tugas system komunikasi indonesia
TRANSCRIPT
Tugas system komunikasi indonesia
DESENTRALISASI OTONOMI DAERAH
Oleh :
Indra Agus Susanto
Stb. C1 D1 09 091
Semester 3
Jurusan ilmu komunikasi
Fakultas ilmu social dan ilmu politik
Universitas haluoleo
2010
DAFTAR ISI
Halaman judul
Daftar isi .............................................................................................................................................
Latar belakang ...................................................................................................................................
Pembahasan .......................................................................................................................................
A. Desentralisasi dan otonomi daerah........................................................................................
B. Pentingnya desentralisasi pendidikan ..................................................................................
C. Penerapan mendasar tentang desentralisasi pendidikan ......................................................
D. Model desentralisasi pendidikan ...........................................................................................
E. Paradigm baru pendidikan ....................................................................................................
Penutup ..............................................................................................................................................
LATAR BELAKANG
Bila otonomi daerah menunjuk pada hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat, maka hal tersebut
hanya mungkin jika Pemerintah Pusat mendesentralisasikan atau menyerahkan wewenang
pemerintahan kepada daerah otonom. Inilah yang disebut dengan desentralisasi. Mengenai asas
desentralisasi, ada banyak definisi. Secara etimologis, istilah tersebut berasal dari bahasa Latin “de”,
artinya lepas dan “centrum”, yang berarti pusat, sehingga bisa diartikan melepaskan dari pusat.
Sementara, dalam Undang-undang No. 32 tahun 2004, bab I, pasal 1 disebutkan bahwa:
“ Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah
otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan RI”.
Istilah desentralisasi muncul dalam paket UU tentang otonomi daerah yang pelaksanaannya
dilatarbelakangi oleh keinginan segenap lapisan masyarakat untuk melakukan reformasi dalam semua
bidang pemerintahan. Menurut Bray dan Fiske (Depdiknas, 2001:3) desentralisasi pendidikan adalah
suatu proses di mana suatu lembaga yang lebih rendah kedudukannya menerima pelimpahan
kewenangan untuk melaksanakan segala tugas pelaksanaan pendidikan, termasuk pemanfaatan segala
fasilitas yang ada serta penyusunan kebijakan dan pembiayaan.
Desentralisasi pendidikan atau otonomi pendidikan merupakan salah satu model pengelolaan
pendidikan dengan memberikan suatu pendelegasian kewenangan tertentu di tingkat sekolah untuk
membuat keputusan-keputusan yang bekenaan dengan upaya untuk memperbaiki kualitas pendidikan
serta sumber daya manusia termasuk profesionalitas guru.
PEMBAHASAN
A. Desentralisasi dan otonomi daerah
Tujuan utama dari kebijakakan otonomi daerah adalah, pertama membebaskan pemerintah
pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangai urusan domestik, sehingga ia
berkesempatan untuk memperlajari, memahami, merespon berbagai kecenderongan global
dan mengambil mamfaat dari padanya., pemerintah pusat diharapkan lebih mampu
berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro nasional yang bersifat strategis.
Kedua dengan adanya otonomi daerah, maka pemerimtah daerah mendapat kewenangan
lebih dari pemerintah pusat, maka daerah akan mengalami proses pembelajaran dan
pemberdayaan yang signifikan. Kemampuan prakarsa dan kreativitas mereka akan terpacu,
sehingga kapabilitas dalam mengatasi berbagai masalah domistik akan semakin kuat.
Istilah otonomi mempunyai arti kebebasan atau kemandirian, tetapi bukan kemerdekaan
sehingga daerah otonomi itu diberi kebebasan atau kemandirian sebagai wujud pemberian
kesempatan yang harus dipertanggung jawabkan. Oleh sebab itu, usaha membangun
keseimbangan harus diperhatikan dalam konteks hubungan kekuasaan antara pusat dan
daerah. Artinya, daerah harus dipandang dalam 2 (dua) kedudukan, yaitu: (a) sebagai organ
daerah untuk melaksanakan tugas-tugas otonomi; dan (b) sebagai agen pemerintah pusat
untuk menyelenggarakan urusan pusat di daerah.
Secara teoritis, hubungan kekuasaan antara pemerintah dengan pemerintah daerah
berdasarkan atas 3 (tiga) asas, yaitu: (a) asas desentralisasi; (b) asas dekonsentrasi; dan (c)
asas tugas pembantuan.
Dalam asas desentralisasi ada penyerahan wewenang sepenuhnya dari pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah tentang urusan tertentu, sehingga pemerintah daerah dapat
mengambil prakarsa sepenuhnya baik menyangkut kebijakan, perencanaan, pelaksanaan,
dan pembiayaan. Pada asas dekonsentrasi yang terjadi adalah pelimpahan wewenang
kepada aparatur pemerintah pusat di daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah pusat
di daerah dalam arti bahwa kebijakan, perencanaan, dan biaya menjadi tanggung jawab
pemerintah pusat, sedangkan aparatur pemerintah pusat di daerah bertugas
melaksanakan. Sementra Asas pembantuan berarti keikutsertaan pemerintah daerah untuk
melaksanakan urusan pemerintah pusat di daerah itu, dalam arti bahwa organisasi
pemerintah daerah memperoleh tugas dan kewenangan untuk membantu melaksanakan
urusan-urusan pemerintah pusat .
