trauma saluran kemi h

46
TINJAUAN PUSTAKA 1. Anatomi Saluran Kemih 1.1 Saluran kemih bagian atas A. Ginjal Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih yang terletak di rongga retroperitoneal bagian atas. Ukuran rerata ginjal orang dewasa adalah 11,5 cm (panjang) x 6 cm (lebar) x 3,5 cm (tebal). Beratnya bervariasi antara 120-170 gram atau kurang lebih 0.4% dari berat badan. Di sebelahal posterior ginjal dilindungi oleh berbagai otot punggung yang tebal serta vertebra torakalis XI dan XII. Di sebelah anterior ginjal dilindungi oleh organ intraperitoneal. Ginjal kanan dikelilingi oleh hepar, kolon, dan duodenum; sedangkan ginjal kiri dikelilingi oleh lien, pancreas, lambung, jejunum, dan kolon. Letak ginjal kiri lebih tinggi daripada ginjal kanan sekitar setengah vertebra. 1

Upload: pearlandgerms

Post on 22-Nov-2015

40 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

trauma sal kemih

TRANSCRIPT

TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi Saluran Kemih

1.1 Saluran kemih bagian atas

A. GinjalGinjal adalah sepasang organ saluran kemih yang terletak di rongga retroperitoneal bagian atas. Ukuran rerata ginjal orang dewasa adalah 11,5 cm (panjang) x 6 cm (lebar) x 3,5 cm (tebal). Beratnya bervariasi antara 120-170 gram atau kurang lebih 0.4% dari berat badan. Di sebelahal posterior ginjal dilindungi oleh berbagai otot punggung yang tebal serta vertebra torakalis XI dan XII. Di sebelah anterior ginjal dilindungi oleh organ intraperitoneal. Ginjal kanan dikelilingi oleh hepar, kolon, dan duodenum; sedangkan ginjal kiri dikelilingi oleh lien, pancreas, lambung, jejunum, dan kolon. Letak ginjal kiri lebih tinggi daripada ginjal kanan sekitar setengah vertebra.

1

Secara anatomis ginjal terbagi menjadi dua bagian, yaitu korteks dan medula ginjal. Nefron merupakan unit fungsional terkecil dari ginjal, terdiri atas glomerulus, tubulus kontortus proksimalis, loop of Henle, tubulus kontortus distalis, dan duktus kolegentes.

Nefron terdiri dari:- Glomerulus. Glomerulus merupakan suatu jaringan kapiler berbentuk bola yang berasal dari arteriol afferent yang kemudian bersatu menuju arteriol efferent, Berfungsi sebagai tempat filtrasi sebagian air dan zat yang terlarut dari darah yang melewatinya. - Kapsul Bowman. Berbentuk seperti mangkuk. Lapisan parietalnya terdiri dari epitel gepeng dengan nucleus-nukleus yang mencolok yang menonjol ke dalam ruang kapiler. Epitel dalam atau epitel Visceral dibentuk oleh sel-sel bercabang yang disebut podosit. Tiap sel terdiri dari sekumpulan bahan di pusat yang mengandung sebuah nucleus dan beberapa tonjolan atau cabang-cabang yang memancar, yang pada gilirannya menumbuhkan tonjolan-tonjolan lebih kecil yang dikenal sebagai pedikel. Kapsul Bowman ini melingkupi glomerulus untuk mengumpulkan cairan yang difiltrasi oleh kapiler glomerulus.

- Tubulus Proksimal.Terdiri dari suatu bagian yang terpilin dalam labirin kortikal dan suatu anggota naik yang lurus dalam pancaran meduler dan piramida. Tubulus proksimal ini tersusun dari suatu tubula dengan epitel torak rendah yang mempunyai suatu batas sikat pada permukaan bebasnya dan alur-alur dasar dalam posisi subnuklear.Suatu sifat mencolok dari sel-sel tubula proksimal adalah bagian dasarnya terbagi dalam kompartemen-kompartemen oleh lipatan-lipatan yang menonjol. Kompartemen-kompartemen ini mengandung sejumlah besar mitokondrium yang memanjang dari poliribosom. Sel-sel tubula proksimal terikat menjadi satu oleh kompleks sambungan. Tubulus proksimal ini berfungsi mengadakan reabsorbsi bahan-bahan dari cairan tubuh dan mensekresikan bahan-bahan ke dalam cairan tubuli.

- Lengkung HenleLengkung Henle membentuk lengkungan tajam berbentuk U. Terdiri dari pars descendens yaitu bagian yang naik kembali ke korteks. Bagian bawah dari lengkung henle mempunyai dinding yang sangat tipis sehinga disebut segmen tipis, sedangkan bagian atas yang lebih tebal disebut segmen tebal.Lengkung Henle berfungsi reabsorbsi bahan-bahan dari cairan tubulus dan sekresi bahan-bahan ke dalam cairan tubulus. Selain itu, berperan penting dalam mekanisme konsentrasi dan dilusi urin.

- Tubulus DistalTubula berpilin dengan permukaan bebas yang polos. Sel-sel ini kurang eosinofil (atau lebih basofil) dari pada yang terdapat dalam tubula proksimal. Pembuluh ini berperan dalam pengaturan konsentrasi ion K+ dan NaCl dari cairan tubuh dengan cara sejumlah ion K+ disekresi ke dalam filtrate dan sejumlah NaCl direabsorbsi dari filtrat. Pembuluh distal juga berperan menjaga pH cairan tubuh dengan cara mensekresikan H dan mereabsorbsi ion bikarbonat (HCO3-).

- Tubulus PengumpulSel-sel tubula pengumpul mempunyai batas-batas yang jelas, nucleus berbentuk bola kira-kira pada tingkat sama didalam sel, dan sitoplasma yang relative granuler. Pembuluh ini bersifat permeable terhadap air tetapi tidak untuk garam.Darah yang membawa sisa metabolism tubuh difiltrasi di dalam glomerulus dan kemudian setelah sampai di tubulus ginjal, beberapa zat yang masih dibutuhkan tubuh mengalami reabsobsi dan zat sisa metabolism yang tidak diperlukan oleh tubuh mengalami sekresi berbentuk urin. Urin yang terbentuk dalam nefron disalurkan melalui piramida ke sistim pelvikalises ginjal untuk kemudian disalurkan kedalam ureter.Sistim pelvikalises ginjal terdiri atas kaliks minor, infrndibulum, kaliks mayor, dan pelvis renalis.

Suplai darah ke ginjal diperankan oleh arteri dan vena renalis. Arteri renalis cabang dari aorta abdominalis dan vena renalis bermuara langsung ke vena cava inferior. Arteri dan vena keluar masuk melalui area yang disebut hilus. Ginjal mendapatkan darah dari aorta abdominalis yang mempunyai percabangan arteria renalis, arteri ini berpasangan kiri dan kanan. Arteri renalis bercabang menjadi arteria interlobularis kemudian menjadi arteri akuarta. Arteri interlobularis yang berada di tepi ginjal bercabang menjadi arteriolae aferen glomerulus yang masuk ke gromerulus. Kapiler darah yang meninggalkan gromerulus disebut arteriolae eferen gromerulus yang kemudian menjadi vena renalis masuk ke vena cava inferiorGinjal memiliki peranan yang sangat penting, yaitu menyaring sisa hasil metabolism dan toksin dari darah, sera mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit tubuh, yang kemudian dibuang melalui urin. Fungsi tersebut diantaranya dengan mengontrol sekresi aldosterone dan ADH yang berperan dalam mengatur jumlah cairan tubuh, mengatur metabolism ion kalsium dan vitamin D, menghasilkan beberapa hormone antara lain eritropoetin berperan dalam pembentukkan sel darah merah, renin yang berperan dalam mengatur tekanan darah.

