trauma maksilofacial

31
Diagnosis Anamnesis Riwayat trauma yang akurat dapat menjadi informasi yang bernilai untuk penegakan diagnosis dan penentuan perawatan. Namun, pada pasien yang mendapat cedera pada daerah kepala, biasanya sulit atau tidak memungkinkan untuk menjelaskan riwayat trauma yang telah terjadi. Pada situasi ini, riwayat trauma dapat diperoleh dari petugas unit gawat darurat, perawat, orang yang mendampingi yang pasien, atau siapapun yang melihat dengan jelas bagaimana trauma terjadi (Marciani dkk, 2009). Mendapatkan riwayat yang adekuat dari pasien trauma maksilofasial adalah sulit, karena biasanya mereka tidak mampu merespon dengan baik. Keadaan tidak sadar (koma), syok, amnesia, dan intoksikasi merupakan hambatan yang sering terjadi dalam menjalin komunikasi dengan pasien. Sumber terbaik yang dapat digunakan adalah keluarga dekat yang menemaninya, temannya, polisi, atau pekerja pada unit gawat darurat. Penting dicatat mengenai tanggal, waktu, tempat kejadian, dan peristiwa yang khusus. Apabila cedera disebabkan karena kecelakaan mobil, apakah korban bertindak sebagai pengemudi atau penumpang, apakah ia memakai sabuk pengaman yang putus? Apabila pasien

Upload: natisha-divya

Post on 23-Dec-2015

19 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

trauma

TRANSCRIPT

Page 1: Trauma Maksilofacial

Diagnosis

Anamnesis

Riwayat trauma yang akurat dapat menjadi informasi yang bernilai untuk

penegakan diagnosis dan penentuan perawatan. Namun, pada pasien yang mendapat

cedera pada daerah kepala, biasanya sulit atau tidak memungkinkan untuk

menjelaskan riwayat trauma yang telah terjadi. Pada situasi ini, riwayat trauma dapat

diperoleh dari petugas unit gawat darurat, perawat, orang yang mendampingi yang

pasien, atau siapapun yang melihat dengan jelas bagaimana trauma terjadi (Marciani

dkk, 2009).

Mendapatkan riwayat yang adekuat dari pasien trauma maksilofasial adalah

sulit, karena biasanya mereka tidak mampu merespon dengan baik. Keadaan tidak

sadar (koma), syok, amnesia, dan intoksikasi merupakan hambatan yang sering terjadi

dalam menjalin komunikasi dengan pasien. Sumber terbaik yang dapat digunakan

adalah keluarga dekat yang menemaninya, temannya, polisi, atau pekerja pada unit

gawat darurat. Penting dicatat mengenai tanggal, waktu, tempat kejadian, dan

peristiwa yang khusus. Apabila cedera disebabkan karena kecelakaan mobil, apakah

korban bertindak sebagai pengemudi atau penumpang, apakah ia memakai sabuk

pengaman yang putus? Apabila pasien merupakan korban kejahatan, apakah

digunakan senjata tertentu? Apakah pasien jatuh atau tidak sadar. Kondisi medis

resiko tinggi, alergi, dan tanggal imunisasi tetanus juga harus dicatat. Penting juga

dicatat ada tidaknya tanda-tanda kecanduan alkohol dan obat-obatan, karena tingkat

kesadaran dipengaruhi oleh obat-obatan tersebut. Informasi mengenai waktu makan

dan minum yang terakhir sangat penting apabila akan dilakukan anestesi umum

(Pedersen, 1996).

Menurut Hupp dkk, 2008, langkah pertama pada setiap proses diagnostik

adalah memperoleh sebuah riwayat trauma yang akurat. Riwayat trauma yang akurat

sebaiknya diperoleh dari pasien, yang meliputi informasi tentang who, when, where,

Page 2: Trauma Maksilofacial

and how. Operator harus menanyakan pertanyaan-pernyataan kepada pasien, orangtua

pasien, atau seseorang yang menyertainya, antara lain :

1. Siapa pasien tersebut? Jawabannya meliputi nama pasien, umur, alamat, nomor

telepon, dan data demografi lainnya.

2. Kapan trauma itu terjadi? Pertanyaan ini merupakan salah satu pertanyaan penting

karena beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa semakin cepat gigi avulsi

dapat direposisi, maka semakin baik prognosisnya. Sama halnya dengan hasil

yang diperoleh dari perawatan fraktur alveolar yang disebabkan oleh penanganan

yang terlambat.

