uang nai’: antara cinta dan gengsi

13
Jurnal Akuntansi Multiparadigma JAMAL Volume 6 Nomor 2 Halaman 175-340 Malang, Agustus 2015 ISSN 2086-7603 e-ISSN 2089-5879 224 UANG NAI’: ANTARA CINTA DAN GENGSI Sri Rahayu Yudi Universitas Jambi Jl. Raya Jambi- Muara Bulian Km15, Jamlbi Surel: [email protected] Abstrak: Uang Nai’: Antara Cinta dan Gengsi. Studi ini bertujuan memahami doi menre atau uang Nai’ dalam Budaya Panai’ Bugis Makas- sar saat menentukan besaran uang belanja perkawinan Data dianalisis dengan menggunakan pola budaya perkawinan adat masyarakat Bugis yang dikemukakakan oleh Lamallongeng Hasil penelitian menemukan bahwa fenomena tingginya uang Nai’, mahar dan sompa dipandang kaum muda Bugis dan orang luar sebagai bentuk harga Lamaran dianggap transaksi antara kedua keluarga calon pengantin Pandangan ini keliru, sebab budaya panai’ merupakan bentuk penghargaan budaya Bugis ter- hadap wanita, siri’, prestise dan status sosial Uang nai’ merupakan ben- tuk penghargaan keluarga pihak pria terhadap keluarga wanita karena telah mendidik anak gadisnya dengan baik Abstract: Money of Na’i: Between Love and Prestige. This study is aimed to understand doi menre or money of Na’i at Panali’ in the culture of Bugis Makassar in determining amount of the spending in a wedding. The study was analysed by wedding culture pattern stated by Lamallongeng. The result shows that the high amount of uang Nai’ dowry and sompa has been viewed by youth and society as a form of price. Panai culture is a form of Bugis culture appreciation to the bride, siri’, prestige, and social status instead of a mere transactional between two families. Nai’ money is in fact as an appreciation of the groom’s family to the bride’s family because they have educated the woman well. Kata Kunci: Budaya Panai’, Mahar, Uang Nai’, Sompa,Siri’ Diskursus mengenai akuntansi dan budaya bukan hal yang baru (lihat misal- nya Randa dan Daromes 2014) dan menjadi penting karena akuntansi harus dipahami sebagai bentukan dari budaya di mana akun- tansi tumbuh Artikel ini menelaah bagaima- na akuntansi penetapan uang nai’ atau harga suatu pernikahan dilandasi oleh nilai- nilai budaya lokal Budaya Panai’ merupa- kan proses penentuan jumlah uang belanja pesta perkawinan yang berasal dari daerah Provinsi Sulawesi Selatan Budaya ini juga masih kuat dipertahankan oleh sebagian be- sar orang Bugis-Makassar perantauan Wa- laupun sudah meninggalkan daerah nenek moyang bertahun-tahun, bahkan telah lahir di daerah perantauan, budaya panai’ tetap juga digunakan dalam proses lamaran sebe- lum pernikahan Budaya ini menimbulkan kegelisahan bagi pihak laki-laki baik dari masyarakat Bugis maupun dari luar ma- syarakat Bugis berkaitan dengan mahalnya uang nai’ yang akan diberikan oleh pihak keluarga laki-laki Bagi orang tua sederhana yang mempunyai anak laki-laki akan mera- sa gelisah oleh masalah pendanaan yang harus disediakan untuk doi menre Semen- tara pihak wanita yang menunggu datang- nya lamaran dari seorang laki-laki juga akan gelisah karena kekhawatiran tidak adanya laki-laki yang menyanggupi doi menre yang ditetapkan oleh keluarganya Sesuai dengan adat yang berlaku dalam masyarakat Bugis, persyaratan lebih banyak dibebankan kepada pihak laki-laki Hampir seluruh pembiayaan dalam pelaksanaan perkawinan ditanggung oleh pihak laki-laki (Lamallongeng 2007: 6) Pembiayaan terse- Tanggal Masuk: 2 April 2015 Tanggal Revisi: 11 April 2015 Tanggal Diterima: 14 Juli 2015 http://dxdoiorg/1018202/jamal2015086018

Upload: others

Post on 10-May-2022

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: UANG NAI’: ANTARA CINTA DAN GENGSI

Jurnal Akuntansi Multiparadigma JAMAL Volume 6 Nomor 2 Halaman 175-340 Malang, Agustus 2015 ISSN 2086-7603 e-ISSN 2089-5879

224

UANG NAI’: ANTARA CINTA DAN GENGSI

Sri RahayuYudi

Universitas JambiJl. Raya Jambi- Muara Bulian Km15, JamlbiSurel: [email protected]

Abstrak: Uang Nai’: Antara Cinta dan Gengsi. Studi ini bertujuan memahami doi menre atau uang Nai’ dalam Budaya Panai’ Bugis Makas-sar saat menentukan besaran uang belanja perkawinan Data dianalisis dengan menggunakan pola budaya perkawinan adat masyarakat Bugis yang dikemukakakan oleh Lamallongeng Hasil penelitian menemukan bahwa fenomena tingginya uang Nai’, mahar dan sompa dipandang kaum muda Bugis dan orang luar sebagai bentuk harga Lamaran dianggap transaksi antara kedua keluarga calon pengantin Pandangan ini keliru, sebab budaya panai’ merupakan bentuk penghargaan budaya Bugis ter-hadap wanita, siri’, prestise dan status sosial Uang nai’ merupakan ben-tuk penghargaan keluarga pihak pria terhadap keluarga wanita karena telah mendidik anak gadisnya dengan baik

Abstract: Money of Na’i: Between Love and Prestige. This study is aimed to understand doi menre or money of Na’i at Panali’ in the culture of Bugis Makassar in determining amount of the spending in a wedding. The study was analysed by wedding culture pattern stated by Lamallongeng. The result shows that the high amount of uang Nai’ dowry and sompa has been viewed by youth and society as a form of price. Panai culture is a form of Bugis culture appreciation to the bride, siri’, prestige, and social status instead of a mere transactional between two families. Nai’ money is in fact as an appreciation of the groom’s family to the bride’s family because they have educated the woman well.

Kata Kunci: Budaya Panai’, Mahar, Uang Nai’, Sompa,Siri’

Diskursus mengenai akuntansi dan budaya bukan hal yang baru (lihat misal-nya Randa dan Daromes 2014) dan menjadi penting karena akuntansi harus dipahami sebagai bentukan dari budaya di mana akun-tansi tumbuh Artikel ini menelaah bagaima-na akuntansi penetapan uang nai’ atau harga suatu pernikahan dilandasi oleh nilai-nilai budaya lokal Budaya Panai’ merupa-kan proses penentuan jumlah uang belanja pesta perkawinan yang berasal dari daerah Provinsi Sulawesi Selatan Budaya ini juga masih kuat dipertahankan oleh sebagian be-sar orang Bugis-Makassar perantauan Wa-laupun sudah meninggalkan daerah nenek moyang bertahun-tahun, bahkan telah lahir di daerah perantauan, budaya panai’ tetap juga digunakan dalam proses lamaran sebe-lum pernikahan Budaya ini menimbulkan

kegelisahan bagi pihak laki-laki baik dari masyarakat Bugis maupun dari luar ma-syarakat Bugis berkaitan de ngan mahalnya uang nai’ yang akan diberikan oleh pihak keluarga laki-laki Bagi orang tua sederhana yang mempunyai anak laki-laki akan mera-sa gelisah oleh masalah penda naan yang harus disediakan untuk doi menre Semen-tara pihak wanita yang menunggu datang-nya lamaran dari seorang laki-laki juga akan gelisah karena kekhawatiran tidak adanya laki-laki yang menyanggupi doi menre yang ditetapkan oleh keluarganya

Sesuai dengan adat yang berlaku dalam masyarakat Bugis, persyaratan lebih banyak dibebankan kepada pihak laki-laki Hampir seluruh pembiayaan dalam pelaksanaan perkawinan ditanggung oleh pihak laki-laki (Lamallongeng 2007: 6) Pembiayaan terse-