B. UreterUreter adalah organ berbentuk tabung kecil yang berfungsi mengalirkan urin dari pelvis ginjal menuju buli-buli. Pada orang dewasa panjangnya lebih kurang 25-30cm dengan diameter 3-4mm. Dindingnya terdiri atas mukosa yang dilapisi oleh epitel transisional, otot polos sirkuler, dan otot polos longitudinal. Kontraksi dan relaksasi kedua otot polos itulah yang memungkinkan terjadinya gerak peristaltik ureter guna mengalirkan urin ke dalam buli-buli. Secara anatomis terdapat tiga tempat yang ukuran diameternya relative lebih sempit daripada di tempat lain. Tempat penyempitan itu antara lain pada perbatasan antara pelvis renalis dan ureter (pelvi-ureter junction), tempat pada saat ureter menyilang arteri iliaka di rongga pelvis, dan pada saat ureter masuk ke buli-buli.Ureter dibagi menjadi dua bagian, yaitu pars abdominalis, yang membentang mulai dari pelvis renalis sampai menyilang vasa iliaka, dan ureter pas pelvika, yang membentang dari persilangannya dengan vasa iliaka sampai muaranya di dalam buli-buli.Vaskularisasi ureter dibagi dua, ureter atas mendapat persarafan dari arteri renalis, sedangkan ureter bawah dari arteri vesicalis inferior. Ureter diperdarahi oleh cabang dari a.renalis, aorta abdominalis, a.iliaca communis, a.testicularis/ovarica serta a.vesicalis inferior. Persarafan ureter melalui segmen T10-L1 atau L2 melalui pleksus renalis, pleksus aorticus, serta pleksus hipogastricus superior dan inferior.

1.2. Saluran kemih bagian bawahA. Buli-buliBuli-buli merupakan organ berongga yang terdiri atas 3 lapis otot detrusor yang saling beranyaman. Di sebelah dalam adalah otot longitudinal, di tengah merupakan otot sirkuler, dan yang paling luar adalah longitudinal. Mukosa vesika terdiri dari sel-sel transisional yang sama seperti pada mukosa pelvis renalis, ureter dan uretra posterior. Pada dasar buli-buli kedua muara ureter dan meatus uretra internum membentuk suatu segitiga yang disebut trigonum buli-buli. Secara anatomis buli-buli terdiri dari tiga permukaan, yaitu (1) permukaan superior yang berbatasan dengan rongga peritoneum (2) permukaan inferoinferior dan (3) permukaan posterior. Permukaa superior merupakan lokus minoris (daerah terlemah) dinding buli-buli.Buli-buli berfungsi menampung urin dari ureter dan kemudian mengeluarkannya melalui uretra dalam mekanisme berkemih. Dalam menampung urin, buli-buli mempunyai kapasitas yang maksimal, yang volumenya untuk orang dewasa kurang lebih adalah 300-450 ml.Pada saat kosong, buli-buli terdapat di belakang simpisis pubis dan pada saat penuh berada pada atas simpisis pubis sehingga dapat dipalpasi atau di perkusi. Buli- buli yang terasa penuh memberikan rangsangan pada saraf afferen dan menyebabkan aktivasi miksi di medulla spinalis segmen sacral S2-4. Hal ini akan menyebabkan kontraksi otot detrusor, terbukanya leher buli-buli dan relaksasi spingter uretra sehingga terjadilah proses miksi.Buli-buli mendapatkan vaskularisasi dari arteri vesicalis superior dan arteri vesicalis inferior cabang dari arteri iliaca interna. Namun pada perempuan, a.vesicalis inferior digantikan oleh a.vaginalis. Sedangkan pembuluh darah baliknya melalui vena vesicalis menyatu disekeliling buli-buli membentuk plexus dan akan bermuara ke v.iliaca interna. Sedangkan persarafan pada vesica urinaria terdiri atas persarafan simpatis dan parasimpatis. Persarafan simpatis melalui n.splanchnicus minor, n.splanchnicus imus, dan n.splanchnicus lumbalis L1-L2. Adapun persarafan parasimpatis melalui n.splanchnicus pelvicus S2-S4, yang berperan sebagai sensorik dan motorik

B. Uretra

Uretra merupakan tabung yang menyalurkan urine keluar dari buli-buli melalui proses miksi. Secara anatomis uretra dibagi menjadi 2 bagian yaitu uretra posterior dan uretra anterior. Pada pria, organ ini berfungsi juga dalam menyalurkan cairan mani. Uretra diperlengkapi dengan sfingter uretra interna yang terletak pada perbatasan buli-buli dan uretra, sfingter uretra eksterna yang terletak pada perbatasan anterior dan posterior. Sfingter uretra interna terdiri atas otot polos yang dipersarafi oleh sistem simpatik sehingga pada saat buli-buli penuh, sfingter ini terbuka. Sfingter uretra eksterna terdiri dari atas otot bergaris dipersarafi oleh sistem somatik yang dapat diperintah sesuai dengan keinginan seseorang. Pada saat miksi sfingter ini terbuka dan tertutup pada saat menahan kencing.Panjang uretra wanita kurang lebih 3-55 cm, sedangkan uretra pria dewasa kurang lebih 23-25 cm. Perbedaan panjang inilah yang menyebabkan keluhan hambatan pengeluran urine lebih sering terjadi pada pria.Uretra posterior pada pria terdiri atas uretra pars prostatika yaitu bagian uretra yang dilingkupi oleh kelenjar prostat, dan uretra pars membranasea. Di bagian posterior lumen uretra prostatika, terdapat suatu tonjolan verumontanum, dan di sebelah proksimal dan distal dari verumomntanum ini terdapat krista uretralis. Bagian akhir dari vas deferens yaitu kedua duktus ejakulatorius terdapat di pinggir kiri dan kanan verumontanum, sedangkan sekresi kelenjar prostat bermuara di dalam duktus prostatikus yang tersebar di uretra prostatika.Uretra anterior adalah bagian uretra yang dibungkus oleh korpus spongiosum penis. Uretra anterior terdiri atas: 1. Pars bulbosa, 2. Pars pendularis, 3. Fossa navikulare, dan 4. Meatus uretra eksterna. Didalam lumen uretra anterior terdapat beberapa muara kelenjar yang berfungsi dalam proses reproduksi, yaitu kelenjar Cowperi berada didalam diafragma urogenitalis bermuara diuretra pars bulbosa, serta kelenjar Littre yaitu kelenjar para uretralis yang bermuara di uretra pars pendularis.

2. Trauma Saluran Kemih Bagian AtasCedera yang mengenai organ urogenital bisa merupakan cedera dari luar berupa trauma tumpul maupun trauma tajam, dan cedera iatrogenik akibat tindakan dokter pada saat operasi atau petugas medik yang lain.

2.1 Trauma Ginjal DefinisiTrauma ginjal adalah cedera pada ginjal baik langsung (akibat benturan yang mengenai daerah pinggang) atau tidak langsung (cedera deselerasi akibat pergerakan ginjal secara tiba-tiba dalam rongga retroperitoneum) yang disebabkan oleh berbagai macam trauma baik tumpul maupun tajam.