3. Dimana trauma itu terjadi? Pertanyaan ini penting karena kemungkinan terdapat

kontaminasi bakteri atau kimia.

4. Bagaimana trauma itu terjadi? Trauma yang alami dapat memberikan perkiraan

tentang hasil cedera jaringan akan seperti apa nantinya. Sebagai contoh,

penumpang mobil yang terlempar ke depan dashboard dengan kekuatan besar,

selain dapat merusak beberapa gigi juga dapat menyebabkan cedera leher yang

tersembunyi.

5. Perawatan apa yang telah diberikan sejak trauma terjadi (bila ada)? Dari

pertanyaan ini didapatkan informasi mengenai kondisi awal dari daerah cedera.

Seperti pertanyaan, bagaimana gigi yang avulsi disimpan sebelum diberikan

kepada dokter gigi?

6. Apakah ditemukan adanya gigi atau serpihan gigi ditempat kejadian trauma?

Sebelum diagnosis dan rencana perawatan ditentukan, harus terlebih dahulu

diketahui jumlah gigi pasien sebelum trauma terjadi. Jika selama pemeriksaan

klinis ditemukan adanya gigi atau mahkota gigi yang hilang dan tidak dapat

diperkirakan apakah gigi atau mahkota gigi tersebut hilang di tempat kejadian,

maka diperlukan pemeriksaan radiografi pada jaringan lunak sekitar mulut, dada,

Page 3: Trauma Maksilofacial

dan regio perut untuk memastikan ada atau tidaknya gigi atau mahkota gigi

tersebut di dalam jaringan atau rongga badan lainnya (gambar 1 dan 2).

Gambar.1. Menunjukkan terjadinya pergeseran gigi molar ke dalam sinus

maksilaris akibat dari fraktur maksila (Hupp dkk, 2008)

Gambar.2. Rontgen dada menunjukan adanya gigi caninus yang masuk kedalam

rongga dada (Hupp dkk, 2008)

7. Bagaimana status kesehatan umum pasien? Penting diketahui tentang riwayat

kesehatan umum dari pasien tersebut sebelum dilakukan perawatan, yang meliputi

ada atau tidaknya alergi terhadap obat, kelainan jantung, kelainan darah, penyakit

umum lainnya, dan riwayat penyakit terakhir yang diderita sebelum trauma.

Page 4: Trauma Maksilofacial

8. Apakah pasien mengalami mual, muntah, pingsan, amnesia, sakit kepala,

gangguan penglihatan, atau kebingungan setelah kejadian? Bila jawabannya ya

maka kemungkinan ada indikasi cedera intrakranial dan operator harus segera

melakukan konsultasi medis.

9. Apakah ada gangguan oklusi? Apabila jawabannya ya maka kemungkinan ada

indikasi pergeseran gigi atau fraktur dentoalveolar ataupun fraktur rahang.

Pemeriksaan Fisik

Pasien yang mengalami cedera maksilofasial biasanya disertai dengan

tersumbatnya jalan pernapasan akibat perdarahan eksternal, perdarahan internal, atau

benda asing. Pemeriksaan fisik baru dapat dilakukan setelah pasien dalam kondisi

stabil, perdarahan dan jalan pernapasan telah ditangani. Adapun pemeriksaan fisik

tersebut meliputi (Marciani dkk, 2009):

1. Pemeriksaan Kepala

Pemeriksaan ini meliputi seluruh kerangka kraniomaksilofasial dan jaringan

lunak disekitarnya. Pasien harus dibersihkan dari semua darah dan benda asing secara

hati-hati. Seluruh cedera yang mengenai jaringan lunak sebaiknya dicatat pada saat

ini, begitu juga dengan cedera yang mengenai tulang. Trauma pada jaringan lunak

dapat dikarakteristikan menjadi abrasi, kontusio, luka bakar, avulsi, dan laserasi.

Seluruh luka laserasi dan avulsi harus dicatat kedalaman dan keterkaitannya dengan

struktur vital, seperti saraf, glandula parotis dan sebagainya (Marciani dkk, 2009) .

Rangka kraniofasial terdiri dari pertautan dan penonjolan tulang, maka

pemeriksaannya harus meliputi ada atau tidaknya step atau jarak, discontinuitas,

pergeseran, dan hilangnya penonjolan. Harus dilakukan palpasi secara hati-hati

terhadap kranium, sambungan daerah fronto-orbital, naso-orbital kompleks, artikulasi

zygomatik, dan mandibula (Marciani dkk, 2009).

