traumatic injury blok dmf 1
DESCRIPTION
STEP 1-7 TRAUMATIC INJURY BLOK DMF 1TRANSCRIPT
SKENARIO 7
TRAUMATIC INJURY
drg. Nuzulul Hikmah, M.Biomed.
Seorang anak perempuan usia 6 tahun dating ke dokter gigi setelah mengalami
kecelakaan lalu lintas. Setelah kecelakaan, bibir berdarah, gigi depan patah, dan
sakit. Pemeriksaan intra oral menunjukkan adanya laserasi tidak teratur, panjang 1
cm, dan masih sedikit berdarah pada mukosa labial atas disertai pembengkakan,
kemerahan dan sakit. Gigi 51 fraktur 1/3 insisal, goyang derajat 2. Gigi 61 intrusi.
Pada gigi 31 fraktur 1/3 insisal dengan pulpa yang terbuka, terjadi kegoyangan
gigi derajat 2. Pada gigi 41 goyang derajat 2, dan perdarahan dari servikal gigi.
Pemeriksaan radiografi menunjukkan gigi 51 fraktur mahkota mencapai pulpa,
intrusi pada gigi 61 serta kerusakan tulang alveolar, gigi 31 fraktur mahkota
mencapai dentin, apical gigi masih terbuka.
STEP 1
1. Laserasi : Luka terbuka dari jaringan lunak.
2. Intrusi : Masuknya gigi yang mengalami trauma ke dalam soket
gigi.
3. Fraktur : Suatu patahan akibat trauma.
4. Goyang derajat dua : kegoyangan gigi sekitar 1 mm
STEP 2
1. Apa kaitannnya usia 6 tahun dengan banyaknya fraktur yang terjadi?
2. Apa hubungannya fraktur 1/3 insisal dengan goyang derajat dua pada gigi
51 dan 31?
3. Pengaruh intrusi gigi 61 dan fraktur gigi 51 terhadap pertumbuhan gigi
permanen?
4. Mengapa pada gigi 31 tejadi perdarahan dari pulpa?
5. Pada gigi 31, mengapa terjadi pembukaan pada bagian apical gigi?
6. Apa kaitannya gigi intrusi 61 dan fraktur gigi 51 terhadap pertumbuhan
gigi permanen?
7. Mengapa terjadi perdarahan pada gigi 41 di daerah servikal?
8. Mengapa yang terkena fraktur hanya gigi insisiv pertama saja dan apa ada
pengaruh pada gigi yang lain?
9. Teknik radiografi apa yang cocok sesuai scenario pada bagian mahkota?
10. Bagaimana pemeriksaan klinis dan perawatan dalam melakukan
penanganan?
11. Apa saja klasifikasi yang didapat yang digunakan untuk trauma gigi
berdasarkan skenario?
STEP 3
1. - Usia seseorang berpengaruh terhadap banyaknya fraktur yang dialami
seseorang. Karena pada usia 6 tahun, tulang alveolar dan jaringan
pendukung gigi masih belum sempurna, masih dalam masa pertumbuhan
dan perkembangan, sehingga akan rawan fraktur apabila terjadi trauma
yang parah.
- Jika dilihat dari anatomi gigi susu memang lebih kecil dari gigi
permanen. Dengan akarnya yang kecil tsb. Perlekatan gigi dengan
tulang dan ligamen periodontalnya tidak terlalu kuat. Maka dari itu
gigi sulung lebih rentan terkena trauma.
2. - Terjadinya fraktur dan kegoyangan pada gigi tidak ada kaitannya, namun
seberapa kuat trauma yang diberikan pada gigi akan mempengaruhi parah
atau tidaknya fraktur dan kegoyangan pada gigi.
- Terjadinya suatu kegoyangan pada gigi berkaitan secara tdk langsung
dengan adanya fraktur 1/3 incisal gigi dikarenakan, adanya fraktur yang
bisa disebabkan oleh benturan / Trauma yang sngat keras sehingga dapat
menyebabkan gigi goyang.
3. - Apabila gigi sulung instrusi pada gigi 61 mencapai benih gigi, dapat
mengganggu jalannya erupsi gigi permanen sehingga dapat menyebabkan
perubahan arah posisi gigi.
- Pengaruh fraktur pada gigi 51 tidak sampai mengganggu pertumbuhan
gigi permanen di bawahnya. Hal ini dikarenakan kerusakan pada gigi 51
tidak mencapai tulang alveolar, berbeda dengan inrusi pada gigi 61 yang
menyebabkan rusaknya tulang alveolar. Kemungkinan akan mengganggu
erupsi gigi permanen lebih besar dibandingkan gigi 51.
4. - Fraktur kelas 3 menurut Ellis dan Davey : Fraktur mahkota gigi yang
melibatkan jaringan dentin dan menyebabkan terbentuknya pulpa.
- Dikarenakan pada pulpa terdapat pembuluh darah dan syaraf. Pembuluh
darah putus sehingga menyebabkan perdarahan.
5. Tidak ada hubungannya fraktur mahkota sampai dentin pada gigi 31
dengan akar yang masih terbuka. Karena akar yang masih terbuka tersebut
menunjukan gigi permanen masih dalam perkembangan yang belum
sempurna karena pasien berusia 6 tahun dan tidak termasuk fraktur gigi.
6. - Saat intrusi terjadi kerusakan tulang karena anatomi gigi dari servikal ke
apikal lebih besar daerah servikal, jadi saat terjadi intrusi ligamen
periodontal akan tertekan dan tulang alveolar akan rusak, disamping itu,
gigi memeiliki kekuatan yang lebih dibanding tulang, jadi saat terjadi
intrusi bukan giginya yang rusak melaninkan tulangnya yang akan rusak.
