trombosis vena dalam

31
Trombosis Vena Dalam Pendahuluan: Patogenesis trombosis pada pembuluh darah (arteri dan vena) dapat diterangkan oleh teori Virchow (1856), yaitu terdiri dari interaksi antara faktor trauma pada dinding pembuluh darah (trauma pada endotel), faktor abnormalitas aliran darah, dan faktor abnormalitas darah (gangguan keseimbangan fungsi koagulasi dan fungsi fibrinolitik). Semua faktor tersebut penting pada pembentukan trombosis pada vena, walaupun sesungguhnya penyebab timbulnya trombosis vena dalam ditentukan oleh multifaktor. Tidak dapat disangkal bahwa kebanyakan pembentukan trombus vena berasal dari daerah dimana terdapat pelambatan aliran darah. Trombus pada vena didasarkan atas aliran darah vena yang relatif lambat, kaya eritrosit dan fibrin, dengan sejumlah kecil trombosit, karenanya disebut trombus merah (red thrombus). Bandingkanlah dengan trombus putih (white thrombus) yang kaya trombosit yang biasanya terjadi pada lumen pembuluh arteri. Proses terjadinya trombus diawali pada kantung-kantung katup atau pada daerah vena yang menderita trauma. Trombosis vena dalam dijumpai tersering didaerah vena cruris (vena daerah soleus), kemudian berturut-turut pada V.Femoralis, V Iliaca communis dan Vena cava inferior. Lebih sering terjadi pada tungkai kiri, yaitu berhubungan dengan tekanan (kompresi) pada V.Iliaca communis kiri oleh A. Iliaca communis kanan (disebut sindroma May-Thurner).

Upload: alpascafirdaus

Post on 22-Nov-2015

85 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

DVT

TRANSCRIPT

Trombosis Vena DalamPendahuluan:Patogenesis trombosis pada pembuluh darah (arteri dan vena) dapat diterangkan oleh teori Virchow (1856), yaitu terdiri dari interaksi antara faktor trauma pada dinding pembuluh darah (trauma pada endotel), faktor abnormalitas aliran darah, dan faktor abnormalitas darah (gangguan keseimbangan fungsi koagulasi dan fungsi fibrinolitik). Semua faktor tersebut penting pada pembentukan trombosis pada vena, walaupun sesungguhnya penyebab timbulnya trombosis vena dalam ditentukan oleh multifaktor. Tidak dapat disangkal bahwa kebanyakan pembentukan trombus vena berasal dari daerah dimana terdapat pelambatan aliran darah. Trombus pada vena didasarkan atas aliran darah vena yang relatif lambat, kaya eritrosit dan fibrin, dengan sejumlah kecil trombosit, karenanya disebut trombus merah (red thrombus). Bandingkanlah dengan trombus putih (white thrombus) yang kaya trombosit yang biasanya terjadi pada lumen pembuluh arteri. Proses terjadinya trombus diawali pada kantung-kantung katup atau pada daerah vena yang menderita trauma.Trombosis vena dalam dijumpai tersering didaerah vena cruris (vena daerah soleus), kemudian berturut-turut pada V.Femoralis, V Iliaca communis dan Vena cava inferior. Lebih sering terjadi pada tungkai kiri, yaitu berhubungan dengan tekanan (kompresi) pada V.Iliaca communis kiri oleh A. Iliaca communis kanan (disebut sindroma May-Thurner).Sekitar 80% kasus trombus menetap (tidak mengalami propagasi atau tidak merambat ke proksimal) pada daerah cruris (trombosis vena dalam bagian distal) . Sedangkan pada 20% kasus trombus merambat (propagation) ke V.Poplitea, V.Femoralis, sampai V.Iliaca (trombosis vena dalam bagian proksimal). Bila tidak diobati pada 10-20% kasus trombosis proksimal tersebut akan mengalami emboli paru-paru.Phlegmasia adalah keadaan trombosis vena iliaka-femoralis yang luas, ditandai pembengkakan (pembengkakan akibat gangguan aliran vena dan limfe) ekstremitas inferior, dan stasis pada vena-dalam tersebut dapat menimbulkan gangguan aliran arteri sehingga terjadi tanda-tanda iskhemia pada kaki. Phlegmasia alba dolens, adalah keadaan yang lebih ringan , yaitu tidak terjadi iskhemia, fungsi saraf masih normal. Bila tidak segera ditangani dapat timbul gangren kaki yang merambat ke proksimal. Phlegmasia cerulea dolens, adalah keadaan phlegmasia yang lebih berat , ditandai ekstremitas berwarna biru, bengkak, petechiae, bullae, insufisiensi arteri (iskemia), gangguan saraf sensoris dan motoris pada bagian distal.

