tugas tht
DESCRIPTION
ikfgkhvjk vhv khcjhcTRANSCRIPT
TUGAS THT
BERSIN
Oleh :
Tenri Ashari Wanahari
G99131087
Pembimbing :
dr. Anton Christanto, M.Kes, Sp.THT-KL
KEPANITERAAN KLINIK
ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN – KEPALA LEHER
FK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
RSUD PANDANARANG BOYOLALI
2014
1
TUGAS THT-KL RSAP BOYOLALI (HIDUNG BERSIN)
I. IDENTIFIKASI KELUHAN UTAMADI BIDANG THT-KL
a. Keluhan di telinga, meliputi :
1) Nyeri telinga (otalgia),
2) Keluar cairan dari telinga(otorrhea),
3) Telinga berdenging/berdengung (tinnitus),
4) Gangguan pendengaran/tuli (deafness),
5) Telinga terasa penuh,
6) Pusing berputar (vertigo),
7) Benda asing di dalam telinga (corpal),
8) Telinga gatal (itching),
9) Sakit kepala (cephalgia),
10) Sakit kepala sebelah (migraine).
b. Keluhan di hidung, meliputi :
1) Pilek/keluar cairan dari hidung (rhinorrhea),
2) Hidung tersumbat (nasal obstruksi),
3) Bersin-bersin (sneezing),
4) Rasa nyeri di daerah muka dan kepala,
5) Perdarahan dari hidung/mimisan (epistaksis),
6) Gangguan penghidu (anosmia/hiposmia),
7) Benda asing di dalam hidung (corpal),
8) Suara sengau (nasolalia),
9) Hidung berbau (foetor ex nasal).
c. Keluhan di tenggorok, meliputi :
1) Nyeri menelan (odinofagia),
2) Sakit tenggorokan,
3) Tenggorok berlendir/banyak dahak di tenggorok,
4) Sulit menelan (disfagia),
5) Suara serak (hoarseness),
6) Benda asing di dalam tenggorok (corpal),
7) Amandel (tonsil),
2
8) Bau mulut (halitosis),
9) Tenggorok kering,
10) Rasa sumbatan di leher,
11) Batuk.
d. Keluhan di kepala leher di luar keluhan telinga, hidung, dan tenggorok, meliputi:
1) Benjolan di leher,
2) Sesak nafas.
(Soepardi dan Iskandar, 2002; Charles et al., 2007)
II. TERAPI PADA HIDUNG BERSIN
1) Antihistamin
Antihistamin adalah zat yang digunakan untuk mencegah atau menghambat kerja
histamin pada reseptornya. Mekanisme kerja obat antihistamin melalui kompetisi
dengan menghambat histamin berikatan dengan reseptor H1 atau H2 atau H3 di organ
sasaran.
Reseptor Histamin
Reseptor H1 diketahui terdapat di otak, retina, medula adrenal, hati, sel endotel,
pembuluh darah otak, limfosit, otot polos saluran nafas, saluran cerna, saluran
genitourinarius dan jaringan vaskular. Reseptor H2 terdapat di saluran cerna dan dalam
jantung. Sedangkan reseptor H3 terdapat di korteks serebri dan otot polos bronkus. Di
kulit juga terdapat reseptor H3 yang merupakan autoreseptor, mengatur pelepasan dan
sintesis histamin.
Mekanis Sedatif Antihistamin
Anti histamin terbagi atas AH-1 sedatif dan AH-1 non sedatif. Antihistamin sedatif
bersifat lipofilik, sehingga dapat terdistribusi secara luas terutama pada sistem saraf
pusat dan dapat menyebabkan depresi SSP. Antihistamin non sedatif kurang bersifat
lipofilik dan sangat sedikit menembus sawar darah otak, sehingga efek samping yang
terjadi lebih sedikit bila dibandingkan dengan AH-1 yang sedatif.
3
Antihistamin Generasi Pertama
Efek yang tidak diinginkan obat ini adalah menimbulkan rasa mengantuk sehingga
mengganggu aktifitas dalam pekerjaan, berhati-hati waktu mengendarai kendaraan,
mengemudikan pesawat terbang dan mengoperasikan mesin-mesin berat. Efek sedatif
ini diakibatkan oleh karena antihistamin generasi pertama ini memiliki sifat lipofilik
yang dapat menembus sawar darah otak sehingga dapat menempel pada reseptor H1 di
sel-sel otak.
