tugas uas bahasa inggris hukum, jurnal (mission imposible).docx

Upload: muhammad-ichwan

Post on 15-Jan-2016

22 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

hukum

TRANSCRIPT

Penyelesaian Sengketa Hukum Internasional Secara Damai Dalam Jalur Politik (Politik Hukum)Muh. IchwanFakultas Hukum Universitas [email protected] ini bermaksud untuk mengetahui mekanisme penyelesaian sengketa hukum internasional dan beberapa penyelesaian kasus serta fakta yang terjadi. Bukan hanya negara dan organisasi internasional sebagai aktor tetapi dewasa ini subjek-subjek internasional sudah melibatkan banyak aktor non negara. Ada dua jenis sengketa yang ada yaitu sengketa hukum (legal dispute) dan sengketa politik (political dispute) dan memiliki karakteristik masing-masing. Penulisan ini akan membahas beberapa cara penyelesaian sengketa pada umumnya dalam hukum internasional yaitu secara damai (jalur politik) dan beberapa contoh kasus dan penyelesaiannya dilihat dari perspektif Politik Hukum. Penulisan ini bersifat normatif, jenis data yang digunakan adalah melalui tulisan buku dan beberapa tulisan dari web yang berdata valid dan dapat dipertanggungjawabkan. Kata kunci: Penyelesaian Sengketa, Hukum InternasionalPendahuluanIstilah sengketa-sengketa internasional mencakup bukan saja sengketa antara negara-negara, melainkan juga kasus-kasus lain yang berada dalam lingkup pengaturan internasional, yakni beberapa kategori sengeketa tertentu antara negara di satu pihak dan individu-individu, badan-badan korporasi serta badan-badan bukan negara di pihak lain.[footnoteRef:2] Negara bukan satu-satunya subjek hukum internasional. Hal tersebut diperkuat dalam tulisan J.G Starke dalam bukunya yang mengatakan; akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa tidak ada badan-badan atau person-person, baik orang maupun badan hukum lain, yang dapat tercakup dalam penguasaan atau kelimpahan hukum internasional.[footnoteRef:3] Banyaknya kepentingan tiap-tiap subjek hukum tersebut menimbulkan banyak polemik yang terjadi, salah satunya adalah sengketa. Sengketa menurut Merrils adalah ketidaksepahaman mengenai sesuatu. Adapun John Collier & Vaughan Lowe Membedakan antara sengketa (dispute) dengan konflik (conflict). Sengketa (dispute) adalah:[footnoteRef:4] A specific disagreement concerning a matter of fact, law or policy in which a claim or assertion of one party is met with refusal, counter claim or denial by another. [2: T. May Rudy, Hukum Internasional 2, PT Refika Aditama, Bandung, 2009, hal. 77] [3: J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional 1 Edisi Kesepuluh diterjemahkan oleh Bambang Iriana Djajaatmadja, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hal. 77] [4: Sefriani, Hukum Internasional: Suatu Pengantar, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hal. 322]

Tetapi setiap sengketa adalah konflik, tetapi tidak semua konflik dapat dikategorikan sebagai sengketa (dispute).[footnoteRef:5] Kita harus memisahkan antara sengketa sesungguhnya dengan konflik yang bukan sengketa, contoh sengketa adalah antara Indonesia-Malaysia mengenai pulau Sipadan dan Ligitan, serta contoh konflik adalah antara Uni Soviet-Amerika Serikat dalam perang dingin pasca perang dunia kedua. [5: Ibid., hal. 322]

Hubungan-hubungan internasional yang diadakan antarnegara, negara dengan individu, atau negara dengan organisasi internasional tidak selamanya terjalin dengan baik.[footnoteRef:6] Sengketa yang terjadi di dunia ini punya cara-cara tersendiri untuk menyelesaikannya tergantung apa yang dipersengketakan. Banyaknya kepentingan, keinginan demi memenuhi kebutuhan tiap-tiap subjek hukum intenasional tidak sedikit menimbulkan gesekan yang dapat menimbulkan sengketa. [6: Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hal. 1]

