tugas farmol vildagliptin
TRANSCRIPT
VILDAGLIPTIN SEBAGAI OBAT DIABETES MILITUS
TIDAK TERGANTUNG INSULIN (DM TIPE 2)
A. DIABETES
Diabetes mellitus (DM) adalah suatu penyakit yang ditandai dengan
peningkatan kadar gula darah yang terus-menerus dan bervariasi, terutama setelah
makan atau suatu keadaan hiperglikemia kronik disertai berbagai kelainan
metabolik akibat gangguan hormonal, yang menimbulkan berbagai komplikasi
(Dipiro, 2005). Komplikasi jangka lama termasuk penyakit kardiovaskular (risiko
ganda), kegagalan kronis ginjal (penyebab utama dialisis), kerusakan retina yang
dapat menyebabkan kebutaan, serta kerusakan saraf yang dapat menyebabkan
impotensi dan gangren dengan risiko amputasi. Komplikasi yang lebih serius
terjadi bila kontrol terhadap kadar gula darah buruk (Tandra, 2008).
Faktor penyebab penyakit diabetes mellitus merupakan kombinasi antara
faktor keturunan atau lingkungan dengan ditandai adanya peningkatan kadar gula
darah yang tinggi akibat defisiensi insulin relatif atau absolute kronik. Kadar gula
darah diabetes dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1 . Kriteria Diagnosis Diabetes Millitus Menurut WHO (DiPiro, 2005, Tandra,
2008)
DiagnosisKadar Gula Plasma
Puasa (FPG)
Kadar Gula Plasma 2 Jam PP
(OGTT)
Normal<100 mg/dL(5,6
mmol/L)<140 mg/dL (7,8 mmol/L)
Pra Diabetes:
IFG (Impaired
Fasting Glucose)
100-125 mg/dL (5,6-6,9
mmol/dL)-
Pra Diabetes:
IGT(Impaired
Glucose Tolerance)
-> 140mg/dL (7,8 mmol/L) dan
< 200 mg/dL (11,1 mmol/dL
DIABETES> 126 mg/dL (7
mmol/L)> 200 mg/dL (11,1 mmol/L)
B. HOMEOSTASIS GLUKOSA NORMAL
Homeostasis glukosa yang normal dipertahankan melalui mekanisme
sangat komplek yang melibatkan interaksi antara insulin dan glukagon. Ketika
glukosa masuk ke dalam darah, kadar glukosa darah yang meningkat akan
merangsang sel beta pankreas untuk melepaskan insulin. Insulin menekan
produksi glukosa di hepar dan meningkatkan ambilan glukosa di otot dan jaringan
lemak sehingga kadar glukosa di dalam darah menurun. Glukagon juga berperan
mengatur glukosa darah, bila glukosa didalam darah turun maka sel alfa pankreas
akan melepaskan glukagon.Glukagon merangsang produksi glukosa hati dan
melepaskan ke dalam sirkulasi sehingga kadar glukosa darah meningkat (Tandra,
2008).
Pengaturan glukosa yang normal ditentukan oleh hubungan umpan balik
yang erat antara glukosa, insulin dan gukagon dalam sirkulasi. Pada hiperglikema,
peningkatan kadar glukosa yang dideteksi oleh pulau-pulau sel pankreas
menyebabkan peningkatan insulin dan pengurangan sekresi glukagon. Pada
hipoglikemi penurunan kadar glukosa yang dideteksi oleh sel-sel pulau pankreas
akan mengurangi sekresi insulin dan meningkatkan sekresi glukagon (Handoko
dan Suharto, 2007).
Gambar 1. Proses sekresi insulin dan sel beta langerhans
Sekresi insulin dari sel –sel beta pula Langerhans tidak hanya diatur oleh
kadar glukosa darah tetapi juga oleh hormon lain dan mediator autonomik. Sekresi
insulin umumnya dipacu oleh ambilan glukosa darah yang tinggi dan difosforilasi
dalam sel beta pankreas. Sel-sel beta pulau Langerhans memiliki kanal K+ yang
diatur oleh ATP intraseluler (kanal ATP). Saat glukosa darah meningkat, lebih
banyak glukosa memasuki sel beta dan metabolismenya menyebabkan
peningkatan ATP intraselular yang menutup kanalATP. Depolarisasi sel beta yang
diakibatkannya mengawali infkuks ion Ca 2+ melalui kanal Ca 2+ yang sensitif
tegangan dan ini memicu sekresi insulin (Khan, et al, 2006)
Gambar 2. Mekanisme selular dari sekresi insulin dari sel β pulau Langerhans (Khan et al, 2006)
C. PERANAN HORMON INCRETIN
Hormon incretin adalah hormon penting untuk mengatur glukosa. hormon
ini diproduksi oleh usus sebagai respon terhadap konsumsi nutrien oral, termasuk
glukosa, asam lemak dan serat. Hormon incretin dilepaskan dengan cepat,
peningkatan kadarnya sudah terlihat dalam waktu 15 menit setelah makanan
dikonsumsi. Setelah dilepaskan hormon ini akan cepat didegradasi dan lama
kelamaan hilang (Wu, et al, 2009).
Menurut McKillop, et al (2008), hormon incretin berperan penting dalam
memodulasi respon sel beta pancreas terhadap makanan. Hormon incretin
meningkatkan sekresi insulin dari sel-sel beta pankreas sebagai respon terhadap
peningkatan kadar glukosa darah yang terjadi setelah makan. Selain fungsi diatas,
salah satu dari hormon utama incretin juga menghambat pelepasan glukagon dari
sel alfa pankreas dalam kondisi hiperglikemia.
