BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap negara pada dasarnya memiliki kedaulatan penuh
dan ekskusif atas wilayah udara di atas teritorialnya. Hal ini
merupakan salah satu prinsip yang diatur dalam Konvensi
Chicago 1944. Ketentuan tersebut mengindikasikan bahwa setiap
negara berhak untuk membuat aturan sendiri demi kepentingan
nasional. Namun, ketentuan nasional itu harus diberlakukan
tanpa perbedaan kepada setiap negara.
Atas dasar tersebut Uni Eropa memberlakukan ketentuan
larangan terbang terhadap pengangkut sipil dari Indonesia ke
wilayahnya. Larangan tersebut dibuat untuk melindungi
kepentingan 27 negara-negara Uni Eropa yang dikeluarkan oleh
European Commission pada 4 Juli 2007 (EC No.787/2007).
Ketentuan sepihak tersebut dikeluarkan oleh Uni Eropa dengan
alasan bahwa terdapat bukti kurang terpenuhinya faktor
keselamatan yang dikeluarkan oleh regulator, kemampuan dan
keinginan dari pengangkut untuk mengambil langkah-langkah
yang serius untuk menanggulangi minimnya standar
keselamatan, kemampuan dan keinginan dari regulator untuk
menjamin bahwa pengangkut melaksanakan ketentuan tentang
1
keselamatan penerbangan serta penegakan hukum terhadap
pelanggaran yang dilakukan oleh pengangkut, kemampuan dan
keinginan regulator untuk menyelesaikan masalah keselamatan
yang timbul karena kecelakaan.1
Pemerintah Indonesia sangat menentang ketentuan
larangan tersebut. Pemerintah sebagai regulator memang
mengakui bahwa sepanjang tiga sampai lima tahun terakhir telah
banyak terjadi kecelakaan udara. Namun, sebagai regulator,
pemerintah telah berusaha untuk memperbaiki itu semua.
Komitmen pemerintah tersebut dapat dilihat dengan lahirnya
sebuah deklarasi antara Pemerintah Indonesia dengan ICAO
tanggal 2 Juli 2007 di Bali. Deklarasi tersebut memuat komitmen
pemerintah untuk meningkatkan keselamatan penerbangan
sipil2. Pemerintah mengeluarkan deklarasi tersebut demi
mengembalikan citra penerbangan sipil nasional yang telah
tercoreng akibat banyaknya kecelakaan yang terjadi.
Usaha yang telah dilakukan oleh Indonesia harusnya
menjadi rujukan bagi masyarakat internasional bahwa Indonesia
sungguh-sungguh ingin memperbaiki sistem keselamatan
penerbangan sipil nasional. Akan tetapi, apa yang telah
dilakukan oleh Indonesia ternyata masih dianggap kurang oleh
Uni Eropa. Uni Eropa dalam rilis terakhirnya belum juga
1 http://ec.europa.eu/transport/modes/air/safety/air-ban/index_en.htm2 http://www.icao.int/PIO/04/07
2
mencabut larangan terbang bagi pengangkut dari Indonesia
untuk melintas di atas wilayahnya. Hal ini dikemukakan oleh
Duta Besar Ad Interim Uni Eropa untuk Indonesia, Pierre Philippe.
Beliau menyatakan:
“Indonesia memperlihatkan kemajuan dalam
meningkatkan keselamatan penerbangan terutama satu
tahun terakhir sejak dimulainya pelarangan terbang.
Tetapi, kami menilai masih ada hal-hal yang harus
ditingkatkan, antara lain inspeksi oleh regulator terhadap
maskapai.” (Kompas, Jumat, 25 Juli 2008)
Pernyataan tersebut mengandung bias, di satu pihak Uni
Eropa mengakui adanya perbaikan, namun mereka tetap tidak
mencabut larangan terbang. Pernyataan tersebut ditanggapi oleh
pemerintah melalui Menteri Perhubungan, Jusman Safeii Djamal,
menurut beliau sebanyak 61 persen dari 69 persen temuan
Komisi Eropa atas persoalan keselamatan penerbangan telah
diperbaiki. Sisanya berupa revisi regulasi, diantaranya revisi
Undang-Undang Penerbangan No. 15 tahun 1992. Menteri Luar
Negeri Indonesia, Hassan Wirajuda juga melakukan kritik bahwa
harusnya Indonesia dan Uni Eropa sama-sama harus mematuhi
ketentuan yang diatur dalam Organisasi Penerbangan Sipil
Internasional (ICAO). Uni Eropa tidak berhak melakukan tindakan
unilateral yang bertentangan dengan ketentuan ICAO. Mestinya
3
yang memutuskan apakah suatu negara memadai atau kurang
memadai dalam memajukan keselamatan penerbangan adalah
ICAO dan bukan sekelompok negara dalam Uni Eropa (Kompas,
Sabtu, 26 Juli 2008).
Perbedaan pendapat antara Pemerintah Indonesia dan Uni
Eropa mengenai larangan terbang tersebut harus ditempatkan
dalam bingkai hukum internasional. Meskipun, dalam sebuah
hubungan internasional tidak dapat dihindari sebuah
kepentingan politik nasional tiap pihak, namun dalam konteks
masalah ini, harus diselesaikan melalui mekanisme hukum
internasional yang berlaku. Dalam hal ini, maka Konvensi
Chicago 1944 tentang penerbangan sipil internasional harus
menjadi acuan utama.
Berdasarkan uraian singkat di atas, penulis ingin mencoba
melakukan sebuah penelitian kecil tentang permasalahan
larangan terbang Uni Eropa terhadap pengangkut dari Indonesia
dilihat dari sisi hukum udara internasional.
B. Permasalahan
Permasalahan yang diangkat dalam penelitian kecil ini adalah:
1. Apakah larangan terbang yang diterapkan oleh Uni Eropa
terhadap pengangkut sipil dari Indonesia sesuai dengan
ketentuan hukum internasional?
4
2. Bagaimanakah cara penyelesaian yang tepat atas sengketa
tersebut?
5
BAB II
TINJAUAN TEORETIS
A. Pengertian Kedaulatan
Hakikat dan fungsi kedaulatan dalam masyarakat
internasional sangat penting peranannya. Menurut sejarah, asal
kata kedaulatan berasal dari bahasa Inggris yang dikenal dengan
istilah “souveregnity” yang kemudian berakar dari bahasa Latin,
yaitu “supranus”, yang mempunyai pengertian “yang teratas”.
Tiap negara mempunyai sifat kedaulatan yang melekat padanya,
karena kedaulatan merupakan sifat atau ciri hakiki dari suatu
negara. Bila dikatak suatu negara berdaulat, maka makna yang
terkandung adalah, bahwa negara itu mempunyai suatu
kekuasaan tertinggi dan secara de facto menguasai.3
Kedaulatan pada dasarnya mengandung dua aspek, yaitu:
1. Aspek internal, yaitu berupa kekuasaan tertinggi untuk
mengatur segala sesuatu yang ada atau terjadi di dalam
batas-batas wilayahnya.
2. Aspek eksternal, yaitu kekuasaan tertinggi untuk mengadakan
hubungan dengan anggota masyarakat internasional, maupun
mengatur segala sesuatu yang ada atau terjadi di luar wilayah
3 E. Suherman, SH. Wilayah Udara dan Wilayah Dirgantara, Penerbit Alumni, Bandung, 1984, hal 4.
6
negara itu tetapi sepanjang masih ada kaitannya dengan
kepentingan negara itu.4
Ruang berlakunya kedaulatan ini terbatas oleh batas batas
wilayah negara tersebut, artinya suatu negara hanya mempunyai
kekuasaan tertinggi di dalam batasan wilayah negaranya saja.
Adapun di luar wilayahnya, suatu negara tidak lagi memiliki
kedaulatan sedemikian. Jadi, pengertian kedaulatan sebagai
kekuasaan tertinggi, mengandung dua pembatasan penting
dalam dirinya, yaitu : (1) kedaulatan itu terbatas pada wilayah
negara yang memnpunyai kedaulatan tersebut, dan (2)
kedaulatan tersebut berakhir sampai mana pada batas wilayah
suatu negara lain dimulai. Suatu negara tidak dapat
melaksanakan yurisdiksi eksklusif ke luar wilayah negara
tersebut, yang dapat menggangu kedaulatan wilayah negara
lain. Suatu negara hanya dapat melaksanakan secara eksklusif
dan penuh hanya di dalam wilayahnya saja. Kedaulatan wilayah
atau teritorial ini mempunyai dua aspek, yaitu aspek positif dan
aspek negatif. Aspek positif yang dimaksud adalah berkaitan
dengan sifat hak eksklusif kompetensi suatu negara terhadap
wilayahnya. Sedangkan aspek negatif kedaulatan teritorial ini
adalah adanya kewajiban untuk tidak menggangu hak negara
negara lain.
4 I Wayan Parthiana, SH., MH, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung, 1990, hal 294.
7
Huala Adolf berpendapat, kedaulatan teritorial berarti
kedaulatan yang dimilki oleh suatu negara dalam melaksanakan
jurisdiksi eksklusifnya.5 Sedangkan JG Starke, munculnya konsep
kedaulatan teritorial menandakan bahwa di dalam wilayah
kekuasaan ini, yurisdiksi dilaksanakan oleh negara terhadap
orang-orang dan harta benda yang mengenyampingkan negara-
negara lain.6 Hukum Internasional mengkaui kedaulatan tiap-tiap
negara di dalam wilayahnya masing-masing. Kedaulatan tertinggi
yang dijalankan suatu negara terhadap wilayahnya menunjukkan
bahwa pada satu wilayah hanya ada satu negara berdaulat dan
tidak mungkin ada atau lebih negara berdaulat pada satu
wilayah yang sama. Salah satu unsur yang terpenting dari suatu
negara adalah adanya wilayah. dalam wilayah inilah suatu
negara menjalankan segala aktivitasnya. Dengan demikian,
dapatlah dikatakan bahwa tidak mungkin ada negara tanpa
adanya pemilikan atas suatu wilayah.