Tidak sebagaimana sistem hukum nasional yang memiliki lembaga-lembaga formal seperti badan legislatif, penegak hukum seperti polisi, jaksa dan hakim, serta pengadilan yang memiliki yurisdiksi wajib kepada penduduknya, sistem hukum internasional tidak memiliki semuanya itu. Adapun beberapa konvensi-konvensi, piagam-piagam dan statuta yang mengatur tentang sengketa internasional tetapi hanya bersifat soft law.Proses penyelesaian sengketa yang sudah dikenal sejak lama adalah melalu proses ligitasi di pengadilan.[footnoteRef:7] Tapi proses ligitasi mempunyai beberapa kelamahan seperti, (a) hanya menghasilkan putusan yang bersifat menang-kalah, (b) memakan waktu yang banyak, (c) juga tidak sedikit memakan biaya yang banyak. Proses-proses tersebut pastinya banyak dihindari oleh Negara-negara, organisasi internasional dan aktor non-negara demi mengefisienkan waktu, tenaga, biaya dan kemungkinan sesuatu yang fatal terjadi kedepannya. Secara garis besar penyelesaian sengekata dalam hukum internasional dapat digambarkan sebagai berikut:[footnoteRef:8] (1) Secara Damai: (a) Jalur Politik: negosiasi, mediasi, jasa baik (good offices), inquiry. (b) Jalur Hukum: arbitrase, pengadilan internasional. (2) Secara Kekerasan: (a) Perang, (b) Non Perang: pemutusan hubungan diplomatik, retorsi, blockade, embargo, reprisal. Pengertian penyelesaian sengketa secara damai menurut Holsti mengatakan, penyelesaian melalui cara-cara damai (perundingan, konsiliasi, dan lain sebagainya) sehingga masing-masing pihak yang bersengketa secara perlahan dapat menerima keadaan posisi yang baru.[footnoteRef:9] Jadi setiap sengketa yang terjadi pastinya memaksa para pihak yang bersengketa menerima keadaan (putusan) yang terjadi pasca sengketa, hal tersebut tidak dapat dipungkiri. Di sini penulis akan membahas efektivitas proses penyelesaian sengketa non-litigasi melalui jalur politik dari perspektif politik hukumnya. [7: Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa: Arbitrase Nasional Indonesia dan Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hal. 9] [8: Sefriani, Op. Cit., hal. 325] [9: T. May Rudy, Studi Strategis: Dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca Perang Dingin, PT Refika Aditama, Bandung, 2002, hal. 99]

Apakah yang membuat para pihak bersengketa mau mengikuti cara-cara penyelesaian sengketa dalam hukum internasional melalui secara damai melalui jalur politik, padahal seperti kita ketahui tidak adanya peraturan secara jelas yang mengatur hal tersebut. Hal yang akan di analisis dari tulisan ini adalah bagaimana penyelesaian sengketa dan hukum internasional dengan mekanisme secara damai melalui jalur politik? Apakah Hasil dari penyelesaian sengketa tersebut bersifat mengikat dan efektif? Dengan menganalisis semua pertanyaan di atas dari perspektif politik hukum agar mendapatkan pemahaman sedalam-dalamnya mengenai tata cara penyelesaian sengketa hukum internasional dengan melihat contoh kasus yang ada.Rumusan MasalahSesuai penjelasan di atas maka permasalahan yang akan dianalisis dalam tulisan ini adalah yang pertama, apakah yang menjadi hal mengikat dalam penyelesaian sengketa sehingga para pihak yang bersengketa mematuhinya? Kedua, bagaimanakah mekanisme penyelesaian sengketa secara damai melalui jalur politik dalam hukum internasional dan efektivitasnya? Tujuan PenulisanUntuk mengetahui efektivitas penyelesaian sengketa dalam hukum internasional secara damai melalui jalur damai, memahami bagaimana proses penyelesaian sengketa tersebut, dan untuk memenuhi tugas pengganti UAS.Metode PenulisanPenulisan ini bersifat normatif, jenis data yang digunakan menggunakan bahan hukum sekunder berupa buku-buku tulisan-tulisan dan pendapat para ahli hukum internasional serta tulisan yang ada di internet yang berdata valid dan dapat dipertanggungjawabkan.PembahasanHal yang mengikatPada umumnya hukum internasional dan pada khususnya penyelesaian sengketa internasional sebenarnya tidak ada hal yang sangat mengikat, karena hanya bersifat soft law. Mengapa demikian? Kita tau sendiri bahwa dalam penyelesaian sengketa internasional sendiri tidak mempunyai badan-badan dan aparat-aparat hukum seperti hukum nasional yang kita kenal selama ini. Tidak ada badan legislatif Internasional yang membuat aturan-aturan untuk tingkah laku Negara.[footnoteRef:10] Jadi sekali lagi keterikatan subjek-subjek hukum internasional sampai saat ini masih bersifat positif moral semata. Peran yang dimainkan hukum internasional dalam penyelesaian sengketa internasional adalah memberikan cara bagaimana para pihak yang bersengketa menyelesaikan sengketanya menurut hukum internasional.[footnoteRef:11] Di sini memunculkan berbagai kendala, karena hukum internasional hanya memberikan prinsip dan tidak adanya hal yang mengatur lebih spesifik tata cara penyelesaian sengketa internasional serta tidak adanya sanksi. Mengapa pihak-pihak bersengketa mau mengikuti cara hukum internasional dalam penyelesaian sengketa? Sebenarnya hanya didasari oleh kebutuhan, demi terjaganya kedamaian dunia dan menghindari cara-cara penyelesaian secara kekerasan dan mengutamakan penyelesaian sengketa secara damai. Sebagaimana yang tertera dalam lima prinsip PBB dalam piagamnya yang pertama berisi:[footnoteRef:12] [10: Sri Seftianingsih Suwardi, Penyelesaian Sengketa Internasional, Penerbit Universitas Indonesia, 2006, hal. 3] [11: Huala Adolf, Op. Cit., hal. 1] [12: Ibid., hal. 131]

