tugas hukum udara dan angkasa larangan penerbangan

75
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap negara pada dasarnya memiliki kedaulatan penuh dan ekskusif atas wilayah udara di atas teritorialnya. Hal ini merupakan salah satu prinsip yang diatur dalam Konvensi Chicago 1944. Ketentuan tersebut mengindikasikan bahwa setiap negara berhak untuk membuat aturan sendiri demi kepentingan nasional. Namun, ketentuan nasional itu harus diberlakukan tanpa perbedaan kepada setiap negara. Atas dasar tersebut Uni Eropa memberlakukan ketentuan larangan terbang terhadap pengangkut sipil dari Indonesia ke wilayahnya. Larangan tersebut dibuat untuk melindungi kepentingan 27 negara-negara Uni Eropa yang dikeluarkan oleh European Commission pada 4 Juli 2007 (EC No.787/2007). Ketentuan sepihak tersebut dikeluarkan oleh Uni Eropa dengan alasan bahwa terdapat bukti kurang terpenuhinya faktor keselamatan yang 1

Upload: imam-bukhori

Post on 12-Dec-2014

144 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tugas Hukum Udara Dan Angkasa Larangan Penerbangan

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap negara pada dasarnya memiliki kedaulatan penuh

dan ekskusif atas wilayah udara di atas teritorialnya. Hal ini

merupakan salah satu prinsip yang diatur dalam Konvensi

Chicago 1944. Ketentuan tersebut mengindikasikan bahwa setiap

negara berhak untuk membuat aturan sendiri demi kepentingan

nasional. Namun, ketentuan nasional itu harus diberlakukan

tanpa perbedaan kepada setiap negara.

Atas dasar tersebut Uni Eropa memberlakukan ketentuan

larangan terbang terhadap pengangkut sipil dari Indonesia ke

wilayahnya. Larangan tersebut dibuat untuk melindungi

kepentingan 27 negara-negara Uni Eropa yang dikeluarkan oleh

European Commission pada 4 Juli 2007 (EC No.787/2007).

Ketentuan sepihak tersebut dikeluarkan oleh Uni Eropa dengan

alasan bahwa terdapat bukti kurang terpenuhinya faktor

keselamatan yang dikeluarkan oleh regulator, kemampuan dan

keinginan dari pengangkut untuk mengambil langkah-langkah

yang serius untuk menanggulangi minimnya standar

keselamatan, kemampuan dan keinginan dari regulator untuk

menjamin bahwa pengangkut melaksanakan ketentuan tentang

1

Page 2: Tugas Hukum Udara Dan Angkasa Larangan Penerbangan

keselamatan penerbangan serta penegakan hukum terhadap

pelanggaran yang dilakukan oleh pengangkut, kemampuan dan

keinginan regulator untuk menyelesaikan masalah keselamatan

yang timbul karena kecelakaan.1

Pemerintah Indonesia sangat menentang ketentuan

larangan tersebut. Pemerintah sebagai regulator memang

mengakui bahwa sepanjang tiga sampai lima tahun terakhir telah

banyak terjadi kecelakaan udara. Namun, sebagai regulator,

pemerintah telah berusaha untuk memperbaiki itu semua.

Komitmen pemerintah tersebut dapat dilihat dengan lahirnya

sebuah deklarasi antara Pemerintah Indonesia dengan ICAO

tanggal 2 Juli 2007 di Bali. Deklarasi tersebut memuat komitmen

pemerintah untuk meningkatkan keselamatan penerbangan

sipil2. Pemerintah mengeluarkan deklarasi tersebut demi

mengembalikan citra penerbangan sipil nasional yang telah

tercoreng akibat banyaknya kecelakaan yang terjadi.

Usaha yang telah dilakukan oleh Indonesia harusnya

menjadi rujukan bagi masyarakat internasional bahwa Indonesia

sungguh-sungguh ingin memperbaiki sistem keselamatan

penerbangan sipil nasional. Akan tetapi, apa yang telah

dilakukan oleh Indonesia ternyata masih dianggap kurang oleh

Uni Eropa. Uni Eropa dalam rilis terakhirnya belum juga

1 http://ec.europa.eu/transport/modes/air/safety/air-ban/index_en.htm2 http://www.icao.int/PIO/04/07

2

Page 3: Tugas Hukum Udara Dan Angkasa Larangan Penerbangan

mencabut larangan terbang bagi pengangkut dari Indonesia

untuk melintas di atas wilayahnya. Hal ini dikemukakan oleh

Duta Besar Ad Interim Uni Eropa untuk Indonesia, Pierre Philippe.

Beliau menyatakan:

“Indonesia memperlihatkan kemajuan dalam

meningkatkan keselamatan penerbangan terutama satu

tahun terakhir sejak dimulainya pelarangan terbang.

Tetapi, kami menilai masih ada hal-hal yang harus

ditingkatkan, antara lain inspeksi oleh regulator terhadap

maskapai.” (Kompas, Jumat, 25 Juli 2008)

Pernyataan tersebut mengandung bias, di satu pihak Uni

Eropa mengakui adanya perbaikan, namun mereka tetap tidak

mencabut larangan terbang. Pernyataan tersebut ditanggapi oleh

pemerintah melalui Menteri Perhubungan, Jusman Safeii Djamal,

menurut beliau sebanyak 61 persen dari 69 persen temuan

Komisi Eropa atas persoalan keselamatan penerbangan telah

diperbaiki. Sisanya berupa revisi regulasi, diantaranya revisi

Undang-Undang Penerbangan No. 15 tahun 1992. Menteri Luar

Negeri Indonesia, Hassan Wirajuda juga melakukan kritik bahwa

harusnya Indonesia dan Uni Eropa sama-sama harus mematuhi

ketentuan yang diatur dalam Organisasi Penerbangan Sipil

Internasional (ICAO). Uni Eropa tidak berhak melakukan tindakan

unilateral yang bertentangan dengan ketentuan ICAO. Mestinya

3

Page 4: Tugas Hukum Udara Dan Angkasa Larangan Penerbangan

yang memutuskan apakah suatu negara memadai atau kurang

memadai dalam memajukan keselamatan penerbangan adalah

ICAO dan bukan sekelompok negara dalam Uni Eropa (Kompas,

Sabtu, 26 Juli 2008).

Perbedaan pendapat antara Pemerintah Indonesia dan Uni

Eropa mengenai larangan terbang tersebut harus ditempatkan

dalam bingkai hukum internasional. Meskipun, dalam sebuah

hubungan internasional tidak dapat dihindari sebuah

kepentingan politik nasional tiap pihak, namun dalam konteks

masalah ini, harus diselesaikan melalui mekanisme hukum

internasional yang berlaku. Dalam hal ini, maka Konvensi

Chicago 1944 tentang penerbangan sipil internasional harus

menjadi acuan utama.

Berdasarkan uraian singkat di atas, penulis ingin mencoba

melakukan sebuah penelitian kecil tentang permasalahan

larangan terbang Uni Eropa terhadap pengangkut dari Indonesia

dilihat dari sisi hukum udara internasional.

B. Permasalahan

Permasalahan yang diangkat dalam penelitian kecil ini adalah:

1. Apakah larangan terbang yang diterapkan oleh Uni Eropa

terhadap pengangkut sipil dari Indonesia sesuai dengan

ketentuan hukum internasional?

4

Page 5: Tugas Hukum Udara Dan Angkasa Larangan Penerbangan

2. Bagaimanakah cara penyelesaian yang tepat atas sengketa

tersebut?

5

Page 6: Tugas Hukum Udara Dan Angkasa Larangan Penerbangan

BAB II

TINJAUAN TEORETIS

A. Pengertian Kedaulatan

Hakikat dan fungsi kedaulatan dalam masyarakat

internasional sangat penting peranannya. Menurut sejarah, asal

kata kedaulatan berasal dari bahasa Inggris yang dikenal dengan

istilah “souveregnity” yang kemudian berakar dari bahasa Latin,

yaitu “supranus”, yang mempunyai pengertian “yang teratas”.

Tiap negara mempunyai sifat kedaulatan yang melekat padanya,

karena kedaulatan merupakan sifat atau ciri hakiki dari suatu

negara. Bila dikatak suatu negara berdaulat, maka makna yang

terkandung adalah, bahwa negara itu mempunyai suatu

kekuasaan tertinggi dan secara de facto menguasai.3

Kedaulatan pada dasarnya mengandung dua aspek, yaitu:

1. Aspek internal, yaitu berupa kekuasaan tertinggi untuk

mengatur segala sesuatu yang ada atau terjadi di dalam

batas-batas wilayahnya.

2. Aspek eksternal, yaitu kekuasaan tertinggi untuk mengadakan

hubungan dengan anggota masyarakat internasional, maupun

mengatur segala sesuatu yang ada atau terjadi di luar wilayah

3 E. Suherman, SH. Wilayah Udara dan Wilayah Dirgantara, Penerbit Alumni, Bandung, 1984, hal 4.

6

Page 7: Tugas Hukum Udara Dan Angkasa Larangan Penerbangan

negara itu tetapi sepanjang masih ada kaitannya dengan

kepentingan negara itu.4

Ruang berlakunya kedaulatan ini terbatas oleh batas batas

wilayah negara tersebut, artinya suatu negara hanya mempunyai

kekuasaan tertinggi di dalam batasan wilayah negaranya saja.

Adapun di luar wilayahnya, suatu negara tidak lagi memiliki

kedaulatan sedemikian. Jadi, pengertian kedaulatan sebagai

kekuasaan tertinggi, mengandung dua pembatasan penting

dalam dirinya, yaitu : (1) kedaulatan itu terbatas pada wilayah

negara yang memnpunyai kedaulatan tersebut, dan (2)

kedaulatan tersebut berakhir sampai mana pada batas wilayah

suatu negara lain dimulai. Suatu negara tidak dapat

melaksanakan yurisdiksi eksklusif ke luar wilayah negara

tersebut, yang dapat menggangu kedaulatan wilayah negara

lain. Suatu negara hanya dapat melaksanakan secara eksklusif

dan penuh hanya di dalam wilayahnya saja. Kedaulatan wilayah

atau teritorial ini mempunyai dua aspek, yaitu aspek positif dan

aspek negatif. Aspek positif yang dimaksud adalah berkaitan

dengan sifat hak eksklusif kompetensi suatu negara terhadap

wilayahnya. Sedangkan aspek negatif kedaulatan teritorial ini

adalah adanya kewajiban untuk tidak menggangu hak negara

negara lain.

