ucapan terima kasih - sinta.unud.ac.id fileuniversitas udayana, prof. dr. dr. ketut suastika, sp....
TRANSCRIPT
vii
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan syukur alhamdullilah
ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan kekuatan yang diberikan-Nya kepada
penulis sehingga tersusunlah disertasi dengan judul “Bayang-Bayang Stigma
terhadap Penderita Gangguan Jiwa: Studi di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali”.
Penelitian yang berbentuk disertasi ini tidak terlepas dari sumbangan pikiran,
bantuan materiel, dan dukungan dari berbagai pihak.
Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. A.A. Ngurah Anom Kumbara, M.A.,
yang telah bersedia menjadi promotor yang dengan penuh perhatian telah
memberikan dorongan, semangat, bimbingan, dan saran selama penulis mengikuti
program doktor, khususnya dalam penyelesaian disertasi ini. Terima kasih
sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada Prof. Dr. A.A. Bagus Wirawan,
S.U. sebagai kopromotor I, sekaligus pada saat penulis melakukan penelitian
beliau masih sebagai Ketua Program Doktor Kajian Budaya yang dengan penuh
perhatian, ketelitian, dan kesabarannya dalam memberikan bimbingan serta
mengoreksi tulisan naskah disertasi ini, yang pada akhirnya dapat diselesaikan.
Begitu juga terima kasih yang setulus-tulusnya diucapkan kepada Dr. Putu
Sukardja, M.Si., selaku kopromotor II yang dengan penuh perhatian dan
kesabarannya dalam memberikan bimbingan, petunjuk, serta tuntunan sehingga
disertasi ini dapat diselesaikan dan dapat diujikan. Semoga ketulusan dalam
viii
memberikan bimbingan menjadi amal bakti dan mendapatkan balasan dari Tuhan
Yang Maha Esa.
Ucapan yang sama juga penulis sampaikan kepada yang terhormat Rektor
Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. P.D. KEMD, yang telah
memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan studi ke
Program Doktor Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Direktur Program Pascasarjana
Universitas Udayana yang terhormat Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S (K).,
Asisten Direktur I Program Pascasarjana Universitas Udayana yang terhormat
Prof. Dr. I Made Budiarsa, M.A., Asisten Direktur II Program Pascasarjana
Universitas Udayana yang tehormat Prof. Ir. Made Sudiana Mahendra, Ph.D. atas
kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk menjadi
Karyasiswa Program Doktor Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas
Udayana. Ucapan yang sama juga penulis sampaikan kepada mantan Dekan
Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana, Prof. Dr. I Wayan Cika, M.S.
dan Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, Prof. Dr. Ni Luh Sutjiati
Beratha, M.A. atas izin dan dukungan yang diberikan kepada penulis untuk
mengikuti Program Doktor Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas
Udayana. Ucapan yang sama juga penulis sampaikan kepada yang terhormat Prof.
Dr. A. A. Bagus Wirawan, S. U. sebagai mantan Ketua Program Doktor (S3)
Kajian Budaya Universitas Udayana, dan yang terhormat Dr. Putu Sukardja, M.Si.
sebagai mantan Sekretaris Program Doktor (S3) Kajian Budaya Universitas
Udayana, atas kesempatan serta dukungan yang diberikan kepada penulis untuk
ix
menjadi Karyasiswa Program Doktor (S3) Kajian Budaya Universitas Udayana.
Ucapan terima kasih juga saya ucapkan kepada yang terhormat Prof. Dr. Phil I
Ketut Ardhana, M.A. selaku Ketua Program Studi Doktor (S3) Kajian Budaya
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana dan Dr. I Ketut Setiawan, M.Hum.
selaku Sekretaris Program Studi Doktor (S3) Kajian Budaya Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Udayana atas dukungannya selama ini. Pada kesempatan ini
penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Drs. I Nyoman Suarsana, M.Si.,
selaku mantan Ketua Program Studi Antropologi Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Udayana atas dukungannya yang diberikan selama ini.
Ucapan yang sama juga penulis sampaikan kepada anggota tim penguji
disertasi ini, yaitu Prof. Dr. A.A. Ngurah Anom Kumbara, M.A., Prof. Dr. A.A.
Bagus Wirawan, S.U., Dr. Putu Sukardja, M.Si., Prof, Dr. Ing. I Made Merta, Dr.
I Gst. Kt. Gde Arsana, M.Si., Dr. I Nyoman Dhana, M.A., Dr. Ni Luh Arjani,
M.Hum., yang telah memberikan bimbingan, masukan, saran, sanggahan, dan
koreksi sehingga disertasi ini terwujud seperti ini. Penulis juga mengucapkan
terima kasih sebesar-besarnya kepada Pemerintah Republik Indonesia c.q.
Kementerian Riset dan Teknologi Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) melalui
Tim Manajemen Program Doktor yang telah memberikan bantuan finansial dalam
bentuk BPPS sehingga meringankan beban penulis dalam menyelesaikan studi
doktor ini.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang
tulus disertai penghargaan kepada semua guru yang telah membimbing penulis,
mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Penulis ucapkan terima kasih
x
juga kepada para staf pengajar pada Program Doktor Kajian Budaya Universitas
Udayana yang telah membimbing penulis selama mengikuti kuliah, yaitu Prof. Dr.
Wayan Ardika, M.A., Prof. Dr. Anak Agung Gde Putra Agung, S.U., Prof. Dr. I
Gde Semadi Astra, Prof. Dr. I Gede Widja, Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja,
M.A., Prof. Dr. Shri Hedy Ahimsa Putra, M.A., Prof. Dr. Weda Kusuma, M.S.,
Prof. Dr. I Wayan Dibia, S.S.T., M.A., Prof. Dr. Irwan Abdullah, Dr. I Gede
Mudana, M.Si., Prof. Dr. I Ketut Mertha, S.H., M.H., Prof. Dr. Drs. Ida Bagus
Putra Yadnya, M.A., atas segala alih ilmu selama perkuliahan dan dedikasi yang
diberikan selama penulis mengikuti perkuliahan Program Doktor. Semoga ilmu
yang diberikan menjadi amal baik dan mendapat imbalan dari Tuhan Yang Maha
Esa.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada staf pegawai Program
Doktor (S3) Kajian Budaya Universitas Udayana, yakni Putu Sukaryawan, S.T.,
Dra. Ni Luh Witari, Ni Nyoman Ariyati, S.E., Cok Istri Murniati, S.E., Ni
Komang Juli Artini, A.A. Ayu Indrawati, I Nyoman Chandra, Putu Hendrawan,
dan Ketut Budi Astra, yang telah memberikan bantuan berkaitan dengan masalah
administrasi dan keakraban yang terjalin selama mengikuti studi.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh informan,
yaitu dr. Gede Bagus Darmayasa. M.Repro., selaku Direktur Rumah Sakit Jiwa
Provinsi Bali, Kabid Pelayanan Medik dan sekaligus sebagai psikiater, dr. I Dewa
Gde Basudewa, Sp.K.J., Kapoli Psikologi Bapak Mad Basri, Ibu Diana Setiawati
selaku psikolog di RSJ, Bapak Ida Bagus Gede Banuwangsa selaku Kepala Unit
Rehabilitasi, Bapak Wayan Sutha selaku Wakil Kepala Ruang Rehabilitasi, Putu
xi
Diah seorang perawat jiwa, Ida Ayu Eka Yuliati, Ibu Yunita yang juga sebagai
perawat jiwa, Bapak Sukenada selaku Kasi Keswa (Kepala Seksi Kesehatan Jiwa)
RSJ, para keluarga pasien serta para pasien sendiri dengan segala kesahajaannya
yang telah memberikan informasi yang berharga pada penulis. Di samping itu,
juga informan lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu, penulis
mengucapkan terima kasih atas data dan informasi yang lengkap yang diberikan
dalam rangka penyelesaian disertasi ini. Selanjutnya kepada para pustakawan di
berbagai perpustakaan juga diucapkan banyak terima kasih, di antaranya
pustakawan di Perpustakaan Pascasarjana Universitas Udayana, Perpustakaan
Program Kajian Budaya, Perpustakaan Program Studi Antropologi Universitas
Udayana, Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya, Perpustakaan Universitas
Udayana, Perpustakaan Program Studi Antropologi Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada, dan Perpustakaan Pascasarjana Universitas Gadjah
Mada. Di samping itu, juga pustaka-pustaka milik pribadi para dosen serta kawan-
kawan dengan tidak mengurangi rasa hormat, yang tidak dapat saya sebutkan satu
per satu yang sangat membantu dalam mendapatkan data yang sangat diperlukan.
Dalam kesempatan ini penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih yang
setulus-tulusnya kepada teman-teman seperjuangan di Program Pascasarjana (S3)
Kajian Budaya Universitas Udayana angkatan tahun 2012/2013 yang selalu setia
bersama dalam berdiskusi, baik di kelas maupun di luar kelas, terima kasih atas
kerja sama, simpati, dan persahabatan kita yang berkesan dan amat
menyenangkan.
xii
Terima kasih yang tulus penulis juga sampaikan kepada kedua orang tua,
ibunda tercinta (almarhumah) Hj. Yekti Palupi, S.Pd. yang telah mengasuh dan
membesarkan penulis dengan penuh kasih sayang, yang telah berpulang ke
Rakhmatullah pada 10 Januari 2016 dan ayahanda tercinta Letkol Cin (Purn) H.
Soedharwinto, sembah sujud ananda dan terima kasih atas doa restu dan
perhatiannya. Ucapan yang sama penulis sampaikan kepada kedua mertua,
(almarhum) Kol. Czi. (Purn) Drs. H. Soetiman dan Hj. Endiyanti Fath yang tidak
henti-hentinya berdoa untuk kesuksesan dan keselamatan penulis dalam studi.
Kepada kakanda Ir. Tatag Setiawan, Kanti Telitianawati, S.H., dan kedua kakak
ipar Buyamin Maulana Mansyur, S.H., Dian Trizidiany, S. Psi., yang senantiasa
memberikan dorongan morel dan bantuan materiel untuk kelangsungan studi ini.
Di dalam mengikuti Pendidikan Program Doktor (S3) terasa sangat menyita
waktu, tenaga, pikiran, dan biaya yang tentunya tidak sedikit. Kemesraan keluarga
yang tentunya sangat dibutuhkan istri dan anak terasa terabaikan untuk sementara.
Untuk itu, ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya disampaikan kepada istri
tercinta, Happy Puspita Windarmani, S.Sos. yang selalu setia, sabar, dan penuh
perhatian juga berperan ganda sebagai bapak dari anak kami satu-satunya, yaitu
Maharani Noor Almira Windaryani (16 tahun) yang tersayang, sekali lagi
diucapkan terima kasih atas doa, perhatian, cinta, semangat, dan dengan penuh
pengorbanan yang selalu diberikan untuk memotivasi penulis. Di samping itu,
juga telah memberikan kesempatan untuk lebih berkonsentrasi menyelesaikan
disertasi ini. Semoga Allah SWT selalu memberikan rahmat dan berkah-Nya
kepada kita semua.
xiii
Kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebut namanya satu per satu
juga disampaikan terima kasih atas dorongan dan bantuan yang diberikan selama
mengadakan kegiatan penelitian. Masih banyak orang yang berjasa, terima kasih
atas semuanya karena sekecil apa pun andil yang diberikan, itu semua sangat
bemakna, tidak hanya untuk disertasi ini, tetapi juga ada bagian dari kehidupan
yang lain. Penulis menyadari bahwa apa yang penulis lakukan belumlah
sempurna. Untuk itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun
kepada semua pihak demi kesempurnaan disertasi ini.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati penulis persembahkan tulisan ini
sebagai tambahan ilmu pengetahuan bagi yang membutuhkan, semoga bermanfaat
dan terima kasih. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan
berkah-Nya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan kepada penulis
selama penyelesaian disertasi ini.
Denpasar, Februari 2017
Penulis,
Bambang Dharwiyanto Putro
xiv
xv
ABSTRAK
Konstruksi stigmatisasi sosial budaya atas pemahaman masalah gangguanjiwa menarik diteliti khususnya pada penderita gangguan jiwa yang mendapatperawatan di rumah sakit jiwa. Perilaku perawatan medis/profesional (rumah sakitjiwa) yang dijalani penderita gangguan jiwa ternyata telah melahirkan label sakitdan stereotip yang membayanginya beserta status baru penderita di tengah kuasakontrol masyarakat. Implikasinya terjadi proses stigmatisasi dan kuasa kontrolrezim sosial masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa dan keluarganya secaraluas di masyarakat. Dengan menerapkan sudut pandang kajian budaya, yaknikeberpihakan kepada yang tertindas, penelitian ini difokuskan pada kajian tentang(1) bagaimanakah bentuk-bentuk stigma para penderita gangguan jiwa yangmenjalani perawatan di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali; (2) faktor-faktor apakahyang memengaruhi konstruksi stigma penderita gangguan jiwa yang menjalaniperawatan di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali; dan (3) bagaimanakah implikasistigma gangguan jiwa terhadap penderita dan keluarga penderita.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami bentuk danfaktor-faktor terjadinya stigma penderita gangguan jiwa yang menjalaniperawatan di RS Jiwa Provinsi Bali beserta implikasinya bagi penderita dankeluarganya dengan pendekatan interdidipliner. Metode penelitian yangdigunakan, yaitu observasi, wawancara mendalam, pengumpulan data secara lifehistory, dan studi dokumen. Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptifkualitatif dan interpretative dengan menggunakan beberapa teori kritis yangrelevan, seperti teori wacana, dekonstruksi, hegemoni serta ditunjang denganorientasi teori explanatory model dan health belief model.