7. Trauma yang terjadi menyebabkan gigi 41 mengalami goyang derajat 2,
hal ini dapat menyebabkan injuri pada jaringan periodontal yang terdapat
banyak pembuluh darah. Karena pembuluh darahnya terkena injury dan
luka, maka terjadilah perdarahan.
8. Tergantung dari bagaimana trauma itu terjadi. Bila trauma itu terjadi
secara vertikal kemungkinan besar tidak akan berakibat pada gigi
sekitarnya. Namun bila secara horizontal kemungkinan besar dapat
berdampak trauma juga pada gigi disekitar yang terkena trauma.
9. Teknik radiografi yang cocok digunakan untuk melihat fraktur yaitu
rontgen panoramik sebab dengan foto panoramik kita dapat melihat
keseluruhan maksila dan mandibula dalam satu foto. Namun pemeriksaan
ini memberikan gambaran yang kurang detail. Setelah diketahui gigi mana
yang mengalami fraktur dan ingin dilakukan perawatan, sebaiknya
menggunakan teknik periapikal. Dengan teknik periapikal, kita
mendapatkan gambaran gigi dan jaringan pendukungknya dengan ukuran
yang hampir sama dengan aslinya.
10. - Pemeriksaan
Subjektif : Secara anamnesis
Objektif : Tes palpasi
Pemeriksaan intraoral
Tes vitalitas : Tes termal,tes perkusi
- Tes vitalitas pulpa
Beberapa test vitalitas gigi yaitu :
1. Sensivitas terhadap termal
Respon terhadap rangsangan dingin menggunakan etil
khlorida atau es, sedangkan respon terhadap rangsangan
panas dapat menggunakan gutta percha yang dipanaskan.
2. Rangsangan elektrik
Rangsangan elektrik dapat menggunakan alat Rheostat.
3. Perkusi
Tes ini dapat dilakukan dengan mengetukkan handle kaca
mulut pada gigi yang mengalami trauma.
- Teknik radiografi yang dapat digunakan pada pasien ini adalah teknik
radiografi ektraoral. Mengapa demikian karena, pasien masih anak-
anak kemungkinan kurang koperatif jika menggunakan radiografi
intraoral, ditambah lagi rasa sakit yang dirasakan pasien akan lebih
sulit meletakkan fil secara intraoral. Selain itu juga dengan
menggunakan radiografi ekstraoral kita dapat mengetahui seberapa
luas fraktur yang terjadipada pasien dan struktur anatomis mana saja
yang terlibat.
- Pulpektomi adalah pengangkatan seluruh jaringan pulpa. Pulpektomi
merupakan perawatan untuk jaringan pulpa yang telah mengalami
kerusakan yang bersifat irreversible atau untuk gigi dengan kerusakan
jaringan keras yang luas. Atau pulpektomi meliputi pembuangan
jaringan nekotik dari bagian korona dan saluran akar gigi sulung yang
pulpanya telah nonvital atau mengalami radang kronis. Atau
pulpektomi meliputi pembuangan jaringan nekotik dari bagian korona
dan saluran akar gigi sulung yang pulpanya telah nonvital atau
mengalami radang kronis. Meskipun perawatan ini memakan waktu
yang lama dan lebih sukar daripada pulp capping atau pulpotomi
namun lebih disukai karena hasil perawatannya dapat diprediksi
dengan baik. Jika seluruh jaringan pulpa dan kotoran diangkat serta
saluran akar diisi dengan baik akan diperoleh hasil perawatan yang
baik pula.
- Pulpotomi, hanya dilakukan jika gigi mengalami suatu nekrosis pulpa
parsial sehingga dapat diambil jaringan pulpa yang mengalami
nekrosis untuk kemudian dapat diberi bahan adhesif agar merangsang
perbaikan jaringan
11. Gigi 51 : Kelas 9.3
Gigi 31 : Kelas 3
Gigi 61 : Kelas 9.7
Gigi 41 : Subluksasi
STEP 4
STEP 5
1. Mampu mengetahui, memahami, dan menjelaskan etiologi dari trauma.
2. Mampu mengetahui, memahami, dan menjelaskan klasifikasi dari trauma
yang mengenai jaringan keras gigi.
3. Mampu mengetahui, memahami, dan menjelaskan klasifikasi dari traima
yang mengenai jaringan lunak rongga mulut.
4. Mampu mengetahui, memahami, dan menjelaskan pemeriksaan klinis dan
penunjang pada trauma rongga mulut.
5. Mampu mengetahui, memahami, dan menjelaskan perawatan terhadap
trauma pada rongga mulut.
6. Mampu mengetahui, memahami, dan menjelaskan urutan erupsi gigi
permanen. (PR)
7. Mampu mengetahui, memahami, dan menjelaskan klasifikasi kegoyangan
derajat. (PR)
STEP 7
1.
2. - Intrusi
Intrusi merupakan pergeseran sebagian / keseluruhaan permukaan mahkota
gigi ke soketnya dalam arah aksial (arah apeks) bahkan mahkota gigi
benar-benar terbenam hingga tidak terlihat sama sekali dikarenakan
tertanamnya seluruh permukaan gigi dalam tulang alveolar sehinga
mobilitas gigi menurun menyerupai ankilosis.
Intrusi ini merupakan trauma luksasi gigi yang paling sulit dan jarang
terjadi hanya sekitar 0,3 – 1,9 % dari seluruh injury traumatik pada gigi.
Jarangnya kasus intrusi mengakibatkan terbatasnya penelitian-penelitian yang
mendukung metode perawatan yang tepat.