Menurut Oppenheim-Lauterpacht, pengertian wilayah
adalah : “State territory is that definited portion of the surface of
the globe which is subjected to the souvereignity of a state”.7
Dalam wilayah itulah negara menjalankan kedaulatannya,
sehingga sebuah negara tidak mungkin ada, tanpa adanya 5 H. Bachtiar Hamzah, SH – Sulaiman Hamid, SH Hukum Internasional II, USU Press Medan, 1997. hal 36. 6 JG. Starke, Pengantar Hukum Internasional I, Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta, 1999. hal 210. 7 Op.Cit. hal 36.
8
wilayah, meskipun wilayah itu mungkin kecil dan dalam wilayah
itulah negara menjalankan yurisdiksi eksklusifnya secara penuh.
Pentingnya wilayah bagi suatu negara dapat dilihat pada
kenyataan bahwa dalam ruang lingkup wilayah itulah negara
menjalankan kekuasaan tertingginya. Wilayah suatu negara
merupakan objek hukum internasional.
Kedaulatan teritorial suatu negara mencakup tiga dimensi,
yaitu yang terdiri atas daratan, termasuk segala yang berada di
dalam tanah tersebut dan yang terdapat di atas permukaan
tanah tersebut, laut dan udara.
Persoalan yang menyangkut tentang maslah kedaulatan
dari berbagai negara atas ruang udara di atas wilayah mereka,
juga menimbulkan permasalahan tertentu, yaitu mengenai
penetapan batas antara ruang angkasa dan ruang udara. Hal ini
terjadi karena sampai saat ini beum ada batas yang tegas antara
ruang angkasa dan runag angkasa.
Penetapan batas antar ruang tersebut sangat penting,
karena penentuan kedaulatan suatu negara terhadap ruang
udara di atas wilayah negaranya ditentukan oleh adanya
ketegasan dari batas antara kedua ruang tersebut. Selain itu
penetapan batas antara ruang udara dengan ruang angkasa
tersebut juga demi menghindari konflik antar negara negara
kolong atau subjacent state.
9
Adapun ruang udara menurut pasal 1 angaka 2 Undang
Undang Nomor 1 Tahun 2009, disebut juga wilayah udara adalah
wilayah kedaulatan udara di atas wilayah daratan dan perairan
Indonesia. Sedangkan menurut pasal 1 Konvensi Chicago 1944,
ruang udara adalah merupakan suatu jalur udara di atmosfer
yang berisikan cukup udara di mana pesawat udara dapat
bergerak karena reaksi udara kepadanya sehingga mendapat
gaya angkat (lift). Dalam pada pasal ini juga ditegaskan bahwa
setiap negara memiliki yurisdiksi eksklusif dan wewenang untuk
mengontrol ruang udara di atas wilayahnya. Pesawat terbang
negara lain, baik pesawat militer ataupun sipil tidak akan
mendapat hak sama sekali untuk memasuki ruang udara atau
mendarat di wilayah tersebut tanpa persetujuan negara yang
bersangkutan.
Kemudian, penafsiran Prof. Peng, ruang udara merupakan
ruang yang dapat dimafaatkan atau semua ruang yang dapat
dicapai manusia.8 Ruang angkasa itu sendiri pengertiannya
adalah : “suatu ruang di luar ruang udara di mana tidak lagi
terdapat gas gas udara atau atmosfer yang di dalamnya
terdapat benda benda ruang angkasa seperti bulan dan benda
benda langit lainnya”. 9
8 Op.Cit.9 Op.Cit., hal. 7
10
Mengenai ruang angkasa itu sendiri, diatur dalam Space
Treaty 1967. Dari pengertian-pengertian di atas, maka terasa
tidaklah mungkin suatu negara tertentu dapat melaksanakan hak
dan kedaulatannya di luar daripada batas-batas gaya tarik bumi,
yang diperkirakan berada pada jarak sekitar 260.000 kilometer
dari permukaan laut, diukur secara tegak lurus.10
Adapun pendapat ini bersumber kepada suatu doktrik
klasik yang menyatakan bahwa : “adalah menjadi hak dan
kewajiban suatu negara untuk melindungi dirinya dan
perlindungan tersebut dipandang perlu dan wajar kalau negara
tersebut mempunyai hak-hak untuk mengawasi bagian dari
wilayahnya”. 11
B. Kedaulatan Suatu Negara Atas Ruang Udara
Wilayahnya
Penguasaan ruang udara sejak dahulu telah merupakan
suatu masalah yang selalu dipersoalkan. Sebuah dalil hukum
Romawi mengatakan “cujus est solum, ejus est usque coelum”,
yang artinya barang siapa yang memiliki sebidang tanah,
dengan demikian juga memiliki segala-galanya yang berada di
atas permukaan tanah sampai ke langit dan segala apa yang
10 Prof. Dr. Priyatna Abdulrasyid, SH, Kedaulatan Negara di Ruang Angkasa, Pusat Penelitian Hukum Angkasa, Jakarta 1972, hal 14.11 Ibid, hal. 15
11
berada di dalam tanah tersebut.12 Pengaruh dari asas tersebut
menular pada teori-teori kedaulatan yang berkembang
sesudahnya, dan sekarang menjadi prinsip yang kuat dan
universal. Dari asas ini terlihat bahwa sejak dahulu negara telah
mengakui dan melindungi adanya hak-hak dari pemilik penduduk
negara . Hak-hak tersebut juga berlaku bagi ruang udara yang
berada di atasnya tanpa batas apapun dan pendirian ini telah
dianut di negara-negara lain seperti, bahkan Indonesia seperti
yang tercantum dala pasal 571 KUHPerdata yang berbunyi : “Hak
milik atas sebidang tanah mengandung di dalamnya kepentingan
atas segala apa yang ada di atasnya dan di dalam tanah ...”.
Tetapi masalah hak milik tersebut sekarang sudah tidak berlaku
mutlak lagi, karena sudah dibatasi dengan oleh peraturan negara
yang khusus demi kepentingan-kepentingan umum. 13
Perkembangan dan prinsip-prinsip tersebut di atas dapat
diteliti melalui doktrin mengenai lautan yang telah
dikembangkan oleh seorang ahli hukum internasional, Yaitu
Grotius. Pada tahun 1609, ia menulis buku “Mare Liberum” yang
menyatakan bahwa laut tersebut terbuka dan dapat dilayari oleh
siapapun serta tidak menjadi milik siapapun.14
12 Ibid, hal. 49 13 UU Pokok Agaria (UU No 5 Tahun 1960), UU Pokok Pertambangan (UU No 11 Tahun 1967) 14 Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH, Hukum Laut Internasional, Bina Cipta, Bnadung, 1992 hal 12
12
Hal ini ditulis Grotius sebagai pembelaan hak orang
Belanda untuk melayari lautan. Sedangkan alasan yang
diajukannya adalah karena lautan itu sendiri merupakan benda
milik bersama , disebabkan oleh kondisi laut itu sendiri, akan
tetapi pendapat tersebut mendapat bantahan dari John Shelden,
seorang Inggris, yang menyatakan laut adalah tertutup.
Menurut pendapat Prof. Dr. Priyatna Abdurrasyid, teori
yang dikembangkan oleh John Shelden tersebut dimaksudkan
untuk membenarkan politik Inggris pada waktu iti mengenai
lautan. Ia mengemukakan bahwa lautan tersebut dapat menjadi
milik suatu negara, pendapat di mana yang jelas menentang
pendapat Grotius yang menganut ajaran kebebasan lautan.
Dengan timulnya permasalahn penerbangan pada era abad 19
atau awal abad 20, soal bebas tidaknya seperti diuraikan telah
menjelma menjad soal bebas atau tidaknya angkasa yang
berkisar pada masalah apakah angkasa terutama ruang udara itu
ada di bawah kedaulatan suatu negara atau tidak. Paul Fauchille,
seorang berkebangsaan Prancis, mengusahakan menerapkan
doktrin Grotius tersebut ke dalam masalah kedaulatan suatu
negara di ruang udara dengan mengatakan bahwa udara itu
bebas. Sudahlah pasti tindakan mempersamakan lautan dengan
ruang udara tersebut tidak benar. Dalam hal ini seorang sarjana
Inggris berpendapat bahwa :
13
“.... udara itu bukan lautan dan kapal layar bukan kapal
udara. Sedangkan kondisi lautan dan udara tersebut
sangat berlainan pula. Hubungan antara lautan dengan
udara tersebut berlainan sama sekali dengan hubungan
lautan dengan daratan, lautan bukan merupakan
merupakan syarat adanya suatu negara, berbeda halnya
dengan udara yang merupakan syarat mutlak bagi
kehidupan di dunia”.15
Oleh karena itu, pendirian Hazeltine tersebut di atas
mendapat dukungan dadri para sarjana Inggris lainnya seperti
Westlake dan Lycklama, yang mengatakan pula, bahwasanya
ruang udara itu tidak bebas. Pendapat tersebutmendapat
dukungan dari kebanyakan ahli hukum waktu itu. Pada
kenyataannya pendirian merekalah yang sampai saat ini dianut
oleh dunia internasional.
Mengenai masalah pemilikan ruang udara ini pada waktu
itu mendapat dua kelompok besar, yaitu :
1. Mereka yang berpendapat bahwa udara karena sifatnya itu
bebas. Para penganut ini dikelompokkan sebagai penganut
teori ruang udara bebas, yang terbagi atas :
a. kebebasan ruang udara tanpa batas.
15 Prof. Dr. Priyatna Abdulrasyid, SH Kedaulatan Negara Di Ruang Udara. Pusat Penelitian Hukum Angkasa, Jakarta, 1972, hal 55
14
b. kebebasan ruang udara yang dilekati beberapa hak khusus
negara kolong.
c. kebebasan ruang udara, tetapi diadakan semacam wilayah
teritorial di daerah mana hak-hak tertentu negara kolong
dapat dilaksanakan.
