ucapan terima kasih - sinta.unud.ac.id fileuniversitas udayana, prof. dr. dr. ketut suastika, sp....

59
vii UCAPAN TERIMA KASIH Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan syukur alhamdullilah ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan kekuatan yang diberikan-Nya kepada penulis sehingga tersusunlah disertasi dengan judul “Bayang-Bayang Stigma terhadap Penderita Gangguan Jiwa: Studi di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali”. Penelitian yang berbentuk disertasi ini tidak terlepas dari sumbangan pikiran, bantuan materiel, dan dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. A.A. Ngurah Anom Kumbara, M.A., yang telah bersedia menjadi promotor yang dengan penuh perhatian telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan, dan saran selama penulis mengikuti program doktor, khususnya dalam penyelesaian disertasi ini. Terima kasih sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada Prof. Dr. A.A. Bagus Wirawan, S.U. sebagai kopromotor I, sekaligus pada saat penulis melakukan penelitian beliau masih sebagai Ketua Program Doktor Kajian Budaya yang dengan penuh perhatian, ketelitian, dan kesabarannya dalam memberikan bimbingan serta mengoreksi tulisan naskah disertasi ini, yang pada akhirnya dapat diselesaikan. Begitu juga terima kasih yang setulus-tulusnya diucapkan kepada Dr. Putu Sukardja, M.Si., selaku kopromotor II yang dengan penuh perhatian dan kesabarannya dalam memberikan bimbingan, petunjuk, serta tuntunan sehingga disertasi ini dapat diselesaikan dan dapat diujikan. Semoga ketulusan dalam

Upload: vuonglien

Post on 15-May-2019

237 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: UCAPAN TERIMA KASIH - sinta.unud.ac.id fileUniversitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. P.D. KEMD, yang telah memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan

vii

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan syukur alhamdullilah

ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan kekuatan yang diberikan-Nya kepada

penulis sehingga tersusunlah disertasi dengan judul “Bayang-Bayang Stigma

terhadap Penderita Gangguan Jiwa: Studi di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali”.

Penelitian yang berbentuk disertasi ini tidak terlepas dari sumbangan pikiran,

bantuan materiel, dan dukungan dari berbagai pihak.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih

yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. A.A. Ngurah Anom Kumbara, M.A.,

yang telah bersedia menjadi promotor yang dengan penuh perhatian telah

memberikan dorongan, semangat, bimbingan, dan saran selama penulis mengikuti

program doktor, khususnya dalam penyelesaian disertasi ini. Terima kasih

sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada Prof. Dr. A.A. Bagus Wirawan,

S.U. sebagai kopromotor I, sekaligus pada saat penulis melakukan penelitian

beliau masih sebagai Ketua Program Doktor Kajian Budaya yang dengan penuh

perhatian, ketelitian, dan kesabarannya dalam memberikan bimbingan serta

mengoreksi tulisan naskah disertasi ini, yang pada akhirnya dapat diselesaikan.

Begitu juga terima kasih yang setulus-tulusnya diucapkan kepada Dr. Putu

Sukardja, M.Si., selaku kopromotor II yang dengan penuh perhatian dan

kesabarannya dalam memberikan bimbingan, petunjuk, serta tuntunan sehingga

disertasi ini dapat diselesaikan dan dapat diujikan. Semoga ketulusan dalam

Page 2: UCAPAN TERIMA KASIH - sinta.unud.ac.id fileUniversitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. P.D. KEMD, yang telah memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan

viii

memberikan bimbingan menjadi amal bakti dan mendapatkan balasan dari Tuhan

Yang Maha Esa.

Ucapan yang sama juga penulis sampaikan kepada yang terhormat Rektor

Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. P.D. KEMD, yang telah

memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan studi ke

Program Doktor Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Direktur Program Pascasarjana

Universitas Udayana yang terhormat Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S (K).,

Asisten Direktur I Program Pascasarjana Universitas Udayana yang terhormat

Prof. Dr. I Made Budiarsa, M.A., Asisten Direktur II Program Pascasarjana

Universitas Udayana yang tehormat Prof. Ir. Made Sudiana Mahendra, Ph.D. atas

kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk menjadi

Karyasiswa Program Doktor Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas

Udayana. Ucapan yang sama juga penulis sampaikan kepada mantan Dekan

Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana, Prof. Dr. I Wayan Cika, M.S.

dan Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, Prof. Dr. Ni Luh Sutjiati

Beratha, M.A. atas izin dan dukungan yang diberikan kepada penulis untuk

mengikuti Program Doktor Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas

Udayana. Ucapan yang sama juga penulis sampaikan kepada yang terhormat Prof.

Dr. A. A. Bagus Wirawan, S. U. sebagai mantan Ketua Program Doktor (S3)

Kajian Budaya Universitas Udayana, dan yang terhormat Dr. Putu Sukardja, M.Si.

sebagai mantan Sekretaris Program Doktor (S3) Kajian Budaya Universitas

Udayana, atas kesempatan serta dukungan yang diberikan kepada penulis untuk

Page 3: UCAPAN TERIMA KASIH - sinta.unud.ac.id fileUniversitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. P.D. KEMD, yang telah memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan

ix

menjadi Karyasiswa Program Doktor (S3) Kajian Budaya Universitas Udayana.

Ucapan terima kasih juga saya ucapkan kepada yang terhormat Prof. Dr. Phil I

Ketut Ardhana, M.A. selaku Ketua Program Studi Doktor (S3) Kajian Budaya

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana dan Dr. I Ketut Setiawan, M.Hum.

selaku Sekretaris Program Studi Doktor (S3) Kajian Budaya Fakultas Ilmu

Budaya Universitas Udayana atas dukungannya selama ini. Pada kesempatan ini

penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Drs. I Nyoman Suarsana, M.Si.,

selaku mantan Ketua Program Studi Antropologi Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Udayana atas dukungannya yang diberikan selama ini.

Ucapan yang sama juga penulis sampaikan kepada anggota tim penguji

disertasi ini, yaitu Prof. Dr. A.A. Ngurah Anom Kumbara, M.A., Prof. Dr. A.A.

Bagus Wirawan, S.U., Dr. Putu Sukardja, M.Si., Prof, Dr. Ing. I Made Merta, Dr.

I Gst. Kt. Gde Arsana, M.Si., Dr. I Nyoman Dhana, M.A., Dr. Ni Luh Arjani,

M.Hum., yang telah memberikan bimbingan, masukan, saran, sanggahan, dan

koreksi sehingga disertasi ini terwujud seperti ini. Penulis juga mengucapkan

terima kasih sebesar-besarnya kepada Pemerintah Republik Indonesia c.q.

Kementerian Riset dan Teknologi Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) melalui

Tim Manajemen Program Doktor yang telah memberikan bantuan finansial dalam

bentuk BPPS sehingga meringankan beban penulis dalam menyelesaikan studi

doktor ini.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang

tulus disertai penghargaan kepada semua guru yang telah membimbing penulis,

mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Penulis ucapkan terima kasih

Page 4: UCAPAN TERIMA KASIH - sinta.unud.ac.id fileUniversitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. P.D. KEMD, yang telah memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan

x

juga kepada para staf pengajar pada Program Doktor Kajian Budaya Universitas

Udayana yang telah membimbing penulis selama mengikuti kuliah, yaitu Prof. Dr.

Wayan Ardika, M.A., Prof. Dr. Anak Agung Gde Putra Agung, S.U., Prof. Dr. I

Gde Semadi Astra, Prof. Dr. I Gede Widja, Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja,

M.A., Prof. Dr. Shri Hedy Ahimsa Putra, M.A., Prof. Dr. Weda Kusuma, M.S.,

Prof. Dr. I Wayan Dibia, S.S.T., M.A., Prof. Dr. Irwan Abdullah, Dr. I Gede

Mudana, M.Si., Prof. Dr. I Ketut Mertha, S.H., M.H., Prof. Dr. Drs. Ida Bagus

Putra Yadnya, M.A., atas segala alih ilmu selama perkuliahan dan dedikasi yang

diberikan selama penulis mengikuti perkuliahan Program Doktor. Semoga ilmu

yang diberikan menjadi amal baik dan mendapat imbalan dari Tuhan Yang Maha

Esa.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada staf pegawai Program

Doktor (S3) Kajian Budaya Universitas Udayana, yakni Putu Sukaryawan, S.T.,

Dra. Ni Luh Witari, Ni Nyoman Ariyati, S.E., Cok Istri Murniati, S.E., Ni

Komang Juli Artini, A.A. Ayu Indrawati, I Nyoman Chandra, Putu Hendrawan,

dan Ketut Budi Astra, yang telah memberikan bantuan berkaitan dengan masalah

administrasi dan keakraban yang terjalin selama mengikuti studi.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh informan,

yaitu dr. Gede Bagus Darmayasa. M.Repro., selaku Direktur Rumah Sakit Jiwa

Provinsi Bali, Kabid Pelayanan Medik dan sekaligus sebagai psikiater, dr. I Dewa

Gde Basudewa, Sp.K.J., Kapoli Psikologi Bapak Mad Basri, Ibu Diana Setiawati

selaku psikolog di RSJ, Bapak Ida Bagus Gede Banuwangsa selaku Kepala Unit

Rehabilitasi, Bapak Wayan Sutha selaku Wakil Kepala Ruang Rehabilitasi, Putu

Page 5: UCAPAN TERIMA KASIH - sinta.unud.ac.id fileUniversitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. P.D. KEMD, yang telah memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan

xi

Diah seorang perawat jiwa, Ida Ayu Eka Yuliati, Ibu Yunita yang juga sebagai

perawat jiwa, Bapak Sukenada selaku Kasi Keswa (Kepala Seksi Kesehatan Jiwa)

RSJ, para keluarga pasien serta para pasien sendiri dengan segala kesahajaannya

yang telah memberikan informasi yang berharga pada penulis. Di samping itu,

juga informan lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu, penulis

mengucapkan terima kasih atas data dan informasi yang lengkap yang diberikan

dalam rangka penyelesaian disertasi ini. Selanjutnya kepada para pustakawan di

berbagai perpustakaan juga diucapkan banyak terima kasih, di antaranya

pustakawan di Perpustakaan Pascasarjana Universitas Udayana, Perpustakaan

Program Kajian Budaya, Perpustakaan Program Studi Antropologi Universitas

Udayana, Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya, Perpustakaan Universitas

Udayana, Perpustakaan Program Studi Antropologi Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Gadjah Mada, dan Perpustakaan Pascasarjana Universitas Gadjah

Mada. Di samping itu, juga pustaka-pustaka milik pribadi para dosen serta kawan-

kawan dengan tidak mengurangi rasa hormat, yang tidak dapat saya sebutkan satu

per satu yang sangat membantu dalam mendapatkan data yang sangat diperlukan.

Dalam kesempatan ini penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih yang

setulus-tulusnya kepada teman-teman seperjuangan di Program Pascasarjana (S3)

Kajian Budaya Universitas Udayana angkatan tahun 2012/2013 yang selalu setia

bersama dalam berdiskusi, baik di kelas maupun di luar kelas, terima kasih atas

kerja sama, simpati, dan persahabatan kita yang berkesan dan amat

menyenangkan.

Page 6: UCAPAN TERIMA KASIH - sinta.unud.ac.id fileUniversitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. P.D. KEMD, yang telah memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan

xii

Terima kasih yang tulus penulis juga sampaikan kepada kedua orang tua,

ibunda tercinta (almarhumah) Hj. Yekti Palupi, S.Pd. yang telah mengasuh dan

membesarkan penulis dengan penuh kasih sayang, yang telah berpulang ke

Rakhmatullah pada 10 Januari 2016 dan ayahanda tercinta Letkol Cin (Purn) H.

Soedharwinto, sembah sujud ananda dan terima kasih atas doa restu dan

perhatiannya. Ucapan yang sama penulis sampaikan kepada kedua mertua,

(almarhum) Kol. Czi. (Purn) Drs. H. Soetiman dan Hj. Endiyanti Fath yang tidak

henti-hentinya berdoa untuk kesuksesan dan keselamatan penulis dalam studi.

Kepada kakanda Ir. Tatag Setiawan, Kanti Telitianawati, S.H., dan kedua kakak

ipar Buyamin Maulana Mansyur, S.H., Dian Trizidiany, S. Psi., yang senantiasa

memberikan dorongan morel dan bantuan materiel untuk kelangsungan studi ini.

Di dalam mengikuti Pendidikan Program Doktor (S3) terasa sangat menyita

waktu, tenaga, pikiran, dan biaya yang tentunya tidak sedikit. Kemesraan keluarga

yang tentunya sangat dibutuhkan istri dan anak terasa terabaikan untuk sementara.

Untuk itu, ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya disampaikan kepada istri

tercinta, Happy Puspita Windarmani, S.Sos. yang selalu setia, sabar, dan penuh

perhatian juga berperan ganda sebagai bapak dari anak kami satu-satunya, yaitu

Maharani Noor Almira Windaryani (16 tahun) yang tersayang, sekali lagi

diucapkan terima kasih atas doa, perhatian, cinta, semangat, dan dengan penuh

pengorbanan yang selalu diberikan untuk memotivasi penulis. Di samping itu,

juga telah memberikan kesempatan untuk lebih berkonsentrasi menyelesaikan

disertasi ini. Semoga Allah SWT selalu memberikan rahmat dan berkah-Nya

kepada kita semua.

Page 7: UCAPAN TERIMA KASIH - sinta.unud.ac.id fileUniversitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. P.D. KEMD, yang telah memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan

xiii

Kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebut namanya satu per satu

juga disampaikan terima kasih atas dorongan dan bantuan yang diberikan selama

mengadakan kegiatan penelitian. Masih banyak orang yang berjasa, terima kasih

atas semuanya karena sekecil apa pun andil yang diberikan, itu semua sangat

bemakna, tidak hanya untuk disertasi ini, tetapi juga ada bagian dari kehidupan

yang lain. Penulis menyadari bahwa apa yang penulis lakukan belumlah

sempurna. Untuk itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun

kepada semua pihak demi kesempurnaan disertasi ini.

Akhirnya dengan segala kerendahan hati penulis persembahkan tulisan ini

sebagai tambahan ilmu pengetahuan bagi yang membutuhkan, semoga bermanfaat

dan terima kasih. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan

berkah-Nya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan kepada penulis

selama penyelesaian disertasi ini.

