tugas farmakologi klinik

Upload: argo-dio

Post on 19-Jul-2015

753 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

ASPEK FARMAKOLOGI TERAPI KEJANG DEMAMDisusun Dalam Rangka Tugas Mata Ajar Farmakologi Prodi Magister Kesehatan Keluarga ( Minat Ilmu Kesehatan Anak )

Disusun Oleh : PRODI ANAK Argadia Yuniriyadi (S501202012) Reza Abdussalam Fini Arifiana (S501202057) (S501202026) Nesa Aliani Dyah Ayu Putri Triswi Wiyanti (S501202048) (S501202022) (S501202071)

MAGISTER KEDOKTERAN KELUARGA MINAT BIOMEDIK PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012

1

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ...................................................................................................... i PENDAHULUAN ............................................................................................ 1 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... 2 1. a. b. c. d. 2. a. b. c. KEJANG DEMAM ............................................................................. 2 Definisi............................................................................................. 2 Klasifikasi Kejang Demam .............................................................. 2 Patofisiologi ..................................................................................... 3 Tatalaksana ...................................................................................... 4 ASPEK FARMAKOLOGI .................................................................. 7 Antikejang........................................................................................ 7 Antipiretik ...................................................................................... 18 Evidence Based Terapi Kejang Demam ........................................ 24

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 30

i

PENDAHULUAN

Kejang demam masih merupakan salah satu keadaan yang sering dijumpai pada praktik kesehatan anak. Insidensi kejang demam masih sebesar 2-5% dari anak yang berumur 6 bulan 5 tahun dengan insidensi tertinggi pada umur 18 bulan. Permasalahan yang timbul justru terjadi karena dalam praktek sehari-sehari, manifestasi kejang demam sering mirip dengan penyakit-penyakit neurologi pada anak. Sebagai seorang dokter spesialis anak yang bertanggung jawab akan kesehatan anak, tatalaksana kejang demam masih perlu diperhatikan. Badan organisasi dokter anak Indonesia (IDAI) sebenarnya telah mengeluarkan sebuah alur tatalaksana dari kejang demam itu sendiri. Namun sebagai seorang dokter anak, kita harus paham aspek farmakologi dari obat-obat yang digunakan dalam tatalaksana kejang demam tersebut Makalah ini bertujuan untuk membahas aspek farmakologi obat-obatan yang digunakan dalam tatalaksana terapi kejang demam.

1

TINJAUAN PUSTAKA

1.

KEJANG DEMAM a. Definisi Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu

tubuh (suhu rektal di atas 38C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstra kranium, tidak terbukti adanya gangguan elektrolit, infeksi SSP, dan riwayat kejang tanpa demam sebelumnya (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2006). Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk kejang demam. Ada riwayat kejang demam keluarga yang kuat pada saudara kandung dan orang tua,menunjukkan kecenderungan genetik (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2010)

b.

Klasifikasi Kejang Demam Kejang demam dibagi menjadi 2 klasifikasi, yaitu (American Academy of

Pediatrics, 2011) : 1) Kejang demam sederhana (Simple febrile seizure) Yaitu kejang demam dengan kriteria antara lain : kejang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit, umumnya akan berhenti sendiri kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik, tanpa gerakan fokal kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam

2) Kejang demam kompleks (Complex febrile seizure) Yaitu kejang demam dengan ciri-ciri, antara lain (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2004) : Kejang berlangsung lama, lebih dari 15 menit Kejang fokal atau parsial satu sisi atau kejang umum didahului kejang parsial Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam

2

3

c.

Patofisiologi Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah

menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipoid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal, membran sel neuron dapat dilalui oleh ion K, ion Na, dan elektrolit seperti Cl. Konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan di luar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya (Behrman et al., 2004). Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada permukaan sel. Perbedaan potensial membran sel neuron disebabkan oleh : Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler Rangsangan yang datangnya mendadak, misalnya mekanis, kimiawi, aliran listrik dari sekitarnya Perubahan patofisiologis dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1 derajat celcius akan menyebabkan metabolisme basal meningkat 10-15% dan kebutuhan oksigen meningkat 20%. Pada seorang anak yang berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh, sedangkan pada orang dewasa hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini sedemikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel lainnya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter sehingga terjadi kejang (Behrman et al., 2004). Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari tinggi rendahnya ambang kejang seorang anak. Ada anak yang ambang kejangnya rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38 derajat celcius, sedangkan pada anak

4

dengan ambang kejang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40 derajat celcius (Behrman et al., 2004)

Sumber : (Anon., 2004) Gambar 1. Patofisiologi Kejang Demam

d.

Tatalaksana Tatalaksana kejang demam dibagi menjadi dua, yaitu tatalaksana serangan

kejang, serta tatalaksana diagnosis dan terapi lanjutan dari kejang demam itu sendiri. 1) Tatalaksana Serangan Kejang Anak dengan kejang demam yang sedang mengalami serangan kejang harus segera ditangani. Apabila serangan kejang demam tersebut merupakan serangan pertama dan belum diketahui penyebabnya, lebih baik segera dilakukan terapi serangan kejang sebelum dilakukan penegakan diagnosis (Srinivasan, 2005). Terapi serangan kejang pada kejang demam perlu dipertimbangkan bahwa serangan kejang

5

demam tersebut merupakan serangan kejang lama, atau status epileptikus. Status epileptikus merupakan kejang yang lebih dari 30 menit. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kejang yang berkepanjangan berhubungan dengan peningkatan mortalitas dan morbiditas (Scholtes et al., 1996). Walaupun morbiditas dan mortalitas kejang demam berkelanjutan relative rendah, namun kejang demam berkelanjutan cenderung akan terjadi focal seizure atau harbor pre-existing neurological abnormalities (Berg & Shinnar, 1996). British Coloumbia Medical Journal (BCMJ) telah menerbitkan algoritma penatalaksanaan status epileptikus pada infant dan anak (gambar 2)

2) Tatalaksana Lanjutan Profilaksis Terapi profilaksis dilakukan setelah serangan kejang terlewati. Saat ini lebih diutamakan pengobatan profilaksis intermitten pada saat demam berupa, antara lain (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2010): Antipiretik o Paracetamol 10-15mg/kgbb diberikan 4x sehari o atau Ibuprofen 5-10 mg/kgbb/kali diberikan 3-4x sehari Anti kejang o Diazepam oral dengan dosis 0,3 mg/kgbb setiap 8 jam o atau Diazepam rectal dosis 0,5mg/kgbb setiap 8 jam pada saat tubuh >38,5C Pengobatan jangka panjang/rumatan. o Fenobarbital (dosis 3-4 mg/kg/bb/hari dibagi1-2 dosis o atau Asam Valproat (dosis 15-40 mg/kgbb dibagi 2-3 dosis)

6

Sumber : (Lee et al., 2011) Gambar 2. Algoritma Penatalaksanaan Status Epileptikus Pada Infant Dan Anak

7

2.

