tugas kelompok
DESCRIPTION
ajsdfaeiTRANSCRIPT
Latar Belakang Politik Dan Pemerintahan Islam Zaman Nabi Muhammad
Merujuk pada Al Qur’an, Islam tidak menganjurkan pada pemeluknya untuk membentuk
negara, tetapi Islam mengajarkan bagaimana membentuk masyarakat (civil society atau ummat)
dalam merumuskan tatanan masyarakat yang ideal dan beradab. Bentuk pemerintahan dan sistem
politik Islam adalah merupakan konsekuensi sekunder dari civil society. Dalam tatanan
masyarakat sipil, hal yang paling fundamental mempengaruhi perubahan sosial adalah faktor
ekonomi. Faktor ini pula yang mempengaruhi kelahiran agama Islam dalam masyarakat Arab,
bahkan sistem politik yang lahir dalam Islam hanyalah cerminan dari kondisi ekonomi waktu itu.
Agama dan masyarakat Arabia abad ke tujuh mencerminkan realitas-realitas kesukuan
semenanjung ini. Suku-suku Badui mengikuti gaya hidup pastoral dan nomadic dari satu wilayah
ke wilayah lain untuk mencari air dan padang rumput bagi ternak-ternak, domba dan unta
mereka. Bentang daratan ini juga ditandai dengan kota-kota dan desa-desa oasis. Diantara yang
terkemuka adalah Makkah, pusat perdagangan dan jual beli, serta Yatsrib (Madinah) sebuah
perkampungan pertanian yang penting. Sumber-sumber kehidupan utama disini adalah
penggembalaan ternak, pertanian, perdagangan dan penyerobotan. Peperangan antar suku adalah
kegiatan yang sudah berumur lama yang diatur dengan tata-cara dan aturan main yang jelas.
Misalnya, penyerobotan dianggap illegal selama empat bulan suci untuk haji. Tujuan
penyerobotan adalah untuk merampas ternak suku-suku Badui musuhnya dengan korban
minimum. Tujuan akhirnya adalah untuk memperlemah, dan pada akhirnya untuk menyerap
suku-suku mereka dengan kemerosotannya dalam status “dibawah kekuasaan” atau “klien”.
Masyarakat kesukuan Arabia dengan Badui serta etos polities menjadi konteks bagi
lahirnya Islam. Sama pentingnya, periode ini ditandai dengan ketegangan-ketegangan dan
persoalan yang menyertai perubahan dalam sebuah masyarakat tradisional. Sebab ini adalah
periode ketika kota-kota seperti Makkah dan madinah mengalami kemakmuran dan mengalihkan
banyak orang dari kehidupan nomadic ke kehidupan menetap. Munculnya Makkah sebagai pusat
dagang mempercepat awal orde politik, social dan ekonomi yang baru. Kekayaan baru,
munculnya oligarkhi dagang baru dalam suku Quraisy, menajamnya pemisahan antar kelas
social, melebarnya kesenjangan antara kaya dan miskin mengguncang system nilai kesukuan
Arab dan keamanan social sebagai pandangan hidupnya. Kondisi obyektif masyarakat yang
eksploitatif itulah yang menjadi titik tumpu pergerakan Islam yang dibawa oleh Nabi
Muhammad.
POLITIK ISLAM ZAMAN NABI MUHAMMAD
Kebanyakan masyarakat merasa dan mengetahui bahwa hubungan antara agama dan
politik dalam Islam sudah sangat jelas. Yaitu bahwa antara keduanya terkait erat secara tidak
terpisahkan. Agama adalah wewenang pemangku syariah yaitu nabi Muhammad melalui wahyu
dari Tuhan. Sedangkan politik adalah wewenang kemanusiaan, sepanjang menyangkut masalah
teknis structural dan procedural. Dalam hal ini peran ijtihad manusia sangat besar.