Tabel . Penggolongan anthistamin (AH1), dengan masa kerja, bentuk sediaan dan dosisnya.
4
Antihistamin Generasi Kedua
a. Loratadin (Claritin) adalah trisiklik piperidin long acting yang mempunyai
aktivitas yang selektif dengan efek sedatif dan antikolinergik yang minimal pada
dosis yang direkomendasikan, merupakan antihistamin yang mempunyai masa
kerja yang lama. Metabolik utamanya, deskarboetoksi-loratadin, adalah biologikal
aktifnya.
Loratadin cepat diabsorbsi setelah pemberian dosis 10 mg, sekali sehari dan cepat
diabsorbsi setelah pemberian dosis 10 mg. Eliminasi waktu paruhnya sekitar 8-11
jam, diekskresikan melalui urine 40%, feses 42% dan air susu 0,029%. Loratadin
diindikasikan untuk rinitis alergi dan urtikaria kronik idiopatik pada pasien diatas 6
tahun. Loratadin mempunyai efek terhadap fungsi dari miocardial potassium
channel tetapi tidak menyebabkan disritmia jantung. Loratadin merupakan
antihistamin long acting dengan lama kerja 24 jam. Dosis yang direkomendasikan
10 mg dosis oral, pada anak-anak (< 30 kg) adalah 0,5 mg/kg BB dosis tunggal.
Meskipun loratadin tidak mempunyai kontraindikasi pada penderita hati dan ginjal
kronis, disarankan untuk mengurangi dosis yang diberikan.
Sediaan:
Loratadin sirup (1 mg/ml): 480 ml
Loratadin tablet 10 mg
Loratadin reditabs 10 mg
b. Cetirizin (Ryzen) merupakan metabolit karboksil asid dari hidroksisin. Obat ini
pada manusia hanya mempunyai transformasi metabolik yang minimal menjadi
bentuk metabolit aktif dan obat ini terutama diekskresi lewat urin. Karena setirisin
cepat diabsorbsi dan sedikit yang dimetabolisme, dan juga diekskresi lewat urin,
maka dosis obat ini harus dikurangi pada pasien dengan gangguan ginjal.
Kadar puncak plasma dicapai dalam 1 jam dan waktu paruh plasma sekitar 7 jam,
diekskresikan dalam urine sebanyak 60% dan feses 10%. Setirisin dapat
menghambat eosinofil, netrofil dan basofil dan menghambat IgE serta menurunkan
prostaglandin D2. Setirisin diindikasikan untuk terapi urtikaria kronik di Amerika
5
Serikat. Beberapa studi kemudian mendukung khasiat cetirizin untuk kondisi ini
dan juga ditemukan khasiatnya untuk terapi cold urticaria.
Dosis yang direkomendasikan untuk dewasa 10 mg/hari (maksimal 20 mg) dosis
tunggal, pada anak-anak adalah 0,3 mg/kgBB sedangkan pada pasien dengan
gangguan ginjal kronik dan hepar dosis yang diberikan adalah 5 mg/hari. Lama
kerja dari setirisin adalah 12-24 jam.
Sediaan:
Cetrizine tablet 5 mg, 10 mg.
Cetrizine sirup 5mg/ml: 120 ml.
Antihistamin Generasi Ketiga
a. Feksofenadin (Telfast ®). Di Indonesia dipasarkan dengan nama dagang
Telfast ( di Amerika : Allegra ®) Feksofenadin, metabolit aktif utama dari
terfenadin, merupakan reseptor kompetitif antagonis H-1 yang selektif dengan
sedikit atau tanpa efek samping antikolinergik dan non sedatif, serta bersifat non
kardiotoksik. Feksofenadin diabsorbsi cepat setelah pemberian dosis tunggal
atau dua kapsul 60 mg dengan waktu rata-rata mencapai konsentrasi plasma
maksimum 1-3 jam setelah pemberian per oral. Feksofenadin terikat pada
protein plasma sekitar 60-70%, terutama pada albumin dan 1-acid gylcoprotein.
Waktu paruh feksofenadin adalah 11-15 jam, diekskresikan sebanyak 80% pada
urin dan 12% pada feses. Feksofenadin diindikasikan pada penderita rinitis
alergi dan urtikaria idiopatik kronis. Pemberian feksofenadin bersama antibiotik
golongan makrolid dan obat anti jamur golongan imidazol tidak menunjukkan
adanya interaksi obat sehingga tidak terdapat pemanjangan interval QT.
