tugas spi 2
TRANSCRIPT
Sejarah Muncul, Berkembang, Dan Faktor-Faktor Yang Mendorong Keragaman
Pemikiran Islam Pada Masa Bani Abbasiyah
A. Pendahuluan
Khalifah Abbasiyah ialah khalifah islam setelah khalifah Umayyah. Pemerintahan
dinasti Abbasiyah dikenal sebagai pemerintahan masa revolusi islam karena keberhasilan
dinasti Abbasiyah dalam memajukan peradaban islam. Masa Daulah Bani Abbasiyah
disebut-sebut sebagai masa keemasan islam, atau dikenal dengan istilah ” The Golden
Age”. Dikarenakan pada masa itu umat islam telah mencapai puncak kejayaan, baik
dalam bidang ekonomi, peradaban dan kekuasaan. Dan juga berkembangnya berbagai
cabang ilmu pengetahuan, ditambah dengan banyaknya penerjemah buku-buku dari
bahasa asing ke bahasa Arab. Dengan mewarisi imperium besar bani Umayyah.
Hal ini memungkinkan daulah bani Abbasiyah dapat mencapai hasil lebih banyak,
karena landasan telah dipersiapkan oleh daulah bani Umayyah yang besar.
Namun dengan menyokong imperium besar tersebut, justru sebagai penyebab
kehancuran dan tranformasi imperium bani Abbasiyah. Bahkan kehancuran bani
Abbasiyah terjadi disaat berlangsungnya konsolidasi. Disamping itu kemunduran dinasti
Abbasiyah disebabkan hidup mewah para khalifah Abbasiyah dan keluarganya serta para
pejabat pemerintahan karena harta kekayaan yang melimpah dari hasil wilayah yang luas,
ditambah lagi dengan industri olahan yang melimpah dan tanah yang subur.
Dalam tulisan ini pula penulis lebih menyorot aliran pemikiran yang ada pada
masa Daulah Abbasiyah, pengaruh serta peran apa saja peran mereka di dalammnya.
Kemudian latar belakang kemunculan aliran tersebut pun akan coba di uraikan. Serta apa
saja kaintan aliran pemikiran tersebut pada masa itu, billahi asta’inu wa taufiq.
B. Pembahasan
1. Sejarah Munculnya Bani Abbasiyah
Salah satu dinasti Islam ternama adalah Abbasiyyah. Setelah Ummayyah, muncul
Dinasti Abbasiyyah yang tertahan lebih dari 5 abad (750-1258), dan pernah mewujudkan
zaman keemasan umat Islam. Para sejarawan membagi kekuasaan Abbasiyyah menjadi
beberapa priode berdasarkan ciri, pola perubahan pemerintahan, dan strukur sosial politik
maupun tahap perkembangan peradaban yang dicapai. Secara umum mereka
berpandangan bahwa kekuasaan Dinasti Abbasiyyah dapat dibagi atas empat priode :
Priode Awal (750-847), Priode Lanjutan (847-945), Periode Buwaihi (945-1055), dan
Periode Saljuk (1055-1258).
a. Keruntuhan Dinasti Umayyah
Dinasti Ummayyah digulingkan oleh berbagai gerakan oposisi yang memandang
bahwa pemerintahan ini tidak sah. Ada beberapah alasan kenapa oposisi tidak mengakui
pemerintahan Ummayyah. Salah satu diantaranya ialah bahwa yang seharusnya
menganti kepemimpinam Nabi Muhammad SAW adalah keturunan langsung Muhammad
SAW. Kemudian ada juga yang menegaskan bahwa pemerintahan Umayyah semakin
jauh dari nilai-nilai agama Islam. Bahkan bahkan ada juga yang menentangnya karena
mereka tersingkir dari kekuasaan.
Gerakan anti umayyah telah tampak sejak pemerintahan Khilafah Hisyam bin
Abdul Malik (724-743). Diantara gerakan oposisi yang mampu menggalang dukungan dari
berbagai pihak dan berhasil membangun jaringan oposisi yang cukup luas adalah yang
dipimpin oleh para keturuna Nabi Muhammad SAW yaitu Abbas bin Abdul Muttalib bin
Hasyim, Abdullah bin Abbas, Ali Bin Abdullah dan Muhammad bin Ali. Disamping
membina basis kekuatan politiknya di Khurasan, ia juga mendapat dukungan dari
sebagian pendudu Kufah. Sebagian besar penduduknya berasal dari kelompok mawali,
yaitu masyarakat Islam Non Arab, terutama Persia. Di samping itu Ali juga merekrut dan
membentuk kader yang di sebut dengan da’i. Kelompok ini di kirim ke berbagai daerah
Khurasan dan Kufah untuk menyebarluaskan gagasan dan membinia serta menyusun
kekuatan di masing-masing daerah. Mereka secara aktif melakukan persiapan untuk
menjatuhkan Dinasti Umayyah. Seperti Ali, Muhammad bin Ali juga melancarkan
propaganda anti-umayyah dengan bantuan Abu Muslim al-Khurasani (=abdurrahman bin
Muslim) dan para pengikutnya. Kelompok gubungan ini menyebar keseluruh negeri
muslim mempengaruhi rakyat untuk melakukan oposisi terhadap pemerintahan umayyah.
Gerakan ini semain lancar, rapi dan efektif dibawah pipmpinan ibrahim bin Muhammad,
terutama sejak ali bin Abdullah meninggal pada tahun 142 H/742 M. Ia juga berhasil
menggalang dukungan dari golongan syi’ah, kelompok yang paling tertekan selama masa
periode Umayyah. Kelompok Syiaj ini mendukung gerakan yang dilancarkan oleh ibrahim,
karena imam syiah pada waktu itu, Muhammad bin abdullah telah dilantik sebagai
khalifah bayangan pertama bagi pemerintahan baru menggantikan Umayyah. Dengan
cara ini Muhammad bin Abdullah berharap dia nanti benar-benar menjadi khalifah baru,
apalagi menurut perhitungannya tidak sedikit kalngan yang akan menerima Muhammad
bin Abdullah karena dia adalah keturunan langsung Nabi Muhammad SAW. Dengan
demikian, secara de facto, gerakan anti-umayyah telah memperoleh dukungan luas
melifuti wilayah Kufah, Basra, Mekah dan Madinah.
Pada bulan Ramadan tahun 129 H/742 M, pemberontakan secara terbuka mulai
dilancarkan oleh ibrahim di Khurasan. Tetapi kemudian pada tahun 748 ia di tangkap oleh
tentara khalifah Marwan II. Penagkapan Ibrahim justru lebih meningkatkan perlawanan
yang dipimpin oleh Abu Abbas dan Abu Ja’far. Setelah kota Kufah dapat dikuasai
sepenuhnya oleh gerkan ini, Abu Abbas kemudian ditabalkan menjadi khalifah pertama
Dinasti Abbasiyah (750-754). Khalifah yang kedua dipegang oleh Abu Ja’far (754-775).
Sejak itu, kekuasaan Dinasti Umayyah benar-benar telah runtuh.
b. Priodisasi Pemerintahan Daulah Abbasiyah
Semenjak terbunuhnya khalifah terakhir dari Bani Umayyah Marwan di desa
Bhusair (Mesir) oleh Saleh bin Ali maka berakhirlah kekuasaan Daulah Umayyah dan
sejarah Islam berada dalam kekuasaan Daulah bani Abbasiyah.
Para ahli sejarah membagi priode pemerintahan Daulah Bani Abbasiyah ke dalam
empat priode : Priode Abbasiyah kesatu , yaitu sejak lahirnya kekuasaan Daulah
Abbasiyah sampai berakhirnya pemerintahan Khalifah Al Watshik. Periode ini memakan
waktu sekitar satu abad lamanya (132-232 H = 750-847 M).
Periode ini dianggap sebagai periode kejayaan Daulah Abbasiyah sebab dalam
periode ini kekuasaan masih sepenuhnya dipegang oleh khalifah serta kebudayaan dan
ilmu pengetahuan berkembang dengan pesatnya. Tulang punggung kekuatan para
khalifah pada masa ini adalah orang-orang persia. Sedangkan khalifah-khalifah pada
masa ini adalah :
1. As Saffah (132-136 H = 750-847 M. Abdul Abbas di beri gelar As Saffah oleh
sejarawan karena beliau seorang khalifah yang banyak menumpahkan darah,
tetapi ada juga yang mengatakan karena beliau adalah khifah yang pemurah
dan dermawan. Pada masanya terjadi revolusi sosial atas keluarga bani
umayyah dan ibu kota Hasyimiyyah di sebelah Kota Anbar di pinggir sungai
Efrat.
