tutorial eca amel
DESCRIPTION
tutorialTRANSCRIPT
1. fase halusinasi
Fase halusinasi ada 4 yaitu
a. ComfortingKlien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas sedang, kesepian,
rasa bersalah dan takut serta mencoba untuk berfokus pada pikiran yang menyenangkan untuk meredakan ansietas. Di sini klien tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai, menggerakkan lidah tanpa suara, pergerakan mata yang cepat, diam dan asyik.
b. CondemningPada ansietas berat pengalaman sensori menjijikkan dan menakutkan.
Klien mulai lepas kendali dan mungkin mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan sumber yang dipersepsikan. Disini terjadi peningkatan tanda-tanda sistem saraf otonom akibat ansietas seperti peningkatan tanda-tanda vital (denyut jantung, pernapasan dan tekanan darah), asyik dengan pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan untuk membedakan halusinasi dengan realita.
c. ControlingPada ansietas berat, klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap
halusinasi dan menyerah pada halusinasi tersebut. Di sini klien sukar berhubungan dengan orang lain, berkeringat, tremor, tidak mampu mematuhi perintah dari orang lain dan berada dalam kondisi yang sangat menegangkan terutama jika akan berhubungan dengan orang lain.
d. ConsqueringTerjadi pada panik Pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien
mengikuti perintah halusinasi. Di sini terjadi perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri, tidak mampu berespon terhadap perintah yang kompleks dan tidak mampu berespon lebih dari 1 orang. Kondisi klien sangat membahayakan.
Maramis, W.f. 2005. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Ed. 9 Surabaya: Airlangga University Press.
2. Patofisiologi cemas menimbulkan gejala fisik
3. Patofisiologi depresi
Dalam penjelasan patofisiologi depresi, dikenal beberapa teori yang menjelaskan patofisiologi dari penyakit depresi, yaitu;1. The Biogenic Amine Hypothesis Teori Amina Biogenik menyatakan bahwa depresi disebabkan karena kekurangan (defisiensi) senyawa monoamin, terutama: noradrenalin dan serotonin. Karena itu, menurut teori ini depresi dapat dikurangi oleh obat yang dapat meningkatkan ketersediaan serotonin dan noradrenalin, misalnya MAO inhibitor atau antidepresan trisiklik.Namun teori ini tidak dapat menjelaskan fakta mengapa onset obat-obat antidepresan umumnya lama (6-8 minggu), padahal obat-obat tadi bisa meningkatkan ketersediaan neutrotransmiter secara cepat,kemudian muncullah hipotesis sensitivitas reseptor.2. Hipotesis Sensitivitas Reseptor Teori ini menyatakan bahwa depresi merupakan hasil perubahan patologis pada reseptor, yang diakibatkan oleh terlalu kecilnya stimulasi oleh monoamine. Saraf post-sinaptik akan berrespon sebagai kompensasi terhadap besar-kecilnya stimulasi oleh neurotransmiter Jika stimulasi terlalu kecil à saraf akan menjadi lebih sensitif (supersensitivity) atau jumlah reseptor meningkat (up-regulasi) Jika
stimulasi berlebihan saraf akan mengalami desensitisasi atau down-regulasi. Obat-obat antidepresan umumnya bekerja meningkatkan neurotransmiter meningkatkan stimulasi saraf menormalkan kembali saraf yang supersensitif. Proses ini membutuhkan waktu menjelaskan mengapa aksi obat antidepresan tidak terjadi secara segera.3. Hipotesis permisif Menurut teori ini kontrol emosi diperoleh dari keseimbangan antara serotonin dan noradrenalin. Serotonin memiliki fungsi regulasi terhadap noradrenalin --> menentukan kondisi emosi depresi atau manik. Teori ini mempostulatkan : kadar serotonin yang rendah dapat menyebabkan (permit) kadar noradrenalin menjadi tidak normal --> yang dapat menyebabkan gangguan mood. Jika kadar serotonin rendah, noradrenalin rendah -> depresi Jika kadar serotonin rendah,noradrenalin tinggi --> manik. Menurut hipotesis ini, meningkatkan kadar 5-HT akan memperbaiki kondisi sehingga tidak muncul “bakat” gangguan mood.4. Dysregulation hypothesis Gangguan depresi dan psikiatrik disebabkan oleh ketidakteraturan neurotransmiter, antara lain gangguan regulasi mekanisme homeostasis, gangguan pada ritmik sirkadian, gangguan pada sistem regulasi sehingga terjadi penundaan level neurotransmiter untuk kembali ke baseline.