EpidemiologiGinjal terletak di rongga retroperitonium dan terlindung oleh otot-otot punggung di sebelah posterior dan oleh organ-organ intraperitoneal di sebelah anteriornya. Karena itu cedera ginjal tidak jarang diikuti oleh cedera organ-organ yang mengitarinya. trauma ginjal merupakan trauma terbanyak pada sistem urogenital, lebih kurang 10% dari trauma pada abdomen mencederai ginjal. Cedera ginjal dapat terjadi secara (1) langsung akibat benturan yang mengenai daerah pinggang atau (2) tidak langsung yaitu merupakan cedera deselerasi akibat pergerakan ginjal secara tiba-tiba di dalam rongga retroperitonium. Goncangan ginjal di dalam rongga retroperitonium menyebabkan regangan pedikel ginjal sehingga menimbulkan robekan tunika intima arteri renalis. Robekan ini akan memacu terbentuknya bekuan-bekuan darah yang selanjutnya dapat menimbulkan trombosis arteri renalis beserta cabang-cabangnya. Cedera ginjal dipermudah jika sebelumnya sudah ada kelainan pada ginjal, antara lain hidronefrosis, kista ginjal, atau tumor ginjal.

EtiologiAda 3 penyebab utama dari trauma ginjal , yaitu1. Trauma tajam2. Trauma iatrogenik3. Trauma tumpulTrauma tajam seperti tembakan dan tikaman pada abdomen bagian atas atau pinggang merupakan 10 20 % penyebab trauma pada ginjal di Indonesia.Trauma iatrogenik pada ginjal dapat disebabkan oleh tindakan operasi atau radiologi intervensi, dimana di dalamnya termasuk retrograde pyelography, percutaneous nephrostomy, dan percutaneous lithotripsy. Biopsi ginjal juga dapat menyebabkan trauma ginjal.Trauma tumpul merupakan penyebab utama dari trauma ginjal. Dengan lajunya pembangunan, penambahan ruas jalan dan jumlah kendaraan, kejadian trauma akibat kecelakaan lalu lintas juga semakin meningkat. Trauma tumpul ginjal dapat bersifat langsung maupun tidak langsung. Trauma langsung biasanya disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, olah raga, kerja atau perkelahian. Trauma ginjal biasanya menyertai trauma berat yang juga mengenai organ organ lain. Trauma tidak langsung misalnya jatuh dari ketinggian yang menyebabkan pergerakan ginjal secara tiba tiba di dalam rongga peritoneum. Kejadian ini dapat menyebabkan avulsi pedikel ginjal atau robekan tunika intima arteri renalis yang menimbulkan trombosis.

KlasifikasiMenurut derajat berat ringannya kerusakan pada ginjal, trauma ginjal dibedakan menjadi (1) cedera minor, (2) cedera mayor, (3) cedera pada pedikel atau pembuluh darah ginjal. Sebagian besar (85%) trauma ginjal merupakan cedera minor (derajat I dan II), 15% termasuk cedera mayor (derajat III dan IV), dan 1% termasuk cedera pedikel ginjal.

Secara patologis trauma pada ginjal dapat dibagi atas:a. Kontusio, perdarahan di parenkim ginjal tanpa adanya kerusakan kapsul, kematian jaringan, maupun kerusakan kaliks. b. Laserasi, terjadi karena adanya robekan parenkim, mulai dari kapsul ginjal berlanjut sampai pelviokaliks. Laserasi yang mengenai pelvis biasanya disertai hematuria. c. Cedera pedikel, ginjal dapat berupa cedera pada arteri maupun vena utama ginjal ataupun cabang segmentalnya

American Association for Surgery of Trauma membagi trauma ginjal menjadi lima derajat/ grade4:Grade I, Kontusio ginjal: terdapat perdarahan di ginjal tanpa adanya kerusakan jaringan, kematian jaringan, maupun kerusakan kaliks. Hematuria dapat mikroskopik dan makroskopik. Pencitraan normal.Grade II, hematom subkapsular atau perineal yang tidak meluas, tanpa adanya kelainan parenkim. Grade III, Laserasi ginjal tidak melebihi 1 cm dan tidak mengenai pelviokaliks dan tidak terjadi ekstravasasi.Grade IV, laserasi lebih dari 1 cm dan tidak mengenai pelviokaliks atau ekstravasasi urin. Laserasi yang mengenai korteks, medula, dan pelviokaliks.Grade V, cedera pembuluh darah utama, avulsi pembuluh darah yang mengakibatkan gangguan perdarahan ginjal, laserasi luas pada beberapa tempat/ginjal yang terbelah.

Manifestasi KlinisGambaran klinis yang ditunjukkan oleh pasien trauma ginjal sangat bervariasi tergantung pada derajat trauma dan ada atau tidaknya trauma pada organ lain yang menyertainya. Pada trauma derajat ringan hanya didapatkan nyeri di daerah pinggang, terlihat jejas berupa ekimosis, dan terdapat hematuria makroskopik ataupun mikroskopik (>5 red blood cells/high-power field [RBCs/HPF] atau uji dipstick positif).Pada trauma mayor atau rupture pedikel seringkali pasien datang dalam keadaan syok berat dan terdapat hematoma di daerah pinggang yang makin lama makin membesar.Kecurigaan terhadap adanya cedera ginjal jika terdapat: Trauma di daerah pinggang, punggung, dada sebelah bawah, dan perut bagian atas dengan disertai nyeri atau didapatkan adanya jejas pada daerah itu. Hematuria. Fraktur costa sebelah bawah (T8-T12) atau fraktur prosesus spinosus vertebra. Trauma tembus pada daerah abdomen atau pinggang. Cedera deselerasi yang berat akibat jatuh dari ketinggian atau kecelakaan lalu lintas.Perlu ditanyakan mekanisme cedera untuk memperkirakan luas kerusakan yang terjadi.Pada trauma derajat ringan mungkin hanya didapatkan nyeri di daerah pinggang, terlihat jejas berupa ekimosis, dan terdapat hematuria makroskopik ataupun mikroskopik. Pada trauma mayor atau ruptur pedikel seringkali pasien dating dalam keadaan syok berat dan terdapat hematom di daerah pinggang yang makin lama makin membesar. Dalam keadaan ini mungkin pasien tidak sempat menjalani pemeriksaan PIV karena usaha untuk memperbaiki hemodinamik seringkali tidak membuahkan hasil akibat perdarahan yang keluar dari ginjal cukup deras. Untuk itu perlu segera dilakukan eksplorasi laparotomi untuk menghentikan perdarahan.

