tugas terorisme

14
Latar Belakang Aksi Terorisme di Indonesia sepanjang tahun 2000-2009 di Indonesia tercatat telah terjadi 22 pengeboman, baik dalam skala kecil maupun skala besar dan yang baru-baru ini para teroris melakukan peledakan Hotel JW Marriot dan Hotel Ritz-Carlton di Mega Kuningan pada  jumat pagi, tanggal 17 Juli 2009 dengan jumlah korban tewas 9 orang dan luka-luka 55 orang, Aksi terorisme di Indonesia sebenarnya dimulai dengan ledakan bom yang terjadi di kompleks Perguruan cikini dalam upaya pembunuhan Presiden Pertama RI, Ir. Soekarno, pada tahun 1962 dan berlanjut pada tahun-tahun berikutnya sampai pada bulan Agustus 2001 yaitu Peledakan Plaza Atrium, Senen, Jakarta. Ledakan melukai 6 orang , semua aksi pemboman di Indonesia sepanjang tahun 1962 sampai dengan Agustus 2001 ganya menjadi isu dalam negeri, namun sejak terjadinya peristiwa world Trade Centre (WTC) di New York, Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001, yang memakan 3.000 korban.(Adji,2001) Peristiwa 11 September mengawali babak baru isu terorisme menjadi isu global yang mempengarui kebijakan politik seluruh Negara-negara di dunia, sehingga menjadi titik tolak  persepsi untuk memerangi T erorisme sebagai musug internasional. Pembunuhan missal tersebut telah mempersatukan dunia melawan Terorisme Internasional. Pasca Tragedi 11 september 2001 indonesia sendiri belum menganggap aksi pemboman yang terjadi di dalam negeri sebagai aksi terorisme tapi aksi separatis/para pengacau keamanan seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan sebagainya, Pemerintah Indonesia baru menganggap adanya aksi Terorisme di Indonesia, setelah terjadinya Tragedi Bom Bali I, tanggal 12 Oktober 2002 yang merupakan tindakan terror, menimbulkan korban sipil terbesar di dunia, yaitu menewaskan 184 orang dan melukai lebih dari 300 orang. Hal ini terbukti pasca tragedy Bom Bali I, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang(Perpu) nomor 1 tahun 2002, yang pada tanggal 4 April 2003 disahkan menjadi Undang-undang dengan nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Undang-undang ini dikeluarkan menginat peraturan yang ada saat ini yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) belum mengatur secara khusus serta tidak cukup memadai untuk memberantas Tindak Pidana Terorisme. (Manullang, 2001) Maka identifikasi pemasalahan pada makalah ini lebih difokuskan pada pendekatan-  pendekatan hukum yang dititik beratkan pada pengertian terorisme atau teroris, latar belakang terjadinya aksi terorisme, kajian akademis yang berbasis hukum nasional dan internasional