Derajat keparahan intrusi dan pertumbuhan akar
Derajat intrusi Apeks terbuka Apeks tertutup
Ringan (<3mm) RP RP setelah 2-3minggu
RO
Sedang(3-6mm) RP RB atau RO
Berat (>6mm) RP RB
Keterangan : RP= reposisi pasif RO= reposisi ortodontik RB= reposisi
bedah
Intrusi dikatakan ringan apabila kurang dari 3mm seperti yang ada pada
tabel di atas. Keadaan tersebut menunjukkan suatu intrusi yang tidak parah atau
ringan. Pemilihan peraatan paling tepat adalah mebiarkannya reerupsi yang terjadi
kurag lebih 1-6 bulan. Namun selama reerupsi pada waktu 4 minggu bila tidak ada
inisial maka harus diekstraksi.
Intrusi yang berat atau parah terjadi apabila lebih dari 6mm. Prognosis
dikatakan buruk karena dapat menyebabkan kerusakan jaringan pulpa,
periodontium, neurovaskular dan sebagainya sehingga diperlukan adanya
perawatan. Setelah perawatanpun tidak semua penderita dapat sembuh dengan
mudah. Beberapa kasus ditemui adanya komplikasi pasca perawatan nekrosis
pulpa, resorbsi akar eksterna, resorbsi inflamasi dan sebagainya.
- Alsarheed et al cited in Glendor menunjukkan bahwa pada anak
dengan gangguan pendengaran dan penglihatan mempunyai risiko
terkena trauma gigi yang lebih besar. Prevalensi trauma gigi pada anak
yang mempunyai gangguan penglihatan sudah cukup tinggi yaitu sebesar
36,4%. Hal ini disebabkan pada anak yang mempunyai gangguan
pendengaran, mereka masih bisa bermain dan bergerak lebih bebas
daripada anak dengan dengan gangguan penglihatan.
- Klasifikasi Fraktur proc alveolaris (Clark,2005)
Klas 1 : Fraktur alveolar pada daerah edentulous
Klas 2 : Fraktur yang melibatkan regio bergigi dengan perubahan letak
ringan
Klas 3 : Fraktur yang melibatkan regio bergigi dengan perubahan letak
ringan, sedang dan berat
Klas 4 : Fraktur proc. Alveolaris diamana satu atau beberapa garis fraktur
berganbung dengan fraktur tukang facial
- Akibat trauma pada gigi desidui terhadap benih gigi permanen
1. Dilaserasi
Dilaserasi mahkota atau akar terjadi 3 % karena injuri pada gigi sulung.
Dilaserasi akar ditandai dengan bentuk kurva pada akar akibat injuri yang
terjadi pada gigi sulung dan mengenai gigi insisivus satu tetap.
- Trauma yang parah pada gigi sulung adalah penyebab dilaserasi (bentuk
akar atau mahkota bengkok). Dilaserasi dapat terjadi pada mahkota atau
akar pada gigi tetap penggantnya, tergantung pada perkembangan gigi
tetap dan hubungannya dengan akar gigi sulung sewaktu terjadi trauma.
Lengkungaan dapat terbentuk di bagian mana saja sepanjang gigi,kadang
pada bagian tengah akar, leher gigi, persambungan mahkota dan akar, atau
hanya pada ujung akar saja, tergantung seberapa jauh pembentukan gigi
telah berlangsung saat trauma terjadi. Trauma pada masa pembentukan
gigi menebabkan gigi tersebut terdorong dan terdesak masuk ke dalam
tulang. Gigi sulung yang terdorong tadi dapat mengenai benih gigi
permanen yang berada dibawahnya. Trauma ini menyebabkan arah
peletakan mineral pada proses kalsifikasi gigi permanen berubah, sehingga
terbentuk gigi yang melengkung.
2. Hypoplasia
Trauma pada gigi sulung, misalnya intrusi dapat mengakibatkan gigi
sulung akan terdorong masuk dalam soket alveolar hingga mengenai benih
gigi permanen di bawahnya. Ketika benih gigi permanen tersebut dalam
tahap pembentukan enamel, maka akan terjadi gangguan pada tahap
tersebut sehingga enamel tidak tumbuh sempurna (hypoplasia), terutama
pada permukaan labial.
3. Hipokalsifikasi
Trauma pada gigi sulung, misalnya intrusi dapat mengakibatkan gigi
sulung akan terdorong masuk dalam soket alveolar hingga mengenai benih
gigi permanen di bawahnya. Ketika benih gigi permanen tersebut dalam
tahap kalsifikasi enamel, maka akan terjadi gangguan pada tahap tersebut
sehingga enamel mengalami hipokalsifikasi yang ditandai dengan
dekolorisasi kuning kecoklatan.
3. - Kerusakan pada gingiva atau jaringan lunak rongga mulut terdiri
atas:
1) Laserasi yaitu suatu luka terbuka pada jaringan lunak rongga mulut yang
biasanya disebabkan oleh benda tajam.
2) Kontusio yaitu memar yang biasanya disebabkan oleh pukulan benda tumpul
dan menyebabkan perdarahan pada daerah submukosa tanpa disertai sobeknya
daerah mukosa.
3) Abrasi yaitu luka pada daerah superfisial yang disebabkan karena gesekan atau
goresan suatu benda, sehingga terdapat permukaan yang berdarah dan lecet
1. Trauma Fisik atau Mekanik
Ada banyak faktor yang dapat menyebabkan trauma pada jaringan lunak di
rongga mulut, salah satunya adalah trauma fisik atau mekanik. Dimana pada
trauma fisik ataupun mekanik terbagi dalam beberapa sebab-sebab lainnya,
yaitu:
Trauma gigitan
Banyak orang menderita luka di dalam mulutnya. Hal tersebut biasanya
dilakukan secara tidak disengaja seperti tergigit pada saat makan pada
bibir ataupun jaringan lunak yang ada di dalam rongga mulut. Luka gigit
pada bibir atau lidah tersebut akibat susunan gigi yang tidak teratur. Sering
kali, hal ini dapat menjadi sebuah kebiasaan yang tidak disadari atau dapat
terjadi selama tidur. Luka jaringan lunak rongga mulut juga bisa
disebabkan karena tertusuk alat ortodonsi atau tepi plat gigi tiruan yang
dipasang secara tidak tepat sehingga dapat menimbulkan ulser.
