tugas sosial budaya
DESCRIPTION
SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT NELAYAN INDRAMAYUTRANSCRIPT
TUGAS MAKALAH
PENGARUH MASUKNYA AGAMA ISLAM TERHADAP
PERKEMBANGAN KEBIASAAN, ADAT DAN BUDAYA NELAYAN
TRADISIONAL DI PESISIR UTARA JAWA (INDRAMAYU)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai suatu kesatuan sosial, masyarakat nelayan tradisonal hidup, tumbuh, dan
berkembang di wilayah pesisir atau wilayah pantai. Dalam konstruksi sosial
masyarakat di kawasan pesisir, masyarakat nelayan tradisional merupakan bagian
dari konstruksi sosial tersebut, meskipun disadari bahwa tidak semua desa-desa di
kawasan pesisir memiliki penduduk yang bermatapencaharian sebagai nelayan.
Walaupun demikian, di desa-desa pesisir yang sebagian besar penduduknya
bermatapencaharian sebagai nelayan, petambak, atau pembudidaya sumberdaya
perairan lainnya, kebudayaan nelayan berpengaruh besar terhadap terbentuknya
identitas kebudayaan masyarakat pesisir secara keseluruhan (Ginkel, 2007). Baik
nelayan, petambak, maupun pembudidaya perairan merupakan kelompok-
kelompok sosial yang langsung berhubungan dengan pengelolaan sumber daya
pesisir dan kelautan.
Daerah pesisir sangat dinamis dan memiliki keanekaragaman kebiasaan, adat dan
budaya, dalam masyarakat nelayan tradisional. Keanekaragaman ini terjadi karena
perbedaan pengetahuan yang dimiliki oleh nelayan tradisional. Cunha (1997)
mengatakan bahwa kelahiran pengetahuan tradisional nelayan banyak didasari
karakteristik konteks fisik lautan yang mengelilinginya. Pengetahuan ini
diproduksi secara kultural dan diakumulasi melalui pengalaman dan terus menerus
dievalusi dan diciptakan kembali berdasarkan fitur lingkungan laut yang bergerak
dan unpredictable (Baidawi, 2009:1).
Realitas keyakinan masyakarat nelayan bergantung kepada laut, misalnya,
kepercayaan tentang adanya kekuatan luar biasa pada laut yang tidak bisa lepas
dari kehidupan masyarakat nelayan di negeri ini. Praktik keanekaragaman tertentu
yang erat kaitannya dengan masyarakat nelayan terjadi hampir di setiap
masyarakat.
Halaman : 1
Di Indramayu, praktik kebiasaan, adat dan budaya seperti itu juga terjadi. Namun,
sejak berlangsungnya proses penyebaran dan pelembagaan Islam, sebagian besar
masyarakat nelayan memeluk Islam. Dalam sejarah tercatat para wali
menyebarkan Islam menggunakan berbagai instrumen kesenian sehingga yang
lahir kemudian adalah agama Islam yang tercampur dengan tradisi lokal.
Contohnya, Sunan Gunung Djati yang menyebarkan Islam melalui media
kesenian masyarakat setempat. Hal ini menyebabkan terjadinya proses tarik
menarik antara budaya lokal dan budaya luar. Tak jarang, proses ini menghasilkan
dinamika budaya masyarakat setempat. Sehingga di dalam kehidupan masyarakat
pesisir terdapat praktik-praktik sinkretisme dan atau akulturasi budaya, seperti
menjalankan ritual di dalam ajaran Islam, namun masih tetap mempercayai
berbagai keyakinan lokal yang biasanya bertentangan dan dilarang dalam ajaran
agama Islam.
