tugas radiologi

29
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bronchopneumonia merupakan salah satu bagian dari penyakit Pneumonia. Bronchopneumonia adalah suatu infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah dari parenkim paru yang melibatkan bronkus / bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-bercak yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing. Bronchopneumonia adalah peradangan paru, biasanya dimulai di bronkioli terminalis. Bronkiolus terminalis menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-bercak konsolidasi di lobulus yang bersebelahan. Penyakit ini seringnya bersifat sekunder, mengikuti infeksi dari saluran nafas atas, demam pada infeksi spesifik dan penyakit yang melemahkan sistem pertahanan tubuh. Pada bayi dan orang-orang yang lemah, Pneumonia dapat muncul sebagai infeksi primer. Bronkopneumonia merupakan infeksi sekunder yang biasanya disebabkan oleh virus yang masuk ke saluran pernafasan sehingga terjadi peradangan broncus dan alveolus. Inflamasi bronkus ditandai adanya penumpukan sekret, sehingga terjadi 1

Upload: umma-rangkuti

Post on 30-Nov-2015

59 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Bronchopneumonia merupakan salah satu bagian dari penyakit Pneumonia.

Bronchopneumonia adalah suatu infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah dari parenkim

paru yang melibatkan bronkus / bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-bercak

yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda

asing.

Bronchopneumonia adalah peradangan paru, biasanya dimulai di bronkioli terminalis.

Bronkiolus terminalis menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-

bercak konsolidasi di lobulus yang bersebelahan. Penyakit ini seringnya bersifat sekunder,

mengikuti infeksi dari saluran nafas atas, demam pada infeksi spesifik dan penyakit yang

melemahkan sistem pertahanan tubuh. Pada bayi dan orang-orang yang lemah, Pneumonia

dapat muncul sebagai infeksi primer.

Bronkopneumonia merupakan infeksi sekunder yang biasanya disebabkan oleh virus

yang masuk ke saluran pernafasan sehingga terjadi peradangan broncus dan alveolus.

Inflamasi bronkus ditandai adanya penumpukan sekret, sehingga terjadi demam, batuk

produktif, ronchi positif dan mual. Bila penyebaran kuman sudah mencapai alveolus maka

komplikasi yang terjadi adalah kolaps alveoli, fibrosis, emfisema dan atelektasis.

Kolaps alveoli akan mengakibatkan penyempitan jalan napas, sesak napas, dan napas

ronchi. Fibrosis bisa menyebabkan penurunan fungsi paru dan penurunan produksi surfaktan

sebagai pelumas yang berpungsi untuk melembabkan rongga pleura. Emfisema (tertimbunnya

cairan atau pus dalam rongga paru) adalah tindak lanjut dari pembedahan. Atelektasis

mengakibatkan peningkatan frekuensi napas, hipoksemia, acidosis respiratori, pada klien

1

terjadi sianosis, dispnea dan kelelahan yang akan mengakibatkan terjadinya gagal napas.

Secara singkat patofisiologi dapat digambarkan pada skema proses.

1.2. Tujuan

Adapun tujuan pembuatan tinjauan pustaka ini adalah untuk memenuhi tugas

kepaniteraan klinik senior di Departemen Radiologi RSUD Djasamen Saragih P. Siantar.

Dalam tinjauan pustaka ini dibahas tentang definisi, etiologi, insidens, patofisiologi, gejala

klinis, diagnosis, gambaran radiologi dan terapi dari bronchopneumoni.

1.3. Manfaat

Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk:

a.Memberikan informasi pada dokter maupun tenaga kesehatan tentang

Bronchopneumoni serta berbagai hal lain yang berhubungan dengan penyakit ini.

b. Menambah pengetahuan penulis tentang penyakit Bronchopneumoni.

c.Sebagai sumber informasi bagi pihak lain yang ingin melakukan penelitian atau hal lain

yang ada kaitannya dengan penyakit ini.

2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi sistem pernafasan

Struktur dasar jalan nafas telah ada sejak lahir dan berkembang selama neonatus dan

dewasa menjadi sistem bronkhopulmonal. Jalan nafas pada setiap usia tidak simetris. Apabila

dibagi menjadi dua bagian, ada perbedaan bentuk dan jumlah cabang yang tergantung dari

lokasinya. Variasi tersebut menyebabkan implikasi fisiologi yang berbeda. Alur yang berbeda

menyebabkan perbedaan resistensi terhadap aliran udara, sehingga menyebabkan distribusi

udara atau partikel yang terhisap tidak merata. Cabang dari bronkus mengalami pengecilan

ukuran dan kehilangan kartilago, yang kemudian disebut bronkhiolus. Bronkhiolus terminalis

membuka saat pertukaran udara dalam paru-paru.

