertentu.

Keuntungan dari penggunaan kit ELISA ini adalah dari segi waktu

pengujian, karena hanya membutuhkan waktu 24-30 jam (±2 hari) sedangkan

pengujian dengan metode kultur membutuhkan waktu selama 168 jam (± 7 hari)

sehingga dapat menghemat waktu sampai 5 hari. Di samping itu dari segi

ekonomi pengujian dengan kit ELISA relatif lebih murah dibandingkan dengan

metode kultur terutama jika sampel yang diuji dalam jumlah besar. Pengujian

dengan kit ELISA lebih efisien dibandingkan dengan metode kultur terutama dari

segi jenis bahan dan reagen yang digunakan. Dalam penggunaan kit ELISA ini

dibutuhkan beberapa faktor penting yang harus diperhatikan antara lain: penangan

terhadap kit ELISA, masa kadaluarsa kit ELISA, peralatan yang digunakan dalam

pengujian sudah terkalibrasi dengan baik serta keterampilan dan pengalaman

analis dalam melakukan pengujian (Burgess 1995).

Penelitian yang sama telah dilakukan untuk membandingkan beberapa kit

komersial terhadap metode standar baik pada bahan pangan maupun pada sampel

lingkungan seperti feses yang terkontaminasi Salmonella spp. Salah satu kit

ELISA untuk mendeteksi kontaminasi Salmonella spp pada makanan yang sudah

divalidasi adalah Salmonella-TEK. Dari hasil penelitian tersebut diperoleh bahwa

kit mampu mendeteksi Salmonella spp pada konsentrasi yang sangat rendah (1-5

CFU/25 g) dan tidak menunjukkan adanya reaksi silang dengan bakteri gram

Page 61: Uji Elisa Sapi

44

negatif lainnya (Poucke 1990). Kemudian Peplow et al. (1999) melakukan kajian

terhadap sensitivitas dan spesifisitas dari 3 jenis kit yang dikembangkan oleh

perusahaan yang berbeda untuk mendeteksi kontaminasi Salmonella spp pada

feses unggas yang mengkontaminasi lingkungan.

Prevalensi Salmonella spp pada Hati Sapi Impor

Berdasarkan laporan dari Gill (1981), yang diacu dalam Pearson dan Dutson

(1988), prevalensi Salmonella spp pada hati mencapai 1-5%. Dalam penelitian ini

keberadaan Salmonella pada hati sapi impor telah berhasil dideteksi dengan

prevalensi keseluruhan mencapai 5%. Hasil dapat di lihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Prevalensi Salmonella sp pada hati sapi yang diimpor melalui pelabuhan Tanjung Priok.

Negara

pengekspor Jumlah sampel

(n) Sampel positif

(Kultur) Prevalensi

(%) Australia 24 1 4.16 Kanada 6 0 0

Selandia Baru 30 2 6.67

Dari Tabel 10 dapat dilihat bahwa prevalensi Salmonella spp pada hati yang

diimpor dari Australia mencapai 4.16% dan Selandia Baru mencapai 6.67%.

Sampel hati dari Kanada memberikan hasil negatif terhadap kedua metode

pengujian yang digunakan. Hasil negatif tersebut tidak dapat dikatakan bahwa

hati yang diimpor dari Kanada tidak terkontaminasi Salmonella. Hal ini

disebabkan karena frekuensi impor hati dari Kanada sangat kecil sehingga

proporsi sampel yang bisa diambil berdasarkan metode pengambilan sampel

probability proportional to size (McGinn 2004) jumlahnya sangat sedikit.

Kemungkinan lainnya adalah prevalensi dugaan yang digunakan dalam

penghitungan jumlah sampel yang akan diambil sebanyak 5%, sedangkan

berdasarkan Johnson et al. (1999) prevalensi Salmonella pada karkas mencapai

1.6% sehingga untuk mendeteksi kontaminasi Salmonella pada hati yang berasal

dari Kanada harus dibutuhkan jumlah sampel yang lebih banyak. Mikroorganisme

patogen lain yang telah diisolasi dari hati sapi adalah Clostridia dengan prevalensi

Page 62: Uji Elisa Sapi

45

bervariasi antara 32-75%, Clostridium perfringens dengan prevalensi 12%, bakteri

gram positif berbentuk coccus dengan prevalensi 80%, dan E. coli dengan

prevalensi 10% (Pearson dan Dutson 1988).

Pada dasarnya sumber pencemaran mikroorganisme pada hati dibagi

menjadi dua bagian yaitu, sumber pencemaran dari dalam (intrinsik) dan sumber

pencemaran dari luar (ekstrinsik) (Lukman 2007). Sumber pencemaran intrinsik

Salmonella spp berasal dari sapi yang menderita salmonelosis pada saat dipotong

sehingga Salmonella bermanifestasi pada beberapa jaringan tubuh misalnya pada

bagian parenkim hati, prevalensi yang pernah dilaporkan mencapai 2% (Samuel et

al. 1980). Salmonella juga dapat diisolasi dari jejunal dan caecal lymph node

dengan prevalensi mencapai 30%. Caecal lymph node lebih sering terifeksi

dibandingkan dengan jejunal lymph node, tetapi perbedaannya tidak signifikan,

sehingga dapat disimpulkan bahwa mesenteric lymph node dapat menjadi sumber

penularan Salmonella pada karkas dan produk lainya (Moo et al. 1980). Menurut

Rivera (2004), kulit hewan dan pagar kandang penampungan hewan di RPH

merupakan sumber infeksi Salmonella yang utama pada hewan yang akan

dipotong.

Pencemaran ekstrinsik berasal dari berbagai sumber baik pada saat dan

setelah proses pemotongan. Sumber kontaminasi berasal dari feses yang

mengandung Salmonella dengan prevalensi 6.8%, kemudian 68% pada kulit, 29%

pada rongga mulut, dan 25% dari rumen pada saat proses pemotongan di RPH

(Fegan et al. 2004; Fegan et al. 2005). Samuel et al. (1980) menyatakan bahwa

prevalensi Salmonella pada hati pada saat proses pengeluaran jeroan (eviserasi)

mencapai 32%. Sumber pencemaran Salmonella dapat juga melalui peralatan

yang digunakan di RPH, yang kontak dengan bagian sapi yang mengandung

Salmonella, antara lain melalui pisau yang digunakan pekerja RPH dengan

prevalensi 14% (Smeltzer dan Thomas 1981), baja pengasah pisau 65%, plastik

apron 14%, pada pakaian pelindung petugas pengangkat karkas 41%, dan tiang

gedung RPH 30% (Smeltzer et al. 1980a).