Desentralisasi saat ini telah menjadi azas penyelenggaraan pemerintahan yang diterima
secara universal dengan berbagai macam bentuk aplikasi di setiap negara. Hal ini sesuai
dengan fakta bahwa tidak semua urusan pemerintahan dapat diselenggarakan secara
sentralisasi, mengingat kondisi geografis, kompleksitas perkembangan masyarakat,
kemajemukan struktu sosial dan budaya lokal serta adanya tuntutan demokratisasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan.
Desentralisasi memiliki berbagai macam tujuan. Secara umum tujuan tersebut dapat
diklasifikasi ke dalam dua variabel penting, yaitu pertama peningkatan efisiensi dan
efektivitas penyelenggaraan pemerintahan (yang merupakan pendekatan model efisiensi
struktural/structural efficiency model) dan kedua peningkatan partisipasi masyarakat dalam
pemerintahan dan pembangunan (yang merupakan pendekatan model
partisipasi/participatory model). Setiap negara lazimnya memiliki titik berat yang berbeda
dalam tujuan-tujuan desentralisasinya tergantung pada kesepakatan dalam konstitusi
terhadap arah pertumbuhan (direction of growth) yang akan dicapai melalui desentralisasi .
Oleh karena itu desentralisasi merupakan simbol “trust” dari pemerintrah pusat kepada
sistem yang sentralistik mereka tidak bisa berbuat banyak dalam mengatasi berbagai
masalah, dalam sistem otonomi daerah mereka tertantang untuk secara kolektif
menentukan solusi-solusi atas berbagai masalah yang dihadapi .
Undang-undang no. 32 tahun 2004 pada pasal 1 butir (7) menyebutkan, Desentralisasi
adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah Otonom
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Definisi desentralisasi menuryt para pakar berbeda redaksionalnya, tapi pada dasarnya
mempunyai arti yang sama. Joeinarto menyebut bahwa desentralisasi adalah meberian
wewenang dari negara kepada pemerintah lokal untuk mengatur dan mengurus urusan
tertentu sebagai urusan rumah tangganya sendiri. Sedangkan Muslimin, mengartikan
desentralisasi adalah pelimpahan wewenang pada badan-badan dan golongan-golongan
dalam masyarakat dalam daerah tertentu untuk mengurus rumah tangganya. Sementra
Irawam Soejito mengartikan desentralisasi sebagai pelimpahan kewenangan pemerintah
kepada pihak lain untuk dilaksanakan .
Desentralisasi merupakan penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa
dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia. dengan
adanya desentralisasi maka muncullan otonomi bagi suatu pemerintahan daerah.
Desentralisasi sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian yang secara sederhana di
definisikan sebagai penyerahan kewenangan. Dalam kaitannya dengan sistem
pemerintahan Indonesia, desentralisasi akhir-akhir ini seringkali dikaitkan dengan sistem
pemerintahan karena dengan adanya desentralisasi sekarang menyebabkan perubahan
paradigma pemerintahan di Indonesia .
Desentralisasi adalah asas penyelenggaraan pemerintahan yang dipertentangkan dengan
sentralisasi. Desentralisasi menghasilkan pemerintah lokal (local government), adanya
pembagian kewenangan serta terjadinya ruang gerak yang ditandai untuk memaknai
kewenangan yang diberikan kepada pemerintah yang lebih rendah, hal inilah yang
merupakan hal terpenting perbendaan antara desentralisasi dengan sentralisasi .
Desentralisasi dalam arti penyerahan urusan pemerintah hanya dilakukan oleh pemerintah
kepada daerah otonom. Oleh karena itu tidak terjadi penyerahan wewenang legislasi dari
lembaga legeslatif dan wewenang yudikatif dari lembaga yudikatif kepada daerah otonom.
Daerah otonom hanya mempunyai wewenang untuk membentuk peraturan daerah (local
ordinace), bukan undang-undang .
Dilihat dari pelaksanaan fungsi dari pemerintah, desentralisasi atau otonomi daerah itu
menunjukan :
1. Satuan-satuan desentralisasi lebih fleksibel dalam memenuhi sebagai perubahn yang
terjadi dengan cepat;
2. Satuan-satuan desentralisasi dapat melaskanakan/ melakukan tugas dengan efektif dan
efesien;
3. Satuan-satuan desentralisasi lebih inovatif;
4. Satuan-satuan desentralisasi mendorong tumbuhnya sikap moral yang tinggi, komitmen
yang lebih tinggi dan lebih produktif.
Keberhasilan otonomi daerah tidak terlepas dari cukup tidaknya kemampuan daerah dalam
bidang keuangan, karena kemampuan keuang ini merupakan salah satu indikator penting
guna mengukur tingkat otonomi suatu daerah .
Pembagian Kewenangan oleh UU no 32 tahun 2004
Di dalam UU No. 32 Tahun 2004, pembagian kewenangan dan atau urusan pemerintahan
dilakukan lebih jelas antara pemerintah pusat, propinsi, kabupaten/kota, dan desa dengan
kriteria eksternalitas, akuntabilitas, efisiensi, dan keserasian hubungan pemerintahan. Di
dalam undang-undang tersebut ditegaskan bahwa urusan yang menjadi kewenangan
daerah meliputi urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah suatu
urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dasar,
kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan dasar, sedangkan
urusan pemerintahan yang bersifat pilihan terkait dengan potensi keuanggulan dan
kekhasan daerah.