Hasil temuan penelitian ini dipilah menjadi tiga bagian. Pertama, bentuk-bentuk stigma penderita gangguan jiwa yang menjalani perawatan di Rumah SakitJiwa Provinsi Bali terbagi atas dua hal, yakni public stigma (stigma berasal darimasyarakat) dan self stigma (stigma berasal dari penderita dan keluarganyasendiri). Bentuk-bentuk public stigma yang ditemukan, antara lain penolakan,pengucilan, dan kekerasan. Adapun bentuk-bentuk self stigma yang ditemukan,antara lain prasangka buruk, merasa bersalah, ketakutan dan kemarahan.
Kedua, faktor yang melatarbelakangi terjadinya stigma penderitagangguan jiwa tidak terlepas dari adanya faktor eksternal dan faktor internal.Faktor-faktor eksternal, antara lain kegilaan adalah aib, mitos tentang gangguanjiwa, dan kepercayaan masyarakat mengenai peran dukun. Sebaliknya, faktorinternal, yakni pengetahuan keluarga terhadap etiologi gangguan jiwa, tidakadanya dukungan keluarga, dan perasaan malu.
Ketiga, implikasi stigma gangguan jiwa terhadap penderita, antara lainpengabaian pengobatan secara cepat dan tepat, praktik pengucilan sosial,ketidakberdayaan, dan diskriminasi. Implikasi stigma gangguan jiwa terhadapkeluarga penderita, antara lain keputusan pilihan perawatan dan pengobatan yangdijalani terbagi atas praktik perilaku pilihan perawatan tradisional (perilakuperawatan rumah tangga dan dukun), praktik pengobatan modern/profesional,kelelahan dan keputusasaan serta munculnya strategi koping dalam balutanresiliensi keluarga penderita sebagai bentuk usaha menekan/mengurangi stigma(upaya destigmatisasi).
Kata kunci: stigma, gangguan jiwa, rumah sakit jiwa, public stigma, self stigma
xvi
ABSTRACT
The construction of sociocultural stigmatization on the understanding ofthe psychiatric problem is interesting, especially in the mental patients who gettreatment in the mental hospital. Behavior of medical care / professional (mentalhospital) undertaken sufferer of mental disorder have been born of label pain andstereotypes that shadow it along with new status of patient in the middle of powercontrol society. The implications of the process of stigmatization and powercontrol of the social regime of society to people with mental disorders and theirfamilies widely in the community. By applying the point of view of culturalstudies, ie, alignment to the oppressed, this study focuses on the study of (1) howare the stigma forms of mental disorders undergoing treatment at Bali ProvinceMental Hospital; (2) what factors affect the construction of the stigma of mentaldisorders undergoing treatment at Bali Province Mental Hospital; And (3) what isthe implication of stigma of mental disorder to patient and patient's family.
This study aims to determine and understand the forms and factors of thestigma of mental disorders who undergoing treatment at RS Jiwa Bali Provinceand its implications for patients and their families with interdidipliner approach.Research methods used, namely observation, in-depth interviews, life history datacollection, and document studies. The collected data is analyzed descriptivelyqualitative and interpretative by using some relevant critical theory, such asdiscourse theory, deconstruction, hegemony and supported by orientation ofexplanatory model theory and health belief model.
The findings of this study were divided into three sections. First, thestigmatized forms of mental disorders undergoing treatment at the MentalHospital of Bali Province are divided into two things, namely public stigma(stigma derived from society) and self stigma (stigma comes from the sufferer andhis own family). Public forms of stigma found, among others, rejection, exclusion,and violence. The forms of self-stigma found, among others, prejudice, feel guilty,fear and anger.
Second, the factors behind the stigma of people with mental disorders cannot be separated from the existence of external factors and internal factors.External factors, among other madness are disgrace, myths about mentaldisorders, and public beliefs about the role of shamans. In contrast, internalfactors, ie family knowledge of the etiology of mental disorders, lack of familysupport, and feelings of shame.
Third, the stigma implications of mental disorders of the sufferer, amongothers, the neglect of treatment quickly and precisely, the practice of socialexclusion, helplessness, and discrimination. Implications of the stigma of mentalillness to the family of the patient, among others, the decision of treatments andtreatment followed, divided over the practice of behavioral selection of traditionaltreatments (the behavior of home remedies and shaman), modern medicalpractices/professional, burn-out and despair as well as the emergence of copingstrategies in her patients family resilience as establishment suppress / reducestigma (destigmatisasi effort).
Keywords: stigma, mental disorders, mental hospitals, public stigma, self stigma
xvii
xviii
RINGKASAN
Proses globalisasi dan pesatnya kemajuan teknologi informasi
memberikan dampak terhadap nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat.
Sementara tidak semua orang mempunyai kemampuan yang sama untuk
menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan tersebut. Akibatnya, saat ini
gangguan jiwa telah menjadi masalah kesehatan global. Lebih dari 450 juta
penduduk dunia hidup dengan gangguan jiwa. Secara global angka kekambuhan
pada pasien gangguan jiwa ini mencapai 50% hingga 92% yang disebabkan oleh
ketidakpatuhan dalam berobat atau karena kurangnya dukungan dan kondisi
kehidupan yang rentan dengan meningkatnya stres.
Masih banyak orang beranggapan bahwa penyakit jiwa merupakan satu
noda atau merupakan akibat dari dosa-dosa yang diperbuat manusia sehingga
masyarakat menanggapi para penderita dengan rasa takut dan bersikap
menghindar. Sikap yang keliru tersebut berimplikasi pada program yang
umumnya belum mengenai sasaran kesehatan mental bagi rakyat pada umumnya
dan belum mendapatkan tanggapan yang baik. Para penderita sendiri banyak yang
takut dan tidak suka menjalani pemeriksaan oleh dokter atau seorang psikiater dan
psikolog. Mereka menjadi marah, sangat tersinggung jika diperiksa atau
menganggap bahwa dirinya tidak sakit dan sehat jiwanya. Pasien penderita
gangguan jiwa, baik yang masih berada dalam perawatan di rumah sakit jiwa
maupun yang sudah kembali ke masyarakat, tetap saja mendapatkan suatu
perlakuan yang diskriminatif dari lingkungan tempat dia berada. Hal itu terjadi
karena identitas mereka telah berubah bersamaan dengan diagnosis dokter, yakni
identitas diri sebagai individu yang berbahaya. Berbagai bentuk kesalahan sikap
masyarakat dalam merespons kehadiran penderita gangguan jiwa terjadi akibat
konstruksi pola berpikir yang salah dan ketidaktahuan publik. Seseorang dengan
gangguan jiwa umumnya berhadapan dengan stigma, diskriminasi, dan
marginalisasi. Adanya stigma menyebabkan keluarga merasa malu dan
masyarakat pun takut terhadap penderita gangguan jiwa. Implikasinya masyarakat
akan mengucilkan penderita dari lingkungan sosialnya, menunda pengobatan,
xix
memperbesar penderitaan, memperlambat proses penyembuhan, dan menghambat
kembali penderita ke masyarakat.
Stigma berurat berakar di dalam struktur masyarakat juga dalam norma-
norma dan nilai-nilai yang mengatur kehidupan sehari-hari. Hal ini menyebabkan
beberapa kelompok menjadi kurang dihargai, merasa malu, dan terjadinya
penolakan sosial, sedangkan kelompok lainnya merasa superior. Masalah ini
berakar dari adanya stigma dan pengetahuan yang berkembang di masyarakat
tentang gangguan jiwa. Stigma menyebabkan keluarga penderita tidak mencari
pengobatan yang sangat dibutuhkan oleh anggota keluarganya yang sakit atau
penderita akan mendapatkan pelayanan yang bermutu rendah. Di sisi lain stigma
berhubungan dengan kekuasaan kontrol sosial masyarakat dan dominasi rezim
otoritas medis rumah sakit jiwa. Bertolak dari kenyataan tersebut, rumusan
masalah penelitian ini adalah (1) bagaimanakah bentuk-bentuk stigma para
penderita gangguan jiwa yang menjalani perawatan di Rumah Sakit Jiwa Provinsi
Bali; (2) faktor-faktor apakah yang memengaruhi konstruksi stigma penderita
gangguan jiwa yang menjalani perawatan di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali; dan
(3) bagaimanakah implikasi stigma gangguan jiwa terhadap penderita dan
keluarga penderita.
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami
kenyataan-kenyataan faktual dalam konteks stigma terhadap penderita gangguan
jiwa yang mendapat perawatan di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali. Hal itu penting
karena terbungkus dalam balutan tercapainya normalisasi bagi perawatan pasien
penderita ganggguan jiwa di rumah sakit jiwa. Sebenarnya kehidupan yang
normal dan seimbang (ekuilibrium) yang ditemukan setiap hari dalam
memandang dunia harus menjadi tolak pikir utama untuk berpikir kritis karena di
balik itu terdapat relasi-relasi kekuasaan yang tersebar demi kepentingan
segelintir orang. Tujuan khusus penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui,
memahami, dan menjelaskan bentuk-bentuk stigma para penderita gangguan jiwa
yang menjalani perawatan di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali; (2) untuk
mengetahui, memahami, dan menjelaskan beberapa faktor yang melatarbelakangi
terjadinya stigma terhadap penderita gangguan jiwa yang menjalani perawatan di
xx
Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali; dan (3) untuk mengeksplorasi implikasi stigma
gagguan jiwa terhadap penderita dan keluarga penderita.
Secara teoretis penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat sebagai
berikut. Pertama, temuan penelitian ini menambah wawasan keilmuan yang
holistik dan integratif sesuai dengan kekhasan kajian budaya dengan pendekatan
interdisipliner dan teori-teori kritis yang digunakan. Kedua, temuan penelitian ini
menambah pengetahuan yang relatif baru mengenai hal-hal yang terkait dengan
masalah konstruksi stigma gangguan jiwa. Ketiga, hasil penelitian ini bermanfaat
untuk dijadikan sumber inspirasi bagi peneliti lain, terutama yang tertarik untuk
mengkaji persoalan yang terkait dengan topik yang berhubungan dengan bidang
masalah stigma penderita gangguan jiwa, perspektif, dan permasalahan yang
berbeda.
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan mafaat
kepada pihak terkait, yaitu sebagai berikut. Pertama, para keluarga pasien, kiranya
dapat menjadi bahan edukasi dalam hal penatalaksanaan masalah gangguan jiwa.
Di samping itu, sebagai unit yang paling dekat dengan pasien dapat mengerti
kondisi yang dialami anggota keluarganya dan dengan penanganan yang tepat
dapat merawat, menjaga, dan memperhatikan kesembuhan pasien. Hal lainnya
adalah keluarga mampu menjaga lingkungan yang sehat secara psikologis bagi
pasien. Kedua, secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan
pemikiran dalam memperluas wawasan serta memperoleh cara pandang yang
berbeda. Selain itu, juga berusaha meningkatkan pemahaman masyarakat
sehingga masyarakat dapat menghargai dan menerima orang yang mengalami
gangguan jiwa. Ketiga, penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi
pemerintah daerah atau lembaga terkait lainnya dalam menentukan kebijakan
sehubungan dengan kebijakan masalah penanganan gangguan jiwa yang lebih
humanis. Keempat, bagi para tenaga/praktisi medis, seperti dokter, psikiater,
perawat, dan staf medis lainnya kiranya dapat dijadikan bahan rujukan dalam
melaksanakan asuhan keperawatan baik kepada pasien penderita gangguan jiwa
maupun keluarga pasien, khususnya dalam hal mengembangkan hubungan
xxi
komunikasi dengan mengedepankan bentuk komunikasi yang tidak bersifat
otoritatif.
Landasan teori digunakan secara eklektik. Artinya, dalam penelitian ini
merupakan landasan berpikir kritis yang mengacu pada beberapa teori, yaitu teori
wacana, dekonstruksi, dan hegemoni serta ditunjang orientasi teori explanatory
model dan health belief model. Secara metodologis, penelitian ini dirancang
menggunakan pendekatan kualitatif dan holistik. Adapun pelaksanaannya
dilakukan pada unit research, yakni keluarga pasien dan pasien sendiri secara
langsung yang menjalani perawatan di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali.
Pemilihan informan dilakukan berdasarkan kriteria dan atau kategori
tertentu secara purposif, yaitu memilih dengan sengaja orang-orang yang
dianggap memiliki pengetahuan dan pengalaman yang memadai terkait dengan
permasalahan penelitian. Langkah awal yang dilakukan adalah mencari informan
kunci. Kriteria penentuan informan kunci ini pada dasarnya tidak bersifat
kuantitatif, tetapi didasarkan kecukupan data dari para informan yang dipilih.