Jalan nafas dilapisi oleh membran epitel yang berganti secara bertahap dari epitel

kolumner bertingkat bersilia di bronkus menjadi epitel kubus bersilia pada area tempat

pertukaran udara. Sillia berfungsi untuk menghantarkan mukus dari pinggir jalan nafas ke

faring. Sistem transport mukosilier ini berperan penting dalam mekanisme pertahanan paru.

Sel goblet pada trakhea dan bronkhus memproduksi musin dalam retikulum endoplasma

kasar dan apparatus golgi. Sel goblet meningkat jumlahnya pada beberapa gangguan seperti

bronkhitis kronis yang hasilnya terjadi hipersekresi mukus dan peningkatan produksi

sputum. Unit pertukaran udara (terminal respiratory) terdiri dari  bronkhiolus distal sampai

terminal : bronkhiolus respiratorius, duktus alveolaris dan alveoli. 

Alveolus merupakan kantung udara yang berukuran sangat kecil, yang merupakan

tempat pertukaran gas. Terdapat >150juta alveoli pada setiap paru sehingga memberi bentuk

pada paru seperti spons dan dikelilingi banyak kapiler darah. Pada alveoli terdapat pula

3

makrofag alveolar yang memfagositosis partikel atau bakteri yang masuk ke permukaan paru-

paru. Terdiri dari 3 jenis yaitu :

Tipe 1(sel alveolar) yang membentuk dinding alveoi

Tipe 2 (sel septa) yang mengsekresikan surfaktan

Tipe 3 yang merupakan makrofag yang berfungsi sebagai sel fagositosis.

Paru-paru adalah organ berbentuk pyramid seperti spons dan berisi udara,terletak didalam

rongga toraks. Paru kanan terdiri dari 3 lobus dan 10 segmen yaitu :

a. Lobus superior

Apeks

Posterior

Anterior

b. Lobus anferior

Superior

Basal lateral

Basal medial

Basal posterior

c. Lobus medial

Lingular inferior

Lingular superior

Paru kiri terdiri dari 2 lobus dan 9 segmen yaitu:

a. Lobus superior: apeks, anterior,lingular,superior,lingular inferiol

b. Lobus inferior : apeks,basal medial,basal posterior,basal anterior dan

basal lateral.

Pada paru-paru terdapat pleura-pleura yaitu

pleura parentalis yang melapisi ronga dada.

Pleura viseralis yang menyelubungi setiap paru

Terdapat cairan setiap pleura yang berfungsi untuk:

Mempermudah gerakan kedua permukaan selama pernapasan dan sebagai

pemisah antara paru dan rongga dada.

Sebagai pelumas. Pada orang normal berkisar antara 10-20ml.

4

2.2. DEFENISI

Bronchopneumonia merupakan salah satu bagian dari penyakit Pneumonia.

Bronchopneumonia adalah suatu infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah dari parenkim

paru yang melibatkan bronkus/bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-bercak

yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda

asing.

Bronchopneumonia adalah peradangan paru, biasanya dimulai di bronkioli terminalis.

Bronkiolus terminalis menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-

bercak konsolidasi di lobulus yang bersebelahan. Penyakit ini seringnya bersifat sekunder,

mengikuti infeksi dari saluran nafas atas, demam pada infeksi spesifik dan penyakit yang

5

melemahkan sistem pertahanan tubuh. Pada bayi dan orang-orang yang lemah, Pneumonia

dapat muncul sebagai infeksi primer.

2.3. EPIDEMIOLOGI

Pneumococcus merupakan penyebab utama pneumonia. Pneumococcus dengan serotipe

1 sampai 8 menyebabkan pneumonia pada orang dewasa lebih dari 80%, sedangkan pada

anak ditemukan tipe 14, 1, 6 dan 9.