Denpasar, Februari 2017

Penulis,

Bambang Dharwiyanto Putro

Page 8: UCAPAN TERIMA KASIH - sinta.unud.ac.id fileUniversitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. P.D. KEMD, yang telah memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan

xiv

Page 9: UCAPAN TERIMA KASIH - sinta.unud.ac.id fileUniversitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. P.D. KEMD, yang telah memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan

xv

ABSTRAK

Konstruksi stigmatisasi sosial budaya atas pemahaman masalah gangguanjiwa menarik diteliti khususnya pada penderita gangguan jiwa yang mendapatperawatan di rumah sakit jiwa. Perilaku perawatan medis/profesional (rumah sakitjiwa) yang dijalani penderita gangguan jiwa ternyata telah melahirkan label sakitdan stereotip yang membayanginya beserta status baru penderita di tengah kuasakontrol masyarakat. Implikasinya terjadi proses stigmatisasi dan kuasa kontrolrezim sosial masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa dan keluarganya secaraluas di masyarakat. Dengan menerapkan sudut pandang kajian budaya, yaknikeberpihakan kepada yang tertindas, penelitian ini difokuskan pada kajian tentang(1) bagaimanakah bentuk-bentuk stigma para penderita gangguan jiwa yangmenjalani perawatan di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali; (2) faktor-faktor apakahyang memengaruhi konstruksi stigma penderita gangguan jiwa yang menjalaniperawatan di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali; dan (3) bagaimanakah implikasistigma gangguan jiwa terhadap penderita dan keluarga penderita.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami bentuk danfaktor-faktor terjadinya stigma penderita gangguan jiwa yang menjalaniperawatan di RS Jiwa Provinsi Bali beserta implikasinya bagi penderita dankeluarganya dengan pendekatan interdidipliner. Metode penelitian yangdigunakan, yaitu observasi, wawancara mendalam, pengumpulan data secara lifehistory, dan studi dokumen. Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptifkualitatif dan interpretative dengan menggunakan beberapa teori kritis yangrelevan, seperti teori wacana, dekonstruksi, hegemoni serta ditunjang denganorientasi teori explanatory model dan health belief model.

Hasil temuan penelitian ini dipilah menjadi tiga bagian. Pertama, bentuk-bentuk stigma penderita gangguan jiwa yang menjalani perawatan di Rumah SakitJiwa Provinsi Bali terbagi atas dua hal, yakni public stigma (stigma berasal darimasyarakat) dan self stigma (stigma berasal dari penderita dan keluarganyasendiri). Bentuk-bentuk public stigma yang ditemukan, antara lain penolakan,pengucilan, dan kekerasan. Adapun bentuk-bentuk self stigma yang ditemukan,antara lain prasangka buruk, merasa bersalah, ketakutan dan kemarahan.

Kedua, faktor yang melatarbelakangi terjadinya stigma penderitagangguan jiwa tidak terlepas dari adanya faktor eksternal dan faktor internal.Faktor-faktor eksternal, antara lain kegilaan adalah aib, mitos tentang gangguanjiwa, dan kepercayaan masyarakat mengenai peran dukun. Sebaliknya, faktorinternal, yakni pengetahuan keluarga terhadap etiologi gangguan jiwa, tidakadanya dukungan keluarga, dan perasaan malu.

Ketiga, implikasi stigma gangguan jiwa terhadap penderita, antara lainpengabaian pengobatan secara cepat dan tepat, praktik pengucilan sosial,ketidakberdayaan, dan diskriminasi. Implikasi stigma gangguan jiwa terhadapkeluarga penderita, antara lain keputusan pilihan perawatan dan pengobatan yangdijalani terbagi atas praktik perilaku pilihan perawatan tradisional (perilakuperawatan rumah tangga dan dukun), praktik pengobatan modern/profesional,kelelahan dan keputusasaan serta munculnya strategi koping dalam balutanresiliensi keluarga penderita sebagai bentuk usaha menekan/mengurangi stigma(upaya destigmatisasi).

Kata kunci: stigma, gangguan jiwa, rumah sakit jiwa, public stigma, self stigma

Page 10: UCAPAN TERIMA KASIH - sinta.unud.ac.id fileUniversitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. P.D. KEMD, yang telah memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan

xvi

ABSTRACT

The construction of sociocultural stigmatization on the understanding ofthe psychiatric problem is interesting, especially in the mental patients who gettreatment in the mental hospital. Behavior of medical care / professional (mentalhospital) undertaken sufferer of mental disorder have been born of label pain andstereotypes that shadow it along with new status of patient in the middle of powercontrol society. The implications of the process of stigmatization and powercontrol of the social regime of society to people with mental disorders and theirfamilies widely in the community. By applying the point of view of culturalstudies, ie, alignment to the oppressed, this study focuses on the study of (1) howare the stigma forms of mental disorders undergoing treatment at Bali ProvinceMental Hospital; (2) what factors affect the construction of the stigma of mentaldisorders undergoing treatment at Bali Province Mental Hospital; And (3) what isthe implication of stigma of mental disorder to patient and patient's family.

This study aims to determine and understand the forms and factors of thestigma of mental disorders who undergoing treatment at RS Jiwa Bali Provinceand its implications for patients and their families with interdidipliner approach.Research methods used, namely observation, in-depth interviews, life history datacollection, and document studies. The collected data is analyzed descriptivelyqualitative and interpretative by using some relevant critical theory, such asdiscourse theory, deconstruction, hegemony and supported by orientation ofexplanatory model theory and health belief model.

The findings of this study were divided into three sections. First, thestigmatized forms of mental disorders undergoing treatment at the MentalHospital of Bali Province are divided into two things, namely public stigma(stigma derived from society) and self stigma (stigma comes from the sufferer andhis own family). Public forms of stigma found, among others, rejection, exclusion,and violence. The forms of self-stigma found, among others, prejudice, feel guilty,fear and anger.

Second, the factors behind the stigma of people with mental disorders cannot be separated from the existence of external factors and internal factors.External factors, among other madness are disgrace, myths about mentaldisorders, and public beliefs about the role of shamans. In contrast, internalfactors, ie family knowledge of the etiology of mental disorders, lack of familysupport, and feelings of shame.

Third, the stigma implications of mental disorders of the sufferer, amongothers, the neglect of treatment quickly and precisely, the practice of socialexclusion, helplessness, and discrimination. Implications of the stigma of mentalillness to the family of the patient, among others, the decision of treatments andtreatment followed, divided over the practice of behavioral selection of traditionaltreatments (the behavior of home remedies and shaman), modern medicalpractices/professional, burn-out and despair as well as the emergence of copingstrategies in her patients family resilience as establishment suppress / reducestigma (destigmatisasi effort).

Keywords: stigma, mental disorders, mental hospitals, public stigma, self stigma

Page 11: UCAPAN TERIMA KASIH - sinta.unud.ac.id fileUniversitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. P.D. KEMD, yang telah memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan

xvii

Page 12: UCAPAN TERIMA KASIH - sinta.unud.ac.id fileUniversitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. P.D. KEMD, yang telah memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan

xviii

RINGKASAN

Proses globalisasi dan pesatnya kemajuan teknologi informasi

memberikan dampak terhadap nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat.

Sementara tidak semua orang mempunyai kemampuan yang sama untuk

menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan tersebut. Akibatnya, saat ini

gangguan jiwa telah menjadi masalah kesehatan global. Lebih dari 450 juta

penduduk dunia hidup dengan gangguan jiwa. Secara global angka kekambuhan

pada pasien gangguan jiwa ini mencapai 50% hingga 92% yang disebabkan oleh

ketidakpatuhan dalam berobat atau karena kurangnya dukungan dan kondisi

kehidupan yang rentan dengan meningkatnya stres.

Masih banyak orang beranggapan bahwa penyakit jiwa merupakan satu

noda atau merupakan akibat dari dosa-dosa yang diperbuat manusia sehingga

masyarakat menanggapi para penderita dengan rasa takut dan bersikap

menghindar. Sikap yang keliru tersebut berimplikasi pada program yang

umumnya belum mengenai sasaran kesehatan mental bagi rakyat pada umumnya

dan belum mendapatkan tanggapan yang baik. Para penderita sendiri banyak yang

takut dan tidak suka menjalani pemeriksaan oleh dokter atau seorang psikiater dan

psikolog. Mereka menjadi marah, sangat tersinggung jika diperiksa atau

menganggap bahwa dirinya tidak sakit dan sehat jiwanya. Pasien penderita

gangguan jiwa, baik yang masih berada dalam perawatan di rumah sakit jiwa

maupun yang sudah kembali ke masyarakat, tetap saja mendapatkan suatu

perlakuan yang diskriminatif dari lingkungan tempat dia berada. Hal itu terjadi

karena identitas mereka telah berubah bersamaan dengan diagnosis dokter, yakni

identitas diri sebagai individu yang berbahaya. Berbagai bentuk kesalahan sikap

masyarakat dalam merespons kehadiran penderita gangguan jiwa terjadi akibat

konstruksi pola berpikir yang salah dan ketidaktahuan publik. Seseorang dengan

gangguan jiwa umumnya berhadapan dengan stigma, diskriminasi, dan

marginalisasi. Adanya stigma menyebabkan keluarga merasa malu dan

masyarakat pun takut terhadap penderita gangguan jiwa. Implikasinya masyarakat

akan mengucilkan penderita dari lingkungan sosialnya, menunda pengobatan,

Page 13: UCAPAN TERIMA KASIH - sinta.unud.ac.id fileUniversitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. P.D. KEMD, yang telah memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan

xix

memperbesar penderitaan, memperlambat proses penyembuhan, dan menghambat

kembali penderita ke masyarakat.

Stigma berurat berakar di dalam struktur masyarakat juga dalam norma-

norma dan nilai-nilai yang mengatur kehidupan sehari-hari. Hal ini menyebabkan

beberapa kelompok menjadi kurang dihargai, merasa malu, dan terjadinya

penolakan sosial, sedangkan kelompok lainnya merasa superior. Masalah ini

berakar dari adanya stigma dan pengetahuan yang berkembang di masyarakat

tentang gangguan jiwa. Stigma menyebabkan keluarga penderita tidak mencari

pengobatan yang sangat dibutuhkan oleh anggota keluarganya yang sakit atau

penderita akan mendapatkan pelayanan yang bermutu rendah. Di sisi lain stigma

berhubungan dengan kekuasaan kontrol sosial masyarakat dan dominasi rezim

otoritas medis rumah sakit jiwa. Bertolak dari kenyataan tersebut, rumusan

masalah penelitian ini adalah (1) bagaimanakah bentuk-bentuk stigma para

penderita gangguan jiwa yang menjalani perawatan di Rumah Sakit Jiwa Provinsi

Bali; (2) faktor-faktor apakah yang memengaruhi konstruksi stigma penderita

gangguan jiwa yang menjalani perawatan di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali; dan

(3) bagaimanakah implikasi stigma gangguan jiwa terhadap penderita dan

keluarga penderita.

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami

kenyataan-kenyataan faktual dalam konteks stigma terhadap penderita gangguan

jiwa yang mendapat perawatan di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali. Hal itu penting

karena terbungkus dalam balutan tercapainya normalisasi bagi perawatan pasien

penderita ganggguan jiwa di rumah sakit jiwa. Sebenarnya kehidupan yang

normal dan seimbang (ekuilibrium) yang ditemukan setiap hari dalam

memandang dunia harus menjadi tolak pikir utama untuk berpikir kritis karena di

balik itu terdapat relasi-relasi kekuasaan yang tersebar demi kepentingan

segelintir orang. Tujuan khusus penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui,

memahami, dan menjelaskan bentuk-bentuk stigma para penderita gangguan jiwa

yang menjalani perawatan di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali; (2) untuk

mengetahui, memahami, dan menjelaskan beberapa faktor yang melatarbelakangi

terjadinya stigma terhadap penderita gangguan jiwa yang menjalani perawatan di

Page 14: UCAPAN TERIMA KASIH - sinta.unud.ac.id fileUniversitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. P.D. KEMD, yang telah memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan

xx

Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali; dan (3) untuk mengeksplorasi implikasi stigma

gagguan jiwa terhadap penderita dan keluarga penderita.

Secara teoretis penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat sebagai

berikut. Pertama, temuan penelitian ini menambah wawasan keilmuan yang

holistik dan integratif sesuai dengan kekhasan kajian budaya dengan pendekatan

interdisipliner dan teori-teori kritis yang digunakan. Kedua, temuan penelitian ini

menambah pengetahuan yang relatif baru mengenai hal-hal yang terkait dengan

masalah konstruksi stigma gangguan jiwa. Ketiga, hasil penelitian ini bermanfaat

untuk dijadikan sumber inspirasi bagi peneliti lain, terutama yang tertarik untuk

mengkaji persoalan yang terkait dengan topik yang berhubungan dengan bidang

masalah stigma penderita gangguan jiwa, perspektif, dan permasalahan yang

berbeda.

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan mafaat

kepada pihak terkait, yaitu sebagai berikut. Pertama, para keluarga pasien, kiranya

dapat menjadi bahan edukasi dalam hal penatalaksanaan masalah gangguan jiwa.

Di samping itu, sebagai unit yang paling dekat dengan pasien dapat mengerti

kondisi yang dialami anggota keluarganya dan dengan penanganan yang tepat

dapat merawat, menjaga, dan memperhatikan kesembuhan pasien. Hal lainnya

adalah keluarga mampu menjaga lingkungan yang sehat secara psikologis bagi

pasien. Kedua, secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan

pemikiran dalam memperluas wawasan serta memperoleh cara pandang yang

berbeda. Selain itu, juga berusaha meningkatkan pemahaman masyarakat

sehingga masyarakat dapat menghargai dan menerima orang yang mengalami

gangguan jiwa. Ketiga, penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi

pemerintah daerah atau lembaga terkait lainnya dalam menentukan kebijakan

sehubungan dengan kebijakan masalah penanganan gangguan jiwa yang lebih

humanis. Keempat, bagi para tenaga/praktisi medis, seperti dokter, psikiater,

perawat, dan staf medis lainnya kiranya dapat dijadikan bahan rujukan dalam

melaksanakan asuhan keperawatan baik kepada pasien penderita gangguan jiwa

maupun keluarga pasien, khususnya dalam hal mengembangkan hubungan

Page 15: UCAPAN TERIMA KASIH - sinta.unud.ac.id fileUniversitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. P.D. KEMD, yang telah memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan

xxi

komunikasi dengan mengedepankan bentuk komunikasi yang tidak bersifat

otoritatif.