Page 5: Trauma Maksilofacial

2. Pemeriksaan Wajah Bagian Tengah

Evaluasi wajah bagian tengah dimulai dengan memperkirakan adanya

mobilitas dari maksila sebagai struktur maksila itu sendiri atau hubungannya dengan

zygoma atau tulang nasal. Untuk memeriksa adanya mobilitas maksila, kepala pasien

harus distabilisasikan dengan cara menekan kening pasien cukup kuat dengan satu

tangan. Dengan ibu jari dan telunjuk tangan lainnya mencengkram maksila pada satu

sisi, dan digerakkan dengan tekanan yang stabil sehingga dapat diperoleh kepastian

ada atau tidaknya dapatkan mobilitas maksila (Hup dkk, 2008).

Cara melakukan pemeriksaan manual atau digital adalah dengan mempalpasi

dimulai dari superior ke inferior. Lebih baik memeriksa pasien yang mengalami fisik

dari arah belakang apabila memungkinkan. Pemeriksaan dimulai dari aspek medial

dari cincin supraorbital secara bilateral. Tulang nasal dan saluran nasofrontalis

dipalpasi secara bersamaan kanan dan kiri (bidigital). Palpasi diteruskan ke arah

lateral menyilang cincin supraorbital menuju sutura zygomatikofrontalis. Jaringan

lunak yang menutupinya digeser dan sutura dipalpasi apakah terjadi kelainan atau

tidak. Cincin infraorbital dipalpasi dari medial ke lateral untuk mengevaluasi sutura

zygomatikomaksilaris. Bagian-bagian yang mengalami nyeri tekan, dan baal juga

dicatat, karena hal ini menunjukkan adanya fraktur atau cedera pada saraf. Arcus

zygomatikus dipalpasi bilateral dan diamati apakah terdapat tanda-tanda asimetri, dari

aspek posterior atau superior. Vestibulum nasi juga diperiksa karena bisa terjadi

pergeseran septum, dan adanya perdarahan atau cairan (Pedersen, 1996).

Pemeriksaan mata secara lengkap sebaiknya dilakukan terlebih dahulu, karena

trauma dapat mengakibatkan kehilangan penglihatan. Hampir 40% fraktur tengah

wajah mengenai daerah mata. Pemeriksaan yang akurat sulit dilakukan pada pasien

yang mengalami cedera neurologis. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan

menggunakan hitungan jari, deteksi gerakan, atau penggunaan sinar (Marciani dkk,

2009).

Page 6: Trauma Maksilofacial

Hematoma aurikuler telinga harus segera didiagnosa dan dilakukan terapi.

Mastoid harus diperiksa dari kemungkinan adanya ekimosis yang disertai dengan

hemotimpanum dan otorrhea, karena merupakan indikasi terjadinya fraktur basis

tulang kranial. Adanya laserasi dari daerah telinga bagian luar merupakan tanda

waspada terhadap kemungkinan cedera pada kondil mandibula (Marciani dkk, 2009).

Kerusakan dan pergerakan tulang hidung harus dicatat. Adanya fraktur septum

hidung dan hematoma dapat menyebabkan obstruksi hidung. Hematoma septum

hidung harus didiagnosa dan dievakuasi segera untuk menghindari terjadinya nekrosis

tulang rawan septum hidung yang pada akhirnya dapat menyebabkan kerusakan

bentuk hidung (Marciani dkk, 2009).

Tiga saraf utama trigeminal harus diperiksa untuk kemungkinan terjadinya

anestesi atau parestesi (Marciani dkk, 2009). Saraf kranialis ketiga, empat, lima,

enam dan tujuh dites untuk mengetahui apakah terjadi palsi. Dapatkah pasien

mengangkat alisnya dan meretraksi sudut mulut? Apakah bola mata bisa bergerak

bebas, dan apakah pupil bereaksi terhadap sinar dan berakomodasi? (Pedersen, 1996)

