tugas kuliah prinsip ilmu lingkungan

8
Tugas Kuliah Prinsip Ilmu Lingkungan Kelebihan dan Kelemahan UU No.32 Tahun 2009 Dibandingkan dengan UU No.32 Tahun 1997 Oleh: Nama : Gideon Yones Masiring Nim : P0302213401 Program Studi Pengelolaan Lingkungan Hidup PascaSarjana Universitas Hasanuddin Makassar 2013

Upload: gide-ordeden

Post on 15-Jul-2015

1.237 views

Category:

Education


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tugas kuliah prinsip ilmu lingkungan

Tugas Kuliah

Prinsip Ilmu Lingkungan

Kelebihan dan Kelemahan UU No.32 Tahun 2009 Dibandingkan dengan UU

No.32 Tahun 1997

Oleh:

Nama : Gideon Yones Masiring

Nim : P0302213401

Program Studi Pengelolaan Lingkungan Hidup

PascaSarjana Universitas Hasanuddin

Makassar

2013

Page 2: Tugas kuliah prinsip ilmu lingkungan

Beberapa perbedaan mendasar dan mencerminkan progresifitas UU No.32

Tahun 2009 Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan Undang-

undang No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup antara lain:

a. Definisi tentang Pencemaran Lingkungan Hidup;

b. Definisi tentang Perusakan Lingkungan Hidup;

c. Instrumen KLHS;

d. Kejelasan kewenangan antara pusat dan daerah

e. Pendayagunaan hukum administrasi, hukum perdata dan hukum pidana;

f. Penegakan hukum terpadu;

PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP

Definisi pencemaran lingkungan dalam Undang-undang No.23 Tahun 1997

yakni “masuk atau dimasukkannya mahkluk hidup, zat, energy dan/atau komponen

lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun

sampai tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi

sesuai peruntukannya;

Definisi pencemaran lingkungan hidup dalam undang-undang No.32 Tahun

2009 adalah : “masuk atau dimasukkannya mahkluk hidup, zat, energy dan/atau

komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga

melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan”

Jika dicermati secara detail, ada perbedaan mendasar tentang definisi

pencemaran lingkungan hidup dalam UU No.23 Tahun 1997 dengan UU No.32

Tahun 2009. Perbedaan tersebut adalah:

1. UU No.23 Tahun 1997 inti dari definisi pencemaran lingkungan hidup adalah

masuk atau dimasukannya mahluk hidup, dll sehingga kualitasnya turun sampai

tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi

sesuai peruntukannya;

2. UU No.32 Tahun 2009 inti dari definisi pencemaran lingkungan hidup adalah

masuk atau dimasukannya mahluk hidup, dll sehingga sehingga melampaui

baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan

Page 3: Tugas kuliah prinsip ilmu lingkungan

Pada UU No.23 Tahun 1997 pengertian “…………sehingga kualitas

lingkungan turun sampai pada tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup

tidak dapat berfungsi sesuai peruntukannya..”

Konsekuensi yang muncul akibat pengertian tidak dapat berfungsi sesuai

peruntukannya menimbulkan multitafsir antara aparat penegak hukum sehingga

hakim menjadi sangat bebas dalam memaknai tentang pencemaran lingkungan

hidup dan berakibat pada banyaknya kasus yang diputus bebas (Vrijspraak) atau

lepas dari segala tuntutan hukum (Oonslaag).

Untuk mengatasi diskresi hakim yang begitu besar dalam memaknai

pencemaran lingkungan hidup maka UU No.32 Tahun 2009 mendefinisikan

pencemaran lingkungan hidup sebagai “…………masuk atau dimasukannya mahluk

hidup dll sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.

Dalam UU No.32 tahun 2009 definisi tentang pencemaran lingkungan hidup

dibatasi pada melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan oleh

pemerintah melalui Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Menteri LH, sehingga

hakim terikat pada criteria yang tetapkan dalam baku mutu lingkungan hidup dan

tidak dapat menafsirkan lain dalam memutuskan suatu perkara.

PERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP

Perbedaan lain adalah definisi tentang perusakan lingkungan hidup, definisi

ini dapat kita lihat sebagai berikut:

Perusakan lingkungan hidup dalam UU No.23 Tahun 1997 adalah tindakan

yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik

dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam

menunjang pembangunan berkelanjutan.

Perusakan lingkungan hidup dalam UU No.32 Tahun 2009 adalah tindakan

orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat

fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui criteria baku

kerusakan lingkungan hidup.

Pemaknaan perusakan lingkungan hidup dalam UU No.23 Tahun 1997 “…….

Yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang

pembangunan berkelanjutan merupakan suatu definisi yang abstrak serta tidak

mempunyai batasan yang jelas. Ini turut memberikan andil untuk hakim bebas

Page 4: Tugas kuliah prinsip ilmu lingkungan

menafsirkan perusakan lingkungan hidup yang pada akhirnya berimplikasi pada

putusan yang tidak berpihak pada lingkungan hidup.