Landasan teori digunakan secara eklektik. Artinya, dalam penelitian ini

merupakan landasan berpikir kritis yang mengacu pada beberapa teori, yaitu teori

wacana, dekonstruksi, dan hegemoni serta ditunjang orientasi teori explanatory

model dan health belief model. Secara metodologis, penelitian ini dirancang

menggunakan pendekatan kualitatif dan holistik. Adapun pelaksanaannya

dilakukan pada unit research, yakni keluarga pasien dan pasien sendiri secara

langsung yang menjalani perawatan di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali.

Pemilihan informan dilakukan berdasarkan kriteria dan atau kategori

tertentu secara purposif, yaitu memilih dengan sengaja orang-orang yang

dianggap memiliki pengetahuan dan pengalaman yang memadai terkait dengan

permasalahan penelitian. Langkah awal yang dilakukan adalah mencari informan

kunci. Kriteria penentuan informan kunci ini pada dasarnya tidak bersifat

kuantitatif, tetapi didasarkan kecukupan data dari para informan yang dipilih.

Mereka yang dianggap paling kompeten dalam hal ini, antara lain Direktur Rumah

Sakit Jiwa Provinsi Bali, psikolog di bagian resosialisasi pasien, psikiater, perawat

jiwa sekaligus petugas bangsal, Kepala dan Wakil Unit Rehabilitasi serta Ketua

Ikatan Perawat Kesehatan Jiwa Daerah Bali. Selanjutnya informan kunci ini juga

diminta sarannya tentang informan lainnya (melalui teknik snowball).

Selanjutnya, selain informan kunci juga dipilih informan dari para pasien

dan keluarga pasien yang salah satu anggota keluaraganya pernah/sedang

mengalami gangguan jiwa dan mendapat perawatan di Rumah Sakit Jiwa Pusat

Bangli. Informan penunjang lainnya adalah anggota masyarakat. Penunjukan

informan diakhiri jika ada indikasi bahwa tidak terjadi lagi variasi informasi atau

dengan kata lain bahwa kategori data telah jenuh. Pada akhirnya diharapkan dari

para informan yang telah ditunjuk tersebut diperoleh informasi yang

komprehensif dengan tingkat variasi yang proporsional. Jenis data yang

digunakan meliputi data kualitatif dan data kuantitatif yang digali pada sumber

data primer dan sekunder. Instrumen penelitian adalah peneliti sendiri dilengkapi

pedoman wawancara, kamera, dan alat tulis. Teknik pengumpulan data dilakukan

Page 16: UCAPAN TERIMA KASIH - sinta.unud.ac.id fileUniversitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. P.D. KEMD, yang telah memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan

xxii

dengan observasi, wawancara mendalam, pengalaman hidup (life history), dan

studi dokumen. Data dianalisis dengan teknik deskriptif, interpretatif. Adapun

hasilnya disajikan secara formal dan informal.

Hasil penelitian menunjukkan tiga hal. Pertama, bentuk-bentuk stigma

(label/cap) pada penderita gangguan jiwa terbagi atas dua hal, yakni public stigma

(stigma berasal dari masyarakat) dan self stigma (stigma berasal dari penderita

dan keluarganya sendiri). Bentuk-bentuk public stigma yang ditemukan antara

lain penolakan, pengucilan, dan kekerasan. Adapun bentuk-bentuk self stigma

antara lain prasangka buruk, merasa bersalah, serta ketakutan dan kemarahan.

Akibatnya, golongan yang berkuasa (dalam hal ini masyarakat dan rumah sakit

jiwa) cenderung memberikan label/cap kepada golongan yang lemah (penderita

gangguan jiwa) sebagai yang menyimpang (deviant). Pelabelan mempunyai akibat

positif bagi pihak yang memberikan label, yaitu memperkuat tata sosial dan

stabilitas sosial. Hal tersebut benar hanya terbatas pada dua alasan, yaitu di satu

sisi karena pihak yang mengecap ada pada posisi yang kuat, sedangkan yang

dicap pada posisi yang lemah. Di sisi yang lain dengan menghukum yang lemah,

pihak yang kuat tidak akan melakukan deviasi seperti pihak yang lemah. Akan

tetapi, hal itu tidak berarti bahwa pihak yang berkuasa tidak akan melakukan

deviasi. Mereka melakukan deviasi yang lebih canggih dan tersamar dalam mesin

kontrol sosial dan normalisasi. Hal ini disebabkan oleh perhatian masyarakat

tertuju kepada deviasi golongan yang lemah, yaitu para penderita gangguan jiwa.

Kedua, faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya stigma para penderita

gangguan jiwa terbagi atas dua faktor, yakni faktor eksternal dan faktor internal.

Faktor eksternal, yaitu bahwa sampai saat ini penyakit jiwa masih dianggap

sebagai “aib”, penyakit yang memalukan bagi penderita dan keluarganya.

Keluarga cenderung berusaha menutup-nutupi jika ada anggota keluarganya yang

menderita gangguan jiwa sehingga kondisi penderita semakin memburuk. Stigma

yang terjadi tidak terlepas pula dari latar belakang mitos yang beredar di

masyarakat tentang gangguan jiwa. Hal itu berakibat pada pilihan perawatan dan

kepercayaan keluarga pasien terhadap peran dukun (balian) dibandingkan

langsung membawa anggota keluarga mereka ke rumah sakit jiwa. Label/cap

Page 17: UCAPAN TERIMA KASIH - sinta.unud.ac.id fileUniversitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. P.D. KEMD, yang telah memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan

xxiii

“orang gila” sangat lekat dengan setting kuasa RS jiwa bersama aparatus

medisnya yang berpotensi besar mengukuhkan identitas baru bagi pasien sebagai

individu yang mengidap sakit jiwa dan sangat berbahaya. Hal itu akan sangat

berbeda jika penderita berada dalam penanganan seorang dukun (balian).

Sebaliknya, faktor internal, yaitu ketidaktahuan keluarga terkait dengan penyebab

(etiologi) gangguan jiwa. Artinya, pengetahuan keluarga tentang gangguan jiwa

masih kurang. Padahal, di sisi lain keluarga mempunyai tugas untuk membuat

keputusan tindakan kesehatan yang tepat bagi anggota keluarga yang sakit. Hal

tersebut berimplikasi terhadap perlakuan tidak adil yang diterima para penderita

gangguan jiwa (praktik pemasungan). Stigma yang diproduksi oleh masyarakat

secara terus-menerus terhadap penderita gangguan jiwa secara tidak langsung

menyebabkan keluarga atau masyarakat di sekitar penderita gangguan jiwa

enggan untuk memberikan penanganan yang tepat terhadap anggota keluarga

mereka yang mengalami gangguan jiwa. Oleh karena itu, tidak jarang

mengakibatkan penderita gangguan jiwa yang tidak tertangani ini mengalami

sekaligus melakukan perilaku kekerasan atau tindakan tidak terkontrol yang

meresahkan, baik diri, keluarga, maupun masyarakat sekitar. Munculnya perasaan

malu pada keluarga pasien juga turut menyebabkan keluarga penderita gangguan

jiwa menutup diri dari lingkungan. Hal ini mengakibatkan proses pengobatan

yang terlambat yang dapat memperparah keadaan gangguan jiwanya.

Ketiga, implikasi stigma gangguan jiwa terhadap penderita dan keluarga

penderita. Implikasi stigma gangguan jiwa terhadap penderita adalah sebagai

berikut. Implikasi pertama, pengabaian tindakan pengobatan secara cepat dan

tepat. Hal itu tidak jarang menyebabkan penderita melakukan perilaku kekerasan

atau tindakan tidak terkontrol yang meresahkan keluarga, masyarakat, serta

lingkungan sebagai sosok yang berbahaya dan harus dijauhi. Konstruksi

stigmatisasi tersebut berpengaruh pada kondisi psikologis penderita gangguan

jiwa itu sendiri. Artinya, penderita mengembangkan sikap pengingkaran untuk

mau menerima ataupun mengakui bahwa dirinya mengalami sakit gangguan jiwa.

Implikasinya pertolongan yang sekiranya dapat dilakukan secara dini terhadap

penderita menjadi terlambat. Implikasi kedua, dalam hal pengucilan sosial,

Page 18: UCAPAN TERIMA KASIH - sinta.unud.ac.id fileUniversitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. P.D. KEMD, yang telah memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan

xxiv

stigmatisasi yang diberikan masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa (social

labeling) dan pengawasan sosial (social control) yang menginstitusionalisasi para

penderita gangguan jiwa dalam lingkaran pengawasan penuh instalasi kekuasaan

rumah sakit jiwa merupakan akibat situasi ketegangan antara disiplin kuasa

governmentality masyarakat terhadap individu penderita gangguan jiwa. Hal itu

berarti bahwa di dalamnya bersemayam rezim governmentality yang

menghubungkan diri penderita dengan situasi pengasingan dan pengucilan sosial

penderita dalam balutan wajah regulasi sosial yang berlaku di masyarakat.

Implikasi ketiga, dalam ketidakberdayaan, pasien wajib patuh dan tunduk (pasrah)

kepada segala aturan yang sudah tersematkan. Kedudukan para pasien penderita

gangguan jiwa tidak berkuasa atas dirinya sendiri dalam kondisi posisi yang

lemah dan tidak berdaya di hadapan para aparatus medis pemegang kuasa rumah

sakit jiwa. Implikasi keempat, diskriminasi terhadap para penderita gangguan jiwa

merupakan suatu bentuk penjabaran dari hegemoni kekuasaan dan dominasi

otoritas aparatus sosial (kelompok, komunitas, masyarakat) dan otoritas aparatus

medis/kesehatan (dokter, psikiater, perawat) yang melahirkan kesenjangan sosial

dan kesenjangan identitas.

Implikasi stigma gangguan jiwa terhadap keluarga penderita yang turut

memengaruhi, antara lain sebagai berikut. Pertama, keputusan pilihan perawatan

dan pengobatan yang dijalani terbagi dalam perilaku perawatan tradisional

(pilihan perawatan rumah tangga dan pilihan perawatan kedukunan) dan perilaku

perawatan profesional atau modern (puskesmas, rumah sakit umum, psikiater,

rumah sakit jiwa). Perilaku perawatan rumah tangga (home remedies) yang

dijalani keluarga pasien merupakan tindakan pertama yang dilakukan untuk

mengatasi penyakit yang dipandangnya sebagai self medication (berobat sendiri).

Alasannya adalah sebagai usaha yang bersifat coba-coba dan pertolongan yang

bersifat sementara. Perilaku perawatan kedukunan dipilih keluarga pasien dengan

penilaian bahwa sakit yang diderita “bukan sakit biasa” atau bersifat niskala

(personalistik), yang tidak dapat diatasi atau disembuhkan oleh mereka sendiri. Di

pihak lain perilaku perawatan profesional/modern dipilih berdasarkan beberapa

alasan. Adapun alasan yang dimaksud, yaitu kegagalan/tidak adanya kemajuan

Page 19: UCAPAN TERIMA KASIH - sinta.unud.ac.id fileUniversitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. P.D. KEMD, yang telah memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan

xxv

pada pengobatan yang dilakukan balian, kondisi pasien sendiri yang meresahkan

anggota keluarga dan diri pasien sendiri, baru memahami bahwa di RSJ akan

ditangani para ahli, percaya bahwa “sakit balinya” sudah hilang, dan alasan

menyembuhkan sakit medisnya saja. Pasien jiwa lebih cenderung hanya sebagai

objek perawatan kesehatan semata. Salah satu implikasi yang mungkin timbul

adalah proses pengobatan yang sifatnya bolak-balik. Pada akhirnya pasien

kembali menjadikan dirinya tidak berkuasa terhadap dirinya sendiri. Artinya,

terlemah dan tak berdaya dalam menjalani hari-hari rutinitas penghuni RS jiwa

sebagai institusi total yang memungkinkan terciptanya tata aturan baru. Di

samping itu, juga pola hubungan baru yang dibuat sedemikian rupa dan diatur atas

nama otoritas dan kepentingan umum masyarakat dengan berlindung dalam

mekanisme disiplin keamanan, ketenteraman, dan keseimbangan.

Kedua, terjadinya kelelahan (burn-out) dan keputusasaan keluarga. Hal

tersebut terjadi karena terkurasnya energi untuk menghadapi stres yang dialami

terus-menerus dalam rentang perjalanan perawatan pasien. Kurangnya pegetahuan

dan dukungan keluarga dalam merawat pasien di rumah menyebabkan

kekambuhan atau relaps (kembalinya suatu penyakit setelah tampak mereda).

Pada akhirnya pasien kembali menjalani pengobatan dan perawatan di RS jiwa

yang menyebabkan keputusasaan keluarga pasien.

Ketiga, strategi koping dalam balutan resiliensi keluarga penderita.

Keluarga pasien membiarkan diri mereka merasakan kekecewaan, kemarahan,

kesedihan, tekanan, kehilangan, penyesalan, dan kebingungan, tetapi tidak

membiarkan perasaan-perasaan tersebut bertahan lama dalam diri mereka. Koping

merupakan bagian dari resiliensi. Resiliensi merupakan kemampuan atau

kapasitas insani yang dimiliki keluarga pasien untuk menghadapi, mencegah,

meminimalkan, bahkan menghilangkan dampak-dampak yang merugikan dari

kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan atau mengubah kondisi yang

menyengsarakan menjadi kondisi menerima kenyataan untuk diatasi.

Di antara hasil penelitian ini, ada beberapa hal yang merupakan temuan

baru. Adapun temuan baru yang dimaksud adalah sebagai berikut. Pertama,

rumah sakit jiwa alih-alih sebagai katup penyelamat dari kondisi sakit pasien,

Page 20: UCAPAN TERIMA KASIH - sinta.unud.ac.id fileUniversitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. P.D. KEMD, yang telah memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan

xxvi

justru memperkuat konstruksi stigmatisasi pasien di masyarakat melalui kuasa

disiplinnya. Kedua, perawatan kesehatan di rumah sakit jiwa berpotensi besar

mengukuhkan identitas baru bagi individu bersangkutan sebagai individu yang

mengidap sakit jiwa dan berbahaya terhadap lingkungannya. Ketiga, penderita

merasa lebih sulit lepas dari stigma daripada gangguan jiwa itu sendiri. Mereka

menjadi korban objek justifikasi ketidakwarasan dalam terminologi masyarakat.