Diagnosis AnamnesisKecurigaan terhadap adanya cedera ginjal jika terdapat: Trauma di daerah pinggang, punggung, dada sebelah bawah, dan perut bagian atas dengan disertai nyeri atau didapatkan adanya jejas pada daerah itu. Hematuria. Fraktur costa sebelah bawah (T8-T12) atau fraktur prosesus spinosus vertebra. Trauma tembus pada daerah abdomen atau pinggang. Cedera deselerasi yang berat akibat jatuh dari ketinggian atau kecelakaan lalu lintas. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan Laboratorium Urinalisis, hematokrit, dan kreatinin baseline merupakan test paling penting dalam mengevaluasi trauma ginjal. Hematuria, baik mikroskopik atau gross seringkali ditemui dalam cedera ginjal (meski belum tentu berkorelasi dengan derajat cedera). Hematuria yang tidak sesuai proporsi dengan riwayat trauma dapat disebabkan oleh adanya patologi ginjal yang sebelumnya telah ada. Pemeriksaan hematokrit serial ditambah tanda vital digunakan untuk evaluasi kontinu pasien dengan trauma. Penurunan hematokrit dan kebutuhan transfusi darah merupakan tanda tidak langsung dari perdarahan. Meskipun demikian, hingga evaluasi selesai, tidak jelas apakah penurunan hematokrit akibat trauma ginjal dan/atau cedera yang menyertainya. Pemeriksaan kreatinin serum dalam 1 jam pasca trama mencerminkan fungsi ginjal sebelum terjadinya cedera. Jika terdapat peningkatan, hal ini biasanya mencerminkan adanya kelainan patologi ginjal sebelumnya. Pemeriksaan RadiologiIndikasi dilakukannya pemeriksaan radiologi:a. Semua pasien trauma akibat penetrasi dengan kemungkinan cedera ginjal dengan hemodinamik stabilb. Trauma tumpul, terutama cedera deselerasi seperti yang terjadi dalam kecelakaan kendaraan bermotor atau jatuh dari ketinggianc. Semua trauma tumpul dengan hematuria makroskopisd. Semua trauma tumpul dengan hipotensi (sistolik Delayed CT 5 menitd. Hematoma retroperitoneale. Jaringan ginjal non vitalf. Trauma penyertaKekurangan -> trombosis arteri renalis

Indikasi pemeriksaan CT Scan adalah : Semua trauma tumpul dgn gross hematuria Pasien dgn mikroskopik hematuria dengan syok Semua trauma tembus dgn hematuria

Arteriografi pilihan II bila IVP tdk informatif & CTScan tidak ada.

PenatalaksanaanPola penanganan pada umumnya sesuai dengan ATLS, yaitu:Primary Surveya. Airwayi. Penilaian secara cepat dan tepat akan adanya obstruksiii. Lakukan chin lift dan jaw thrust dengan control servikal in-line immobilisasi, bersihkan airway dari benda asing bila perlu suctioning iii. Lindungi cervikal, sampai terbukti tidak ada cedera cervical. Anggaplah bahwa terdapat kemungkinan fraktur servikal pada setiap penderita multi trauma, terlebih bila ada gangguan kesadaran atau perlukaan diatas klavikula.b. Breathing dan ventilasi-oksigenasii. Buka leher dan dada penderita, dengan tetap memperhatikan kontrolservikal in-line immobilisasiii. Tentukan laju dan dalamnya pernapasaniii. Inspeksi dan palpasi leher dan thoraks untuk mengenali kemungkinanterdapat deviasi trakhea, ekspansi thoraks simetris atau tidak, pemakaian otot-otot tambahan dan tanda-tanda cedera lainnya.iv. Perkusi thoraks untuk menentukan redup atau hipersonor v. Auskultasi thoraks bilateralvi. Pemberian oksigen konsentrasi tinggi

c. Circulation i. Mengetahui sumber perdarahan eksternal yang fatal ii. Mengetahui sumber perdarahan internaliii. Periksa nadi : kecepatan, kualitas, keteraturan, pulsus paradoksus.Tidak diketemukannya pulsasi dari arteri besar merupakan pertandadiperlukannya resusitasi masif segera.iv. Periksa warna kulit, kenali tanda-tanda sianosis.v. Periksa tekanan darahvi. Pasang kateter IV sekaligus mengambil sampel darahvii. Pasang kateter urin sekaligus mengambil sampel urin

d. Disability and neurologic statusi. Tentukan tingkat kesadaran memakai skor GCS/PTSii. Nilai pupil : besarnya, isokor atau tidak, reflek cahaya dan awasi tanda-tanda lateralisasiiii. Evaluasi dan Re-evaluasi aiway ,oksigenasi, ventilasi dan circulation

Secondary surveyPemeriksaan pada seluruh organ secara sistematisa. AnamnesisA: AlergiM: mekanisme dan sebab traumaM: medikasi (obat yang sedang diminum saat ini)P : Past illnessL : Last meal E : Event/Environtment yang berhubungan dengan kejadian perlukaan

b. Pemeriksaan fisikInspeksi, palpasi, auskultasiPenemuan klinis : Nyeri tekan abdomen, iritasi peritoneal, cedera organ visceral, cedera retroperitoneal.Lakukan CT scan abdomen

Pada setiap trauma tajam yang diduga mengenai ginjal harus dipikirkan untuk melakukan tindakan eksplorasi, tetapi pada trauma tumpul, sebagian besar tidak memerlukan operasi. Terapi pada trauma ginjal adalah:KonservatifTindakan konservatif ditujukan pada trauma minor. Dilakukan observasi tanda-tanda vital, kemungkinan adanya penambahan massa di pinggang, adanya pembesaran lingkaran perut, penurunan kadar haemoglobin darah, dan perubahan warna urine.Jika selama tindakan konservatif terdapat tanda-tanda perdarahan atau kebocoran urine yang menimbulkan infeksi, harus segera dilakukan tindakan operasi.OperasiOperasi ditujukan pada trauma ginjal mayor dengan tujuan untuk segera menghentikan perdarahan. Indikasi eksplorasi ginjal, yaitu syok yang tidak teratasi dan syok berulang. Selanjutnya perlu dilakukan debridement, reparasi ginjal atau tidak jarang harus dilakukan nefrektomi parsial bahkan nefrektomi total karena kerusakan ginjal yang sangat berat.Indikasi Eksplorasi : Syok yang tidak teratasi atau syok berulang Pada laparotomi ditemukan hematoma yang meluasatau berdenyut. Pada IVP :Ekstravasasi kontrasBagian ginjal yg tidak tervisualisasi (non visualized) Pada arteriografi :Bagian ginjal avaskuler Oklusi total arteri renalis

KomplikasiJika tidak mendapatkan perawatan yang cepat dan tepat, trauma mayor dan trauma pedikel sering menimbulkan perdarahan yang hebat dan berakhir dengan kematian. Selain itu kebocoran system kaliks dapat menimbulkan ekstravasasi urine hingga menimbulkan urinoma, abses perirenal, urosepsis, dan kadang menimbulkan fistula renokutan. Dikemudian hari pasca cedera ginjal dapat menimbulkan penyulit berupa hipertensi, hidronefrosis, urolitiasis, atau pielonefritis kronis.Komplikasi Awal Hemoragik atau perdarahan mungkin adalah komplikasi awal paling penting. Perdarahan retroperitoenal berat merupakan akibat dari eksanguinasi. Pasien harus diobservasi dengan monitor tekanan darah dan hematokrit secara hati-hati. Tahap pendekatan harus dilakukan secara baik dan tepat. Perdarahan retroperitoneal yang menetap atau hematuri berat mungkin memerlukan tindak operasi segera.Ekstravasasi urinari dari fraktur atau trauma ginjal dapat menyebabkan terbentuknya suatu massa (urinoma) di retroperitoneum. Hal ini mengakibatkan rentan sehingga terjadi pembentukkan abses dan sepsis. Perdarahan retoperitoneal menyebabkan sedikit demam (38,3 C), namun temperatur yang lebih tinggi menandakan infeksi. Abses perinefron dapat terbentuk sehingga mengakibatkan pembengkakan di bagian perut dan sakit pada punggung. Komplikasi KemudianHipertensi, hidronefrosis, fistel arteriovena, dan pielonefritis merupakan komplikasi yang dapat muncul kemudian. Monitor tekanan darah secara hati-hati selama beberapa bulan diperlukan untuk menilai adanya hipertensi. Dalam 3-6 bulan, follow up urogram ekskretori atau CT scan sebaiknya dilakukan untuk memastikan bahwa jaringan parut perinefrik tidak menyebabkan hidronefrosis atau penyatuan vaskular dan terdeteksi dengan follow up urografi. Banyak perdarahan berat yang terjadi 1-4 minggu setelah kejadian.

