trauma maksilofacial

27
BAB I PENDAHULUAN Trauma maksilofacial berhubungan dengan cedera apapun pada wajah atau rahang yang disebabkan oleh kekuatan fisik, benda asing atau luka bakar. Trauma maksilofasial termasuk cedera pada salah satu struktur tulang ataupun kulit dan jaringan lunak pada wajah. Setiap bagian dari wajah mungkin dapat terpengaruh. Gigi dapat lepas atau goyang. Mata dengan otot-ototnya, saraf dan pembuluh darahnya mungkin mengalami cedera sehingga dapat menyebabkan gangguan penglihatan, diplopia, pergeseran posisi dari bola mata dan juga seperti halnya rongga mata yang dapat retak oleh pukulan yang kuat. Kerusakan jaringan lunak seperti edema, kontusio, abrasi, laserasi dan avulsi. Rahang bawah (mandibula) dapat mengalami dislokasi. Meskipun dilengkapi oleh otot-otot yang kuat untuk mengunyah, rahang termasuk tidak stabil bila dibandingkan dengan tulang-tulang lainnya sehingga dengan mudah mengalami dislokasi dari sendi temporomandibular yang menempel ke tengkorak. 1,2 Kelainan-kelainan seperti disebut di atas, mengharuskan kita untuk melakukan pemeriksaan yang lebih lengkap, konsultasi kepada bagian lain yang 1

Upload: muhammad-rabani-rivai

Post on 31-Jul-2015

149 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Trauma Maksilofacial

BAB I

PENDAHULUAN

Trauma maksilofacial berhubungan dengan cedera apapun pada wajah atau

rahang yang disebabkan oleh kekuatan fisik, benda asing atau luka bakar. Trauma

maksilofasial termasuk cedera pada salah satu struktur tulang ataupun kulit dan

jaringan lunak pada wajah. Setiap bagian dari wajah mungkin dapat terpengaruh.

Gigi dapat lepas atau goyang. Mata dengan otot-ototnya, saraf dan pembuluh

darahnya mungkin mengalami cedera sehingga dapat menyebabkan gangguan

penglihatan, diplopia, pergeseran posisi dari bola mata dan juga seperti halnya

rongga mata yang dapat retak oleh pukulan yang kuat. Kerusakan jaringan lunak

seperti edema, kontusio, abrasi, laserasi dan avulsi. Rahang bawah (mandibula)

dapat mengalami dislokasi. Meskipun dilengkapi oleh otot-otot yang kuat untuk

mengunyah, rahang termasuk tidak stabil bila dibandingkan dengan tulang-tulang

lainnya sehingga dengan mudah mengalami dislokasi dari sendi

temporomandibular yang menempel ke tengkorak.1,2

Kelainan-kelainan seperti disebut di atas, mengharuskan kita untuk

melakukan pemeriksaan yang lebih lengkap, konsultasi kepada bagian lain yang

terkait karena trauma maksilofacial dapat menjadi kasus yang kompleks dan

mungkin diperlukan keterlibatan multispesialis dalam manajemennya.2,3

Trauma maksilofacial ini dibagi atas fraktur pada organ yang terjadi yaitu2 :

1. Fraktur tulang hidung

2. Fraktur tulang zigoma dan arkus zigoma

3. Fraktur tulang maksila (mid facial)

4. Fraktur tulang orbita

5. Fraktur tulang mandibula

Trauma maksilofacial merupakan salah satu tantangan terbesar untuk

pelayanan kesehatan masyarakat di seluruh dunia karena insidennya yang tinggi.

Dari penelitian dilaporkan bahwa kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab

1

Page 2: Trauma Maksilofacial

utama dari trauma maksilofacial. Selain itu penyebab lainnya yang tersering ialah

kekerasan fisik, konsumsi alkohol yang dapat memicu terjadinya tindakan

kekerasan dan kecelakaan, serta trauma maksilofacial akibat olahraga.4

2

Page 3: Trauma Maksilofacial

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Fraktur Tulang Hidung

Pada trauma muka paling sering terjadi fraktur hidung.2,5 Diagnosis

fraktur hidung dapat dilakukan dengan inspeksi, palpasi dan pemeriksaan

hidung bagian dalam dilakukan dengan rinoskopi anterior, biasanya ditandai

oleh adanya pembengkakan mukosa hidung, terdapatnya bekuan dan

kemungkinan adanya robekan pada mukosa septum, hematoma septum,

dislokasi atau deviasi pada septum.