2. Mereka yang berpendapat bahwa negara itu berdaulat
terhadap ruang udara di atas wilayah negaranya. Terbagi atas
:
a. negara kolong yang berdaulat penuh hanya terhadap
ketinggian tertentu di ruang angkasa.
b. negara kolong berdaulat penuh, tetapi dibatasi oleh lintas
damai bagi navigasi pesawat udara asing.
c. negara kolong berdaulat penuh tanpa batas (up to the sky,
ad infintum).
Berkaitan dengan ruang udara di atas wilayah yang
dikuasai dan di atas perairan yang tunduk pada kedaulatan
negara, seperti yang telah dikemukakan di atas, terdapat
sejumlah teori yang beragam. Akan tetapi karena pecahnya
perang dunia pertama pada tahun 1914, karena alasan darurat
dan praktis, dianggap bahwa satu-satunya teori yang diterima
oleh semua negara adalah teori kedaulatan negara atas ruang
udara adalah tidak terbatas.
15
Teori ini dipakai dan dikukuhkan tidak hanya oleh negara
negara yang sedang berperang, akan tetapi juga oleh negara –
negara netral. Teori tersebut dnyatakan dalam Pasal 1 Konvensi
Paris 1919, untuk pengaturan navigasi udara, di mana ara
peserta perjanjian mengakui bahwa setiap neagara memiliki
kedaulatan yang lengkap dan eksklusif atas ruang udara di atas
wilayahnya dan perairan teritorialnya. Tapi bagaimanapun juga
konsep kedaulatan tersebut masih bisa dibatasi dengan adanya
hak lintas damai bagi pesawat – pesawat asing.
Konvensi Paris menurut ketentuan-ketentuan rinci bagi
pengaturan internasional navigasi udara, sebagian bertujuan
menetapkan keseragaman. Bagi pesawat udara yang tidak
melakukan pelayanan udara atau jasa angkutan udara berjadwal,
dengan pengecualian bahwa pesawat-pesawat tersebut dimiliki
oleh negara-negara peserta Konvensi, harus mendapat
kebebasan lintas damai melalui ruang udara di atas wilayah
negara peserta lain, tunduk pada penataan syarat-syarat yang
ditetapkan dalam Pasal 2 Konvensi Paris.
Pada umumnya, sebelum perang dunia kedua, hak-hak
mendarat bagi pesawat udara asing tetap berada di dalam
lingkup kebijaksanaan negara yang bersangkutan. Konsep
kedaulatan negara di ruang udara sebagaimana yang tercantum
dalam Pasal 1 Konvensi Paris 1919, telah secara rinci
16
dicantumkan pula pada Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 yang
berbunyi sebagai berikut : “The Contracting State, recognize that
every, state has complete and exclusive souvereignity in the
airspace above its territory”. Jadi, hal pokok pada konvensi-
konvensi tersebut adalah adanya ketegasan bahwa negara-
negara anggota mengakui bahwa setiap negara mempunyai
kedaulatan yang lengkap dan eksklusif terhadap ruang udara
yang di atas wilayahnya.
Oleh sebab itu, walaupun semua negara ikut dalam
Konvensi tersebut, namun khusus dalam masalah kedaulatan
negara di ruang udara, negara-negara telah bersepakat bahwa
hal demikian tidak menjadi alasan untuk tidak mengakui
kedaulatannya di wilayah ruang uadaranya, karena memang
masalah kedaulatan negara di ruang angkasa dipertegas dalam
konvensi internasional, sehingga mengenai prinsip kedaulatan ini
tidak mengalami kendala apa-apa.16
Mengingat bahwa konvensi internasional selalu menjadi
bahan bagi perundang-undangan nasional, demikian juga dengan
konvensi-konvensi penerbangan internasional yang kemudian
diadopsi ke dalam perundang-undangan nasional. Untuk pertama
kalinya mengenai penerbangan ini diatur pada Undang Undang
Nomor 83 tahun 1958. Namun demikian pada Undang Undang
16 Ibid., hal. 97
17
tersebut tidak ada diatur mengenai kedaulatan negara Indonesia
terhadap ruang udara, kecuali dikatakan bahwa :
“Dilarang melakukan penerbangan selainya dengan
pesawat udara yang mempunyai kebangsaan Indonesia,
atau dengan pesawat udara asing berdasarkan perjanjian
internasional atau berdasarkan persetujuan pemerintah”.
Namun demikian dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4
Tahun 1960 dapat dijadikan sebagai pegangan yang dalam
penjelasan undang undang tersebut dikatakn bahwa ruang udara
di atas wilayah daratan dan perairan teritorial menjadi hak
kedaulatan Indonesia.
Setelah dikeluarkan Undang Undang penerbangan yang
baru, yaitu Undang Undang Nomor 1 Tahun 2009, dengan jelas
dikatakan dalam pasal 5 bahwa :
“Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan
eksklusif atas wilayah udara Republik Indonesia”.
Selanjutnya dalam pasal 6 dikatakan pula :
“Dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan negara atas
wilayah udara Negara Kesatuan Republik Indonesia,
Pemerintah melaksanakan wewenang dan tanggung jawab
pengaturan ruang udara untuk kepantingan penerbangan,
perekonomian nasional, pertahanan dan keamanan
negara, sosial budaya serta lingkungan udara”.
18
Dengan telah diundangkannya Undang Undang Nomor 1
Tahun 2009, maka Undang Undang Nomor 15 Tahun 1992,
dinyatakan tidak berlaku lagi dan digantikan dengan yang baru
berdasarkan Undang Undang Nomor 1 Tahun 2009. Dengan
demikian mengenai konsep kedaulatan negara di ruang uadar
tersebut sudah diatur dalam perundang-undangan Indonesia dan
menyatakan bahwa Indonesia berdaulat penuh dan utuh atas
wilayah udaranya, sehingga dengan demikian ruang udara
tersebut menjadi bentuk wilayah Indonesia sebagai suatu
kesatuan politik, yang berbentuk tiga dimensi.17
C. Zona Larangan Terbang
Berdasarkan prinsip hukum udara internasional, masalah
penetapan zona larangan terbang merupakan upaya negara-
negara untuk mempertahankan kedaulatannya di ruang uadara.
Sejak sebelum pecahnya Perang Dunia Pertama, sejalan dengan
perkembangan teknologi penerbangan, negara-negara di dunia
ini berhadapan dengan kenyataan-kenyataan yang mendorong
mereka untuk menetapkan zona larangan terbang. Pengalaman
selama Perang Dunia Pertama tersebut telah membuktikan
kebenaran konsep bahwa kedaulatan negara kolong terhadap
ruang udara nasional di atas teritorial negaranya perlu
ditegaskan. Keselamatan dan keamanan wilayah udara nasional
17 Ibid., hal. 98
19
sesuatu negara perlu dipertimbangkan dan diregaskan. Di sisi
lain perlu diperketat sistem pengamanan dan pengawasan
kawasan udara. Padahal dari sudut pandang lain, negara-negara
menyadari pula bahwa teknologi serta alat transportasi baru
yang memanfaatkan ruang udara sebagai sarana lalu lintasnya,
sesungguhnya bersifat internasional dan mempinyai karakteristik
khusus. Berbeda dengan alat pengangkut lain di darat dan di
laut, maka pengankutan melalui udara ini bersifat lintas batas
geografis, di mana kemampuan melewati dan menembus batas-
batas wilayah udara nasional suatu negara dapat dikatakan
dengan sangat indah.
Berdasarkan prinsip hukum udara internasional, masalah
penetapan zona larangan terbang merupakan upaya negara-
negara untuk mempertahankan kedaulatannya di ruang uadara.
Sejak sebelum pecahnya Perang Dunia Pertama, sejalan dengan
perkembangan teknologi penerbangan, negara-negara di dunia
ini berhadapan dengan kenyataan-kenyataan yang mendorong
mereka untuk menetapkan zona larangan terbang. Pengalaman
selama Perang Dunia Pertama tersebut telah membuktikan
kebenaran konsep bahwa kedaulatan negara kolong terhadap
ruang udara nasional di atas teritorial negaranya perlu
ditegaskan. Keselamatan dan keamanan wilayah udara nasional
sesuatu negara perlu dipertimbangkan dan diregaskan. Di sisi
20
lain perlu diperketat sistem pengamanan dan pengawasan
kawasan udara. Padahal dari sudut pandang lain, negara-negara
menyadari pula bahwa teknologi serta alat transportasi baru
yang memanfaatkan ruang udara sebagai sarana lalu lintasnya,
sesungguhnya bersifat internasional dan mempinyai karakteristik
khusus. Berbeda dengan alat pengangkut lain di darat dan di
laut, maka pengankutan melalui udara ini bersifat lintas batas
geografis, di mana kemampuan melewati dan menembus batas-
batas wilayah udara nasional suatu negara dapat dikatakan
dengan sangat indah.
Pada dasarnya wilayah udara sesuatu negara adalah
tertutup bagi aktivitas penerbangan negara lain. Oleh karena itu
setiap penerbangan yang melintasi wilayah udara suatu negara
oleh negara pesawat asing negara lain tanpa izin negara kolong,
merupakan pelanggaran wilayah udara. Begitu lepas landas,
pesawat terbang akan mempunyai kemampuan dan kecepatan
dan kebebasan yang sangat luas, sehingga alat transportasi
yang ditemukan oleh Wright bersaudara pada awal abad kedua
puluh tersebut mempunyai potensi penggunaan secara militer
yang sangat luar biasa. Merupakan kenyataan yang tidak dapat
dibantah bahwa ruang udara sebagai sarana lalu lintas pesawat
terbang merupakan pula media yang berpotensi untuk
21
melancarkan serangan udara oleh pesawat musuh negara
kolong.
Dengan demikian, sejalan dengan prinsip bahwa wilayah
udara nasional sesuatu negara tertutup bagi penerbangan asing,
maka setiap warga negara yang memiliki kemampuan serta
kekuasaan udara kemudian menetapkan bagian-bagian wilayah
udaranya yang tertentu dan khusus yang berdasarkan
pertimbangan kemamanan dan pertahanan perlu dilindungi.