2. Al Mansyur (136-158 H = 754-775 M). Abu Ja’far diberi gelar Al Mansur karena
beliau banyak memperoleh kemenangan dalam banyak pertempuran yang
beliau ikuti. Pada masanya Abu Muslim Al Khurasani di bunuh atas perintah
beliau, Ibu Kota Bagdad dibangun dengan mengambil lokasi dipinggir belahan
timur Sungai Tigri, agak sebelah utara Madain dan Daulah Bani Umayyah
kedua berdiri di Andalusia, merdeka dari kekuasaan Abbasiyah.
3. Al Mahdi (158-169 H = 775-785 M). Al Mahdi adalah Muhammad bin Abu
Ja’far Al Mansyur. Sejak Al Mahdi ini khalifah Abbasiyah mulai bermewah-
mewahan, berbeda dengan As Saffah dan Al Manshur yang mencerminkan
kesederhanaan serta tidak mau meminum minuman keras atau main
perempuan. Pada masanya ini, Empress Irene penguasa Byzantium pada
tahun 782 memohon perdamain kepada Al Mahdi dan bersedia membayar
upeti tahunan sebesar 70.000 ringgit. Peristiwa itu ketika Irene melihat ibu
Kota Kontatinopel telah terancam dengan pengepungan tentara dan armada
Abbasiyah. Pada saat itu panglima perang daulah Abbasiyah adalah Harun Al
Rasyid.
4. Al Hadi (169-170 H=785-786 M).Al Hadi adalah Musa bin Muhammad Al
Mahdi. Ia memerintah hanya setahun tiga bulan lamanya.
5. Ar Rasyid (170-193H = 786-809 M). Ar Rasyid adalah Harun bin Muhammad
Al Mahdi. Beliau diberi gelar Ar Rasyid karena kecendekiawannya ketika beliau
melakukan perundingan dengan Irene pada masa ayahnya,Al Mahdi. Ar
Rasyid artinya yang cendekiawan.Pada masanya berdiri dua kerajaan.
Pertama Daulah Idrisiyah (172-311 H = 788-924 M)yang dibangun oleh Idris
bin Abdillah bin Husain bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Kedua Daulah
Aghlabiyah (184-296 H=800-909 M) yang dibangun oleh Ibrahim bin Aghlab,
gubernur wilayah Afrika utara yang berkedudukan di Kairawan. Pada masanya
terjadi tali persahabatan dengan Charlemagne, cucu Karel Martel yang mampu
menghadang pasukan Islam di bawah Abdurrahman Al Ghafiki pada tahun 732
M di Kota Tours yang berjarak 126 mil dari kota Paris. Demikian juga Kaisar
Nichephorus yang menggantikan Empress Irene kalah perang melawan
tentara Abbasiyah, sehingga menyerah dan bersedian membayar upeti
tahunan kepada Harun Ar Rasyid. Karena ide dan hasutan orang yang dengki
maka Harun Ar rasyid menjatuhkan hukuman mati terhadap keluarga Barmaki
(berdarah Persia) yang sebenarnya merupakan tulang punggung
kekuasaanDaulah Abbasiyah sejak Al Mansur sampai Ar Rasyid.
6. Al Amin (170-193 H=786-809 M). Al Amin adalah Muhammad putra Harun Ar
Rasyid dari istrinya yang keturunan Bani Hasyim. Amin memecat
saudaranya,Al Ma’mun sebagai putra mahkota atas desakan orang-orang
dekatnya. Oleh ssebab itu, terjadilah perang saudara yang berakhir dengan
kemenangan di pihak Al Ma’mun.
7. Al Ma’mun (198-218 H=813-833 M). Al Ma’mun adalah Abdullah putera Harun
Ar Rasyid dari isterinya yang keturunan Persia. Beliau sebagi khalifah
berkedudukan di Kota Merv, Ibu Kota Khurasan, sejak kecil ia berdomisili di
sana. Pada mmasanya dipandang sebagai puncak gemilang kebudayaan
Islam, beliau mengikuti aliran Mu’tazilah yang menganggap Al Qur’an sebagai
makhluk dan membasmi paham Sunni yang dipelopori Imam Ahmad bin
Hambal yang mengatakan Qur’an sebagai kalamullah yang qadim. Saar itu
tokoh-tokoh Sunni mengalami ujian yang dikenal dengan Al Mihnah. Al Mihnah
ini menimpa mereka sampai masa khalifah Al Mu’tashim dan Al Watsiq. Pada
masanya Al Ma’mun mempunyai keinginan untuk menyerahkan kursi khalifah
kepada keturunan Ali bin Abi Thalib, sehingga beliau mengawinkan putrinya
dengan Ar Ridha, seorang imam Syiah Itsna Asyariyah. Gagasannya ini
tercetus saat pengaruh wazir besar Fadl bin Sahal (keturunan Persia), tetapi
ditentang oleh kalangan Abbasiyah, sehungga penduduk Baghdad
memecatnya dan menggantikannya dengan Al Mubarak. Namun, soal ini dapat
diatasi oleh Al Ma’mun setelah Ar Ridha wafat. Pada masanya didirikan Daulah
Thahiriyah(205-259 H=820-873 M) di wilayah Asia Tengah, berkedudukan di
Bukhara oleh panglima Thahir bin Husein.
8. Al Mu’tashim (218-227 H=833-842 M). Al Mu’tashim adalah Muhaammad bin
Harun Ar Rasyid. Ketika Al Ma’mun hendak wafat berwasiat kepadanya dalam
dua hal, yaitu: (1) melanjutkan Al Mihnah, dan
(2) bersikap lunak kepada kelompok Alawiyyah.
Wasiat itu dilaksanakan dengan baik. Pada masanya beliau mendirikan Kota
Samarra (berasal dari surra man ra-a) dan beliau mulai menggantikan peranan
orang-orang Persia dengan orang-orang Turki, terutama dalam ketentaraan,
sebab ibunya beraasal dari keturuna baangsa Turki. Sejak ini orang-orang
Turki mulai berpengaruh dalam kekuasaan Daulah Abbasiyah.
9. Al Watsiq (227-232 H=842-847 M). Al Watsiq adalah Harun bin Muhammad Al
Mu’tashim. pada masanya terjadi peristiwa besar, yaitu perpindahan secara
besar-besaran penduduk jazirah Arab bagian selatan ke pesisir Afrika bagian
timur. Di sana mereka membuka bandar-bandar baru sebagai pusat
perdagangan. Peristiwa ini diramakan oleh sejarawan terkenal Toynbee
sebagai awal proses Islamisasi bagi seluruh Afrika hitam. Pada masanya
Asynas at Turki menjadi penguasa pelaksana (as sultan) yang berakibat
besarnya pengaruh orang-orang Turki di kemudian hari.
Periode Abbasiyah kedua, yaitu sejak khilafah Al Mutawakil (232 H=847 M)
sampai dengan berdirinya Daulah Bulwaihi (334 H=945M). Pada masa itu ditandai
besarnya pengaruh orang-orang Turki dan Pulihnya pengaruh aliran Sunni. Al Mutawakil
menyadari bahwa terankatnya sebagai Khalifah atas usaha orang-orang Turki. Mereka itu
bisa saja mengangkat dan memecat khalifah sesuai dengan keingina mereka, sebab
mereka itu amat berpengaruh dalam semua sektor pemerintahan. Oleh sebab itu,
Mutawakil berusaha membatasi pengaruh mereka dan hendak membebaskan diri dari
pengaruh mereka. Tetapi usahanya itu tidak kesampaian. Bahkan ia sendiri mati dibunuh
atas persengkokolan orang-orang Turki dengan putra Mutawakil sendiri.
Al Mutawakil digantikan putranya itu dengan gelar Al Mutashir. Ia berkuasa hanya
enam bulan lamanya. Daulah Abbasiyah sepenuhnya berada dalam kekuasaan orang-
orang Turki. Sedangkan khalifah-khalifah abbasiyah hanya sebagai simbol belaka.