Keempat, dalam praktik kuasa otoritas perawatan pasien di RS jiwa ditemukan

adanya pemisahan hubungan interaksi antara dokter dan pasien. Artinya, yang

menjadi objek pengobatan di RS jiwa adalah pasien, bukan sakit pasien yang

menjadi objek pengobatan yang dijalankan dokter. Hal itu menjadikan pasien

tidak kuasa sedikit pun, baik atas dirinya sendiri maupun dalam segala bentuk

aktivitasnya. Kelima, konsep “menjadi pasien RSJ” dan “bekas pasien RSJ” tidak

berpengaruh besar terhadap perubahan sikap dan penilaian masyarakat terhadap

pencitraan diri penderita gangguan jiwa. Bekas penderita gangguan jiwa tetap

“terlabelisasi” sebagai musuh sosial yang harus dihindari. Keenam, stigmatisasi

yang diberikan masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa (social labeling)

dan pengawasan sosial (social control) yang menginstitusionalisasi para

penderita gangguan jiwa dalam lingkaran pengawasan penuh instalasi kekuasaan

rumah sakit jiwa merupakan akibat situasi ketegangan antara disiplin kuasa

governmentality masyarakat terhadap individu penderita gangguan jiwa. Di

dalamnya bersemayam rezim governmentality yang menghubungkan diri

penderita dengan situasi pengasingan dan pengucilan sosial penderita dalam

balutan wajah regulasi sosial yang berlaku di masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diajukan beberapa saran atau

rekomendasi sebagai berikut.

Pertama, perlu adanya peningkatan kerja sama berbagai pihak, seperti

Dinas Kesehatan, pihak rumah sakit jiwa (pastisipasi psikiater, psikolog, perawat),

puskesmas, pemuka agama, dan pihak keluarga pasien. Di samping itu, testimoni

langsung pasien yang telah sembuh untuk menyampaikan segala informasi

kesehatan jiwa dan masalah gangguan jiwa kepada masyarakat sebagai upaya

meminimalisasi stigma yang ada (upaya destigmatisasi).

Page 21: UCAPAN TERIMA KASIH - sinta.unud.ac.id fileUniversitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. P.D. KEMD, yang telah memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan

xxvii

Kedua, rumah sakit jiwa diharapkan dapat lebih meningkatkan dan

mengembangkan lagi sosialisasi program-program pascaperawatan yang lebih

bersifat terbuka dalam hubungan relasi yang bersifat intersubjektivitas, baik antara

pihak rumah sakit dan pasien beserta keluarga pasien maupun masyarakat. Hal itu

dilakukan dengan mengadakan kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk

mengembalikan keberfungsian sosial pasien pascaperawatan. Selain itu, juga

sosialisasi kepada keluarga pasien untuk mengembangkan pengetahuan dan

memperoleh informasi yang banyak mengenai penanganan dan perawatan pada

pasien pascaperawatan.

Ketiga, dalam melaksanakan asuhan keperawatan kepada keluarga yang

salah seorang anggotanya mengalami gangguan jiwa, para perawat hendaknya

memperhatikan masalah pengetahuan keluarga pasien dalam merawat anggota

keluarganya. Hal tersebut dilakukan dengan memberikan pendidikan kesehatan

(psikoedukasi) menggunakan “bahasa” yang dapat dimengerti oleh keluarga

pasien. Di samping itu, juga mengembangkan hubungan komunikasi yang tidak

bersifat otoritatif.

Keempat, dalam mendapat edukasi tentang penyakit gangguan jiwa dan

sebagai unit yang paling dekat dengan pasien, keluarga pasien diharapkan

mengerti apa kondisi yang dialami anggota keluarganya. Selain itu, dengan

penanganan yang tepat dapat merawat, menjaga, dan memperhatikan kesembuhan

pasien. Oleh karena itu, sebaiknya keluarga menjadi support-group utama bagi

pasien.

Kelima, pasien gangguan jiwa pascaperawatan di rumah sakit jiwa,

hendaknya meningkatkan kepatuhannya dalam minum obat dan rutin melakukan

kontrol. Di samping itu, juga melakukan aktivitas dan interaksi sosial sehingga

keberfungsian sosialnya dapat meningkat dan akan berkembang.

Keenam, saran dan rekomendasi bagi kalangan akademisi. Kehidupan

yang normal dan seimbang (equilibrium) yang ditemukan setiap hari dalam

memandang dunia seharusnya menjadi landasan pikir utama bagi kita untuk

berpikir kritis karena di balik itu terdapat relasi-relasi kekuasaan yang tersebar

demi kepentingan segelintir orang. Hal ini selaras dengan pemikiran Michel

Page 22: UCAPAN TERIMA KASIH - sinta.unud.ac.id fileUniversitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. P.D. KEMD, yang telah memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan

xxviii

Foucault yang mengkritik kekuasaan yang disebarkan oleh ilmu-ilmu pengetahuan

melalui kebenarannya untuk mendisiplinkan tubuh manusia untuk mewujudkan

masyarakat yang disipliner.

Page 23: UCAPAN TERIMA KASIH - sinta.unud.ac.id fileUniversitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. P.D. KEMD, yang telah memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan

xxix

GLOSARIUM

alienasi : diartikan menjadi proses menuju keterasingan.

anomie : salah satu puncak dari perasaan alienasi (keterasingan)dan ketiadaan tujuan yang menyertainya; bisa diartikanjuga sebagai kesenjangan antara tujuan dan cara-carauntuk mencapai tujuan tersebut, tujuan yang baik ingindicapai dengan melakukan hal hal yang bertolakbelakang; menggambarkan pula keadaan yang kacautanpa peraturan.

balian : istilah dukun di Bali, yakni orang yang mempunyaikemampuan untuk mengobati orang yang sakit.

banten : sajen (persembahan dalam upacara keagamaan).

buduh : istilah lokal dalam bahasa Bali untuk sebutan gila.

burn-out : suatu kondisi psikologis yang dialami seseorang akibatstres yang disertai kegagalan meraih harapan dalamjangka waktu yang relatif panjang atau suatu kondisikelelahan emosional, fisik, dan mental disebabkan olehpenderitaan stres yang berkepanjangan.

citra (image) : istilah untuk menyebut gambaran tentang realitas dantidak harus sesuai dengan realitas, atau dunia menurutpersepsi atau kesan seseorang. Dapat diartikan jugasebagai kesan seseorang atau individu tentang sesuatuyang muncul sebagai hasil dari pengetahuan danpengalamannya.

covert behaviour : perilaku yang tidak tampak, tersembunyi, dan tertutup.

dehumanisasi : merupakan suatu proses yang menjadikan manusiatidak sesuai dengan kodratnya sebagai manusia, tetapihanya bisa menirukan atau melaksanakan sesuatu yangdiukur dengan apa yang dimilikinya dalam bentuktertentu.

demigod : sebutan Hippocrates untuk dokter sebagai setengahdewa yang menempatkan dokter dalam kedudukan danposisi istimewa karena tidak mungkin salah.

Page 24: UCAPAN TERIMA KASIH - sinta.unud.ac.id fileUniversitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. P.D. KEMD, yang telah memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan

xxx

destigmatisasi : suatu bentuk upaya mengubah cap/label/anggapanyang salah.

deviant behavior : sebutan untuk setiap tindakan individu atau kelompokyang bertentangan dengan nilai dan norma yangberlaku dalam masyarakat tertentu.

diagnosis : hasil evaluasi yang mencerminkan temuan. Evaluasi disini berarti upaya yang dilakukan untuk menegakkanatau mengetahui jenis penyakit yang diderita olehseseorang atau masalah kesehatan yang dialami olehmasyarakat. Setelah dilakukan diagnosis dari suatukondisi tertentu barulah tindakan prognosis dapatdilakukan.

disease : konsep penyakit yang dikonstruksi atas dasarpandangan biomedis yang mengacu pada indikatorgangguan biopatologis dan perilaku atau indikatorabnormal yang dapat diukur, tanpa harus berkaitandengan peranan sosial. Dapat juga merupakanpandangan para petugas kesehatan terhadap tanda-tandapenyimpangan biologis akibat adanya organisme,benda asing, atau luka pada tubuh.

diskursus : istilah lain untuk wacana. Wacana juga berkaitandengan praktik dari pemakainya (praktik regulatif).wacana dicirikan oleh batasan bidang dari objek,definisi dari perspektif yang paling dipercaya dandipandang benar. Persepsi tentang suatu objek dibentukdengan dibatasi oleh praktik diskursif: dibatasi olehpandangan yang mendefinisikan sesuatu bahwa inibenar dan yang lain tidak.

dropping : istilah untuk pemulangan penderita, yang dapatdiklasifikasikan menjadi pulang sembuh, pulang paksa,dan dipulangkan.

emansipatoris : ranah pemikiran pembebasan dengan mengajakmanusia untuk menyadari diri dan lingkungannyamelalui proses yang humanis artinya sebagai upayamemanusiakan manusia melalui pembebasan dari

Page 25: UCAPAN TERIMA KASIH - sinta.unud.ac.id fileUniversitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. P.D. KEMD, yang telah memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan

xxxi

situasi batas yang menindas, yang ada di luarkehendaknya.

emik : istilah untuk menggambarkan bagaimana perspektifmasyarakat.

etiologi : studi tentang penyebab. Misalnya, penyebab darigangguan. Kata “etiologi” terutama digunakan dalamkedokteran sebagai ilmu yang mempelajari penyebabatau asal penyakit dan faktor-faktor yang menghasilkanatau memengaruhi suatu penyakit tertentu ataugangguan.

governmentality : bentuk rasionalisasi dari bagaimana kekuasaan itudijalankan oleh negara agar beroperasinya kekuasaanitu dapat diakui atau legitimate yang membentukkontrol sosial yang termanifestasi ke dalam dirimasyarakat sebagai tubuh yang patuh, sehat, berguna,dan produktif.

hendaya : istilah lain untuk gangguan emosional, perilaku sosial-emosional yang maladaptif, kelainan perilaku,hambatan dalam pendidikan, dan kelainan psikologis.

home remedies : istilah lain untuk perilaku perawatan rumah tangga.

home visit : istilah untuk kunjungan rumah pada keluarga klien(pasien) yang lebih banyak pada kasus gangguan jiwayang sedang/masih dalam perawatan.

hospitalisme : bentuk stressor individu yang berlangsung selamaindividu tersebut dirawat di rumah sakit, sepertilingkungan yang asing, berpisah dengan orang yangberarti, kehilangan kebebasan dan kemandirian,pengalaman yang berkaitan dengan pelayanankesehatan, serta perilaku petugas rumah sakit.

humanis : orang yang mendambakan dan memperjuangkanterwujudnya pergaulan hidup yang lebih baik,berdasarkan asas perikemanusiaan, pengabdikepentingan sesama umat manusia, serta penganutpaham yg menganggap manusia sebagai objekterpenting.

Page 26: UCAPAN TERIMA KASIH - sinta.unud.ac.id fileUniversitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. P.D. KEMD, yang telah memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan

xxxii

illness : konsep sakit yang disusun oleh konstruksi budayasetempat yang mengacu pada indikator distabilitassosial akibat dari si individu yang bersangkutanmengalami gangguan fisik atau mental. Adanyagangguan semacam ini berarti pula terganggunyaperanan sosialnya di masyarakat.

imagibilitas : ilmu tentang citra atau imaji serta peran teknologipencitraan dalam membentuknya atau kemampuanuntuk mendatangkan kesan.

imanen : sesuatu yang lebih dekat dan terbatas pada pengalamanmanusia.

inequality : pengalaman tumpang tindih dalam diri individu sebagaiakibat adanya ketidaksesuaian antara harapan dankenyataan/apa yang diperoleh.

inklusi Sosial : upaya menempatkan martabat dan kemandirianindividu sebagai modal utama untuk mencapai kualitashidup yang ideal.

jodhon-jodhon : representasi ungkapan emik masyarakat Jawa dalam halperburuan tentang kesehatan.

komunikasi impersonal : komunikasi yang dilakukan secara masif kepadakhalayak dengan menggunakan media massa sebagaialat untuk menyampaikan pesan secara menyeluruh.

melukat : upacara pembersihan pikiran dan jiwa secara spiritualdalam diri manusia. Upacara ini dilakukan secaraturun-temurun oleh umat Hindu Bali hingga saat ini.Penyucian secara rohani berarti menghilangkanpengaruh kotor dalam diri.

mengeksklusi : mengabaikan, yakni proses pengeluaran atauterputusnya individu dari suatu sistem masyarakat yangtidak mendapatkan pengakuan secara layak olehmasyarakat tersebut dengan beberapa faktorpenghambat yang pada akhirnya individu kehilangankesempatan untuk bersaing memenuhi kebutuhandirinya sendiri menjadi layaknya masyarakat sepertipada umunya yang dinilai tidak selevel dengannya darisegi mana pun.

