tugas dr.ss 2
DESCRIPTION
internaTRANSCRIPT
HEPATOMA
Definisi Karsinoma Hepatoseluler (Hepatoma)
Hepatoma disebut juga kanker hati atau karsinoma hepatoseluler atau karsinoma hepato
primer. Hepatoma merupakan pertumbuhan sel hati yang tidak normal yang di tandai dengan
bertambahnya jumlah sel dalam hati yang memiliki kemampuan membelah/mitosis disertai
dengan perubahan sel hati yang menjadi ganas.
Pada pertumbuhan kanker hati , beberapa pasien mungkin mengalami gejala seperti sakit
di perut sebelah kanan atas meluas ke bagian belakang dan bahu, bloating, berat badan,
kehilangan nafsu makan, kelelahan, mual, muntah, demam, dan ikterus.
Kanker Hati atau Karsinoma Hepato Seluler (KHS) merupakan tumor ganas hati primer
yang sering di jumpai di Indonesia. KHS merupakan tumor ganas dengan prognosis yang amat
buruk, di mana pada umumnya penderita meninggal dalam waktu 2-3 bulan sesudah
diagnosisnya di tegakkan.
Karakteristik Klinis
Di Indonesia (khususnya di Jakarta) KHS di temukan tersering pada median umur antara
50-60 tahun dengan predominasi pada laki -laki. Rasio antara kasus laki -laki dan perempuan
berkisar antara 2 -6 : 1. Manifestasi klinisnya sangat bervariasi dari asimtomatik hingga dengan
gejala dan tandanya yang sangat jelas disertai gagal hati. Gejala yang paling sering dikeluhkan
adalah nyeri atau perasaan tak nyaman di kuadran kanan-atas abdomen.
Temuan fisis tersering pada KHS adalah hepatomegali dengan atau tanpa ‘bruit’ hepatik,
splenomegali, asites, ikterus, demam dan atrofi otot. Sebagian dari pasien yang di rujuk kerumah
sakit karena perdarahan varises esofagus atau peritonitis bakterial spontan (SBP) ternyata sudah
menderita KHS. Pada 10% hingga 40% pasien dapat ditemukan hiperkolesterolemia akibat dari
berkurangnya produksi enzim beta-hidroksimetilglutaril koenzim-A reduktase, karena tiadanya
kontrol umpan balik yang normal pada sel hepatoma.
Etiologi
Penyebab karsinoma ini tidak diketahui, tetapi ada beberapa faktor yang terlihat :
1. Virus Hepatitis B (HBV)
Hubungan antara infeksi kronik HBV dengan timbulnya KHS terbukti kuat, baik secara
epidemiologis klinis maupun eksperimental. Karsinogenisitas HBV terhadap hati mungkin
terjadi melalui proses inflamasi kronik, peningkatan proliferasi hepatosit, integrasi HBV DNA ke
dalam DNA sel pejamu, dan aktivitas protein spesifik HBV berinteraksi dengan gen hati. Pada
dasarnya perubahan hepatosit dari kondisi inaktif (quiescent) menjadi sel yang aktif bereplikasi
menentukan tingkat karsinogenesis hati. Siklus sel dapat diaktifkan secara tidak langsung oleh
kompensasi proliferatif merespons nekroinflamasi sel hati, atau akibat dipicu oleh ekspresi
berlebihan suatu atau beberapa gen yang berubah akibat HBV. Koinsidensi infeksi HBV dengan
pajanan agen onkogenik lain seperti aflatoksin dapat menyebabkan terjadinya KHS tanpa melalui
sirosis hati (KHS pada hati non sirotik). Transaktifasi beberapa promoter selular atau viral
tertentu oleh gen x HBV (HBx) dapat mengakibatkan terjadinya KHS, mungkin karena
akumulasi protein yang disandi HBx mampu menyebabkan proliferasi hepatosit. Dalam hal ini
proliferasi berlebihan hepatosit oleh HBx melampaui mekanisme protektif dari apoptosis sel.