Mereka yang dianggap paling kompeten dalam hal ini, antara lain Direktur Rumah
Sakit Jiwa Provinsi Bali, psikolog di bagian resosialisasi pasien, psikiater, perawat
jiwa sekaligus petugas bangsal, Kepala dan Wakil Unit Rehabilitasi serta Ketua
Ikatan Perawat Kesehatan Jiwa Daerah Bali. Selanjutnya informan kunci ini juga
diminta sarannya tentang informan lainnya (melalui teknik snowball).
Selanjutnya, selain informan kunci juga dipilih informan dari para pasien
dan keluarga pasien yang salah satu anggota keluaraganya pernah/sedang
mengalami gangguan jiwa dan mendapat perawatan di Rumah Sakit Jiwa Pusat
Bangli. Informan penunjang lainnya adalah anggota masyarakat. Penunjukan
informan diakhiri jika ada indikasi bahwa tidak terjadi lagi variasi informasi atau
dengan kata lain bahwa kategori data telah jenuh. Pada akhirnya diharapkan dari
para informan yang telah ditunjuk tersebut diperoleh informasi yang
komprehensif dengan tingkat variasi yang proporsional. Jenis data yang
digunakan meliputi data kualitatif dan data kuantitatif yang digali pada sumber
data primer dan sekunder. Instrumen penelitian adalah peneliti sendiri dilengkapi
pedoman wawancara, kamera, dan alat tulis. Teknik pengumpulan data dilakukan
xxii
dengan observasi, wawancara mendalam, pengalaman hidup (life history), dan
studi dokumen. Data dianalisis dengan teknik deskriptif, interpretatif. Adapun
hasilnya disajikan secara formal dan informal.
Hasil penelitian menunjukkan tiga hal. Pertama, bentuk-bentuk stigma
(label/cap) pada penderita gangguan jiwa terbagi atas dua hal, yakni public stigma
(stigma berasal dari masyarakat) dan self stigma (stigma berasal dari penderita
dan keluarganya sendiri). Bentuk-bentuk public stigma yang ditemukan antara
lain penolakan, pengucilan, dan kekerasan. Adapun bentuk-bentuk self stigma
antara lain prasangka buruk, merasa bersalah, serta ketakutan dan kemarahan.
Akibatnya, golongan yang berkuasa (dalam hal ini masyarakat dan rumah sakit
jiwa) cenderung memberikan label/cap kepada golongan yang lemah (penderita
gangguan jiwa) sebagai yang menyimpang (deviant). Pelabelan mempunyai akibat
positif bagi pihak yang memberikan label, yaitu memperkuat tata sosial dan
stabilitas sosial. Hal tersebut benar hanya terbatas pada dua alasan, yaitu di satu
sisi karena pihak yang mengecap ada pada posisi yang kuat, sedangkan yang
dicap pada posisi yang lemah. Di sisi yang lain dengan menghukum yang lemah,
pihak yang kuat tidak akan melakukan deviasi seperti pihak yang lemah. Akan
tetapi, hal itu tidak berarti bahwa pihak yang berkuasa tidak akan melakukan
deviasi. Mereka melakukan deviasi yang lebih canggih dan tersamar dalam mesin
kontrol sosial dan normalisasi. Hal ini disebabkan oleh perhatian masyarakat
tertuju kepada deviasi golongan yang lemah, yaitu para penderita gangguan jiwa.
Kedua, faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya stigma para penderita
gangguan jiwa terbagi atas dua faktor, yakni faktor eksternal dan faktor internal.
Faktor eksternal, yaitu bahwa sampai saat ini penyakit jiwa masih dianggap
sebagai “aib”, penyakit yang memalukan bagi penderita dan keluarganya.
Keluarga cenderung berusaha menutup-nutupi jika ada anggota keluarganya yang
menderita gangguan jiwa sehingga kondisi penderita semakin memburuk. Stigma
yang terjadi tidak terlepas pula dari latar belakang mitos yang beredar di
masyarakat tentang gangguan jiwa. Hal itu berakibat pada pilihan perawatan dan
kepercayaan keluarga pasien terhadap peran dukun (balian) dibandingkan
langsung membawa anggota keluarga mereka ke rumah sakit jiwa. Label/cap
xxiii
“orang gila” sangat lekat dengan setting kuasa RS jiwa bersama aparatus
medisnya yang berpotensi besar mengukuhkan identitas baru bagi pasien sebagai
individu yang mengidap sakit jiwa dan sangat berbahaya. Hal itu akan sangat
berbeda jika penderita berada dalam penanganan seorang dukun (balian).
Sebaliknya, faktor internal, yaitu ketidaktahuan keluarga terkait dengan penyebab
(etiologi) gangguan jiwa. Artinya, pengetahuan keluarga tentang gangguan jiwa
masih kurang. Padahal, di sisi lain keluarga mempunyai tugas untuk membuat
keputusan tindakan kesehatan yang tepat bagi anggota keluarga yang sakit. Hal
tersebut berimplikasi terhadap perlakuan tidak adil yang diterima para penderita
gangguan jiwa (praktik pemasungan). Stigma yang diproduksi oleh masyarakat
secara terus-menerus terhadap penderita gangguan jiwa secara tidak langsung
menyebabkan keluarga atau masyarakat di sekitar penderita gangguan jiwa
enggan untuk memberikan penanganan yang tepat terhadap anggota keluarga
mereka yang mengalami gangguan jiwa. Oleh karena itu, tidak jarang
mengakibatkan penderita gangguan jiwa yang tidak tertangani ini mengalami
sekaligus melakukan perilaku kekerasan atau tindakan tidak terkontrol yang
meresahkan, baik diri, keluarga, maupun masyarakat sekitar. Munculnya perasaan
malu pada keluarga pasien juga turut menyebabkan keluarga penderita gangguan
jiwa menutup diri dari lingkungan. Hal ini mengakibatkan proses pengobatan
yang terlambat yang dapat memperparah keadaan gangguan jiwanya.
Ketiga, implikasi stigma gangguan jiwa terhadap penderita dan keluarga
penderita. Implikasi stigma gangguan jiwa terhadap penderita adalah sebagai
berikut. Implikasi pertama, pengabaian tindakan pengobatan secara cepat dan
tepat. Hal itu tidak jarang menyebabkan penderita melakukan perilaku kekerasan
atau tindakan tidak terkontrol yang meresahkan keluarga, masyarakat, serta
lingkungan sebagai sosok yang berbahaya dan harus dijauhi. Konstruksi
stigmatisasi tersebut berpengaruh pada kondisi psikologis penderita gangguan
jiwa itu sendiri. Artinya, penderita mengembangkan sikap pengingkaran untuk
mau menerima ataupun mengakui bahwa dirinya mengalami sakit gangguan jiwa.
Implikasinya pertolongan yang sekiranya dapat dilakukan secara dini terhadap
penderita menjadi terlambat. Implikasi kedua, dalam hal pengucilan sosial,
xxiv
stigmatisasi yang diberikan masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa (social
labeling) dan pengawasan sosial (social control) yang menginstitusionalisasi para
penderita gangguan jiwa dalam lingkaran pengawasan penuh instalasi kekuasaan
rumah sakit jiwa merupakan akibat situasi ketegangan antara disiplin kuasa
governmentality masyarakat terhadap individu penderita gangguan jiwa. Hal itu
berarti bahwa di dalamnya bersemayam rezim governmentality yang
menghubungkan diri penderita dengan situasi pengasingan dan pengucilan sosial
penderita dalam balutan wajah regulasi sosial yang berlaku di masyarakat.
Implikasi ketiga, dalam ketidakberdayaan, pasien wajib patuh dan tunduk (pasrah)
kepada segala aturan yang sudah tersematkan. Kedudukan para pasien penderita
gangguan jiwa tidak berkuasa atas dirinya sendiri dalam kondisi posisi yang
lemah dan tidak berdaya di hadapan para aparatus medis pemegang kuasa rumah
sakit jiwa. Implikasi keempat, diskriminasi terhadap para penderita gangguan jiwa
merupakan suatu bentuk penjabaran dari hegemoni kekuasaan dan dominasi
otoritas aparatus sosial (kelompok, komunitas, masyarakat) dan otoritas aparatus
medis/kesehatan (dokter, psikiater, perawat) yang melahirkan kesenjangan sosial
dan kesenjangan identitas.
Implikasi stigma gangguan jiwa terhadap keluarga penderita yang turut
memengaruhi, antara lain sebagai berikut. Pertama, keputusan pilihan perawatan
dan pengobatan yang dijalani terbagi dalam perilaku perawatan tradisional
(pilihan perawatan rumah tangga dan pilihan perawatan kedukunan) dan perilaku
perawatan profesional atau modern (puskesmas, rumah sakit umum, psikiater,
rumah sakit jiwa). Perilaku perawatan rumah tangga (home remedies) yang
dijalani keluarga pasien merupakan tindakan pertama yang dilakukan untuk
mengatasi penyakit yang dipandangnya sebagai self medication (berobat sendiri).
Alasannya adalah sebagai usaha yang bersifat coba-coba dan pertolongan yang
bersifat sementara. Perilaku perawatan kedukunan dipilih keluarga pasien dengan
penilaian bahwa sakit yang diderita “bukan sakit biasa” atau bersifat niskala
(personalistik), yang tidak dapat diatasi atau disembuhkan oleh mereka sendiri. Di
pihak lain perilaku perawatan profesional/modern dipilih berdasarkan beberapa
alasan. Adapun alasan yang dimaksud, yaitu kegagalan/tidak adanya kemajuan
xxv
pada pengobatan yang dilakukan balian, kondisi pasien sendiri yang meresahkan
anggota keluarga dan diri pasien sendiri, baru memahami bahwa di RSJ akan
ditangani para ahli, percaya bahwa “sakit balinya” sudah hilang, dan alasan
menyembuhkan sakit medisnya saja. Pasien jiwa lebih cenderung hanya sebagai
objek perawatan kesehatan semata. Salah satu implikasi yang mungkin timbul
adalah proses pengobatan yang sifatnya bolak-balik. Pada akhirnya pasien
kembali menjadikan dirinya tidak berkuasa terhadap dirinya sendiri. Artinya,
terlemah dan tak berdaya dalam menjalani hari-hari rutinitas penghuni RS jiwa
sebagai institusi total yang memungkinkan terciptanya tata aturan baru. Di
samping itu, juga pola hubungan baru yang dibuat sedemikian rupa dan diatur atas
nama otoritas dan kepentingan umum masyarakat dengan berlindung dalam
mekanisme disiplin keamanan, ketenteraman, dan keseimbangan.
Kedua, terjadinya kelelahan (burn-out) dan keputusasaan keluarga. Hal
tersebut terjadi karena terkurasnya energi untuk menghadapi stres yang dialami
terus-menerus dalam rentang perjalanan perawatan pasien. Kurangnya pegetahuan
dan dukungan keluarga dalam merawat pasien di rumah menyebabkan
kekambuhan atau relaps (kembalinya suatu penyakit setelah tampak mereda).
Pada akhirnya pasien kembali menjalani pengobatan dan perawatan di RS jiwa
yang menyebabkan keputusasaan keluarga pasien.
Ketiga, strategi koping dalam balutan resiliensi keluarga penderita.
Keluarga pasien membiarkan diri mereka merasakan kekecewaan, kemarahan,
kesedihan, tekanan, kehilangan, penyesalan, dan kebingungan, tetapi tidak
membiarkan perasaan-perasaan tersebut bertahan lama dalam diri mereka. Koping
merupakan bagian dari resiliensi. Resiliensi merupakan kemampuan atau
kapasitas insani yang dimiliki keluarga pasien untuk menghadapi, mencegah,
meminimalkan, bahkan menghilangkan dampak-dampak yang merugikan dari
kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan atau mengubah kondisi yang
menyengsarakan menjadi kondisi menerima kenyataan untuk diatasi.
Di antara hasil penelitian ini, ada beberapa hal yang merupakan temuan
baru. Adapun temuan baru yang dimaksud adalah sebagai berikut. Pertama,
rumah sakit jiwa alih-alih sebagai katup penyelamat dari kondisi sakit pasien,
xxvi
justru memperkuat konstruksi stigmatisasi pasien di masyarakat melalui kuasa
disiplinnya. Kedua, perawatan kesehatan di rumah sakit jiwa berpotensi besar
mengukuhkan identitas baru bagi individu bersangkutan sebagai individu yang
mengidap sakit jiwa dan berbahaya terhadap lingkungannya. Ketiga, penderita
merasa lebih sulit lepas dari stigma daripada gangguan jiwa itu sendiri. Mereka
menjadi korban objek justifikasi ketidakwarasan dalam terminologi masyarakat.