Faktor risiko:Usia diatas 40 tahun. Varises tungkaiKehamilan atau kadar estrogen tinggi. Penyakit mieloproliferatif.Obesitas atau immobilitas lama. Hiperlipidemi.Penyakit jantung. Diabetes mellitusKeganasan. Sindroma hemolitik-uremik.Trauma. Purpura thrombotik-thrombositopeni.Sepsis. Antikoagulan lupus.Hypercoagulable state. HomosistinuriaPernah trombosis vena dalam atau emboli paru. Sindroma Cushing.Cryofibrinogenemia Colitis ulcerativa.Sindroma Behcet.

Pemeriksaan klinis : Pemeriksaan fisik:Pada pemerisaan fisik sering tidak ditemukan tanda-tanda klinis. Tanda klinis yang pertama kali muncul adalah nyeri (50% kasus). Pembengkakan terjadi distal dari letak anatomis oklusi total vena dalam, timbul dalam beberapa jam setelah oklusi total .Phlegmasia alba dolens: palpasi denyut arteri kaki dan fungsi saraf sensoris dan motoris masih normal, ekstremitas bengkak dan berwarna pucat.Phlegmasia cerulea dolens: ekstremitas bengkak dan berwarna biru, sering dijumpai petechiae dan bullae, perabaan nadi dan fungsi saraf mungkin masih normal pada awalnya tetapi akhirnya cenderung menurun dan menghilang dimulai pada kaki. Bila oklusi vena dalam menetap, akan terjadi tanda-tanda gangguan aliran darah pada arteri berupa iskhemia, nekrosis dan gangren. Pemeriksaan radiologis:1. Ascending venografi (invasif) merupakan gold standard untuk diagnosis thrombosis vena dalam, walaupun membutuhkan fasilitas peralatan dan teknik pemeriksaan, dan timbulnya komplikasi (nyeri, ekstravasasi zat kontras, dan thrombosis). Oleh karena alasan tersebut maka untuk keperluan diagnosis saat ini berpindah pada penggunaan peralatan yang non-invasif.2. Impedance plethysmography:Jenis pemeriksaan ini tergolong non-invasif, indirek, mengukur perubahan volume tungkai, untuk mengukur thrombus pada popliteal atau arteri proksimal, bila dibandingkan dengan ascending venografphy, memiliki spesifisitas 88%, sensitivity 92%, tetapi tidak akurat untuk mendeteksi bekuan darah dibagian distal tungkai (vena betis).3. Doppler ultrasonografi:Walaupun teknik gelombang kontinyu (continuous-wave) ultrasonografi ini merupakan cara termudah, murah, non-invasif, dan dibandingkan dengan ascending venography memiliki specificity 88%, sensitivity 83%, tenik ini tidak baik untuk evaluasi trombosis yang berulang/rekuren karena tidak dapat membedakan trombosis lama dengan yang baru pada sindroma postrombotik.4. Duplex scanning: Teknik B-mode ultrasonografi ini mampu melihat aliran, gerakan katup, adanya bekuan darah/thrombus, membedakan bekuan lama atau baru, perubahan dinding pada sistim vena. Duplex scanning , adalah kombinasi dari real-time dan Doppler ultrasonografi, memiliki angka spesifisitas 86-95%, sensitifitas 88-98% dalam mendeteksi trombosis vena dalam. Walaupun demikian harus diingat hasil pemeriksaan Dupplex scanning tergantung operatornya (operator dependent, hasil pemeriksaan seorang operator ahli dapat berbeda dengan hasil operator ahli lainnya).