Ritual-ritual tradisi setempat itu diwariskan turun temurun dari leluhur, seperti
pesta laut atau Nadran, membakar kemenyan sebelum melaut, menggunakan
jimat-jimat untuk kesaktian dan sebagainya merupakan beberapa tradisi lokal
yang diyakini oleh para nelayan mampu menambah berkah. Mereka percaya
bahwa ada kekuatan gaib yang, tidak mampu mereka visualisasikan, tapi mereka
meyakininya dalam hati. Untuk itu dalam tulisan ini ingin mengetahui komitmen
beragama masyarakat nelayan yang berada di antara persinggungan agama Islam
dan kebudayaan setempat, serta menelisik lebih jauh tentang respon mereka
terhadap perubahan sosial
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan di atas, penulis tertarik untuk mengetahui :
1. Bagaimana pengaruh ajaran Islam terhadap kebiasaan, adat dan budaya yang
dimiliki masyarakat nelayan di pesisir , khususnya di daerah Indramayu.
2. Bagaimanakah Nelayan Tradisional di Indramayu menyikapi perubahan
sosial? Apakah mempengaruhi komitmen religius mereka atau tidak?
Halaman : 2
C. Ruang Lingkup Masalah
Makalah mengenai kebiasaan, adat dan budaya masyarakat pesisir ini difokuskan
kepada masyarakat nelayan tradisional di Indramayu.
.
D. Tujuan dan Manfaat
Sesuai dengan masalah yang telah dirumuskan di atas, penelitian ini bertujuan
untuk:
1. Mengetahui pengaruh ajaran Islam terhadap kebiasaan, adat dan budaya yang
dimiliki masyarakat nelayan di pesisir , khususnya di daerah Indramayu.
2. Mengungkap sikap kaum nelayan dalam menjalankan ritual agamanya di
tengah arus perubahan masyarakat
Sedangkan manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Memberikan pengetahuan pengaruh ajaran Islam terhadap kebiasaan, adat dan
budaya yang dimiliki masyarakat nelayan di pesisir , khususnya di daerah
Indramayu
2. Memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan potensi sumber
daya masyarakat pesisir, khususnya hubungan antara komitmen agama dan
etos kerja.
3. Memberikan pemahaman alternatif tentang hakikat dan dinamika Islam dalam
masyarakat pesisir Indramayu.
Halaman : 3
BAB II
PERKEMBANGAN ISLAM DI INDRAMAYU
DAN PENGARUHNYA TERHADAP TRADISI NELAYAN
A. Penyebaran dan Kelembagaan
Berdasarkan catatan sejarah Islam masuk ke Indramayu baru sekitar abad ke-15.
Penyebaran Islam di Indramayu tidak lepas dari jasa Pangeran Cakra Buana atau
Walangsungsang atau Mbah Kuwu Sangkan dari Cirebon. Selanjutnya,
penyebaran Islam diteruskan oleh Sunan Gunung Djati, keponakan Pangeran
Cakra Buana.
Sejarah penyebaran Indramayu memang tak lepas dari sejarah penyebaran Islam
di Cirebon. Dalam menjalankan pemerintahannya, Sunan Gunung Djati
menggunakan sistem desentralisasi. Adapun pola kekuasaan Kerajaan Islam
Cirebon menggunakan pola Kerajaan Pesisir, di mana pelabuhan mempunyai
peranan yang sangat penting dengan dukungan wilayah pedalaman menjadi
penunjang yang vital. Program-program yang dijalankan dalam memipin
pemerintahan di Cirebon, menurut Sunarjo (1983) adalah intensitas
pengembangan agama Islam ke segenap penjuru Tatar Sunda, termasuk ke
Indramayu.
Menyadari posisi Cirebon sebagai pusat penyebaran agama Islam, pusat
kekuasaan politik, serta pusat perekonomian yang sangat strategis, maka Sunan
Gunung Djati mempercepat pengembangan kota tersebut. Untuk hal itu, maka ia
menjalin hubungan dengan Kerajaan Islam Pesisir Utara Jawa yaitu Kerajaan
Islam Demak. Dalam berdakwah, Sunan Gunung Djati berkomunikasi dengan
budaya lokal setempat. Ia menggunakan media kesenian, seperti wayang, rudat,
berokan, dan barang. Penyebaran Islam juga dilakukan pada abad ke-19 ketika
sebagian anak-anak Indramayu dimasukkan ke pesantren di Buntet, Kempek,
Cirebon. Hal demikian juga terjadi pada masyarakat pesisir Indramayu. Islam
Halaman : 4
datang melalui wali sanga dan para santri dari Pesantren Kempek Cirebon. Dari
sinilah pergumulan antara tradisi Islam dan tradisi lokal bermula.