Trauma sikat gigi
Sikat gigi ternyata adalah salah satu sebab dari trauma jaringan lunak
rongga mulut. Cara penggunaan dari sikat gigi yang berlebihan dan cara
menyikat gigi yang salah dapat merusak gigi serta melukai jaringan lunak
yang ada di dalam rongga mulut.
Trauma makanan
Banyak jenis makanan yang kita makan dapat menggores ataupun melukai
jaringan lunak dalam rongga mulut dan menyebabkan terjadinya ulser.
Contohnya adalah keripik singkong yang mempunyai tekstur yang keras
dan tajam sehingga saat dimakan dapat melukai jaringan lunak rongga
mulut, selain itu kue kering yang keras, apel dan setelah mengunya
permen keras juga dapat melukai jaringan lunak rongga mulut sehingga
menimbulkan ulser.
2. Trauma Termal (Panas)
Trauma termal atau luka bakar pada rongga mulut sebagian besar
disebabkan oleh makanan atau minuman yang panas. Penggunaan microwave
meningkatkan angka kejadian luka bakar panas karena dapat membuat
makanan yang dingin di bagian luarnya tetapi sangat panas di bagian
dalamnya. Pada awal terjadinya trauma termal akan terasa nyeri yang
selanjutnya muncul area yang tidak nyeri, hangus, dan kekuningan yang
disertai dengan sedikit atau bahkan tidak berdarah. Selanjutnya, area tersebut
akan mengalami nekrosis, karena banyak sel yang mati akibat panas, dan
mulai mengelupas bahkan bisa mengeluarkan darah. Luka yang melibatkan
makanan yang panas biasanya timbul pada palatum atau mukosa lidah bagian
posterior berupa area eritema dan ulserasi yang dapat menyisakan epithelium
yang nekrosis pada daerah perifer. Selain itu, injuri thermal juga dapat terjadi
secara iatrogenik, yaitu overheat instrument yang mengenai mukosa. Efek
lebih parah terjadi pada mukosa yang dianestesi, karena pasien tidak dapat
merasakan sakit pada mukosa yang berkontak dengan instrumen tersebut.
Lesi luka bakar
3. Trauma kimiawi
Trauma kimiawi di dalam rongga mulut biasanya akibat bahan-bahan
kedokteran gigi yang digunakan dalam praktek, misalnya aspirin, hidrogen
peroksida, silver nitrat, fenol, larutan anestesi, dan bahan perawatan saluran
akar. Trauma kimiawi dapat disebabkan karena pemakaian obat-obatan yang
bersifat kaustik, seperti obat kumur yang tinggi kandungan alcohol, hydrogen
peroksida, atau fenol, dan penggunaan obat aspirin baik tablet maupun topikal
pada mukosa sebagai obat sakit gigi.
Lesi biasanya terletak pada forniks atau lipatan mukobukal dan gingiva. Area
yang terluka berbentuk ireguler, berwarna putih, dilapisi pseudomembran, dan
sangat sakit. Area yang terlibat sangat mungkin meluas. Jika kontak dengan agen
kimia terjadi cukup singkat, maka lesi yang terbentuk berupa kerut-kerut berwarna
putih tanpa nekrosis jaringan. Kontak dalam waktu lama (biasanya dengan aspirin,
sodium hipoklorid, dan fenol) dapat menyebabkan kerusakan yang lebih berat dan
pengelupasan jaringan yang nekrosis. Mukosa non-keratinisasi yang tidak cekat
lebih sering mengalami luka bakar dibandingkan mukosa cekat (Greenberg dan
Glick, 2003).
Trauma Radiasi
Ulser intraoral juga biasanya muncul selama proses terapi radiasi untuk
kanker di area kepala dan leher. Ulser akibat radiasi akan bertahan selama
proses terapi radiasi. Apabila daerah ulserasi dijaga kebersihannya,
spontan healing akan muncul tanpa scar. Sama seperti terapi radiasi, ulser
juga akan muncul selama proses kemoterapi, dengan etiologi utama efek
samping dari terapi yang mereduksi regenerasi sel basal, sehingga
mengakibatkan atrofi mukosa dan ulserasi. Pada kemoterapi, mukosa yang
terkena adalah mukosa nonkeratinisasi, seperti mukosa bukal, ventrolateral
lidah, palatum mole, dan dasar mulut. Lesi awal berwarna keputihan
dengan sedikit deskuamasi pada keratin, yang kemudian menimbulkan
atrofi pada mukosa dengan gambaran edematous dan eritematous.
Selanjutnya ulkus akan ditutupi oleh membran fibrinopurulen. Ulkus
terasa nyeri dengan sensasi rasa terbakar, serta tidak nyaman. Manifestasi
oral akibat terapi radiasi adalah oral mucositis yang timbul pada minggu
kedua setelah terapi, dan akan sembuh perlahan 2-3 minggu setelah terapi
dihentikan.
- Trauma jaringan lunak adalah hilang atau rusaknya jaringan lunak
yang meliputi kulit, otot, saraf, atau pembuluh darah akibat trauma. Trauma
jaringan lunak dapat disebabkan oleh benda tumpul atau tajam, perubahan suhu,
zat kimia, ledakan, sengatan listrik, gigitan hewan.