Arah gaya cedera pada hidung menentukan pola fraktur. Bila arahnya

dari depan akan menyebabkan fraktur sederhana pada tulang hidung yang

kemudian dapat menyebabkan tulang hidung menjadi datar secara

keseluruhan. Bila arahnya dari lateral dapat menekan hanya salah satu tulang

hidung namun dengan kekuatan yang cukup, kedua tulang dapat berpindah

tempat. Gaya lateral dapat menyebabkan perpindahan septum yang parah.

Sedangkan gaya dari bawah yang diarahkan ke atas dapat menyebabkan

fraktur septum parah dan dislokasi tulang rawan berbentuk segi empat.5

Gambaran klinis yang biasa ditemukan pada pasien dengan riwayat

trauma pada hidung atau wajah, antara lain5 :

- Epiktasis

- Perubahan bentuk hidung

- Obstruksi jalan nafas

- Ekimosis infraorbital

Pemeriksaan penunjang berupa foto os nasal, foto sinusparanasal posisi

Water dan juga bila perlu dapat dilakukan pemeriksaan CT scan untuk

melihat fraktur hidung atau kemungkinan fraktur penyerta lainnya.2

Fraktur nasal dapat diklasifikasikan menjadi2 :

1. Fraktur hidung sederhana, merupakan fraktur pada tulang hidung saja

sehingga dapat dilakukan reposisi fraktur tersebut dalam analgesi lokal.

3

Page 4: Trauma Maksilofacial

Akan tetapi pada anak-anak atau orang dewasa yang tidak kooperatif

tindakan penanggulangan memerlukan anestesi umum.

2. Fraktur tulang hidung terbuka, menyebabkan perubahan tempat dari

tulang hidung tersebut yang juga disertai laserasi pada kulit atau

mukoperiosteum rongga hidung. Kerusakan atau kelainan pada kulit dari

hidung diusahakan untuk diperbaiki atau direkonstruksi pada saat

tindakan.

3. Fraktur tulang nasoorbitoetmoid kompleks

Jika nasal piramid rusak karena tekanan atau pukulan dengan beban berat

akan menimbulkan fraktur yang hebat pada tulang hidung, lakrimal,

etmoid, maksila dan frontal. Tulang hidung bersambungan dengan

prosesus frontalis os maksila dan prosesua nasalis os frontal. Bagian dari

nasal piramid yang terletak antara dua bola mata akan terdorong ke

belakang. Terjadilah fraktur nasoetmoid, fraktur nasomaksila dan fraktur

nasoorbita.

Untuk memperbaiki patah pada tulang hidung tersebut, tindakan yang

dapat dilakukan ialah2,5 :

1. Reduksi tertutup, yang dilakukan dengan analgesia lokal atau analgesia

lokal dengan sedasi ringan.

Indikasi :

- Fraktur sederhana tulang hidung

- Fraktur sederhana septum hidung

Reduksi tertutup paling baik dilakukan 1-2 jam sesudah trauma karena

pada waktu tersebut edem yang terjadi mungkin sangat sedikit.

2. Reduksi terbuka, dilakukan dengan sedasi yang kuat atau analgesi umum.

Indikasi :

- Fraktur dislokasi ekstensif tulang dan septum hidung

- Fraktur septum terbuka

- Fraktur dislokasi septum kaudal

- Persisten deformitas setelah reduksi tertutup

4

Page 5: Trauma Maksilofacial

II.2 Fraktur Tulang Zigoma dan Arkus Zigoma

1. Fraktur Zigoma

Fraktur tulang zigoma atau tulang malar selalu disebabkan oleh

kekerasan langsung. Tulang ini biasanya ke belakang atau ke medial

menuju antrum maksila sehingga berdampak disana. Fraktur sering berupa

communited fracture dan mungkin memiliki ekstensi sepanjang dasar dari

rongga orbita atau rima orbita.6

Tulang zigoma ini dibentuk oleh bagian-bagian yang berasal dari

tulang temporal, tulang frontal, tulang sfenoid dan tulang maksia. Bagian-

bagian dari tulang yang membentuk zigoma ini memberikan sebuah

penonjolam pada pipi di bawah mata sedikit ke arah lateral. Fraktur tulang

zigoma ini agak berbeda dengan fraktur tripod atau trimalar.2

Gejala dari fraktur zigoma antara lain adalah2,6,7 :

