kado buat elisa

90
1

Upload: bubud75

Post on 29-Jul-2015

70 views

Category:

Lifestyle


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kado buat elisa

1

Page 2: Kado buat elisa

2

Kata Pengantar

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, atas terselesaikannya buku kumpulan cerpen dengan judul Kado buat

Elisa. Tak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada admin dan pengelola blog Kompasiana.com. Karena dengan fasilitas blog gra snya penulis akhirnya mampu menuangkan

inspirasi dan imajinasinya dalam bentuk kumpulan cerpen dan cermin.

Terima kasih secara khusus saya sampaikan kepada Kang Khaliq alias Mas Bhre yang telah melay-out buku dan mendesain cover. Dan kepada seluruh rekan-rekan Kompasianer dan semua pihak yang telah sudi membaca buku ini saya ucapkan banyak terima kasih, mari dengan menulis dan membaca buku fi ksi kita warnai hidup kita agar semakin cerah dan bergairah. Op mis menatap

masa depan.

Semarang, 18 September 2014

Penulis

Page 3: Kado buat elisa

3

Daftar IsiDa ar isi (3)

Bukan yang pertama (5)

Gantungan Kunci (10)

Kafe Merak 14

Pengemis Asli, Bukan Pengemis Bayaran (17)

Taman Kota (21)

Terlalu Indah (25)

Surat Cinta Dari Firdaus (32)

Shinta dan Bella (38)

Melon Café (44)

Lelaki Di usia Senja (51)

Kau Bukan Jodohku (57)

Kado Buat Elisa (63)

Guci Wasiat (69)

Bocah penjual Koran (75)

Api Cemburu (83)

Page 4: Kado buat elisa

4

Kumcer Agung Budi Santoso

Kado Buat Elisa

Page 5: Kado buat elisa

5

Bukan Yang Pertama

Ruang tamu itu tampak begitu ar s k. Di halaman depan ada air mancur yang mengalir begitu gemericik. Menambah syahdu malam ini. Di meja tamu ada lampu lilin di dalam gelas berwarna merah. Tampak remang-remang. Namun ha ku semakin tak menentu. Karena sudah ga bulan Nita belum menjawab permintaanku.

“Beri aku waktu, Mas,” jawab Nita.

“Mengapa ? Kau masih ragu denganku ?” Aku semakin penasaran dibuatnya.

Nita seorang janda muda, pegawai agen property yang dicomblangkan kepadaku nampaknya masih butuh waktu untuk menjawab ya atau dak tentang status hubunganku dengannya. Sebagai lelaki aku harus sabar, karena belum begitu lama ia bercerai dengan suaminya.

“Baiklah, Nit. Aku gak akan memaksa kok,” ucapku kepada Nita.

“Bagaimana kalau jawabannya minggu depan ?”

Aku dibuat kaget oleh pernyataan Nita barusan. Ada perasaan

ByAgung B. Santoso

Page 6: Kado buat elisa

6

gembira dan tanda tanya besar. Gembira kalau seandainya dia bisa menerimaku. Dan tanda tanya besar jika jawabannya masih menggantung. Banyak teman Nita berkomentar kalau kami ini sebenarnya pasangan yang cocok. Namun bagiku masih menggantung karena ada se k keraguan di benak Nita.

***

Hingga tepat seminggu seper yang dijanjikan oleh Nita. Di tempat yang sama, dan masih diterangi dengan lampu lilin yang berwarna merah aku menan jawaban Nita.

“Mas, aku bisa menerimamu sebagai pasanganku. Tapi kau tahukan, bahwa kau bukan yang pertama ?”

“Ya, aku tahu. Aku memang bukan yang pertama bagimu.”

Sejenak aku menghela nafas.

“Kamu tahu kan, Nit ? Sejak aku dicomblangkan denganmu aku sudah yakin akan hidup bahagia denganmu.”

“Ah, bisa saja kamu ini. Tahu dari mana ?” Nita tersenyum kecil.

“Yah, ins ngku yang mengatakan.”

“Alah ins ng ngaco. Aku tuh masih ragu, Mas. Kamu hanya cinta kepadaku. Tapi dak cinta dengan anakku.”

“Oh, jadi itu yang menjadikan kamu ragu ?”

Terjawab sudah apa yang selama ini diragukan oleh Nita. Sebenarnya aku sudah harus menanggung resiko. Karena menikahi seorang janda berar menikah satu paket. Ya, satu paket yaitu ibu dan anaknya. Dalam ar an menikahi ibunya juga menyayangi anaknya. Tidaklah mungkin aku menjadi ayah ri yang hanya senang dengan ibunya tapi mengabaikan anaknya.

Page 7: Kado buat elisa

7

“Aku tahu Nit, sejak kau cerai dengan suamimu tentu aku nan yang akan menjadi ayah buat anakmu.”

“Ini bukan rayuan gombalkan ?” Nita meledekku.

Aku terdiam. Aku bicara serius malah dibilang rayuan gombal. Ya, sudahlah. Yang jelas Nita sudah memberi lampu hijau buatku.

“Nit, kamu tahu gak ?”

“Apa ?”

“Kalau boleh jujur, kamu pun bukan yang pertama buatku.”

“Jadi kamu juga pernah beristri ?”

“Ya,” jawabku singkat.

Semenjak perkenalan pertama aku memang masih merahasiakan statusku. Nita belum tahu statusku. Dia hanya tahu statusku sebagai pegawai. Dan teman Nita memang merahasiakan hal itu. Biar dia tahu dari mulutku sendiri. Sejenak Nita terdiam.

“Kenapa ? Kamu nyesel kalau aku juga seorang duda ?”

“Ah, enggak. Ngapain nyesel ? Toh, nyatanya aku saat ini masih di sampingmu kan ?”

Jawaban itu sungguh membuatku lega. Plong. Ingin kukecup keningnya. Tapi aku mendadak mengurungkan niat itu. Dia tampak heran, karena aku hanya bisa menatap wajahnya.

“Kenapa, Mas ? Kok meloto n aku tanpa kedip ?”

“Kau tampak can k dengan gaun malam ini, Nit. Tampak seksi.”

“Ah, kamu mulai ngaco ngomongnya.”

Page 8: Kado buat elisa

8

Nita mencubitku. Terasa sakit. Tapi kali ini bagiku terasa cubitan mesra. Hingga tak terasa tanganku sudah merangkul pundaknya. Bibirku mulai mengarah ke bibirnya. Tapi mendadak telunjuk Nita mengahalangi bibirku. Hingga batal sudah bibirku untuk mencium bibirnya.

“Belum saatnya. Ntar tunggu tanggal mainnya, ya ?” ucap Nita lirih ke telingaku.

***

Page 9: Kado buat elisa

9

Kumcer Agung Budi Santoso

Kado Buat Elisa

Page 10: Kado buat elisa

10

Gantungan KunciBy

Agung B. Santoso

Sore itu aku sedang duduk santai sambil makan dan minum Cappuccino di Dunkin Donut. Ya, berhen sejenak untuk rehat setelah mondar-mandir mencari buku di Gramedia. Alhamdulillah, buku yang aku cari pun ada. Dan setelah aku beli, tak sabar rasanya ingin mengetahui isinya. Buku itu sangat menarik. Hingga tak sadar ada orang menepuk punggungku dari belakang.

“Hei…kamu Agung kan ? ” tanya seorang gadis berambut panjang.

Lantas aku menoleh ke belakang. Aku kaget dan terkejut. “Hmm..kamu siapa ya ?” Tanyaku kepada gadis itu.

“Masak kamu lupa sih ? Aku Sarah, temen SMA kamu dulu. Pangling ya ?” balas gadis itu.

“Oh, kamu yang dulu pacaran dengan Mandala itu ya ? Gimana kabarnya ? Sekarang di mana ?” Aku gan an bertanya kepada Sarah. Sejenak dia terdiam. Entah dia mau berkata apa. Yang jelas dia nampaknya ingin menunjukkan sesuatu padaku. Dan ba- ba dari dalam tas kecilnya dia mengambil gantungan

Page 11: Kado buat elisa

11

kunci. Ya, kunci dengan simbol daun Maple bertuliskan kata Vancouver. Dan gantungan kunci itu dikasihkan kepadaku sambil berucap :

“Aku sudah putus lama sekali dengan Mandala !” jawab Sarah.

“Terus ? ” Aku bertanya semakin penasaran.

“Ya, kisahku dengan Mandala sudah selesai. Kami putus semasa kuliah. Dia lebih memilih Maya ke mbang aku.”

“Maya ? Siapa dia ?” Aku bertanya lagi.

“Oh, ya. Kamu gak bakalan tahu siapa Maya. Dia temenku sekampus,”jawab Sarah.

Sambil memesan donat dan minuman panas Sarah kembali bercerita kepadaku. Dia mengisahkan perjalanan cintanya dengan Mandala yang putus di tengah jalan. Dan ketahuan akhirnya kalau Mandala memang punya bakat playboy sejak SMA. Yah, wajarlah kalau Sarah memilih putus dengan Mandala. Dan setelah lulus kuliah Sarah menemukan jodoh orang bule. Suaminya seorang engineer perminyakan dari Kanada. Wuihh….pantes saja gantungan kunci yang diberikan kepadaku bertuliskan kata “Vancouver “

“Kamu gak dengan suamimu ke Gramedia ini ?” tanyaku lagi kepada Sarah.

“Ah..enggak lah. Dia lebih senang stay di rumah kok.”

“Terus kamu nggal di mana ?”

“Untuk sementara aku di Semarang. Tapi 3 bulan lagi aku ikut suami ke Vancouver.”

Dalam ha aku berfi kir. Wah…bahagia sekali nampaknya kehidupan Sarah. Tak terasa kami ngobrol di Dunkin sudah lebih

Page 12: Kado buat elisa

12

dari 30 menit. Dan kami pun sepakat untuk pulang setelah semua makanan dan minuman dibayar Sarah. Sebenarnya aku mau bayar sendiri, tapi nampaknya Sarah lagi berbaik ha padaku. Dan lagian bagi Sarah uang itu terlalu kecil dibanding penghasilanku saat ini. Hmmm…Sarah kamu gadis lucu yang dulu selalu aku godain dan selalu uring-uringan ternyata dapat suami bule yang kaya raya. Dan gantungan kunci pemberian dari Sarah sampai saat ini masih tersimpan rapi di laciku. Sambil kalau aku ingat buku yang aku beli di Gramedia, aku juga ingat kata “Vancouver” di atas gantungan kunci itu.

Page 13: Kado buat elisa

13

Kumcer Agung Budi Santoso

Kado Buat Elisa

Page 14: Kado buat elisa

14

Kafe MerakBy

Agung B. Santoso

Tak biasanya kafe ini sepi pengunjung. Aku dan temanku pernah berkunjung ke tempat ini sebelumnya. Setelah duduk dan memesan makanan serta minuman, kurebahkan badanku di kursi kafe yang mirip seper sofa. Ahh, empuk benar kursi ini. Lalu kuambil sebatang rokok. Kunyalakan api dan kusulut sigaret yang tadi sudah lama tersembunyi di dalam saku.

“Kopi Cappuccino satu, French Fries satu, Nasi Goreng plus Pisang Karamel, ya Pak ?” ucap waitress kepadaku.

Aku hanya mengangguk pertanda setuju. Sejenak kuterdiam. Memandang lelaki setengah baya duduk di sudut kafe. Nampaknya dia memesan minuman bir. Tampak ada satu botol bir besar di mejanya. Tak hen -hen nya dia menghisap rokok. Apakah dia lagi galau ? Pikirku dalam ha .

Hingga pesanan datang. Aku dan temanku lantas menikma sajian yang ada di depan meja. Sampai makanan habis, nampaknya lelaki setengah baya itu belum beranjak dari kursinya. Di depannya botol bir besar masih ada separuh. Gila…lelaki itu pas lagi galau ngkat nggi. Aku tak berani menyapanya. Hingga setelah aku tepat di depan kasir untuk membayar billing. Aku bertanya kepada kasir.

Page 15: Kado buat elisa

15

“Lelaki di pojok kafe itu nampaknya lagi galau ya Mbak ?” tanyaku kepada kasir.

“Oh, lelaki dengan jaket kulit itu ya Pak ?” tanya kasir kepadaku.

Aku mengiyakan.

“Lelaki itu sudah seminggu sering ke kafe ini. Dia baru dicerai istrinya,” jawab kasir.

Kasihan sekali, pikirku dalam ha . Tanpa berpikir panjang aku dan temanku meninggalkan kafe. Meninggalkan kafe dengan lelaki setengah baya yang sedang dirundung perasaan sedih karena dicerai istrinya. Oh, kafe Merak. Ternyata pengunjungmu sungguh beraneka. Dan kali ini seorang lelaki dengan jaket kulit. Tapi sayang. Kafe mewah ini tak lengkap rasanya karena lelaki berjaket kulit itu sedang sedih di nggal istri tercinta.

***

Page 16: Kado buat elisa

16

Kumcer Agung Budi Santoso

Kado Buat Elisa

Page 17: Kado buat elisa

17

Pengemis Asli, BukanPengemis Bayaran

ByAgung B. Santoso

Siang itu dengan terik sinar mentari sungguh terasa kulit ini sangat terbakar. Kulihat jam tangan menunjuk pukul 13.00. Hu …sungguh melelahkan siang ini. Di pinggir trotoar di perempatan traffi c light kulihat seorang pengemis dengan pakaian seadanya. Tangannya tengadah ke atas membawa sebuah kaleng bekas sebagai tempat koin rupiah dari para penderma yang menaruh belas kasih padanya. Sepeda motor yang aku kendari sejenak berhen karena lampu lalu lintas sedang berwarna merah. Kupandangi wajah pengemis tadi. Kasihan sekali kau Pak Pengemis. Di dalam ha , aku menaruh perasaan iba kepadanya. Tanpa basa-basi, aku ambil uang seadanya di saku celana. Kuberikan langsung dan setelah lampu lalu lintas berwarna hijau kembali saya melaju ke kantor pos karena hendak mengirimkan beberapa paket dari bos saya.