3. Pemeriksaan Mandibula

Lokasi mandibula terhadap maksila dievaluasi apakah tetap digaris tengah,

terjadi pergeseran lateral, atau inferior? Pergerakan mandibula juga dievaluasi dengan

jalan memerintahkan pasien melakukan gerakan-gerakan tertentu, dan apabila ada

penyimpangan juga dicatat. Kisaran gerak dievaluasi pada semua arah dan jarak

interinsisal dicatat. Apabila ada meatus akustikus eksternus penuh dengan darah dan

cairan, jari telunjuk dapat dimasukkan dengan telapak mengarah ke bawah dan ke

depan untuk melakukan palpasi endaural terhadap caput condilus pada saat istirahat

dan bergerak. Pada fraktur subcondilus tertentu, bisa dijumpai adanya nyeri tekan

yang Amat sangat atau caput mandibula tidak terdeteksi. Tepi inferior dan posterior

mandibula dipalpasi mulai dari prosesus kondilaris sampai ke simphisis mandibula.

Page 7: Trauma Maksilofacial

Sekali lagi nyeri tekan atau baal, dan kelainan kontinuitas harus dicatat (Pedersen,

1996).

Fraktur mandibula dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomi, yaitu

kondilar, ramus, angle, body, simphisis, alveolar, dan daerah prossessus koronoid

(gambar 5). Selain itu fraktur mandibula juga dapat diklasifikasikan berdasarkan tipe

frakturnya, yaitu fraktur greenstick, simpel, kominuted, dan kompon (gambar 6).

Gambar 5. Distribusi anatomik dari fraktur mandibula (Hupp dkk, 2008)

Gambar.6. Klasifikasi fraktur mandibula berdasarkan tipe frakturnya.

A. Greenstick, B. Simple, C. Komminuted, D. Kompon (Hupp dkk, 2008)

Page 8: Trauma Maksilofacial

4. Pemeriksaan Tenggorokan dan Rongga Mulut

Pertama kali yang dilihat secara intraoral adalah oklusi. Dapatkah gigi

dioklusikan seperti biasanya? Dataran oklusal dari maksila dan mandibula diperiksa

kontinuitasnya, dan adanya step deformitas. Bagian yang giginya mengalami

pergeseran karena trauma atau alveoli yang kosong karena gigi avulsi, juga dicatat.

Apabila pasien menggunakan protesa, maka protesa tersebut harus dilepas dan

diperiksa apakah ada rusak atau tidak. Jaringan lunak mulut diperiksa dalam

kaitannya dengan luka, kontusio, abrasi, ekimosis, dan hematom. Lidah disisihkan,

sementara itu dasar mulut dan orofaring diperiksa, apakah terdapat serpihan-serpihan

gigi, restorasi, dan beku darah. Arcus zygomatikus dan basisnya dipalpasi bilateral.

Maksila harus dicoba degerakkan dengan memberikan tekanan pada prosesus

alveolaris sebelah anterior dengan tetap menahan kepala. Akhirnya gigi-gigi dan

prosesus alveolaris dipalpasi untuk mengetahui nyeri tekan atau mobilitas (Pedersen,

1996)

Pemeriksaan ini meliputi evaluasi oklusi dan penghitungan gigi yang hilang.

Adanya gigi yang terhisap dan tertelan dapat dilihat dengan melakukan radiografi

pada dada dan perut. Gigi tiruan yang lepas juga dapat menyebabkan tersumbatnya

jalan pernapasan. Adanya step dan pergeseran oklusi merupakan indikasi terjadinya

fraktur dentoalveolar ataupun fraktur rahang. Gigitan terbuka lateral (open bite

lateral) juga dapat mengindikasikan adanya fraktur mandibula atau gangguan TMJ.

Sedangkan gigitan terbuka anterior (open bite anterior) mengindikasikan adanya

fraktur Le Fort (I, II, ataupun III) (Marciani, 2009).

Page 9: Trauma Maksilofacial

Pemeriksaan Radiografi

Film panoramik merupakan film skrining pilihan untuk kasus fraktur maksila

dan mandibula (Pedersen, 1996).

Pemeriksaan radiograf mandibula secara umum memerlukan dua atau lebih

gambaran radiograf dari empat gambaran radiograf berikut, yaitu (1) panoramik, (2)

proyeksi Towne, (3) proyeksi posteroanterior , dan (4) proyeksi oblik lateral kiri dan

kanan (gambar 9) (Hupp dkk, 2008).

Gambar 7. Beberapa proyeksi radiografi untuk menilai fraktur mandibula.

Page 10: Trauma Maksilofacial

A. Proyeksi posterior-anterior menunjukkan fraktur pada daerah angle mandibula

(panah).

