Download - Uji Elisa Sapi
KAJIAN PENGGUNAAN ELISA SEBAGAI UJI CEPAT DALAM MENDETEKSI SALMONELLA SPP
PADA HATI SAPI IMPOR
NURYANI ZAINUDDIN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Penggunaan ELISA
sebagai Uji Cepat dalam Mendeteksi Salmonella spp pada Hati Sapi Impor adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2009
Nuryani Zainuddin NIM B251064074
ABSTRACT
NURYANI ZAINUDDIN. Study on the Application of ELISA as a Rapid Test for Detection of Salmonella spp in Imported Beef Liver. Under direction of DENNY W. LUKMAN and SURACHMI SETYANINGSIH.
Animals and their products are important as a major source of protein for human. However, food of animal origin can be contaminated by biological, chemical and physical agents, causing a food borne disease, therefore, their safety should be an absolute requirement as this become develops into an issue and obtain concerns from producers, consumers, decision makers and security bodies. These concerns are correlated to the human health and economical impacts in line of local, regional and global trade. To fulfill the demand of beef, offal is still imported to Indonesia including liver which has potential risks to be contaminated by Salmonella spp.
The aims of this research were to detect Salmonella spp in imported beef liver transported from and into Agricultural Quarantine Agency of Tanjung Priok Port using a commercial ELISA kit. The kit was evaluated for sensitivity and specificity to Salmonella contamination particularly in imported liver beef.
Samples size was calculated using detect disease formula and selected by random sampling. Data regarding the proportion of Salmonella positive samples were analyzed descriptively, while the kit evaluated using sensitivity and spesifisity. The agreement of the two test evaluated with kappa statistic.
Sixty samples of beef livers imported from Australia, New Zealand and Canada. The true prevalence of Salmonella spp in beef livers imported through Tanjung Priok port was 5% (n=60). Compared to the bacteriological method, the sensitivity and specificity of the RIDASCREEN® ELISA kit was estimated to be 100% and 98%, respectively. With the Kappa value of 0.848, the kit showed an excellent agreement with the bacteriological method for Salmonella spp detection. In addition, cross reaction of the anti-Salmonella antibodies against other gram negative bacteria was nil. Based on the results, it is recommended that the ELISA kit could be applied in screening test of Salmonella spp in order to support the quarantine measures.
Keywords: Salmonella spp, imported beef liver, ELISA.
RINGKASAN
NURYANI ZAINUDDIN. Kajian Penggunaan ELISA sebagai Uji Cepat dalam Mendeteksi Salmonella spp pada Hati Sapi Impor. Dibimbing oleh DENNY W. LUKMAN dan SURACHMI SETIYANINGSIH.
Pangan asal hewan dan produknya sangat dibutuhkan manusia sebagai sumber protein utama tetapi pangan asal hewan dapat terkontaminasi oleh bahaya biologis, kimiawi atau fisik yang dapat mengakibatkan foodborne diseases. Oleh karena itu, keamanan pangan asal hewan dan produknya merupakan persyaratan mutlak dan selalu merupakan isu aktual yang perlu mendapat perhatian dari produsen, aparat, konsumen, dan para penentu kebijakan, karena selain berkaitan dengan kesehatan masyarakat, juga mempunyai dampak ekonomi pada perdagangan lokal, regional, maupun global. Untuk memenuhi kebutuhan daging sapi Indonesia masih mengimpor daging maupun jeroan sapi, diantaranya hati yang diketahui sangat beresiko terkontaminasi Salmonella.
Tujuan dari penelitian ini adalah mendeteksi Salmonella spp pada hati sapi impor yang dilalulintaskan di Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok dengan menggunakan kit ELISA komersial dan menilai sensitivitas serta spesifisitas kit ELISA komersial sebagai uji tapis dalam mendeteksi bahan makanan yang terkontaminasi Salmonella spp terutama pada hati sapi impor. Sampel yang diambil dihitung berdasarkan rumus deteksi penyakit (Thrusfield 2005). Pengujian dilakukan secara paralel dengan menggunakan kit ELISA dan metode standar (BAM 2006). Data yang dihasilkan dari penelitian ini dianalisis dengan menggunakan uji statistik terhadap proporsi sampel positif Salmonella, deskriptif statistik (Kleinbaum 1994). Untuk membandingkan efektivitas antara metode pengujian ELISA dan metode konvensional, dilakukan pendugaan nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai prediktif positif, nilai prediktif negatif, dan uji kesesuaian Kappa (Thrusfield 2005).
Dari 60 sampel yang diperoleh terdapat 3 sampel positif Salmonella. Dengan tingkat kepercayaan 95% maka diperoleh true prevalence 5%, sensitivitas kit ELISA 100%, spesifisitas kit 98%, nilai prediktif positif 75%, dan nilai prediktif negatif 100%. Dari hasil analisis diperoleh nilai kappa sebesar 0.848, yang menyatakan tingkat kesesuaian yang sangat baik diantara uji menggunakan kit ELISA dan metode kultur. Penelitian ini memberikan gambaran bahwa hati sapi yang diimpor sangat berisiko terkontaminasi oleh Salmonella spp bahkan bakteri patogen lainnya. Untuk mengawasi kegiatan importasi tersebut dibutuhkan pengujian yang cepat, tepat dan akurat. Sebagai pintu terdepan, Karantina Hewan selayaknya meningkatkan pengawasan terhadap kegiatan impor hewan dan produk hewan terutama dari aspek kesehatan masyarakat veteriner. Oleh sebab itu, kit ELISA tersebut dapat digunakan sebagai uji tapis di karantina dalam rangka menunjang kegiatan perkarantinaan di Indonesia.
Kata kunci: Salmonella spp, hati sapi impor, ELISA
© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, menuliskan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
KAJIAN PENGGUNAAN ELISA SEBAGAI UJI CEPAT DALAM MENDETEKSI SALMONELLA SPP
PADA HATI SAPI IMPOR
NURYANI ZAINUDDIN
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2009
Judul Tesis : Kajian Penggunaan ELISA sebagai Uji Cepat dalam Mendeteksi Salmonella spp pada Hati Sapi Impor
Nama : Nuryani Zainuddin
Nomor Pokok : B251064074
Program Studi : Kesehatan Masyarakat Veteriner
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. drh. Denny W. Lukman, MSi Ketua
drh. Surachmi Setiyaningsih, PhD Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner
Dr. drh. Denny W. Lukman, MSi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal ujian: 7 Januari 2009 Tanggal lulus :
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: drh. Abdul Zahid Ilyas, MSi
LEMBAR PERSEMBAHAN
Kupersembahkan thesis ini kepada:
Suamiku yang tercinta…..
Anak-anakku Anita dan Rayhan…..
Badan Karantina Pertanian Departemen Pertanian
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya atas kekuatan lahir dan batin, sehingga penulis dapat
menyelesaikan tesis ini. Tema penelitian ini adalah Kajian Penggunaan ELISA
sebagai Uji Cepat dalam Mendeteksi Salmonella spp pada Hati Sapi Impor.
Penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan
kepada Dr. drh. Denny W. Lukman, MSi sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan
drh. Surachmi Setiyaningsih, PhD sebagai Anggota Komisi Pembimbing, atas
segala dukungan, bimbingan, dan arahan terhadap penulis selama penelitian dan
penulisan tesis. Penulis sampaikan pula ucapan terima kasih yang tak terhingga
kepada, Kepala Badan Karantina Pertanian dan jajarannya yang telah memberikan
beasiswa S-2 sehingga penulis dapat menempuh program pascasarjana ini.
Tak lupa juga penulis menghaturkan terima kasih kepada Manajer Program
Kelas Khusus Karantina Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner (PS
Kesmavet) drh. Chaerul Basri, MSi serta pak Agus yang sudah membantu
kelancaran studi ini. Terima kasih juga kepada rekan-rekan sejawat Kelas Khusus
Karantina PS Kesmavet (Iswan, Muji, Risma, Rita, Era, Tatit, Endah, Yoyok,
Arief, Edi, Arum, Melani, Maya, dan Duma) atas hari-hari yang indah, penuh
semangat, dan penuh kenangan yang pernah kita lewati bersama.
Akhirnya ucapan terima kasih yang dalam kepada ayahanda Drs. H.
Zainuddin Sialla’ dan Ibunda Dra. Hj. Mariani S, Papi dan Mami Mertua, kakak-
kakak, adik dan suami tercinta Hamsuri Halim, S.Tp dan anak-anaku tersayang
Anita dan Rayhan yang telah memberikan dukungan moral dan material dalam
menyelesaikan penulisan tesis ini.
Atas segala kebaikan yang telah penulis terima, semoga Allah SWT
berkenan melimpahkan rahmat dan ridha-Nya kepada kita semua. Harapan
penulis semoga tulisan ini dapat bermanfaat untuk mendukung kegiatan
perkarantinaan hewan di Indonesia, amien.
Bogor, Januari 2009
Nuryani Zainuddin
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ujung Pandang, Sulawesi Selatan pada tanggal 26
Agustus 1976, merupakan anak ketiga dari empat bersaudara pasangan Bapak
Drs. H. Zainuddin Sialla’ dan Ibu Dra. Hj. Mariani.
Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar pada tahun 1989 di SDN
Mangkura I Ujung Pandang dan pada tahun 1992 menyelesaikan pendidikan
Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 5 Ujung Pandang. Selanjutnya
penulis menyelesaikan Sekolah Menengah Atas di SMA Muhammadiyah 1
Yogyakarta dan lulus pada tahun 1995. Tahun 1995 penulis melanjutkan kuliah
di Institut Pertanian Bogor, pada tahun 1995 masuk Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor dan meraih gelar Dokter Hewan pada tahun 2001.
Selama berstatus sebagai mahasiswa, penulis pernah bertugas sebagai asisten luar
biasa pada Laboratorium Histologi dan Laboratorium Kesehatan Masyarakat
Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Pada tahun 2002 sampai akhir 2003 penulis bekerja menjadi tenaga honorer
di Dinas Pehewanan Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan dan pada akhir tahun
2003 penulis diangkat menjadi pegawai negeri sipil di Balai Karatina Hewan
Kelas I Makassar, kemudian pada bulan Mei 2006 penulis dipindahkan ke Balai
Besar Karantina Hewan Soekarno Hatta, dan sejak bulan Februari 2007 penulis
menjadi Kepala Seksi Pelayanan Pengujian Karantina Hewan pada Balai Besar
Uji Standar Karantina Pertanian, Badan Karantina Pertanian. Pada Tahun 2007
penulis mendapatkan beasiswa dari Badan Karantina Pertanian untuk melanjutkan
pendidikan ke jenjang S2 pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner,
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
x
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI…………………………………………………………. x
DAFTAR TABEL …………………………………………………… xii
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………. xiii
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………. xiv
PENDAHULUAN Latar belakang………………………………………………….. Tujuan………………………………………………………….. Manfaat……………………………………………………….... Hipotesis………………………………….……………………..
1334
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi Jerohan…….………………………………………….. Karakteristik Hati Sapi…………………………………………. Mikroorganisme pada Hati……………………………………... Salmonella……………………………………………………… Nomenklatur Salmonella……………………………………….. Sifat dan Karakteristik Salmonella…………………………….. Resistensi Terhadap Antibiotik………………………………… Penyebaran Geografis………………………………………….. Sumber Infeksi dan Cara Penularan……………………............. Salmonelosis pada Manusia……………………………………. Salmonelosis pada Hewan……………………………………... Kontaminasi Salmonella pada Hati ……………………………. Standar Salmonella pada Pangan………………………………. Pengujian Salmonella pada Pangan…………………………….
558
1010131415161819202223
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian………………………………….. Alat dan Bahan…………………………………………............. Metode Pengambilan Sampel…………………………………... Pengujian Sampel………………………………………………. Pengujian Salmonella…………………………………………... Analisis Data……………...…………………………………….
272728292932
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sistem Pengemasan dan Pengangkutan Jeroan……...…………. Pemeriksaan Organoleptik……………………………………... Akurasi Kit ELISA untuk Mendeteksi Salmonella...................... Prevalensi Salmonella spp pada Hati Sapi Impor ......……......... Pencemaran Salmonella pada Pangan dan Pengendaliannya…...
3536374446
xi
SIMPULAN DAN SARAN………………………………………….. 53
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………… 54
LAMPIRAN …………………………………………………............. 60
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Komposisi dan kandungan gizi hati sapi (per 100 g) ........………....... 7
2 Batasan suhu, pH, dan aktivitas air (aw) optimal untuk pertumbuhan Salmonella spp ........................................……………………………. 13
3 Frekuensi rata-rata impor jeroan melalui pelabuhan Tanjung Priok ... 28
4 Hasil uji Samonella sp pada TSIA dan LIA ......................................... 31
5 Interpretasi hasil uji biokimia dan uji serologi Salmonella .................. 32
6 Tabel 2X2 untuk pengujian diagnosis .................................................. 33
7 Hasil pengujian Salmonella spp pada hati sapi impor menggunakan metode ELISA dan kultur ..................................…………………….. 38
8 Proporsi populasi yang diklasifikasi-silangkan berdasarkan hasil uji dengan metode berbeda ..................... …………..………………....... 39
9 Spesifisitas kit ELISA yang di uji terhadap bakteri gram negatif dan bakteri gram positif .............................………………………………. 41
10 Prevalensi Salmonella sp pada hati sapi yang diimpor melalui pelabuhan Tanjung Priok……………………………………………... 44
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Hati sapi ..…………………………………………………………..... 6
2 Bakteri Salmonella typhi dengan pewarnaan gram ...……................... 11
3 Kegiatan impor hati, kemasan yang digunakan, dan cara pengambilan sampel hati di Instalasi Karantina Hewan Sementara .......…………... 36
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Data pengambilan sampel hati sapi impor .......…………………........ 60
2 Skema pengujian Salmonella dengan menggunakan Kit ELISA RIDASCREEN® Salmonella .....…………………………………….. 61
3 Skema pengujian Salmonella dengan metode kultur………………..... 62
4 Penghitungan sensitivitas, spesifisitas, nilai prediktif dan true prevalecei hati sapiimpor ......……………………………………….. 63
5 Penghitungan Kappa Statistic untuk ukuran kesepakatan .................. 64
6 Data hasil pengujian sampel dengan metode ELISA dan metode kultur .........…………………………………………………………... 65
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pangan asal hewan dan produknya sangat dibutuhkan manusia sebagai
sumber protein hewani utama karena mengandung asam-asam amino yang
mendekati susunan asam amino yang dibutuhkan manusia, sehingga akan lebih
mudah dicerna dan lebih efisien pemanfaatannya (IPB 1982). Namun demikian,
pangan asal hewan dan produknya akan menjadi tidak berguna dan
membahayakan kesehatan manusia apabila tidak aman untuk dikonsumsi. Oleh
karena itu, keamanan pangan asal hewan dan produknya merupakan persyaratan
mutlak (Winarno 1996).
Pentingnya keamanan pangan ini sejalan dengan semakin baiknya kesadaran
masyarakat akan pangan asal hewan dan produknya yang berkualitas, artinya
selain nilai gizinya tinggi, produk tersebut aman dan bebas dari cemaran biologis,
cemaran kimiawi atau cemaran fisik lainnya yang dapat mengganggu kesehatan
manusia. Oleh karena itu, keamanan pangan asal hewan dan produknya selalu
merupakan isu aktual yang perlu mendapat perhatian dari produsen, konsumen,
dan para pembuat kebijakan, karena selain berkaitan dengan kesehatan
masyarakat juga mempunyai dampak ekonomi pada perdagangan lokal, regional
maupun internasional.
Di Indonesia kebutuhan daging sapi dan produknya masih sangat kurang.
Berdasarkan data Ditkesmavet (2007), produksi daging sapi nasional sejumlah
317 411 ton, sedangkan konsumsi daging sapi nasional sebesar 371 998 ton,
sehingga terdapat kekurangan ketersediaan daging sebesar 54 588 ton. Untuk
mencukupi kebutuhan tersebut, pemerintah memutuskan untuk mengimpor daging
dan jeroan dengan komposisi 20 ribu ton daging sapi dan 34.6 ribu ton jeroan
sapi.
Hati sapi yang diperoleh dari hasil penyembelihan memberikan jenis
makanan alternatif yang menarik dari segi kandungan nutrisinya dan memiliki
citarasa dan tekstur yang lengkap. Meskipun demikian, kualitas organoleptik hati
yang bisa dimakan tersebut belum bisa diterima secara universal. Di Asia
Tenggara, hati dikonsumsi dan memiliki nilai ekonomis yang kurang lebih sama
2
dengan karkas. Di Amerika Serikat, hati sapi digunakan sebagai campuran bahan
baku pakan hewan, terutama hewan kesayangan seperti anjing dan kucing (pet
food). Di beberapa negara di dunia hati tidak dikonsumsi manusia karena
mengandung cemaran mikroba, cemaran kimiawi atau cemaran lainnya yang
dapat menjadi sumber penularan penyakit dan dikenal dengan nama foodborne
diseases.
Foodborne diseases adalah penyakit yang disebabkan akibat mengonsumsi
makanan atau minuman yang tercemar. Lebih dari 250 foodborne diseases
tersebar diseluruh dunia, salah satunya adalah salmonelosis (Lukman 2007).
Salmonelosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Salmonella spp dan
merupakan bakteri kedua penyebab gastroenteritis pada manusia di Australia dan
beberapa negara lainnya di dunia, serta bertanggung jawab terhadap hampir semua
wabah foodborne diseases yang terjadi (Mead et al. 1999; OzFoodNet Working
Group 2003). Salmonella spp merupakan bakteri intrinsik yang dapat menginfeksi
hati, karena hati sebagai salah satu media yang sangat baik untuk pertumbuhan
bakteri (Gill 1981, diacu dalam Pearson dan Dutson 1988). Prevalensi Salmonella
spp untuk hati sapi pada RPH di Australia mencapai 32% (Smeltzer dan Thomas
1981b), untuk hati ayam mencapai 31.43% (Arroyo dan Arroyo 1995), dan pada
hati babi mencapai 15% (Sofos et al.2002).
Impor hati sapi ke Indonesia sangat berisiko terkontaminasi dan terinfeksi
Salmonella spp. Berdasarkan Standar Nasional Indonesia nomor 01-6366-2000,
kontaminasi Salmonella spp pada pangan asal hewan (daging, telur dan susu)
adalah negatif. Walaupun penerapan SNI tersebut masih bersifat sukarela
(voluntary) tetapi akan berdampak terhadap aspek kesehatan manusia. Oleh sebab
itu, diperlukan tindakan pengawasan karantina terhadap kegiatan impor tersebut.
Salah satu tindakan karantina yang dapat dilakukan adalah melalui pengujian
laboratorium.
Standar pengujian laboratorium (gold standard) untuk mendeteksi
Salmonella spp pada bahan makanan adalah dengan menggunakan metode kultur
atau biakan pada media agar (BAM 2006). Metode ini membutuhkan waktu yang
cukup lama dan pekerjaan yang rumit, serta menggunakan berbagai macam bahan
uji. Hal ini mengakibatkan pesatnya pengembangan berbagai metode pengujian
3
cepat untuk mendeteksi kontaminasi Salmonella pada makanan, salah satu
diantaranya adalah metode uji menggunakan teknik enzyme-linked
immunosorbant assay (ELISA).
Sebagai uji serologik, ELISA menggunakan kombinasi antara antibodi
spesifik dengan enzim yang berfungsi sebagai pelacak keberadaan antigen.