2. Virus Hepatitis C (HCV)
Prevalensi anti HCV pada pasien KHS di Cina dan Afrika Selatan sekitar 30% sedangkan
di Eropa Selatan dan Jepang 70 -80%. Prevalensi anti HCV jauh lebih tinggi pada kasus KHS
dengan HbsAg -negatif daripada HbsAg-positif. Pada kelompok pasien penyakit hati akibat
transfusi darah dengan anti HCV positif, interval saat transfusi hingga terjadinya KHS dapat
mencapai 29 tahun. Hepatokarsinogenesis akibat infeksi HCV diduga melalui aktivitas
nekroinflamasi kronik dan sirosis hati.
3. Sirosis Hati
Lebih dari 80% penderita karsinoma hepatoselular menderita sirosis hati. Peningkatan
pergantian sel pada nodul regeneratif sirosis di hubungkan dengan kelainan sitologi yang dinilai
sebagai perubahan displasia praganas. Semua tipe sirosis dapat menimbulkan komplikasi
karsinoma, tetapi hubungan ini paling besar pada hemokromatosis, sirosis terinduksi virus dan
sirosis alkoholik.
4. Aflaktosin
Aflaktosin B1 (AFB1) merupakan mitoksin yang di produksi oleh jamur Aspergillus.
Dari percobaan binatang diketahui bahwa AFB1 bersifat karsinogen. Metabolit AFB1 yaitu AFB
1-2-3-epoksid merupakan karsinogen utama dari kelompok aflatoksin yang mampu membentuk
ikatan dengan DNA maupun RNA.
5. Alkohol
Meskipun alkohol tidak memiliki kemampuan mutagenik, peminum beratalkohol ( >50-70g/hari
dan berlangsung lama) berisiko untuk menderita KHS melalui sirosis hati alkoholik. Hanya
sedikit bukti adanya efek karsinogenik langsung dari alkohol. Alkoholisme juga meningkatkan
risiko terjadinya sirosis hati dan KHS pada pengidap infeksi HBV atau HCV.
Patogenesis
Telah dipastikan terdapat tiga keterkaitan etiologik yang utama : infeksi oleh HBV, Penyakit hati
kronis (khususnya yang berkaitan dengan HCV dan alkohol) dan kasus khusus hepatokarsinogen
dalam makanan (terutama aflatoksin)
- Banyak faktor, termasuk usia, jenis kelamin, bahan kimia, virus, hormon, alkohol, dan gizi,
berinteraksi dalam pembentukan KHS. Sebagai contoh, penyakit yang paling besar
kemungkinannya menimbulkan KHS pada kenyataannya adalah tirosinemia herediter yang
sangat jarang, hampir 40% pasien akan terjangkit tumor ini walaupun sudah dilakukan kontrol
diet.
- Patogenesis pasti KHS mungkin berbeda antara populasi prevalen –HBV insidensi tinggi versus
populasi dengan insidensi rendah (Negara Barat), sedang pada penyakit hati kronis lainnya,
seperti alkoholism, HCV, dan hemokromatosis herediter lebih sering terjadi.
- Sirosis yang terjadi tampaknya merupakan kontirubutor penting, tetapi tidak mutlak untuk
muncul KHS.
Banyak bukti epidemiologis yang mengaitkan infeksi HBV kronis dengan kanker hati, dan
terdapat bukti kuat yang mengisyaratkan peran infeksi HCV. Penelitian molekular terhadap
karsinogenesis HBV memperlihatkan bahwa genom HBV tidak mengandung sekuensi
onkogenik. Selain itu, tidak terdapat tempat selektif untuk integrasi DNA virus ke genom
pejamu, sehingga tidak terjadi mutasi atau pengaktivan proto-onkogen tertentu. Faktor berikut
diperkirakan berperan :
- Siklus kematian dan regenerasi sel yang berulang, seperti terjadi pada hepatitis kronis apapun
sebabnya, penting dalam patogenesis kanker hati
- Akumulasi mutasi selama siklus pembelahan kontinu sel akhirnya menyebabkan sebagian
hepatosit mengalami transformasi. Instabilitas genom lebih besar kemungkinannya terjadi jika
terdapat DNA HBV yang terintegrasi dan hal ini menimbulkan penyimpangan kromosom seperti
delesi, translokasi dan duplikasi
- Analisis molekular terhadap sel tumor pada orang yang terinfeksi HBV memperlihatkan bahwa
setiap kasus bersifat klonal dalam kaitannya dengan pola integrasi DNA HBV yang
mengisyaratkan integrasi virus mendahului atau menyertai proses transformasi
- Genom HBV mengkode suatu elemen regulatorik, protein X HBV yang merupakan suatu
activator transkripsional transacting pada banyak gen dan terdapat di sebagian besar tumor
dengan DNA HBV terintegrasi.
