tugas keempat sekaligus uas

24
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM TAHUN 2014 Nama : Brigita P. Manohara NIM : 1406509901 Mata Kuliah : Kriminologi No. Urut Kehadiran : 3 (tiga) Pengajar : Prof. Harkristuti Harkrisnowo,SH, MA,PhD Dr. Eva Achjani Zulfa, SH, MH

Upload: brigita-manohara

Post on 07-Aug-2015

85 views

Category:

Law


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tugas keempat sekaligus uas

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIAPROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM TAHUN 2014

Nama : Brigita P. ManoharaNIM : 1406509901Mata Kuliah : KriminologiNo. Urut Kehadiran : 3 (tiga)Pengajar : Prof. Harkristuti Harkrisnowo,SH, MA,PhD

Dr. Eva Achjani Zulfa, SH, MH

Page 2: Tugas keempat sekaligus uas

BAB I

TERORISME

1. ETIMOLOGI

Terorisme memiliki pengertian sebagai berikut :

penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai

tujuan (terutama tujuan politik); praktik tindakan teror1.

serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror

terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak

tunduk pada tatacara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba

dan target korban jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga sipil2.

dalam kamus hukum, terorisme diartikan sebagai perbuatan jahat yang

umumnya ditujukan sebagai perbuatan jahat yang umumnya ditujukan kepada

negara, yang tujuannya menakut-nakuti orang tertentu, kelompok-kelompok

tertentu ataupun masyarakat tertentu untuk tujuan politik3.

Teror : usaha menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh

seseorang atau golongan4.

Meneror : berbuat kejam (sewenang-wenang dsb) untuk menimbulkan rasa ngeri

atau takut5 .

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa terorisme merupakan

serangan dalam bentuk kekerasan yang terkoordinasi yang bertujuan menimbulkan rasa

takut sehingga tujuan pelaku terorisme dapat tercapai. Dalam menjalankan aksinya para

pelaku teror tidak tunduk pada tata cara peperangan, dengan target korban jiwa acak.

Budi hardiman dalam karangannya menuliskan bahwa teror adalah fenomena

yang cukup tua dalam sejarah, dimana kegiatan yang dilakukan meliputi menakuti,

mengancam, memberi kejutan kekerasan atau membunuh dengan maksud menyebarkan

rasa takut6. Menurut Budi Hardiman, kata teror baru masuk dalam kosakata politis pada

Revolusi Perancis. Kata ini makin mengemuka jelang PD II di awal abad 1930-an,

1 http://artikata.com/arti-354421-terorisme.html, diakses pada sabtu, 29 November 20142 http://id.wikipedia.org/wiki/Terorisme, diakses pada sabtu, 29 November 20143 Andi Hamzah dalam Bachtiar Marpaung, Aspek Hukum Pemberantasan Terorisme di Indonesia dalam JURNAL EQUALITY, Vol. 12 No. 2 Agustus 2007, hal 1224 http://artikata.com/arti-354419-teror.html, diakses pada sabtu, 29 November 20145 Ibid

Page 3: Tugas keempat sekaligus uas

dimana terorisme menjadi teknik perjuangan revolusi7. Pada masa perang dingin, teror

dikaitkan dengan ancaman senjata. Dan di tahun 1970an istilah ini digunakan untuk

beragam kejadian mulai dari bom yang meledak di ruang publik, hingga upaya

memiskinkan masyarakat tertentu8. Budi menambahkan bahwa terorisme adalah

fenomena dalam masyarakatdemokratis dan liberal atau masyarakat yang menuju

transisi kesana9

2. DEFINISI TERORISME

Pada saat ini tidak ada definisi hukum secara universal mengenai istilah

terorisme, hal ini menimbulkan banyak perdebatan mengenai pelaksanaan suatu aturan

kepada suatu hal yang belum jelas definisi hukumnya10. Ada begitu banyak variabel

dalam menentukan dalam pendefinisian terorisme berdasarkan latar belakang,

penggolongan, ciri dasar, bentuk, tujuan, strategi, ciri operasional, bentuk dan ciri

oganisasi dan anggota, pandangan politik, keadaan politik, ruang dan waktu dan lain-

lain11.

Umumnya pendefinisian terorisme beranjak dari asumsi bahwa sejumlah

tindakan kekerasan khususnya menyangkut kekerasan politik (political violance) adalah

justiable dan sebagian lagi adalah unjustiable12.