Sepulang dari kantor pos, saya masih melihat Pak Pengemis tadi tetap bertahan di trotoar melawan teriknya sinar mentari dan berjuang mendapatkan koin rupiah supaya penuh. Benarkah

Page 18: Kado buat elisa

18

dia pengemis asli ? Jika dilihat dari kostumnya memang terlihat pengemis asli. Saya mulai tertarik mengama perilaku pengemis ini se ap berangkat dan pulang dari kantor. Saya pun dak se ap hari memberikan koin kepada pengemis ini. Takut jadi kebiasaan.

Selang beberapa bulan terdengar kabar ada razia pengemis dan pedagang asongan di seputar lampu lalu lintas oleh Satpol PP. Mereka dirazia, diangkut ke atas truk Satpol PP. Entah untuk apa. Apakah akan didata atau dipukuli atau diberi pengarahan atau bahkan akan ditampung dinas sosial ? Aku belum tahu. Keesokan harinya saya baca koran, ternyata dari ratusan pengemis yang dirazia ada beberapa pengemis kedapatan menyimpan uang jutaan rupiah. Hah ? Keningku mengerut. Terkejut sambil keheranan. Lantas aku berfi kir kepada Pak Pengemis yang membawa kaleng bekas di trotoar lampu lalu lintas. Berapa ya koin yang ada di kaleng bekas Pak Pengemis itu se ap bulannya. Adakah 500 ribu per bulannya. Ah, dak tahu. Tanya saja kepada Pak Satpol PP yang merazia dia.

***

Pada kesempatan siskamling di kampung saya kebetulan dapat giliran jaga siskamling. Kebetulan juga saya satu m dengan Pak Satpol PP. Tetapi bukan satpol PP yang merazia pengemis pembawa kaleng bekas tadi. Karena kebetulan tetangga saya ada juga yang berprofesi sebagai satpol PP.

“Malam mas”, sapaku kepada Mas Satpol PP.

“O, mas Kamto. Malam juga, Mas”, balas tetangga saya.

Sambil merogoh kantong kuambil rokok dan kami pun merokok bersama di pos kamling.

“Mas, kemarin lusa baca koran tetang razia pengemis, gak ?,” aku mengawali pembicaraan.

Page 19: Kado buat elisa

19

“Oh, yang tempo hari kedapatan pengemis memiliki uang jutaan rupiah itu ya.”

“Ya”, jawabku singkat.

“Yah, itulah Mas. Saya juga heran. Dari razia yang ada memang akhirnya terbongkar juga. Ada juga pengemis yang diorganisir.”

“Hah, diorganisir ?”

Saya malah tambah keheranan. Dari penjelasan Pak Satpol PP memang unik para gepeng tadi. Gepeng adalah is lah untuk gelandangan dan pengemis. Tidak semua pengemis yang dirazia adalah benar-benar pengemis yang memang perlu ditampung oleh dinas sosial. Kesimpulannya ada pengemis palsu dan pengemis asli. Saya tersenyum dalam ha . Seandainya diminta memilih pun saya dak mau punya profesi sebagai pengemis. Wong, mengajukan pinjaman KTA alias Kredit Tanpa Agunan saja kalau dak benar-benar kepepet saya dak mau.

Malam terasa semakin larut. Kami membicangkan soal gepeng seakan tak ada habisnya. Entah sudah menghabiskan berapa batang rokok. Yang jelas saya dan tetangga saya itu semakin betah berada di pos kamling. Hingga tak terasa jam tanganku sudah menunjuk pukul 03.00 dini hari.

“Mas, pulang yuk. Giliran kita sudah selesai nih.”

“Yuk, saya juga besok harus berangkat pagi ke kantor.”

Kami pun sepakat beranjak dari pos kamling. Kulangkahkan kaki ke rumah. Dan Pak Satpol PP pun pulang ke rumah dengan arah yang berbeda. Karena rumah dia terletak berbeda gang dengan rumahku namun masih dalam satu RT.

***

Page 20: Kado buat elisa

20

Seminggu sudah tak sengaja saya singgah ke dinas sosial. Di papan pengumuman terdapat pengumuman da ar gepeng yang ditampung di situ. Terdapat sebuah nama yang menarik perha an saya. Nama itu “Suripto”. Alamat dak jelas. Ke ka saya tanya kepada petugas. Terkejut saya melihat foto Suripto. Lho, ini kan pengemis yang se ap harinya berada di trotoar lampu lalu lintas. Saya mulai menyelidik Suripto. Walhasil ketemu sudah. Dia sekarang nggal di rumah susun sumbangan pemerintah yang khusus dihuni oleh para gepeng.

Dan nasib pun sudah berubah. Dia jadi pedangan nasi kucing dan nggal di rumah susun. Wah, kalau ini mungkin termasuk golongan pengemis asli pikir saya. Karena dia mau merubah nasib dan ikut anjuran dinas sosial. Tidak selamanya ia mau jadi pengemis. Dia berani merubah nasib walau jadi pedagang nasi kucing. Dan dengar-dengar angsuran rumah susun yang dijadikan tempat bernaung juga ringan. Karena misi rumah susun adalah mengentaskan para gepeng. Dan saya pun dak hendak menginves gasi dari mana Suripto mendapatkan

modal. Yang jelas saya ikut senang. Suripto sudah berubah. Berubah menjadi Suripto pedagang nasi kucing. Bukan lagi Suripto pembawa kaleng bekas di trotoar lampu lintas. Selamat Suripto semoga hidupmu lebih bermakna dan dak menyandang predikat gepeng.

***

Page 21: Kado buat elisa

21

Taman KotaBy

Agung B. Santoso

Sudah ga kali aku lewat taman kota ini dan pas banyak muda mudi duduk-duduk santai di taman itu. Kupikir dalam ha betapa enaknya masa-masa remaja. Memadu kasih dengan pacar begitu mesra. Hingga entah bisikan apa kali ini aku singgah ke taman kota itu. Yah, ada pedagang kaki lima yang berjualan di situ. Penjual es dawet dan bakso nampak sibuk sekali melayani pembeli. Langsung saja aku menuju ke penjual bakso.

“Mas, baksonya satu,” pintaku kepada penjual bakso.

“Ya, Pak. Sekalian es dawetnya ?” jawab penjual bakso.

“Ya, boleh lah sekalian.”

Setelah pesan bakso aku lantas menuju ke kursi taman yang sudah tersedia di situ. Taman ini sangat rindang oleh tanaman peneduh kota. Ada pohon beringin yang sudah tua usianya. Terlihat dari batangnya yang besar dan akarnya yang menjulur dari dahan hingga ke bawah. Pantas saja banyak pengunjung yang da ng ke sini. Suasana sejuk dan sangat nyaman buat santai, apalagi menikma bakso yang hangat di tambah es dawet.

Tak lama kemudian mataku tertuju kepada wanita berbaju merah pelayan penjual bakso. Dadanya nampak tersembul. Kaus

Page 22: Kado buat elisa

22

merahnya tertuliskan tulisan yang membuat aku berani berkata jahil kepada wanita itu. “Daripada punya pacar stress, lebih baik jomblo tapi banyak duit” begitulah tulisannya. Lantas aku nyeletuk, “Beneran nih mbak lebih baik jomblo dari pada punya pacar stress ?” tanyaku.

“Maksudnya ?” tanya wanita itu.

Sambil menunjuk ke dadanya aku kembali membaca lagi tulisan yang ada di kaus merah wanita itu. Wanita itu tertawa.

“Ah, Bapak ini bisa aja,” jawab wanita itu.

“Loh, mata saya gak salah kan membaca tulisan itu ?”

Mendengar aku bercanda dengan pelayannya, Abang penjual bakso lantas menimpali.

“Hahaha….Bapak ini iseng membaca tulisannya atau melihat bukit kembarnya ?”

“Yah, salah sendiri pakai kaus dengan tulisan itu. Gak salah kan ?” Aku pun tertawa. Wanita pelayan itu nampak tersipu malu sambil mengantarkan semangkuk bakso dan es dawet.

Lalu aku pun menyantap bakso dan tak lupa mengambil posisi duduk yang nyaman. Baru lima menit aku menyantap bakso ba- ba di pundakku ada yang menepuk.

“Pantes saja kamu suka mampir ke sini ya..Ton !”

Aku menoleh ke belakang. “Oh, ternyata kamu Hen. Ngapain kamu ke sini ?”

“Lah kamu sendiri ngapain godain pelayan bakso itu ?” tanya Hendra.

Page 23: Kado buat elisa

23

Ya, Hendra nampaknya tadi sudah melihat waktu aku meledek si pelayan bakso tadi. Dan aku baru tahu kalau Hendra juga suka iseng ngodain pelayan itu. Yah, seksi memang wanita itu. Tak heran kalau banyak lelaki mampir ke taman kota ini sekedar ingin iseng godain pelayan bakso sambil menikma suasana taman yang sangat sejuk.

“Kamu sudah pesan bakso ?” tanyaku kepada Hendra.

“Sudah,” jawab Hendra.

“Ngomong-ngomong kamu sering mampir ke sini ya ?” tanyaku.

“Lah, kamu sendiri ? Sudah berapa kali ?”

“Sialan kamu Hen…ditanya malah balik tanya. Aku baru kali ini kok. Kalau sekedar lewat sih sering,” jawabku sekenanya.

“Aku pelanggan se a, bro…” jawab Hendra.

“O, gara-gara cewek berbaju merah itu atau karena banyak orang nongkrong di sini ?”

“Ah, bisa aja kamu, Ton.”

Lalu Hendra menjelaskan kepadaku alasan kenapa dia sering mampir ke taman kota ini. Taman kota ini memang cocok buat nongkrong di samping sangat rindang dan sejuk, banyak pengunjungnya wajahnya bening-bening. Aku berpikir dasar mata gak boleh merem, Hendra memang paling doyan kalau melihat yang bening-bening. Hingga tak sadar aku hampir menghabiskan semangkuk baksoku. Lebih dari setengah jam aku ngobrol dengan Hendra. Ternyata kami punya selera yang sama. Suka yang bening-bening. Hehehe……..

***

Page 24: Kado buat elisa

24

Kumcer Agung Budi Santoso

Kado Buat Elisa

Page 25: Kado buat elisa

25

Terlalu IndahBy

Agung B. Santoso

Mentari sore mulai condong ke arah barat. Aku dan Edo mulai mengemasi peralatan theodolit dan tripod. Setelah memas kan semua alat dak ada yang ter nggal kami segera pulang menuju posko di mana para surveyor nggal untuk mengerjakan proyek jalan lingkar. Tepatnya hampir ga bulan kami menjalani pekerjaan ini. Namun sudah banyak kisah roman s yang aku jalani.

Semenjak perkenalan pertama dengan Marni si gadis desa yang kebetulan anak dari Bapak Kades. Gadis itu tak pernah absen menemaniku di posko ke ka pekerjaan survey telah usai.

“Bang, surveynya udah kelar ?” tanya Marni kepadaku.

“Hmmm…kira-kira seminggu lagi as built drawingnya selesai, Mar,” jawabku.

“Wah, kalau gitu kita gak bakalan ketemu lagi dong.”

“Yah, namanya proyek, Mar. Selalu pindah-pindah gak bakalan menetap di suatu tempat. Mana kala proyek usai, ya…pindah lah ke tempat yang lain.”

Page 26: Kado buat elisa

26

Sejenak Marni terdiam. Dia memandangku sangat serius. Lalu tangannya berusaha mengambil sesuatu di dalam kranjang yang sudah ia bawa sejak tadi.

“Bang, ini ada pisang baru me k dari kebun. Pisangnya masak di pohon lho ?”

Marni segera mengulurkan setandan buah pisang kepadaku. Sungguh perha an sekali gadis ini. Jangan-jangan ada niat tersembunyi dibalik semua itu. Tapi aku segera menghapus prasangka itu. Karena aku tak mungkin berpikir nakal. Aku sudah menjadi seorang ayah. Tak mungkin aku bercinta manakala aku jauh dari istriku.

“Wah, kamu kok repot-repot sih, Mar ?”

“Gak, apa-apa, Bang. Kan bisa dimakan rame-rame buat begadang nan malam,” sahut Marni.

Iya juga sih pikirku dalam ha . Kami di posko memang hampir tak pernah ke luar malam-malam. Yah, maklum suasana desa berbeda dengan kota. Di sini tak ada warung yang buka sampai malam hari. Kalau mau minum kopi dan bikin mie rebus ya terpaksa deh masak sendiri di posko. Setelah memberikan setandan pisang, Marni lantas berpamitan kepadaku.

“Sampai besok pagi ya, Bang,” ucap Marni.

“Ya, terima kasih, ya…..,” balasku kepada Marni.

***

Suara adzan subuh sudah berkumandang. Dengan sedikit malas-malasan kubuka mata ini. Lantas aku pun bergegas untuk sholat subuh berjamaah di mushola desa. Yah, tradisi masyarakat desa ini selalu melaksanakan sholat berjamaah ke ka subuh. Ditemani Edo, aku mengambil shaf diurutan kedua, dan di

Page 27: Kado buat elisa

27

samping kiri dengan dibatasi kain tampak shaf perempuan. Setelah shalat selesai aku sempat melihat kehadiran Marni di mushola itu. Namun aku tak menyapa gadis itu. Karena nampaknya Marni sangat terburu-buru. Lalu aku dan Edo pun segera melangkah menuju posko untuk kembali menyiapkan peralatan buat survey di siang hari.

“Her, nampaknya si Marni ada perha an special ya ke kamu ? “ tanya Edo kepadaku.

“Ah, tahu dari mana kamu ?”

“Kamu tuh berlagak pilon atau emang dak tahu ? Sejak kamu kenal pertama kali, sampai sekarang. Kalau kagak ada perha an, mana mungkin Marni ap sore main ke posko kita ?”

“Ya, juga sih. Tapi kalau aku ladeni bisa gawat nih, Do. Mau aku kemanakan istriku ?”