Kalau pada periode Abbasiyah peratama terdapat empat wilayah yang berdiri
sendiri, tetapi pada Abbasiyah kedua ini lebih banyak lagi wilayah-wilayah yang berdiri
sendiri sehingga kekuasaan Daulah Abbasiyah tinggal daerah Baghdad dan sekitarnya.
Periode Abbasiyah ketiga, yaitu sejak tahun 334 H sampai dengan tahun 447 H.
Periode ini di tandai dengan besarnya pengaruh keluarga Buwaihi. Khalifah Daulah
Abbasiyah kedua puluh adalah Al Mustakfi Billah. Ia diangkat sebagai khalifah atas usaha
seorang sahaya Turki, bernama Illam. Pada Masanya ahmad bin Buwaihi menyatkan
dirinya sebagai Muizzud Daulah mengesahkan wilayah Fars tetap pada kekuasaan
saudaranya, Ali bin Buwaihi dengan gelar Imadud Daulah dan wilaya Isfahan tetap pada
kekuasaan saudarany, Hasan bin Buwaihi dengan Gelar Ruknud Daulah.
Al Mustakfi diganti oleh Al Muthi’ilillah. Al Muthi’ilillah sebagi khalifah hanya
mempunyai wewenang khutbah pada waktu shalat Jum’at dan hari raya serta cap stempel
khalifah untuk suray-surat resmi tertentu. Sedangkan kekuasaan pemerintahnya
sepenuhnya di tangan Muizud Daulah. Pada masa Muizud Daulah sebagai Amirul
‘Umara’ wilayah wewenang Daulah Abbasiyah pulih Kembali, kecuali wilayah Andalusia
yang berada dalam kekuasaan Bani Umayyah, wilayah Afrika Barat dan Utara yang
berada dalam kekuasaan fathimiyah dan daerah pedalaman Jazirah Arabiyah yang
berada dala kekuasaan Qaramithah.
Bani Buwaihi ini beraliran syiah, sedangkan khalifah tetap berpegang pada
mazhab Sunni. Ibu Kota resmi BaniBuwaihi di Shiraz, sedangkan Baghdad menempati
Ibu Kota kedua. Pada masa Muizuddaulah yang berkuasa dua puluh tahun lamanya itu
pembanguna berjalan dengan baik, rakyat merasa aman dan Hajar Aswad yang pada
tahun 317 h diambil oleh qaramithahdapat ditempatkan kembali pada tempatnya semula.
Muizuddaulah digantikan oleh putranya, Izzud Daulah. Karena Izzud Daulah lebih
mementingkan kemewahan berfoya-foya , maka kekuasaanya itu di ambil oleh saudara
sepupuhnya, Idhuddaulah. Pada masa Idhuddaulah ini pembangunan materil dan
perkembangan ilmu pengetahuan amat digalakkan. Sehingga simpati rakyat amat besar
kepadanya dan ia sendiri mengangkat dirinya sebagai Al Mulk, sebuah gelar baru dalam
sejarah Islam.
Periode Abbasiyah keempat, yaitu sejak tahun 447-656 H=1055-1258 M. Periode
ini ditandai dengan besarnya pengaruh keluarga Bani Saljuk. Pada saat itulah dua
peristiwa besar yang melanda umat Islam. Pertama, perang salib, antara dunia Islam
dengan dunia Barat Nasrani dan penyerbuan bangsa Mongol ke bagdad yang membuat
akhirnya Daulah Abbasiyah. Setelah peristiwa ini, kedudukan khalifah Abbasiyah pindah
ke Mesir.
c. Ciri-ciri Khusus Daulah Abbasiyah
Dari sudut perkembangan Islam Daulah Abbasiyah mempunyai beberapa ciri
khusu, antara lain:
1. Munculnya pusat-pusat peradaban dan ilmu pengetahuan
2. Sekalipun wilayah kekuasaan Daulah Abbasiyah tidak bertambah, bahkan berkurang,
namun wilayah penyebaran Islam meluas sampai ke pedalaman anak benua India
dan lahir Daulah-daulah Islam disana serta sampai ke nusantara.
3. Besarnya pengaruh Mu’tazilah dalam pemerintahan pada masa Al Ma’mun dan dua
orang penggantinya.
4. Berperannya unsur-unsur non-Arab dalam pemerintahan Daulah Abbasiyah sehingga
kedudukan khalifah hanya sebagai simbol saja, kecuali pada masa Abbasiyyah I.
5. Munculnya Daulah-daulah Islam yang merdeka dari kekuasaan politik dan
keagamaan dari khilafah Abbasiyah.
d. keragaman pemikiran Islam dan faktor-faktor pendorong kemunculannya
Sebagaimana banyak ditulis para sejarawan bahwa pada masa Daulah Abbasiyah
banyak sekali aliran pemikiran yang muncul selama Daulah Abbasiyah berlansung, ini
merupakan bagian dari liku perjalan sejarah Daulah Abbasiyah. Berikut adalah aliran
pemikiran Islam yang ada pada masa Daulah Abbasiyah:
1. Mu’tazilah
Mu’tazialah muncul pada masa Bani Umayyah tanpa mendapat tantangan dari
pihak penguasa karena mereka tidak menimbulkan gangguan dan tidak pula
memerangi Bani Umayyah. Kegiatan mereka hanya berpikir, adu argumentasi,
mengkaji serta menguji masalah-masalahberdasarkan logika yang benar. Bani
Umayyah tidak menentang mereka, tetapi membantu dan mendukung mereka.
Pada msa pemerintahan Bani Abbas telah banyak di temukam orang-orang
mulhid (ingkar terhadap tuhan) dan zindiq. Sebagaimana telah kami jelaskan, karena
para khalifah melihat bahwa golongan Mu’tazilah telah berjasa menumpas orang-
orang zindiq, maka merka membiarkan dan tidak membasmi golongan ini, malah
merangang golongan tersebut untuk tetap mempertahankan paham mereka. Khalifah
al Makmun mengakui dirinya sebagi salah seorang penganut paham Mu’tazilah.
Keika berkuasa ia bergaul, mendekati, dan mendukung golongan Mu’tazilah , serta
mengangkat pengawal dan mentrinya dari kalangan mereka. ia mengadakan diskusi-
diskusi antara Mu’tazilah dan ‘ulama fiqh untuk mencari persamaan pandangan.
Keadaan seperti ini terus berjalan sampai tahun 218 H, tahun ia wafat. Diskusi ilmiah
ini menjadi arena ancaman penyiksaan yang pedih, yang dimaksud untuk menarik
massa agar menganut pahan Mu’tazilah. Ancaman itu benar-benar terjadi
berdasarkan usulan dan pengarahan dari menteri dan sekretarisnya yang bernama
Ahmad ibnu Abi Dawud al Mu’tazili. Sungguh sangat disayangkan, irang seperti al
Ma’mun menyetujui peristiwa itu pada masa pemerintahannya.
Pada masa itu terjadi perubahan suasa ; dari sekedar diskusi menjadi tindak
kekerasan untuk membaea para ahli fiqh dan muhaditsin mengikutu faham mu’tazilah.
Belum pernah terjadi, sebelum pemerintah al Makmun, kekuatan pemerintah
dikerahkan untuk membantu suatu paham yang tidak mereka yakini. Jika agama Islam
mengharamkan pemaksaan agama, mengapa agama pemerintah turut campur untuk
memaksakan suatu paham?Al Ma’mun memaksa para fuqoha dan muhadtsin untuk
menyatakan bahwa al Qur’an itu makhluk. Sebagian ulama mengikuti sebagai
taqiyyah ( tindakan menyelamatkan diri) dan karena takut, bukan karena
menyakininya, sedangkan sebagian lagi karena di paksa dan di intimidasi atau karena
di penjarakandalam waktu yang lama lantaran tidak mau menyatakan faham yang
tidak diyakininya. Finah (malapertaka) itu berlangsung sapai massa al Mu’tasim dan al
Watsiq, karena la Ma’mun berwasiat untuk meneruskannya. Bahkan, al Watsiq
menambah dengan paksaan untuk mengakui bahwa Tuhan tidak dapat dilihat pada
hari Kiamat, sebagai mana pendapat mu’tazilah. Ketika al Mutawakkil berkuasa, ia
menghentikan malapetaka itu dan memuliakan suasana seperti sebelumnya.