Pekerja di RPH juga merupakan sumber kontaminasi Salmonella terutama

pada tangan yang kontak dengan kulit dan kemudian menangani karkas dan

produknya. Hal ini dilaporkan oleh Smeltzer et al. (1980b) bahwa Salmonella

Page 63: Uji Elisa Sapi

46

dapat diisolasi dari 52% tangan pekerja di RPH. Salmonella dapat diisolasi dari

kemasan eksternal daging dan produknya dengan prevalensi <1% (Burgess et al.

2005).

Kontaminasi Salmonella dipengaruhi oleh kemampuan bakteri tersebut

bertahan pada suatu lingkungan tertentu dan jumlah dari bakteri tersebut pada saat

mengkontaminasi. Menurut Kusumaningrum et al. (2001) S. enteritidis dapat

bertahan selama 4 hari pada suhu ruang dengan konsentrasi bakteri 107 CFU/100

cm2, selama 1 hari pada konsentrasi bakteri yang 105 CFU/100 cm2, dan mampu

bertahan selama 1 jam pada konsentrasi bakteri103 CFU/100 cm2.

Pencemaran Salmonella pada Pangan dan Pengendaliannya

Hampir semua bahan makanan yang berasal dari produk hewan merupakan

wahana Salmonella. Pada umumnya wahana infeksi Salmonella pada manusia

berasal dari unggas, babi, sapi, telur, susu dan produknya. Di Amerika Serikat,

sapi dan produknya merupakan sumber infeksi Salmonella pada manusia,

sedangkan di Inggris, unggas dan produknya bertanggung jawab terhadap lebih

dari 50% wabah Salmonella, sementara pada sapi hanya 2%. Dibeberapa negara

di Eropa, poultry dan babi umumnya merupakan sumber infeksi (WHO 1988). Di

Amerika Serikat, hasil surveilans sampai pertengahan tahun 2008 menunjukkan

prevalensi Salmonella mencapai 5.8% pada ayam pedaging, 2.2% pada daging

sapi, 17.8% pada daging ayam, dan 16.1% pada daging kalkun.

Dosis yang dapat menimbulkan gejala infeksi bervariasi tergantung kepada

spesies dan serotipenya seperti yang dikatakan Sudarwanto (2007) S. barely

1.3x105/g, S. anatum 4.5x105/g, S. newport 105/g, S. pullorum 1.3x109/g, S. east

bourne 102/g, dan S. typhimurium jumlah sedikit sudah menimbulkan penyakit.

Salmonella dengan masa inkubasi 12-36 jam tetapi bisa mencapai 5-72 jam

dengan gejala sakit kepala, rasa mual, kadang muntah, sakit perut, diare, dan

demam ringan. Pada penelitian ini tidak dilakukan karakterisasi untuk

menentukan serotipe terhadap sampel yang positif. Umumnya serotipe

Salmonella yang pernah diisolasi dari hati sapi di Australia adalah S. adelaide, S.

anatum, S. bovis-morbifican, S.bredeney, S.chester, S. give, S. havana, S. litcfield,

Page 64: Uji Elisa Sapi

47

S. muenchen, S. newington, S. newport, S. saint-paul, S. typhimurium, dan S.

virchow (Samuel et al.1980).

Kemudian yang menjadi kekhawatiran saat ini terhadap aspek kesehatan

manusia diberbagai negara di dunia adalah munculnya beberapa serotype

Salmonella yang resisten terhadap antibiotik. Penggunaan antibiotik secara terus

menerus, baik dalam rangka pengobatan maupun penggunaan antibiotik sebagai

pemacu pertumbuhan pada industri peternakan dapat berpotensi menyebabkan dan

menyebarkan resistensi antibiotik dari beberapa mikroba. Dalam beberapa tahun

terakhir isolat Salmonella yang berhasil diisolasi dari produk hewan mengalami

peningkatan terhadap serotipe Salmonella yang resisten terhadap antibiotik.

Berdasarkan laporan Chen et al. (2004), dari 133 isolat Salmonella dari

sampel daging yang diperiksa, terdapat 82% isolat Salmonella yang resisten

terhadap antibiotik. Jenis antibiotik yang diperoleh dari Salmonella yang

mengalami resistensi terhadap tetrasiklin (68%), streptomisin (61%),

sulfametoksazol (42%), dan ampisilin (29%). Dengan demikian perlu

dikembangkan teknik molekular genetik yang dapat digunakan untuk karakterisasi

Salmonella yang resisten terhadap antibiotik, khususnya Salmonella enterica

serovar Typhimurium DT104.

Penelitian ini memberikan gambaran adanya kontaminasi Salmonella spp

pada hati sapi yang diimpor bahkan adanya kemungkinan terdeteksi serotipe

Salmonella yang resisten terhadap antibiotik. Hal ini harus mendapat perhatian

yang sangat serius karena menyangkut keamanan pangan. Berdasarkan Undang

Undang Pangan nomor 7 tahun 1996, keamanan pangan merupakan kondisi dan

upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran

bologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan

membahayakan kesehatan manusia. Indonesia menetapkan standar mengenai

batas maksimum cemaran mikroba dan batas maksimum residu dalam bahan

makanan asal ternak yang dituangkan dalam SNI No. 01- 6366-2000. Dalam

standar tersebut ditetapkan bahwa batas maksimum Salmonella dalam bahan

makanan asal ternak (daging, susu, dan telur) adalah negatif. Standar tersebut

berlaku untuk produk asal hewan yang diimpor maupun produksi dalam negeri.