ASPEK FARMAKOLOGI a. Antikejang 1) Barbiturat Mekanisme utama dari tindakan barbiturat diyakini afinitas mereka untuk-

reseptor GABA

A

(Kisah Para Rasul pada GABA: BDZ Cl reseptor

saluran

kompleks). GABA adalah neurotransmitter inhibisi utama dalam sistem saraf mamalia pusat (SSP). Barbiturat mengikat reseptor GABA A pada subunit alpha, yang berbeda dari situs mengikat GABA itu sendiri dan juga berbeda dari situs pengikatan benzodiazepine. Seperti benzodiazepin, barbiturat mempotensiasi efek GABA di reseptor ini. Selain efek GABA-ergic, barbiturat juga memblokir reseptor AMPA, suatu subtipe reseptor glutamat. Glutamat adalah neurotransmitter rangsang utama di SSP mamalia. Secara keseluruhan, temuan bahwa penghambatan GABA barbiturat mempotensiasiA

reseptor dan menghambat reseptor rangsang AMPA dapat

menjelaskan depresi SSP-efek dari agen ini. Pada konsentrasi tinggi mereka menghambat Ca bergantung pelepasan neurotransmiter. Barbiturat menghasilkan efek farmakologis mereka dengan meningkatkan durasi pembukaan saluran ion klorida pada reseptor GABAA

(farmakodinamik: ini

meningkatkan efektivitas dari GABA), sedangkan benzodiazepin meningkatkan frekuensi pembukaan saluran ion klorida pada reseptor GABAA

(farmakodinamik:

ini meningkatkan potensi GABA). Para gating langsung atau pembukaan saluran ion klorida adalah alasan untuk peningkatan toksisitas barbiturat dibandingkan dengan benzodiazepin dalam overdosis (Neil et al., 2000).

PHENOBARBITONE FARMAKODINAMIK Susunan Saraf Pusat. Efek utama barbiturat ialah depressi SSP. Semua tingkat depresi dapat di capai, mulai dari sedasi, hipnosis, berbagai tingkat anastesia, koma, sampai kematian. Barbiturat tidak dapat mengurangi rasa nyeri, tanpa disertai hilangnya kesadaran, dan dosis kecil barbiturat dapat meningkatkan reaksi

8

terhadap rangsangan nyeri. Pada beberapa individu, dan dalam keadaan tertentu, misalnya adanya rasa sakit, barbiturat tidak menyebabkan sedasi melainkan malah menimbulkan eksitasi (kegelisahan dan delirium). hal ini mungkin disebabkan adanya depresi pusat penghambatan (Mycek & Mary, 2001). Efek pada tingkatan tidur. Efek hipnotik barbiturate meningkatkan total lama tidur dan mempengaruhi tingkatan tidur yang bergantung pada dosis Tempat dan mekanisme kerja pada SSP. Barbiturat bekerja pada seluruh SSP, walaupun pada setiap tempat tidak sama kuatnya. Dosis non anesthesi

terutama menekan respon pasca sinaps. Penghambatan hanya terjadi pada sinaps GABA-nergik.. Barbiturat memperlihatkan beberapa efek yang berbeda pada eksitasi dan inhibisi transmisi sinaps, kapasitas barbiturate membantu kerja GABA sebagian menyerupai kerja benzodiazephin, namun pada dosis yang lebih tinggi bersifat sebagai agonist GABA-nergik, sehingga dalam dosis tinggi barbiturat dapat

menimbulkan depresi SSP yang berat (Mycek & Mary, 2001) Pernapasan. Barbiturat menyebabkan depresi nafas. Pemberian barbiturat dosis sedatif hampir tidak berpengaruh terhadap pernafasan, sedangkan dosis hipnotik oral menyebabkan pengurangan frekuensi dan amplitudo nafas, ventilasi alveol sedikit berkurang sesuai dengan keadaan tidur fisiologis. Pemberian oral

barbiturat yang sangat tinggi atau suntikan iv yang terlalu cepat menyebabkan depresi nafas yang lebih berat (Mycek & Mary, 2001) Sistem Kardiovaskular. Pada dosis oral sedatif atau hipnotik, barbiturat tidak memberikan efek yang nyata terhadap sistem kardiovaskular. Frekuensi nadi dan tekanan darah sedikit menurun seperti terjadi dalam keadaan tidur fisiologis. Pemberian babiturat dosis terapi iv secara cepat dapat menyebabkan tekanan darah turun secara mendadak sebentar. Efek kardiovaskular terhadap intoksikasi barbiturat sebagian besar disebabkan oleh hipoksia sekunder akibat infeksi nafas. Dosis tinggi barbiturat menyebabkan depresi pusat vasomotor diikuti vasodilatasi perifer sehingga terjadi hipotensi. Barbiturat dosis sangat tinggi berpengaruh langsung terhadap kapiler sehingga menyebabkan syok kardiovaskular (Mycek & Mary, 2001)

9

FARMAKOKINETIK Babiturat diabsorbsi per oral dan beredar luas di seluruh tubuh. Obat tersebar dalam tubuh dari otak sampai ke daerah splanknikus. Otot skelet dan

akhirnya ke jaringan lemak. Gerakan ini penting dalam menentukan jangkau waktu kerja yang singkat dari thiopental dan derivat jangka pendek lainnya. Barbiturat dimetabolisme dalam hati dan metabolit yang tidak aktif dikeluarkan dalam urin Phenobarbital memiliki bioavailabilitas 90%. Dalam plasma

puncaknya mencapai 8-12 jam. Akan berada dalam tubuh sekitar 2-7 hari dan mengikat protein 20-40%. Dimetabolisme oleh hati, terutama melalui hidroksilasi dan glukoronidasi, dan menginduksi banyak isozim dari sistem sitokrom P450 (Mycek & Mary, 2001)