Adanya ikatan antibodi dan antigen dapat dideteksi melalui penambahan substrat
yang akan terurai oleh enzim penanda tersebut dan dapat dilihat secara langsung
melalui perubahan warna atau dengan menggunakan spektofotometer.
Saat ini banyak dikembangkan kit ELISA komersial untuk uji tapis terhadap
Salmonella salah satunya adalah RIDASCREEN® Salmonella. Sebelum kit
tersebut digunakan, maka perlu dilakukan validasi dan evaluasi terhadap
sensitivitas dan spesifisitasnya sehingga hasil pengujian yang dilakukan sebagai
salah satu dasar tindakan karantina untuk pemeriksaan hati sapi impor terhadap
kontaminasi Salmonella menjadi tepat dan akurat.
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeteksi cemaran Salmonella spp
pada hati impor yang dilalulintaskan di Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung
Priok dengan menggunakan kit ELISA komersial serta mengevaluasi sensitivitas
dan spesifisitas uji tersebut dengan cara membandingkan efektivitas metode
pengujian ELISA dengan metode biakan konvensional sebagai uji tapis dalam
mendeteksi keberadaan Salmonella spp pada hati impor.
Manfaat
Penelitian ini diharapkan akan menjadi bahan informasi ilmiah yang sangat
berguna bagi institusi terkait seperti Badan Karantina Pertanian (Pusat Karantina
Hewan, Pusat Informasi dan Keamanan Hayati, Balai Besar Uji Standar Karantina
Pertanian dan Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok) dalam melakukan
pengawasan terhadap kontaminasi Salmonella pada hati impor serta menentukan
teknik dan metode yang cepat, tepat dan akurat yang dilakukan oleh institusi
karantina sebagai upaya perlindungan kesehatan masyarakat veteriner. Hasil
4
penelitian ini juga dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk membuat
petunjuk teknis impor hati dan sebagai bahan pertimbangan untuk melengkapi
petunjuk teknis Pengujian Cemaran Mikroba pada Pangan Segar Asal Hewan
nomor 468/Kpts/OT.210/L/12/2007.
Hipotesis
1. Hati yang diimpor terkontaminasi oleh Salmonella spp.
2. Kit ELISA merupakan uji tapis yang tidak handal dan tidak memiliki
kesesuaian yang baik dengan metode konvensional (kultur) untuk mendeteksi
kontaminasi Salmonella spp pada hati sapi impor.
3. Kit ELISA dapat digunakan sebagai uji tapis untuk mendeteksi kontaminasi
Salmonella spp pada hati sapi impor.
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi Jeroan
Definisi daging secara umum adalah bagian dari tubuh hewan yang
disembelih yang aman dan layak dikonsumsi manusia. Termasuk dalam definisi
tersebut adalah daging atau otot skeletal dan organ-organ yang dapat dikonsumsi.
Secara teknis, daging adalah otot rangka (sceletal muscle), sedangkan offal adalah
seluruh bagian tubuh hewan yang disembelih secara halal dan higienis selain
karkas, yang terdiri dari organ-organ di rongga dada dan rongga perut, kepala,
ekor, kaki mulai dari tarsus/karpus ke bawah, ambing dan alat reproduksi. Jeroan
(edible offal) disebut juga variety meat atau fancy meat, yaitu organ atau jaringan
selain otot rangka yang lazim dan layak dikonsumsi manusia yang tidak
mengalami proses lebih lanjut selain dari pendinginan atau pembekuan.
Jeroan (hati, jantung, limpa, ginjal, paru dan usus) kepala, kaki dan kulit
terpisah dari karkas karena bagian tersebut merupakan by-products, yaitu hasil
sampingan yang berasal dari bahan baku yang dapat dimanfaatkan kembali. Hasil
sampingan tersebut ada yang dapat di konsumsi (edible) dan ada juga yang tidak
dapat dikonsumsi (inedible). Hasil sampingan yang dapat ataupun tidak dapat
dikonsumsi ditentukan oleh penerimaan konsumen, peraturan perundang-
undangan yang berlaku, kebersihan, tradisi yang berkembang di masyarakat dan
agama yang dianut. Jeroan terdiri dari jantung, lidah, hati, daging di kepala, otak,
timus dan atau pankreas, babat, usus, ginjal, ekor (Lukman et al. 2007).
Dari beberapa jeroan yang ada hati merupakan pilihan utama yang umum
dikonsumsi oleh manusia selain jantung dan organ-organ lainnya. Oleh sebab itu,
Indonesia memperbolehkan importasi jeroan hati dan jantung sapi. Hati memiliki
nilai ekonomis karena selain diperjual belikan untuk dikonsumsi hati juga dapat
digunakan sebagai bahan baku pakan hewan terutama untuk anjing dan kucing.
Karakteristik Hati
Hati tersusun atas sel-sel hati, dan dihubungkan oleh pembuluh darah dan
barisan epitel sinusoid yang terletak diantara sel-sel hati. Sel hati tersusun
6
sedemikian rupa dalam lobus poligon yang saling melekat dengan bantuan
jaringan penghubung. Hati melekat pada bagian anterior dinding abdominal dan
diafragma oleh ligamen, serta melekat pada lambung di bagian omasum. Ketika
hati akan dipisahkan maka semua ligamen tersebut harus dipotong beserta
kantong empedu.
Warna hati digunakan untuk menentukan kualitas hati, Hati dengan kualitas
baik biasanya berwarna merah kecoklatan sampai coklat tua, sedangkan untuk
kualitas yang buruk biasanya berwarna biru sampai kehitaman (Pearson dan
Dutson 1988).
Gambar 1 Hati sapi; (1) lobus kanan, (2) lobus kiri, (3) lobus kaudal, (4) lobus kuadral, (5) Arteri hepatica dan Vena porta, (6) Lymphonodus hepatica, (7) kantung empedu.
Pada saat sapi lahir, berat hati mencapai ± 2.2% dari berat hidupnya,
sedangkan pada saat usia dewasa berat hati mencapai ± 1.3-1.45% dari berat
hidupnya. Pada sapi dengan berat hidup 300-400 kg, perkiraan berat hati sekitar
3000-4600 g, sedangkan sapi dengan berat hidup 450-600 kg maka perkiraan
berat hati akan mencapai 4000-8600 g. Berat tersebut dapat berkurang hingga 8%
jika sapi diistirahatkan selama 24 jam atau akan berkurang 12% jika sapi
diistirahatkan selama empat hari sebelum dilakukan penyembelihan (Pearson dan
Dutson 1988).
Komposisi dan kandungan gizi hati menyerupai komposisi dan kandungan
gizi daging, yaitu dengan kandungan terbesar adalah air dan protein. Oleh sebab
itu, hati merupakan pangan yang sangat baik sebagai sumber protein yang
7
dibutuhkan oleh manusia. Komposisi dan kandungan gizi hati secara lengkap
diuraikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi dan kandungan gizi hati sapi (Pearson dan Dutson 1988)
Komposisi dan kandungan gizi hati Nilai (per 100 gram)
Air (g) 68.99 Protein (g) 20 Lemak (g) 3.85 Karbohidrat (g) 5.82 Energi (Kal) 143 Asam amino (g/gN)
Triptofan Treonin Isoleusin Leusin Lisin Metionin Sistin Fenylalanin Tirosin Valin Arginin Histidin Alanin Asam aspartat Asam glutamat Glisin Prolin Serin
0.09 0.286 0.286 0.588 0.434 0.158 0.096 0.333 0.248 0.386 0.393 0.171 0.373 0.601 0.847 0.358 0.330 0.300
Vitamin Tiamin (mg) Riboflavin (mg) Niasin (mg) Asam pantotenat (mg) B6 (mg) Folasin (mcg) B12 (mcg) Vitamin A (I.U) Asam askorbat (mg)
0.258 2.780 12.78 7.618 0.94 248
69.19 35 346 22.4
Mineral (mg/100g) Ca Fe Mg P K Na Zn Co Mn
6
6.82 19
318 323 73
3.92 2.763 0.264
8
Berat hati sapi dan komposisi kandungan gizi pada berbeda-beda pada setiap
hewan dan juga sangat bervariasi. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu
bangsa hewan (breed), jenis kelamin, jenis dan status gizinya, serta manajemen
pemeliharaannya. Namun mengingat komposisi tersebut di atas, daging dan hati
juga merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme (Lukman et
al. 2007).
Mikroorganisme pada Hati
Produksi hati di rumah pemotongan hewan (RPH) banyak menimbulkan
masalah terutama pada saat adanya kesalahan dalam hal penanganan, pendinginan
atau pembekuan, pengemasan (pengepakan), penyimpanan, dan transportasi. Hati
merupakan salah satu komoditi yang mudah rusak (perishable food) sehingga
dibutuhkan penanganan yang tepat agar kualitasnya tetap terjaga sampai pada saat
akan dikonsumsi.
Bakteri secara umum terdapat pada hati. Menurut Hanna et al. (1982)
jumlah bakteri pada hati setelah pemotongan <104 /cm2. Apabila jumlah bakteri
melebihi 105 /cm2, hal tersebut mencerminkan kemungkinan penanganan hati yang
buruk atau proses pendinginan yang tidak sempurna.
Penyimpanan hati sapi pada suhu 2 °C selama 3 hari tidak menunjukkan
peningkatan jumlah mikroba, tetapi setelah mencapai 4 hari maka terjadi
peningkatan jumlah bakteri terutama bakteri coryneform dan Micrococcus sp.
Pada hari ke-5 setelah penyimpanan umumnya ditemukan Pseudomonas sp.
Penyimpanan pada suhu 30 °C selama 6-12 jam akan meningkatkan pertumbuhan
mikroorganisme, tetapi apabila disimpan pada suhu -20 °C selama 4 hari maka
tidak ada pertambahan jumlah mikroorganisme.
Pada umumnya jeroan memiliki kandungan karbohidrat yang rendah
dibandingkan dengan karkas, kecuali pada hati. Karbohidrat pada hati mencapai
5.3% dan sebagian besar berupa glikogen. Menurut Shelef (1975) hati yang
masih segar mempunyai pH 6.3. Nilai pH tersebut akan mengalami penurunan
hingga 5.9 apabila mikroba mensintesis glikogen menjadi glukosa dan
memproduksi asam laktat. Hal ini menyebabkan terjadinya pembusukan pada
hati.
9
Penelitian yang dilakukan Oblinger et al. (1982) dengan membandingkan
mikroorganisme pada hati yang masih segar, beku, dan hati yang disimpan pada
kondisi yang tidak layak. Pada hati yang masih segar umumnya ditemukan
Micrococcus sp, bakteri gram negatif dan Escherichia coli. Pada hati yang
disimpan beku ditemukan bakteri gram positif yang lebih dominan dibandingkan
dengan Enterobacteriaceae, sedangkan Pseudomonas sp lebih banyak ditemukan
pada pada hati yang tidak layak penyimpanannya.
Pada dasarnya sumber pencemaran mikroorganisme pada hati
dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu, sumber pencemaran dari dalam
(intrinsik) dan sumber pencemaran dari luar (ekstrinsik). Hati diperoleh setelah
dikeluarkan dari karkas, hati membawa mikroorganisme intrinsik dan ekstrinsik.
Mikroorganisme ekstrinsik pada hati didominasi oleh bakteri-bakteri mesofilik
Gram positif, terutama Micrococcus. Jenis mikroorganisme intrinsik pada
umumnya hampir sama dengan jenis mikroorganisme ekstrinsik yang
mengkontaminasi hati. Hal tersebut mengindikasikan bahwa bakteri-bakteri
intrinsik bermigrasi melalui sel-sel sinusoid hati yang terbuka pada saat eviserasi
dilakukan (pelepasan hati dari karkas). Sebaliknya, jika pada mulanya terdapat
sejumlah kecil bakteri intrinsik yang berada dalam jaringan hati, maka jumlah dari
kontaminasi bakteri intrinsik tersebut dapat bertambah akibat adanya bakteri
ekstrinsik yang menginvasi ke dalam jaringan selama pemisahan organ
berlangsung. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bakteri intrinsik yang
diisolasi dari jaringan hati kemungkinan juga dapat berasal akibat kontaminasi
dari luar.
Jumlah bakteri pada hati yang berasal dari kontaminasi ekstrinsik yaitu
antara 103-105 /cm2 sedangkan jumlah kontaminasi bakteri intrinsik adalah 102 /g
(Gill yang diacu dalam Pearson dan Dutson, 1988). Berdasarkan penelitian
Patterson dan Gibbs (1979), jumlah cemaran mikroba pada hati yang masih segar
di rumah potong hewan adalah 3.26 x 105 /cm2, sedangkan hati yang sudah
didinginkan mencapai 1.28 x 106 /cm2. Menurut Shelef (1975) hati sapi akan
mengalami pembusukan apabila jumlah bakteri mencapai log10 7.7/g.
Hati merupakan salah satu media yang sangat baik untuk pertumbuhan
bakteri, karena hati memiliki pH >6.2 dan kaya akan glukosa (± 6 mg/g). Bakteri
10
Pseudomonas mendominasi permukaan hati selama masa penyimpanan pada suhu
dingin dengan kondisi aerobik. Bakteri pembusuk lainnya yang terdapat pada
permukaan hati adalah Acinetobacter, Alcaligenes, Enterobacter dan Brocothrix
thermosphacta. Di sisi lain, bakteri aerobik gram negatif, Pseudomonas,
Acinetobacter dan Alcaligenes tidak dapat diisolasi dari jaringan internal hati atau
bukan merupakan bakteri intrinsik pada hati, tetapi didominasi oleh bakteri
Lactobacillus. Bakteri gram negatif yang tumbuh dalam kondisi anaerobik
fakultatif misalnya Aeromonas dan Enterobacter merupakan bakteri intrinsik yang
mengkontaminasi hati.
Bakteri Lactobacillus dan bakteri fakultatif anaerob lainnya dapat diisolasi
dari hati dengan penyimpanan pada suhu dingin yang dikemas menggunakan
plastik-gas permeable, tetapi hanya bakteri Lactobacillus, Streptococcus dan
Leuconostoc spp yang paling dominan dan dapat diisolasi dari hati yang dikemas
menggunakan plastik yang telah divakum (Hanna et al. 1982).
Salmonella
Berdasarkan taksonominya, Salmonella spp dapat digolongkan sebagai
berikut (Brenner 2000):
Kingdom : Bacteria
Filum : Proteobacteria
Kelas : Gamma Proteobacteria
Ordo : Enterobacteriales
Famili : Enterobacteriaceae
Genus : Salmonella
Spesies : Salmonella
Nomenklatur Salmonella
Berdasarkan klasifikasi yang diperoleh dari U.S Centers for Disease Control
and Prevention (CDC) dan World Health Organization (WHO) yang dikutip dari
CFSPH (2005) menyatakan bahwa terdapat dua spesies dari genus Salmonella,
yaitu Salmonella enterica dan Salmonella bongori. Salmonella enterica memiliki
6 subspesies yaitu: S. enterica subsp. enterica atau subspesies I; S. enterica subsp.
11
salamae atau subspesies II; S. enterica subsp. arizonae atau subspesies IIIa; S.
enterica subsp. diarizonae atau subspecies IIIb; S. enterica subsp. houtenae atau
subspesies IV; dan S. enterica subsp. indica atau subspecies VI.
Gambar 2 Bakteri Salmonella typhi dengan pewarnaan gram.
Sampai saat ini diketahui Salmonella mempunyai 2500 serotipe (Popoff
2001). Nama serotipe ini biasanya dikaitkan dengan tempat ditemukannya bakteri
tersebut. Serotipe dari S. enterica subsp. enterica merujuk berdasarkan nama
tertentu. Penulisan nama dari serotipe tersebut dapat dipersingkat dari nama
lengkapnya menjadi genus dan serotipenya saja. Sebagai contoh Salmonella
enterica subsp enterica ser. Enteritidis dapat ditulis menjadi Salmonella ser.
Enteritidis atau Salmonella Enteritidis.
Antigen O atau antigen somatik, terdiri dari badan sel bakteri dan diperoleh
dengan pemanasan suspensi bakteri selama satu jam pada suhu 80-100 °C atau
dengan metode ekstraksi menggunakan alkohol panas. Prosedur ini juga dapat
digunakan untuk melepaskan antigen H atau antigen flagelar. Variasi antigen O
ditandai dengan nomor 2, 3, 4, 6, 7, 8, 9, dan 10. Berdasarkan hubungan yang
erat, kelompok spesies Salmonella ditandai dengan tipe A, B, C, dan seterusnya.
Spesies tunggal boleh memiliki lebih dari satu antigen O, yang dapat mempunyai
satu kelompok antigen yang pada umumnya mempunyai banyak anggota dalam
kelompoknya (Brenner et al. 2000).
12
Antigen H atau antigen flagelar, terdiri dari sel flagela dan dipersiapkan oleh
supensi pokok bakteri ke formalin yang diduga memperbaiki flagelar di luar
permukaan bakteri sehingga menutup badan sel antigen O. Antigen ini tidak
tahan panas. Antigen H terdiri dari 2 fase yaitu fase spesifik dan fase non-
spesifik. Fase spesifik hanya terdiri dari komponen-komponen antigen yang
spesifik untuk spesies atau turunan dari organisme tersebut. Antigen-antigen ini
ditandai dengan a, b, c, dan seterusnya. Fase non-spesifik ditunjukkan dengan
bagian antigen dari spesies lain pada tipe kelompok lain. Antigen-antigen ini
ditandai dengan 1, 2, 3, 4, dan seterusnya (Brenner et al. 2000).
Sebagian besar penulisan serotipe dari 5 subspesies S. enterica dan S.
bongori merujuk berdasarkan formula antigeniknya. Formula tersebut terdiri dari
penggolongan spesies/subspsies (I, II, IIIa, IIIb, IV atau VI untuk Salmonella
enterica dan V untuk Salmonella bongori), antigen O (somatik) yang diikuti oleh
tanda titik dua, antigen H (flagelar) fase I yang diikuti oleh tanda titik dua, dan
antigen H fase 2 (jika ada). Berdasarkan hasil kesepakatan maka S. enterica
subsp. houtenae dengan memiliki antigen O menunjuk 45, antigen H menunjuk g
dan z51, dan tidak memiliki antigen H fase 2 dapat dituliskan sebagai Salmonella
serotipe IV 45:g,z51.
Menurut Brenner et al. (2003), komponen utama dari permukaan
Salmonella pada umumnya terdiri dari flagela (disebut sebagai antigen H), dan
lipopolisakarida (disebut sebagai antigen O). Kedua antigen ini yang sering
menyebabkan reaksi silang diantara mikroba genus Salmonella. Beberapa strain
Salmonella dapat bertahan dari aktivitas fagositosis karena adanya mutasi pada
gen lipopolisakarida dan kehilangan antigen O nya.
Grup subspesies I termasuk kedalam serotipe penyebab penyakit pada
manusia dan hewan berdarah panas seperti S. enterica, S. typhi, S. paratyphi, S.
sendai, S. typhimurium, S. enteritidis, S. cholerasuis, S. dublin, S. gallinarum, S.
pullorum dan S. abortusovis. Grup subspesies II sampai dengan VI adalah serovar
yang biasa ditemukan pada hewan berdarah dingin. Klasifikasi dan deteksi dari
bakteri ini didasarkan pada uji serologis dan phage susceptibility assay (Baumler
et al. 1998).