Muhammad Ali mengutip T.P. Thornton dalam Terror as a Weapon of

Political Agitation (1964) menjelaskan terorisme sebagai sebagai penggunaan teror

sebagai tindakan simbolis yang dirancang untuk mempengaruhi kebijaksanaan dan

tingkah laku politik dengan cara ekstra normal, khususnya dengan penggunaan

kekerasan dan ancaman kekerasan13.

Definisi lain dari terorisme disampaikan dalam buku Kejahatan Terorisme

perspektif Agama, Hak Asasi Manusia dan Hukum, adalah sebagai berikut14 :

6 Dr. Budi Hardiman, Terorisme: Paradigma dan Definisi dalam buku Terorisme, Definisi, Aksi, dan Regulasi, Imparsial, Jakarta, 2003, hal 37 Ibid 8 Ibid9 Dr. Budi Hardiman, Op. Cit hal.410 Bachtiar Marpaung, Aspek Hukum Pemberantasan Terorisme di Indonesia dalam JURNAL EQUALITY, Vol. 12 No. 2 Agustus 2007, hal 12111 Ibid12 Muhammad Ali Syafa’at, Tindak Pidana Teror, Belenggu Baru bagi Kebebasan dalam buku Terorisme, Definisi, Aksi, dan Regulasi, Imparsial, Jakarta, 2003, hal 5913 Ibid14 Drs. Abdul Wahid SH, MA; Sunardi, SH, MH; Muhammad Imam Sidik, SH, Kejahatan Terorisme perspektif Agama, Hak Asasi Manusia dan Hukum, PT. Refika Aditama, Bandung, 2004, hal 24

Page 4: Tugas keempat sekaligus uas

US Central Inteligence Agency (CIA) mendefinisikan terorisme internasional

sebagai terorisme yang dilakukan denagn dukungan pemerintah atau organisasi

asing dan/atau diarahkan untuk melawan negara, lembaga, atau pemerintah asing.

US Federal Bureau of Investigation (FBI) menjelaskan terorisme sebagai

penggunaan kekerasan tidak sah atau kekerasan atas seseorang atau harta untuk

mengintimidasi sebuah pemerintahan, penduduk sipil elemen-elemennya untu

mencapai tujuan sosial atau politik.

US Departements of State and Defense mendeskripsikan terorisme adalah

kekerasan bermotif politik dan dilakuan oleh agen negara atau kelompok

subnasional terhadap sasaran kelompok non kombatan. Biasanya denagn maksud

mempengaruhi audien.

Terorisme sebagai aksi kekerasan untuk tujuan pemaksaan kehendak, koersi,

dan publikasu publik yang memakan korban masyarakat sipil yang tidak berdosa,

menunjukkan hubungan yang sangat erat dengan politik15. Proses teror, menurut E.V

Walter yang ditulis ulang oleh Muhammad Ali dari Terror and Resistance : A Study of

Political Violence with Case Studies of Some Primitif African Communities (1969),

memiliki tiga unsur, ketiganya adalah :

Tindakan atau ancaman kekerasan

Reaksi emosional terhadap ketakuran yang amat sangat dari pihak kroban atau

calon kroban

Dampak sosial yang mengikuti kekerasan atau ancaman kekeraan dan rasa

ketakutan yang muncul kemudian16

Terorisme masuk dalam kekerasan politis (political violence) seperti

kerusuhan, huru hara, pemberontakan, revolusi, perang saudara, gerilya, pembantaian,

dll, namun terorisme tidak selalu politis17. Terorisme politis memiliki ciri sebagai

berikut18 :

a) Merupakan intimidasi yang memaksa

b) Memakai pembunuhan dan penghancuran secara sistematis sebagai sarana untuk

tujuan tertentu

15Sukawarsini Djelantik , Ph.D, Terorisme Tinjauan Psiko-Politis, Peran Media, Kemiskinan dan Keamanan Sosial, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2010, hal 316 Muhammad Ali Syafa’at, Op Cit hal 5917 Dr. Budi Hardiman, ibid18 Ibid

Page 5: Tugas keempat sekaligus uas

c) Korban bukan tujuan, melainkan sarana untuk menciptakan perang urat saraf,

yakni “bunuh satu orang untuk menakuti seribu orang”

d) Target aksi teror dipilih, bekerja secara rahasia namun tujuannya adalah publisitas

e) Pesan aksi itu cukup jelas, meski pelaku tidak selalu menyatakan diri secara

personal

f) Para pelaku kebanyakan dimotivasi idealisme yang cukup keras, misalnya

“berjuang demi agama dan kemanusiaan”. Hardcore kelompok teroris adalah

fanatikus yang siap mati. Teoris tampaknya adalah seorang pribadi narsistis,

dingin secara emosional, asketis, kaku, fanatis. Tipe personalitas ‘prateroris”

cocok denagn gerakan totaliter/ sistem tertutup/ sekte dst.