4 I Wayan Parthiana, SH., MH, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung, 1990, hal 294.

7

Page 8: Tugas Hukum Udara Dan Angkasa Larangan Penerbangan

Huala Adolf berpendapat, kedaulatan teritorial berarti

kedaulatan yang dimilki oleh suatu negara dalam melaksanakan

jurisdiksi eksklusifnya.5 Sedangkan JG Starke, munculnya konsep

kedaulatan teritorial menandakan bahwa di dalam wilayah

kekuasaan ini, yurisdiksi dilaksanakan oleh negara terhadap

orang-orang dan harta benda yang mengenyampingkan negara-

negara lain.6 Hukum Internasional mengkaui kedaulatan tiap-tiap

negara di dalam wilayahnya masing-masing. Kedaulatan tertinggi

yang dijalankan suatu negara terhadap wilayahnya menunjukkan

bahwa pada satu wilayah hanya ada satu negara berdaulat dan

tidak mungkin ada atau lebih negara berdaulat pada satu

wilayah yang sama. Salah satu unsur yang terpenting dari suatu

negara adalah adanya wilayah. dalam wilayah inilah suatu

negara menjalankan segala aktivitasnya. Dengan demikian,

dapatlah dikatakan bahwa tidak mungkin ada negara tanpa

adanya pemilikan atas suatu wilayah.

Menurut Oppenheim-Lauterpacht, pengertian wilayah

adalah : “State territory is that definited portion of the surface of

the globe which is subjected to the souvereignity of a state”.7

Dalam wilayah itulah negara menjalankan kedaulatannya,

sehingga sebuah negara tidak mungkin ada, tanpa adanya 5 H. Bachtiar Hamzah, SH – Sulaiman Hamid, SH Hukum Internasional II, USU Press Medan, 1997. hal 36. 6 JG. Starke, Pengantar Hukum Internasional I, Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta, 1999. hal 210. 7 Op.Cit. hal 36.

8

Page 9: Tugas Hukum Udara Dan Angkasa Larangan Penerbangan

wilayah, meskipun wilayah itu mungkin kecil dan dalam wilayah

itulah negara menjalankan yurisdiksi eksklusifnya secara penuh.

Pentingnya wilayah bagi suatu negara dapat dilihat pada

kenyataan bahwa dalam ruang lingkup wilayah itulah negara

menjalankan kekuasaan tertingginya. Wilayah suatu negara

merupakan objek hukum internasional.

Kedaulatan teritorial suatu negara mencakup tiga dimensi,

yaitu yang terdiri atas daratan, termasuk segala yang berada di

dalam tanah tersebut dan yang terdapat di atas permukaan

tanah tersebut, laut dan udara.

Persoalan yang menyangkut tentang maslah kedaulatan

dari berbagai negara atas ruang udara di atas wilayah mereka,

juga menimbulkan permasalahan tertentu, yaitu mengenai

penetapan batas antara ruang angkasa dan ruang udara. Hal ini

terjadi karena sampai saat ini beum ada batas yang tegas antara

ruang angkasa dan runag angkasa.

Penetapan batas antar ruang tersebut sangat penting,

karena penentuan kedaulatan suatu negara terhadap ruang

udara di atas wilayah negaranya ditentukan oleh adanya

ketegasan dari batas antara kedua ruang tersebut. Selain itu

penetapan batas antara ruang udara dengan ruang angkasa

tersebut juga demi menghindari konflik antar negara negara

kolong atau subjacent state.

9

Page 10: Tugas Hukum Udara Dan Angkasa Larangan Penerbangan

Adapun ruang udara menurut pasal 1 angaka 2 Undang

Undang Nomor 1 Tahun 2009, disebut juga wilayah udara adalah

wilayah kedaulatan udara di atas wilayah daratan dan perairan

Indonesia. Sedangkan menurut pasal 1 Konvensi Chicago 1944,

ruang udara adalah merupakan suatu jalur udara di atmosfer

yang berisikan cukup udara di mana pesawat udara dapat

bergerak karena reaksi udara kepadanya sehingga mendapat

gaya angkat (lift). Dalam pada pasal ini juga ditegaskan bahwa

setiap negara memiliki yurisdiksi eksklusif dan wewenang untuk

mengontrol ruang udara di atas wilayahnya. Pesawat terbang

negara lain, baik pesawat militer ataupun sipil tidak akan

mendapat hak sama sekali untuk memasuki ruang udara atau

mendarat di wilayah tersebut tanpa persetujuan negara yang

bersangkutan.

Kemudian, penafsiran Prof. Peng, ruang udara merupakan

ruang yang dapat dimafaatkan atau semua ruang yang dapat

dicapai manusia.8 Ruang angkasa itu sendiri pengertiannya

adalah : “suatu ruang di luar ruang udara di mana tidak lagi

terdapat gas gas udara atau atmosfer yang di dalamnya

terdapat benda benda ruang angkasa seperti bulan dan benda

benda langit lainnya”. 9

8 Op.Cit.9 Op.Cit., hal. 7

10

Page 11: Tugas Hukum Udara Dan Angkasa Larangan Penerbangan

Mengenai ruang angkasa itu sendiri, diatur dalam Space

Treaty 1967. Dari pengertian-pengertian di atas, maka terasa

tidaklah mungkin suatu negara tertentu dapat melaksanakan hak

dan kedaulatannya di luar daripada batas-batas gaya tarik bumi,

yang diperkirakan berada pada jarak sekitar 260.000 kilometer

dari permukaan laut, diukur secara tegak lurus.10

Adapun pendapat ini bersumber kepada suatu doktrik

klasik yang menyatakan bahwa : “adalah menjadi hak dan

kewajiban suatu negara untuk melindungi dirinya dan

perlindungan tersebut dipandang perlu dan wajar kalau negara

tersebut mempunyai hak-hak untuk mengawasi bagian dari

wilayahnya”. 11

B. Kedaulatan Suatu Negara Atas Ruang Udara

Wilayahnya

Penguasaan ruang udara sejak dahulu telah merupakan

suatu masalah yang selalu dipersoalkan. Sebuah dalil hukum

Romawi mengatakan “cujus est solum, ejus est usque coelum”,

yang artinya barang siapa yang memiliki sebidang tanah,

dengan demikian juga memiliki segala-galanya yang berada di

atas permukaan tanah sampai ke langit dan segala apa yang

10 Prof. Dr. Priyatna Abdulrasyid, SH, Kedaulatan Negara di Ruang Angkasa, Pusat Penelitian Hukum Angkasa, Jakarta 1972, hal 14.11 Ibid, hal. 15

11

Page 12: Tugas Hukum Udara Dan Angkasa Larangan Penerbangan

berada di dalam tanah tersebut.12 Pengaruh dari asas tersebut

menular pada teori-teori kedaulatan yang berkembang

sesudahnya, dan sekarang menjadi prinsip yang kuat dan

universal. Dari asas ini terlihat bahwa sejak dahulu negara telah

mengakui dan melindungi adanya hak-hak dari pemilik penduduk

negara . Hak-hak tersebut juga berlaku bagi ruang udara yang

berada di atasnya tanpa batas apapun dan pendirian ini telah

dianut di negara-negara lain seperti, bahkan Indonesia seperti

yang tercantum dala pasal 571 KUHPerdata yang berbunyi : “Hak

milik atas sebidang tanah mengandung di dalamnya kepentingan

atas segala apa yang ada di atasnya dan di dalam tanah ...”.

Tetapi masalah hak milik tersebut sekarang sudah tidak berlaku

mutlak lagi, karena sudah dibatasi dengan oleh peraturan negara

yang khusus demi kepentingan-kepentingan umum. 13

Perkembangan dan prinsip-prinsip tersebut di atas dapat

diteliti melalui doktrin mengenai lautan yang telah

dikembangkan oleh seorang ahli hukum internasional, Yaitu

Grotius. Pada tahun 1609, ia menulis buku “Mare Liberum” yang

menyatakan bahwa laut tersebut terbuka dan dapat dilayari oleh

siapapun serta tidak menjadi milik siapapun.14

12 Ibid, hal. 49 13 UU Pokok Agaria (UU No 5 Tahun 1960), UU Pokok Pertambangan (UU No 11 Tahun 1967) 14 Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH, Hukum Laut Internasional, Bina Cipta, Bnadung, 1992 hal 12

12

Page 13: Tugas Hukum Udara Dan Angkasa Larangan Penerbangan

Hal ini ditulis Grotius sebagai pembelaan hak orang

Belanda untuk melayari lautan. Sedangkan alasan yang

diajukannya adalah karena lautan itu sendiri merupakan benda

milik bersama , disebabkan oleh kondisi laut itu sendiri, akan

tetapi pendapat tersebut mendapat bantahan dari John Shelden,

seorang Inggris, yang menyatakan laut adalah tertutup.

Menurut pendapat Prof. Dr. Priyatna Abdurrasyid, teori

yang dikembangkan oleh John Shelden tersebut dimaksudkan

untuk membenarkan politik Inggris pada waktu iti mengenai

lautan. Ia mengemukakan bahwa lautan tersebut dapat menjadi

milik suatu negara, pendapat di mana yang jelas menentang

pendapat Grotius yang menganut ajaran kebebasan lautan.

Dengan timulnya permasalahn penerbangan pada era abad 19

atau awal abad 20, soal bebas tidaknya seperti diuraikan telah

menjelma menjad soal bebas atau tidaknya angkasa yang

berkisar pada masalah apakah angkasa terutama ruang udara itu

ada di bawah kedaulatan suatu negara atau tidak. Paul Fauchille,

seorang berkebangsaan Prancis, mengusahakan menerapkan

doktrin Grotius tersebut ke dalam masalah kedaulatan suatu

negara di ruang udara dengan mengatakan bahwa udara itu

bebas. Sudahlah pasti tindakan mempersamakan lautan dengan

ruang udara tersebut tidak benar. Dalam hal ini seorang sarjana

Inggris berpendapat bahwa :

13

Page 14: Tugas Hukum Udara Dan Angkasa Larangan Penerbangan

“.... udara itu bukan lautan dan kapal layar bukan kapal

udara. Sedangkan kondisi lautan dan udara tersebut

sangat berlainan pula. Hubungan antara lautan dengan

udara tersebut berlainan sama sekali dengan hubungan

lautan dengan daratan, lautan bukan merupakan

merupakan syarat adanya suatu negara, berbeda halnya

dengan udara yang merupakan syarat mutlak bagi

kehidupan di dunia”.15

Oleh karena itu, pendirian Hazeltine tersebut di atas

mendapat dukungan dadri para sarjana Inggris lainnya seperti

Westlake dan Lycklama, yang mengatakan pula, bahwasanya

ruang udara itu tidak bebas. Pendapat tersebutmendapat

dukungan dari kebanyakan ahli hukum waktu itu. Pada

kenyataannya pendirian merekalah yang sampai saat ini dianut

oleh dunia internasional.