13
Sifat dan Karakteristik Salmonella spp
Salmonella spp adalah bakteri gram negatif yang termasuk dalam famili
Enterobacteriaceae berbentuk batang, motil, tanpa spora, dan hidup dalam
kondisi aerobik dan anaerobik fakultatif. Spesies Salmonella dibagi menjadi
beberapa serotipe yang didasarkan pada lipopolisakarida (O), protein flagelar (H),
dan antigen kapsular (Vi).
Salmonella spp dapat hidup secara optimal pada suhu 35-37 °C, tetapi
mampu hidup pada kisaran suhu 5-47 °C (D’Aoust 2000). Kondisi pH yang
diperlukan untuk pertumbuhan bakteri Salmonella spp sangat bervariasi, pH
optimal pertumbuhannya adalah 6.5-6.7, tetapi mampu tumbuh pada kisaran pH
4.5-9.0 (Garbutt 1997).
Dalam larutan asam asetat dengan pH 5.4 dan asam sitrat pH 4.05 bakteri
Salmonella spp masih dapat tumbuh (Adams dan Moss 1995). Perubahan pH
yang sangat ekstrim menyebabkan bakteri akan mati. Kondisi pH optimum yang
diperlukan untuk pertumbuhan dengan menggunakan asidulan asam laktat dan
asam asetat (D’Aoust 2000).
Tabel 2 Batasan suhu, pH, dan aktivitas air (aw) optimal untuk pertumbuhan Salmonella spp (Baumler et al. 1998)
Kondisi Minimal Optimal Maksimal
Suhu (°) 5.2 35-43 46.2
pH 3.8 7.0-7.5 9.5
Aktivitas air 0.94 0.99 0.99
Salmonella spp mampu mereduksi nitrat menjadi nitrit, memproduksi gas
dari glukosa, memproduksi gas H2S dari pada triple sugar iron agar, dapat
tumbuh pada sitrat. Indol dan urease negatif, lisin, ornitin, dekarboksilase positif.
Salisin, inositol, sukrosa, dan amigdalin negatif.
Salmonella spp dapat bertahan hidup dalam waktu yang lama pada
lingkungan tertentu. Bakteri tersebut memiliki beberapa perbedaan mekanisme
untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya (Foster dan Spector 1995). Hal
ini yang memungkinkan bakteri tersebut mampu mempertahankan hidupnya pada
14
saat terjadi perubahan lingkungan secara tiba-tiba dan mampu bertahan pada
waktu lama di lingkungan yang berbeda-beda.
Salmonella spp dapat diisolasi dari beberapa sumber termasuk dari limbah
peternakan, limbah manusia, dan air. Berdasarkan hasil penelitian Forshell dan
Ekesbo (1996) dan Baloda (2001), bakteri ini dapat bertahan pada bagian
permukaan, kotoran, dan pada feses kering yang tidak terkena sinar matahari.
Hasil penelitian menyebutkan bahwa Salmonella dapat bertahan selama 5½ tahun
pada lantai tempat defekasi sapi. Salmonella cholerasuis berhasil diisolasi selama
450 hari dari daging babi dan beberapa bulan dari feses. Salmonella
Typhimurium dan Salmonella dublin telah ditemukan mampu bertahan lebih dari
satu tahun pada lingkungan (CFSPH 2005).
Resistensi Terhadap Antibiotik
Pada industri peternakan, pemberian antimikroba selain untuk pencegahan
dan pengobatan penyakit, juga digunakan sebagai imbuhan pakan untuk memacu
pertumbuhan, meningkatkan produksi, dan meningkatkan efisiensi penggunaan
pakan (Bahri et al.2000). Di Negara-negara Eropa, ada beberapa antimikroba
yang diperbolehkan digunakan sebagai imbuhan pakan seperti olaquinodik,
basirasin, flavomisin, monensin, salinomisin, tilosin, virginiamisin, avoparsin, dan
avilamisin (Witte1997). Di Indonesia, pemanfaatan antimikroba sebagai imbuhan
pakan ternak sudah dilakukan, hasil penelitian yang dilakukan Balai Penelitian
Veteriner menunjukkan 71.43% (5/7) pabrik pakan di Kabupaten Bogor, Cianjur,
Tangerang, Bekasi dan Sukabumi memberikan tambahan golongan tetrasiklin dan
sulfonamide pada produk pakannya (Kusumaningsih 2007).
Dari kenyataan di lapangan dapat dipastikan bahwa pemakaian antimikroba
sebagai imbuhan pakan ternak cenderung berlebihan dan kurang tepat. Beberapa
peneliti mengkhawatirkan bahwa penggunaan antimikroba secara terus menerus
dan dalam waktu lama melalui air minum atau pakan dalam konsentrasi rendah
akan memicu terjadinya resistensi bakteri terhadap antimikroba pada ternak (Bahri
et al. 2000). Munculnya fenomena resistensi antimikroba pada bakteri patogen
sangat berbahaya. Hal ini diduga dapat mengakibatkan terjadinya perpindahan
15
sifat resistensi antimikroba bakteri pada ternak dan manusia dan dapat
mengakibatkan kegagalan pengobatan penyakit yang disebabkan oleh bakteri.
Munculnya resistensi antimikroba pada bakteri pathogen disebabkan oleh adanya
peran gen resistensi baik yang bersifat permanen dalam kromosom bakteri
maupun yang dapat berpindah antar bakteri melalui perpindahan plasmid atau
transposon. Transfer gen resistensi antimikroba pada bakteri dari ternak ke
manusia dapat pula melalui gen resistensi antimikroba yang terdapat pada
pathogen komensal dan pathogen asal makanan seperti S. Enteritidis
(Kusumaningsih 2007).
Gen resistensi antimikroba merupakan gen yang mengendalikan suatu
enzim yang dapat merubah aktivitas kerja antimikroba spesifik menjadi produk
yang tidak berbahaya sehingga bakteri tersebut dapat melindungi dirinya dari efek
antimikroba yang mematikan. Gen bakteri yang mengendalikan sifat resistensi
antimikroba umumnya spesifik terhadap antimikroba atau golongan antimikroba
tertentu, tetapi beberapa gen resistensi dapat mengendalikan satu jenis atau
golongan antimikroba yang sama. Sebagai contoh pada kloramfenikol terdapat 7
gen resistensi (Chen et al. 2004).
Penyebaran Geografis
Salmonelosis tersebar di seluruh dunia, umumnya terdapat pada lingkungan
hewan. Program pemberantasan Salmonella banyak dilakukan terhadap hewan-
hewan domestik dan manusia, tetapi penting diingat bahwa hewan-hewan liar
merupakan reservoir Salmonella. Serotipe yang paling banyak ditemukan dari
kasus salmonelosis adalah Salmonella Enteritidis dan Salmonella Typhimurium
(CFSPH 2005).
Hasil surveilan di Amerika Serikat pada tahun 2002 terhadap serotipe
Salmonella yang telah diisolasi dari manusia adalah Salmonella enteritidis,
Salmonella typhimurium, Salmonella montevideo, Salmonella muenchen,
Salmonella oranienburg, dan Salmonella saintpaul. Kemudian pada tahun yang
sama CDC dan National Veterinary Services Laboratory (NVSL) melaporkan
bahwa serotipe Salmonella yang berhasil diisolasi dari hewan yang secara klinis
memperlihatkan gejala salmonelosis adalah Salmonella typhimurium, Salmonella
16
newport, Salmonella agona, Salmonella heidelberg, Salmonella derby,
Salmonella anatum, Salmonella cholerasuis, Salmonella montevideo, Salmonella
kentucky, Salmonella senftenberg, dan Salmonella dublin (CFSPH 2005).
Di Selandia Baru dan Australia, Salmonella spp telah diisolasi pada manusia
dan hewan terutama Salmonella Typhimurium, tetapi Salmonella Typhimurium
DT104 yang diketahui sebagai serotipe yang resisten terhadap antibiotik hanya
diisolasi dari manusia pada tahun 2003 dan 2004. Prevalensi Salmonella spp pada
sapi dan kambing di Selandia Baru mencapai 1-5%. Salmonella dublin
merupakan serotipe yang umum terdapat pada sapi dan kambing di beberapa
negara di dunia, tetapi belum pernah ditemukan di Selandia Baru (MAFNZ 2006).
Di Kanada, S. typhimurium dan S. hadar telah diisolasi dari manusia dan non-
manusia selama 10 tahun terakhir, sedangkan S. heidelberg, S. enteritidis, dan S.
infantis juga sering diisolasi dari sampel yang diperoleh dari manusia (Kakira et
al. 1997).
Sumber Infeksi dan Cara Penularan
Penularan Salmonella spp terutama terjadi melalui rute fecal-oral. Bakteri
tersebut umumya terdapat di dalam saluran pencernaan dan kantung empedu
hewan tanpa menimbulkan gejala klinis, kemudian secara terus menerus atau
kadang-kadang dikeluarkan bersama feses. Salmonella spp dapat tinggal menetap
di kelenjar getah bening mesenterika atau tonsil tanpa terjadi shedding, tetapi
bakteri tersebut dapat menjadi aktif kembali akibat adanya faktor-faktor pemicu
misalnya cekaman atau tekanan tanggap kebal.
S. typhi dan S. paratyphi merupakan penyebab utama salmonelosis pada
manusia. Hewan merupakan reservoir dari Salmonella spp. Hampir semua
pangan hewani dapat terkontaminasi oleh Salmonella spp dan kemudian dapat
menyebabkan infeksi salmonelosis pada manusia. Wahana utama penyebaran
Salmonella spp ke manusia adalah daging unggas, daging babi, daging sapi, telur,
susu dan hasil olahannya. Pangan nabati yang terkontaminasi oleh produk
hewani, ekskreta manusia, atau peralatan kotor, baik dalam proses penanganan
industri maupun dapur rumah tangga, merupakan salah satu wahana penularan
17
salmonelosis pada manusia. Air yang terkontaminasi Salmonella merupakan
sumber penting terhadap penularan salmonelosis.
Manusia umumnya menderita salmonelosis akibat dari mengonsumsi
pangan yang terkontaminasi Salmonella. Faktor penting yang berperan dalam
penularan penyakit ini adalah kesalahan dalam cara memasak, waktu dan tempat
penyimpanan, serta pemanasan kembali sebelum dihidangkan. Manusia dapat
terinfeksi secara langsung dari hewan dan hewan kesayangan yang terkontaminasi
atau terinfeksi Salmonella seperti kura-kura, monyet, hamster, anjing dan hewan
reptil lainnya.
Penularan antar manusia sangat penting bila terjadi di rumah sakit dimana
pasien anak-anak menjadi korban utamanya. Lalat merupakan vektor mekanis
yang membawa organisme dari lingkungan terkontaminasi ke perumahan
penduduk. Berdasarkan hasil penelitian Olsen dan Hammack (2000), beberapa
lalat rumah seperti Musca domestica dan Hydrotaea aenescens berpotensi sebagai
reservoir dan vektor dari foodborne Salmonella terutama pada unggas dengan
prevalensi mencapai 13%.
Penularan dari hewan ke hewan dapat berlangsung melalui ekskreta, pakan,
dan sumber air minum yang terkontaminasi oleh Salmonella spp. Di beberapa
negara berkembang, sumber infeksi utama adalah kontaminasi lingkungan dan
sumber air yang merupakan tempat hewan sering berkumpul. Burung (unggas)
dan tikus dapat menyebarkan Salmonella spp ke hewan. Karnivora dapat
terinfeksi melalui daging, telur dan produk hewan lainnya yang tidak dimasak
atau melalui proses pemasakan yang tidak sempurna sebagai bahan baku
pakannya. Penularan dari hewan ke hewan tidak hanya terjadi di lingkungan
kandang tetapi dapat terinfeksi selama masa transportasi, pada saat di pasar
hewan, dan di tempat penampungan (holding ground) RPH sebelum hewan
tersebut disembelih. Penularan secara vertikal dapat terjadi pada unggas, dimana
bakteri tersebut dapat menembus membran vitelin, albumen, dan kemudian masuk
ke dalam kuning telur. Salmonella spp juga dapat ditransmisikan melalui rahim
hewan mamalia (CFSPH 2005).
18
Salmonelosis pada Manusia
Gejala klinis salmonelosis yang paling umum pada manusia adalah
gastroenteritis. Masa inkubasi penyakit pada umumnya mencapai 12 jam sampai
dengan 3 hari. Demam enterik biasanya muncul setelah 10-14 hari pasca-infeksi.
Pada manusia gejala klinis salmonelosis sangat bervariasi mulai dari
gastroenteritis sampai terjadi septisemia. Tingkat keparahan pada setiap individu
berbeda-beda, tergantung dari kondisi induk semang (host) dan tingkat virulensi
dari Salmonella yang menginfeksi. Infeksi asimtomatik juga dapat terjadi.
Semua serotipe Salmonella dapat menyebabkan terjadinya salmonelosis,
tetapi berbeda dalam hal gejala klinis yang dihasilkan, misalnya infeksi pada
manusia yang diperoleh dari Salmonella spp yang berasal dari reptil umumnya
menimbulkan gejala klinis yang sangat parah yaitu terjadi septikemia dan
meningitis. Hampir semua kasus salmonelosis yang berasal dari reptil menyerang
anak-anak di bawah umur 10 tahun dan pada manusia yang mengalami
imunosupresi.
Gastroenteritis ditunjukkan gejala klinis seperti mual, muntah, sakit perut,
diare (berdarah). Sakit kepala, demam, menggigil, dan sakit pada otot juga dapat
terlihat. Dehidrasi dapat terjadi pada anak bayi dan orang tua yang terinfeksi.
Kematian banyak terjadi pada anak-anak, orang tua, dan orang yang mengalami
imunosupresi. Infeksi Salmonella spp. dapat menyebabkan peradangan pada
organ-organ tertentu, misalnya septic arthritis, abses, endokarditis dan
pneumonia.
Salmonelosis pada manusia dapat ditularkan ke orang lain dan hewan
melalui feses. Shedding pada feses dapat terjadi beberapa hari bahkan sampai
beberapa minggu. Manusia juga dapat bertindak sebagai carrier selama beberapa
bulan. Rata-rata 0.3-0.6% pasien yang terinfeksi non-typhoidal Salmonella dapat
mengalami shedding virus pada fesesnya selama satu tahun. Pada beberapa
serotipe spesifik seperti Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi yang
diketahui juga sebagai foodborne patogen dapat menyebabkan infeksi sistemik
yang dikenal dengan demam tifoid dan demam paratifoid. Penyebaran penyakit
ini didominasi oleh adanya kontaminasi feses orang yang sakit dan terkontaminasi
pada air dan makanan.
19
Secara umum dapat dikatakan bahwa dosis infeksi, masa inkubasi, gejala
klinis dan cara penularan Salmonella yang disebabkan oleh serotipe yang berbeda
adalah sama, yaitu gejala klinis yang dijumpai seperti diare, demam, dan sakit
pada daerah abdominal. Pada orang tua, bayi dan orang yang mengalami
penurunan sistem imunitas akan terlihat lebih parah.
Salmonella Enteritidis and Salmonella Typhimurium merupakan seroptipe
yang paling sering dilaporkan sebagai penyebab kasus salmonelosis pada
manusia. Berdasarkan laporan CDC (2002), kasus salmonelosis pada tahun 2002
disebabkan paling banyak oleh Salmonella Enteritidis yaitu 25% dari kasus yang
dilaporkan, kemudian oleh Salmonella Typhimurium sebanyak 12.1%.
Salmonelosis pada Hewan
Salmonella spp telah ditemukan pada semua spesies mamalia, unggas,
reptil, dan amfibi. Ikan dan invertebrata dapat juga terinfeksi. Prevalensi
salmonelosis paling banyak terdapat pada unggas, babi, dan reptil. Sejauh ini
infeksi Salmonella spp pada reptil ditemukan pada kura-kura, penyu, ular, dan
kadal (termasuk iguana). Beberapa serotipe mempunyai hubungan yang erat
dengan induk semangnya, sebagai contoh bahwa Salmonella choleraesuis
menyebabkan penyakit pada babi, Salmonella abortusovis menginfeksi kambing,
dan Salmonella pullorum menginfeksi unggas. Bagaimanapun sebagian besar
serotipe dapat menyebabkan penyakit pada banyak induk semang (CFSPH 2005).
Masa inkubasi pada hewan sangat bervariasi. Gejala klinis pada hewan
umumnya bersifat asimtomatik pada beberapa kasus infeksi salmonelosis. Gejala
klinis muncul apabila hewan mengalami stres akibat transportasi, kepadatan
populasi di kandang, partus, kedinginan, adanya infeksi virus dan parasit, serta
perubahan pakan yang tiba-tiba. Gejala klinis yang muncul juga bervariasi
tergantung pada dosis infeksi, status kesehatan hewan, serotipe dari Salmonella
yang menginfeksi, dan faktor-faktor lain, misalnya Salmonella cholerasuis yang
menimbulkan gejala septikemia sedangkan Salmonella typhimurium akan
berhubungan dengan infeksi saluran pencernaan.
Pada sapi, gejala klinis yang umum adalah enteritis dan septikemia. Infeksi
salmonelosis ditandai dengan diare, dehidrasi, depresi, rasa sakit pada bagian
20
abdominal dan anoreksia. Konsistensi feses lembek sampai dengan cair, bau,
berisi reruntuhan mukosa membran dan berdarah. Demam terjadi pada awal
infeksi, kematian disebabkan karena adanya dehidrasi dan toksemia. Enteritis
subakut terjadi pada sapi dewasa ditandai dengan diare yang terus menerus dan
kehilangan berat badan. Serotipe Salmonella yang umum dijumpai menginfeksi
hewan sapi adalah S. anatum, S. dublin, S. montevideo dan S. typhimurium.
Kontaminasi Salmonella pada Hati
Pada hewan-hewan hidup, permukaan tubuhnya dapat terkontaminasi secara
langsung oleh mikroorganisme yang berasal dari lingkungan atau sebaliknya.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian diketahui bahwa bagian dalam dari jaringan
atau karkas yang berasal dari hewan yang sehat dapat terkontaminasi oleh bakteri
saprofit, kemudian bakteri tersebut menginvasi ke dalam jaringan tubuh melalui
saluran pencernaan sebelum, selama, atau sesudah hewan mati ataupun
terkontaminasi pada saat proses pemotongan sedang berlangsung (Pearson dan
Dutson 1988).
Mikroorganisme patogen dapat merasuk ke dalam tubuh hewan hidup dan
bermanifestasi pada organ-organ spesifik. Mikroba tersebut dapat bertahan untuk
beberapa waktu sebelum akhirnya tereliminasi atau berpoliferasi sehingga
menimbulkan gejala klinis. Mikroba patogen yang menginfeksi hewan tersebut
dapat menimbulkan penyakit, tetapi terdapat pengecualian terhadap
mikroorganisme patogen yang terdapat pada hewan sehat, dimana hewan tersebut
tidak menimbulkan gejala klinis, sehingga mikroba tersebut disebut sebagai
mikroorganisme intrinsik.
Secara umum Salmonella terdapat pada Tractus intestinal dan terbawa pada
feses hewan dan manusia yang terinfeksi, sehingga banyak makanan terutama
makanan asal hewan, sangat mudah terkontaminasi dan telah diidentifikasi
sebagai vehicle/wahana terhadap penularan salmonelosis. Jeroan dan karkas
merupakan sumber foodborne salmonelosis (EFSA 2008).