Angka kejadian tertinggi ditemukan pada usia kurang dari 4 tahun dan megurang

dengan meningkatnya umur. Pneumonia lobaris hampir selalu disebabkan oleh pneumococus,

ditemukan pada orang dewasa dan anak besar, sedangkan bronkopneumonia lebih sering

dijumpai pada anak kecil dan bayi.

2.4. ETIOLOGI

Penyebab bronkopneumonia yang biasa dijumpai adalah :

A. Faktor Infeksi

1. Pada neonatus : Streptokokus grup B, Respiratory Sincytial Virus (RSV).

2. Pada bayi :

Virus : Virus parainfluensa, virus influenza, Adenovirus, RSV, Cytomegalovirus.

Organisme atipikal : Chlamidia trachomatis, Pneumocytis.

Bakteri : Streptokokus pneumoni, Haemofilus influenza,Mycobacterium

tuberculosa, B. pertusis.

3. Pada anak-anak :

Virus : Parainfluensa, Influensa Virus, Adenovirus, RSP

Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia

Bakteri : Pneumokokus, Mycobakterium tuberculosa.

4. Pada anak besar – dewasa muda :

Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia, C. trachomatis

6

Bakteri : Pneumokokus, B. Pertusis, M. tuberculosis.

B. Faktor Non Infeksi.

Terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks esophagus meliputi :

a. Bronkopneumonia hidrokarbon : Terjadi oleh karena aspirasi selama penelanan muntah

atau sonde lambung ( zat hidrokarbon seperti pelitur, minyak tanah dan bensin).

b. Bronkopneumonia lipoid : Terjadi akibat pemasukan obat yang mengandung minyak

secara intranasal, termasuk jeli petroleum. Setiap keadaan yang mengganggu

mekanisme menelan seperti palatoskizis,pemberian makanan dengan posisi

horizontal, atau pemaksaan pemberian makanan seperti minyak ikan pada anak yang

sedang menangis. Keparahan penyakit tergantung pada jenis minyak yang terinhalasi.

Jenis minyak binatang yang mengandung asam lemak tinggi bersifat paling merusak

contohnya seperti susu dan minyak ikan .

Selain faktor di atas, daya tahan tubuh sangat berpengaruh untuk terjadinya

Bronkopneumonia. Menurut sistem imun pada penderita-penderita penyakit yang berat

seperti AIDS dan respon imunitas yang belum berkembang pada bayi dan anak merupakan

faktor predisposisi terjadinya penyakit ini.

2.5. PATOGENESIS

Dalam keadaan sehat pada paru tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme, keadaan

ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru.

Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme penyebab terhisap ke paru

perifer melalui saluran napas menyebabkan reaksi jaringan berupa edema yang

mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman.

Bronchopneumonia selalu didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas yang

disebabkan oleh bakteri staphylococcus, Haemophillus influenzae atau karena aspirasi

makanan dan minuman.

7

Dari saluran pernafasan kemudian sebagian kuman tersebut masuk ke saluran

pernafasan bagian bawah dan menyebabkan terjadinya infeksi kuman di tempat tersebut,

sebagian lagi masuk ke pembuluh darah dan menginfeksi saluran pernafasan dengan

ganbaran sebagai berikut:

1. Infeksi saluran nafas bagian bawah menyebabkan tiga hal, yaitu dilatasi pembuluh darah

alveoli, peningkatan suhu, dan edema antara kapiler dan alveoli.

2. Ekspansi kuman melalui pembuluh darah kemudian masuk ke dalam saluran pencernaan

dan menginfeksinya mengakibatkan terjadinya peningkatan flora normal dalam usus,

peristaltik meningkat akibat usus mengalami malabsorbsi dan kemudian terjadilah diare yang

beresiko terhadap gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.

(Soeparman, 1991)

Dalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme,

keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru. Terdapatnya bakteri di

dalam paru merupakan ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, sehingga

mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya infeksi penyakit. Bila

pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan nafas sampai ke

alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan sekitarnya.

Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses peradangan yang meliputi

empat stadium, yaitu :

A. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti)

Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung

pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan

permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-

mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan.

8

Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga

mengaktifkan jalur komplemen.

Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot

polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan

perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan

edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus

meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan

gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi

oksigen hemoglobin.

B. Stadium II (48 jam berikutnya)

Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat

dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari reaksi peradangan.

Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan

cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium

ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium

ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.

C. Stadium III ( 3 – 8 hari).

Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi

daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang

cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai

diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi

pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.