PrognosisDengan follow up yang teratur banyak trauma ginjal mempunyai prognosis yang baik, dengan penyembuhan dan pengembalian fungsi seperti semula. Follow up ekskretori urografi dan monitor tekanan darah merupakan pendekatan yang tepat dari hidronefrosis yang dapat muncul di waktu kemudian serta hipertensi.

2.2 Trauma UreterCedera ureter agak jarang ditemukan karena ureter merupakan struktur fleksibel yang mudah bergerak di daerah retroperitoneal dengan ukuran kecil serta terlindung dengan baik oleh tulang dan otot. Trauma ureter disebabkan oleh trauma tajam atau tumpul dari luar maupun iatrogenik, terutama pada pembedahan rektum, uterus, pembuluh darah panggul, atau tindakan endoskopik.Trauma tajam ureter disebabkan luka tembak atau tusuk. Cedera ureter umumnya tidak berdiri sendiri, sering disertai cedera organ lain, seperti duodenum, kolon, pembuluh darah besar, atau organ intraabdomen lainnya.

Gambaran KlinisPada umumnya tanda dan gejala klinis tidak spesifik. Hematuria menunjukkan cedera pada saluran kemih.Bila terjadi ekstravasasi urin, dapat timbul urinoma pada pinggang atau abdomen, fistel ureterokutan melalui luka atau tanda rangsang peritoneum bila urin masuk ke rongga intraperitoneal. Pada trauma tumpul, gejalanya sering kurang jelas sehingga diagnosis sering tertunda. DiagnosisPada cedera ureter akibat trauma tajam biasanya ditemukan hematuria mikroskopik. Pada cedera ureter bilateral terdapat peningkatan kadar ureum dan kreatinin darah. Pemeriksaan kadar kreatinin dan ureum dari cairan fistel dapat memastikan apakah cairan tersebut urin atau bukan. Pemeriksaan pielografi intravena dapat menunjukkan ekstravasasi kontras serta lokasi cedera ureter. Apabila pielografi intravena tidak memberi keterangan yang jelas, pielografi retrograd dapat menunjukkan cedera serta letaknya.

Temuan LaboratoriumTrauma ureter akibat kekerasan eksternal bermanifestasi hematuria mikroskopik pada 90% kasus.

Temuan Pencitraan (Imaging)Cedera ureter didiagnosis dengan urografi ekskretori atau CT scan abdominal. Sebuah film polos abdomen dapat menjelaskan luas area yang mengalami peningkatan densitas daerah pelvis atau retroperitoneal dimana dicurigai terdapat trauma. Setelah injeksi kontras, ekskresi yang terlambat dicatat sebagai hidronefrosis. Ureterografi retrograd menjelaskan secara tepat bagian yang mengalami obstruksi dan ekstravasasi.Pada ultrasonografi dapat diuraikan mengenai hidroureter atau ekstravasasi urin yang berkembang menjadi urinoma dan mungkin cara terbaik untuk menilai cedera ureter pada periode pasca operasi dini.

TatalaksanaPada setiap trauma tajam harus dillakukan tindakan eksplorasi untuk menilai ada tidaknya cedera ureter serta cedera ikutan lain. Yang paling penting adalah melakukan penyaliran urin yang ekstravasasi dan menghilangkan obstruksi.Rekonstruksi ureter bergantung pada jenis, bentuk, luas, serta letak cedera. Prinsip rekonstruksi ureter adalah debridemen, spatulasi, isolasi anastomosis dari kontaminasi bila disertai cedera usus, pemakaian bidai anastomosis bila perlu dan penyaliran daerah retroperitoneum.Untuk cedera ureter bagian atas, dapat dilakukan uretero-ureterostomi, nefrostomi, uretero-kutaneostomi, autotransplantasi, dan nefrektomi bila rekonstruksi tidak memungkinkan. Pada cedera ureter bagian tengah dapat dilakukan uretero-ureterostomi, atau transuretero-ureterostomi.

Transuretero-ureterostomi

BoariFlap

Alternatif rekonstruksi ureter distal adalah uretero-ureterostomi, uretero-neosistostomi, misalnya melalui tabung yang dibuat dari dinding buli-buli yang disebut Boari flap atau nefrostomi. KomplikasiCedera uereter dapat berkomplikasi menjadi terbentuknya striktur sehingga terjadi hidronefrosis pada daerah cedera. Ekstravasasi urinari kronik dari cedera yang tidak diketahui sebelumnya bisa menyebabkan terbentuknya urinoma retroperitoneal. Pielonefritis dari hidronefrosis dan infeksi urinari mungkin memerlukan drainase proksimal secara cepat. Cedera IatrogenikBeberapa tindakan pembedahan terbuka, seperti bedah ginekologik, bedah rektum, bedah kelenjar limf, atau pembuluh darah di daerah retroperitoneum, tidak jarang menyebabkan cedera ureter. Tindakan endoskopi urologi seperti uretero-renoskopi dan litotripsi intra-ureteral juga dapat menyebabkan cedera ureter.Tipe cedera ureter akibat pembedahan terbuka berupa ruptur total akibat tergunting, perforasi akibat terusuk jarum, atau hancur terikat atau terklem. DiagnosisDiagnosis cedera iatrogenik dapat diketahui pada saat pembedahan atau tidak diketahui sampai timbul komplikasi. Pada tindakan endoskopi urologik, cedera ureter umumnya telah diketahui selama tindakan.Bila ureter terikat total atau parsial, penderita mengeluh demam, disertai nyeri pinggang atau perut, atau gejala ileus paralitik. Bila kedua ureter terikat, ditemukan anuria. Tanda rangsangan peritoneal dapat timbul bila terjadi ekstravasasi urin ke rongga intraperitoneal.Gejala lain berupa fistel uretero-vaginal atau uretero-kutan, yang biasanya terbentuk sepuluh hari pertama setelah cedera. Pengeluaran cairan melalui vagina atau fistel di kulit harus ditentukan apakah urin atau bukan.Pemeriksaan radiologik yang dapat membantu menentukan diagnosis cedera ureter pascabedah ialah pielografi intravena, pielografi retrograd, atau pielografi antegrad. Pemeriksaan ultrasonografi pada cedera ureter yang baru diketahui beberapa hari setelah pembedahan dapat memberi gambaran pelebaran sistem pelviokaliks.

TatalaksanaBila cedera sudah diketahui selama pembedahan, dilakukan rekonstruksi segera seperti pada trauma tajam. Bila cedera baru diketahui beberapa hari pascabedah dan tidak ditemukan komplikasi demam, infeksi, atau sepsis, dilakukan eksplorasi pelepasan jahitan atau rekonstruksi bila terputus. Bila terdapat komplikasi sehingga rekonstruksi segera tidak memungkinkan, dilakukan tindakan sementara berupa diversi (pengalihan) urin melalui nefrostomi. PrognosisPrognosis untuk cedera ureter adalah baik jika diagnosis ditegakkan secara tepat dari awal dan operasi korektif secara cepat dilakukan. Diagnosis yang terlambat akan memperburuk prognosis karena infeksi, hidronefrosis, abses, dan pembentukkan fistel.