Tampaknya di sel hati yang terinfeksi HBV, protein X HBV mengganggu pengendalian
pertumbuhan normal dengan mengaktifkan proto –onkogen sel pejamu dan mengacaukan kontrol
daur sel. Protein ini juga memiliki efek anti apoptotik
- Seperti pada virus papiloma manusia, sebagian (tetapi tidak semua) studi mengisyaratkan
bahwa protein HBV tertentu mengikat dan mengaktifkan gen penekan tumor TP53. Keterkaitan
antara infeksi hepatitis C dan kanker hati cukup kuat.
Patologi
Secara makroskopis karsinoma hepatoseluler dapat muncul sebagai masa soliter besar, sebagai
nodul multipel atau sebagai lesi infiltratif difus. Secara mikroskopis, neoplasma disusun oleh sel-
sel hati abnormal dengan berbagai diferensisasi. Tumor dengan diferensiasi yang lebih baik
disusun oleh sel -sel mirip sel hati yang teratur di dalam pita -pita yang terpisah oleh sinusoid-
sinusoid. Sel-sel ini berinti besar yang memperlihat kan anak inti yang menonjol dan
hiperkromasi dan dapat mengandung empedu di dalam sitoplasmanya. Tumor –tumor yang
kurang berdiferensiasi baik mempunyai lembaran -lembaran sel-sel anaplastik. Invasi pada
radikulus vena hepatika merupakan gambaran khas yang membedakan dengan adenoma. Sulit
membedakan karsinoma hepatoselular berdiferensiasi buruk dengan karsinoma metastatik.
Pewarnaan imunohistokimia dapat memperlihatkan alfa -fetoprotein (AFP) di dalam sel
neoplasma. Karsinoma hepatoseluler juga mensekresi AFP ke dalam darah, peningkatan kadar di
jumpai pada 90% pasien, membuat pemeriksaan AFP serum sebagai tes diagnostik yang penting.
(Catatan : Kadar AFP juga dapat sedikit meningkat pada beberapa kasus hepatitis dan sirosis,
demikian juga pada beberapa neoplasma sel germinal pada gonad). Karsinoma hepatoseluler
cenderung bermetastasis dini melalui pembuluh limfe ke kelenjar getah bening regional dan
melalui darah menimbulkan metastasis pada paru. Metastasis ke tempat lain terjadi pada tahap
akhir.
Stadium Klinis
Tingkat penyakit (stadium) hepatoma primer terdiri dari :
Ia : Tumor tunggal diameter ≤ 3 cm tanpa emboli tumor, tanpa metastasis kelenjar limfe
peritoneal ataupun jauh
Ib : Tumor tunggal atau dua tumor dengan diameter ≤ 5 cm di separuh hati, tanpa emboli tumor,
tanpa metastasis kelenjar limfe peritoneal ataupun jauh
IIa : Tumor tunggal atau dua tumor dengan diameter gabungan ≤ 10 cm di separuh hati, atau dua
tumor dengan gabungan ≤ 5 cm di kedua belahan hati kiri dan kanan tanpa emboli tumor, tanpa
metastasis kelenjar limfe peritoneal ataupun jauh
IIb : Tumor tunggal atau multiple dengan diameter gabungan ≥ 10 cm di separuh hati, atau tumor
multiple dengan gabungan ≥ 5 cm di kedua belahan hati kiri dan kanan tanpa emboli tumor,
tanpa metastasis kelenjar limfe peritoneal ataupun jauh
IIIa : Tidak peduli kondisi tumor, terdapat emboli tumor di pembuluh utama vena porta atau vena
kava inferior, metastasis kelenjar limfe peritoneal jauh salah satu dari padanya
IIIb : Tidak peduli kondisi tumor, tidak peduli emboli tumor, metastasis
Diagnosis
Melakukan pemeriksaan berkala bagi kelompok risiko tinggi antara lain pengidap virus Hepatitis
B dan C, dokter, promiskus, dan bagi orang yangmempunyai anggota keluarga penderita kanker
hati. Pemeriksaan dilakukan setiap 3 bulan sekali pada penderita sirosis hati dengan HBsAg