B. Komitmen Religius Masyarakat Nelayan Indramayu
Berdasarkan data dan informasi yang diperoleh, kehidupan para nelayan di
Indramayu masih berpegang teguh pada tradisi lokal. Kegiatan keagamaan ( di
Mesjid ) , aktivitas kebiasaan, adat dan budaya masyarakat nelayan dinilai kurang.
Pasalnya, para nelayan lebih banyak menghabiskan aktivitasnya di laut. Selama
satu atau dua bulan mereka melaut secara berkelompok bersama sebagian anggota
keluarga atau kawan-kawannya. Berdasarkan pengalaman berinteraksinya dengan
nelayan dapat dikatakan bahwa komitmen agama Islam pada masyarakat nelayan
belum begitu kuat. Hal ini dapat dilihat dari frekuensi shalatnya, seberapa sering
ia shalat di mesjid, mengaji, dan membantu aktivitas-aktivitas keagamaan lainnya.
Namun, beberapa sudah ada yang rajin melakukan ritual Islam dan
menyekolahkan anak-anaknya di sekolah madrasah. Namun kebanyakan jama’ah
yang shalat Jum’at di mesjid adalah kalangan petani dan sedikit nelayan yang
rajin datang. Beberapa nelayan melakukan shalat lima waktu di atas perahu.
Sebagian ada yang ke mesjid namun belum bisa merepresentasikan tingginya
ketaatan para nelayan terhadap ajaran Islam. Sebaliknya, dalam soal keyakinan,
para nelayan di daerah Limbangan lebih mempercayai kekuatan alam, yaitu
kekuatan laut. Kebiasaan, adat dan budaya masyarakat nelayan lebih tepat disebut
sebagai keyakinan spiritual.
Upacara sedekah laut atau yang biasa disebut Nadran menunjukkan bahwa para
nelayan meyakini akan adanya kekuatan supranatural yang tidak bisa
divisualisasikan, tetapi hanya bisa dirasa. Artinya, kalau mereka tidak
menjalankan pesta laut maka mereka yakin akan banyak perahu yang terbalik
serta kecelakaan di laut lainnya.
Halaman : 5
Sementara itu, dalam soal ketaatan menjalankan ibadah Islam, sebagian besar
nelayan shalat hanya sesempatnya saja karena mereka melaut. Namun
menariknya, jika kapal diterpa angin badai, tak jarang salah mereka (nelayan)
mengumandangkan azan di atas kapal. Hal ini terbilang ironi mengingat di satu
sisi, nelayan rutin mengikuti upacara sedekah laut yang bersifat sinkretik, tapi di
sisi lainnya mereka juga ingat Allah saat maut menghadang.
Dari paparan si atas, dapat disimpulkan bahwa dimensi ideologis masyarakat
nelayan berada di antara persinggungan Islam dan keyakinan mereka terhadap
kekuatan alam yang besar.
Kondisi nelayan yang berbulan-bulan berada di laut, diterpa gelombang, hujan
badai, dan bertaruh nyawa membuat para nelayan sadar bahwa laut menyimpan
suatu kekuatan besar. Kaum nelayan di Indramayu memiliki serangkaian ritual
tradisi lokal sebelum melaut. Mereka biasa bertanya kepada orang pintar kapan
waktu yang pas untuk melaut. Mereka akan tersugesti setelah bertanya pada orang
pintar, begitupun setelah melakukan sedekah laut. Kebiasaan nelayan yang sampai
sekarang sulit dihilangkan adalah meminum minuman keras dan mengunjungi
warung remang-remang selepas melaut selama satu hingga dua bulan. Mereka
sesungguhnya paham bahwa minuman keras dilarang dalam agama Islam, namun
mereka tetap melakukannya dengan alasan miras adalah obat manjur untuk
mengatasi pegal linu.