Keempat, dalam praktik kuasa otoritas perawatan pasien di RS jiwa ditemukan
adanya pemisahan hubungan interaksi antara dokter dan pasien. Artinya, yang
menjadi objek pengobatan di RS jiwa adalah pasien, bukan sakit pasien yang
menjadi objek pengobatan yang dijalankan dokter. Hal itu menjadikan pasien
tidak kuasa sedikit pun, baik atas dirinya sendiri maupun dalam segala bentuk
aktivitasnya. Kelima, konsep “menjadi pasien RSJ” dan “bekas pasien RSJ” tidak
berpengaruh besar terhadap perubahan sikap dan penilaian masyarakat terhadap
pencitraan diri penderita gangguan jiwa. Bekas penderita gangguan jiwa tetap
“terlabelisasi” sebagai musuh sosial yang harus dihindari. Keenam, stigmatisasi
yang diberikan masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa (social labeling)
dan pengawasan sosial (social control) yang menginstitusionalisasi para
penderita gangguan jiwa dalam lingkaran pengawasan penuh instalasi kekuasaan
rumah sakit jiwa merupakan akibat situasi ketegangan antara disiplin kuasa
governmentality masyarakat terhadap individu penderita gangguan jiwa. Di
dalamnya bersemayam rezim governmentality yang menghubungkan diri
penderita dengan situasi pengasingan dan pengucilan sosial penderita dalam
balutan wajah regulasi sosial yang berlaku di masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diajukan beberapa saran atau
rekomendasi sebagai berikut.
Pertama, perlu adanya peningkatan kerja sama berbagai pihak, seperti
Dinas Kesehatan, pihak rumah sakit jiwa (pastisipasi psikiater, psikolog, perawat),
puskesmas, pemuka agama, dan pihak keluarga pasien. Di samping itu, testimoni
langsung pasien yang telah sembuh untuk menyampaikan segala informasi
kesehatan jiwa dan masalah gangguan jiwa kepada masyarakat sebagai upaya
meminimalisasi stigma yang ada (upaya destigmatisasi).
xxvii
Kedua, rumah sakit jiwa diharapkan dapat lebih meningkatkan dan
mengembangkan lagi sosialisasi program-program pascaperawatan yang lebih
bersifat terbuka dalam hubungan relasi yang bersifat intersubjektivitas, baik antara
pihak rumah sakit dan pasien beserta keluarga pasien maupun masyarakat. Hal itu
dilakukan dengan mengadakan kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk
mengembalikan keberfungsian sosial pasien pascaperawatan. Selain itu, juga
sosialisasi kepada keluarga pasien untuk mengembangkan pengetahuan dan
memperoleh informasi yang banyak mengenai penanganan dan perawatan pada
pasien pascaperawatan.
Ketiga, dalam melaksanakan asuhan keperawatan kepada keluarga yang
salah seorang anggotanya mengalami gangguan jiwa, para perawat hendaknya
memperhatikan masalah pengetahuan keluarga pasien dalam merawat anggota
keluarganya. Hal tersebut dilakukan dengan memberikan pendidikan kesehatan
(psikoedukasi) menggunakan “bahasa” yang dapat dimengerti oleh keluarga
pasien. Di samping itu, juga mengembangkan hubungan komunikasi yang tidak
bersifat otoritatif.
Keempat, dalam mendapat edukasi tentang penyakit gangguan jiwa dan
sebagai unit yang paling dekat dengan pasien, keluarga pasien diharapkan
mengerti apa kondisi yang dialami anggota keluarganya. Selain itu, dengan
penanganan yang tepat dapat merawat, menjaga, dan memperhatikan kesembuhan
pasien. Oleh karena itu, sebaiknya keluarga menjadi support-group utama bagi
pasien.
Kelima, pasien gangguan jiwa pascaperawatan di rumah sakit jiwa,
hendaknya meningkatkan kepatuhannya dalam minum obat dan rutin melakukan
kontrol. Di samping itu, juga melakukan aktivitas dan interaksi sosial sehingga
keberfungsian sosialnya dapat meningkat dan akan berkembang.
Keenam, saran dan rekomendasi bagi kalangan akademisi. Kehidupan
yang normal dan seimbang (equilibrium) yang ditemukan setiap hari dalam
memandang dunia seharusnya menjadi landasan pikir utama bagi kita untuk
berpikir kritis karena di balik itu terdapat relasi-relasi kekuasaan yang tersebar
demi kepentingan segelintir orang. Hal ini selaras dengan pemikiran Michel
xxviii
Foucault yang mengkritik kekuasaan yang disebarkan oleh ilmu-ilmu pengetahuan
melalui kebenarannya untuk mendisiplinkan tubuh manusia untuk mewujudkan
masyarakat yang disipliner.
xxix
GLOSARIUM
alienasi : diartikan menjadi proses menuju keterasingan.
anomie : salah satu puncak dari perasaan alienasi (keterasingan)dan ketiadaan tujuan yang menyertainya; bisa diartikanjuga sebagai kesenjangan antara tujuan dan cara-carauntuk mencapai tujuan tersebut, tujuan yang baik ingindicapai dengan melakukan hal hal yang bertolakbelakang; menggambarkan pula keadaan yang kacautanpa peraturan.
balian : istilah dukun di Bali, yakni orang yang mempunyaikemampuan untuk mengobati orang yang sakit.
banten : sajen (persembahan dalam upacara keagamaan).
buduh : istilah lokal dalam bahasa Bali untuk sebutan gila.
burn-out : suatu kondisi psikologis yang dialami seseorang akibatstres yang disertai kegagalan meraih harapan dalamjangka waktu yang relatif panjang atau suatu kondisikelelahan emosional, fisik, dan mental disebabkan olehpenderitaan stres yang berkepanjangan.
citra (image) : istilah untuk menyebut gambaran tentang realitas dantidak harus sesuai dengan realitas, atau dunia menurutpersepsi atau kesan seseorang. Dapat diartikan jugasebagai kesan seseorang atau individu tentang sesuatuyang muncul sebagai hasil dari pengetahuan danpengalamannya.
covert behaviour : perilaku yang tidak tampak, tersembunyi, dan tertutup.
dehumanisasi : merupakan suatu proses yang menjadikan manusiatidak sesuai dengan kodratnya sebagai manusia, tetapihanya bisa menirukan atau melaksanakan sesuatu yangdiukur dengan apa yang dimilikinya dalam bentuktertentu.
demigod : sebutan Hippocrates untuk dokter sebagai setengahdewa yang menempatkan dokter dalam kedudukan danposisi istimewa karena tidak mungkin salah.
xxx
destigmatisasi : suatu bentuk upaya mengubah cap/label/anggapanyang salah.
deviant behavior : sebutan untuk setiap tindakan individu atau kelompokyang bertentangan dengan nilai dan norma yangberlaku dalam masyarakat tertentu.
diagnosis : hasil evaluasi yang mencerminkan temuan. Evaluasi disini berarti upaya yang dilakukan untuk menegakkanatau mengetahui jenis penyakit yang diderita olehseseorang atau masalah kesehatan yang dialami olehmasyarakat. Setelah dilakukan diagnosis dari suatukondisi tertentu barulah tindakan prognosis dapatdilakukan.
disease : konsep penyakit yang dikonstruksi atas dasarpandangan biomedis yang mengacu pada indikatorgangguan biopatologis dan perilaku atau indikatorabnormal yang dapat diukur, tanpa harus berkaitandengan peranan sosial. Dapat juga merupakanpandangan para petugas kesehatan terhadap tanda-tandapenyimpangan biologis akibat adanya organisme,benda asing, atau luka pada tubuh.
diskursus : istilah lain untuk wacana. Wacana juga berkaitandengan praktik dari pemakainya (praktik regulatif).wacana dicirikan oleh batasan bidang dari objek,definisi dari perspektif yang paling dipercaya dandipandang benar. Persepsi tentang suatu objek dibentukdengan dibatasi oleh praktik diskursif: dibatasi olehpandangan yang mendefinisikan sesuatu bahwa inibenar dan yang lain tidak.
dropping : istilah untuk pemulangan penderita, yang dapatdiklasifikasikan menjadi pulang sembuh, pulang paksa,dan dipulangkan.
emansipatoris : ranah pemikiran pembebasan dengan mengajakmanusia untuk menyadari diri dan lingkungannyamelalui proses yang humanis artinya sebagai upayamemanusiakan manusia melalui pembebasan dari
xxxi
situasi batas yang menindas, yang ada di luarkehendaknya.
emik : istilah untuk menggambarkan bagaimana perspektifmasyarakat.
etiologi : studi tentang penyebab. Misalnya, penyebab darigangguan. Kata “etiologi” terutama digunakan dalamkedokteran sebagai ilmu yang mempelajari penyebabatau asal penyakit dan faktor-faktor yang menghasilkanatau memengaruhi suatu penyakit tertentu ataugangguan.
governmentality : bentuk rasionalisasi dari bagaimana kekuasaan itudijalankan oleh negara agar beroperasinya kekuasaanitu dapat diakui atau legitimate yang membentukkontrol sosial yang termanifestasi ke dalam dirimasyarakat sebagai tubuh yang patuh, sehat, berguna,dan produktif.
hendaya : istilah lain untuk gangguan emosional, perilaku sosial-emosional yang maladaptif, kelainan perilaku,hambatan dalam pendidikan, dan kelainan psikologis.
home remedies : istilah lain untuk perilaku perawatan rumah tangga.
home visit : istilah untuk kunjungan rumah pada keluarga klien(pasien) yang lebih banyak pada kasus gangguan jiwayang sedang/masih dalam perawatan.
hospitalisme : bentuk stressor individu yang berlangsung selamaindividu tersebut dirawat di rumah sakit, sepertilingkungan yang asing, berpisah dengan orang yangberarti, kehilangan kebebasan dan kemandirian,pengalaman yang berkaitan dengan pelayanankesehatan, serta perilaku petugas rumah sakit.
humanis : orang yang mendambakan dan memperjuangkanterwujudnya pergaulan hidup yang lebih baik,berdasarkan asas perikemanusiaan, pengabdikepentingan sesama umat manusia, serta penganutpaham yg menganggap manusia sebagai objekterpenting.
xxxii
illness : konsep sakit yang disusun oleh konstruksi budayasetempat yang mengacu pada indikator distabilitassosial akibat dari si individu yang bersangkutanmengalami gangguan fisik atau mental. Adanyagangguan semacam ini berarti pula terganggunyaperanan sosialnya di masyarakat.
imagibilitas : ilmu tentang citra atau imaji serta peran teknologipencitraan dalam membentuknya atau kemampuanuntuk mendatangkan kesan.
imanen : sesuatu yang lebih dekat dan terbatas pada pengalamanmanusia.
inequality : pengalaman tumpang tindih dalam diri individu sebagaiakibat adanya ketidaksesuaian antara harapan dankenyataan/apa yang diperoleh.
inklusi Sosial : upaya menempatkan martabat dan kemandirianindividu sebagai modal utama untuk mencapai kualitashidup yang ideal.
jodhon-jodhon : representasi ungkapan emik masyarakat Jawa dalam halperburuan tentang kesehatan.
komunikasi impersonal : komunikasi yang dilakukan secara masif kepadakhalayak dengan menggunakan media massa sebagaialat untuk menyampaikan pesan secara menyeluruh.
melukat : upacara pembersihan pikiran dan jiwa secara spiritualdalam diri manusia. Upacara ini dilakukan secaraturun-temurun oleh umat Hindu Bali hingga saat ini.Penyucian secara rohani berarti menghilangkanpengaruh kotor dalam diri.
mengeksklusi : mengabaikan, yakni proses pengeluaran atauterputusnya individu dari suatu sistem masyarakat yangtidak mendapatkan pengakuan secara layak olehmasyarakat tersebut dengan beberapa faktorpenghambat yang pada akhirnya individu kehilangankesempatan untuk bersaing memenuhi kebutuhandirinya sendiri menjadi layaknya masyarakat sepertipada umunya yang dinilai tidak selevel dengannya darisegi mana pun.
xxxiii
nabdabang kayun : sebutan untuk orang yang mempunyai sifat mampumenahan emosi yang kuat ataupun emosi yangdikendalikan.
negtegang bayu : sebutan untuk orang yang tidak mampu melakukanpengendalian atau penahanan emosi kurang terhadaprasa marah atau sedih.
ngayah : istilah gotong royong dalam tradisi masyarakat Bali(dalam skala yang lebih besar), misalnya salingmembantu dalam kegiatan di pura.
ngeling : menangis seperti anak kecil.
ngemikmik : mengobrol atau berbicara sendiri.
ngerumuk : berbicara tidak jelas dalam kaitan dengan adanyaperasaan marah
nguopin : istilah gotong royong dalam tradisi masyarakat Bali(dalam skala yang lebih kecil), misalnya salingmembantu keluarga yang sedang mengadakan kegiatanatau upacara keagamaan.
niskala : segala sesuatunya dihubungkan dengan bentuk alamgaib, tidak nyata, atau supernatural.
overt behaviour : istilah untuk perilaku yang tampak, terbuka, dan dapatdiamati.
pengiwa : ilmu hitam
perilaku asertif : suatu kemampuan untuk mengomunikasikan apa yangdiinginkan, dirasakan, dan dipikirkan kepada oranglain, tetapi tetap menjaga dan menghargai hak-hak sertaperasaan pihak lain.
petemuan : kecocokan dalam kaitan pilihan perawatan kesehatan.
prejudice : perilaku negatif yang mengarahkan kelompok padaindividualis berdasarkan keterbatasan atau kesalahaninformasi tentang kelompok; sikap yang membencikelompok lain tanpa adanya alasan yang objektif untukmembenci kelompok tersebut.