INTERAKSI Golongan Interaksi Obat Meningkatkan efek sedasi saat barbiturat diberikan dengan alcohol Alkohol Antibakterial Barbiturat meningkatkan metabolism kloramfenikol, doksisiklin, metronidazol, mengurangi kadar dalam darah; Phenobarbital mungkin mengurangi kadar firampisin dalam darah; pehnobarbital mengurangi kadar telitromisin dalam darah, hindari selama dan untuk 2 minggu setelah Phenobarbital Antidepresan Phenobarbital mengurangi kadar paroxetine dalam darah; Phenobarbital meningkatkan metabolism mianserin, mengurangi kadar dalam darah; efek antikejang barbiturat mungkin dilawan oleh MAOI dan antidepresi trisiklik (ambang kejang menurun); efek antikejang barbiturate dilawan oleh SSRI,trisiklik, ambang kejang menurun; barbiturat mungkin meningkatkan metabolism trisiklik, mengurangi kadar dalam darah Phenobarbital mengurangi kadar carbamazepin, lamotrigin, tiagabin, Antiepilepsi dan zonisamide dalam darah; phenobarnital mungkin megurangi konsentrasi ethosuximide dalam darah; konsentrasi Phenobarbital dalam darah meningkat oleh oxcarbazepin, juga kadar metabolit aktif oxcarbazepin dalam darah menurun; kadar Phenobarbital dalam darah seringkali meningkat oleh fenitoin, kadar fenitoin dalam darah

10

Antijamur

Antipsikotik

Antiviral

Ansiolitik dan hipnotik

seringkali berkurang tetapi dapat meningkat; efek sedasi meningkat saat barbiturate diberikan dengan primidone; kadar Phenobarbital dalam darah meningkat oleh valproat, kadar valproat dalam darah menurun; kadar Phenobarbital dalam darah mungkin berkurang oleh vigabatrin Phenobarbital mungkin mengurangi kadar itrakonazol dan posaconazol dalam darah; Phenobarbital mungkin mengurangi kadar voriconazole dalam darah, hindari pemakaian bersama; Phenobarbital mengurangi penyerapan griseofulvin, mengurangi efeknya Efek antikejang barbiturat dilawan oleh antipsikotik (ambang kejang menurun); Phenobarbital meningkatkan metabolism haloperidol, mengurangi kadar dalam darah; kadar dalam darah kedua obat menurun saat Phenobarbital diberikan dengan chlorpromazine; Phenobarbital mungkin mengurangi kadar aripiprazole dalam darah, tingkatkan dosis aripiprazole Phenobarbital mungkin mengurangi kadar abacavir, darunavir, fosamprenavir, dan lopinavir dalam darah; hindari Phenobarbital disarankan pabrik etravirine; barbiturat mungkin mengurangi kadar indinavir, nelfinavir, dan saquinavir dalam darah; Phenobarbital mungkin mengurangi kadar indinavir dalam darah, juga kadar Phenobarbital dalam darah mungkin meningkat Phenobarbital seringkali mengurangi kadar clonazepam dalam darah

EFEK SAMPING Sedasi, depresi mental, ataksia, nistagmus; reaksi kulit alergi termasuk yang jarang : dermatitis eksfoliatif, nekrolisis epidermal toksik, sindrom steven Johnson (eritema multiforme); paradoxical excitement, tidak bisa istirahat dan kebingungan pada usia lanjut; iritabilitas dan hiperaktifitas pada anak; anemia megaloblastik (dapat ditatalaksana dengan asam folat), osteomalasia; status epileptikus (pada penghentian pengobatan); hipotensi, syok, laringospasme, dan henti napas/apnoe (dengan injeksi intravena) (Mycek & Mary, 2001)

11

PHENYTOIN Fenitoin adalah bubuk kristal yang larut dalam lemak adalah asam lemah dan memiliki pKa di kisaran 8,3-9,2, sehingga larut dalam larutan basa. Biasanya, obat ini diberikan kepada pasien sebagai garam sodium.

FARMAKODINAMIK Bekerjanya terutama pada korteks motoris dimana aktivitas bangkitan dihambat penyebarannya. Kemungkinan dengan mempercepat pengeluaran Natrium dari neuron-neuron. Phenytoin cenderung menstabilkan ambang kejang terhadap kepekaan yang berlebihan yang disebabkan oleh rangsangan beriebihan atau perubahan-perubahan iingkungan yang dapat mengurangi derajat membran terhadap Natrium termasuk pengurangan potensiasi pasca tetanik pada sinap. Pengurangan potensiasi pasca tetanik mencegah fokus bangkitan pada korteks untuk menjalar ke daerah korteks disekitarnya. Phenytoin mengurangi aktivitas maksimum dari pusat batang otak yang menyebabkan fase tonik dari bangkitan grand mal (Porter & Meldrum, 1998).

FARMAKOKINETIK Fenitoin lambat diabsorpsi dari usus halus. Obat ini tinggi berikatan pada protein (85-95%); berkurangnya protein atau albumin serum menambah kadar fenitoin bebas dalam serum. Dengan dosis obat yang rendah sampai rata-rata, waktu paruh fenitoin adalah sekitar 22 jam, tetapi batasnya dapat dari 6-45 jam. Fenitoin dimetabolisir menjadi metabolit inaktif, dan ini akan diekskresikan ke dalam urin (Porter & Meldrum, 1998).

INTERAKSI Fenitoin merupakan salah satu obat yang mempunyai profil interaksi paling bermasalah. 2 alasan utamanya adalah sifat ikatan protein alaminya yang tinggi (> 90%) dan obat ini menggunakan enzim P-450 enzim untuk metabolismenya. CBZ

12

dan fenobarbital memiliki efek yang dapat bervariasi dan tak terduga (misalnya, kenaikan atau penurunan) terhadap kadar PHT saat keduanya menginduksi dan bersaing terhadap enzim hati. Valproate meningkatkan kadar PHT dengan cara

menggeser PHT dari ikatan proteinnya dan menghambat metabolismenya (Porter & Meldrum, 1998). Obat lain yang secara signifikan meningkatkan kadar PHT adalah isoniazid, cimetidine, kloramfenikol, dicumarol, dan sulfonamid. Obat yang menjadikan kadar PHT lebih rendah adalah vigabatrin dan amiodarone. PHT sendiri merupakan

penginduksi kuat enzim hati dan mengubah kadar obat lain. Obat ini mengurangi kadar CBZ, ethosuximide, felbamate, primidone, tiagabine, dan fenobarbital. Menghambat dicumarol, warfarin, dan kortikosteroid, faktor pembekuan dan imunosupresi harus dimonitor dan dosis disesuaikan. Obat lain yang kadarnya dikurangi dengan PHT dan membutuhkan pemantauan dan penyesuaian termasuk furosemid, cyclosporin, folat, dan praziquantel. tingkat kloramfenikol dan kinidina ditinggikan oleh PHT.PHT adalah salah satu obat lini pertama yang paling umum digunakan sebagai terapi adjunctive untuk kejang parsial dan umum, sindrom Lennox-Gastaut, epilepticus status, dan sindrom epilepsi masa kanak-kanak. Obat ini tidak diindikasikan untuk kejang myoclonus dan tipe absent. Obat ini sangat efektif dan ekonomis bagi pasien, namun, toleransi obat tersebut masih diperdebatkan (Porter & Meldrum, 1998).