Sediaan :
- Feksofenadin kapsul 30 dan 60 mg
- Feksofenadin tablet 60 mg, 120 mg dan 180 mg
6
2) Kortikosteroid
Mekanisme Kerja
Jalur proses inflamasi dan penghambatannya oleh steroid (dan non steroid) terlihat pada
skema berikut :
Bagan.1. Jalur penghambatan proses inflamasi oleh steroid dan NSAID.
Farmakokinetik
Metabolisme kortikosteroid sintetis sama dengan kortikosteroid alami. Kortisol
(juga disebut hydrocortison) memiliki berbagai efek fisiologis, termasuk regulasi
metabolisme perantara, fungsi kardiovaskuler, pertumbuhan dan imunitas. Sintesis dan
sekresinya diregulasi secara ketat oleh sistem saraf pusat yang sangat sensitif terhadap
umpan balik negatif yang ditimbulkan oleh kortisol dalam sirkulasi dan glukokortikoid
eksogen (sintetis). Pada orang dewasa normal, disekresi 10-20 mg kortisol setiap hari
tanpa adanya stres. Pada plasma, kortisol terikat pada protein dalam sirkulasi. Dalam
kondisi normal sekitar 90% berikatan dengan globulin-2 (CBG/ corticosteroid-binding
globulin), sedangkan sisanya sekitar 5-10% terikat lemah atau bebas dan tersedia untuk
digunakan efeknya pada sel target. Jika kadar plasma kortisol melebihi 20-30%, CBG
menjadi jenuh dan konsentrasi kortisol bebas bertambah dengan cepat. Kortikosteroid
7
sintetis seperti dexamethason terikat dengan albumin dalam jumlah besar dibandingkan
CBG.
Waktu paruh kortisol dalam sirkulasi, normalnya sekitar 60-90 menit, waktu
paruh dapat meningkat apabila hydrocortisone (prefarat farmasi kortisol) diberikan
dalam jumlah besar, atau pada saat terjadi stres, hipotiroidisme atau penyakit hati.
Hanya 1% kortisol diekskresi tanpa perubahan di urine sebagai kortisol bebas, sekitar
20% kortisol diubah menjadi kortison di ginjal dan jaringan lain dengan reseptor
mineralokortikoid sebelum mencapai hati.
Perubahan struktur kimia sangat mempengaruhi kecepatan absorpsi, mula kerja
dan lama kerja juga mempengaruhi afinitas terhadap reseptor, dan ikatan protein.
Prednisone adalah prodrug yang dengan cepat diubah menjadi prednisolon bentuk
aktifnya dalam tubuh.
Glukokortikoid dapat diabsorpsi melalui kulit, sakus konjungtiva, dan ruang
sinovial. Penggunaan jangka panjang atau pada daerah kulit yang luas dapat
menyebabkan efek sistemik, antara lain supresi korteks adrenal.
Farmakodinamik
Kortikosteroid mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein dan lemak; dan
mempengaruhi juga fungsi sistem kardiovaskular, ginjal, otot lurik, sistem saraf, dan
organ lain. Korteks adrenal berfungsi homeostatik, artinya penting bagi organisme
untuk dapat mempertahankan diri dalam menghadapi perubahan lingkungan.
Efek kortikosteroid kebanyakan berhubungan dengan besarnya dosis, makin
besar dosis terapi makin besar efek yang didapat. Tetapi disamping itu juga ada
keterkaitan kerja kortikosteroid dengan hormon-hormon lain. Peran kortikosteroid
dalam kerjasama ini disebut permissive effects, yaitu kortikosteroid diperlukan supaya
terjadi suatu efek hormon lain, diduga mekanismenya melalui pengaruh steroid terhadap
pembentukan protein yang mengubah respon jaringan terhadap hormon lain. Misalnya
otot polos bronkus tidak akan berespon terhadap katekolamin bila tidak ada
kortikosteroid, dan pemberian kortikosteroid dosis fisiologis akan mengembalikan
respon tersebut.