1. Ikawati, Zullies, 2011, Farmakoterapi Sistem Saraf Pusat, Bursa Ilmu, Yogyakarta, 173.
2. Nevid, Jeffrey S., Rathus, Spencer A., & Greene, Beverly. (2005). Psikologi Abnormal. Edisi Kelima. Jilid Pertama. Jakarta : Penerbit Erlangga.
4. Stress menimbulkan gejala fisik
1) Stress tahap I
Tahapan ini merupakan tahapan stress yang paling ringan dan
biasanya disertai dengan perasaan-perasaan sebagai berikut :
a) Semangat bekerja besar, berlebihan (over acting);
b) Penglihatan “tajam” tidak sebagaimana biasanya;
c) Merasa mampu menyelesaikan pekerjaan lebih dari biasanya,
namun tanpa disadari cadangan energi semakin menipis.
2) Stress tahap II
Dalam tahapan ini dampak stress yang semula “menyenangkan”
sebagaimana diuraikan pada tahap I di atas mulai menghilang, dan
timbul keluhan-keluhan yang disebabkan karena cadangan energi yang
tidak lagi cukup sepanjang hari, karena tidak cukup waktu untuk
beristirahat. Istirahat yang dimaksud antara lain dengan tidur yang
cukup, bermanfaat untuk mengisi atau memulihkan cadangan energi
yang mengalami defisit. Keluhan-keluhan yang sering dikemukakan
oleh seseorang yang berada pada stress tahap II adalah sebagai
berikut :
a) Merasa letih sewaktu bangun pagi yang seharusnya merasa segar.
b) Merasa mudah lelah sesudah makan siang.
c) Lekas merasa capai menjelang sore hari.
d) Sering mengeluh lambung/perut tidak nyaman (bowel discomfort).
e) Detakan jantung lebih keras dari biasanya (berdebar-debar).
f) Otot-otot punggung dan tengkuk terasa tegang.
g) Tidak bisa santai.
3) Stress Tahap III
Apabila seseorang tetap memaksakan diri dalam pekerjaannya
tanpa menghiraukan keluhan-keluhan pada stress tahap II, maka akan
menunjukkan keluhan-keluhan yang semakin nyata dan mengganggu,
yaitu:
a) Merasa letih sewaktu bangun pagi yang seharusnya merasa segar;
b) Merasa mudah lelah sesudah makan siang;
c) Lekas merasa capai menjelang sore hari;
d) Sering mengeluh lambung/perut tidak nyaman (bowel discomfort);
e) Detakan jantung lebih keras dari biasanya (berdebar-debar);
f) Otot-otot punggung dan tengkuk terasa tegang;
g) Tidak bisa santai.
4) Stress Tahap III
Apabila seseorang tetap memaksakan diri dalam pekerjaannya
tanpa menghiraukan keluhan-keluhan pada stress tahap II, maka akan
menunjukkan keluhan-keluhan yang semakin nyata dan mengganggu,
yaitu:
a) Gangguan lambung dan usus semakin nyata; misalnya keluhan
“maag”(gastritis), buang air besar tidak teratur (diare);
b) Ketegangan otot-otot semakin terasa;
c) Perasaan ketidaktenangan dan ketegangan emosional semakin
meningkat;
d) Gangguan pola tidur (insomnia), misalnya sukar untuk mulai
masuk tidur (early insomnia), atau terbangun tengah malam dan
sukar kembali tidur (middle insomnia), atau bangun terlalu pagi
atau dini hari dan tidak dapat kembali tidur (Late insomnia);
e) Koordinasi tubuh terganggu (badan terasa oyong dan serasa mau
pingsan).
Pada tahapan ini seseorang sudah harus berkonsultasi pada
dokter untuk memperoleh terapi, atau bisa juga beban stres
hendaknya dikurangi dan tubuh memperoleh kesempatan untuk
beristirahat guna menambah suplai energi yang mengalami deficit.