EFEK SAMPING Salah satu kelemahan dari obat ini adalah bahwa hal itu menyebabkan efek samping SSP dan sistemik. Penggunaan jangka panjang PHT telah dikaitkan dengan terjadinya osteoporosis, karena itu, harus digunakan dengan hati-hati dalam populasi rentan dan skrining rutin harus dilakukan untuk mendeteksi kondisi awal. efek SSP terjadi terutama di otak dan sistem vestibular, menyebabkan ataksia dan nystagmus. Ini bukan depresan SSP umum, namun, beberapa derajat kantuk dan kelesuan hadir, tanpa mengarah menjadi hipnosis. diskrasia Mual dan muntah darah, ruam,, sakit

13

kepala, vitamin K dan kekurangan folat, kehilangan libido, disfungsi hormonal, dan hipoplasia sumsum tulang adalah salah satu efek samping yang paling umum. Ketika diberikan selama kehamilan, PHT, seperti AED lain, dapat menyebabkan langitlangit, bibir sumbing, penyakit jantung bawaan, memperlambat laju pertumbuhan, dan defisit mental pada keturunannya (Porter & Meldrum, 1998).

2) Benzodiazepine Golongan Benzodiazepine sering digunakan untuk tujuan hipnotik,

antianxietas, antikejang, amnestic, serta muscle relaksan. Mekanisme kerja golongan benzodiazepine adalah dengan meningkatkan sensitivitas GABA (gamma-

aminobutyric acid), yang berfungsi sebagai penghambat rangsangan neuron (Ashton, 2002). Dalam terapi kejang demam, obat golongan benzodiazepine yang digunakan antara lain :

DIAZEPAM FARMAKODINAMIK Diazepam berikatan dengan reseptor-reseptor stereospesifik benzodiazepin di neuron postsinaptik GABA pada beberapa sisi di dalam Sistem Syaraf Pusat (SSP). Diazepam meningkatkan penghambatan efektifitas GABA dalam menghasilkan rangsangan dengan meningkatkan permeabilitas membran terhadap ion klorida. Perubahan ini mengakibatkan ion klorida berada dalam bentuk terhiperpolarisasi (bentuk kurang aktif / kurang memberikan rangsangan) dan stabil (Porter & Meldrum, 1998).. Efek pada SSP adalah hipnotik, sedatf, antiansietas, relaksasi otot dan anti konvulsi. Efek jaringan perifer antara lain dapat menimbulkan vasodilatasi coroner pada dosis rendah dan memblokade neurotransmitter pada dosis tinggi. Dosis hipnotik tidak berefek. Dosis preanastetik dapat menyebabkan depresi ringan ventilasi alveolar dan asidosis respiratoar. Pada sistem kardiovaskuler dosis biasa menimbulkan efek yang ringan, kecuali intoksikasi berat sedangkan dosis anastesi

14

dapat menimbulkan efek penurunan tekanan darah dan peningkatan frekuensi jantung. Di sistem pencernaan dapat menyembuhkan gangguan pencernaan yang ada hubungan dengan ansietas serta menurunkan sekresi cairan lambung pada waktu malam hari (Porter & Meldrum, 1998).

FARMAKOKINETIK Diazepam diabsorpsi dengan cepat secara lengkap setelah pemberian peroral dan puncak konsentrasi dalam plasmanya dicapai pada menit ke 15-90 pada dewasa dan menit ke-30 pada anak-anak. Bioavailabilitas obat dalam bentuk sediaan tablet adalah 100%. Range t1/2 diazepam antara 20-100 jam dengan rata-rata t1/2-nya adalah 30 jam (Subastian, 2008). Metabolisme utama diazepam berada di hepar, menghasilkan tiga metabolit aktif. Enzim utama yang digunakan dalam metabolisme diazepam adalah CYP2C19 dan CYP3A4. N-Desmetildiazepam (nordiazepam) merupakan salah satu metabolit yang memiliki efek farmakologis yang sama dengan diazepam, dimana t1/2-nya lebih panjang yaitu antara 30-200 jam. Ketika diazepam dimetabolisme oleh enzim CYP2C19 menjadi nordiazepam, terjadilah proses N-dealkilasi. Pada fase eliminasi baik pada terapi dosis tunggal maupun multi dosis, konsentrasi N-Desmetildiazepam dalam plasma lebih tinggi dari diazepam sendiri. N-Desmetildiazepam dengan bantuan enzim CYP3A4 diubah menjadi oxazepam, suatu metabolit aktif yang dieliminasi dari tubuh melalui proses glukuronidasi. Oxazepam memiliki estimasi t1/2 antara 5-15 jam. Metabolit yang ketiga adalah Temazepam dengan estimasi t1/2 antara 10-20 jam. Temazepam dimetabolisme dengan bantuan enzim CYP3A4 dan CYP 3A5 serta mengalami konjugasi dengan asam glukuronat sebelum dieliminasi dari tubuh (Subastian, 2008). Diazepam secara cepat terdistribusi dalam tubuh karena bersifat lipid-soluble, volume distribusinya 1,1L/kg, dengan tingkat pengikatan pada albumin dalam plasma sebesar (98-99%). Diazepam diekskresikan melalui air susu dan dapat menembus barier plasenta, karena itu penggunaan untuk ibu hamil dan menyusui sebisa mungkin

15

dihindari. Di dalam tubuh embrio bahan metabolit tersebut berpotensi menginhibisi neuron, meningkatkan pH di dalam sel, dapat bersifat toksik. Dengan terinhibisinya neuron maka akan terganggu pula transfer neurotransmiter untuk hormon-hormon pertumbuhan, sehingga mengakibatkan pertumbuhan embrio yang lambat. Dengan pH yang tinggi mengakibatkan sel tidak dapat tereksitasi, sehingga kerja hormon pertumbuhan juga terganggu yang akhirnya pertumbuhan janin juga terganggu. Pada trimester pertama masa kehamilan merupakan periode kritis maka bahan teratogen yang bersifat toksik akan mempengaruhi pertumbuhan embrio, bahkan dapat mengakibatkan kematian janin (Subastian, 2008). Efek samping ringan Diazepam dapat terjadi pada konsentrasi plasma mencapai 50-100g/L, tetapi ini juga tergantung pada sensitivitas setiap individual. Efek anxiolitik terlihat pada penggunaan secara long-term dengan konsentrasi 300400g/L. Diazepam ini tidak boleh digunakan dalam jangka waktu yang panjang (tidak boleh lebih dari 3 bulan), karena berakibat buruk bagi tubuh penderita. Hal ini mungkin dapat disebabkan karena t1/2 diazepam yang cukup panjang, ditambah lagi t1/2 N-Desmetildiazepam yang lebih panjang yaitu, 2 kali t1/2 Diazepam. Hal ini berarti setelah konsentrasi diazepam dalam tubuh habis untuk menghasilkan efek, masih dapat dihasilkan efek bahkan sebesar 2 kalinya yang diperoleh dari NDesmetildiazepam sebagai metabolit aktif diazepam. Ditambah lagi persentase metabolit yang terikat protein dalam plasma (97%), lebih sedikit daripada prosentase diazepam yang terikat protein plasma (98%-99%). Oleh karena itu penggunaan diazepam dalam terapi pengobatan harus ekstra berhati-hati, yaitu perlu dipertimbangkan adanya efek yang ditimbulkan oleh metabolit aktif Diazepam, untuk itu mungkin perlu dilakukan kontrol terhadap konsentrasi diazepam dan metabolitnya dalam plasma (Subastian, 2008)