Prinsip untuk menyelesaikan perselisihan secara damai (Pasal 2 (3) piagam PBB jo. Bab VI dan Bab VIII piagam).Makna dari prinsip tersebut adalah menyarankan sengketa-sengketa yang terjadi di dunia diutamakan melalui penyelesaian sengketa secara damai demi menghadirkan perdamaian dunia tanpa mendeskritkan penyelesaian sengketa secara kekerasan apabila dibutuhkan dan penyelesaian sengketa secara damai mengalami kebuntuan. Ini juga sesuai dengan Isi Pembukaan UUD 1945 Republik Indonesia pada alinea keempat yang berisi:[footnoteRef:13] dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, [13: www.putra-putri-indonesia.com/pembukaan-uud.html, dalam tulisan: Isi Pembukaan UUD 1945 Republik Indonesia (27 Desember 2013)]

Selain itu juga tertera pada prinsip PBB yang ke-2 mengatakan:[footnoteRef:14] [14: Sri Seftianingsih Suwardi, Op. Cit., hal. 132]

Prinsip untuk tidak menggunakan kekerasan, (Pasal 2 (4) piagam PBB).Pascar Perang Dunia ke-2 PBB bisa dikatan hadir sebagai penengah atas sengketa-sengketa/konflik-konflik yang bersakala internasional. akibat perang tersebut tidak sedikit merugikan dunia yang memunculkan PBB sebagai salah satu wadah penyelesaian sengketa.Sesuai dengan tujuan utama didirikannya PBB yaitu menjaga stabilitas dunia dan menghindarkan dunia dari ancaman peperangan.Dan prinsip yang lain berisi:[footnoteRef:15] (3) Prinsip mengenai tanggung jawab untuk menentukan adanya ancaman, (Pasal 39 piagam PBB); (4) Prinsip mengenai pengaturan persenjataan, (Pasal 26 piagam PBB); (5) Prinsip umum mengenai kerjasama di bidang pemeliharaan peerdamaian dunia dan keamanan internasional, (Pasal 11 (1) piagam PBB). Jadi jelas tujuan PBB mengedepankan atau menganjurkan prinsip penyelesaian sengketa secara damai demi mencegah terjadinya penyelesaian sengketan secara kekerasan. [15: Ibid.]