Hormon incretin terdiri dari GLP-1 (Glucagon Like Peptide-1) dan GIP
(Glucose -dependent Insulinotropic Polypeptide). GLP-1 disintesis dan disekresi
oleh sel L ileum dan kolon dan merangsang sekresi insulin bila ada asupan
glukosa ( glucose dependent insulin release) serta menekan produksi gula di hepar
dengan cara menekan sekresi glukagon (Ahren, et al, 2000). Meningkatnya respon
sel beta terhadap glukosa, karena meningkatnya ekspresi GLUT2 dan glukokinase
serta didapatkan penurunan rasio proinsulin terhadap insulin. GLP-1 juga
menghambat pengosongan lambung (gastric emptying) dan mempunyai efek
terhadap sistem saraf pusat yaitu menurunnya nafsu makan dan menurunnya
asupan makanan sehingga bisa berdampak menurunnya berat badan (McKillop,
2008).
GIP diproduksi oleh sel K pada usus bagian proksimal (duodenum) dan
merangsang pelepasan insulin bila ada asupan glukosa (glucose dependent).
Sedangkan GIP mempunyai pengaruh yang kecil terhadap pengosongan lambung
dan tidak mempunyai efek terhadap rasa kenyang dan berat badan. GIP hanya
berpotensi terhadap meningkatnya proliferasi serta survival sel beta pankreas
(Wu, et al, 2009).
Peranan hormon incretin dalam mempengaruhi sekresi insulin dari
pankreas sudah lama diketahui. Pada studi-studi tahun 1960-an pemberian
glukosa oral terbukti menyebabkan respon insulin yang lebih besar dibanding
dengan infus glukosa intravena, meski kadar glukosa yang tercapai lebih tinggi
pada infus intravena. Efek ini disebut sebagai efek incretin. Efek incretin terjadi
karena konsumsi glukosa akan menstimulasi pelepasan hormon incretin dari usus
dan hormon-hormon ini meningkatkan sekresi insulin.
Waktu paruh GLP-1 dan GIP ini sangatlah singkat yaitu sekitar2.3 ± 0.4
dan 5.0 ± 1.2 menit. Waktu paruh GLP-1 dan GIP yang singkat ini disebabkan
oleh inaktivasi yang cepat oleh dipeptidyl peptidase 4 (DPP-4), suatu enzim
terikat pada membran yang terdapat dalam sirkulasi dan terdapat dalam berbagai
jaringan seperti saluran gastrointestinal, hepar, ginjal, limfosit, dan sel
endotelium. DPP-4 menginakivasi GLP-1 dan GIP dengan memotong amino
terminus dari hormon incretin dan memicu pembentukan 2 metabolit: GLP-1 (9-
36) dan GIP (3-42). Degradasi yang cepat oleh DPP-4 inilah yang membatasi efek
GLP-1 dan GIP terhadap homeostasis glukosa. Stimulasi hormon incretin
diperkirakan mencapai 20-60% dari respon insulin terhadap makanan (Aryono,
2008).
D. PENYEBAB DIABETES
Pembentukan diabetes yang penting adalah dikarenakan kurangnya
produksi insulin (diabetes mellitus tipe 1, yang pertama dikenal), atau kurang
sensitifnya jaringan tubuh terhadap insulin (diabetes mellitus tipe 2, bentuk yang
lebih umum). Selain itu, terdapat jenis diabetes mellitus yang juga disebabkan
oleh resistansi insulin yang terjadi pada wanita hamil. Tipe 1 membutuhkan
penyuntikan insulin, sedangkan tipe 2 diatasi dengan pengobatan oral dan hanya
membutuhkan insulin bila obatnya tidak efektif. Diabetes mellitus pada kehamilan
umumnya sembuh dengan sendirinya setelah persalinan (Tandra, 2008).
Pemahaman dan partisipasi pasien sangat penting karena tingkat glukosa
darah berubah terus, karena kesuksesan menjaga gula darah dalam batasan normal
dapat mencegah terjadinya komplikasi diabetes.
E. KLASIFIKASI DIABETES
Berdasarkan kebutuhan atas insulin, diabetes dibagi menjadi dua
kelompok yaitu (Mycek, 2001) :
diabetes mellitus tergantung insulin (IDDM atau tipe I)
diabetes mellitus yang tidak tergantung insulin (NIDD atau tipe II)
diabetes ”gestational” (tipe III)
Diabetes tergantung insulin umumnya menyerang anak-anak tetapi IDDM
juga dapat terjadi pada orang dewasa. Penyakit ini ditandai dengan defisiensi
insulin absolut yang disebabkan oleh lesi atau nekrosis berat sel β. Hilangnya
fungsi sel β mungkin disebabkan oleh invasi virus, kerja toksin kimia atau
umumnya, melalui kerja antibodi autoimum yang ditunjukkan untuk melawan sel
β. Akibat dari destruksi sel β, pankreas gagal berespons terhadap masukan
glukosa (Mycek, 2001).
Diabetes Tipe I
Diabetes mellitus tipe 1, dulu disebut insulin-dependent diabetes (IDDM,
"diabetes yang bergantung pada insulin"), atau diabetes anak-anak, dicirikan
dengan hilangnya sel beta penghasil insulin pada pulau-pulau Langerhans
pankreas sehingga terjadi kekurangan insulin pada tubuh. Diabetes tipe ini dapat
diderita oleh anak-anak maupun orang dewasa (Handoko, et al, 2007).