16

INTERAKSI Penggunaan obat ini sebaiknya tidak diberikan bersama-sama dengan obat depresi SSP lainya karena dapat meninbulkan depresi SSP yang hebat. Depresi SSP hebat terjadi bila diberikan bersama-sama alcohol (Subastian, 2008).

EFEK SAMPING Efek samping yang sering terjadi, seperti : pusing, mengantuk Efek samping yang jarang terjadi, seperti : Depresi, Impaired Cognition Efek samping yang jarang sekali terjadi,seperti : reaksi alergi, amnesia, anemia, angioedema, behavioral disorders, blood dyscrasias, blurred vision, kehilangan keseimbangan, constipation, coordination changes, diarrhea, disease of liver, drug dependence, dysuria, extrapyramidal disease, false Sense of well-being, fatigue, general weakness, headache disorder, hypotension, Increased bronchial

secretions, leukopenia, libido changes, muscle spasm, muscle weakness, nausea, neutropenia disorder, polydipsia, pruritus of skin, seizure disorder, sialorrhea, skin rash, sleep automatism, tachyarrhythmia, trombositopenia, tremors, visual changes, vomiting, xerostomia

SEDIAAN Tablet : 2mg, 5 mg Injeksi : 5 mg/ml dalam ampul 2 ml PerRectal

17

LORAZEPAM FARMAKODINAMIK Mekanisme kerja lorazepam sama dengan aktivitas golongan benzodiazepine, yaitu meningkatkan sensitivitas GABA pada reseptor GABA. Aktivitas lorazepam mempunyai karakteristik efek sedative yang kuat, reaksi cepat serta durasinya yang singkat sehingga sering digunakan untuk terapi status epileptikus (Greenblatt et al., 1991). Lorazepam merupakan obat golongan benzodiazepine yang mempunyai tingkat untuk menjadi ketergantungan lebih tinggi daripada golongan yang lain. Semakin tinggi dosis dan lama pemakaian akan lebih meningkatkan tingkat ketergantungan pasien terhadap lorazepam. Reaksi withdrawal juga terdapat pada ketergantungan lorazepam. Maka dari itu lorazepam tidak direkomendaasikan untuk terapi jangka panjang kejang demam (Greenblatt et al., 1991). Tubuh mempunyai penurunan toleransi terhadap lorazepam dimana pemakaian lama dengan dosis yang sama akan menurunkan tingkat sensitivas tubuh terhadap lorazepam. Penyalahgunaan obat lorazepam sering digunakan untuk tujuan rekreasional. Efek samping yang dapat muncul saat penggunaan lorazepam adalah hipotensi, amnesia, serta depresi pernafasan. Pasien anak-anak lebih sensitive terhadap lorazepam dibandingkan dengan dewasa. Dosis yang digunakan adalah berkisar 0,05-0,10 mg/kgBB secara IV (Greenblatt et al., 1991).

FARMAKOKINETIK Sediaan lorazepam dapat berupa tablet maupun dalam ampul. Bentuk sediaan lorazepam murni berwarna putih. Lorazepam tidak larut air dan lemak, ikatan protein yang tinggi (Greenblatt et al., 1991). Absorpsi peroral lorazepam cenderung lebih lama karena sifatnya yang tidak larut air maupun lemak. Dengan ikatan protein yang tinggi pada lorazepam menyebabkan distribusi lorazepam berada di kompartemen vascular. Absorbsi intramuscular lorazepam juga memerlukan waktu lebih lama. Distibusi lorazepam

18

lebih mudah karena tingkat afinitas ikatan proteinnya lebih tinggi. Half-life lorazepam adalah selama 10-20 jam. Metabolisme lorazepam berada di hepar dengan Hepatic glucuronidation. Ekskresi lorazepam terutama pada renal (Greenblatt et al., 1991).

INTERAKSI OBAT, Lorazepam biasanya tidak bersifat fatal pada kasus overdosis tapi dapat menyebabkan depresi pernafasan apabia digunakan bersamaa dengan alcohol. Interaksi ini juga dapat menyebabkan peningkatan penghambatan GABA dan efek amnesia. Asam Valproat menghambat metabolism lorazepam sedangkan

phenobarbital, phenytoin meningkatkan laju metabolism Lorazepan. Obat-obat sedative apabila diberikan bersamaan dengan lorazepam akan meningkatkan efek sedative (Greenblatt et al., 1991).

EFEK SAMPING Efek samping yang dapat muncul berupa hipotensi, kebingungan, ataxia, amnesia, dan efek kangover. Efek paradoxical dapat muncul lebih sering pada anak yang berupa gaduh gelisah serta emosi yang tinggi. Efek samping lorazepam tergantung dosis yang berarti makin rendah dosis yang digunakan makin ringak efek samping apabila muncul (Greenblatt et al., 1991).

b.

Antipiretik PARACETAMOL Acetaminophen bekerja dengan menginhibisi sintesa prostaglandin pada SSP.

Ini menjelaskan sifat kerjanya sebagai antipiretik dan analgesic. Tetapi efeknya kurang pada siklooksigenase di jaringan perifer, yang menyebabkan ektivitasnya

19

lemah sebagai anti inflamasi. Acetaminofen tidak mempengaruhi fugsi platelet atau meningkatkan waktu pembekuan darah (Setiawati et al., 2007). Acetaminophen merupakan pengganti yang cocok untuk analgesic dan antipiretik efek dari aspirin pada pasien dengan keluhan lambung dan pada mereka dengan pemanjangan waktu perdarahan dapat tidak menguntungkan atau mereka yang tidak membutuhkan efek antiinflamasi dari aspirin (catatan : karena toksisitasnya yang rendah acetaminophen menggantikan phenacetin pada semua

kasus dengan sakit kepala). Acetaminophen merupakan pilihan analgesic-antipiretik pada anak dengan infeksi virus atau chicken pox (dimana aspirin meningkatkan resiko sindroma Reyes). Acetaminophen tidak merupakan antagonis dari sifat urikosurik probenesid karenanya dapat digunakan pada pasien dengan gout yang menggunakan obat tersebut (Setiawati et al., 2007)