“Alah….sikat aja. Kan istrimu dak tahu ?” bujuk Edo.

“Gila kamu !”

Sampai saat ini sebenarnya perkenalanku dengan Marni kuanggap sebagai hubungan kakak-adik. Tidak lebih. Tapi kalau Marni mulai ada rasa denganku, bisa gawat. Karena dia belum tahu siapa aku. Aku belum bicara kalau aku ini sudah menjadi seorang ayah.

***

Hingga suatu hari, tepatnya Minggu siang. Marni mengajakku untuk hang out. Karena Minggu dak ada perkerjaan proyek aku mau saja diajak Marni untuk sekedar melepas penat di sebuah air terjun yang tak jauh dari desa Marni.

“Bang, kita santai di sini ya ?”

Page 28: Kado buat elisa

28

“OK,” jawabku singkat.

Sejenak kupandangi sekeliling air terjun. Tampak banyak pohon jambu monyet. Dengan air terjun yang mengalir begitu derasnya. Mulai terasa hawa dingin merasuk ke tubuhku. Rasanya aku ingin mandi di bawah air terjun itu. Tapi Marni melarangku.

“Jangan, Bang. Jangan mandi di sini. Konon tempat ini agak angker. Jadi tak ada orang yang berani mandi di air terjun ini, “ ucap Marni.

“Lalu kenapa kau mengajakku ke tempat ini ?”

“Yah, itung-itung uji nyali, Bang.”

Tempat ini memang sunyi. Hanya terdengar suara air terjun dan sekali-kali terdengar kicauan burung yang bertengger di atas pohon. Aku dan Marni duduk di atas batu besar sambil melihat ke atas. Memandang bu ran-bu ran air terjun yang jatuh ke bawah. Airnya bening, sebening wajah Marni yang kini ada di depanku.

“Bang, aku boleh tanya nggak ?”

“Tanya apa ?”

“Aku sebenarnya sudah lama memendam perasaan sayang dengan abang. Abang, mau kan jadi kekasih, Marni ?”

Ucapan Marni ini begitu mengejutkanku. Jarang ada gadis desa yang begitu polosnya mengucap kata sayang kepada lelaki. Biasanya gadis desa itu malu-malu tapi mau. Tapi Marni dak. Dia secara terang-terangan memintaku untuk jadi kekasihnya. Aku mendadak tak bisa menjawab pertayaan Marni. Antara bicara jujur atau dak. Karena statusku bukanlah seorang jomblo seper Edo.

“Mar, aku belum bisa jawab.”

“Kenapa ?” desak Marni.

Page 29: Kado buat elisa

29

Mungkin dia sengaja mengajakku ke sini supaya dia bisa lepas mengatakan uneg-unegnya. Tapi sejenak kuberpikir aku terlalu jauh bermain api dengan Marni. Aku dak tahu apa reaksi Marni kalau dia tahu sebenarnya aku sudah beristri.

“Yuk, kita naik ke atas bukit itu.”

Sambil menunjuk ke arah bukit. Aku menggandeng tangan Marni. Sengaja aku mengalihkan pertanyaan Marni. Aku masih ingin merahasiakan iden tasku. Hingga kami pulang, pertanyaan Marni masih menggantung. Belum terjawab sama sekali. Aku tak ingin melukai perasaan Marni.

***

Tinggal satu hari lagi aku harus kembali ke kota, karena pekerjaan survey hampir usai. Aku nggal membuat laporan pekerjaan dan execu ve summary. Dan aku mulai berpikir untuk berterus terang saja dengan Marni. Tapi dak secara lisan. Di posko, yang kebetulan lagi tak ada orang. Aku mulai menulis surat buat Marni.

Marni, adikku tersayang. Abang sebenarnya tak hendak menggantungkan hubungan ini. Abang takut melukai perasaan Marni. Lewat surat ini abang mau bilang bahwa abang tak mungkin membalas cinta Marni. Karena abang bukanlah seorang jomblo seper Edo. Abang sudah beristri. Sekali lagi mohon maaf ya …? Abang tak berani secara lisan ngomong soal ini.

Salam sayang, dari abangmu.

Heri.

Surat singkat itu aku lem di dalam amplop. Lalu sengaja aku meminta Edo untuk menyampaikannya kepada Marni. Biarlah hanya Edo yang tahu apa reaksi Marni. Yang jelas dilema di

Page 30: Kado buat elisa

30

kepalaku sudah hilang. Tak peduli apa kata Marni. Biar dia bilang aku begitu pengecut. Tapi aku tak sampai ha melukai perasaan Marni.

Tanpa sepengetahuan Marni, aku pun meninggalkan posko di desa. Posko dengan sejuta kenangan. Biarlah Edo nan yang akan jadi saksi. Yang jelas kenangan bersama Marni menjadi kisah tersendiri bagiku. Kenangan manis di se ap proyek yang aku lalui.

***

Page 31: Kado buat elisa

31

Kumcer Agung Budi Santoso

Kado Buat Elisa

Page 32: Kado buat elisa

32

Surat Cinta dari FirdausBy

Agung B. Santoso

Imam Masjid Besar Kauman telah selesai mengucapkan salam dan diiku oleh makmum. Vicky yang berada di barisan makmum perempuan dak lantas cabut dari masjid. Dengan ru nitas dzikir dan wirid ia masih duduk bersimpuh di Masjid Besar Kauman. Entah berapa lama dia berdoa. Berbeda dengan Firdaus yang berdoa dak terlalu lama. Kelihatannya Firdaus termasuk golongan jamaah yang berdoa dengan paket kilat khusus.

Vicky dan Firdaus adalah dua di antara anggota remaja Masjid Besar Kauman yang tetap ru n menjalankan shalat jamaah di masjid. Mereka dak peduli dengan kata orang. Banyak yang mengatakan mereka sok alim, sok suci dan lain sebagainya. Yah, selain mereka bersahabat nampaknya Firdaus mulai jatuh ha dengan Vicky. Dan Vicky pun tahu kalau sebenarnya Firdaus mulai ada rasa dengannya. Hanya saja Firdaus agak malu-malu untuk bicara terus terang.

Pada suatu acara bazaar pasar murah yang diselenggarakan oleh Masjid Kauman kebetulan mereka bertemu lagi dalam suatu kepani aan. Ya, Firdaus menjadi ketua pani a. Sedang

Page 33: Kado buat elisa

33

Vicky menjadi bendahara pani a. Tak banyak remaja masjid yang menjadi pengurus in . Yang lain hanya menjadi anggota sekretaris bidang. Dan Vicky yang sudah lama mengenal Firdaus tak terlalu canggung jika dalam suatu rapat mereka duduk beradu argumen jika di dalam menentukan anggaran belanja kepani aan terjadi perbedaan pendapat.

Acara bazaar pasar murah jatuh pada hari Minggu pagi sampai sore. Perha an Vicky malah tertuju kepada Rizal Mantovani yang kebetulan membidangi bagian perlengkapan dan sound system. Ya, tak heran jika Rizal Mantovani sangat tepat mengurusi perkap dan sound system, sebab dia adalah anak semester akhir jurusan Elektro di Universitas ternama di kota Vicky dan Firdaus. Firdaus menjadi ketua pani a karena memang dari segi ilmu agama dan kepemimpinan lebih menonjol dibanding Rizal.

Tak terasa acara yang begitu meriah berlangsung sukses dan sesuai rencana. Sungguh bahagia sekali suasana saat itu. Para anggota remaja masjid yang terlibat pada acara bazaar pasar murah itu merasa plong. Acara berjalan lancar dak mendapat suatu kendala apa pun.

***

Tibalah saatnya pada acara pembubaran pani a bazaar, trio remaja masjid itu bertemu di ruang rapat Masjid Kauman untuk membahas tentang laporan pertanggung jawaban kegiatan kepada Takmir Masjid Besar Kauman. Rizal yang nampak menonjol di bidang komputer selalu menjadi tempat bertanya bagi Vicky. Jika ada computer masjid yang bermasalah pas Rizal ditelpon untuk dimintai tolong sekedar memperbaiki dimana letak kerusakan computer. Dari mulai kena virus computer, computer hang, masalah printer, computer lemot, dan gak ada fl ask disk karena fl ash disk sering hilang dipinjam anggota yang lain.

Pada saat Vicky sudah selesai menge k LPJ keuangan kegiatan

Page 34: Kado buat elisa

34

bazaar pasar murah. Vicky mengalami kesulitan. Ya, printer gak mau ngeprint, padahal kertas A4 sudah dimasukkan dan macet di saat proses prin ng berjalan. Tak heran jika Vicky langsung nelfon Rizal untuk segera memperbaiki printer yang macet tadi.

“Zal, tolong dong ke ruang Takmir,” pinta Vicky memanggil untuk datang ke masjid.

“Ya, ada apa sih ? Gangguin orang aja. Lagi enak main game nih,” jawab Rizal seenaknya.

“Please, tolong nih printer ngambek gak mau ngeprint !”

“OK, segera meluncur. Nan apa bonusnya ?,” tanya Rizal.

“Gampang deh, martabak telor satu piring, “jawab Vicky enteng.

Yah, gara-gara membetulkan masalah printer yang lagi paper jam hubungan Rizal dan Vicky semakin akrab. Berbeda dengan Firdaus. Vicky lebih sering berantem dan berdebat dengan Firdaus. Hanya karena Firdaus orangnya terlalu kaku dalam menentukan kebijakan anggaran belanja kepani aan. Sedikit-sedikit nggak boleh, sedikit-sedikit gak boleh. Sebel jadinya Vicky sama Firdaus. Walaupun sebenarnya Firdaus dan Rizal juga sama-sama ganteng. Dan banyak anggota remaja masjid yang sering membincangkan hubungan mereka. Ada salah satu teman Vicky yang menanyakan perihal Firdaus dan Rizal.

“Vick, sebenarnya kamu lebih senang dengan siapa sih ? Rizal atau Firdaus ?”, tanya Tina sahabat karib Vicky.

Vicky hanya diam tak bisa menjawab. Dia belum menentukan pilihan. Ya, karena mereka ber ga sebenarnya masih kuliah semua. Mereka masih berhubungan sebagai

Page 35: Kado buat elisa

35

sebatas teman dak lebih dari itu. Namun lama kelamaan teman-teman Vicky mulai tahu kalau sebenarnya Vicky lebih senang dengan Rizal. Karena Rizal orangnya serius tapi santai punya sense of humor yang nggi.

***

Dua tahun sudah mereka menjadi pengurus remaja Masjid Besar Kauman. Dan mereka pun sudah di wisuda dari tempat mereka kuliah di perguruan nggi. Dan menurut kabar yang sudah pas kebenarannya Rizal lulus dengan predikat sangat memuaskan. Rizal diterima sebagai karyawan di PT. PLN (persero) sebagai tenaga IT dan sedang menjalani masa proba on selama ga bulan. Sedang Vicky diterima sebagai tenaga marke ng suatu

perguruan nggi swasta di kotanya. Firdaus yang kelihatannya lebih serius menekuni bidang keagamaan akhirnya bekerja di sebuah BMT di kelurahan tempat mereka ber ga berdomisili. Firdaus mendengar Rizal diterima di PT. PLN (persero) dak ada perasaan iri dan dengki. Justru ia ikut senang dan bangga. Firdaus mengucap selamat kepada Rizal.

Namun yang membuat Firdaus kaget adalah ke ka dia mendengar kabar bahwa Vicky dan Rizal sudah bertunangan dan akan melangsungkan pernikahan di bulan Dzulhijjah. Bagai disambar pe r perasaan Firdaus. Tak disangka tak diduga. Ternyata bidadari pujaannya lebih memilih Rizal ke mbang dirinya. Namun Firdaus tak menaruh rasa dendam kepada Vicky. Ke ka acara pernikahan Rizal dan Vicky berlangsung di bulan Dzulhijjah. Firdaus sempat menghadiri pesta pernikahan Rizal dan Vicky.

Namun di dalam sebuah amplop pu h bersih seharum mela Firdaus menempatkan surat rahasia. Firdaus memasukkan amplop itu ke dalam kotak di depan meja resepsionis. Hanya Firdaus yang tahu isi di dalam amplop tersebut. Dan ke ka acara

Page 36: Kado buat elisa

36

pesta pernikahan usai dan semua bubar. Baik pani a pengan n dan rombongan famili terlelap dalam dur. Vicky terbangun. Pandangannya tertuju kepada amplop pu h dengan aroma mela . Vicky pun mengambilnya, dengan penasaran ia mulai membuka amplop dan mulai membaca. Trada !!! Vicky dak bisa memahami apa isi surat di dalam amplop tadi. Karena ditulis dengan bahasa aneh. Tulisan itu lalu ditunjukkan kepada suami Vicky alias Rizal Mantovani. Kening Rizal mengkerut membaca tulisan :

“Adakudu sedebedenadarnyada cinditada sadamada kadamudu tadapidi kadaredenada kadamudu ledebidih medemidilidih Ridizadal sududadahladah adakudu redelada. Sedeladamadat medenedempuduh hididudup badarudu.”

“Wah, aku juga nggak nger nih,”jawab Rizal.

“Lah, katanya anak Elektro. Kok gitu aja gak tahu ?”, tanya Vicky.

“Ah, sudahlah. Yang jelas itu bukan bahasa Arab. Pas itu bahasa Indonesia,”jawab Rizal enteng.

Dan Rizal pun ter dur kembali karena telah melewa malam pertama bersama Vicky. Sampai saat ini pun Vicky masih penasaran dibuatnya. Ya, surat Firdaus menjadi misteri di dalam kehidupan Vicky.

Page 37: Kado buat elisa

37

Kumcer Agung Budi Santoso

Kado Buat Elisa

Page 38: Kado buat elisa

38

Shinta dan BellaBy

Agung B. Santoso

Hari Senin ini kantorku kedatangan dua siswi SMK. Namanya Shinta dan Bella. Aku tak heran pas dua siswi itu mau mengajukan proposal magang kerja. Kok tahu ? Ya, tahu dong wong datangnya aja diantar sama Pak Satpam.