Cedera jaringan lunak biasanya dibagi beberapa kelompok dan
karakteristiknya pun beragam. Cedera ini bisa dilihat di luar (kulit) dan di dalam
mulut (gingival dan mukosa oral). Trauma jaringan lunak atau luka secara garis
besar dibagi menjadi dua yaitu luka terbuka dan luka tertutup. Luka terbuka
terbagi atas luka lecet / abrasion, luka robek / laceration, dan luka avulsi /
avulsion. Sedangkan luka tertutup tebagi atas luka memar dan hematoma.
- RESPON TUBUH PADA TRAUMA JARINGAN LUNAK RONGGA
MULUT
Inflamasi merupakan suatu reaksi setempat dari jaringan hidup ata sel
terhadap suatu rangsang atau injury (cidera atau jejas). Proses ini diawali dengan
kerusakan jaringan yang menyebabkan patogen melewati pertahanan tubuh untuk
menginfeksi sel-sel tubuh. Jaringan yang terinfeksi tersebut akan melepaskan
histamin dan prostaglandin. Sel yang melepaskan histamin adalah mastosit yang
berkembang dari basofil. Histamin yang dilepaskan menyebabkan pelebaran
pembuluh darah dan peningkatan kecepatan aliran darah sehingga permeabilitas
pembuluh darah meningkat menyebabkan neutrofil, monosit dan eusinifil
berpindah dari pembuluh darah ke jaringan yang terinfeksi. Akibatnya, daerah
yang terinfeksi akan berwarna kemerahan, panas, bengkak, dan terasa nyeri.
Secara mikroskopis, pembulluh darah mengalami konstriksi sementara
yang mungkin disebabkan oleh reflek neurogenik setempat yang bisa berkembang
tetapi hanya bertahan beberapa menit dan dengan cepat diikuti oleh dilatasi
arteriol. Dilatasi arteriol yang berkepanjangan menyebabkan kenaikan aliran darah
setempat (hiperemia) dan dilatasi kapiler. Kenaikan permeabilitas kapiler
disebabkan oleh dua faktor utama yaitu :
a. Dilatasi arteriol menaikkan tekanan hidrostatik kapiler, menyebabkan
aliran air lebih besar larut ke dalam cairan intestisial.
b. Permeabilitas endotelial venular dan kapiler ditingkatkan, sehingga
memungkinkan molekul lebih besar khususnya albumin memasuki jaringan
intestisial.
Kemudian terjadi perlambatan aliran darah kapiler dan hemokonsentrasi
intravaskuler diikuti hilangnya aliran darah normal. Secara normal, sel-sel darah
mengalir ditengah kapiler dengan plasma yang relatif bebas sel menyentuh
endotel. Sedangkan sel yang abnnormal akan mengalami penepian leukosit yaitu
ke tepi endotel. Pengumpulan sel-sel merah ke tengah akan membentuk rouleaux.
Terjadi perlekatan leukosit pada sel endotel kapiler,diikuti dengan perpindahan
aktif oleh gesekan amuboid ke dalam jaringan perivaskuler melalui celah-celah
diantara sel endotel. Setelah berada di luar, leukosit berpindah dengan cara
kemotaksis, dimana sel tersebut ditarik menuju substansi kimia yang
konsentrasinya lebih tinggi. Pergerakan aktif ini menyebabkan akumulasi
sejumlah leukosit. Akumulasi ini mudah dilihat dan dikenal secara mikroskopik
untuk diagnosa histopatologi radang akut.Fagositosis merupakan fungsi utama
leukosit yaitu penelanan, pencernaan dan pembuangan benda-benda asing
khususnya bakteri dan sel-sel yang rusak. Setelah terjadinya perubahan
permeabilitas pembuluh darah dan akumulasi leukosit, dilanjutkan dengan proses
fagositosis. Proses ini memicu sekresi fagosit dengan memicu endogen pirogen
yang melepas prostagladin dan merangsang hipotalamus untuk menaikkan suhu.
Hal tersebut mengakibatkan adanya demam pada inflamasi. Pembengkakan lokal
terjadi karena tekanan osmotik koloid sehingga terjadi peningkatan tekanan darah
kapiler.
- Kerusakan pada jaringan periodontal:
* concussi : yaitu trauma yang mengenai jaringan pendukung gigi yang
menyebabkan gigi lebih sensitive terhadap tekanan dan perkusi tanpa adanya
dislokasi gigi
* luksasi : yaitu perbahan letak gigi yang terjadi karena pergerakan gigi kea rah
labial, palatal, maupun lateral yang menyebabkan kerusakan atau fraktur pada
soket gigi
* luksasi intrusi : yaitu pergerakan gigi ke dalam tulang alveolar sehingga dapat
menyebabkan kerusakan atau fraktur soket alveolar. Intrusi menyebabkan
mahkota terlihat lebih pendek
* luksasi ekstrusi : yaitu pelepasan sebagian gigi keluar dari soketnya. Ekstrusi
menyebabkan mahkota gigi terlhat lebih elongasi
* subluksasi : kegoyangan gigi tanpa disertai perubahan posisi gigi akibat trauma
pada jaringan pendukng gigi
4. PEMERIKSAAN KLINIS DAN PEMAKAIAN DIAGNOSIS
Dalam perawatan fraktur akibat trauma diperlukan pemeriksaan klinis
termasuk intra oral dan ektra oral. Pada pemeriksaan klinis anamnese baik pada
anak dan pada orang tuanya dapat membantu dalam menegakan diagnosis.