FARMAKODINAMIK Efek analgesik parasetamol yaitu menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Keduanya menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek sentral. Efek anti inflamasinya sangat lemah, oleh karena itu parasetamol tidak digunakan sebagai anti reumatik. Parasetamol merupakan penghambat biosintesis prostaglandin yang lemah. Efek iritasi, erosi, dan perdarahan lambung tidak terlihat pada obat ini, demikian juga gangguan pernapasan dan keseimbangan asam basa (Setiawati et al., 2007). FARMAKOKINETIK Acetaminophen dengan cepat diabsorpsi dari traktus GI. Metabolisme awal yang signifikan terjadi dalam sel luminal intestinal dan sel hepatosit. Phenasetin dalam jumlah besar dirubah menjadi acetaminophen setelah 3 jam pemberian. Dibawah kondisi normal, acetaminophen di konjugasi dalam hepar untuk membentuk metabolit inaktiv glukuronidase dan sulfat. Bagian dari acetaminophen mengalamai hidroksilasi dari bentuk N-acetyl-benzo-quinoneimine- metabolit yang reactive dan berbahaya bila bereaksi dengan golongan sulfhydryl. Pada dosis normal N-acetyl-

20

benzo-quinoneimine- bereaksi dengan golongan sulfhydryl dari glutation membentuk suatu bahan nontoksik. Acetaminophen dan metabolitnya diekskresikan dalam urin. Parasetamol merupakan metabolit aktif dari acetanilide dan phenacetin. Saat ini, parasetamol adalah obat anti piretik dan analgesik yang paling banyak dipakai pada praktek kesehatan anak. (Setiawati et al., 2007).

INTERAKSI Dilaporkan interaksi obat dengan parasetamol termasuk warfarin,

metochlorpamide, betaadrenergik blockers, dan chlorpromazine (Setiawati et al., 2007).

EFEK SAMPING Dalam dosis terpetik normal, acetaminophen sebenarnya bebas dari berbagai efek merugikan. Jarang terjadi reaksi alergi. Mungkin dapat terjadi perubahan kecil jumlah lekosit, tetapi ini pada umumnya bersifat sementara. Dalam dosis besar, glutation mengalami deplesi dalam hepar dan N-acetyl-benzo-quinoneimine bereaksi dengan golongan sulfhydril dari protein hepar membentuk ikatan kovalen. Dapat mengakibatkan nekrosis sel hepar, keadaan yang sangat serius dan berpotensi mengancam jiwa. Dapat juga sebabkan nekrosis tubulus ginjal.(catatan : pemberian N-acetylsistein, berisi golongan sulfhydrl yand dapat mengikat metaboli toksik dapat menyelamatkan jiwa bila diberikan minimal setelah 10 jam dari waktu terjadinya overdosis) (Setiawati et al., 2007). Reaksi merugikan parasetamol ditunjukkan pada tabel di bawah ini : Tabel 1. Efek Samping Paracetamol Gastrointestinal Dermatological Respiratory CNS Lain Vomiting,nyeri perut Urtikaria, Erythema Multiforme, Purpura spame bronkhus pusing, iritabilitas, blurred vision, hipotermia Pada infeksi virus seperti varisella sebabkan pemanjangan symptom dan kesakitan

21

Keracunan parasetamol sangat jarang terjadi pada anak-anak, dan kejadian fatal pada anak diabawah 13 tahun hampir tidak diketahui. Parasetamol mempunyai margin terapi yang lebar dan hanya yang tinggi ( > 15 gram pada orang dewasa dan 150 mg/kg bb pada anak-anak) dihubungkan dengan efk hepatotoksik yang bermakna. Hal ini diperkirakan bahwa sulfate ( metabolit predominan ditemukan pada anak di bawah 12 tahun), dibanding dengan glukuronide (metabolit predominan pada orang dewasa), melindungi hepar anak dari keracunan. Sebagaimana parasetamol terikat minimal dengan protein plasma (10%, sementara salisilat 7090%), sehingga eliminasinya dari tubuh cepat. Karenanya toksisitas kronik karena akumulasi metabolit dalam tubuh tidak diketahui , dibanding dengan salisilat yang sering terjadi (Setiawati et al., 2007)

SEDIAAN Oral sediaan Tab : 500 mg Sirup : 120mg/5ml; atau 250mg/5ml dosis 10-15 mg/kg setiap 4-6 jam atau 60-75 mg/kg perhari untuk anak-anak; 4 gr.hari untuk orang dewasa neonatus Permulaan 20 mg/ kgbb dilanjutkan 1015 mg/kgbb setiap 812 jam keuntungan Ditoleransi baik, Permulaan 20 mg/kgbb kemudian 15 mg/kg 2 kali sehari Digunakan bila Penetrasi langsung Sama seperti pemberian oral 15 mg/kg BB 60,125 atau 500 mg Rectal Intravena Parasetamol infuson 10 mg/ml

22

Oral penyerapan baik

Rectal peroral tidak memungkinkan

Intravena pada CSF,analgesic sentral yang cepat; karena tidak melalui perlambatan absorpsi atau rute enteral

kerugian

Dapat sebabkan muntah,nyeri perut. Penurunan absorpsi dengan tinggi karbohidrat dan mempengaruhi penurunan panas

Penyerapan lebih lambat dan bervariasi daripada pemberian oral

Indikasi lebih sedikit, contoh analgesik intraoperatif atau postoperatif, tidak sebagai antipiretik

IBUPROFEN FARMAKODINAMIK Ibuprofen menghambat sintesis prostaglandin sehingga efektif dalam meredakan inflamasi dan nyeri. Perlu waktu beberapa hari agar efek antiinflamasinya terlihat. Juga dapat menambah efek koumarin, sulfonamid, banyak dari falosporin, dan fenitoin. Ibuprofen merupakan derivat asam propionat yang diperkenalkan pertama kali di banyak negara. Obat ini bersifat analgesik dengan daya anti-inflamasi yang tidak terlalu kuat. Efek analgesiknya sama seperti aspirin. Efek antiinflamasinya terlihat dengan dosis 1200-2400 mg sehari. Dengan alasan bahwa ibuprofen relatif lebih lama dikenal dan tidak menimbulkan efek samping yang serius pada dosis analgesik, maka ibuprofen dijual sebagai obat generik bebas di beberapa negara antara lain Amerika Serikat dan Inggris (Porter & Meldrum, 1998).