prognosis : istilah yang digunakan dalam menyampaikan suatutindakan untuk memprediksi perjalanan penyakit yang
xxxiv
didasarkan pada informasi diagnosis yang tersedia yangmenunjukkan prediksi dokter tentang bagaimana pasienakan berkembang dan apakah ada kemungkinanpemulihan. Istilah ini juga sering digunakan dalamlaporan medis dari pandangan dokter pada suatu kasussebagai rencana, terapi selanjutnya sebagai bahanpertimbangan perawatan dan rehabilitasi.
progresifitas : kemampuan bergerak maju secara psikologis.
relaps : kekambuhan atau kembalinya suatu penyakit setelahtampaknya mereda.
represif : istilah lain untuk menekan, mengekang, menahan, ataumenindas.
resiliensi : pribadi yang mampu bertahan dalam kondisi sulittersebut disebut dengan pribadi yang memilikiresiliensi. Resiliensi dilihat sebagai kualitas pribadiyang melibatkan kemampuan penyesuaian diri yangtinggi dan luwes saat dihadapkan pada tekanan, baikinternal maupun eksternal.
sanggah : tempat suci berupa pura kecil, pura keluarga.
sakit bali : sebutan lain untuk sakit yang penyebabnya tidak nyata.
sekala : segala sesuatu dihubungkan dengan bentuk alam nyataatau dunia nyata.
self esteem : menggambarkan sejauh mana individu tersebut menilaidirinya sebagai orang yang memiliki kemampuan,keberartian, berharga, dan kompeten.
serana : alat penghubung antara kekuatan balian dan penyebabpenyakit yang ada dalam tubuh orang yang sakit.
simptom : sebutan untuk semua gejala negatif yang dialami ataudirasakan oleh pasien.
sistem naturalistik : sehat terjadi karena unsur-unsur yang tetap dalamtubuh, seperti panas dan dingin, cairan tubuh (humorsatau dosha) atau unsur yin dan yang berada dalamkeadaan seimbang menurut usia dan kondisi individualdalam lingkungan alamiah dan lingkungan sosialnya.
xxxv
Apabila keseimbangan ini terganggu, hasilnya adalahtimbulnya penyakit (disease).
sistem personalistik : sakit (illness) disebabkan, baik oleh intervensi suatuagen yang aktif, yang dapat berupa makhluk supra-alamiah (makhluk gaib atau dewa), makhluk yangbukan manusia (hantu, roh leluhur, dan roh jahat),maupun manusia (tukang sihir atau tukang tenung).Orang yang sakit adalah korbannya, objek dari agresiatau hukuman yang ditujukan khusus kepadanya untukalasan-alasan khusus yang menyangkut dirinya saja.
skizofrenia : istilah untuk gangguan mental kronis yangmenyebabkan penderitanya mengalami delusi,halusinasi, pikiran kacau, dan perubahan perilaku.Kondisi yang biasanya berlangsung lama ini seringdiartikan sebagai gangguan mental mengingat sulitnyapenderita membedakan antara kenyataan dan pikiransendiri (pikiran terbagi atau terpecah)
stereotipe : penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkanpersepsi terhadap kelompok di mana orang tersebutdapat dikategorikan atau cara pandang terhadap suatukelompok sosial, cara pandang tersebut digunakan padasetiap kelompok tersebut.
stigma : istilah untuk pemberian “label/cap” yang pada banyakhal mengarah untuk merendahkan orang lain atau suatuusaha untuk label tertentu sebagai sekelompok orangyang kurang patut dihormati daripada yang lain.
stressor psikososial : stres yang dipicu oleh hubungan relasi dengan oranglain sekitarnya atau akibat situasi sosial lainnya.
taksu : sebagai sebuah konsep Hindu, taksu dapat dibatasisebagai kekuatan dalam (inner power), kekuatanspiritual (spiritual power), atau kekuatan gaib (magicalpower). Diyakini bahwa taksu bisa memberikankecerdasan dalam melakukan suatu pekerjaan, disamping membuatnya menjadi lebih berwibawa danberkarisma.
tamba : segala sesuatu yang dapat digunakan untukmenyembuhkan orang sakit, biasanya dari ramuantumbuh-tumbuhan.
xxxvi
thick description : sebutan untuk metode kualitatif yang lebih menekankanpada deskripsi yang bersifat emik, etik, holistik, danmendalam.
tirta : kesucian atau setitik air, air suci, bersuci dengan air,berfungsi untuk membersihkan diri, baik dari kotoranmaupun kecemaran pikiran. Dalam penerapanpemakaiannya, yaitu dipercikkan di kepala, diminum,dan diusapkan di muka.
xxxvii
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ...................................................................................... i
PRASYARAT GELAR ................................................................................ ii
PERSETUJUAN PROMOTOR DAN KOPROMOTOR .............................. iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI............................................................. iv
MOTO.......................................................................................................... v
PERNYATAAN KEASLIAN...................................................................... vi
UCAPAN TERIMA KASIH....................................................................... vii
ABSTRAK ................................................................................................ xiv
ABSTRACT ..................................................................................................xv
RINGKASAN ........................................................................................... xvi
GLOSARIUM ...........................................................................................xxv
DAFTAR ISI .........................................................................................xxxiv
DAFTAR TABEL ....................................................................................... xl
DAFTAR GAMBAR.................................................................................. xli
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ xliii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang....................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 17
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................... 17
1.3.1 Tujuan Umum ............................................................................... 17
1.3.2 Tujuan Khusus ............................................................................. 17
xxxviii
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................ 18
1.4.1 Manfaat Teoretis .......................................................................... 18
1.4.2 Manfaat Praktis ............................................................................ 18
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN
MODEL PENELITIAN.............................................................. 20
2.1 Kajian Pustaka ...................................................................................... 20
2.2 Konsep ................................................................................................. 30
2.2.1 Stigma .......................................................................................... 31
2.2.2 Stigmatisasi Sosial ....................................................................... 33
2.2.3 Gangguan Jiwa ............................................................................. 34
2.2.4 Stigma Gangguan Jiwa ................................................................. 37
2.2.5 Rumah Sakit Jiwa Bangli ............................................................. 38
2.3 Landasan Teori ..................................................................................... 38
2.3.1 Teori Wacana ............................................................................... 39
2.3.2 Teori Dekonstruksi ...................................................................... 43
2.3.3 Teori Hegemoni ........................................................................... 45
2.3.4 Explanatory Model ....................................................................... 49
2.3.5 Health Belief Model ..................................................................... 50
2.4 Model Penelitian .................................................................................... 53
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian ............................................................................. 58
3.2 Lokasi Penelitian .................................................................................... 59
xxxix
3.3 Jenis dan Sumber Data ........................................................................... 61
3.4 Teknik Penentuan Informan ................................................................... 62
3.5 Instrumen Penelitian ............................................................................. 63
3.6 Teknik Pengumpulan Data .................................................................... 64
3.6.1 Teknik Observasi ......................................................................... 64
3.6.2 Teknik Wawancara Mendalam ..................................................... 64
3.6.3 Teknik Riwayat Hidup Individu (Life History) .............................. 65
3.6.4 Teknik Studi Dokumen ................................................................ 65
3.7 Teknik Analisis Data ............................................................................. 65
3.8 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data .................................................... 66
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Gambaran Umum Kota Bangli .............................................................. 67
4.1.1 Sejarah Singkat Kota Bangli.......................................................... 67
4.1.2 Kondisi Geografis Kota Bangli...................................................... 69
4.1.3 Keadaan Penduduk Kota Bangli ................................................... 73
4.1.3 Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kota Bangli .............................. 73
4.1.4 Sistem Perekonomian Masyarakat Kota Bangli ............................ 74
4.1.5 Sistem Sosial Budaya Masyarakat Kota Bangli ............................. 86
4.2 Profil Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali ................................................... 90
4.2.1 Sejarah Singkat Berdirinya Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali.......... 90
4.2.2 Lokasi dan Areal ........................................................................... 97
4.2.3 Status dan Susunan Organisasi Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali .... 100
4.2.4 Tenaga Personalia ........................................................................ 102
xl
4.3 Pelayanan Kesehatan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali ............... 103
4.3.1 Proses Pelayanan Rawat Jalan ....................................................... 104
4.3.2 Proses Pelayanan Rawat Inap secara Umum ........................... 105
4.3.3 Pelaksanaan Peningkatan Pelayanan dan Penanggulangan
Kesehatan bagi Penduduk Miskin .......................................... 107
4.3.4 Pelayanan Kesehatan Jiwa Masyarakat di Beberapa Puskesmas
Kabupaten/Kota di Bali .......................................................... 108
4.3.5 Pelaksanaan Home Care Penderita Gangguan Jiwa ................ 110
4.3.6 Penanganan Penderita yang Dipasung (Dikurung, Dirantai,
Pembalokan, serta Bermasalah di Masyarakat) ....................... 112
4.3.7 Pengembangan Media Promosi dan Informasi Sadar Hidup Sehat114
4.4 Karakteristik Pasien Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali ............................ 116
4.4.1 Pasien Menurut Kelompok Umur ............................................ 116
4.4.2 Pasien Menurut Jenis Kelamin ................................................ 118
4.4.3 Pasien Menurut Status Kawin................................................. 120
4.4.4 Pasien Menurut Tingkat Pendidikan ....................................... 122
4.4.5 Pasien Menurut Jenis Pekerjaan .............................................. 124
4.4.6 Pasien Menurut Jaminan ......................................................... 127
4.4.7 Pasien Menurut Daerah Asal .................................................. 130
4.4.8 Pasien Menurut Sepuluh Besar Penyakit Rawat Jalan dan Rawat
Inap ........................................................................................ 134
xli
BAB V BENTUK-BENTUK STIGMA PADA PENDERITA
GANGGUAN JIWA ............................................................... 137
5.1 Public Stigma......................................................................................... 138
5.1.1 Penolakan ............................................................................... 154
5.1.2 Pengucilan .............................................................................. 175
5.1.3 Kekerasan .............................................................................. 181
5.2 Self Stigma ...................................................................................... 189
5.2.1 Prasangka Buruk ..................................................................... 189
5.2.2 Merasa Bersalah...................................................................... 193
5.2.3 Ketakutan dan Kemarahan....................................................... 197
BAB VI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI TERJADINYA
STIGMA PADA PENDERITA GANGGUAN JIWA ............... 206
6.1 Faktor Eksternal............................................................................... 206
6.1.1 Kegilaan Adalah Aib............................................................... 206
6.1.2 Mitos tentang Gangguan Jiwa ................................................. 216
6.1.3 Kepercayaan Masyarakat Mengenai Peran Dukun (Balian) .... 219
6.2 Faktor Internal ................................................................................. 226
6.2.1 Pengetahuan Keluarga terhadap Etiologi (Penyebab) Gangguan
Jiwa ....................................................................................... 226
6.2.2 Tidak Adanya Dukungan Keluarga ......................................... 230
6.2.3 Perasaan Malu......................................................................... 236
xlii
BAB VII IMPLIKASI STIGMA GANGGUAN JIWA TERHADAP
PENDERITA DAN KELUARGA PENDERITA ...................... 245
7.1 Implikasi Stigma Gangguan Jiwa terhadap Penderita ...................... 245
7.1.1 Pengabaian Pengobatan secara Cepat dan Tepat ..................... 245
7.1.2 Pengucilan Sosial .................................................................... 251
7.1.3 Ketidakberdayaan.................................................................... 260