1. Pipi menjadi lebih rata (jika dibandingkan dengan sisi kontralateral

atau sebelum trauma)

2. Diplopia dan terbatasnya gerakan bola mata

3. Edem periorbita dan ekinosis

4. Perdarahan subkonjungtiva

5. Enoftalmus

6. Ptosis

7. Karena kerusakan saraf infra-orbita

8. Terbatasnya gerakan mandibula

9. Emfisema subkutis

10. Epistaksis karena perdarahan yang terjadi pada antrum

Penanggulangan fraktur tulang zigoma2 :

- Reduksi tidak langsung dari fraktur zigoma (oleh Keen dan

Goldthwaite) :

Pada cara ini reduksi fraktur dilakukan melalui sulkus gingivobukalis.

Dibuat sayatan kecil pada mukosa bukal di belakang tuberositas maksila.

5

Page 6: Trauma Maksilofacial

Elevator melengkung dimasukkan di belakang tuberositas tersebut dan

dengan sedikit tekanan tulang zygoma yang fraktur dikembalikan pada

tempatnya. Cara reduksi fraktur ini mudah dikerjakan dan memberi hasil

yang baik.

- Reduksi terbuka dari tulang zigoma :

Tulang zigoma yang patah harus ditanggulangi dengan reduksi

terbuka dengan menggunakan kawat atau mini plate. Laserasi yang timbul

di atas zigoma dapat dipakai sebagai marka untuk melakukan inisis

permulaan pada reduksi terbuka tersebut. Adanya fraktur pada rima orbita

inferior, dasar orbita, dapat direkonstruksi dengan melakukan insisi di

bawah palpebra inferior untuk mencapai fraktur di sekitar tulang orbita

tersebut. Tindakan ini harus dilakukan hati-hati karena dapat merusak bola

mata.

2. Fraktur arkus zigoma

Arkus zigoma merupakan bagian dari subunit wajah yang dikenal

sebagai zygomaticomaxillary complex (ZMC), yang memiliki 4 fusi tulang

dengan tengkorak.7 Fraktur arkus zigoma tidak sulit untuk dikenal sebab

pada tempat ini timbul rasa nyeri waktu bicaraatau mengunyah. Kadang-

kadang timbul trismus. Gejala ini timbul karena terdapatnya perubahan

letak dari arkus zigoma terhadap prosesus koroid dan otot temporal.

Fraktur arkus zigoma yang tertekan atau terdepresi dapat dengan mudah

dikenal dengan palpasi.2,8

Terdapatnya fraktur arkus zigoma yang ditandai dengan perubahan

tempat dari arkus dapat ditanggulangi dengan melakukan elevasi arkus

zigoma tersebut. Pada tindakan reduksi ini kadang-kadang diperlukan

reduksi terbuka, selanjutnya dipasang kawat baja atau mini plate pada

arkus zigoma yang patah tersebut. Insisi pada reduksi terbuka dilakukan di

atas arkus zigoma, diteruskan ke bawah sampai ke bagian zigoma

preaurikuler.

6

Page 7: Trauma Maksilofacial

II.3 Fraktur Tulang Maksila (Mid Facial)

Maksila (rahang atas) menggambarkan jembatan antara superior dasar

tengkorak dengan bidang oklusal gigi inferior. Hubungan intim dengan

rongga mulut, rongga hidung dan orbita serta banyak struktur yang

terkandung di dalam dan bersebelahan dengannya membuat maksila

merupakan struktur yang penting secara fungsional dan kosmetik. Fraktur dari

tulang maksila ini berpotensi mengancam nyawa karena dapat menimbulkan

gangguan jalan nafas serta perdarahan hebat yang berasal dari arteri

maksilaris interna atau arteri ethmoidalis sering terjadi pada fraktur maksila.2,9

Menstabilkan pasien dengan menangani penyulit yang serius seperti pada

jalan nafas, sistem neurologis, tulang belakang leher dan perut harus

dilakukan segera sebelum pengobatan definitif pada maksila. Jika kondisi

pasien cukup baik sesudah trauma tersebut, reduksi fraktur maksila biasanya

tidak sulit dikerjakan kecuali kerusakan tulang yang sangat hebat dan disertai

infeksi.2,9

Mathog menggunakan pembagian klasifikasi fraktur maksila menjadi 3

kategori2,7,9 :

1. Fraktur Maksila Le Fort I

Fraktur Le Fort I (fraktur Guerin) meliputi fraktur horizontal bagian

bawah antara maksila dan palatum atau arkus alveolar kompleks. Garis

fraktur berjalan ke belakang melalui lamina pterigoid. Fraktur ini bisa

unilateral atau bilateral. Kerusakan pada fraktur Le Fort akibat arah trauma

dari anteroposterior bawah dapat mengenai nasomaksila dan

zigomatikomaksila vertikal buttress, bagian bawah lamina pterigoid,

anterolateral maksila, palatum durum, dasar hidung, septum dan apertura

piriformis.