Suatu dosis kortikosteroid dapat memberikan efek fisiologik atau farmakologik,
tergantung keadaan sekitar dan aktivitas individu. Misalnya, hewan tanpa kelenjar
8
adrenal yang berada dalam keadaan optimal hanya membutuhkan kortikosteroid dosis
kecil untuk dapat mempertahankan hidupnya. Meskipun kortikosteroid mempunyai
berbagai macam aktivitas biologik, umumnya potensi sediaan alamiah maupun yang
sintetik, ditentukan oleh besarnya efek retensi natrium dan penyimpanan glikogen di
hepar atau besarnya khasiat antiinflamasinya.
Dalam klinik umumnya kortikosteroid dibedakan atas dua golongan besar, yaitu
glukokortikoid dan mineralokortikoid. Efek utama glukokortikoid ialah pada
penyimpanan glikogen hepar dan efek anti-inflamasi, sedangkan pengaruhnya pada
keseimbangan air dan elektrolit kecil. Prototip untuk golongan ini adalah kortisol.
Sebaliknya golongan mineralokortikoid efek utamanya adalah terhadap keseimbangan
air dan elektrolit, sedangkan pengaruhnya terhadap penyimpanan glikogen hepar sangat
kecil. Prototip golongan ini adalah desoksikortikosteron. Umumnya golongan
mineralokortikoid tidak mempunyai khasiat anti-inflamasi yang berarti, kecuali 9 α-
fluorokortisol.
Sediaan kortikosteroid dapat dibedakan menjadi tiga golongan berdasarkan masa
kerjanya, antara lain kerja singkat (<12 jam), kerja sedang (12-36 jam), dan kerja lama
(>36 jam).
Tabel perbandingan potensi relatif dan dosis ekuivalen beberapa sediaan kortikosteroid
Kortikosteroid
PotensiLama
kerja
Dosis
ekuivalen
(mg)*Retensi
natrium
Anti-
inflamasi
Kortisol
(hidrokortison)
1 1 S 20
Kortison 0,8 0,8 S 25
Kortikosteron 15 0,35 S -
6-α-metilprednisolon 0,5 5 I 4
Fludrokortison
(mineralokortikoid)
125 10 I -
9
Prednisone 0,8 4 I 5
Prednisolon 0,8 4 I 5
Triamsinolon 0 5 I 4
Parametason 0 10 L 2
Betametason 0 25 L 0,75
Deksametason 0 25 L 0,75
Keterangan:
* hanya berlaku untuk pemberian oral atau IV.
S = kerja singkat (t1/2 biologik 8-12 jam);
I = intermediate, kerja sedang (t1/2 biologik 12-36 jam);
L = kerja lama (t1/2 biologik 36-72 jam).
EFEK SAMPING
Berikut efek samping kortikosteroid sistemik secara umum.
Tempat Macam efek samping
1. Saluran cerna
2. Otot
3. Susunan saraf pusat
4. Tulang
5. Kulit
6. Mata
7. Darah
8. Pembuluh darah
9. Bagian
Hipersekresi asam lambung, mengubah proteksi gaster, ulkus peptikum/perforasi, pankreatitis, ileitis regional, kolitis ulseratif.
Hipotrofi, fibrosis, miopati panggul/bahu.
Perubahan kepribadian (euforia, insomnia, gelisah, mudah tersinggung, psikosis, paranoid, hiperkinesis, kecendrungan bunuh diri), nafsu makan bertambah.
Osteoporosis,fraktur, kompresi vertebra, skoliosis, fraktur tulang panjang.
Hirsutisme, hipotropi, strie atrofise, dermatosis akneiformis, purpura, telangiektasis.
Glaukoma dan katarak subkapsular posterior
Kenaikan Hb, eritrosit, leukosit dan limfosit
Kenaikan tekanan darah
10
kortek
10. Metabolisme protein, KH dan lemak
11. Elektrolit
12. Sistem immunitas
Atrofi, tidak bisa melawan stres
Kehilangan protein (efek katabolik), hiperlipidemia,gula meninggi, obesitas, buffao hump, perlemakan hati.
Retensi Na/air, kehilangan kalium (astenia, paralisis, tetani, aritmia kor)
Menurun, rentan terhadap infeksi, reaktivasi Tb dan herpes simplek, keganasan dapat timbul.