Pendapat-pendapat dan paham-paham yang berkembang kembali sebagaimana
adanya. Bahkan, ia merenggangkan hubungan dengan Mu’tazilah dan tidak
menyukainya.
Posisi mu’tazilah dalam penilaian zamannya
Golongan Mu’tazilah mendapat tantangan dari golongan fuqoha dan golongan
muhaditsin. Mereka terjepit diantara dua pihak yang sama kuat; yaitukaum zindiq, al
Musyabbihah, al Mujassimah, dan yang serupa dengan mereka, pada satu pihak, dan
kaum fuqoha serta mauhadditsin di pihak lain. Anda dapat mengetahui kebencian pra
fuqoha serta muhadditsin yang merek alakukan terhadap Mu’tazilah setiap kali
mereka mendapat kesempatan. Demikian juga anda mendengar celaan Imam Syafi’i
dan Ahmad Hanbal terhadap ilmu kalam dan orang-orang belajar kepada ahli ilmu
Kalam. Sebenarnya celaan itu mereka tujukan kepada golongan Mu’tazilahdan
metode berpikirnya.
Masalahnya, apa sebenarnya rahasia kebencian para fuqoha dan muhadditsin
terhadap golongan mu’tazilah yang muncul sebelum terjadinya malapetaka al Mihna
yang di terapkan al Ma’mun untuk mendukung pendapat mereka? jadi faktor
penyebabnya sudah bertumpang tindih. Antara lain :
1. Dalam memahami ‘aqidah, Mu’tazilah menyimpang dari metode yang diterapkan
oleh ulama dan semua orang yang hendak memahami sifat-sifat Allah harus
merujuk pada al Qur’an dan Sunnah Nabi. ‘Aqidah yang lahir darinya, bukan
berasal dari sumber yang lain, wajib diimani. Ayat-ayat al Qur’an merupakan
bukti dan keterangan tentang Aqidah. Sedangkan ayat-ayat yang mereka sulit
pahami pengertiannya, mereka cari pemecahannya melalui uslub (gaya
bahasa)Arab, dan dalam hal itu mereka adalah ahlinya. Jika dengan cara itu
mereka masih menemui kesulitan dalam memahaminya, mereka tawaquf
(menghentikan usha memahaminya) dan menyerahkan kepada Allah tanpa
menimbulkan fitnah.
Kebiasaan seperti itu memrupakan kebiasaan orang Arab, karena pada dasarnya
mereka bukan ahli pengetahuan, logika atau filsafat. Ketika berbagai disiplin ilmu
berkembang, termask filsafat, muncul golongan Mu’tazilah itu mempengaruhi
pemikiran mereka sehingga mengubah hakikat sebuah masalah.
Metoda semacam itu dalam mengkaji masalah-masalah agama merupakan hal
yang baru dan tidak disenangi oleh para fuqoha dan muhadditsin. Mereka
melontarkan berbagai kritik yang pedas dan ungkapan yang buruk terhadap
golongan Mu’tazilah.
2. Mu’tazilah sibuk mengadakan perdebatan melawan kelompok zindiq, Rafidhah,
para penyembah berhalla dan lain-lain. Setiap perdebatan merupakan satu
bentuk peperangan, karena menggunakan strategi perang yang berhubungan
dengan pemilihan senjata yang tepat dan pengkajian sasaran. Hal ini
memberikan pengaruh kepada kedua belah pihak, sehingga masing-masing
meniru sebagian strategi yang digunakan lawan. Mu’tazilah mengambil sebagian
metode berpikir lawan-lawannya, tetapi pengambilan itu tidak menyangkut
semua unsurnya dan tidak sampai merusak aqidah yang membuat mereka
keluar dari Islam atau mengurangi semangat jihad mereka dalam beredebat
dengan lawan. Dalam pendahuluan bukunya yang berjudul al-Intishar, Neibrig
mengatakan secara tepat,”Orang yang menghadapi musuh yang besar dan kuat
di dalam suatu peperangan, maka ia akan terikat dengan musuhnya itu dalam
hal persyaratan-persyaratan dan strategi perang; ia mesti mewaspadai dan
mengamati segala tindakan musuhnya, baik gerak dan diamnya maupun duduk
dan berdirinya. Acap kali dalam hal itu ia dipengaruhi oleh semangat dan takatik
stategi musuhnya.”Demikian pula halnya dengan peperangan di bidang
pemikiran. Tegaasnya, pengaruh lawan dalam membentuk pemikiran tidak
kurang dan tidak lebih kecil dari pengaruh teman, sehingga sebagian golongan
Hanabilah melaporkan bahwa rekan-rekan mereka menghentikan penyerangan
terhadap penganut hedonisme, sehingga mereka menjadi penganut hedonisme.
Karena itulah anda tidak perlu heran kalau Mu’tazilah melahirkan pemikiran-
pemikiran yang aneh akibat adanya pengaruh perdebatan dengan lawan-
lawannya itu.
3. Dalam menemukan pemikiran ‘aqidahnya, mu’tazilah menggunakan metode
logika murni dengan tetap berusaha agar tidak menyimpang dari nash-nash al-
Qur’an. Jika kelihatan ada pertentangan antara paham yang mereka tetapkan
dan nash al-Qur’an yang mereka baca, maka nash itu mereka ta’wilkan sehingga
tidak bertentangan dengan paham mereka dan sekaligus tidak bertentangan
dengan makna al-Qur’an. Landasan metode seperti ini adalah kepercayaan yang
tinggi kepada kemampuan akal. Akal mempunyai jalan dan kecenderungannya
sendiri. Karena itu mereka banyak terperangkap dalam kesimpulan-kesimpulan
yang tidak baik karena didorong oleh kecenderungan logika murni itu. Contohnya
adalah kesimpulan al-Jubba’i, salah seorang tokoh Mu’tazilah, yang mengatakan
bahwa Allah taat kepada hamba-Nya, jika Dia mengabulkan do’a hamba-Nya.
Kesimpulan ini lahir karena Abu al-Hasan al-Asy’ari bertanya kepadanya,”Apa
pengertian taat menurut pendapat Anda?” Ia menjawab,”Sesuai dengan
kehendak. Barangsiapa melakukan suatu perbuatan sesuai dengan kehendak
orang lain, maka ia menaatinya.”Kalau begitu Alloh menaati hamba-Nya jika Dia
berbuat sesuai dengan keinginan hamba-Nya? Sekiranya hal itu bisa, tentu bisa
pula dikatakan bahwa Tuhan tunduk kepada hamba-Nya? Maha suci Alloh dari
kesimpulan seperti itu, dengan sebenar-benar tinggi.” Contoh lain ialah ucapan
Abu al-Huzail bahwa penghuni surga tidak memiliki kebebasan untuk memilih,
karena jika memiliki kebebasan itu, mereka tentu menerima beban taklif,
sedangkan akhirat adalah tempat pembalasan,bukan tempat taklif. Pendapat ini
sangat jauh dari kebenaran, karena adanya kebesan tidak mesti melahirkan
adanya taklif. Al-Khayyah mengatakan bahwa belakangan Abu al-Huzail meralat
pendapatnya itu. Pemikiran-pemikiran aneh sepereti itu ditemukan di tengah-
tengah mereka dan menyimpang dari pendapat umum sehingga mereka
menerima penilaian-penilaian yang tidak baik.
4. Para penganut paham Mu’tazila banyak menentang orang-orang yang di hormati
dikalangan masyarakat, dan mereka tidak memilih kata-kata yang sopan dalam
menentang orang-orang itu. Perhatikan ucapan al Jahizh, slah seorang tokoh
mu’tazilah, tentang para ahli fiqh dan hadits, “orang yang menekuni hadits adalah
orang awam. Mereka melakukan taqlid tanpa lebih dahulu menyaring dan
memilih. Perbuatan taqlid sangat dibenci oleh akal, dan dilarang oleh al Qur’an.
Adapun pendapat mereka bahwa orang-orang yang tekun beribadah berasal dari
golongan mereka, maka sesungguhnya ibadat orang khawarij sudah lebih
banyak dari ibadat mereka, padahal jumlah mereka jauh lebih banyak
dibandingkan dengan jumlah golongan khawarij. Sebabnya ialah niat, makanan,
usaha, wara, dan benar ucapan orang khawarij lebih baik dari pada golongan
muhadditsin; lebih sedikit berpura-pura, lebih konsisten berpendapat, lebih ulet,
lebih sedikit membuat batasan-batasan, lebih zuhud dan bersungguh-sungguh”.