Pada bagian wilayah udara tertentu tersebutlah yang dinamakan
Zona udara terlaran atau Zona larangan terbang, di mana
dinyatakan secara tegas bahwa kawasan tersebut terlarang bagi
penerbangan asing. Kesadaran untuk menetapkan bahwa
sesuatu negara kolong mempunyai kedaulatan yang penuh
terhadap ruang udara di atasnya, adalah sebagai akibat
pesatnya kemajuan perkembangan teknologi transportasi udara.
Kesadaran negara-negara telah mendahului suatu kaidah hukum
internasional yang baru belakangan muncul yakni pada Konvensi
Paris 1919.
Zona larangan terbang yang diciptakan oleh negara-negara
maju untuk melindungi kawasan ruang udara dari penerbangan
asing, mempunyai batas-batas yang ditetapkan secara sepihak
oleh negara pencipta tersebut. Menurut prinsip Hukum Udara
Internasional, luas dan lokasi zona harus didasarkan pada prinsip
22
yang wajar, sehingga tidak menimbulkan konflik yang
sesungguhnya pada navigasi udara.
Zona larangan terbang diatur dalam Konvensi Paris 1919
yang kemudian diperbaiki dengan Protokol Paris 1929. Pada
pasal 3 Protokol Paris 1929 diatur mengenai bentuk zona
larangan terbang, yaitu terdiri dari dua bentuk :
1) Zona larangan terbang yang ditetapkan atas dasar alasan
pertahanan dan keamanan atau militer. Zona dengan
bentuk semacam ini bersifat permanen, kecuali jika ada
perubahan mengenai kepentingan militer atau pertahanan
dan keamanan dari negara yang bersangkutan.
2) Zona larangan terbang yang dinyatakan untuk seluruh atau
sebagian udara nasional negara kolong tertutup sama
sekali bagi pesawat asing, karena keadaan darurat. Zona
dengan bentuk penutupan wilayah udara hanya akan
dilakukan sampai situasi dan kondisi pulih kembali.
Dari kedua bentuk zona larangan terbang yang diatur di
dalam Pasal 3 Konvensi Paris 1919 tersebut, pembentukan zona
larangan terbang harus memenuhi persyaratan secara
internasional.
Persyaratan untuk zona larangan terbang bentuk 1) adalah
bahwa larangan terhadap pesawat sipil asing juga berlaku bagi
pesawat negara awak. Pada syarat ini, prinsip atau asas tanpa
23
perbedaan harus dipegang teguh karena zona yang ditetakan
bersifat permanen dan bertujuan untuk melindungi pertahanan
dan keamanan negara yang bersangkutan. Persyaratan lain dari
zona bentuk pertama ini adalah bahwa pengumuman mengenai
penetapan zona harus dilakukan lebih dahulu untuk diketahui
oleh negara-negara yang berkepentingan. Hal ini juga termasuk
ketetapan mengenai luas dan letak zona larangan tersebut.
Persyaratan untuk zona larangan terbang bentu 2) yang
menetapkan penutupan seluruh atau sebagian wilayah negara
kolong, disyaratkan bahwa penutupan harus berlaku dengan
setara dan benar-benar bersifat sementara dan berlaku untuk
semua pesawat asing dengan prinsip tidak ada perbedaan.
Penetapan syarat pada zona bentuk kedua ini juga diwajibkan
untuk memberitahukan kepada semua negara peserta atau
anggota Konvensi atau Komisi Internasional untuk Navigasi
Udara.
Ketentuan mengenai kedua persyaratan itu yang
mewajibkan seluruh pesawat sipil asing maupun pesawat sipil
nasional negara awak dilarang melintasi zona larangan terbang
yang telah ditetapkan, dirubah menjadi ketentuan bahwa
pesawat sipil nasional negara kolong diizinkan terbang di zona
larangan tersebut. Hal ini diatur dalam Protokol Paris 1929
sebagai perbaikan dari Konvensi Paris 1919. Pada pasal 4
24
Konvensi Paris 1919 ini mewajibkan agar setiap pesawat yang
menyadari telah melanggar zona larangan terbang yang telah
ditetapkan, harus segera memberitahukan kepada pangkalan
udara negara kolong bahwa ia berada dalam kesulitan dan
terpaksa harus mendarat di lapangan terdekat di luar zona
larangan tersebut.
Konvensi Paris 1919 di mana ditentukan bahwa pesawat
yang melanggar zona larangan diwajibkan untuk segera
mendarat di lapangan udara terdekat di luar zona, setelah pelaku
pelanggaran zona melapor kepada pejabat penerbangan negara
kolong. Ketentuan yang menetapkan bahwa negara awak yang
memerintahkan pelaku pelanggaran zona larangan untuk
mendarat dan diperiksa, sangat memungkinkan mengingat
kondisi semacam ini sebagai akibat dari perkembangan teknologi
penerbangan, termasuk peralatan pendeteksi yang dimiliki
negara yang menetapkan zona laragan terbang tersebut.
25
BAB III
PEMBAHASAN
A. Tinjauan Larangan Terbang Menurut Hukum
Internasional
Masalah kedaulatan negara pada awalnya merupakan
sesuatu yang prinsip pada saat membahas masalah kegiatan di
ruang udara. Perkembangan hukum udara dan angkasa
internasional pada dasarnya membahas mengenai kedaulatan
negara. Diawali dengan Konferensi Paris 1910 dan ditutup
dengan Konferensi Chicago 1944, sebuah definisi berdasarkan
perjanjian multilateral akhirnya dapat dicapai. Konvensi Chicago
1944 menyatakan bahwa setiap negara peserta mengakui bahwa
setiap negara memiliki kedaulatan penuh dan eksklusif atas
wilayah udara di atas teritorialnya (Pasal 1 Konvensi Chicago
1944).
Dampak dari ketentuan tersebut adalah setiap negara berhak
menentukan peraturan nasionalnya atas wilayah udaranya.
Namun, tetap terdapat hak melintas (over fly) bagi penerbangan
tidak berjadwal, sedangkan untuk penerbangan berjadwal
dibutuhkan izin dari negara kolong (Pasal 5 dan 6 Konvensi
Chicago 1944). Konvensi Chicago pada dasarnya ingin
meletakkan dasar hukum pengaturan penerbangan sipil
26
internasional yang dapat saling menukarkan hak-hak
penerbangan (five freedom of the air) secara multilateral serta
menjamin keamanan, keselamatan, kecepatan, kelancaran dan
ketertiban pengangkut udara internasional.18
Konvensi Chicago 1944 ternyata gagal untuk mencapai
kesepakatan mengenai pertukaran jasa pengangkut udara
secara multilateral. Kegagalan tersebut sebenarnya dapat dilihat
sejak Konferensi Paris 1910 dan 1919, akan tetapi pada tahun
1928 lahirlah konvensi Havana yang berjudul Convention on
Commercial Aviation . Konvensi tersebut mengatur tukar-
menukar jasa pengangkut udara komersial secara multilateral
selain pengaturan tentang teknis dan operasional, namun dalam
prakteknya hal tersebut belum dapat dilaksanakan. 19
Perjanjian-perjanjian pertukaran jasa pengangkut komersial
banyak dilakukan secara bilateral. Perjanjian penerbangan
bilateral pertama kali dilakukan antara Perancis dan Jerman
tahun 1913. Perjanjian tersebut memuat antara lain bahwa
pesawat udara Perancis boleh terbang ke Jerman dan sebaliknya
pesawat udara Jerman boleh terbang ke Perancis. Perkembangan
berikutnya adalah perjanjian-perjanjian sebelum perang dunia
kedua banyak dilakukan antara maskapai penerbangan, akan
18 K. Martono dan Usman Melayu, Perjanjian Angkutan Udara di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1996, hlm.33.19 Ibid.,hlm.30.
27
tetapi setelah perang dunia kedua berakhir, perjanjian bilateral
dilakukan antarpemerintah.
Untuk mengatasi kegagalan Konvensi Chicago 1944
tersebut, maka masyarakat internasional membuat International
Air Service Transit Agreement (IASTA) dan International Air
Transport Agreement (IATA), 1944. Pada prinsipnya ketiga
ketentuan tersebut juga memuat pengaturan mengenai
penerbangan sipil komersil, namun ketiga ketentuan tersebut
belum sepenuhnya berhasil membuat kesepakatan secara
multilateral, contohnya penetapan tarif angkutan udara.20
Perjanjian bilateral tentang penerbangan sipil biasanya
mengatur mengenai hal :
1. Hak-Hak Penerbangan
2. Rute Penerbangan
3. Kapasitas Pengangkut Udara
4. Tarif Jasa Pengangkut Udara
Materi perjanjian tersebut dipengaruhi oleh perjanjian
udara Bermuda tahun 1946 antara Inggris Raya dan Amerika
Serikat. Konvensi Bermuda tersebut memiliki karakteristik liberal
dalam hal penentuan rute penerbangan serta pengaturan yang
fleksibel dalam hal kapasitas angkutan udara. Konvensi tersebut
merupakan kompromi dari dua prinsip yang bertentangan, yakni
20 E. Saefullah Wiradipradja, Tinjauan Singkat Atas Berbagai Perjanjian Internasional di Bidang Hukum Udara, Lisan, Bandung, 1990, hlm. 17
28
Amerika yang menganut liberalisme ruang udara dan Inggris
yang protektif. Prinsip terpenting dari Konvensi Bermuda
tersebut adalah “ fair and equal oppurtunity” dalam pelaksanaan
jasa angkutan udara yang didasari dari volume lalu lintas dari
dan ke negara masing-masing.21
Konvensi Bermuda 1946 pada kemudian hari menjadi
sebuah acuan utama bagi setiap negara untuk menyusun
perjanjian jasa pengangkut udara sipil komersil selain Chicago
Standard Form Agreement dan European Civil Aviation
Conference Standard Form.22
Perjanjian pengangkut udara secara bilateral pada
dasarnya juga menganut aturan-aturan berdasarkan kaedah dan
kebiasaan hukum internasional. Layaknya semua perjanjian
internasional maka pastinya para pihak harus mematuhi asas-
asas dalam perjanjian internasional, yaitu “Pacta Sun Servanda”
serta “Good Faith”. Kedua prinsip tersebut telah menjadi bagian
dari kaedah dan kebiasaan hukum internasional. Hal ini berarti
para pihak perjanjian harus melaksanakan hak dan kewajibannya
sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.