7

Page 8: Trauma Maksilofacial

Le Fort I

http://emedicine.medscape.com/article/1283568-overview#a0104

2. Fraktur Maksila Le Fort II

Garis fraktur Le Fort II (fraktur piramid) berjalan melalui tulang

hidung dan diteruskan ke tulang lakrimalis, dasar orbita, pinggir

infraorbita dan menyebarang ke bagian atas dari sinus maksila juga ke arah

lamin pterigoid samapi ke fossa pterigopalatina. Fraktur pada lamina

kirimbiformis dan atap sel etmoid dapat merusak sistem lakrimalis.

Le Fort II

http://emedicine.medscape.com/article/1283568-overview#a0104

8

Page 9: Trauma Maksilofacial

3. Fraktur Maksila Le Fort III

Fraktur Le Fort III (craniofacial dysjunction) adalah suatu fraktur

yang memisahkan secara lengkap antara tulang dan tulang kranial. Garis

fraktur berjalan melalui sutura nasofrontal diteruskan sepanjang taut

etmoid melalui fisura orbitalis superior melintang ke arah dinding lateral

ke orbita, sutura zigomatiko frontal dan sutura temporo-zigomatik. Fraktur

Le Fort III ini biasanya bersifat kominutif yang disebut kelainan dishface.

Fraktur maksila Le Fort III ini sering menimbulkan komplikasi intrakranial

seperti timbulnya pengeluaran cairan otak melalui atap sel etmoid dan

lamina kribriformis.

Le Fort III

http://emedicine.medscape.com/article/1283568-overview#a0104

Fiksasi dari segmen fraktur yang tidak stabil menjadi strutur yang stabil

adalah tujuan pengobatan bedah definitif pada fraktur maksila. Prinsip ini

tampak sederhana namun menjadi lebih kompleks pada pasien dengan fraktur

luas.9 Fiksasi yang dipakai pada fraktur maksila ini dapat berupa2 :

1. Fiksasi inter maksilar menggunakan kawat baja untuk mengikat gigi.

2. Fiksasi inter maksilar menggunakan kombinasi dari reduksi terbuka

dan pemasangan kawat baja atau mini plate.

3. Fiksasi dengan pin.

9

Page 10: Trauma Maksilofacial

Penanggulangan fraktur maksila sangat ditekankan agar rahang atas dan

rahang bawah dapat menutup. Dilakukan fiksasi inter maksilar sehingga

oklusi gigi menjadi sempurna.2

II.4 Fraktur Tulang Orbita

Fraktur maksila sangat erat hubungannya dengan timbulnya fraktur orbita

terutama pada penderita yang menaiki kendaraan bermotor.2 Orbita dibentuk

oleh 7 tulang wajah, yaitu tulang frontal, tulang zigoma,tulang maksila,

tulang lakrimal, tulang etmoid, tualang sphenoid dan tulang palatina.10

Orbita mensch jpg.

http://en.wikipedia.org/wiki/File:Orbita_mensch.jpg

Di dalam orbita, selain bola mata, juga terdapat otot-otot ekstraokuler,

syaraf, pembuluh darah, jaringan ikat, dan jaringan lemak, yang kesemuanya

ini berguna untuk menyokong fungsi mata. Orbita merupakan pelindung bola

mata terhadap pengaruh dari dalam dan belakang, sedangkan dari depan bola

10

Page 11: Trauma Maksilofacial

mata dilindungi oleh palpebra. Dasar orbita yang tipis mudah rusak oleh

trauma langsung terhadap bola mata, berakibat timbulnya fraktur blow out

dengan herniasi isi orbita ke dalam antrum maksilaris. Infeksi dalam sinus

sphenoidalis dan ethmoidalis dapat mengikis dinding medialnya yang setipis

kertas (lamina papyracea) dan mengenai isi orbita.10

Fraktur orbita ini menimbulkan gejala-gejala berupa2 :

1. Enoftalmus

2. Eksoftalmus

3. Diplopia

4. Asimetris pada muka

Kelainan ini tidak lazim terdapat pada blow out fracture dari dasar orbita.