7.1.4 Diskriminasi............................................................................ 268
7.2 Implikasi Stigma Gangguan Jiwa terhadap Keluarga Penderita ....... 276
7.2.1 Keputusan Pilihan Perawatan dan Pengobatan yang Dijalani .. 281
7.2.1.1 Perilaku Perawatan Tradisional .................................. 285
7.2.1.1.1 Pilihan Perawatan Rumah Tangga .............. 287
7.2.1.1.2 Pilihan Perawatan Kedukunan .................... 297
7.2.1.2 Perilaku Perawatan Profesional/Modern ...................... 309
7.2.2 Kelelahan (Burn-Out) dan Keputusasaan................................. 326
7.2.3 Strategi Koping dalam Balutan Resiliensi Keluarga Pasien ..... 343
Temuan Baru Penelitian.......................................................... 356
Refleksi .................................................................................. 364
BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN
8.1 Simpulan ......................................................................................... 369
8.2 Saran ............................................................................................... 374
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xliii
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Administrasi Wilayah Kabupaten Bangli ............................... 70
Tabel 4.2 Jumlah Pasien (Rawat Jalan) Per Golongan Umur Tahun 2014116
Tabel 4.3 Jumlah Pasien (Rawat Inap) Per Golongan Umur Tahun 2014117
Tabel 4.4 Jumlah Pasien (Rawat Jalan) Menurut Jenis Kelamin dan TotalPasien Tahun 2014 .............................................................. 118
Tabel 4.5 Jumlah Pasien (Rawat Inap) Menurut Jenis Kelamin dan TotalPasien Tahun 2014 .............................................................. 119
Tabel 4.6 Pasien (Rawat Inap) Menurut Status Perkawinan Tahun 2014120
Tabel 4.7 Jumlah Pasien (Rawat Jalan) Per Pendidikan Tahun 2014 .... 122
Tabel 4.8 Jumlah Pasien (Rawat Inap) Per Pendidikan Tahun 2014 ..... 123
Tabel 4.9 Jumlah Pasien (Rawat Jalan) Menurut Pekerjaan Tahun 2014125
Tabel 4.10 Jumlah Pasien (Rawat Inap) Menurut Pekerjaan Tahun 2014 126
Tabel 4.11 Pasien (Rawat Jalan) Menurut Jaminan Tahun 2014 ............ 127
Tabel 4.12 Pasien (Rawat Inap) Menurut Jaminan Tahun 2014 ............. 128
Tabel 4.13 Jumlah Pasien (Rawat Jalan) Menurut Daerah Asal 2014 ..... 131
Tabel 4.14 Jumlah Pasien (Rawat Inap) Menurut Daerah Asal 2014 ...... 133
Tabel 4.15 Pasien Menurut Sepuluh Besar Penyakit Rawat Jalan dan RawatInap Tahun 2014 .................................................................. 136
Tabel 7.1 Perbedaan konsep, bahasa, dan nilai-nilai antara pandanganmodel klinis/medis dan pandangan model nonklinis/nonmedis325
xliv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.1 Pura Kehen dulu, sekarang, dan akan datang tetap menyimpansejarah Kota Bangli (Prasasti Kehen) .......................................... 68
Gambar 4.2 Peta Pulau Bali ............................................................................. 69
Gambar 4.3 Peta Kabupaten Bangli ................................................................ 71
Gambar 4.4 Suasana Pasar Tradisional di Bangli Tahun 1929 ....................... 77
Gambar 4.5 Petani metekap thn 1947 dan metekap di Desa Taman Bali, Banglithn 2015 ........................................................................................ 78
Gambar 4.6 Gambar 4.6 Mobil wisatawan Eropa melintas di depan sebuah puradi Bangli, thn 1929........................................................................ 80
Gambar 4.7 Gubernur Jenderal Banifacius Cornelis de Jonge dan rombonganmembeli suvenir di sepanjang sisi jalan di Kintamani, Bangli, BaliTahun 1935. ................................................................................. 81
Gambar 4.8 Turis Eropa ditandu saat mengunjungi Kawasan Batur, Kintamani,Bangli Tahun 1930-an .................................................................. 81
Gambar 4.9 Pura Dalem Jawa (Langgar) di Desa Bunutin, Bangli. Buktiakulturasi budaya Islam-Hindu. ................................................... 89
Gambar 4.10 Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali sebelum mengalami renovasigedung .......................................................................................... 96
Gambar 4.11 Pintu gapura dan tampak halaman depan bangunan gedung baruRS Jiwa Provinsi Bali.................................................................... 97
Gambar 4.12 Struktur Organisasi RS Jiwa Provinsi Bali ................................ 101
Gambar 4.13 Mereka sangat membutuhkan uluran tangan-tangan humanis kitabersama ...................................................................................... 111
Gambar 4.14 Pemasungan dengan perantaian ................................................. 113
Gambar 4.15 Pemasungan dengan pembalokan .............................................. 113
Gambar 4.16 Pemasungan dengan pengurugan ............................................... 113
Gambar 4.17 Dalam satu kesempatan penyuluhan pelayanan kesehatan jiwayang dihadiri para staf medis, pasien, dan keluarganya ........... 115
Gambar 4.18 Contoh kartu JKBM ................................................................... 129
Gambar 4.19 Contoh kartu Jamkesmas dan BPJS ........................................... 129
Gambar 5.1 Bersama bapak Direktur ............................................................. 141
xlv
Gambar 5.2 Pasien bersama anggota keluarganya di satu sudut ruang IGD RSJiwa ............................................................................................ 145
Gambar 5.3 Bebarapa jenis terapi yang ada di bagian rehabilitasi RS JiwaProvinsi Bali ............................................................................... 151
Gambar 5.4 Tikar anyaman hasil tangan pasien di unit Rehabilitasi ............. 152
Gambar 5.5 Gambar ruang observasi pasien, yang untuk sebagian besarkeluarga serupa dengan ruang penjara ....................................... 156
Gambar 5.6 Peneliti bersama Psikiater RS Jiwa Provinsi Bali (dr. I D.G.Basudewa, Sp.K.J.) .................................................................... 166
Gambar 5.7 Beberapa bentuk sanggah keluarga Hindu Bali ......................... 171
Gambar 5.8 Pura Tirta Sudamala tepatnya di Br. Sedit, Desa Bebalang,Kabupaten Bangli, yang dipakai untuk ritual pengelukatan(pembersihan diri) ...................................................................... 173
Gambar 5.9 Goresan pena setumpuk harapan pasien skizofrenia .................. 177
Gambar 5.10 Hasil goresan ibu MK di tengah obrolan dengan peneliti .......... 180
Gambar 5.11 Pasien meringkuk dalam bayang-bayang ketakutan dunianya ... 186
Gambar 6.1 Pasien dalam balutan aturan pakaian seragam (sebuah penegakandisiplin penyeragaman ataukah jurang pemisah “kita” dan“mereka”) ..................................................................................... 09
Gambar 6.2 Para penderita sangat membutuhkan dukungan perhatian bersamakita semua .................................................................................. 232
Gambar 7.1 Aktivitas makan yang tak luput dari pengawasan perawat ........ 267
Gambar 7.2 Praktik Batra saat sedang mengurut dan memijat anggota tubuhpasien ......................................................................................... 300
Gambar 7.3 Tampak wanita ini kesakitan saat Batra mengeluarkan kekuatanniskala dalam tubuhnya .............................................................. 304
Gambar 7.4 Peneliti bersama keluarga Batra I Made Regep ......................... 308
Gambar 7.5 Pasien skizofrenia di bawah pengawasan kontrol otoritas RS ... 316
Gambar 7.6 Kondisi pasien di ruang istirahat (ruang tidur) ........................... 321
Gambar 7.7 Patung belenggu pemasungan .................................................... 377
xlvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Pedoman Wawancara
Lampiran 2 Deskripsi Kisah Keluarga Pasien
Deskripsi Kisah Pasien
Lampiran 3 Daftar Informan
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masalah kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur
kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Kesehatan sebagaimana yang tertuang dalam
Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 36, Tahun 2009 tentang kesehatan merupakan
“Keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual, maupun sosial yang
memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis”
(Depkes RI KMK No. 406, 2009:1).
Atas dasar konsepsi kesehatan di atas, dapat dimaknai bahwa kesehatan
tidak hanya menitikberatkan pada aspek fisik, tetapi juga sebagai suatu kesatuan
yang utuh yang menggambarkan kualitas hidup seseorang yang terkandung di
dalamnya kesejahteraan dan produktivitas secara sosial dan ekonomi. Lebih lanjut
konsepsi kesehatan tersebut menempatkan mental atau jiwa seseorang sebagai
bagian yang tidak terpisahkan dan mempunyai kedudukan yang penting di dalam
pemahaman kesehatan sehingga tidak mungkin kita berbicara tentang kesehatan
tanpa melibatkan kesehatan jiwa. Pada saat manusia harus berkelit dengan
problem kehidupan yang serba materialistis dan pada gilirannya sangat egois dan
individual, komunikasi hubungan antarmanusia pada zaman modern juga
cenderung bersifat komunikasi “impersonal”. Fenomena-fenomena tersebut
membuat manusia semakin kehilangan jati dirinya.
1
Kondisi demikian juga mengharuskan manusia untuk benar-benar mampu
bertahan mengendalikan dirinya untuk kemudian tetap tegar dalam kepribadian.
Perkembangan yang pesat dalam bidang kehidupan manusia, yang meliputi
bidang ekonomi, teknologi, social, dan budaya serta bidang-bidang yang lain telah
membawa pengaruh yang besar bagi manusia itu sendiri. Kehidupan yang sulit
dan kompleks dengan meningkatnya kebutuhan menyebabkan bertambahnya
stressor psikososial sehingga manusia tidak mampu menghindari tekanan-tekanan
hidup yang dialami. Kondisi kritis ini membawa dampak terhadap peningkatan,
baik kualitas maupun kuantitas gangguan mental emosional manusia.
Lebih lanjut visi rencana pembanguan jangka panjang nasioal 2005--2025
adalah Indonesia yang maju, adil, dan makmur. Visi tersebut direalisasikan pada
empat misi pembangunan kesehatan 2010--2014, yaitu meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan
masyarakat madani; melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin
tersedianya upaya kesehatan yang paripurna, merata, bermutu, dan berkeadilan;
menjamin ketersediaan dan pemerataan sumber daya kesehatan; dan menciptakan
tata kelola kepemerintahan yang baik. Dalam pencapaian visi dan misi di atas,
salah satu strategi yang telah dijalankan Kementerian Kesehatan RI adalah
“meningkatkan pelayanan kesehatan yang merata, terjangkau, bermutu, dan
berkeadilan serta berbasis bukti dengan mengutamakan upaya promotif dan
preventif” (SKN, PP Nomor 72, Tahun 2012).
Pada kenyataannya visi dan misi dalam rencana pembangunan tersebut
kurang berjalan dengan lancar. Salah satu bukti adalah masih kurangnya sumber
2
daya kesehatan yang tersedia. Dari data yang ada dalam http://www.kemsos.go.id/
disebutkan bahwa di Indonesia baru ada sekitar 773 psikiater (0,32 per 100.000
penduduk), 451 psikolog klinis (0,15 per 100.000 penduduk), dan 6.500 perawat
jiwa (2 per 100.000 penduduk). Padahal, kebutuhannya satu orang tiap 10.000
jumlah penduduk. Jika jumlah penduduk Indonesia 247 juta, diperlukan 24.700
tenaga profesional.
Proses globalisasi dan pesatnya kemajuan teknologi informasi
memberikan pengaruh terhadap nilai-nilai sosial budaya masyarakat. Sementara
tidak semua orang mempunyai kemampuan yang sama untuk menyesuaikan diri
dengan berbagai perubahan tersebut. Akibatnya, saat ini gangguan jiwa telah
menjadi masalah kesehatan global. Sayangnya, banyak orang yang tidak
menyadari bahwa mereka mungkin mengalami masalah kesehatan jiwa. Hal itu
terjadi karena masalah kesehatan jiwa bukan hanya gangguan jiwa berat semata,
justru gejala seperti depresi dan cemas kurang dikenali masyarakat sebagai
masalah kesehatan jiwa. Kesehatan jiwa penting dilihat dari dampak yang
ditimbulkannya, antara lain terdapatnya angka yang besar dari penderita gangguan
kejiwaan yang diikuti pula dengan beban psikologis, sosial, budaya, dan ekonomi
yang luas.
Studi yang dilakukan Bank Dunia (World Bank) pada tahun 1995 di
beberapa negara menunjukkan bahwa hari-hari produktif yang hilang atau
Dissabiliiy Adjusted Life Years (DALY's) yang disebabkan oleh masalah kesehatan
jiwa adalah sebesar 8,1%. Angka ini jauh lebih tinggi daripada dampak yang
disebabkan oleh penyakit tuberculosis (7,2%), kanker (5,8%), penyakit jantung
3
(4,4%), dan malaria (2,6%). Tingginya angka tersebut menunjukkan bahwa
masalah kesehatan jiwa merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang
tidak kalah penting untuk diperhatikan jika dibandingkan dengan masalah
kesehatan lainnya yang ada di masyarakat (Depkes RI, KMK No. 406, 2009:1--2)
Hasil Survei Kesehatan Mental Rumah Tangga (SKMRT) tahun 2007
menunjukkan adanya gejala gangguan kesehatan jiwa pada penduduk rumah
tangga dewasa di Indonesia, yaitu 185 kasus per 1.000 penduduk. Hasil SKMRT
juga menyebutkan bahwa gangguan mental emosional pada usia 15 tahun ke atas
mencapai 140 kasus per 1.000 penduduk, sedangkan pada rentang usia 5--14
tahun ditemukan 104 kasus per 1.000 penduduk (Depkes RI, KMK No. 406,
2009:1--2).
Sementara itu lebih dari 450 juta penduduk dunia hidup dengan gangguan
jiwa. Secara global angka kekambuhan pada pasien gangguan jiwa ini mencapai
50% hingga 92% yang disebabkan, baik oleh ketidakpatuhan dalam berobat
maupun kurangnya dukungan dan kondisi kehidupan yang rentan terhadap
peningkatan stres (Sheewangisaw, 2012:1--10). Berdasarkan Riskedas (Riset
Kesehatan Dasar) tahun 2007 Diketahui bahwa data penderita gangguan jiwa di
Indonesia menunjukkan angka gangguan jiwa berat (skizofrenia) 4--6 per 1.000
penduduk. Sebelumnya angka kelainan jiwa (psikosis) di Indonesia diperkirakan
sebesar 1--3 per 1.000 penduduk. Gangguan mental emosional hasil Riskedas
adalah 11,6%. Sebelumnya gangguan jiwa (neurosis) termasuk neurosis cemas,
obsesif, histeria, dan gangguan kesehatan jiwa psikosomatik/psikofisiologik
sebagai akibat tekanan hidup berkisar antara 20--60 per 1.000 penduduk.