C. Tradisi Islam di Pesisir Indramayu
Masyarakat pesisir memiliki ciri khas dalam kegiatan-kegiatan upacaranya.
Berbeda dengan masyarakat pedalaman, masyarakat pesisir lebih adaptif terhadap
ajaran Islam (Syam, 2005:165). Namun, terdapat akulturasi budaya Hindu-Budha
yang diwariskan oleh nenek moyang mereka sehingga yang lahir kemudian adalah
sinkretisme atau mencampuradukkan Islam dengan tradisi setempat. Oleh karena
itu, tak jarang ritual-ritual yang ada yaitu perpaduan antara warisan kepercayaan
animisme, Hindu, Budha, dan Islam. Beberapa rangkaian upacaranya diselipkan
Halaman : 6
petikan ayat-ayat al-Qur’an. Berikut merupakan ritual-ritual sakral di pesisir
Indramayu :
1) Nadran atau Pesta Laut
Nadran atau pesta laut merupakan salah satu tradisi yang dilestarikan oleh para
nelayan di tengah berbagai gelombang perubahan dengan caranya tersendiri, baik
dilakukan melalui proses akulturasi, sinkretisme, atau kedua-duanya. Nadran
merupakan hasil akulturasi budaya Islam dan Hindu yang diwariskan sejak
ratusan tahun secara turun-temurun. Kata “nadran” sendiri, menurut para nelayan,
berasal dari kata “nazar” yang dalam agama Islam berarti “pemenuhan janji”.
Adapun inti upacara nadran adalah mempersembahkan sesajen (yang merupakan
ritual dalam agama Hindu untuk menghormati roh leluhurnya) kepada penguasa
laut agar diberi limpahan hasil laut, dan merupakan ritual tolak bala
(keselamatan). Menariknya, upacara ini setiap tahunnya menghabiskan dana
puluhan hingga ratusan juta karena masyarakat pesisir meyakininya sebagai suatu
ritual wajib yang apabila tidak dikerjakan maka akan menimbulkan berbagai
marabahaya.
Ada beberapa rangkaian ritual dalam pesta laut ini. Sewaktu pergelaran tari
Jaipong dilakukan oleh puluhan penari, para juru kunci membakar kemenyan dan
menyiapkan sebutir telur ayam kampung. Sebelum dilarung ke laut, perhau
terlebih dahulu diberkati. Proses dimulai ditandai dengan pelemparan telur ayam
kampung perahu. Perahu yang telah diisi sesajen kemudian dilarung ke laut.
Sesajen yang diberikan oleh masyarakat disebut ancak, yaitu anjungan berbentuk
replika perahu yang berisi kepala kerbau, kembang tujuh rupa, buah-buahan,
makanan khas, dan lain sebagainya.
Sebelum dilepaskan ke laut, ancak diarak terlebih dahulu mengelilingi tempat-
tempat yang telah ditentukan sambil diiringi dengan berbagai suguhan seni
tradisional, seperti tarling, genjring, bouroq, barongsai, telik sandi, jangkungan,
ataupun seni kontemporer. Baru-baru ini kebijakan mengenai Nadran berubah.
Biasanya, Nadran dilakukan setahun sekali, namun karena pihak KUD melihat
nadran yang menghabiskan dana puluhan hingga ratusan juta maka Nadran
Halaman : 7
diadakan menjadi dua tahun sekali. Namun, dalam perjalanannya kebijakan ini
diprotes keras oleh para nelayan karena menurut mereka, kecelakaan laut lebih
banyak terjadi karena ritual nadran diadakan dua tahun sekali. Dari sini tampak
bahwa para nelayan sangat memegang teguh aspek spiritual mereka melalui
penyelenggaraan Nadran. Mereka rela tidak melaut selama satu hingga dua bulan
demi melaksanakan nadran yang menghabiskan dana puluhan hingga ratusan juta.