5) Stress Tahap IV
Gejala stress tahap IV, akan muncul yang ditandai dengan hal-hal
sebagai berikut
a) Merasa sulit untuk bertahan sepanjang hari
b) Aktivitas pekerjaan yang semula menyenangkan dan mudah
diselesaikan menjadi membosankan dan terasa lebih sulit
c) Yang semula tanggap terhadap situasi menjadi kehilangan
kemampuan untuk merespons secara memadai (adequate)
d) Ketidakmampuan untuk melaksanakan kegiatan rutin sehari-hari
e) Gangguan pola tidur disertai dengan mimpi-mimpi yang
menegangkan
f) Seringkali menolak ajakan (negativism) karena tidak ada semangat
dan tidak ada kegairahan
g) Daya konsentrasi dan daya ingat menurun
h) Timbul perasaan ketakutan dan kecemasan yang tidak dapat
dijelaskan apa penyebabnya.
6) Stres Tahap V
Bila keadaan berlanjut, maka seseorang itu akan jatuh dalam stress
tahap V, yang ditandai dengan hal-hal sebagai berikut:
a) Kelelahan fisik dan mental yang semakin mendalam (physical dan
psychological exhaustion)
b) Ketidakmampuan untuk menyelesaikan pekerjaan sehari-hari yang
ringan dan sederhana
c) Gangguan sistem pencernaan semakin berat (gastrointestinal
disorder)
d) Timbul perasaan ketakutan, kecemasan yang semakin meningkat,
mudah bingung dan panic
7) Stres Tahap VI
Tahapan ini merupakan tahapan klimaks, seseorang mengalami
serangan panik (panic attack) dan perasaan takut mati. Tidak jarang
orang yang mengalami stress tahap VI ini berulang dibawa ke Unit
Gawat Darurat bahkan ICCU, meskipun pada akhirnya dipulangkan
karena tidak ditemukan kelainan fisik organ tubuh. Gambaran stres
tahap VI ini adalah sebagai berikut:
a) Debaran jantung amat keras
b) Susah bernapas (sesak dan megap-megap)
c) Sekujur badan terasa gemetar, dingin dan keringat bercucuran
d) Ketiadaan tenaga untuk hal-hal yang ringan
e) Pingsan atau kolaps (collapse)
Bila dikaji maka keluhan atau gejala sebagaimana digambarkan di
atas lebih didominasi oleh keluhan-keluhan fisik yang disebabkan oleh
gangguan faal (fungsional) organ tubuh, sebagai akibat stressor
psikososial yang melebihi kemampuan seseorang untuk mengatasinya.
Reaksi Tubuh Terhadap Stres
a) Rambut
Warna rambut yang semula hitam pekat, lambat laun mengalami
perubahan warna menjadi kecokelat-cokelatan serta kusam. Ubanan
(rambut memutih) terjadi sebelum waktunya, demikian pula dengan
kerontokan rambut.
b) Mata
Ketajaman mata seringkali terganggu misalnya kalau membaca
tidak jelas karena kabur. Hal ini disebabkan karena otot-otot bola mata
mengalami kekenduran atau sebaliknya sehingga mempengaruhi fokus
lensa mata.
c) Telinga
Pendengaran seringkali terganggu dengan suara berdenging
(tinitus).
d) Daya pikir
Kemampuan bepikir dan mengingat serta konsentrasi menurun.
Orang menjadi pelupa dan seringkali mengeluh sakit kepala pusing.
e) Ekspresi wajah
Wajah seseorang yang stres nampak tegang, dahi berkerut, mimic
nampak serius, tidak santai, bicara berat, sukar untuk senyum atau
tertawa dan kulit muka kedutan (tic facialis).
f) Mulut
Mulut dan bibir terasa kering sehingga seseorang sering minum.