Page 27: UCAPAN TERIMA KASIH - sinta.unud.ac.id fileUniversitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. P.D. KEMD, yang telah memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan

xxxiii

nabdabang kayun : sebutan untuk orang yang mempunyai sifat mampumenahan emosi yang kuat ataupun emosi yangdikendalikan.

negtegang bayu : sebutan untuk orang yang tidak mampu melakukanpengendalian atau penahanan emosi kurang terhadaprasa marah atau sedih.

ngayah : istilah gotong royong dalam tradisi masyarakat Bali(dalam skala yang lebih besar), misalnya salingmembantu dalam kegiatan di pura.

ngeling : menangis seperti anak kecil.

ngemikmik : mengobrol atau berbicara sendiri.

ngerumuk : berbicara tidak jelas dalam kaitan dengan adanyaperasaan marah

nguopin : istilah gotong royong dalam tradisi masyarakat Bali(dalam skala yang lebih kecil), misalnya salingmembantu keluarga yang sedang mengadakan kegiatanatau upacara keagamaan.

niskala : segala sesuatunya dihubungkan dengan bentuk alamgaib, tidak nyata, atau supernatural.

overt behaviour : istilah untuk perilaku yang tampak, terbuka, dan dapatdiamati.

pengiwa : ilmu hitam

perilaku asertif : suatu kemampuan untuk mengomunikasikan apa yangdiinginkan, dirasakan, dan dipikirkan kepada oranglain, tetapi tetap menjaga dan menghargai hak-hak sertaperasaan pihak lain.

petemuan : kecocokan dalam kaitan pilihan perawatan kesehatan.

prejudice : perilaku negatif yang mengarahkan kelompok padaindividualis berdasarkan keterbatasan atau kesalahaninformasi tentang kelompok; sikap yang membencikelompok lain tanpa adanya alasan yang objektif untukmembenci kelompok tersebut.

prognosis : istilah yang digunakan dalam menyampaikan suatutindakan untuk memprediksi perjalanan penyakit yang

Page 28: UCAPAN TERIMA KASIH - sinta.unud.ac.id fileUniversitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. P.D. KEMD, yang telah memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan

xxxiv

didasarkan pada informasi diagnosis yang tersedia yangmenunjukkan prediksi dokter tentang bagaimana pasienakan berkembang dan apakah ada kemungkinanpemulihan. Istilah ini juga sering digunakan dalamlaporan medis dari pandangan dokter pada suatu kasussebagai rencana, terapi selanjutnya sebagai bahanpertimbangan perawatan dan rehabilitasi.

progresifitas : kemampuan bergerak maju secara psikologis.

relaps : kekambuhan atau kembalinya suatu penyakit setelahtampaknya mereda.

represif : istilah lain untuk menekan, mengekang, menahan, ataumenindas.

resiliensi : pribadi yang mampu bertahan dalam kondisi sulittersebut disebut dengan pribadi yang memilikiresiliensi. Resiliensi dilihat sebagai kualitas pribadiyang melibatkan kemampuan penyesuaian diri yangtinggi dan luwes saat dihadapkan pada tekanan, baikinternal maupun eksternal.

sanggah : tempat suci berupa pura kecil, pura keluarga.

sakit bali : sebutan lain untuk sakit yang penyebabnya tidak nyata.

sekala : segala sesuatu dihubungkan dengan bentuk alam nyataatau dunia nyata.

self esteem : menggambarkan sejauh mana individu tersebut menilaidirinya sebagai orang yang memiliki kemampuan,keberartian, berharga, dan kompeten.

serana : alat penghubung antara kekuatan balian dan penyebabpenyakit yang ada dalam tubuh orang yang sakit.

simptom : sebutan untuk semua gejala negatif yang dialami ataudirasakan oleh pasien.

sistem naturalistik : sehat terjadi karena unsur-unsur yang tetap dalamtubuh, seperti panas dan dingin, cairan tubuh (humorsatau dosha) atau unsur yin dan yang berada dalamkeadaan seimbang menurut usia dan kondisi individualdalam lingkungan alamiah dan lingkungan sosialnya.

Page 29: UCAPAN TERIMA KASIH - sinta.unud.ac.id fileUniversitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. P.D. KEMD, yang telah memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan

xxxv

Apabila keseimbangan ini terganggu, hasilnya adalahtimbulnya penyakit (disease).

sistem personalistik : sakit (illness) disebabkan, baik oleh intervensi suatuagen yang aktif, yang dapat berupa makhluk supra-alamiah (makhluk gaib atau dewa), makhluk yangbukan manusia (hantu, roh leluhur, dan roh jahat),maupun manusia (tukang sihir atau tukang tenung).Orang yang sakit adalah korbannya, objek dari agresiatau hukuman yang ditujukan khusus kepadanya untukalasan-alasan khusus yang menyangkut dirinya saja.

skizofrenia : istilah untuk gangguan mental kronis yangmenyebabkan penderitanya mengalami delusi,halusinasi, pikiran kacau, dan perubahan perilaku.Kondisi yang biasanya berlangsung lama ini seringdiartikan sebagai gangguan mental mengingat sulitnyapenderita membedakan antara kenyataan dan pikiransendiri (pikiran terbagi atau terpecah)

stereotipe : penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkanpersepsi terhadap kelompok di mana orang tersebutdapat dikategorikan atau cara pandang terhadap suatukelompok sosial, cara pandang tersebut digunakan padasetiap kelompok tersebut.

stigma : istilah untuk pemberian “label/cap” yang pada banyakhal mengarah untuk merendahkan orang lain atau suatuusaha untuk label tertentu sebagai sekelompok orangyang kurang patut dihormati daripada yang lain.

stressor psikososial : stres yang dipicu oleh hubungan relasi dengan oranglain sekitarnya atau akibat situasi sosial lainnya.

taksu : sebagai sebuah konsep Hindu, taksu dapat dibatasisebagai kekuatan dalam (inner power), kekuatanspiritual (spiritual power), atau kekuatan gaib (magicalpower). Diyakini bahwa taksu bisa memberikankecerdasan dalam melakukan suatu pekerjaan, disamping membuatnya menjadi lebih berwibawa danberkarisma.

tamba : segala sesuatu yang dapat digunakan untukmenyembuhkan orang sakit, biasanya dari ramuantumbuh-tumbuhan.

Page 30: UCAPAN TERIMA KASIH - sinta.unud.ac.id fileUniversitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. P.D. KEMD, yang telah memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan

xxxvi

thick description : sebutan untuk metode kualitatif yang lebih menekankanpada deskripsi yang bersifat emik, etik, holistik, danmendalam.

tirta : kesucian atau setitik air, air suci, bersuci dengan air,berfungsi untuk membersihkan diri, baik dari kotoranmaupun kecemaran pikiran. Dalam penerapanpemakaiannya, yaitu dipercikkan di kepala, diminum,dan diusapkan di muka.

Page 31: UCAPAN TERIMA KASIH - sinta.unud.ac.id fileUniversitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. P.D. KEMD, yang telah memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan

xxxvii

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ...................................................................................... i

PRASYARAT GELAR ................................................................................ ii

PERSETUJUAN PROMOTOR DAN KOPROMOTOR .............................. iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI............................................................. iv

MOTO.......................................................................................................... v

PERNYATAAN KEASLIAN...................................................................... vi

UCAPAN TERIMA KASIH....................................................................... vii

ABSTRAK ................................................................................................ xiv

ABSTRACT ..................................................................................................xv

RINGKASAN ........................................................................................... xvi

GLOSARIUM ...........................................................................................xxv

DAFTAR ISI .........................................................................................xxxiv

DAFTAR TABEL ....................................................................................... xl

DAFTAR GAMBAR.................................................................................. xli

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ xliii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang....................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 17

1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................... 17

1.3.1 Tujuan Umum ............................................................................... 17

1.3.2 Tujuan Khusus ............................................................................. 17

Page 32: UCAPAN TERIMA KASIH - sinta.unud.ac.id fileUniversitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. P.D. KEMD, yang telah memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan

xxxviii

1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................ 18

1.4.1 Manfaat Teoretis .......................................................................... 18

1.4.2 Manfaat Praktis ............................................................................ 18

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN

MODEL PENELITIAN.............................................................. 20

2.1 Kajian Pustaka ...................................................................................... 20

2.2 Konsep ................................................................................................. 30

2.2.1 Stigma .......................................................................................... 31

2.2.2 Stigmatisasi Sosial ....................................................................... 33

2.2.3 Gangguan Jiwa ............................................................................. 34

2.2.4 Stigma Gangguan Jiwa ................................................................. 37

2.2.5 Rumah Sakit Jiwa Bangli ............................................................. 38

2.3 Landasan Teori ..................................................................................... 38

2.3.1 Teori Wacana ............................................................................... 39

2.3.2 Teori Dekonstruksi ...................................................................... 43

2.3.3 Teori Hegemoni ........................................................................... 45

2.3.4 Explanatory Model ....................................................................... 49

2.3.5 Health Belief Model ..................................................................... 50

2.4 Model Penelitian .................................................................................... 53

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian ............................................................................. 58

3.2 Lokasi Penelitian .................................................................................... 59

Page 33: UCAPAN TERIMA KASIH - sinta.unud.ac.id fileUniversitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. P.D. KEMD, yang telah memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan

xxxix

3.3 Jenis dan Sumber Data ........................................................................... 61

3.4 Teknik Penentuan Informan ................................................................... 62

3.5 Instrumen Penelitian ............................................................................. 63

3.6 Teknik Pengumpulan Data .................................................................... 64

3.6.1 Teknik Observasi ......................................................................... 64

3.6.2 Teknik Wawancara Mendalam ..................................................... 64

3.6.3 Teknik Riwayat Hidup Individu (Life History) .............................. 65

3.6.4 Teknik Studi Dokumen ................................................................ 65

3.7 Teknik Analisis Data ............................................................................. 65

3.8 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data .................................................... 66

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Gambaran Umum Kota Bangli .............................................................. 67

4.1.1 Sejarah Singkat Kota Bangli.......................................................... 67

4.1.2 Kondisi Geografis Kota Bangli...................................................... 69

4.1.3 Keadaan Penduduk Kota Bangli ................................................... 73

4.1.3 Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kota Bangli .............................. 73

4.1.4 Sistem Perekonomian Masyarakat Kota Bangli ............................ 74

4.1.5 Sistem Sosial Budaya Masyarakat Kota Bangli ............................. 86

4.2 Profil Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali ................................................... 90

4.2.1 Sejarah Singkat Berdirinya Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali.......... 90

4.2.2 Lokasi dan Areal ........................................................................... 97

4.2.3 Status dan Susunan Organisasi Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali .... 100

4.2.4 Tenaga Personalia ........................................................................ 102

Page 34: UCAPAN TERIMA KASIH - sinta.unud.ac.id fileUniversitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. P.D. KEMD, yang telah memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan

xl

4.3 Pelayanan Kesehatan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali ............... 103

4.3.1 Proses Pelayanan Rawat Jalan ....................................................... 104

4.3.2 Proses Pelayanan Rawat Inap secara Umum ........................... 105

4.3.3 Pelaksanaan Peningkatan Pelayanan dan Penanggulangan

Kesehatan bagi Penduduk Miskin .......................................... 107

4.3.4 Pelayanan Kesehatan Jiwa Masyarakat di Beberapa Puskesmas

Kabupaten/Kota di Bali .......................................................... 108

4.3.5 Pelaksanaan Home Care Penderita Gangguan Jiwa ................ 110

4.3.6 Penanganan Penderita yang Dipasung (Dikurung, Dirantai,

Pembalokan, serta Bermasalah di Masyarakat) ....................... 112

4.3.7 Pengembangan Media Promosi dan Informasi Sadar Hidup Sehat114

4.4 Karakteristik Pasien Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali ............................ 116

4.4.1 Pasien Menurut Kelompok Umur ............................................ 116

4.4.2 Pasien Menurut Jenis Kelamin ................................................ 118

4.4.3 Pasien Menurut Status Kawin................................................. 120

4.4.4 Pasien Menurut Tingkat Pendidikan ....................................... 122

4.4.5 Pasien Menurut Jenis Pekerjaan .............................................. 124

4.4.6 Pasien Menurut Jaminan ......................................................... 127

4.4.7 Pasien Menurut Daerah Asal .................................................. 130

4.4.8 Pasien Menurut Sepuluh Besar Penyakit Rawat Jalan dan Rawat

Inap ........................................................................................ 134

Page 35: UCAPAN TERIMA KASIH - sinta.unud.ac.id fileUniversitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. P.D. KEMD, yang telah memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan

xli

BAB V BENTUK-BENTUK STIGMA PADA PENDERITA

GANGGUAN JIWA ............................................................... 137

5.1 Public Stigma......................................................................................... 138

5.1.1 Penolakan ............................................................................... 154

5.1.2 Pengucilan .............................................................................. 175

5.1.3 Kekerasan .............................................................................. 181

5.2 Self Stigma ...................................................................................... 189

5.2.1 Prasangka Buruk ..................................................................... 189

5.2.2 Merasa Bersalah...................................................................... 193

5.2.3 Ketakutan dan Kemarahan....................................................... 197

BAB VI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI TERJADINYA

STIGMA PADA PENDERITA GANGGUAN JIWA ............... 206

6.1 Faktor Eksternal............................................................................... 206

6.1.1 Kegilaan Adalah Aib............................................................... 206

6.1.2 Mitos tentang Gangguan Jiwa ................................................. 216

6.1.3 Kepercayaan Masyarakat Mengenai Peran Dukun (Balian) .... 219

6.2 Faktor Internal ................................................................................. 226

6.2.1 Pengetahuan Keluarga terhadap Etiologi (Penyebab) Gangguan

Jiwa ....................................................................................... 226

6.2.2 Tidak Adanya Dukungan Keluarga ......................................... 230

6.2.3 Perasaan Malu......................................................................... 236

Page 36: UCAPAN TERIMA KASIH - sinta.unud.ac.id fileUniversitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. P.D. KEMD, yang telah memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan

xlii

BAB VII IMPLIKASI STIGMA GANGGUAN JIWA TERHADAP

PENDERITA DAN KELUARGA PENDERITA ...................... 245

7.1 Implikasi Stigma Gangguan Jiwa terhadap Penderita ...................... 245

7.1.1 Pengabaian Pengobatan secara Cepat dan Tepat ..................... 245

7.1.2 Pengucilan Sosial .................................................................... 251

7.1.3 Ketidakberdayaan.................................................................... 260

7.1.4 Diskriminasi............................................................................ 268

7.2 Implikasi Stigma Gangguan Jiwa terhadap Keluarga Penderita ....... 276

7.2.1 Keputusan Pilihan Perawatan dan Pengobatan yang Dijalani .. 281

7.2.1.1 Perilaku Perawatan Tradisional .................................. 285

7.2.1.1.1 Pilihan Perawatan Rumah Tangga .............. 287

7.2.1.1.2 Pilihan Perawatan Kedukunan .................... 297

7.2.1.2 Perilaku Perawatan Profesional/Modern ...................... 309

7.2.2 Kelelahan (Burn-Out) dan Keputusasaan................................. 326

7.2.3 Strategi Koping dalam Balutan Resiliensi Keluarga Pasien ..... 343

Temuan Baru Penelitian.......................................................... 356

Refleksi .................................................................................. 364

BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN

8.1 Simpulan ......................................................................................... 369

8.2 Saran ............................................................................................... 374

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Page 37: UCAPAN TERIMA KASIH - sinta.unud.ac.id fileUniversitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. P.D. KEMD, yang telah memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan

xliii

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Administrasi Wilayah Kabupaten Bangli ............................... 70