Persoalan penting antara bidang agama dan bidang politik (atau bidang duniawi
manapun) ialah bahwa dari segi etis, khususnya dari segi tujuan yang merupakan jawaban atau
pertanyaan “untuk apa” tidak dibenarkan terlepas dari pertimbangan nilai-nilai keagamaan. Atas
dasar adanya pertimbangan nilai-nilai keagamaan itu diharapkan tumbuh kegiatan politik
bermoral tinggi. Inilah makna bahwa politik tidak bisa dipisahkan dari agama. Tetapi dalam
susunan formalnya atau struktur praktis dan teknisnya, politik adalah wewenang manusia melalui
pemikiran rasionalnya. dalam hal inilah politik dapat dibedakan dari agama. Maka dalam segi
structural dan procedural politik itu, dunia islam sepanjang sejarahnya mengenal berbagai variasi
dari masa ke masa dan dari kawasan ke kawasan tanpa satupun dari variasi itu dipandang secara
doctrinal paling absah.
Bentuk Politik dan Pemerintahan di Madinah
Hubungan antara agama dan politik pada zaman Nabi Muhammad terwujud dalam
masyarakat Madinah. Muhammad selama sepuluh tahun di kota hijrah itu telah tampil sebagai
penerima berita suci dan seorang pemimpin masyarakat politik. Dalam menjalankan peran
sebagai seorang nabi, beliau adalah seorang yang tidak boleh dibantah karena mengemban
mandat. Sedangkan dalam menjalankan peran sebagai kepala Negara, beliau melakukan
musyawarah sesuai dengan perintah Tuhan yang dalam musyawarah itu beliau tidak jarang
mengambil pendapat orang lain dan meninggalkan pendapatnya sendiri.
Sejarah mencatat bahwa kota hijrah nabi adalah sebuah lingkungan oase yang subur dan
dihuni oleh orang-orang pagan dari suku utama Aus dan Khazraj, dan juga orang-orang yahudi
dari suku-suku utama bani Nadzir, Bani Qoinuqo, Bani Quraizhah. Kota ini awalnya adalah
bernama Yatsrib lalu diubah oleh nabi menjadi Madinah. Madinah yang digunakan oleh Nabi
untuk menukar nama kota hijrah beliau itu kita menangkapnya sebagai isyarat langsung bahwa
ditempat baru itu hendak mewujudkan suatu masyarakat yang teratur sebagaimana sebuah
masyarakat. Maka sebuah konsep Madinah adalah pola kehidupan social yang sopan, yang
ditegakkan atas dasar kewajiban dan kesadaran umum untuk patuh pada peraturan atau hukum
yang berlaku.
Kalau menganalisis sejarah, system pemerintahan yang dibentuk oleh nabi Muhammad
adalah bercorak system Teodemokratis, disatu sisi tatanan masyarakat harus berdasarkan pada
hukum-hukum yang mana hukum tersebut berdasarkan pada wahyu yang diturunkan oleh Tuhan
dalam menyikapi setiap peristiwa waktu itu. Disisi lain bentuk pemerintahan dan tatanan sosial
dirumuskan lewat proses musyawarah yang dilakukan secara bersama suku-suku yang ada dalam
masyarakat Madinah. Bila dikontekskan dengan system pemerintahan sekarang, bentuk struktur
tatanan pemerintahan terdiri dari Eksekutif, legislatif dan yudikatif. Eksekutif dimana kepala
pemerintahan dipegang oleh Nabi Muhammad, begitupun dalam mahkamah konstitusi dan
hukum semua ditentukan oleh Nabi sebagai pengambil kebijakan selain dalam masalah
menentukan bentuk tatanan masyarakat yang menyangkut pluralitas warga Negara Madinah.
Dalam ranah legislatif, setiap suku yang ada di Madinah mempunyai persamaan hak dalam
menyampaikan pendapat dalam menentukan tatanan social masyarakat seperti dalam
menciptakan konstitusi Piagam Madinah.