9

D. Stadium IV (7 – 11 hari)

Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan

mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan

kembali ke strukturnya semula.

2.6. GEJALA KLINIS

Bronchopneumonia biasanya di dahului oleh infeksi saluran napas bagian atas selama

beberapa hari. Suhu dapat naik sangat mendadak sampai 39 – 400 C dan mungkin disertai

kejang demam yang tinggi. Anak megalami kegelisahan, kecemasan, dispnoe pernapasan.

Kerusakan pernapasan diwujudkan dalam bentuk napas cepat dan dangkal, pernapasan

cuping hidung, retraksi pada daerah supraclavikular, ruang-ruang intercostal, sianosis sekitar

mulut dan hidung, kadang-kadang disertai muntah dan diare. Pada awalnya batuk jarang

ditemukan tetapi dapat dijumpai pada perjalanan penyakit lebih lanjut, mula-mula batuk

kering kemudian menjadi produktif.

Pada bronkopneumonia, pemeriksaan fisik tergantung dari pada luas daerah yang

terkena. Pada perkusi toraks sering tidak ditemukan kelainan. Pada auskultasi mungkin

terdengar ronki basah nyaring halus – sedang.

Bila sarang bronkopneumonia menjadi satu (konfluens), mungkin pada perkusi

terdengar keredupan dan suara pernapasan pada auskultasi terdengar mengeras. Pada stadium

resolusi, ronki terengar lagi. Tanpa pengobatan biasanya penyembuhan dapat terjadi sesudah

2 – 3 minggu.

2.7. DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan :

1. Gejala klinis

Bronchopneumonia biasanya di dahului oleh infeksi saluran napas bagian atas selama

beberapa hari. Suhu dapat naik sangat mendadak sampai 39 – 400 C dan mungkin disertai

10

kejang demam yang tinggi. Anak megalami kegelisahan, kecemasan, dispnoe pernapasan.

Kerusakan pernapasan diwujudkan dalam bentuk napas cepat dan dangkal, pernapasan

cuping hidung, retraksi pada daerah supraclavikular, ruang-ruang intercostal, sianosis sekitar

mulut dan hidung, kadang-kadang disertai muntah dan diare. Pada awalnya batuk jarang

ditemukan tetapi dapat dijumpai pada perjalanan penyakit lebih lanjut, mula-mula batuk

kering kemudian menjadi produktif.

Pada bronkopneumonia, pemeriksaan fisik tergantung dari pada luas daerah yang

terkena. Pada perkusi toraks sering tidak ditemukan kelainan. Pada auskultasi mungkin

terdengar ronki basah nyaring halus – sedang.

Bila sarang bronkopneumonia menjadi satu (konfluens), mungkin pada perkusi

terdengar keredupan dan suara pernapasan pada auskultasi terdengar mengeras. Pada stadium

resolusi, ronki terengar lagi. Tanpa pengobatan biasanya penyembuhan dapat terjadi sesudah

2 – 3 minggu.

2. Pemeriksaan fisik

Dalam pemeriksaan fisik penderita bronkhopneumoni ditemukan hal-hal sebagai

berikut :

a. Pada setiap nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal, suprasternal, dan

pernapasan cuping hidung. 

b. Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang simetris.

c. Pada perkusi tidak terdapat kelainan

d. Pada auskultasi ditemukan crackles (Ronkhi basah) sedang nyaring.

3. Pemeriksaan laboratorium

1. Gambaran darah menunjukkan leukositosis, biasanya 15.000 – 40.000/ mm¬¬¬3 dengan

pergeseran ke kiri. Jumlah leukosit yang tidak meningkat berhubungan dengan infeksi

virus atau mycoplasma.

11

2. Nilai Hb biasanya tetap normal atau sedikit menurun.

3. Peningkatan LED.

4. Kultur dahak dapat positif pada 20 – 50% penderita yang tidak diobati. Selain kultur

dahak, biakan juga dapat diambil dengan cara hapusan tenggorok (throat swab).

5. Analisa gas darah( AGDA ) menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia. Pada stadium lanjut

dapat terjadi asidosis metabolik

4. Gambaran radiologis

a. Pneumonia lobularis (bronkopneumoni)

Merupakan pneumonia yang terjadi pada ujung akhir bronkhiolus yang dapat

tersumbat oleh eksudat mukopuren untuk membentuk bercak konsolidasi dalam lobus.