Page 65: Uji Elisa Sapi

48

Berdasarkan data hasil monitoring dan surveilans residu dan cemaran

mikroba oleh BPMPP (2008), kontaminasi Salmonella pada tahun 2006 mencapai

3.3% dari 605 sampel daging ayam yang di ambil dari 11 propinsi di Indonesia,

sedangkan tahun 2007 mencapai 1.94% dari 309 sampel yang terdiri dari 197

daging ayam dan 112 daging sapi yang diambil dari 7 propinsi di Indonesia. Dari

data tersebut dapat dilihat bahwa Salmonella sp pada produk asal hewan masih

dapat dideteksi dengan jumlah sampel yang masih sangat terbatas dan belum

sesuai dengan standar SNI yang ditetapkan.

Demam tifoid masih menjadi problem utama di beberapa negara

berkembang termasuk Indonesia (Soewandojo et al. 1998). Dari 16 juta kasus

demam tifoid, terdapat kematian sebesar 600000 jiwa. Insiden salmonelosis tifoid

ini cenderung lebih konstan, dengan kasus yang tidak sebanyak kasus

salmonelosis non-tifoid. Insiden salmonelosis non-tifoid terus meningkat di

seluruh dunia. Kasus tersebut tercatat mencapai 1.3 miliar dari kasus

gastroenteritis akut atau diare dengan 13 juta kematian (Portillo 2000).

Di Amerika Serikat kira-kira sebanyak 5 juta kasus salmonelosis, 60-80 %

diantaranya terjadi secara sporadik, tetapi sebagian besar kasus terjadi berasal dari

makanan yang tercemar. Di Massachusetts, 50% lebih S. enteritidis dan S.

typhimurium dapat diisolasi dari kasus yang terjadi (CDC 2001). Kejadian

salmonelosis tifoid di Amerika Selatan yaitu1:650 per tahun, lebih rendah

dibandingkan dengan negara-negara di benua yang berbeda seperti Indonesia dan

Papua New Guinea yaitu 1:100 per tahun (Portillo 2000).

Selama periode tahun 80-an, Indonesia merupakan salah satu negara dengan

insiden demam tifoid tertinggi di dunia (Suwandono et al. 2005). Hasil dari studi

epidemiologi dan survei rumah tangga memperlihatkan bahwa angka morbiditas

untuk daerah semi pedesaan adalah 358/100 000 penduduk dan angka ini

meningkat mencapai 810/100 000 penduduk untuk daerah perkotaan, disertai

kecenderungan peningkatan karena program vaksinasi untuk penyakit ini telah

dihentikan sejak tahun 1980 (Arjoso dan Simanjuntak 1998; Sudarmono et al.

2001).

Data dari rumah sakit yang menangani penyakit infeksius di Jakarta

melaporkan bahwa kasus demam tifoid terus meningkat, dari 11.4% menjadi

Page 66: Uji Elisa Sapi

49

18.9% selama tahun 1983- 1990. Pada periode tahun 1991-1996 penyakit

meningkat dari 22% sampai 36.5%. Insiden demam tifoid yang dilaporkan oleh

pusat kesehatan dan rumah sakit di Jakarta menyebutkan bahwa penyakit terus

meningkat dari 92% menjadi 125% per 100 000 penduduk per tahun selama tahun

1994-1996 (Suwandono et al. 2005). Angka mortalitas penyakit menurun dari

3.4% pada tahun 1981 menjadi 0.6% pada tahun 1996, angka ini telah

menunjukkan adanya penurunan berkaitan dengan adanya perbaikan fasilitas

kesehatan (Arjoso dan Simanjuntak 1998).

Diperkirakan demam tifoid terjadi sebanyak 60 000 hingga 1 300 000 kasus

dengan sedikitnya 20 000 kematian per tahun. Hampir 80% kasus demam tifoid

ditemukan pada anak-anak/dewasa, usia antara 5 sampai 29 tahun (Suwandono et

al. 2005). Arjoso dan Simanjuntak (1998) melaporkan bahwa kelompok yang

mudah terpapar kasus tersebut sebagian besar terjadi pada umur 3-19 tahun.

Demam tifoid merupakan penyakit yang serius di Jakarta Utara. Estimasi

insiden demam tifoid di Jakarta Utara sangat tinggi (200/100 000 untuk semua

umur) sedang pada anak-anak lebih tinggi. Insiden demam tifoid terus meningkat,

pada tahun 2001 sebesar 680/ 100 000 penduduk dan pada tahun 2002 menjadi

1426/100 000 penduduk. Insiden demam tifoid ini dianggap tinggi jika terjadi

pada 100/100 000 penduduk atau lebih (Suwandono et al. 2005).

Pada periode 1999-2003 di Balai Besar Penelitian Veteriner (BBalitvet)

telah mengisolasi Salmonella spp. dari manusia sebanyak 59 isolat. Isolat-isolat

tersebut adalah: S. typhimurium, S. enteritidis, S. worthington, S. lexington, S.

agona, S. weltervreden, S. bovismorbificans, S. dublin, S. newport, S11.

(stellenbosch), S. virchow dan S. virginia (Poernomo 2004). Sudarmono et al.

(2001) melaporkan bahwa selama bulan April 1998 sampai dengan bulan Maret

1999, salmonelosis non-tifoid pada manusia yang paling umum terjadi disebabkan

oleh S. aequaticus, S. derby, S. enteritidis, S. javana, S. lexington, dan S. virchow.

Tingginya kontaminasi Salmonella pada pangan asal hewan dan banyaknya

kasus salmonelosis pada manusia menyebabkan perlunya peningkatan

pengawasan secara ketat oleh semua pihak. Oleh karena itu, diperlukan standar

surveilan dan monitoring kontaminasi Salmonella pada pangan asal hewan dan

manusia secara periodik, dengan jumlah sampel yang dapat mewakili populasi dan

Page 67: Uji Elisa Sapi

50

menggunakan metode pengujian yang lebih cepat dan tepat. Salah satu metode

pengujian biomolekuler yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan

metode polymerse chain reaction. PCR dapat digunakan untuk menetukan

serotipe secara langsung melalui deteksi DNA. Disamping itu metode ini dapat

digunakan untuk membantu penelusuran sumber-sumber infeksi jika terjadi

wabah Salmonelosis.

