tugas toksik

10
TUGAS FARMAKOLOGI TOKSIKOLOGI Seffy Yane Suhanda 1143050107 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 JL. SUNTER PERMAI RAYA, SUNTER AGUNG PODOMORO JAKARTA UTARA 14356

Upload: seffy-yane-suhanda

Post on 16-Sep-2015

222 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

tugas toksik

TRANSCRIPT

TUGAS FARMAKOLOGI TOKSIKOLOGI

Seffy Yane Suhanda

1143050107

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945JL. SUNTER PERMAI RAYA, SUNTER AGUNG PODOMORO

JAKARTA UTARA 14356

Derajat tingkat keracunan didalam toksikologi dibagi dalam beberapa tingkat berdasarkan kesadaran pasien :

Keracunan Tingkat 1 : penderita mengantuk tetapi masih sadar dan mudah di ajak berbicara Keracunan Tingkat 2 : Penderita dalam keadaan sopor, tetapi dapat dibangunkan dengan rangsangan minimal seperti panggilan atau digoyangkan lengannya. Keracunan Tingkat 3 : Penderita dalam keadaan soporkoma dan hanya bereaksi terhadap rangsangan maksimal seperti dengan menggosok tulang dada dengan keras menggunakan kepalan tangan. Keracunan Tingkat 4 : Penderita dalam keadaan koma dan tidak ada reaksi sedikitpun terhadap rangsangan seperti diatas. ini merupakan tingkat yang lebih parah dan mengancam keselamatan jiwa.

NB : Sopor (stupor) koma adalah Keadaan mengantuk yang dalam. Bisa dibangunkan dengan rangsang kuat (rangsang nyeri), tapi pasien tidak bangun sempurna dan tidak dapat memberikan jawaban verbal dengan baik.

Contoh kasus : Keracunan pestisida golongan organofosfatOrganofosfat adalah nama umum ester dari asam fosfat. Pada tahun 1930an organofosfat digunakan sebagai insektisida, namun pihak militer Jerman mengembangkan senyawa ini sebagai neurotoksin selama perang dunia kedua.

Struktur umum organofosfat

Gugus X pada struktur di atas disebut leaving group yang tergantikan saat organofosfat menfosforilasi asetilkholin serta gugus ini paling sensitif terhidrolisis. Sedangkan gugus R1 dan R2 umumnya adalah golongan alkoksi, misalnya OCH3atau OC2H5. Organofosfat dapat digolongkan menjadi beberapa golongan antara lain, fosfat, fosforothioat, fosforamidat, fosfonat, dan sebagainya.

Tanda dan Gejala :

Apabila masuk kedalam tubuh, baik melalui kulit, mulut dan saluran pernafasan maupun saluran pencernaan, pestisida golongan organofosfat akan berikatan dengan enzim dalam darah yang berfungsi mengatur bekerjanya saraf, yaitu kholinesterase. Apabila kholinesterase terikat, maka enzim tersebut tidak dapat melaksanakan tugasnya sehingga syaraf terus-menerus mengirimkan perintah kepada otot-otot tertentu. Dalam keadaan demikian otot-otot tersebut senantiasa bergerak tanpa dapat dikendalikan.

Disamping timbulnya gerakan-gerakan otot-otot tertentu, tanda dan gejala lain dari keracunan pestisida organofosfat adalah ;

Pupil atau celah iris mata menyempit sehingga penglihatan menjadi kabur, mata berair, Mulut berbusa atau mengeluarkan banyak air liur, Sakit kepala, rasa pusing, Berkeringat banyak, detak jantung yang cepat, mual, muntah-muntah, Kejang pada perut, mencret, sukar bernafas, otot-otot tidak dapat digerakkan atau lumpuh dan pingsan.Mekanisme Aksi Pestisida Golongan Organofosfat

Organofosfat mempunyai aksi sebagai inhibitor enzim kholinesterase. seperti halnya fisostigmin, neostigmin, piridostigmin, distigmin, ester asam fosfat, ester tiofosfat dan karbamat. Kholinesterase adalah enzim yang berfungsi agar asetilkholin terhidrolisis menjadi asetat dan kholin. Organofosfat mampu berikatan dengan sisi aktif dari enzim ini sehingga kerja enzim ini terhambat. Akibatnya jumlah asetilkholin dalam sipnasis meningkat, tidak terjadi hidrolisis asetilkolin sehingga menimbulkan stimulasi reseptor possinap yang persisten.