Penyimpanan hati pada kondisi aerobik dengan suhu ruangan menyebabkan
E. coli dapat tumbuh dengan baik. Seperti diketahui bahwa E. coli merupakan
salah satu bakteri patogen dan dapat digunakan sebagai bakteri indikator untuk
21
melihat tingkat sanitasi terhadap suatu proses penyiapan pangan asal hewan yang
sedang berlangsung. Apabila jumlah E. coli melebihi standar yang sudah
ditetapkan maka menunjukkan kondisi sanitasi yang buruk sehingga perlu
dilakukan tindakan perbaikan dan pengendalian untuk menurunkan jumlah bakteri
tersebut. Kondisi lingkungan yang mendukung pertumbuhan E. coli merupakan
kondisi yang baik untuk pertumbuhan Salmonella dan bakteri patogen lainnya,
sehingga hal ini menjadi sangat penting diperhatikan karena akan berdampak
terhadap kesehatan masyarakat (Gill dan Harrison 1985).
Berdasarkan laporan dari Gill yang diacu dalam Pearson dan Dutson (1988)
mikroorganisme yang telah diisolasi dari hati sapi adalah Clostridia dengan
prevalensi bervariasi antara 32-75%, Clostridium perferingens dengan prevalensi
12%, bakteri gram positif berbentuk coccus prevalensinya mencapai 80%, E. coli
dengan prevalensi 10% dan Salmonella berkisar 1-5%.
Sumber pencemaran dari luar dapat diperoleh akibat kontaminasi hati dari
lingkungan di sekitar RPH, kulit dan isi saluran cerna (Fegan et al. 2005), air,
alat-alat yang digunakan selama pemotongan, misalnya pisau dan penggantung
karkas (Smeltzer dan Thomas 1981; Kusumaningrum et al. 2002), kotoran/feses
(Bell 1997), udara, tangan dan pakaian pelindung pekerja (Smeltzer et al. 1980).
Sedangkan sumber pencemaran dari dalam adalah adanya mikroorganisme pada
hati yang berasal dari hewan yang terinfeksi pada saat masih hidup.
Perkembangan mikroorganisme pada hati dipengaruhi oleh faktor intrinsik
dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik meliputi derajat keasaman, aktivitas air
(aw), potensial oksidasi dan reduksi, nutrisi, keberadaan antimikroba, dan struktur
biologis, sedangkan faktor ekstrinsik meliputi suhu, kelembaban relatif,
keberadaan dan konsentrasi gas, serta proses pengolahan (Garbutt 1997).
EFSA (2008) menyatakan bahwa secara umum proporsi kasus Salmonella
positif pada karkas sapi dan produknya pada tahun 2001-2005 mencapai kurang
lebih 1%. Proporsi sampel positif pada produk segar pada saat di RPH sekitar
0.6%, tetapi berbeda apabila produk tersebut sudah berada di pasar, yang mana
sampel positif Salmonella menjadi 8.3%. Serotipe yang paling sering ditemukan
pada karkas sapi dan produknya adalah S. typhimurium, kemudian diikuti oleh S.
dublin dan S. enteritidis.
22
Kontaminasi Salmonella pada hati di RPH umumnya terjadi pada saat
proses eviserasi dilakukan atau hewan terinfeksi oleh hewan yang sakit
(mengkontaminasi lingkungan) di tempat penampungan sebelum hewan tersebut
dipotong (Small et al. 2002). Penelitian yang dilakukan di RPH di Australia
membuktikan bahwa kontaminasi Salmonella pada hati berhasil diisolasi
sebanyak 32% setelah eviserasi dan 82% setelah pemeriksaan postmortem.
Kemudian dari 50 sampel hati sapi yang diperiksa, hanya 1 sampel yang positif
Salmonella pada bagian parenchyma hati. Kontaminasi Salmonella kemungkinan
berasal dari Tractus gastrointestinal dan Lymphoglandula mesenterica pada saat
proses eviserasi dilakukan (Samuel et al. 1980). Menurut Vanderlinde et al.
(1998), di Australia dilaporkan 1.4% karkas sapi positif Salmonella di RPH untuk
konsumsi domestik dan 0.27% karkas sapi positif Salmonella di RPH untuk
kebutuhan ekspor. Di Amerika dilaporkan bahwa prevalensi karkas beku yang
terkontaminasi Salmonella sp adalah 2.93% (Qiongzhen et al. 2004).
Kontaminasi Salmonella pada karkas di RPH di Ontario Kanada mencapai 1.6 %
(Johnson et al. 1999).
Standar Salmonella pada pangan
Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor 01-6366-2000 tahun 2000 tentang
Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Batas Maksimum Residu dalam Bahan
Makanan Asal Hewan menetapkan bahwa standar kontaminasi Salmonella sp
dalam pangan asal hewan (daging, telur, dan susu) adalah negatif, sedangkan
berdasarkan standar international yang mengatur tentang keamanan pangan yaitu
Codex Alimentarius Commission (CAC) hanya mengatur batas maksimum
kontaminasi Salmonella sp pada pangan yang siap untuk dikonsumsi. Beberapa
negara maju seperti Amerika Serikat tidak menetapkan standar maksimal cemaran
Salmonella sp, tetapi menerapkan system Hazard Analysis Critical Control Point
(HACCP) secara ketat dan melakukan proses pencegahan, eliminasi dan
mengurangi kontaminasi Salmonella sp pada pangan asal hewan. Kegiatan
tersebut dievaluasi dan dipantau oleh suatu lembaga pemerintah yaitu Food Safety
and Inspection Services (FSIS).
23
Pengujian Salmonella pada Pangan
Kontaminasi Salmonella pada makanan dapat dideteksi dengan mengisolasi
bakteri menggunakan metode kultur pada media agar (BAM 2006) Metode ini
merupakan metode standar untuk mendeteksi Salmonella spp. Metode tersebut
mempunyai sensitivitas dan spesifisitas mencapai 100% (Burgess 1995). Metode
isolasi dan identifikasi Salmonella spp mempunyai prinsip-prinsip baku yang
terdiri dari lima tahap yaitu: pra-pengayaan (pre-enrichment), pengayaan
(enrichment), seleksi pada media agar, uji biokimia dan uji serologi. Pengujian
dengan metode ini membutuhkan waktu yang lama yaitu sekitar 7-10 hari.
Media pra-pengayaan (pre-enrichment) dan pengayaan (enrichment)
bertujuan untuk meningkatkan jumlah bakteri yang mengalami depresi atau
membangkitkan kembali Salmonella yang mengalami kerusakan, sehingga
memungkinkan untuk mengisolasi bakteri tersebut walaupun pada awalnya
bakteri terdapat dalam jumlah yang kecil. Salmonella dapat tumbuh pada
berbagai media, baik media selektif maupun media non-selektif yaitu pada agar
MacConkey, eosine methylen blue, bismuth sulfit, Salmonella-Shigella, dan
brilliant green.
Salmonella dapat diidentifikasi dengan uji biokimia menggunakan triple
sugar iron, lysine iron, methyl red-voges proskauer, urea, indole, citrate, lysine
decarboxylase, phenol red dulcitol, kalium cyanida, malonate, phenol red lactose,
phenol red sucrose. Penentuan serotipe dapat dilakukan dengan uji serologi yang
menggunakan antibodi terhadap antigen somatik (O), antigen flagelar (H) dan
antigen kapsular (Vi). Penentuan lebih lanjut pada beberapa serotipe tertentu
memerlukan identifikasi terhadap fase dan plasmid yang ada pada bakteri tersebut.
Untuk karakterisasi lebih lanjut, dapat dilakukan pada laboratorium-laboratorium
rujukan yang mempunyai kompetensi di bidangnya.
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, beberapa
ahli mengembangkan berbagai metode pengujian untuk mendeteksi kontaminasi
Salmonella pada makanan baik metode cepat (rapid test) sampai dengan metode
yang sangat kompleks. Metode-metode tersebut misalnya metode yang
berdasarkan pada deteksi asam nukleat, deteksi biokimia dan enzimatik,
24
meggunakan metode filtrasi membran, dan metode yang berdasarkan pada reaksi
antigen dan antibodi.
Metode yang sudah dikembangkan untuk mendeteksi asam nukleat saat ini
adalah metode hibridisasi dan polymerase chain reaction (Soumet et al. 1997).
Pada metode hibridisasi, sekuen DNA Salmonella yang telah diketahui dan saling
melengkapi serta dilabel oleh nukleotida probe dengan berbagai cara untuk
mendeteksi secara langsung sekuen Salmonella. Ada dua bentuk dari metode
hibridisasi yaitu fase solid hibridisasi dan fase likuid hibridisasi. Fase tersebut
menunjukkan lokasi dan sekuen target selama proses hibridisasi berlangsung.
Salah satu kit komersial untuk mendeteksi kontaminasi Salmonella pada makanan
dengan menggunakan prinsip hibridisasi adalah GENE-TRAK® Biolab Kanada.
Reaksi rantai polimerase atau Polymerase chain reaction yang disingkat
PCR adalah teknologi dalam biologi molekular yang sudah diterapkan secara
meluas untuk berbagai macam analisis biologi molekuler. Prinsip dari PCR
adalah mengeksploitasi berbagai sifat alami replikasi DNA. Dalam proses
tersebut, polimerase-DNA menggunakan DNA berserat tunggal sebagai cetakan
untuk mensintesis serat baru yang komplementer. Di laboratorium, cetakan
berserat tunggal dapat diperoleh dengan mudah melalui pemanasan DNA berserat
ganda pada suhu mendekati titik didih. Polimerase-DNA juga memerlukan suatu
wilayah berserat ganda pendek untuk memulai (“prime“) proses sintesis. Pada
PCR, posisi awal dan akhir sintesis DNA dapat ditentukan dengan menyediakan
suatu oligonukleotida sebagai primer yang menempel secara komplementer pada
cetakan sesuai dengan target yang diinginkan (Downes dan Ito 2001). Metode
PCR untuk mendeteksi Salmonella pada makanan telah dilaporkan oleh Soumet et
al. (1997).
Metode serologik merupakan salah satu metode alternatif yang dapat
digunakan sebagai uji tapis untuk mendeteksi kontaminasi Salmonella pada
pangan adalah metode uji aglutinasi dan enzyme linked immunosorbant assay
(ELISA). ELISA merupakan teknik biokimia yang digunakan terutama di bidang
immunologi untuk mendeteksi keberadaan sebuah antibodi atau antigen dalam
sampel baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Adanya ikatan antara antigen
dan antibodi yang berpasangan dikenali dengan menggunakan enzim spesifik dan
25
dideteksi melalui penambahan substrat yang dapat dilihat secara visual melalui
perubahan warna atau dengan bantuan alat yang dikenal sebagai ELISA reader
berdasarkan panjang gelombang tertentu. Metode ELISA terdiri dari beberapa
konfigurasi antara lain: ELISA langsung, ELISA tidak langsung, ELISA
penangkap antigen atau ELISA sandwich, ELISA penangkap antibodi, dan ELISA
kompetitif atau ELISA pemblok (Burgess 1995).
ELISA langsung merupakan konfigurasi yang paling sederhana. Antigen
secara langsung diadsorbsikan ke suatu substrat padat. Permukaan substrat dicuci
dan antibodi yang ditempeli enzim digunakan untuk menunjukkan adanya antigen.
Hasilnya akan terlihat bila ditambah substrat. Konfigurasi ini memerlukan
antiserum yang spesifik untuk antigen yang dimaksud. Antiserum ini harus
dikonjugasikan pada enzim. Keterbatasan konfigurasi ini berkaitan dengan sifat
pengikatan substrat padat dan kualitas antibodi indikator. Pembatas utama sistem
ini adalah tidak adanya fleksibilitas. Sedangkan keuntungan utama adalah sistem
ini sederhana. Konfigurasi ini biasanya digunakan dalam pengujian untuk
mendeteksi atau mengenali suatu antigen. Adanya kontaminasi antigen dapat
ditunjukkan dengan terdapatnya warna pada supernatan. Warna yang ditunjukkan
tergantung dari substrat yang digunakan.
ELISA tidak langsung merupakan konfigurasi paling sederhana yang dapat
digunakan untuk mengukur titer antibodi. Antigen teradsorbsi pada substrat
padat. Antibodi primer tidak berlabel dan dapat diperoleh dari serum atau cairan
tubuh lain. Antibodi sekunder terikat pada enzim yang sesuai. Antibodi sekunder
ini biasanya disebut sebagai konjugat. Hasil akan tampak bila ditambahkan
substrat. Antigen dan antibodi sekunder biasanya dibuat konstan dan yang
berubah adalah antibodi primer. Kerapatan optik (optical density) berhubungan
dengan konsentrasi antibodi primer. Variasi sensitivitas dan spesifisitas dapat
diperoleh dengan secara hati-hati menentukan antigen dan konjugat antibodi
indikator. Kelemahan utama konfigurasi ini terletak pada tdak adanya spesifitas
sebagai akibat bereaksi dengan antigen yang tidak murni.
ELISA penangkap antigen atau ELISA sandwich merupakan konfigurasi
yang menggunakan antibodi yang terikat pada fase padat untuk menangkap
antigen secara spesifik, kemudian terdapat sejumlah variasi lebih lanjut. Jika
26
tingkat antibodi yang terdapat dalam tubuh harus di ukur. Konfigurasi sisanya
serupa dengan ELISA tidak langsung. Antibodi penangkap, antigen, dan sistem
indikator dibuat konstan dan yang berubah adalah titer antibodi primer untuk
antigen spesifik. Jika antigen yang diukur, dapat digunakan konfigurasi serupa
atau sistem indikatornya menggunakan antibodi terkonjugasi spesifik untuk
antigennya. Antibodi monoklonal makin banyak dipakai untuk antibodi
penangkap dan dalam sistem indikator. Konfigurasi ini mempunyai potensi untuk
meningkatkan spesifisitas ELISA tidak langsung asalkan antibodi penangkapnya
dapat menghindarkan penempelan antigen yang ada dalam jumlah kecil yang
dapat mengganggu spesifisitas ELISA tidak langsung. Penggunaan antibodi
monoklonal digabung antigen murni atau antigen yang sudah diubah dapat
memperbaiki spesifisitas.
ELISA penangkap antibodi menggunakan antiglobulin yang terikat pada
substrat padat. Antibodi sampel yang diuji ditangkap dan sistem indikator
menempeli antigen berlabel. Spesifisitas teknik ini tidak menyebabkan masalah
utama. ELISA kompetitif atau ELISA pemblok dapat digunakan pada sejumlah
konfigurasi dasar. Kompetisi dapat terjadi terhadap antigen atau antibodi.
Pengujian kompetisi antibodi membutuhkan antigen untuk ditangkap antibodi
secara langsung maupun lewat antibodi spesifik ke substrat padat. Antibodi yang
telah dikenal bersaing dengan antibodi yang tidak dikenal untuk mendapatkan
tempat penempelan pada antigen. Antibodi yang telah diketahui dapat dilabel
atau dapat dideteksi menggunakan antibodi spesiesnya (Crowther 1996).
Metode ELISA sebagai metode tapis dalam mendeteksi Salmonella pada
makanan harus mempunyai minimal kriteria sebagai berikut, yaitu mampu
mendeteksi 2500 serotipe dari Salmonella dan juga mempunyai sensitivitas yang
cukup untuk mendeteksi patogen pada level tertentu, umumnya pada tahap
pengayaan (enrichment). Metode ELISA sudah banyak digunakan pada bahan
pangan misalnya oleh Ng et al. (1996) yang mendeteksi Salmonella pada karkas
babi dengan sensitivitas dan spesifisitasnya mencapai 100% dan 99%.
Saat ini telah banyak dikembangkan kit ELISA dalam mendeteksi
kontaminasi Salmonella pada makanan. Salah satu kit ELISA yang digunakan
adalah RIDASCREEN@ Salmonella yang menggunakan monoclonal antibody
27
terhada antigen somatic O (dinding sel). Kit ELISA ini dibuat dengan konfigurasi
ELISA sandwich untuk mendeteksi kontaminasi Salmonella spp pada makanan,
pakan dan sampel lingkungan dalam waktu kurang dari 22 jam. RIDASCREEN@
Salmonella merupakan kit yang fleksibel dapat digunakan untuk mendeteksi
Salmonella, baik yang motil maupun yang non-motil, termasuk S. pullorum dan S.
gallinarum. Proses pengujian diawali dengan menggunakan tahap pengayaan
(enrichment) untuk recovery sel-sel bakteri yang rusak dan meningkatkan jumlah
sel bakteri. Selanjutnya pengujian ELISA menggunakan prinsip ELISA Sandwich
(R-Biofarm 2007).
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan selama tiga bulan yang dimulai pada bulan Agustus
sampai dengan bulan Oktober 2008. Pengambilan sampel dilaksanakan di
Instalasi Karantina Hewan Sementara (IKHS) Balai Besar Karantina Pertanian
(BBKP) Tanjung Priok. Pengujian sampel dilaksanakan di Balai Besar Uji
Standar Karantina Pertanian (BBUSKP) Jl. Pemuda No. 64, Jakarta Timur.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari gergaji daging, kotak
pendingin, tabung reaksi, cawan petri, pipet ukur 1 ml, gelas ukur, ose (sengkelit),
labu erlenmeyer, stomacher, ELISA reader, sentrifus, tabung sentrifus, vortex,
homogenizer ultra turrax, waterbath (36±1 °C), mikropipet berbagai ukuran,
biosafety cabinet class II ESCO, dan inkubator (36±1 °C).
Bahan yang digunakan meliputi plastik sampel steril, plastik stomacher, kit
ELISA RIDASCREEN®Salmonella, lactose broth (Oxoid CM0137B) , selenite
cystine broth (Oxoid CM0699B), tetrathionate broth (Oxoid CM0029B),
Rappaport-Vassilidiasis medium (Oxoid CM0669B), xylose lysine desoxycholate
(Oxoid CM0469B), hektoen enteric agar (Oxoid CM0419B), bismuth sulfith agar
(Oxoid CM0201B), triple sugar iron agar (Oxoid CM0277B), lysine iron agar
(Oxoid CM0381B), methyl red-Voges Proskauer (Oxoid CM0043B), urea broth
(Oxoid CM0053B), indole (Oxoid L0042), pereaksi Kovacs (Merck
1.09293.0100), KOH (JT.Baker 3140-01), α-naphtol (Merck 1.06223.0050),
indikator methyl red (JT.Baker R086-02), Simmon citrate agar (Oxoid
CM0155B), lysine decarboxylase broth (Oxoid CM0308B), phenol red dulcitol
broth, kalium cyanida broth, malonate broth, phenol red lactose broth, phenol red
sucrose broth, brain heart infusion broth (Oxoid CM0255B), Salmonella O
polyvalent (Group Remel A-s) (R30858201), Salmonella H polyvalent phases 1&2
(R30858501), Salmonella typhimurium ATCC 14028 dan Salmonella typhi ATCC
54136. Kontrol negatif yang digunakan yaitu Staphylococcus aureus ATCC
25923, Eschericia coli ATCC 25922, dan Shigella sonei ATCC 25931.