“Pak, ini ada dua siswi mau mengajukan proposal magang,” kata Pak Satpam.

“Oh, ya ? Silakan masuk ke ruangan saya,” balasku.

“Ya, Pak.”

Sambil menutup pintu Pak Satpam meninggalkan ruanganku. Tak berapa lama dua siswi SMK yang can k-can k itu segera masuk ke ruangan.

“Yang namanya Shinta mana ya ? “

“Saya Pak,” jawab Shinta yang berambut panjang.

“Terus yang namanya Bella mana ? “

Page 39: Kado buat elisa

39

“Saya Pak, “ jawab Bella yang berambut pendek.

Setelah membaca proposal magang. Nampaknya dua siswi SMK ini mengambil prodi TKJ. Dan dari proposalnya saya tahu, mereka hendak mempelajari system jaringan dan seputar troubleshoo ng dalam perawatan PC. Secara prinsip dua siswi itu bisa diterima magang, maka saya minta kepada Mbak Mirna untuk segera membuat surat balasan kepada Kepala Sekolah mereka.

“Mbak Mirna tolong buatkan surat balasan ke SMK Bina Nusantara yang isinya kita menerima dua siswi ini untuk magang di kantor kita,” pintaku kepada Mbak Mirna.

“Ya, Pak”

“Oh, ya. Sekalian beritahukan kepada mereka untuk mulai masuk ke kantor kita minggu depan. Dan nan bisa didampingi oleh Mas Hendra.”

“Baik,Pak, “ jawab Mbak Mirna.

Mbak Mirna segera menge k surat balasan dan dikasihkan kepada Shinta dan Bella. Tak lama kemudian mereka pun mohon diri untuk kembali ke sekolah. Dan berjanji akan mematuhi segala peraturan yang ada, baik yang ada di kantorku maupun tata ter b yang telah dibuat oleh sekolah mereka.

***

Program magang kerja yang diselenggarakan oleh SMK Bina Nusantara berlangsung dua bulan. Sejauh ini kedua siswi tersebut dengan Mas Hendra nampak dekat dan dak terdapat masalah. Mereka mengiku segala instruksi yang diberikan oleh Hendra dan sesekali mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan jika mereka belum tahu. Shinta nampaknya lebih menonjol dibanding Bella. Namun Bella lebih menguasai di bidang perawatan PC, sedang Shinta lebih menguasai soal jaringan apalagi soal internet

Page 40: Kado buat elisa

40

nampaknya ia lebih gaul. Dan akhirnya saya tahu ternyata di rumah Shinta juga berlangganan internet. Dan kalau ke kantor pun kadang dia juga membawa netbook dengan modem USB.

“Shinta, sebenarnya kamu tak perlu membawa netbook segala kalau lagi magang,” perintahku.

“Lha, memang kenapa Pak ?”

“Ya, kan di kantor ini system jaringan sudah lengkap. Apalagi sudah ada Wifi .”

“Ok, deh Pak. Kalau bawa netbook saja gimana tanpa modem ? Kan saya bisa manfaa n Wifi di kantor tanpa pakai PC kantor ?”

“Gak apa-apa sih. Yang pen ng manfaatkan sebaik-baiknya mumpung kamu magang di kantor ini.”

Dua minggu pelaksanaan magang sudah berlangsung dan nampaknya Mas Hendra mulai ada rasa dengan Shinta. Saya yang diam-diam memata-matai mereka mulai curiga. Jangan-jangan mereka menjalani cinta lokasi. Hmmmm…benar gak ya. Dan saya tak kehilangan akal. Pada waktu is rahat makan siang kebetulan Hendra mengajak Shinta makan siang di luar. Dan Bella tetap di kantor menikma catering yang sudah disediakan oleh kantorku. Langsung saya tanya kepada Bella tentang hubungan Shinta dan Hendra.

“Bell, kelihatannya Shinta dan Hendra ada cinlok ya ?,” selidikku kepada Bella.

“Gak tahu tuh, Pak. Kelihatannya sih iya,” jawab Bella.

“Hmm…tapi kok kalau pulang magang kamu tetep berdua dengan Shinta ?”

Page 41: Kado buat elisa

41

“Yah, kan rumah Shinta dengan rumah saya berdekatan dan masih satu jurusan.”

“Oh, gitu ya ?”

Aku mulai menganalisa untuk kemudian menunggu hasilnya. Namun aku tak hendak melarang kalau mereka menjalin hubungan cinlok. Sudah wajarlah kalau mereka mulai saling memberi perha an yang lebih dari sekedar teman.

***

Tak ada hujan tak ada badai kulihat wajah Hendra kelihatan suntuk banget. Lain daripada yang lain. Hendra biasanya selalu ceria dan penuh dengan humor kalau lagi kerja. Aku memberanikan diri bertanya kepada Hendra.

“Hen, kok tumben kamu lesu banget ?” tanyaku.

“Ah, biasa Pak. Lagi bete, “jawab Hendra sekenanya.

“Lah, bukannya kamu lagi pedekate dengan Shinta ?”

“Shinta ? Shinta yang mana ? Yang anak magang itu ?”

“Lho memang kamu gak ada rasa dengan dia ? “ tanyaku penasaran.

“Ah..dia sudah punya boy friend Pak.”

“Lho tahu dari mana kamu ?” selidikku.

“Ya, secara gak sengaja. Pas malam minggu saya ketemu dia di mall pergi nonton fi lm dengan cowoknya.”

“Kamu sempet tanya ke Shinta ?” tanyaku kepada Hendra.

“Ya, malah Shinta-nya sendiri kok yang ngenalin cowoknya ke saya. Habis gitu bergandengan mesraaa….banget.”

Page 42: Kado buat elisa

42

“Ya, udahlah. Santai saja. Cewek banyak di dunia ini. Tetap semangat kerja ya,” hiburku kepada Hendra.

***

De k-de k menjelang magang usai Shinta dan Bella masih nampak enjoy menerima segala ilmu yang diberikan oleh Hendra. Ya, semenjak Hendra tahu kalau Shinta sudah punya pacar, Hendra mulai jaga jarak dengan Shinta. Hendra masih bisa professional dalam bekerja. Dan sebagai teknisi jaringan Hendra memang karyawan andalan di kantorku. Aku salut dengan Hendra.

“Hen, ga hari lagi mereka selesai magang lho ?” godaku kepada Hendra.

“Ah, Bapak bisa aja. Emangnya kenapa Pak.”

“Kamu gak kasih kenang-kenangan ke Shinta ?” tanyaku kepada Hendra.

“Kenangan apa ? Yah, paling cuma UTP cable tester aja Pak, “jawab Hendra.

“Yah, bagus lah. Apalagi kayaknya Shinta jago banget kalau ngurusi jaringan computer.”

Hari Kamis adalah hari terakhir Shinta dan Bella magang di kantorku. Mereka dijemput oleh guru pembimbingnya. Dan gurunya memberi kenang-kenangan berupa plakat kerja praktek ke kantorku. Tak lupa aku juga mengucapkan terima kasih kepada guru mereka. Karena selama magang Shinta dan Bella dak terlalu resek dan ter b mematuhi peraturan yang ada. Apalagi bolos pun dak pernah. Dan nampaknya Hendra sebagai instruktur telah

memberi nilai baik kepada mereka berdua. Selamat ya Shinta dan Bella. Namun Hendra kelihatan agak sedih karena cinlok yang telah dibina berakhir dengan kenangan pahit. Sebab Shinta sebagai dewi pujaan ha ternyata sudah punya cowok. Jangan bersedih Hendra. Semoga suatu ke ka kau dapatkan dewi pujaan

Page 43: Kado buat elisa

43

Kumcer Agung Budi Santoso

Kado Buat Elisa

Page 44: Kado buat elisa

44

Melon CaféBy

Agung B. Santoso

Tepat pukul 16.00 aku beranjak untuk meninggalkan kantor. Ya, sepulang dari kantor Monika mengajak untuk ketemuan di Melon Café. Café yang bersih dan terkenal dengan fasilitas free wifi . Apalagi pelayannya juga masih muda-muda dengan seragam warna cerah yang dak sepet dipandang mata.

“Mon, mau minum apa ? ” tanyaku setelah duduk di kursi dengan meja nomor 12.

“Terserah kamu aja deh. Aku lagi no other choice,” jawab Monika.

“OK, deh kalau gitu aku pesenin juice Alpukat aja sama French Fries ya ?”

Monika mengangguk pertanda ia setuju dengan penawaranku. Aku sebenarnya rada penasaran juga mengapa Monika mengajakku untuk nongkrong di café itu. Sambil menunggu pesanan makanan dan minuman yang belum datang, aku memberanikan diri untuk bertanya kepada Monika.

Page 45: Kado buat elisa

45

“Eh, Mon. Tadi kamu telpon dan ngajak ketemuan di Melon Café ini sebenarnya ada apa sih ?”

“Yah, mau curhat aja sih. Emang kamu nggak mau ya ketemuan sama aku ?” Monika malah balik bertanya kepadaku.

“Ya, bukan begitu. Masalahnya akhir-akhir ini kok kamu pengin ketemu aku terus itu sebenarnya ada apa. Ada masalah ya dengan suamimu ? ” selidikku kepada Monika.

“Ah, enggak. Aku fi ne-fi ne aja kok dengan suamiku. Aku lagi ada masalah dengan Nico.”

Jawaban Monika sungguh mengejutkanku. Setahuku Nico adalah mantan pacar Monika sewaktu masih SMA. Dan kisah mereka juga sudah putus ke ka mereka sudah kuliah karena mereka dak berada di kampus yang sama.

“Bukankah kamu sudah nggak ada story lagi dengan Nico ? “

“Nah, itu lah Bob. Aku mengalami CLBK ! ” jawab Monika.

“Hah, apaan tuh CLBK ? ” tanyaku penasaran.

“Ah, masak kamu gak tahu sih ? Cinta Lama Bersemi Kembali !”

“Oh, itu. Lah..kok bisa terjadi CLBK. Emang siapa yang mulai duluan ?”

Monika mulai bercerita kepadaku dari A sampai Z. Dan aku mulai paham sekarang. Ternyata Nico yang mulai duluan. Sebenarnya Monika hanya berempa saja kepada Nico. Karena Nico tak beruntung memiliki istri bernama Melani. Istri Nico ternyata seorang pemboros. Se ap uang yang diberikan kepada Melani dari hasil kerja keras Nico tak pernah tersisa sedikit pun. Selalu saja habis buat belanja. Dan ternyata istri Nico memang paling hobi belanja ke mall.

Page 46: Kado buat elisa

46

Karena waktu sudah lumayan larut, dan jam tanganku pun sudah menunjukkan pukul 18.00. Maka kami pun segera mengakhiri obrolan CLBK antara Monika dan Nico. Sebenarnya Monika ingin curhat lebih lama tapi ia sudah janji dengan anak-anaknya untuk dak pulang ke rumah sampai larut malam. Monika segera menuju ke mobil Avanza warna hitam, sementara aku menuju ke tempat parkir sepeda motor yang tak jauh dari lokasi mobil Monika. Dan curhat yang singkat itu akan berlanjut di tempat yang sama di esok hari. Karena Monika nampaknya sangat butuh saran dan pendapatku tentang masalah CLBK yang dialaminya dengan Nico.

***

Sesuai janji yang sudah kusepaka . Melon Café adalah saksi bisu antara aku dan Monika. Dan nampaknya Monika sudah nggak sabar menungguku di café itu. Dia datang lebih awal dariku. Ke ka aku menghampiri Monika di depan meja dengan nomor 12 sudah terhidang makanan dan minuman yang menggugah selera.

“Wah, kamu sudah pesan duluan rupanya Mon ?”

“Yah, nungguin kamu lama banget. Terpaksa deh aku pesan makanan dan minuman kesukaanmu, ” jawab Monika.

“Sori deh telat 15 menit, soalnya tadi ada pekerjaan kantor yang perlu diselesaikan,” Aku memberikan alasan kepada Monika kenapa aku datang terlambat ke Melon Café.

Kisah CLBK yang dialami Monika sebenarnya masalah sepele. Keputusan tegas seharusnya ada di tangan Monika. Hanya saja Monika yang punya sifat nggak tegaan perlu di-support supaya dak terlalu jauh bermain api dengan Nico.

“Mon, kamu sudah sepantasnya bersikap tegas kepada Nico, ” saranku kepada Monika.

Page 47: Kado buat elisa

47

“Lah, aku mau gimana lagi. Nico itu super nekat. Memang sih aku bisa terlena dengannya. Mengingat dulu semasa SMA aku pernah ada story dengannya.”

“Nah, aku juga menyayangkan rumah tanggamu. Sebelum Nico hadir kembali, keluargamu kan sangat bahagia dan harmonis. Apa kamu mau mengkhiana suamimu dan anak-anakmu ? ” tanyaku kepada Monika.

“Ya, aku butuh penger an dari Nico sebenarnya. Mengingat masa SMA sudah dak tepat lagi untuk diulang kembali. Dunia kami sudah berbeda, ” kenang Monika.

“Kamu dak berusaha untuk lepas darinya ?”

“Sudah sih,” jawab Monika.

“Lalu kenapa masih saja dia nekat hadir di dalam kehidupanmu? ” tanyaku penuh penasaran.

Monika terdiam sejenak. Nampaknya dia masih bingung dan ragu harus ber ndak seper apa lagi. Monika memang menyayangkan Nico mendapatkan istri Melani yang sangat pemboros. Apa lagi Melani sering melakukan terror kepada anaknya jika Nico lupa untuk memberikan na ah. Sebagai seorang konsultan, sebenarnya Nico punya penghasilan yang cukup. Tapi apa daya, Nico adalah seorang suami yang mudah dise r oleh seorang istri. Dan anehnya jika dia mendapatkan masalah berat, selalu lari kepada Monika. Yah, masuk akal juga karena Monika adalah masa lalu Nico semasa masih pacaran di bangku SMA. Terlalu indah jika harus dihapus begitu saja.