Reaksinya dapat dilihat seperti gambar di bawah ini :

Hambatan ini dapat terjadi beberapa jam minggu tergantung dari jenis antikolinesterase. Asetiklolin adalah suatu neurotransmitter yang terdapat di anatara ujung-ujung saraf dan otot serta berfungsi meneruskan rangsangan saraf.

Organofosfat merupakan pestisida yang sangat berbahaya karena ikatan pestisida organofosfat dan kolinesterase bersifat irreversible. Intoksikasi dapat timbul akibat penyerapan dari berbagai tempat termasuk dari kulit dan saluran nafas.

Penurunan aktivitas kolinesterase hingga menjadi 60% akan menyebabkan timbulnya gejala tidak spesifik seperti mual, pusing, sakit dada, lemah dll. Pada umumnya gejala dan kelainan neurologik muncul setelah terjadinya penghambatan 50% atau lebih aktivitas kolinesterase.

Menurut WHO penurunan aktivitas kolinesterase sebesar 30% dari normal menunjukkan telah terjadi pemaparan organofosfat dan pasien harus diistirahatkan hingga kadar kolinesterase normal. Aktivitas kolinesterase ini tergantung dari kadar kolinesterase yang aktif dalam darah.Tanda peringatan

Semua pestisida toksis. Perbedaan toksisitas adalah pada derajat atau tingkat toksisitas. Pestisida akan berbahaya jika terjadi paparan yang lebih. Pada label kemasan pestisida terdapat 4 tanda peringatan yang menunjukkan potensi resiko pengguna pestisida bukan keampuhan produk pestisida. Penatalaksanaan Keracunan

Untuk mengatasi keracunan karena toksikan, tindakan yang perlu dilakukan adalah stabilisasi pasien, dekontaminasi, dan pemberian antidotum.

1. Stabilisasi Pasien

Pemeriksaan saluran nafas, pernafasan, dan sirkulasi merupakan evaluasi primer yang harus dilakukan serta diikuti evaluasi terhadap tanda dan symptom toksisitas kolinergik yang dialami pasien. Dukungan terhadap saluran pernafasan dan intubasi endotrakeal harus dipertimbangkan bagi pasien yang mengalami perubahan status mental dan kelemahan neuromuskular sejak antidotum tidak memberikan efek. Pasien harus menerima pengobatan secara intravena danmonitoringjantung. Hipotensi yang terjadi harus diberikan normal salin secara intravena dan oksigen harus diberikan untuk mengatasi hipoksia. Terapi suportif ini harus diberikan secara paralel dengan pemberian antidotum2. Dekontaminasi

Dekontaminasi harus segera dilakukan pada pasien yang mengalami keracunan. Baju pasien harus segera dilepas dan badan pasien harus segera dibersihkan dengan sabun. Proses pembersihan ini harus dilakukan pada ruangan yang mempunyai ventilasi yang baik untuk menghindari kontaminasi skunder dari udara.

Pelepasan pakaian dan dekontaminasi dermal mampu mengurangi toksikan yang terpapar secara inhalasi atau dermal, namun tidak bisa digunakan untuk dekontaminasi toksikan yang masuk dalam saluran pencernaan.

Dekontaminasi pada saluran cerna harus dilakukan setelah kondisi pasien stabil. Dekontaminasi saluran cerna dapat melalui pengosongan orogastrik atau nasogastrik, jika toksikan diharapkan masih berada di lambung.