Sementara itu, pemerintah pusat memegang urusan utama yang meliputi politik luar negeri,
pertahanan, keamanan,moneter, yustisi, dan agama; serta urusan yang ditetapkan oleh
suatu undang-undang menjadi urusan pusat. Di samping itu terdapat bagian urusan
pemerintah yang bersifat concurent, artinya urusan pemerintahan yang penanganannya
dalam bagian atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah.
Dengan demikian, setiap urusan yang bersifat concurent selalu ada bagian urusan yang
menjadi kewenangan pemerintah, ada bagian urusan yang diserahkan propinsi, dan ada
bagian urusan yang diserahkan kepada kabupaten/kota. Pelaksanaan keseluruhan urusan
pemerintahan tersebut masih memerlukan pengaturan lebih lanjut dalam bentuk PP.
B. Pentingnya desentralisasi pendidikan
Desentralisasi pendidikan merupakan salah satu model pengelolaan pendidikan dengan
memberikan suatu pendelegasian kewenangan tertentu di tingkat sekolah untuk membuat
keputusan-keputusan yang bekenaan dengan upaya untuk memperbaiki kualitas pendidikan
serta sumber daya manusia termasuk profesionalitas guru yang belakangan ini dirisaukan oleh
berbagai pihak, baik secara regional maupun secara internasional. Sistem pendidikan yang
selama ini dikelola dalam suatu iklim birokratik dan sentralistik dianggap sebagai salah satu
sebab yang telah membuahkan keterpurukan dalam mutu dan keunggulan pendidikan.
Banyak orang beranggapan bahwa pelaksanaan otonomi daerah memberikan harapan pada
perbaikan penyelenggaraan pendidikan yang pada gilirannya meningkatkan kualitas out putnya.
Namun ternyata harapan itu menghadapi berbagai tantangan salah satunya adalah banyak
pemegang kebijakan yang pola pikirnya masih sangat procedural sehingga menghambat
lahirnya kreatifitas, motivasi, dan upaya-upaya inovasi.
Hadirnya buku yang memaparkan berbagai perubahan dalam penyelenggaraan pendidikan
sebagai akibat dari diimplementasikannya kebijakan otonomi daerah ini, diharapkan mampu
membuka wawasan tentang arti pentingnya otonomi di bidang pendidikan, konsep tentang
desentralisasi pendidikan, peningkatan kapasitas otonomisasi sekolah, pelaksanaan manajemen
berbasis sekolah (MBS), pemberdayaan komite sekolah, pengelolahan system manajemen
pendidikan di sekolah, otonomi perguruan tinggi, dan otonomi pada lembaga pendidikan islam.
Menutut bahasa otonomi adalah pengundangan sendiri. Tetapi secara konseptual, otonomi
diartikan sebagai hak mengatur dan memerintah daerah sendiri. Menurut undang-undang no 32
tahun 2004 tentang pemerintahan daerah pada pasal 1 ayat 5, dikemukakan bahwa otonomi
daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban untuk mengatur serta mengurus sendiri sesuai
dengan peraturan perundangan. Dari beberapa konsep di atas dapat disimpulkan bahwa
otonomi daerah adalah kewenangan untuk mengatur daerahnya sendiri tanpa campur tangan
pihak lain ataupun pemerintah.
Otonomi daerah sebagai desentralisasi pemerintahan yang tujukan untuk memenuhi kebutuhan
dan kepentingan bangsa. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang yang semula bersal dari
pemerintah pusat menjadi wewenang pemerintah daerah. Kewenangan pengolahan pendidikan
berubah dari sentralisasi menjadi desentralisasi. Desentralisasi pendidikan merupakan
pelimpahan kekuasaan dan wewenang yang lebih luas kepada daerah untuk membantu
perencanaan dan pengambilan keputusan sendiri dalam menghadapi masalah di bidang
pendidikan. Desentralisasi adalah sebuah system manajemen untuk mewujudkan pembangunan
pendidikan yang menekankan pada kebinekaan, kebijakan desentralisasi pendidikan dan
kendali pelaksanaan.
Untuk melaksanakan desentralisasi pendidikan terdapat kendala yang perlu diatasi yaitu
masalah yang berkaitan dengan substansi manajemen pendidikan antara lain: masalah
kurikulum peningkatan relevansi dan tuntutan perkembangan kebutuhan masyarakat perlu
dilakukan manajemen kurikulum yang berangkat dari satu prediksi yang dapat memberi
gambaran kepada masyarakat tahun mendatang. masalah sumberdaya ,manusia sumberdaya
manusia yanb kurang professional akan menghambat system pendidikan. Masalah dana,
sarana dan prasarana anggaran pendidikan yang diakomodasikan APBD sedangkan pada
bidang perlengkapan seringkali terjadi perebutan aset antara departemen dan provinsi masalah
organisasikelembagaan jenjang dan jenis kelembagaan pendidikan dipilah-pilah sehingga
seperti tidak mempunyai hubungan antara satu dengan yang lain. Misalnya perguruan tinggi
dengan sekolah menengah.