Kelainan ini sangat spesifik terdapat pada fraktur yang meliputi pinggir

orbita inferior atau fraktur yang menyebabkan dislokasi zigoma.

5. Gangguan saraf sensoris

Hipestesia dan anestesia dari saraf sensoris nervus infra orbitalis

berhubungan erat dengan fraktur yang terdapat pada dasar orbita. Bila pada

fraktur timbul kelainan ini, sangat mungkin sudah mengenai kanalis infra

orbitalis. Selanjutnya gangguan fungsi nervus infra orbita sangat mungkin

disebabkan oleh timbulnya kerusakan pada rima orbita.

II.5 Fraktur Tulang Mandibula

ini disebabkan oleh kondisi mandibula yang terpisah dari kranium.

Penanganan fraktur mandibula ini sangat penting terutama untuk

mendapatkan efek kosmetik yang memuaskan, oklusi gigi yang sempurna,

proses mengunyah dan menelan yang sempurna.2

Diagnosis fraktur mandibula tidak sulit, ditegakkan berdasarkan adanya

riwayat kerusakan rahang bawah dengan memperhatikan gejala sebagai

berikut2,7 :

1. Pembengkakan, ekimosis ataupun laserasi pada kulit yang meliputi

mandibula.

2. Rasa nyeri yang disebabkan kerusakan pada nervus alveolaris inferior.

11

Page 12: Trauma Maksilofacial

3. Anestesia dapat terjadi pada satu bibir bawah, pada gusi atau pada gigi

dimana nervus alveolaris inferior menjadi rusak.

4. Maloklusi, adanya fraktur mandibula sangat sering menimbulkan

maloklusi.

5. Gangguan morbilitas atau adanya krepitasi.

6. Rasa nyeri saat mengunyah.

7. Gangguan jalan nafas, kerusakan hebat pada mandibula menyebabkan

perubahan posisi, trismus, hematoma, serta edema pada jaringan lunak.

Dingman mengklasifikasi fraktur mandibula secara simpel dan praktis.

Mandibula dibagi menjadi 7 regio2,7 :

1. Badan atau korpus mandibula

2. Simfisis mandibula

3. Angulus mandibula

4. Ramus mandibula

5. Prosesus koronoid

6. Prosesus kondilus

7. Prosesus alveolaris

Fraktur yang terjadi dapat pada satu, dua atau lebih pada regio mandibula ini.