Sampai saat ini diabetes tipe 1 tidak dapat dicegah. Diet dan olah raga
tidak bisa menyembuhkan ataupun mencegah diabetes tipe 1. Kebanyakan
penderita diabetes tipe 1 memiliki kesehatan dan berat badan yang baik saat
penyakit ini mulai dideritanya. Selain itu, sensitivitas maupun respons tubuh
terhadap insulin umumnya normal pada penderita diabetes tipe ini, terutama pada
tahap awal (Tandra, 2008).
Diabetes mellitus tipe I menunjukkan gejala klasik berupa defisiensi
insulin (polidipsia, polifagia dan poliuria) dan memerlukan insulin eksogen untuk
menghindari hiperglikemia dan ketoasidosis yang mengancam kehidupan (Mycek,
2001). Diabetes tipe I berhubungan dengan human leucocyte antigen dan destruksi
sel β selektif secara imunologis. Pada pasien ini, ketosis sering terjadi dan
dibutuhkan insulin. Terdapat bukti bahwa kontrol metabolik sejak dini pada
perjalanan penyakit bisa mencegah atau memperlambat awitan komplikasi
diabetes (Neal, 2006).
Penyebab diabetes tipe I berhubungan dengan adanya ledakan sekresi
insulin pada keadaan normal yang terjadi setelah menelan makanan sebagai
respon terhadap peningkatan sekilas kadar glukosa dan asam amino yang
bersirkulasi. Pada periode pasca-absorbsi, kadar insulin basal rendah yang
bersirkulasi dipelihara melalui sekresi sel β. Meskipun pada diabetes tip I
sebenarnya tidak mempunyai fungsi sel β dan juga tidak berespon terhadap variasi
bahan bakar yang bersirkulasi maupun memelihara kadar sekresi basal insulin.
Pekembangan neuropati, nefropati dan retinopati yang progresif secara langsung
berkaitan dengan besarnya kontrol glikemik yang paling sering diukur sebagai
kadar haemoglobin A1c dalam darah (Mycek, 2001).
Penyebab terbanyak dari kehilangan sel beta pada diabetes tipe 1 adalah
kesalahan reaksi autoimunitas yang menghancurkan sel beta pankreas. Reaksi
autoimunitas tersebut dapat dipicu oleh adanya infeksi pada tubuh (Tandra, 2008).
Pengobatan diabetes tipe I harus bergantung pada insulin eksogen untuk
mengontrol hiperglikemia, memelihara kadar haemoglobin glikosilat HbA1c
sebanding dengan konsentrasi gula darah rata-rata pada beberapa bulan
sebelumnya, sehingga HbA1c memberikan suatu ukuran bagaimana berhasilnya
pengobatan dalam menormalkan glukosa darah pada diabetes. Tujuan pemberian
insulin yaitu untuk memelihara konsentrasi glukosa darah mendekati normal dan
mencegah besarnya peningkatan kadar glukosa darah yang dapat menyokong
timbulnya komplikasi jangka panjang (Mycek, 2001).
Tingkat Glukosa rata-rata untuk pasien diabetes tipe 1 harus sedekat
mungkin ke angka normal (80-120 mg/dl, 4-6 mmol/l). Beberapa dokter
menyarankan sampai ke 140-150 mg/dl (7-7.5 mmol/l) untuk mereka yang
bermasalah dengan angka yang lebih rendah. seperti "frequent hypoglycemic
events". Angka di atas 200 mg/dl (10 mmol/l) seringkali diikuti dengan rasa tidak
nyaman dan buang air kecil yang terlalu sering sehingga menyebabkan dehidrasi.
Angka di atas 300 mg/dl (15 mmol/l) biasanya membutuhkan perawatan
secepatnya dan dapat mengarah ke ketoasidosis. Tingkat glukosa darah yang
rendah, yang disebut hypoglycemia, dapat menyebabkan kejang atau seringnya
kehilangan kesadaran (Tandra, 2008).
Diabetes Tipe II
Diabetes mellitus tipe 2 dulu disebut non-insulin-dependent diabetes
mellitus (NIDDM, "diabetes yang tidak bergantung pada insulin") terjadi karena
kombinasi dari kecacatan dalam produksi insulin dan resistensi terhadap insulin
atau berkurangnya sensitifitas terhadap insulin yang melibatkan reseptor insulin di
membran sel. Terjadinya penurunan jumlah reseptor insulin dan ini sering
berhubungan dengan obesitas. Penurunan berat badan mengurangi resistensi
insulin dan mengendalikan kira-kira sepertiga pasien diabetes tipe II (Mycek,
2001).
Pada pasien diabetes tipe 2 pankreas masih bisa membuat insulin tetapi
tidak dapat berfungsi dengan baik, sehingga glukosa tidak dapat masuk ke dalam
sel dan akhirnya tertimbun dalam peredaran darah (Tandra, 2008).
Pada tahap awal abnormalitas yang paling utama adalah berkurangnya
sensitifitas terhadap insulin, yang ditandai dengan meningkatnya kadar insulin di
dalam darah. Pada tahap ini, hiperglikemia dapat diatas dengan berbagai cara dan
pemberian obat antidiabetes yang dapat meningkatkan sensitifitas terhadap insulin
atau mengurangi produksi glukosa dari hepar, namun semakin parah penyakit,
sekresi insulin pun semakin berkurang, dan terapi dengan insulin kadang
dibutuhkan (Tandra, 2008)
Patofisiologi DM Tipe 2
Dasar patofisiologi DM tipe 2 telah kita kenal yaitu adanya resistensi
insulin dan adanya gangguan sekresi insulin atau adanya disfungsi dari sel beta
pankreas. Resistensi insulin selalu terdapat pada pasien DM tipe 2 yang
dimanifestasikan sebagai berkurangnya ambilan glukosa di jaringan otot dan
lemak yang distimulasi oleh insulin dan juga terjadi gangguan penekanan
produksi gula oleh hepar. Dalam kondisi normal sel beta akan melakukan
kompensasi resistensi insulin dengan cara meningkatkan sekresi insulin untuk
dapat mempertahankan kondisi toleransi glukosa normal. DM tipe2 terjadi bila
pankreas gagal untuk mensekresi insulin yang memadai untuk mengatasi
resistensi insulin akibat disfungsi sel beta yang progresif (Handoko, et al, 2007).