C. Penerapan mendasar tentang desentralisasi pendidikan
Implementasi otonomi pendidikan disamping memiliki segi positif namun membawa
konsekuensi yang besar dalam berbagai hal yaitu dalam bidang pemerintahan, dalam hal operasional
dan dalam bidang social dan dalam bidang pembelajaran yang belum bisa berjalan dengan optimal
karena masih banyak guru yang apatis dalam menanggapi pembaharuan pendidikan. Dalam hal
anggaran pendidikan dan komite sekolah serta dewan pendidikan. Dalam upaya membangun
otonomisasi pendidikan secar benar maka dalam bidang pendidikan akan terbentuk pola manajemen ,
yaitu manajemen berbasis sekolah, perlibatan masyarakat, pemberdayaan sekolah, meniadakan
penyeragaman
Manajemen berbasis sekolah Adalah salah satu model manajemen pendidikan berbasis pada
otonomi atau kemandirian sekolah dan aparat daerah dalam menentukan arah kebijakan serta jalannya
pendidikan daerah masing-masing.
Konsep manajemen berbasis sekolah:
a. pembuatan keputusan pendidikan yang bersifat kolegal
b. dalam beberapa hal akan menentukan cara pengambilan keputusan yang hirarkis dan berdasarkan
posisi
c. prinsip tim digunakan dalam mengelola dan menjalankan kegiatan sekolah
d. perencanaan yang komperhesif merupakan kendaraan untuk memperbaiki program yang berpusat
pada sekolah dan untuk menetapkan prioritas. Dan diperlukannya semangat untuk pengambilan
keputusan berdasarkan data.
Tujuan manajemen berbasis sekolah (MBS):
1. meningkatkan mutu pendidikan
2. meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat
3. meningkatkan tanggungjawab sekolah kepada orang tua dan masyarakat
4. meningkatkan kompetensi yang sehat antar sekolah
karakteristik MBS: otonomi sekolah, kerjasama, fleksibilitas, dan peningkatan partisipasi.
Hubungan antara MBS dan desentralisasi adalah pemberian wewenang kepada sekolah untuk
kebebasan menata organisasi sekolah, manajemen, pengelolahan kelas, optimalisasai, kerjasama
kepalasekolah, orang tua dan guru, dan pemberian kesempatan yang kreatif dan inovatif kepala
sekolah.
Pemberdayaan komite sekolah Adalah sebuah badan yang mewadahi peran serta masyarakat
dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan dan efisiensi pengelolahan pendidikan di satuan
pendidikan baik pendidikan pra sekolah. Pendidikan sekolah maupun pendidikan luar sekolah. Struktur
organisasi komite sekolah menurut AD/ART adalah terdiri dari ketua, sekertaris, bendahara dan apabila
perlu dilengkapi dengan bidang-bidang yang ada.
Otonomi pendidikan dan pengelolahan MBS adalah suatu proses yang merupakan daur atau
siklus penyelenggaraan pendidikan dimulai dari perencanaan, pengorganisasian, pengarahan
pelaksanaan pemantauan dan penilaian tentang usaha sekolah untuk mencapai tujuan Sekolah sebagai
lembaga pendidikan harus mempunyai organisasi yang baik, manajemen personal, manajemen
kurikulum, manajemen sarana dan prasarana, manajemen kesiswaan dan lain-lain agar tujuan
pendidikan dapat tercapai sepenuhnya. Adapun ciri organisasi pendidikan antara lain:
· masukan dasarnya ikut aktif dalam menentukan pencapaian tujan oerganisasi.
· Sebagai organisasi non profit
· Bersifat irevesibel
· Cenderung sukar berubah
· Laba intensif berkembang
Prinsip dasar yang haru dipegang kepala sekolah untuk melakukan manajemen personal adalah:
a. SDM merupakan kompenen yang paling berharga
b. SDM akan berperan dengan optimal jika dikelola dengan baik
c. Kultur dan suasana dalam organisasi sekolah
d. Mengupayakan agar setiap warga sekolah dapat bekerjasama dengan baik
Selain itu pengelolahan kurikulum di sekolah harus melalui beberapa tahap berikut:
a. tahapan perencanaan
b. pengorganisasian dan koordinasi
c. pelaksanaan
d. dan pengendalian
Sedangkan dalam bidang sarana dan prasarana dibedakan menjadi tiga bagian yaitu alat
pelajaran, alat peraga, dan media pengajaran. Manajemennya meliputi: penentuan kebutuhan, proses
pengadaan, pemakaian, pencataan, dan pertanggungjawaban dalam bidang menajemen kesiswaan
terdapat beberapa prinsip diantaranya :
· siswa diperlakukan sebagai objek
· keadaan dan kondisi siswa sangat beragam
· siswa akan mempunyai motivasi belajar jika ia menyenangi bahan yang diajarkan
· pengembangan potensi siswa
D. Model Desentralisasi Pendidikan
Tingkat kewenangan yang dilimpahkan kepada pemerintah daerah membawa konsekuensi pada
model pelaksanaannya. William dalam Depdiknas (2001:5) memerinci desentralisasi ke dalam tiga
model, yaitu dekonsentrasi (deconcentration), delegasi (delegation), dan devolusi (devolution).
Dekonsentrasi adalah model pengalihan tanggung jawab pengelolaan pendidikan dari pemerintah pusat
ke pemerintah yang lebih rendah sedemikian rupa sehingga lembaga di pemerintah pusat masih
memegang kendali pelaksanaan pendidikan secara penuh. Model desentralisasi ini seringkali
dilaksanakan dengan membentuk lembaga setingkat direktorat di daerah yang dapat melaksanakan
tanggung jawab pemerintah pusat.