J.G. Starke juga menjelaskan tentang hal yang mengikat, Upaya untuk menyelesaiakan sengketa-sengketa internasional sedini mungkin, dengan cara yang seadil-adilnya bagi para pihak yang terlibat merupakan tujuan hukum internasional sejak lama, dan kaidah-kaidah serta prosedur-prosedur yang terkait sebagian merupakan kebiasaan dan praktek dan sebagian lagi berupa konvensi yang membuat hukum yang sangat penting seperti Konvensi The Hague 1899 dan 1907 untuk Penyelesaian sengketa secara Damai Sengketa-sengketa Internasional dan Charter Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dirumuskan di San Fransisco tahun 1945.[footnoteRef:16] Sejak lama penyelesian sengketa internasional secara damai sudah lama digagas lewat konvensi-konvensi sebelum kehadiran PBB. Yang menjadi permasalahan pada akhirnya adalah ketidaktaan para subjek hukum bukan menjadi suatu tindakan kesengajaan, tetapi ketidakjelasan struktur yang ada dalam proses penyelesaian sengketa, dan hanya mengikuti kebiasaan-kebiasaan internasional serta melihat pengalama-pengalaman terdahulu. Sebenarnya kekuatan memaksa pihak dari luar menjadi poin penting dalam mengikat para subjek-subjek hukum internasional dalam menyelesaikan sengketa mereka dan kembali lagi ditentukan oleh sikap subjek-subjek hukum itu sendiri. [16: J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional 2 Edisi Kesepuluh diterjemahkan oleh Bambang Iriana Djajaatmadja, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hal. 645-646]

Penyelesaian Sengketa Secara Damai Melalui Jalur Politik, Efektifkah?Ada dua cara penyelesaian sengketa secara garis besar yaitu cara damai dan cara kekerasan. Sejak dibentuknya PBB pada tahun 1945 sejatinya menjadi ide awal penyelesaian sengketa secara damai ketimbang melalui jalur kekerasan, salah satunya dengan munculnya piagam PBB dan ada beberapa yang tertuang dalam konvensi-konvensi internasional mengenai penyelesaian sengketa secara damai seperti Bandung Declaration 1955, The Declaration of the GA-UB No. 2625 (XXV) 1970, Manila Declaration on the Peaceful Settlement of International disputes 1982 dan Treaty of Amity & Cooperation in southeast Asia 1976 serta banyak lagi konvensi-konvensi lainnya yang terkait. Dari semua konvensi yang ada, ada beberapa pasal yang keterkaitannya sangat penting dengan kewajiban subjek hukum dalam hukum internasional dalam menghadapi sengketa internasional seperti yang tertuang dalam Artikel 2 (3) Piagam PBB:[footnoteRef:17] All Members shall settle their international disputes by peaceful means in such a manner that international peace and security, and justice, are not endangered, dan dalam Artikel 2 (4) Piagam PBB menyatakan:[footnoteRef:18] All Members shall refrain in their international relations from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the Purposes of the United Nations, serta tertuang juga dalam Artikel 33 Piagam PBB:[footnoteRef:19] The parties to any dispute, the continuance of which is likely to endanger the maintenance of international peace and security, shall, first of all, seek a solution by negotiation, enquiry, mediation, conciliation, arbitration, judicial settlement, resort to regional agencies or arrangements, or other peaceful means of their own choice. Jadi sangat jelas tertuang dalam beberapa pasal di atas tentang gagasan untuk menyelesaikan sengketa secara damai demi menjaga perdamaian dunia tanpa menganggap penyelesaian sengketa melalui kekerasan diartikan menyalahi piagam PBB. [17: http://www.un.org/en/documents/charter/chapter1.shtml, Chapter I: Purposes and Principles, (27 Desember 2013)] [18: Ibid.] [19: http://www.un.org/en/documents/charter/chapter6.shtml, Chapter VI: Pacific Settlement of Disputes, (27 Desember 2013)]

Dalam menyelesaikan sengketa politik melalui jalur politik ada beberapa cara untuk penyelesaiannya sepeti (1) negosiasi, (2) mediasi, (3) jasa baik (good office), (4) permintaan atau penyelidikan (Inquiry) Tapi menurut J.G. Starke dalam bukunya mengatakan; Klasifikasi ini tidak berarti bahwa proses-proses ini secara kaku terpisah sama sekali, yang masing-masing hanya sesuai untuk memecahkan satu kelompok sengketa tertentu.[footnoteRef:20] Artinya apabila dalam sengketa keempat cara di atas bisa digunakan semua yang terpenting pihak yang bersengketa menyetujuinya dan tidak keberatan. [20: J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional 2, Op. Cit., hal. 646]