Tanggal Masuk: 2 April 2015Tanggal Revisi: 11 April 2015Tanggal Diterima: 14 Juli 2015

http://dx doi org/10 18202/jamal 2015 08 6018

Page 2: UANG NAI’: ANTARA CINTA DAN GENGSI

Rahayu, Yudi, Uang Nai’: Antara Cinta dan Gengsi 225

but yaitu: uang belanja (dalam bahasa Bugis doi menre/uang panai’ (selanjutnya akan disebut uang nai’ atau doi menre secara ber-gantian), sompa/mahar, leko/sirih pinang, mappaota dan pallawa tana Masyarakat Bugis akan mengatakan seroang laki-laki bisa kawin jika “mampu mengelilingi dapur sebanyak tujuh kali sehari” yang artinya seorang laki-laki barulah dianggap mampu untuk kawin jika segala yang diperlukan un-tuk masak di dapur dapat dipenuhinya

Realitanya, saat ini masih ada “pe-rawan tua”, sebuah istilah bagi perempuan yang sudah dewasa namun belum meni-kah, karena tak ada lelaki yang sanggup memenuhi persyaratan uang panai’nya atau memang tidak ada lelaki yang berani mela-marnya, karena persoalan uang panai’ yang terlalu mahal (Arifuddin 2013) Selanjutnya, Arifuddin menyebutkan adanya headline Tribun Timur edisi Senin (4/11/2013) ten-tang berita penikaman yang terjadi karena uang panai’ yang kurang sebesar tujuh juta rupiah Atas nama siri’ na pace darah ha-rus tumpah Menurut Arifuddin, ini adalah berita headline tentang penikaman karena uang nai’/panaik/doi menre kesekian yang ditampilkan oleh surat kabar harian Tak terhitung pula rencana pernikahan yang terpaksa dibatalkan karena pihak orang tua atau wali perempuan bersikukuh dengan nominal tertentu

Seiring perjalanan waktu, uang nai’ telah menjadi momok tersendiri khususnya bagi kaum muda Fenomena lain yang mun-cul kaum muda memandang uang nai’ ini sebagai hasil kesepakatan penentuan harga, sehingga budaya panai’ dipandang bersifat transaksional antara pihak laki-laki dan pi-hak perempuan Artikel ini mencoba mema-hami apa itu budaya panai’ bagi masyarakat Bugis perantauan? Selain itu, nilai apa yang ada dibalik budaya panai’?

METODEStudi ini merupakan studi dengan

pendekatan kualitatif, peneliti langsung menjadi instrumen studi Seseorang hanya dapat memahami dunia sosial dengan mem-peroleh pengetahuan langsung mengenai subjek yang diinvestigasi (Burrel dan Mor-gan 1979) Interaksi sosial masing-masing individu harus dipahami secara totalitas (Sawarjuwono 2005) Setiap tindakan ma-nusia pada dasarnya bermakna, melibatkan penafsiran, berpikir dan disengaja (Mul-yana 2003: hlm 61) Obyek dari penelitian

ini adalah manusia, sehingga penelitian ini kurang sesuai jika dilakukan dengan kuan-titatif, mengingat paradigma fungsionalis dari ilmu sosial cenderung mengartikulasi dunia sebagai artefak empiris dan hubung-an yang ada dapat diidentifikasi dan diukur dengan ilmu natural seperti ilmu biologi dan mekanik (Burrel dan Morgan 1979: hlm 26) Oleh karena itu, penelitian-penelitian dalam paradigma ini selalu menekankan obyek-tivitas yang tinggi, sehingga obyek berdiri sendiri secara independen dengan subyek yang menciptakannya, sehingga menghadir-kan obyek tersebut “bebas dari nilai” subyek (Triyuwono, 2002)

Terdapat lima keberatan penting dalam menggunakan model natural science untuk diterapkan pada penelitian ilmu sosial dan keperilakuan Pertama, keunikan: setiap organisasi memiliki keunikan, perilaku dan teori organisasi umum belum tentu dapat digunakan untuk semua organisasi Kedua, ketidakstabilan: fenomena ilmu alam yang sifanya teratur dan cenderung stabil sa-ngat berbeda dengan fenomena ilmu sosial dan keperilakuan yang terus berubah dalam dimensi waktu dan ruang, Ketiga, sensitivi-tas: orang dan organisasi pada hakikatnya berperilaku sensitif Keempat, kurang rea-listis: pengendalian variabel bisa mengubah fenomena riil yang dipelajari dan kelima, perbedaan epistemologi: pemahaman sebab akibat sesuai untuk ilmu alam tetapi kurang tepat digunakan untuk eksplorasi perilaku manusia (Behling 1980) Ketika cara ber-pikir ilmu alam dipaksakan untuk mengkaji perilaku manusia, maka memang banyak persoalan yang muncul (Irianto 2006)

Studi ini memahami bentuk realitas akuntansi yang ada dalam suatu kelompok budaya tertentu Kelompok budaya yang menjadi obyek kajian adalah budaya panai’ dalammasyarakat Bugis Metode analisis data yang digunakan adalah pola budaya perkawinan adat dalam masyarakat Bu-gis yang dikemukakan oleh Lamallongeng (2007) Budaya perkawinan masyarakat Bu-gis ini memiliki tahapan-tahapan sebagai berikut:1 Mammanu’manu’ Mamanu’manu’ ber-

arti melakukan kegiatan seperti burung yang terbang ke sana ke mari Tahap ini merupakan langkah awal yang dilakukan oleh orang tua laki-laki yang bermaksud mencarikan jodoh bagi anaknya Setelah menemukan seorang gadis yang menurut pertimbangan bisa dijadikan isteri bagi

Page 3: UANG NAI’: ANTARA CINTA DAN GENGSI

226 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 6, Nomor 2, Agustus 2015, Hlm. 224-236

anaknya, langkah selanjutnya adalah menyelidiki keadaan gadis calon mempe-lai (mappese’pese’) Kegiatan ini dilaku-kan oleh keluarga dekat gadis tersebut untuk mengetahui bagaimana tingkah laku, kesehatan, dan sebagainya

2 Tahap Mappese’pese’ Biasanya yang melakukan kegiatan ini adalah keluarga dekat gadis untuk melihat keadaan gadis tersebut Setelah memenuhi persyaratan yang diinginkan pihak laki-laki, maka dibuatlah kesepakatan untuk melanjut-kan ke tahap selanjutnya yaitu memi-nang (massuro)

3 Massuro Pada tahap ini pihak laki-laki mengutus orang yang dianggap disegani untuk mabbaja laleng (merintis jalan) Jika pihak perempuan belum merasa puas dengan acara peminangan, mereka akan menelusuri lebih jauh tentang asal usul laki-laki (mattutung lampe) Setelah terjadi kesepakatan bahwa lamaran pi-hak laki-laki telah diterima dengan baik oleh pihak orang tua perempuan maka ditentukanlah acara mappettu ada (me-mutuskan segala keperluan pernikahan)

4 Mappettu Ada Tahap ini membicarakan tanra esso (penentuan hari pernikahan), doi menre (uang belanja), dan sompa (mahar) Tanra esso mempertimbangkan waktu-waktu yang luang bagi keluarga Biasanya yang paling menentukan hari pernikahan adalah dari pihak perem-puan, sementara pihak laki-laki mengi-kuti Dalam masyarakat Bugis Bone, hari-hari hajatan, termasuk pernikahan, ditentukan oleh orang pintar di kampung itu Uang belanja (doi menre) merupakan uang yang akan digunakan sebagai bi-aya pesta Besaran uang belanja sangat ditentukan oleh besar kecilnya rencana pesta dan harga yang berlaku di pasaran Sundrang atau sompa (mahar) adalah pemberian pihak laki-laki kepada perem-

puan yang dinikahinya berupa uang atau benda sebagai syarat sahnya perkawi-nan

5 Mappaere Botting Tahap ini merupakan acara prosesi puncak perkawinan, mem-pelai laki-laki diantar ke rumah mempe-lai perempuan