Untuk mengatasi persoalan tersebut maka UU No.32 Tahun 2009

mendefinisikan perusakan lingkungan hidup sebagai “…………tindakan yang

menyebabkan perubahan….sehingga melampaui criteria baku kerusakan lingkungan

hidup”.

Definisi yang rigid dan memberikan batasan yang jelas tentang apa yang

dimaksud dengan perusakan lingkungan hidup membuat hakim tidak bisa

menafsirkan hukum dengan leluasa dan harus terikat pada definisi sebagaimana

yang tercantum dalam UU No.32 Tahun 2009.

INSTRUMEN KLHS

Kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) adalah instrumen baru dalam

undang-undang no.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan. Definisi KLHS adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh,

dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah

menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau

kebijakan, rencana dan/atau program.

Dilihat dari definisi diatas KLHS merupakan suatu upaya preemptive yang

dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah untuk lebih mengintegrasikan

suatu kebijakan, rencana dan/atau program yang berwawasan lingkungan dan

mendukung konsepsi pembangunan berkelanjutan.

KLHS dilaksanakan berdasarkan prinsip:

a. terpadu;

b. berkelanjutan;

c. fokus;

d. transparan;

e. akuntabel;

f. partisipatif; dan

g. iteratif.

Penyusunan kajian lingkungan hidup strategis dilakukan pada daerah atau

wilayah yang berpotensi :

a. meningkatkan risiko perubahan iklim;

Page 5: Tugas kuliah prinsip ilmu lingkungan

b. meningkatkan kerusakan, kemerosotan, atau kepunahan keanekaragaman

hayati;

c. meningkatkan intensitas bencana banjir, longsor, kekeringan, dan/atau

kebakaran hutan dan lahan terutama pada daerah yang kondisinya telah

tergolong kritis;

d. menurunkan mutu dan kelimpahan sumber daya alam terutama pada daerah

yang kondisinya telah tergolong kritis;

e. mendorong perubahan penggunaan dan/atau alih fungsi kawasan hutan

terutama pada daerah yang kondisinya telah tergolong kritis;

f. meningkatkan jumlah penduduk miskin atau terancamnya keberlanjutan

penghidupan (livelihood sustainability) sekelompok masyarakat; dan/atau

g. meningkatkan risiko terhadap kesehatan dan keselamatan manusia

Berbeda dengan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) yang bersifat

insidentil dan kasuistis, Kajian Lingkungan Hidup Strategis bersifat holistic dengan

memadukan hal-hal yang bersifat lintas lembaga, isu dalam sebuah kebijakan,

rencana dan/atau program. Ini dapat dimengerti karena berbagai lembaga

cenderung membuat kebijakan bersifat sektoral. Dan dengan adanya Kajian

Lingkungan Hidup Strategis diharapkan lahir suatu kebijakan yang memadukan

unsur ekonomi, social dan lingkungan yang pada akhirnya dapat menyelamatkan

lingkungan.

PENEGAKAN HUKUM PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NO.32 TAHUN 2009

Kelebihan hukum pidana dengan instrumen hukum lain : administrasi,

perdata adalah terletak pada sifat penjeraan. Dimana orang (orang perseorangan

dan/atau badan usaha berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum) akan

ditimpakan pidana atau nestapa atas perbuatannya yang memenuhi unsur pidana

dan mempunyai unsur kesalahan.

Berbeda dengan Undang-Undang No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup yang tidak memuat ancaman minimum terhadap pelaku tindak

pidana lingkungan, dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan

dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah memperkenalkan ancaman hukuman

minimum di samping maksimum.

Page 6: Tugas kuliah prinsip ilmu lingkungan

Jenis Sanksi UU 23/1997 UU 32/2009

PIDANA Minimum Tidak ada 1 tahun

Maksimum 15 Tahun 15 tahun

DENDA Minimum Tidak ada 500 juta rupiah

Maksimum 750 juta rupiah 15 miliar rupiah

Tabel perbandingan jenis sanksi pidana dan denda antara UU 23/1997 dengan UU

32/2009

Tujuan dari pembatasan hukuman minimum adalah hakim “dipaksa” untuk

memvonis suatu perkara tindak pidana lingkungan hidup dengan mengacu pada

batasan minimum sebagaimana yang diatur dalam undang-undang no.32 Tahun

2009. Sehingga diharapkan dari putusan tersebut melahirkan efek jera bagi pelaku

tindak pidana lingkungan hidup.

Selain jenis hukuman minimum yang diatur dalam UU No.32 Tahun 2009, hal

lain yang baru adalah perluasan alat bukti sebagai mana dimuat dalam pasal 96 :

Alat bukti yang sah dalam tuntutan tindak pidana lingkungan hidup terdiri atas:

a. keterangan saksi;

b. keterangan ahli;

c. surat;

d. petunjuk;

e. keterangan terdakwa;dan/atau

f. alat bukti lain, termasuk alat bukti yang diatur dalam peraturan perundang-

undangan.

Alat bukti dalam huruf f merupakan alat bukti baru yang sebelumnya tidak

diatur dalam UU No.23 Tahun 1997. Perluasan alat bukti ini dipandang perlu sebab

motif, alat untuk melakukan kejahatan lingkungan tidak terbatas pada hal-hal yang

konvensional namun juga seiring perkembangan zaman telah maju .