Kesepakatan yang terdapat dalam Konvensi Chicago 1944
merupakan kesepakatan dari sekian negara untuk membentuk
21 I.H.Ph.Diederiks-Verschoor, An Introduction To Air Law, Kluwer, Netherlands, 1988, hlm. 42.22 K. Martono dan Usman Melayu, loc.cit., hlm 41-42
29
sebuah unifikasi perjanjian pengangkut udara sipil internasional.
Meskipun belum semua terpenuhi dalam konvensi, namun
selayaknya para pihak tetap mengormati ketentuan yang
terdapat dalam konvensi. Memang, pada dasarnya setiap negara
memiliki kedaulatan penuh dan eksklusif atas ruang udaranya,
sehingga dapat secara unilateral mengadakan pembatasan-
pembatasan. Hal tersebut memang dijamin oleh konvensi,
seperti kawasan udara terlarang( Pasal 9 Konvensi Chicago
1944), penentuan tempat pendaratan untuk penerbangan tidak
berjadwal (Pasal 5 Konvensi Chicago 1944) dan yang lainnya.
Akan tetapi, tindakan-tindakan unilateral tersebut tidak boleh
mengganggu keberlangsungan penerbangan sipil internasional.
Salah satu tindakan unilateral yang dapat dilakukan adalah
mengenai larangan terbang bagi maskapai dari negara tertentu
demi alasan keamanan dan keselamatan negaranya. Dalam
setiap kasus, tindakan yang dilakukan secara unilateral oleh
sebuah negara harus memiliki komitmen bahwa tidak boleh ada
diskriminasi perlakuan.
Tindakan larangan terbang dalam hal demi keamanan
sangat tergantung dengan kebijakan nasional. Tindakan tersebut
dilakukan karena negara-negara yang melakukannya
beranggapan bahwa hukum internasional tidak dapat menjamin
keamanan nasional mereka. Atas asumsi tersebut mereka
30
membuat ketentuan-ketentuan pembatasan penggunaan ruang
udara mereka bagi pesawat-pesawat dari negara lain. Konvensi
Chicago memang memberikan diskresi kepada negara peserta
untuk membuat aturan-aturan unilateral atau bilateral perihal
ketentuan yang belum diatur oleh konvensi.23
Selain masalah keamanan, keselamatan merupakan faktor
terpenting dalam penerbangan sipil internasional. Perihal
keselamatan semakin kompleks dan memiliki karakter
multinasional ketika volume operasi pesawat udara sipil semakin
meningkat yang melintasi batas-batas negara. Kesulitan terjadi
karena pengangkut udara sipil pada saat ini menggunakan
sistem sewa dalam operasionalnya. Hal ini akan menyulitkan
karena dapat terjadi perbedaan antara negara tempat pesawat
itu terdaftar serta negara asal operator pengangkut udara
tersebut. Perbedaan tersebut berdampak pada siapakah yang
bertanggungjawab apabila terjadi kelalaian. Perkembangan saat
ini adalah banyak negara yang melakukan kerjasama bilateral
dan multilateral untuk melakukan harmonisasi kaidah dan
peraturan dengan membuat standarisasi mengenai
keselamatan.24
23 Pablo Mendes de Leon, Unilateral Efforts to Enhance Security, in The Use of Air and Outer Space: Cooperation and Competition, edited by Chia-Jui Cheng, Kluwer Law International, Netherlands, 1998, hlm. 296.24 Michael Milde, Problems of Safety Oversight, in The Use of Air and Outer Space: Cooperation and Competition, edited by Chia-Jui Cheng, Kluwer Law International, Netherlands, 1998, hlm. 260.
31
Selain kerjasama bilateral dan multilateral, banyak negara
melakukan tindakan unilateral untuk menjamin keselamatan bagi
kepentingan nasional. Sebagai contoh tindakan unilateral
larangan terbang adalah apa yang dilakukan Amerika Serikat
pada tahun 1992. Sejak terjadi kecelakaan atas AVIANCA B-707
pada tahun 1990, kemudian Amerika memberlakukan aturan
keselamatan bagi pengangkut asing. Mereka mengharuskan
setiap pengangkut udara asing minimal harus memenuhi standar
minimum keselamatan yang telah diatur oleh ICAO. Apabila
pengangkut tersebut tidak memenuhi standar tersebut, maka
pengangkut tersebut tidak dapat terbang memasuki wilayah
Amerika.25
Apa yang dilakukan Amerika merupakan kewenangan
nasional mereka. Tindakan mereka tidak dapat dianggap sebagai
perlawanan terhadap usaha unifikasi yang dilakukan komunitas
internasional melalui Konvensi Chicago 1944. Usaha yang
dilakukan Amerika tersebut harus ditempatkan sebagai kebijakan
nasional mereka untuk melindungi keamanan dan keselamatan
nasional mereka. Kewenangan tersebut merupakan kewenangan
residu yang jamin oleh konvensi sendiri (Pasal 38 Konvensi
Chicago 1944)
25 Ibid hlm. 264.
32
Tindakan Amerika tersebut pada perkembangan
selanjutnya menjadi sebuah preseden bagi negara lain dan atau
organisasi regional lainnya untuk memberlakukan kewenangan
residunya tersebut demi melindungi keselamatan dan keamanan
kepentingan nasional masing-masing negara. Larangan terbang
yang diberlakukan oleh Uni Eropa terhadap pengangkut udara
dari Indonesia dapat ditempatkan dalam perspektif yang sama
dengan apa yang dilakukan oleh Amerika. Alasan keselamatan
yang diajukan oleh Uni Eropa merupakan bagian dari hak mereka
sebagai perlindungan kepentingan nasional mereka. Namun,
berdasarkan hukum internasional dan kebiasaan internasional,
maka Uni Eropa harus berkomitmen bahwa mereka tidak
melakukannya secara diskriminatif. Dalam hal ini mereka juga
harus melakukan perlakuan yang sama terhadap setiap
pengangkut udara sipil baik pengangkut udara nasional maupun
asing. Apabila para pengangkut tersebut belum memenuhi
standar keselamatan dan keamanan yang mereka tentukan
maka larangan terbang juga harus diberlakukan kepada operator
tersebut.
B. Larangan Terbang Uni Eropa Kepada Pengangkut Sipil
Indonesia
33
Hasil Konvensi Chicago 1944 masih menyisakan beberapa
masalah dalam pengaturan penerbangan sipil internasional.
Untuk mengatasi hal tersebut maka mau tidak mau kerjasama
bilateral dan regional dibutuhkan untuk mengisi kekosongan
tersebut. Salah satu organasasi regional yang sangat gencar
untuk membuat unifikasi mengenai keselamatan dan keamanan
penerbangan sipil internasional adalah Uni Eropa.
Kesadaran untuk melakukan kerjasama tersebut
merupakan inisiatif dari Dewan Eropa setalah melihat
perkembangan pengangkut udara di Uni Eropa yang terdiri dari
27 negara. Untuk mencapai kerjasama tersebut maka pada
pertemuan parlemen dewan eropa tahun 1950 diusulkan
beberapa ide yaitu :26
1. Membentuk Otoritas Transport Eropa (European Transport
Authority). Lembaga tersebut akan memiliki tanggung jawab
untuk melakukan pengaturan mengenai jalan raya, kereta api,
navigasi pantai, pengangkutan serta penerbangan. Usulan ini
diungkapkan oleh Bonnefous perwakilan dari Perancis. Beliau
mengusulkan agar otoritas tersebut berbentuk supranasional.
Usulan tersebut ditolak oleh sebagian negara Eropa dengan
alasan nasionalisme
26 I.H.Ph.Diederiks-Verschoor, Loc.cit.,hlm. 36
34
2. Ide kedua dikemukakan oleh perwakilan Italia, Count Sforza.
Ide beliau adalah untuk membatasi penerbangan sipil. Setiap
negara harus mendelegasikan sebagian kedaulatanya untuk
mencapai unifikasi dalam sektor hukum, teknik dan komersil.
Beliau mengusulkan bentuk konsorsium.
3. Usul ketiga disampaikan oleh Van der Kieft, yang
mengusulkan agar dibentuk sebuah organisasi penerbangan
sipil Eropa dengan tujuan untuk mencapai kesatuan.
Pada akhirnya disepakati bahwa dibentuklah The European
Civil Aviation Conference (ECAC) pada tahun 1955. Nampaknya
usulan dari Van der Kieft yang diterima oleh komunitas Uni
Eropa. Tujuan dari ECAC tersebut adalah untuk melakukan
unifikasi dan fasilitasi dalam hal; angkutan udara dan kerjasama
dengan ICAO. Selain itu tujuan awal ECAC adalah untuk
mengulas perkembangan pengangkut udara sipil di Uni Eropa,
untuk promosi kerjasama demi mencapai efektivitas dalam
unifikasi, memperhatikan perkembangan pengangkut udara di
Eropa serta mempertimbangkan masalah-masalah yang akan
timbul dikemudian hari.27
Pada tahun 1976 organ permanen dibentuk yang terdiri
dari Directors General of Civil Aviation (DGCA). Usaha-usaha
yang telah dicapai oleh ECAC adalah:28
27 I.H.Ph.Diederiks-Verschoor, op.cit., hlm. 3728 Ibid
35
1. Perjanjian multilateral atas hak-hak komersil penerbangan
tidak berjadwal di Eropa
2. Perjanjian multilateral tentang sertifikasi kelayakan udara
terhadap pesawat udara impor.