3) Dekongestan Nasal
a. Mekanisme Kerja
α –agonis banyak digunakan sebagai dekongestan nasal pada penderita rhinitis alergika
atau rhinitis vasomotor dan pada penderita infeksi saluran napas atas dengan rhinitis
akut. Obat-obat ini menyebabkan venokontriksi dalam mukosa hidung melalui reseptor
α1 sehingga mengurangi volume mukosa dan dengan demikian mengurangi
penyumbatan hidung. Reseptor α2 terdapat pada arteriol yang membawa suplai
makanan bagi mukosa hidung. Vasokontriksi arteriol ini oleh α2 agonis dapat
menyebabkan kerusakan struktural pada mukosa tersebut. Pengobatan dengan
dekongestan nasal sering kali menimbulkan hilangnya efektivitas pada pemberian
kronik,serta rebound hyperemia dan memburuknya gejala bila obat dihentikan.
Mekanismenya belum jelas,tetapi mungkin melibatkan desensitisasi reseptor dan
kerusakan mukosa.α1 agonis yang selektif lebih kecil kemungkinannya untuk
menimbulkan kerusakan mukosa.
b. Penggolongan dan Penggunaan Dekongestan
1) Macam-macam dekongestan:
Dekongestan Sistemik, seperti pseudoefedrin, efedrin, dan fenilpropanolamin.
Dekongestan sistemik diberikan secara oral (melalui mulut). Meskipun efeknya tidak
secepat topikal tapi kelebihannya tidak mengiritasi hidung. Dekongestan sistemik harus
digunakan secara hati-hati pada penderita hipertensi, pria dengan hipertrofi prostat dan
lanjut usia. Hal ini
disebabkan dekongestan memiliki efek samping sentral sehingga menimbulkan efek
samping takikardia (frekuesi denyut jantung berlebihan), aritmia (penyimpangan irama
jantung), peningkatan tekanan darah atau stimulasi susunan saraf pusat.11
Efedrin
Efedrin adalah alkaloid yang dikenal sebagai obat simpatomimetik aktif pertama secara
oral. Efedrin sebagai obat adrenergik dapat bekerja ganda dengan cara melepaskan
simpanan norepinefrin dari ujung saraf dan mampu bekerja memacu secara langsung di
reseptor α dan β. Pada sistem kardiovaskuler, efedrin meninggikan tekanan darah baik
sistolik maupun diastolik melalui vasokonstriksi dan terpacunya jantung. Efedrin
berefek bronkodilatasi tetapi lebih lemah dan lebih lambat dibandingkan epinefrin atau
isoproteronol. Efedrin memacu ringan SSP sehingga menjadi sigap, mengurangi
kelelahan, tidak memberi efek tidur dan dapat digunakan sebagai midriatik. Efedrin
digunakan sebagai dekongestan hidung, bekerja sebagai vasokonstriktor lokal bila
diberikan secara topikal pada permukaan mukosa hidung, karena itu bermanfaat dalam
pengobatan kongesti hidung pada Hay fever, rinitis alergi, influenza dan kelainan
saluran napas atas lainnya. Dosis : pada asma, oral 3—4 dd 25-50 mg (HCl), anak-anak
2-3 mg/kg sehari dalam 4-6 dosis. Nama Paten : Asmasolon.
Pseudoefedrin
Isomer dekstro dari efedrin dengan mekanisme kerja yang sama, namun daya
bronkodilatasinya lebih lemah, tetapi efek sampingnya terhadap SSP dan jantung lebih
ringan. Obat ini, jika masuk ke dalam sistem saraf pusat, dapat menyebabkan
kecemasan, peka rangsangan, dan gelisah. Efek samping lainnya berupa denyut jantung
lebih cepat, insomnia, efek alergi pada kulit, kulit kering, retensi urin, anoreksia,
halusinasi, sakit kepala, mual, dan sakit perut. Pseudoefredin juga dikaitkan dengan
peningkatan risiko stroke. Obat ini banyak digunakan dalam sediaan kombinasi untuk
flu. Dosis : oral 3-4 dd 60 mg (HCl, sulfat) Nama Paten : Sinutab, Sudafed, Polaramin
Fenilpropanolamin
Derivat tanpa gugus C-H pada atom N dengan khasiat yang menyerupai efedrin.