“Begini, aku punya solusi. Jika Nico masih mencintai keluarganya, bilang saja kamu kepada Nico. Sebagai seorang suami, sudah seharusnya dia bisa mengendalikan istrinya yang

Page 48: Kado buat elisa

48

sangat pemboros itu. Dan kamu sebagai orang yang pernah dicintainya sudah seharusnya dak memberi harapan baru kepada Nico. Menurutku kamu hanya dijadikan pelarian saja, Mon.”

Perlahan-lahan Monika mulai menyadari, kalau sebenarnya dia hanya dijadikan pelarian saja oleh Nico. Monika pun tak ingin keharmonisan rumah tangganya menjadi rusak gara-gara kehadiran Nico. Melon Café menjadi kenangan tersendiri bagi Monika dan Nico. Dan akhirnya aku baru tahu mengapa Melon Café menjadi tempat favorit bagi Monika. Ya, sudah satu tahun lamanya Monika menjalani hubungan gelap dengan Nico. Mereka menjadikan Melon Café sebagai tempat untuk nge-date. Aku pun tak tahu sudah seberapa jauh hubungan CLBK mereka. Yang jelas pertemuanku dengan Monika di café itu adalah awal bagi Monika untuk mengakhiri CLBK yang hampir mengguncang keharmonisan rumah tangga Monika.

Cukup lama kami berdialog dan mencari solusi yang tepat agar Nico tak hadir kembali di dalam rumah tangga Monika. Monika nampaknya sudah pusing hanya dijadikan tempat pelarian oleh Nico. Tekad Monika sudah bulat, dak sepantasnya dia terlalu bersimpa kepada Nico. Toh, Nico adalah masa lalu. Dia tak ingin mengkhiana suaminya yang begitu tulus mencintainya. Apalagi Monika juga dikaruniai anak yang lucu-lucu.

Sejenak aku menghabiskan minuman kopi panas yang ada di depanku. Sambil menegaskan lagi kepada Monika untuk tetap menolak kehadiran Nico. Karena aku pun tak tega jika kehadiran Nico hanya sebagai parasit bagi keluarga Monika.

“Hmm..gimana ? Sudah bulat tekadmu untuk menghapus Nico dalam kehidupanmu ? ” tanyaku kepada Monika untuk menegaskan kembali akan keseriusannya menyelesaikan masalah CLBK-nya.

Page 49: Kado buat elisa

49

“Yah, aku harus tegas Bob, ” jawab Monika penuh dengan rasa op mis.

“Biarlah Melon Café ini menjadi tempat menyimpan rahasia antara aku dan Nico,” kenang Monika.

Aku pun diam. Sambil melihat jam tangan, angka di dalam jam tanganku sudah menunjukkan digit 18.05. Aku mulai mengingatkan Monika.

“Eh, Mon. Sudah saatnya kita pulang nih,” kataku kepada Monika.

“Oh, ya. Sudah lebih lima menit ya ?”

“Ya, Nan kamu pulang terlambat ke rumah. Kasihan anak-anakmu yang sudah menan mamanya nggak pulang-pulang, ” jawabku enteng.

Kami pun mulai meninggalkan Melon Café. Melon Café yang tak pernah sepi dengan para pengunjung. Entah sekedar sebagai tempat nongkrong atau tempat buat nge-date seper yang dialami oleh Monika dan Nico. Aku lalu menaiki sepeda motorku. Dan dua hari berkunjung ke Melon Café aku pun punya kesan tersendiri terhadap tempat itu.

***

Page 50: Kado buat elisa

50

Kumcer Agung Budi Santoso

Kado Buat Elisa

Page 51: Kado buat elisa

51

Lelaki di Usia SenjaBy

Agung B. Santoso

Secangkir kopi itu diambilnya dan ditaruh di samping laptop. Lalu lelaki tua itu melanjutkan ak vitasnya menge k di atas keyboard QWERTY. Sudah banyak, bahkan ratusan ar kel dan cerpen yang ia tuliskan di dalam laptopnya. Namun tak satu pun tulisannya ia kirimkan ke penerbit atau surat kabar. Entahlah, si lelaki tua itu menganggap kegiatan tulis menulis hanyalah kegiatan iseng di masa-masa pensiun. Ia tetap bersahaja didampingi istrinya yang juga sudah dak muda lagi.

Lelaki tua itu memiliki dua cucu dari putri pertamanya. Dan satu cucu dari putera kedua. Sedang dari putri bungsunya ia belum mendapatkan cucu, karena si bungsu masih kuliah di semester akhir di sebuah PTN Yogyakarta.

Kakek tua itu sangat sayang dengan cucunya. Adit seorang cucu dari putri pertamanya kadang selalu menemani kakeknya menulis ke ka hari libur. Manakala kakeknya dak ingin diganggu oleh pertanyaan-pertanyaan cucunya, maka sang kakek pun tak

Page 52: Kado buat elisa

52

kurang akal. Diberinya teka-teki atau puzzle yang lumayan susah kepada sang cucu. Dan sang kakek pun melanjutkan kembali ak vitasnya menulis di atas keyboard.

Pada suatu hari Adit penasaran kepada kakeknya, karena melihat kakeknya tak pernah bosan menatap layar LCD dan papan QWERTY.

“Kek, kenapa sih kakek suka nulis di laptop tapi tulisannya gak pernah muncul di koran, ” tanya Adit.

“Ya, karena kakek gak ingin terkenal. Cukup anggota keluarga saja yang tahu kalau kakek gemar menulis,” balas sang kakek.

“Hmmm….kalau gitu apa enaknya, Kek. Capek-capek nulis gak dapat duit. Habis gitu tulisannya cuma dibaca oleh anggota keluarga saja.”

“Kamu belum saatnya untuk tahu tentang kegiatan kakek. Suatu ke ka kamu akan memahaminya jika sudah dewasa,” jawab sang kakek mengakhiri pertanyaan Adit.

***

Pada hari Minggu tepatnya minggu ke ga di bulan April, Adit yang secara tak sengaja membuka laptop sang kakek menemukan tulisan yang aneh. Adit heran dan kaget. Masak sih kakeknya jatuh cinta lagi. Padahal dia sudah memiliki ga cucu. Dan dengan neneknya pun tak pernah ada ribut-ribut. Adit membaca sebuah cerpen karangan kakeknya yang berjudul “Cintaku di kampus biru”. Kalau dibaca secara sekilas memang cerpen itu mengisahkan kisah percintaan antara sepasang mahasiswa dan mahasiswi yang sedang dimabuk cinta.

Baru saja membaca di aliea kelima ba- ba Adit ditegur oleh kakeknya.

Page 53: Kado buat elisa

53

“Hayo, kamu mengin p tulisan kakek, ya.”

“Ah, enggak kok, kek. Adit cuma baca-baca doang.”

“Sama saja, itu namanya mengin p kalau baca tulisan orang di laptop tanpa ijin.”

“Ya, maaf deh, kek. Habis salah sendiri kakek menulis di laptop gak di password.”

“Ya, sudahlah. Gak mengapa. Kamu pengin bisa nulis cerpen seper kakek,” tanya sang kakek kepada cucunya.

Adit terdiam. Dia belum bisa menjawab ya atau dak. Karena dia masih suka bermain-main dan lebih suka baca komik ke mbang harus belajar nulis cerpen. Namun rasa penasaran Adit tak hilang begitu saja. Lantas ia mengajukan pertanyaan kepada kakeknya mengapa menulis cerpen kisah percintaan padahal usia kakeknya sudah lumayan senja. Kakeknya pun menjawab dengan penuh kesabaran.

“Adit, di dalam menulis itu kakek menemukan kebebasan berekspresi. Dan kisah yang ada di cerpen itu sebenarnya kakek hendak mengenang kembali kisah jadul ke ka kakek pertama kali bertemu dengan nenek. Walau tokoh dan se ng lokasi dibuat berbeda tapi kakek ingin mengenang kisah roman s kakek bersama nenek ke ka masih muda.”

“Oh, gitu ya …kek,” Adit mengangguk sebagai pertanda puas dengan jawaban kakek.

“Yah, begitulah. Dan kalau tulisan ini dibaca oleh nenek, ia pas akan tersenyum geli mengenang kisah roman s jaman jadul.”

***

Page 54: Kado buat elisa

54

Kakeknya Adit memang terkenal sebagai perokok ak f dan doyan minum kopi sebagai teman begadang ke ka ia harus menulis ar kel atau cerpen hingga larut malam. Cukup banyak bekas batang rokok yang tertumpuk di atas asbak. Terkadang Adit mengambilnya dan dibuang ke tempat sampah. Adit tak berani menegur kakeknya yang memang tergolong perokok berat.

Hingga suatu sore sang kakek merasa agak sesak pernapasannya dan jatuh pingsan. Adit yang nampak panik segera memanggil neneknya. Dan ke ka neneknya melihat sang kakek pingsan, ia lantas menelpon anaknya yang sulung untuk sekedar mengantarkan berobat ke rumah sakit. Dan sesampai di rumah sakit, sang dokter hanya dapat berpesan bahwa sang kakek diminta untuk mengurangi rokok dan minum kopi. Sempat satu minggu kakek Adit dirawat di rumah sakit. Dan sebagai cucu kesayangan kakek, Adit nampaknya dak ragu mendampingi kakeknya hingga sembuh dan pulang ke rumah kembali.

Semenjak kejadian pingsan dan harus opname di rumah sakit sang kakek nampaknya benar-benar mematuhi anjuran dokter. Dia sudah mulai mengurangi rokok dan sedikit minum kopi. Namun untuk ak vitas tulis menulis nampaknya tetap berlanjut. Dan ini kadang membuat kakek Adit selalu dur hingga larut malam. Jika Adit merasa bosan menemani kakeknya menulis di atas laptop, ia malah sudah dur duluan. Namun Adit merasa bangga bisa menemani kakeknya menulis, karena ia pun dapat bertanya kepada kakeknya tentang pelajaran sekolah ke ka mendapatkan PR yang harus dikumpulkan di esok hari.

Ayah Adit pun heran. Mengapa ia justru lebih dekat dengan kakeknya ke mbang dengan ayahnya. Mungkin Adit merasa ayah Adit jarang ada di rumah. Sebab ayah Adit sering dinas ke luar kota.

***

Page 55: Kado buat elisa

55

Hingga menjelang ulang tahun Adit merasa mendapatkan surprise dari kakeknya. Ia diberi kado berupa cerpen dengan judul “Cucuku seorang pembelajar”. Ke ka perayaan ulang tahun yang ke-12 kado cerpen itu diberikan oleh kakek di sebuah kolam pancing keluarga di hari Minggu. Sambil menikma gurami bakar Adit tak bosan-bosannya membaca cerpen kakeknya itu. Dan ini lain dari yang biasa. Adit biasanya sangat gemar baca komik. Tapi baru kali ini ia mau membaca sebuah cerpen. Hingga suatu hari kakek Adit terkejut mendengar perkataan dari cucunya.

“Kek, Adit mau jadi penulis.”

Tanpa terucap sepatah kata. Sang kakek hanya tersenyum kagum. Ia telah berhasil menanamkan kebebasan berekspresi kepada cucunya. Kebebasan berekspresi di dalam bentuk tulisan di usianya yang telah menginjak 12 tahun.

***

Page 56: Kado buat elisa

56

Kumcer Agung Budi Santoso

Kado Buat Elisa

Page 57: Kado buat elisa

57

Kau Bukan JodohkuBy

Agung B. Santoso

Ya, tepatnya ini tanggal 10 November. Mengingatkanku akan sebuah nama. Seorang gadis periang yang bekerja sebagai pemandu karaoke di kotaku. Gadis itu tak pernah merasa kesusahan. Segala cobaan hidup ia lalui dengan canda dan tawa. Pertemuan pertama dengannya di sebuah rumah kost yang cukup mewah. Tadinya aku tak sengaja berkunjung ke tempat kost itu. Hanya karena diajak oleh temenku yang bernama Alex, aku menjadi akrab bergaul dengan Vivid.

“Hai, kenalkan ini temanku Sandi,” Alex mengenalkanku dengan Vivid.

“Namaku Vivid, kamu nggal di mana ? tanya Vivid kepadaku.

“Ah, deket kok. Tak jauh dari tempat kostmu,” jawabku santai.

Page 58: Kado buat elisa

58

“Kamu suka nyanyi juga ya ? Vivid mulai memancing pertanyaan.

“Ya, suka juga. Tapi penyanyi ama r kok. Sama kamu pas suaraku kalah,”balasku sekenanya.

“Alah kamu sukanya merendah. Sekali-sekali nyanyi yuk di tempat kerjaku,”ajak Vivid bersemangat.

“Kapan ? Sekarang ? “ Aku menantang Vivid nyanyi saat itu juga.

Percakapan singkat itu mengawali pertemananku dengan Vivid. Karena Alex dan aku setuju untuk nyanyi di tempat kerja Vivid maka malam itu juga kami segera menuju ke Apple Karaoke. Vivid nampaknya senang sekali. Serasa mendapat durian runtuh.

***

Se ap nyanyi di Apple lagu andalanku pas lagunya Republik. Lagu dengan judul “Hanya ingin Kau tahu”. Aku sangat menguasainya. Kadang Vivid bertepuk tangan, pertanda aku menjiwai lagu itu. Tak terasa kami hampir lupa waktu kalau sudah nyanyi bersama.

“Kamu nggak bosan ya dengan lagu itu ?” tanya Vivid.

“Lah..kenapa bosan ? Kan aku senang. Lagian suaraku pas kok dengan vokalisnya.”

“Yah, sih. Kamu ada kenangan dengan lagu itu ya ?”

“Ah, nggak. Cuma buat ngimbangi kamu aja. Kan suaramu bagus banget. Gengsi dong kalau aku kalah sama kamu.”