Beberapa anamnese yang diperlukan adalah:
1. Medical history: riwayat kesehatan medis yang mempengaruhi untuk perawatan
yang akan dilakukan, seperti beberapa penyakit gangguan pendarahan, kelainan
sistemik atau sensivitas terhadap obat, seperti:
1. Hemofilia, pada anak mi dengan gejala klinis perdarahan sukar
berhenti.
2. Diabetes, kasus diabetes pada anak jarang terjadi
3. Penyakit jantung pada anak sering terlihat anak lemah. pucat
kadang-kadang wajah membiru
4. Alergi obat, khusus terhadap obat antibiotika, analgetika
5. Status profilaksis tetanus
2. Dental history: pada anamnese ini anak perlu ditanyakan penyebab adanya
injuri pada gusi, reaksi gigi dan kerusakan jaringan sekitar gigi akibat trauma
yang timbul serta waktu, bagaimana, kapan dan dimana kejadian terjadi
3. Perdarahan : yang terjadi diperiksa asal pendarahan baik dan bibir ataupun
jaringan Junak di sekitarnya. Pembersihan darab yang telah menjendal dengan
bahan antiseptik sangat diperlukan guna membantu penyembuhan luka jaringan
4. Waktu terjadinya ‘trauma: sangat diperiukan untuk membantu menentukan
perawatán. Dan untuk batas maksimal perawatan avulsi yang ideal adalah ½ jam
setelah trauma
5. Bagaimana terjadinya trauma merupakan informasi yang akan dapat
memberikan suatu gambaran injuri yang terjadi, sehingga operator mempunyai
gambaran berat, ringan serta lokasi injuri yang terjadi
6. Kapan terjadinya trauma merupakahinformasi yang diperlukan untuk
menentukan rencana perawatan maupun gambaran prognosa hasil perawatan pada
pasien
7. Dimana kejadiannya trauma merupakan informasi yang diperlukan untuk pada
anak guna mengambil tindakan menjaga kesehatan anak. Tempat kejadian seperti
jatuh dijalan, dikolam renang dan sebagainya merupakan informasi perlu tidaknya
pemberian tetanus
Pemeriksaan intra oral mencakup:
I. Luka jaringan lunak
a. Pemeriksaan muka, bibir, gingiva. Dengan melihat perubahan
padajaringan lunak seperti wama, textur, ulcerasi, udcm dsb
b. Adanya fragmen atau debris yang masuk ke dalam jaringan diperlukan
pemeriksaan yang teliti, seperti perdarahan yang tidak behenti-henti pada
jaringan lunak yang kena injuri. Fragmen atau debris perlu diambil guna
penyembuhan jaringan yang luka
c. Pembersihan jaringan sekitar luka dipakai : saline, yod d. Penentuan
rencana perawatan luka jaringan lunak akibat trauma. Seperti perlu
tidaknya jahitan, untuk mengatasi perdarahan yang terjadi
II. Luka pada jaringan keras gigi dan prosesus alveolaris:
a. Fraktur mahkota atau dan fraktur akar. Pemeriksaan perlu bantuan
rontgen foto untuk melihat kerusakan struktur gigi
b. Posisi gigi termasuk konkusi, Iuksasi, perpindahan tempat, avulse
c. Dicatat besarnya mobilitas baik secara vertical atau horizontal. Khusus
pada gigi permanen muda dan gigi desidul
d. Dicatat pulpa terbuka atau tidak
e. Periksa ggi didekatnya dan gigi antagonisnya, untuk melihat
ada/tidaknya abnormalitas oklusi.
f. Reaksi gigi terhadap perkusi. Alat yang digunakan dapat memakai
tangkai kaca mulut secara perlahan-lahan kearah pertikal atau horizontal.
Rasa sakit pada perkusi menunjukkan kerusakan pada ligament-
periodontal
g. Warna gigi. Adanya sedikit perubahan warna mahkota setelah mendapat
injuri khusus diperhatikan dibagian permukaan palatinal sepertiga mahkota daerah
gingiva
III. Pemeriksaan rontg foto
Anak di bawah 2 tahun sering kesulitan untuk dilakukan pemeriksaan
radiografi, disebabkan adanya rasa takut atau tidak ada kerjasama yang baik
antara pasien dan operator. Dalam pembuatan rontgenografi anak tersebut perlu
kehadiran orang tuanya. Adapun tujuan pembuatan rontgenografi adalah:
a. Mengetahui besar dan posisi fraktur yang terjadi
b. Untuk melihat perkembangan akar, seperti penutupan ujung akar
c. Fraktur akar baik secara vertikal, horizontal atau letak fraktur
d. Fraktur prosesus alveolaris. Kondisi tersebut sangat membantu dalam
penyembuhan luka yang terjadi
e. Periksa jaringan periapikal
f. Periksa apakah perlu dilakukan perawatan endodontik dan jenis
restorasinya
IV. Tes vitalitas: Pengetesan vitalitas gigi dapat dilakukan dengan tes pulpa
listrik atau tes termal. Bagi gigi yang mengalami trauma yang baru, reaksi
terhadap tes vitalitas pulpa mungkin dapat negatif selama 6-8 jam, diikuti
diskolorisasi mahkota yang bersifat sementara. Akibat tes pulpa tersebut bundel
syaraf sobek dan terjadi parastesi dan perdarahan. Kemudian setelah lama terjadi
proses iritasi sebagian diskolorisasi akan hilang dan warna gigi akan normal
kembali. Darah masuk kedalam tubulis dentalis menyebabkan perubahan wama
pada mahkota.
5. - Perawatan fraktur gigi sulung :
Sesuai pada scenario, gigi 61 pasien mengalami intrusi.