Maka terorisme politik adalah suatu gejala yang merupakan perpanjangan dari politik

oposisi yang merupakan suatu produk dari proses deligitimasi yang panjang terhadap

tatanan masyarakat atau rezim yang ada, dan proses ini pada awalnya dilakukan hampir

selalu tanpa kekerasan. Kolektivitas teroris seringkali merupakan kelompok elite yang

dikepalai oleh para pemuda terpelajar dari kelas menengah ke atas dan umumnya

mahasiswa atau bahkan jebolan universitas19. Organisasi teroris sendiri selalu bersifat

elitis dengan perekrutan anggota yang sistematis dan pemantauan yang panjang serta

selalu bersifat tertutup dan bergerak ‘di bawah tanah” (rahasia, lebiih merupakan

operasi intelejen kecuali hasilnya). Itu sebabnya secara konseptual perlu dibedakan

antara organisasi teroris denagn pemberontakan20.

Tipologi terorisme yang dirumuskan National Advisory Committe( Komisi Kejahatan

Amerika) dalam The Report of The Task Force of the on Disorders and Terorism

(1996) disampaikan oleh Muladi dan ditulis ulang dalam buku Kejahatan Terorisme

Perspektif Agama, Ham dan Hukum, adalah sebagai berikut21 :

1. Terorisme Politik : perilaku kekerasan dirancang guna menumbuhkan rasa

ketakutan di kalangan masyarakat demi kepentingan politik;

2. Terorisme nonpolitis : mencoba menumbuhkan rasa ketakutan dengan cara

kekerasan, demi kepentingan pribadi, misalnya kejahatan terorganisasi;

3. Quasi terorisme : digambarkan dengan “dilakukan secara insidental, namun

tidak memiliki muatan ideologi tertentu, lebih untuk tujuan pembayaran, contohnya

19 Sukawarsini Djelantik , Ph.D, Op Cit hal 4-520 Ibid21 Drs. Abdul Wahid SH, MA; Sunardi, SH, MH; Muhammad Imam Sidik, SH, Op Cit hal 39-40

Page 6: Tugas keempat sekaligus uas

dalam kasus pembajakan pesawat udara atau penyanderaan dimana pelaku lebih

tertarik pada uang tebusan daripada motivasi politik;

4. Terorisme politik terbatas : diartikan sebagai teroris yang memilki motif politik

dan idiologi, namu lebih ditujukan dalam mengenadalikankeadaan (negara).

Contohnya adalah perbuatan teroris yang bersifat balas dendam (vadetta-type

executions);

5. Terorisme negara atau pemerintahan : suatu negara atau pemerintahan yang

mendasrkan kekuasaannya denagn ketakutan dan penindasan dalam mengendalikan

masyarakatnya.

Tujuan taktis teroritis menurut Budi Hardiman meliputi22 :

Mempublikasikan suatu alasan lewat aksi kekejaman karena hanya lewat aksi

semacam itu publikasi yang cepat dan masif dimungkinkan;

Aksi balas dendan terhaap rekan atau anggota kelompok;

Katalisator bagi militerisasi atau mobilisasi massa;

Menebar kebencian dan konflik komunal;

Mengumumkan musuh atau kambing hitam;

Menciptakan iklim panik massa, menghancurkan kepercayaan publik terhadap

pemerintah dan polisi.

Sementara itu terkait dengan justifikasi aksi terorisme oleh para pelaku berdasarkan hal

berikut ini23 :

Segala cara dibenarkan demi pencapaian tujuan transedental;

Kekerasan ekstrem dianggap bersifat katarsis, memberi rahmat; regeneratif

Pelaku meletakkan aksinya dalam konteks sejarah, dimana aksi itu merupakan

elemen dari hukum sejarah itu sendiri;

Dijelaskan dari perspektif moral kesetimpalan “mata ganti mata, gigi ganti

gigi”;

Aksi teror dipandang sebagai “kejahatan kecil’ dibandingkan dengan ancaman

musuh yang merupakan “kejahatan agung”.