Dalam membiayai pemerintahan nabi mengambil zakat (zakat fitrah dan zakat maal)
untuk umat muslim, serta mengambil Jizyah dari non muslim yang ada dalam masyarakat
Madinah. Selain lewat militer, konsolidasi pemerintahan yang dilakukan oleh Nabi juga
menggunakan diplomasi dan lewat perkawinan politik. Sebagai pusat pemerintahan Nabi
menggunakan masjid sebagai ruang publik. Pada awalnya masjid adalah bangunan yang
mengekspresikan cita-cita awal Islam. Batang- batang pohon yang menyangga atap, sebiah batu
menandai kiblat dan Nabi berdiri di salah satu tiang penyangga untuk berkhotbah. Juga terdapat
sebuah halaman tempat umat Islam bertemu dan membiocarakan semua persoalan umat baik
dalam tataran politik, social, militer, dan agama. Muhammad dan istri-istrinya tinggal dibilik-
bilik kecil. Disekeliling halaman. Tidak seperti gereja Kristen yang terpisah dari aktivitas
keduniaan dan hanya digunakan untuk peribadatan, tidak ada kegiatan yang dikecualikan dari
masjid. Dalam visi Al Qur’an tidak ada dikotomi antara yang sakral dan yang profan, antara
agama, politik, seksualitas dan ibadah. Seluruh kehidupan berpotensi menjadi suci dan harus
dibawa kepada kesucian. Tujuannya adalah tauhid (mengesakan), integrasi seluruh kehidupan
dalam satu masyarakat yang akan memberikan perasaan dekat dengan yang satu, yaitu Tuhan.
Bagaimana Nabi Muhammad mempraktikkan Demokrasi dalam menjalankan roda
pemerintahannya? Sudah sering diungkapkan bahwa Muhammad akan selalu berpedoman pada
Al Qur’an dalam memutuskan sesuatu. Akan tetapi apabila ada perkara yang belum diatur dalam
Al Qur’an tidak jarang Nabi mengajak Musyawarah sahabat-sahabatnya. Tentu saja kalau kita
kaitkan dengan konteks Negara modern yang jauh lebih kompleks seperti sekarang, proses
musyawarah yang dijalankan pada zaman Nabi sebenarnya secara secara substantive tidak
berbeda dengan dengan apa yang diperlihatkan dengan proses politik sekarang, yaitu apa yang
kita kenal dengan representative democracy, karena kita juga memahami bahwa Nabi dalam
melakukan musyawarah tidak melibatkan segenap warga masyarakat yang telah memiliki
“political franchise”, akan tetapi musyawarah yang melibatkan para sahabat yang tentu saja
sangat berpengaruh dalam lingkungan masyarakat.
Landasan Politik di Masa Rasulullah
Langkah-langkah Rasulullah dalam memimpin masyarakat setelah hijrahnya ke Madinah,
juga beberapa kejadian sebelumnya, menegaskan bahwa Rasulullah adalah kepala sebuah
masyarakat dalam apa yang disebut sekarang sebagai negara. Beberapa bukti diantaranya:
- Bai’at Aqabah
Pada tahun kesebelas kenabian, enam orang dari suku Khajraz di Yathrib bertemu dengan
Rasululah di Aqabah, Mina. Mereka datang untuk berhaji. Sebagai hasil perjumpaan itu, mereka
semua masuk Islam. Dan mereka berjanji akan mengajak penduduk Yathrib untuk masuk Islam
pula. Pada musim haji berikutnya, dua belas laki-laki penduduk Yathrib menemui Nabi di tempat
yang sama, Aqabah. Mereka, selain masuk Islam, juga mengucapkan janji setia (bai’at) kepada
Nabi untuk tidak menyekutukan Allah, tidak mencuri, tidak berzina, tidak berdusta, serta tidak
mengkhianati Nabi. Inilah Bai’at Aqabah Pertama. Kemudian pada musim haji berikutnya
sebanyak tujuh puluh lima penduduk Yathrib yang sudah masuk Islam berkunjung ke Makkah.
Nabi menjumpai mereka di Aqabah. Di tempat itu mereka mengucapkan bai’at juga, yang isinya
sama dengan bai’at yang pertama, hanya saja pada yang kedua ini ada isyarat jihad. Mereka
berjanji akan membela Nabi sebagaimana membela anak istri mereka, bai’at ini dikenal dengan
Bai’at Aqabah Kedua.
Kedua bai’at ini menurut Munawir Sadjali (Islam dan Tata Negara, 1993) merupakan
batu pertama bangunan negara Islam. Bai’at tersebut merupakan janji setia beberapa penduduk
Yathrib kepada Rasulullah, yang merupakan bukti pengakuan atas Muhammad sebagai
pemimpin, bukan hanya sebagai Rasul, sebab pengakuan sebagai Rasulullah tidak melalui bai’at
melainkan melalui syahadat. Dengan dua bai’at ini Rasulullah telah memiliki pendukung yang
terbukti sangat berperan dalam tegaknya negara Islam yang pertama di Madinah. Atas dasar
bai’at ini pula Rasulullah meminta para sahabat untuk hijrah ke Yathrib, dan beberapa waktu
kemudian Rasulullah sendiri ikut Hijrah bergabung dengan mereka.