Berbeda dengan Indonesia, penerapan jaminan keamanan pangan di

beberapa negara di dunia, terutama terhadap standar Salmonella. Beberapa negara

hanya mempersyaratkan pengawasan yang sangat ketat dan menerapkan prinsip

jaminan keamanan pangan from farm to table. Sebagai contoh jaminan keamanan

pangan di berbagai negara di Uni Eropa berdasarkan undang-undang yang disebut

sebagai General Principles of Food Law in the European Union. Isinya antara

lain adalah produsen harus memberikan informasi secara akurat dan jujur kepada

konsumen, tidak hanya kandungan nutrisi tetapi juga proses penanganan produksi

dan distribusi mulai dari farm sampai ke konsumen akhir. Di Jepang penerapan

jaminan keamanan pangan telah menetapkan persyaratan sistem jaminan mutu

HACCP untuk proses penanganan produksi pangan, artinya hanya produk pangan

yang proses produksinya mengikuti sistem jaminan mutu HACCP yang dapat

masuk ke pasar Jepang (Murdiati 2006).

Penerapan jaminan keamanan pangan di Amerika Serikat sejak Desember

1999 telah memberlakukan sistem jaminan mutu HACCP bagi produk pangan

terutama hasil ternak yang masuk pasar Amerika Serikat. Pengawasan regulasi

tersebut dilakukan oleh Food Safety and Inspecton Service (FSIS). Konsumen

yang dirugikan karena mengonsumsi pangan yang tidak aman dapat menggugat di

pengadilan sipil sedangkan operator yang gagal menunaikan kewajibannya

memproduksi dan mengedarkan pangan yang tidak aman bertanggung jawab

langsung menghadapi ancaman gugatan sipil dan tindakan penegakan hukum dari

otoritas kompeten. Selain itu untuk menjamin pangan aman dari terorisme dan

mencegah terorisme melalui pangan, maka dikeluarkan undang-undang

Bioterorisme atau the Bioterrorism Act (TBA). Ditinjau dari keamanan pangan,

TBA menggunakan prinsip from farm to table.

Page 68: Uji Elisa Sapi

51

Standar internasional terhadap jaminan keamanan pangan ditetapkan oleh

Codex Alimentarius Comission (CAC). Standar Codex meliputi standar pangan

(makanan) pokok, makanan yang diproses, pangan setengah proses, dan pangan

mentah. Perbedaan peraturan antara satu negara dengan negara lain dapat menjadi

hambatan teknis atau hambatan non-tarif dalam perdagangan pangan antar negara.

Codex berupaya mengurangi hambatan tersebut dengan mengeluarkan standar

yang diharapkan dapat diterima oleh negara-negara yang melakukan perdagangan

internasional. Sampai saat ini Codex belum menetapkan standar kontaminasi

Salmonella pada pangan segar asal hewan. Codex hanya mempersyaratkan

pengawasan terhadap setiap rantai produksi untuk mencegah, mengeliminasi dan

mereduksi kontaminasi Salmonella pada pangan asal hewan, serta mewajibkan

sistem monitoring dan surveilans secara periodik.

Dalam kegiatan importasi pangan asal hewan, analisis risiko menjadi makin

penting. Analisis risiko diperlukan karena tuntutan yang makin kuat akan

konsistensi penerapan perlakuan terhadap setiap negara dalam perdagangan

global. Perlakuan yang berbeda terhadap suatu negara hanya boleh berdasarkan

aspek teknis semata. Ketentuan perjanjian Sanitary and Phytosanitary (SPS)

menetapkan penerapan sistem keamanan pangan harus berdasarkan analisis risiko

yang terdiri dari penilaian risiko, manajemen risiko, dan komunikasi risiko dari

bahaya yang ada dalam pangan terhadap kesehatan manusia.

Jaminan keamanan pangan di Indonesia menjadi tanggung jawab semua

pihak yang terkait, antara lain pemerintah, pelaku industri (dalam hal ini di tingkat

produksi, peternakan, processing, pengecer, dan restoran), konsumen dan media.

Pemerintah bertanggung jawab terhadap penyediaan peraturan, undang-undang

dan penegakan hukum, pemberian bimbingan dan pendidikan keamanan pangan,

melakukan surveilan dan pengumpulan data, serta penyediaan dana penelitian.

Pelaku industri bertanggung jawab terhadap penerapan HACCP, Good

Manufacturing Practices (GMP), penyediaan sarana dan teknologi.

Konsumen diharapkan dapat mengerti tentang keamanan pangan,

pengetahuan tentang penyimpanan, penyiapan dan pegolahan pangan yang benar,

penerapan higiene dan kebersihan serta sikap dan tindakan yang mendukung

Page 69: Uji Elisa Sapi

52

keamanan pangan. Media bertanggung jawab memberikan informasi yang benar

terhadap semua aspek yang berhubungan dengan keamanan pangan.

Sebagai pintu terdepan dalam kegiatan ekspor impor, institusi karantina

hewan wajib mendukung jaminan keamanan pangan terutama impor hewan dan

produk hewan untuk konsumsi manusia. Karantina hewan selayaknya

meningkatkan pengawasan terhadap kegiatan impor hewan dan produk hewan

terutama dari aspek keamanan pangan dalam rangka mendukung kesehatan

masyarakat veteriner. Oleh sebab itu, karantina harus selalu mengembangkan

teknik dan metode pengujian yang cepat, tepat dan akurat dalam rangka

menunjang kegiatan perkarantinaan di Indonesia. Jaminan keamanan pangan

tidak akan tercapai tanpa kerjasama dan koordinasi di antara semua pihak yang

terlibat dalam rantai pangan (from farm to table).

Page 70: Uji Elisa Sapi

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Hati sapi yang diimpor ke Indonesia terkontaminasi Salmonella spp dengan

prevalensi mencapai 5%.

2. Kit RIDASCREEN® Salmonella merupakan uji tapi yang handal dengan

sensitivitas 100%, spesifisitas 98%, nilai prediktif positif 75% dan nilai

preidiktif negatif 100%.