Menurut Tandra (2008), pada DM tipe 2 terjadi penurunan respon insulin
terhadap asupan glukosa serta kegagalan menekan sekresi glukagon bahkan
kadarnya cenderung meningkat. Kelainan pada sekresi insulin dan glukagon
inilah yang menyebabkan poduksi gula darah post prandial yang berlebihan
bahwa hiperglikemi pada DM tipe 2 disebabkan oleh karena kegagalan insulin
untuk memodulasi ambilan gula darah oleh jaringan otot dan lemak. Hal yang
mendasari terjadinya DM tipe 2 selain resistensi insulin dan disfungsi sel beta
(gangguan sekresi insulin) juga terjadi disfungsi sel alfa (kegagalan menekan
sekresi glukagon).
Insulin resisten terjadi dengan mekanisme seperti pada gambar 3. Reseptor
insulin merupakan reseptor tirosin kinase yang terdiri dari 2 subunit α dan 2
subunit ß. Pengikatan ligan insulin pada reseptor insulin pada subunit α akan
memyebabkan subunit ß mengalami autofosforilasi. Reseptor yang teraktivasi
Gambar 3. Mekanisme terjadinya insulin resisten (anonim, 2008)
akan memfosforilasi reseptor intraseluler lainnya seperti insulin-receptor
substrate(IRS), p85 dan p110 subunits dari phosphoinositide-3' kinase. Aktivasi
ini akan menyebabkan suatu transporter glukosa yang disebut GLUT-4 akann
menepi dan berdifusi dengan plasma membran yang memungkinkan glukosa
ditranspor ke dalam sel. Gangguan regulasi insulin terjadi melalui aktivasi diacyl-
glycerol (DAG) yang mengaktifkan protein kinase C, insulin-receptor substrate
kinases serin (IRSKs) mempfosforilasi insulin-receptor substrate yang akhirnya
terdegradasi. Signal pelepasan insulin juga dihambat melalui penguraian
phosphatidylinositol-3,4,5-triphosphate (PPI3) oleh Src-homology-2-containing
phosphatases 1 and (SHIP) atau phosphatase and tensin homolog (PTEN).
Metabolisme asam lemak yang abnormal bisa menyebabkan resisten insulin
melalui peroxisome proliferator-activated receptor (PPAR).
Incretin Pada DM Tipe2
Dalam studi klinis efek incretin berkurang pada pasien DM tipe2. Pasien
DM tipe 2 respon insulin dihasilkan lebih besar setelah pemberian glukosa oral
dibanding setelah pemberian glukosa intra vena. Tetapi dibanding dengan kontrol
normal respon peningkatan insulin setelah pemberian glukosa oral dan
intravena pada DM tipe2 menurun. Dalam studi ini penurunan efek incretin
dinilai pada pasien DM tipe2 dengan sekresi GIP normal. Ini menunjukkan bahwa
pada DM tipe2 respon sel beta terhadap hormon incretin berkurang (Aryono,
2008).
Peningkatan kadar GLP-1 setelah makan pada DM tipe 2 berkurang secara
nyata. Infus GLP-1 pada DM tipe 2 terbukti memperbaiki respon insulin
dibandingpada individu dengan normoglikemia. Ini membuktikan bahwa pada
DM tipe 2 respon sel beta terhadap GLP-1 tidak berubah. Berbeda dengan GLP-
1, peningkatan kadar GIP yang dipicu oleh makanan pada umumnya normal atau
sedikit mengurang. Meskipun dalam suatu studi respon insulin terhadap GIP
tampaknya berkurang pada pasien dengan DM tipe 2, tetapi tidak hilang sama
sekali. Dalam suatu studi infus GLP-1 atau GIP memperbaiki fase pertama dari
respon insulin (sekresi insulin mulai dari 2 menit setelah makan dan terus
berlangsung selama 10 menit) pada pasien dengan DM tipe2. Seperti terlihat
dalam studi klinis infus GLP-1 bukan GIP, juga memperbaiki fase kedua dari
respon insulin (sekresi insulin setelah fase pertama dan terusberlangsung hingga
normoglikemi kembali) (Ahren, et al, 2000).
Pada DM tipe 2 terdapat gangguann sekresi dari GLP-1 sedangkan sekresi
GIP tidak terpengaruh. Pemberian GIP sangat kecil pengaruhnya terhadap
aktivitas insulinotropik, sedangkan GLP-1 mampu meningkatkan sekresi insulin
yang tergantung dari glukosa. Oleh karena aksi insulinotropik GLP-1 dapat
memperbaiki masa sel beta pankreas pada diabetes maka peptida ini dan agonis
reseptor GLP-1 merupakan agen yang menarik untuk pengobatan pada diabetes.
(Gautier, et al, 2005).