Biasanya langkah awal yang dilakukan apabila terjadi sengketa adalah negosiasi. Dalam buku Huala Adolf menjelaskan pengertian negosiasi adalah perundingan yang diadakan secara langsung antara para pihak dengan tujuan untuk mencari penyelesaian melalui dialog tanpa melibatkan pihak ketiga.[footnoteRef:21] Cara ini sangat dianjurkan untuk dilakukan, selain efektif juga tidak memakan waktu yang banyak dan modal yang keluar. Pengertian lain negosiasi adalah suatu teknik penyelesaian sengketa secara damai yang penting, karena negosiasi adalah suatu usaha untuk mencegah timbulnya sengketa yang lebih serius.[footnoteRef:22] Biasanya negosiasi dilakukan oleh perwakilan diplomatik atau departemen luar negeri. Apabila hal yang disengketakan bersifat besar atau sangat sensitif mengenai hubungan Negara dengan Negara atau Negara dengan organisasi internasional maka negosiasi dilakukan oleh kepala Negara atau ketua organisasi internasional. Aspek terpenting dalam negosiasi adalah harus adanya kepercayaan satu sama lain para pihak yang bersengketa. Ketidakpercayaan yang muncul malah menghambat terjadinya proses negosiasi itu sendiri, dan menghalangi tercapainya tujuan awal dari negosiasi yaitu menyelesaikan sengketa. Walaupun terlihat sederhana dan mudah cara seperti ini sering kali mudah mengalami kegagalan apabila salah satu pihak yang bersengketa menolak melakukan negosiasi, seperti Iran yang menolak Amerika dalam hal kasus sandera (Hostage Case). Ketika timbul sengketa antara Inggris dan Argentina tentang pulau Falkland, maka putus hubungan diplomatik antara Inggris dan Argentina.[footnoteRef:23] Dari contoh kasus tersebut tidak sedikit menimbulkan masalah, seperti pemutusan hubungan diplomatik sampai terjadinya perang kecil yang dapat mengganggu stabilitas kedamaian dunia. Walaupun proses negosiasi ini terlihat baik, ada beberapa hal negatif di dalamnya: pertama, proses penyelesaian demikian ridak memungkinkan fakta-fakta yang melingkupi suatu sengketa ditetapkan dengan objektif; Kedua, cara penyelesaian seperti ini tidak dapat menyelesaikan sengketa tertentu atau dapat menjamin bahwa negosiasi akan menyelesaikan sengketa karena salah satu pihak dapat saja bersikeras dengan pendiriannya; Ketiga, tertutupnya keikutsertaan pihak ke-3 untuk menyelesaikan sengketa, khususnya apabila salah satu pihak berada dalam posisi yang lebih lemah.[footnoteRef:24] Bagaimana apabila yang bersengketa antara Negara yang berkembang dengan Negara maju? Kita semua tau Negara besar/maju mempunyai kekuataan yang sangat berpengaruh dan mempunyai cara-cara tersendiri dalam memuluskan kepentingannya. Biasanya apabila salah satu pihak misalnya Negara berkembang/kecil yang bersengketa dengan Negara besar/maju yang tidak mau mengalah dan menganggap dirinya benar, sering terjadi intervensi dalam mengambil keputusan atas sengketa yang terjadi, hasil keputusan mengalami dominasi yang besar dari Negara yang lebih besar tergantung kepentingan di dalamnya, dan tidak jarang merugikan Negara yang lebih kecil. [21: Huala Adolf, Op. Cit., hal. 26] [22: Sri Seftianingsih Suwardi, Op. Cit., hal. 7] [23: Ibid., hal.13] [24: Huala Adolf, Op. Cit., hal. 29]