Frekuensi tersering terjadinya fraktur ialah prosesus kondilus kemudian

diikuti oleh korpus mandibula, angulus mandibula, simfisis mandibula,

prosesus alveolaris, ramus mandibula dan prosesus koronoid.2

12

Page 13: Trauma Maksilofacial

Gambar 46. Mandibula dan bagiannya

http://www.darplastic.com/umum/bagian-ketiga.html

Perbaikan fraktur mandibula menerapkan prinsip-prinsip umum

pembidaian mandibula dengan geligi utuh terhadap maksila. Lengkung geligi

atas biasanya diikatkan pada lengkung gigi bawah memakai batang-batang

lengkung ligasi dengan kawat. Batang-batang lengkung ini memiliki kait

kecil yang dapat menerima simpai kawat atau elastis guna mengikatkan

lengkung gigi atas ke lengkung kiki bawah. Fraktur mandibula yang lebih

kompleks mungkin memerlukan reduksi terbuka dan pemasangan kawat

ataupun pelat secara langsung pada fragmen-fragmen guna mencapai

stabilitas, disamping melakukan fiksasi intermaksilaris dengan batang-batang

lengkung. 7

II.6 Evaluasi dan Penatalaksanaan

Perawatan awal bergantung pada kepatahan cedera. Cedera rahang wajah

dan sedera laring dapat bervariasi mulai dari fraktur tulang hidung tanpa

epistaksis bermakna dan hanya dengan deeformitas hidung minor hingga

cedera remuk wajah yang paling luas dimana melibatkan secara luas seluruh

kepala dan leher. Perawatan awal berupa evaluasi umum secara cepat dari

tanda-tanda vital pasien dan bila perlu pelaksanaan tindakan-tindakan dasar

penyokong hidup.11

13

Page 14: Trauma Maksilofacial

Pemeliharaan jalan nafas merupakan prioritas pertama dan dapat

memerlukan penghisapan rongga mulut dan hidung untuk mengeluarkan

darah atau debris lainnya. Bila pasien dalam keadaan koma atau bila fraktur

mandibula mengakibatkan dasar mulut menjadi tidak stabil disertai prolaps

lidah ke dalam faring, maka suatu jalan nafas oral mungkin diperlukan. Jika

untuk alasan apapun suatu jalan nafas oral ternyata tidak memuasakan dan

ventilasi trakea merupakan keharusan maka intubasi endotrakea merupakan

metode terpilih. Trakeostomi darurat perlu dihindarkan bila mungkin, oleh

karena prosedur ini penuh bahaya jika operator tidak btul-betul mengenal

anatomi dan telah berpengalaman dalam teknik bedah ini. Trakeostomi

darurat perlu harus dibatasi pada keadaan dimana segala tindakan lain telah

gagal atau jika dicurigai terjadi cedera laring.11

Prioritas kedua dalam penatalaksanaan awal pasien trauma adalah

pemeliharaan curah jantung yang memadai. Penyebab tersering dari curah

jantung yang tidak adekuat pada pasien trauma adalah syok hipovolemik.

Keadaan ini biasany berespon dengan penggantian volume dan tindakan

hemostatik yang tepat. Setelah stabilitas tercapai maka menyusul tindakan

resusitatif awal, dilakukan pemeriksaan kepala dan leher secara sistematis.11

1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik

Seperti cedera pada sistem organ lain, maka evaluasi awal pada trauma

kepala dan leher memerlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang

lengkap dan akurat. Riwayat peristiwa trauma harus termasuk saat

cedera serta deskripsi rinci mengenai keadaan sekeliling pada saat

insiden terjadi. Detil seperti apakah pasien mengenakan sabuk

pengaman, kecepatan kendaraan, dapat memberi petunjuk cedera yang

harus dicari.11

Pemeriksaan fisik harus dilakukan sesegera mungkin oleh karena

pembengkakan akan menyamarkan deformitas tulang maupun tulang

rawan. Hal pertama yang harus diamati adalah status kesadaran pasien,

oleh karena adanya cedera otak merupakan prioritas pertama dalam

penatalaksanaan pasien setelah fungsi pernapasan dan kardiovaskular

14

Page 15: Trauma Maksilofacial

stabil. Jaringan lunak yang menutup kepala dan leher perlu di inspeksi

secara cermat dan menyeluruh guna mencari laserasi termasuk bagian

dalam telinga, hidung dan mulut. Mobilitas wajah perlu perhatian

khusus karena ada tidaknya paralisis saraf ketujuh sangat penting

artinya dalam penatalaksanaan pasien berikutnya. Semua luka perlu

dieksplorasi cukup dalam untuk menentukan apakah ada cedera tulang

atau tulang menjadi terpapar atau apakah terdapat benda asing dalam

luka.11

Pemeriksaan mempalpasi seluruh kepala dan leher mulai dari puncak

kepala dan bergerak kebawah, untuk mencari fraktur yang tergeser

atau struktur gerak yang abnormal. Integritas sutura frontozigomatikus

perlu diperhatikan, dimana biasanya mengalami fraktur. Perhatian

khusus diarahkan pada daerah frontal dimana fraktur sinus dapat

menimbulkan komplikasi intrakranial yang cukup bermakna, seperti

fistula cairan cerebrospinal, yang mana memerlukan penanganan

segera. Fraktur sinus frontalis biasanya ditandai dengan suatu lekukan

pada daerah tengah dahi. Terkadang fragmen-fragmen fraktur dapat

dipalpasi pada lapisan epidermis, atau sedalam luka jaringan lunak.