Penulis melihat fenomena ini sebagai sesuatu yang kontraproduktif. Di satu sisi
para nelayan mati-matian melaut untuk mendapatkan hasil laut sebanyak
mungkin, namun di sisi lain mereka juga rela menghabiskan penghasilan mereka
demi upacara sedekah laut. Kepercayaan mereka terhadap kekuatan laut terbilang
sudah sangat mengakar. Dengan demikian, mereka lebih teguh memegang
komitmen religius yang bersifat sinkretis dibandingkan dengan komitmen mereka
terhadap Islam yang murni.
2) Bertanya Kepada Orang Pintar Sebelum Melaut
Nelayan terkenal dengan tradisinya yang selalu bertanya kepada orang pintar
sebelum membuat perahu, membuat jaring, hingga waktu keberangkatan. Orang
pintar yang dimaksud adalah seseorang yang dianggap “mandi” atau sakti
ucapannya. Mereka diyakini bisa menerawang dan hanya mau terbuka kepada
para nelayan yang hendak meminta petunjuk.
Masing - masing nelayan memiliki cara-cara tersendiri dalam melakukan ritual
ini. Biasanya, setelah membersihkan perahu, dengan ditemani oleh orang pintar
atau paranormal, mereka membakar kemenyan dan membacakan wirid-wirid
tersendiri. Mereka beranggapan bahwa asap dari bakaran itu akan menyampaikan
do’a mereka ke langit. Tujuannya tidak lain adalah untuk ngalap berkah agar hasil
yang diperoleh bisa lebih banyak. Sisi sinkretisme terlihat dari do’a-do’a yang
dipanjatkan. Ritual ini diturunkan turun temurun dari para leluhur dan sulit
dihilangkan karena telah menjadi budaya yang mengakar di kalangan nelayan.
Selain itu pula, do’a membakar kemenyan diambil dari potongan ayat-ayat Al-
Qur’an atau dzikir - dzikir umat Islam pada umumnya. Namun, jumlah dzikirnya
Halaman : 8
memiliki aturan tersendiri. Seperti “subhanallah” yang dibaca seribu kali dan
sebagainya. Masing-masing nelayan memiliki “pakem” tersendiri dalam
melaksanakan ritual ini. Ritual ini tidak bisa sembarangan diperlihatkan ke orang
selain anggota kelompok si nelayan.
Selain itu, nelayan percaya bahwa hal demikian membuat mereka tersugesti dan
etos kerjanya bisa lebih baik. Bila ada satu kelompok yang mendapatkan hasil laut
melimpah maka kelompok lain akan bertanya kepada “dukun” siapa nelayan itu
meminta do’a. Selain dalam soal pekerjaan, bertanya kepada orang pintar juga
dilakukan ketika keluarga nelayan akan melaksanakan hajatan, seperti khitanan
anak, pernikahan, dan waktu keberangkatan putri mereka ketika hendak merantau
bekerja di luar negeri.
Faktanya adalah para nelayan terkadang tidak sungguh-sungguh mengetahui
apakah orang pintar itu memang benar-benar orang pintar. Seorang juragan kapal
mengatakan bahwa ia seringkali “membohongi” para nelayan tentang waktu
melaut, padahal dirinya bukan merupakan orang pintar sungguhan.
Bagaimanapun, menurutnya, para nelayan lebih mudah tersugesti dengan orang-
orang yang sudah terlanjur ia percaya. Bertanya pada orang pintar diharapkan
dapat memperoleh hasil terbaik. Namun, sangat disayangkan sepulang melaut,
banyak di antara nelayan yang menghabiskan uangnya untuk foya-foya, mabuk-
mabukan dan bermain perempuan di warung remang-remang.