Intrusi adalah suatu keadaan yang ditandai dengan masuknya gigi
(sebagian atau seluruhnya) yang mengalami trauma ke dalam soket gigi.
Merupakan injuri yang sering terjadi pada gigi sulung atas, karena gigi
insisivus yang baru erupsi sering menerima tekanan yang kuat pada anak
yang belajar jalan. Biasanya terjadi perubahan tempat bagianpalatal dan
atas dari mahkota, berarti apeks gigi tertekan kearah benih gigi tetap.
Perawatan Intrusi : (Re-erupsi, Reposisi, Pencabutan)
1. Jika mahkota terlihat dan kerusakan tulang alveolar kecil, biarkan gigi
re-erupsi. Re-erupsi adalah membiarkan gigi tersebut mengadakan erupsi
kembali. Diperlukan waktu 1 – 6 bulan dan harus dikontrol setiap minggu
selama 3 – 4 minggu. Cara ini didukung oleh teori yang menyatakan
bahwa gigi sulung dapat menuntun gigi tetap, sehingga mempertahankan
gigi sulung adalah lebih baik daripada mencabutnya. Gigi yang re-erupsi
kemungkinan dapat menjadi non-vital, tetapi keadaan ini dapat
ditanggulangi dengan perawatan endodonti.
2. Reposisi adalah mengembalikan gigi tersebut ke posisi semula. Caranya
dengan menarik gigi tersebut sehingga kembali ke posisi semula (gigi
tetangga dapat digunakan sebagai patokan). Gigi ditarik dengan
menggunakan jari tangan dan bantuan anastesi. Sebagai fiksasi dianjurkan
menggunakan akrilik atau zink oxid cement/GIC yang diletakkan
sepanjang permukaan gigi selama 6 – 8 minggu. Ligature wire tidak
dianjurkan untuk digunakan sebagai fiksasi, karena dapat menyebabkan
ankilosis.
3. Pencabutan
Keputusan apakah gigi dicabut atau dibiarkan erupsi sangat sering
dijumpai di klinik dan ini berdasarkan terjadinya cedera serta keadaan
anak. Untuk cedera yang lebih parah, melibatkan tulang alveolar dan
gingiva, sering diperlukan pencabutan.
Pencabutan dilakukan sebagai tindakan terakhir bila :
a. Re-erupsi gagal karena ankilose, sehingga dapat menghalangi
pertumbuhan gigi tetap,
b. Gigi yang intrusi mendorong benih gigi tetap di atas / bawahnya
(diketahui melalui ronsen foto), sehingga merusak benih gigi tetap,
c. Bila apeks gigi sulung telah menembus tulang labial.
- Perawatan fraktur permanen muda :
Sesuai pada scenario, gigi 31 pasien mengalami fraktur kelas 3 dengan
akar masih terbuka. Maka, perawatan yang dilakukan adalah :
Perawatan pulpotomi (yang baik jika perawatan pulpa dilakukan 1-2 hari
setelah mendapatkan trauma) prognosa. Hasil yang diharapkan pulpa tetap
hidup. Perawatan pulpotomi dilakukan apabila apeks akar belum
berkembang karena mempertahankan vitalitas pula dalam akar yang akan
mendorong apeksogenesis. Apeksogenesis adalah perawatan pada pulpa
yang telah terinflamasi dan masih vital pada gigi yang perkembangannya
belum tumbuh sempurna.
Perawatan pulpektomi (bila vitalitas gigi tidak dapat dipertahankan). Bagi
ujung akar masih ternuka dilakukan dengan perawatan apeksifikasi lebih
dahulu. Apeksifikasi adalah siatu perawtan endodontic untuk merangsang
perkembangan lebih lanjut, meneruskan proses pembentukan apeks gigi
yang belum tumbuh sempurna tetapi sudah mengalami kematian pulpa.
Jika ada mobilitas dilakukan splinting. Splinting adalah mestabilkan satu
gigi atau lebih dengan menyelipkan ke gigi sebelahnya yang masih teguh
melalui kawat.
- Perawatan Trauma pada jaringan lunak dilakukan dengan :
1. Bila lukanya kecil dapat dilakukan pembasuhan luka dan pemberian
antiseptic untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme sehingga
luka tersebut tidak akan menimbulkan infeksi
2. Bila lukanya menimbulkan perdarahan dan besar dapat dilakukan
penjahitan
- Perawatan jaringan keras pada gigi desidui yang terkena trauma :
1. Pada fraktur email gigi desidui cara perawatannya dengan menghaluskan
permukaan yang tajam dan diinstruksikan kepada orang tua untuk
mengontrolkan anaknya setiap 6 bulan
2. Perawatan fraktur gigi sampai dentin ialah dengan merestorasi gigi sistem
etsa dan resin komposit
3. Perawatan fraktur mahkota gigi dengan pulpa terbuka dapat dilakukan
dengan cara perawatan saluran akar vital dan restorasi menggunakan
komposit. Atau menggunakan teknik pulpotomi dengan tujuan untuk
mempertahankan kevitalan pulpa apalagi pada skenario ada gigi masih
dalam proses maturasi. Teknik pulpotomi cocok karena tidak akan
mengganggu pertumbuhan akar.
4. Perawatan fraktur akar pada gigi desidui yang terjadi, dan kalau ada
tindakannya adalah pencabutan.
- Perawatan jaringan keras pada gigi permanen yang terkena
trauma didaerah jaringan periodontal :
1. Perawatan untuk gigi yang terkena trauma konkusi tidak begitu
diperlukan karena trauma konkusi tidak menimbulkan perubahan
letak. Sehingga pasien cukup disarankan untuk meng”istirahatkan”
giginya atau menghindarkan mengigit dengan gigi itu sampai
sensitivitasnya hilang
2. Perawatan untuk gigi yang terkena trauma subluksasi adalah tidak
begitu juga diperlukan perawatan karena trauma ini tidak
menimbulkan perubahan letak. Namun bila trauma Sublukasi sampai
mengakibatkan kegoyangan gigi sebaiknya dilakukan splinting.