Kerjanya lebih panjang, efek sentral dan efek jantungnya lebih ringan. Namun,
berdasarkan Food and Drug Administration Amerika (FDA) menganjurkan untuk tidak
menggunakan tiap produk yang mengandung fenilpropanolamin. Dosis : oral 3-4 dd 15-
25 mg. Nama Paten : Triaminic, Sinutab, Rhinotusal Dekongestan Topikal, digunakan
12
untuk rinitis akut yang merupakan radang selaput lendir hidung. Bentuk sediaan
dekongestan topikal berupa balsam, inhaler, tetes hidung atau semprot hidung.
Dekongestan topikal (semprot hidung) yang biasa digunakan yaitu oxymetazolin,
xylometazolin, tetrahydrozolin, nafazolin yang merupakan derivat imidazolin.
Penggunaan dekongestan topikal dilakukan pada pagi dan menjelang tidur malam, dan
tidak boleh lebih dari 2 kali dalam 24 jam. Dekongestan topikal terutama berguna untuk
rhinitis akut karena tempat kerjanya yang lebih selektif,tetapi obat-obat ini cenderung
untuk digunakan secara berlebihan oleh penderita,sehingga menimbulkan penyumbatan
yang berlebihan.Dekongestan oral jauh lebih kecil kemungkinannya untuk
menimbulkan rebound congestion,tetapi lebih besar risikonya untuk menimbulkan efek
samping sistemik.
Derivat Imidazolin
Senyawa ini memiliki efek alfa adrenergik langsung dengan vasokonstriksi tanpa
stimulasi SSP. Khususnya digunakan sebagai dekongestan pada selaput lendir yang
bengkak di hidung dan mata, pilek, selesma (rhinitis, coryza), hay fever, sinusitis, dsb.
Bayi dan anak kecil sebaiknya jangan diberikan dalam jangka waktu lama untuk obat ini
karena dapat diabsorbsi dari mukosa dengan menimbulkan depresi SSP. Gejalanya
berupa rasa kantuk, pening, hipotermi, bradikardi, bahkan juga koma pada kasus
overdosis. Sifat ini bertentangan dengan kebanyakan adrenergik yang justru
menstimulasi SSP.
Yang paling banyak digunakan adalah :
Naphazolin
Xylometazolin
Oksimetazolin
Tetrahidrozolin
Oxymetazolin
Derivate imidazolin ini bekerja langsung terhadap reseptor alfa tanpa efek reseptor beta.
Setelah diteteskan di hidung, dalam waktu 5-10 menit terjadi vasokonstriksi mukosa
yang bengkak dan kemampatan hilang. Efeknya bertahan hingga 5 jam. Efek
13
sampingnya dapat berupa rasa terbakar dan teriritasi pada selaput lender hidung dengan
menimbulkan bersin.
Dosis : anak-anak di atas 12 tahun dan dewasa 1-3 dd 2-3 tetes larutan 0,05% (HCl) di
setiap lubang hidung; anak-anak 2-10 tahun larutan 0,025% (HCl)
Nama Paten : Afrin, Iliadin, Nasivin
Xylometazolin
Adalah derivate dengan daya kerja dan penggunaan yang sama. Dosis : nasal 1-3 dd 2-3
tetes larutan 0,1% (HCl), maksimum 6 kali sehari. Anak-anak 2-6 tahun larutan 0,05%.
Nama Paten : Otrivin
Nafazolin
Adalah derivate yang paling tua dengan sifat yang sama, tetapi kerjanya lebih singkat
rata-rata 3 jam. Naphazolin adalah senyawa simpatomimetik yang ditandai dengan
aktivitas alfa adrenergiknya. Naphazoline adalah vasokontriktor dengan kerja cepat
dalam mengurangi pembengkakan pada pemakaian membran mukosa. Naphazoline
bekerja pada reseptor di arteri konjungtiva yang menjadi konstriksi sehingga
menghasilkan penurunan
penyumbatan/kongesti.
Dosis : okuler 1-4 dd 1-2 tetes larutan 0,05-0,1% (HCl).
Nama Paten : Albalon, Privin, Vasacon
14
DAFTAR PUSTAKA
Charles et al. 2007. Oral Cavity/Pharings/Esophagus in: Cumming Otholarhyngology,
Head, And Neck Surgery 4th Edition.USA: Elsevier, pp: 62-3.
Efiaty Soepardi dan Nurbaiti Iskandar. 2002. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher, Edisi ke Lima, Balai penerbit FKUI, Jakarta.
Katzung, B.G. 2002. “Farmakologi Dasar dan Klinik”. Salemba Medika. Jakarta.
15