Meningkatkan hormon incretin dalam sirkulasi menjadi cara pendekatan
baru untuk pengobatan DM tipe2. Kemampuan hormon-hormon incretin GLP-1
dan GIP untuk memperkuat sekresi insulin picuan glukosa menjadikan target yang
menarik untuk pengobatan DM tipe 2. Efek tambahan GLP-1 terhadap penekanan
sekresi glukagon, melambatnya pengosongan lambung dan timbulnya perasaan
kenyang juga diinginkan dalam pengobatan DM tipe2. GLP-1 memperbaiki
beberapa aspek dari fungsi sel beta yang melebihi stimulasi sekresi insulin seperti
terlihat pada studi hewan dan studi in vitro. Pada manusia infus GLP-1 atau
analog GLP-1 terbukti memperbaiki respon sel beta terhadap glukosa dan juga
mengurangirasio proinsulin terhadap insulin (Ahren, et al, 2000, Wu, et al, 2009).
Ada dua cara pendekatan untuk meningkatkan atau memperpanjang efek hormon
incretin guna kepentingan sebagai obat DM yaitu dengan Incretin mimetik
dan DPP-4 inhibitor (Mycek, 2001).
Penatalaksanaan DM Tipe2
Prinsip dalam memilih obat hipoglikemi adalah dipilih obat yang
diprediksi dapat menurunkan glukosa secara efektif, mempunyai efek ekstra
glikemi yang dapat menurunkan komplikasi jangka panjang, profilnya aman,
toleransi baik, mudah digunakan dan harganya terjangkau. Penatalaksanaan
diabetes pasien harus dilibatkan secara aktif mulai dengan diberikan edukasi
sampai dengan pelatihan bagaimana cara untuk mencegah serta cara mengatasi
hipoglikemiserta cara untuk melakukan monitoring gula darah sendiri terutama
kepada pasien yang menggunakan insulin.
Tujuan dari penatalaksanaan DM adalah untuk menghambat atau
mencegah komplikasi mikro maupun makrovaskuler dengan cara mengendalikan
gula darah mendekati normal tanpa menimbulkan keluhan hipoglikemi.
Penatalaksanaan DM selalu disertai dengan intervensi perubahan gaya hidup
ditambah dengan obat hipoglikemi oral maupun insulin secara monoterapi atau
kombinasi (DiPiro, 2005). Beberapa macam obat hipoglikemi oral sesuai dengan
mekanisme kerja yaitu :
1. Insulin sekretagogus ada 2 yaitu golongan sulfoilurea dan non sulfonilurea
Golongan sulfonilurea :
generasiI : tolbutamid, chlorpropamid
generasiII : glibenklamid, glipizide, gliquidon, gliclazide
generasi III : glimepiride
Golongan non sulfonilurea : meglitinide yaitu nateglinide dan repaglinide
2. Insulin sensitizer misalnya thiazolidinedione dan biguanid.
Thiazolidinedione : glitazone, rosiglitazone,pioglitazone
Biguanide : metformin
3. Inhibitor enzim intestinal misalnya alfa glukosidase inhibitor seperti acarbose.
4. Jenis lain
DPP-4 inhibitor : vildagliptin, sitagliptin,saxagliptin
GLP-1 agonists :exenatide
Amylin agonists: pramlinide
VILDAGLIPTIN SEBAGAI PILIHAN TERAPI DIABETES MILITUS
TIPE 2
A. VILDAGLIPTIN
Vildagliptin merupakan suatu DPP-4 inhibitor adalah obat hipoglikemi
oralbaru untuk pengobatan DM tipe 2 yang bekerja sebagai inhibitor selektif
darisuatu enzim Dipeptidyl Peptidase-4 (DPP-4) yang bertanggung jawab untuk
memecahGLP-1 dalam sirkulasi dengan struktur kimia seperti pada gambar 4.
Pada penelitian membuktikan bahwa vildagliptin dapat memperbaiki sel pada
pasien DM tipe 2 dengan meningkatkan kemampuan respon sel alfa maupun sel
beta pankreas terhadap glukosa (Aryono, 2009).
Vildagliptin menghambat aktivitas enzim DPP-4 (enzim yang memecah
GLP-1 dan GIP) sehingga kadar GLP-1 aktif dan GIP dalam sirkulasi tetap tinggi
pada pasien DM tipe 2 (Schweizer A et al, 2007). Vildagliptin juga terbukti
mampu meningkatkan kadar insulin dan menurunkan kadar glukosa setelah
OGTT pada model binatang DM tipe 2.
Beberapa studi klinis yang menelti tentang vildagliptin diantaranya adalah :
1. Schweizer A, et al (2007) membandingkan efektivitas vildagliptin dibanding
dengan metformin secara monoterapi dengan melihat besarnya penurunan A1C
Gambar 4. Strukur kimia Vildagliptin
selama periode pengobatan 1 tahun pada pasien DM tipe 2. Penelitian
dilakukan secara random, buta ganda, multisenter selama 52 minggu,
pengobatan pada 526 penderita DM tipe 2 yang diberikan vildagliptin 100
mg/hari atau dengan metformin dosis titrasi sampai dosis 2000 mg/hari (254
DM tipe 2), semua pasien belum pernah mendapatkan obat dengan A1C basal
antara 7,5-11,0% A1C diperiksa secara berkala. Hasil dari penelitian
didapatkan penurunan A1C secara bermakna baik kelompok vildagliptin (-1,0 ±
0,1%, p < 0.001) dankelompok metformin (-1,4 ± 0,1%, p< 0.001). Tidak
didapatkan perubahan berat badan pada kelompok vildagliptin (0.3 ± 0.2 kg, p
= 0.17) sedangkan pada kelompok metformin didapatkan penurunan berat
badan (-1.9 ± 0.3 kg, p<0.001).Efek samping kedua kelompok hampir sama
sedangkan efek samping hipoglikemi sama rendah yaitu <1%.