Tabel 4.2 Jumlah Pasien (Rawat Jalan) Per Golongan Umur Tahun 2014116

Tabel 4.3 Jumlah Pasien (Rawat Inap) Per Golongan Umur Tahun 2014117

Tabel 4.4 Jumlah Pasien (Rawat Jalan) Menurut Jenis Kelamin dan TotalPasien Tahun 2014 .............................................................. 118

Tabel 4.5 Jumlah Pasien (Rawat Inap) Menurut Jenis Kelamin dan TotalPasien Tahun 2014 .............................................................. 119

Tabel 4.6 Pasien (Rawat Inap) Menurut Status Perkawinan Tahun 2014120

Tabel 4.7 Jumlah Pasien (Rawat Jalan) Per Pendidikan Tahun 2014 .... 122

Tabel 4.8 Jumlah Pasien (Rawat Inap) Per Pendidikan Tahun 2014 ..... 123

Tabel 4.9 Jumlah Pasien (Rawat Jalan) Menurut Pekerjaan Tahun 2014125

Tabel 4.10 Jumlah Pasien (Rawat Inap) Menurut Pekerjaan Tahun 2014 126

Tabel 4.11 Pasien (Rawat Jalan) Menurut Jaminan Tahun 2014 ............ 127

Tabel 4.12 Pasien (Rawat Inap) Menurut Jaminan Tahun 2014 ............. 128

Tabel 4.13 Jumlah Pasien (Rawat Jalan) Menurut Daerah Asal 2014 ..... 131

Tabel 4.14 Jumlah Pasien (Rawat Inap) Menurut Daerah Asal 2014 ...... 133

Tabel 4.15 Pasien Menurut Sepuluh Besar Penyakit Rawat Jalan dan RawatInap Tahun 2014 .................................................................. 136

Tabel 7.1 Perbedaan konsep, bahasa, dan nilai-nilai antara pandanganmodel klinis/medis dan pandangan model nonklinis/nonmedis325

Page 38: UCAPAN TERIMA KASIH - sinta.unud.ac.id fileUniversitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. P.D. KEMD, yang telah memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan

xliv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1 Pura Kehen dulu, sekarang, dan akan datang tetap menyimpansejarah Kota Bangli (Prasasti Kehen) .......................................... 68

Gambar 4.2 Peta Pulau Bali ............................................................................. 69

Gambar 4.3 Peta Kabupaten Bangli ................................................................ 71

Gambar 4.4 Suasana Pasar Tradisional di Bangli Tahun 1929 ....................... 77

Gambar 4.5 Petani metekap thn 1947 dan metekap di Desa Taman Bali, Banglithn 2015 ........................................................................................ 78

Gambar 4.6 Gambar 4.6 Mobil wisatawan Eropa melintas di depan sebuah puradi Bangli, thn 1929........................................................................ 80

Gambar 4.7 Gubernur Jenderal Banifacius Cornelis de Jonge dan rombonganmembeli suvenir di sepanjang sisi jalan di Kintamani, Bangli, BaliTahun 1935. ................................................................................. 81

Gambar 4.8 Turis Eropa ditandu saat mengunjungi Kawasan Batur, Kintamani,Bangli Tahun 1930-an .................................................................. 81

Gambar 4.9 Pura Dalem Jawa (Langgar) di Desa Bunutin, Bangli. Buktiakulturasi budaya Islam-Hindu. ................................................... 89

Gambar 4.10 Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali sebelum mengalami renovasigedung .......................................................................................... 96

Gambar 4.11 Pintu gapura dan tampak halaman depan bangunan gedung baruRS Jiwa Provinsi Bali.................................................................... 97

Gambar 4.12 Struktur Organisasi RS Jiwa Provinsi Bali ................................ 101

Gambar 4.13 Mereka sangat membutuhkan uluran tangan-tangan humanis kitabersama ...................................................................................... 111

Gambar 4.14 Pemasungan dengan perantaian ................................................. 113

Gambar 4.15 Pemasungan dengan pembalokan .............................................. 113

Gambar 4.16 Pemasungan dengan pengurugan ............................................... 113

Gambar 4.17 Dalam satu kesempatan penyuluhan pelayanan kesehatan jiwayang dihadiri para staf medis, pasien, dan keluarganya ........... 115

Gambar 4.18 Contoh kartu JKBM ................................................................... 129

Gambar 4.19 Contoh kartu Jamkesmas dan BPJS ........................................... 129

Gambar 5.1 Bersama bapak Direktur ............................................................. 141

Page 39: UCAPAN TERIMA KASIH - sinta.unud.ac.id fileUniversitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. P.D. KEMD, yang telah memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan

xlv

Gambar 5.2 Pasien bersama anggota keluarganya di satu sudut ruang IGD RSJiwa ............................................................................................ 145

Gambar 5.3 Bebarapa jenis terapi yang ada di bagian rehabilitasi RS JiwaProvinsi Bali ............................................................................... 151

Gambar 5.4 Tikar anyaman hasil tangan pasien di unit Rehabilitasi ............. 152

Gambar 5.5 Gambar ruang observasi pasien, yang untuk sebagian besarkeluarga serupa dengan ruang penjara ....................................... 156

Gambar 5.6 Peneliti bersama Psikiater RS Jiwa Provinsi Bali (dr. I D.G.Basudewa, Sp.K.J.) .................................................................... 166

Gambar 5.7 Beberapa bentuk sanggah keluarga Hindu Bali ......................... 171

Gambar 5.8 Pura Tirta Sudamala tepatnya di Br. Sedit, Desa Bebalang,Kabupaten Bangli, yang dipakai untuk ritual pengelukatan(pembersihan diri) ...................................................................... 173

Gambar 5.9 Goresan pena setumpuk harapan pasien skizofrenia .................. 177

Gambar 5.10 Hasil goresan ibu MK di tengah obrolan dengan peneliti .......... 180

Gambar 5.11 Pasien meringkuk dalam bayang-bayang ketakutan dunianya ... 186

Gambar 6.1 Pasien dalam balutan aturan pakaian seragam (sebuah penegakandisiplin penyeragaman ataukah jurang pemisah “kita” dan“mereka”) ..................................................................................... 09

Gambar 6.2 Para penderita sangat membutuhkan dukungan perhatian bersamakita semua .................................................................................. 232

Gambar 7.1 Aktivitas makan yang tak luput dari pengawasan perawat ........ 267

Gambar 7.2 Praktik Batra saat sedang mengurut dan memijat anggota tubuhpasien ......................................................................................... 300

Gambar 7.3 Tampak wanita ini kesakitan saat Batra mengeluarkan kekuatanniskala dalam tubuhnya .............................................................. 304

Gambar 7.4 Peneliti bersama keluarga Batra I Made Regep ......................... 308

Gambar 7.5 Pasien skizofrenia di bawah pengawasan kontrol otoritas RS ... 316

Gambar 7.6 Kondisi pasien di ruang istirahat (ruang tidur) ........................... 321

Gambar 7.7 Patung belenggu pemasungan .................................................... 377

Page 40: UCAPAN TERIMA KASIH - sinta.unud.ac.id fileUniversitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. P.D. KEMD, yang telah memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan

xlvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Pedoman Wawancara

Lampiran 2 Deskripsi Kisah Keluarga Pasien

Deskripsi Kisah Pasien

Lampiran 3 Daftar Informan

Page 41: UCAPAN TERIMA KASIH - sinta.unud.ac.id fileUniversitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. P.D. KEMD, yang telah memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masalah kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur

kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia

sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. Kesehatan sebagaimana yang tertuang dalam

Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 36, Tahun 2009 tentang kesehatan merupakan

“Keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual, maupun sosial yang

memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis”

(Depkes RI KMK No. 406, 2009:1).

Atas dasar konsepsi kesehatan di atas, dapat dimaknai bahwa kesehatan

tidak hanya menitikberatkan pada aspek fisik, tetapi juga sebagai suatu kesatuan

yang utuh yang menggambarkan kualitas hidup seseorang yang terkandung di

dalamnya kesejahteraan dan produktivitas secara sosial dan ekonomi. Lebih lanjut

konsepsi kesehatan tersebut menempatkan mental atau jiwa seseorang sebagai

bagian yang tidak terpisahkan dan mempunyai kedudukan yang penting di dalam

pemahaman kesehatan sehingga tidak mungkin kita berbicara tentang kesehatan

tanpa melibatkan kesehatan jiwa. Pada saat manusia harus berkelit dengan

problem kehidupan yang serba materialistis dan pada gilirannya sangat egois dan

individual, komunikasi hubungan antarmanusia pada zaman modern juga

cenderung bersifat komunikasi “impersonal”. Fenomena-fenomena tersebut

membuat manusia semakin kehilangan jati dirinya.

Page 42: UCAPAN TERIMA KASIH - sinta.unud.ac.id fileUniversitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. P.D. KEMD, yang telah memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan

1

Kondisi demikian juga mengharuskan manusia untuk benar-benar mampu

bertahan mengendalikan dirinya untuk kemudian tetap tegar dalam kepribadian.

Perkembangan yang pesat dalam bidang kehidupan manusia, yang meliputi

bidang ekonomi, teknologi, social, dan budaya serta bidang-bidang yang lain telah

membawa pengaruh yang besar bagi manusia itu sendiri. Kehidupan yang sulit

dan kompleks dengan meningkatnya kebutuhan menyebabkan bertambahnya

stressor psikososial sehingga manusia tidak mampu menghindari tekanan-tekanan

hidup yang dialami. Kondisi kritis ini membawa dampak terhadap peningkatan,

baik kualitas maupun kuantitas gangguan mental emosional manusia.

Lebih lanjut visi rencana pembanguan jangka panjang nasioal 2005--2025

adalah Indonesia yang maju, adil, dan makmur. Visi tersebut direalisasikan pada

empat misi pembangunan kesehatan 2010--2014, yaitu meningkatkan derajat

kesehatan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan

masyarakat madani; melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin

tersedianya upaya kesehatan yang paripurna, merata, bermutu, dan berkeadilan;

menjamin ketersediaan dan pemerataan sumber daya kesehatan; dan menciptakan

tata kelola kepemerintahan yang baik. Dalam pencapaian visi dan misi di atas,

salah satu strategi yang telah dijalankan Kementerian Kesehatan RI adalah

“meningkatkan pelayanan kesehatan yang merata, terjangkau, bermutu, dan

berkeadilan serta berbasis bukti dengan mengutamakan upaya promotif dan

preventif” (SKN, PP Nomor 72, Tahun 2012).

Pada kenyataannya visi dan misi dalam rencana pembangunan tersebut

kurang berjalan dengan lancar. Salah satu bukti adalah masih kurangnya sumber

Page 43: UCAPAN TERIMA KASIH - sinta.unud.ac.id fileUniversitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. P.D. KEMD, yang telah memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan

2

daya kesehatan yang tersedia. Dari data yang ada dalam http://www.kemsos.go.id/

disebutkan bahwa di Indonesia baru ada sekitar 773 psikiater (0,32 per 100.000

penduduk), 451 psikolog klinis (0,15 per 100.000 penduduk), dan 6.500 perawat

jiwa (2 per 100.000 penduduk). Padahal, kebutuhannya satu orang tiap 10.000

jumlah penduduk. Jika jumlah penduduk Indonesia 247 juta, diperlukan 24.700

tenaga profesional.

Proses globalisasi dan pesatnya kemajuan teknologi informasi

memberikan pengaruh terhadap nilai-nilai sosial budaya masyarakat. Sementara

tidak semua orang mempunyai kemampuan yang sama untuk menyesuaikan diri

dengan berbagai perubahan tersebut. Akibatnya, saat ini gangguan jiwa telah

menjadi masalah kesehatan global. Sayangnya, banyak orang yang tidak

menyadari bahwa mereka mungkin mengalami masalah kesehatan jiwa. Hal itu

terjadi karena masalah kesehatan jiwa bukan hanya gangguan jiwa berat semata,

justru gejala seperti depresi dan cemas kurang dikenali masyarakat sebagai

masalah kesehatan jiwa. Kesehatan jiwa penting dilihat dari dampak yang

ditimbulkannya, antara lain terdapatnya angka yang besar dari penderita gangguan

kejiwaan yang diikuti pula dengan beban psikologis, sosial, budaya, dan ekonomi

yang luas.

Studi yang dilakukan Bank Dunia (World Bank) pada tahun 1995 di

beberapa negara menunjukkan bahwa hari-hari produktif yang hilang atau

Dissabiliiy Adjusted Life Years (DALY's) yang disebabkan oleh masalah kesehatan

jiwa adalah sebesar 8,1%. Angka ini jauh lebih tinggi daripada dampak yang

disebabkan oleh penyakit tuberculosis (7,2%), kanker (5,8%), penyakit jantung

Page 44: UCAPAN TERIMA KASIH - sinta.unud.ac.id fileUniversitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. P.D. KEMD, yang telah memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan

3

(4,4%), dan malaria (2,6%). Tingginya angka tersebut menunjukkan bahwa

masalah kesehatan jiwa merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang

tidak kalah penting untuk diperhatikan jika dibandingkan dengan masalah

kesehatan lainnya yang ada di masyarakat (Depkes RI, KMK No. 406, 2009:1--2)

Hasil Survei Kesehatan Mental Rumah Tangga (SKMRT) tahun 2007

menunjukkan adanya gejala gangguan kesehatan jiwa pada penduduk rumah

tangga dewasa di Indonesia, yaitu 185 kasus per 1.000 penduduk. Hasil SKMRT

juga menyebutkan bahwa gangguan mental emosional pada usia 15 tahun ke atas

mencapai 140 kasus per 1.000 penduduk, sedangkan pada rentang usia 5--14

tahun ditemukan 104 kasus per 1.000 penduduk (Depkes RI, KMK No. 406,

2009:1--2).

Sementara itu lebih dari 450 juta penduduk dunia hidup dengan gangguan

jiwa. Secara global angka kekambuhan pada pasien gangguan jiwa ini mencapai

50% hingga 92% yang disebabkan, baik oleh ketidakpatuhan dalam berobat

maupun kurangnya dukungan dan kondisi kehidupan yang rentan terhadap

peningkatan stres (Sheewangisaw, 2012:1--10). Berdasarkan Riskedas (Riset

Kesehatan Dasar) tahun 2007 Diketahui bahwa data penderita gangguan jiwa di

Indonesia menunjukkan angka gangguan jiwa berat (skizofrenia) 4--6 per 1.000

penduduk. Sebelumnya angka kelainan jiwa (psikosis) di Indonesia diperkirakan

sebesar 1--3 per 1.000 penduduk. Gangguan mental emosional hasil Riskedas

adalah 11,6%. Sebelumnya gangguan jiwa (neurosis) termasuk neurosis cemas,

obsesif, histeria, dan gangguan kesehatan jiwa psikosomatik/psikofisiologik

sebagai akibat tekanan hidup berkisar antara 20--60 per 1.000 penduduk.