3. Kit RIDASCREEN® Salmonella mempunyai nilai kappa 0.848, yang

menunjukkan kesesuaian yang sangat baik dengan metode standar (kultur).

4. Kit RIDASCREEN® Salmonella dapat direkomendasikan untuk digunakan

sebagai uji tapis dalam mendeteksi Salmonella spp pada hati sapi impor.

Saran

1. Perlu pengembangan teknik diagnosa yang lebih cepat, tepat dan akurat untuk

mendeteksi Salmonella.

2. Perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut di lapangan terhadap kit ELISA dan perlu

kajian secara biomolekuler terhadap sumber Salmonella di hati

Page 71: Uji Elisa Sapi

DAFTAR PUSTAKA

Adams MR, Moss MO. 1995. Food Microbiology. Cambridge: RSC. Inggris.

Arjoso S, Simanjuntak CH. 1998. Typhoid and salmonellosis in Indonesia. Med J Indonesia 70: 20-23.

Arroyo G, Arroyo JA. 1995. Detection of Salmonella serotypes in edible organ meats from markets in Madrid, Spain. Food Microbiol 12:13-20.

Bahri S, Indrianingsih, Widiastuti R, Murdiati TB, Maryam R. 2000. Keamanan Panganasal ternak: Suatu tuntutan di era perdagangan bebas. Wartazoa 12:47-64.

Baloda S, Christensen L, Trajcevska S. 2001. Persistence of a Salmonella enterica serovar Typhimurium DT12 clone in a piggery and in agricultural soil amended with Salmonella-contaminated slurry. Appl Environ Microbiol 67:2859-2862.

[BAM] Bacteriological Analytical Manual. 2006. Salmonella. Revision. U.S. Food and Drug Administration. Center for Food Safety and Applied Nutrition. Edition 8th. Chapter 5. Amerika Serikat.

Barham AR, Barham BL, Johnson AK, Allen DM, Blanton JR, Miller MF. 2002. Effects of the transportation of beef cattle from the feedyard to the packing plant on prevalence levels of Escherichia coli O157 and Salmonella sp. J Food Protect 65: 280-283.

Baumler AJ, Tsolis R, Ficht TA, Adams G. 1998. Minireview: evolution of host adaptation in Salmonella enterica. Infec Immunity 66: 4579–4587.

Bell RG. 1997. Distribution and sources of microbial contamination on beef carcasses. J Appl Microbiol 82: 292-300.

[BPMPP] Balai Pengujian Mutu Produk Peternakan. 2008. Hasil monitoring dan surveillans residu dan cemaran mikroba. Di dalam Apresiasi dan rapat koordinasi pengawasan keamanan pangan. Jakarta 10-12 Maret 2008.

Brenner FW, Villar RG, Angulo FJ, Tauxe R, Swaminathan B. 2000. Salmonella nomenclature. J Clin Microbiol 38:2465-2467.

Budiharta S, Suardana IW. 2007. Epidemiologi dan Ekonomi Veteriner. Ed-1. Denpasar: Penerbit Universitas Udayana.

Burgess GW. 1995. Teknologi ELISA dalam Diagnosa dan Penelitian. Gajah Mada University Press, penerjemah Artama WT, editor James Cook University Australia. 1988. Terjemahan dari: ELISA Technology in Diagnosis and Research.

Page 72: Uji Elisa Sapi

55

Burgess F, Little CL, Allen G, Williamson K, Mitchell RT. 2005. Prevalence of Campylobacter, Salmonella and Escheria coli on external packaging of raw meat. J Food Protect 68:469-475.

[CDC] Center for Disease Control and Prevention. 2001. Salmonella surveillance summary. Atlanta. http://www.cdc.gov/ncidod/diseases/Salmonella.htm. [10 November 2008]

[CFSPH] The Center for Food Security and Public Health. 2005. Salmonelosis: Paratyphoid, Non-typhoidal Salmonellosis. Institute for International Cooperation in Animal Biologics. An OIE Collaborating Center Iowa State University. USA.

Chen S, Zhao S, White DG, Schroeder CM, Lu R, Yang H, McDermot P, Ayers S, Meng J. 2004. Characterization of multiple-antimocrobial-resistant Salmonella serovar isolated from retail meats. J Appl Environ Microbiol 70:1-7.

Crowther JR. 1996. ELISA Theory and Practice. Vol-42. Singapore: IST.

D’Aoust JY. 2000. Salmonella. In: Lund BM, Baird-Parker TC, Gould GW, editors: The Microbiological Safety and Quality of Food. Maryland: Aspen.

[Ditkesmavet] Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner. 2007. Kebijakan pemasukan karkas, daging, dan jeroan dari luar negeri. Di dalam: diskusi impor daging oleh CIVAS. Bogor 4 Oktober 2007.

Downes FP, Ito K (editors). 2001. Compendium of Methods for the Microbiological Examination of Foods. Ed-4. Washington DC: American Public Health Association.

[EFSA] European Food Safety Authority. 2008. A quantitative microbiological risk assessment on Salmonella in meat: source attribution for human salmonellosis from meat. Scientific Opinion of the Panel on Biological Hazards. The EFSA 625:1-32.

Fegan N, Vanderlinde P, Higgs G, Desmarchelier P. 2004. Quantification and prevalence of Salmonella in beef cattle presenting at slaughter. J Appl Microbiol 97:892-898.

Fegan N, Vanderlinde P, Higgs G, Desmarchelier P. 2005. A study of prevalence and numeration of Salmonella enteric in cattle on carcass during processing. J Food Protect 68:1147-1153.

Forshell LP, Ekesbo I. 1996. Survival of salmonellas in composted and not composted solid animal manure. Zentbl Vetmed 40:654–658.

Foster JW, Spector MP. 1995. How Salmonella survive against the odds. Ann Rev Microbiol 49: 145-174.

Page 73: Uji Elisa Sapi

56

Garbutt J. 1997. Essentials of Food Microbiology. Ed-1. London: Arnold.

Gill CO, Harrison JCL. 1984. Evaluation of the hygienic efficiency of offal cooling procedures. Food Microbiol 2:63-69.