Mengenai masalah pemilikan ruang udara ini pada waktu

itu mendapat dua kelompok besar, yaitu :

1. Mereka yang berpendapat bahwa udara karena sifatnya itu

bebas. Para penganut ini dikelompokkan sebagai penganut

teori ruang udara bebas, yang terbagi atas :

a. kebebasan ruang udara tanpa batas.

15 Prof. Dr. Priyatna Abdulrasyid, SH Kedaulatan Negara Di Ruang Udara. Pusat Penelitian Hukum Angkasa, Jakarta, 1972, hal 55

14

Page 15: Tugas Hukum Udara Dan Angkasa Larangan Penerbangan

b. kebebasan ruang udara yang dilekati beberapa hak khusus

negara kolong.

c. kebebasan ruang udara, tetapi diadakan semacam wilayah

teritorial di daerah mana hak-hak tertentu negara kolong

dapat dilaksanakan.

2. Mereka yang berpendapat bahwa negara itu berdaulat

terhadap ruang udara di atas wilayah negaranya. Terbagi atas

:

a. negara kolong yang berdaulat penuh hanya terhadap

ketinggian tertentu di ruang angkasa.

b. negara kolong berdaulat penuh, tetapi dibatasi oleh lintas

damai bagi navigasi pesawat udara asing.

c. negara kolong berdaulat penuh tanpa batas (up to the sky,

ad infintum).

Berkaitan dengan ruang udara di atas wilayah yang

dikuasai dan di atas perairan yang tunduk pada kedaulatan

negara, seperti yang telah dikemukakan di atas, terdapat

sejumlah teori yang beragam. Akan tetapi karena pecahnya

perang dunia pertama pada tahun 1914, karena alasan darurat

dan praktis, dianggap bahwa satu-satunya teori yang diterima

oleh semua negara adalah teori kedaulatan negara atas ruang

udara adalah tidak terbatas.

15

Page 16: Tugas Hukum Udara Dan Angkasa Larangan Penerbangan

Teori ini dipakai dan dikukuhkan tidak hanya oleh negara

negara yang sedang berperang, akan tetapi juga oleh negara –

negara netral. Teori tersebut dnyatakan dalam Pasal 1 Konvensi

Paris 1919, untuk pengaturan navigasi udara, di mana ara

peserta perjanjian mengakui bahwa setiap neagara memiliki

kedaulatan yang lengkap dan eksklusif atas ruang udara di atas

wilayahnya dan perairan teritorialnya. Tapi bagaimanapun juga

konsep kedaulatan tersebut masih bisa dibatasi dengan adanya

hak lintas damai bagi pesawat – pesawat asing.

Konvensi Paris menurut ketentuan-ketentuan rinci bagi

pengaturan internasional navigasi udara, sebagian bertujuan

menetapkan keseragaman. Bagi pesawat udara yang tidak

melakukan pelayanan udara atau jasa angkutan udara berjadwal,

dengan pengecualian bahwa pesawat-pesawat tersebut dimiliki

oleh negara-negara peserta Konvensi, harus mendapat

kebebasan lintas damai melalui ruang udara di atas wilayah

negara peserta lain, tunduk pada penataan syarat-syarat yang

ditetapkan dalam Pasal 2 Konvensi Paris.

Pada umumnya, sebelum perang dunia kedua, hak-hak

mendarat bagi pesawat udara asing tetap berada di dalam

lingkup kebijaksanaan negara yang bersangkutan. Konsep

kedaulatan negara di ruang udara sebagaimana yang tercantum

dalam Pasal 1 Konvensi Paris 1919, telah secara rinci

16

Page 17: Tugas Hukum Udara Dan Angkasa Larangan Penerbangan

dicantumkan pula pada Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 yang

berbunyi sebagai berikut : “The Contracting State, recognize that

every, state has complete and exclusive souvereignity in the

airspace above its territory”. Jadi, hal pokok pada konvensi-

konvensi tersebut adalah adanya ketegasan bahwa negara-

negara anggota mengakui bahwa setiap negara mempunyai

kedaulatan yang lengkap dan eksklusif terhadap ruang udara

yang di atas wilayahnya.

Oleh sebab itu, walaupun semua negara ikut dalam

Konvensi tersebut, namun khusus dalam masalah kedaulatan

negara di ruang udara, negara-negara telah bersepakat bahwa

hal demikian tidak menjadi alasan untuk tidak mengakui

kedaulatannya di wilayah ruang uadaranya, karena memang

masalah kedaulatan negara di ruang angkasa dipertegas dalam

konvensi internasional, sehingga mengenai prinsip kedaulatan ini

tidak mengalami kendala apa-apa.16

Mengingat bahwa konvensi internasional selalu menjadi

bahan bagi perundang-undangan nasional, demikian juga dengan

konvensi-konvensi penerbangan internasional yang kemudian

diadopsi ke dalam perundang-undangan nasional. Untuk pertama

kalinya mengenai penerbangan ini diatur pada Undang Undang

Nomor 83 tahun 1958. Namun demikian pada Undang Undang

16 Ibid., hal. 97

17

Page 18: Tugas Hukum Udara Dan Angkasa Larangan Penerbangan

tersebut tidak ada diatur mengenai kedaulatan negara Indonesia

terhadap ruang udara, kecuali dikatakan bahwa :

“Dilarang melakukan penerbangan selainya dengan

pesawat udara yang mempunyai kebangsaan Indonesia,

atau dengan pesawat udara asing berdasarkan perjanjian

internasional atau berdasarkan persetujuan pemerintah”.

Namun demikian dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4

Tahun 1960 dapat dijadikan sebagai pegangan yang dalam

penjelasan undang undang tersebut dikatakn bahwa ruang udara

di atas wilayah daratan dan perairan teritorial menjadi hak

kedaulatan Indonesia.

Setelah dikeluarkan Undang Undang penerbangan yang

baru, yaitu Undang Undang Nomor 1 Tahun 2009, dengan jelas

dikatakan dalam pasal 5 bahwa :

“Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan

eksklusif atas wilayah udara Republik Indonesia”.

Selanjutnya dalam pasal 6 dikatakan pula :

“Dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan negara atas

wilayah udara Negara Kesatuan Republik Indonesia,

Pemerintah melaksanakan wewenang dan tanggung jawab

pengaturan ruang udara untuk kepantingan penerbangan,

perekonomian nasional, pertahanan dan keamanan

negara, sosial budaya serta lingkungan udara”.

18

Page 19: Tugas Hukum Udara Dan Angkasa Larangan Penerbangan

Dengan telah diundangkannya Undang Undang Nomor 1

Tahun 2009, maka Undang Undang Nomor 15 Tahun 1992,

dinyatakan tidak berlaku lagi dan digantikan dengan yang baru

berdasarkan Undang Undang Nomor 1 Tahun 2009. Dengan

demikian mengenai konsep kedaulatan negara di ruang uadar

tersebut sudah diatur dalam perundang-undangan Indonesia dan

menyatakan bahwa Indonesia berdaulat penuh dan utuh atas

wilayah udaranya, sehingga dengan demikian ruang udara

tersebut menjadi bentuk wilayah Indonesia sebagai suatu

kesatuan politik, yang berbentuk tiga dimensi.17

C. Zona Larangan Terbang

Berdasarkan prinsip hukum udara internasional, masalah

penetapan zona larangan terbang merupakan upaya negara-

negara untuk mempertahankan kedaulatannya di ruang uadara.

Sejak sebelum pecahnya Perang Dunia Pertama, sejalan dengan

perkembangan teknologi penerbangan, negara-negara di dunia

ini berhadapan dengan kenyataan-kenyataan yang mendorong

mereka untuk menetapkan zona larangan terbang. Pengalaman

selama Perang Dunia Pertama tersebut telah membuktikan

kebenaran konsep bahwa kedaulatan negara kolong terhadap

ruang udara nasional di atas teritorial negaranya perlu

ditegaskan. Keselamatan dan keamanan wilayah udara nasional

17 Ibid., hal. 98

19

Page 20: Tugas Hukum Udara Dan Angkasa Larangan Penerbangan

sesuatu negara perlu dipertimbangkan dan diregaskan. Di sisi

lain perlu diperketat sistem pengamanan dan pengawasan

kawasan udara. Padahal dari sudut pandang lain, negara-negara

menyadari pula bahwa teknologi serta alat transportasi baru

yang memanfaatkan ruang udara sebagai sarana lalu lintasnya,

sesungguhnya bersifat internasional dan mempinyai karakteristik

khusus. Berbeda dengan alat pengangkut lain di darat dan di

laut, maka pengankutan melalui udara ini bersifat lintas batas

geografis, di mana kemampuan melewati dan menembus batas-

batas wilayah udara nasional suatu negara dapat dikatakan

dengan sangat indah.

Berdasarkan prinsip hukum udara internasional, masalah

penetapan zona larangan terbang merupakan upaya negara-

negara untuk mempertahankan kedaulatannya di ruang uadara.

Sejak sebelum pecahnya Perang Dunia Pertama, sejalan dengan

perkembangan teknologi penerbangan, negara-negara di dunia

ini berhadapan dengan kenyataan-kenyataan yang mendorong

mereka untuk menetapkan zona larangan terbang. Pengalaman

selama Perang Dunia Pertama tersebut telah membuktikan

kebenaran konsep bahwa kedaulatan negara kolong terhadap

ruang udara nasional di atas teritorial negaranya perlu

ditegaskan. Keselamatan dan keamanan wilayah udara nasional

sesuatu negara perlu dipertimbangkan dan diregaskan. Di sisi

20

Page 21: Tugas Hukum Udara Dan Angkasa Larangan Penerbangan

lain perlu diperketat sistem pengamanan dan pengawasan

kawasan udara. Padahal dari sudut pandang lain, negara-negara

menyadari pula bahwa teknologi serta alat transportasi baru

yang memanfaatkan ruang udara sebagai sarana lalu lintasnya,

sesungguhnya bersifat internasional dan mempinyai karakteristik

khusus. Berbeda dengan alat pengangkut lain di darat dan di

laut, maka pengankutan melalui udara ini bersifat lintas batas

geografis, di mana kemampuan melewati dan menembus batas-

batas wilayah udara nasional suatu negara dapat dikatakan

dengan sangat indah.

Pada dasarnya wilayah udara sesuatu negara adalah

tertutup bagi aktivitas penerbangan negara lain. Oleh karena itu

setiap penerbangan yang melintasi wilayah udara suatu negara

oleh negara pesawat asing negara lain tanpa izin negara kolong,

merupakan pelanggaran wilayah udara. Begitu lepas landas,

pesawat terbang akan mempunyai kemampuan dan kecepatan

dan kebebasan yang sangat luas, sehingga alat transportasi

yang ditemukan oleh Wright bersaudara pada awal abad kedua

puluh tersebut mempunyai potensi penggunaan secara militer

yang sangat luar biasa. Merupakan kenyataan yang tidak dapat

dibantah bahwa ruang udara sebagai sarana lalu lintas pesawat

terbang merupakan pula media yang berpotensi untuk

21

Page 22: Tugas Hukum Udara Dan Angkasa Larangan Penerbangan

melancarkan serangan udara oleh pesawat musuh negara

kolong.