3. Perjanjian internasional terhadap prosedur dalam penentuan
tarif atas penerbangan berjadwal.
Namun, perkembangan terakhir ECAC memperlihatkan
usaha-usahanya yang lebih menitikberatkan pada sikap politik
negara-negara Eropa terhadap negara ketiga daripada menjalin
kerjasama dan melakukan harmonisasi penerbangan udara
dalam Eropa. Ternyata dalam perkembanganya ECAC sendiri
mendapat kritikan-kritikan dari negara-negara Eropa. Mereka
yang melakukan kritik menganggap bahwa dengan adanya
aturan regional tersebut malah membuat formasi-penghambat
(bloc-formation). Hal ini didasari sebagai faktor yang
menghambat unifikasi, selain alasan tersebut, kritikan
dilemparkan karena beberapa pengangkut udara di Eropa
memiliki jaringan yang lebih luas dibandingkan dengan yang lain.
Maka mereka menuntut perlakuan yang seimbang.29
Pada akhirnya dapat dilihat bahwa pengaturan multilateral
di Eropa untuk mewakili kepentingan nasional negara Eropa juga
mengalami kegagalan. Usulan untuk membentuk High Authority
29 Ibid.
36
juga cukup sulit untuk dilaksanakan, karena ternyata
kepentingan nasional masing-masing negara berbeda satu sama
lain.
Usaha-usaha Uni Eropa untuk menciptakan unifikasi dan
harmonisasi dalam hal keselamatan penerbangan berhasil
terbentuk dengan dikeluakan (EC) No 1592/2002 pada 15 Juli
2002 yang mengatur aturan bersama mengenai penerbangan
sipil serta pembentukan European Aviation Safety Agency
(EASA). Regulasi tersebut membuat standar kesalamatan yang
diberlakukan oleh Uni Eropa selain juga mengakui standar
keselamatan minimum yang telah diatur dalam Konvensi Chicago
dan ICAO. Standar keselamatan yang terdapat dalam regulasi
tersebut terdiri dari :
1. Kelayakan udara (Pasal 5)
2. Syarat untuk perlindungan terhadap lingkungan (Pasal 6)
3. Lisensi operasi dan kru penerbangan (Pasal 7)
4. Pengakuan sertifikat (Pasal 8 )
5. Penerimaan atas persetujuan negara ketiga (Pasal 9)
6. Ketentuan Fleksibel (Pasal 10)
Dengan dikeluarkannya EASA tersebut maka diharapkan
keselamatan penerbangan sipil di Eropa dapat terlaksana dengan
baik. Hubungan antara Uni Eropa dengan negara ketiga juga
banyak diatur dalam ketentuan EASA tersebut.
37
Pada saat larangan terbang terhadap pengangkut dari Indonesia
lahir pada tahun 2007. Uni Eropa mendasarkan pendapatnya
pada :
1. Adanya bukti dari otoritas penerbangan sipil Indonesia bahwa
kecelakaan yang dialami oleh pengangkut sipil Indonesia
terjadi karena para operator tersebut tidak memenuhi
persyaratan standar keselamatan.
2. Adanya rating yang dikeluarkan oleh FAA ( Amerika Serikat),
yang menilai rendah tingkat keselamatan di Indonesia serta
tidak dipenuhinya standar keselamatan yang diatur oleh ICAO
3. Hasil audit yang dilakukan oleh ICAO pada bulan Februari
2007 yang melaporkan bahwa kapabilitas otoritas
penerbangan sipil Indonesia terhadap pengawasan
keselematan sangat kurang.
4. Kompetensi otoritas penerbangan sipil Indonesia dalam
melaksanakan dan menegakkan standar keselematan. Serta
tidak segera memberikan jawaban atas pertanyaan yang
diajukan oleh komisi Eropa ((EC) No.787/2007)
Empat pertimbangan tersebut yang menjadi cikal bakal
larangan terbang pengangkut dari Indonesia ke Eropa. Dari
keempat poin di atas, yang menjadi krusial adalah hasil audit
yang dilakukan oleh ICAO pada bulan Februari 2007. Hasil audit
tersebut menunjukkan hal-hal penting mengenai keselamatan
38
penerbangan di Indonesia. Audit tersebut memberikan
rekomendasi-rekomendasi yang harus dilakukan oleh otoritas
penerbangan sipil di Indonesia. Hasil audit dan rekomendasi dari
ICAO tersebut adalah :30
1. Rekomendasi terhadap Undang-Undang Penerbangan dan
Ketentuan mengenai Penerbangan Sipil
2. Rekomendasi terhadap Organisasi Penerbangan Sipil
3. Rekomendasi terhadap Lisensi Personil dan Pelatihan
4. Rekomendasi terhadap Sertifikasi Pengangkut Udara dan
Pengawasan
5. Rekomendasi terhadap Kelayakan Udara
6. Rekomendasi terhadap Kecelakaan Pesawat dan Penyelidikan
kecelakaan
7. Rekomendasi terhadap Navigasi Udara
8. Rekomendasi terhadap Aerodromes (Bandara Perintis)
Hasil audit juga menyatakan bahwa implementasi dalam
hal pengawasan keselamatan yang belum efektif dilakukan oleh
Indonesia adalah:31
1. Kualifikasi dan Pelatihan staf tekhnik ( 80%)
2. Sistem Penerbangan Sipil dan Fungsi Pengawasan
Keselamatan (50,94%)
3. Resolusi mengenai keselamatan (50%)
30 www.icao.int/usoap,Appendix I)31 (www.icao.int/usoap ,Appendix II)
39
4. Undang-Undang Penerbangan (41,67%)
5. Prosedur dan Petunjuk Tekhnis (38,65%)
6. Kewajiban Pengawasan (36,47%)
7. Ketentuan Khusus Pelaksanaan (33,74%)
8. Lisensi dan Sertifikasi (28,97%)
Hasil audit yang dilakukan oleh ICAO secara jelas dapat
diartikan bahwa banyak hal yang harus dilakukan oleh Indonesia
untuk memperbaiki sistem keselamatan penerbangan sipil. Jika
melihat hasil audit tersebut maka dapat dibenarkan tindakan Uni
Eropa memberlakukan larangan terbang terhadap pengangkut
dari Indonesia. Ketentuan tersebut diputuskan berdasarkan
ketentuan dalan EASA yang menganut perlindungan
keselamatan penerbangan bagi warga negara mereka.
Namun, yang menjadi permasalahan adalah bahwa apakah
larangan terbang yang dikeluarkan oleh Komite Eropa itu bersifat
mengikat para negara-negara Eropa?. Hal ini terkait karena
terdapat perjanjian-perjanjian bilateral yang telah dilakukan oleh
Indonesia dengan negara-negara Eropa sedangkan Indonesia
tidak memiliki perjanjian penerbangan sipil dengan Uni Eropa.
Pada tanggal 30 April 2004 Komite Eropa mengeluarkan aturan
(EC) No. 847/2004 tentang ketentuan mengenai perjanjian
antara negara anggota Uni Eropa dengan negara ketiga. Dalam
konsideran poin pertama telah dinyatakan bahwa perjanjian
40
bilateral antara negara anggota Uni Eropa dengan negara ketiga
telah terjadi sebelum ketentuan ini dikeluarkan. Akan tetapi
terdapat ketentuan lain yang menyatakan bahwa, berdasarkan
putusan pengadilan Eropa, komunitas Eropa memiliki hak
ekslusif atas perjanjian tersebut. Jika ketentuan tersebut
demikian, apakah perjanjian pengangkut udara antara negara-
negara anggota Uni Eropa menjadi batal demi hukum
berdasarkan putusan dari pengadilan Eropa tersebut?.
Apabila dilihat bahwa dalam mengeluarkan (EC) No.
787/2007, Komite Eropa menyatakan bahwa ketentuan tersebut
telah disepakati oleh 27 negara anggota Uni Eropa, maka
perjanjian bilateral sebelum ketentuan tersebut keluar menjadi
batal. Dengan batalnya perjanjian pengangkut udara tersebut
maka masing-masing pihak, baik pengangkut dari negara
anggota Uni Eropa maupun dari Indonesia tidak dapat melintas di
wilayah teritorial masing-masing, meskipun Indonesia tidak
mengeluarkan larangan yang sama terhadap pengangkut sipil
dari Uni Eropa. Hal ini dikarenakan sesuai dengan ketentuan dari
Konvensi Chicago 1944, pasal 6, yang menyatakan bahwa setiap
penerbangan berjadwal harus mendapatkan izin dari negara
kolong. Izin penerbangan sipil komersil tersebut biasanya dapat
dilakukan apabila telah terjalin perjanjian pengangkut udara baik
secara bilateral maupun multilateral.
41
C. Dampak Larangan Terbang Ke Eropa Bagi Indonesia
Pada saat naskah ini disiapkan masih terdapat 43
perusahaan penerbangan Indonesia dilarang terbang ke Eropa.
Sebenarnya larangan tersebut tidak secara langsung
berpengaruh kepada perusahaan nasional, karena perusahaan
penerbangan tersebut tidak mempunyai rute penerbangan ke
Eropa, tetapi secara tidak langsung larangan terbang ke Uni
Eropa tersebut mempunyai dampaknegatif yang sangatbesar
terhadap wisalawan asing khususnya dari Eropa ke Indonesia,
karena mereka tidak percaya kepada perusahaan penerbangan
Indonesia, bahkan orang asing yang tinggal di Jakarta mau pergi
ke Bali terpaksa terbang ke Singapura dan dari Singapura
terbang ke Bali menggunakan perusahaan penerbangan asing.
Sebenarnya masalah larangan terbang tersebut bukan hal
yang baru. Selama perang, perusahaan penerbangan dari negara
lawan perang dilarang terbang di atas wilayah negaranya,
terutama sekali saat perang dingin antara Barat yang diwakili
oleh Amerika Serikat dan Timur yang diwakili oleh Uni Soviet.