Page 45: UCAPAN TERIMA KASIH - sinta.unud.ac.id fileUniversitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. P.D. KEMD, yang telah memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan

4

Demikian pula halnya dengan ketergantungan obat, kenakalan remaja, dan

penggunaan atau ketergantungan alkohol serta penyimpangan perilaku manusia

(Depkes RI, KMK, No. 1627/Menkes/SK/XI, 2010:2). Sementara itu Data Riset

Kesehatan Dasar tahun 2013 mencatat prevalensi gangguan jiwa berat di

Indonesia mencapai 1,7 per mil, artinya 1--2 orang dari 1.000 penduduk di

Indonesia mengalami gangguan jiwa berat (Riskedas, 2013: XI).

Banyak orang beranggapan bahwa penyakit jiwa merupakan satu noda/aib

atau akibat dari dosa-dosa yang dilakukan manusia. Dengan demikian, masyarakat

menanggapi para penderita dengan rasa takut dan bersikap menghindar. Sikap

yang keliru tersebut berimplikasi pada program yang umumnya belum mengenai

sasaran kesehatan mental bagi rakyat pada umumnya di samping belum

mendapatkan tanggapan yang baik. Di pihak lain banyak penderita yang takut dan

tidak suka menjalani pemeriksaan yang dilakukan oleh dokter atau seorang

psikiater dan psikolog. Mereka menjadi marah dan sangat tersinggung jika

diperiksa atau menganggap bahwa dirinya tidak sakit dan sehat jiwanya (Kartono,

1989:25).

Upaya kesehatan jiwa ditujukan untuk menjamin setiap orang dapat

menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan

gangguan lain yang dapat menyebabkan terganggunya kesehatan jiwa. Pemerintah

pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggung jawab menciptakan

kondisi kesehatan jiwa yang setinggi-tingginya dan menjamin ketersediaan,

aksessibilitas, mutu, dan pemerataan upaya kesehatan jiwa. Banyak peraturan

perundangan di bidang kesehatan yang telah disusun oleh pemerintah mulai dari

Page 46: UCAPAN TERIMA KASIH - sinta.unud.ac.id fileUniversitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. P.D. KEMD, yang telah memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan

5

UU No. 3, Tahun 1966 tentang kesehatan jiwa, UU No. 36, Tahun 2009, UU No.

12, Tahun 2014 hingga peraturan dan keputusan menteri dengan tujuan untuk

mengatur upaya-upaya kesehatan jiwa. Namun, dalam pelaksanaannya, sistem

perundang-undangan yang berlaku hingga saat ini belum cukup banyak membantu

dalam hal peningkatan upaya layanan kesehatan jiwa. Penderita gangguan jiwa

sering kali menjadi korban ketidakadilan dan perlakuan yang semena-mena oleh

masyarakat.

Seseorang dengan gangguan jiwa umumnya berhadapan dengan stigma,

diskriminasi, dan marginalisasi. Stigma menyebabkan keluarga penderita tidak

mencari pengobatan yang sangat dibutuhkan oleh anggota keluarganya yang sakit

atau penderita akan mendapatkan pelayanan yang bermutu rendah. Bahkan,

sebagian di antara penderita dipasung dengan kondisi-kondisi yang sangat

memprihatinkan, seperti dipasung dengan kayu, dirantai, dikandangkan, atau

diasingkan. Berbagai bentuk kesalahan sikap masyarakat dalam merespons

kehadiran penderita gangguan jiwa terjadi akibat konstruksi pola berpikir yang

salah dan ketidaktahuan publik. Artinya, terdapat logika yang salah di masyarakat.

Dengan demikian, kondisi mispersepsi tersebut selanjutnya berujung pada

tindakan yang tidak membantu percepatan kesembuhan si penderita.

Masyarakat cenderung menganggap orang dengan kelainan mental sebagai

sampah sosial. Salah satu faktor yang sering dianggap sebagai penyebab pasien

mental sukar untuk dikembalikan atau dipulangkan ke lingkungan masyarakat

adalah sikap keluarga dan masyarakat itu sendiri di samping keadaan mental

pasien. Sikap tersebut timbul karena adanya cap buruk (stigma), yaitu gangguan

Page 47: UCAPAN TERIMA KASIH - sinta.unud.ac.id fileUniversitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. P.D. KEMD, yang telah memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan

6

jiwa dipandang memiliki cela dan diberikan label yang merugikan individu karena

tidak ditolerir oleh masyarakat (Putro, 2004:162). Berbagai istilah ditemukan dan

digunakan di masyarakat untuk menyebut orang dengan masalah gangguan jiwa,

misalnya orang gila, sakit jiwa, sakit gila, saraf, sinting, edan, dan gendeng.

Stigmatisasi gangguan jiwa berimplikasi pada sikap masyarakat yang

cenderung menghindar dari segala sesuatu yang berurusan dengan gangguan jiwa.

Seakan-akan mereka yang terganggu jiwanya tergolong kelompok manusia lain

yang lebih rendah martabatnya, yang dapat dijadikan bahan olok-olokan. Hal

tersebut akan menghambat seseorang untuk mau menerima atau mengakui bahwa

dirinya mengalami gangguan mental. Akibatnya, pertolongan atau terapi yang

mungkin dapat dilakukan secara dini menjadi terlambat.

Permasalahan saat ini adalah kesadaran masyarakat kurang sekali, bahkan

ada yang tidak peduli kepada para penderita skizofrenia ini. Di samping itu,

banyak di antara mereka beranggapan bahwa penderita gangguan jiwa merupakan

aib, menjelek-jelekkan mereka, memaki-maki mereka. Hal lainnya adalah banyak

mitos berkembang di masyarakat tentang orang dengan gangguan jiwa, misalnya

“orang dengan gangguan jiwa tidak akan pernah normal, tingkah lakunya tidak

bisa diprediksi, sangat berbahaya, memvonis dengan sebutan “orang gila”, dan

lain-lain” (Susana, 2007:21).

Hingga kini para pakar psikiater masih sering berdebat tentang stigma

gangguan jiwa, terutama tentang etiologi dan metode penyembuhannya

(biopsikospiritsosiobudaya). Adanya stigma menyebabkan keluarga merasa malu

dan masyarakat pun takut terhadap penderita gangguan jiwa. Implikasinya

Page 48: UCAPAN TERIMA KASIH - sinta.unud.ac.id fileUniversitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. P.D. KEMD, yang telah memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan

7

masyarakat akan mengucilkan penderita dari lingkungan sosialnya, menunda

pengobatan, memperbesar penderitaan, memperlambat proses penyembuhan, dan

menghambat kembali penderita ke masyarakat (Suryani, 1999:16--18).

Pola stigma yang dilakukan oleh masyarakat ini cenderung rata-rata

membawa dampak yang negatif bagi penderita. Artinya, penderita tidak sembuh

dari suatu penyakit yang memang bisa disembuhkan atau dicegah dari

progresivitasnya, tetapi biasanya malah akan memburuk hingga ke tingkat

disabilitas yang berat. Hal lain yang perlu juga diperhatikan adalah pembentukan

opini publik tentang sarana kesehatan jiwa, seperti rumah sakit jiwa dan yayasan

yang menampung penderita gangguan jiwa. Tempat-tempat ini sering diceritakan

atau divisualisasikan sebagai tempat yang aneh, angker, tempat pembuangan dan

penampungan orang-orang yang tidak berguna atau tempat penyiksaan orang-

orang yang sakit jiwa. Akibat yang terjadi, yaitu perlakuan diskriminasi dan

alienasi/pengasingan yang kemudian muncul.

Orang-orang dengan kelainan mental ini sering kali dikonsepsikan sebagai

pihak yang menyimpang dari mayoritas masyarakat. Mereka dianggap defiant

dalam kategori abnormal. Mereka dianggap sebagai ”sampah” yang mengganggu

keindahan, kenyamanan, dan ketertiban kota. Dari penjelasan tersebut terlihat

fakta yang menunjukkan bahwa perlakuan salah, khususnya tindak kekerasan dan

penelantaran terhadap penderita gangguan jiwa masih sering ditemukan di

masyarakat. Selain itu, penganiayaan terhadap penderita gangguan jiwa dengan

dalih upaya mengamankan atau merupakan bagian dari penyembuhan gangguan

Page 49: UCAPAN TERIMA KASIH - sinta.unud.ac.id fileUniversitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. P.D. KEMD, yang telah memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan

8

jiwa (seperti pemasungan, perantaian, pengurungan, dan perendaman dalam air,

masih banyak terjadi.

Stigma dan diskriminasi terhadap bekas penderita gangguan jiwa juga

terjadi secara luas di masyarakat umum. Hal tersebut mengakibatkan penderita

gangguan jiwa kehilangan kesempatan, baik untuk mendapatkan pekerjaan,

pendidikan, maupun peran sosial yang layak di masyarakat. Berbagai kebijakan

publik juga terlihat masih memberikan perlakuan diskriminatif dan tidak adil

terhadap penderita gangguan jiwa. Sementara itu pemberitaan/pemaparan oleh

media massa tentang penderita gangguan jiwa lebih banyak bersifat eksploitatif

tanpa mempertimbangkan implikasi negatifnya terhadap pembentukan opini

publik yang salah tentang penderita gangguan jiwa.

Dewasa ini ada pandangan di masyarakat terhadap penderita gangguan

jiwa bahwa mereka bertanggung jawab atas kondisi gangguan yang dialaminya.

Hal itu terjadi karena karakter mereka yang buruk, ketidakmampuan mengatasi

stres psikososial, dan kelemahan jiwa ataupun kelemahan mental. Dalam kaitan

tersebut, Watson (2004:30) berpendapat bahwa menyalahkan penderita untuk

kondisi kehidupan seperti gangguan jiwa akan mengarah pada rasa emosional

(kemarahan) serta pengucilan sosial, baik yang dilakukan sendiri oleh penderita

maupun yang datangnya dari masyarakat. Upaya mendidik masyarakat tentang

penyebab (etiologi) gangguan jiwa dari sudut pandang biologis, psikologis, dan

sosiobudaya diharapkan dapat memerangi stigma gangguan jiwa (destigmatisasi).

Dikatakan pula bahwa sikap menyalahkan penderita gangguan jiwa hanya akan

memperburuk stigma. Sebaliknya, penjelasan biopsikososiobudaya telah terbukti

Page 50: UCAPAN TERIMA KASIH - sinta.unud.ac.id fileUniversitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. P.D. KEMD, yang telah memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan

9

menjanjikan. Di sinilah diperlukan pendekatan yang seimbang untuk memaknai

berbagai mitos tentang gangguan jiwa dengan berbagai informasi faktualnya.

Dalam kaitan dengan penjelasan tersebut diketahui bahwa, gangguan jiwa

merupakan salah satu masalah kesehatan yang sangat penting. Masalah

gangguan jiwa secara tidak langsung akan menurunkan produktivitas apalagi

jika menderita gangguan jiwa dimulai pada usia produktif. Selain itu, juga

menambah beban bagi keluarga penderita. Hal lainnya, yaitu masih banyak

ditemukan di masyarakat penderita gangguan jiwa yang dipasung oleh

keluarganya. Data dari Kementerian Sosial RI menunjukkan bahwa ada sekitar

57.000 orang penderita gangguan jiwa yang dipasung. Pada tahun 2014 sekitar

1.274 kasus pasung dilaporkan di 21 provinsi dan 93% dikabarkan telah bebas

dari praktik pemasungan (http://kemsos.go.id/).

Hal yang hampir sama juga terjadi di Bali. Dari data Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan RI (2013), diketahui bahwa Provinsi Bali masuk dalam

daftar lima besar gangguan jiwa berat terbanyak di Indonesia, yaitu masing-

masing DI Yogyakarta (2,7%), DI Aceh (2,7%), Provinsi Sulawesi Selatan

(2,6%), Provinsi Bali (2,3%), dan Provinsi Jawa Tengah (2,3%) (Riskedas, 2013:

126). Di daerah Bali jumlah angka gangguan jiwa yang dipasung di masyarakat

menunjukkan masih terjadi peningkatan kasus dari tahun ke tahun. Pada tahun

2012 lalu di Bali tercacat 32 kasus pemasungan penderita gangguan jiwa yang

berhasil ditangani. Jumlah itu justru meningkat pada tahun 2013.

Pihak Rumah Sakit Jiwa Pusat Bangli sebagai satu-satunya rumah sakit

jiwa di Bali yang berlokasi di Kabupaten Bangli sudah menangani lebih dari 38

Page 51: UCAPAN TERIMA KASIH - sinta.unud.ac.id fileUniversitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. P.D. KEMD, yang telah memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan

10

pasien penderita gangguan jiwa yang dipasung. Jumlah itu kemungkinan besar

masih akan terus meningkat seiring dengan masih tingginya stigma buruk

terhadap penderita gangguan jiwa yang terjadi di masyarakat

(http://www.halocities.com/7948). Hal ini membuktikan bahwa sebagian besar

masyarakat masih sangat malu kalau ada anggota keluarganya yang menderita

gangguan jiwa. Dengan demikian, dirahasiakan dan tidak mendapatkan

penanganan yang semestinya dan optimal.

Tidak bisa dimungkiri, ketika mendengar kata kota “Bangli”, otomatis

akan langsung terpikir mengenai rumah sakit jiwa, bukan terpikir tentang hal

lainnya. Bangli seakan-akan secara otomatis dicitrakan dengan rumah sakit jiwa

atau lekat dengan orang-orang gangguan jiwa. Menurut Purwanto (2001:85), citra

adalah sesuatu yang tampak oleh indra, tetapi tidak memiliki eksistensi yang

substansial, suatu persamaan atau representasi atau visualisasi. Citra bisa merujuk

pada suatu representasi visual dari realitas seperti terlihat pada foto, bisa merujuk

pada konsepsi mental, atau imajinatif seorang individu, peristiwa, lokasi, atau

objek. Lebih lanjut Purwanto menyatakan bahwa salah satu upaya untuk mencoba

memahami citra lingkungan perkotaan dapat dilakukan dengan cara mengetahui

peta mental manusia sebagai pengamat.