4
Demikian pula halnya dengan ketergantungan obat, kenakalan remaja, dan
penggunaan atau ketergantungan alkohol serta penyimpangan perilaku manusia
(Depkes RI, KMK, No. 1627/Menkes/SK/XI, 2010:2). Sementara itu Data Riset
Kesehatan Dasar tahun 2013 mencatat prevalensi gangguan jiwa berat di
Indonesia mencapai 1,7 per mil, artinya 1--2 orang dari 1.000 penduduk di
Indonesia mengalami gangguan jiwa berat (Riskedas, 2013: XI).
Banyak orang beranggapan bahwa penyakit jiwa merupakan satu noda/aib
atau akibat dari dosa-dosa yang dilakukan manusia. Dengan demikian, masyarakat
menanggapi para penderita dengan rasa takut dan bersikap menghindar. Sikap
yang keliru tersebut berimplikasi pada program yang umumnya belum mengenai
sasaran kesehatan mental bagi rakyat pada umumnya di samping belum
mendapatkan tanggapan yang baik. Di pihak lain banyak penderita yang takut dan
tidak suka menjalani pemeriksaan yang dilakukan oleh dokter atau seorang
psikiater dan psikolog. Mereka menjadi marah dan sangat tersinggung jika
diperiksa atau menganggap bahwa dirinya tidak sakit dan sehat jiwanya (Kartono,
1989:25).
Upaya kesehatan jiwa ditujukan untuk menjamin setiap orang dapat
menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan
gangguan lain yang dapat menyebabkan terganggunya kesehatan jiwa. Pemerintah
pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggung jawab menciptakan
kondisi kesehatan jiwa yang setinggi-tingginya dan menjamin ketersediaan,
aksessibilitas, mutu, dan pemerataan upaya kesehatan jiwa. Banyak peraturan
perundangan di bidang kesehatan yang telah disusun oleh pemerintah mulai dari
5
UU No. 3, Tahun 1966 tentang kesehatan jiwa, UU No. 36, Tahun 2009, UU No.
12, Tahun 2014 hingga peraturan dan keputusan menteri dengan tujuan untuk
mengatur upaya-upaya kesehatan jiwa. Namun, dalam pelaksanaannya, sistem
perundang-undangan yang berlaku hingga saat ini belum cukup banyak membantu
dalam hal peningkatan upaya layanan kesehatan jiwa. Penderita gangguan jiwa
sering kali menjadi korban ketidakadilan dan perlakuan yang semena-mena oleh
masyarakat.
Seseorang dengan gangguan jiwa umumnya berhadapan dengan stigma,
diskriminasi, dan marginalisasi. Stigma menyebabkan keluarga penderita tidak
mencari pengobatan yang sangat dibutuhkan oleh anggota keluarganya yang sakit
atau penderita akan mendapatkan pelayanan yang bermutu rendah. Bahkan,
sebagian di antara penderita dipasung dengan kondisi-kondisi yang sangat
memprihatinkan, seperti dipasung dengan kayu, dirantai, dikandangkan, atau
diasingkan. Berbagai bentuk kesalahan sikap masyarakat dalam merespons
kehadiran penderita gangguan jiwa terjadi akibat konstruksi pola berpikir yang
salah dan ketidaktahuan publik. Artinya, terdapat logika yang salah di masyarakat.
Dengan demikian, kondisi mispersepsi tersebut selanjutnya berujung pada
tindakan yang tidak membantu percepatan kesembuhan si penderita.
Masyarakat cenderung menganggap orang dengan kelainan mental sebagai
sampah sosial. Salah satu faktor yang sering dianggap sebagai penyebab pasien
mental sukar untuk dikembalikan atau dipulangkan ke lingkungan masyarakat
adalah sikap keluarga dan masyarakat itu sendiri di samping keadaan mental
pasien. Sikap tersebut timbul karena adanya cap buruk (stigma), yaitu gangguan
6
jiwa dipandang memiliki cela dan diberikan label yang merugikan individu karena
tidak ditolerir oleh masyarakat (Putro, 2004:162). Berbagai istilah ditemukan dan
digunakan di masyarakat untuk menyebut orang dengan masalah gangguan jiwa,
misalnya orang gila, sakit jiwa, sakit gila, saraf, sinting, edan, dan gendeng.
Stigmatisasi gangguan jiwa berimplikasi pada sikap masyarakat yang
cenderung menghindar dari segala sesuatu yang berurusan dengan gangguan jiwa.
Seakan-akan mereka yang terganggu jiwanya tergolong kelompok manusia lain
yang lebih rendah martabatnya, yang dapat dijadikan bahan olok-olokan. Hal
tersebut akan menghambat seseorang untuk mau menerima atau mengakui bahwa
dirinya mengalami gangguan mental. Akibatnya, pertolongan atau terapi yang
mungkin dapat dilakukan secara dini menjadi terlambat.
Permasalahan saat ini adalah kesadaran masyarakat kurang sekali, bahkan
ada yang tidak peduli kepada para penderita skizofrenia ini. Di samping itu,
banyak di antara mereka beranggapan bahwa penderita gangguan jiwa merupakan
aib, menjelek-jelekkan mereka, memaki-maki mereka. Hal lainnya adalah banyak
mitos berkembang di masyarakat tentang orang dengan gangguan jiwa, misalnya
“orang dengan gangguan jiwa tidak akan pernah normal, tingkah lakunya tidak
bisa diprediksi, sangat berbahaya, memvonis dengan sebutan “orang gila”, dan
lain-lain” (Susana, 2007:21).
Hingga kini para pakar psikiater masih sering berdebat tentang stigma
gangguan jiwa, terutama tentang etiologi dan metode penyembuhannya
(biopsikospiritsosiobudaya). Adanya stigma menyebabkan keluarga merasa malu
dan masyarakat pun takut terhadap penderita gangguan jiwa. Implikasinya
7
masyarakat akan mengucilkan penderita dari lingkungan sosialnya, menunda
pengobatan, memperbesar penderitaan, memperlambat proses penyembuhan, dan
menghambat kembali penderita ke masyarakat (Suryani, 1999:16--18).
Pola stigma yang dilakukan oleh masyarakat ini cenderung rata-rata
membawa dampak yang negatif bagi penderita. Artinya, penderita tidak sembuh
dari suatu penyakit yang memang bisa disembuhkan atau dicegah dari
progresivitasnya, tetapi biasanya malah akan memburuk hingga ke tingkat
disabilitas yang berat. Hal lain yang perlu juga diperhatikan adalah pembentukan
opini publik tentang sarana kesehatan jiwa, seperti rumah sakit jiwa dan yayasan
yang menampung penderita gangguan jiwa. Tempat-tempat ini sering diceritakan
atau divisualisasikan sebagai tempat yang aneh, angker, tempat pembuangan dan
penampungan orang-orang yang tidak berguna atau tempat penyiksaan orang-
orang yang sakit jiwa. Akibat yang terjadi, yaitu perlakuan diskriminasi dan
alienasi/pengasingan yang kemudian muncul.
Orang-orang dengan kelainan mental ini sering kali dikonsepsikan sebagai
pihak yang menyimpang dari mayoritas masyarakat. Mereka dianggap defiant
dalam kategori abnormal. Mereka dianggap sebagai ”sampah” yang mengganggu
keindahan, kenyamanan, dan ketertiban kota. Dari penjelasan tersebut terlihat
fakta yang menunjukkan bahwa perlakuan salah, khususnya tindak kekerasan dan
penelantaran terhadap penderita gangguan jiwa masih sering ditemukan di
masyarakat. Selain itu, penganiayaan terhadap penderita gangguan jiwa dengan
dalih upaya mengamankan atau merupakan bagian dari penyembuhan gangguan
8
jiwa (seperti pemasungan, perantaian, pengurungan, dan perendaman dalam air,
masih banyak terjadi.
Stigma dan diskriminasi terhadap bekas penderita gangguan jiwa juga
terjadi secara luas di masyarakat umum. Hal tersebut mengakibatkan penderita
gangguan jiwa kehilangan kesempatan, baik untuk mendapatkan pekerjaan,
pendidikan, maupun peran sosial yang layak di masyarakat. Berbagai kebijakan
publik juga terlihat masih memberikan perlakuan diskriminatif dan tidak adil
terhadap penderita gangguan jiwa. Sementara itu pemberitaan/pemaparan oleh
media massa tentang penderita gangguan jiwa lebih banyak bersifat eksploitatif
tanpa mempertimbangkan implikasi negatifnya terhadap pembentukan opini
publik yang salah tentang penderita gangguan jiwa.
Dewasa ini ada pandangan di masyarakat terhadap penderita gangguan
jiwa bahwa mereka bertanggung jawab atas kondisi gangguan yang dialaminya.
Hal itu terjadi karena karakter mereka yang buruk, ketidakmampuan mengatasi
stres psikososial, dan kelemahan jiwa ataupun kelemahan mental. Dalam kaitan
tersebut, Watson (2004:30) berpendapat bahwa menyalahkan penderita untuk
kondisi kehidupan seperti gangguan jiwa akan mengarah pada rasa emosional
(kemarahan) serta pengucilan sosial, baik yang dilakukan sendiri oleh penderita
maupun yang datangnya dari masyarakat. Upaya mendidik masyarakat tentang
penyebab (etiologi) gangguan jiwa dari sudut pandang biologis, psikologis, dan
sosiobudaya diharapkan dapat memerangi stigma gangguan jiwa (destigmatisasi).
Dikatakan pula bahwa sikap menyalahkan penderita gangguan jiwa hanya akan
memperburuk stigma. Sebaliknya, penjelasan biopsikososiobudaya telah terbukti
9
menjanjikan. Di sinilah diperlukan pendekatan yang seimbang untuk memaknai
berbagai mitos tentang gangguan jiwa dengan berbagai informasi faktualnya.
Dalam kaitan dengan penjelasan tersebut diketahui bahwa, gangguan jiwa
merupakan salah satu masalah kesehatan yang sangat penting. Masalah
gangguan jiwa secara tidak langsung akan menurunkan produktivitas apalagi
jika menderita gangguan jiwa dimulai pada usia produktif. Selain itu, juga
menambah beban bagi keluarga penderita. Hal lainnya, yaitu masih banyak
ditemukan di masyarakat penderita gangguan jiwa yang dipasung oleh
keluarganya. Data dari Kementerian Sosial RI menunjukkan bahwa ada sekitar
57.000 orang penderita gangguan jiwa yang dipasung. Pada tahun 2014 sekitar
1.274 kasus pasung dilaporkan di 21 provinsi dan 93% dikabarkan telah bebas
dari praktik pemasungan (http://kemsos.go.id/).
Hal yang hampir sama juga terjadi di Bali. Dari data Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan RI (2013), diketahui bahwa Provinsi Bali masuk dalam
daftar lima besar gangguan jiwa berat terbanyak di Indonesia, yaitu masing-
masing DI Yogyakarta (2,7%), DI Aceh (2,7%), Provinsi Sulawesi Selatan
(2,6%), Provinsi Bali (2,3%), dan Provinsi Jawa Tengah (2,3%) (Riskedas, 2013:
126). Di daerah Bali jumlah angka gangguan jiwa yang dipasung di masyarakat
menunjukkan masih terjadi peningkatan kasus dari tahun ke tahun. Pada tahun
2012 lalu di Bali tercacat 32 kasus pemasungan penderita gangguan jiwa yang
berhasil ditangani. Jumlah itu justru meningkat pada tahun 2013.
Pihak Rumah Sakit Jiwa Pusat Bangli sebagai satu-satunya rumah sakit
jiwa di Bali yang berlokasi di Kabupaten Bangli sudah menangani lebih dari 38
10
pasien penderita gangguan jiwa yang dipasung. Jumlah itu kemungkinan besar
masih akan terus meningkat seiring dengan masih tingginya stigma buruk
terhadap penderita gangguan jiwa yang terjadi di masyarakat
(http://www.halocities.com/7948). Hal ini membuktikan bahwa sebagian besar
masyarakat masih sangat malu kalau ada anggota keluarganya yang menderita
gangguan jiwa. Dengan demikian, dirahasiakan dan tidak mendapatkan
penanganan yang semestinya dan optimal.
Tidak bisa dimungkiri, ketika mendengar kata kota “Bangli”, otomatis
akan langsung terpikir mengenai rumah sakit jiwa, bukan terpikir tentang hal
lainnya. Bangli seakan-akan secara otomatis dicitrakan dengan rumah sakit jiwa
atau lekat dengan orang-orang gangguan jiwa. Menurut Purwanto (2001:85), citra
adalah sesuatu yang tampak oleh indra, tetapi tidak memiliki eksistensi yang
substansial, suatu persamaan atau representasi atau visualisasi. Citra bisa merujuk
pada suatu representasi visual dari realitas seperti terlihat pada foto, bisa merujuk
pada konsepsi mental, atau imajinatif seorang individu, peristiwa, lokasi, atau
objek. Lebih lanjut Purwanto menyatakan bahwa salah satu upaya untuk mencoba
memahami citra lingkungan perkotaan dapat dilakukan dengan cara mengetahui
peta mental manusia sebagai pengamat.