B. Proyeksi oblik lateral menunjukkan fraktur pada daerah angle mandibula

(panah).

C. Proyeksi Towne menunjukkan adanya pergeseran fraktur kondilar (panah).

D. Foto panoramik menunjukkan fraktur yang bergeser pada cébela kiri badan

mandibula dan fraktur subkondilar cébela kanan (panah) (Hupp dkk, 2008).

Rontgen yang paling baik untuk fraktur wajah bagian tengah adalah proyeksi

Waters, proyeksi wajah lateral, proyeksi wajah posteroanterior, dan proyeksi

submental verteks (Hupp dkk, 2008). Fraktur pada arkus zygomatikus ditunjukkan

dengan baik oleh proyeksi submentoverteks (gambar 8).

Gambar 8.Beberapa proyeksi radiografi untuk menilai fraktur wajah bagian tengah

(Hupp dkk, 2008).

Page 11: Trauma Maksilofacial

A. Proyeksi Waters menunjukkan fraktur pada daerah dasar orbita

B. Proyeksi wajah lateral menunjukkan fraktur Le Fort III atau terjadi pemisahan

kraniofasial. Garis fraktur (panah) memisahkan wajah bagian tengah dari kranium.

C. Proyeksi submental verteks menunjukkan fraktur arkus zygomatikus (panah)

Apabila terjadi fraktur multipel pada wajah yang perluasannya dan kemungkinan

keterlibatan struktur penting disekitarnya masih dipertanyakan, maka bisa dilakukan

CT. CT mempunyai keunggulan dalam hal tidak adanya gambaran yang tumpang

tindih dan bisa mempertahankan detail jaringan lunak. Kedua sifat tersebut

merupakan penunjang yang sangat penting dalam melakukan diagnosis yang akurat

dari fraktur fasial. Melakukan CT pada kepala merupakan prosedur penyaringan

standar untuk menentukan adanya fraktur kepala dan dapat menunjukkan adanya

trauma intrakranial, misalnya hematom intra- atau extra-serebral, daerah kontusio,

dan edema cerebral (Pedersen, 1996).

Gambar 9. Gambaran CT Scan (Hupp dkk, 2008).

A. Gambaran tomografi menunjukkan kerusakan dasar orbita (panah).

B. CT scan menunjukkan kerusakan dari dinding medial dan dasar orbita

kanan

Page 12: Trauma Maksilofacial

Dengan kemajuan tehnologi saat ini, dengan dikembangkannya CT Scan

tiga dimensi akan memberikan peran yang lebih baik dalam menentukan

keadaan fraktur dalam hal ada atau tidaknya displacement tulang

(Tawfilis, 2006)

Gambar 10.Radiografi digital imaging 3D (Tawfilis, 2006)

Page 13: Trauma Maksilofacial

Penatalaksanaan

Prinsip utama perawatan gawat darurat (emergency care) adalah

menyelamatkan hidup dan memberikan kenyamanan yang layak bagi pasien. Secara

berurutan primary survey dalam perawatan gawat darurat disingkat dengan ABCD

(Miloro, 2004):

1) Airway, menjaga kelancaran jalan nafas. Meliputi tindakan pemeriksaan adanya

obstruksi jalan nafas yang disebabkan benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur

mandibula atau maksila, fraktur gigi, dental prothesa, fraktur laring atau trakea.

Usaha untuk membebaskan jalan nafas harus melindungi vertebra servikal,

adapun cara yang dapat dilakukan yaitu chin lift, headtilt atau jaw trust. Pada

penderita yang dapat berbicara dapat dianggap bahwa jalan nafas bersih,

walaupun demikian penilaian ulang terhadap airway harus tetap dilakukan. Pada

penderita dengan gangguan kesadaran atau GCS sama atau kurang dari 8

biasanya memerlukan pemasangan airway definitif. Selama memeriksa dan

memperbaiki airway, harus diperhatikan bahwa tidak boleh ada ekstensi, fleksi

atau rotasi dari leher. Kecurigaan adanya kelainan vertebra servikalis didasarkan

pada riwayat perlukaan, pemeriksaan neurologis tidak sepenuhnya dapat

menyingkirkannya. Ke-7 vertebra servikalis dan vertebra torakalis perrtama

dapat dilihat dengan foto lateral, walaupun tidak semua jenis fraktur akan

terlihat dengan foto ini. Dalam keadaan kecurigaan fraktur servikal, harus

dipakai alat imobilisasi. Bila alat imobilisasi ini harus dibuka untuk sementara

maka terhadap kepala harus dilakukan imobilisasi manual. Alat imobilisasi ini

harus dipakai sampai kemungkinan fraktur servikal dapat disingkirkan.