Tipologi terorisme yang ditulis Budi Hardiman mengutip Wilkinson, berdasarkan pada

tujuan dan ciri aksi teroritis adalah sebagai berikut24 :

22 Dr. Budi Hardiman, Op Cit hal 523 Ibid 24 Dr. Budi Hardiman, Op Cit hal 6

Page 7: Tugas keempat sekaligus uas

Tipe Tujuan Ciri-ciri

Terorisme epifenomenal

(teror dari bawah)

Tanpa tujuan khusus, suatu

hasil samping kekerasan

horisontal berskala besar

Tak terencaa rapi, terjadi

dalam konteks perjuangan

yang sengit

Terorisme revolusioner

(teror dari bawah)

Revolusi atau perubahan

radikan atas sistem yang ada

Selalu merupakan fenomena

kelompokk, struktur

kepemimpinan, program,

ideologi, konspirasi, elemen

paramiliter

Terorisme

subrevolusioner (teror

dari bawah)

Motif politis, menekan

pemerintah untuk mengubah

kebijakan atau hukum,

eprang politis dengan

kelompok rival,

menyingkirkan pejabat

tertentu

Dilakukan oleh kelompok

kecil, bisa juga individu,

sulit diprediksi, kadang sulit

dibedakan apakah

psikopatologis atau kriminal

Terorisme represif (teror

dari atas/ terorisme

negara)

Menindas individu atau

kelompok (oposisi) yang

tidak dikehendaki oleh

penindas (rejim otoriter/

totaliter) dengan cara

likuidasi.

Berkembang menjadi teror

massa, ada aparat teror,

polisi rahasia, teknik

penganiayaan, penyebaran

rasa curiga di kalangan

rakyat, wahana untuk

paranoia pemimpin.

Sementara tipologi menurut skala aksi dan organisasinya yaitu :

Terorisme intra-nasional Jaringan organisasi dan aksi terbatas oleh tertorial

negara tertentu

Terorisme internasional a) Diarahkan kepada orang-orang asing dan aset

asing;

b) Diorganisasikan oleh pemerintah atau organisasi

Page 8: Tugas keempat sekaligus uas

yang lebih darioad satu negara;

c) Bertujuan untuk memperngaruhi kebijakan

pemerintah asing

Terorisme transnasional Jaringan global yang mempersiapkan revolusi global

untuk tatanan dunia baru (bagian dari terorisme

internasional yang menjadi radikal)

Jika dilihat dari sejarahnya, tipologi terorisme bisa dibedakan ke dalam beberapa

bentuk, yaitu25 :

1. Bentuk pertama : terdiri atas pembunuhan politik terhadap pejabat

pemerintah yang terjadi sebelum Perang Dunia II

2. Bentuk kedua : terorisme dimulai di Al-jazair di tahun 1950an, dilakukan

oleh FLN yang mempopulerkan “serangan bersifat acak” terhadap masyarakat sipil

yang tida berdosa. Hal ini untuk melawan apa yang mereka (Algerian Nationalist)

sebut sebagai “terorisme negara”. Menurut mereka, pembunuhan dnegna tujuan

untuk mendapatkan keadilan bukanlah soal yang harus dirisaukan, bahkan sasaran

mereka adalah mereka yang tidak berdosa.

3. Bentuk ketiga : bentuk ini muncul di tahun 1960an dan terkenal dengan

istilah “terorisme media”, berupa serangan acak atau random terhadap siapa saja

dengan tujuan publisitas. The Bush Commision (wakil presiden AS, 1986)

menyebut sebagai ‘teater politik”, contoh dari “propaganda by dead.

3. TINDAK PIDANA TEORISME

Terorisme merupakan jelmaan kejahatan sistematik, ibarat kejahatan Dom

Helder Camara seperti dikutip Kejahatan Terorisme perspektif Agama, Hak Asasi Manusia

dan Hukum bahwa yang melahirkan kekerasan baru dan selanjutnya menjelma menjadi

kekuatan iblis yang gelap, yang mendiami sanubari manusia tak bersuara dan mata

hati26. Dalam kaitannya dengan tindak pidana, tindakan teror untuk membedakannya

dengan tindak pidana lain , mesti diperhatikan unsur pentingnya, yaitu27 :

25 Drs. Abdul Wahid SH, MA; Sunardi, SH, MH; Muhammad Imam Sidik, SH, Op Cit, hal 3926 Drs. Abdul Wahid SH, MA; Sunardi, SH, MH; Muhammad Imam Sidik, SH, Op Cit hal 5927 Muhammad Ali Syafa’at, Op Cit hal 61-62