28
Metode Pengambilan Sampel
Sampel yang diambil adalah hati sapi beku. Jumlah sampel yang diambil
dihitung dengan menggunakan rumus deteksi penyakit (detect disease)
berdasarkan Thrusfield (2005). Rumus untuk mendeteksi penyakit adalah sebagai
berikut:
n = [1-(1-p)1/d] [N-d/2]+1]
dimana:
N = jumlah populasi
n = jumlah sampel
d = jumlah hati sapi yang positif Salmonella dalam populasi (diperoleh
dari prevalensi x jumlah populasi)
p = tingkat kepercayaan (confident interval)
Dari data yang diperoleh, rata rata populasi jeroan yang dilalulintaskan
melalui pelabuhan Tanjung Priok setiap bulannya adalah sebanyak 1 472 581 kg,
dan prevalensi dugaan sebesar 5% berdasarkan laporan Gill (1981) dalam Pearson
dan Dutson (1988), sehingga dengan menggunakan rumus di atas maka diperoleh
60 sampel hati. Setiap satu kali impor hati maka jumlah sampel yang diambil
sebanyak 6 sampel hati, sehingga frekuensi pengambilan sampel dilakukan
sebanyak 10 kali (10 shipment). Jumlah sampel yang diambil dari setiap negara
pengekspor dilakukan secara proporsional dengan metode probability
proportional to size (McGinn 2004). Berdasarkan data dari Teknik Metode
Karantina Hewan (2008), rata-rata frekuensi pemasukan jeroan melalui pelabuhan
Tanjung Priok dari setiap negara pengekpor dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Frekuensi rata-rata impor jeroan melalui pelabuhan Tanjung Priok (TMKH 2008)
Negara pengekspor Frekuensi rata-rata pemasukan/bulan
Amerika Serikat Australia Kanada Selandia Baru
4 161 4
170
29
Dengan menggunakan metode probability proportional to size (McGinn
2004), berdasarkan data pada Tabel 3 maka pengambilan sampel dilakukan
sebanyak 4 kali dari Australia, 6 kali dari Selandia Baru, dan 1 kali dari Kanada
sehingga jumlah sampel dari Australia sebanyak 24 sampel, Selandia Baru 30
sampel, dan Kanada 6 sampel. Penentuan 6 sampel hati yang akan diambil di
instalasi dilakukan secara acak (random).
Beberapa data pendukung yang dikumpulkan antara lain: nama perusahaan
pengekspor, perusahaan pengimpor, Nomor Kontrol Veteriner (NKV), tanggal
produksi/pengemasan/pemotongan.
Pengujian Sampel
Sampel hati sapi diperiksa terhadap uji organoleptik atau sensorik, serta uji
keberadaan Salmonella dengan metode ELISA dan kultur. Pemeriksaan
organoleptik atau sensoris dilakukan dengan menggunakan pancaindra untuk
menganalisis warna, bau, konsistensi, tepi hati (kebengkakan), pembendungan,
ada tidaknya degenerasi, dan benjolan pada hati.
Pengujian Salmonella
Sebanyak 25 g dari masing-masing sampel dimasukkan ke dalam kantong
stomacher steril dan ditambahkan 225 ml lactose broth, kemudian dihomogenkan
selama 1-2 menit, dengan kecepatan 10000 rpm sampai dengan 12000 rpm.
Setelah selesai, sampel dipindahkan ke dalam tabung erlenmeyer steril dan
diinkubasi di inkubator pada suhu 36±1°C selama 16 jam untuk pengujian dengan
metode ELISA (duplo), lalu sampel dalam tabung erlenmeyer dimasukkan
kembali ke dalam inkubator hingga mencapai waktu inkubasi 24 jam untuk
pengujian dengan metode kultur berdasarkan BAM (2006).
Setelah sampel diinkubasi selama 16 jam (pra-pengayaan), sebanyak 100 µl
masing-masing sampel, kontrol positif, dan kontrol negatif dimasukkan ke dalam
masing-masing sumur pada microplate. Microplate tersebut ditutup dan
diinkubasi pada suhu 36±1 °C selama 30 menit. Setelah masa inkubasi selesai,
cairan yang ada dalam microplate dibuang dan microplate tersebut dicuci
sebanyak 7 kali dengan menggunakan 300 µl larutan buffer pencuci (washing
30
buffer) yang bersuhu 36±1 °C pada setiap sumur. Kemudian ke dalam setiap
sumur ditambahkan 250 µl Salmonella broth (36±1 °C), microplate ditutup, lalu
diinkubasi pada suhu 36±1 °C selama 5.5 jam. Setelah inkubasi selesai, 100 µl
konjugat ditambahkan, microplate ditutup dan diinkubasi pada suhu 36±1 °C
selama 30 menit. Kemudian cairan yang ada dalam microplate dibuang dan
microplate tersebut dicuci sebanyak 7 kali dengan menggunakan 300 µl larutan
buffer pencuci (washing buffer) yang bersuhu 36±1°C pada setiap sumur.
Kemudian 100 µl substrat kromogen ditambahkan ke dalam sumur, lalu
diinkubasi dalam suhu ruang dan gelap selama 15 menit. Perubahan warna dari
merah menjadi biru mengindikasikan adanya bakteri Salmonella pada sampel
yang diuji. Setelah inkubasi selesai, sebanyak 100 µl larutan penghenti reaksi
(stop solution) ditambahkan ke dalam setiap sumur, kemudian dibaca dengan
menggunakan ELISA reader dengan menggunakan dua filter yaitu filter utama
denagn 450 nm dan filter referensi 620 nm.
Hasil dinyatakan valid apabila nilai OD (optical density) kontrol positif ≥1,
sedangkan kontrol negatif <0.2. Kemudian sampel dikatakan negatif apabila nilai
OD <0.2 dan sampel dinyatakan positif apabila nilai OD ≥0.2.
Setelah sampel diinkubasi selama 24 jam (pra-pengayaan) menggunakan
lactose broth, biakan pra-pengayaan diaduk secara perlahan, kemudian dari
masing-masing biakan diambil 1 ml, lalu dimasukkan ke dalam media 10 ml
tetrathionate broth (TTB) dan 10 ml selenite cystein broth (SCB), sedangkan ke
dalam 10 ml Rappaport-Vassilidiasis (RV) dimasukkan 0.1 ml biakaan pra-
pengayaan. Media TTB dan SCB yang telah berisi sampel kemudian diinkubasi
pada suhu 35±1 °C (inkubator), media RV pada suhu 42±0.2 °C (penangas air)
selama 22-26 jam.
Setelah inkubasi selesai, dua atau lebih koloni dari masing-masing biakan
pengayaan diambil dengan jarum ose dan diinokulasikan pada media agar hektoen
enteric (HE), xylose lysine desoxycholate (XLD) dan bismuth sulfith (BSA).
Media agar diinkubasi selama 24-48 jam pada suhu 36±1 °C. Koloni Salmonella
pada media HE terlihat berwarna hijau kebiruan dengan atau tanpa titik hitam
(H2S). Pada media XLD koloni terlihat merah muda dengan atau tanpa titik
mengkilat atau terlihat hampir seluruh koloni hitam. Pada media BSA koloni
31
terlihat keabu-abuan atau kehitaman, kadang metalik, media di sekitar koloni
berwarna coklat dan semakin lama waktu inkubasi maka akan berubah menjadi
hitam.
Identifikasi Salmonella dilakukan dengan mengambil koloni spesifik yang
diduga dari ketiga media tersebut, kemudian diinokulasi ke agar miring triple
sugar iron (TSIA) dan lysine iron (LIA) dengan cara menusukkan ose ke dasar
agar, selanjutnya digores pada bagian agar miring. Kedua agar miring tersebut
diinkubasi selama 24-48 jam pada suhu 36±1 °C. Koloni spesifik Salmonella
diamati dengan hasil reaksi seperti tercantum pada Tabel 4. Biakan positif pada
LIA yang menunjukkan reaksi positif terhadap Salmonella sebaiknya disimpan
untuk pengujian lebih lanjut.
Tabel 4 Hasil uji Samonella sp pada TSIA dan LIA (BAM 2006)
Media Agar miring (slant)
Agar dasar (buttom) H2S Gas
TSIA Alkalin / K (merah) Asam / A (kuning) Positif
(hitam) Negatif/ Positif
LIA Alkalin / K (ungu) Alkalin / K (ungu) Positif (hitam)
Negatif/ Positif
Hasil positif kemudian dilanjutkan dengan menggunakan uji biokimiawi
yang meliputi uji urease, uji indol, uji Voges-Proskeur, uji methyl red, uji lysine
decarboxylase broth (LDB), uji kalium sianida (KCN) dan uji sitrat. Uji gula-
gula yang digunakan meliputi phenol red dulcitol broth, malonate broth, phenol
red lactose broth, dan phenol red sucrose broth.
Uji serologis menggunakan antigen Salmonella Polyvalent Somatic (O) dan
Salmonella Polyvalent Flagellar (H). Uji serologis dilakukan dengan
mereaksikan antigen Salmonella Polyvalent Somatic (O) dan Salmonella
Polyvalent Flagellar (H) dengan koloni yang diduga Salmonella dan terlebih
dahulu telah dilakukan pemurnian. Interpretasi hasil uji biokimia dan uji serologi
dapat dilihat pada Tabel 5.
32
Tabel 5 Interpretasi hasil uji biokimia dan uji serologi Salmonella (BAM 2006)
Substrat uji Hasil
Positif Negatif Salmonella
Glucose Tusukan kuning Tusukan merah +
Lysine decarboxilase Tusukan ungu Tusukan kuning +
H2S (TSIA dan LIA) Hitam Tidak hitam +
Urease Ungu -merah - +
Lysine decarboxilase broth Ungu Kuning
Phenol red dulcitol broth Kuning, ada gas Warna tetap, tidak ada gas
KCN broth Ada pertumbuhan Tidak ada pertumbuhan -
Malonat broth Biru Warna tetap -
Indole Permukaan berwarna merah
Permukaan berwarna kuning
-
Phenol red lactose broth Warna kuning dengan/tanpa adanya
gas
Tidak terbentuk dan tidak berubah warna
-
Phenol red sucrose broth Warna kuning dengan/tanpa adanya
gas
Tidak terbentuk dan tidak berubah warna
-
Voges-Proskauer Ungu sampai merah Tidak berubah warna -
Methyl red Merah menyebar kuning menyebar +
Simmons citrate Pertumbuhan warna biru
Tidak ada perubahan -
Polyvalent O (somatic) Aglutinasi Aglutinasi +
Polyvalent H (flagellar) Aglutinasi Aglutinasi +
Analisis Data
Data yang dihasilkan dari penelitian ini dianalisis dengan menggunakan uji
statistik terhadap proporsi sampel positif Salmonella, deskriptif statistik
(Kleinbaum 1994). vUntuk membandingkan efektivitas antara metode pengujian
secara serologis (ELISA) dan metode konvensional, dilakukan dengan
menggunakan bantuan Tabel 2x2 untuk menduga nilai sensitivitas, spesifisitas,
nilai prediktif positif, nilai prediktif negatif dan uji kesesuaian Kappa (Thrusfield
2005). vCara penghitungan tersebut dapat dilihat pada Tabel 6.
33
Tabel 6 Tabel 2X2 untuk pengujian diagnosis
Metode Kultur (Standar)
Jumlah Positif Negatif
ELISA
Positif a b a+b
(Positif sebenarnya) (Positif palsu)
Negatif c d c+d
(Negatif palsu) (Negatif sebenarnya)
Jumlah a+c b+d n
Penghitungan dapat dilakukan sebagai berikut :
Sensitivitas = a__
(a+c)
Spesifisitas = d__
(b+d)
Nilai pediktif positif = a__
(a+b)
Nilai pediktif negatif = d__
(c+d)
Positif palsu = b__
(a+b)
Negatif palsu = c__
(c+d)
Prevalensi dugaan = a + b__
(n)
Prevalensi sebenarnya = a + c__
(n)
Dengan menggunakan Tabel 6 di atas, nilai Kappa dapat dihitung untuk
melihat kesesuaian dari dua jenis pengujian, dapat dilakukan sebagai berikut:
Proporsi positif uji baru (Kit ELISA) = a + b__
(n)
34
Proporsi positif uji standar (kultur) = a + c__
(n)
Proporsi negatif uji baru (Kit ELISA) = c + d__
(n)
Proporsi negatif uji standar (Kultur) = b + d__
(n)
Proporsi kesesuaian yang nampak = a + d__
(n)
Kesesuaian positif yang diharapkan = [Proporsi (+) uji baru] X [Proporsi (+) uji standar]
Kesesuaian negatif yang diharapkan = [Proporsi (-) uji baru] X [Proporsi (-) uji standar]
Jumlah kesesuaian yang diharapkan = [Kesesuaian positif yang diharapkan] + [Kesesuaian negatif yang diharapkan]
Selisih kesesuaian dari yang nampak = [Proporsi Kesesuaian yang nampak] - [Jumlah kesesuaian yang diharapkan]
Selisih kesesuaian maksimum = 1- [Jumlah kesesuaian yang diharapkan]
Kappa = [Selisih kesesuaian dari yang nampak] / [Selisih kesesuaian maksimum]
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sistem Pengemasan dan Pengangkutan Jeroan
Sebelum diekspor, hati sapi utuh terlebih dahulu dikemas dengan plastik
steril, kemudian dimasukkan kedalam karton yang masing-masing berisi 2 atau 3
hati sapi utuh, jumlah tersebut tergantung dari perusahaan pengekspor. Tujuan
penggunaan plastik yaitu untuk mencegah kontaminasi antara hati yang satu
dengan yang lainnya dan juga mencegah kontaminasi dari luar. Plastik digunakan
sebagai pembungkus makanan karena kuat dan kencang, mencegah dari
kelembapan dan gas, tahan terhadap suhu rendah, transparan dan fleksibel.
Pengemasan dapat diartikan sebagai usaha untuk menjamin keamanan produk
selama pengangkutan dan penyimpanan sehingga aman sampai di konsumen
(Brown dalam Herdiana 2007). Menurut Patterson dan Gibbs (1979),
pengemasan dengan menggunakan vacuum packaging dapat memperpanjang 2-3
minggu dari masa penyimpanan hati.
Hati sapi diangkut dengan menggunakan kapal besar yang didisain khusus
sebagai alat pengangkut barang/kontainer. Hati disimpan di dalam kontainer yang
bersuhu -20 °C, bersama-sama dengan produk hewan lainnya misalnya jantung,
daging, lidah dan ekor (buntut). Di dalam kontainer komoditi tersebut tersusun
rapi, dan kontainer disegel menggunakan kunci dengan kode nomor tertentu yang
tercatat dalam dokumen impor dan didisain khusus sehingga selama di perjalanan
kontainer tersebut tidak boleh dibuka. Suhu kontainer tersebut harus tetap terjaga,
stabil dan tercatat selama dalam perjalanan sampai dilakukan pembongkaran
kontainer di instalasi karantina hewan sementara (IKHS).
Lama perjalanan hati sapi dari negara pengekspor ke Indonesia tergantung
dari negara asalnya. Dari Australia memerlukan waktu 5-6 hari, Selandia Baru
sekitar 8-9 hari, dan Kanada sekitar 30-33 hari. Sampai di Indonesia jeroan
tersebut diperiksa kelengkapan administrasi impornya kemudian kontainer di
bawa ke instalasi karantina hewan sementara milik importir yang sudah
mendapatkan ijin (berdasarkan hasil studi kelayakan instalasi) dari Badan
Karantina Pertanian.
36
Gambar 3 Kegiatan impor hati, kemasan yang digunakan, dan cara pengambilan sampel hati di Instalasi Karantina Hewan Sementara.
Di instalasi dilakukan pembukaan segel/kunci yang diawasi oleh dokter
hewan karantina yang bertugas, kemudian dilakukan pemeriksaan fisik dan
kesesuaian jumlah serta volume komoditi yang ada berdasarkan dokumen impor.
Apabila dalam pemeriksaan dan pengawasan terdapat hal-hal yang mencurigakan,
misalnya telah terjadi perubahan suhu selama masa perjalanan atau terdapat
komoditi yang mengalami pembusukan, maka dokter hewan yang bertugas segera
melakukan pengambilan sampel dan pengujian laboratorium sesuai pedoman yang
telah ditetapkan kemudian dilanjutkan dengan tindakan karantina.
Pemeriksaan Organoleptik
Hati merupakan salah satu jeroan yang memiliki rasa dan tekstur yang
diminati oleh manusia, hati sebagai salah satu sumber protein hewani yang
dibutuhkan oleh manusia, tetapi hati merupakan media yang baik bagi
37
pertumbuhan mikroorganisme (Lukman et al. 2007). Oleh sebab itu, perlu
dilakukan pemeriksaan terhadap keamanan hati, salah satunya dengan
pemeriksaan organoleptik atau sensoris. Prinsip dari pemeriksaan organoleptik
adalah analisis warna, bau, rasa, dan konsistensi dilakukan dengan menggunakan
pancaindera.
Berdasarkan hasil pemeriksaan organoleptik terhadap 60 sampel hati sapi
impor yang berasal dari tiga negara menunjukkan bagian tepi hati tajam atau tidak
ada kebengkakan, bau khas hati (amis), teksturnya lunak, tidak ada
pembendungan dan degenerasi, tidak ada benjolan dan berwarna merah, merah
kecoklatan sampai dengan coklat tua. Warna hati digunakan untuk menentukan
kualitas dari hati tersebut, yaitu untuk hati dengan kualitas baik biasanya berwarna
merah kecoklatan sampai coklat tua, sedangkan untuk kualitas yang buruk
biasanya berwarna biru sampai kehitaman (Pearson dan Dutson, 1988). Dari hasil
pemeriksaan organoleptik menunjukkan bahwa hati sapi yang diimpor dari ketiga
negara tersebut mempunyai kualitas yang baik.
Akurasi Kit ELISA untuk Mendeteksi Salmonella
Deteksi Salmonella spp terhadap hati sapi impor yang melalui pelabuhan
Tanjung Priok telah berhasil dilaksanakan dengan menggunakan dua metode
pengujian yang berbeda, yaitu dengan kit ELISA komersial dan metode kultur
berdasarkan BAM (2006). Prevalensi Salmonella spp terhadap hati sapi impor
dengan menggunakan kit ELISA komersial RIDASCREEN® Salmonella
mencapai 6.7% yaitu 4 positif dari 60 sampel yang diperiksa. Dari 4 sampel
positif, 2 sampel berasal dari Australia dan 2 sampel berasal dari Selandia Baru
dan dari Kanada memperlihatkan hasil negatif. Konfirmasi dilakukan dengan
pengujian menggunakan metode kultur yang merupakan metode standar (BAM
2006).
Hasil pengujian dengan metode kultur (gold standard) menunjukkan
prevalensi Salmonella spp pada hati sapi adalah 5%, yaitu 3 sampel positif dari 60
sampel yang diperiksa. Dari 3 sampel positif, 2 sampel positif berasal dari
38
Selandia Baru dan 1 sampel positif berasal dari Australia. Hasil selengkapnya
dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Hasil pengujian Salmonella spp pada hati sapi impor menggunakan metode ELISA dan kultur
Negara pengekspor Salmonella positif
ELISA Kultur
Australia (n=24) 2 1
Kanada (n=6) 0 0
Selandia Baru (n=30) 2 2
Prevalensi (n=60) 4 (6.7%) 3 (5.0%)
Dari hasil pengujian yang diperoleh, terdapat perbedaan hasil antara metode
kultur sebagai uji standar dengan uji serologi yang menggunakan kit ELISA.
Menurut Burgess (1995), umumnya dalam pengujian diagnostik metode
mikrobiologi (kultur) merupakan metode standar (gold standard) yang diakui
mempunyai akurasi pengukuran yang hampir mencapai 100%. Akurasi dari suatu
metode pengujian diukur dan diekspresikan melalui nilai sensitivitas dan
spesifisitasnya (Salman 2008).