23

FARMAKOKINETIK Absorpsi ibuprofen cepat melalui lambung dan kadar maksimum dalam plasma dicapai setelah 1-2 jam. Resorpsinya dari usus cepat dan baik (ca 80%), resorpsi rektal lebih lambat. PP-nya 90-99%. Waktu paruh dalam plasma sekitar 2 jam. Sembilan puluh persen ibuprofen terikat pada protein plasma (Porter & Meldrum, 1998). Ekskresinya berlangsung cepat dan lengkap. Kira-kira 90% dari dosis yang diabsorpsi akan diekskresi melalui urin sebagai metabolit atau konjugatnya. Metabolit utama merupakan hasil hidroksilasi dan karboksilasi (Porter & Meldrum, 1998).

INTERAKSI Dapat terjadi hipoglikemia jika ibuprofen dipakai bersama insulin atau obat hipoglikemik oral. Juga berisiko terjadi toksisitas jika dipakai bersama-sama penghambat kalsium. Efek interaksi misalnya pergeseran obat warfarin dan oral hipoglemik hampir tidak ada. Tetapi pemberian bersama warfarin, tetap harus waspada karena adanya gangguan fungsi trombosit yang meperpanjang masa pendarahan. Derivat asam propionat dapat mengurangi efek diuresis dan natriuresis furosemid dan tiazid, juga mengurangi efek antihipertensi obat beta bloker, prazosin dan kaptopril. Efek ini mungkin karena hambatan biosintesis PG ginjal (Porter & Meldrum, 1998). EFEK SAMPING Efek samping umum termasuk: mual, dispepsia, ulkus gastrointestinal / perdarahan, enzim hati mengangkat, diare, sembelit, epistaksis, sakit kepala, pusing, priapism, ruam, retensi garam dan cairan, dan hipertensi. Efek yang jarang meliputi: ulserasi esofagus, gagal jantung, hiperkalemia, gangguan ginjal, kebingungan, dan bronkospasme. Namun, ini jarang terjadi dengan ibuprofen dan dianggap menjadi agen photosensitising sangat lemah bila dibandingkan dengan anggota lain dari kelas asam 2-arylpropionic. Hal ini karena molekul ibuprofen hanya berisi bagian fenil

24

tunggal dan tidak ada ikatan konjugasi, sehingga dalam sistem kromofor sangat lemah dan spektrum serapan yang sangat lemah yang tidak mencapai ke dalam spektrum matahari (Porter & Meldrum, 1998).

c.

Evidence Based Terapi Kejang Demam 1) Terapi Serangan Kejang Serangan kejang pada kejang demam baik kejang demam sederhana maupun

kejang demam komplek yang lebih dari 5 menit perlu dilakukan tatalaksana kejang sesuai dengan algoritma tatalaksana status epileptikus. Beberapa evidence penelitian tentang terapi status epileptikus antara lain :

Tabel 2. Evidence Terapi-terapi untuk Status epileptikus PERBANDINGAN dan HASILDiazepam per Rectal vs Placebo Diazepam per rectal efektif dalam terapi kejang Diazepam IV vs Placebo Diazepam IV efektif dalam terapi kejang Lorazepam IV vs. Diazepam Per Rectal Lorazepam IV lebih baik daripada Diazepam per Rectal dalam terapi serangan kejang Lorazepam IV vs. Diazepam IV Tidak ada perbedaan output kematian yang bermakna. Lorazepam secara signifikan lebih baik dalam menurunkan durasi kejang dan kebutuhan untuk terapi kedua. Tidak ada perbedaan bermakna keduanya dalam kebutuhan ventilasi support Midazolam IM vs Diazepam IV Midazolam IM lebih efektif daripada Diazepam Phenobarbitone IV vs Diazepam+Phenytoin IV Waktu penyembuhan kejang lebih cepat Phenobarbitone

Sumber(Cereghino et al., 1998)

(Prensky et al., 1967)

(Chin RF et al., 2008)

(Alldredge et al., 2001) (Appleton et al., 1995) (Leppik et al., 1983)

(Chamberlain et al., 1997)

(Shaner et al., 1988)

PERBANDINGAN dan HASILMidazolam Buccal vs Diazepam Per Rectal

Sumber

25

Midazolam Buccal mempunyai efektifitas yang sama dengan diazepam per rectal Midazolam Intranassal vs Diazepam IV Midazolam Intranassal lebih cepat menghilangkan kejang serta lebih aman Phenytoin sebagai Adjuvant Phenobarbitone Phenytoin dapat menurunkan 50% pasien kejang yang tidak bereaksi dengan phenobarbitone Intravena LORAZEPAM (L) vs PHENOBARBITOL (Pb) vs DIAZEPAM+Phenytoin (DPh) vs PHENYTOIN (Ph) Kefektifitas Lorazepam >> Phenobarbitone >> Diazepam+Phenytoin >> Phenytoin dalam terapi kejang Midazolam IM vs Lorazepam IV Midazolam IM dan Lorazepam IV sama efektifitasnya

(Scott et al., 1999)

(Kendall et al., 1997)

(Mayer SA et al., 2002)

(Treiman et al., 1998)

(Silbergleit et al., 2012)

2) Prognosis yang Baik dari Kejang Demam Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kejang demam mempunyai angka mortalitas dan morbiditas yang rendah. Penelitian tersebut disebutkan pada tabel 3 dibawah.

Tabel 3. EBM prognosis Kejang Demam Peneliti dan tahun(Chungath & Shorvon, 2008)

Judul PenelitianThe mortality and morbidity of febrile seizures.

KomentarKejang Demam Sederhana (KDS) tidak ada resiko kematian Resiko kematian pada KDK namun dengan angka yang kecil khususnya kejang demam berkelanjutan Resiko untuk terjadi epilepsy pada KDS & KDK rendah. Tidak ada kematian dan deficit motoric pada kejang demam Insidensi Paresis Todd hanya 0,4% Epilepsi muncul pada KDS dengan faktor resiko riwayat keluarga, abnonrmalias neuroligis sebelumnya dan komplikasi lain. Rekuren terjadi pada 1/3 kejang demam Tidak ada hubungan kejang demam dengan Long term mortality

(Nelson & Ellenberg, 1978)

Prognosis in Children With Febrile Seizures

(Vestergaard et al., 2008)

Death in children with febrile

26

Peneliti dan tahun

Judul Penelitianseizures: a population-based cohort study Febrile Seizures: Treatment and Prognosis

KomentarMortalitas muncul pada 2 tahun setelah KDK dengan angka yang kecil Profilaksis dengan anti kejang pada KDS tidak diperlukan Intermiten Diazepam tidak menunjukkan perbaikan outcome, diberikan untuk menurunkan rekuren

(Knudsen, 2000)

Kesimpulannya kejang demam mempunyai prognosis yang baik, khususnya kejang demam sederhana, jadi sering kali tidak diperlukan terapi lanjutan untuk kejang demam. Satu-satunya prognosis yang masih sering timbul adalah kejadian kejang berulang. Penelitian selanjutnya berkonsentrasi pada pencegahan kejang ulangan pada kejang demam.