6 Mapparola Pada tahap ini, mempelai perempuan diantar oleh keluarga dan sanak saudaranya ke rumah keluarga laki-laki Tahap ini dilaksanakan setelah akad nikah atau keesokan harinya de-ngan pakaian seperti pakaian pada hari pernikahan Pihak keluarga laki-laki akan memberikan sesuatu/hadiah kepa-da mempelai perempuan sebagai tanda syukur (mappaota)

Empat dari enam tahap yang disam-paikan oleh Lamallongeng (2007) digunakan untuk penelitian ini Tahap lima dan enam tidak lagi berkaitan dengan penentuan uang nai’ Pada tahap keempat merupakan pro sesi pernikahan dan tahap lima acara setelah pernikahan Penentuan uang nai’ terjadi sebelum prosesi pernikahan Tahap analisis data lapangan dilakukan menggu-nakan empat tahapan yaitu tahap reduksi data, penentuan tema, penafsiran atas data, dan analisis pola temuan Rangkaian pola disusun untuk menggambarkan bagaimana suatu budaya tetap dijalankan oleh kelom-pok tertentu Hasilnya adalah potret kebu-dayaan yang holistik dari kelompok tersebut dari sudut pandang partisipan dan peneliti

Situs studi adalah kelompok masyara-kat Bugis perantauan Walaupun telah merantau dalam kurun waktu yang cukup lama, kelompok ini masih mempertahankan budaya panai’ dalam tradisi lamaran In-forman yang dipilih dalam studi ini adalah orang Bugis yang sudah lama merantau ke situs penelitian Peneliti menggali dari ber-bagai sudut pandang yaitu antara lain dari orang tua seperti tokoh himpunan keluarga

Tabel 1. Daftar Informan Penelitian

No. Nama Keterangan1 Bapak H Mantan Ketua Himpunan Keluarga Makasar di situs penelitian

2 R Gadis Bugis yang belum menikah

3 Y Wanita Bugis menikah dengan pria non Bugis

4 AS Pria Bugis menikah dengan wanita Bugis

5 AM Pria Bugis menikah dengan wanita non Bugis

6 N Wanita Bugis menikah dengan pria Bugis

Page 4: UANG NAI’: ANTARA CINTA DAN GENGSI

Rahayu, Yudi, Uang Nai’: Antara Cinta dan Gengsi 227

Sulawesi Selatan di situs penelitian dan kaum muda Bugis baik wanita Bugis yang belum menikah maupun yang sudah me-nikah Peneliti memilih orang-orang yang sudah lama dan sering berinteraksi de ngan peneliti sebagai informan Hal ini penting dalam proses wawancara Wawancara meli-batkan dua proses yang berbeda namun saling melengkapi yaitu mengembangkan hubungan dan meminta informasi Hubung-an mendorong informan untuk berbicara tentang budaya mereka Informasi yang diperoleh pun akan mendorong perkemba-ngan hubungan antara informan dan penel-iti (Spradley 1979)

Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam dengan enam orang informan tersebut Selain itu, pengalaman pribadi peneliti selama berinteraksi dengan kelompok masyarakat ini juga dijadikan se-bagai tambahan informasi untuk analisis

HASIL DAN PEMBAHASANSistem kekerabatan dan perkawinan

Bugis Makassar.Suku Bugis Makassar adalah suku

dominan mendiami daerah provinsi Sulawe-si selatan Selain suku Bugis Makassar ter-dapat beberapa suku lain di antaranya suku Toraja, suku Mandar, suku Duri dan suku Kajang Makassar adalah kota pelabuhan terbesar di Sulawesi Selatan (Pelras 2006 dan Poelinggomang 2002) dan sejak abad ke 18 Masehi banyak orang Bugis bermukim di sana (Pelras 2006:16) Sejak dahulu orang Bugis Makassar dikenal sebagai pelaut ulung dan perantau (Kahar 2012) Mobili-tas mereka yang tinggi menjadikan banyak yang menjadi perantau (Pelras 2006:5) Ke-gemaran berlayar dan merantau menjadikan mereka tersebar di hampir seluruh daerah di nusantara, bahkan sampai ke mancaneg-ara Hasil penyebaran ini membentuk istilah “kampung Bugis” dan “kampung Makassar” di berbagai daerah atau di luar negeri (Kahar 2012)

Orang luar biasanya tidak dapat mem-bedakan antara orang Bugis dan Makassar Selain itu, kata Bugis dan Makassar sering disandingkan sehingga banyak menganggap itu adalah sinonim Padahal orang Bugis dan Makassar tetap merupakan dua entitas yang berbeda (Kahar 2012:16) Dewasa ini, setiap orang Sulawesi selatan yang beragama islam, ketika berada di luar provinsi, dengan senang hati memperkenalkan diri sebagai orang Bugis (Kahar 2012: hlm 16) Salah

satu keunikan orang Bugis atau Makassar adalah komitmen mempertahankan identi-tas, norma, adat dan nilai kearifan daerah asal mereka, walaupun mereka telah lama berada di perantauan (Kahar 2012)

Salah satu budaya yang terus di per-tahankan masyarakat Bugis adalah tradisi budaya panai’dalam proses lamaran dan upacara perkawinan Perkawinan merupa-kan ikatan lahir dan bathin antara laki-laki dan perempuan Menurut KBBI, perkawinan berasal dari kata kawin yang berarti mem-bentuk keluarga dengan lawan jenis Dalam masyarakat Bugis, upacara perkawinan menandai dimulainya jalinan hubungan ber-dasarkan cinta kasih yang sah menurut adat dan agama (Lamallongeng 2007: 1) Namun, upacara perkawinan, dalam bahasa Bugis disebut tudang botting, bukan hanya me-nyatukan dua orang menjadi sepasang sua-mi istri, tetapi juga menyatukan dua rum-pun keluarga yang lebih besar yaitu keluarga dari pihak mempelai laki-laki dan keluarga dari pihak mempelai wanita (Lamallongeng 2007:2) Begitu bangganya orangtua dalam masyarakat Bugis yang telah berhasil me-ngawinkan anaknya, mereka mengungkap-kannya sebagai mabbatang tauni anakku, yang berarti anakku telah menjadi manusia sempurna Berdasarkan ungkapan tersebut seorang anak yang mulai dewasa dan belum menikah dianggap belum menjadi manusia yang sempurna

Pemilihan jodoh (pasangan hidup) bagi masyarakat Bugis mengalami perubahan Hal ini dijelaskan oleh Bapak Haji, seorang pemuka Adat Bugis di Situs studi yang juga pernah menjadi ketua Himpunan Keluarga Sulawesi Selatan di situs tersebut

“Kondisi sekarang berbeda dahulu dengan sekarang Orang Bugis, se-belum tahun 70-an, anak perem-puan itu, mohon maaf peremuan itu di pingit Saya masih ingat se-tamat SD, kakak perempuan saya tidak boleh keluar rumah Se-hingga tidak mungkin ia bertemu de ngan laki-laki Kalaupun mau keluar rumah untuk kegiatan tertentu dia harus pakai keru-dung, tidak nampak wajah Hal ini tidak memungkinkan ia untuk berhubungan langsung dengan laki-laki, paling-paling mengintip dari balik jendela Sehingga ti-dak mungkin berhubungan lang-

Page 5: UANG NAI’: ANTARA CINTA DAN GENGSI

228 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 6, Nomor 2, Agustus 2015, Hlm. 224-236

sung perempuan Bugis harus di jodohkan Sekarang, pemilihan jodoh lebih dikarenakan perkena-lan terlebih dahulu antara laki-laki dan perempuan, atau me-reka telah lebih dulu kenal satu sama lainnya baru dikenalkan ke keluarga”

Dari penjelasan Pak Haji, diketahui bahwa masalah pemilihan jodoh bagi ma-syarakat Bugis dahulu selalu dipilihkan oleh orang tua Kedua mempelai saling ke-nal setelah duduk di pelaminan atau setelah masing-masing membuka pakaian pengan-tin yang ditandai dengan suatu acara yang disebut ripasiewa ada (disuruh saling me-nyapa) (Lamallongeng 2007: 9)