Untuk mengetahui sensitivitas dan spesifisitas metode uji yang baru dalam
hal ini kit ELISA, maka hasil pengujian dengan menggunakan kit tersebut dapat
dibandingkan dengan hasil pengujian dengan metode standar (BAM 2006) yang
dituangkan dalam tabel 2x2. Perbandingan terhadap metode standar (gold
standard) seperti ini akan menghasilkan sensitivitas dan spesifisitas yang
sebenarnya untuk uji baru terhadap sensitivitas dan spesifisitas uji standar.
Kemudian menurut Thorner dan Remein (1961) perbandingan metode uji yang
baru terhadap metode tertentu yang sudah divalidasi terlebih dahulu akan
menghasilkan sensitivitas dan spesifisitas relatif terhadap sensitivitas dan
spesifisitas metode tersebut.
Dengan menggunakan Tabel 8 di bawah ini, maka dapat dilakukan
penentuan sensitivitas, spesifisitas, nilai prediktif positif, dan nilai prediktif
negatif dari kit ELISA, serta menghitung statistik kappa untuk mengukur seberapa
39
besar kesesuaian diantara hasil-hasil pengujian dalam mendeteksi Salmonella spp
pada hati sapi yang diimpor (Martin dan Bonnet 1987).
Tabel 8 Proporsi populasi yang diklasifikasi-silangkan berdasarkan hasil uji dengan metode berbeda
Metode Kultur (standar)
Jumlah Positif Negatif
ELISA kit Positif 3 1 4
Negatif 0 56 56
Jumlah 3 57 60
Berdasarkan Tabel 8 dengan tingkat kepercayaan 95% maka diperoleh
sensitivitas kit ELISA 100%, spesifisitas kit 98%, nilai prediktif positif 75%, dan
nilai prediktif negatif 100% (Lampiran 4). Nilai sensitivitas tersebut diperoleh
dari jumlah sampel hati yang memberikan hasil positif dengan kedua metode uji
(true positive) dibagi dengan sampel hati yang benar-benar terkontaminasi
Salmonella spp, dengan kata lain sensitivitas adalah proporsi hati sapi yang
terkontaminasi Salmonella spp yang memberikan hasil uji positif, sekaligus dapat
digunakan untuk mengetahui kemampuan metode uji yang bersangkutan untuk
mendeteksi adanya negatif palsu.
Nilai spesifisitas diperoleh dari jumlah sampel hati yang memberikan hasil
negatif dengan kedua metode uji (true negative) dibagi dengan sampel hati yang
tidak benar-benar terkontaminasi Salmonella spp, dengan kata lain spesifisitas
adalah proporsi hati sapi yang tidak terkontaminasi Salmonella spp yang
memberikan hasil uji negatif, sekaligus dapat digunakan untuk mengetahui
kemampuan metode uji yang bersangkutan untuk mendeteksi adanya positif palsu
(Budiharta dan Suardana 2007).
Sensitivitas dan spesifisitas kit ELISA merupakan ciri uji diagnostik yang
harus dimiliki oleh sebuah alat uji dan dibutuhkan dalam membuat kajian
epidemiologi suatu penyakit. Sensitivitas dan spesifisitas digunakan sebagai
ukuran kinerja yang cenderung dihasilkan oleh uji tersebut dalam populasi.
40
Nilai prediktif positif adalah proporsi hati sapi terkontaminasi Salmonella
spp (true positive) diantara sampel yang bereaksi positif terhadap pengujian
dengan kit ELISA, sedangkan nilai prediktif negatif adalah proporsi hati sapi yang
tidak terkontaminasi Salmonella spp (true negative) diantara sampel yang bereaksi
negatif terhadap pengujian dengan kit ELISA. Pada penelitian ini didapatkan nilai
prediktif positif kit ELISA mencapai 75%. Hal ini menunjukkan dari 4 sampel
hati yang memberikan hasil positif hanya 75% sampel yang benar-benar
terkontaminasi Salmonella spp atau dengan kata lain terdapat 1 sampel positif
palsu.
Nilai prediktif negatif sebesar 100%, hal ini berarti sampel yang
memberikan hasil negatif benar-benar merupakan sampel yang negatif atau
dengan kata lain tidak terdapat sampel yang memberikan hasil negatif palsu. Nilai
prediktif tidak hanya dipengaruhi oleh sensitivitas dan spesifisitas, tetapi
dipengaruhi oleh prevalensi sebenarnya (true prevalence) dalam suatu populasi.
Prevalensi sebenarnya merupakan hal yang sulit diketahui maka tidak dapat secara
langsung dianggap bahwa suatu pengujian yang memiliki nilai prediksi tertinggi
selalu paling sensitif dan spesifik.
Positif palsu sering terjadi pada uji serologi terhadap bakteri hal ini
disebabkan oleh adanya reaksi silang antara beberapa spesies bakteri. Seperti
diketahui bahwa beberapa bakteri mempunyai kemiripan pada beberapa struktur
tubuhnya, misalnya bakteri yang termasuk dalam bakteri gram negatif yang
mempunyai struktur dinding sel yang sama yaitu mempunyai lipopolisakarida.
Pada penelitian ini dengan menggunakan uji ELISA diperoleh 1 sampel
memberikan hasil positif palsu. Sebagai uji tapis, kit RIDASCREEN®Salmonella
dikembangkan dengan menggunakan monoclonal antibody terhadap antigen
somatik O pada rantai samping O lapisan lipopolisakarida yang melekat pada
dinding sel Salmonella dan diketahui sebagai determinan virulensi pada
Salmonella. Antigen somatik O terdapat pada semua genus Salmonella tetapi
beberapa bakteri Enterobactericeae misalnya Citrobacter dan Providencia juga
mempunyai antigen somatik O, sehingga kemungkinan akan menyebabkan
terjadinya reaksi silang dan menghasilkan positif palsu (Burgess 1995).
41
Kit ELISA ini mempunyai potensi terhadap munculnya negatif palsu karena
berdasarkan informasi dari produsen, kit tersebut mempunyai limit deteksi 1-5
sel/25 g sampel atau setara dengan 104 Salmonella/ml setelah pengayaan (R-
biopharm 2007). Hal ini berarti apabila Salmonella yang mengkontaminasi pada
hati kurang dari 1-5 sel maka besar kemungkinan tidak dapat terdeteksi oleh kit
ELISA ini.
Pada penelitian ini juga dilakukan pengujian secara serologis terhadap lima
jenis kultur bakteri untuk melihat spesifisitas dari kit ELISA serta mengetahui
kemungkinan adanya reaksi silang dengan spesies bakteri lainnya. Lima jenis
bakteri tersebut terdiri dari empat jenis bakteri gram negatif yaitu Salmonella
typhimurium, Salmonella typhi, Eschericia coli, dan Shigella sonei, serta satu
jenis bakteri gram positif yaitu Staphylococcus aureus. Bakteri-bakteri tersebut
diuji menggunakan kit ELISA tanpa melalui tahapan pengayaan dan dengan
tahapan pengayaan terlebih dahulu selama 16 jam pada buffered peptone water.
Hasil pengujian dikatakan valid apabila optical density (OD) dari kontrol
positif ≥1.0 dan OD dari kontrol negatif <0.2. Kemudian sampel dinyatakan
negatif jika OD <0.2 dan sampel dinyatakan positif apabila OD ≥2.0. Hasil
pengujian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nilai OD pada kedua spesies
Salmonella yang melalui pengayaan dan tanpa pengayaan.
Tabel 9 Spesifisitas kit ELISA yang di uji terhadap bakteri gram negatif dan bakteri gram positif
Bakteri Nilai OD 450 Hasil
ELISA Hasil Kultur Tanpa
pengayaan Setelah
Pengayaan
Salmonella typhimurium 1.031 1.941 + +
Salmonella typhi 1.150 2.268 + +
Eschericia coli 0.054 0.062 - -
Shigella sonei 0.052 0.059 - -
Staphylococcus aureus 0.046 0.049 - -
Kontrol negatif Kontrol positif Cut off
0.045 1.313 0.200
42
Dari Tabel 9 terlihat bahwa nilai OD dari kedua spesies Salmonella yang
melalui pengayaan lebih tinggi dari bakteri yang tidak melalui pengayaan, tetapi
kedua spesies bakteri tersebut mempunyai nilai OD lebih besar dari nilai cut off
yaitu 0.200. Hasil pengujian pada bakteri gram negatif lainnya yaitu E. coli dan
Shigella sonei baik yang melalui pengayaan dan tanpa pengayaan memberikan
nilai OD yang lebih kecil dari cut off, sehingga dikatakan negatif atau tidak terjadi
adanya reaksi silang. Bakteri gram positif yaitu S. aureus memiliki nilai OD lebih
rendah dari cut off.
Pada penelitian ini dilakukan analisis uji kesesuaian dengan statistik kappa
terhadap pengujian menggunakan kit ELISA untuk mendeteksi kontaminasi
Salmonella spp pada hati sapi impor. Dari data pada Tabel 7 menyatakan bahwa
pengujian standar memberikan prevalensi kontaminasi Salmonella spp pada hati
sapi impor sebesar 5.0%, sedangkan dengan menggunakan kit ELISA komersial
prevalensi sebesar 6.7%, dan kedua uji sama-sama memberikan reaksi positif
terhadap 5% dari keseluruhan sampel yang diperiksa. Data ini tidak memberikan
indikasi bahwa reaksi positif berarti status terinfeksi dan reaksi negatif berarti
status tidak terinfeksi. Hal ini hanya memberikan indikasi bahwa pengujian
dengan menggunakan kit ELISA memberikan proporsi positif lebih besar dari
pada pengujian standar, sehingga perlu menghitung kesesuaian antara kedua
pengujian tersebut. Nilai kappa adalah rasio antara nilai selisih kesesuaian dari
yang nampak dengan nilai selisih kesesuaian maksimum (Thrusfield 2005).
Dari hasil analisis perhitungan, nilai kappa diperoleh sebesar 0.848
(Lampiran 5). Menurut Fleiss et al. (2003) yang diacu dalam Thrusfield (2005),
nilai kappa ≥0.75 mengindikasikan kesesuaian sangat baik (excellent agreement),
sedangkan nilai kappa ≤0.4 menunjukkan kesesuaian jelek (poor agreement).
Menurut standar Everitt (1998) yang diacu dalam Thrusfield (2005) nilai kappa
>0.81 mengindikasikan kesesuaian sangat baik (almost perfect agreement), 0.61-
0.80 kesesuaian baik (substantial agreement), 0.41-0.60 kesesuaian sedang
(moderate agreement), 0.21-0.40 kesesuaian kurang (fair agreement), 0.21-0
kesesuaian buruk (slight agreement) dan 0 menunjukkan kesesuain sangat buruk
(poor agreement). Berdasarkan kedua standar tersebut maka nilai kappa 0.848
menyatakan tingkat kesesuaian yang sangat baik, antara uji menggunakan kit
43
ELISA dan metode kultur. Nilai kesesuaian yang diperoleh tersebut di luar dari
pada faktor kebetulan yang mungkin terjadi (Martin dan Bonnet 1987).
Dengan demikian kit ELISA ini dapat direkomendasikan untuk digunakan
di karantina sebagai uji tapis karena memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang
baik. Menurut Salman (2008), dalam memilih metode uji untuk keperluan uji
tapis terutama untuk mendeteksi kontaminasi bakteri patogen pada makanan,
maka nilai sensitivitas yang tinggi menjadi pertimbangan utama karena semakin
tinggi nilai sensitivitas maka semakin kecil diperoleh adanya negatif palsu. Hal
yang sama juga dikemukakan oleh Burgess (1995), metode ELISA sebagai uji
tapis dalam mendeteksi Salmonella pada makanan harus mempunyai minimal
kriteria sebagai berikut, yaitu mampu mendeteksi 2500 serotipe dari Salmonella
spp dan juga mempunyai sensitivitas yang baik untuk mendeteksi patogen pada
level tertentu.
Keuntungan dari penggunaan kit ELISA ini adalah dari segi waktu
pengujian, karena hanya membutuhkan waktu 24-30 jam (±2 hari) sedangkan
pengujian dengan metode kultur membutuhkan waktu selama 168 jam (± 7 hari)
sehingga dapat menghemat waktu sampai 5 hari. Di samping itu dari segi
ekonomi pengujian dengan kit ELISA relatif lebih murah dibandingkan dengan
metode kultur terutama jika sampel yang diuji dalam jumlah besar. Pengujian
dengan kit ELISA lebih efisien dibandingkan dengan metode kultur terutama dari
segi jenis bahan dan reagen yang digunakan. Dalam penggunaan kit ELISA ini
dibutuhkan beberapa faktor penting yang harus diperhatikan antara lain: penangan
terhadap kit ELISA, masa kadaluarsa kit ELISA, peralatan yang digunakan dalam
pengujian sudah terkalibrasi dengan baik serta keterampilan dan pengalaman
analis dalam melakukan pengujian (Burgess 1995).
Penelitian yang sama telah dilakukan untuk membandingkan beberapa kit
komersial terhadap metode standar baik pada bahan pangan maupun pada sampel
lingkungan seperti feses yang terkontaminasi Salmonella spp. Salah satu kit
ELISA untuk mendeteksi kontaminasi Salmonella spp pada makanan yang sudah
divalidasi adalah Salmonella-TEK. Dari hasil penelitian tersebut diperoleh bahwa
kit mampu mendeteksi Salmonella spp pada konsentrasi yang sangat rendah (1-5
CFU/25 g) dan tidak menunjukkan adanya reaksi silang dengan bakteri gram
44
negatif lainnya (Poucke 1990). Kemudian Peplow et al. (1999) melakukan kajian
terhadap sensitivitas dan spesifisitas dari 3 jenis kit yang dikembangkan oleh
perusahaan yang berbeda untuk mendeteksi kontaminasi Salmonella spp pada
feses unggas yang mengkontaminasi lingkungan.
Prevalensi Salmonella spp pada Hati Sapi Impor
Berdasarkan laporan dari Gill (1981), yang diacu dalam Pearson dan Dutson
(1988), prevalensi Salmonella spp pada hati mencapai 1-5%. Dalam penelitian ini
keberadaan Salmonella pada hati sapi impor telah berhasil dideteksi dengan
prevalensi keseluruhan mencapai 5%. Hasil dapat di lihat pada Tabel 10.
Tabel 10 Prevalensi Salmonella sp pada hati sapi yang diimpor melalui pelabuhan Tanjung Priok.
Negara
pengekspor Jumlah sampel
(n) Sampel positif
(Kultur) Prevalensi
(%) Australia 24 1 4.16 Kanada 6 0 0
Selandia Baru 30 2 6.67
Dari Tabel 10 dapat dilihat bahwa prevalensi Salmonella spp pada hati yang
diimpor dari Australia mencapai 4.16% dan Selandia Baru mencapai 6.67%.
Sampel hati dari Kanada memberikan hasil negatif terhadap kedua metode
pengujian yang digunakan. Hasil negatif tersebut tidak dapat dikatakan bahwa
hati yang diimpor dari Kanada tidak terkontaminasi Salmonella. Hal ini
disebabkan karena frekuensi impor hati dari Kanada sangat kecil sehingga
proporsi sampel yang bisa diambil berdasarkan metode pengambilan sampel
probability proportional to size (McGinn 2004) jumlahnya sangat sedikit.
Kemungkinan lainnya adalah prevalensi dugaan yang digunakan dalam
penghitungan jumlah sampel yang akan diambil sebanyak 5%, sedangkan
berdasarkan Johnson et al. (1999) prevalensi Salmonella pada karkas mencapai
1.6% sehingga untuk mendeteksi kontaminasi Salmonella pada hati yang berasal
dari Kanada harus dibutuhkan jumlah sampel yang lebih banyak. Mikroorganisme
patogen lain yang telah diisolasi dari hati sapi adalah Clostridia dengan prevalensi
45
bervariasi antara 32-75%, Clostridium perfringens dengan prevalensi 12%, bakteri
gram positif berbentuk coccus dengan prevalensi 80%, dan E. coli dengan
prevalensi 10% (Pearson dan Dutson 1988).
Pada dasarnya sumber pencemaran mikroorganisme pada hati dibagi
menjadi dua bagian yaitu, sumber pencemaran dari dalam (intrinsik) dan sumber
pencemaran dari luar (ekstrinsik) (Lukman 2007). Sumber pencemaran intrinsik
Salmonella spp berasal dari sapi yang menderita salmonelosis pada saat dipotong
sehingga Salmonella bermanifestasi pada beberapa jaringan tubuh misalnya pada
bagian parenkim hati, prevalensi yang pernah dilaporkan mencapai 2% (Samuel et
al. 1980). Salmonella juga dapat diisolasi dari jejunal dan caecal lymph node
dengan prevalensi mencapai 30%. Caecal lymph node lebih sering terifeksi
dibandingkan dengan jejunal lymph node, tetapi perbedaannya tidak signifikan,
sehingga dapat disimpulkan bahwa mesenteric lymph node dapat menjadi sumber
penularan Salmonella pada karkas dan produk lainya (Moo et al. 1980). Menurut
Rivera (2004), kulit hewan dan pagar kandang penampungan hewan di RPH
merupakan sumber infeksi Salmonella yang utama pada hewan yang akan
dipotong.
Pencemaran ekstrinsik berasal dari berbagai sumber baik pada saat dan
setelah proses pemotongan. Sumber kontaminasi berasal dari feses yang
mengandung Salmonella dengan prevalensi 6.8%, kemudian 68% pada kulit, 29%
pada rongga mulut, dan 25% dari rumen pada saat proses pemotongan di RPH
(Fegan et al. 2004; Fegan et al. 2005). Samuel et al. (1980) menyatakan bahwa
prevalensi Salmonella pada hati pada saat proses pengeluaran jeroan (eviserasi)
mencapai 32%. Sumber pencemaran Salmonella dapat juga melalui peralatan
yang digunakan di RPH, yang kontak dengan bagian sapi yang mengandung
Salmonella, antara lain melalui pisau yang digunakan pekerja RPH dengan
prevalensi 14% (Smeltzer dan Thomas 1981), baja pengasah pisau 65%, plastik
apron 14%, pada pakaian pelindung petugas pengangkat karkas 41%, dan tiang
gedung RPH 30% (Smeltzer et al. 1980a).
Pekerja di RPH juga merupakan sumber kontaminasi Salmonella terutama
pada tangan yang kontak dengan kulit dan kemudian menangani karkas dan
produknya. Hal ini dilaporkan oleh Smeltzer et al. (1980b) bahwa Salmonella
46
dapat diisolasi dari 52% tangan pekerja di RPH. Salmonella dapat diisolasi dari
kemasan eksternal daging dan produknya dengan prevalensi <1% (Burgess et al.
2005).
Kontaminasi Salmonella dipengaruhi oleh kemampuan bakteri tersebut
bertahan pada suatu lingkungan tertentu dan jumlah dari bakteri tersebut pada saat
mengkontaminasi. Menurut Kusumaningrum et al. (2001) S. enteritidis dapat
bertahan selama 4 hari pada suhu ruang dengan konsentrasi bakteri 107 CFU/100
cm2, selama 1 hari pada konsentrasi bakteri yang 105 CFU/100 cm2, dan mampu
bertahan selama 1 jam pada konsentrasi bakteri103 CFU/100 cm2.