Orang-orang yang diremehkan al Jahizh itu adalah orang-orang yang dihormati
dan di segani di berbagai bangsa dan lebih mulia dibanding al Jahizh. Tuduhan
pajit itu menjadi sebab menghindarnya sebagian besar ulama Mu’tazilah,
walaupun mereka dihormati oleh para peneliti yang obyektif.
Para penhanut hedonisme banyak melihat peluang dalam Mu’tazilah untuk
menjadikan mereka ujung tombakdalam melaksanakan niat dan pandangan
mereka dengan jalan menyusupkannya kedalam Islam dan kaum muslimin.
Kemudian, jika niat jahat mereka itu terbongkar, mereka berlindung di balik nama
Mu’tazilah. Ibn al Rawandi termasuk dalam kelompok itu. Abu ‘Isa al warraq,
ahmad ibn Haits dan Fadl al Hadtsi menyusupkannya kedalam Mu’tazilah.
Mereka menampilkan pendapat-pendapat yang dapat meruntuh sendi-sendi
keislaman. Di antara mereka ada yang di curigai menjadi orang bayaran yahudi
untuk merusak ‘Aqidah umat Islam. Semua itu memyebankan Mu’tazilah
mendaoat caci maki dan tuduhan dari kaum muslimin. Walaupun para tokoh
mu’tazilah bersumpah bahwa mereka tidak terlibat dalam urusan itu, tuduhan-
tuduhan itu tidak terhapus seluruhnya, karena yang selalu lebih dulu terbayang
dalam benak umat Islam adalah tuduhan itu, bukan pernyataan ketidak terlibatan
itu, bukan pernyataan ketidak terlibatan mereka.
5. Dikalangan Bani ‘Abbas terdapat orang-orang yang menjadi mendukung,
penganut dan fanatik terhada Mu’tazilah, dan berusaha agar masyarakat
menganut paham itu. Orang-orang yang menyiksa ulama fiqh dan hadits serta
memberlakukan politik al Mihna (ujian keyakinan) terhadap mereka, tetapi
mereka tetap tabah dan sabar. Ketabahan ulama itu dalam menjalani al mihna
menimbulkan simpati yang besar dikalangan masyarakat terhadap mereka, dan
sebaliknya melahirkan kebencian terhadap Mu’tazilah yang menjadi biang keladi
timbulnya al mihna, khususnya kepada tokoh-tokoh Mu’tazilah yang mendukung
tindakan itu melalui tulisan-tulisan ilmiah mereka.
Diantara mereka yang mendukung politik al mihna adalah al Jahiz ia berkata,
“yang kami kafirkan hanyalah mereka yang bertentangan faham dengan kami:
yang kami uji mereka yang pantas dicurigai, sedangkan mengungkapkan
kecurigaan itu sendiri bukanlah tindakan memata-matai, karena jika dianggap
memata-matai, tentulah para hakim lebih pantas di tuduh seperti itu”.
Pemikiran yang terlihat kacau tetapi didukung oleh kekuatan pemerintah
sebenarnya pemikiran yang tidak utuh, karena penggunaan kekuatan yang
membabai buta merupakan ciri jauhnya pemikiran itu dari kebenaran. Dengan
penggunaan kekuatan pisik itu masyarakat curiga dan mempertanyakan, kalau
benar landasan pemeikiran itu kokoh mengapa untuk menegakkannya
memerlukan kekuatan fisik?
Tuduhan terhadap ulama fiqh dan hadits
Mu’tazilah mencurigai para ulama Fiqh dan Hadits seperti Ahmad ibn Hambal.
Tuduhan dan kecurigaan yang dilontarkan Mu’tazilah terhadap mereka dimulai sejak
penguasa Bani ‘Abbas berpihak kepada Mu’tazilah.adanya upaya penolakan tuduhan
tersebut juga sudah ada sejak munculnya kecurigaan itu. Karena itulah para ulama fiqh
dan hadits juga menuduh Mu’tazilah dengan segala tuduhan keagamaan yang berat.
Abu Yusuf, salah seorang murid Abu Hanifah, sempat menganggap Mu’tazilah
sebagai seorang atheis; Imam Malik, Imam Syafi’i berfatwa bahwa kesaksian
Mu’tazilah tidak dapat diterima; sedangkan Imam Muhammad al Hasan al Syaibani
barang siapa menjadi makmum Mu’tazilah dalam shalat wajib mengulangi shalatnya.
Mereka juga menuduh kaum Mu’tazilah fasi menggemari hal-hal yang diharamkan.
Sebenarnya setiap permusuhan akan menimbulkan penilaian yang buruk. Setiap
pihak akan menuduh lawannya secara tidak adil. Banyak tuduhan yang dilontarkan
mu’tazilah berasal dari pemikiran yang menyimpang. Semua sikap fanatik akan
menutup akal dalam menemukan kebenaran. Mu’tazilah tidak sampai keluar dari Islam.
Mereka mendapat pahala atas jasanya dalam membela Islam. Para murid Washil
bertebaran di seluruh penjuru wilayah Islam untuk menentang orang-orang yang
menurut hawa nafsu. ‘Amar bin ‘Ubaid, salah seorang murid Wasil, telah memerangi
kaum atheis dan orang-orang yang mengikuti hawa nafsu guna membela kelompok
yang benar. Ia berteman dengan Basyar ibn Bard, seorang penyair. Ketika mengetahui
bahwa temannya ini seorang atheis, ia tak segan-segan membuangnya dari Bagdad.
Basyar tidak kembali sampai ‘Amr wafat pada masa pemerintahan Ja’far al Manshur.
Basyar adalah seorang zahid. Al Jahizh mengomentarinya secara fanatis, “Ibadah ‘Amr
menandingi semuah ibadah ahli fiqh dan hadits.
Pada setiap generasi Mu’tazilah ada orang-orang yang tekun beribadah dan
berzuhud. Di antara mereka ada kezuhudannya mendorongnya untuk tidak menerima
gaji dari pemerintah meskipun ia sangat memerlukannya. Diceritakan bahwa Khalifah
bertanya kepada perdana mentrinya, Ahmad ibn Abi Dawud, “mengapa engakau tidak
mengangkat sahabat-sahabat saya dari kaum Mu’tazilah untuk menjadi hakim seperti
yang lain?” jawab Ahmad, “Wahai Amirul Mu’minin, sesungguh sahabat-sahabat
Andalah tidak mau menjadi hakim. Kepada Ja’far ibn Basyar, umpamanya, saya sudah
menawarkan gaji sepuluh ribu dirham untuk pengangkatan sebagai hakim, tetapi ia
menolaknya. Saya sudah datang kerumahnya dan minta izin untuk masuk, tetapi ia
tidak mengizinkan. Ketika saya minta izin untuk masuk ia menodongkan pedang ke
wajah say, dan berkata” sekarang saya sudah boleh membunuh mu. Maka saya pergi
meninggalkannya. Bertapa manamungkin saya mengangkat orang seperti itu.
Anehnya, ada oramg membawa uang dua dirham kepadanya dan ia menerimanya.
Ketika ditanya, “mengapa engkau menolak sepuluh dirham, tetapi menerima dua
dirham?” Ia menjawab, “ oranh-orang kaya lebih berhak dari pada saya, saya lebih
berhak atas dua dirham karena saya memerlukannya. Allah memberikan kepada saya
dua dirham ini tanpa masalah”. Orang ini memandang syubhat terhadap harta
pemerintah karena ia menduga harta itu dikumpulkan dari cara yang tidak halal dan
menerima dua dirham karena menduga bahea itu halal dan baik.
Dari penjelasan di atas dapatlah kita ketahui bahwa kehadiran Mu’tazilah pada
Daulah Abbasiyyah adalah karena mendukung kebijakan Khalifah Al Ma’mun dan dua
orang khalifah setelahnya untuk mempertahankan kekuasaan, dan lebih dari pada itu
Mu’tazilah juga memiliki peran yang sangat signifikan dalam memberantas aliran-aliran
yang bersebrangan dengan aqidah Islam, jika dibiarkan akan berpengaruh kepada
keyakinan masyarakat Islam.