positif dan pada penderita hepatitis kronis dengan HBsAg negatif atau penderita penyakit hati
kronis atau dengan sirosis dengan HBsAg negatif pernah mendapat transfusi atau hemodialisa
diperiksa 6 bulan sekali. Diagnosis dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Sebagian besar penderita yang datang berobat sudah dalam fase lanjut dengan keluhan nyeri
perut kanan atas. Sifat nyeri ialah nyeri tumpul, terus-menerus, kadang- kadang terasa hebat
apabila bergerak. Di samping keluhan nyeri perut ada pula keluhan seperti benjolan di perut
kanan atas tanpa atau dengan nyeri, perut membuncit karena adanya asites dan keluhan yang
paling umum yaitu merasa badan semakin lemah, anoreksia, perasaan lekas kenyang, feses
hitam, demam, bengkak kaki, perdarahan dari dubur.
2. Pemeriksaan fisik
Biasanya hati terasa besar dan berbenjol -benjol, tepi tidak rata, tumpul, kadang-kadang terasa
nyeri bila ditekan. Bila letak tumor di lobus kiri maka pembesaran hati terlihat di epigastrium,
tapi bila tumor tersebut terletak di lobus kanan maka pembesaran hati terlihat di hipokhondrium
kanan.
3. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah pemeriksaan Alfa - fetoprotein (AFP) yaitu
protein serum normal yang disintesis oleh sel hati fetal. Rentang normal AFP serum adalah 0 -20
ng/ml, kadar AFP meningkat pada 60%-70% pada penderita kanker hati.
2. Ultrasonografi (USG) Abdomen
Untuk meminimalkan kesalahan hasil pemeriksaan FP, pasien sirosis hati dianjurkan menjalani
pemeriksaan USG setiap tiga bulan. Untuk tumor kecil pada pasien dengan risiko tinggi USG
lebih sensitif dari pada AFP serum berulang. Sensitivitas USG untuk neoplasma hati bekisar
anatara 70%-80%. Tampilan USG yang khas untuk KHS kecil adalah gambaran mosaik, formasi
septum, bagian perifer sonolusen (ber -halo), bayangan lateral yang dibentuk oleh pseudokapsul
fibrotik, serta penyangatan eko posterior. Berbeda dari metastasis, KHS dengan diameter kurang
dari dua sentimeter mempunyai gambaran bentuk cincin yang khas. USG color Doppler sangat
berguna untuk membedakan KHS dari tumor hepatik lain. Tumor yang berada di bagian atas -
belakang lobus kanan mungkin tidak dapat terdeteksi oleh USG. Demikian juga yang berukuran
terlalu kecil dan isoekoik. Modalitas imaging lain seperti CT-scan, MRI dan angiografi kadang
diperlukan untuk mendeteksi KHS, namun karena beberapa kelebihannya, USG masih tetap
merupakan alat diagnostik yang paling populer dan bermanfaat.
Gambar Ultrasonografi (USG) Abdomen
3. Strategi Skrining Dan Surveilans
Skrining dimaksudkan sebagai aplikasi pemeriksaan diagnostik pada populasi umum, sedangkan
surveillance adalah aplikasi berulang pemeriksaan diagnostik pada populasi yang beresiko untuk
suatu penyakit sebelum ada bukti bahwa penyakit tersebut sudah terjadi. Karena sebagian dari
pasien KHS dengan atau tanpa sirosis adalah tanpa gejala untuk mendeteksi dini KHS diperlukan
strategi khusus terutama bagi pasien sirosis hati dengan HBsAg atau anti -HCV positif.
Berdasarkan atas lamanya waktu penggandaan ( doubling time) diameter KHS yang berkisar
antara 3 sampai 12 bulan (rerata 6 bulan) dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan AFP serum
dan USG abdomen setiap 3 hingga 6 bulan bagi pasien sirosis maupun hepatitis kronik B atau C.