Hanna MO, Smith GC, Savell JW, McKeith FK, Vanderzant C. 1982. Effects of packaging methods on the microbial flora of livers and kidneys from beef or pork. J Food Protect 45: 74-81.

Herdiana UR. 2007. Tingkat keamanan susu bubuk skim impor ditinjau dari kualitas mikrobiologi [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana Insitut Pertanian Bogor.

[IPB] Tim Protein, Institut Pertanian Bogor. 1982. Laporan Lokakarya: Peranan protein dalam pembangunan bangsa. Bogor.

Johnson P, Odumeru J, Mahdi A, Baker T. 1999. Microbiological risk assessment on raw beef carcasses in ontario abattoirs. J Food Protect 61:853.

Khakhria R, Woodward D, Johnson WM, Poppe C. 1997. Salmonella isolated from humans, animals and other sources in Canada 1983–1992. Epidemiol Infect 119:15-23.

Kleinbaum DG. 1994. Logistic Regression. New York: Spinger-Verlag.

Kusumaningrum HD, Riboldi G, Hazeleger WC, Beumer RR. 2003. Survival of foodborne patogens on stainless steel surfaces and cross-contamination to foods. J Food Microbiol 85:227-236.

Kusumaningsih A. 2007. Resistensi antimikroba Salmonella Enteridis pada ayam Dan manusia [Disertasi]. Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Lukman DW. 2007. Penyakit yang ditularkan melalui makanan (foodborne disease). Bahan kuliah. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor 26 Oktober 2007. (tidak dipublikasikan).

Lukman DW, Sudarwanto M, Sanjaya AW, Soejoedono RR, Purnawarman T, Latif H. 2007. Higiene Pangan. Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner. Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

[MAFNZ] Ministry of Agriculture and Forestry New Zealand. 2006. Import risk analysis: cattle from Australia, Canada, the EU and the USA: Salmonelosis. New Zealand.

Martin SW, Bonnet B. 1987. Clinical epidemiology. Can Vet J 28:318-325.

McGinn T. 2004. Probability proportional to size sampling technique. RHRC Consortium Monitoring and Evaluation toolkit. USA.

Page 74: Uji Elisa Sapi

57

Mead PS, Slutsker L, Dietz V, McCaigh LF, Bresee JS, Shapiro C, Griffin PM, Tauxe RV. 1999. Food-related illness and death in the United States. Emerg Infect Dis 5: 607-625.

Moo D, Boyle DO, Mathers W, Frost AJ. 1980. The isolation of Salmonella from jejunal and caecal lymph nodes of slaughters animals. Aus Vet J 56:181-183.

Murdiati TB. 2006. Jaminan Keamanan pangan asal ternak: Dari kandang hingga piring konsumen. J Litbang Pertanian 25: 22-29.

Ng SP, Tsui CO, Roberts D, Chau PY, Ng MH. 1996. Detection and serogroup differentiation of Salmonella spp. in food within 30 hours by enrichment-immunoassay with a T6 monoclonal antibody capture enzyme-linked immunosorbent assay. Appl Environ Microbiol 62: 2294-2302.

Oblinger JL, Kennedy JE, Rothenberg CA, Berry BW, Stern NJ. 1982. Identification of bacteria isolated fom fresh and suhue abused variety meats. J Food Protect 45:650.

Olsen AR, Hammack TS. 2000. Isolation of Salmonella spp. from housefly, Musca domestica L., and the dump fly, Hydrotaea aenescens (Wiedemann) (Diptera: Muscidae), at caged-Layer houses. J. Food Protect 63:958-960.

OzFoodNet Working Group. 2003. Foodborne disease in Australia: incidence, notifications and outbreak. Annual report of the OzFoodNet network, 2002. Communicable Disease Intelligence 27: 209-243.

Patterson JT, Gibbs PA. 1979. Vacuum packaging of bovine edible offal. Meat Sci 3:209.

Pearson AM, Dutson TR. 1988. Edible Meat by Products - Advences in Meat Research Vol.5. London and New York: Elsevier Applied Science.

Peplow MO, Prissant MC, Stebbins ME, Jones F, Davies P. 1999. Sensitivity, specificity and predictive values of three Salmonella rapid detection kits using fresh and frozen poultry environmental sample versus those of standar plating. Appl Environ Microbiol 65:1055-1060.

Poernomo S. 2004. Variasi Tipe Antigen Salmonella pullorum yang ditemukan di Indonesia dan penyebaran serotipe Salmonella pada ternak (PO). Wartazoa 14: 143-159.

Popoff MY. 2001. Antigenic formula of the Salmonella serovars. World Health Organization Collaborating Centre for Reference and Research on Salmonella. Pasteur Institute, Paris France.

Portillo FG. 2000. Molecular and cellular biology of Salmonella pathogenesis in microbial foodborne disease: Mechanisms of pathogenesis and toxin synthesis Ed-1. (Eds: J.W. Cary, J.E. Linz, D. Bhatnagar). Technomic

Page 75: Uji Elisa Sapi

58

Publishing Company., Inc. 851 New Holland Avenue Box 3535. Lancester, Pennysylvania 17604 USA, pp 3-7.

Poucke LSG. 1990. Salmonella-Tek, a rapid screening method for Salmonella species in food. Appl Environ Microbiol 56: 924-927.

Punjabi NH. 1998. Cost evaluation of typhoid fever in Indonesia. Med J Indonesia 70:90-93.

Qiongzhen L, Sherwood JS, Logue CM. 2004. The Prevalence of Listeria, Salmonella, Eschericia coli, E.coli O157:H7 on bison carcasses during processing. J Food Microbiol 21:791-799

R-Biopharm. 2007. RIDASCREEN®Salmonella. R-Biopharm AG. Darmstadt. Jerman.

Rivera BM, Shackkelford SD, Arthur TM, Westmoreland KE, Bellinger G, Rossman M, Reagan JO. 2004. Prevalence of E. coli O157:H7, L. monocytogenes, and Salmonella in two geographically distant commercial beef processing plants in the United State. J Food Protect 67:295-302.