Selain daripada itu pada tenggorokan seolah-olah ada ganjalan
sehingga ia sukar menelan, hal ini disebabkan karena otot-otot lingkar
di tenggorokan mengalami spasme (muscle cramps) sehingga serasa
“tercekik”.
g) Kulit
Pada orang yang mengalami stress reaksi kulit bermacam-macam;
pada kulit dari sebahagian tubuh terasa panas atau dingin atau keringat
berlebihan. Reaksi lain kelembaban kulit yang berubah, kulit menjadi
lebih kering. Selain itu perubahan kulit lainnya adalah merupakan
penyakit kulit, seperti munculnya eksim, urtikaria (biduran), gatal-
gatal dan pada kulit muka seringkali timbul jerawat (acne) berlebihan,
juga sering dijumpai kedua belah tapak tangan dan kaki berkeringat
(basah).
h) Sistem Pernafasan
Pernafasan seseorang yang sedang mengalami stres dapat
terganggu misalnya nafas terasa berat dan sesak disebabkan terjadi
penyempitan pada saluran pernafasan mulai dari hidung, tenggorokan
dan otot-otot rongga dada. Nafas terasa sesak dan berat dikarenakan
otot-otot rongga dada (otot-otot antartulang iga) mengalami spasme
dan tidak atau kurang elastic sebagaimana biasanya. Sehingga ia harus
mengeluarkan tenaga ekstra untuk menarik nafas. Stress juga dapat
memicu timbulnya penyakit asma (asthma bronchiale) disebabkan
karena otot-otot pada saluran nafas paru-paru juga mengalami spasme.
i) Sistem Kardiovaskuler
Sistem jantung dan pembuluh darah atau kardiovaskuler dapat
terganggu faalnya karena stress. Misalnya, jantung berdebar-debar,
pembuluh darah melebar (dilatation) atau menyempit (constriction)
sehingga yang bersangkutan nampak mukanya merah atau pucat.
Pembuluh darah tepi (perifer) terutama di bagian ujung jari-jari tangan
atau kaki juga menyempit sehingga terasa dingin dan kesemutan.
Selain daripada itu sebahagian atau seluruh tubuh terasa “panas”
(subfebril) atau sebaliknya terasa “dingin”.
j) Sistem Pencernaan
Orang yang mengalami stress seringkali mengalami gangguan pada
sistem pencernaannya. Misalnya, pada lambung terasa kembung, mual
dan perih, hal ini disebabkan karena asam lambung yang berlebihan
(hiperacidity). Dalam istilah kedokteran disebut gastritis atau dalam
istilah awam dikenal dengan sebutan penyakit maag. Selain gangguan
pada lambung tadi, gangguan juga dapat terjadi pada usus, sehingga
yang bersangkutan merasakan perutnya mulas, sukar buang air besar
atau sebaliknya sering diare.
k) Sistem Perkemihan
Orang yang sedang menderita stress faal perkemihan (air seni)
dapat juga terganggu yang sering dikeluhkan orang adalah frekuensi
untuk buang air kecil lebih sering dari biasanya, meskipun ia bukan
penderita kencing manis (diabetes mellitus).
l) Sistem Otot dan tulang
Stres dapat pula menjelma dalam bentuk keluhan-keluhan pada
otot dan tulang (musculoskeletal). Penderita sering mengeluh otot
terasa sakit seperti ditusuk-tusuk, pegal dan tegang. Selain daripada itu
keluhan-keluhan pada tulang persendian sering pula dialami, misalnya
rasa ngilu atau rasa kaku bila menggerakan anggota tubuhnya.
Masyarakat awam sering mengenal gejala ini sebagai keluhan ”pegal-
linu”.
m) Sistem Endokrin (hormon)
Gangguan pada sistem endokrin (hormonal) pada mereka yang
mengalami stress adalah kadar gula yang meninggi, dan bila hal ini
berkepanjangan bisa mengakibatkan yang bersangkutan menderita
penyakit kencing manis (diabetes mellitus), gangguan hormonal lain
misalnya pada wanita adalah gangguan menstruasi yang tidak teratur
dan rasa sakit (dysmenorrhoe).
Respon Fisiologi Terhadap Stress
Local Adaptation Syndrome (LAS) dan General Adaptation
Syndrome (GAS).
1) Local Adaption Syndrome (LAS)
Tubuh menghasilkan banyak respons setempat terhadap
stress. Respon setempat ini termasuk pembekuan darah dan
penyembuhan luka, akomodasi mata terhadap cahaya, dll.
Responnya berjangka pendek.
Karakteristik dari LAS :
a) Respon yang terjadi hanya setempat dan tidak melibatkan
semua system.
b) Respon bersifat adaptif; diperlukan stressor untuk
menstimulasikannya.
c) Respon bersifat jangka pendek dan tidak terus menerus.
d) Respon bersifat restorative.