3) Menggunakan Jimat Untuk Menguatkan Fisik
Nelayan biasa menggunakan jimat-jimat tertentu ketika bekerja. Jimat tersebut
didapatkan dari orang pintar, seperti secarik kertas bertuliskan al-qur’an gundul
yang dibungkus kain putih (Rajah), batu alam, dan keris. Hal ini juga tak jarang
mereka dapat dari hasil ziarahnya ke Cirebon. Jimat tersebut ditengarai
memberikan kekuatan yang tidak bisa dicerna oleh akal. Misalnya, seorang
nelayan yang diberi jimat batu alam, akan mampu mengangkat hasil laut di
pelabuhan yang bebannya berton-ton. Nelayan biasanya tersugesti dengan hal-hal
semacam ini. Bahkan, beberapa kejadian tidak masuk akal lainnya sering dialami
Halaman : 9
oleh para nelayan berkat jimat tersebut. Contohnya, perahu yang seharusnya
diterjang ombak, terdorong dengan sendirinya ke daratan, atau seorang nelayan
yang sudah tenggelam bisa selamat, sampai ke darat dengan berpegangan pada
sebatang pohon mengambang. Kepercayaan memelihara jimat ini menandakan
bahwa para nelayan lebih memilih menggunakan cara pragmatis untuk
meningkatkan etos kerja.
4) Melekan dan Sambetan
“Melekan” merupakan tradisi nelayan sebelum melaut. Nakhoda kapal berjaga
sepanjang malam, berbaring di atas kapal dengan mata terbuka. Ritual ini biasa
disebut dengan melekan. Di waktu subuh mereka akan berangkat, setelah
sebelumnya melakukan ritual sambetan, yaitu mencipratkan air ke tubuh perahu
sambil mengucapkan dzikir selamatan yang dipetik dari ayat-ayat al-Qur’an. Air
sambetan dibuat dari air ditambah cabe kunyit lalu direbus. Jika mereka gagal,
perahu yang akan disalahkan.
5) Ngalap Berkah ke Makam Wali dan Makam Orangtua
Banyak para nelayan yang meminta berkah ke makam wali di Cirebon, yaitu
makam Sunan Gunung Djati. Mereka biasa berziarah di sana dan memanjatkan
do’a-do’a di depan makam. Wali dalam hal ini diyakini sebagai orang suci atau
seseorang yang memiliki kharisma di masanya. Ziarah ke makam nenek atau
kakek juga menjadi tradisi masyarakat setempat. Mereka biasa menyediakan dan
makan sesajen di samping makam sambil berbicara di depan kuburan siang hari.
Tujuannya adalah meminta restu untuk melakukan serangkaian aktivitas, seperti
anak nelayan yang hendak pergi merantau ke luar negeri sebagai TKW.
6) Sesajen di Perempatan dan Waktu Malam Takbiran
Seperti kebanyakan masyarakat pesisir lainnya, kaum nelayan Indramayu juga
masih mempercayai adanya makhluk halus. Setiap malam takbiran, para keluarga
nelayan bisa menaruh sesajen di suatu ruangan tertentu, seperti nasi, kembang
Halaman : 10
tujuh rupa, buah-buahan, dan lain-lain. Mereka percaya bahwa setiap malam
takbiran, orangtua mereka yang sudah meninggal mengunjungi rumah mereka,
berkumpul di malam takbiran. Sesajen itu kadang dibiarkan hingga membusuk,
kadang juga esok paginya dimakan bersama-sama. Dari sini terlihat sisi
sinkretisme juga karena memanfaatkan momen Lebaran, yaitu hari raya Islam,
sekaligus menyediakan sesajen untuk para orangtua yang sudah meninggal. Ritual
ini tidak pernah ketinggalan dilakukan. Dengan demikian, ada komitmen religius
yang kuat yang diwariskan dari satu generasi ke generasi lain.
Selain malam takbiran, banyak yang masih mempercayai makhluk halus di
perempatan jalan. Biasanya, jika ada anak yang sakit, mereka akan menaruh
sesajen di perempatan jalan dan dibiarkan begitu saja. Namun, semakin zaman
berkembang, sebagian sudah menyadari bahwa pergi ke dokter lebih baik
ketimbang menaruh sesajen di perempatan. Tradisi lokal tersebut berasal dari
tradisi Hindu yang diwariskan oleh generasi tua.
Kemudian, karena dakwah Sunan Gunung Djati lah terjadi sinkretisme. Namun,
menurutnya lagi, tidak bisa semudah itu mengubah tradisi. Setiap individu
memiliki hak untuk meyakini kebenaran menurut dirinya. Dari ritual-ritual yang
dilakukan masyarakat setempat dapat disimpulkan bahwa para nelayan lebih
berkomitmen menjalankan tradisi lokal yang dicampur dengan ajaran Islam.