Dengan demikian, sejalan dengan prinsip bahwa wilayah

udara nasional sesuatu negara tertutup bagi penerbangan asing,

maka setiap warga negara yang memiliki kemampuan serta

kekuasaan udara kemudian menetapkan bagian-bagian wilayah

udaranya yang tertentu dan khusus yang berdasarkan

pertimbangan kemamanan dan pertahanan perlu dilindungi.

Pada bagian wilayah udara tertentu tersebutlah yang dinamakan

Zona udara terlaran atau Zona larangan terbang, di mana

dinyatakan secara tegas bahwa kawasan tersebut terlarang bagi

penerbangan asing. Kesadaran untuk menetapkan bahwa

sesuatu negara kolong mempunyai kedaulatan yang penuh

terhadap ruang udara di atasnya, adalah sebagai akibat

pesatnya kemajuan perkembangan teknologi transportasi udara.

Kesadaran negara-negara telah mendahului suatu kaidah hukum

internasional yang baru belakangan muncul yakni pada Konvensi

Paris 1919.

Zona larangan terbang yang diciptakan oleh negara-negara

maju untuk melindungi kawasan ruang udara dari penerbangan

asing, mempunyai batas-batas yang ditetapkan secara sepihak

oleh negara pencipta tersebut. Menurut prinsip Hukum Udara

Internasional, luas dan lokasi zona harus didasarkan pada prinsip

22

Page 23: Tugas Hukum Udara Dan Angkasa Larangan Penerbangan

yang wajar, sehingga tidak menimbulkan konflik yang

sesungguhnya pada navigasi udara.

Zona larangan terbang diatur dalam Konvensi Paris 1919

yang kemudian diperbaiki dengan Protokol Paris 1929. Pada

pasal 3 Protokol Paris 1929 diatur mengenai bentuk zona

larangan terbang, yaitu terdiri dari dua bentuk :

1) Zona larangan terbang yang ditetapkan atas dasar alasan

pertahanan dan keamanan atau militer. Zona dengan

bentuk semacam ini bersifat permanen, kecuali jika ada

perubahan mengenai kepentingan militer atau pertahanan

dan keamanan dari negara yang bersangkutan.

2) Zona larangan terbang yang dinyatakan untuk seluruh atau

sebagian udara nasional negara kolong tertutup sama

sekali bagi pesawat asing, karena keadaan darurat. Zona

dengan bentuk penutupan wilayah udara hanya akan

dilakukan sampai situasi dan kondisi pulih kembali.

Dari kedua bentuk zona larangan terbang yang diatur di

dalam Pasal 3 Konvensi Paris 1919 tersebut, pembentukan zona

larangan terbang harus memenuhi persyaratan secara

internasional.

Persyaratan untuk zona larangan terbang bentuk 1) adalah

bahwa larangan terhadap pesawat sipil asing juga berlaku bagi

pesawat negara awak. Pada syarat ini, prinsip atau asas tanpa

23

Page 24: Tugas Hukum Udara Dan Angkasa Larangan Penerbangan

perbedaan harus dipegang teguh karena zona yang ditetakan

bersifat permanen dan bertujuan untuk melindungi pertahanan

dan keamanan negara yang bersangkutan. Persyaratan lain dari

zona bentuk pertama ini adalah bahwa pengumuman mengenai

penetapan zona harus dilakukan lebih dahulu untuk diketahui

oleh negara-negara yang berkepentingan. Hal ini juga termasuk

ketetapan mengenai luas dan letak zona larangan tersebut.

Persyaratan untuk zona larangan terbang bentu 2) yang

menetapkan penutupan seluruh atau sebagian wilayah negara

kolong, disyaratkan bahwa penutupan harus berlaku dengan

setara dan benar-benar bersifat sementara dan berlaku untuk

semua pesawat asing dengan prinsip tidak ada perbedaan.

Penetapan syarat pada zona bentuk kedua ini juga diwajibkan

untuk memberitahukan kepada semua negara peserta atau

anggota Konvensi atau Komisi Internasional untuk Navigasi

Udara.

Ketentuan mengenai kedua persyaratan itu yang

mewajibkan seluruh pesawat sipil asing maupun pesawat sipil

nasional negara awak dilarang melintasi zona larangan terbang

yang telah ditetapkan, dirubah menjadi ketentuan bahwa

pesawat sipil nasional negara kolong diizinkan terbang di zona

larangan tersebut. Hal ini diatur dalam Protokol Paris 1929

sebagai perbaikan dari Konvensi Paris 1919. Pada pasal 4

24

Page 25: Tugas Hukum Udara Dan Angkasa Larangan Penerbangan

Konvensi Paris 1919 ini mewajibkan agar setiap pesawat yang

menyadari telah melanggar zona larangan terbang yang telah

ditetapkan, harus segera memberitahukan kepada pangkalan

udara negara kolong bahwa ia berada dalam kesulitan dan

terpaksa harus mendarat di lapangan terdekat di luar zona

larangan tersebut.

Konvensi Paris 1919 di mana ditentukan bahwa pesawat

yang melanggar zona larangan diwajibkan untuk segera

mendarat di lapangan udara terdekat di luar zona, setelah pelaku

pelanggaran zona melapor kepada pejabat penerbangan negara

kolong. Ketentuan yang menetapkan bahwa negara awak yang

memerintahkan pelaku pelanggaran zona larangan untuk

mendarat dan diperiksa, sangat memungkinkan mengingat

kondisi semacam ini sebagai akibat dari perkembangan teknologi

penerbangan, termasuk peralatan pendeteksi yang dimiliki

negara yang menetapkan zona laragan terbang tersebut.

25

Page 26: Tugas Hukum Udara Dan Angkasa Larangan Penerbangan

BAB III

PEMBAHASAN

A. Tinjauan Larangan Terbang Menurut Hukum

Internasional

Masalah kedaulatan negara pada awalnya merupakan

sesuatu yang prinsip pada saat membahas masalah kegiatan di

ruang udara. Perkembangan hukum udara dan angkasa

internasional pada dasarnya membahas mengenai kedaulatan

negara. Diawali dengan Konferensi Paris 1910 dan ditutup

dengan Konferensi Chicago 1944, sebuah definisi berdasarkan

perjanjian multilateral akhirnya dapat dicapai. Konvensi Chicago

1944 menyatakan bahwa setiap negara peserta mengakui bahwa

setiap negara memiliki kedaulatan penuh dan eksklusif atas

wilayah udara di atas teritorialnya (Pasal 1 Konvensi Chicago

1944).

Dampak dari ketentuan tersebut adalah setiap negara berhak

menentukan peraturan nasionalnya atas wilayah udaranya.

Namun, tetap terdapat hak melintas (over fly) bagi penerbangan

tidak berjadwal, sedangkan untuk penerbangan berjadwal

dibutuhkan izin dari negara kolong (Pasal 5 dan 6 Konvensi

Chicago 1944). Konvensi Chicago pada dasarnya ingin

meletakkan dasar hukum pengaturan penerbangan sipil

26

Page 27: Tugas Hukum Udara Dan Angkasa Larangan Penerbangan

internasional yang dapat saling menukarkan hak-hak

penerbangan (five freedom of the air) secara multilateral serta

menjamin keamanan, keselamatan, kecepatan, kelancaran dan

ketertiban pengangkut udara internasional.18

Konvensi Chicago 1944 ternyata gagal untuk mencapai

kesepakatan mengenai pertukaran jasa pengangkut udara

secara multilateral. Kegagalan tersebut sebenarnya dapat dilihat

sejak Konferensi Paris 1910 dan 1919, akan tetapi pada tahun

1928 lahirlah konvensi Havana yang berjudul Convention on

Commercial Aviation . Konvensi tersebut mengatur tukar-

menukar jasa pengangkut udara komersial secara multilateral

selain pengaturan tentang teknis dan operasional, namun dalam

prakteknya hal tersebut belum dapat dilaksanakan. 19

Perjanjian-perjanjian pertukaran jasa pengangkut komersial

banyak dilakukan secara bilateral. Perjanjian penerbangan

bilateral pertama kali dilakukan antara Perancis dan Jerman

tahun 1913. Perjanjian tersebut memuat antara lain bahwa

pesawat udara Perancis boleh terbang ke Jerman dan sebaliknya

pesawat udara Jerman boleh terbang ke Perancis. Perkembangan

berikutnya adalah perjanjian-perjanjian sebelum perang dunia

kedua banyak dilakukan antara maskapai penerbangan, akan

18 K. Martono dan Usman Melayu, Perjanjian Angkutan Udara di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1996, hlm.33.19 Ibid.,hlm.30.

27

Page 28: Tugas Hukum Udara Dan Angkasa Larangan Penerbangan

tetapi setelah perang dunia kedua berakhir, perjanjian bilateral

dilakukan antarpemerintah.

Untuk mengatasi kegagalan Konvensi Chicago 1944

tersebut, maka masyarakat internasional membuat International

Air Service Transit Agreement (IASTA) dan International Air

Transport Agreement (IATA), 1944. Pada prinsipnya ketiga

ketentuan tersebut juga memuat pengaturan mengenai

penerbangan sipil komersil, namun ketiga ketentuan tersebut

belum sepenuhnya berhasil membuat kesepakatan secara

multilateral, contohnya penetapan tarif angkutan udara.20

Perjanjian bilateral tentang penerbangan sipil biasanya

mengatur mengenai hal :

1. Hak-Hak Penerbangan

2. Rute Penerbangan

3. Kapasitas Pengangkut Udara

4. Tarif Jasa Pengangkut Udara

Materi perjanjian tersebut dipengaruhi oleh perjanjian

udara Bermuda tahun 1946 antara Inggris Raya dan Amerika

Serikat. Konvensi Bermuda tersebut memiliki karakteristik liberal

dalam hal penentuan rute penerbangan serta pengaturan yang

fleksibel dalam hal kapasitas angkutan udara. Konvensi tersebut

merupakan kompromi dari dua prinsip yang bertentangan, yakni

20 E. Saefullah Wiradipradja, Tinjauan Singkat Atas Berbagai Perjanjian Internasional di Bidang Hukum Udara, Lisan, Bandung, 1990, hlm. 17

28

Page 29: Tugas Hukum Udara Dan Angkasa Larangan Penerbangan

Amerika yang menganut liberalisme ruang udara dan Inggris

yang protektif. Prinsip terpenting dari Konvensi Bermuda

tersebut adalah “ fair and equal oppurtunity” dalam pelaksanaan

jasa angkutan udara yang didasari dari volume lalu lintas dari

dan ke negara masing-masing.21

Konvensi Bermuda 1946 pada kemudian hari menjadi

sebuah acuan utama bagi setiap negara untuk menyusun

perjanjian jasa pengangkut udara sipil komersil selain Chicago

Standard Form Agreement dan European Civil Aviation

Conference Standard Form.22

Perjanjian pengangkut udara secara bilateral pada

dasarnya juga menganut aturan-aturan berdasarkan kaedah dan

kebiasaan hukum internasional. Layaknya semua perjanjian

internasional maka pastinya para pihak harus mematuhi asas-

asas dalam perjanjian internasional, yaitu “Pacta Sun Servanda”

serta “Good Faith”. Kedua prinsip tersebut telah menjadi bagian

dari kaedah dan kebiasaan hukum internasional. Hal ini berarti

para pihak perjanjian harus melaksanakan hak dan kewajibannya

sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.