Berbeda dengan itu, dalam model delegasi pemerintah pusat meminjamkan kekuasaannya pada
pemerintah daerah atau kepada organisasi/lembaga semiotonom. Kekuasaan pemerintah pusat ini tidak
diberikan, namun dipinjamkan. Jika pemerintah memandang perlu, otoritas itu bisa ditarik kembali.
Sementara, dalam model devolusi pemerintah pusat menyerahkan kewenangan dalam seluruh
pelaksanaan pendidikan meliputi pembiayaan, administrasi serta pengelolaan yang lebih luas.
Kewenangan yang diberikan ini lebih permanen dan tidak dapat ditarik kembali lagi hanya karena
tingkah/permintaan pemegang kekuasaan di pusat.
Ketiga model tersebut berbeda dalam hal tingkat kewenangan yang disampaikan. Model
dekonsentrasi adalah model penyerahan kewenangan yang paling rendah, model delegasi lebih
besar/tinggi, dan model devolusi yang paling tinggi. Tingkat kewenangan yang dilimpahkan ini juga akan
berkonsekuensi lebih jauh pada pelaksanaannya. Semakin besar kewenangan yang diterima dari
pemerintah pusat, semakin besar sumber daya yang harus dikeluarkan untuk melaksanakan
kewenangan tersebut. Dengan demikian, terbuka bagi penerima kewenangan untuk mencari segala
upaya dalam melaksanakan kewenangan itu, termasuk bekerja sama dengan pihak-pihak lain yang
mereka nilai membantu dan menguntungkan mereka.
Rondinelli dalam Husen dan Postlethwaite (1994:1412) menambahkan satu kategori lagi, yaitu
privatisasi (privatization), yaitu model penyerahan kewenangan penyelenggaraan pendidikan kepada
pihak swasta. Model ini berbeda dengan ketiga model William dari segi penerima kewenangan. Menurut
Abdurrahmansyah (2001:61) dalam kasus pembicaraan desentralisasi pendidikan privatisasi berbentuk
pemindahan pelimpahan kewajiban dari urusan pemerintah menjadi urusan masyarakat.
Sesuai dengan kesiapan daerah yang bersangkutan Huda (1999) mengemukakan model otonomi
pendidikan yang dapat diterapkan yaitu 1) site based management, sebagai upaya melibatkan
masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah, 2) pengurangan administrasi pusat, dan 3)
inovasi kurikulum. Model manajemen berbasis lokasi dilaksanakan dengan meletakkan urusan
penyelenggaraan pendidikan pada sekolah. Model pengurangan administrasi pusat merupakan
konsekuensi model pertama, yang diikuti dengan peningkatan kewenangan pada masing-masing
sekolah. Sedangkan inovasi kurikulum lebih menekankan upaya peningkatan kualitas dan persamaan
hak bagi semua peserta didik, dan didasarkan pada kebutuhan peserta didik dan masyarakat setempat
yang bersifat majemuk.
Burhanuddin (2004:13) berpendapat di dalam model site based management para anggota
tertentu dapat berkonsentrasi secara konstruktif dalam pengambilan Keputusan penting yang
berpengaruh terhadap penyelenggaraan suatu sekolah. Model site based management bertujuan untuk
meningkatkan otonomi sekolah dan memberikan kesempatan kepada guru, orang tua, peserta didik,
dan masyarakat dalam pembuatan keputusan.
E. Paradigma Baru Pendidikan
Era otonomi daerah telah mengakibatkan terjadinya pergeseran arah paradigma pendidikan,
dari paradigma lama ke paradigma baru, meliputi berbagai aspek mendasar yang saling berkaitan, yaitu
1) dari sentralistik menjadi desentralistik, 2) dari kebijakan yang top down ke kebijakan yang bottom up,
3) dari orientasi pengembangan parsial menjadi orientasi pengembangan holistik, 4) dari peran
pemerintah sangat dominan ke meningkatnya peran serta masyarakat secara kualitatif dan kuantitatif,
dan 5) dari lemahnya peran institusi nonsekolah ke pemberdayaan institusi masyarakat, baik keluarga,
pesantren, lembaga swadaya masyarakat (LSM), maupun dunia usaha (Jalal, 2001:5).
Sementara itu Depdiknas (2002:10) menyatakan tiga paradigma baru pendidikan lainnya, yaitu
1) dari birokrasi berlebihan ke debirokratisasi, 2) dari manajemen tertutup (closed management) ke
manajemen terbuka (open management), dan 3) pengembangan pendidikan, termasuk biayanya,
terbesar menjadi tanggung jawab pemerintah berubah ke sebagian besar menjadi tanggung jawab
orangtua siswa dan masyarakat (stakeholders).
Berdasarkan kajian tersebut maka dapat diuraikan wujud pergeseran paradigma pendidikan
tersebut meliputi:
1. Dari sentralisasi ke desentralisasi pendidikan
Sebelum otonomi, pengelolaan pendidikan sangat sentralistik. Hampir seluruh kebijakan
pendidikan dan pengelolaan pelaksanaan pendidikan diatur dari Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan (sekarang Depdiknas). Pemerintah daerah sampai sekolah harus mengikuti dan taat
terhadap kebijakan yang seragam secara nasional, dan petunjuk pelaksanaannya.