D. Pengaruh Islam Terhadap Sosial Budaya Masyarakat Nelayan
Di dalam kehidupan ini memang tidak ada sesuatu yang tidak mengalami
perubahan. Salah satu yang juga berubah, meskipun lambat adalah budaya.
Perubahan budaya tentunya tidak hanya menyangkut budaya material, akan tetapi
juga perubahan pada sistem kognitif, sistem tindakan dan simbol-smbolnya
(Syam, 242:2005). Sekalipun masyarakat nelayan Indramayu mengkonstruksi
pandangan Islam dan tradisi lokalnya, ritual-ritual tradisi lokal tersebut ternyata
tidak berakar dari tradisi yang kaku.
Di antara ritual-ritual yang telah disebutkan, beberapa di antaranya terdapat
perubahan.
Halaman : 11
1. Perubahan Budaya: Dari Tradisi Lokal ke Tradisi Islam Lokal
Ritual-ritual yang telah dijelaskan di atas sejatinya dari masa ke masa terus
mengalami perubahan. Pada Upacara Nadran misalnya, bacaan-bacaan yang
dibacakan dipetik dari ayat-ayat al-Qur’an, bukan lagi literatur-literatur Hindu.
Dalang yang memainkannya pun adalah seorang ustad yang pernah naik haji.
Begitupula dengan menaruh sesajen di perempatan, sebagian nelayan di
Indramayu sudah paham bahwa pergi ke puskesmas atau rumah sakit itu lebih
aman, kecuali jika sudah tidak ada jalan lagi, mereka akan pergi ke pengobatan
alternatif.
Sekalipun para nelayan melakukan ritus-ritus sakral yang sinkretis, mereka
menerima dakwah Islam dengan terbuka. Para nelayan tidak berkeberatan jika
anak-anak mereka disekolahkan di sekolah madrasah. Pendirian madrasah dan
mesjid sesungguhnya berkat jasa para elit agama yang berasal dari kalangan NU
dan Muhammadiyah. Perbedaan antara nelayan yang menjalankan agama Islam,
dengan nelayan yang lebih percaya hal-hal sinkretik ketika tahlilal
diselenggarakan akan nampak. Para nelayan yang beraliran sinkretik lebih
memilih untuk diam atau membawakan makanan saja, tapi tidak ikut berdzikir.
NU (Nahdhatul Ulama) sesungguhnya lebih mudah diterima di kalangan nelayan
karena karakteristiknya yang kompromi terhadap tradisi lokal.
2. Pembinaan Nilai Agama Islam Bagi Generasi Penerus
Adanya organisasi keagamaan turut mempengaruhi keadaan masyarakat nelayan,
terutama kesadaran mereka akan pentingnya pendidikan agama bagi anak-anak
mereka. Mereka tanpa dipaksa, menyekolahkan anak-anak mereka ke madrasah
dan bahkan ada yang memasukkannya di pesantren-pesantren Cirebon sehingga
ketika pulang kembali, mereka memberikan pemahaman Islam yang lebih
terhadap orangtua mereka.
Nelayan sudah cukup sadar untuk mengerti pentingnya pendidikan agama di
madrasah-madrasah. Hal ini merupakan langkah awal yang baik untuk
Halaman : 12
mengembalikan komitmen keislaman mereka lewat anak-anak mereka. Jika pola
pikir masyarakat nelayan sulit diubah dan lebih memilih komitmen terhadap
sinkretisme maka para aktor Islam di sana lebih menekankan pendidikan agama
Islam kepada generasi penerusnya.
Dahulu, para nelayan bahkan tidak sampai tamat SD, tetapi sekarang sudah cukup
banyak nelayan yang sadar untuk menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah
umum juga. Walaupun salah satu alasannya terbilang unik, yaitu untuk menjadi
seorang nakhoda kapal, seseorang harus bisa mengerti penunjuk arah atau peta. Di
sekolah umum ini pun ada mata pelajaran agama yang diajarkan kepada anak-
anak nelayan.