Rasa kekeluargaan orang Bugis sangat kuat Keluarga batih (inti) terdiri atas ayah, ibu dan anak yang disebut sianang(maranak) Sistem kekerabatan menganut garis bilateral atau parenta yang mengakui keluarga luas Semua orang yang mempunyai hubungan darah jauh dan dekat disebut seajing atau sumpung lolo (hati tersambung) (Soeroto 2003) Acara pernikahan dianggap sebagai acara silaturahmi keluarga besar Hal ini di-ungkapkan oleh Rianti:

“justru pesta nikah itu, acara kumpul dan silaturahmi keluarga besar Keluarga di Makassar ikut menentukan, misal ayuk kakak nikah kemaren, paman kakak yang di Makassar yang menentu-kan Mamak (ibu) kakak dak ber-hak menentukan Karno paman itulah wali tertuo dari keluarga bapak”

Dalam proses lamaran, paman tertua dari pihak ayah calon pengantin wanita bi-asanya memiliki peran penting Dalam per-nikahan mereka menganut pedoman memi-lih jodoh yang sitongko’ atau sikapu (artinya sepadan), terutama status sosialnya Jodoh yang dianggap ideal apabila berasal dari sta-tus sosial yang sama dan masih memiliki hubungan darah seperti sepupu satu kali atau dua kali (Soeroto 2003)

Proses Negosiasi dalam Budaya Pa-naik. Lamallongeng (2007:13) menggam-barkan dialog antara A, to madduta (orang yang membawa lamaran) dengan B, to riad-dutai (orang yang menerima lamaran) seperti berikut:

A: Iyaro bunga puteta-tepu tabbaka toni, engkanaga sappona?

(Bunga putih yang sedang mekar, apakah sudah memiliki pagar?)

B: De’ga pasa ri kampotta, balanca ri liput-ta mulinco mabela?

(Apakah tidak ada pasar di kampung anda, jualan ditempat anda sehingga anda pergi jauh?)

A: Engka pasa ri kampokku, balanca ri lipukku, nekiya nyawami kusappa

(Ada pasar di kampungku, jualan di tempatku, tetapi yang kucari adalah ahti yang suci/budi pekerti yang baik)

B: Iganaro maelo ri bunga puteku?, tem-makkedaung, temmakkecolli’

(siapakah yang berminat terhadap bu-nga putihku?, tidak berdaun, tidak pula berpucuk)

Tahap Mammanu’manu’. Tahap ini merupakan tahapan paling awal dari ren-cana pernikahan Orang tua bermaksud mencari jodoh untuk anak laki-lakinya yang dianggap sudah dewasa dan siap menikah Dulu orang tua yang menentukan calon ga-dis yang akan dilamar Sekarang sebagian besar orang tua sudah mempertimbangkan pergaulan keseharian anaknya Dalam arti apabila anak sudah membina hubungan dengan seorang gadis, hal ini ikut dijadikan pertimbangan oleh orang tua Informan Y menyebut tahap ini sebagai manu’-manu’ seperti kebiasaan burung yang terbang ke berbagai arah untuk menetapkan pilihan tempat tinggal Setelah menemukan seorang gadis yang akan dilamar, langkah ini dilan-jutkan dengan mappese’pese’ (menyelidiki)

Tahap Mappese’pese’ Tahap ini sering dianggap sebagai tahap awal dari prosesi la-maran Informan R menggambarkan proses awal lamaran dimulai dari adanya pihak atau utusan yang mencari informasi ten-tang calon wanita, seperti apakah sudah ada yang melamar? Dan kisaran besaran uang nai´ yang biasa diterima oleh keluarga gadis tersebut Beliau menyampaikan “keluarga kakak, kisarannya antara 30-100 juta, di lamaran terakhir 80 juta, itu hanya untuk uang nai’ saja, belum yang lain” Hal ini di-lakukan untuk menghindari malu, apabila lamaran resmi dilakukan dan ternyata kelu-arga calon mempelai laki-laki tidak mampu memenuhi permintaan keluarga wanita Utusan ini biasa dipanggil To duta. Pang-gilan lain untuk utusan di situs penelitian adalah mak comblang. Duta biasanya berasal

Page 6: UANG NAI’: ANTARA CINTA DAN GENGSI

Rahayu, Yudi, Uang Nai’: Antara Cinta dan Gengsi 229

dari keluarga dekat laki-laki untuk melihat keadaan gadis tersebut Setelah memenuhi persyaratan yang diinginkan pihak laki-laki, maka dibuatlah kesepakatan untuk melan-jutkan ke tahap selanjutnya yaitu meminang (massuro)

Tahap Massuro. Pada tahap ini utusn pihak laki-laki mulai membicarakan secara serius tentang kesepakatan lamaran Duta pada tahap ini bisa sama atau berbeda de-ngan tahap sebelumnya Duta pada tahap ini biasanya dipilih orang yang disegani dari pihak keluarga laki-laki Proses pada taha-pan ini bisa terjadi berulang-ulang, karena duta harus mengkomunikasikan hasil pem-bicaraan dengan keluarga perempuan ke ke-luarga laki-laki dan begitu pula sebaliknya sampai ditemukan kesepakatan Terkadang keluarga perempuan juga menelusuri ten-tang asal usul laki-laki yang sering disebut sebagai mattutung lampe. Tahap ini hanya dilakukan apabila calon mempelai laki-laki bukan berasal dari keluarga dekat

Penentuan hari dan teknis acara lama-ran dibicarakan pada tahap ini Pihak kelu-arga wanita juga menyampaikan permintaan terkait uang nai’, barang-barang antaran dan sompa ke duta Kesepakatan sementara tentang mahar dan lainnya termasuk peneri-maan pinangan biasanya telah diambil pada tahap ini Walaupun kesepakatan ini bisa berubah pada tahap berikutnya Setelah ter-jadi kesepakatan sementara maka dilanjut-kan dengan acara mappettu ada (memutus-kan segala keperluan pernikahan)

Tahap Mappettu Ada. Tahap ini men-jadi tahap resmi lamaran Dalam proses la-maran resmi biasanya orang tua dari pihak laki-laki tidak datang, bahkan bisa juga ti-dak hadir pada acara pernikahan Orang tua pihak wanita jika mau hadir hanya duduk saja tanpa hak bicara Rianti menggam-barkan tabu apabila orang tua ikut bicara dalam proses lamaran Orang kepercayaan dari keluarga besar yang akan bicara dalam acara resmi sekaligus memutuskan Ter-kadang beberapa kesepakatan awal melalui duta bisa saja berubah pada acara resmi ini Pemegang kendali di sini bukanlah orang tua atau calon pengantin tetapi keluarga besar Hal ini menjadi cerminan dari sistem komunal masyarakat Bugis

Proses negosiasi kedua belah pihak ini seringkali berjalan cukup alot, hal ini digam-barkan oleh istri Bapak Haji:

“Saat acara Mappettu Ada (be-runding) adik S dulu, penentuan uang nai’ rame tu Istri S masih keturunan bangsawan Uang nai’ yang diminta besar Pihak ke-luarga laki-laki awalnya merasa berat Perempuannya tidak ada di Jambi Kemudian dia mene-lepon si laki-laki Karena sudah saling mencintai si laki-laki tetap memenuhi keinginan dari pihak perempuan ”

Pak Haji juga menjelaskan proses penentuan doi menre/uang belanja sebagai berikut:

“Doi menre/uang belanja, bukan mahar yo penentuan uang be-lanja ini memang, kadang-kadang kan orang itu yang khawatirnya tidak mau rugi dari pihak perem-puan, pihak laki-laki menanggung semuanya Pihak perempuan me-nentukan misalnya terjadilah tawar menawar di sini (seru, bah-kan pihak keluarga adik S mau bertengkar dengan pihak perem-puan (tambah bu Haris) misal-nya, saya ini dari pihak perem-puan mungkin keturunan bang-sawan, sedangkan pihak laki-laki berasal dari orang biasa mungkin menjaga gengsi ditawarkan se-ratus juta Juga memperhatikan kondisi, situasi untuk biaya perni-kahan perlu pesta besar-besaran, mau sewa gedung, mau makan ini-itu biasanya orang Bugis po-tong sapi dan kerbau, jadi harga tinggi Tapi ini bisa saling tawar”