Peta mental mempersoalkan cara pengamat memperoleh, mengorganisasi,
menyimpan, dan mengingat kembali informasi tentang lokasi, tempat, jarak, dan
susunan dalam lingkungan fisik (kota). Lebih lanjut dikatakan bahwa peta mental
mempunyai konsep dasar yang disebut dengan imagibilitas atau kemampuan
untuk mendatangkan kesan. Imagibilitas mempunyai hubungan yang sangat erat
11
dengan legibilitas atau kemudahan untuk dapat dipahami/dibayangkan dan dapat
diorganisir menjadi satu pola yang koheren. Imagibilitas juga dapat disebut ilmu
tentang citra atau imaji serta peran teknologi pencitraan dalam membentuknya.
Seturut dengan hal tersebut, hubungan timbal balik manusia dengan
lingkungan perkotaan merupakan proses dua arah yang konstruktif dan didukung,
baik oleh ciri sifat yang dapat memberikan image (citra) lingkungan maupun oleh
ciri sifat kegiatan dan kejiwaan manusia (Purwanto, 2001:86). Terkait dengan
masalah peta mental dalam pencitraan Kota Bangli dapat dijelaskan bahwa peta
mental merupakan proses aktif yang dilakukan oleh pengamat. Oleh karena itu,
penghayatan pengamat terhadap lingkungan perkotaan terjadi secara spontan dan
langsung. Spontanitas tersebut terjadi karena pengamat selalu menjajaki
(eksplorasi) lingkungannya dan dalam penjajakan itu pengamat melibatkan setiap
objek yang ada di lingkungannya. Selain itu, setiap objek menonjolkan sifat-
sifatnya yang khas untuk pengamat bersangkutan.
Daya cipta akibat proses penghayatan, pengamatan, dan pengenalan
lingkungan kota terbentuk atas unsur-unsur yang diperoleh dari pengalaman
langsung, apakah seseorang telah mendengar mengenai suatu tempat dan dari
informasi yang dibayangkan. Jadi, jelaslah bahwa mengapa setiap mendengar kata
Bangli, orang pertama kali selalu mengaitkannya/menghubungkannya dengan
“orang gila” (nak buduh) ataupun dengan rumah sakit jiwa-nya. Kondisi inilah
secara tidak langsung akan membentuk stigma terhadap penderita gangguan jiwa.
Menurut pendapat para ahli teori sosial budaya yang radikal, penyakit
mental tidak lebih daripada hanya mitos. Artinya, ideologi dalam mitos tersebut
12
digunakan untuk menodai dan menundukkan orang-orang yang tingkah lakunya
menyimpang dari masyarakat. Menurut Szasz dalam Semiun (2006:270), orang-
orang yang melukai hati orang lain atau menjalankan tingkah laku yang
menyimpang dari masyarakat dilihat sebagai ancaman oleh orang-orang yang
merasa diri mapan. Ketika sebutan (labeling) “penyakit mental” digunakan, sulit
sekali menghilangkannya. Sebutan itu juga mempengaruhi bagaimana orang lain
memberikan respons kepada orang itu. Upaya memperlakukan orang-orang
sebagai “orang-orang yang menderita sakit mental” sama saja dengan
menelanjangi martabat mereka. Dengan sebutan “sakit mental”, berarti orang lain
memberikan stigmatisasi dan degradasi sosial kepada orang itu. Dengan demikian,
peluang-peluang kerja tertutup untuk mereka, persahabatan mungkin putus, dan
orang-orang yang disebut sakit mental itu makin lama makin diasingkan dari
masyarakat.
Perlakuan terhadap orang yang menderita gangguan jiwa yang semena-
mena ini biasanya ditentukan oleh persepsi dan konsepsi masyarakat atau
pemerintah terhadap gangguan jiwa. Artinya, sebuah konsepsi yang keliru tentang
gangguan jiwa pasti akan membuahkan penanganan yang keliru pula dan pada
gilirannya cara penanganan yang salah justru akan menyebabkan orang yang
mengalami gangguan jiwa malah bertambah menderita tidak dipulihkan. Stigma
telah menjadi penanda untuk pengalaman buruk mereka. Stigma berhubungan
dengan kekuasaan dan dominasi di masyarakat. Pada puncaknya, stigma akan
menciptakan ketidaksetaraan sosial. Stigma berurat akar di dalam struktur
masyarakat dan dalam norma-norma dan nilai-nilai yang mengatur kehidupan
13
sehari-hari. Hal ini menyebabkan beberapa kelompok menjadi kurang dihargai,
merasa malu, dan terjadi penolakan sosial. Sebaliknya, kelompok lainnya merasa
superior.
Penolakan sosial (social exclusion) merupakan masalah sosial yang utama
yang dihadapi penderita gangguan jiwa. Sikap masyarakat ini muncul dalam
berbagai bentuk perilaku, seperti penolakan keberadaan penderita dalam
kehidupan sosial masyarakat; berbagai bentuk diskriminasi, baik dalam
kesempatan pendidikan, pekerjaan, maupun layanan kesehatan; berbagai bentuk
pemasungan dari bentuk “klasik”, yaitu pemasungan menggunakan balok kayu
hingga berbagai bentuk ikatan atau kurungan; dan tindak kekerasan terhadap
penderita. Masalah ini berakar dari adanya stigma dan pengetahuan yang
berkembang di masyarakat tentang gangguan jiwa (Irmansyah, 2009:45--46).
Berbagai bentuk perilaku ini akan menghambat proses pemulihan penderita dan
usaha mengembalikan penderita dalam kehidupan di tengah keluarganya dan
masyarakat.
Terkait dengan hal tersebut, penelitian ini mengkaji fenomena stigma
gangguan jiwa pada penderita gangguan jiwa di Bali. Aspek-aspek yang menarik
untuk dikaji secara lebih mendalam berkaitan dengan bentuk-bentuk stigma
gangguan jiwa, faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya stigma terhadap
penderita gangguan jiwa, dan implikasi stigma gangguan jiwa terhadap penderita
dan keluarga penderita. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami
kenyataan-kenyataan faktual dalam konteks stigma pada penderita gangguan jiwa
14
yang mendapat perawatan (rawat inap dan rawat jalan) di Rumah Sakit Jiwa Pusat
Bangli.
Sebagaimana diketahui bahwa persoalan gangguan jiwa merupakan
masalah yang kompleks, artinya tidak hanya berkaitan dengan profesional
kesehatan jiwa, pasien, dan keluarga, tetapi juga menyangkut masalah masyarakat
yang lebih luas, terutama masalah stigma dan perlindungan terhadap harkat dan
martabat mereka. Pandangan bahwa gangguan jiwa merupakan penyakit yang
tidak dapat disembuhkan tidak hanya mendominasi di antara kalangan profesional
di bidang kesehatan mental. Pandangan serupa juga telah terbentuk sebagai sikap
komunitas terhadap penderita gangguan jiwa. Hal ini telah membentuk stigma dan
konstruksi pemahaman sosial mengenai apa yang dimaksud dan makna gangguan
jiwa.
Stigma gangguan jiwa yang ada di masyarakat terhadap penderita
gangguan jiwa secara tidak langsung menyebabkan keluarga atau masyarakat di
sekitar penderita gangguan jiwa enggan untuk memberikan penanganan yang
tepat terhadap keluarga atau tetangga mereka yang mengalami gangguan jiwa.
Oleh karena itu, tidak jarang mengakibatkan penderita gangguan jiwa yang tidak
tertangani ini melakukan perilaku kekerasan atau tindakan tidak terkontrol yang
meresahkan keluarga, masyaraka, dan lingkungan.
Dalam kaitan tersebut, masyarakat juga mempunyai peran penting dalam
penanganan penderita gangguan jiwa. Hal yang paling penting harus dipahami
masyarakat adalah penderita gangguan jiwa merupakan manusia biasa seperti
halnya penderita penyakit lain, yaitu manusia biasa yang menghadapi masalah
15
kesehatan dan memerlukan bantuan. Sikap yang tidak mau peduli, takut,
anggapan yang keliru, memandang rendah, dan penolakan pada penderita
gangguan jiwa merupakan masalah rumit yang dilabelkan masyarakat pada
penderita gangguan jiwa. Hal inilah yang harus diubah oleh masyarakat. Perasaan
masyarakat bahwa penderita gangguan jiwa merupakan sesuatu yang mengancam
juga harus diluruskan. Tak dapat dimungkiri bahwa sikap dan penerimaan
masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa merupakan faktor yang sangat
berpengaruh terhadap penyembuhan penderita gangguan jiwa.
Stigma beroperasi layaknya penjara. Bukan penjara dalam pengertian fisik
yang mengurung narapidana, melainkan penjara dalam relasi sosial. Demikian
juga kategori-kategori abnormalitas dan menyimpang merupakan konstruksi
sosial yang telah menjadi mitos. Sebuah mitos rasionalitas yang dibangun oleh
aparat kemajuan, rezim pengetahuan, dan modernisme. Hal ini berarti bahwa
semua pihak dituntut memiliki sensitivitas dan kepekaan dalam melihat
kenyataan. Dalam hal ini apakah suatu konsep atau sistem pengetahuan tertentu
lebih humanis dan emansipatoris atau sebaliknya justru melakukan
dehumanisasi. Upaya menghilangkan stigma gangguan jiwa di masyarakat
memang tidak mudah, artinya diperlukan partisipasi semua pihak. Namun penting
selalu berusaha menurunkan stigma tersebut dengan harapan agar pada masa yang
akan datang hilang dengan sendirinya (destigmatisasi). Penanganan stigma
tersebut memerlukan pendidikan dan kemauan yang keras dari individu-individu
di masyarakat. Di samping itu, juga diperlukan keberanian yang besar untuk ikut
serta dalam penanganan tersebut.
16
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka
permasalahan penelitian yang menarik untuk dikaji dapat diformulasikan dalam
bentuk pertanyaan, sebagai berikut.
1. Bagaimana bentuk-bentuk stigma para penderita gangguan jiwa yang
menjalani perawatan di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali?
2. Faktor-faktor apa yang memengaruhi konstruksi stigma penderita
gangguan jiwa yang menjalani perawatan di Rumah Sakit Jiwa Provinsi
Bali?
3. Bagaimana implikasi stigma gangguan jiwa terhadap penderita dan
keluarga penderita?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami
kenyataan-kenyataan faktual dalam konteks stigma terhadap penderita gangguan
jiwa yang mendapat perawatan di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali.
1.3.2 Tujuan Khusus
Secara khusus penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui, memahami, dan menjelaskan bentuk-bentuk stigma
para penderita gangguan jiwa yang menjalani perawatan di Rumah Sakit
Jiwa Provinsi Bali.
17
2. Untuk mengetahui, memahami, dan menjelaskan factor-faktor yang
melatarbelakangi terjadinya stigma terhadap penderita gangguan jiwa yang
menjalani perawatan di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali.
3. Untuk mengeksplorasi implikasi stigma gagguan jiwa terhadap penderita
dan keluarga penderita.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoretis
Manfaat teoretis penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Temuan penelitian ini menambah wawasan keilmuan yang holistik dan
integratif sesuai dengan kekhasan kajian budaya dengan pendekatan
multidisipliner dan teori-teori kritis yang digunakan.
2. Temuan penelitian ini menambah pengetahuan yang relatif baru mengenai
hal-hal yang terkait dengan masalah konstruksi stigma gangguan jiwa.
3. Hasil penelitian ini bermanfaat untuk dijadikan sumber inspirasi bagi
peneliti lain, terutama yang tertarik untuk mengkaji persoalan yang terkait
dengan topik yang berhubungan dengan bidang masalah stigma penderita
gangguan jiwa, perspektif, dan permasalahan yang berbeda.
1.4.2 Manfaat Praktis
1. Manfaat bagi para keluarga pasien, hasil penelitian ini kiranya dapat
menjadi bahan edukasi dalam hal penatalaksanaan masalah gangguan jiwa.
Di samping itu, sebagai unit yang paling dekat dengan pasien, keluarga
pasien dapat mengerti apa kondisi yang dialami anggota keluarganya.
18
Artinya, penanganan yang tepat dapat merawat, menjaga, dan
memperhatikan kesembuhan pasien. Hal lainnya adalah keluarga sekaligus
mampu menjaga lingkungan yang sehat secara psikologis bagi pasien.
2. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan
pemikiran dalam memperluas wawasan dan memperoleh cara pandang
yang berbeda. Di samping itu, juga sekaligus berusaha meningkatkan
pemahaman masyarakat sehingga dapat menghargai dan menerima orang
yang mengalami gangguan jiwa.
3. Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi pemerintah daerah
atau lembaga terkait lainnya dalam menentukan kebijakan sehubungan
dengan kebijakan masalah penanganan gangguan jiwa yang lebih humanis.
4. Manfaat bagi para tenaga/praktisi medis, seperti dokter, psikiater,
perawat, dan staf medis lainnya, hasil penelitian ini kiranya dapat
dijadikan bahan rujukan dalam melaksanakan asuhan keperawatan, baik
kepada pasien penderita gangguan jiwa maupun keluarga pasien,
khususnya dalam hal mengembangkan hubungan komunikasi dengan
mengedepankan bentuk komunikasi yang tidak bersifat otoritatif.