3. Trauma Saluran Kemih Bagian Bawah

3.1 Trauma Vesika UrinariaPada waktu lahir hingga usia anak, buli-buli terletak di rongga abdomen. Namun semakin bertambahnya usia, tempatnya turun dan terlindung di dalam kavum pelvis; sehinggakemungkinan mendapatkan trauma dari luar jarang terjadi.

EtiologiKurang lebih 90% trauma tumpul buli-buli adalah akibat fraktur pelvis. Fiksasi buli- buli pada tulang pelvis oleh fasia endopelvik dan diafragma pelvis sangat kuat sehinggacedera deselerasi terutama jika titik fiksasi fasia bergerak pada arah berlawanan (seperti padafraktur pelvis), dapat merobek buli-buli. Robeknya buli-buli karena fraktur pelvis bisa pulaterjadi akibat fragmen tulang pelvis merobek dindingnya.Dalam keadaan penuh terisi urin, buli-buli mudah sekali robek jiak mendapatkantekanan dari luar berupa benturan pada perut sebelah bawah. Buli-buli akan robek padadaerah fundus dan menyebabkan ekstravasasi uri ke rongga intraperitoneum.Tindakan endourologi dapat menyebabkan trauma buli-buli iatrogenic antara lain pada reseksi buli-buli transurethral (TUR buli-buli) atau pada litotripsi. Demikian pula partuskasep atau tindakan operasi di daerah pelvis dapat menyebabkan trauma iatrogenic pada buli- buli.

KlasifikasiSecara klinis cedera buli-buli dibedakan menjadi:a. kontusio buli-bulib. cedera buli-buli ekstraperitoneal 45-60%c. cedera intraperitoneal 25-45%2-12% cederanya cedera buli-buli ekstraperitoneal+cedera intraperitoneal. Jika tidak mendapatkan perawatan dengan segera 10-20% cedera buli-buli akan berakibat kematian karena peritonitis atau sepsis.

Gambaran Klinis-nyeri suprapubik -ketegangan otot dinding perut bagian bawah -hematuria -ekstravasasi kontras pada sistogram

DiagnosisSetelah mengalami cedera pada abdomen sebelah bawah, pasien mengeluh nyerididaerah suprasimfisis, miksi bercampur darah atau mungkin pasien tidak dapat miksi. Gambaran klinis yang lain tergantung pada etiologi trauma, bagian buli-buli yang mengalami cedera yaitu intra/ekstraperitoneal, adanya organ lain yang mengalami cedera, serta penyulit yang terjadi akibat trauma. Dalam hal ini mungkin didapatkan tanda fraktur pelvis, syok, hematoma perivesika, atau tanpa tanda sepsis dari suatu peritonitis atau abses perivesika. Pemeriksaan pencitraan berupa sistografi yaitu dengan memasukkan kontras kedalam buli-buli sebanyak 300-400 ml secara gravitasi (tanpa tekanan) melalui kateter per-uretram.Kemudian dibuat beberapa foto, yaitu (1) foto pada saat buli-buli terisi kontras dalam posisianterior-posterior (AP), (2) pada posisi oblik, dan (3) wash out film yaitu foto setelah kontras dikeluarkan dari buli-buli. Pada ruptur ekstraperitoneal, gambaran ekstravasasi terlihat seperti nyala ap pada daerah perivesikal, sedangkan pada ruptur intraperitoneal terlihat kontras masuk ke rongga abdomen

TatalaksanaPada kontusio buli-buli, cukup dilakukan pemasangan kateter dengan tujuan untuk memberikan instirahat pada buli-buli. Dengan cara ini diharapkan buli-buli sembuh setelah 7-10 hari.Pada cedera intraperitoneal harus dilakukan eksplorasi laparatomi untuk mencarirobekan pada buli-buli serta kemungkinan cedera pada organ lain. Jika tidak dioperasiekstravasasi urin ke rongga intraperitoneum dapat menyebabkan peritonitis. Rongga intraperitoneum dicuci, robekan pada buli-buli dijahit 2 lapis, kemudian dipasang kateter sistostomi yang dilewatkan di luar sayatan laparatomi. Pada cedera ekstraperitoneal, robekan yang sederhana (ekstravasasi minimal)dianjurkan untuk memasang kateter selama 7-10 hari, tetapi sebagian ahli lain menganjurkanuntuk melakukan penjahitan buli-buli denagn pemasangan kateter sistostomi. Namun tanpatindakan pembedahan kejadian kegagalan penyembuhan luka 15%, dan kemungkinan untuk terjadinya infeksi pada rongga perivesika sebesar 12%. Oleh karena itu jika bersamaandengan rupture buli-buli terdapat cedera organ lain yang membutuhkan operasi, sebaiknyadilakukan penjahitan buli-buli dan pemasangan kateter sistostomi.Untuk memastikan bahwa buli-buli telah sembuh, sebelum melepas kateter uretra ataukateter sistostomi, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan sistografi guna melihatkemungkinan masih adanya ekstravasasi urin. Sistografi dibuat pada hari ke 10-14 pascatrauma. Jika masih ada ekstravasasi kateter sistostomi dipertahankan sampai 3 minggu.

KomplikasiPada cedera buli-buli ekstraperitoneal, ekstravasasi urine ke rongga pelvis yang dibiarkan dalam waktu lama dapat menyebabkan infeksi dan abses pelvis. Yang lebih berat lagi adalah robekan buli-buli intraperitoneal, jika tidak segera dilakukan operasi, dapat menimbulkan peritonitis akibat dari ekstravasasi urine pada rongga intraperitoneum. Kedua keadaan ini dapat menyebabkan sepsis yang dapat mengancam jiwa. Kadang-kadang dapat pula terjadi penyulit berupa keluhan miksi, yaitu frekuensi dan urgensi yang biasanya sembuh sebelum 2 bulan.

3.2 Trauma UretraSecara klinis trauma uretra dibedakan menjadi trauma uretra anterior dan trauma uretra posterior, hal ini karena keduanya menunjukkan perbedaan dalam hal etiologi trauma,tanda klinis, pengelolaan, serta prognosisnya. EtiologiTrauma uretra terjadi akibat cedera yang berasal dari luar (eksternal) dan cederaiatrogenic akibat instrumentasi pada uretra. Trauma tumpul tang menimbulkan fraktur tulang pelvis menyebabkan rupture uretra pars membranasea, sedangkan trauma tumpul padaselangkangan atau straddle injury dapat menyebabkan rupture uretra pars bulbosa. Pemasangan kateter pada uretra yang kurang hati-hati dapat menimbulkan robekan uretra karena false route atau salah jalan; demikian juga operasi trans-uretra dapat menimbulkan cedera uretra iatrogenic.Rupture uretra posterior paling sering disebabkan oleh fraktur tulang pelvis. Fraktur yang mengenai ramus atau simfisis pubis dan menimbulkan kerusakan pada cincin pelvis,menyebabkan robekan uretra pars prostate-membranasea. Ruptur uretra posterior hampir selalu disertai fraktur tulang pelvis. Akibat fraktur tulang pelvis, terjadi robekan pars membranasea karena prostat bersama uretra prostatika tertarik ke kranial bersama fragmen fraktur, sedangkan uretra membranasea terikat di diafragma urogenital. Ruptur uretra posterior dapat terjadi total atau puboprostatikum robek sehingga buli-buli dan prostat terlepas ke kranial.Cedera uretra bulbosa terjadi akibat jatuh terduduk atau terkangkang sehingga uretra terjepit antara objek yang keras, seperti batu, kayu, atau palang sepeda, dengan tulang simfisis. Cedera uretra anterior, selain oleh cedera kangkang, juga dapat disebabkan oleh instrumentasi urologik, seperti pemasangan kateter, businasi, dan bedah endoskopi.