Dalam proses lamaran, seperti dijelas-kan oleh Informan Yana, pihak laki-laki bia-sanya datang dua kali yaitu untuk penyera-han leko’ lompo (besar) yaitu uang nai’ atau mahar dan leko’ ca’di (kecil) berupa antaran pakaian, perhiasan, kosmetik, sembako dan lainnya Acara penyerahan keduanya umumnya dilakukan terpisah, tetapi untuk kondisi tertentu saat ini juga sudah ditemu-kan tidak terpisah Apabila terpisah, maka yang harus duluan adalah penyerahan leko’ lompo Selain kedua leko’ itu, adalagi na-manya sundrang atau sompa artinya pem-berian keluarga laki-laki untuk mempelai wanita umumnya dalam bentuk tanah atau emas Emas di sini tidak sama dengan per-hiasan emas yang ada di dalam leko’ ca’di

Page 7: UANG NAI’: ANTARA CINTA DAN GENGSI

230 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 6, Nomor 2, Agustus 2015, Hlm. 224-236

Dalam tradisi keluarga informan Ri-anti, Sundrang minimal seperempat hektar dan tidak boleh dijual Informan Haji juga menjelaskan bahwa sompa merupakan hak pengantin perempuan, bukan hak keluarga perempuan Jadi, jika pengantin laki-laki (suami) meninggal, istri memperoleh jamin-an hidup dari sompa/sundrang ini Jenis antaran lainnya seperti perhiasan, kue-kue, pakaian, dan lainnya tergantung kesepaka-tan Umumnya menyesuaikan dengan sta-tus wanita, apabila wanita bangsawan maka semua jenis barang paketnya empat, tapi wanita biasa paketnya hanya dua Di dae-rah-daerah saat ini keluarga wanita masih memajang seluruh antaran di depan pelami-nan saat pesta pernikahan Pengantin pria juga akan menyebutkan jumlah uang nai’ dan sundrang yang dibawanya untuk pe-ngantin wanita pada saat akad nikah

Unsur penentu nominalisasi uang nai’. Lamallongeng (2007) menjelaskan bahwa dalam memilih jodoh, orang Bugis biasanya memperhatikan faktor obyektif dan subyektif Faktor obyektif, yaitu adanya kesiapan untuk berumah tangga Faktor ini menitikberatkan pada masalah ekonomi, kedewasaan, mental, karakter, kecerdasan, dan lain sebagainya Faktor subyektif, yaitu adanya dasar saling cinta mencintai Faktor ini muncul setelah terlaksananya perkawi-nan Pada umumnya mempelai dijodohkan oleh orang tua dan tidak saling mengenal sebelum menikah

Saat ini, lapisan sosial dalam masyara-kat Bugis masih dipengaruhi besaran uang nai’ Jumlah doi menre, menurut Pak Haji sangat dipengaruhi oleh faktor ekonomi, kompromi, gengsi dan status sosial (bang-sawan, pendidikan, dan haji) Informan R juga mengungkapkan hal yang tidak jauh berbeda:

“Status kebangsawanan itu jelas, cewek tu udah haji atau belum (kalu udah makin mahal ri”), kareno bagi orang Bugis, haji tu status sosialnyo tinggi, di acara pengantin atau acara kampung be pa kaian yang sudah haji beda terus tempat duduknyo jugo beda Pokoknyo dapat prioritaslah Trus status pendidikan, status peker-jaan, status ekonomi Umumnyo cewek dari keluargo kayo lebih mahal uang nai’nyo dari pado dari keluargo miskin aneh khan???

Status Kebangsawanan Bugis itu ada Andi, Besse (cewek) dan Bas-so (cowok), Indo (cewek) dan Ambo (cowok), selain ketiganya itu ma-suk orang biaso jadi benar-benar prestise dan riya’ untuk menjago siri’ kuat nian dalam tradisi lama-ran kami ”

Dalam adat Bugis, pencapaian dera-jat tinggi dalam sistem stratifikasi sosial sangat penting (Pelras 2006) Pengakuan strata so sial bukan hanya pada pernikahan saja, tetapi juga pada aktivitas masyara-kat umum lainnya seperti di tempat kerja (Salman 2006)

Dalam masyarakat Bugis, lapisan so sial sering menjadi pertimbangan dalam men-cari jodoh Lapisan sosial dalam masyarakat Bugis memiliki tingkatan Tingkatan terse-but antara lain: Bangsawan Tinggi, Bang-sawan Menengah, Arung Palili, Todeceng, To Maradeka, dan Ata (Hamba) Tingkatan ini akan mempengaruhi pertimbangan dalam hal perjodohan, uang belanja dan mahar Dahulu, hubungan antara anak bangsawan dengan anak orang biasa, apalagi anak seorang hamba dianggap suatu pelanggaran yang disebut nasoppa’ tekkenna (Lamallo-ngeng 2007) Nasoppa’ tekkenna berarti ter-tusuk oleh tongkatnya sendiri Hal yang me-mungkinkan seorang laki-laki yang berasal dari golongan biasa dapat mengawini wanita dari golongan bangsawan adalah harus me-miliki kelebihan Kelebihan tersebut dian-taranya pemberani (to warani), orang kaya (to sugi), cendikiawan atau pemuka agama (Lamallongeng 2007) Pada kalangan bang-sawan tinggi, ini masih terus dijaga, untuk memelihara “darah putih” yang mengalir di kalangan mereka (Pelras 2006)

Rencana besar atau kecilnya pesta yang akan diselenggarakan serta harga yang berlaku dipasaran juga menjadi penentu jumlah uang nai’ Dari penjelasan Pak Haji dapat diketahui apabila pihak perempuan akan melakukan pesta besar, maka uang belanja yang ditanggung oleh pihak laki-laki menjadi tinggi Kecuali kalau antara laki-laki dan perempuan memiliki saling penger-tian sesuai dengan kemampuan pihak laki-laki Perlengkapan kamar pengantin bukan merupakan bagian antaran umum bagi orang Bugis, tetapi di situs studi biasanya ikut diberikan oleh calon mempelai pria Hal ini mengikuti adat istiadat umum di daerah perantauan

Page 8: UANG NAI’: ANTARA CINTA DAN GENGSI

Rahayu, Yudi, Uang Nai’: Antara Cinta dan Gengsi 231

Khusus untuk sundrang atau sompa pada masa lalu itu dinilai dengan real yaitu mata uang lama Portugal Tabel 2 berikut menjelaskan jumlah sompa berdasarkan tingkatan dalam masyarakat Bugis

Saat ini jumlah sundrang/sompa um-umnya dalam bentuk tanah atau emas se-perti yang diungkapkan oleh informan Rianti dan Yana

Uang nai’: dominasi budaya dan orang tua?Petikan ungkapan dari informan R di bawah dapat dianggap mewakili pandangan kaum muda Bugis perantauan yang merasa terdominasi oleh budaya dan orang tua

“ Kadang kalau dipikir, Jadi nyo khan kasihan, ngapo banyak kami yang belum nikah Kare-no pertimbangan adat istiadat ini yang menghambat cowok Bu-gis banyak nikah keluar Cowok luar udah takut duluan baru tau orang Bugis, udah kebayang duit lamaran besar “mengundurkan diri jalan terbaik bagi ku (in-forman menyanyikan lagu dang-dut) sambil tertawa” Padahal khan belum tentu keluargo ce-wek benar-benar dak biso diajak run dingan, tapi udah semacam trauma atau takut yo dengan adat Bugis tu kalau ke Sulawesi pun banyak gadis tuo, tahan anaknyo dak nikah-nikah demi memper-tahankan adat Kadang anak la di-lamar, Cuma kareno cowok tu dak cukup modal atau caro datangnyo dak sesuai adat di tolak memang jodoh tu di tangan Tuhan, tapi ka-

lau gini sebenarnyo tanpa sadar orang tuo bedoso menghambat anak khan ”