Page 9: Tugas keempat sekaligus uas

a) Unsur pelaku : bisa dilakukan negara, individu, atau kelompok individu, atau

suatu organisasi. Jika dilakukan negara maka dikategorikan pelanggaran HAM

berat.

b) Unsur perbuatan : dilakukan dengan berbagai cara, yang paling sering dilakukan

adalah ancaman kekerasan dan kekerasan kepada seseorang atau keapda banyak

orang secara massal, atau terhadap benda atau bangunan tertentu yang bernilai

strategis.

c) Unsur akibat perbuatan : munculnya ketakutan atau korbvan secara massal.

d) Unsur tujuan : munculnya ketakutan atau korban massal dengan kekerasan atau

ancaman kekerasan adalah memaksa suatu pihak untuk melakukan sesuatu atau

tidak melakukan sesuatu. Biasanya yang menjadi sasaran pemaksaan adalah

negara.

Guna membedakan tindak pidana teror dengan tindak pidana lain, maka mesti

ditetapkan dahulu unsur tindak pidana teror yang berbeda dengan tindak pidana biasa28.

Akibat dari dibutuhkannya unsur pembeda dari unsur pidana lain, maka banyak pihak

menyatakan kalau tindak pidana teror merupakan extra ordinary crime. Tak hanya

melakukan peledakan bom, operasi teroris lainnya terkait dengan kejahatan antara

lain29:

Misi penyanderaan (misalnya penyenderaan pesawat udara), menculik tokoh

politik, membuat barikade

Membunuh tokoh politik (assasination)

Mengancam (threat), dan menyebarkan ancaman kosong (hoaxed)

serangan militer

sabotase

serangan dengan menggunakan senjata nuklir

serangan dengan memakai senjata kimia dan biologis

merampok bank

propaganda

upaya legal untuk mendapatkan pengakuan politik

28 Ibid 29 Sukawarsini Djelantik , Ph.D, Op Cit 192

Page 10: Tugas keempat sekaligus uas

Mengenai pertanggung jawaban pidananya, dapat dikenakan kepada pelaku

perorangan tindak pidana terorisme dengan liability based on fault, sementara untuk

korporasi secara strict liability dan vicarious liability30.

Pengaturan tindak pidana teror meliputi dua aspek, yaitu31 :

pencegahan (anti) : tidak bisa meliputi pendekatan hukum saja, tetapi meliputi

segala aspek kehidupan masyarakat. Merupakan kebijakan yang mengeliminasi

akar motivasi untuk mewujudkan keadilan, pembebasan dari kemiskinan dan

keterbukaan diskursus religius.

pemberantasan (contra) : pemberantasan, pengungkapan, dan penanganan kasus

tindak pidana teror dan pelaku teror (terorist). Berupa penetapan tindakan yang

termasuk dalam tindak pidana teror, prosedur penanganan serta sanksi yang

diterapkan.

Konvensi internasional dan regional yang mengatur tindak pidana teror, adalah sebagai

berikut32 :

International Civil Aviation Organization, Convention on Offences and Certain

other Acts Commited on Board Aircraft. Berlaku mulai 4 Desember 1969.

International Civil Aviation Organization, Convention for the suppression of

Unlawful Seizure of Aircraft. Berlaku mulai 14 Oktober 1971.

International Civil Aviation Organization, conventionfor the Suppression of

Unlawful Acts against the safety of civil aviation. Berlaku pada 26 Januari 1973.

UN, Convention on the Prevention and Punishment of Crimes against

Internationally protected Persons, indluding diplomatic Agents. Berlaku mulai

20 Februari 1977.

UN, International Convention against the Taking of Hostages. Berlaku mulai 3

Juni 1983.

International Atomic Energy Agency, Convention on the Physical protection of

Nuclear Material. Berlaku mulai 8 Februari 1987.

International Civil Aviation Organization, Protocol for the Suppression of

Unlawful Acts of violence at Airports Serving International Civil Aviation

(tambahan poin 3) berlaku mulai 6 Agustus 1989.

30 Drs.Abdul Wahid SH, MA; Sunardi, SH, MH; Muhammad Imam Sidik, SH, Op Cit hal 12231 Ibid hal 63-6432 Ibid hal 64-65

Page 11: Tugas keempat sekaligus uas

International Maritime Organization, Convention for the Suppression of

Unlawful Acts against the safety Maritime Navigation. Berlaku 1 Maret 1992.