Upload: anton-christian

Post on 15-Oct-2015

9 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

hukum terorisme

TRANSCRIPT

Latar Belakang

Aksi Terorisme di Indonesia sepanjang tahun 2000-2009 di Indonesia tercatat telah terjadi 22 pengeboman, baik dalam skala kecil maupun skala besar dan yang baru-baru ini para teroris melakukan peledakan Hotel JW Marriot dan Hotel Ritz-Carlton di Mega Kuningan pada jumat pagi, tanggal 17 Juli 2009 dengan jumlah korban tewas 9 orang dan luka-luka 55 orang, Aksi terorisme di Indonesia sebenarnya dimulai dengan ledakan bom yang terjadi di kompleks Perguruan cikini dalam upaya pembunuhan Presiden Pertama RI, Ir. Soekarno, pada tahun 1962 dan berlanjut pada tahun-tahun berikutnya sampai pada bulan Agustus 2001 yaitu Peledakan Plaza Atrium, Senen, Jakarta. Ledakan melukai 6 orang , semua aksi pemboman di Indonesia sepanjang tahun 1962 sampai dengan Agustus 2001 ganya menjadi isu dalam negeri, namun sejak terjadinya peristiwa world Trade Centre (WTC) di New York, Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001, yang memakan 3.000 korban.(Adji,2001)Peristiwa 11 September mengawali babak baru isu terorisme menjadi isu global yang mempengarui kebijakan politik seluruh Negara-negara di dunia, sehingga menjadi titik tolak persepsi untuk memerangi Terorisme sebagai musug internasional. Pembunuhan missal tersebut telah mempersatukan dunia melawan Terorisme Internasional. Pasca Tragedi 11 september 2001 indonesia sendiri belum menganggap aksi pemboman yang terjadi di dalam negeri sebagai aksi terorisme tapi aksi separatis/para pengacau keamanan seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan sebagainya, Pemerintah Indonesia baru menganggap adanya aksi Terorisme di Indonesia, setelah terjadinya Tragedi Bom Bali I, tanggal 12 Oktober 2002 yang merupakan tindakan terror, menimbulkan korban sipil terbesar di dunia, yaitu menewaskan 184 orang dan melukai lebih dari 300 orang. Hal ini terbukti pasca tragedy Bom Bali I, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang(Perpu) nomor 1 tahun 2002, yang pada tanggal 4 April 2003 disahkan menjadi Undang-undang dengan nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Undang-undang ini dikeluarkan menginat peraturan yang ada saat ini yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) belum mengatur secara khusus serta tidak cukup memadai untuk memberantas Tindak Pidana Terorisme. (Manullang, 2001)Maka identifikasi pemasalahan pada makalah ini lebih difokuskan pada pendekatan-pendekatan hukum yang dititik beratkan pada pengertian terorisme atau teroris, latar belakang terjadinya aksi terorisme, kajian akademis yang berbasis hukum nasional dan internasional terhadap pasal-pasal yang ada pada UU anti teroris Indonesia yaitu Perpu No. 1 tahun 2001 dan revisi UU No. 15 tahun 2003 dan apakah terdapat kelemahan pendekatan legal formal yang diterapkan melalui UU anti terorisme dalam menindak para pelaku terorisme.

Perumusan Masalah

Menurut Konvensi PBB Tahun 1937. Terorisme adalah segala bentuk tindak kejahatan yang ditunjukkan langsung kepada Negara dengan maksud menciptakan bentuk terror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas.(Manullang, 2001)Menurut Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Bab I Ketentuan Umum, pasal 1 ayat (1), tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsure-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini mengenai perbuatan apa saja yang dikategorikan ke dalam Tindak Pidana Terorisme, diatur dalam ketentuan pada Bab III (Tindak Pidana Terorisme), Pasal 6,7, bahwa setiap orang dipidana karena melakukan Tindak Pidana Terorisme, Jika:1. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana terror atau rasa taktu terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat missal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan hartta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas public atau fasilitas internasional (Pasal 6).2. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 7).(Adji, 2001)Dan seseorang juga dianggap melakukan Tindak Pidana terorisme, berdasarkan ketentuan pasal 8, 9, 10, 11 dan 12 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dari banyak definisi yang dikemukakan oleh banyak pihak yang menjadi cirri dari suatu Tindak Pidana Terorisme adalah :1. Adanya rencana untuk melaksanakan tindakan tersebut.2. Dilakukan oleh suatu kelompok tertentu.3. Menggunakan kekerasan.4. Mengambil korban dari masyarakay sipil, dengan maksud mengintimidasi pemerintah.Dilakukan cara mencapai pemenuhan atas tujuan tertentu dari pelaku, yang dapat berupa motif sosial, politik ataupun agama.(Mustofa, 2000)Menurut A.C Manulang, Terorisme adalah suatu cara untuk merebut kekuasaan dari kelompok lain, dipicu antara lain karena adanya pertentangan agama, ideology dan etnis serta kesenjangan ekonomi, serta terseumbatnya komunikasi rakyat dengan pemerintah, atau karena adanya paham separatism dan ideologi fanatisme.(Manullang, 2001)Menurut Muhammad Mustofa. Terorisme adalah tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang ditujukkan kepada sasaran secara acak (tidak ada hubungan langsung dengan pelaku) yang berakibat pada kerusakan, kematian, ketakutan, ketidakpastian, dan keputusasaan massal.(Mustofa, 2000)