Amerika Serikat menolak perusahaan penerbangan terbesar Uni
Soviet, Aeroflot, sebaliknya semua pesawat udara buatan
Amerika Serikat dilarang terbang di wilayah udara Uni Soviet.
42
Pada saat konsolidasi pemerintahan Kuba di bawah Presiden
Fidel Castro, semua perusahaan penerbangan dari Kuba dilarang
terbang ke Amerika Serikat. Larangan terbang perusahaan
penerbangan di ketiga negara tersebut berdasarkan
pertimbangan politik. Sebenarnya, menurut Konvensi Chicago
1944 yang merupakan konstitusi penerbangan sipil internasional
tersebut larangan terbang atas dasar politik dilarang, tetapi
dalam kenyataannya terjadi larangan atas dasar pertimbangan
politik.
Menurut Ketua Umum DPD Association of Indonesia Travel
Agent (Asita) DKI Jakarta Herna P. Danuningrat, larangan terbang
UE berakibat pada sulitnya operator wisata menawarkan daerah
kunjungan wisata selain Bali. Tujuan wisata di kawasan timur
Indonesia merupakan yang paling parah terkena dampak
larangan itu sebab daerah wisata di sana tidak memiliki
penerbangan langsung menggunakan maskapai asing.
CEO Panorama Tours DMC Dharma Tirtawisata
mengungkap kerugian Indonesia akibat larangan terbang UE
diperkirakan sedikitnya Rp4 triliun. Angka itu dihitung
berdasarkan jumlah turis Eropa yang pelesir ke Indonesia rata-
rata 800.000 orang per tahun. Dari jumlah itu sekitar 40% atau
320.000 orang merupakan pasar paket Hoping Island yang dijual
US$1.500 per turis.
43
Terkait bisnis Banyak pihak menilai larangan terbang UE
sebenarnya bukan soal teknis semata, melainkan terkait masalah
bisnis. Argumentasi tersebut muncul karena berlarut-larutnya
penyelesaian larangan terbang itu. Komisi UE, pihak yang
menjatuhkan sanksi itu, terkesan enggan menyelesaikan
masalah itu secepatnya. Respons UE itu berbeda dengan Arab
Saudi yang bereaksi cepat setelah mengirimkan surat
permintaan klarifikasi ke Indonesia soal larangan terbang UE.
General Authority of Civil Aviation (GACA), otoritas penerbangan
sipil negara itu, telah menyelesaikan verifikasi ke Ditjen
Perhubungan Udara dan Garuda Indonesia, serta menyimpulkan
tidak akan ada larangan terbang.
Menurut Martono, pemerhati penerbangan, menilai kasus
larangan terbang UE lebih banyak menyangkut unsur persaingan
bisnis antara produsen pesawat asal AS Boeing dan produsen
pesawat Eropa Airbus. “Kabar ini sudah muncul sejak awal Komisi
Uni Eropa berencana melarang terbang seluruh maskapai
Indonesia ke kawasan mereka. Kasus paling santer adalah
berlarut-larutnya masalah negosiasi utang antara Garuda dan
para kreditornya di Eropa. Utang Garuda kepada semua
kreditornya kini mencapai US$640 juta. Sebanyak US$463 juta di
antaranya merupakan kucuran dari European Credit Agency
(ECA) untuk pembelian enam dari sembilan unit pesawat Airbus
44
A330. Sisanya, berupa utang kepada pemegang floating rate
notes (FRN) senilai US$103 juta, Export Development of Canada
US$12,1 juta dan Bank BNI US$10 juta. Jaminan pemerintah
Selain itu, pembelian pesawat dengan skema sewa beli dari
Airbus yang awalnya berjumlah sembilan pesawat, tapi tiga unit
ditangguhkan, sama sekali tanpa jaminan pemerintah
(government guarantee).
Sebaliknya, selama negosiasi utang dengan ECA
berlangsung, Garuda dengan jaminan penuh pemerintah
meneken pemesanan 10 Boeing 787 Dreamliner seri 8 dan 18
Boeing 737 New Generation senilai US$2 miliar. Rencananya,
pesawat Dreamliner akan bergabung dalam armada Garuda
Indonesia mulai 2011 sampai 2013. Sinyalemen berlarutnya
negosiasi utang ECA oleh Garuda yang berimbas kepada
larangan terbang UE itu tak dibantah Menhub Jusman Syafii
Djamal. Menhub hanya mengatakan masalah larangan terbang
UE secepatnya akan tuntas jika semua proses teknis dilalui.
“Semua akan tuntas secepatnya.” Kabar dari sumber resmi di
Dephub mengatakan Menhub telah mengirimkan surat ke
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati untuk mengeluarkan
government guarantee guna menyelesaikan utang Garuda ke
ECA. Permintaan Menhub tersebut diharapkan memperlancar
negosiasi pemerintah untuk menyelesaikan masalah larangan
45
terbang yang belum juga ditanggapi positif oleh Komisi UE. Tak
terasa larangan terbang Komisi Uni Eropa terhadap 51 maskapai
penerbangan Indonesia sudah masuk bulan kedua. Namun,
sanksi yang dijatuhkan nun jauh di Brussel, Belgia, 6 Juli lalu, itu
belum menunjukkan tanda-tanda akan dicabut. Padahal,
larangan terbang berbumbu peringatan agar agen perjalanan
dan semua warga Eropa tak memakai maskapai nasional itu
mulai memakan ’korban.’
Salah satu sektor yang terpukul adalah industri pariwisata,
termasuk kalangan agen perjalanan yang biasa mengurus
pelancong asal Eropa. Seperti diutarakan Ketua Umum DPD
Association of Indonesia Travel Agent (Asita) DKI Jakarta Herna P.
Danuningrat, larangan terbang UE itu mempersulit operator
wisata menawarkan daerah kunjungan wisata selain Bali. Tujuan
wisata di kawasan timur Indonesia merupakan yang paling parah
terkena dampak larangan itu sebab daerah wisata di sana tidak
memiliki penerbangan langsung menggunakan maskapai asing.
CEO Panorama Tours DMC Dharma Tirtawisata
mengungkap kerugian Indonesia akibat larangan terbang UE
diperkirakan sedikitnya Rp4 triliun. Angka itu dihitung
berdasarkan jumlah turis Eropa yang pelesir ke Indonesia rata-
rata 800.000 orang per tahun. Dari jumlah itu sekitar 40% atau
320.000 orang merupakan pasar paket Hoping Island yang dijual
46
US$1.500 per turis. Terkait bisnis Banyak pihak menilai larangan
terbang UE sebenarnya bukan soal teknis semata, melainkan
terkait masalah bisnis. Argumentasi tersebut muncul karena
berlarut-larutnya penyelesaian larangan terbang itu. Komisi UE,
pihak yang menjatuhkan sanksi itu, terkesan enggan
menyelesaikan masalah itu secepatnya. Respons UE itu berbeda
dengan Arab Saudi yang bereaksi cepat setelah mengirimkan
surat permintaan klarifikasi ke Indonesia soal larangan terbang
UE. General Authority of Civil Aviation (GACA), otoritas
penerbangan sipil negara itu, telah menyelesaikan verifikasi ke
Ditjen Perhubungan Udara dan Garuda Indonesia, serta
menyimpulkan tidak akan ada larangan terbang. Kamis Martono,
pemerhati penerbangan, menilai kasus larangan terbang UE
lebih banyak menyangkut unsur persaingan bisnis antara
produsen pesawat asal AS Boeing dan produsen pesawat Eropa
Airbus. “Kabar ini sudah muncul sejak awal Komisi Uni Eropa
berencana melarang terbang seluruh maskapai Indonesia ke
kawasan mereka,” kata Martono.
Kasus paling santer adalah berlarut-larutnya masalah
negosiasi utang antara Garuda dan para kreditornya di Eropa.
Utang Garuda kepada semua kreditornya kini mencapai US$640
juta. Sebanyak US$463 juta di antaranya merupakan kucuran
dari European Credit Agency (ECA) untuk pembelian enam dari
47
sembilan unit pesawat Airbus A330. Sisanya, berupa utang
kepada pemegang floating rate notes (FRN) senilai US$103 juta,
Export Development of Canada US$12,1 juta dan Bank BNI
US$10 juta.
Jaminan pemerintah Selain itu, pembelian pesawat dengan
skema sewa beli dari Airbus yang awalnya berjumlah sembilan
pesawat, tapi tiga unit ditangguhkan, sama sekali tanpa jaminan
pemerintah (government guarantee). Sebaliknya, selama
negosiasi utang dengan ECA berlangsung, Garuda dengan
jaminan penuh pemerintah meneken pemesanan 10 Boeing 787
Dreamliner seri 8 dan 18 Boeing 737 New Generation senilai
US$2 miliar.
Rencananya, pesawat Dreamliner akan bergabung dalam
armada Garuda Indonesia mulai 2011 sampai 2013. Sinyalemen
berlarutnya negosiasi utang ECA oleh Garuda yang berimbas
kepada larangan terbang UE itu tak dibantah Menhub Jusman
Syafii Djamal. Menhub hanya mengatakan masalah larangan
terbang UE secepatnya akan tuntas jika semua proses teknis
dilalui. “Semua akan tuntas secepatnya.” Kabar dari sumber
resmi di Dephub mengatakan Menhub telah mengirimkan surat
ke Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati untuk mengeluarkan
government guarantee guna menyelesaikan utang Garuda ke
ECA.
48
Permintaan Menhub tersebut diharapkan memperlancar
negosiasi pemerintah untuk menyelesaikan masalah larangan
terbang yang belum juga ditanggapi positif oleh Komisi UE.