Mungkin anda bertanya, “ apa saja yang termasuk ke dalam
LAS ?”. sebenarnya respon LAS ini banyak kita temui dalam
kehidupan kita sehari – hari seperti yang diuraikan dibawah ini :
a. Respon Inflamasi
Respon ini distimulasi oleh adanya trauma dan infeksi. Respon ini
memusatkan diri hanya pada area tubuh yang trauma sehingga
penyebaran inflamasi dapat dihambat dan proses penyembuhan dapat
berlangsung cepat. Respon inflamasi dibagi kedalam 3 fase :
a) Fase pertama
Adanya perubahan sel dan sistem sirkulasi, dimulai
dengan penyempitan pembuluh darah di tempat cedera dan
secara bersamaan teraktifasinya kinin, histamin, sel darah
putih. Kinin berperan dalam memperbaiki permeabilitas
kapiler sehingga protein, leukosit dan cairan yang lain
dapat masuk ketempat yang cedera tersebut.
b) Fase kedua
Pelepasan eksudat. Eksudat adalah kombinasi cairan
dan sel yang telah mati dan bahan lain yang dihasilkan di
tempat cedera.
c) Fase ketiga
Regenerasi jaringan dan terbentuknya jaringan parut.
b. Respon Reflex Nyeri
Respon ini merupakan respon adaptif yang bertujuan melindungi
tubuh dari kerusakan lebih lanjut. Misalnya mengangkat kaki ketika
bersentuhan dengan benda tajam.
2) General Adaption Syndrome (GAS)
Terbagi atas tiga fase, yaitu:
a) Fase Alarm ( Waspada)
Melibatkan pengerahan mekanisme pertahanan dari tubuh dan
pikiran untuk menghadapi stressor. Reaksi psikologis “fight or
flight” dan reaksi fisiologis. Tanda fisik : curah jantung meningkat,
peredaran darah cepat, darah di perifer dan gastrointestinal mengalir
ke kepala dan ekstremitas. Banyak organ tubuh terpengaruh, gejala
stress memengaruhi denyut nadi, ketegangan otot dan daya tahan
tubuh menurun.
Fase alarm melibatkan pengerahan mekanisme pertahanan dari
tubuh seperti pengaktifan hormon yang berakibat meningkatnya
volume darah dan akhirnya menyiapkan individu untuk bereaksi.
Hormon lainnya dilepas untuk meningkatkan kadar gula darah yang
bertujuan untuk menyiapkan energi untuk keperluan adaptasi,
teraktifasinya epineprin dan norepineprin mengakibatkan denyut
jantung meningkat dan peningkatan aliran darah ke otot. Peningkatan
ambilan O2 dan meningkatnya kewaspadaan mental.
Aktifitas hormonal yang luas ini menyiapkan individu untuk
melakukan “ respons melawan atau menghindar “. Respon ini bisa
berlangsung dari menit sampai jam. Bila stresor masih menetap
maka individu akan masuk ke dalam fase resistensi.
b) Fase Resistance (Melawan)
Individu mencoba berbagai macam mekanisme penanggulangan
psikologis dan pemecahan masalah serta mengatur strategi. Tubuh
berusaha menyeimbangkan kondisi fisiologis sebelumnya kepada
keadaan normal dan tubuh mencoba mengatasi faktor-faktor
penyebab stress.
Bila teratasi gejala stress menurun àtau normal, tubuh kembali
stabil, termasuk hormon, denyut jantung, tekanan darah, cardiac out
put. Individu tersebut berupaya beradaptasi terhadap stressor, jika ini
berhasil tubuh akan memperbaiki sel – sel yang rusak. Bila gagal
maka individu tersebut akan jatuh pada tahapa terakhir dari GAS
yaitu : Fase kehabisan tenaga.
c) Fase Exhaustion (Kelelahan)
Merupakan fase perpanjangan stress yang belum dapat
tertanggulangi pada fase sebelumnya. Energi penyesuaian terkuras.
Timbul gejala penyesuaian diri terhadap lingkungan seperti sakit
kepala, gangguan mental, penyakit arteri koroner, dll. Bila usaha
melawan tidak dapat lagi diusahakan, maka kelelahan dapat
mengakibatkan kematian.