Jasa baik merupakan langkah selanjutnya apabila negosiasi mengalami kebuntuan. Jasa-jasa baik adalah cara penyelesaian sengketa melalui keikutsertaan jasa pihak ke-3.[footnoteRef:25] Di sini pihak ke-3 hanya mempertemukan pihak-pihak yang bersengketa, dan tidak ikut terlibat dalam perundingan. Perbedaan mendasar antara jasa baik dan mediasi adalah hanya soal tingkat. Biasanya pihak ke-3 yang diundang mempunyai hubungan yang baik dengan para pihak yang bersengketa. Tetapi pihak yang menawarkan jasa-jasa baik atau mediasi dapat juga, dalam beberapa kasus, individu atau suatu organisasi internasional (bandingkan pemberian jasa-jasa baik oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1947 dalam sengketa antar Netherland dan Republik Indonesia).[footnoteRef:26] Contoh kasus lain adalah tahun 2005 kesediaan Finlandia (good offices) dalam menengahi sengketa Republik Indonesia kontra GAM (Gerakan Aceh Merdeka) yang berhasil diredam dan mendapati titik temu dan kesepahaman antar para pihak bersengketa. Jasa baik (good offices) bisa berjalan baik apabila para pihak bersengketa benar-benar ingin menyelesaikan sengketa mereka, tetapi bila sebaliknya jasa baik ini mengalami kebuntuan pihak ke-3 tidak lagi memiliki kewajiban dalam hal tersebut, karena dengan mempertemukan para pihak yang bersengketa sudah dianggap suatu keberhasilan melakukan (good offices). [25: Ibid., hal. 30] [26: J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional 2, Op. Cit., hal. 671]

Bentuk dari mediasi hampir sama dengan jasa baik, dalam hal ini pihak ke-3 memberikan opsi-opsi atau jalan keluar dari sengketa yang dihadapi oleh para pihak. Di sini pihak ke-3 mengarahkan para pihak bersengketa untuk duduk bersama menyelesaikan sengketa tetapi pihak ke-3 tidak dituntut harus menyelesaiakan sengketa yang terjadi. Hal ini didasari Pasal X Pact of Bogota, yaitu American Treaty on Pacific Settlement 30 April 1948 yang berisi:[footnoteRef:27] [27: http://www.oas.org/juridico/english/treaties/a-42.html, Chapter Two Procedures of Good Offices and Meditation (29 Desember 2013)]

Once the parties have been brought together and have resumed direct negotiations, no further action is to be taken by the states or citizens that have offered their good offices or have accepted an invitation to offer them; they may, however, by agreement between the parties, be present at the negotiations.Mediator bisa Negara, organisasi internasional atau individu. Mediator di sini bukan hanya memiliki hak untuk mempertemukan para pihak yang bersengketa, tetapi juga dapat memimpin perundingan dan memberikan draft-draft untuk menyelesaikan sengketa serta dituntut memiliki netralitas, karena kenetralitasan yang paling dianggap elemen terpenting. Sebab apabila sang mediator dianggap tidak netral, maka salah satu pihak yang bersengketa dapat membatalkan mediasi tersebut karena ketidakpercayaan, biasanya mediator dipilih atas kesepekatan antara pihak-pihak yang bersengketa. Hal yang dianggap penting juga adalah kemampuan sang mediator dalam menyelesaikan masalah dan memiliki pengalaman dalam hal mediasi. Contoh kasus mediasi adalah dalam kasus the Beagle Channel Case Paus Paulus ke-2 sukses menjadi mediator yang melibatkan Chili dan Argentina karena mayoritas kepercayaan kedua Negara ini adalah Nasrani jadi mereka menganggap Paus mediator yang tepat dan adil. Sebagai ciri penyelesaian sengketa melalui jalur politik, pihak yang berada dalam posisi yang lebih superior biasanya akan menekan pihak yang lebih inferior sehingga sering kali keputusan yang diambil sangat berpihak pada kepentingan pada kepentingan pihak yang lebih inferior.[footnoteRef:28] Sebagai contoh perundingan antara Israel dan Palestina yang dimediasi oleh PBB yang banyak merugikan Palestina secara yurisdiksi, karena Israel tidak menganggap Palestina sebagai Negara yang merdeka karena terjadi kepentingan di situ. Ruang lingkup jasa-jasa baik dan mediasi agak terbatas; ada kekurangan prosedur dalam kedua metode untuk melakukan penyeledikan atas fakta hukum secara mendalam.[footnoteRef:29] Jadi di sini pihak ke-3 keterlibatannya kurang mendalam karena tidak berwenang melakukan pencarian fakta-fakta yang lebih spesifik atas sengketa yang terjadi. Tujuan jasa baik dan mediasi adalah sekali lagi untuk mencegah terjadinya gesekan yang lebih dalam demi menjaga suatu perdamaian dunia dari peperangan. [28: Sefriani, Op. Cit., hal. 331] [29: J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional 2, Op. Cit., hal. 673]