Halaman : 13
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari kajian sebelumnya kiranya dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Pertama, Pengaruh ajaran islam terhadap para nelayan tercermin dari frekuensi
mereka dalam menjalankan ajaran agama Islam, adanya simbol-simbol dan
organisasi Islam, serta praktik-praktik di luar Islam yang cenderung ke arah
sinkretisme. Dakwah yang dilakukan oleh para wali di Indramayu
menyebabkan terjadinya akulturasi budaya, yaitu perpaduan dua budaya atau
lebih yang menghasilkan kebudayaan baru namun tetap tidak menghilangkan
cirinya masing-masing. Akibat dari akulturasi Hindu dan Islam inilah akhirnya
menghasilkan percampuran antara Islam dan tradisi lokal. Melalui medan
budaya, pewarisan tradisi silakukan dari generasi ke generasi.
Dari data-data yang ada, nelayan di daerah Indramayu lebih berkomitmen
untuk menjalankan tradisi Islam lokal ketimbang ritual Islam yang murni.
Terbukti dari ritus-ritus yang mereka lakukan, seperti nadran yang
menghabiskan puluhan hingga ratusan juta, menggunakan jimat, ziarah ke
makam wali dan para orangtua yang sudah meninggal, menyediakan sesajen,
serta bertanya kepada orang pintar.
2. Kedua, bahwasanya komitmen religius masyarakat nelayan lahir dari
konstruksi sosial yang dibangun oleh masyarakat nelayan sendiri. Sekalipun di
Indramayu terdapat proses perpaduan antara Islam dan tradisi lokal, namun
tetap Islam belum bisa menyentuh kedalaman budaya lokal yang sudah ada,
tetap berada di luar sebagai suatu keyakinan tersendiri. Itulah mengapa para
tokoh agama lebih fokus ke anak-akan nelayan dalam memberikan asupan
ajaran Islam ketimbang para orangtua yang sudah mengkonstruksi dimensi
ideologisnya sendiri. Dalam proses konstruksi sosial, para nelayan akan
memahami latar sejarah mengapa ada tarik menarik antara tradisi Islam dan
Halaman : 14
tradisi lokal. Aspek ini sejalan dengan religious knowledge (dimensi
intelektual)
B. Saran
Diharapkan ada suatu pemberdayaan bagi masyarakat nelayan dalam soal etos
kerja dan pemahaman terhadap pentingnya pendidikan agama Islam bagi generasi
penerus. Kesadaran beragama menjadi penting karena dengannya masyarakat
dapat mempertahankan nilai dan moral, terlebih di tengah arus perubahan sosial.
Adanya tradisi Islam lokal dan agen-agen elit yang berperan dalam pendidikan
agama diharapkan akan bisa sedikit demi sedikit mengubah ritus-ritus yang
menyebabkan masyarakat nelayan bersikap pragmatis. Menjadi PR bagi para
tokoh agama untuk memberikan pelajaran kepada para nelayan agar tidak lagi
melakukan kegiatan seperti mabuk-mabukan dan berkunjung ke rumah remang-
remang.
Halaman : 15
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Sayuthi. 2002.Metodologi Penelitian Agama.PT Raja Grafindo Persada:
Jakarta
Baidawi, Hanafi.2009.”Konstruksi Kebiasaan, adat dan budaya Masyarakat
Nelayan. Studi Terhadap Ritual Rokat Tase di Desa Branta”. Skripsi
Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Geertz, Clifford.1983.Abangan, Santri, dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa.PT
Djaya Pirusa: Jakarta
Syam, Nur.2005.Islam Pesisir.PT LKIS Pelangi Aksara Yogyakarta: Yogyakarta
Suparlan, Parsudi.2005.Sukubangsa dan Hubungan Antra
Sukubangsa.YPKIK Press: Jakarta
Ginkel, Rob van. 2007. Coastal Cultures: An Anthropology of Fishing and
Whaling Traditions. Apeldoorn: Het Spinhuis Publishers.
http://www.javanologi.info
http://bengkelbudaya.wordpress.com/
Halaman : 16