Pembahasan

Istilah TerorismeDari segi bahasa, istilah teroris berasal dari Perancis pada abad 18. Kata Terorisme yang artinya dalam keadaan terror (under the terror), berasal dari bahasa latin terrere yang berarti gemetaran dan detererre yang berarti akut. Istilah terorisme pada awalnya digunakan untuk menunjuk suatu musuh dari sengketa territorial atau kultural melawan ideology atau agama yang melakukan aksi kekerasan terhadap publik. Istilah terorisme dan teroris sekarang ini memiliki arti politis dan sering digunakan untuk mempolarisasi efek yang mana terorisme tadinya hanya untuk istilah kekerasan yang dilakukan oleh pihak musuh, dari sudut pandang yang diserang. Polarisasi tersebut terbentuk dikarenakan ada relativitas makna terorisme yang mana menurut William D Purdue (1989), the use word is one method of delegitimation often use by side that has the military advantage.(Salim, 2003)Sedangkan teroris merupakan individu yang secara personal terlibat dalam aksi terorisme. Aksi terorisme dapat dilakukan oleh individu, sekelompok orang atau Negara sebagai alternative dari pernyataan perang secara terbuka. Negara yang mendukung kekerasan terhadap penduduk sipil menggunakan istilah positif untuk kombatan mereka, misanya antara lain paramiliter, pejuang kebebasan atau patriot. Kekerasan yang dilakukan oleh kombatan Negara, bagaimanapun lebih diterima dari pada yang dilakukan oleh teroris yang mana tidak mematuhi hokum perang dan karenanya tidak dapat dibenarkan melakukan kekerasan. Negara yang terlibat dalam peperangan juga sering melakukan kekerasan terhadap penduduk sipil dan tidak diberi label sebagai teroris. Meski kemudian muncul istilah State Terorism, namun mayoritas membedakan antara kekerasan yang dilakukan oleh negara dengan terorisme, hanyalah sebatas bahwa aksi terorisme dilakukan secara acak, tidak mengenal kompromi, korban bisa saja militer atau sipil, pria, tua, muda bahkan anak-anak, kaya miskin, siapapun dapat diserang. Kebanyakan dari definisi terorisme yang ada menjelaskan empat macam kriteria, antara lain target, tujuan, motivasi dan legitimasi dari aksi terorisme tersebut. Dapat dikatakan secara sederhana bahwa aksi-aksi terorisme dilatarbelakangi oleh motif-motif tertentu seperti motif perang suci, motif ekonomi, motif balas dendam dan motif-motif berdasarkan aliran kepercayaan tertentu. Namun patut disadari bahwa terorisme bukan suatu ideologi atau nilai-nilai tertentu dalam ajaran agama. Ia sekedar strategi, instrument atau alat untuk mencapai tujuan. Dengan kata lain tidak ada terorisme untuk terorisme, kecuali mungkin karena motif-motif kegilaan.(Powel, 2009) Kajian Akademis terhadap UU Anti Terorisme IndonesiaTerdapat kesan yang kuat bahwa pemerintah lebih mengedepankan pendekatan legal formal dan represif dalam menangani masalah terorisme di tanah air. Indikasi ini diperkuat dengan bersemangatnya pemerintah mengeluarkan undang-undang untuk mengatasi masalah terorisme ini, termasuk usulan untuk mengeluarkan Internal Security Act yang diyakini oleh banyak pihak pasti akan bersifat represif. Pada saat akan disahkan Perpu 1 tahun 2002 menjadi UU No. 15 tahun 2003 banyak kecaman yang akan menyulut pertentangan dan kritik terhadap seputar hak-hak asasi manusia berkenaan dari berbagai hal antara lain Asas Retroaktif, waktu penangkapan yang 7 x 24 jam, laporan intelejen dan sebagainya. Dalam Revisi UU No. 15 tahun 2003 ada pencantuman beberapa tindak pidana dimana beberapa pasal bukan hanya dirumuskan terlalu luas, tetapi berpotensi melanggar HAM. Hal tersebut terlihat dengan adanya kriminalisasi atau menjadikan perbuatan sebagai tindak pidana pada aktivitas-aktivitas untuk perbuatan sebelum terjadinya tindak pidana terorisme seperti pada Pasal 9 A, yang berbunyi : (Adji, 2001)a. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun, setiap orang dengan sengaja dan melawan hokum memperdagangkan bahan-bahan utama yang berpotensial untuk digunakan sebagai bahan peledak.b. Apabila bahan-bahan utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbukti digunakan dalam tindak pidana terorisme, pelaku dipidana paling lama 15 tahun.Diakui untuk peledak adalah Kewenangan Intelejen tidak menjelaskan jenis-jenis bahan-bahan menambah yang dimaksud, padahal produsen pupuk, nelayan kecil-kecilan dan pekerja tambang pun membutuhkan bahan-bahan yang jika dicampur dengan bahan-bahan tertentu dapat menjadi peledak. Bahkan bensin, kain dan botol kosong pun dapat menjadi bahan peledak. Jika ketentuan pasal tersebut disahkan akan terjadi ketidakadilan dan kerancuan dalam penerapannya di lapangan. Untuk itu ada baiknya diperlukan peraturan distribusi bahan-bahan kimia serta badan pengawas yang bertugas mengawasi peredaran bahan kimia yang berpotensi sebagai bahan peledak di pasaran. Dimana hal tersebut tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit dalam pelaksanaannya dan diragukan terealisasi dengan baik. Selain itu menimbulkan kerancuan siapa dapat digolongkan sebagai pembeli yang legal atau illegal berdasarkan dari itikad pembeliannya. (Salim, 2003)Pada pasal 26 RUU dinyatakan bahwa laporan intelejen dapat dijadikan sebagai bukti permulaan. Laporan intelejen ayat (1a) jika berasal dari instansi lain selain dari kepolisian RI wajib diautentifikasi oleh Kapolri atau pejabat yang ditunjuk. Namun tidak disebutkan siapa pejabat lain yang ditunjuk itu. Selain itu diakui oleh Direktur Jenderal Strategi Pertahanan Departemen Pertahanan Mayor Jenderal Sudradjat bahwa memang pasal ini ditambahkan untuk memberikan perluasan kewenangan intelejen untuk memburu dan menangkap pihak-pihak yang berencana melakukan aksi terorisme. Laporan intelejen tersebut dapat dijadikan sebagai alat bukti sebagaimana revisi pasal 27 UU Anti Terorisme. Sebelumnya dalam UU No. 15 Tahun 2003, laporan intelejen tidak dijadikan sebagai alat bukti (Primary Evidance) melainkan sebagai bukti permulaan yang merupakan bukti pendukung (Supporting Evidance). Dalam hukum pidana terdapat perbedaan mendasar antara pengertian intellegence evidance dan crime evidance. Crime evidance dapat mencakup intellegence evidance tetapi intelligence evidance tidak dapat dianggap crime evidance karena intelegence evidance tidak memerlukan sebagai fakta hukum untuk merumuskan perbuatan-perbuatan sebagai indikasi atau dasar adanya tindak pidana. Hal ini dikarenakan intelligence evidance merupakan abstraksi data yang seringkali tidak memerlukan pembuktian, Misalnya korban tewas yang dikarenakan bom mobil atau keterlibatan Noordin M Top dan dr. Azhari dalam peledakan Bom Kuningan adalah Intellegance evidence. Sedangkan crime evidence merupakan fakta hukum yang konkret sebagai cirri rule of law, dalam prespektif hukum pidana menggunakan laporan intelejen sebagai alat bukti jelas mengabaikan azas praduga tak bersalah (presumption of innocent) dan tidak dapat diabaikan kemungkinan dilakukannya inkriminasi terhadap para tersangka terorisme. Pasal 31 RUU juga memasukkan hak-hak penyidik untuk membuka, memeriksa dan menyita surat dan kiriman melalui pos serta melakukan penyadapan pembicaraan. Pasal itu bahkan tidak memberikan batasan terhadap tindakan