Namun, Direktur Utama Garuda Emirsyah Satar menilai masalah
larangan terbang UE sama sekali tak ada kaitan dengan
penundaan pembayaran cicilan pokok utang ke ECA. “Saat ini
kami sedang bernegosiasi dengan ECA,” kata Emir. Dia juga
membantah ada perbedaan fasilitas yang diberikan pemerintah
untuk pengadaan enam pesawat Airbus A330 dengan 10
pesawat Boeing 787 Dreamliner dan 18 Boeing 737 NG sehingga
muncul larangan terbang UE. Namun, Direktur Utama Garuda
Emirsyah Satar menilai masalah larangan terbang UE sama
sekali tak ada kaitan dengan penundaan pembayaran cicilan
pokok utang ke ECA. “Saat ini kami sedang bernegosiasi dengan
ECA,” kata Emir. Dia juga membantah ada perbedaan fasilitas
yang diberikan pemerintah untuk pengadaan enam pesawat
Airbus A330 dengan 10 pesawat Boeing 787 Dreamliner dan 18
Boeing 737 NG sehingga muncul larangan terbang UE.
D. Penyelesaian Sengketa Atas Larangan Terbang Uni
Eropa
Setiap sengketa dalam ruang lingkup masyarakat
internasional pertama kali harus merujuk pada piagam PBB.
49
Prinsip dalam piagam adalah bahwa setiap sengketa antara
negara anggota PBB harus diselesaikan secara damai sehingga
perdamaian dan keamanan internasional tidak terganggu (Pasal
2 (3) Piagam PBB).
Menurut Diederiks-Verschoor terdapat beberapa
kemungkinan jurisdiksi dalam menyelesaikan sengketa dalam
masalah penerbangan, yaitu :32
1) Mahkamah Internasional, dengan melihat jurusdiksi umum
yang terdapat dalam pasal 36 ayat 1 Statuta.
2) Yurisdiksi berdasarkan Pasal 84 Konvensi Chicago 1944.
3) Sebelum sampai pada dewan (council) ICAO; maka para pihak
harus menyatakan “compulsory jurisdiction”, Pasal 84
Konvensi Chicago 1944.
4) Sebagai badan khusus PBB, ICAO, dapat meminta nasihat
hukum kepada mahkamah internasional sesuai dengan pasal
96 (2) Piagam PBB
5) Banding terhadap putusan dewan ICAO, Pasal 84 Konvensi
Chicago 1944.
6) Opsional Yurisdiksi oleh dewan ICAO.
7) Arbitrase berdasarkan perjanjian bilateral maupun
multilateral.
32 H.Ph.Diederiks-Verschoor, Settlements of Disputes in Aviation and Space, in The Use of Air and Outer Space; Cooperation and Competition, edited by Chia-Jui Cheng, Kluwer Law International, Netherland, 1998, hlm. 232)
50
8) Arbitrase oleh Chamber dari Mahkamah Internasional.
9) Arbitrase melalui maskapai yang terdapat dalam International
Air Transport Association (IATA)
Dalam sengketa penerbangan sipil internasional maka
ketentuan khusus yang dapat digunakan sudah pasti Konvensi
Chicago 1944. Ketentuan mengenai penyelesaian sengketa
dapat dilihat dalam pasal 84,85,86,87 dan 88. Ketentuan pasal
84 konvensi menyatakan apabila ketidaksepahaman terjadi
mengenai interpretasi dan pelaksanaan konvensi serta annex-
nya maka hal tersebut dapat diselesaikan melalui dewan ICAO.
Mengenai larangan terbang yang diberlakukan secara
unilateral oleh Uni Eropa terhadap pengangkut dari Indonesia,
hal ini tidak termasuk dalam hal perbedaan interpretasi dan
implementasi dari konvensi dan annex-nya. Jika demikian maka
penggunaan ketentuan penyelesaian sengketa dalam konvensi
Chicago 1944 tidak dapat diberlakukan dalam sengketa di atas.
Penyelesaian sengketa yang utama sudah pasti adalah melalui
negosiasi. Negosiasi yang telah dilakukan selama ini belum
membuahkan hasil dicabutnya larangan terbang tersebut.
Indonesia harusnya mengajukan keberatan kepada ICAO, sebab
Indonesia sedang berusaha untuk memperbaiki sistem
keselamatan penerbangang sipilnya. Komitmen tersebut dapat
terlihat dengan jelas dalam deklarasi yang dilakukan antara
51
Indonesia dengan ICAO di Bali tanggal 2 Juli 2007. Indonesia
kemudian meminta kepada ICAO untuk meminta nasihat hukum
kepada mahkamah internasional, apakah tindakan unilateral Uni
Eropa dapat dibenarkan. Alasan yang dapat dikemukakan oleh
Indonesia adalah bahwa dengan adanya larangan tersebut maka
Indonesia khususnya pengangkut Indonesia mengalami kerugian
secara ekonomis, mengganggu lalu lintas orang dan barang,
melanggar prinsip “equality” dan “opportunity”.
Usaha tersebut merupakan sesuatu yang mungkin dapat
dilakukan Indonesia selain juga harus memperbaiki sistem
keselamatan penerbangan sipil komersil. Hal tersebut perlu
dilakukan karena apabila larangan terbang tersebut dibiarkan
berlarut-larut maka citra penerbangan sipil Indonesia menjadi
buruk. Efek dari citra tersebut akan berdampak pada posisi
Indonenesia dalam pergaulan masyarakat internasional.
52
BAB IV
PENUTUP
Berdasarkan penjabaran latar belakang dan permasalahan
serta pembahasan di atas, maka penulis mengambil simpulan
sebagai berikut:
1. Tindakan unilateral Uni Eropa memberlakukan larangan
terbang terhadap pengangkut dari Indonesia tidak melanggar
hukum internasional. Hukum internasional menjamin setiap
negara untuk mengatur kegiatan di ruang udaranya. Tindakan
tersebut merupakan bagian dari kedaulatan negara yang
absolut dan ekslusif berdasarkan ketentuan Pasal 1 Konvensi
Chicago 1944. Alasan yang dikemukakan oleh Uni Eropa
didasarkan dari fakta yang relevan, yaitu hasil audit dari
Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) yang
merupakan otoritas utama dalam penerbangan sipil
internasional. Meskipun tindakan Uni Eropa dapat dibenarkan
jika dikaitkan dengan kedaulatan negara, namun apa yang
dilakukan Uni Eropa bukanlah tindakan yang bijaksana.
Harusnya Uni Eropa lebih baik memberikan bantuan teknis
ketimbang memberlakukan larangan terbang.
2. Usaha penyelesaian sengketa yang mungkin dilakukan oleh
Indonesia sebagai pihak yang dirugikan adalah melakukan
53
protes kepada ICAO serta menyarankan agar ICAO meminta
nasihat hukum kepada mahkamah internasional. Selain itu
Indonesia juga harus memperbaiki sistem keselamatan
penerbangan sipil-nya.
54
DAFTAR PUSTAKA
http://ec.europa.eu/transport/modes/air/safety/air-ban/index_en.htm
http://www.icao.int/PIO/04/07
E. Suherman, SH. Wilayah Udara dan Wilayah Dirgantara, Penerbit Alumni, Bandung, 1984.
I Wayan Parthiana, SH., MH, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung, 1990.
H. Bachtiar Hamzah, SH – Sulaiman Hamid, SH Hukum Internasional II, USU Press Medan, 1997.
JG. Starke, Pengantar Hukum Internasional I, Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta, 1999.
Priyatna Abdulrasyid, SH, Kedaulatan Negara di Ruang Angkasa, Pusat Penelitian Hukum Angkasa, Jakarta 1972.
UU Pokok Agaria (UU No 5 Tahun 1960), UU Pokok Pertambangan (UU No 11 Tahun 1967)
Mochtar Kusumaatmadja, SH, Hukum Laut Internasional, Bina Cipta, Bnadung, 1992.
K. Martono dan Usman Melayu, Perjanjian Angkutan Udara di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1996.
E. Saefullah Wiradipradja, Tinjauan Singkat Atas Berbagai Perjanjian Internasional di Bidang Hukum Udara, Lisan, Bandung, 1990.
I.H.Ph.Diederiks-Verschoor, An Introduction To Air Law, Kluwer, Netherlands, 1988.
Pablo Mendes de Leon, Unilateral Efforts to Enhance Security, in The Use of Air and Outer Space: Cooperation and Competition, edited by Chia-Jui Cheng, Kluwer Law International, Netherlands, 1998.
55
Michael Milde, Problems of Safety Oversight, in The Use of Air and Outer Space: Cooperation and Competition, edited by Chia-Jui Cheng, Kluwer Law International, Netherlands, 1998.
www.icao.int/usoap,Appendix I)
(www.icao.int/usoap ,Appendix II)
56
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI........................................................................... i
BAB I : PENDAHULUAN........................................................ 1
A. Latar Belakang................................................... 1
B. Permasalahan.................................................... 4
BAB II : TINJAUAN TEORETIS................................................ 5
A. Pengertian Kedaulatan...................................... 5
B. Kedaulatan Suatu Negara Atas Ruang Udara
Wilayahnya........................................................ 10
C. Zona Larangan Terbang.................................... 18
BAB III PEMBAHASAN........................................................... 25
A. Tinjauan Larangan Terbang Menurut Hukum
Internasional...................................................... 25
B. Larangan Terbang Uni Eropa Kepada
Pengangkut Sipil Indonesia................................ 32
C. Dampak Larangan Terbang Ke Eropa Bagi
Indonesia.................................................................. 41
D. Penyelesaian Sengketa Atas Larangan Terbang
Uni Eropa............................................................ 48
BAB IV : PENUTUP................................................................. 52
DAFTAR PUSTAKA................................................................. 54
57
LARANGAN TERBANG UNI EROPA TERHADAP PENGANGKUT DARI INDONESIA
DILIHAT DARI SISI HUKUM UDARA INTERNASIONAL
Tugas Individu Mata Kuliah Hukum Udara dan Angkasa
Dosen:Prof. Dr. H.K. Martono, S.H., LLM.
Oleh:
NAMA : ALEXANDER SENO
NPM : 207122002
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU HUKUMUNIVERSITAS TARUMANAGRA
JAKARTA
58
2013
59