Langkah terakhir dalam penyelesaian sengketa internasional secara damai dalam jalur politik adalah pencarian fakta (Inquiry). Pencarian fakta secara umun terbagi atas 2 yaitu konsiliasi dan penyelesaian melalui organisasi internasional. Dalam pengertian luas, konsiliasi mencakup berbagai ragam metode di mana suatu sengketa diselesaikan secara damai dengan bantuan Negara-negara lain atau badan-badan penyeledik dan komite-komite penasihat yang tidak berpihak.[footnoteRef:30] Menurut L.Oppenheim;[footnoteRef:31] [30: Ibid.] [31: Sri Setianingsih Suwardi, Op. Cit., hal. 33]

Conciliation is the process of settling a dispute by referring it to a commission of persons whose task it is to elucidate facts and (usually after hearing the parties and endeavouring to bring them to an agreement) to make a report containing proposal for a settlement, but which does not have the binding character of an award or judgment.Jadi pengertian konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa yang menggabungkan cara inquiry dengan mediasi tetapi berbentuk secara formal yang melibatkan pihak ke-3 yang netral dan tidak memihak dalam penyeledikan fakta yang ada. Yang terpenting dari cara konsoliasi ini adalah keinginan/persetujuan dari para pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan sengketa mereka. Usulan dari pihak ke-3 juga menjadi ujung tombak dalam cara ini, di sini pihak ke-3 dituntut untuk memberikan usulan yang bersifat menyelesaikan sengketa yang terjadi tetapi tidak mempunyai kekuatan hukum. Perbedaan konsoliasi dengan proses sengketa sebelumnya adalah pencarian fakta lebih mendalam dalam melakukan penyelidikan dikarenakan adanya potensi besar sengketa tersebut menghadirkan peperangan jadi sesegera mungkin harus dilakukan penyelidikan. Komisi-komisi Konsiliasi diatur dalam Konvensi-konvensi the Hague 1899 dan 1907 untuk Penyelesaian Sengketa-sengketa Internasional.[footnoteRef:32] Sebelum berdirinya PBB konvensi-konvensi tentang konsiliasi sudah diatur. Menurut Bindschedler, unsur ketidakberpihakan dan kenetralan merupakan kata kunci untuk keberhasilan fungsi konsiliasi.[footnoteRef:33] Kekurangan konsiliasi hampir sama dengan mediasi, yaitu apabila pihak yang bersengketa tidak menghendaki cara penyelesaian sengketa tersebut dan tidak bersifat mengikat. Penggunaan konsiliasi lebih lanjut juga diatur dalam konvensi, salah satunya Konvensi Wina Tahun 1969 pasal 66 Tentang Hukum Perjanjian, Konvensi Wina Tentang Perwakilan Negara Tahun 1975 pasal 85 dan Konvensi Wina Tentang Suksesi Negara Tahun 1978. [32: J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional 2, Op. Cit., hal. 673] [33: Huala Adolf, Op. Cit., hal. 35]

Organisasi PBB yang dibentuk tahun 1945 telah mengambil alih sebagian tanggungjawab untuk menyelesaikan sengketa internasional dalam kaitan ini tanggungjawab penting beralih ke tangan Majelis Umum dan Dewan Keamanan.[footnoteRef:34] Di sini penyelesaian melalui PBB sudah mengalami taraf yang lebih meningkat, karena sengketa yang biasa dibawa ke PBB sudah menuju proses lebih panas. Yang menjadi panjang tangan PBB adalah Sekjen PBB karena berkompetensi dan bersikap netral. Prinsip netral ini menjadi jaminan untuk menyelesaikan sengketa agar tidak menjurus menjadi lebih serius kedepannya. Perlu persetujuan kedua belah pihak bersengketa tentunya untuk menggunakan mekanisme penyelesaian melalui Sekjen PBB ini.[footnoteRef:35] Dalam Artikel 100 Piagam PBB menjelaskan;[footnoteRef:36] [34: T. May Rudy, Hukum Internasional 2, Op. Cit., hal. 90] [35: Sefriani, Hukum Internasional: Suatu Pengantar, Op. Cit., hal. 333] [36: http://www.un.org/en/documents/charter/chapter15.shtml, Chapter XV: The Secretariat, (1 Januari 2014)]