International Maritime Organization, Convention for the Suppression of

Unlawful Acts against the safety of Fixed Platforms Located on The Continental

shelf. Berlaku pada 1 Maret 1992.

International Civil Aviation Organization, marking of Plastic Explosive for the

Purpose of detection. Berlaku 21 Juni 1998.

UN, Convention for the Suppression of Terrorist Bombing. Berlaku 23 Mei

2001.

UN, Convention for the Suppression of Financing of Terrorism. Berlaku mulai

10 April 2002.

League of Arab states, Arab Convention on the Suppression of Terrorism.

Diterima 1 Juli 1999 namun bellum berlaku.

Council of Europe, European Convention on the Suppression of Terrorism.

Berlaku mulai 4 Agustus 1978.

Organization of American States, Convention to prevent and Punish the acts of

Terrorism Taking the Fprm of Crime against Persons and Related Extortion that

are of International Significance. Berlaku mulai 16 Oktober 1973.

African Union (formerly Organization of Amfrican Unity), Convention of the

Prevention and Combating of Terrorism. Diterima 14 Juli 1999 namun belum

diterapkan.

South Asian Association for Regional Cooperation, regional Convention on

Suppression of terrorism. Berlaku mulai 22 Agustus 1988.

Commonwealth of Independent States, Treaty on Cooperation among the states

members of the Commonweatlh of independent States inCombating Terorism.

Diterima 4 Juni 1999.

Indonesia baru meratifikasi dua konvensi tentang penyerangan dan tindakan

melawan hukum di pesawat terbang serta menerbitkan Perpu Pemberantasan Tindak

Pidana Terorisme, dan baru mengajukannya dalam draft RUU Pemberantasan Tindak

Pidana Terorisme yang isinya hampir sama dengan Perpu33. Perpu yang dimaksud disini

adalah Perpu Nomor 1 dan 2 tahun 2002 (Perpu No.1 kemudian disahkan emnjadi

Undang-undang No.15 tahun 2003, dan Perpu No.2 disahkan menjadi Undang-undang

33 Ibid hal 67

Page 12: Tugas keempat sekaligus uas

NO.16 tahun 2003), tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Perpu ini

dikeluarkan pasca terjadinya aksi peledakan bom Bali34. Selain itu ada pula Undang-

undang No.15 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme, serta konvensi, resolusi,

dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan denagn terorisme dan upaya

penanggulangannya35.

Rachland Nashidik menjelaskan peraturan mengenai terorisme yang ada perlu

dilakukan amandemen. Ia menyampaikan tiga kritik utama mengenai peraturan

tersebut, yakni :

a) Undang-undang ini tidak membedakan act of terrorism secara tajam dan jelas

dari political dissent. Menurutnya hampir setiap pasal didalamnya tidak disusun

sebagai delik yang ketat sehingga banyak pasal yang multitafsir.

b) Undang-undang ini menabrak general principles of Law karena diizinkan untuk

berlaku retroactive dan bersifat ex-post facto padahal di satu sisi kejahatan ini

merupakan pelanggaran serius terhadap prinsip legalitas yakni prinsip kardinal

dalam buku pidana. Namun disisi lain sebab UU ini hanya berlaku surut

terhadap peristiwa bom Bali maka ia melanggar hak untuk diperlakukan sama di

muka umum.

c) Pasal 26 Undang-undang ini mengizinkan laporan intelejen digunakan sebagai

bukti permulaan bagi kegiatan pro justicia ini emmbuka peluang salah guna

wewenang badan intelejen.

Lebih lanjut Rachland juga menyatakan Inpres No.5 tahun 2002 yang

menetapkan BIN (Badan Intelejen Negara) sebagai koordinator operasi intelejen

menurutnya disusun dengan kerancuan serius yang mengherankan dalam

mendefinisikan oeran dan kewenangan badan intelejen non yudisial36.

Sementara itu dalam Undang-undang nomor 15 tahun 2003 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pada Pasal 5 mengecualikan kegiatan

terorisme terhadap kejahatan motivasi politik. Mengenai delik formil Tindak pidana

34 Todung Mulya Lubis, Masyarakat Sipil dan Kebijakan Negara dalam Terorisme, Definisi, Aksi, dan Regulasi, Imparsial, Jakarta, 2003, hal 7935 Herry Firmansyah, Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia, MIMBAR HUKUM volume 23, Nomor 2, Juni 2011, hal 37836 Ibid

Page 13: Tugas keempat sekaligus uas

terorisme ada pada Pasal 7 sampai denagn Pasal 15 Undang-undang ini37. Lebih

gamblang dijelaskan sebagai berikut38 :

Delik materiil terdapat dalam Pasal 6

Delik formil terdapat dalam Pasal 7 hingga Pasal 12

Delik percobaan

Delik pembantuan

Delik penyertaan terdapat dalam Pasal 13 dan 15

Delik perencanaan terdapat dalam Pasal 14

Kaitannya dengan penyertaan, KUHP mengaturnya di Pasal 55 dan 56. Sementara

mengenai bantuan, Pasal 58 KUHP juga mengaturnya39.