Kesepakatan yang terdapat dalam Konvensi Chicago 1944

merupakan kesepakatan dari sekian negara untuk membentuk

21 I.H.Ph.Diederiks-Verschoor, An Introduction To Air Law, Kluwer, Netherlands, 1988, hlm. 42.22 K. Martono dan Usman Melayu, loc.cit., hlm 41-42

29

Page 30: Tugas Hukum Udara Dan Angkasa Larangan Penerbangan

sebuah unifikasi perjanjian pengangkut udara sipil internasional.

Meskipun belum semua terpenuhi dalam konvensi, namun

selayaknya para pihak tetap mengormati ketentuan yang

terdapat dalam konvensi. Memang, pada dasarnya setiap negara

memiliki kedaulatan penuh dan eksklusif atas ruang udaranya,

sehingga dapat secara unilateral mengadakan pembatasan-

pembatasan. Hal tersebut memang dijamin oleh konvensi,

seperti kawasan udara terlarang( Pasal 9 Konvensi Chicago

1944), penentuan tempat pendaratan untuk penerbangan tidak

berjadwal (Pasal 5 Konvensi Chicago 1944) dan yang lainnya.

Akan tetapi, tindakan-tindakan unilateral tersebut tidak boleh

mengganggu keberlangsungan penerbangan sipil internasional.

Salah satu tindakan unilateral yang dapat dilakukan adalah

mengenai larangan terbang bagi maskapai dari negara tertentu

demi alasan keamanan dan keselamatan negaranya. Dalam

setiap kasus, tindakan yang dilakukan secara unilateral oleh

sebuah negara harus memiliki komitmen bahwa tidak boleh ada

diskriminasi perlakuan.

Tindakan larangan terbang dalam hal demi keamanan

sangat tergantung dengan kebijakan nasional. Tindakan tersebut

dilakukan karena negara-negara yang melakukannya

beranggapan bahwa hukum internasional tidak dapat menjamin

keamanan nasional mereka. Atas asumsi tersebut mereka

30

Page 31: Tugas Hukum Udara Dan Angkasa Larangan Penerbangan

membuat ketentuan-ketentuan pembatasan penggunaan ruang

udara mereka bagi pesawat-pesawat dari negara lain. Konvensi

Chicago memang memberikan diskresi kepada negara peserta

untuk membuat aturan-aturan unilateral atau bilateral perihal

ketentuan yang belum diatur oleh konvensi.23

Selain masalah keamanan, keselamatan merupakan faktor

terpenting dalam penerbangan sipil internasional. Perihal

keselamatan semakin kompleks dan memiliki karakter

multinasional ketika volume operasi pesawat udara sipil semakin

meningkat yang melintasi batas-batas negara. Kesulitan terjadi

karena pengangkut udara sipil pada saat ini menggunakan

sistem sewa dalam operasionalnya. Hal ini akan menyulitkan

karena dapat terjadi perbedaan antara negara tempat pesawat

itu terdaftar serta negara asal operator pengangkut udara

tersebut. Perbedaan tersebut berdampak pada siapakah yang

bertanggungjawab apabila terjadi kelalaian. Perkembangan saat

ini adalah banyak negara yang melakukan kerjasama bilateral

dan multilateral untuk melakukan harmonisasi kaidah dan

peraturan dengan membuat standarisasi mengenai

keselamatan.24

23 Pablo Mendes de Leon, Unilateral Efforts to Enhance Security, in The Use of Air and Outer Space: Cooperation and Competition, edited by Chia-Jui Cheng, Kluwer Law International, Netherlands, 1998, hlm. 296.24 Michael Milde, Problems of Safety Oversight, in The Use of Air and Outer Space: Cooperation and Competition, edited by Chia-Jui Cheng, Kluwer Law International, Netherlands, 1998, hlm. 260.

31

Page 32: Tugas Hukum Udara Dan Angkasa Larangan Penerbangan

Selain kerjasama bilateral dan multilateral, banyak negara

melakukan tindakan unilateral untuk menjamin keselamatan bagi

kepentingan nasional. Sebagai contoh tindakan unilateral

larangan terbang adalah apa yang dilakukan Amerika Serikat

pada tahun 1992. Sejak terjadi kecelakaan atas AVIANCA B-707

pada tahun 1990, kemudian Amerika memberlakukan aturan

keselamatan bagi pengangkut asing. Mereka mengharuskan

setiap pengangkut udara asing minimal harus memenuhi standar

minimum keselamatan yang telah diatur oleh ICAO. Apabila

pengangkut tersebut tidak memenuhi standar tersebut, maka

pengangkut tersebut tidak dapat terbang memasuki wilayah

Amerika.25

Apa yang dilakukan Amerika merupakan kewenangan

nasional mereka. Tindakan mereka tidak dapat dianggap sebagai

perlawanan terhadap usaha unifikasi yang dilakukan komunitas

internasional melalui Konvensi Chicago 1944. Usaha yang

dilakukan Amerika tersebut harus ditempatkan sebagai kebijakan

nasional mereka untuk melindungi keamanan dan keselamatan

nasional mereka. Kewenangan tersebut merupakan kewenangan

residu yang jamin oleh konvensi sendiri (Pasal 38 Konvensi

Chicago 1944)

25 Ibid hlm. 264.

32

Page 33: Tugas Hukum Udara Dan Angkasa Larangan Penerbangan

Tindakan Amerika tersebut pada perkembangan

selanjutnya menjadi sebuah preseden bagi negara lain dan atau

organisasi regional lainnya untuk memberlakukan kewenangan

residunya tersebut demi melindungi keselamatan dan keamanan

kepentingan nasional masing-masing negara. Larangan terbang

yang diberlakukan oleh Uni Eropa terhadap pengangkut udara

dari Indonesia dapat ditempatkan dalam perspektif yang sama

dengan apa yang dilakukan oleh Amerika. Alasan keselamatan

yang diajukan oleh Uni Eropa merupakan bagian dari hak mereka

sebagai perlindungan kepentingan nasional mereka. Namun,

berdasarkan hukum internasional dan kebiasaan internasional,

maka Uni Eropa harus berkomitmen bahwa mereka tidak

melakukannya secara diskriminatif. Dalam hal ini mereka juga

harus melakukan perlakuan yang sama terhadap setiap

pengangkut udara sipil baik pengangkut udara nasional maupun

asing. Apabila para pengangkut tersebut belum memenuhi

standar keselamatan dan keamanan yang mereka tentukan

maka larangan terbang juga harus diberlakukan kepada operator

tersebut.

B. Larangan Terbang Uni Eropa Kepada Pengangkut Sipil

Indonesia

33

Page 34: Tugas Hukum Udara Dan Angkasa Larangan Penerbangan

Hasil Konvensi Chicago 1944 masih menyisakan beberapa

masalah dalam pengaturan penerbangan sipil internasional.

Untuk mengatasi hal tersebut maka mau tidak mau kerjasama

bilateral dan regional dibutuhkan untuk mengisi kekosongan

tersebut. Salah satu organasasi regional yang sangat gencar

untuk membuat unifikasi mengenai keselamatan dan keamanan

penerbangan sipil internasional adalah Uni Eropa.

Kesadaran untuk melakukan kerjasama tersebut

merupakan inisiatif dari Dewan Eropa setalah melihat

perkembangan pengangkut udara di Uni Eropa yang terdiri dari

27 negara. Untuk mencapai kerjasama tersebut maka pada

pertemuan parlemen dewan eropa tahun 1950 diusulkan

beberapa ide yaitu :26

1. Membentuk Otoritas Transport Eropa (European Transport

Authority). Lembaga tersebut akan memiliki tanggung jawab

untuk melakukan pengaturan mengenai jalan raya, kereta api,

navigasi pantai, pengangkutan serta penerbangan. Usulan ini

diungkapkan oleh Bonnefous perwakilan dari Perancis. Beliau

mengusulkan agar otoritas tersebut berbentuk supranasional.

Usulan tersebut ditolak oleh sebagian negara Eropa dengan

alasan nasionalisme

26 I.H.Ph.Diederiks-Verschoor, Loc.cit.,hlm. 36

34

Page 35: Tugas Hukum Udara Dan Angkasa Larangan Penerbangan

2. Ide kedua dikemukakan oleh perwakilan Italia, Count Sforza.

Ide beliau adalah untuk membatasi penerbangan sipil. Setiap

negara harus mendelegasikan sebagian kedaulatanya untuk

mencapai unifikasi dalam sektor hukum, teknik dan komersil.

Beliau mengusulkan bentuk konsorsium.

3. Usul ketiga disampaikan oleh Van der Kieft, yang

mengusulkan agar dibentuk sebuah organisasi penerbangan

sipil Eropa dengan tujuan untuk mencapai kesatuan.

Pada akhirnya disepakati bahwa dibentuklah The European

Civil Aviation Conference (ECAC) pada tahun 1955. Nampaknya

usulan dari Van der Kieft yang diterima oleh komunitas Uni

Eropa. Tujuan dari ECAC tersebut adalah untuk melakukan

unifikasi dan fasilitasi dalam hal; angkutan udara dan kerjasama

dengan ICAO. Selain itu tujuan awal ECAC adalah untuk

mengulas perkembangan pengangkut udara sipil di Uni Eropa,

untuk promosi kerjasama demi mencapai efektivitas dalam

unifikasi, memperhatikan perkembangan pengangkut udara di

Eropa serta mempertimbangkan masalah-masalah yang akan

timbul dikemudian hari.27

Pada tahun 1976 organ permanen dibentuk yang terdiri

dari Directors General of Civil Aviation (DGCA). Usaha-usaha

yang telah dicapai oleh ECAC adalah:28

27 I.H.Ph.Diederiks-Verschoor, op.cit., hlm. 3728 Ibid

35

Page 36: Tugas Hukum Udara Dan Angkasa Larangan Penerbangan

1. Perjanjian multilateral atas hak-hak komersil penerbangan

tidak berjadwal di Eropa

2. Perjanjian multilateral tentang sertifikasi kelayakan udara

terhadap pesawat udara impor.