2. Pi-Sunyer FX., et al (2007) meneliti tentangefikasi dan toleransi vildagliptin
monoterapi pada pasien DM tipe 2. Penelitian dilakukan selama 24 minggu
membandingkan penggunaan dosis vildagliptin 50mg satu kali sehari, 50 mg
dua kali sehari, 100 mg satu kali sehari. Penurunan rata-rata A1C dari
kelompok vildagliptin dibandingkan dengan plasebo. Kesimpulan dari
penelitian ini adalah bahwa vildagliptin efektif dan ditoleransi dengan baik
pada dosis100 mg/hari bisa diberikan sebagai dosis tunggal maupun terbagi
dua.
3. Fonseca et al., (2007) meneliti tentang penambahan vildagliptin pada pasien
DM tipe 2 yang telah mendapatkan insulin namun belum terkontrol dengan
baik, dengan tujuan untuk memperbaiki kontrol gula darah. Hasil penelitian
didapatkan perbedaan perubahan A1C sebesar -0,5 ± 0,1% pada pasien yang
mendapatkan tambahan vildagliptin dan –0,2 ± 0.1% plasebo. Kesimpulan dari
penelitian ini adalah Vildagliptin dapat menurunkan A1C pada penderita DM
tipe 2 yang telah mendapat insulin dan belum teregulasi dengan baik dibanding
dengan plasebo. Penambahan vildagliptin juga dapat menurunkan risiko
terjadinya hipoglikemi.
4. Bosi E et al (2007) meneliti tentang efektivitas dan keamanan vildagliptin bila
dikombinasikan dengan metformin. Penelitian dilakukan terhadap pasien DM
tipe 2 yang telah mendapatkan metformin dengan dosis lebih atau sama dengan
1500 mg tetapi belum teregulasi dengan baik kemudian ditambahkan
vildagliptin dengan dosis 50 mg, 100 mg atau plaseboselama 24 minggu.
Perubahan yang bermakna bila dibandingkan dengan placebo. A1C sebesar -
0.7 ± 0.1% (p < 0.001) pada vildagliptin dosis 50 mg dan -1.1±0.1% (p<0.001)
pada vildagliptin dosis 100 mg, dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa
vildagliptin dapat ditoleransi dengan baik dan dapat menambah penurunan
A1C bila dikombinasikan dengan metformin. Besarnya penurunan
A1Cberkorelasi dengan besarnya dosis vildagliptin.
5. Rosenstock J et al (2008) meneliti efek vildagliptin terhadap kadar hormon
incretin, fungsi sel islet dan kontrol gula darah post prandial pada pasien
dengan gangguan toleransi glukosa. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa dibanding dengan plasebo vildagliptin relatif mampu meningkatkan
GLP-1dan GIP secara bermakna serta didapatkan penurunan kadar glukagon.
Walaupun kadar insulin post prandial tidak terpengaruh, namun didapatkan
penurunan kadarglukosa prandial (prandial glucose excursions) yang
bermakna, penurunan relative sebesar 30 % dibanding dengan plasebo. Fungsi
sel beta yang diukur dengan insulin secretory rate (ISR) juga meningkat secara
bermakna, dan tidak dilaporkan adanya komplikasi hipoglikemi. Dari
penelitian ini dapat disimpulkan vildagliptin dapat ditoleransi dengan baik pada
subjek dengan GTG tanpa menimbulkan efek samping hipoglikemi dan
penambahan berat badan.
6. Garberet al (2006) meneliti efektivitas dan toleransi vildagliptin bila
dikombinasi dengan pioglitazone. Penelitian dilakukan pada pasien DM tipe 2
yang telah mendapatkan terapi pioglitazone dosis maksimal 45 mg/hari secara
monoterapi tetapi gula darah belum terkendali dengan baik kemudian
ditambahkanvildagliptin dengan dosis 50mg, 100 mg atau plasebo. Hasil dari
penelitian tersebut menunjukkan bahwa dengan penambahan vildagliptin
didapatkan penurunanA1C secara bermakna dibanding dengan plasebo.
Dengan dosis vildagliptin 50 mgdan 100 mg didapatkan penurunan gula darah
puasa namun penurunan nya tidak bermakna bila dibandingkan dengan plasebo
dan penurunan gula darah prandial yang bermakna bila dibanding dengan
plasebo. Dengan kedua dosis vildagliptin tersebut juga didapatkan peningkatan
yang bermakna ISR(insulin secretory rate) lebih dari tiga kali lipat.
7. Wu, et al (2009) meneliti bahwa Vildagliptin telah terbukti efektif dalam
mengurangi glikosilasi hemoglobin (HbA1c) dan glukosa plasma puasa (FPG)
pada pasien dengan diabetes tipe 2.
B. EFEK SAMPING VILDAGLIPTIN
Efek yang tidak didinginkan yang dilaporkan sangat sedikit, baik sebagai
monoterapi maupun terapi kombinasi. Efek yang paling sering terjadi adalah
nasofaringitis, sakit kepala dan pusing. Efek hipoglikemia sedikit dijumpai baik
sebagai monoterapi maupun terapi kombinasi (Anonim, 2008).
C. FARMAKOKINETIKA VILDAGLIPTIN
Vildagliptin cepat diserap ke dalam darah. Konsentrasi maksimal adalah 1-
2 jam setelah pemberian oral. Bioavailibilitas 85%. Steady stae adalah 70,5 liter.