Tahap ini cadangan energi telah menipis atau habis, akibatnya
tubuh tidak mampu lagi menghadapi stres. Ketidak mampuan tubuh
untuk mepertahankan diri terhadap stressor inilah yang akan
berdampak pada kematian individu tersebut.
Ada empat variabel psikologik yang dianggap mempengaruhi
mekanisme respons stress, yaitu :
1. Kontrol yaitu keyakinan bahwa seseorang memiliki kontrol terhadap
stressor yang mengurangi intensitas respons stress.
2. Prediktabilitas yaitu stressor yang dapat diprediksi menimbulkan
respons stress yang tidak begitu berat dibandingkan stressor yang tidak
dapat diprediksi.
3. Persepsi yaitu pandangan individu tentang dunia dan persepsi stressor
saat ini dapat meningkatkan atau menurunkan intensitas respons stress.
4. Respons koping yaitu ketersediaan dan efektivitas mekanisme
mengikat ansietas dapat menambah atau mengurangi respons stress.
1. Manajemen stress
Manajemen stress merupakan upaya mengelola stress dengan baik,
bertujuan untuk mencegah dan mengatasi stress agar tidak sampai ke
tahap yang paling berat.
Beberapa manajemen stress yang dapat dilakukan adalah
a) Mengatur diet dan nutrisi.
Pengaturan diet dan nutrisi merupakan cara yang efektif dalam
mengurangi dan mengatasi stress. Ini dapat dilakukan dengan
mengonsumsi makanan yang bergizi sesuai porsi dan jadwal yang
teratur. Menu juga sebaiknya bervariasi agar tidak timbul kebosanan.
b) Istirahat dan tidur.
Isirahat dan tidur merupakn obat yang terbaik dalam mengatasi
stress karena istirahat dan tidur yang cukup akan memulihkan
keletihan fisik dan kebugara tubuh. Tidur yang cukup juga dapat
memperbaiki sel-sel yang rusak.
c) Olahraga teratur.
Olahraga yang teratur adalah salah satu cara daya tahan dan
kekebalan fisik maupun mental. Olahraga yang dilakukan tidak harus
sulit. Olahraga yang sederhana sepeti jalan pagi atau lari pagi
dilakukan paling tidak dua kali seminggu dan tidak harus sampai
berjam-jam. Seusai berolahraga, diamkan tubuh yang berkeringat
sejenak lalu mandi untuk memulihkan kesegarannya.
d) Berhenti merokok.
Berhenti merokok adalah bagian dari cara menangguangi stress
karena dapat meningkatkan status kesehatan serta menjaga ketahanan
dan kekebalan tubuh.
e) Menghindari minuman keras.
Minuman keras merupakan factor pencetus yang dapat
mengakibatkan terjadinya stress. Dengan menghindari minuman keras,
individu dapat terhindar dari banyak penyakit yang disebabkan oleh
pengaruh minuman keras yang mengandung akohol.
f) Mengatur berat badan.
Berat bada yang tidak seimbang (terlalu gemuk atau terlalu kurus)
merupakan faktor yang dapat menyebabkan timbulnya stress. Keadaan
tubuh yang tidak seimbang akan menurunkan ketahanan dan kekebalan
tubuh terhadap stress.
Cara Penyesuaian Diri
Bila seseorang mengalami stress maka segera ada usaha untuk
mengatasinya. Hal ini dikenal sebagai Homeostasis yaitu usaha
organisme yang terus menerus melakukan pertahanan agar keadaan
keseimbangan selalu tercapai. Stress dapat terjadi pada bidang
badaniah ( stress fisik atau somatik ).
Misalnya bila terjadi infeksi atau penyakit, menggerakkan
mekanisme penyesuaian somatik, terjadi reaksi :
1. Pembentukan zat anti kuman atau zat anti racun
2. Mobilisasi leukosit ke tempat-tempat invasi kuman
3. Lebih banyak melepaskan kortisol, adrenalin dan sebagainya
Usaha tubuh untuk mencapai keseimbangan kembali yang
berorientasi pada tugas bertujuan menghadapi stressor secara sadar,
realistik, objektif, dan rasional.