3. Perjanjian internasional terhadap prosedur dalam penentuan

tarif atas penerbangan berjadwal.

Namun, perkembangan terakhir ECAC memperlihatkan

usaha-usahanya yang lebih menitikberatkan pada sikap politik

negara-negara Eropa terhadap negara ketiga daripada menjalin

kerjasama dan melakukan harmonisasi penerbangan udara

dalam Eropa. Ternyata dalam perkembanganya ECAC sendiri

mendapat kritikan-kritikan dari negara-negara Eropa. Mereka

yang melakukan kritik menganggap bahwa dengan adanya

aturan regional tersebut malah membuat formasi-penghambat

(bloc-formation). Hal ini didasari sebagai faktor yang

menghambat unifikasi, selain alasan tersebut, kritikan

dilemparkan karena beberapa pengangkut udara di Eropa

memiliki jaringan yang lebih luas dibandingkan dengan yang lain.

Maka mereka menuntut perlakuan yang seimbang.29

Pada akhirnya dapat dilihat bahwa pengaturan multilateral

di Eropa untuk mewakili kepentingan nasional negara Eropa juga

mengalami kegagalan. Usulan untuk membentuk High Authority

29 Ibid.

36

Page 37: Tugas Hukum Udara Dan Angkasa Larangan Penerbangan

juga cukup sulit untuk dilaksanakan, karena ternyata

kepentingan nasional masing-masing negara berbeda satu sama

lain.

Usaha-usaha Uni Eropa untuk menciptakan unifikasi dan

harmonisasi dalam hal keselamatan penerbangan berhasil

terbentuk dengan dikeluakan (EC) No 1592/2002 pada 15 Juli

2002 yang mengatur aturan bersama mengenai penerbangan

sipil serta pembentukan European Aviation Safety Agency

(EASA). Regulasi tersebut membuat standar kesalamatan yang

diberlakukan oleh Uni Eropa selain juga mengakui standar

keselamatan minimum yang telah diatur dalam Konvensi Chicago

dan ICAO. Standar keselamatan yang terdapat dalam regulasi

tersebut terdiri dari :

1. Kelayakan udara (Pasal 5)

2. Syarat untuk perlindungan terhadap lingkungan (Pasal 6)

3. Lisensi operasi dan kru penerbangan (Pasal 7)

4. Pengakuan sertifikat (Pasal 8 )

5. Penerimaan atas persetujuan negara ketiga (Pasal 9)

6. Ketentuan Fleksibel (Pasal 10)

Dengan dikeluarkannya EASA tersebut maka diharapkan

keselamatan penerbangan sipil di Eropa dapat terlaksana dengan

baik. Hubungan antara Uni Eropa dengan negara ketiga juga

banyak diatur dalam ketentuan EASA tersebut.

37

Page 38: Tugas Hukum Udara Dan Angkasa Larangan Penerbangan

Pada saat larangan terbang terhadap pengangkut dari Indonesia

lahir pada tahun 2007. Uni Eropa mendasarkan pendapatnya

pada :

1. Adanya bukti dari otoritas penerbangan sipil Indonesia bahwa

kecelakaan yang dialami oleh pengangkut sipil Indonesia

terjadi karena para operator tersebut tidak memenuhi

persyaratan standar keselamatan.

2. Adanya rating yang dikeluarkan oleh FAA ( Amerika Serikat),

yang menilai rendah tingkat keselamatan di Indonesia serta

tidak dipenuhinya standar keselamatan yang diatur oleh ICAO

3. Hasil audit yang dilakukan oleh ICAO pada bulan Februari

2007 yang melaporkan bahwa kapabilitas otoritas

penerbangan sipil Indonesia terhadap pengawasan

keselematan sangat kurang.

4. Kompetensi otoritas penerbangan sipil Indonesia dalam

melaksanakan dan menegakkan standar keselematan. Serta

tidak segera memberikan jawaban atas pertanyaan yang

diajukan oleh komisi Eropa ((EC) No.787/2007)

Empat pertimbangan tersebut yang menjadi cikal bakal

larangan terbang pengangkut dari Indonesia ke Eropa. Dari

keempat poin di atas, yang menjadi krusial adalah hasil audit

yang dilakukan oleh ICAO pada bulan Februari 2007. Hasil audit

tersebut menunjukkan hal-hal penting mengenai keselamatan

38

Page 39: Tugas Hukum Udara Dan Angkasa Larangan Penerbangan

penerbangan di Indonesia. Audit tersebut memberikan

rekomendasi-rekomendasi yang harus dilakukan oleh otoritas

penerbangan sipil di Indonesia. Hasil audit dan rekomendasi dari

ICAO tersebut adalah :30

1. Rekomendasi terhadap Undang-Undang Penerbangan dan

Ketentuan mengenai Penerbangan Sipil

2. Rekomendasi terhadap Organisasi Penerbangan Sipil

3. Rekomendasi terhadap Lisensi Personil dan Pelatihan

4. Rekomendasi terhadap Sertifikasi Pengangkut Udara dan

Pengawasan

5. Rekomendasi terhadap Kelayakan Udara

6. Rekomendasi terhadap Kecelakaan Pesawat dan Penyelidikan

kecelakaan

7. Rekomendasi terhadap Navigasi Udara

8. Rekomendasi terhadap Aerodromes (Bandara Perintis)

Hasil audit juga menyatakan bahwa implementasi dalam

hal pengawasan keselamatan yang belum efektif dilakukan oleh

Indonesia adalah:31

1. Kualifikasi dan Pelatihan staf tekhnik ( 80%)

2. Sistem Penerbangan Sipil dan Fungsi Pengawasan

Keselamatan (50,94%)

3. Resolusi mengenai keselamatan (50%)

30 www.icao.int/usoap,Appendix I)31 (www.icao.int/usoap ,Appendix II)

39

Page 40: Tugas Hukum Udara Dan Angkasa Larangan Penerbangan

4. Undang-Undang Penerbangan (41,67%)

5. Prosedur dan Petunjuk Tekhnis (38,65%)

6. Kewajiban Pengawasan (36,47%)

7. Ketentuan Khusus Pelaksanaan (33,74%)

8. Lisensi dan Sertifikasi (28,97%)

Hasil audit yang dilakukan oleh ICAO secara jelas dapat

diartikan bahwa banyak hal yang harus dilakukan oleh Indonesia

untuk memperbaiki sistem keselamatan penerbangan sipil. Jika

melihat hasil audit tersebut maka dapat dibenarkan tindakan Uni

Eropa memberlakukan larangan terbang terhadap pengangkut

dari Indonesia. Ketentuan tersebut diputuskan berdasarkan

ketentuan dalan EASA yang menganut perlindungan

keselamatan penerbangan bagi warga negara mereka.

Namun, yang menjadi permasalahan adalah bahwa apakah

larangan terbang yang dikeluarkan oleh Komite Eropa itu bersifat

mengikat para negara-negara Eropa?. Hal ini terkait karena

terdapat perjanjian-perjanjian bilateral yang telah dilakukan oleh

Indonesia dengan negara-negara Eropa sedangkan Indonesia

tidak memiliki perjanjian penerbangan sipil dengan Uni Eropa.

Pada tanggal 30 April 2004 Komite Eropa mengeluarkan aturan

(EC) No. 847/2004 tentang ketentuan mengenai perjanjian

antara negara anggota Uni Eropa dengan negara ketiga. Dalam

konsideran poin pertama telah dinyatakan bahwa perjanjian

40

Page 41: Tugas Hukum Udara Dan Angkasa Larangan Penerbangan

bilateral antara negara anggota Uni Eropa dengan negara ketiga

telah terjadi sebelum ketentuan ini dikeluarkan. Akan tetapi

terdapat ketentuan lain yang menyatakan bahwa, berdasarkan

putusan pengadilan Eropa, komunitas Eropa memiliki hak

ekslusif atas perjanjian tersebut. Jika ketentuan tersebut

demikian, apakah perjanjian pengangkut udara antara negara-

negara anggota Uni Eropa menjadi batal demi hukum

berdasarkan putusan dari pengadilan Eropa tersebut?.

Apabila dilihat bahwa dalam mengeluarkan (EC) No.

787/2007, Komite Eropa menyatakan bahwa ketentuan tersebut

telah disepakati oleh 27 negara anggota Uni Eropa, maka

perjanjian bilateral sebelum ketentuan tersebut keluar menjadi

batal. Dengan batalnya perjanjian pengangkut udara tersebut

maka masing-masing pihak, baik pengangkut dari negara

anggota Uni Eropa maupun dari Indonesia tidak dapat melintas di

wilayah teritorial masing-masing, meskipun Indonesia tidak

mengeluarkan larangan yang sama terhadap pengangkut sipil

dari Uni Eropa. Hal ini dikarenakan sesuai dengan ketentuan dari

Konvensi Chicago 1944, pasal 6, yang menyatakan bahwa setiap

penerbangan berjadwal harus mendapatkan izin dari negara

kolong. Izin penerbangan sipil komersil tersebut biasanya dapat

dilakukan apabila telah terjalin perjanjian pengangkut udara baik

secara bilateral maupun multilateral.

41

Page 42: Tugas Hukum Udara Dan Angkasa Larangan Penerbangan

C. Dampak Larangan Terbang Ke Eropa Bagi Indonesia

Pada saat naskah ini disiapkan masih terdapat 43

perusahaan penerbangan Indonesia dilarang terbang ke Eropa.

Sebenarnya larangan tersebut tidak secara langsung

berpengaruh kepada perusahaan nasional, karena perusahaan

penerbangan tersebut tidak mempunyai rute penerbangan ke

Eropa, tetapi secara tidak langsung larangan terbang ke Uni

Eropa tersebut mempunyai dampaknegatif yang sangatbesar

terhadap wisalawan asing khususnya dari Eropa ke Indonesia,

karena mereka tidak percaya kepada perusahaan penerbangan

Indonesia, bahkan orang asing yang tinggal di Jakarta mau pergi

ke Bali terpaksa terbang ke Singapura dan dari Singapura

terbang ke Bali menggunakan perusahaan penerbangan asing.

Sebenarnya masalah larangan terbang tersebut bukan hal

yang baru. Selama perang, perusahaan penerbangan dari negara

lawan perang dilarang terbang di atas wilayah negaranya,

terutama sekali saat perang dingin antara Barat yang diwakili

oleh Amerika Serikat dan Timur yang diwakili oleh Uni Soviet.