Pengosongan lambung kurang efektif jika organofosfat dalam bentuk cairan karena absorbsinya yang cepat dan bagi pasien yang mengalami muntah.

Arang aktif 1g/kg BB harus diberikan secara rutin untuk menyerap toksikan yang masih tersisa di saluran cerna. Arang aktif harus diberikan setelah pasien mengalami pengosongan lambung. Muntah yang dialami pasien perlu dikontrol untuk menghindari aspirasi arang aktif karena dapat berhubungan dengan pneumonitis dan gangguan paru kronik.

3. Pemberian AntidotumA. Agen Antimuskarinik

Agen antimuskarinik seperti atropine, ipratopium, glikopirolat, dan skopolamin biasa digunakan mengobati efek muskarinik karena keracunan organofosfat. Salah satu yang sering digunakan adalah Atropin karena memiliki riwayat penggunaan paling luas. Atropin melawan tiga efek yang ditimbulkan karena keracunan organofosfat pada reseptor muskarinik, yaitu bradikardi, bronkospasme, dan bronkorea.

Pada orang dewasa, dosis awalnya 1-2 mg yang digandakan setiap 2-3 menit sampai teratropinisasi. Untuk anak-anak dosis awalnya 0,02 mg yang digandakan setiap 2-3 menit sampai teratropinisasi. Tidak ada kontraindikasi penanganan keracunan organofosfat dengan Atropin.B. Oxime

Oxime adalah salah satu agen farmakologi yang biasa digunakan untuk melawan efek neuromuskular pada keracunan organofosfat. Terapi ini diperlukan karena Atropine tidak berpengaruh pada efek nikotinik yang ditimbulkan oleh organofosfat. Oxime dapat mereaktivasi enzim kholinesterase dengan membuang fosforil organofosfat dari sisi aktif enzim.

Pralidoxime adalah satu-satunya oxime yang tersedia. Pada regimen dosis tinggi (2 g ivloaddiikuti 1g/jam selam 48 jam), Pralidoxime dapat mengurangi penggunaan Atropine total dan mengurangi jumlah penggunaan ventilator. Dosis yang direkomendasikan WHO, minimal 30mg/kg iv bolus diikuti >8mg/kg/jam dengan infus.

Efek samping yang dapat ditimbulkan karena pemakaian Pralidoxime meliputidizziness, pandangan kabur, pusing,drowsiness, nausea, takikardi, peningkatan tekanan darah, hiperventilasi, penurunan fungsi renal, dan nyeri pada tempat injeksi. Efek samping tersebut jarang terjadi dan tidak ada kontraindikasi pada penggunaan Pralidoxime sebagai antidotum keracunan organofosfat.

KESIMPULAN

Organofosfat dapat menimbulkan keracunan karena dapat menghambat enzim kholinesterase. Manajemen terapinya meliputi stabilisasi pasien, dekontaminasi, dan pemberian antidotum. Antidotum yang digunakan adalah Atropin dan Pralidoxime.

DAFTAR PUSTAKA Health Situation and Trend Assessment, Health Situation In The South-East Region, 1998-2000, Trends in Health Status. http://www.searo.who.int/EN/Section1243/Section1382/Section1386/Section1898_9443.html diakses tanggal 17 April 2015 pukul 21.30 Katz, K.D. 2010. Toxicity Organophosphate. http://emedicine.medscape.com/article/167726-overviewdiakses tanggal 17 April 2015 pukul 22.30.

Klaassen, C.D. 2008. Casarett And Doulls Toxicology The Basic Science of Poisons, Seventh Edition. New York : McGraw Hill.

Klein, G.M., Rama B.R., Neal E.F., Lewis S.N., dan Brenna M.F. 2008. Disaster Preparedness : Emergency To Response Organophosphorus Poisoning. New York : King Pharmaceuticals, Inc.