3. Perawatan untuk trauma ekstruksi luksasi adalah dengan penggunaan
splinting selama + 2-3 minggu juga dilakukan tes pada pulpanya bila
terjadi pulpitis irreversible atau nekrosis pulpa segera dilakukan
perawatan saluran akar
4. Perawatan untuk trauma lateral luksasi yang ditambah dengan fraktur
tulang adalah dengan penggunaan splinting selama + 8 minggu juga
dilakukan tes pada pulpanya bila terjadi pulpitis irreversible atau
nekrosis pulpa segera dilakukan perawatan saluran akar
5. Perawatan untuk trauma instrusi adalah :
trauma instrusi ringan bisa dilakukan perawatan ortodonsia,
namun
Apabila terjadi Instrusi yang ekstrem (sampai gigi benar-benar
masuk kedalam tulang alveolar) tindakan yang dilakukan
adalah pembedahan
6. Perawatan untuk trauma avulsi adalah:
Cara-cara replantasi gigi avulsi yang dilakukan di tempat
terjadinya trauma:
(1). Tekan gigi yang mengalami avulsi dalam posisi yang benar
pada soketnya
sesegera mungkin.
(2). Cara lain adalah menempatkan gigi diantara bibir bawah
dan gigi atau bila
tidak memungkinkan letakkan gigi pada segelas air susu.
(3). Periksakan ke dokter gigi sesegera mungkin.
Cara-cara replantasi gigi di ruang praktek:
Biasanya dilakukan splinting dan perawatan saluran akar.
Prinsip Umum Perawatan
1. Luka memar tidak harus dirawat, namun mungkin menandakan adanya patah
tulang tertutup.
2. Luka abrasi dan laserasi harus dibersihkan sebaik-baiknya dan seluruh benda
asing dibuang.
3. Luka avulsi yang besar harus dirawat oleh spesialis.
Laserasi Gingiva
1. Basuh luka dan sekitarnya dengan detergent untuk luka.
2. Reposisi dari gingiva.
3. Menjahit dengan jumlah jahitan yang sedikit. (4.0 atau 5.0 Vircryl®, Dexon®,
atau PDS®)
4. Menginstruksikan untuk menjaga kebersihan mulut yang baik, termasuk
kumur-kumur dengan chlorhexidine 0.1%
5. Melepaskan jahitan setelah 4-5 hari
Laserasi Bibir
Menentukan apakah luka tersebut adalah luka penetrasi atau laserasi dengan batas
merah (split-lip wound)
Luka penetrasi pada bibir
1. Memberi antibiotik jika diperlukan
2. Mengambil radiografi pada bibir dengan mengurangi waktu eksposure.
3. Menggunakan anastesi lokal.
4. Membasuh luka dan sekitarnya dengan sabun pencuci luka.
5. Membuang benda asing dan otot serta kelenjar ludah yang memar.
6. Menjahit mukosa labial (4.0 atau 5.0 Vircryl®, Dexon®, atau PDS®)
7. Membasuh luka lagi dengan saline.
8. Menjahit luka kutaneus dengan jahitan yang baik (6.0 nylon atau Prolene®).
Fokuskan pada batas merah bibir
9. Melepas jahitan setelah 4 sampai 5 hari.
6. Urutan erupsi gigi desidui dan gigi permanen
7. - Gigi goyang
Terbukanya kontak yang tipis menyebabkan impaksi makanan. Hal ini dapat dicek
melalui obeservasi klinis dan dengan dental floss. Kegoyahan gigi Kegoyahan
gigi terjadi dalam dua tahapan:
i. Inisial atau tahap intrasoket, yakni pergerakan gigi yang masih dalambatas
ligamen periodontal. Hal ini berbungan dengan distorsi viskoelastisitas
ligamen periodontal dan redistribusi cairan peridontal, isi interbundle,
dan fiber. Pergerakan inisial ini terjadi dengan tekanan sekitar 100 pon
dan pergerakan yang terjadi sebesar 0.05 sampai 0.1 mm (50 hingga
100 mikro)
ii. ii. Tahapan kedua, terjadi secara bertahap dan memerlukan deformasi
elastik tulang alveolar sebagai respon terhadap meningkatnya tekanan
horizontal. Ketika mahkota diberi tekanan sebesar 500 pon maka
pemindahan yang terjadi sebesar 100-200 mikro untuk incisivus, 50-90
mikro untuk caninus,8-10 mikro untuk premolar dan 40-80 mikro
untuk molar.
Kegoyahan gigi dapat diperiksa secara klinis dengan cara: gigi dipegang dengan
kuat diantara dua instrumen atau dengan satu instrumen dan satu jari, dan
diberikan sebuah usaha untuk menggerakkannya ke segala arah (Carranza, 1990).
Pada gambar dibawah ini, peningkatan kegoyangan gigi ditentukan dengan
memberikan gaya 500 g pada permukaan labiolingual dengan menggunakan dua
instrumen dental (Rateitschak dkk, 1985).
Menurut Fedi dkk (2004), kegoyahan gigi dibedakan menjadi :
i. Derajat 1 – kegoyangan gigi yang sedikit lebih besar dari normal
ii. Derajat 2 – kegoyangan gigi sekitar 1 mm
iii. Derajat 3 – kegoyangan gigi lebih dari 1 mm pada segala arah atau gigi
dapat ditekan ke arah apikal.