penyadapan apa saja yang boleh dilakukan oleh penyidik. Penyidik cukup memiliki bukti permulaan yang cukup untuk bisa melakukan itu semua. Pada pasal 34 RUU dicantumkan bahwa pemeriksaan dapat dilakukan secara jarak jauh tanpa melakukan tatap muka dengan tersangka dengan menggunakan layar monitor. RUU ini mengijinkan penggunaan teleconference sebagai alternatif kehadiran saksi di muka sidang pengadilan. Namun RUU tidak menjelaskan apa prasyarat teknis untuk membuat suatu kesaksian di pengadilan dengan menggunakan teleconference seperti sertifikasi sistem komunikasi dan keamanan ruangan saksi yang diperiksa melalui teleconference sehingga keterangan saksi terlepas dari intervensi yang dilakukan oleh penyidik di belakang layar teleconference tersebut. (Mustofa, 2000)Terorime memiliki kaitan antara delik politik dan delik kekerasan, sehingga pandangan mengenai terorisme seringkali bersifat subjektif. Dalam Perpu No.1 Tahun 2002 sebenarnya terdapat pasal-pasal yang sangat riskan melanggar HAM yaitu pasal 46 tentang Asas Retroaktif. Kemudian pada Bulan Juli 2004 MK menyatakan bahwa UU No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu No.1 Tahun 2002 mengenai pemberantasan tindak pidana terorisme pada peledakan Bom Bali tanggal 12 Oktober 2002 tidak memiliki kekuatan yang mengikat. Mahkamah Konstitusi(MK) mempertimbangkan Asas Retroaktif adalah asas hukum yang bersifat universal yang hanya dapat diberlakukan ada jenis kejahatan tertentu yang berupa Kejahatan Genosida (crimes of genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes of humanity), kejahatan perang (war crimes) dan kejahatan agresi (agression). Menurut MK, terorisme merupakan kejahatan biasa yang sangat kejam, maka kejahatan terorisme untuk Bom Bali tidak dapat diberlakukan asas retroaktif. Ini artinya, terorisme bukanlah kejahatan terhadap genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi. UU No.15 tahun 2003 tidak dapat diberlakukan Asas Retroaktif karena hal tersebut bertentangan dengan pasal 1 ayat (3) dan pasal 28 i ayat (1) Undang-Undang dasar 1945. Hal ini tentunya menimbulkan kontroversi para praktisi hukum di Indonesia karena keputusan MK tersebur hanya memperhatikan Hak Asasi para pelaku Terorisme saja tidak mempertimbangkan akibat dari terorisme itu sendiri termasuk para korban, keluarga korban, masyarakat pada umumnya bahkan akibat terorisme itu akan menyebabkan persepsi negatif bangsa-bangsa dunia terhadap Indonesia bahwa Indonesia merupakan sarang terorisme dan beranggapan bahwa situasi keamanan Indonesia tidak aman. Di lingkup internasional pengertian terorisme masih terdapat perdebatan alot, perdebatan tersebut berputar apakah terorisme dapat dimasukkan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) atau kejahatan luar biasa ( extra ordinary crimes), tetapi bukan sebagai kejahatan kemanusiaan. Dan ternyata terdapat desakan yang sangat kuat untuk memasukkan kejahatan treaty based crimes related to terorism and drug trafficking sebagai kejahatan kemanusiaan sehingga banyak ahli hukum yang mendukung International Criminal Court (ICC) untuk memasukkan kejahatan-kejahatan tersebut dalam yurisdiksinya. International Criminal Court (ICC) adalah lembaga prospektif yang seharusnya tidak hanya menerapakan yurisdiksinya terhadap kejahatan-kejahatan yang ditentukan oleh Statuta Roma Tahun 1998. Dalam hal ini asas legalitas, tetap dipandang sebagai asas fundamental. Namun berkaitan dengan yurisdiksi ICC, asas ini dapat disimpangi bila negara yang bersangkutan telah membuat pernyataan bahwa negara tersebut dapat menerima pelaksanaan yurisdiksi oleh pengadilan yang berkaitan dengan kejahatan masa lalu. Bertitik tolak dari pembahasan mengenai yurisdiksi ICC diatas, maka sewajarnyalah bahawa kejahatan terorisme termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan karena korbannya missal dan menghancurkan kemanusiaan dan peradaban.