Sindroma hiperkoagulabilitas:Kongenital: Didapat:Defisiensi antitrombin III Sindroma antifosfolipid Defisiensi Protein C&S.Defisiensi Protein C. Keganasan. Defisiensi antithrombin III.Defisiensi Protein S. Sepsis. Trauma/trauma panas.Defisiensi heparin cofactor II. Kehamilan/estrogen. Trauma operasi besar.Plasminogen abnormal. Diabetes.Fibrinogen abnormal. Vaskulitides. Homosistinuria. Penyakit mieloproliferatif.Hiperlipidemia. Heparin-induced thrombocytopenia. Terapi :Medikal:Heparin:Diberikan 5000-20.000 U (100-200 U/kgbb.) bolus intravena, diikuti infus intravena secara kontinyu 600-2000 U heparin per jam selama 4-6 hari. Dosis heparin dipertahankan sesuai dengan hasil pemeriksaan aPTT (activated thromboplastin time) minimal 1,5 X harga/nilai kontrol untuk mencegah thromboembolisme rekuren. Heparin dihentikan setelah prothrombin time minimal 1,5 X harga/nilai kontrol. Warfarin oral (induksi 10-15mg selama 2-3 hari sesuai hasil pemeriksaan prothrombin time, kemudian dosis dipertahankan 2-10mg perhari; pemberian warfarin dimulai pada hari ke23 pengobatan heparin) dilanjutkan sampai 3-6 bulan lamanya, atau dapat sebagai alternatif adalah penyuntikkan diri sendiri dengan heparin 5000 U (1 cc) subkutan sekali sehari selama 3-6 bulan. Bila cara pengobatan dilakukan dengan cara tersebut maka kemungkinan trombosis rekuren hanya sekitar kurang dari 5%. Walaupun demikian terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa lebih dari 80% pasien trombosis vena dalam yang diobati dengan heparin menderita ulkus stasis dalam waktu 4 -7 tahun kemudian. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa heparin dapat mengurangi thrombosis rekuren tetapi tidak dapat mencegah kerusakkan dinding dan katup vena yang akan menimbulkan morbiditas pada jangka panjang. Komplikasi pemberian heparin adalah perdarahan dan trombositopeni. Periksalah jumlah sel trombosit sebelum pemberian heparin. Perdarahan terjadi bila aPTT (activated partial thromboplastin time) lebih dari 2-3 kali nilai kontrol untuk beberapa jam lamanya, tetapi perdarahan lebih sering terjadi bila terdapat penyakit yang mendasarinya seperti uremia, trombositopeni. Pada usia lanjut, terutama perempuan, mempunyai risiko lebih besar terjadi perdarahan. Sindroma trombositopeni yang terjadi akibat pemberian heparin, yaitu disebut Heparin-induced thrombocytopenia syndrome, bila ditemukan jumlah thrombosit darah 0,3 ; 2)tidak dijumpai gangguan neropati ;3)ulkus superfisial atau gangren kulit berukuran kecil yang terbatas pada sebuah jari; 4) tidak dijumpai infeksi jaringan yang luas dan dalam. Mengingat keterbatasan indikasi tersebut pada masa kini tindakan simpatektomi lumbal selain sangat selektif, juga sudah jarang dikerjakan. Belakangan ini teknik simpatektomi atau blok ganglion saraf simpatik mulai diperkenalkan menggunakan teknik laparoskopi/endoskopi (minimally invasive surgery) dengan menggunakan injeksi alkohol absolut. Bandingkanlah tindakan simpatektomi tersebut dengan pemberian obat vasodilator Prostaglandin-E1, yang diberikan melalui intravena, yang telah terbukti menimbulkan vasodilatasi arteri pada jaringan otot dan kulit yang berlangsung selama 6 bulan (Gruss 1996) bila diberikan dengan dosis sekali sehari selama tiga minggu berturut-turut. Setelah pemberian PGE1 intravena, dapat dilanjutkan dengan tablet Cilostazol selama 3-6 bulan terus menerus untuk mempertahankan perfusi jaringan yang sudah terjadi, atau diberikan dalam waktu yang bersamaan dengan Prostaglandin-E1 karena efeknya yang saling menunjang (sinergis). Protese tungkai bawah dapat digunakan setelah 4 - 8 minggu pasca amputasi setelah luka sembuh, didahului latihan menggunakan protese, dengan bekerja sama dengan Bagian Rehabilitasi Medik . Perawatan luka iskemik di ruang rawat-inap: tidak boleh melakukan pembersihan luka atau nekrotomi, karena akan menimbulkan nyeri pada waktu dilakukan manipulasi pada luka walaupun telah diberikan analgetika sebelumnya. Harus diingat bahwa penderita dengan luka iskemik (klasifikasi Fountaine derajat IV), akan mengalami kesulitan tidur akibat nyeri yang amat sangat yang akan dialaminya terus-menerus selama belum ada perbaikan perfusi jaringan iskemik. Luka iskemik tersebut cukup dilapisi salep antibakteri yang tidak merangsang (tidak nyeri) dan ditutup dengan kasa steril. Manipulasi pada luka iskemik akan menimbulkan nyeri yang traumatis pada penderitanya, sehingga menimbulkan rasa takut setiap akan mengganti kasa pembalut.