4. TERORISME DI INDONESIA

Pasca terjadinya peristiwa 11 September 2001 di Amerika serikat, aktivitas

para teroris mengalami peningkatan yang signifikan. Muhammad Taufiqurrohman

dalam tulisan Peta Kelompok Teroris Indonesia menjelaskan empat kelompok teroris

Islam yang terkait dengan Jamaah Islamiah yang saat ini beroperasi di Indonesia,

seperti kelompok Noordin M. Top, Poso, Palembang, dan Jamaah As-Shun-Nah40.

Kelompok Noordin M. Top merupakan sempalan dari Jamaah Islamiyah yang

mulai memisahkan diri sejak peristiwa peledakan hotel Marriot tahun 2003.

Pendiriannya dilatarbelakangi perang Irak dan Afganistan yang dikobarkan Amerika

Serikat. Kelompok ini memiliki dua nama yakni Thoifah Muqotilah (pasukan tempur)

dan Tanzim Qoidatu Jihad( nama resmi Al Qaeda). Tujuannya menyerang kepentingan

Ameika serikat sebagai upaya balas dendam41.

Kelompok teroris Poso muncul akibat latar belakang konflik komunal antara

warga muslim dan warga kristen Poso yang terjadi pada tahun 2000. Tujuan awl

memerangi warga kristen Poso namun berkembang menajdi memerangi polisi yang

dipandang sebagai representasi dari penguasa thoghut (kafir), awlnya dipimpin Ustadz

Rian. Dananya berasal darisumbangan bulanan para anggotanya. Berada dibawah

kendali Jamaah Islamiyah42.

37Drs. Abdul Wahid SH, MA; Sunardi, SH, MH; Muhammad Imam Sidik, SH, Op Cit hal 78-7938 Ibid39 Ibid40 Muhammad Taufiqurrohman, Peta Kelompok Teroris Indonesia dalam Sukawarsini Djelantik , Ph.D, Op Cit hal 7341 Ibid42 Ibid

Page 14: Tugas keempat sekaligus uas

Kelompok Palembang berdiri pada tahun 2006 dengan tokohnya Abdurrahman

Taib dan Fajar Taslim serta Sulthon Qolbi alias Ustadz Asadollah. Tergolong baru dan

terkait dengan Jamaah Islamiyah. Latar belakang pendiriannya adalah kebencian para

pemimpin dan anggotanya pada kegiatan Kristenisasi di wilayah Sumatera.

Kegiatannya memberantas kegiatan kristenisasi namun selanjutnya bertujuan

memerangi kaum kafir jauh (Amerika Serikat). Sumber dana dari iuran dan sumbangan

dari pihak luar43.

Kelompok Jamaah As-Sunnah berbasis di Masjid As- Sunnah Bandung, mulai

aktif pada tahun 2000. Dipimpin Amir Jihad yang sekaligus imam Masjid. Kelompok

ini menganut oaham salafiyah. Kegiatannya memerangi orang kafir. Jihad dalam

pandangan kelompok iniadalah qital , perang fisik melawan penguasa murtad. Bekerja

sama denagn JI dalam bidang militer dan dakwah44.

Selain keempat kelompok diatas, ada organisasi besar bernama Jamaah

Islamiyah yang merupakan organisasi teroris Asia tenggara yang berbasis di Indonesia.

JI memiliki sebuah organisasi militer dan divisi yang dikenal deangn nama mantiqi dan

walakahs. JI terkait pula denagn Darul Islam (merupakan pecahannya) atau yang

dikenal dengan nama NII (negara Islam Indonesia). Kegiatannya adalah memerangi

orang kafir karena bercita-cita mendirikan negara Islam yang meliputi sebagian

wilayah Asia tenggara45.