Kami pun tertawa. Pertemananku dengan Vivid kian akrab. Seminggu tak jumpa bagaikan sewindu. Kalau pas lagi sibuk kerja hanya sms dan ucapan hello kusampaikan kepada Vivid. Dan

Page 59: Kado buat elisa

59

Vivid pun memakluminya. Pernah suatu ke ka di malam Minggu Vivid nggak kerja. Dia bilang capek, ia ingin sekedar hang out pergi nonton fi lm. Tapi aku menolaknya karena belum ada fi lm yang bagus. Aku mengajak Vivid untuk makan malam saja di café.

“Malam Minggu beginian, apa kamu nggak boring kerja terus ?” tanya Vivid.

“Lha kamu emang mau ke mana ?”

“Nonton, yuk ?” Vivid merengek kepadaku seper anak kecil.

“Ah, nggak ada fi lm bagus kok. Gimana kalau makan aja ?” Aku memberi tawaran lain.

“Boleh deh. Makan steak yuk ?” Vivid langsung bersemangat kalau ditawari makan steak.

“Siapa takut ?’

Karena tempat kostnya dan rumahku terletak dak berjauhan, maka aku pun segera meluncur menghampiri Vivid. Sesampai di warung steak kami berdua mulai memesan menu favorit. Dan tak sampai menunggu lama, menu yang kami pesan pun sudah tersaji di depan mata.

“Vid, kalau kamu gak kerja apa bos kamu gak marah ?”

“Ah, enggak kok. Yang pen ng kan aku sudah ijin.”

“Hmm…asyik dong kalau begitu.”

“Ah …udah ah jangan ngomong soal kerjaan. Lagian kamu ngajak ke sini untuk santai kan ?”

“Ya, sih. Ayo habiskan steaknya, nan keburu dingin.”

***

Page 60: Kado buat elisa

60

Begitulah masa-masa indahku bersama Vivid. Kalau dak nyanyi, nonton, makan steak ya santai aja di tempat kostnya Vivid. Sambil ngobrol ngalor ngidul. Vivid sangat menikma pertemanan ini. Hingga suatu ke ka karena aku mulai ada rasa dengannya, aku mulai memberanikan untuk ngomong soal status. Vivid nampak kaget. Dia diam sejenak dak menjawab pertanyaanku. Dia belum bisa menerima tawaranku untuk meningkatkan status pertemanan menjadi sepasang kekasih. Aku tambah penasaran. Namun aku segera mengalihkan pembicaraanku. Vivid masih menyimpan rahasia besar.

Hingga suatu ke ka aku bertemu dengan Alex. Sebenarnya aku nggak ingin membicarakan status Vivid kepada Alex. Tapi Alex malah sudah membocorkannya terlebih dahulu kepadaku. Ya, Vivid ternyata sudah dikawin kontrak oleh bos dari Taiwan. Aku kaget, di dalam ha aku berfi kir pantes saja Vivid nggak mau terus terang kepadaku.

Alex bercerita bahwa segala fasilitas mewah yang ada di tempat kostnya itu semua pemberian bos dari Taiwan yang sudah kawin kontrak dengan Vivid. Hmmm…aku geleng-geleng kepala. Ya sudahlah kalau memang dia bukan jodohku. Malah Alex kembali meledekku dengan pertanyaan-pertanyaan gila.

“Emang kamu selama ini sudah ngapain aja sama Vivid ? “ Alex memancing pertanyaan konyol kepadaku.

“Yah, cuma nyanyi, makan, nonton saja kok. Nggak lebih dari itu.”

“Dasar cowok kere, mana mungkin dia mau sama kamu. Gak level. Aku pun sebenarnya juga naksir kok dengan Vivid.” Alex menertawakanku.

Mendengar pernyataan yang keluar dari mulut Alex, aku merasa dipermainkan. Karena dulu aku kira status Vivid adalah jomblo.

Page 61: Kado buat elisa

61

“Tapi kenapa kamu dulu mengenalkan aku dengan Vivid ?” tanyaku protes.

“Ya, biar kamu tahu aja. Cewek kayak begituan nggak mungkin punya cinta seja . Dia cuma maunya hepi aja. Lagian kamu pede banget sih pengin dape n cintanya ?” Alex malah mengejekku.

“Ah, sialan kamu Lex.”

Sambil membuka bungkus rokok yang ada di kantong, aku dan Alex menghabiskan malam kelabu di rumah Alex. Kuhisap sebatang rokok sebagai penghilang penat. Tak terasa jam dinding menunjuk pukul 02.00 dini hari. Aku pun tahu diri, akhirnya aku mohon pamit untuk pulang ke rumah. Selamat dur ya Alex …semoga aku mimpi dur nyenyak dengan Vivid dala m damai.

***

Page 62: Kado buat elisa

62

Kumcer Agung Budi Santoso

Kado Buat Elisa

Page 63: Kado buat elisa

63

Kado Buat ElisaBy

Agung B. Santoso

Gadis itu bernama Elisa. Aku mengenalnya sekitar dua tahun silam. Masih terbayang betapa lugunya gadis itu. Ya, karena aku bertemu secara tak sengaja di sebuah pusat perbelanjaan di kotaku. Waktu itu aku sedang jalan-jalan dan berniat ingin membeli celana jean karena sudah lama tak punya koleksi celana jean. Semua celana panjang yang ada di lemari bernuansa casual. Setelah mondar-mandir ke sana ke mari barulah aku tertahan sejenak dengan sapaan gadis lugu itu.

“Sedang mencari apa, Bapak ?”, tanya gadis lugu itu.

“Emmm…penginnya sih mau beli celana jean”, jawabku santai.

“Oh, ada..mari silakan masuk saja, Bapak. Ada banyak koleksi celana jean di tempat kami”. Gadis lugu itu mulai mempersilakan aku untuk melihat-lihat berbagai ukuran dan merk celana jean. Pandanganku tertuju kepada salah satu merk celana jean yang tergantung sekitar ga langkah dari tempatku berdiri. Tanpa pikir panjang aku ambil dan kulihat ternyata ukuran celana itu pas dengan ukuran celana yang biasa aku pakai.

Page 64: Kado buat elisa

64

“Boleh dicoba kan ? ”

“Tentu dong, Bapak. Silakan saja dicoba di ruang sebelah ujung. Kalau sudah nan di bawa kemari ya, Pak ? Biar saya bikinkan notanya.”

“Ok, terima kasih ya”, jawabku sambil menuju ke ruang gan pakaian. Di dalam ruang gan pakaian aku berfi kir gadis tersebut memang ramah sekali. Tetapi aku berfi kir kembali ya sudah sewajarnya lah, seorang pramuniaga harus ramah. Kalau dak mana ada calon pembeli yang singgah untuk melihat barang

dagangannya.

Setelah apa yang sudah saya lakukan cocok dan berkemas, mbul niat saya untuk bertanya siapa nama gadis itu. Tapi sejenak

saya mengurungkan niatku tersebut. Masih ada cara lain untuk tahu siapa nama gadis itu.

“Celananya cocok, Bapak ?”

“Ya”, jawabku singkat.

“Maaf ini notanya dan silakan Bapak melakukan pembayaran di kassa.”

Aku dak segera beranjak untuk pergi membayar celana jean ke kassa. Karena saya penasaran ingin tahu siapa nama gadis lugu tersebut.

“Kok di nota adanya cuma tanda tangan saja ? Namanya siapa Mbak ?”

“Oh, bukannya sudah diberi tanda tangan dan stempel, Bapak ?”

“Ya, sih. Saya hanya ingin tahu namanya saja kok. Eh, siapa tahu di lain kesempatan saya mampir ke sini lagi.”

Page 65: Kado buat elisa

65

“Nama saya Elisa, Bapak.”

Namanya secan k parasnya, namun keluguannya yang begitu membuatku jadi terpesona. Dia gadis lugu dan sedikit anggun. Dan nampaknya belum tercemar oleh hingar bingar gemerlapnya kota metropolitan.

Sejak saat itu aku selalu merekam dan mengingat namanya di dalam pikiran dan jiwaku. Dalam ha apakah aku jatuh ha dengannya ? Ah, semoga dak. Dia terpaut beberapa tahun denganku. Siapa tahu dia sudah punya cowok. Gadis secan k Elisa saya rasa banyak yang suka dengannya. Biarlah dia mekar dan tumbuh bagaikan wanginya bunga mela .

***

Namun tak dinyana tak disangka. Aku bertemu dengan gadis itu di sebuah acara lelang sebuah proyek yang kebetulan aku menjadi tenaga ahli yang sedang disewa oleh sebuah konsultan. Saya sedang memberikan penjelasan tentang sebuah lelang pekerjaan lampu penerangan jalan umum di kota Tegal. Tapi saya sempat ragu apakah ini Elisa, ya? Wajahnya mirip dan nggi badannya juga masih kuingat agak semampai. Hmmm… semoga saja bukan.

Tiga puluh menit saya memberikan paparan dan dilanjutkan sesi tanya jawab dari para pemborong. Dan nampaknya gadis yang mirip Elisa ini dak terlalu ak f mengajukan pertanyaan. Yah, mungkin baru pertama kali mendatangi acara paparan lelang sebuah proyek. Pada acara rehat kopi dan ramah tamah saya jadikan momen untuk ingin tahu lebih dalam siapa gadis itu.

“Maaf, apakah Mbak bernama Elisa ?” sapaku bagaikan detek f ingin mencari informasi.

“Hmmm…Bapak bukannya yang dulu pernah membeli jean di mall itu, ya?”

Page 66: Kado buat elisa

66

“Ya,” jawabku singkat.

“Benar, Bapak. Saya Elisa. Sekarang saya sudah pindah bekerja di sebuah kontraktor kelistrikan.”

Saya dak hendak bertanya mengapa dia pindah bekerja. Saya hanya ingin menyampaikan ternyata dunia ini sempit. Lalu saya sambung lagi dengan percakapan berikutnya.

“Wah, ternyata dunia sempit ya. Ngomong-ngomong sudah berapa lama di kontraktor ?”. Kelihatannya baru saja, ya?”

“Kok, tahu Bapak ?”

“Ya, kelihatan dari cara Anda menghadiri acara ini. Masih agak culun. Sori lho bukan bermaksud under es mate.”

“Yah, namanya kan baru belajar Bapak. Dan lagian saya lagi beradaptasi dengan dunia proyek. Dunia proyek berbeda dengan dunia pramuniaga, Pak.”

Tak terasa acara rehat kopi sudah usai. Konsultan, pemborong dan pani a lelang berkemas dan bersiap untuk mengakhiri acara paparan proyek penerangan jalan umum di kota Tegal. Tinggal para pemborong mempersiapkan diri untuk menawar pekerjaan sesuai dengan BQ dan HPS yang sudah disepaka .

***

Selang beberapa minggu setelah acara penyerahan berkas dan dokumen usai. Tibalah pada saatnya yaitu pengumuman pemenang lelang. Saya dak pengin tahu siapa pemenang lelang proyek tersebut. Namun dari pani a lelang memberi tahu saya bahwa pekerjaan itu dimenangkan oleh CV. Manunggal Abadi. Hmmmm dalam ha saya langsung mencari

Page 67: Kado buat elisa

67

tahu dari arsip-arsip yang sudah ada. Saya cari tahu siapa itu CV. Manunggal Abadi. Dari struktur organisasi dan semua pengurus termasuk karyawan dan tenaga ahlinya. Oh ternyata….CV. Manunggal Abadi adalah perusahaan tempat Elisa bekerja. Dan dari track recordnya, perusahaan tersebut memang sudah banyak memiliki pengalaman. Yah, wajar lah kalau perusahaan itu yang menang. Dalam ha saya berfi kir kembali si lugu mungkin hanya sekedar pesuruh. Tapi dibalik semua itu banyak para jawara yang turut berkiprah. Selamat ya Elisa….kemenangan proyek itu semoga sebagai kado ga bulan pertama kamu bekerja di sebuah kontraktor. Dunia proyek memang berbeda dengan dunia pramuniaga. Kamu dituntut untuk terus berfi kir dan berfi kir, bukan sekedar menawarkan produk yang belum tentu dilirik oleh seorang pembeli.

***

Page 68: Kado buat elisa

68

Kumcer Agung Budi Santoso

Kado Buat Elisa

Page 69: Kado buat elisa

69

Guci WasiatBy

Agung B.Santoso

Hujan deras diiringi pe r yang menyambar ke penjuru desa, menambah seram suasana padepokan Ki Sepuh. Dan malam itu Amel sengaja memenuhi permintaan Ki Sepuh untuk melakukan ritual penjamasan guci wasiat. Menurut penuturan Ki Sepuh bila ramuan awet muda itu dimasukkan ke dalam guci wasiat dan diminum secara ru n sebelum fajar pagi ba, maka bagi peminumnya akan selalu tampak awet muda dan can k.

“Ingat pesan Aki, jangan sekali-kali ramuan ini kau minum setelah matahari terbit.”

“Iya, Ki Sepuh, “ jawab Amel.

Setelah penjamasan guci wasiat usai, Amel pun membayar mahar yang sudah disepaka . Karena hujan belum juga reda akhirnya Amel bermalam di padepokan Ki Sepuh. Keesokan harinya dengan membawa guci wasiat Amel pergi meninggalkan desa Ki Sepuh untuk kembali ke kota.

Page 70: Kado buat elisa

70

***

Sebagai pemandu karaoke Amel selalu ingin tampak can k dan tak di nggal oleh pelanggan. Maklum persaingan kerja di tempat Amel sangat ketat. Seorang PK yang dak tampak can k dan menarik pas akan sepi pelanggan. Baru satu tahun bekerja di tempat karaoke, Amel sudah banyak memiliki penggemar. Dan Roy, pelanggan tetap bagi Amel, tak pernah absen jika malam Minggu ba. Namun jika Roy meminta Amel menjadi PK, ia selalu meminta pelayanan yang aneh-aneh. Amel pun dengan senang ha meladeninya karena Roy pas memberikan ps uang yang berlebih.

Tak heran bila Amel hampir ap bulan meraih posisi Lady of The Month. Dan berkat guci wasiat pemberian Ki Sepuh serta ramuan awet muda yang selalu diminumnya membuat se ap pelanggan Amel dibikin klepek-klepek tak berku k. Suara Amel memang bagus ditambah bentuk tubuh yang sexy serta can k, banyak pesaing Amel yang gak kebagian order untuk nyanyi.