Gangren digiti

Gambar 3.2. Lesi gangren jari ke-2 sampai dengan jari ke-5 pada kaki kiri seorang penderita penyakit Buerger.

3.4.Tirotoksikosis pada penderita thromboangiitis obliterans.Beberapa penderita penyakit Buerger di RSU Dr. Hasan Sadikin ditemukan dengan tanda-tanda tirotoksikosis (pembesaran kelenjar, kadar TSH yang lebih rendahdari normal, T3 dan T4 yang meninggi). Penelitian mengenai pengaruh kebiasaan merokok terhadap fungsi kelenjar tiroid dan prevalensi penyakit tiroid telah dilakukan pada 2 kelompok kohort, terdiri dari lelaki dan perempuan di Swedia. Peserta yang diteliti terdiri dari 1555 orang perokok, 1048 orang yang pernah perokok (ex-smokers), 1497 orang bukan perokok (non-smokers). Hasilnya menunjukkan konsentrasi TSH serum yang rendah pada kelompok perokok, yang secara statistik nyata dibandingkan dengan konsentrasi TSH kelompok ex-smoker (p=0,05) dan non-smoker (p=0,001), tetapi tidak menunjukkan perbedaan nyata pada nilai konsentrasi T3 serum. Prevalensi non-toxic goitre dan toxic diffuse goitre meninggi secara nyata (p=0.005) pada kelompok perokok perempuan dibandingkan kelompok perempuan bukan perokok (p=0,04). Peneliti menyatakan hipotesanya bahwa peninggian aktivitas simpatis pada perokok dapat merangsang pembentukkan tirotoksikosis pada individu yang telah memiliki predisposisi. Selain itu gangguan imunologik akibat merokok merupakan kemungkinan lainnya (Ericsson,Lindgrde 1991). Mekanisme kejadian tersebut secara skematik dapat dilihat pada Bagan 1.1 dibawah ini.

Bagan 3.1:Kebiasaan merokok (khususnya perokok berat) meningkatkan aktivitas simpatis dan mengganggu sistim immunitas khususnya pada pasien yang memiliki predisposisi genetik.

Akan muncul Immunoglobulin-G yaitu Long Acting Thyroid Stimulator (LATS) yang merangsang hiperplasia kelenjar tiroid dan tirotoksikosis Tirotoksikosis menimbulkan rangsang simpatis/adrenergik yang selanjutnya akan menimbulkan vasokonstriksi arteri sehingga memperberat iskhemia.Rangsangsimpatis . Vasokonstriksi arteri kecil dan medium akan menimbulkan gangguan perfusi, iskhemia, rest pain , nekrosis, dan gangren.

Luka iskhemik tersebut menimbulkan gangguan sukar tidur akibat nyeri (rest pain) sehingga merupakan ketegangan (stress) yang memperberat gangguan metabolisme tubuh, dan dalam jangka panjang dapat menurunkan daya tahan tubuh serta memudahkan terjadi infeksi berat (sepsis).