Informan Rianti ini juga menyam-paikan dengan sedih, bagaimana kuatnya orang Bugis menjaga adat istiadat leluhur yang bisa jadi kadang berlebihan Adat lebih kuat Bahkan terkadang beliau menganggap esensi secara agama diabaikan demi mem-pertahankan adat Beliau mengungkapkan “seharusnya adat tu biso dikompromikan, tapi bagi yang tuo-tuo umumnyo tetap keu-keh dengan adat Hanya takut menjadi pem-bicaraan di masyarakat” Adat sebenarnya kebiasaan bukan syarat atau rukun nikah Rukun nikah secara agama hanya wali, ha-kim atau yang menikahkan dan ada ma-har Mahar pun tidak harus dalam bentuk materi, zaman Rasulullah dulu pernyataan keislaman atau hafalan pun sudah bisa diterima sebagai mahar

Selain sebagai biaya pesta pernika-han, besaran uang nai’ dapat dijadikan ala-san untuk menolak secara halus pinangan pihak laki-laki kepada pihak perempuan Tingginya uang nai’ menegaskan kedudukan sosial maupun garis keturunan anak gadis mereka tidak boleh dianggap remeh Proses penolakan dijelaskan oleh Pak Haji sebagai berikut:

Tapi ada juga sengaja membuat tinggi harga karena pihak perem-puan tidak mau, untuk mengham-bat, agar pihak laki-laki mundur Ketidaksukaan mungkin karena faktor-faktor tertentu, misalnya pihak perempuan merasa lebih tinggi kedudukannya, keturunan

Tabel 2.Jumlah Sompa Berdasarkan Tingkatan dalam Masyarakat Bugis di Masa Lalu

Nama Tingkatan Jumlah Sompa

Bangsawan Tinggi 88 real + satu orang hamba (ata) senilai 40 real + satu ekor kerbau senilai 25 real

Bangsawan Menengah 44 real

Arung Palili 40 real

Todeceng (orang baik-baik) 28 real

To Maradeka (orang biasa-biasa) 20 real

Hamba (ata) 10 real

Sumber: Lamallongeng (2007)

Page 9: UANG NAI’: ANTARA CINTA DAN GENGSI

232 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 6, Nomor 2, Agustus 2015, Hlm. 224-236

raja, orang kaya, sedangkan pi-hak laki-laki dari orang biasa-bia-sa saja ”

Pertimbangan perasaan dan rasa cinta antara calon pengantin bisa diabaikan dalam kondisi seperti ini

Fenomena tingginya beban calon pe-ngantin pria dan penolakan tanpa memper-timbangkan jalinan cinta yang mungkin su-dah terjalin, menjadikan kaum muda Bugis sering kurang setuju dengan budaya panai’ Berikut beberapa pandangan kaum muda terhadap budaya ini:

“Ado tanah antaran uang nai’ khusus untuk belanjo pesta, nah itu yang sampe puluhan atau ra-tusan juta samo dengan jual anak kesannyo dak he he ka-lau ditengok sekilas di sini pro-ses tawar menawar jugo ado, bia-sonya udah mulai waktu utusan awal datang” (informan Rianti)

“Kalau orang gak paham memang kesannya transaksional, jual beli ” (Informan Yana)

“saya dak mau ikut budaya itu sama saja dengan saya membeli anak gadis keluarga itu ” (Infor-man Ahmad)

“Apo namonyo kalau bukan jual beli?? Tawar duit untuk pesta, berapo yang di kasih pihak co-wok runding kayak beli barang khan ”(Informan Nina)

Apakah memang uang nai’ dalam proses lamaran sama dengan harga peroleh-an dari sudut pandang akuntansi? Konsep harga Perolehan dari sudut pandang akun-tansi umumnya adalah seluruh biaya yang dikorbankan sampai dengan suatu barang siap digunakan Harga jual memang diten-tukan oleh banyak faktor antara lain biaya produksi ditambah margin tertentu (Mulyadi 2005) Harga yang dibayarkan oleh pembeli atas barang atau jasa yang diterima dari penjual menunjukkan harga jual (Hansen dan Mowen 2009)

Harga di suatu tempat tergantung ke-pada budaya pedagangnya (Ackerman dan Tellis 2001; Paranoan 2014) Materialisme menjadi dasar berkembangnya budaya komersial Ukuran kemakmuran ditentu-

kan oleh banyaknya kekayaan yang dimiliki Dalam sistem ini, tidak ada ruang untuk melakukan dan mengembangkan nilai-nilai sosial dan saling membantu Penetapan harga jual yang tinggi melebihi harga normal yang berlaku akan mengurangi daya beli masyarakat, khususnya yang berpenghasi-lan kecil Akibatnya, terjadi kesenjangan yang semakin lebar di masyarakat Semen-tara penetapan harga yang rendah akan mendorong masyarakat memenuhi kebu-tuhannya Dalam pasar yang tidak ada lagi hubungan kasih sayang di antara sesama umat manusia Pembeli yang tidak mampu mengikuti harga pasar akan mengalihkan kebutuhannya pada produk yang sesuai dengan kemampuan keuangannya, sedang-kan penjual yang tidak mampu bertahan akan keluar dari pasar Pelaku pasar yang tinggal adalah pembeli yang mampu secara finansial dan penjual yang memiliki modal besar Rasa keadilan dan hubungan per-saudaraan di dalam berusaha akan terkikis habis (Alimuddin 2011)

Dari faktor tersebut, selain bangsawan, haji menjadi faktor penentu Apakah kon-sep harga seperti ini kemudian menjadi dasar pada orang tua berpikir untuk tetap mempertahankan budaya panai’? Menurut beberapa informan, terkadang orang tua meng abaikan status pekerjaan calon pen-gantin pria untuk mendapatkan uang nai’ yang tinggi

Bentuk lain dari penghindaran atau perlawanan dominasi budaya dan orang tua yang terpaksa dilakukan oleh kaum muda melalui tradisi silariang. Silariang artinya kawin lari, biasanya menjadi pilihan tera-khir kaum muda apabila rencana pernika-han mereka tidak mendapat restu dari orang tua Pasangan yang melakukan tradisi ini, seringkali memilih merantau meninggalkan kampung halaman Mereka sadar, sebenar-nya telah merusak siri’ keluarga dengan me-milih jalan tersebut (Effendi 1976)

Makna dibalik uang nai’. Tradisi pa-nai’ tidak berlaku bagi pernikahan antara pria Bugis dengan wanita non Bugis Pria Bugis akan mengikuti tradisi dari keluarga wanita yang akan dinikahinya Budaya ini umumnya tetap dipertahankan apabila wanita Bugis di lamar oleh pria non Bugis Hal ini terjadi, karena dalam tradisi pernika-han Bugis, wanita adalah pihak yang dijem-put, sehingga adat istiadat yang digunakan dari sisi keluarga wanita

Page 10: UANG NAI’: ANTARA CINTA DAN GENGSI

Rahayu, Yudi, Uang Nai’: Antara Cinta dan Gengsi 233

Hampir seluruh informan menyatakan bahwa siri’ dan gengsi menjadi pertimbang-an utama keluarga pada penentuan jumlah uang nai’ Informan Rianti menyatakan se-bagai berikut:

“kalau kakak tengok dari acara la-maran di keluargo kakak atau ke-luargo Bugis umumnyo, itu lebih kepado “prestise” Ado semacam Kebanggaan kareno telah mem-pertahankan atau menjalankan adat Golongan bangsawan justru permintaannyo lebih tinggi lagi, perhiasan kadang diminta dengan spesifik tertentu kayak berlian.. tapi bagi keluargo cowok pun dak masalah, kareno prestise jugo bagi keluargo cowo’ biar dianggap mampu Lagi pulo rato-rato khan nikah antar sepupu jadi sebenar-nyo harto tu bolak balik dalam keluargo besar itulah Kadang ado yang nganggap sebagai hadiah untuk ponakan dewek ”

Hal senada juga diakui oleh Informan Yana:

“Pandangan saya dibalik semua itu ya siri’ dan prestise Tapi bu-kan hanya bagi keluarga wanita, juga keluarga pria Keluarga wani-ta merasa bangga, anak gadisnya menerima uang nai’ yang tinggi, sedangkan keluarga pria juga merasa bangga dianggap mampu memenuhi tuntutan”

Informan Haji dan Aminulah berpan-dangan bahwa memang secara eksplisit ti-dak dinyatakan ada hubungan antara panai’ dengan siri’ Tetapi secara implisit mereka yakin itu ada Bagi orang Bugis perantauan, mempertahankan budaya panai’ menjadi si-ri’ tersendiri Seperti yang digambarkan oleh informan Aminulah:

“budaya panai’ masih dijalan-kan karena masih ada semangat atau keinginan untuk memperta-hankan jati diri sebagai keturunan yang berdarah Bugis Makassar dan mungkin menjadi bagian siri’ itu sendiri Walau ada juga yang mengabaikan yang memperta-hankan tentunya kebanyakan dari golongan tua, lebih-lebih yang mempunyai status sosial yang

tinggi baik dari segi materi mau-pun dari segi kasta keturunan da-rah biru atau tidak Kadang meski tidak ada keturunan darah biru, tetapi mengaku ada keturunan karena dari segi materi agak lebih untuk mendapatkan pengakuan/aktualisasi diri di masyarakat

Menurut informan Aminulah ini, bu-daya siri’ bisa jadi salah diartikan dalam hal ini Sejatinya budaya sirri itu mulia secara konsep dan filosofis. Pada kenyataannya siri’ memang masih tetap diakui sebagai salah satu nilai budaya yang sangat mempenga-ruhi kepribadian orang Bugis Makassar (Ka-har 2012)

Nilai siri’ berupa rasa malu atau harga diri dijadikan dasar bertindak orang Makas-sar dalam kehidupannya (Marzuki 1995; Poelinggomang 2014 dan Salman 2006) Jadi kata siri’ menunjukkan rasa malu dan mar-tabat atau harga diri Kata siri’ tidak tegas ditemukan dalam Sure’ selleang I la Galigo (Manuskrip sastra kuno Bugis), namun ter-dapat kata siri atakka, yang merujuk pada nama dua jenis tanaman yang dipandang mengandung pelambang terhadap kata siri’ Nama tanaman itu adalah sirih Siri’ berkai-tan erat dengan hampir seluruh petuah ten-tang perbuatan luhur di dalam manuskrip (Marzuki 1995) Lima nilai yaitu kejujuran (alempureng), kecendekiaan (amaccang), keteguhan (agettengeng), kepatutan (asitina-jang) dan keusahaan (reso) dipegang teguh oleh masyarakat Bugis dan dianggap mema-lukan jika dilanggar (Salman 2006)

Dua kandungan nilai dalam konsep siri’ yaitu nilai malu dan nilai harga diri (martabat) Saat aspek malu mendominasi kepribadian, maka aspek harga diri harus segera mengimbangi Manakala aspek harga diri cenderung kepada sikap angkuh, maka aspek malu serta sikap rendah hati ha-rus mengembalikan sikap harga diri pada kedudukan neraca yang seimbang Ibarat dua komponen kimiawi yang larut berse-nyawa, maka kedua nilai budaya dimaksud ternyata tidak sekadar berkoeksistensi teta-pi keduanya menyatu serta melebur secara simbiosis dalam siri’ (Marzuki 1995) Tiga bentuk siri’ yaitu siri’ buta (Kerajaan) berupa tanggung jawab negara atau penguasa un-tuk menjaga masyarakat Siri keluarga yaitu berkaitan dengan tatanan hidup berkeluar-ga dalam kaitan kekeluargaan Orang Bugis mengenal kaum keluarga dalam ke satuan

Page 11: UANG NAI’: ANTARA CINTA DAN GENGSI

234 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 6, Nomor 2, Agustus 2015, Hlm. 224-236

siri’ (masedi siri’) Terakhir siri’ pribadi berkaitan dengan menjaga harga diri pribadi seseorang (Poelinggomang 2014) Budaya panai’ termasuk dalam siri’ keluarga

Jumlah uang nai’ serta bentuk persem-bahan lainnya dari keluarga pria sebenarnya merupakan bentuk penghargaan bagi calon mempelai wanita dan keluarganya Informan Rianti menjelaskan:

“sebenarnyo itu bentuk penghar-gaan terhadap cewek yang dila-mar anak gadis kami udah di-didik baik-baik, udah siap dan terjago, patuh dalam arti kato ka-lau udah nikah benar-benar akan ngabdi ke suami, jadi wajar kalau dijemput dengan uang nai’ yang tidak sedikit ”

Informan Y juga berpandangan bahwa uang nai’ bentuk penghargaan yang tinggi dari budaya Bugis terhadap kaum wanita Wanita Bugis apabila sudah menikah terke-nal sangat setia, patuh dan penuh pengab-dian kepada suami Keluarga wanita akan menjamin kalau anak gadisnya tidak akan menjaga martabat suami dan keluarganya dengan baik Ada guyonan dari anak muda Bugis yang memiliki latar belakang pendidi-kan akuntansi:

“jika mau diumpamakan sebagai aset, maka wanita Bugis itu aset istimewa, yang diperoleh dengan harga sangat tinggi Kalau har-ganya tinggi maka penyusutannya akan lama tapi kalau rendah pe-nyusutannya sebentar he he he Sehingga tingkat perceraian orang Bugis sangat rendah sekali”

Walaupun dalam proses perkawinan, pihak laki-laki harus memberikan mas kawin ke perempuan Antropolog barat terkadang memandang ini sebagai harga perempuan (Bride Prince), tentu saja kurang tepat (Pelras 2006) Demikian pula pandangan transak-sional dari kaum muda juga tidak tepat Ni-lai penghargaan terhadap wanita yang tinggi dan menjaga siri’ keluarga menjadi dasar sesungguhnya dari budaya panai’ Menurut aturan doi’ menre jika laki-laki tidak mampu untuk memberikan nafkah lahir dan bathin kepada isterinya sehingga terjadi perceraian, maka uang belanja tersebut tidak dikemba-likan (Lamallongeng 2007: hlm 16) Seluruh persembahan dan sompa yang diterima juga bukan merupakan hak dari keluarga wanita

Uang nai’ walau dalam jumlah yang cukup besar, namun tidak untuk disimpan, di-habiskan selama prosesi pernikahan Hal ini menunjukkan bahwa dari sisi materi secara eksplisit, tidak ada keuntungan yang dipe-roleh bagi keluarga besar pengantin wanita Semuanya benar-benar menjadi hak bagi pengantin wanita, yang akhirnya kembali juga untuk masa depan pasangan pengan-tin Budaya ini sejatinya harus dijaga wa-laupun tetap perlu penyesuaian agar tidak mendapat penolakan

Komunikasi Dan Kompromi Jem-batan Antara Cinta dan Gengsi. Perkawi-nan bagi sejatinya memang bukan hanya penyatuan antara pria dan wanita, tetapi merupakan penyatuan dua keluarga Dalam masyarakat yang berorientasi kolektif se-perti Indonesia, dominasi peranan orang tua dalam menentukan pasangan sangat besar Hal ini tercermin dari filosofi bibit, bebet dan bobot yang umum digunakan Cinta yang tulus dan kokoh serta kemampuan finansial dan psikologis dari kedua pasangan yang hendak menikah, tidaklah cukup sebagai ukuran awal perkawinan yang baik (Wid-janarko, Mulyana, Martodirdjo, dan Kus-warno 2010)

Dalam pernikahan khususnya bagi umat Islam seharusnya syari’at yang dida-hulukan Pemahaman agama yang bagus, pengalaman berinteraksi dengan orang luar daerah dan tingkat pendidikan dapat mem-perbaiki cara pandang terhadap budaya panai’ Dalam arti bukan menolak atau me-ngubah drastis budaya itu sendiri tetapi me-nyesuaikan budaya tersebut, sehingga tetap dapat diterima bagi semua golongan Pada intinya mahar adalah keikhlasan Kerelaan dari suami untuk memberi dan kerelaan dari istri untuk menerima Kompromi dan keikhlasan ini yang harus ditekankan dalam proses lamaran, sehingga manusia tidak mempersulit diri