Amerika Serikat menolak perusahaan penerbangan terbesar Uni

Soviet, Aeroflot, sebaliknya semua pesawat udara buatan

Amerika Serikat dilarang terbang di wilayah udara Uni Soviet.

42

Page 43: Tugas Hukum Udara Dan Angkasa Larangan Penerbangan

Pada saat konsolidasi pemerintahan Kuba di bawah Presiden

Fidel Castro, semua perusahaan penerbangan dari Kuba dilarang

terbang ke Amerika Serikat. Larangan terbang perusahaan

penerbangan di ketiga negara tersebut berdasarkan

pertimbangan politik. Sebenarnya, menurut Konvensi Chicago

1944 yang merupakan konstitusi penerbangan sipil internasional

tersebut larangan terbang atas dasar politik dilarang, tetapi

dalam kenyataannya terjadi larangan atas dasar pertimbangan

politik.

Menurut Ketua Umum DPD Association of Indonesia Travel

Agent (Asita) DKI Jakarta Herna P. Danuningrat, larangan terbang

UE berakibat pada sulitnya operator wisata menawarkan daerah

kunjungan wisata selain Bali. Tujuan wisata di kawasan timur

Indonesia merupakan yang paling parah terkena dampak

larangan itu sebab daerah wisata di sana tidak memiliki

penerbangan langsung menggunakan maskapai asing.

CEO Panorama Tours DMC Dharma Tirtawisata

mengungkap kerugian Indonesia akibat larangan terbang UE

diperkirakan sedikitnya Rp4 triliun. Angka itu dihitung

berdasarkan jumlah turis Eropa yang pelesir ke Indonesia rata-

rata 800.000 orang per tahun. Dari jumlah itu sekitar 40% atau

320.000 orang merupakan pasar paket Hoping Island yang dijual

US$1.500 per turis.

43

Page 44: Tugas Hukum Udara Dan Angkasa Larangan Penerbangan

Terkait bisnis Banyak pihak menilai larangan terbang UE

sebenarnya bukan soal teknis semata, melainkan terkait masalah

bisnis. Argumentasi tersebut muncul karena berlarut-larutnya

penyelesaian larangan terbang itu. Komisi UE, pihak yang

menjatuhkan sanksi itu, terkesan enggan menyelesaikan

masalah itu secepatnya. Respons UE itu berbeda dengan Arab

Saudi yang bereaksi cepat setelah mengirimkan surat

permintaan klarifikasi ke Indonesia soal larangan terbang UE.

General Authority of Civil Aviation (GACA), otoritas penerbangan

sipil negara itu, telah menyelesaikan verifikasi ke Ditjen

Perhubungan Udara dan Garuda Indonesia, serta menyimpulkan

tidak akan ada larangan terbang.

Menurut Martono, pemerhati penerbangan, menilai kasus

larangan terbang UE lebih banyak menyangkut unsur persaingan

bisnis antara produsen pesawat asal AS Boeing dan produsen

pesawat Eropa Airbus. “Kabar ini sudah muncul sejak awal Komisi

Uni Eropa berencana melarang terbang seluruh maskapai

Indonesia ke kawasan mereka. Kasus paling santer adalah

berlarut-larutnya masalah negosiasi utang antara Garuda dan

para kreditornya di Eropa. Utang Garuda kepada semua

kreditornya kini mencapai US$640 juta. Sebanyak US$463 juta di

antaranya merupakan kucuran dari European Credit Agency

(ECA) untuk pembelian enam dari sembilan unit pesawat Airbus

44

Page 45: Tugas Hukum Udara Dan Angkasa Larangan Penerbangan

A330. Sisanya, berupa utang kepada pemegang floating rate

notes (FRN) senilai US$103 juta, Export Development of Canada

US$12,1 juta dan Bank BNI US$10 juta. Jaminan pemerintah

Selain itu, pembelian pesawat dengan skema sewa beli dari

Airbus yang awalnya berjumlah sembilan pesawat, tapi tiga unit

ditangguhkan, sama sekali tanpa jaminan pemerintah

(government guarantee).

Sebaliknya, selama negosiasi utang dengan ECA

berlangsung, Garuda dengan jaminan penuh pemerintah

meneken pemesanan 10 Boeing 787 Dreamliner seri 8 dan 18

Boeing 737 New Generation senilai US$2 miliar. Rencananya,

pesawat Dreamliner akan bergabung dalam armada Garuda

Indonesia mulai 2011 sampai 2013. Sinyalemen berlarutnya

negosiasi utang ECA oleh Garuda yang berimbas kepada

larangan terbang UE itu tak dibantah Menhub Jusman Syafii

Djamal. Menhub hanya mengatakan masalah larangan terbang

UE secepatnya akan tuntas jika semua proses teknis dilalui.

“Semua akan tuntas secepatnya.” Kabar dari sumber resmi di

Dephub mengatakan Menhub telah mengirimkan surat ke

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati untuk mengeluarkan

government guarantee guna menyelesaikan utang Garuda ke

ECA. Permintaan Menhub tersebut diharapkan memperlancar

negosiasi pemerintah untuk menyelesaikan masalah larangan

45

Page 46: Tugas Hukum Udara Dan Angkasa Larangan Penerbangan

terbang yang belum juga ditanggapi positif oleh Komisi UE. Tak

terasa larangan terbang Komisi Uni Eropa terhadap 51 maskapai

penerbangan Indonesia sudah masuk bulan kedua. Namun,

sanksi yang dijatuhkan nun jauh di Brussel, Belgia, 6 Juli lalu, itu

belum menunjukkan tanda-tanda akan dicabut. Padahal,

larangan terbang berbumbu peringatan agar agen perjalanan

dan semua warga Eropa tak memakai maskapai nasional itu

mulai memakan ’korban.’

Salah satu sektor yang terpukul adalah industri pariwisata,

termasuk kalangan agen perjalanan yang biasa mengurus

pelancong asal Eropa. Seperti diutarakan Ketua Umum DPD

Association of Indonesia Travel Agent (Asita) DKI Jakarta Herna P.

Danuningrat, larangan terbang UE itu mempersulit operator

wisata menawarkan daerah kunjungan wisata selain Bali. Tujuan

wisata di kawasan timur Indonesia merupakan yang paling parah

terkena dampak larangan itu sebab daerah wisata di sana tidak

memiliki penerbangan langsung menggunakan maskapai asing.

CEO Panorama Tours DMC Dharma Tirtawisata

mengungkap kerugian Indonesia akibat larangan terbang UE

diperkirakan sedikitnya Rp4 triliun. Angka itu dihitung

berdasarkan jumlah turis Eropa yang pelesir ke Indonesia rata-

rata 800.000 orang per tahun. Dari jumlah itu sekitar 40% atau

320.000 orang merupakan pasar paket Hoping Island yang dijual

46

Page 47: Tugas Hukum Udara Dan Angkasa Larangan Penerbangan

US$1.500 per turis. Terkait bisnis Banyak pihak menilai larangan

terbang UE sebenarnya bukan soal teknis semata, melainkan

terkait masalah bisnis. Argumentasi tersebut muncul karena

berlarut-larutnya penyelesaian larangan terbang itu. Komisi UE,

pihak yang menjatuhkan sanksi itu, terkesan enggan

menyelesaikan masalah itu secepatnya. Respons UE itu berbeda

dengan Arab Saudi yang bereaksi cepat setelah mengirimkan

surat permintaan klarifikasi ke Indonesia soal larangan terbang

UE. General Authority of Civil Aviation (GACA), otoritas

penerbangan sipil negara itu, telah menyelesaikan verifikasi ke

Ditjen Perhubungan Udara dan Garuda Indonesia, serta

menyimpulkan tidak akan ada larangan terbang. Kamis Martono,

pemerhati penerbangan, menilai kasus larangan terbang UE

lebih banyak menyangkut unsur persaingan bisnis antara

produsen pesawat asal AS Boeing dan produsen pesawat Eropa

Airbus. “Kabar ini sudah muncul sejak awal Komisi Uni Eropa

berencana melarang terbang seluruh maskapai Indonesia ke

kawasan mereka,” kata Martono.

Kasus paling santer adalah berlarut-larutnya masalah

negosiasi utang antara Garuda dan para kreditornya di Eropa.

Utang Garuda kepada semua kreditornya kini mencapai US$640

juta. Sebanyak US$463 juta di antaranya merupakan kucuran

dari European Credit Agency (ECA) untuk pembelian enam dari

47

Page 48: Tugas Hukum Udara Dan Angkasa Larangan Penerbangan

sembilan unit pesawat Airbus A330. Sisanya, berupa utang

kepada pemegang floating rate notes (FRN) senilai US$103 juta,

Export Development of Canada US$12,1 juta dan Bank BNI

US$10 juta.

Jaminan pemerintah Selain itu, pembelian pesawat dengan

skema sewa beli dari Airbus yang awalnya berjumlah sembilan

pesawat, tapi tiga unit ditangguhkan, sama sekali tanpa jaminan

pemerintah (government guarantee). Sebaliknya, selama

negosiasi utang dengan ECA berlangsung, Garuda dengan

jaminan penuh pemerintah meneken pemesanan 10 Boeing 787

Dreamliner seri 8 dan 18 Boeing 737 New Generation senilai

US$2 miliar.

Rencananya, pesawat Dreamliner akan bergabung dalam

armada Garuda Indonesia mulai 2011 sampai 2013. Sinyalemen

berlarutnya negosiasi utang ECA oleh Garuda yang berimbas

kepada larangan terbang UE itu tak dibantah Menhub Jusman

Syafii Djamal. Menhub hanya mengatakan masalah larangan

terbang UE secepatnya akan tuntas jika semua proses teknis

dilalui. “Semua akan tuntas secepatnya.” Kabar dari sumber

resmi di Dephub mengatakan Menhub telah mengirimkan surat

ke Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati untuk mengeluarkan

government guarantee guna menyelesaikan utang Garuda ke

ECA.

48

Page 49: Tugas Hukum Udara Dan Angkasa Larangan Penerbangan

Permintaan Menhub tersebut diharapkan memperlancar

negosiasi pemerintah untuk menyelesaikan masalah larangan

terbang yang belum juga ditanggapi positif oleh Komisi UE.