Tindakan operasi yang dilakukan dalam keadaan struma toksis dapat menimbulkan serangan krisis tiroid. Mortalitas thyroid crisis adalah sekitar 10-20% (terutama pada penyakit Graves), tetapi dengan perawatan yang adekwat mortalitas tirotoksikosis pada saat ini telah mampu dicegah atau ditekan serendah mungkin. Tanda-tanda serangan tirotoksikosis: demam tinggi dapat cepat mencapai 39 derajat Celsius, keringat yang banyak, mual-mual dan muntah-muntah, nyeri perut, delirium, apatis, stupor, coma, dehidrasi, tahikardia, kegagalan fungsi jantung, hipotensi. Penemuan tanda-tanda krisis tidak boleh menunggu penegasan dari hasil fungsi tiroid ( Kim Lyerly, 1990).

Kaki DiabetesPendahuluan:Infeksi pada kaki penderita diabetes merupakan penyebab morbiditas terpenting yang sering dijumpai di klinik-klinik umum dan merupakan indikasi untuk rawat-inap, karena penyembuhan luka tergantung pada perbaikan kadar sakar darahnya. Kaki adalah bagian tubuh yang tersering terkena trauma (seperti terantuk benda keras, terinjak benda tajam). Pada penderita diabetes trauma tersebut dapat disusul terjadinya luka dan menimbulkan komplikasi infeksi sulit sembuh, sehingga membutuhkan perawatan yang lama. Infeksi luka pada kaki penderita diabetes mellitus disebut sebagai kaki diabetes. Hasil penelitian retrospektif selama setahun (2001) menunjukkan angka jumlah penderita kaki diabetes yang dirawat inap di RSU Dr.Hasan Sadikin adalah sebanyak 66 orang atau 44,2% dari seluruh penderita diabetes mellitus yang dirawat inap (Nurul 2002). Sering luka pada kaki menjadi sulit sembuh dan bahkan akhirnya harus dilakukan tindakan operasi memotong (amputasi) bagian dari jari, kaki atau tungkai penderita, akibat dari kerusakan jaringan yang tidak dapat diselamatkan dan membahayakan nyawa penderita oleh adanya bakteri patogen dalam darah (sepsis) yang berasal dari infeksi kaki diabetes. Penderita diabetes memiliki risiko menderita ulkus yang terinfeksi jauh lebih tinggi dibandingkan pada penderita non-diabetes, dan diabetes merupakan penyebab dari 50% kasus amputasi kaki pada kelompok kasus non-trauma. Lebih dari 2/3 bagian dari seluruh kasus amputasi disebabkan oleh penyakit kaki diabetes (LoGerfo,1995).

Ciri diagnosis: Tanda-tanda diabetes mellitus. Infeksi pada ulkus pada kaki yang sukar sembuh. Tanda-tanda iskhemi dan neropati.