2. Sunni
Dari seluruh pemuka kalangan ahli hadits pada masa-masa mihnat, yang
berlansung pada pemerintahan Khalif al Ma’mun dan khalif al Muktashim dan khalif al
Watsiq, maka Cuma tinggal satu tokoh saja yang tetap bertahan atas pendiriannya
dan tetap berani menantang pendirian resmi masa itu. Selebihnya telah menganut
pendirian iktizal, baikpun di Ibukota maupun dalam wilayah-wilayah Islam masa itu,
bahwa Al-Qur’an itu adalah Cuma sebuah ciptaan belaka sebagaimana ciptaan-
ciptaan Ilahi lainya di dalam alam semesta.
Tetapi tokoh yang satu itu tetap bertahan, meskipun menderitakan hukuman
cambuk di punggungnya hingga daging punggungnya itu koyak-koyak dan selanjutnya
ditahan dan dibelenggu, bahwa Al-Qur’an itu adalah “kalam Allah” tanpa tafsiran
sepanjang akal (ratio). Tokoh tersebut ialah Al Imam Ahmad ibn Hanbal (wafat 242
H/855 M), pemuka mazhab Hukum itu. Dengan begitu ia terpandang “pahlawan yang
berani” (bathlun-syujak) pada mata kalangan Awwam dewasa itu, yaitu rakyat umum,
yang tetap berkeyakinan bahwa Al-Qur’an itu adalah “kalam Allah” dan “azali” adanya.
Bahkan para pengikut Ahmad ibn Hanbal yang keliwat ekstrim dewasa itu,
demikian Dr. Ahmad Amin di dalam Dhuhal Islami jilid III cetakan 1964 halaman 39-
40, berpendirian bahwa kecuali Ayat-ayat Al-Qur’an itu “kalam Allah” dan “azali” maka
kertasnya dan tintanya dan kulit penjilidnya itupun adalah “qadim” dan “azali”.
Jikalau pendirian serupa itu makin meluas dalam kalangan Awwam niscaya
akibatnya akan lebih “menyesatkan” lagi. Justru karena itulah Al Imam Ahmad ibn
Hanbal itu, yang telah dibebaskan tahadinya oleh Khalif Al Muktashim, ditangkap
kembali dan ditahan atas perintah Khalif Al Watsiq.
Sewaktu Khalif al Watsiq wafat pada tahun 232 H/847 M dan Khalif Al Mutawakil
naik menggantikannya maka ia pun bertindak membatalkan Al Mihnat, yakni
pemeriksaan keyakinan pejabat-pejabat kehakiman dan para pemuka Agama
mengenai Al Qur’an sebagai “kalam Allah”itu. Sejalan dengan itu iapun mengeluarkan
perintah kepada Gubernur Ibukota Baghdad bagi pembebasan Al Imam Ahmad ibn
Hanbal dari tahanannya.
Hampir seluruh rakyat awwam pada Ibukota itu keluar bagi menyambut
“pahlawan yang berani”itu dan mengelu-elukan kedatangannya. Khalif menyaksikan
suatu kenyataan, dan lalu terpikir, bahwa kenyataan itu akan dapat dimanfaatkannya
bagi memperteguh posisi kekuasaannya.
Khalif Al Mutawakkil mengundang Al Imam Ibn Hanbal beserta para pemuka Al
Muhadditsin ke kota Samarra, ibukota kedua yang megah indah itu, dan lalu
membagi-bagikan anugerah amat dermawan sekali. Dan di situlah Ahmad ibn Hanbal
diatunjuk menjabat Rais Al Muhadditsin yakni mengepalai kalangan Ahli-ahli Hadits
itu.
Dan selanjutnya, demikian Tarikhil-Khulafak halaman 138 karya Ibnu Hajar al
Asqalani, bahwa “Khalif al Mutawakkil menganjurkan supaya memperkembang Al
hadits mengenai sifat-sifat Ilahi dan mengenai “rukyat” (penyaksian)terhadap Allah.
(Wa-Amra-hum bi An-Yuhadditsu bi Ahaditsil Shifati wal Rukyati)....maka Abubakar
ibn Abi-Syaibat mengadakan pertemuan pada Jami-al-Rishafat maka hadir lebih
tigapuluh ribu orang....dan saudaranya mengadakan pertemuan Jami-al-Manshur
maka hadir lebih tigapuluh ribu orang pula...banyaklah doa dan puji-pujian diberikan
terhadap Al Mutawakkil dan bahkan mengagungkan dan membesarkannya berlebih-
lebihan....Iapun memerintahkan Gubernur Mesir mencukur janggut Hakim Tertinggi
( Qadhil-Qudhat) di situ, Abubakar Muhammad ibn Abil Laits (yang melakukan
penyiksaan pada masa-masa Al Mihnat), menjatuhinya hukuman cambuk,
mengaraknya keliling kota di atas keledai, dan perintah tersebut dilaksanakan oleh
Gubernur Mesir. Jabatan Hakim Tertinggi di Mesir itu digantikan oleh Alharits ibn
Mussakin, tokoh penganut mazhab maliki.
Al Mas’udi (wafat 345 H/956 M) di dalam karyanya Murujul Zahbi jilid II halaman
288 menceritakan bahwa “ Setelah khilafat berpindah kepada Al Mutawakkil maka ia
pun memerintahkan supaya menghentikan segala macam diskusi dan dialog.
(Amarabi Tarkil Nazhari wal Mubahatsatil fil Jidali). Menghentikan seluruh macam
kegiatan yang biasa berlangsung pada masa Al Muktashim dan Al Watsiq. Ia pun
memerintahkan oang bamyak supaya Taslim dan Taqlid.(Wa Amara’n-Nasa bil
Taslimi wal Taqlidi).ia pun memerintahkan pemuka-pemuka Ahli hadits supaya
memperbanyak jumlah Al Hadits, (Wa Amara’L Syukukhsl Muhadditsina bil Tahditsi),
supaya menonjol aliran Sunnah-wal-Jamaah”.
Sikap dan pendirian Al Imam Ibn Hanbal sendiri berkeinginan ”memurnikan”
kembali ajaran agama Islam itu seperti pada masa Salaf, yakni masa sahabat-sahabat
Nabi, supaya segala sesuatunya yang tersebut di dalam Al Qur’an itu diterima dengan
penuh kepercayaan (al-Iman) tanpa melakukan pembahasan-pembahsan secara akal
(ratio). Keimanan itu mestilah berlandaskan nurani (intuisi), bukan akal (intelek).
Kenyataan itu pun langsung memperlihatkan pengaruh gerakan Sunni pada
masa pemerintahan khalifah al Mutawakil itu. Gerakan sunni yang lambat laun makin
memuncak kekuasaannya itu, ternyata pada akhirnya, memperlihatkan pula ekses-
ekses yang sangat negatif. Tokoh-tokoh al Muhadditsin yang berkeinginan pula
dipandang pahlawan oleh lapisan Awwam seperti Ahmad ibn Hambal itu, baik pun
dipusat apalagi wilayah-wilayah yang jauh dari pusat, telah menyebabkan pula tidakan
–tidakan yang keras dan bengis terhadap lawan-lawan paham sunni.
Gerakan Sunni pada akhirnya telah ditunggagi oleh ambisi pribadi atau pun
dendam-dendam terhadap masa lalu, sehingga apa yang terjadi pada masa gerakan
Sunni itu lebih dahsyat lagi dari pada yang terjadi pada masa al Mihnat. Sebagai
kaibatnya, bahwa ahli-ahli sejarah mencatat al Mutawakil itu adalah khalif yang paling
lalim. Walau pun demikian orang yang pro pada Sunni menganggap bahwa Sunni
adalah kelompok yang baik di bandingkan Mu’tazilah.
Sekali lagi Sunni sebagai kelopok yang mengedepankan nash dalam landasan
berpikir, bertindak dan berbuat. Kelompok yang mencoba mempengaruhi pemikiran
yang bersebrangan dengan mereka dengan cara yang baik tidak arogan, sarat politis
juga mempengaruhi kekuasaan mutawakil untuk berpertahan dari paham yang
sebelumnya sangat dekat dengan Mu’tazilah. Selain itu Sunni mencoba meluruskan
kembali pemahaman yang mulai menyimpang.