Namun, Direktur Utama Garuda Emirsyah Satar menilai masalah

larangan terbang UE sama sekali tak ada kaitan dengan

penundaan pembayaran cicilan pokok utang ke ECA. “Saat ini

kami sedang bernegosiasi dengan ECA,” kata Emir. Dia juga

membantah ada perbedaan fasilitas yang diberikan pemerintah

untuk pengadaan enam pesawat Airbus A330 dengan 10

pesawat Boeing 787 Dreamliner dan 18 Boeing 737 NG sehingga

muncul larangan terbang UE. Namun, Direktur Utama Garuda

Emirsyah Satar menilai masalah larangan terbang UE sama

sekali tak ada kaitan dengan penundaan pembayaran cicilan

pokok utang ke ECA. “Saat ini kami sedang bernegosiasi dengan

ECA,” kata Emir. Dia juga membantah ada perbedaan fasilitas

yang diberikan pemerintah untuk pengadaan enam pesawat

Airbus A330 dengan 10 pesawat Boeing 787 Dreamliner dan 18

Boeing 737 NG sehingga muncul larangan terbang UE.

D. Penyelesaian Sengketa Atas Larangan Terbang Uni

Eropa

Setiap sengketa dalam ruang lingkup masyarakat

internasional pertama kali harus merujuk pada piagam PBB.

49

Page 50: Tugas Hukum Udara Dan Angkasa Larangan Penerbangan

Prinsip dalam piagam adalah bahwa setiap sengketa antara

negara anggota PBB harus diselesaikan secara damai sehingga

perdamaian dan keamanan internasional tidak terganggu (Pasal

2 (3) Piagam PBB).

Menurut Diederiks-Verschoor terdapat beberapa

kemungkinan jurisdiksi dalam menyelesaikan sengketa dalam

masalah penerbangan, yaitu :32

1) Mahkamah Internasional, dengan melihat jurusdiksi umum

yang terdapat dalam pasal 36 ayat 1 Statuta.

2) Yurisdiksi berdasarkan Pasal 84 Konvensi Chicago 1944.

3) Sebelum sampai pada dewan (council) ICAO; maka para pihak

harus menyatakan “compulsory jurisdiction”, Pasal 84

Konvensi Chicago 1944.

4) Sebagai badan khusus PBB, ICAO, dapat meminta nasihat

hukum kepada mahkamah internasional sesuai dengan pasal

96 (2) Piagam PBB

5) Banding terhadap putusan dewan ICAO, Pasal 84 Konvensi

Chicago 1944.

6) Opsional Yurisdiksi oleh dewan ICAO.

7) Arbitrase berdasarkan perjanjian bilateral maupun

multilateral.

32 H.Ph.Diederiks-Verschoor, Settlements of Disputes in Aviation and Space, in The Use of Air and Outer Space; Cooperation and Competition, edited by Chia-Jui Cheng, Kluwer Law International, Netherland, 1998, hlm. 232)

50

Page 51: Tugas Hukum Udara Dan Angkasa Larangan Penerbangan

8) Arbitrase oleh Chamber dari Mahkamah Internasional.

9) Arbitrase melalui maskapai yang terdapat dalam International

Air Transport Association (IATA)

Dalam sengketa penerbangan sipil internasional maka

ketentuan khusus yang dapat digunakan sudah pasti Konvensi

Chicago 1944. Ketentuan mengenai penyelesaian sengketa

dapat dilihat dalam pasal 84,85,86,87 dan 88. Ketentuan pasal

84 konvensi menyatakan apabila ketidaksepahaman terjadi

mengenai interpretasi dan pelaksanaan konvensi serta annex-

nya maka hal tersebut dapat diselesaikan melalui dewan ICAO.

Mengenai larangan terbang yang diberlakukan secara

unilateral oleh Uni Eropa terhadap pengangkut dari Indonesia,

hal ini tidak termasuk dalam hal perbedaan interpretasi dan

implementasi dari konvensi dan annex-nya. Jika demikian maka

penggunaan ketentuan penyelesaian sengketa dalam konvensi

Chicago 1944 tidak dapat diberlakukan dalam sengketa di atas.

Penyelesaian sengketa yang utama sudah pasti adalah melalui

negosiasi. Negosiasi yang telah dilakukan selama ini belum

membuahkan hasil dicabutnya larangan terbang tersebut.

Indonesia harusnya mengajukan keberatan kepada ICAO, sebab

Indonesia sedang berusaha untuk memperbaiki sistem

keselamatan penerbangang sipilnya. Komitmen tersebut dapat

terlihat dengan jelas dalam deklarasi yang dilakukan antara

51

Page 52: Tugas Hukum Udara Dan Angkasa Larangan Penerbangan

Indonesia dengan ICAO di Bali tanggal 2 Juli 2007. Indonesia

kemudian meminta kepada ICAO untuk meminta nasihat hukum

kepada mahkamah internasional, apakah tindakan unilateral Uni

Eropa dapat dibenarkan. Alasan yang dapat dikemukakan oleh

Indonesia adalah bahwa dengan adanya larangan tersebut maka

Indonesia khususnya pengangkut Indonesia mengalami kerugian

secara ekonomis, mengganggu lalu lintas orang dan barang,

melanggar prinsip “equality” dan “opportunity”.

Usaha tersebut merupakan sesuatu yang mungkin dapat

dilakukan Indonesia selain juga harus memperbaiki sistem

keselamatan penerbangan sipil komersil. Hal tersebut perlu

dilakukan karena apabila larangan terbang tersebut dibiarkan

berlarut-larut maka citra penerbangan sipil Indonesia menjadi

buruk. Efek dari citra tersebut akan berdampak pada posisi

Indonenesia dalam pergaulan masyarakat internasional.

52

Page 53: Tugas Hukum Udara Dan Angkasa Larangan Penerbangan

BAB IV

PENUTUP

Berdasarkan penjabaran latar belakang dan permasalahan

serta pembahasan di atas, maka penulis mengambil simpulan

sebagai berikut:

1. Tindakan unilateral Uni Eropa memberlakukan larangan

terbang terhadap pengangkut dari Indonesia tidak melanggar

hukum internasional. Hukum internasional menjamin setiap

negara untuk mengatur kegiatan di ruang udaranya. Tindakan

tersebut merupakan bagian dari kedaulatan negara yang

absolut dan ekslusif berdasarkan ketentuan Pasal 1 Konvensi

Chicago 1944. Alasan yang dikemukakan oleh Uni Eropa

didasarkan dari fakta yang relevan, yaitu hasil audit dari

Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) yang

merupakan otoritas utama dalam penerbangan sipil

internasional. Meskipun tindakan Uni Eropa dapat dibenarkan

jika dikaitkan dengan kedaulatan negara, namun apa yang

dilakukan Uni Eropa bukanlah tindakan yang bijaksana.

Harusnya Uni Eropa lebih baik memberikan bantuan teknis

ketimbang memberlakukan larangan terbang.

2. Usaha penyelesaian sengketa yang mungkin dilakukan oleh

Indonesia sebagai pihak yang dirugikan adalah melakukan

53

Page 54: Tugas Hukum Udara Dan Angkasa Larangan Penerbangan

protes kepada ICAO serta menyarankan agar ICAO meminta

nasihat hukum kepada mahkamah internasional. Selain itu

Indonesia juga harus memperbaiki sistem keselamatan

penerbangan sipil-nya.

54

Page 55: Tugas Hukum Udara Dan Angkasa Larangan Penerbangan

DAFTAR PUSTAKA

http://ec.europa.eu/transport/modes/air/safety/air-ban/index_en.htm

http://www.icao.int/PIO/04/07

E. Suherman, SH. Wilayah Udara dan Wilayah Dirgantara, Penerbit Alumni, Bandung, 1984.

I Wayan Parthiana, SH., MH, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung, 1990.

H. Bachtiar Hamzah, SH – Sulaiman Hamid, SH Hukum Internasional II, USU Press Medan, 1997.

JG. Starke, Pengantar Hukum Internasional I, Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta, 1999.

Priyatna Abdulrasyid, SH, Kedaulatan Negara di Ruang Angkasa, Pusat Penelitian Hukum Angkasa, Jakarta 1972.

UU Pokok Agaria (UU No 5 Tahun 1960), UU Pokok Pertambangan (UU No 11 Tahun 1967)

Mochtar Kusumaatmadja, SH, Hukum Laut Internasional, Bina Cipta, Bnadung, 1992.

K. Martono dan Usman Melayu, Perjanjian Angkutan Udara di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1996.

E. Saefullah Wiradipradja, Tinjauan Singkat Atas Berbagai Perjanjian Internasional di Bidang Hukum Udara, Lisan, Bandung, 1990.

I.H.Ph.Diederiks-Verschoor, An Introduction To Air Law, Kluwer, Netherlands, 1988.

Pablo Mendes de Leon, Unilateral Efforts to Enhance Security, in The Use of Air and Outer Space: Cooperation and Competition, edited by Chia-Jui Cheng, Kluwer Law International, Netherlands, 1998.

55

Page 56: Tugas Hukum Udara Dan Angkasa Larangan Penerbangan

Michael Milde, Problems of Safety Oversight, in The Use of Air and Outer Space: Cooperation and Competition, edited by Chia-Jui Cheng, Kluwer Law International, Netherlands, 1998.

www.icao.int/usoap,Appendix I)

(www.icao.int/usoap ,Appendix II)

56

Page 57: Tugas Hukum Udara Dan Angkasa Larangan Penerbangan

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI........................................................................... i

BAB I : PENDAHULUAN........................................................ 1

A. Latar Belakang................................................... 1

B. Permasalahan.................................................... 4

BAB II : TINJAUAN TEORETIS................................................ 5

A. Pengertian Kedaulatan...................................... 5

B. Kedaulatan Suatu Negara Atas Ruang Udara

Wilayahnya........................................................ 10

C. Zona Larangan Terbang.................................... 18

BAB III PEMBAHASAN........................................................... 25

A. Tinjauan Larangan Terbang Menurut Hukum

Internasional...................................................... 25

B. Larangan Terbang Uni Eropa Kepada

Pengangkut Sipil Indonesia................................ 32

C. Dampak Larangan Terbang Ke Eropa Bagi

Indonesia.................................................................. 41

D. Penyelesaian Sengketa Atas Larangan Terbang

Uni Eropa............................................................ 48

BAB IV : PENUTUP................................................................. 52

DAFTAR PUSTAKA................................................................. 54

57

Page 58: Tugas Hukum Udara Dan Angkasa Larangan Penerbangan

LARANGAN TERBANG UNI EROPA TERHADAP PENGANGKUT DARI INDONESIA

DILIHAT DARI SISI HUKUM UDARA INTERNASIONAL

Tugas Individu Mata Kuliah Hukum Udara dan Angkasa

Dosen:Prof. Dr. H.K. Martono, S.H., LLM.

Oleh:

NAMA : ALEXANDER SENO

NPM : 207122002

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU HUKUMUNIVERSITAS TARUMANAGRA

JAKARTA

58

Page 59: Tugas Hukum Udara Dan Angkasa Larangan Penerbangan

2013

59