2) Breathing dan Ventilasi, airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik.

Pertukaran gas yang terjadi pada saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen

dan mengeluarkan CO2 dari tubuh. Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik

dari paru, dinding dada dan diafragma. Setiap komponen ini harus dievaluasi

secara cepat. Dada penderita harus dibuka untuk melihat ekspansi pernafasan.

Page 14: Trauma Maksilofacial

Auskultasi dilakukan untuk memastikan masuknya udara ke dalam paru-paru.

Perkusi dilakukan untuk menilai adanya udara atau darah dalam rongga pleura.

Inspeksi dan palpasi dapat memperlihatkan kelainan dinding dada yang mungkin

mengganggu ventilasi. Perlukaan yang mengakibatkan gangguan ventilasi yang

berat adalah tension pneumothorax, flail chest dengan kontusio paru dan open

pneumothorax. Keadaan ini harus dikenali pada saat dilakukan primary survey.

3) Circulation dengan control perdarahan, perdarahan merupakan sebab utama

pasca bedah yang mungkin dapat diatasi dengan terapi yang cepat dan tepat di

rumah sakit. Ada 3 penemuan klinis yang dapat memberikan informasi mengenai

keadaan hemodinamik yaitu tingkat kesadaran, warna kulit dan nadi. Bila volume

darah menurun, perfusi otak dapat berkurang yang akan mengakibatkan

penurunan kesadaran. Warna kulit dapat membantu diagnosis hipovalemia.

Penderita trauma yang kulitnya kemerahan, terutama pada wajah dan ekstremitas

jarang yang dalam keadaan hipovalemia. Sebaliknya wajah pucat, keabu-abuan

dan kulit ekstremitas yang pucat merupakan tanda hipovalemia. Periksalah pada

nadi yang besar untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama. Nadi yang tidak

cepat, kuat dan teratur biasanya merupakan tanda normovalemia. Nadi yang

cepat dan kecil merupakan tanda hipovalemia. Nadi yang tidak teratur biasanya

merupakan tanda gangguan jantung. Tidak ditemukannya pulsasi dari arteri besar

merupakan pertanda diperlukannya resusitasi dengan segera. Perdarahan luar

harus dikelola pada primary survey. Perdarahan luar luar dihentikan dengan

penekanan pada luka. Tourniquet sebaiknya jangan dipakai karena merusak

jaringan dan menyebabkan iskemia distal, sehingga tourniquet hanya dipakai bila

sudah ada amputasi traumatik. Sumber perdarahan internal bisa berasal dari

perdarahan dalam rongga toraks, abdomen, sekitar fraktur dari tulang panjang,

retroperitoneal akibat fraktur pelvis atau sebagai akibat dari luka tembus dada/

perut.

4) Disability (Neurologic Evaluation), menjelang akhir primary survey dilakukan

evaluasi terhadap keadaan neurologis secara cepat. GCS merupakan sistem

Page 15: Trauma Maksilofacial

scoring yang sederhana dan dapat meramal kesudahan penderita. Penurunan

kesadaran dapat disebabkan penurunan oksigenasi atau/ dan penurunan perfusi ke

otak, atau disebabkan trauma langsung pada otak. Penurunan kesadaran menuntut

dilakukannya reevaluasi terhadap keadaan oksigenasi, ventilasi dan perfusi. Bila

diperlukan konsul ke ahli bedah syaraf.

Perawatan Definitif

Perawatan definitif fraktur panfasial dilakukan setelah keadaan umum pasien

lebih baik, terkontrol dan telah melewati masa krisis melalui perawatan gawat

darurat. Tujuan dari perawatan fraktur panfasial adalah merehabilitasi jaringan yang

terkena, mengurangi rasa sakit, penyembuhan tulang, serta perbaikan oklusi gigi.

Sebelum merencanakan perawatan terlebih dahulu perhatikan (Fonseca, 2005):

1. Lokasi dan luasnya fraktur

2. Struktur yang terluka atau terlibat di sepanjang fraktur

3. Jumlah kehilangan jaringan lunak, meliputi kulit, mukosa dan saraf

4. Luas kehilangan tulang

5. Keadaan trauma dentoalveolar

Perawatan jenis trauma yang kompleks ini merupakan rangkuman dari seluruh

perbaikan dari semua fraktur fasial dan kranial yang individual. Dibutuhkan

perencanaan yang baik untuk meminimalkan operasi ulang dan lamanya perawatan di

rumah sakit.