3. Golonga Syi’ah
Kemunculuan syi’ah memang terjadi jauh sebelum daulah Umawiyyah, akan
tetapi pada masa itu syi’ah adalh kelompok yang paling tertekan, ruang gerak mereka
di batasi, sehingga perkembangannya pun tidak signifikan atau mereka melakukan
gerakan secar diam-diam.
Akan tetapi pada awal masa Abbasiyah, Syia’ah seakan kembali mendapat
posisi, keberadaan mereka ikut mendukung berdirinya Daulah Abbasiyah, kelompok
ini bahkan sengaja direkrut untuk melakukan gerakan anti Umayyah. Semenjak
gerakan anti Ummay semakin lancar, rapi dan efektif di bawah pimpinan Ibrahim bin
Muhammad, terutama semenjak meninggalnya Ali bin Abdullah 124 H/742 M. Berhasil
menggalang dukanagan dari golongan Syi’ah. Kelompok Syi’ah mendukung gerakan
yang dilancarkan oleh Ibrahim, karena Imam syia’h ketika itu, Muhammad bin
Abdullah, telah dilantik sebagai khalifah bayangan pertama bagi pemerintahan baru
menggantikan Umayyah. Dengan cara ini, Muhammad bin Abdullah berharap bahwa
dialah nanti yang betul-betul akan menjadi khalifah baru. Apalagi menurut
perhitungannya, tidak sedikit kalangan yang akan medukung dan menerima
Muhammad bin Abdullah ksrena ia keturunan langsung Nabi Muhammad SAW.
Pada masa Khalifah Muatawakil di berlakukan Dekrit Khalifah mengenai non-
Islam dan Syi’ah, seluruh ibu kota dipaksa untuk melaksanakan dekrit tersebut,
mereka di wajibkan mengenakan sejenis baju luar yang khususu sebagai tanda
pengenal. Pada masa Nabi Muhammad sendiri dan masa selanjutnya tidak pernah
diperlakukan hukum serupa.
Dekrit yang di peruntukkan bagi golongan Syi’ah yaitu pada tahun 236 H/851 M.
Dekrit itu memerintahkan penghancuran dan perataan seluruh bangunan-banguna
monumen yang sangat di muliakan kaum Syi’ah dan menjadi tempat ziarah mereka
itu. Termasuk bangunan monumen di Karbela, yang merupakan perlambang Makam
Al Hussain ibn Ali, yang gugur dan menjadi korban di situ tahnun 61 H/682 M pada
masa pemerintahan khalifah Yazid ibn Maawiyah (60-64 H/681-684 M). Bangunan itu
megah dan indah dan terpandang suci oleh kaum Syi’ah. Bangunan tersebut beserta
rumah-rumah yang ada disekitarnya, demikian Muhyaddin Al Khayyat di dalam Tarikh
islami Jilid IV cetakan 1933 halaman 62, dihancurkan dan diratakan dan kemudian di
bajak dan di tanami dan selanjutnya di larang untuk di Ziarahi.
Pada masa Buwaihi (945-1055) ajaran Syi’ah kembali di bebaskan, sebagian
besar orang-orang Buwaihi adalah pengikut Syi’ah. Oleh karena iru sejak menguasai
Pemerintahan, perayaan Syia’ah mulai diadakan, terutama upacara kematian Husein
bin Ali bin Abi Talib (w, 680), cucu Rasulullah SAW yang di bunuh oleh khalifah
Umayyah di Pasang Karbala, setiap tanggal 10 Muharam.
Sepertimana halnya dengan khawarij, maka Syi’ah juga pada mulanya adalah
partai politik, karena yang mendorong lahirnya adalah faktor-faktor politik. Sebagai
suatu partai politik, syi’ah memperkuat pendirian politiknya itu, mereka mencampuri
denganberbagai ajaran agama-ajaran agama, yang kebanyakannya oleh Abdullah bin
Saba siadukan dengan ajaran-ajaran agama Yahudi dan Majusi.
4. Golongan Alawiyah
Golongan Alawiyah adalah sekte dari faham Syi’ah, mereka merupakan
golongan yang telah berjuang dengan sangat lama dan banyak mengalami kesukaran,
tetapi dalam sekejap mata perjuangan mereka berhasil terlepas dari tangan orang
lain, walaupun dibayar dengan darah dan nyawa. Karena itulah mereka bangkit
dengan bersemangat dan menggoncang istana pemerintahan Abbasiyah serta
mencaba meruntuhkannya. Untungnya tapak pemerintahan Abbasiyah itu amat kukuh
dan tak mudah diruntuhkan. Karena itu timbullah pertarungan diantara kedeua
kekuatan tersebut. Golongan Alawiyah terus melakukan pemberontakan dan
perlawanan, sementara golongan Abbasiyah menggunakan seluruh. Tenaga dan
kekuatan menindas dan menekan. Sehingga ahli-ahli sejarah menyebut bahwa
penderitaan golongan Alawiyah akibat kekejaman yang dilakukan oleh golongan
Abbasiyah lebih dari penderitaan sewaktu pemerintahan bani Umaiyyah.
Tokoh-tokoh golongan Alawiyah adalah Mahammad bin Abdullah bn al-Hasan
bin al-Hasan bin Abi bin Abu Talib yang digelar an-Nafsuz-Zakiyah, Ibrahim bin
Abdullah yang memiliki kekuasaan di Basrah kemudian kekuasaannya diperluas
meliputi wilayah Ahwaz dan Wasit, Al-Husain bin Ali al-Hasan bin Ali bin Abu talib ia
berasal dari kalangan kenamaan dan pemimpin Bani Hasyim, Yahya bin Abdullah dia
adalah salah seorang yang berhasil melarikan diri dalam pertempuran Fakh, dan pergi
ke negeri Dailam serta melantik dirinya sebagai khalifah. Di sana kekuatannya kian
bertambah, pengikutnya kian banyak dan datang dari beberapa buah kota.
Perkembangan itu terjadi pada pemerintahan Khalifah Harun al-Rasyid, Idris bin
Abdullah dia adalah orang kedua dapat melarikan diri dari pertempuran di Fakh. Dia
menuju ke negeri Mesir, dan dari sana terus ke Afrika Utara hingga tiba Magribi
(Maroko). Muhammad ad-Dibaj dia adalah Muhammad bin Ja’far as-Sadiq.
Sungguhpun Khalifah al Ma’mun bersikap toleran terhadap golongan Alawiyah dan
memberikan penghargaan kepada mereka, namun Muhammad ad Dibaj telah bangkit
memberontak di Makkah dan mengaku berhak menjadi khalifah di zaman
pemerintahan Khalifah al-Ma’mun itu.
5. Golongan Khawarij
Golongan Khawarij mulai muncul di zaman pemerintahan Abbasiyah yang
pertama, setelah mengalami kekejaman dan keganasan golongan Bani Umayyah.
Golongan Khawarij dikenal sebagai golongan berani mati dan tidak getar pada
pertumpahan darah. Kelompok seperti mereka ini senantiasa menumpas musuh
danmenimbulkan ketakutan di pihak yang menen-tang. Gerakan-gerakan muncul dari
masa kemasa disepanjang zaman pemerintahan Abbasiyah itu. Di zaman
pemerintahan Khalifah Abu Ja’far al-Mansur, negeri-negri Afrika Utara merupakan
gelanggang bago gerakan-gerakan Khawarij. Umar bin Hafs yang menjadi pegawai
pemerintah di negeri-negeri tersebut da orang-orangnya telah mengalami kesulitan
yang besar dalam upaya melawan golongan Khawari. Begitu juaga penduduk di
negeri-negeri berkenaan mengalami berbagai intevensi dan penindasan dari golongan
tersebut Abu Hatim, seorang pemimpin golongan Khawarij dan pengikut-pengikutnya
telah mengepung kota Qoirawan sehingga keadaan penduduknya semakin sulit,
perbendaharaan negara tidak mempunyai uang lagi untik di belanjakan dan rakyat
semakin kurang mendapatkan bahan makanan . pengepungan itu berjalan selama 8
bulan.