Manifestasi KlinisKecurigaan adanya trauma uretra adalah jika didapatkan perdarahan per-uretram yaituterdapat darah yang keluar dari meatus uretra eksternum setelah mengalami trauma. Padatrauma uretra yang berat, seringkali pasien mengalami retensi urin. Pada keadaan ini tidak diperbolehkan melakukan pemasangan kateter, karena dapat menyebabkan kerusakanuretra yang lebih parah.Diagnosis ditegakkan melalui foto uretrografi dengan memasukkan kontras melaluiuretra, guna mengetahui adanya rupture uretra.Pada ruptur uretra posterior, terdapat tanda patah tulang pelvis. Pada daerah suprapubik dan abdomen bagian bawah, dijumpai jejas, hematom, dan nyeri tekan. Bila disertai ruptur buli-buli, bisa ditemukan tanda rangsangan peritoneum.Pada ruptur uretra anterior terdapat daerah memar atau hematom pada penis dan skrotum. Beberapa tetes darah segar di meatus uretra merupakan tanda klasik cedera uretra. Bila terjadi ruptur uretra total, penderita mengeluh tidak bisa buang air kecil sejak terjadi trauma, dan nyeri perut bagian bawah dan daerah suprapubik. Pada perabaan mungkin ditemukan buli-buli yang penuh. Cedera uretra karena kateterisasi dapat menyebabkan obstruksi karena udem atau bekuan darah. Abses periuretral atau sepsis mengakibatkan demam. Ekstravasasi urin dengan atau tanpa darah dapat meluas jauh, tergantung fasia yang turut rusak. Pada ekstravasasi ini mudah timbul infiltrat yang disebut infiltrat urin yang mengakibatkan selulitis dan septisemia bila terjadi infeksi.

DiagnosisRuptur uretra posterior harus dicurigai bila terdapat darah sedikit di meatus uretra disertai patah tulang pelvis serta retensi urin. Selain tanda setempat, pada pemeriksaan colok dubur ditemukan prostat seperti mengapung karena tidak terfiksasi lagi pada diafragma urogenital. Kadang sama sekali tidak teraba prostat lagi karena pindah ke kranial. Pemeriksaan colok dubur harus dilakukan dengan hati-hati karena fragmen tulang dapat mencederai organ lain, seperti rektum. Pada pemeriksaan uretrografi retrograd mungkin terdapat elongasi uretra atau ekstravasasi kontras pada pars prostatomembranasea.Pada kontusio uretra anterior, pasien mengeluh adanya perdarahan pre-uretra atau hematuria. Jika terdapat robekan pada korpus spongiosum, terlihat adanya hematom pada penis atau hematom kupu-kupu. Pada keadaan ini seringkali pasien tidak dapat miksi. Pemeriksaan uretrografi retrograd pada kontusio uretra tidak menunjukkan adanya ekstravasasi kontras, sedangkan pada ruptur uretra menunjukkan adanya ekstravasasi kontras di pars bulbosa. Pemeriksaan radiologik dengan uretrogram retrograd dapat memberi keterangan letak dan tipe ruptur uretra.

Melalui gambaran uretrogram, Colapinto dan McCollum (1976) membagi derajat cedera uretra posterior dalam 3 jenis:a.Uretra posterior masih utuh dan hanya mengalami stretching (peregangan). Foto uretrogam tidak menunjukkan adanya ekstravasasi, dan uretra hanya tampak memanjang.b.Uretra posterior terputus pada perbatasan prostato-membranasea, sedangkan diafragma urogenitalia masih utuh. Foto uretrogram menunjukkan ekstravasasi kontras yang masih terbatas di atas diafragma urogenitalis.c.Uretra posterior, diafragma urogenitalis, dan uretra pars bulbosa sebelah proksimal ikut rusak. Foto uretrogram menunjukkan ekstravasasi kontras meluas hingga di bawah diafragma urogenitalia sampai ke perineum.

Temuan LaboratoriumKehilangan darah tidak selalu berlebihan. Jumlah leukosit mungkin meningkat karena infeksi.

Temuan Imaging (Pencitraan)Fraktur tulang pelvis pada trauma uretra posterior selalu ada. Uretrogram menunjukkan ekstravasasi pada daerah prostatomembranosa. Biasanya terdapat ekstravasasi material kontras pada ruang perivesikal. Kelainan prostatomembranosa inkomplit terlihat sebagai ekstravasasi minor, dengan material kontras melalui uretra prostat dan buli-buli.

TatalaksanaRuptur uretra posterior biasanya diikuti oleh trauma mayor pada organ lain (abdomen dan fraktur pelvis) dengan disertai ancaman jiwa berupa perdarahan. Oleh karena itu sebaiknya di bidang urologi tidak perlu melakukan tindakan yang invasif pada uretra. Tindakan yang berlebihan akan menyebabkan timbulnya perdarahan yang lebih banyak pada kavum pelvis dan prostat serta menambah kerusakan pada uretra dan struktur neurovaskuler di sekitarnya. Kerusakan neurovaskuler menambah kemungkinan terjadinya disfungsi ereksi dan inkontinensia.Bila ruptur uretra posterior tidak disertai cedera organ intraabdomen atau organ lain, cukup dilakukan sistostomi. Reparasi uretra dilakukan 2-3 hari kemudian dengan melakukan anastomosis dari ujung ke ujung, dan pemasangan kateter silikon selama tiga minggu. Bila disertai cedera organ lain sehingga tidak mungkin dilakukan reparasi 2-3 hari kemudian, sebaiknya dipasang kateter secara langsir (rail roading). Pada ruptur uretra anterior total, langsung dilakukan pemulihan uretra dengan anastomosis ujung ke ujung melalui sayatan perineal. Dipasang kateter silikon selama tiga minggu. Bila ruptur parsial, dilakukan sistostomi dan pemasangan kateter Foley di uretra selama 7-10 hari, sampai terjadi epitelisasi uretra yang cedera. Kateter sistostomi baru dicabut bila saat kateter sistostomi diklem ternyata penderita bisa buang air kecil.

KomplikasiStriktur, impotensi, dan inkontinensia merupakan komplikasi tersering dari trauma saluran kemih. Striktur yang diikuti perbaikan dan anastomosis terjadi pada sekitar 50% kasus. Jika dipilih pendekatan dengan sistostomi suprapubik baru kemudian diikuti dengan perbaikan lanjutan, insiden striktur dapat diturunkan sampai sekitar 5%. Operasi rekonstruksi tidak selalu diperlukan jika striktur tidak secara signifikan menghambat aliran urin.Insiden impotensi setelah perbaikan primer sekitar 30%-80%. Hal ini dapat diturunkan sampai sekitar 30%-35% dengan drainase suprapubik diikuti rekonstruksi uretra. Inkontinensia urinari terjadi sekitar 2% pasien dan biasanya berhubungan dengan fraktur sakrum dan cedera saraf S2-4.Komplikasi impotensi dan inkontinensia khusus timbul pada ruptur uretra posterior.Komplikasi dini setelah rekonstruksi uretra adalah infeksi, hematoma, abses periuretral, fistel uretrokutan, dan epididimitis.