Patogenesis:Akibat peninggian abnormal kadar gula darah yang khronik akan terjadi proses non-ensimatik glikosilasi (non-enzymatic glycosylation atau glycation, yaitu penggabungan glukosa dengan protein dalam lingkungan kadar glukosa yang tinggi tanpa bantuan ensim) protein dalam bentuk advanced glycation end products (AGE). Proses tersebut akan menghasilkan radikal bebas yang selanjutnya akan menimbulkan dampak pada percepatan aterosklerosis (makroangiopati) dan mikroangiopati yang merupakan perubahan-perubahan patologis yang biasa ditemukan pada penderita penyakit diabetes mellitus yang menimbulkan gangguan fungsi (disfungsi) sel endotel pembuluh darah (LoGerfo,1995; Bouskela, Bottino, Tavares 2003). Kecepatan pembentukan radikal bebas sangat tergantung pada kecepatan terjadinya proses glikosilasi protein. (Jennings and Belch 2000)Terdapat 3 gejala patologis yang bekerja saling berinteraksi bersama secara kompleks dan jarang sekali muncul sendirian, yaitu : (1) neuropati, (2) infeksi, (3) iskhemia. Penyebab dari iskemia pada kaki diabetik adalah oklusi arteri akibat gangguan aterosklerosis. Proses terjadinya gangguan aterosklerosis lebih cepat dan lebih berat pada penderita diabetes dibandingkan dengan penderita aterosklerosis non-diabetes. Infark miokardium yang disebabkan aterosklerosis pada arteri Coronaria merupakan penyebab kematian yang tersering. Gangren pada kaki lebih sering timbul hampir 100 kali dibandingkan pada populasi penderita non-diabetes. Dijumpai peningkatan adesi trombosit kepada lapisan endotel pembuluh arteri, yang mungkin disebabkan oleh peningkatan sintesa tromboxan-A2 dan penurunan produksi prostasiklin (prostacycline). Selain bahwa hipertensi, yang sering dijumpai pada penderita diabetes, merupakan faktor risiko aterosklerosis. Semua jenis ukuran arteri akan dikenai oleh proses aterosklerosis tersebut. Lokasi anatomik oklusi arteri pada diabetes menurut hasil penelitian prospektif dari Strandness dan Conrad adalah biasanya menyangkut arteri bagian distal dari arteri Poplitea dan arteri Tibialis. Selain itu hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa walaupun sering dijumpai oklusi pada arteri Tibialis dan arteri Peroneus , tetapi lebih jarang dijumpai oklusi arteri pada kaki terutama arteri dorsalis pedis sebagai outflow (atau disebut distal run-off , yaitu pembuluh darah yang menerima aliran darah dari protesa pembuluh) untuk operasi bedah pintas (by pass) . Hasil-hasil tersebut diperkuat oleh hasil penelitian arteriografi dari Menzoian pada tahun 1989. Pada penderita diabetes, terutama yang bukan perokok sering dijumpai arteri Femoralis superfisialis atau arteri Poplitea yang tidak tersumbat, sehingga arteri tersebut dapat digunakan sebagai inflow (arteri proksimal) yang mengalirkan darah ke distal (outflow) melalui pembuluh darah pengganti (graft, dapat berupa vena Saphena magna atau sejenisnya atau pembuluh darah buatan) pada tindakan operasi rekonstruksi arteri. Pada percabangan arteri Tibialis, termasuk pembuluh arteri arkus pedis dan metatarsal, umumnya dijumpai peningkatan kalsifikasi disekitar lamina elastika interna, tetapi keadaan ini seringkali tidak menimbulkan oklusi (LoGerfo,1995).

Mikrosirkulasi:Hasil penelitian prospektif dengan menggunakan mikroskop elektron, pengukuran tahanan pembuluh kapilar (vascular resistance), dan pengukuran menggunakan alat pletismograf (plethysmograph, alat yang dapat mengukur perubahan volume suatu organ), ternyata tidak dijumpai adanya proses oklusi pada arteriola atau kapilar. Pengertian adanya oklusi ditingkat mikrosirkulasi pada penderita diabetes akan berdampak menurunkan usaha untuk melakukan tindakan rekonstruksi arteri. Mikroangiopati pada penderita diabetes mellitus adalah adanya penebalan yang difus pada membrana basalis pembuluh kapilar yang antara lain ditemukan pada kapilar kulit, kapilar otot skelet, kapilar retina dan kapilar glomeruli dan medula ginjal. Tetapi penebalan tersebut tidak menimbulkan penyempitan (stenosis) lumen. Walaupun terjadi penebalan membrana basalis, kapilar penderita diabetes lebih mudah mengalami kebocoran albumin plasma, meski tidak terbukti kebocoran protein plasma tersebut mengakibatkan gangguan nutrisi. Penebalan membrana basalis tersebut tampak dibawah mikroskop dengan ditandai oleh penebalan lapisan hialin. Gangguan pengangkutan oksigen barulah terjadi bila terdapat pertumbuhan hipertrofi lapisan sel endotel yang akan menimbulkan penyempitan lumen arteri sehingga menghambat aliran darah ke distal(Crawford dan Cotran 1999).