Vildagliptin dihidrolisa menjadi metabolit yang tidak aktif. Vildagliptin diekskresi
melalui urin (8,5%) dan 15% melalui feses. Waktu parunya dilaporkan 1,68-2,54
jam. Vildagliptin tidak menghambat sitokrom P450, tidak berdampak negatif pada
penderita gangguan hati (Anonim, 2008).
C. MEKANISME KERJA VILDAGLIPTIN SEBAGAI PENGHAMBAT
ENZIM DPP 4 (DIPEPTIDIL PEPTIDASE 4)
Berdasarkan sistem kerja enzim DPP 4, penghambatan DPP 4 akan
meningkatkan kadar GLP 1 dan akan memiliki efek sebagai antihiperglikemik.
Peranan dari penghambat DPP 4 adalah memperbaiki toleransi glukosa,
meningkatkan sekresi insulin, menghambat sekresi glukagon, memperlambat
pengosongan lambung, dan memperlambat kejadian diabetes berat.
Tabel 2. Perbandingan efek GLP-1 endogen dan Penghambat DPP-4
Diabetes Tipe 2 Efek GLP-1 endogen Penghambat DPP-4Gangguan sekresi insuin Stimulasi insulin dengan
mekanisme kerja Glucose-dependent (bergantung pada adanya glukosa)
Ya
Hiperglukagonemia Menekan sekresi Glukagon
Ya
Penurunan massa sel beta pankreas
Meningkatkan sintesa pro-insulin (bakal insulin)
Ya
Jumlah kematian (apoptosis) sel beta meningkat
Menghambat apoptosis (kematian) sel beta
Ya
Pengosongan lambung menjadi cepat, menjadi lambat atau normal
Memperlambat pengosongan lambung
Tidak berpengaruh
Asupan energy berlebihan (hiperkalori) / obesitas
Menekan nafsu makan/ Menurunkan berat badan
Tidak berpengaruh terhadap nafsu makan. Berat badan tidak meningkat
Hormon incretin seperti GLP-1 (Glucagon Like Peptide-1) dan GIP
(Glucose -dependent Insulinotropic Polypeptide) yang dilepaskan dari usus,
berperan penting dalam homeostasis glukosa, diperkirakan bahwa incretin adalah
bertanggung jawab atas 50-70% dari pelepasan insulin postprandial. Mekanisme
aksi dari GLP-1 melibatkan aktivasi GPCR jalur adenilat siklase seperti pada
gambar 5.
Hormon incretin GLP-1 yang aktif akan berikatan dengan reseptor Protein
G(GPCR) maka dimulailah proses signaling diawali dengan perubahan
konformasi reseptor yang menyebabkan daerah reseptor aktif terhadap protein Gs.
Selanjutnya subunit Gα akan melepaskan GDP dan akan mengikat GTP (terjadi
pertukaran GDP-GTP). penggantian GDP menjadi GTP akan menyebabkan
perubahan konformasi pada subunit Gα. Subunit Gα yang terikat dengan GTP kan
terdisosiasi dari subunitβγ menjadi subunit yang aktif, yang akan mengaktifkan
adenilat siklase (AC) memproduksi cAMP. cAMP akan mengaktifkan PKA
memicu pelepasan kalsium dari reticulum endoplasma sehingga akan terjadi
pelepasan insulin dari intraseluler ke ekstraseluler. Proses ini juga bersinergi
dengan adanya glukosa yang merangsang sekresi insulin. Glukosa dari
ekstraseluler masuk ke dalam sel akan menghambat aktivitas kanal K-ATP yang
dipengaruhi oleh PKA. Namun, mekanisme aksi dari PKA pada kanal K-ATP
tidak sepenuhnya mengerti. Penutupan saluran K-ATP akan menyebabkan
depolarisasi dan meningkatkan Ca2+ masuk ke dalam sel melalui kanal Ca2+.
Sehingga terjadilah pelepasan insulin ke ekstraseluler (Wu, et al, 2009).
Gambar 5. Skema aktivasi GPCR melalui jalur adenilat siklase pada pelepasan
insulin oleh sel ß dan penghambatan DPP 4 oleh Vildagliptin (Wu, et al,
2009)
Karena kondisi fisiologis, GLP-1 dan GIP sangat cepat di non-aktifkan
oleh enzim DPP 4. Akibatnya GLP-1 dan GIP tidak dapat menjalankan fungsinya
dengan baik. Enzim DPP-4 (Dipeptil peptidase 4) akan menginakivasi GLP-1 dan
GIP dengan memotong amino terminal dari hormon incretin dan memicu
Vildagliptin
pembentukan 2 metabolit: GLP-1 (9-36) dan GIP (3-42). Degradasi yang cepat
oleh DPP-4 inilah yang membatasi efek GLP-1 dan GIP terhadap homeostasis
glukosa. Penghambat DPP-4 dapat memperpanjang aktifitas kerja dari GLP-1
endogen karena menghambat kerja dari enzim DPP-4 sehingga GLp-1 dapat
menjalankan fungsinya dengan baik. Penghambat DPP-4 seperti vildagliptin
merupakan golongan OAD baru yang saat ini sangat diperhitungkan sebagai
pilihan Obat Anti Diabetes untuk terapi hiperglikemia (Wu, et al., 2009).
KESIMPULAN
1. Diabetes Militus tipe 2 terjadi karena adanya resistensi insulin, gangguan
sekresi insulin atau adanya disfungsi dari sel beta pankreas.
2. Hormon incretin (GLP-1 dan GIP) berfungsi meningkatkan sekresi insulin
dari sel-sel beta pankreas sebagai respon terhadap peningkatan kadar
glukosa darah yang terjadi setelah makan dan menghambat pelepasan
glukagon dari sel alfa pankreas dalam kondisi hiperglikemia melalui
aktivasi protein G (GPCR) jalur adenilat siklase.