Teman-teman Amel menjadi keheranan. Mengapa se ap pelanggan yang datang pas meminta Amel untuk menjadi pemandunya alias teman nyanyi di room karaoke.

“Mel, rahasianya apa sih ?” tanya Prita penasaran.

“Mau tahu ?”

Prita mengagukkan kepalanya.

“Mandi kembang tujuh rupa di depan rumah,” jawab Amel sekenanya.

“Ah, ngaco kamu Mel. Hari gini mandi kembang tujuh rupa ? Amit-amit deh,” jawab Prita.

Page 71: Kado buat elisa

71

Prita memang nggak terlalu tertarik kepada hal-hal yang berbau mis k. Maka tak heran jika jawaban Amel nggak digubris sama sekali oleh Prita.

***

Pukul 02.00 dini hari Amel baru pulang kerja di tempat karaoke. Sesampai di tempat kost ia masih ingat pesan Ki Sepuh agar ramuan di dalam guci wasiat diminum sebelum fajar pagi ba. Maka ia mengambil keputusan untuk dak langsung dur

ke ka sampai di tempat kost. Amel baru dur setelah pukul 05.00 pagi. Sambil menunggu waktu yang tepat Amel mengambil MP3 Player untuk mendengarkan beberapa lagu kesayangannya. Setelah dirasa tepat Amel mulai mengambil guci wasiat yang berisi ramuan awet muda di dalam lemari. Amel menuangkannya ke dalam gelas kecil lalu diminumlah ramuan yang ada di dalam guci wasiat itu. Nyess…….

Aroma yang khas mulai merasuki tubuh Amel. Amel merasakan ada sesuatu yang masuk ke dalam tubuhnya. Sesuatu yang mengalir bersama aliran darah Amel. Amel mulai bercermin. Dan ia pun tambah percaya diri karena tak ada perubahan sama sekali di raut wajahnya. Ya, ia tetap can k dan muda.

Amel lantas menuju tempat dur dan merebahkan tubuhnya yang sexy di atas kasur. Kebiasaan ini ia jalani terus secara ru n dan bangun ke ka matahari sudah nggi.

Ke ka Amel ter dur pulas, mendadak ponselnya berbunyi. Dengan perasaan malas Amel membuka mata dan meraih ponselnya. Oh, ternyata Roy mengirim sms ke ponsel Amel. Roy menginginkan agar malam Minggu depan tak melayani pelanggan kecuali Roy. Ada surprise katanya. Mendadak Amel dibikin penasaran oleh sms-nya si Roy.

Page 72: Kado buat elisa

72

“Surprise ?” Amel bertanya sendiri di dalam kamarnya. “Ah, masa bodo.”

Lalu Amel pun memeluk guling dan mebenamkan wajahnya di atas bantal. Ia masih ingin bermalas-malasan. Tanggung, pikirnya dalam ha . Amel masih ingin melanjutkan mimpinya yang belum selesai.

***

Malam Minggu seper yang sudah dijanjikan Roy, Amel datang ke tempat karaoke agak lebih awal. Dan ia pun menuru apa yang diminta si Roy. Amel menolak se ap pelanggan yang ingin nyayi bersamanya. Tepat pukul 20.00 si Roy mulai nongol. Dengan senyumnya yang khas ia cengar-cengir di depan kursi yang telah diduduki Amel.

“Udah lama Mel nungguin aku ?” tanya si Roy.

“Kamu tuh janji mau kasih surprise. Surprise apaan sih ?” Amel balik bertanya ke Roy.

“Aku hari ini ultah Mel.”

“Oh, ya ? Selamat ya….”

Amel memberikan ucapan selamat dan kecupan ke pipi Roy.

“Terus malam ini kita pesta sampai pagi ?” tanya Amel.

“Boleh. Siapa takut ?” Roy menantang Amel begadang sampai pagi.

Tak lama kemudian Roy dan Amel memasuki ruangan yang sudah dipesan sebelumnya. Tanpa basa-basi mereka langsung unjuk kebolehan. Mulai nyanyi bersama hingga nyanyi secara single bergan an sampai larut malam. Tepat pukul 00.00

Page 73: Kado buat elisa

73

mereka mengakhiri kencan karaoke di small room. Sudah banyak botol minuman keras dan puntung rokok di atas meja karaoke. Nampaknya Roy sudah setengah ang. Ya, si Roy setengah mabuk. Amel pun sebenarnya hampir mabuk, tapi karena ia imbangi dengan air mineral jadinya masih saja terlihat segar.

Karena Roy sudah janji mau pesta sampai pagi, maka kencan pun berlanjut ke hotel. Dan tanpa sadar Amel menyetujui permintaan Roy. Ia lupa bahwa guci wasiatnya ada di tempat kost. Prak s ia tak dapat meminum ramuan yang ada di dalam guci wasiat. Ia dak tahu apa dampaknya jika diminum setelah matahari terbit. Seusai kencan di hotel, Amel bergegas menuju tempat kost dengan naik taksi. Tapi nahas bagi Amel. Matahari sudah terbit agak nggi ke ka ia sampai di tempat kost. Langsung ia bergegas mengambil guci wasiat dan meminum ramuan di dalamnya. Pikir Amel telat beberapa menit gak akan jadi masalah jika ia meminumnya. Namun setelah satu gelas kecil ramuan dari guci wasiat ia minum ada gejala aneh di dalam tubuhnya. Wajah Amel terasa gatal dan mendadak mbul benjolan-benjolan kecil. Amel penasaran. Ia mengambil cermin. Betapa terkejutnya Amel melihat wajahnya sendiri. Seolah wajah yang ada di cermin itu bukanlah dirinya. Wajah Amel sudah rusak berkat ramuan di dalam guci wasiat. Amel lepas kendali. Ia berteriak keras sambil menangisi wajahnya yang berubah menjadi buruk.

“Keparat kau Aki Sepuuuhhhhhhhh…..!!!”

“Mengapa wajahku menjadi begini …..????? Mana tanggung jawabmu Akiiiii………..!!!”

Amel melempar cermin hingga pecah berantakan. Amel meratapi nasibnya. Tak seorang pun bisa menolongnya. Ki Sepuh pun merasa tak bersalah. Karena kesalahan ada pada Amel. Ramuan di dalam guci wasiat tak boleh diminum setelah matahari terbit. Semenjak itu Amel pun tak akan pernah menjadi Lady of The Month di tempat kerjanya.

Page 74: Kado buat elisa

74

Kumcer Agung Budi Santoso

Kado Buat Elisa

Page 75: Kado buat elisa

75

Bocah Penjual KoranBy

Agung B. Santoso

“Mak, upah hari ini masih seper kemarin,” ucap Damar sambil menyerahkan uang kertas ribuan sebanyak dua lembar dan satu koin lima ratus rupiah. Semenjak kema an ayahnya, Damar harus berjuang menyambung hidup untuk meringankan beban keluarga. Bocah kecil yang umurnya baru genap 10 tahun itu tak seharusnya bekerja memeras keringat demi mencari rupiah. Dia kehilangan masa kanak-kanaknya dan dak bisa lagi bermain-main seper teman-teman seusianya. Sehabis pulang sekolah ia langsung pergi menuju ke tempat Pak Mamat, seorang agen penjual koran yang tak begitu jauh dari rumah Damar. Meski sangat terlambat, tapi tak mengapa. Damar menjualkan koran pada siang hari hingga petang. Tiap hari Damar mampu menjualkan koran sekitar 10 eksemplar. Ya, cukup lumayan karena surat kabar yang dibawa pun dak hanya koran pagi tapi juga koran yang terbit di sore hari.

Damar sebagai anak sulung masih memiliki adik perempuan yang baru berumur sekitar 4 tahun. Ibunya yang seorang buruh tukang cuci pakaian selalu mengajak Upik pergi ke tempat di mana harus mencuci dan menyeterika pakaian. Di sekolah prestasi Damar

Page 76: Kado buat elisa

76

tak begitu menonjol. Yah, karena konsentrasi Damar terpecah harus mencari uang untuk membayar SPP dan belajar di sekolah. Buku-buku pelajaran pun tak ada yang dapat dibeli. Damar hanya mengandalkan buku-buku perpustakaan yang se ap dua minggu sekali harus dikembalikan. Upah dari menjual koran hanya dapat digunakan untuk membeli buku tulis dan membayar uang SPP. Sementara upah ibunya sebagai buruh tukang cuci hanya dapat untuk mencukupi kebutuhan makan dan biaya hidup sehari-hari. Pakaian baru pun jarang dibeli. Hanya sekali dalam setahun Damar memakai baju baru. Ya, tepatnya pada saat Hari Raya Idul Fitri karena seper biasa ibunya selalu mendapat THR dan bonus pakaian baru untuk Damar dan Upik.

***

Suatu sore, tepatnya di depan Kantor Pos Pusat, Damar mendapatkan keberuntungan yang berbeda dengan hari-hari yang lain. Dia tak tahu mengapa banyak orang mencarinya untuk sekedar membeli koran yang ia dagangkan. Yang jelas Damar masih ingat waktu itu adalah hari Sabtu. Setelah menghubungi Pak Mamat dan bertanya kepadanya barulah Damar tahu. Kalau se ap hari Sabtu memang banyak orang membeli koran secara eceran. Karena seper biasa di hari Sabtu banyak koran yang menyajikan iklan lowongan kerja. Dan di hari itulah para pencari kerja membeli koran sekedar untuk mencari tahu lowongan kerja yang sesuai dengan bidangnya.

Damar seper mendapatkan ilmu baru dari Pak Mamat. Dan hampir dipas kan upah yang didapat se ap hari Sabtu selalu melampaui upah harian dari hari yang lain. Berbeda ke ka Damar menjual koran di tepi jalan, halte atau di sekitar lampu lalu lintas. Mendagangkan koran di sekitar lampu lalu lintas perlu perjuangan ekstra dan harus mampu bertahan di bawah teriknya sinar mentari. Di samping itu hasilnya pun tak begitu memuaskan.

Page 77: Kado buat elisa

77

“Bagaimana, Mar ? Jualan koran di depan kantor pos dengan jualan koran di tepi jalan ada bedanya, kan ?” tanya Pak Mamat kepada Damar yang sedang menghitung banyaknya eksemplar koran untuk dijual.

“Yah, setelah tahu ilmunya mending jualan koran di depan kantor pos, Pak,” jawab Damar.

“Lagian kalau pas capek saya bisa duduk-duduk di sekitar teras kantor pos dan dak menggangu lalu lintas.” Damar menegaskan kembali, bahwa jualan koran di depan kantor pos lebih menyenangkan ke mbang di tepi jalan.

“Kalau jualan koran di depan Mall, sudah pernah kamu coba ?” Pak Mamat bertanya kembali.

“Wah, kalau itu sih belum, Pak.”

“Kamu mau mencobanya ?” tantang Pak Mamat.

“Hmmm…belum kepikiran, Pak. Saya dak mau coba-coba. Lagian nama saya sudah terkenal di sekitar kantor pos,” jawab Damar.

“Oh, ya.” Pak Mamat seolah tak percaya mendengar pengakuan Damar tersebut.

“Terkenal sebagai apa, Mar ?” Pak Mamat bertanya lagi.

“Ya, terkenal sebagai Damar si Penjual Koran,” jawab Damar enteng.

“Bagus lah kalau begitu. Jangan menyerah kepada nasib. Dan pertahankan terus prestasi jualan koranmu. Nan kalau per harinya kamu bisa jual koran banyak, aku akan kasih bonus di akhir bulan.” Pak Mamat memberi semangat kepada Damar.

Page 78: Kado buat elisa

78

“OK, Pak. Aku menan janjimu,” jawab Damar sambil berkemas membereskan beberapa lembar koran yang belum tertata rapi.

***

Sebagai penjual koran eceran keberuntungan tak selalu berpihak kepada Damar. Memang upah yang didapat se ap hari Sabtu selalu melampaui upah di hari yang lain. Dan tak disangka tak dinyana, pada suatu hari ke ka Damar pulang ke rumah ia dicegat oleh Kang Suto.

“Mau ke mana kamu, Mar ?” tanya Kang Suto.

“Mau pulang ke rumah, Kang,” jawab Damar.

“Eh, nan dulu. Kabarnya kamu menjualkan koran dari Pak Mamat, ya ?” Kang Suto, seorang preman kampung sedang beraksi mau minta upe kepada Damar. “Berapa duit kamu dapat dari Pak Mamat ?” Sambil memegang kerah bajunya Damar, Kang Suto berlagak sok jago meminta uang dari Damar.

“Upah saya sedikit, Kang. Tolong jangan diambil uang saya. Itu buat bayar uang sekolah dan beli buku tulis.” Damar memelas di depan Kang Suto. Mata Kang Suto melotot tajam seper elang yang sedang memburu mangsanya.

“Persetan dengan uang sekolah. Buat apa kamu sekolah kalau akhirnya cuma jadi tukang jual koran, ha !” Kang Suto tetap memaksa Damar untuk segera menyerahkan upah dari hasil jualan koran di hari itu.

Sungguh sial nasib Damar hari itu. Tanpa memberikan perlawanan yang berar , semua upah Damar diberikan kepada Kang Suto. Dan Kang Suto pun tetap memberikan ancaman kepada Damar. Kalau ap minggu ia dak memberi upe kepada Kang Suto, dia diancam akan dibunuh oleh Kang Suto. Yah, Damar

Page 79: Kado buat elisa

79

dak berdaya mendapat ancaman dari Kang Suto. Andaikan ayahnya masih hidup, pas lah Damar melaporkan kejadian itu kepada ayahnya.

Hingga keesokan harinya, ke ka Damar sudah sampai di rumah Pak Mamat, ia tak mampu bercerita tentang kejadian pemerasan uang yang menimpa dirinya. Damar tampak masih sedih dan kelihatan murung. Tidak seper biasanya Damar yang selalu bersemangat menjualkan koran Pak Mamat, hingga akhirnya Pak Mamat menegurnya.