Pencemaran Salmonella pada Pangan dan Pengendaliannya
Hampir semua bahan makanan yang berasal dari produk hewan merupakan
wahana Salmonella. Pada umumnya wahana infeksi Salmonella pada manusia
berasal dari unggas, babi, sapi, telur, susu dan produknya. Di Amerika Serikat,
sapi dan produknya merupakan sumber infeksi Salmonella pada manusia,
sedangkan di Inggris, unggas dan produknya bertanggung jawab terhadap lebih
dari 50% wabah Salmonella, sementara pada sapi hanya 2%. Dibeberapa negara
di Eropa, poultry dan babi umumnya merupakan sumber infeksi (WHO 1988). Di
Amerika Serikat, hasil surveilans sampai pertengahan tahun 2008 menunjukkan
prevalensi Salmonella mencapai 5.8% pada ayam pedaging, 2.2% pada daging
sapi, 17.8% pada daging ayam, dan 16.1% pada daging kalkun.
Dosis yang dapat menimbulkan gejala infeksi bervariasi tergantung kepada
spesies dan serotipenya seperti yang dikatakan Sudarwanto (2007) S. barely
1.3x105/g, S. anatum 4.5x105/g, S. newport 105/g, S. pullorum 1.3x109/g, S. east
bourne 102/g, dan S. typhimurium jumlah sedikit sudah menimbulkan penyakit.
Salmonella dengan masa inkubasi 12-36 jam tetapi bisa mencapai 5-72 jam
dengan gejala sakit kepala, rasa mual, kadang muntah, sakit perut, diare, dan
demam ringan. Pada penelitian ini tidak dilakukan karakterisasi untuk
menentukan serotipe terhadap sampel yang positif. Umumnya serotipe
Salmonella yang pernah diisolasi dari hati sapi di Australia adalah S. adelaide, S.
anatum, S. bovis-morbifican, S.bredeney, S.chester, S. give, S. havana, S. litcfield,
47
S. muenchen, S. newington, S. newport, S. saint-paul, S. typhimurium, dan S.
virchow (Samuel et al.1980).
Kemudian yang menjadi kekhawatiran saat ini terhadap aspek kesehatan
manusia diberbagai negara di dunia adalah munculnya beberapa serotype
Salmonella yang resisten terhadap antibiotik. Penggunaan antibiotik secara terus
menerus, baik dalam rangka pengobatan maupun penggunaan antibiotik sebagai
pemacu pertumbuhan pada industri peternakan dapat berpotensi menyebabkan dan
menyebarkan resistensi antibiotik dari beberapa mikroba. Dalam beberapa tahun
terakhir isolat Salmonella yang berhasil diisolasi dari produk hewan mengalami
peningkatan terhadap serotipe Salmonella yang resisten terhadap antibiotik.
Berdasarkan laporan Chen et al. (2004), dari 133 isolat Salmonella dari
sampel daging yang diperiksa, terdapat 82% isolat Salmonella yang resisten
terhadap antibiotik. Jenis antibiotik yang diperoleh dari Salmonella yang
mengalami resistensi terhadap tetrasiklin (68%), streptomisin (61%),
sulfametoksazol (42%), dan ampisilin (29%). Dengan demikian perlu
dikembangkan teknik molekular genetik yang dapat digunakan untuk karakterisasi
Salmonella yang resisten terhadap antibiotik, khususnya Salmonella enterica
serovar Typhimurium DT104.
Penelitian ini memberikan gambaran adanya kontaminasi Salmonella spp
pada hati sapi yang diimpor bahkan adanya kemungkinan terdeteksi serotipe
Salmonella yang resisten terhadap antibiotik. Hal ini harus mendapat perhatian
yang sangat serius karena menyangkut keamanan pangan. Berdasarkan Undang
Undang Pangan nomor 7 tahun 1996, keamanan pangan merupakan kondisi dan
upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran
bologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan
membahayakan kesehatan manusia. Indonesia menetapkan standar mengenai
batas maksimum cemaran mikroba dan batas maksimum residu dalam bahan
makanan asal ternak yang dituangkan dalam SNI No. 01- 6366-2000. Dalam
standar tersebut ditetapkan bahwa batas maksimum Salmonella dalam bahan
makanan asal ternak (daging, susu, dan telur) adalah negatif. Standar tersebut
berlaku untuk produk asal hewan yang diimpor maupun produksi dalam negeri.
48
Berdasarkan data hasil monitoring dan surveilans residu dan cemaran
mikroba oleh BPMPP (2008), kontaminasi Salmonella pada tahun 2006 mencapai
3.3% dari 605 sampel daging ayam yang di ambil dari 11 propinsi di Indonesia,
sedangkan tahun 2007 mencapai 1.94% dari 309 sampel yang terdiri dari 197
daging ayam dan 112 daging sapi yang diambil dari 7 propinsi di Indonesia. Dari
data tersebut dapat dilihat bahwa Salmonella sp pada produk asal hewan masih
dapat dideteksi dengan jumlah sampel yang masih sangat terbatas dan belum
sesuai dengan standar SNI yang ditetapkan.
Demam tifoid masih menjadi problem utama di beberapa negara
berkembang termasuk Indonesia (Soewandojo et al. 1998). Dari 16 juta kasus
demam tifoid, terdapat kematian sebesar 600000 jiwa. Insiden salmonelosis tifoid
ini cenderung lebih konstan, dengan kasus yang tidak sebanyak kasus
salmonelosis non-tifoid. Insiden salmonelosis non-tifoid terus meningkat di
seluruh dunia. Kasus tersebut tercatat mencapai 1.3 miliar dari kasus
gastroenteritis akut atau diare dengan 13 juta kematian (Portillo 2000).
Di Amerika Serikat kira-kira sebanyak 5 juta kasus salmonelosis, 60-80 %
diantaranya terjadi secara sporadik, tetapi sebagian besar kasus terjadi berasal dari
makanan yang tercemar. Di Massachusetts, 50% lebih S. enteritidis dan S.
typhimurium dapat diisolasi dari kasus yang terjadi (CDC 2001). Kejadian
salmonelosis tifoid di Amerika Selatan yaitu1:650 per tahun, lebih rendah
dibandingkan dengan negara-negara di benua yang berbeda seperti Indonesia dan
Papua New Guinea yaitu 1:100 per tahun (Portillo 2000).
Selama periode tahun 80-an, Indonesia merupakan salah satu negara dengan
insiden demam tifoid tertinggi di dunia (Suwandono et al. 2005). Hasil dari studi
epidemiologi dan survei rumah tangga memperlihatkan bahwa angka morbiditas
untuk daerah semi pedesaan adalah 358/100 000 penduduk dan angka ini
meningkat mencapai 810/100 000 penduduk untuk daerah perkotaan, disertai
kecenderungan peningkatan karena program vaksinasi untuk penyakit ini telah
dihentikan sejak tahun 1980 (Arjoso dan Simanjuntak 1998; Sudarmono et al.
2001).
Data dari rumah sakit yang menangani penyakit infeksius di Jakarta
melaporkan bahwa kasus demam tifoid terus meningkat, dari 11.4% menjadi
49
18.9% selama tahun 1983- 1990. Pada periode tahun 1991-1996 penyakit
meningkat dari 22% sampai 36.5%. Insiden demam tifoid yang dilaporkan oleh
pusat kesehatan dan rumah sakit di Jakarta menyebutkan bahwa penyakit terus
meningkat dari 92% menjadi 125% per 100 000 penduduk per tahun selama tahun
1994-1996 (Suwandono et al. 2005). Angka mortalitas penyakit menurun dari
3.4% pada tahun 1981 menjadi 0.6% pada tahun 1996, angka ini telah
menunjukkan adanya penurunan berkaitan dengan adanya perbaikan fasilitas
kesehatan (Arjoso dan Simanjuntak 1998).
Diperkirakan demam tifoid terjadi sebanyak 60 000 hingga 1 300 000 kasus
dengan sedikitnya 20 000 kematian per tahun. Hampir 80% kasus demam tifoid
ditemukan pada anak-anak/dewasa, usia antara 5 sampai 29 tahun (Suwandono et
al. 2005). Arjoso dan Simanjuntak (1998) melaporkan bahwa kelompok yang
mudah terpapar kasus tersebut sebagian besar terjadi pada umur 3-19 tahun.
Demam tifoid merupakan penyakit yang serius di Jakarta Utara. Estimasi
insiden demam tifoid di Jakarta Utara sangat tinggi (200/100 000 untuk semua
umur) sedang pada anak-anak lebih tinggi. Insiden demam tifoid terus meningkat,
pada tahun 2001 sebesar 680/ 100 000 penduduk dan pada tahun 2002 menjadi
1426/100 000 penduduk. Insiden demam tifoid ini dianggap tinggi jika terjadi
pada 100/100 000 penduduk atau lebih (Suwandono et al. 2005).
Pada periode 1999-2003 di Balai Besar Penelitian Veteriner (BBalitvet)
telah mengisolasi Salmonella spp. dari manusia sebanyak 59 isolat. Isolat-isolat
tersebut adalah: S. typhimurium, S. enteritidis, S. worthington, S. lexington, S.
agona, S. weltervreden, S. bovismorbificans, S. dublin, S. newport, S11.
(stellenbosch), S. virchow dan S. virginia (Poernomo 2004). Sudarmono et al.
(2001) melaporkan bahwa selama bulan April 1998 sampai dengan bulan Maret
1999, salmonelosis non-tifoid pada manusia yang paling umum terjadi disebabkan
oleh S. aequaticus, S. derby, S. enteritidis, S. javana, S. lexington, dan S. virchow.
Tingginya kontaminasi Salmonella pada pangan asal hewan dan banyaknya
kasus salmonelosis pada manusia menyebabkan perlunya peningkatan
pengawasan secara ketat oleh semua pihak. Oleh karena itu, diperlukan standar
surveilan dan monitoring kontaminasi Salmonella pada pangan asal hewan dan
manusia secara periodik, dengan jumlah sampel yang dapat mewakili populasi dan
50
menggunakan metode pengujian yang lebih cepat dan tepat. Salah satu metode
pengujian biomolekuler yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan
metode polymerse chain reaction. PCR dapat digunakan untuk menetukan
serotipe secara langsung melalui deteksi DNA. Disamping itu metode ini dapat
digunakan untuk membantu penelusuran sumber-sumber infeksi jika terjadi
wabah Salmonelosis.
Berbeda dengan Indonesia, penerapan jaminan keamanan pangan di
beberapa negara di dunia, terutama terhadap standar Salmonella. Beberapa negara
hanya mempersyaratkan pengawasan yang sangat ketat dan menerapkan prinsip
jaminan keamanan pangan from farm to table. Sebagai contoh jaminan keamanan
pangan di berbagai negara di Uni Eropa berdasarkan undang-undang yang disebut
sebagai General Principles of Food Law in the European Union. Isinya antara
lain adalah produsen harus memberikan informasi secara akurat dan jujur kepada
konsumen, tidak hanya kandungan nutrisi tetapi juga proses penanganan produksi
dan distribusi mulai dari farm sampai ke konsumen akhir. Di Jepang penerapan
jaminan keamanan pangan telah menetapkan persyaratan sistem jaminan mutu
HACCP untuk proses penanganan produksi pangan, artinya hanya produk pangan
yang proses produksinya mengikuti sistem jaminan mutu HACCP yang dapat
masuk ke pasar Jepang (Murdiati 2006).
Penerapan jaminan keamanan pangan di Amerika Serikat sejak Desember
1999 telah memberlakukan sistem jaminan mutu HACCP bagi produk pangan
terutama hasil ternak yang masuk pasar Amerika Serikat. Pengawasan regulasi
tersebut dilakukan oleh Food Safety and Inspecton Service (FSIS). Konsumen
yang dirugikan karena mengonsumsi pangan yang tidak aman dapat menggugat di
pengadilan sipil sedangkan operator yang gagal menunaikan kewajibannya
memproduksi dan mengedarkan pangan yang tidak aman bertanggung jawab
langsung menghadapi ancaman gugatan sipil dan tindakan penegakan hukum dari
otoritas kompeten. Selain itu untuk menjamin pangan aman dari terorisme dan
mencegah terorisme melalui pangan, maka dikeluarkan undang-undang
Bioterorisme atau the Bioterrorism Act (TBA). Ditinjau dari keamanan pangan,
TBA menggunakan prinsip from farm to table.
51
Standar internasional terhadap jaminan keamanan pangan ditetapkan oleh
Codex Alimentarius Comission (CAC). Standar Codex meliputi standar pangan
(makanan) pokok, makanan yang diproses, pangan setengah proses, dan pangan
mentah. Perbedaan peraturan antara satu negara dengan negara lain dapat menjadi
hambatan teknis atau hambatan non-tarif dalam perdagangan pangan antar negara.
Codex berupaya mengurangi hambatan tersebut dengan mengeluarkan standar
yang diharapkan dapat diterima oleh negara-negara yang melakukan perdagangan
internasional. Sampai saat ini Codex belum menetapkan standar kontaminasi
Salmonella pada pangan segar asal hewan. Codex hanya mempersyaratkan
pengawasan terhadap setiap rantai produksi untuk mencegah, mengeliminasi dan
mereduksi kontaminasi Salmonella pada pangan asal hewan, serta mewajibkan
sistem monitoring dan surveilans secara periodik.
Dalam kegiatan importasi pangan asal hewan, analisis risiko menjadi makin
penting. Analisis risiko diperlukan karena tuntutan yang makin kuat akan
konsistensi penerapan perlakuan terhadap setiap negara dalam perdagangan
global. Perlakuan yang berbeda terhadap suatu negara hanya boleh berdasarkan
aspek teknis semata. Ketentuan perjanjian Sanitary and Phytosanitary (SPS)
menetapkan penerapan sistem keamanan pangan harus berdasarkan analisis risiko
yang terdiri dari penilaian risiko, manajemen risiko, dan komunikasi risiko dari
bahaya yang ada dalam pangan terhadap kesehatan manusia.
Jaminan keamanan pangan di Indonesia menjadi tanggung jawab semua
pihak yang terkait, antara lain pemerintah, pelaku industri (dalam hal ini di tingkat
produksi, peternakan, processing, pengecer, dan restoran), konsumen dan media.
Pemerintah bertanggung jawab terhadap penyediaan peraturan, undang-undang
dan penegakan hukum, pemberian bimbingan dan pendidikan keamanan pangan,
melakukan surveilan dan pengumpulan data, serta penyediaan dana penelitian.
Pelaku industri bertanggung jawab terhadap penerapan HACCP, Good
Manufacturing Practices (GMP), penyediaan sarana dan teknologi.
Konsumen diharapkan dapat mengerti tentang keamanan pangan,
pengetahuan tentang penyimpanan, penyiapan dan pegolahan pangan yang benar,
penerapan higiene dan kebersihan serta sikap dan tindakan yang mendukung
52
keamanan pangan. Media bertanggung jawab memberikan informasi yang benar
terhadap semua aspek yang berhubungan dengan keamanan pangan.
Sebagai pintu terdepan dalam kegiatan ekspor impor, institusi karantina
hewan wajib mendukung jaminan keamanan pangan terutama impor hewan dan
produk hewan untuk konsumsi manusia. Karantina hewan selayaknya
meningkatkan pengawasan terhadap kegiatan impor hewan dan produk hewan
terutama dari aspek keamanan pangan dalam rangka mendukung kesehatan
masyarakat veteriner. Oleh sebab itu, karantina harus selalu mengembangkan
teknik dan metode pengujian yang cepat, tepat dan akurat dalam rangka
menunjang kegiatan perkarantinaan di Indonesia. Jaminan keamanan pangan
tidak akan tercapai tanpa kerjasama dan koordinasi di antara semua pihak yang
terlibat dalam rantai pangan (from farm to table).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Hati sapi yang diimpor ke Indonesia terkontaminasi Salmonella spp dengan
prevalensi mencapai 5%.
2. Kit RIDASCREEN® Salmonella merupakan uji tapi yang handal dengan
sensitivitas 100%, spesifisitas 98%, nilai prediktif positif 75% dan nilai
preidiktif negatif 100%.
3. Kit RIDASCREEN® Salmonella mempunyai nilai kappa 0.848, yang
menunjukkan kesesuaian yang sangat baik dengan metode standar (kultur).
4. Kit RIDASCREEN® Salmonella dapat direkomendasikan untuk digunakan
sebagai uji tapis dalam mendeteksi Salmonella spp pada hati sapi impor.
Saran
1. Perlu pengembangan teknik diagnosa yang lebih cepat, tepat dan akurat untuk
mendeteksi Salmonella.
2. Perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut di lapangan terhadap kit ELISA dan perlu
kajian secara biomolekuler terhadap sumber Salmonella di hati
DAFTAR PUSTAKA
Adams MR, Moss MO. 1995. Food Microbiology. Cambridge: RSC. Inggris.
Arjoso S, Simanjuntak CH. 1998. Typhoid and salmonellosis in Indonesia. Med J Indonesia 70: 20-23.
Arroyo G, Arroyo JA. 1995. Detection of Salmonella serotypes in edible organ meats from markets in Madrid, Spain. Food Microbiol 12:13-20.
Bahri S, Indrianingsih, Widiastuti R, Murdiati TB, Maryam R. 2000. Keamanan Panganasal ternak: Suatu tuntutan di era perdagangan bebas. Wartazoa 12:47-64.
Baloda S, Christensen L, Trajcevska S. 2001. Persistence of a Salmonella enterica serovar Typhimurium DT12 clone in a piggery and in agricultural soil amended with Salmonella-contaminated slurry. Appl Environ Microbiol 67:2859-2862.
[BAM] Bacteriological Analytical Manual. 2006. Salmonella. Revision. U.S. Food and Drug Administration. Center for Food Safety and Applied Nutrition. Edition 8th. Chapter 5. Amerika Serikat.
Barham AR, Barham BL, Johnson AK, Allen DM, Blanton JR, Miller MF. 2002. Effects of the transportation of beef cattle from the feedyard to the packing plant on prevalence levels of Escherichia coli O157 and Salmonella sp. J Food Protect 65: 280-283.
Baumler AJ, Tsolis R, Ficht TA, Adams G. 1998. Minireview: evolution of host adaptation in Salmonella enterica. Infec Immunity 66: 4579–4587.
Bell RG. 1997. Distribution and sources of microbial contamination on beef carcasses. J Appl Microbiol 82: 292-300.
[BPMPP] Balai Pengujian Mutu Produk Peternakan. 2008. Hasil monitoring dan surveillans residu dan cemaran mikroba. Di dalam Apresiasi dan rapat koordinasi pengawasan keamanan pangan. Jakarta 10-12 Maret 2008.
Brenner FW, Villar RG, Angulo FJ, Tauxe R, Swaminathan B. 2000. Salmonella nomenclature. J Clin Microbiol 38:2465-2467.
Budiharta S, Suardana IW. 2007. Epidemiologi dan Ekonomi Veteriner. Ed-1. Denpasar: Penerbit Universitas Udayana.
Burgess GW. 1995. Teknologi ELISA dalam Diagnosa dan Penelitian. Gajah Mada University Press, penerjemah Artama WT, editor James Cook University Australia. 1988. Terjemahan dari: ELISA Technology in Diagnosis and Research.
55
Burgess F, Little CL, Allen G, Williamson K, Mitchell RT. 2005. Prevalence of Campylobacter, Salmonella and Escheria coli on external packaging of raw meat. J Food Protect 68:469-475.
[CDC] Center for Disease Control and Prevention. 2001. Salmonella surveillance summary. Atlanta. http://www.cdc.gov/ncidod/diseases/Salmonella.htm. [10 November 2008]
[CFSPH] The Center for Food Security and Public Health. 2005. Salmonelosis: Paratyphoid, Non-typhoidal Salmonellosis. Institute for International Cooperation in Animal Biologics. An OIE Collaborating Center Iowa State University. USA.