PrognosisStriktur uretra merupakan komplikasi terbanyak tetapi pada banyak kasus tidak memerlukan operasi rekonstruksi. Jika striktur menyebabkan pancaran urin menjadi melemah dan terdapat infeksi urinari serta terdapat fistel uretra, maka tindakan rekonstruksi diperlukan

3.3 Trauma Penis

Trauma pada penis sangat jarang ditemukan mengingat organ ini lunak dan mobile. Penis terdiri dari tiga struktur utama, yaitu dua korpus kavernosum dan satu korpus spongiosum. Korpus spongiosum mengelilingi uretra. Ketiga korpus ini dibungkus oleh fasia Buck dan fasia Colles yang lebih superfisial.Trauma penis dapat mencederai salah satu, sebagian, atau seluruh struktur tadi. Penyebab trauma penis yang tersering adalah trauma tajam, baik tembakan amupun karena benda tajam.Penyebab lain adalah avulsi, misalnya karena pakaian yang masuk ke dalam industri, strangulasi oleh kondom kateter atau cincin logam, dan cedera sewaktu persetubuhan dan penganiayaan.

PatologiPada luka tembak terjadi kerusakan ekstensif pada korpus kavernosum dengan banyak jaringan nekrotik dan perdarahan. Luka akibat benda tajam ditemukan baik karena percobaan bunuh diri, dipotong lawan jenis, digigit binatang, maupun iatrogenik pada sirkumsisi.Pada avulsi biasanya kulit penis atau kulit di skrotum terkelupas, sedangkan pada strangulasi akan terjadi iskemia dan nekrosis penis bagian distal.Trauma tumpul yang terjadi sewaktu persetubuhan dapat menyebabkan penis patah yang berupa ruptur korpus kavernosum dan/ atau uretra.

Gambaran KlinisPada anamnesis ditanyakan riwayat kekerasan, pemakaian kateter kondom, balutan pada penis yang terlalu ketat, pemakaian cincin logam atau riwayat kecelakaan kerja atau industri, dan aktivitas seksual.Tampilan fisik bergantung pada jenis penyebab. Pada luka tembak tampak luka compang-camping, cedera daerah sekitarnya, jaringan nekrotik, perdarahan, serta amputasi penis, sedangkan luka oleh benda tajam biasanya disertai perdarahan yang banyak, renjatan, pinggir luka tajam, atau amputasi penis. Pada luka avulsi akibat mesin, kulit penis dan skrotum terlepas, terikut pakaian yang terperangkap oleh mesin.Fraktur penis adalah ruptura tunika albuginea korpus kavernosum penis yang terjadi pada saat penis dalam keadaan ereksi. Ruptura ini dapat disebabkan karena dibengkokkan sendiri oleh pasien saat masturbasi, dibengkokkan oleh pasangannya, atau tertekuk secara tidak sengaja pada saat hubungan seksual, akibat tertekuk ini, penis menjadi bengkok (angulasi) dan timbul hematoma pada penis dengan disertai rasa nyeri. Untuk mengetahui letak ruptura, pasien perlu menjalani pemeriksaan foto kavernosografi yaitu memasukkan kontras ke dalam korpus kavernosum dan kemudian diperhatikan adanya ekstravasasi kontras keluar dari tunika albuginea. Strangulasi penis adalah jeratan pada pangkal penis yang menebabkan gangguan aliran darah pada penis. Gangguan aliran darah ini mengakibatkan penis menjadi iskemia dan edema yang jika dibiarkan akan menjadi nekrosis. Jeratan ini dapat terjadi pada orang dewasa maupun pada anak. Pada dewasa penjeratannya berupa logam, tutup botol, atau karet yang biasanya dipasang pada batang penis untuk memperlama ereksi. Pada anak kecil biasanya jeratan pada penis dipasang oleh ibunya untuk mencegah mengompol (enuresis) atau bahkan secara tidak sengaja terjadi pada bayi yang terjerat tali popok atau rambut ibunya. Jeratan pada penis harus segera ditanggulangi dengan melepaskan cincin atau penjerat yang melingkar pada penis.Karena edema yang begitu hebat, jeratan oleh cincin logam sulit untuk dilepaskan. Beberapa cara untuk melepaskan cincin yang menjerat batang penis adalah memotong logam itu dengan gerinda atau gergaji listrik (tetapi dalam hal ini energi panas yang ditimbulkan dapat merusak jaringan penis), melingkarkan tali pada sebelah distal logam dan kemudian melepaskannya perlahan-lahan, atau melakukan insisi pada penis yang telah mengalami edema dengan tujuan membuang cairan (edema) sehingga logam dapat dikeluarkan.Pada strangulasi tampak bekas jepitan pada penis akibat kateter kondom atau balutan yang ketat. Tidak jarang cincin logam masih melingkar pada penis dan tidak dapat dilepaskan karena bagian distal dari cincin udem. Pada cedera setelah aktivitas seksual, tampak penis bengkok dan hematom pada penis dan skrotum. Bila uretra ikut cedera, timbul hematuria atau keluar darah dari meatus uretra.Pada trauma tumpul, bila fasia Buck masih utuh, ekstravasasi hanya terbatas di bawah fasia Buck. Bila fasia tersebut robek, ekstravasasi meluas di sekitar perineum, paha, dan dinding perut.Uretrogram retrograd dapat membantu diagnosis ruptur uretra. Untuk mengetahui cedera korpus kavernosum serta letaknya, dapat dilakukan kavernosografi.

Tatalaksana Pada luka tembak, tujuan terapi adalah mengontrol perdarahan dan rekonstruksi penis. Bila penis tidak rusak total, dilakukan debridemen, rekonstruksi, pemasangan kateter, dan pemberian antibiotik. Bila tidak mungkin direkonstruksi, dilakukan amputasi sehemat mungkin.Pada cedera karena benda tajam, bila terjadi amputasi total, dapat dilakukan replantasi dengan bedah mikro. Bila terjadi avulsi kulit, dapat dilakukan tandur alih kulit.Pada ruptur korpus kavernosum dilakukan eksplorasi, evakuasi bekuan darah, dan penjahitan defek untuk menghindari komplikasi berupa impotensi di kemudian hari.Pada strangulasi, benda penyebab harus dilepaskan segera. Umumnya jepitan karena kateter, kondom, dam pembalut mudah dilepaskan, tetapi jepitan karena cincin logam sukar karena bagian distal sudah udem. Dalam keadaan seperti ini, penderita harus dibius, dan logam diputus dengan pemotong logam. Setelah logam terlepas, walaupun distal penis tampak iskemia atau nekrosis harus diobati secara konservatif lebih dahulu, dan dilihat perkembangannya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Santucci RA, Doumanian LR. Upper Urinary Tract Trauma. In: Kavoussi LR, Novick AC, Partin AW, Peters CA, editors. Campbell-Walsh Urology. 10th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2012.1. Summertom DJ, Djakovic N, Kitrey ND, Kuehhas F, Lumen N, Serafetinidis E. Guidelines on Urological Trauma. European Association of Urology; 2013.1. Purnomo, Basuki B. Dasar-Dasar Urologi Edisi 3. Jakarta: Sagung Seto.20111. McAnich JW. Injuries to The Genitourinary Tract In: Tanagho Emil A, McAninch JW, editors. Smiths General Urolog. 17th Edition. USA: Mc-Graw-Hill. 2007