3) Profilaksis Kejang Berulang Tabel dibawah ini adalah hasil revive yang dilakukan oleh (Baumann & Duffner, 2000).

27

28

29

DAFTAR PUSTAKA

Alldredge, B.K. et al., 2001. A comparison of lorazepam, diazepam, and placebo for the treatment of out-of-hospital status epilepticus. The New England Journal of Medical, 345, pp.631-37. American Academy of Pediatrics, 2011. Guideline for the Neurodiagnostic Evaluation of the Child With a Simple Febrile Seizure. Clinical Practice Guideline : Febrile Seizures, vol 127 number 2. Anon., 2004. Doctorology.net. [Online] Available at: http://doctorology.net/?p=9 [Accessed 8 April 2012]. Appleton, R. et al., 1995. Lorazepam versus diazepam in the acute treatment of epileptic seizures and status epilepticus. Development Medicine and Child Neurology, 37 (8), pp.862-68. Ashton, C., 2002. Benzodiazepines: How They Work. [Online] The Royal Victoria Infirmary Available at: http://www.benzo.org.uk/manual/bzcha01.htm [Accessed 8 April 2012]. Baumann, R.J. & Duffner, P.K., 2000. Treatment of Children With Simple Febrile Seizures: The AAP Practice Parameter. Elsevier Science , pp.11-17. Behrman, R.E., Johnston, M.V. & Kliegman, R.M., 2004. Febrile Seizure. In Textbook of Pediatrics. Pennsylvania: Saunders. pp.1994-2007. Berg, A.T. & Shinnar, S., 1996. Conplex Febrile Seizures. Epilepsia, 37, pp.126-33. Cereghino, J.J. et al., 1998. Treating Repetitive Seizures With A Rectal Diazepam Formulation: A Randomized Study. The North American Diastat Study Group. Neurology, pp.1274-982. Chamberlain, J.M. et al., 1997. A prospective, randomized study comparing intramuscular midazolam with intravenous diazepam for the treatment of seizures in children. Pediatric Emergency Care, 13, pp.92-94. Chin RF, N.B.P.C.W.A.B.H.S.R. et al., 2008. Treatment of community-onset, childhood convulsive status epilepticus: a prospective, population-based study. Lancet Neurology, 7(8), pp.693-703. Chungath, M. & Shorvon, S., 2008. The mortality and morbidity of febrile seizures. Nature Reviews Neurology, 4(11), pp.610-21. Dachlan., M.R., Latif, S.A. & Suryadi, K.A., 2007. Petunjuk Praktis Anestesiologi. 2nd ed. Jakarta: Bagian Anestesiologi Dan Terapi Intensif FK UI. Greenblatt, D.J., Shader, R.I., Franke, K. & Maclaughlin, D.S., 1991. Pharmacokinetics And Bioavailability Of Intravenous, Intramuscular, And Oral Lorazepam In Human. J Pharm Sci, 68, p.5763. Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2004. Kejang Demam. In Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. pp.209-2011. Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2006. Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam. UKK Neurologi IDAI. Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2010. Kejang Demam. In A.H. Pudjiadi, B. Hegar & S. Handyastuti, eds. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pengurus Pusat IDAI. pp.15053.

30

31

Kendall, J.R., Reynolds, M. & Goldberg, R., 1997. Intranasal midazolam in patients with status epilepticus. Annals of Emergency Medicine, pp.415-17. Knudsen, F., 2000. Febrile Seizures: Treatment and Prognosis. Epilepia, 41, pp.2-9. Lee, J., Huh, L. & Korn, P., 2011. Guideline For The Management Of Convulsive Status Epilepticus In Infants And Children. BC MEDICAL JOURNAL, 53, no 6, pp.279-85. Leppik, I.E. et al., 1983. Double-Blind Study Of Lorazepam And Diazepam In Status Epilepticus. JAMA, 249, pp.1452-54. Mayer SA, C.J.L.J.M.F.D.L.F.B. et al., 2002. Refractory Status Epilepticus: Frequency, Risk Factors, And Impact On Outcome. Archieve of Neurology, pp.205-10. Mycek & Mary, J., 2001. Farmakologi: Ulasan Bergambar. Jakarta: Widya Medika. Neil, H., Wallace, B.M. & Harriet, D., 2000. Barbiturates. [Online] American College of Neuropsychopharmacology Available at: http://www.acnp.org/g4/GN401000173/CH169.html [Accessed 9 April 2012]. Nelson, K.B. & Ellenberg, J.H., 1978. Prognosis in Children With Febrile Seizures. Pediatric, Vol. 61 No. 5, pp.720 -727. Porter, R.J. & Meldrum, B.S., 1998. Obat Antiepilepsi. In Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: EGC. pp.380-400. Prensky, A.L., Raff, M.C., Moore, M.J. & Schwab, R.S., 1967. Intravenous Diazepam In The Treatment Of Prolonged Seizure Activity. The New England Journal of Medicine, pp.7791984. Scholtes, F.B., Renier, W.O. & Meinardi, H., 1996. Status epilepticus in children. Seizure, 5, pp.17784. Scott, R.C., Besag, F.M. & Neville, B.G., 1999. Buccal midazolam and rectal diazepam for treatment of prolonged seizures in childhood and adolescence: a randomised trial. Lancet, pp.623-26. Setiawati, A., Suyatna, F.D. & Sulistia., G., 2007. Farmakologi Dan Terapi. Jakarta: FKUI. Shaner, D.M., McCurdy, S.A., Herring, M.O. & Gabor, A.J., 1988. Treatment of status epilepticus: a prospective comparison of diazepam and phenytoin versus phenobarbital and optional phenytoin. Neurology, 32(2), pp.202-07. Silbergleit, R. et al., 2012. Intramuscular versus Intravenous Therapy for Prehospital Status Epilepticus. The New England Journal of Medicine, pp.591-200. Srinivasan, , 2005. Febrile seizures. Australian Family Physician, Vol. 34, No. 12(Theme: Febrile seizures), pp.1021-25. Subastian, Y., 2008. METABOLIT AKTIF DIAZEPAM. [Online] Available at: http://yosefw.wordpress.com/2008/03/26/metabolit-aktif-diazepam/ [Accessed 9 April 2012]. Treiman, D. et al., 1998. A Comparison of Four Treatments for Generalized Convulsive Status Epilepticus. The New England Journal of Medicine, pp.729-98. Vestergaard, M. et al., 2008. Death in children with febrile seizures: a population-based cohort study. The Lancet, 372(9637), pp.457-63.