Salman M. 2008. Properties of screening and diagnostic tests and issue related to gold standard. Bahan kuliah umum. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor 21 November 2008.

Samuel JL, O’boyle DA, Mathers WJ, Frost AJ. 1980. The contamination with Salmonella of bovine livers in an abattoir. Aus Vet J 56:526–528.

Shelef LA. 1975. Microbial spoilage of fresh refrigerated beef liver. J Appl Bacteriol 39:273

Sheridan JJ, Lynch B. 1988. The influence of processing and refrigeration on the bacterial numbers on beef and sheep offals. Meat Sci 24:143-150.

Small A, Reid CA, Avery SM, Karabasil N, Crowley C, Buncic S. 2002.Potensial for the spread of Escherichia coli O157, Salmonella, and Campylobacter in the lairage environment at abattoirs. J Food Protect 65:931-936.

Smeltzer T, Thomas R. 1981. Transfer of Salmonellae to meat and offal by knives. Aus Vet J 57:433.

Smeltzer T, Thomas R, Collins G. 1980a. The role of equipment having accidental or indirect contact with the carcase in the spread of Salmonella in an abbatoir. Aus Vet J 56:14-17.

Smeltzer T, Thomas R, Collins G. 1980b. Salmonella on posts, hand-rails and hands in a beef abbatoir. Aus Vet J 56:184-186.

Page 76: Uji Elisa Sapi

59

[SNI] Standar Nasional Indonesia No. 01-6366-2000. 2000. Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Batas Maksimum Residu dalam Bahan Makanan Asal Hewan. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.

Soewandojo E, Suharto, Hadi U. 1998. Typhoid fever in Indonesia clinical picture, treatment and status after therapy. Med J Indonesia 70: 95-104.

Sofos JN, Belk KE, Smith GC. 2002. Processes to reduce contamination with pathogenic microorganisms in meat. Department of Animal Science. Colorado University. Colorado: Colorado University Pub.

Soumet C, Ermel G, Salvat G, Colin P. 1997. Detection of Salmonella spp. in food products by polymerase chain reaction and hybridization assay in microplate format. Letters Appl Microbiol 24: 113-116.

Sudarmono P, Poernomo S, Suhadi I. 2001. The current management of Salmonella typhi and Salmonella in Indonesia. Dalam: Typhoid fever and other Salmonellosis. First Ed. (Eds: OU J.T., C-H. CHIU dan C. CHIU). The Fourth International Symposium on thypoid fever and other Salmonellosis, Taipei, Taiwan. pp. 25- 30.

Sudarwanto M. 2007. Higiene Pangan. Bahan kuliah. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. (tidak dipublikasikan).

Suwandono AM, Destri, Simanjuntak C. 2005. Salmonellosis dan Surveillans demam tifoid yang disebabkan Salmonella di Jakarta Utara. Disampaikan dalam Lokakarya Jejaring Intelijen Pangan – BPOM RI, Jakarta, 25 Januari 2005.

Thorner RM, Remein QR. 1961. Principle and Procedures in the Evaluation of Screening for Disease. Public Health Monograph 67:24.

Thrusfield M. 2005. Veterinary Epidemiology. Ed-3. London: Blackwell.

[TMKH] Teknik Metode Karantina Hewan. 2008. Rekapitulasi data operasional impor pada unit pelaksana teknis karantina hewan. Jakarta: Badan Karantina Pertanian.

Vanderlinde PB, Shay B, Murray J. 1998. Microbiological quality of Australian beef carcass meat and frozen bulk packed beef. J Food Protect 61: 437–443.

Winarno, FG. 1996. Undang-undang tentang pangan. Kumpulan Makalah pada Musyawarah II dan Seminar Ilmiah Persatuan Ahli Teknologi Laboratorium Kesehatan Indonesia. Jakarta, 25−26 November 1996.

Witte W. 1998. Medical consequences of antibiotic use in agriculture. Science 279:996-997

Page 77: Uji Elisa Sapi

LAMPIRAN

Page 78: Uji Elisa Sapi

60

Lampiran 1 Data pengambilan sampel hati sapi impor

No Perusahaan Pengimpor Jumlah sampel Perusahaan Pengekspor NKV Tanggal

pemotongan Tanggal Kadaluarsa

1. PT. Anzindo Muara angke Jakarta 6 Hardwick, Processors Knight court,

Kyneton Victoria, Australia L 43 14 Juli 2008 14 April 2009

2. PT. Anzindo Muara angke, Jakarta 6 PPCS Limited Belfast, Factory Road,

Belfast, Christchurch, NZ ME 15 9 Juni 2008 9 Maret 2009

3. PT. Sukanda Jaya, Cibitung, Bekasi 6 Kilcoy Pastoral Company Limited

Queensland, Australia MS 640 27 Juli 2008 27 April 2009

4. PT. Bumi Maestro Ayu Duren Tiga, Jak-sel 6 CMP Canterbury LTD

Seafield Road, Ashburton NZ ME 78 8 Juli 2008 8 Juli 2010

5. PT. Indoguna Utama Jakarta 6 Granville Drive, Seymour Victoria

Australia EST 260 15 Juli 2008 15 April 2009

6. PT. Sumber Laut, Cileungsi 6 Product of Cargill, High River

Canada 93 30 Juni 2008 30 Maret 2009

7. PT. Hero Cibitung, Bekasi 6 Stanbroke Beef PTY Grantham,

Queensland, Australia EST 203 23 Juli 2008 23 april 2009

8. PT. Bumi Maestro Ayu Duren Tiga, Jak-sel 6 PPCS Limited- Finegand, Yorston Road,

Finegand, NZ ME 26 22 Juli 2008 22 April 2009

9. PT. Bumi Maestro Ayu Duren Tiga, Jak-sel 6 PPCS Limited Belfast, Factory Road,

Belfast, Christchurch, NZ ME 15 30 Juli 2008 30 April 2009

10. PT. Anzindo Muara angke, Jakarta 6 CMP Canterbury LTD

Seafield Road, Ashburton NZ ME 78 7 Juni 2008 7 Maret 2009

Jumlah 60

Page 79: Uji Elisa Sapi

61

Lampiran 2 Skema pengujian Salmonella mengunakan Kit ELISA RIDASCREEN® Salmonella