In the performance of their duties the Secretary-General and the staff shall not seek or receive instructions from any government or from any other authority external to the Organization. They shall refrain from any action which might reflect on their position as international officials responsible only to the Organization. Dan selanjutnya menjelaskan: Each Member of the United Nations undertakes to respect the exclusively international character of the responsibilities of the Secretary-General and the staff and not to seek to influence them in the discharge of their responsibilities.Menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan tugasnya tidak boleh ada intervensi dari pihak luar. Sekjen PBB di sini harus mengedepankan profesionalisme dan netralitas dalam penyelesaian suatu perkara. Dalam Artikel 34 Piagam PBB juga menjelaskan penyelesaian sengketa melalui Dewan Keamanaan;[footnoteRef:37] [37: http://www.un.org/en/documents/charter/chapter6.shtml, Chapter VI: Pacific Settlement of Disputes, (1 Januari 2014)]

The Security Council may investigate any dispute, or any situation which might lead to international friction or give rise to a dispute, in order to determine whether the continuance of the dispute or situation is likely to endanger the maintenance of international peace and security.Dewan Keamanaan PBB akan turun tangan langsung apabila sengketa yang terjadi apabila berpotensi atau sudah membahayakan keamanaan internasional walaupun tanpa persetujuan oleh kedua pihak yang bersengketa. Dalam pengambilan keputusan juga Dewan Keamanaan PBB dapat melakukan intervensi terhadap kasus tersebut. Tapi dalam kelemahannya penyelesaian sengketa melalui jalur PBB ini apabila Negara yang bersengketa merupakan pemegang hak veto dalam PBB itu sendiri yang memiliki kepentingan masing di dalamnya. Bisa jadi tekanan atas PBB oleh Negara pemegang hak veto dapat atau bisa menghilangkan kenetralan dan eksistensi PBB. Jadi apa guna PBB didirikan apabila masih ada pemegang hak veto? Apa Politik Hukum pendirian PBB? Bagaimana dengan Negara yang bukan pemegang hak veto bersengketa dengan Negara pemegang hak veto yang menggunakan penyelesaian sengketa secara damai melalui jalur politik?Kelemahan

Penutup

Daftar PustakaBukuFrans Hendra Winarta, 2012, Hukum Penyelesaian Sengketa, Sinar Grafika, Jakarta.Huala Adolf, 2006, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika, Jakarta.J.G. Starke, 2007, Pengantar Hukum Internasional 2 Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta._________, 2012, Pengantar Hukum Internasional 1 Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta.Sefriani, 2010, Hukum Internasional: Suatu Pengantar, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.Sri Seftianingsih Suwardi, 2006, Penyelesaian Sengketa Internasional, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.T. May Rudy, 2002, Studi Strategis: Dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca Perang Dingin, PT Refika Aditama, Bandung.__________, 2009, Hukum Internasional 2, PT Refika Aditama, Bandung.InternetAnonymous, Dalam tulisan: Isi Pembukaan UUD 1945 Republik Indonesia. www.putra-putri-indonesia.com/pembukaan-uud.html.Charter of The United Nations, Chapter I: Purposes and Principles, http://www.un.org/en/documents/charter/chapter1.shtml.Charter of The United Nations, Chapter VI: Pacific Settlement of Disputes, http://www.un.org/en/documents/charter/chapter6.shtml.American Treaty on Pacific Settlement Pact of Bogota, Chapter Two Procedures of Good Offices and Meditation, http://www.oas.org/juridico/english/treaties/a-42.html.Charter of The United Nations, Chapter XV: The Secretariat, http://www.un.org/en/documents/charter/chapter15.shtml.12