Dizaman Khalifah al-Mahdi meletus suatu pemberontakan di Jazirah
(Semenanjung Arab), di bawah pimpinan Abdus-Salam bin Hasyim al-Yasyqury yang
mana semakin kuat pengaruhnya dan banyak pengikutnya sehingga dapat
menumpas sepasukan tentara yang dipimpin khalifah al-Mahdi serta mem-bunuh
panglimanya. Peristiwa ini telah menyebabkan khalfah al-Mahdi menyiapkan tentara
yang lebih besar di bawah pimpinan Syabib bin Waj untuk menundukkan Abdus-
Salam. Setiap pejuang di dalam angkatan tentara diberi sebanyak 1000 dirham
sebagai bantuan. Angkatan tentara ini telah berhasil mengalahkan tentara
mengalahkan tentara pemberontak dan membunih pemimpinnya.
Kemudian muncul pula suatu pemberontakan Khawarij di Mausil dipimpin oleh
Yasin dari Suku Bani Tamim. Di zaman khalifah Harun ar Rasyid, kaum Khawarij
melancarkan suatu pemberontakan yang hebat di bawah pimpinan seorang lelaki
yang di kenal gagah berani, dan telah berhasi mengembalikan kembali Zaman
kegemilnagan Khawarij, sebagai mana keadaanya semasa pemerintahan bani
Umaiyah. Lelaki itu adalah al-Walid bin Tarif.
6. Golongan Zindiq
Pada mulanya perkataan Zindiq itu sebutan untuk penganut-prnganut ajaran
Mani dan Tsanawi, yaitu penyembah-penyembah cahaya terang dan gelap. Kemudian
pengertiannya menjadi lebih luas dan meliputi setiap mulhid atau pembuat bid’ah.
Kemudian berubah lagi menjadi sebutan untuk pihak yang mazhabnya bertentangan
dengan mazhab ahlus-Sunnah, dan kadang-kadang menjadi sebutan untuk para
penyair dan penulis yang menghayati kehidupan berhibur-hibur dan berfoya-foya
dengan minum khamar, dan akhlak rendah.
Gerakan zindiq ini menjadi pusat perhatian golongan Abbasiyah dan tersebar
luas dikalangan rakyat, sebagaimana dikatakan oleh Khalifah al Mahdi : “ ingatlah
wahai anakku, apabila engkau menjadi khalifah kelakm lemyapkanlah kelompok Mani
karena ia mngajar manusia apa yang di pandang baik dari luar, seperti meninggalkan
perkara=perkara yang buruk, berzahid di dunia, beramal untuk akhirat, kemudaian ia
melampaui batas denganmengaharamkan makan daging serta menyentuh air suci.
Dan seterusnya ia mengarah manusia menyembah dua perkara yaitu cahaya terang
dan gelap. Kemudian ia menghalal kan lelaki mangawini saudara-saudara
perempuannya dan anak-anaknya, bermandi dengan air kencing, menculik anak-anak
tengan jalan, dengan alasan untuk menyelamatkan mereka dari kesesatan di tengah-
tengah gelap kepada hidayat dan pentunjuk cahaya dan terang. Lenyapkanlah
kelompok itu dan perangilah mereka habis-habisan, denganitu engakau akan berada
dekat dengan Allah. Sesunggunya aku bermimpi kakekku Abbas r.a menyerahkan
kepadaku dua bilah pedang untuk membunuh para penyembah cahaya terang dan
gelap itu.
Khalifah al-Mahdi merupakan Khalifah Abbasiyah yang paling kuat menindas
dan menghukum golongan zindiq. Beliau telahmelantik seorang pegawai yang khusus
untuk tujuan ini. Diantara yang menyandang jawatan tersebut adalah Umar al-
Khalwildani dan Muhammad bin Isa Hamadawih yang telah banyak membunuh
orang-orang Zindiq, sebagaimana yang diseutkan oleh Ibnu Atsir.
C. Kesimpulan
Munculnya Daulah Abbasiyah kedalam khzanah sejarah Islam, merupakan
kelanjutan dari khalifah sebelumnya. Walaupun kita tidak bisa mengatakan bahwa
khalifah sebelumnya telah mewariskan tahta kekhalifahan kepada kepemimpinan di
bawahnya. Dalam sejarah Taurist Khilafah (pewarisan kekhalifahan) secara syuro
hanya berjalan pada masa empat khifah Rasulullah yaitu Abubakar, Umar ibn Khattab,
Usman bin Affan dan Ali bin Abi Talib radliallhuanhum, ditambah dengan khilafah yang
jauh dari mereka yaitu Khalifah Umar bin Abdul Aziz, selebihnya menggunakan sistem
pewarisan tahta dan penggulingan.
Termasuk khalifah Abbasiyah ini hadir setelah mereka berhasil menggulingkan
kekuasaan Daulah Umayyah yang telah berkuasa lebih kurang 90 tahun. Penggulingan
terjadi karena dianggap pemeritahan Umayyah sudah tidak layak lagi untuk memimpin
karena telah banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan. Penggulingan yang terjadi
ternyata bukan hanya dilakukan Bani Abbasiyah kepada Bani Umayyah, akan tetapi
juga terjadi di masa Bani Abbasiyah sendiri terjadi penggulingan di antara sesama
mereka. Penggulingan ini disenyalir disebabkan masing-masing ingin berkuasa dan
menjadi khalifah atau ambisi kekuasaan. Untuk mempertahankan kekuasaanya
kebanyakan dari Bani Abbasiyah mengunakan orang-orang non Arab, sehingga
kebijakan ini memicu bemunculannya kelompok non-Arab yang ikut mengendalikan
kekuasaan atau bahkan merebut kekuasaan itu sendiri.
Selain itu masing-masing khalifah di masing-masing periode pemerintahan para
Khalifah di masa Bani Abbas ini mengandeng pula aliran-aliran pemikiran, baik itu
dijadikan sebagai ideologi negara atau hanya sekedar menjadi patner dalam
pemerintahannya, yang mereka difungsikan untuk meng-counter aliran yang
bersebrangan dengan pemerintah atau aliran yang mencoba untuk mengoyang
kekuasaannya. Aliran-aliran pemikiran pernah ada pada masa Daulah Abbasiyah
adalah Mu’tazilah, Sunni (al-Muhaditsin), Syi’ah, Awaliyah, Khawarij, dan Zindiq. Mukin
masih banyak aliran lain yang tidak sempat kami rekam, terdapat di berbagai buku
referensi belum sempat tergali.
D. Penutup
Sebagaimana kesempurnaan itu bukanlah sifat manusia, tetapi sebaliknya
kesahalahan dan khilaf merupakan sifat tidak bisa jauh darinya. Dan kami sadar bahwa
tulisan ini terdapat banyak kekurangan-kekurangan, kami berharap dapat menjadi
inspirasi bagi thalibul ilmi (pencari ilmu) lain untuk menyempurnakan makalah ini
khususnya berkaitan dengan sejarah Daulah Abbasiyah, perkembangan dan aliran
pemikiran yang ada pada masanya. Mudah-mudahan khazanah kita ummat Islam
memahami masalah ini akan lebih baik lagi. Mohon maaf atas segala kekuarangannya
dan kepada Allah kami mohon ampun. Wallahu ‘alam bi showab.
E. Referensi
1. A. Syalabi, Prof.Dr. Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta, Pustaka Husna Baru, 2003
2. A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1993.
3. Amin M. Mansyur, Drs. M.Ag., Sejarah Peradaban Islam. Bandung, Indonesia Spirit
Foundation, 2004
4. Abu Zahra Imam Muhammad, Prof. Dr., aliran Politik dan ‘Aqidah dalam Islam,
Jakarta, Logos Publising House, 1996.
5. Sou’yb Joesoef, Sejarah Daulat Abbasiah II, Jakarta, Bulan Bintang, 1977
6. Sou’yb Joesoef, Sejarah Daulat Abbasiah III, Jakarta, Bulan Bintang, 1978
7. Al ‘Isy Yusuf, Dr. Dinasti Abbasiyah, Jakarta Timur, Pustaka Al-Kautsar, 2007
8. Abdullah Taufik, Prof. Dr. (dkk) Ensiklopedi Tematis Dunia Islam 2 Khilafah, Jakarta,
Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.
9. Abdullah Taufik, Prof. Dr. (dkk) Ensiklopedi Tematis Dunia Islam 4 Pemikiran dan
Peradaban, Jakarta, Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.
10. Azra Azyumardi, Prof. Dr. MA (et.al), Ensiklopedi Islam-cet.4, Jakarta, Ichtiar Baru
Van Hoeven, 1997.