Gambaran radiologis mempunyai bentuk difus bilateral dengan peningkatan corakan

bronkhovaskular dan infiltrat kecil dan halus yang tersebar di pinggir lapang paru. Bayangan

bercak ini sering terlihat pada lobus bawah. Tampak infiltrate peribronkial yang semi opak

dan inhomogen di daerah hilus yang menyebabkan batas jantung menghilang (silhoute sign).

Tampak juga air bronkogram, dapat terjadi nekrosis dan kavitas pada parenkim paru. Pada

keadaan yang lebih lanjut dimana semakin banyak alveolus yang telibat maka gambaran opak

mnjadi terlihat homogeny.

12

Infectious bronchiolitis and bronchopneumonia: radiographic findings. Posteroanterior chest radiograph shows

poorly defined nodular opacities and foci of consolidation in the right lower lobe. The patient was a 48-year-old

man with Mycoplasma bronchiolitis and bronchopneumonia. (Courtesy of Dr. Atsushi Nambu, Department of

Radiology, University of Yamanashi, Yamanashi, Japan.)

13

14

b. Pneumonia lobaris

Merupakan pneumonia yang terjadi pada seluruh atau satu bagian besar dari lobus

paru dan bila kedua lobus terkena bisa dikatakan sebagai pneumonia lobaris. Pada foto torax

PA posisi erec tampak infiltrate di parenkim paru perifer yang semiopak, homogeny tipis

seperti awan, berbatas tegas, bagian perifer lebih opak di banding bagian sentral. Konsolidasi

parenkim paru tanpa melibatkan jalan udara mengakibatkan timbulnya air bronkogram.

Tampak pelebaran dinding bronkhiolus. Tidak ada volume loss pada pneumonia tipe ini. 

c. Pneumonia interstitial

Merupakan pneumonia yang dapat terjadi di dalam dinding alveolar. Pneumonia

interstitial ditandai dengan pola linear atau retikuler pada parenkim paru. Pada tahap akhir,

dijumpai penebalan jaringan interstitial sebagai densitas noduler yang kecil.

2.8. DIAGNOSIS BANDING

1. Bronchiolitis

2. TBC Paru

3. Atelektasis

4. Abses Paru

2.9. Penatalaksanaan

Tabel pemilihan antibiotika berdasarkan etiologi :

Mikroorganisme antibiotik

Streptokokus dan Stafilokokus M.

Pneumonia

H. Influenza

Klebsiella dan P. Aeruginosa

Penicilin G 50.000-100.000 unit/hari IV atau

Penicilin Prokain 6.000.000 unit/hari IM atau

Ampicilin 100-200 mg/kgBB/hari atau

15

Ceftriakson 75-200 mg/kgBB/hari

Eritromisin 15 mg/kgBB/hari

Kloramfenikol 50-100 mg/kgBB/hari

Sefalosporin

3.0. Pencegahan:

Penyakit bronkopneumonia dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan

penderita atau mengobati secara dini penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya

bronkopneumonia ini.Selain itu hal-hal yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan

daya tahan tubuh kaita terhadap berbagai penyakit saluran nafas seperti : cara hidup sehat,

makan makanan bergizi dan teratur ,menjaga kebersihan ,beristirahat yang cukup, rajin

berolahraga, dll.

Melakukan vaksinasi juga diharapkan dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi

antara lain:

Vaksinasi Pneumokokus

Vaksinasi H. influenza

Vaksinasi Varisela yang dianjurkan pada anak dengan daya tahan tubuh rendah

Vaksin influenza yang diberikan pada anak sebelum anak sakit.

3.1. Komplikasi

Dengan antibiotik komplikasi hampir tidak pernah dijumpai.  Komplikasi yang dapat

dijumpai : Empiema, OMA, lompliasi lain ialah seperti Meningitis, Perikarditis,

Osteomielitis, peritonitis lebih jarang dilihat.

16

3.2. Prognosis

Dengan penggunaan antibiotik yang tepat dan cukup, mortalitas dapat diturunkan

sampai kurang dari 1 %.  Anak dalam keadaan malnutrisi energi protein dan yang datang

terlambat menunjukkan mortalitas yang lebih tinggi.