Pengaturan tentang tindak pidana korporasi (baca : perusahaan) merupakan

bukti progresifitas UU No.32 Tahun 2009. Korporasi sebagai subjek

hukum (rechtpersoon) selain daripada manusia(persoonlijk) merupakan pelaku yang

dominan dalam kejahatan lingkungan. Jarang kita melihat, mendengar bahwa

Page 7: Tugas kuliah prinsip ilmu lingkungan

perusakan dan/atau pencemaran dilakukan oleh orang perorang sebab motif orang

melakukan kejahatan lingkungan adalah ekonomi.

Atas dasar itu UU No.32 Tahun 2009 mengatur pidana korporasi dalam pasal 116 :

1) apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama

badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:

a. badan usaha; dan/atau

b. orang yang member perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau

orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana

tersebut.

2) Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan

hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana

dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana

tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri

atau bersama-sama.

Secara teoritis pertanggungjawaban pidana korporasi (corporate criminal

liability) merupakan suatu hal yang telah lama menjadi bahan diskursus. Korporasi

sebagai subjek hukum dapat bertindak secara mandiri dalam melakukan perbuatan

hukum (perjanjian, kontrak, dapat menuntut dan dituntut dipengadilan). Namun

sampai saat ini, konsep pertanggungjawaban pidana oleh korporasi sebagai pribadi

(corporate criminal liability) merupakan hal yang masih mengundang perdebatan.

Banyak pihak yang tidak mendukung pandangan bahwa suatu korporsi yang

wujudnya semu dapat melakukan suatu tindak kejahatan serta memiliki criminal

intent yang melahirkan pertanggungjawaban pidana. Disamping itu, mustahil untuk

dapat menghadirkan di korporasi dengan fisik yang sebenarnya dalam ruang

pengadilan dan duduk di kursi terdakwa guna menjalani proses peradilan.

Secara praktek kesulitan hakim dalam memutuskan suatu perkara dalam

upaya memidanakan korporasi adalah sulitnya mengidentifikasi niat jahat (mens

rea) dan tindakan tertentu yang melanggar hukum(actus reus). Dalam rezim sistem

hukum common law maupun civil law, sangat sulit untuk dapat mengatribusikan

suatu bentuk tindakan tertentu (actus reus atau guilty act) serta membuktikan

unsur mens rea (criminal intent atau guilty mind) dari suatu entitas abstrak seperti

korporasi.

Page 8: Tugas kuliah prinsip ilmu lingkungan

Untuk mengidentifikasi unsur kesalahan (mens rea dan actus reus) dalam

tindak pidana korporasi maka UU No.32 Tahun 2009 menggunakan doktrin Vicarius

liability suatu doktrin yang membebankan suatu tanggung jawab hukum atas

tindakan yang dilakukan oleh orang lain. Doktrin ini juga disebut dengan pengalihan

tanggung jawab. Syarat-syarat agar dapat diterapkan teori ini adalah terjadinya

suatu hubungan kerja atau hubungan yang bersifat kontraktual. Suatu tindakan yang

dilakukan oleh pegawai rendahan dalam sebuah korporasi dan tindakan tersebut

atas perintah dan/atau kebijakan perusahan maka yang dapat dimintai

pertanggungjawaban hukum adalah Direktur dan korporasi. Sedangkan pegawai

rendahan tersebut tidak dapat diminta pertanggungjawaban karena hanya

menjalankan perintah.

Syarat-syarat untuk dapat dipidananya direktur atas tindakan bawahan

adalah dijalankan atau tidak business judgement rule yaitu suatu teori yang sangat

popular untuk menjamin keadilan bagi para direktur yang mempunyai itikad baik.

Penerapan teori ini mempunyai misi utama, yaitu untuk mencapai keadilan,

khususnya bagi para direktur sebuah perusahaan terbatas dalam melakukan suatu

keputusan bisnis.

Tolak ukur agar direksi dapat diminta pertanggungjawaban pidana

adalah pertama, memiliki informasi tentang masalah yang akan diputuskan dan

percaya bahwa informasi tersebut benar Kedua, tidak memiliki kepentingan dengan

keputusan dan memutuskan dengan itikad baik. Ketiga, memiliki dasar rasional

untuk mempercayai bahwa keputusan yang diambil adalah yang terbaik bagi

perusahaan. Sehingga, apabila terbukti bahwa tindakan atau keputusan yang

diambil oleh direktur untuk memberlakukan suatu kebijakan korporasi yang

didasarkan atas business judgment yang tepat dalam rangka meraih keuntungan

sebanyak-banyaknya bagi korporasi, maka apabila ternyata tindakan yang diambil

tersebut menimbulkan kerugian yang melahirkan pertanggungjawaban pidana, tidak

dapat dibebankan pada pribadi pengurus (direksi atau pejabat korporasi lainnya),

tetapi dibebankan pada korporasi. Pertanggungjawaban oleh pengurus hanya

dimungkinkan apabila terbukti terjadi pelanggaran duty of care dan duty of loyalty