Pemerintah daerah dan sekolah tidak diperkenankan merubah, menambah dan mengurangi
yang sudah ditetapkan oleh departemen, sekalipun tidak sesuai dengan kondisi, potensi, kebutuhan
sekolah, dan masyarakat di daerah. Era reformasi, paradigma sentralistik berubah ke desentralistik.
Desentralistik dalam arti pelimpahan sebagian wewenang dan tanggung jawab dari Depdiknas ke Dinas
Pendidikan Propinsi, dan sebagian lainnya kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, bahkan juga
kepada sekolah-sekolah. Pada perguruan tinggi negeri/swasta dilimpahkan kepada rektor, bahkan juga
pada fakultas, dan juga pada jurusan/program studi.
Desentralisasi manajemen pendidikan berdampak Dinas Pendidikan tingkat Kabupaten/Kota
sebagai perangkat pemerintah kabupaten/kota yang otonom, dapat membuat kebijakan pendidikan,
masing-masing sesuai wewenang yang dilimpahkan kepada pemerintah kabupaten/kota dalam bidang
pendidikan. Bahkan dalam pengelolaan pendidikan pada tingkat kabupaten/kota, setiap sekolah juga
diberi peluang untuk membuat kebijakan sekolah (school policy) masing-masing atas dasar konsep
manajemen berbasis sekolah dan pendidikan berbasis masyarakat. Dengan demikian, sebagian
perubahan dan kemajuan pendidikan tingkat kabupaten/kota sangat bergantung pada kemampuan
mengembangkan kebijakan pendidikan dari masing-masing Kepala Dinas Pendidikan tingkat
Kabupaten/Kota.
Desentralisasi manajemen pendidikan tersebut, dilaksanakan sejalan dengan proses
demokratisasi, sebagai proses distribusi tugas dan tanggung jawab dari Depdiknas sampai di unit-unit
satuan pendidikan. Iklim dan suasana serta mekanisme demokratis bertumbuh dan berkembang pada
seluruh tingkat dan jalur pengelolaan pendidikan, termasuk di sekolah-sekolah dan di kelas-kelas ruang
belajar.
2. Dari kebijakan yang top down ke kebijakan yang bottom up
Sebelum otonomi, pendekatan pengembangan dan pembinaan pendidikan dilakukan dengan
mekanisme pendekatan dari atas ke bawah (top down approach). Muhadjir (2003:61) menyatakan
kebijakan yang berasal dari atas (top down), di bawah membantu implementasinya disebut
menggunakan paradigma public policy, sedangkan kebijakan yang berasal dari bawah (bottom up),
disebut menggunakan paradigma social policy. Berbagai kebijakan pengembangan/pembinaan
pendidikan hampir seluruhnya ditentukan oleh Depdikbud, dan dalam hal khusus ditentukan oleh
pemerintah daerah, untuk dilaksanakan oleh seluruh jajaran pelaksana di wilayah, termasuk di sekolah.
Era reformasi, sebagian besar upaya pengembangan pendidikan dilakukan dengan orientasi
pendekatan dari bawah ke atas (bottom up approach). Pendekatan bottom up harus terjadi dalam
pengambilan keputusan di setiap level instansi, misalnya sekolah, Dinas Kabupaten/Kota, dan yayasan
penyelenggara pendidikan. Berbagai aspirasi dan kebutuhan yang menjadi kepentingan umum, sesuai
kondisi, potensi, dan prospek sekolah, diakomodasi oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, sesuai
wewenang dan tanggung jawabnya. Dan hal-hal lainnya yang menjadi wewenang dan tanggung jawab
Dinas Propinsi diselesaikan pada tingkat Depdiknas.
3. Dari orientasi pengembangan yang parsial ke orientasi pengembangan yang holistik
Sebelum otonomi, orientasi pengembangan bersifat parsial. Misalnya, pendidikan lebih
ditekankan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, menciptakan stabilitas politik dan teknologi
perakitan (Jalal, 2001:5). Pendidikan juga terlalu menekankan segi kognitif, sedangkan segi spiritual,
emosional, sosial, fisik, dan seni kurang mendapatkan tekanan (Suparno dalam Jalal (2001). Akibatnya
anak didik kurang berkembang secara menyeluruh. Dalam pembelajaran yang ditekankan hanya to know
(untuk tahu), sedangkan unsur pendidikan yang lain to do (melakukan), to live together (hidup bersama),
dan to be (menjadi) kurang ditekankan. Kesadaran akan hidup bersama kurang mendapat tekanan,
dengan akibat peserta didik lebih suka mementingkan hidupnya sendiri. Selain itu, pendekatan dan
pengajaran di sekolah kebanyakan terpisah-pisah dan kurang berintegrasi. Setiap mata pelajaran berdiri
sendiri, seakan tidak ada kaitan dengan pelajaran lain.
Berbeda dengan itu, setelah reformasi orientasi pengembangan bersifat holistik. Pendidikan
diarahkan untuk pengembangan kesadaran untuk bersatu dalam kemajemukan budaya, menjunjung
tinggi nilai moral, kemanusiaan dan agama, kesadaran kreatif, produktif, dan kesadaran hukum (Jalal,
2001:5). Menurut Suparno dalam Jalal (2001), pendidikan holistik dipengaruhi oleh pandangan filsafat
holisme, yang cirinya adalah keterkaitan (connectedness), keutuhan (wholeness), dan proses menjadi
(being).