Peta mental mempersoalkan cara pengamat memperoleh, mengorganisasi,

menyimpan, dan mengingat kembali informasi tentang lokasi, tempat, jarak, dan

susunan dalam lingkungan fisik (kota). Lebih lanjut dikatakan bahwa peta mental

mempunyai konsep dasar yang disebut dengan imagibilitas atau kemampuan

untuk mendatangkan kesan. Imagibilitas mempunyai hubungan yang sangat erat

Page 52: UCAPAN TERIMA KASIH - sinta.unud.ac.id fileUniversitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. P.D. KEMD, yang telah memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan

11

dengan legibilitas atau kemudahan untuk dapat dipahami/dibayangkan dan dapat

diorganisir menjadi satu pola yang koheren. Imagibilitas juga dapat disebut ilmu

tentang citra atau imaji serta peran teknologi pencitraan dalam membentuknya.

Seturut dengan hal tersebut, hubungan timbal balik manusia dengan

lingkungan perkotaan merupakan proses dua arah yang konstruktif dan didukung,

baik oleh ciri sifat yang dapat memberikan image (citra) lingkungan maupun oleh

ciri sifat kegiatan dan kejiwaan manusia (Purwanto, 2001:86). Terkait dengan

masalah peta mental dalam pencitraan Kota Bangli dapat dijelaskan bahwa peta

mental merupakan proses aktif yang dilakukan oleh pengamat. Oleh karena itu,

penghayatan pengamat terhadap lingkungan perkotaan terjadi secara spontan dan

langsung. Spontanitas tersebut terjadi karena pengamat selalu menjajaki

(eksplorasi) lingkungannya dan dalam penjajakan itu pengamat melibatkan setiap

objek yang ada di lingkungannya. Selain itu, setiap objek menonjolkan sifat-

sifatnya yang khas untuk pengamat bersangkutan.

Daya cipta akibat proses penghayatan, pengamatan, dan pengenalan

lingkungan kota terbentuk atas unsur-unsur yang diperoleh dari pengalaman

langsung, apakah seseorang telah mendengar mengenai suatu tempat dan dari

informasi yang dibayangkan. Jadi, jelaslah bahwa mengapa setiap mendengar kata

Bangli, orang pertama kali selalu mengaitkannya/menghubungkannya dengan

“orang gila” (nak buduh) ataupun dengan rumah sakit jiwa-nya. Kondisi inilah

secara tidak langsung akan membentuk stigma terhadap penderita gangguan jiwa.

Menurut pendapat para ahli teori sosial budaya yang radikal, penyakit

mental tidak lebih daripada hanya mitos. Artinya, ideologi dalam mitos tersebut

Page 53: UCAPAN TERIMA KASIH - sinta.unud.ac.id fileUniversitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. P.D. KEMD, yang telah memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan

12

digunakan untuk menodai dan menundukkan orang-orang yang tingkah lakunya

menyimpang dari masyarakat. Menurut Szasz dalam Semiun (2006:270), orang-

orang yang melukai hati orang lain atau menjalankan tingkah laku yang

menyimpang dari masyarakat dilihat sebagai ancaman oleh orang-orang yang

merasa diri mapan. Ketika sebutan (labeling) “penyakit mental” digunakan, sulit

sekali menghilangkannya. Sebutan itu juga mempengaruhi bagaimana orang lain

memberikan respons kepada orang itu. Upaya memperlakukan orang-orang

sebagai “orang-orang yang menderita sakit mental” sama saja dengan

menelanjangi martabat mereka. Dengan sebutan “sakit mental”, berarti orang lain

memberikan stigmatisasi dan degradasi sosial kepada orang itu. Dengan demikian,

peluang-peluang kerja tertutup untuk mereka, persahabatan mungkin putus, dan

orang-orang yang disebut sakit mental itu makin lama makin diasingkan dari

masyarakat.

Perlakuan terhadap orang yang menderita gangguan jiwa yang semena-

mena ini biasanya ditentukan oleh persepsi dan konsepsi masyarakat atau

pemerintah terhadap gangguan jiwa. Artinya, sebuah konsepsi yang keliru tentang

gangguan jiwa pasti akan membuahkan penanganan yang keliru pula dan pada

gilirannya cara penanganan yang salah justru akan menyebabkan orang yang

mengalami gangguan jiwa malah bertambah menderita tidak dipulihkan. Stigma

telah menjadi penanda untuk pengalaman buruk mereka. Stigma berhubungan

dengan kekuasaan dan dominasi di masyarakat. Pada puncaknya, stigma akan

menciptakan ketidaksetaraan sosial. Stigma berurat akar di dalam struktur

masyarakat dan dalam norma-norma dan nilai-nilai yang mengatur kehidupan

Page 54: UCAPAN TERIMA KASIH - sinta.unud.ac.id fileUniversitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. P.D. KEMD, yang telah memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan

13

sehari-hari. Hal ini menyebabkan beberapa kelompok menjadi kurang dihargai,

merasa malu, dan terjadi penolakan sosial. Sebaliknya, kelompok lainnya merasa

superior.

Penolakan sosial (social exclusion) merupakan masalah sosial yang utama

yang dihadapi penderita gangguan jiwa. Sikap masyarakat ini muncul dalam

berbagai bentuk perilaku, seperti penolakan keberadaan penderita dalam

kehidupan sosial masyarakat; berbagai bentuk diskriminasi, baik dalam

kesempatan pendidikan, pekerjaan, maupun layanan kesehatan; berbagai bentuk

pemasungan dari bentuk “klasik”, yaitu pemasungan menggunakan balok kayu

hingga berbagai bentuk ikatan atau kurungan; dan tindak kekerasan terhadap

penderita. Masalah ini berakar dari adanya stigma dan pengetahuan yang

berkembang di masyarakat tentang gangguan jiwa (Irmansyah, 2009:45--46).

Berbagai bentuk perilaku ini akan menghambat proses pemulihan penderita dan

usaha mengembalikan penderita dalam kehidupan di tengah keluarganya dan

masyarakat.

Terkait dengan hal tersebut, penelitian ini mengkaji fenomena stigma

gangguan jiwa pada penderita gangguan jiwa di Bali. Aspek-aspek yang menarik

untuk dikaji secara lebih mendalam berkaitan dengan bentuk-bentuk stigma

gangguan jiwa, faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya stigma terhadap

penderita gangguan jiwa, dan implikasi stigma gangguan jiwa terhadap penderita

dan keluarga penderita. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami

kenyataan-kenyataan faktual dalam konteks stigma pada penderita gangguan jiwa

Page 55: UCAPAN TERIMA KASIH - sinta.unud.ac.id fileUniversitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. P.D. KEMD, yang telah memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan

14

yang mendapat perawatan (rawat inap dan rawat jalan) di Rumah Sakit Jiwa Pusat

Bangli.

Sebagaimana diketahui bahwa persoalan gangguan jiwa merupakan

masalah yang kompleks, artinya tidak hanya berkaitan dengan profesional

kesehatan jiwa, pasien, dan keluarga, tetapi juga menyangkut masalah masyarakat

yang lebih luas, terutama masalah stigma dan perlindungan terhadap harkat dan

martabat mereka. Pandangan bahwa gangguan jiwa merupakan penyakit yang

tidak dapat disembuhkan tidak hanya mendominasi di antara kalangan profesional

di bidang kesehatan mental. Pandangan serupa juga telah terbentuk sebagai sikap

komunitas terhadap penderita gangguan jiwa. Hal ini telah membentuk stigma dan

konstruksi pemahaman sosial mengenai apa yang dimaksud dan makna gangguan

jiwa.

Stigma gangguan jiwa yang ada di masyarakat terhadap penderita

gangguan jiwa secara tidak langsung menyebabkan keluarga atau masyarakat di

sekitar penderita gangguan jiwa enggan untuk memberikan penanganan yang

tepat terhadap keluarga atau tetangga mereka yang mengalami gangguan jiwa.

Oleh karena itu, tidak jarang mengakibatkan penderita gangguan jiwa yang tidak

tertangani ini melakukan perilaku kekerasan atau tindakan tidak terkontrol yang

meresahkan keluarga, masyaraka, dan lingkungan.

Dalam kaitan tersebut, masyarakat juga mempunyai peran penting dalam

penanganan penderita gangguan jiwa. Hal yang paling penting harus dipahami

masyarakat adalah penderita gangguan jiwa merupakan manusia biasa seperti

halnya penderita penyakit lain, yaitu manusia biasa yang menghadapi masalah

Page 56: UCAPAN TERIMA KASIH - sinta.unud.ac.id fileUniversitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. P.D. KEMD, yang telah memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan

15

kesehatan dan memerlukan bantuan. Sikap yang tidak mau peduli, takut,

anggapan yang keliru, memandang rendah, dan penolakan pada penderita

gangguan jiwa merupakan masalah rumit yang dilabelkan masyarakat pada

penderita gangguan jiwa. Hal inilah yang harus diubah oleh masyarakat. Perasaan

masyarakat bahwa penderita gangguan jiwa merupakan sesuatu yang mengancam

juga harus diluruskan. Tak dapat dimungkiri bahwa sikap dan penerimaan

masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa merupakan faktor yang sangat

berpengaruh terhadap penyembuhan penderita gangguan jiwa.

Stigma beroperasi layaknya penjara. Bukan penjara dalam pengertian fisik

yang mengurung narapidana, melainkan penjara dalam relasi sosial. Demikian

juga kategori-kategori abnormalitas dan menyimpang merupakan konstruksi

sosial yang telah menjadi mitos. Sebuah mitos rasionalitas yang dibangun oleh

aparat kemajuan, rezim pengetahuan, dan modernisme. Hal ini berarti bahwa

semua pihak dituntut memiliki sensitivitas dan kepekaan dalam melihat

kenyataan. Dalam hal ini apakah suatu konsep atau sistem pengetahuan tertentu

lebih humanis dan emansipatoris atau sebaliknya justru melakukan

dehumanisasi. Upaya menghilangkan stigma gangguan jiwa di masyarakat

memang tidak mudah, artinya diperlukan partisipasi semua pihak. Namun penting

selalu berusaha menurunkan stigma tersebut dengan harapan agar pada masa yang

akan datang hilang dengan sendirinya (destigmatisasi). Penanganan stigma

tersebut memerlukan pendidikan dan kemauan yang keras dari individu-individu

di masyarakat. Di samping itu, juga diperlukan keberanian yang besar untuk ikut

serta dalam penanganan tersebut.

Page 57: UCAPAN TERIMA KASIH - sinta.unud.ac.id fileUniversitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. P.D. KEMD, yang telah memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan

16

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka

permasalahan penelitian yang menarik untuk dikaji dapat diformulasikan dalam

bentuk pertanyaan, sebagai berikut.

1. Bagaimana bentuk-bentuk stigma para penderita gangguan jiwa yang

menjalani perawatan di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali?

2. Faktor-faktor apa yang memengaruhi konstruksi stigma penderita

gangguan jiwa yang menjalani perawatan di Rumah Sakit Jiwa Provinsi

Bali?

3. Bagaimana implikasi stigma gangguan jiwa terhadap penderita dan

keluarga penderita?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami

kenyataan-kenyataan faktual dalam konteks stigma terhadap penderita gangguan

jiwa yang mendapat perawatan di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali.

1.3.2 Tujuan Khusus

Secara khusus penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut.

1. Untuk mengetahui, memahami, dan menjelaskan bentuk-bentuk stigma

para penderita gangguan jiwa yang menjalani perawatan di Rumah Sakit

Jiwa Provinsi Bali.

Page 58: UCAPAN TERIMA KASIH - sinta.unud.ac.id fileUniversitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. P.D. KEMD, yang telah memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan

17

2. Untuk mengetahui, memahami, dan menjelaskan factor-faktor yang

melatarbelakangi terjadinya stigma terhadap penderita gangguan jiwa yang

menjalani perawatan di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali.

3. Untuk mengeksplorasi implikasi stigma gagguan jiwa terhadap penderita

dan keluarga penderita.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoretis

Manfaat teoretis penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Temuan penelitian ini menambah wawasan keilmuan yang holistik dan

integratif sesuai dengan kekhasan kajian budaya dengan pendekatan

multidisipliner dan teori-teori kritis yang digunakan.

2. Temuan penelitian ini menambah pengetahuan yang relatif baru mengenai

hal-hal yang terkait dengan masalah konstruksi stigma gangguan jiwa.

3. Hasil penelitian ini bermanfaat untuk dijadikan sumber inspirasi bagi

peneliti lain, terutama yang tertarik untuk mengkaji persoalan yang terkait

dengan topik yang berhubungan dengan bidang masalah stigma penderita

gangguan jiwa, perspektif, dan permasalahan yang berbeda.

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Manfaat bagi para keluarga pasien, hasil penelitian ini kiranya dapat

menjadi bahan edukasi dalam hal penatalaksanaan masalah gangguan jiwa.

Di samping itu, sebagai unit yang paling dekat dengan pasien, keluarga

pasien dapat mengerti apa kondisi yang dialami anggota keluarganya.

Page 59: UCAPAN TERIMA KASIH - sinta.unud.ac.id fileUniversitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. P.D. KEMD, yang telah memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan

18

Artinya, penanganan yang tepat dapat merawat, menjaga, dan

memperhatikan kesembuhan pasien. Hal lainnya adalah keluarga sekaligus

mampu menjaga lingkungan yang sehat secara psikologis bagi pasien.

2. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan

pemikiran dalam memperluas wawasan dan memperoleh cara pandang

yang berbeda. Di samping itu, juga sekaligus berusaha meningkatkan

pemahaman masyarakat sehingga dapat menghargai dan menerima orang

yang mengalami gangguan jiwa.

3. Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi pemerintah daerah

atau lembaga terkait lainnya dalam menentukan kebijakan sehubungan

dengan kebijakan masalah penanganan gangguan jiwa yang lebih humanis.

4. Manfaat bagi para tenaga/praktisi medis, seperti dokter, psikiater,

perawat, dan staf medis lainnya, hasil penelitian ini kiranya dapat

dijadikan bahan rujukan dalam melaksanakan asuhan keperawatan, baik

kepada pasien penderita gangguan jiwa maupun keluarga pasien,

khususnya dalam hal mengembangkan hubungan komunikasi dengan

mengedepankan bentuk komunikasi yang tidak bersifat otoritatif.