Cara ini di Jepang terbukti dapat menurunkan jumlah pasien KHS yang terlambat dideteksi dan
sebaliknya meningkatkan identifikasi tumor kecil (dini). Namun hingga kini masih belum jelas
apakah dengan demikian juga terjadi penurunan mortalitas (liver-related mortality).
Terapi
Karena sirosis hati yang melatar belakanginya serta tingginya kekerapan multi-nodularis,
resektabilitas KHS sangat rendah. Di samping itu kanker ini juga sering kambuh meskipun sudah
menjalani reseksi bedah kuratif. Pilihan terapi ditetapkan berdasarkan atas ada tidaknya sirosis,
jumlah dan ukuran tumor, serta derajat pemburukan hepatik. Untuk menilai status klinis, sistem
skor Child-pugh menunjukkan estimasi yang akurat mengenai kesintasan pasien. Mengenai
terapi KHS menemukan sejumlah kesulitan karena terbatasnya penelitian dengan control yang
membandingkan efikasi terapi bedah atau terapi ablative lokoregion al, di samping besarnya
heterogenitas kesintasan kelompok kontrol pada berbagai penelitian individual.
1. Reseksi Hepatik
Untuk pasien dalam kelompok non -sirosis yang biasanya mempunyai fungsi hati normal pilihan
utama terapi adalah reseksi hepatik. Namun untuk pasien sirosis diperlukan kriteria seleksi
karena operasi dapat memicu timbulnya gagal hati yang dapat menurunkan angka harapan hidup.
Parameter yang dapat digunakan untuk seleksi adalah skor Child-Pugh dan derajat hipertensi
portal atau kadar bilirubin serum dan derajat hipertensi portal saja. Subjek dengan bilirubin
normal tanpa hipertensi portal yang bermakna, harapan hidup 5 tahunnya dapat mencapai 70%.
Kontraindikasi tindakan ini adalah adanya metastasis ekstrahepatik KHS difus atau multifocal,
sirosis stadium lanjut dan penyakit penyerta yang dapat mempengaruhi ketahanan pasien
menjalani operasi.
2. Transplantasi Hati
Bagi pasien KHS dan sirosis hati, transplantasi hati memberikan kemungkinan untuk
menyingkirkan tumor dan menggantikan parenkim hati yang mengalami disfungsi. Dilaporkan
survival analisis 3 tahun mencapai 80% bahkan dengan perbaikan seleksi pasien dan terapi
perioperatif dengan obat antiviral seperti lamivudin, ribavirin dan interferon dapat dicapai
survival analisis 5 tahun 92%. Kematian pasca transplantasi tersering disebabkan oleh rekurensi
tumor bahkan mungkin diperkuat oleh obat anti rejeksi yang harus diberikan. Tumor yang
berdiameter kurang dari 3cm lebih jarang kambuh dibandingkan dengan tumor yang diameternya
lebih dari 5cm.
3. Ablasi Tumor Perkutan
Injeksi etanol perkutan (PEI) merupakan teknik terpilih untuk tumor kecil karena efikasinya
tinggi, efek sampingnya rendah serta relatif murah. Dasar kerjanya adalah menimbulkan
dehidrasi, nekrosis, oklusi vaskular dan fibrosis. Untuk tumor (diameter <5cm). PEI bermanfaat
untuk pasien dengan tumor kecil namun resektabilitasnya terbatas karena adanya sirosis hati non
-child A. Radiofrequency ablation (RFA) menunjukkan angka keberhasilan yang lebih tinggi
daripada PEI dan efikasinya tertinggi untuk tumor yang lebih besar dari 3cm, namun tetap tidak
berpengaruh terhadap harapan hidup pasien. Selain itu, RFA lebih mahal dan efek sampingnya
lebih banyak ditemukan dibandingkan dengan PEI. Guna mencegah terjadinya rekurensi tumor,
pemberian asam poliprenoik (polyprenoic acid) selama 12 bulan dilaporkan dapat menurunkan
angka rekurensi pada bulan ke-38 secara bermakna dibandingkan dengan kelompok placebo
(kelompok plasebo 49%, kelompok terapi PEI atau reseksi kuratif 22%).