Chen S, Zhao S, White DG, Schroeder CM, Lu R, Yang H, McDermot P, Ayers S, Meng J. 2004. Characterization of multiple-antimocrobial-resistant Salmonella serovar isolated from retail meats. J Appl Environ Microbiol 70:1-7.
Crowther JR. 1996. ELISA Theory and Practice. Vol-42. Singapore: IST.
D’Aoust JY. 2000. Salmonella. In: Lund BM, Baird-Parker TC, Gould GW, editors: The Microbiological Safety and Quality of Food. Maryland: Aspen.
[Ditkesmavet] Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner. 2007. Kebijakan pemasukan karkas, daging, dan jeroan dari luar negeri. Di dalam: diskusi impor daging oleh CIVAS. Bogor 4 Oktober 2007.
Downes FP, Ito K (editors). 2001. Compendium of Methods for the Microbiological Examination of Foods. Ed-4. Washington DC: American Public Health Association.
[EFSA] European Food Safety Authority. 2008. A quantitative microbiological risk assessment on Salmonella in meat: source attribution for human salmonellosis from meat. Scientific Opinion of the Panel on Biological Hazards. The EFSA 625:1-32.
Fegan N, Vanderlinde P, Higgs G, Desmarchelier P. 2004. Quantification and prevalence of Salmonella in beef cattle presenting at slaughter. J Appl Microbiol 97:892-898.
Fegan N, Vanderlinde P, Higgs G, Desmarchelier P. 2005. A study of prevalence and numeration of Salmonella enteric in cattle on carcass during processing. J Food Protect 68:1147-1153.
Forshell LP, Ekesbo I. 1996. Survival of salmonellas in composted and not composted solid animal manure. Zentbl Vetmed 40:654–658.
Foster JW, Spector MP. 1995. How Salmonella survive against the odds. Ann Rev Microbiol 49: 145-174.
56
Garbutt J. 1997. Essentials of Food Microbiology. Ed-1. London: Arnold.
Gill CO, Harrison JCL. 1984. Evaluation of the hygienic efficiency of offal cooling procedures. Food Microbiol 2:63-69.
Hanna MO, Smith GC, Savell JW, McKeith FK, Vanderzant C. 1982. Effects of packaging methods on the microbial flora of livers and kidneys from beef or pork. J Food Protect 45: 74-81.
Herdiana UR. 2007. Tingkat keamanan susu bubuk skim impor ditinjau dari kualitas mikrobiologi [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana Insitut Pertanian Bogor.
[IPB] Tim Protein, Institut Pertanian Bogor. 1982. Laporan Lokakarya: Peranan protein dalam pembangunan bangsa. Bogor.
Johnson P, Odumeru J, Mahdi A, Baker T. 1999. Microbiological risk assessment on raw beef carcasses in ontario abattoirs. J Food Protect 61:853.
Khakhria R, Woodward D, Johnson WM, Poppe C. 1997. Salmonella isolated from humans, animals and other sources in Canada 1983–1992. Epidemiol Infect 119:15-23.
Kleinbaum DG. 1994. Logistic Regression. New York: Spinger-Verlag.
Kusumaningrum HD, Riboldi G, Hazeleger WC, Beumer RR. 2003. Survival of foodborne patogens on stainless steel surfaces and cross-contamination to foods. J Food Microbiol 85:227-236.
Kusumaningsih A. 2007. Resistensi antimikroba Salmonella Enteridis pada ayam Dan manusia [Disertasi]. Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Lukman DW. 2007. Penyakit yang ditularkan melalui makanan (foodborne disease). Bahan kuliah. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor 26 Oktober 2007. (tidak dipublikasikan).
Lukman DW, Sudarwanto M, Sanjaya AW, Soejoedono RR, Purnawarman T, Latif H. 2007. Higiene Pangan. Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner. Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
[MAFNZ] Ministry of Agriculture and Forestry New Zealand. 2006. Import risk analysis: cattle from Australia, Canada, the EU and the USA: Salmonelosis. New Zealand.
Martin SW, Bonnet B. 1987. Clinical epidemiology. Can Vet J 28:318-325.
McGinn T. 2004. Probability proportional to size sampling technique. RHRC Consortium Monitoring and Evaluation toolkit. USA.
57
Mead PS, Slutsker L, Dietz V, McCaigh LF, Bresee JS, Shapiro C, Griffin PM, Tauxe RV. 1999. Food-related illness and death in the United States. Emerg Infect Dis 5: 607-625.
Moo D, Boyle DO, Mathers W, Frost AJ. 1980. The isolation of Salmonella from jejunal and caecal lymph nodes of slaughters animals. Aus Vet J 56:181-183.
Murdiati TB. 2006. Jaminan Keamanan pangan asal ternak: Dari kandang hingga piring konsumen. J Litbang Pertanian 25: 22-29.
Ng SP, Tsui CO, Roberts D, Chau PY, Ng MH. 1996. Detection and serogroup differentiation of Salmonella spp. in food within 30 hours by enrichment-immunoassay with a T6 monoclonal antibody capture enzyme-linked immunosorbent assay. Appl Environ Microbiol 62: 2294-2302.
Oblinger JL, Kennedy JE, Rothenberg CA, Berry BW, Stern NJ. 1982. Identification of bacteria isolated fom fresh and suhue abused variety meats. J Food Protect 45:650.
Olsen AR, Hammack TS. 2000. Isolation of Salmonella spp. from housefly, Musca domestica L., and the dump fly, Hydrotaea aenescens (Wiedemann) (Diptera: Muscidae), at caged-Layer houses. J. Food Protect 63:958-960.
OzFoodNet Working Group. 2003. Foodborne disease in Australia: incidence, notifications and outbreak. Annual report of the OzFoodNet network, 2002. Communicable Disease Intelligence 27: 209-243.
Patterson JT, Gibbs PA. 1979. Vacuum packaging of bovine edible offal. Meat Sci 3:209.
Pearson AM, Dutson TR. 1988. Edible Meat by Products - Advences in Meat Research Vol.5. London and New York: Elsevier Applied Science.
Peplow MO, Prissant MC, Stebbins ME, Jones F, Davies P. 1999. Sensitivity, specificity and predictive values of three Salmonella rapid detection kits using fresh and frozen poultry environmental sample versus those of standar plating. Appl Environ Microbiol 65:1055-1060.
Poernomo S. 2004. Variasi Tipe Antigen Salmonella pullorum yang ditemukan di Indonesia dan penyebaran serotipe Salmonella pada ternak (PO). Wartazoa 14: 143-159.
Popoff MY. 2001. Antigenic formula of the Salmonella serovars. World Health Organization Collaborating Centre for Reference and Research on Salmonella. Pasteur Institute, Paris France.
Portillo FG. 2000. Molecular and cellular biology of Salmonella pathogenesis in microbial foodborne disease: Mechanisms of pathogenesis and toxin synthesis Ed-1. (Eds: J.W. Cary, J.E. Linz, D. Bhatnagar). Technomic
58
Publishing Company., Inc. 851 New Holland Avenue Box 3535. Lancester, Pennysylvania 17604 USA, pp 3-7.
Poucke LSG. 1990. Salmonella-Tek, a rapid screening method for Salmonella species in food. Appl Environ Microbiol 56: 924-927.
Punjabi NH. 1998. Cost evaluation of typhoid fever in Indonesia. Med J Indonesia 70:90-93.
Qiongzhen L, Sherwood JS, Logue CM. 2004. The Prevalence of Listeria, Salmonella, Eschericia coli, E.coli O157:H7 on bison carcasses during processing. J Food Microbiol 21:791-799
R-Biopharm. 2007. RIDASCREEN®Salmonella. R-Biopharm AG. Darmstadt. Jerman.
Rivera BM, Shackkelford SD, Arthur TM, Westmoreland KE, Bellinger G, Rossman M, Reagan JO. 2004. Prevalence of E. coli O157:H7, L. monocytogenes, and Salmonella in two geographically distant commercial beef processing plants in the United State. J Food Protect 67:295-302.
Salman M. 2008. Properties of screening and diagnostic tests and issue related to gold standard. Bahan kuliah umum. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor 21 November 2008.
Samuel JL, O’boyle DA, Mathers WJ, Frost AJ. 1980. The contamination with Salmonella of bovine livers in an abattoir. Aus Vet J 56:526–528.
Shelef LA. 1975. Microbial spoilage of fresh refrigerated beef liver. J Appl Bacteriol 39:273
Sheridan JJ, Lynch B. 1988. The influence of processing and refrigeration on the bacterial numbers on beef and sheep offals. Meat Sci 24:143-150.
Small A, Reid CA, Avery SM, Karabasil N, Crowley C, Buncic S. 2002.Potensial for the spread of Escherichia coli O157, Salmonella, and Campylobacter in the lairage environment at abattoirs. J Food Protect 65:931-936.
Smeltzer T, Thomas R. 1981. Transfer of Salmonellae to meat and offal by knives. Aus Vet J 57:433.
Smeltzer T, Thomas R, Collins G. 1980a. The role of equipment having accidental or indirect contact with the carcase in the spread of Salmonella in an abbatoir. Aus Vet J 56:14-17.
Smeltzer T, Thomas R, Collins G. 1980b. Salmonella on posts, hand-rails and hands in a beef abbatoir. Aus Vet J 56:184-186.
59
[SNI] Standar Nasional Indonesia No. 01-6366-2000. 2000. Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Batas Maksimum Residu dalam Bahan Makanan Asal Hewan. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.
Soewandojo E, Suharto, Hadi U. 1998. Typhoid fever in Indonesia clinical picture, treatment and status after therapy. Med J Indonesia 70: 95-104.
Sofos JN, Belk KE, Smith GC. 2002. Processes to reduce contamination with pathogenic microorganisms in meat. Department of Animal Science. Colorado University. Colorado: Colorado University Pub.
Soumet C, Ermel G, Salvat G, Colin P. 1997. Detection of Salmonella spp. in food products by polymerase chain reaction and hybridization assay in microplate format. Letters Appl Microbiol 24: 113-116.
Sudarmono P, Poernomo S, Suhadi I. 2001. The current management of Salmonella typhi and Salmonella in Indonesia. Dalam: Typhoid fever and other Salmonellosis. First Ed. (Eds: OU J.T., C-H. CHIU dan C. CHIU). The Fourth International Symposium on thypoid fever and other Salmonellosis, Taipei, Taiwan. pp. 25- 30.
Sudarwanto M. 2007. Higiene Pangan. Bahan kuliah. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. (tidak dipublikasikan).
Suwandono AM, Destri, Simanjuntak C. 2005. Salmonellosis dan Surveillans demam tifoid yang disebabkan Salmonella di Jakarta Utara. Disampaikan dalam Lokakarya Jejaring Intelijen Pangan – BPOM RI, Jakarta, 25 Januari 2005.
Thorner RM, Remein QR. 1961. Principle and Procedures in the Evaluation of Screening for Disease. Public Health Monograph 67:24.
Thrusfield M. 2005. Veterinary Epidemiology. Ed-3. London: Blackwell.
[TMKH] Teknik Metode Karantina Hewan. 2008. Rekapitulasi data operasional impor pada unit pelaksana teknis karantina hewan. Jakarta: Badan Karantina Pertanian.
Vanderlinde PB, Shay B, Murray J. 1998. Microbiological quality of Australian beef carcass meat and frozen bulk packed beef. J Food Protect 61: 437–443.
Winarno, FG. 1996. Undang-undang tentang pangan. Kumpulan Makalah pada Musyawarah II dan Seminar Ilmiah Persatuan Ahli Teknologi Laboratorium Kesehatan Indonesia. Jakarta, 25−26 November 1996.
Witte W. 1998. Medical consequences of antibiotic use in agriculture. Science 279:996-997
LAMPIRAN
60
Lampiran 1 Data pengambilan sampel hati sapi impor
No Perusahaan Pengimpor Jumlah sampel Perusahaan Pengekspor NKV Tanggal
pemotongan Tanggal Kadaluarsa
1. PT. Anzindo Muara angke Jakarta 6 Hardwick, Processors Knight court,
Kyneton Victoria, Australia L 43 14 Juli 2008 14 April 2009
2. PT. Anzindo Muara angke, Jakarta 6 PPCS Limited Belfast, Factory Road,
Belfast, Christchurch, NZ ME 15 9 Juni 2008 9 Maret 2009
3. PT. Sukanda Jaya, Cibitung, Bekasi 6 Kilcoy Pastoral Company Limited
Queensland, Australia MS 640 27 Juli 2008 27 April 2009
4. PT. Bumi Maestro Ayu Duren Tiga, Jak-sel 6 CMP Canterbury LTD
Seafield Road, Ashburton NZ ME 78 8 Juli 2008 8 Juli 2010
5. PT. Indoguna Utama Jakarta 6 Granville Drive, Seymour Victoria
Australia EST 260 15 Juli 2008 15 April 2009
6. PT. Sumber Laut, Cileungsi 6 Product of Cargill, High River
Canada 93 30 Juni 2008 30 Maret 2009
7. PT. Hero Cibitung, Bekasi 6 Stanbroke Beef PTY Grantham,
Queensland, Australia EST 203 23 Juli 2008 23 april 2009
8. PT. Bumi Maestro Ayu Duren Tiga, Jak-sel 6 PPCS Limited- Finegand, Yorston Road,
Finegand, NZ ME 26 22 Juli 2008 22 April 2009
9. PT. Bumi Maestro Ayu Duren Tiga, Jak-sel 6 PPCS Limited Belfast, Factory Road,
Belfast, Christchurch, NZ ME 15 30 Juli 2008 30 April 2009
10. PT. Anzindo Muara angke, Jakarta 6 CMP Canterbury LTD
Seafield Road, Ashburton NZ ME 78 7 Juni 2008 7 Maret 2009
Jumlah 60
61
Lampiran 2 Skema pengujian Salmonella mengunakan Kit ELISA RIDASCREEN® Salmonella
Homogenisasi 25 g sampel dan 225 ml lactose broth (inkubasi 16 Jam pada 36±1°C)
Masukkan 100 µl sampel, kontrol positif dan kontrol negatif pada microplate yg sdh dilapisi dgn antibodi somatik O (spesifik) (inkubasi 30 menit pada 36±1°C)
Pencucian 7X
Masukkan 250 µl Salmonella broth (36±1°C), tutup microplate, inkubasi pada suhu 36±1°C selama 5,5 jam
Tambahkan 100 µl konjugat, tutup microplate dan inkubasikan pada suhu 36±1°C selama 30 menit
Pencucian 7X
Tambahkan 100 µl substrat khromogen, inkubasikan dalam suhu ruang dan gelap selama 15 menit. Kemudian tanbahkan 100 µl stop solution
Baca dengan ELISA reader filter dan referensi filter 450/620 nm
62
Lampiran 3 Skema pengujian Salmonella dengan metode kultur (BAM 2006)
PENGUJIAN SALMONELLA
BSA XLD
1. HOMOGENISASI Sampel 225 ml Lactose broth
25 gram Sampel
2. PRA-PENYUBURAN Inkubasi pada 36±1oC selama 24 jam
3. SELEKSI PENYUBURAN Inkubasi pada 36±1oC selama 24 jam
4. PLATING Inkubasi pada 36±1oC selama 24-48 jam
6. KONFIRMASI secara biokimia dan serologi
1 ml
5. SCREENING diatas agar TSI dan LI Inkubasi pada suhu 36±1oC selama 24 jam (agar TSI) dan (agar LI)
BSA HE XLD
10 ml selenite cystine broth (SCB)
alkalis (merah)miring asam (kunin) tegak*
Agar TSI Agar LI
alkalis (ungu) tegak*
* Dengan atau tanpa penghitaman (produksi H2S)
10 ml Ravapot
10 ml tetrathionate broth Vasilidiasis (TTB) broth
(RV )
BSA HE HE XLD
BS = Bismuth sulfite agar HE = Hektoen enteric agar XLD = Xylose lysine desoxycholate agar
63
Lampiran 4 Penghitungan sensitivitas, spesifisitas, nilai prediktif dan true prevalensi hati sapi impor
Metode Uji kultur (standar)
Jumlah Positif Negatif
ELISA kit Positif 3 (a) 1 (b) 4 (a+b)
Negatif 0 (c) 56 (d) 56 (c+d)
Jumlah 3 (a+c) 57 (b+d) 60 (n)
a. Sensitivitas = a__ (a+c)
= 3 × 100 % 3
= 100%
b. Spesifisitas = d__ (b+d)
= 56 × 100 % 57
= 98.24%
c. Nilai pediktif positif = a__ (a+b)
= 3 × 100 % 4
= 75%
d. Nilai pediktif negatif = d__ (c+d)
= 56 × 100 % 56
= 100%
e. Positif palsu = b__ (a+b)
= 1 × 100 % 4
= 25%
f. Negatif palsu = c__ (c+d)
= 0 × 100 % 56
= 0%
g. Prevalensi dugaan = a + b__ (n)
= 4 × 100 % 60
= 6.7%
g. Prevalensi sebenarnya = a + c__ (n)
= 3 × 100 % 60
= 5%
64
Lampiran 5 Penghitungan kappa Statistic untuk ukuran kesepakatan (Thrusfield 2005)
Metode Uji kultur (standar)
Jumlah Positif Negatif
ELISA Kit Positif 3 1 4
Negatif 0 56 56
Jumlah 3 57 60
Proporsi positif uji baru (Kit ELISA) = 4/60 = 0.067
Proporsi positif uji standar (Kultur) = 3/60 = 0.05
Proporsi negatif uji baru (Kit ELISA) = 56/60 = 0.93
Proporsi negatif uji standar(Kultur) = 3/60 = 0.95
Proporsi Kesesuaian yang nampak = (3+56)/60 = 0.98
Kesesuaian positif yang diharapkan = 0.067 x 0.05 = 0.00335
Kesesuaian negatif yang diharapkan = 0.93 x 0.95 = 0.8835
Jumlah kesesuaian yang diharapkan = 0.88685
Selisih kesesuaian dari yang nampak = 0.98 – 0.88685 = 0.09315 (X)
Selisih kesesuaian maksimum = 1 – 0.88685 = 0.11315 (Y)
Kappa = X ; 0.09315 = 0.848 Y 0.11315
65
Lampiran 6 Data hasil pengujian sampel dengan metode ELISA dan Metode kultur
Nomor Sampel Rataan OD Hasil ELISA Metode Kultur
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
0.059 0.057 1.821 0.133 0.058 0.056 0.073 0.063 0.106 0.080 0.080 0.079 0.117 0.128 0.122 0.092 0.077 0.060 0.048 1.625 0.104 0.092 0.051 0.224 0.094 0.072 0.055 0.056 0.061 0.066 0.055 0.073
Negatif Negatif Positif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Positif Negatif Negatif Negatif Positif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif
Negatif Negatif Positif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Positif Negatif Negatif Negatif Positif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif
66
Nomor Sampel Metode ELISA (OD) Hasil ELISA Metode Kultur
33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60
S. typhi E. coli
S. aureus
0.086 0.164 0.070 0.075 0.091 0.061 0.073 0.074 0.044 0.089 0.081 0.080 0.079 0.078 0.064 0.740 0.064 0.048 0.053 0.055 0.077 0.051 0.057 0.102 0.067 0.066 0.058 0.068 1.941 0.054 0.046
Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Positif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Positif Negatif Negatif
Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Positif Negatif Negatif
Kontrol Positif : 1.313 Kontrol Negatif : 0.052 Cutt off : 0.200