(Salim, 2003) Sisi negatif pendekatan legal formalKebijakan yang terlalu bertumpu kepada pendekatan legal formal dan bersifat represif, perlu ditinjau ulang karena bukan saja tidak mampu mengatasi masalah terorisme tetapi justru dapat meningkatkan tindak kekerasan semacam itu di masa depan. Pemerintah perlu memikirkan alternatif pendekatan dalam menyelesaikan masalah terorisme di tanah air diluar pendekatan legal formal/represif. Ada beberapa hal efek negatif dapat menyebabkan cara penyelesaian berbasis legal formal/represif itu kurang mampu menyelesaikan masalah terorisme yaitu: pertama logika dibelakang pendekatan melalui mekanisme hukum itu berlawanan dengan logika yang dianut para teroris itu sendiri. Sanksi pidana pada dasarnya untuk mencegah seseorang tidak melakukan tindakan tersebut dan atau menghukum mereka yang melakukan tindakan yang dilarang dengan harapan pelaku dan orang lain tidak melakukan hal yang sama kelak dengan cara menerapkan sanksi fisik bagi para pelanggar, mulai yang teringan sampai dengan yang terberat seperti hukuman mati. Tetapi logika itu berlawanan dengan logika para pelaku teroris yang bertindak melampaui rasa takut untuk melakukannya bahkan mereka rela mati untuk mewujudkan tujuan mereka. Kedua cara memerangi terorisme yang bersifat legal formal dan represif seperti ini dapat menimbulkan efek balik yang berlawanan dengan tujuan semula untuk memerangi terorisme. Tindakan semacam itu tidak mustahil justru dapat memicu perlawanan dan radikalisme baru yang lebih hebat, bukan hanya dari kelompok masyarakat yang dituding sebagai pelaku terorisme tetapi menimbulkan reaksi negatif dari kelompok-kelompok lainnya. Apalagi tiap penerapan cara penanganan semacam itu seringkali bukannya mengobati dan menyembuhkan luka dan rasa frustasi suatu kelompok dalam masyarakat tetapi cenderung berakibat pada kian mendiskreditkan dan memojokkan mereka. Kelompok masyarakat lain akan memberikan stigma negatif pada kelompok masyarakat. Terorisme itu kejahatan kelompok yang menerima stigma tersebut sehingga kepada pemerintah dan kelompok tersebut akan berdampak melakukan perlawanan. Penerapan UU yang represif seperti UU anti terorisme dan internal security act dapat membawa implikasi negatif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara khususnya kehidupan masyarakat demokrasi. Jika UU tersebut diberlakukan wewenang aparat Negara akan lebih besar sehingga terbuka peluang untuk disalahgunakan. Ada kemungkinan orang yang dicurigai sebagai teroris dapat diperiksa dan ditangkap tanpa prosedur hokum yang sah dan benar. Tiap-tiap lawan politik yang berseberangan misalnya dapat dikenakan dengan pasal-pasal ini sehingga memunculkan state terorism yang tentunya akan menimbulkan masalah panjang yang tidak berkesudahan. (Mustofa, 2000)Keberhasilan membuat perangkat hukum yang baik belum tentu memberikan dampak positif dalam mewujudkan maksud dan tujuan hukum. Sebagus apapun produk hukum formal yang ada tidak ada artinya tanpa disertai penerapan yang baik. Ironisnya, Indonesia dipandang sebagai negara yang pandai membuat perangkat hukum namun masih lemah penerapannya. Hal ini jika dibiarkan akan mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap hukum itu sendiri. (Salim, 2003)