4. Terapi Paliatif
Sebagian besar pasien KHS di diagnosis pada stadium menengah –lanjut (intermediate-advanced
stage) yang tidak ada terapi standarnya. Berdasarkan metaanalisi, pada stadium ini hanya
TAE/TACE (transarterial embolization/chemo embolization) saja yang menunjukkan penurunan
pertumbuhan tumor serta dapat meningkatkan harapan hidup pasien dengan HCC yang tidak
resektabel. TACE dengan frekuensi 3 hingga 4 kali setahun dianjurkan pada pasien yang fungsi
hatinya cukup baik (Child-Pugh) serta tumor multinodular asimtomatik tanpa invasi vascular
atau penyebaran ekstrahepatik, yang tidak dapat diterapi secara radikal. Sebaliknya bagi pasien
yang dalam keadaan gagal hati (Child-Pugh B-C), serangan iskemik akibat terapi ini dapat
mengakibatkan efek samping yang berat.
Adapun beberapa jenis terapi lain untuk HCC yang tidak resektabel seperti imunoterapi dengan
interferon, terapi antiesterogen, antiandrogen, oktreotid, radiasi internal, kemoterapi arterial atau
sistemik masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan penilaian yang pasti.
Prognosis
Pada umumnya prognosis karsinoma hepatoseluler adalah jelek. Tanpa pengobatan kematian
rata-rata terjadi sesudah 6-7 bulan setelah timbul keluhan pertama. Dengan pengobatan, hidup
penderita dapat diperpanjang sekitar 11 – 12 bulan. Bila karsinoma hepatoseluler dapat dideteksi
secara dini, usaha –usaha pengobatan seperti pembedahan dapat segera dilakukan misalnya
dengan cara sub - segmenektomi, maka masa hidup penderita dapat menjadi lebih panjang lagi.
Sebaliknya, penderita karsinoma hepatoseluler fase lanjut mempunyai masa hidup yang lebih
singkat. Kematian umumnya disebabkan oleh karena koma hepatik, hematemesis dan melena,
syok yang sebelumnya didahului dengan rasa sakit hebat karena pecahnya karsinoma
hepatoseluler. Oleh karena itu langkah-langkah terhadap pencegahan karsinoma hepatoseluler
haruslah dilakukan. Pencegahan yang paling utama adalah menghindarkan infeksi terhadap HBV
dan HCV serta menghindari konsumsi alkohol untuk mencegah terjadinya sirosis.
Pencegahan
1. Pencegahan Primordial
Pencegahan yang dilakukan untuk mengindari kemunculan keterpaparan dari gaya hidup yang
berkontribusi meningkatkan risiko penyakit, dilakukan dengan:
a. Mengkonsumsi buah dan sayur yang mengandung vitamin, beta karoten, mineral, dan tinggi
serat yang dapat menjaga kondisi tubuh agar tetap sehat.
b. Kurangi makanan yang mengandung lemak tinggi.
c. Kurangi makanan yang dibakar, diasinkan, diasap, diawetkan dengan nitrit.
d. Pengontrolan berat badan, diet seimbang dan olahraga.
e. Hindari stres.
f. Menjaga lingkungan yang sehat dan bersih sehingga terhindar dari penyakit menular.
2. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah langka yang harus dilakukan untuk menghindari insidens penyakit
dengan mengendalikan penyakit dan faktor risiko.
a. Memperhatikan menu makanan terutama mengkonsumsi protein hewani cukup.
b. Hindari mengkonsumsi minuman alkohol
c. Mencegah penularan virus hepatitis, imunisasi bayi secara rutin menjadi strategi utama untuk
pencegahan infeksi VBH dan dapat memutuskan rantai penularan.
3. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah pengobatan penderita dan mengurangi akibat - akibat yang serius
dari penyakit melalui diagnosa dini dan pemberian pengobatan. Hepatoma sering ditemukan
pada stadium lanjut maka perlu dilakukan pengamatan berlaku pada kelompok penderita yang
kemungkinan besar akan menderita hepatoma dengan pemeriksaan USG dan AFP.