Pada palpasi hidung, perlu diperhatikan adanya deformitas tulang atau

gerakan abnormal, khususnya septum. Mobilitas septum paling baik

ditentukan dengan memegang septum anterior dengan ibu jari dan jari

tengah dan ditekan dari samping. Pipi perlu dipalpasi apakah ada nyeri

tekan yang biasanya menunjukan fraktur zigoma. Seluruh mandibula

seharusnya dipalpasi untuk menentukan ada nyeri tekan yang

mengesankan fraktur. Gerakan mandibula yang abnormal ataupun

fraktur tergeser dapat juag diketahui dari palpasi. Gigi perlu duperiksa

apakah ada gerakan abnormal ataupun peka nyeri oleh karena fraktur

dan luksasi gigi memerlukan penanganan segera. Leher perlu dipalpasi

untuk menentukan apakah ada udara bebas yang memberi kesan ruptur

percabangan trakeobronkhial, serta untuk mencari krepitasi atau nyeri

tekan di atas laring yang mengesankan fraktur laring.11

15

Page 16: Trauma Maksilofacial

Cedera vertebra cervikalis, seperti cedera ataupun dislokasi dapat

disyaratkan oleh spasme otot tengkuk, namun hal itu tidak selalu

terjadi. Dianjurkan imobilisasi pada cedera berat adalah seolah-olah

telah terjadi suatu cedera vertebra servikalis, sampai secara radiografi

danklinis dapat dibuktikan bahwa vertebra servikalis dalam keadaan

normal.11

2. Pemeriksaan radiografi

Pemeriksaan radiografi dan pemeriksaan lainnya dapat membantu

mencapai diagnosis yang akurat setelah dilakukan anamnesis dan

pemeriksaan fisik. Fraktur hidung biasanya paling baik terlihat dengan

radiogram lateral, sementara fraktur sepertiga tengah wajah dan sinus

paranasal paling jelas diperlihatkan dengan proyeksi waters. Penilaian

laminagrafik dapat sangat membantu dalam usaha menentukan apakah

ada fraktur dasar orbit ataupun fossa kranii anterior. Fraktur mandibula

paling jelas terlihat dalam pandangan oblik atau lebih disukai dengan

radiogram panoramik. CT scan mungkin akan sangat membantu dalam

mendiagnosis cedera tulang wajah ataupun laring. Laserasi pipi yang

hebat dapat dievaluasi menggunakan teknik sialografi guna

menentukan apakah duktus parotis masih utuh.11

3. Prioritas tindakan

Dalam perawatan pasien trauma telah dikembangkan suatu skala

prioritas yang sangat jelas menyusul tindakan resusitasi yang bertujuan

menstabilkan jalan napas dan mempertahankan curah jantung.

Urutannya adalah : a. Evaluasi dan penanganan tiap cedera SSP, b.

Evaluasi dan penanganan tiap cedera abdomen ataupun toraks, c.

Penanganan trauma pada jaringan lunak, wajah dan ekstremitas dan d.

Reduksi dan fiksasi dari fraktur wajah dan ekstremitas. Bilamana

diterapkan pada kasus trauma wajah maka panduan ini mengharuskan

luka jaringan lunak ditutup dalam empat hingga enam jam pertama

setelah cedera.11

16

Page 17: Trauma Maksilofacial

DAFTAR PUSTAKA

17

Page 18: Trauma Maksilofacial

1. http://medical-dictionary.thefreedictionary.com/maxillofacial+trauma .

Maxillofacial Trauma.

2. Soepardi AE., Iskandar N., Bashiruddin J., Restuti RD. Trauma Muka

dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung Tenggorok Kepala

& Leher. Ed 6. 2007. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia.

3. http://www.patient.co.uk/doctor/Maxillofacial-Injuries.htm .

Maxillofacial Injuries.

4. LELES Jose Luiz Rodrigues, SANTOS Enio Jose dos, JORGE

Fabrício David, SILVA Erica Tatiane da, LELES Cláudio Rodrigues.

Risk factors for maxillofacial injuries in a Brazilian emergency

hospital sample. 2009, August 11st.

5. http://emedicine.medscape.com/article/878595-overview#a05 . Nasal

and Septal Fractures.

6. Nesbitt B. Elizabeth, Leeds C. R. Duncan. Fractures of The Zygoma

Bone. British Medical Journal. 1945, April 14th.

7. Higles Adams BOIES. Trauma Rahang-Wajah dalam Buku Ajar

Penyakit THT. Ed.6. 1997. Jakarta : EGC.

8. Cohen, Adam J. Facial Trauma, Zygomatic Arch Fractures.

Emedicine. 2009, January 27th.

9. http://emedicine.medscape.com/article/1283568-treatment . Maxillary

and Le Fort Fractures.

10. http://emedicine.medscape.com/article/825772-overview#a0104 .

Orbital Fracture in Emergency Medicine.

11. Adam, boeis, higler. BOEIS buku ajar penyakit THT. Ed 6. 1997.

Jakarta : EGC.

18

Page 19: Trauma Maksilofacial

19