Sejumlah kejadian yang tercatat dilakukan teroris dan dikutip pada tulisan

Bachtiar Marpaung, adalah sebagai berikut46 :

No. Deskripsi Kejadian Waktu Kejadian

1. Peledakan di Gedung Atrium Senen, Jakarta 01-12-1998

2. Peledakan di Plaza Hayam Wuruk, Jakarta 15-04-1999

3. Peledakan di Masjid Istiqlal, Jakarta 1999

4. Peledakan di Gereja (GKPI) Medan 28-05-2000

5. Peledakan di Gereja Katolik Medan 29-05-2000

6. Peledakan di Rumah Dubes Filipina, Jakarta 01-08-2000

7. Peledakan di Gedung Atrium Senen, Jakarta 01-08-2001, 23-04-2001

8. Peledakan di Beberapa Gereja di Malam 2000 dan 2001

43 Ibid44 Ibid45 Nassir Abbas, Sukawarsini Djelantik, Jamaah Islamiyah Profil Organisasi dan epnyelewengan terhadap Ajaran Islam dalam Sukawarsini Djelantik , Ph.D, hal 102-12946 Bachtiar Marpaung, Op Cit 125

Page 15: Tugas keempat sekaligus uas

Natal 9. Peledakan di Kuta Bali 12-10-2002

10. Peledakan di Manado November 2002

11. Peledakan di McDonald Makasar 05-12-2002

12. Peledakan di Hotel JW. Marriot, Jakarta, 05-08-2003

13. Peledakan di depan Kedubes Australia, Jakarta,

09 –09-2004

14. Peledakan bom Bali II 01- 10 - 2005

5. MENGAPA TERORISME LAYAK DIBAHAS

Sebagai tindak pidana khusus, terorisme sangat layak untuk dibahas karena

kejahatan ini merupakan kejahatan sistemik yang dapat mengakibatkan jatuhnya banyak

korban, apalagi korban yang berjatuhan merupakan non-combatan dan tidak berdosa.

Perkembangan terorisme pun dari bahasan-bahasan sebelumnya disampaikan

mengalami peningkatan yang signifikan. Dalam melakukan aksi terornya, kelompok ini

mayoritas bertujuan memperoleh kemerdekaan politik, sehingga ini menjadi ancaman

serius terhadap keutuhan sebuah bangsa47Terkait perlindungan HAM, kejahatan ini

merupakan wujud konkrit aksi kebiadaban yang menguji tingkat kapabilitas penegak

hukum yang telah menjadi representasi kekuatan strategis negara hukum48. Pelanggaran

HAM berat masuk kategori extra ordinary crime karena dua alasan yaitu pola tindak

pidana yang sangat sistematis dan biasanya dilakukan oleh pihak yang memegang

kekuasaan sehingga kejahatan tersebut baru bisa diadili jika kekuasaan tersebut runtuh,

dan alasan bahwa kejahatan jenis ini bertentangan dan mencederai rasa kemanusiaan

secara mendalam49. Sayangnya, sebagai tindak pidana khusus denagn ancaman

kekerasan di masyarakat yang besar, banyak ahli menilai penyusunan Undang-undang

yang dijadikan sebagai alat untuk menegakkan hukum, dianggap belum cukup serius

untuk dilakukan.

6. TEORI HUKUM TERKAIT DENGAN TERORISME

Tidak berbeda dengan tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh gang,

dimana ada keterlibatan kelompok yang bertindak bersama. Berdasar teori Merton

mengenai penyimpangan dan anomie , kekerasan dianggap merupakan perilaku

47 Dr. A.C. Mannullang, Terorisme & Perang Intelejen, Manna Zaitun, Jakarta, 2006, hal 13048 Drs.Abdul Wahid SH, MA; Sunardi, SH, MH; Muhammad Imam Sidik, SH, Op Cit hal 6749 Muhammad Ali Syafa’at, Op Cit hal 63

Page 16: Tugas keempat sekaligus uas

inovatif, mundur (retreatis) atau perilaku pemberontak50. Sementara itu jika dikaitkan

dengan hubungan differential, kekerasan gang sebagai basis partisipasi dalam bentuk

kekerasan gang yang sudah ada. Terkait hal tersebut, Thomas Santosa seperti dikutip

dalam Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, Ham dan Hukum menjelaskan bahwa

pada bagian ini, lebih dititikberatkan ke penjelasan populer dalam sosiologi masla lalu

dan masih menjadi penjelasan yang relevan51.

50 Drs.Abdul Wahid SH, MA; Sunardi, SH, MH; Muhammad Imam Sidik, SH, Op Cit hal 59-6051 Ibid