Kesimpulan

1. Terorisme timbul dengan dilatar belakangi berbagai sebab dan motif. Namun patut kita sadari bahwa terorisme bukan merupakan ideologi atau nilai-nilai tertentu dalam ajaran agama.2. Terorisme merupakan strategi, instrument dan atau alat mencapai tujuan.3. Penerapan UU anti terorisme di dalam No.15 Tahun 2003 sangat berpotensi mengakibatkan pelanggaran Hak Asasi Manusia bagi para tersangka terorisme dan tidak memberikan efektivitas untuk mengurangi orang untuk bertindak sebagai teroris .4. Pemberian wewenang yang terlalu luas bagi aparat untuk memberantas terorisme tanpa disertai tanggungjawab dalam pelaksanaannya akan mengakibatkan suatu terorisme baru yang dilakukan terhadap warga negaranya atau State Terorisme.

Saran

Untuk memerangi tindakan terorisme pemerintah perlu memikirkan pendekatan yang tidak legalis represif terhadap terorisme salah satunya antara lain memikirkan kemungkinan rekonsilisasi dan terbukanya komunikasi intensif antara pemerintah-masyarakat dan unsur-unsur di dalam masyarakat itu sendiri baik melalui pendekatan Agama maupun Budaya. Karena patut disadari bahwa terorisme tidak akan memadai jika hanya mengandalkan undang-undang saja tanpa didukung oleh kinerja aparat penegak hukum yang professional dalam menegakkan peraturan yang ada dan perlu dilakukannya revisi UU anti terorisme yang harus disesuai dengan basis kerangka hukum yang harus mengatur aspek-aspek yang berkaitan dengan pengawasan perbatasan, keamanan transportasi, bea cukai, keimigrasian, money loundring, basis rekruitmen dan pelatihan (milisi atau pelatihan militer illegal), keuangan, bahan peledak, bahan kimia dan persenjataan serta perlindungan terhadap masyarakat sipil. Serta mewajibkan setiap prosedur dan tindakan hukum dilakukan secara nondiskriminatif, melindungi dan menghormati HAM.

Daftar Pustaka

A.C. Manullang. 2001. Menguak Tabu Intelejen Teror, Motif dan Rezim. Jakarta. hal. 151Collin L Powell. 2009. Sebuah Perjuangan Keras yang Panjang. http://www.jakarta.usembassy.gov. Di akses tanggal 14 juli 2013.Dafri Agussalim,Mencari Cara Memerangi Terorisme, Kompas Cyber Media,(kamis 23 Agustus 2003). Di akses tanggal 15 juli 2013.Indriyanto Seno Adji. 2001. Terorisme dan HAM dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia. Jakarta. hal. 51Muhammad Mustofa. 2000. Memahami Terorisme: Suatu Perspektif Kriminologi, Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, vol 2 no.III.Jakarta. hal.30

TUGAS KELOMPOK TERORISME

Disusun oleh:Anton Christian O.S 1111017814Febri Kumalasari1111017841