“Tumben kamu kurang bersemangat hari ini, Mar. Ada apa ?” tanya Pak Mamat.

“Ah, gak ada apa-apa kok, Pak.”

“Tapi mengapa kamu kelihatan murung ? Ayo ceritakan saja, apa masalah yang sedang kau hadapi. Mungkin saya bisa membantumu.” Pak Mamat datang mendekat menuju tempat Damar yang sedang membereskan lembaran koran.

“Sudahlah, Pak. Lain hari saja ceritanya. Saya mau berangkat jualan koran. Doakan korannya habis terjual ya, Pak.”

“Ya, ha -ha . Jangan pulang sampai larut malam. Jualkan saja semampumu. Malam hari kan kamu perlu is rahat dan belajar,” pesan Pak Mamat.

Damar yang masih memendam kesedihannya akibat uangnya habis diminta Kang Suto tetap langsung berkemas untuk berjualan koran lagi.

***

Hari ini tepat satu minggu semenjak kejadian Damar diperas uangnya oleh Kang Suto. Damar masih ingat ancaman yang diberikan oleh Kang Suto. Jika se ap minggu Damar dak

Page 80: Kado buat elisa

80

memberikan upe , maka Kang Suto mengancam akan membunuh Damar. Karena Damar masih teringat ancaman Kang Suto, maka Damar tak langsung pulang menuju ke rumah. Dia masih berputar mencari ide bagaimana supaya di tengah jalan dak dicegat oleh Kang Suto.

Sambil berdoa, Damar pulang ke rumah dengan cara mengambil jalan memutar. Namun sungguh sial, Kang Suto pun tak kalah cerdik. Kang Suto ba- ba sudah ada di depan mata, ke ka Damar mengambil jalan memutar untuk pulang ke rumah.

“Hehehe…mau ke mana lagi kamu bocah cilik ?” Kang Suto sambil berkacak pinggang menghadang langkah Damar yang hendak pulang menuju ke rumah.

“Ayo serahkan uangmu atau kamu ma di tanganku ?” Kang Suto mengangkat dagu Damar memberi alterna f pilihan.

“Jangan, Kang. Aku belum mau ma ,” jawab Damar.

“Ya, kalau masih ingin hidup. Mana setoran minggu ini ?” paksa Kang Suto.

Namun ke ka Damar hendak menyerahkan uang dari saku celananya kepada Kang Suto, ba- ba dari belakang punggung Kang Suto ada tangan seorang pemuda yang menepuk agak keras.

“He, mau jadi jagoan kamu di kampung ini ?” tanya pemuda itu.

“Jangan coba-coba ikut campur urusanku, ya…bocah ganteng ?” Kang Suto nampaknya meladeni ucapan pemuda ganteng yang hendak menolong Damar.

“Lalu mau kau apakan bocah kecil tak berdaya itu ? Itu bukan lawanmu. Sini kalau berani, duel denganku !” Pemuda ganteng itu menantang Kang Suto untuk bertarung.

Page 81: Kado buat elisa

81

Tak berapa lama terjadilah pertarungan sengit antara Kang Suto dengan pemuda ganteng tadi. Tak menghabiskan banyak jurus, pemuda ganteng itu telah membuat Kang Suto terjungkal dan lari terbirit-birit.

“Awas, jika kau masih berani mengganggu bocah ini. Aku akan selalu menjadi lawanmu,” ancam pemuda ganteng itu.

Damar merasa telah ditolong dan telah diselamatkan oleh pemuda ganteng itu. Dia pun mengucapkan banyak terima kasih. Dan sesampai di rumah, Damar menceritakan kejadian itu kepada ibunya. Damar masih mengingat dengan jelas nama pemuda ganteng itu. Ya, nama pemuda itu adalah Yuda Krisna Muk . Seorang mahasiswa yang telah menjadi dewa penolong di dalam kehidupan Damar sebagai penjual koran eceran.

***

Page 82: Kado buat elisa

82

Kumcer Agung Budi Santoso

Kado Buat Elisa

Page 83: Kado buat elisa

83

Api CemburuBy

Agung B. Santoso

Nada dering ponsel berdering begitu nyaring. “Ya, hallo dengan Widya di sini. Ada yang bisa saya bantu, Bapak ?” dengan ramah Widya merespon panggilan telpon yang masuk ke hpnya. Sudah hampir ga tahun Widya menjadi agen pemasaran KTA di bank swasta yang terkenal di kotanya. Dan nada panggil tadi ternyata telpon dari salah satu calon nasabah yang ingin mengajukan kredit di bank swasta tempat Widya bekerja. Tak menunggu lama Widya lantas segera meluncur ke kantor calon nasabah. Dewi Fortuna nampaknya sedang berpihak kepada Widya.

“Begini Mbak Widya, bulan ini saya lagi ada keperluan mendesak. Maka saya menghubungi Mbak Widya guna pengajuan KTA,” ucap Pak Sony singkat tanpa basa basi.

Page 84: Kado buat elisa

84

Sebenarnya Pak Sony bukanlah orang yang suka mengajukan kredit. Maka di sana sini dia masih butuh bantuan Mbak Widya karena prosedur dan tata cara pengajuan kredit belum begitu dipahami oleh Pak Sony. Dan Mbak Widya pun dengan sabar menjelaskan tata cara pengajuan KTA, hingga akhirnya proses pengajuan KTA pun telah menjadi aplikasi yang siap kirim.

Pak Sony seorang HRD Manager di sebuah pabrik garmen terkesan sebagai orang yang supel dan ramah. Malah boleh dibilang usianya masih rela f muda. Terpaut sekitar 4 tahun dengan usia Mbak Widya. Dan pertemuan di kantor Pak Sony merupakan awal yang posi f bagi Widya. Widya mulai mendapat banyak referensi nama dari teman Pak Sony yang hoby mengajukan KTA. Widya pun merasa seper mendapat durian runtuh. Karena dia yakin jika di bulan ini aplikasi pengajuan KTA yang ia kirim melampaui target maka sudah tentu ia akan mendapat bonus dari bank tempat ia bekerja.

***

Seminggu setelah KTA cair, Pak Sony kembali menghubingi Widya. Yah, sebenarnya sebagai ucapan terima kasih, Pak Sony mengajak Widya untuk makan malam di sebuah resto. Dan di situ Pak Sony memberikan sebuah kartu nama lengkap dengan foto pribadi yang menempel di samping alamat rumah dan alamat kantor. Tanpa ada perasaan yang bukan-bukan Widya pun segera memasukkan kartu nama itu ke dompetnya. Dan ia pun juga memberi kartu nama kepada Pak Sony sebagai tanda bahwa hubungan pertemanan ini bisa berlanjut kepada bisnis yang saling menguntungkan.

Widya pun menganggap acara makan malam tersebut sebagai acara yang biasa. Karena Widya telah memiliki pacar sebelum ia bekerja sebagai agen pemasaran KTA sebuah bank swasta.

Page 85: Kado buat elisa

85

“Jadi Mbak Widya sudah punya pacar, ya ?” selidik Pak Sony.

“Ya, Pak,” jawab Widya. “Kami pacaran hampir 5 tahun. Dan sejauh ini gak pernah ada masalah.”

“Syukurlah kalau begitu,” ucap Pak Sony dengan nada yang datar.

Acara makan malam telah usai. Mereka pun kembali ke rumah masing-masing tanpa ada perasaan yang lebih dari sekedar relasi bisinis. Namun kejadian mendadak menjadi sangat panas ke ka Widya nge-date dengan cowoknya. Ya, Heri seorang cowok yang sudah hampir 5 tahun singgah di dalam kehidupan Widya. Secara gak sengaja ia membuka dompet Widya dan terkejut melihat satu kartu nama lengkap dengan foto pribadi milik Pak Sony. Heri sangat terkejut karena sebenarnya Widya gak pernah secara khusus menyimpan kartu nama se ap nasabah yang pernah ia datangi. Biasanya Widya hanya menyimpan kontak person di ponselnya saja. Tapi baru kali ini Heri menemukan kartu nama seorang cowok di dalam dompet Widya.

“Wid, ini kartu nama siapa ?” tanya Heri penasaran.

“O, itu. Kartu nama Pak Sony. Emang kenapa ?” Widya nampak heran dengan ulah cowoknya si Heri.

“Gak biasanya kamu nyimpan kartu nama cowok. Kamu udah bosan dengan aku ya ?”

“Oh, my God. Ada apa sih kok kamu kayaknya cemburu banget dengan kartu nama itu ?” balas Widya.

“Yah, selama hampir lima tahun kita pacaran. Kan, cuma aku yang ada di ha mu. Ngapain kamu simpan kartu nama cowok ini ?”

Page 86: Kado buat elisa

86

Pertengkaran mulai terjadi. Hanya karena masalah sepele Heri mulai menampakkan gelagat cemburu buta yang dak beralasan sama sekali. Widya sangat kesal. Heri pun tanpa basa basi meninggalkan Widya di resto sendirian. Akhirnya Widya pun pulang ke rumah dengan naik taksi.

***

Gila, sungguh gila si Heri ini. Pikir Widya ke ka hari Senin berangkat ke kantor. Lalu ia curhat dengan Imel teman dekat Widya.

“Masak sih, hanya karena kamu menyimpan kartu nama Pak Sony, cowokmu langsung ngambek ninggalin kamu di resto sendirian ?” tanya Imel.

“Yah, si Heri kayaknya lagi keserupan tuh, Mel. Tadi malam aku telpon pun gak dibales.”

“Cowokmu itu yang childish,” hibur Imel.

Ya, hampir dua minggu hubungan cinta antara Widya dengan Heri agak renggang. Se ap Widya menghubungi Heri lewat telepon selalu panggilan dialihkan oleh Heri. Widya gak habis pikir. Hingga akhirnya ia pun menulis surat. Ya, nampaknya hanya surat saja yang bisa mencairkan suasana. Entah dibaca atau dak oleh Heri, yang jelas Widya sudah punya i kad baik untuk meluruskan masalah. Widya berharap Heri tak semudah itu mengakhiri kisah kasihnya yang berjalan hampir 5 tahun.

***

Suara sepeda motor Pak Pos terdengar di kejauhan. “Apakah benar ini Jalan Seroja II No. 112 ?” tanya Pak Pos. Ibunya Heri mengiyakan. Ya, kedatangan surat Widya dak

Page 87: Kado buat elisa

87

diterima langsung oleh Heri. Karena Pak Pos datang di siang hari ke ka Heri masih bekerja dan belum pulang ke rumah. Lalu ke ka pukul 16.00 ibu Heri menyampaikan surat Widya ke tangan Heri.

“Tuh, tadi siang ada surat dari Pak Pos,” ucap ibunya Heri.

“Surat tagihan atau surat cinta ?” tanya Heri.

“Baca sendiri sendiri saja. Kayaknya dikirim oleh Widya pacar kamu !” imbuh ibunya Heri.

Ah, perempuan itu ngapain kirim surat segala pikir Heri. Kan, ketemu di kantor juga bisa. Lalu tanpa berpikir panjang Heri mulai merobek sampul surat dan membacanya. Ya, in dari surat Widya adalah agar Heri mau bertemu dengannya di café pukul 19.00 di malam Minggu.

Heri pun menyanggupi. Nampaknya sudah reda api cemburu yang telah hinggap di dada Heri. Hingga tepat pukul 19.00 Heri mulai menghampiri meja café dengan nomor 21.

“Sudah lama Wid ?” tanya Heri.

“Sudah. Sudah 14 x 24 jam aku menan mu di sini, ” jawab Widya kesal.

“Ah, masak sih. Emang kamu bolos kerja ya ?” Heri mulai sedikit tersenyum mencairkan suasana.

“Habis gara-gara kartu nama Pak Sony saja kamu ngambek hingga 14 x 24 jam. Dasar !!”

“Sudahlah, Wid. Aku hanya butuh penjelasanmu. Pak Sony itu bukan cowok barumu kan ?” tanya Heri.

“Her, kamu itu yang keterlaluan. Aku tuh gak mungkin nyimpan cowok lain selain kamu,” jawab Widya.

Page 88: Kado buat elisa

88

Setalah hampir 15 menit Widya menjelaskan tentang siapa itu Pak Sony, akhirnya Heri hanya bisa manggut-manggut saja. Kecemburuan Heri terhadap kartu nama Pak Sony sudah tak beralasan lagi. Akhirnya mereka berdua pun cair kembali. Hubungan cinta yang sempat beku selama 2 minggu menjadi sirna. Dan Widya pun memberikan ancaman kepada Heri.

“Awas jika malam ini kamu ngambek ninggalin aku di café sendirian, aku bakalan pacaran dengan Pak Sony !!” ancam Widya.

Heri ma kutu. Dia sadar ternyata hubungannya dengan Widya yang hampir 5 tahun, belum mampu menjadikan ia sebagai seorang pria yang dewasa. Hmmmmmm…….Heri pun mencium kening Widya.

***

Page 89: Kado buat elisa

89

Tentang Penulis

Agung Budi Santoso, lahir di Semarang, 04 Juli 1975. Terlahir sebagai anak tunggal dan menyelesaikan studi hingga perguruan nggi negeri di Semarang. Pernah menjadi guru SMK, mengajar di kampus PTS di Semarang dan sekarang senang menulis

di Kompasiana.com dengan nama pena Trojan Ganjen.

Awal menulis di Kompasiana diperolehnya secara tak sengaja yaitu ke ka membeli buku yang berjudul “Gampang Menjadi Penulis Fiksi Cyber di Kolom Fiksiana, Kompasiana” karangan Imperial Jathee. Semenjak itu penulis merasa beruntung bisa belajar nulis secara otodidak dan saat ini menerbitkan buku kumpulan cerpen dan cermin yang pernah dipublish di Kompasiana.

Penulis dapat dihubungi melalui e-mail di [email protected]

Page 90: Kado buat elisa

90

KadoBuat Elisa