- Piagam Madinah
Umat Islam memulai hidup bernegara setelah Rasulullah hijrah ke Yathrib, yang
kemudian berubah menjadi Madinah. Di Madinahlah untuk pertama kali lahir satu komunitas
Islam yang bebas dan merdeka di bawah pimpinan Nabi Muhammad, Penduduk Madinah ada
tiga golongan. Pertama kaum muslimin yang terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar, dan ini
adalah kelompok mayoritas. Kedua, kaum musyrikin, yaitu orang-orang suku Aus dan Kharaj
yang belum masuk Islam, kelompok ini minoritas. Ketiga, kaum Yahudi yang terdiri dari empat
kelompok. Satu kelompok tinggal di dalam kota Madinah, yaitu Banu Qunaiqa. Tiga kelompok
lainnya tinggal di luar kota Madinah, yaitu Banu Nadlir, Banu Quaraizhah, dan Yahudi Khibar.
Jadi Madinah adalah masyarakat majemuk. Setelah sekitar dua tahun berhijrah Rasulullah
memaklumkan satu piagam yang mengatur hubungan antar komunitas yang ada di Madinah,
yang dikenal dengan Piagam (Watsiqah) Madinah.Inilah yang dianggap sebagai konstitusi
negara tertulis pertama di dunia. Piadam Madinah ini adalah konstitusi negara yang berasaskan
Islam dan disusun sesuai dengan syariat Islam.
Peran Rasulullah Sebagai Kepala Negara
- Dalam negeri
Sebagai Kepala Negara, Rasulullah sadar betul akan arti pengembangan sumber daya
manusia, dan yang utama sehingga didapatkan manusia yang tangguh adalah penanaman aqidah
dan ketaatan kepada Syariat Islam. Di sinilah Rasulullah, sesuai dengan misi kerasulannya
memberikan perhatiaan utama. Melanjutkan apa yang telah beliau ajarkan kepada para sahabat di
Makkah, di Madinah Rasul terus melakukan pembinaan seiring dengan turunnya wahyu. Rasul
membangun masjid yang dijadikan sebagai sentra pembinaan umat. Di berbagai bidang
kehidupan Rasulullah melakukan pengaturan sesuai dengan petunjuk dari Allah SWT. Di bidang
pemerintahan, sebagai kepala pemerintahan Rasulullah mengangkat beberapa sahabat untuk
menjalankan beberapa fungsi yang diperlukan agar manajemen pengaturan masyarakat berjalan
dengan baik. Rasul mengangkat Abu Bakar dan Umar bin Khattab sebagai wajir. Juga
mengangkat beberapa sahabat yang lain sebagai pemimpin wilayah Islam, diantaranya Muadz
Bin Jabal sebagai wali sekaligus qadhi di Yaman.
- Luar Negeri
Sebagai Kepala Negara, Rasulullah melaksanakan hubungan dengan negara-negara lain.
Menurut Tahir Azhari (Negara Hukum, 1992) Rasulullah mengirimkan sekitar 30 buah surat
kepada kepala negara lain, diantaranya kepada Al Muqauqis Penguasa Mesir, Kisra Penguasa
Persia dan Kaisar Heraclius, Penguasa Tinggi Romawi di Palestina. Nabi mengajak mereka
masuk Islam, sehingga politik luar negeri negara Islam adalah dakwah semata, bila mereka tidak
bersedia masuk Islam maka diminta untuk tunduk, dan bila tidak mau juga maka barulah negara
tersebut diperangi.
Hubungan Rakyat Dengan Negara
- Peran Rakyat
Dalam Islam sesungguhnya tidak ada dikotomi antara rakyat dengan negara, karena
negara didirikan justru untuk kepentingan mengatur kehidupan rakyat dengan syariat Islam.