Konsep saling keterkaitan mengungkapkan bahwa saling keterkaitan antara suatu bagian dari
suatu sistem dengan bagian-bagian lain dan dengan keseluruhannya. Maka tidak mungkin suatu bagian
dari suatu sistem lepas sendiri dari sistem itu dan lepas dari bagian-bagian yang lain. Saling keterkaitan
dapat dijabarkan dalam beberapa konsep berikut, yaitu interdependensi, interrelasi, partisipasi, dan
nonlinier (Hent dalam Jalal (2001)). Interdependensi adalah saling ketergantungan satu unsur dengan
yang lain. Masing-masing tidak akan menjadi penuh berkembang tanpa yang lain. Ada saling
ketergantungan guru dengan siswa, siswa dengan siswa lain, dan guru dengan guru lain.
Interelasi dimaksudkan sebagai adanya saling kaitan, saling berhubungan unsur yang satu
dengan yang lain dalam pendidikan. Ada hubungan pendidik dengan yang dididik, siswa dengan siswa
lain, dan pendidik dengan pendidik lain. Relasi ini bukan hanya relasi berkaitan dengan pengajaran tetapi
juga relasi sebagai manusia (pribadi). Partisipasi dimaksudkan sebagai keterlibatan, ikut serta dalam
sistem itu. Pendidikan secara nyata siswa akan berkembang bila terlibat, ikut aktif di dalamnya.
Nonlinier menunjukkan bahwa tidak dapat ditentukan secara linier serba jelas sebelumnya. Ada
banyak hal yang tidak dapat diprediksikan sebelumnya dalam pendidikan, meski telah ditentukan unsur-
unsurnya. Guru dapat membantu peserta didik dengan segala macam nilai yang baik, namun dapat
terjadi mereka berkembang tidak baik. Pendekatan pendidikan yang mekanistis tidak tepat lagi.
Pendidikan tidak dipikirkan lagi secara linier, seakan-akan bila langkah-langkahnya jelas lalu hasilnya
menjadi jelas, tetapi lebih kompleks dan ada keterbukaan terhadap unsur yang tidak dapat ditentukan
sebelumnya.
Prinsip keutuhan menyatakan bahwa keseluruhan adalah lebih besar daripada penjumlahan
bagian-bagiannya. Prinsip keutuhan sangat jelas diwujudkan dengan memperhatikan semua segi
kehidupan dalam membantu perkembangan pribadi siswa secara menyeluruh dan utuh. Maka, segi
intelektual, sosial, emosional, spiritual, fisik, seni, semua mendapat porsi yang seimbang. Salah satu
unsur tidak lebih tinggi dari yang lain sehingga mengabaikan yang lain. Kurikulum dibuat lebih
menyeluruh dan memasukkan banyak segi. Pendekatan terhadap siswapun lebih utuh dengan
memperhatikan unsur pribadi, lingkungan, dan budaya. Pembelajaran lebih menggunakan inteligensi
ganda, dengan mengembangkan intelligence qoutient (IQ), spiritual qoutient (SQ), dan emotional
qoutient (EQ) secara integral.
Prinsip “proses menjadi” mengungkapkan bahwa manusia memang terus berkembang menjadi
semakin penuh. Dalam proses menjadi penuh itu unsur partisipasi, keaktifan, tanggung jawab,
kreativitas, pertumbuhan, refleksi, dan kemampuan mengambil keputusan sangat penting. Proses itu
terus menerus dan selalu terbuka terhadap perkembangan baru. Dalam pendidikan, prinsip
kemenjadian ini ditonjolkan dengan pendekatan proses, siswa diaktifkan untuk mencari, menemukan
dan berkembang sesuai dengan keputusan dan tanggung jawabnya. Dalam proses itu, siswa diajak lebih
banyak mengalami sendiri, berefleksi dan mengambil makna bagi hidupnya. Dalam proses ini siswa
dibantu sungguh menjadi manusia yang utuh, bukan hanya menjadi calon pekerja atau pengisi lowongan
kerja.
4. Dari peran pemerintah yang dominan ke meningkatnya peran serta masyarakat secara
kualitatif dan kuantitatif
Sebelum otonomi, peran pemerintah sangat dominan. Hampir semua aspek dari pendidikan
diputuskan kebijakan dan perencanaannya di tingkat pusat, sehingga daerah terkondisikan lebih hanya
sebagai pelaksana. Pendidikan dikelola tanpa mengembangkan kemampuan kreativitas masyarakat,
malah cenderung meniadakan partisipasi masyarakat di dalam pengelolaan pendidikan.
Lembaga pendidikan terisolasi dan tanggung jawab sepenuhnya ada pada pemerintah pusat.
Sedangkan masyarakat tidak mempunyai wewenang untuk mengontrol jalannya pendidikan. Selain itu,
dengan sendirinya orang tua dan masyarakat, sebagai konstituen dari sistem pendidikan nasional yang
terpenting, telah kehilangan peranannya dan tanggung jawabnya. Mereka, termasuk peserta didik, telah
menjadi korban, yaitu sebagai obyek dari sistem yang otoriter (Tilaar, 2004).
Sesudah otonomi, ada perluasan peluang bagi peran serta masyarakat dalam pendidikan baik
secara kualitatif maupun kuantitatif. Oleh karena itu, untuk mendorong partisipasi masyarakat, di
tingkat kabupaten/kota dibentuk dewan pendidikan, sedangkan di tingkat sekolah dibentuk komite
sekolah. Pembentukan komite sekolah didasarkan pada Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor
044/U/2002 tentang Panduan Pembentukan Komite Sekolah.