Pada bronkopneumonia yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus, angka

kesembuhan penderita mengalami kemajuan besar dengan penatalaksanaan sekarang, angka

mortalitas berkisar dari 10 – 30% dan bervariasi dengan lamanya sakit yang dialami sebelum

penderita dirawat, umur penderita, pengobatan yang memadai serta adanya penyakit yang

menyertai.

17

BAB III

KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Pneumonia adalah infeksi saluran pernapasan akut bagian bawah yang mengenai parenkim

paru. Pneumonia pada anak dibedakan menjadi : pneumonia lobaris, pneumonia interstisial,

bronkopneumonia.

Bronkopneumonia adalah peradangan pada parenkim paru yang melibatkan bronkus

bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-bercak.

Bronkopnemonia disebut juga pneumonia lobularis yaitu suatu peradangan pada parenkim

paru yang terlokalisir yang biasanya mengenai bronkiolus dan juga mengenai alveolus di

sekitarnya, yang sering menimpa anak-anak dan balita yang disebabkan bermacam-macam etiologi

seperti bakteri, virus, jamur.

Penatalaksanaannya dengan bed rest dengan pemberian roborantia

( suplemen ),•Perbaiki oksigenasi dengan terapi pernapasan ( oksigen ), Jumlah cairan di

sesuaikan dengan berat badan dan suhu tubuh, Pemberian antibiotic sesuai biakan. Bila

terdapat obstruksi jalan nafas berikan Bronkodilator. Pengobatan terhadap batuk hanya

Simptomatik saja, jika batuk produktif tekan dengan antitusif, Pemberian

analgesik antipiretik untuk menurunkan suhu tubuh, Jika sesak tidak terlalu hebat, dapat

dimulai makanan enteral bertahapmelalui selang NGT dengan feeding drip. Jika sesak

berat maka pasien harus di puasakan.

Penyakit bronkopneumonia dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan

penderita atau mengobati secara dini penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan

terjadinya bronkopneumonia ini.

18

Dengan penggunaan antibiotik yang tepat dan cukup, mortalitas dapat diturunkan

sampai kurang dari 1 %.  Anak dalam keadaan malnutrisi energi protein dan yang datang

terlambat menunjukkan mortalitas yang lebih tinggi.

Pada bronkopneumonia yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus, angka

kesembuhan penderita mengalami kemajuan besar dengan penatalaksanaan sekarang, angka

mortalitas berkisar dari 10 – 30% dan bervariasi dengan lamanya sakit yang dialami sebelum

penderita dirawat, umur penderita, pengobatan yang memadai serta adanya penyakit yang

menyertai.

B. Saran dan kritik

Setelah penulisan makalah ini, kami mengharapkan masyarakat pada umumnya dan

mahasiswa keperawatan pada khususnya mengetahui lebih dalam mengenai Pneumonia

dan Bronkopnemonia. Untuk mencegah komplikasi klien dapat diberikan tambahan

oksigen untuk mempermudah pernafasan . Kepada para ibu yang sedang hamil juga

diharapkan bisa menjaga kesehatan serta nutrisi sehingga penyakit dapat dicegah.

19

DAFTAR PUSTAKA

1. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak, Buku Kuliah kesehatan Anak, Jilid 3, bagian

Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 1997

2. Djojodibroto, darmanto. Respirologi. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 2009.

3. Mansjoer A, Wardhani WI, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Jilid 2, Penerbit Media

Aesculapius FK UI, Jakarta 2000

4. Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Standard Pelayanan Medik Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatra Utara / Rumah Sakit H. Adam Malik, Medan 1995

5. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi Idrus, Setiati S, et all: editor. Buku ajar ilmu penyakit

dalam. Edisi keempat, jilid II. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2007.

6. Ekayuda I, editor. Radiologi Diagnostik. Edisi ke-2. Jakarta: Balai penerbit FKUI.

2009; 100-1.

7. Pusponegoro HD, dkk. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Ikatan Dokter Anak

Indonesia: Jakarta. 2004.

8. Hasan R, dkk. Ilmu Kesehatan Anak. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia:

Jakarta. 2002.

9. Mansjoer A, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia: Jakarta. 2000.

10. Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. Nelson Ilmu Keseha tan Anak. EGC: Jakarta.

2000.

11. Price SA, Wilson LM, 1995,  Pathophysiology: Clinical Concepts of Disease Processes

(Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Prose Penyakit), Edisi 4, Penerbit EGC, Jakarta,

hal: 709-712.

20