Neropati:Komplikasi tersering adalah polineropati pada sistim persarafan otonom dan somatis. Adanya gangguan persarafan otonom akan menimbulkan aliran darah melalui hubungan langsung antara arteriola dan venula (arterio-venous shunt atau hubungan pendek dari arteriola ke venula menyebabkan aliran darah tidak memasuki kapilar), mengakibatkan gangguan perfusi jaringan menjadi tidak efisien.Neropati dapat terjadi bersama-sama dengan iskhemi. Tindakan operasi rekonstruksi arteri yang tersumbat harus dilakukan untuk memperbaiki perfusi jaringan bagian distal yang mengalami iskhemi, walaupun mungkin tidak dapat memperbaiki neropati yang sudah terjadi (kerusakan sel saraf tepi yang permanen), tetapi dapat membantu memberikan kesembuhan pada jaringan yang iskhemik. Penyebab kerusakan persarafan tepi diduga disebabkan oleh penyumbatan (oklusi) vasa vasorum yang mengurus serabut saraf, sehingga dapat mengganggu saraf sensorik (sensorik lebih dahulu menderita gangguan) maupun motorik. Pada serabut saraf tepi yang terganggu akan terjadi keadaan bahwa semakin kearah distal tungkai semakin berat kerusakannya, yaitu berupa proses demielinisasi segmental yang terjadi akibat terganggunya metabolisme sel Schwann. Keadaan tersebut menimbulkan melambatnya kecepatan konduksi pada saraf. Gangguan neropati yang terjadi biasanya berkembang lambat dengan diawali gejala kejang otot pada malam hari dan parestesia, kemudian berlanjut dengan gangguan sensasi getar, gangguan persepsi perabaan halus dan nyeri, dan akhirnya kehilangan refleks tendon. Keadaan tersebut akan menimbulkan kelemahan mekanisme pertahanan tubuh, yaitu menghilangnya reaksi terhadap rangsang nyeri, trauma tekanan dan trauma minor lainnya. Sehingga karena tubuh tidak mengenal rangsang dari trauma tersebut akan memudahkan timbulnya ulkus dan infeksi tanpa disadari penderita. Neropati motorik akan menimbulkan gangguan fungsi otot-otot intrinsik kaki, selanjutnya akan melemahkan reaksi terhadap rangsang tekanan pada telapak kaki, sehingga menimbulkan gangguan keseimbangan fungsi fleksi metatarsal (claw position, yaitu akibat dari persendian tulang-tulang kecil pada kaki yang menjadi kaku dan otot-otot kaki yang mengecil dan berkerut, sehingga telapak kaki menjadi melengkung) dan fungsi fleksi dan ekstensi jari kaki menjadi kaku, sehingga memudahkan timbul ulkus. Pada tingkat lebih lanjut, akan terjadi kegagalan fungsi sendi antara tulang metatarsalia dan tarsalia, akhirnya menimbulkan kerusakan tulang pergelangan kaki (ankle) yang terjadi tanpa luka. Kondisi kaki tersebut dinamai sebagai kaki Charcot (Charcot osteoarthropathy).

Penemuan klinis:Infeksi jaringan lunak.Bakteri yang berkembang pada infeksi kaki diabetes sering bersifat polimikrobial. Seperti yang telah dijelaskan dimuka bahwa trauma yang terjadi tidak menimbulkan rasa nyeri, karena kehilangan refleks nyeri, reaksi inflamasi (nyeri, eritema, indurasi, pembengkakan) menjadi tumpul, akibat proses neropati. Akibat infeksi yang terlambat ditangani akan menimbulkan kerusakan jaringan yang berat, sehingga sering harus dilakukan amputasi jari kaki. Kultur bakteri yang berasal dari cairan nanah pada luka infeksi harus dilakukan disertai pemeriksaan kepekaan bakteri terhadap antibiotika. Sebelum dilakukan kultur, antibiotika yang berspektrum luas harus diberikan sejak awal, dan selanjutnya berdasarkan hasil kultur dan tes resistensi.