- ADAPTASI FISIOLOGIS
Indikator fisiologis dari stress adalah objektif, lebih mudah
diidentifikasi dan secara umum dapat diamati atau diukur. Namun
demikian, indicator ini tidak selalu teramati sepanjang waktu pada
semua klien yang mengalami stress, dan indicator tersebut bervariasi
menurut individunya. Tanda vital biasanya meningkat dan klien
mungkin tampak gelisah dan tidak mampu untuk beristirahat dan
berkonsentrasi. Indikator ini dapat timbul sepanjang tahap stress.
Durasi dan intensitas dari gejala secara langsung berkaitan dengan
durasi dan intensitas stressor yang diterima. Indikator fisiologis timbul
dari berbagai sistem. Oleh karenanya pengkajian tentang stress
mencakup pengumpulan data dari semua sistem. Hubungan antara
stress psikologik dan penyakit sering disebut interaksi pikiran tubuh.
Riset telah menunjukkan bahwa stress dapat mempengaruhi penyakit
dan pola penyakit. Pada masa lampau, penyakit infeksi adalah
penyebab kematian paling utama, tetapi sejak ditemukan antibiotic,
kondisi kehidupan yang meningkat, pengetahuan tentang nutrisi yang
meningkat, dan metode sanitasi yang lebih baik telah menurunkan
angka kematian. Sekarang penyebab utama kematian adalah penyakit
yang mencakup stressor gaya hidup.
Indikator fisiologis stress:
a. Kenaikan tekanan darah.
b. Peningkatan ketegangan di leher, bahu, dan punggung.
c. Peningkatan denyut nadi dan frekuensi pernapasan.
d. Telapak tangan berkeringat serta tangan dan kaki dingin.
e. Postur tubuh yang tidak tegap.
f. Keletihan.
g. Sakit kepala.
h. Gangguan lambung.
i. Suara yang bernada tinggi.
j. Mual,muntah, dan diare.
k. Perubahan nafsu makan.
l. Perubahan berat badan.
m. Perubahan frekuensi berkemih.
n. Dilatasi pupil.
o. Gelisah dan kesulitan untuk tidur atau sering terbangun saat
tidur.
Di sisi lain, homeostasis fisiologis melibatkan aktivitas system
tubuh, seperti aktivitas saraf simpatis dan korpus/medulla adrenal.
Homeostasis fisiologis dan psikologis keduanya saling
berhubungan dan saling mempengaruhi. Dengan demikian,
homeostasis melibatkan lebih dari satu mekanisme system yang
bekerja sekaligus setiap saat. Sebagai contoh, seseorang yang
mengalami krisis emosional akan menggunakan sumber-sumber yang
ada guna memperbaiki keseimbangan psikologisnya, sehingga ia lupa
mengontrol kebutuhan makannya (fisiologis). Akhirnya, cadangan
glukosa digunakan untuk membantu homeostasis fisiologis.
Adapun cara tubuh melakukan proses homeostasis dapat melalui
empat cara di antaranya:
a) Self regulation di mana sistem ini terjadi secara otomatis pada
orang yang sehat seperti dalam pengaturan proses sistem
fisiologis tubuh manusia.
b) Berkompensasi yaitu tubuh akan cenderung bereaksi terhadap
ketidaknormalan dalam tubuh. Sebagai contoh apabila secara
tiba-tiba lingkungan menjadi dingin maka proses dalam tubuh
khususnya pembuluh darah akan mengalami konstriksi pembuluh
darah perifer dan merangsang pada pembuliuh darah bagian
dalam untuk meningkatkan kegiatan pada otot yang akhirnya
menggigil yang dapat menghasilkan panas sehingga suhu tubuh
stabil.
c) Dengan cara sistem umpan balik negative, proses ini merupakan
penyimpangan dari keadaan normal segera dirasakan dan
diperbaiki dalam tubuh di mana apabila tubuh dalam keadaan
tidak normal akan secara sendiri mangadakan mekanisme umpan
balik untuk menyeimbangkan dari keadaan yang ada.
d) Cara umpan balik untuk mengoreksi suatu ketidakseimbangan
fisiologis, hal ini dapat dicontohkan apabila pada seseorang
mengalami hipoksia akan terjadi proses peningkatan denyut
jantung yang cepat untuk membawa darah dan oksigen yang
cukup ke sel tubuh.
Sumber: Siswanto. 2007. Kesehatan Mental; Konsep,
Cakupan, dan Perkembangannya. Yogyakarta: Andi