Koreksi definitif pada pasien dengan trauma kraniofasial yang kompleks

secara ideal dilakukan dalam 5-7 hari. Beberapa penulis menganjurkan untuk fiksasi

primer pada 12-48 jam paska trauma. Namun dalam jangka waktu tersebut seringkali

tidak cukup untuk memperoleh pemeriksaan radiologis, dan pengelolaan gigi geligi

yang adekuat terutama pada pasien dalam keadaan koma dan tidak kooperatif. Pada

periode tersebut jaringan lunak berada dalam keadaan pembengkakan sehingga

Page 16: Trauma Maksilofacial

pengelolaan operatif pada saat itu akan menyebabkan proyeksi wajah dan kesimetrisan

wajah sulit dicapai. Selain itu adanya rhinorrhoea serebrospinal atau aerocele

intrakranial merupakan alasan lain keterlambatan perawatan (Miloro, 2004)

Seringkali pasien tersebut membutuhkan waktu lebih dari tiga minggu untuk

pengelolaan life-saving yang ekstensi terhadap trauma ekstrakranial. Pada banyak kasus

keterlambatan koreksi seringkali menyebabkan telah terjadinya union pada tulang dan

kontraktur jaringan lunak sehingga diperlukan diseksi jaringan lunak yang ekstensif

untuk mendapatkan pemaparan tulang yang baik dalam rangka reduksi dan fiksasi

fraktur tulang. Selain itu diperlukan osteotomi pada garis fraktur akibat telah terjadinya

penyatuan tulang (Tawfilis, 2006)

Kunci utama dalam penatalaksanaan fraktur panfasial adalah untuk

mendapatkan fiksasi dan stabilisasi yang cukup stabil pada daerah-daerah yang tidak

stabil. Rekonstruksi harus meliputi arah 3 dimensi yaitu vertikal, horisontal dan

transversal. Terdapat dua prinsip umum untuk penatalaksanaan fraktur panfasial yaitu

dengan tehnik bottom to top (dari bawah ke atas) atau top to bottom (dari atas ke bawah)

(Miloro, 2004)

Apabila kranium frontalis masih intak atau terdapat fraktur pada fossa kranial

anterior atau fronto-orbital bar tanpa adanya kehilangan tulang atau dimana struktur-

struktur tulang tersebut di atas telah terekonstruksi dengan kuat, regio midfasial dapat

direkonstruksi dalam arah atas ke bawah. Namun bila terdapat diskontinuitas pada

lengkung mandibula, hilangnya tulang pada tulang kranial dan diskontinuitas pada

dasar fosa kranial anterior atau hilangnya titik referensi, pendekatan dilakukan dalam

arah bawah ke atas. Hal ini dilakukan agar rekonstruksi pada mandibula dapat

menghasilkan hubungan yang intak dalam mereposisi maksila. Selain itu bila basis

kranial frontalis diperbaiki dan dilekatkan terhadap tengah wajah dapat menaikkan

resiko kerusakan atau perubahan letak terhadap fosa kranialis anterior yang telah

diperbaiki.(Miloro, 2004)

Page 17: Trauma Maksilofacial

Pada tehnik bottom to top, rekonstruksi dimulai dari mandibula. Bila lengkung

mandibula terganggu harus diperbaiki terlebih dahulu. Fraktur pada kondilus baik

unilateral maupun bilateral memerlukan reduksi segera dan fiksasi internal untuk

mempertahankan ketinggian fasial. Setelah mandibula terkoreksi dengan baik, maksila

yang mengalami disimpaksi dapat dikoreksi dengan menyesuaikan oklusi pada rahang

bawah dan dilakukan fiksasi intermaksilaris. Perbaikan dapat dilanjutkan dalam arah

atas ke bawah dan bertemu dengan segmen maksilomandibula yang telah terfiksasi. Bila

terdapat fraktur sagital pada maksila dilakukan reduksi dan fiksasi untuk mendapatkan

kembali lengkung maksila sehingga koreksi terhadap lebar wajah tengah dapat tercapai.