Kompromi atau kesepakatan hanya bi-sa diperoleh melalui komunikasi yang baik Peran Toduta dalam proses lamaran sangat besar To duta seyogyanya mampu meng-komunikasikan dengan baik kepenting an antara kedua keluarga Hubungan kelu-arga, hubungan baik, pertimbangan kondisi ekonomi keluarga pria, pandangan mahar secara agama dan keikhlasan perlu diko-munikasikan dalam bahasa yang baik oleh to duta. Sehingga kesepakatan yang diambil akan melegakan kedua belah pihak dan ti-dak juga akan memberatkan Komunikasi

Page 12: UANG NAI’: ANTARA CINTA DAN GENGSI

Rahayu, Yudi, Uang Nai’: Antara Cinta dan Gengsi 235

dan kesepakatan sangat penting dilakukan dalam interaksi sebelum pernikahan dilak-sanakan Melalui interaksi, akan terbangun sebuah regulasi yang menata bagaimana se-harusnya kehidupan relasi sosial disepakati (Widjanarko dkk 2010)

Berbagi merupakan inti komunikasi, bukan hanya berbicara atau menulis (Daft 2010: hlm 418) Komunikasi membutuh-kan interaksi antara dua orang atau lebih Saat interaksi dijalankan maka masing-masing mencoba memandang dunia se-perti orang lain memandangnya Tujuan interaksi adalah menyatukan diri dengan orang lain (Daft 2010:419) Dalam proses komunikasi lamaran Seyogyanya orang tua dan calon mempelai ikut diberikan hak un-tuk mengungkapkan pendapat Hal ini bisa mengurangi dominasi terhadap kedua pa-sangan yang mungkin saja terjadi Akhirnya kesepakatan yang dihasilkan juga mencer-minkan keinginan dari dua insan yang akan mengarungi kehidupan baru ke depan

SIMPULANBudaya Panai’ bagi masyarakat Bugis

perantauan memahaminya sebagai bagian dari prosesi lamaran untuk membiayai pesta perkawinan Penentuan uang nai’ umumnya ditentukan oleh status sosial yang disandang oleh keluarga mempelai perempuan Status sosial tersebut antara lain: keturunan bang-sawan, status pendidikan, status pekerjaan, dan status ekonomi Semakin baik status sosial yang dimiliki pihak keluarga mempe-lai perempuan, semakin tinggi uang belanja yang harus ditanggung oleh pihak laki-laki Pertimbangan besarnya uang belanja se ba-gai syarat adat menjadi dominasi bagi kaum muda Sebagian kaum muda menganggap adanya proses transaksional dalam pro-sesi lamaran Kepentingan dua muda mudi yang saling mencintapun harus tunduk pada keputusan-keputusan yang muncul dari adat istiadat warisan leluhur Keputu-san yang lebih mengutamakan materialisme berupa gengsi dan prestise keluarga me-nimbulkan resistensi muda-mudi terhadap budaya panai’ Materialisme menjadi dasar berkembangnya budaya komersial Ukuran kemakmuran ditentukan oleh banyaknya kekayaan yang dimiliki Dalam sistem ini, tidak ada ruang untuk melakukan dan mengembangkan nilai-nilai sosial dan saling membantu Kompromi melalui komunikasi yang baik akan menghasilkan kesepakatan yang melegakan kedua belah pihak dan ti-

dak juga akan memberatkan Komunikasi dan kesepakatan sangat penting dilakukan dalam interaksi sebelum pernikahan dilak-sanakan Melalui interaksi, akan terbangun sebuah regulasi yang menata bagaimana se-harusnya kehidupan relasi sosial disepakati oleh orang tua sang penjaga adat dan kaum muda sang pelestari adat

DAFTAR RUJUKANAckerman, D , dan Tellis, G 2001 “Can

Culture Affect Price? A Cross Cultural Study of Shopping and Retail Prices” Journal of Retailing, 77, hlm 57-82

Arifuddin 2013 Ketika Budaya Menjadi Pet-aka Diunduh Tanggal Date Accessed| dari http://makassar tribunnews com/2013/11/06/ketika-budaya-menjadi-petaka

Behling, O 1980 “The Case for the Natural Science Model for the Research Orga-nizational Behavior and Organization Theory” The Academy of Management Review, 5(4), Hlm 483-490

Burrel, G , dan Morgan, G 1979 Sociological Paradigms and Organizational Analysis Ashgate publishing Limited England

Daft, R L 2010 Era Manajemen Baru (New Era of Management) (T M Kanita, Trans ) Salemba Empat Jakarta

Effendi, D 1976 Sillariang. Grafika Upaya. Ujung Pandang

Hansen, D R , dan Mowen, M M 2009 Akuntansi Manajerial Salemba empat Jakarta

Irianto, S 2006 Ibadah Ilmu, 8 Desember. Kompas

Kahar, A 2012 Konstruksi konsep SPM “Pangngadereng” berbasis nilai-nilai ke-arifan lokal Siri’ na pesse. Disertasi Ti-dak Dipublikasikan Universitas Brawi-jaya, Malang

Lamallongeng, A R 2007 Dinamika Perkawi-nan Adat dalam Masyarakat Bugis Bone Kabupaten Bone: Dinas Kebu-dayaan & Pariwisata Kabupaten Bone

Marzuki, H M L 1995 Siri’: Bagian Kes-adaran Hukum Rakyat Bugis-Makassar (Sebuah Telaah Filsafat Hukum) Hasa-nuddi University Pers Ujung Pandang:

Mulyadi 2005 Akuntansi Manajemen, Kon-sep, Manfaat dan Rekayasa Salemba Empat Jakarta

Mulyana, D 2003 Metodologi Penelitian Kualitatif, Paradigma Baru Ilmu Komu-nikasi dan Ilmu Sosial Lainnya Remaja Rosdakarya Bandung

Page 13: UANG NAI’: ANTARA CINTA DAN GENGSI

236 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 6, Nomor 2, Agustus 2015, Hlm. 224-236

Paranoan, N 2014 Konstruksi Praktik Penen-tuan Harga Kerbau Berbasis Budaya Toraja: Studi Etnografi. Disertasi Tidak Dipublikasikan, Universitas Brawijaya, Malang

Pelras, C 2006 Manusia Bugis (A R Abu, Hasriandi dan N Sirimorok, Trans ) Forum Jakarta-Paris Jakarta

Poelinggomang, E L 2002 Makassar Abad XIX: Studi tentang Kebijakan Perda-gangan Maritim Jakarta Yayasan Adi-karya IKAPI dan The Ford Foundation

Poelinggomang, E L 2014 Nilai-nilai dan Kearifan Budaya Sulawesi Selatan. Pa-per presented at the Pertemuan MAMI Nasional 2 (Teman 2), 20 Juni, Makas-sar

Randa, F dan F E Daromes 2014 “Trans-formasi Nilai Budaya Lokal dalam Membangun Akuntabilitas Organisasi Sektor Publik” Jurnal Akuntansi Mul-

tiparadigma, Vol 5, No 3, hlm 477-484

Salman, D 2006 Jagad Maritim: Dialektika dan Artikulasi Kapitalisme pada Komu-nitas Konjo Pesisir di Sulawesi Selatan Inninawa Makassar

Sawarjuwono, T 2005 “Bahasa Akuntansi dalam Praktik: Sebuah Critical Ac-counting Study” Tema, 6(2)

Soeroto, M 2003 Bugis Makassar: Pustaka Budaya dan Arsitektur Balai Pustaka Jakarta

Spradley, J 1979 The Ethnographic Inter-view United States: The Wadsworth Group, a division of Thomson Learning

Widjanarko, W , Mulyana, D , Martodirdjo, H S , dan Kuswarno, E 2010 Antara Cinta dan Sekat-Sekat Keimanan: Se-buah Catatan Interaksi Komunikasi Pa-sangan Suami Istri Beda Agama UN-PAD Press Bandung