Homogenisasi 25 g sampel dan 225 ml lactose broth (inkubasi 16 Jam pada 36±1°C)

Masukkan 100 µl sampel, kontrol positif dan kontrol negatif pada microplate yg sdh dilapisi dgn antibodi somatik O (spesifik) (inkubasi 30 menit pada 36±1°C)

Pencucian 7X

Masukkan 250 µl Salmonella broth (36±1°C), tutup microplate, inkubasi pada suhu 36±1°C selama 5,5 jam

Tambahkan 100 µl konjugat, tutup microplate dan inkubasikan pada suhu 36±1°C selama 30 menit

Pencucian 7X

Tambahkan 100 µl substrat khromogen, inkubasikan dalam suhu ruang dan gelap selama 15 menit. Kemudian tanbahkan 100 µl stop solution

Baca dengan ELISA reader filter dan referensi filter 450/620 nm

Page 80: Uji Elisa Sapi

62

Lampiran 3 Skema pengujian Salmonella dengan metode kultur (BAM 2006)

PENGUJIAN SALMONELLA

BSA XLD

1. HOMOGENISASI Sampel 225 ml Lactose broth

25 gram Sampel

2. PRA-PENYUBURAN Inkubasi pada 36±1oC selama 24 jam

3. SELEKSI PENYUBURAN Inkubasi pada 36±1oC selama 24 jam

4. PLATING Inkubasi pada 36±1oC selama 24-48 jam

6. KONFIRMASI secara biokimia dan serologi

1 ml

5. SCREENING diatas agar TSI dan LI Inkubasi pada suhu 36±1oC selama 24 jam (agar TSI) dan (agar LI)

BSA HE XLD

10 ml selenite cystine broth (SCB)

alkalis (merah)miring asam (kunin) tegak*

Agar TSI Agar LI

alkalis (ungu) tegak*

* Dengan atau tanpa penghitaman (produksi H2S)

10 ml Ravapot

10 ml tetrathionate broth Vasilidiasis (TTB) broth

(RV )

BSA HE HE XLD

BS = Bismuth sulfite agar HE = Hektoen enteric agar XLD = Xylose lysine desoxycholate agar

Page 81: Uji Elisa Sapi

63

Lampiran 4 Penghitungan sensitivitas, spesifisitas, nilai prediktif dan true prevalensi hati sapi impor

Metode Uji kultur (standar)

Jumlah Positif Negatif

ELISA kit Positif 3 (a) 1 (b) 4 (a+b)

Negatif 0 (c) 56 (d) 56 (c+d)

Jumlah 3 (a+c) 57 (b+d) 60 (n)

a. Sensitivitas = a__ (a+c)

= 3 × 100 % 3

= 100%

b. Spesifisitas = d__ (b+d)

= 56 × 100 % 57

= 98.24%

c. Nilai pediktif positif = a__ (a+b)

= 3 × 100 % 4

= 75%

d. Nilai pediktif negatif = d__ (c+d)

= 56 × 100 % 56

= 100%

e. Positif palsu = b__ (a+b)

= 1 × 100 % 4

= 25%

f. Negatif palsu = c__ (c+d)

= 0 × 100 % 56

= 0%

g. Prevalensi dugaan = a + b__ (n)

= 4 × 100 % 60

= 6.7%

g. Prevalensi sebenarnya = a + c__ (n)

= 3 × 100 % 60

= 5%

Page 82: Uji Elisa Sapi

64

Lampiran 5 Penghitungan kappa Statistic untuk ukuran kesepakatan (Thrusfield 2005)

Metode Uji kultur (standar)

Jumlah Positif Negatif

ELISA Kit Positif 3 1 4

Negatif 0 56 56

Jumlah 3 57 60

Proporsi positif uji baru (Kit ELISA) = 4/60 = 0.067

Proporsi positif uji standar (Kultur) = 3/60 = 0.05

Proporsi negatif uji baru (Kit ELISA) = 56/60 = 0.93

Proporsi negatif uji standar(Kultur) = 3/60 = 0.95

Proporsi Kesesuaian yang nampak = (3+56)/60 = 0.98

Kesesuaian positif yang diharapkan = 0.067 x 0.05 = 0.00335

Kesesuaian negatif yang diharapkan = 0.93 x 0.95 = 0.8835

Jumlah kesesuaian yang diharapkan = 0.88685

Selisih kesesuaian dari yang nampak = 0.98 – 0.88685 = 0.09315 (X)

Selisih kesesuaian maksimum = 1 – 0.88685 = 0.11315 (Y)

Kappa = X ; 0.09315 = 0.848 Y 0.11315

Page 83: Uji Elisa Sapi

65

Lampiran 6 Data hasil pengujian sampel dengan metode ELISA dan Metode kultur

Nomor Sampel Rataan OD Hasil ELISA Metode Kultur

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32

0.059 0.057 1.821 0.133 0.058 0.056 0.073 0.063 0.106 0.080 0.080 0.079 0.117 0.128 0.122 0.092 0.077 0.060 0.048 1.625 0.104 0.092 0.051 0.224 0.094 0.072 0.055 0.056 0.061 0.066 0.055 0.073

Negatif Negatif Positif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Positif Negatif Negatif Negatif Positif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif

Negatif Negatif Positif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Positif Negatif Negatif Negatif Positif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif

Page 84: Uji Elisa Sapi

66

Nomor Sampel Metode ELISA (OD) Hasil ELISA Metode Kultur

33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60

S. typhi E. coli

S. aureus

0.086 0.164 0.070 0.075 0.091 0.061 0.073 0.074 0.044 0.089 0.081 0.080 0.079 0.078 0.064 0.740 0.064 0.048 0.053 0.055 0.077 0.051 0.057 0.102 0.067 0.066 0.058 0.068 1.941 0.054 0.046

Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Positif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Positif Negatif Negatif

Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Positif Negatif Negatif

Kontrol Positif : 1.313 Kontrol Negatif : 0.052 Cutt off : 0.200