Fiksasi dapat dilakukan dengan menempatkan miniplate secara transversal pada

maksila. Kerugian pada tehnik bottom to up adalah untuk rekonstruksi dilakukan dimulai

dari jarak yang cukup jauh dari elemen simetris yang stabil yaitu basis kranial.

Ketidakakuratan dalam mereduksi dan mereposisi fraktur kondilus akan menyebabkan

asimetri wajah. (Miloro, 2004)

Gambar 11. Teknik Bottom up (Miloro, 2004)

Page 18: Trauma Maksilofacial

Pada tehnik top to bottom, rekonstruksi pertama-tama pada bagian luar rangka

fasial (outer facial frame) pada fraktur panfasial yaitu meliputi lengkung zygomatik,

kompleks malar dan tulang frontalis. Kemudian rekonstruksi dilakukan pada bagian

dalam rangka fasial (inner facial frame) atau pada kompleks naso-orbitho-ethmoidal,

sutura zygomatikofrontalis dan orbital rim. Setelah itu dilakukan rekonstruksi pada

maksila pada Le Fort I dengan menggunakan plat pada buttress. Kemudian reposisi

pada fraktur mandibula dan diakhiri dengan fiksasi intermaksilaris. (Miloro, 2004)

Gambar 12. Teknik top to bottom (Miloro, 2004)

Cangkok tulang biasanya dilakukan untuk merekonstruksi dinding orbital dan

hidung. Selain itu cangkok tulang dilakukan untuk koreksi sekunder bila dibutuhkan

Page 19: Trauma Maksilofacial

untuk menambah kontur pada regio tertentu dan memperbaiki kesimetrisan wajah.

(Miloro, 2004)

Gambar 13. Bone graft pada dinding sinus maksila anterior (Miloro, 2004)

Berbagai macam insisi dilakukan untuk mendapatkan pemaparan tulang yang

mengalami fraktur dan merekonstruksinya antara lain dengan insisi koronal, insisi

pada kelopak mata bagian bawah, periorbital, sulkus gingivobukal, preaurikular,

retromandibular atau submandibular. Insisi koronal akan dapat memberikan pemaparan

yang lebih luas pada tulang kranium dan rangka kraniofasial bagian atas. Selain itu

insisi ini dapat memberikan akses yang optimal untuk dapat mereduksi dan memfiksasi

fragmen tulang. (Miloro, 2004)

Prognosis

Fiksasi intermaksilari merupakan treatment paling sederhana dan salah satu

yang paling efektif pada fraktur maksila. Jika teknik ini dapat dilakukan sesegera

mungkin setelah terjadi fraktur, maka akan banyak deformitas wajah akibat fraktur

dapat kita eliminasi. Mandibula yang utuh dalam fiksasi ini dapat membatasi

pergeseran wajah bagian tengah menuju ke bawah dan belakang, sehingga elongasi

dan retrusi wajah dapat dihindari. Sedangkan fraktur yang baru akan ditangani setelah

beberapa minggu kejadian, dimana sudah mengalami penyembuhan secara

parsial, hampir tidak mungkin untuk direduksi tanpa full open reduction, bahkan

kalaupun dilakukan tetap sulit untuk direduksi.

Page 20: Trauma Maksilofacial

Komplikasi

Komplikasi awal fraktur maksila dapat berupa pendarahan ekstensif serta

gangguan pada jalan nafas akibat pergeseran fragmen fraktur, edema, dan

pembengkakan soft tissue. Infeksi pada luka maksilari lebih jarang dibandingkan pada

luka fraktur mandibula. Padahal luka terkontaminasi saat tejadi cedera oleh segmen

gigi dan sinus yang juga mengalami fraktur. Infeksi akibat fraktur yang melewati

sinus biasanya tidak akan terjadi kecuali terdapat obstruksi sebelumnya. Pada Le Fort

II dan III, daerah kribiform dapat pula mengalami fraktur, sehingga terjadi rhinorrhea

cairan serebrospinal. Selain itu, kebutaan juga dapat terjadi akibat pendarahan dalam

selubung dural nervus optikus. Komplikasi akhir dapat berupa kegagalan penyatuan

tulang yang mengalami fraktur, penyatuan yang salah, obstruksi sistem lakrimal,

anestesia/hipoestesia infraorbita, devitalisasi gigi, ketidakseimbangan otot

ekstraokuler, diplopia, dan enoftalmus. Kenampakan wajah juga dapat berubah

(memanjang, retrusi).