Kepentingan tersebut yaitu tegaknya syariat Islam secara keseluruhan di segala lapangan
kehidupan. Dalam hubungan antara rakyat dan negara akan dihasilkan hubungan yang sinergis
bila keduanya memiliki kesamaan pandangan tentang tiga hal (Taqiyyudin An Nabhani, Sistem
Pemerintahan Islam, 1997), pertama asas pembangunan peradaban (asas al Hadlarah) adalah
aqidah Islam, kedua tolok ukur perbuatan (miqyas al ‘amal) adalah perintah dan larangan Allah,
ketiga makna kebahagiaan (ma’na sa’adah) dalam kehidupan adalah mendapatkan ridha Allah.
Ketiga hal tersebut ada pada masa Rasulllah. Piagam Madinah dibuat dengan asas Islam serta
syariat Islam sebagai tolok ukur perbuatan.
Adapun peran rakyat dalam negara Islam ada tiga, pertama melaksanakan syariat Islam
yang wajib ia laksanakan, ini adalah pilar utama tegaknya syariat Islam, yakni kesediaan masing-
masing individu tanpa pengawasan orang lain karena dorongan taqwa semata, untuk taat pada
aturan Islam, kedua, mengawasi pelaksanaan syariat Islam oleh negara dan jalannya
penyelenggaraan negara, ketiga, rakyat berperan sebagai penopang kekuatan negara secara fisik
maupun intelektual, agar menjadi negara yang maju, kuat, disegani di tengah-tengah percaturan
dunia. Di sinilah potensi umat Islam dikerahkan demi kejayaan Islam (izzul Islam wa al
Muslimin).
- Aspirasi Rakyat
Dalam persoalaan hukum syara’, kaum muslimin bersikan sami’ na wa atha’na. Persis
sebagaimana ajaran al Qur’an, kaum muslimin wajib melaksanakan apa saja yang telah
ditetapkan dan meninggalkan yang dilarang. Dalam masalah ini Kepala Negara Islam
menetapkan keputusannya berdasarkan kekuatan dalil, bukan musyawarah, atau bila hukumnya
sudah jelas maka tinggal melaksanakannya saja. Menjadi aspirasi rakyat dalam masalah tasyri’
untuk mengetahui hukum syara’ atas berbagai masalah dan terikat selalu dengannya setiap
waktu. Menjadi aspirasi mereka juga agar seluruh rakyat taat kepada syariat, dan negara
melaksanakan kewajiban syara’nya dengan sebaik-baiknya. Rakyat akan bertindak apabila
terjadi penyimpangan.
Di luar masalah tasyri’, Rasulullah membuka pintu musyawarah. Dalam musyawarah
kada Rasulullah mengambil suara terbanyak, kadang pula mengambil pendapat yang benar
karena pendapat tersebut keluar dari seorang yang ahli dalam masalah yang dihadapi. Dan para
sahabat pun tidak segan-segan mengemukakan pendapatnya kepada Rasulullah, setelah mereka
menanyakan terlebih dahulu apakah hal ini wahyu dari Allah atau pendapat Rasul sendiri.
Penegakkan Hukum
Hukum Islam ditegakkan atas semua warga, termasuk non muslim di luar perkara ibadah
dan aqidah. Tidak ada pengecualian dan dispensasi. Tidak ada grasi, banding, ataupun kasasi.
Tiap keputusan Qadhi adalah hukum syara’ yang harus dieksekusi. Peradilan berjalan secara
bebas dari pengaruh kekuasaan atau siapapun.
Tatanan Ekonomi dalam masyarakat tauhid
Islam lahir pada awal kelahirannya bukan hanya kritik terhadap relijiusitas masyarakat
arab yang menyembah berhala pada waktu itu tetapi merupakan gerakan ekonomi. Islam dengan
Al Qur’an sangat menentang struktur social yang tidak adil dan menindas yang secara umum
melingkupi kota makkah sebagai tempat asal mula Islam. Bagi orang yang memperhatikan Al
Qur’an secara teliti, keadilan untuk golongan masyarakat lemah merupakan ajaran Islam yang
sangat pokok. Al Quran mengajarkan pada umat Islam untuk berlaku adil dan berbuat kebaikan
dan dalam Al Quran keadilan merupakan bagian integral dari ketakwaan. Takwa dalam Islam
bukan Cuma dalam tataran ritualistic namun sangat terkait erat dengan keadilan ekonomi dan
social.