Osteomielitis.Penderita diabetes mellitus terancam infeksi tulang oleh bakteri yang masuk melalui luka pada kulit atau ulkus. Infeksi pada tulang dapat diawali oleh infeksi pada permukaan kartilago sendi yang avaskular atau pada tulang-tulang sesamoid. Diagnosis osteomielitis dilakukan dengan foto sinar X.

Iskhemi.Nekrosis kulit terjadi akibat penurunan perfusi jaringan yang bersifat lokal maupun sistemis akibat trauma tekanan (claw foot) sebagai konsekwensi dari gangguan sensibilitas dan berkurangnya reaksi aktivitas bakterisidal lekosit terhadap inflamasi akibat peninggian kadar gula darah, mikrosirkulasi yang terganggu pada daerah tekanan. Keadaan tersebut memperburuk daya pertahanan tubuh penderita kaki diabetes. Pada daerah yang tidak mengalami neropati tekanan oksigen (transcutaneous PO2 diperiksa dengan cara menempelkan transducer khusus pada permukaan kulit ) pada kapilar kulit lebih tinggi pada penderita diabetes mellitus dibandingkan dengan penderita non-diabetes.Ulkus yang letaknya superfisial pada penderita kaki diabetes akan sembuh bila tekanan O2 kapilar paling sedikit sama dengan orang non-diabetes. Sebaliknya pada ulkus yang dalam dan mencapai tulang disertai infeksi, biasanya keadaan mekanisme pertahanan tubuhnya rendah, membutuhkan perbaikkan perfusi jaringan melalui operasi rekonstruksi arteri untuk penyembuhannya.

Klasifikasi diagnosis tingkat kedalaman luka pada kaki diabetes:

Tabel 9.1. Klasifikasi Wagner untuk kaki diabetes.DerajatLukaAbsesSelulitisosteomielitisgangren

012

345-Permukaan.Dalam: mencapai tendo atau tulang.

DalamDalamGangren---

++ atau + atau ----

+ atau + atau + atau ----

+ atau + atau + atau ----

_Jari kaki.Seluruh kaki.

Terapi:Perfusi jaringan perlu diperbaiki melalui tindakan operasi rekonstruksi arteri. Seringkali dilakukan operasi bedah pintas dengan menggunakan vena Saphena magna (berasal dari tungkai sisi lainnya yang tidak menderita infeksi) yang menghubungkan antara arteri Femoralis superfisialis (sebagai inflow) ke segmen arteri Poplitea (berlaku sebagai outflow atau distal run-off), atau dapat pula ke arteri Tibialis atau ke arteri Dorsum pedis sesuai dengan data hasil pemeriksaan arteriografi. Perbaikan perfusi jaringan dapat memperbaiki nyeri menetap pada waktu istirahat (rest pain), menyembuhkan ulkus superfisialis yang belum kerusakan pada tulang, sendi atau tendon. Penelitian menunjukkan bahwa hasil bedah pintas ke arteri dorsalis pedis (femoro-dorsalis pedis by pass) memiliki angka keberhasilan (patency and limb salvage rate) yang sama dengan bila disambungkan ke arteri Poplitea atau ke arteri Tibialis (femoro-poplitea atau femoro-tibialis by pass). Angka keberhasilan operasi rekonstruksi arteri dan angka mortalitas pada penderita diabetes adalah sama atau dapat lebih baik dibandingkan pada penderita non-diabetes.

ORGANISASI SISWA INTRA SEKOLAH

SMU NEGERI 8 BANDUNG

Jalan Solontongan No.3 Buahbatu

No:

23 Juli 2002

Hal: Undangan

Kepada

Yth.

di Tempat

Dengan Hormat,

Sehubungan dengan telah terlaksananya kegiatan Pentas Seni & Kreasi MULTIDIMENSI 8 pada tanggal 6 April 2002, maka kami panitia bermaksud untuk mengadakan rapat evaluasi yang akan diadakan pada :

Hari / Tanggal: Rabu, 24 Juli 2002

Waktu

: 09.00 selesai

Tempat

: R. Media

SMU Negeri 8 Bandung

Kehadiran bapak/ ibu sangat kami harapkan demi kelancaran rapat ini.

Atas perhatian bapak/ ibu kami ucapkan terimakasih.