3. Enzim DPP-4 (Dipeptil peptidase 4) dapat menginakivasi GLP-1 dan GIP
sehingga efek GLP-1 dan GIP terhadap homeostasis glukosa terhambat.
4. Penghambat DPP-4 seperti vildagliptin merupakan golongan OAD baru
yang merupakan pilihan terapi hiperglikemia.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2008a, Kontrol glikemik dengan inhibitor DPP-4, majalah farmasia, vol
8 No.3, www.majalah-farmacia.com
Anonim, 2008b, Cellular mechanism of insulin resistance [online database]. Available at
www.nature.com.
Aryono, S.M., 2009, Vildagliptin dalam penatalaksanaan DM tipe 2,
www.medicalborneo.com
Ahren Bo, Pacini G, Foley JE, Schweizer A (2005). Improved Meal-Related β-
cell Function and chIkansulin Sensitivity by the Dipeptyl Peptidase-IV
Inhibitor Vildagliptin in Metformin-Treated Patients With Type 2
Diabetes Over 1 Year. Diabetes Care 28:1936-1940
Ahren, B; Holst, J.J, Martenson, H., Balkan, B., 2000, Improved glucose tolerance
and insulin secretion by inhibition of dipeptidyl peptidase IV in mice,
Europan Jurnal of Pharnacology (404), 239-245
Askandar, T., 2008, A Novel OAD with Broadspectrum Theurapeutic Value for
Patients with T2DM (The roles of galvus for patients with T2DM,
MODY, Tx DM, Pre-DM and T1DM). Dalam Naskah Lengkap: Joint
Symposium Surabaya Diabetes Update-XVIII and Metabolic
Cardiovascular Disease Surabaya Update-3. Editor: Askandar Tj, Ari S,
Agung P, Sri M, Soebagijo A, Sony W. Surabaya 13-14 Desember 2008:
Hlm 12-24
Bosi, E., Camisasca RP, Collober C, Rochotte E, Garber AJ, 2007, Effect of
Vildagliptin on Glucose Control Over 24 Weeks in Patients With Type 2
Diabetes Inadequately Controlled With Metformin.Diabetes Care 30:
890-895
Davis, M., Srinivasan B, 2007, Glycaemic Management of Type2 Diabetes.
Medical Progress 34:141-149
Drucker, DJ, 2006, The biology of incretin hormones, Cell Metabolism, 3:153-
165
Fonseca V, SchweizerA, Albrecht D, Baron MA, 2007, Addition of vildagliptin
to insulin improves glycemic control in type2 diabetes. Diabetologia 50 :
1148-1155
Gautier JF, Fetita S, Sobngwi E, Martin CS, 2005, Biological Actions of the
Incretins GIP and GLP-1 and Therapeutic Perspectives in Patients with
Type2 Diabetes. Diabetes Metab 31: 233-242
Garber AJ, SchweizerA, Baron MA , Rochotte E, Dejager S, 2006, Vildagliptin
in combination with pioglitazone improves glycaemic control in patients
with type 2 diabetes failing thiazolidinedione monotherapy : a
randomized, placebo-controlled study.Diabetes, Obesity and
metabolism: 1-9
Handoko, T., Suharto, B., 2007, Insulin, Glukagon dan Antidiabetik Oral,
Farmakologi dan Terapi, Edisi 5, Fakultas Kedokteran UI
Khan SE, Hull RL, Utzschneider KM, 2006, Mechanisms linking obesity to
insulin resistance and type 2 diabetes, Nature 444, 840-846
Katzung BG,2000, Basic & Clinical Pharmacology, 7th, Lange Medical
Books/McGraw-Hill, New York, pages 517-529
Ling He Y, Wang Y, Bullock JM, Deacon CF, Holst JJ, Dunning BE, Saylan ML,
Foley JE, 2007, Pharmacodynamics of Vildagliptin in Patients With
Type2 Diabetes During OGTT., J Clin Pharmacol 47:633-641
McKillop, A.M., Duffy, N.A., Lindsay, J.R., O Harte, P.M., Bell, P.M., Flatt,
P.R., 2008, Decreased dipeptidyl peptidase-IV activity and glucagon-like
peptide-1(7-36)amide degradation in type 2 diabetic subjects, Diabetes
Research and Clinical Practice, 79, 79-85
Pi-Sunyer FX, Schweizer A, Mills D, Dejager S, 2007, Efficacy and tolerability of
vildagliptin monotherapy in drug-naive patients with type 2 diabetes.
Diabetes Research and Clinical Practice 76:132-138
Rosentock J, Foley JE, Rendell M, Landin-Olsson M, Holst JJ, Deacon CF,
Rochotte E, Baron MA , 2008, Effects of the Dipeptidyl Peptidase-IV
Inhibitor Vildagliptin on Incretin Hormones,Islet Function,and
Postprandial Glycemia in Subjects With Impaired Glucose Tolerance.
Diabetes Care 31:30-35
Schweizer A, Couturier A, Foley JE, Dejager S, 2007, Comparison between
vildagliptin and metformin to sustain reductions in HbA1C over 1 year
in drug-naive patients with type 2 diabetes, Diabetic Medicine 24 :955-
961
Tandra, H., 2008, Segala Sesuatu yang harus Anda ketahui tentang Diabetes, PT
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Wu, J., Chen, Y.,Shi, X., Gu, W., 2009, Dipeptidyl peptidase IV(DPP IV): a novel
emerging target for the treatment of type 2 diabetes, Journal of Nanjing
Medical University, 23(4):228-235