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002 tentang Panduan Pembentukan
Komite Sekolah menjelaskan bahwa pembentukan komite sekolah dilakukan secara transparan,
akuntabel, dan demokratis. Transparan berarti bahwa komite sekolah harus dibentuk secara terbuka
dan diketahui oleh masyarakat secara luas mulai dari tahap pembentukan panitia persiapan, proses
sosialisasi oleh panitia persiapan, kriteria calon anggota, proses seleksi calon anggota, pengumuman
calon anggota, proses pemilihan, dan penyampaian hasil pemilihan.
Akuntabel berarti bahwa panitia persiapan pembentukan komite sekolah hendaknya
menyampaikan laporan pertanggungjawaban kinerjanya maupun penggunaan dan kepanitiaan.
Sedangkan secara demokratis berarti bahwa dalam proses pemilihan anggota dan pengurus dilakukan
dengan musyawarah mufakat. Jika dipandang perlu, dapat dilakukan melalui pemungutan suara.
5. Dari lemahnya peran institusi nonsekolah ke pemberdayaan institusi masyarakat
Sebelum era otonomi, peran institusi nonsekolah sangat lemah. Dalam era otonomi, masyarakat
diberdayakan dengan segenap institusi sosial yang ada di dalamnya, terutama institusi yang dilekatkan
dengan fungsi mendidik generasi penerus bangsa. Berbagai institusi kemasyarakatan ditingkatkan
wawasan, sikap, kemampuan, dan komitmennya sehingga dapat berperan serta secara aktif dan
bertanggung jawab dalam pendidikan.
Institusi pendidikan tradisional seperti pesantren, keluarga, lembaga adat, berbagai wadah
organisasi pemuda bahkan partai politik bukan hanya diberdayakan sehingga dapat mengembangkan
fungsi pendidikan dengan lebih baik, melainkan juga diupayakan untuk menjadi bagian yang terpadu
dari pendidikan nasional.
Demikian juga, ada upaya peningkatan partisipasi dunia usaha/industri dan sektor swasta dalam
pendidikan karena sebagai pengguna sudah semestinya dunia usaha juga ikut bertanggung jawab dalam
penyelenggaraan pendidikan. Apabila lebih banyak institusi kemasyarakatan peduli terhadap pendidikan
maka pendidikan akan lebih mampu menjangkau berbagai kelompok sasaran khusus seperti kelompok
wanita dan peserta didik kurang beruntung (miskin, berkelainan, dan tinggal di daerah terpencil).
Jalal (2001:72-73) berpendapat dalam upaya pemberdayaan masyarakat, perlu dilakukan
pembenahan sebagai kebijakan dasar, yaitu pengembangan kesadaran tunggal dalam kemajemukan,
pengembangan kebijakan sosial, pengayaan berkelanjutan (continuous enrichment), dan pengembangan
kebijakan afirmatif (affirmative policy).
6. Dari birokrasi berlebihan ke debirokratisasi
Sebelum otonomi, berbagai kegiatan pengembangan dan pembinaan diatur dan dikontrol oleh
pejabat (birokrat) melalui prosedur dan aturan-aturan (regulasi) yang ketat, bahkan sebagian sangat
ketat dan kaku oleh dinas pendidikan. Hal ini mempengaruhi pengelolaan sebagian sekolah, dalam iklim
birokrasi berlebihan. Dalam kondisi yang demikian, tidak jarang ditemukan adanya kasus birokrasi yang
berlebihan dari sebagian pejabat birokrat yang menggunakan kekuasaan berlebihan dalam pembinaan
kepala sekolah, guru, siswa. Keadaan ini telah mematikan prakarsa, daya cipta, dan karya inovatif di
sekolah.
Era reformasi, terjadi proses debirokratisasi dengan jalan memperpendek jalur birokrasi dalam
penyelesaian masalah-masalah pendidikan secara profesional, bukan atas dasar kekuasaan atau
peraturan belaka. Hal ini sesuai dengan prinsip profesionalisme dalam pendidikan dan juga pelimpahan
wewenang dan tanggung jawab dalam desentralisasi. Di samping itu juga dilakukan deregulasi, dalam
arti pengurangan kebijakan pendidikan yang tidak sesuai dengan kondisi, potensi, dan prospek sekolah,
dan kepentingan masyarakat (stakeholders) untuk berpartisipasi terhadap sekolah, dalam bentuk
gagasan penyempurnaan kurikulum, peningkatan mutu guru, dana, dan sarana prasarana untuk sekolah.
7. Dari manajemen tertutup (close management) ke manajemen terbuka (open management)
Sebelum otonomi, diterapkan bentuk-bentuk manajemen tertutup, sehingga tidak transparan
dan tidak ada akuntabilitas kepada publik dalam pengelolaan pendidikan. Era reformasi, manajemen
pendidikan menerapkan manajemen terbuka dari pembuatan, pelaksanaan, evaluasi, dan perbaikan
kebijakan. Seluruh sumber daya yang digunakan dalam pendidikan dipertanggungjawabkan secara
terbuka kepada seluruh kelompok masyarakat (stakeholders), dan selanjutnya terbuka untuk menerima
kritikan perbaikan bila ditemukan hal-hal yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.