Al Quran bukan saja menentang penimbunan harta (dalam arti tidak disumbangkan untuk
fakir miskin, janda-janda, dan anak yatim) namun juga menentang kemewahan dan tindakan
yang menghambur-hamburkan uang untuk kesenangan diri sementara banyak sekali orang yang
miskin dan membutuhkan. Kedua tindakan tersebut adalah kejahatan dan merusak keseimbangan
social. Maka keadilan didalam Al Quran bukan hanya berarti norma hukum namun juga keadilan
distribusi pendapatan. Keseimbangan social hanya dapat dijaga bila kekayaan social
dimanfaatkan secara merata untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Penumpukan kekayaan dan
penggunaan yang tidak sebagaimana mestinya tidak akan dapat menjaga keseimbangan tersebut
dan akan berujung kehancuran. Jika orang mengkaji Al Quran sebagai sumber ajaran Islam. Ia
akan banyak sekali menjumpai ayat tentang konsep keadilan distributive tersebut. Misalnya ada
ayat yang berbunyi “dan manusia tidak akan mendapatkan kecuali yang diusahakan” (Al Quran
23:84). Ungkapan ini adalah penentangan secara langsung terhadap system kapitalisme karena
yang menjadi pemilik sebenarnya adalah produsen, bukan pemilik alat produksi.
Nabi sangat memperhatikan berbagai malpraktek dalam perdagangan dan perniagaan.satu
penolakan yang tegas adalah penolakan terhadap spekulasi. Sebenarnya sangat banyak masalah
dalam masyarakat industrial atau niaga yang berasal dari praktek-praktek spekulasi yang
membuka jalan untuk meraih keuntungan dengan cepat. Semua praktek ini ditentang tegas dalam
Al Quran. Dilarang menjual buah yang belum masak dan belum dipetik karena tidak diketahui
jumlahnya, juga tidak boleh menjual bayi hewan dalam kandungan, tidak boleh mengurangi dan
melebihkan takaran dalam jual beli, inilah prinsip-prinsip yang perdagangan yang diatur dalam
Islam.
Konsep tauhid dalam Islam bukan hanya berimplikasi pada tataran teologis tentang
pengesaan Tuhan dengan segala tata cara ritualnya, tetapi juga berimplikasi pada tatanan
masyarakat dan secara otomatis berpengaruh pada sistem ekonomi. Dalam Islam mengajarkan
bahwa manusia diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa tujuannya adalah untuk saling
mengenal, dan tidak ada perbedaan stratifikasi social dalam Islam kecuali dalam hal ketakwaan.
Islam menginginkan bentuk system ekonomi sosialistis yang tidak ada kepemilikan alat produksi
mutlak oleh seseorang. Semua praktek yang mengarah pada eksploitasi sesama manusia
termasuk industry dan perniagaan yang tidak adil dianggap sebagai riba. Dakwah Nabi pada
waktu periode Makkah adalah merupakan kritik terhadap system merkantilisme dan akumulasi
kekayaan yang dilakukan oleh elit-elit Quraisy sehingga mengakibatkan hancurnya kode etik
kesukuan yang berasaskan solidaritas dan egalitarianism berganti menjadi system untung rugi
dan eksploitasi.
DAFTAR PUSTAKA
Al Khudhairi, Zainab. 1995. Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun. Bandung: Penerbit Pustaka
An Nabhani, Taqiyuddin. 1997. Sistem Pemerintahan Islam – Doktrin, Sejarah dan Realitas
Empirik (terjemahan). Bangil: Al Izzah
Armstrong, Karen. 2008. Sejarah Islam Singkat. Yogyakarta: Elbanin Media
Engineer, Asghar Ali. 2009. Islam dan Teologi Pembebasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Esposito, John L. 2004. Islam Warna Warni : Ragam Ekspresi Menuju Jalan Lurus. Jakarta:
Paramadina
Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, vol.1, no 1, juli-desember 1998.
Lewis, Bernard Islam. 2002. Liberalisme Demokrasi: Membangun Sinergi Warisan Sejarah,
Doktrin dan Konteks Global. Jakarta: Paramadina
Robinson, Niel. 2001. Pengantar Islam Koprehensif. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru
Toynbee, Arnold. 2007. Sejarah Umat Manusia : Uraian Analitis, Kronologis, Naratif dan
Komparati., Yogyakarta: Pustaka Pelajar