trauma maxillofacial

29
TUGAS REFERAT TRAUMA MAXILLO FACIAL Pembimbing : dr. Djoned Sananto, Sp. BP Oleh : N U R Y A T I 07030052 1

Upload: carina-rhamadhanis

Post on 27-Oct-2015

581 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

memahami dan menjelaskan tentang trauma pada maxillofacial pada tubuh manusia

TRANSCRIPT

Page 1: Trauma Maxillofacial

TUGAS REFERAT

TRAUMA MAXILLO FACIAL

Pembimbing :dr. Djoned Sananto, Sp. BP

Oleh :N U R Y A T I

07030052

FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2008

1

Page 2: Trauma Maxillofacial

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat

dan karunia-Nya maka tugas referat yang berjudul TRAUMA MAXILLO

FACIAL ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.

Penyusunan tugas referat ini merupakan salah satu tugas selama mengikuti

kepaniteraan di SMF Bedah di RSU Haji Surabaya.

Penulis mengucapkan rasa terima kasih terhadap pihak-pihak yang telah

membantu penyusunan tugas referat ini, terutama kepada dr. Djoned Sananto

Sp.BP yang telah bersedia memberi bimbingan agar tugas referat ini tersusun

baik.

Penulis menyadari bahwa penyusunan tugas referat ini masih jauh dari

kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran selalu kami harapkan. Besar harapan

penulis semoga tugas referat ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya

serta penyusun pada khususnya.

Wassalamualaikum Wr. Wb

Surabaya, Mei 2009

Penyusun

2

Page 3: Trauma Maxillofacial

BAB I

PENDAHULUAN

Wajah adalah ikon seseorang. Lewat wajah, karakter seseorang dapat

dikenali, sebab wajah mengandung banyak arti.  Karena wajah disusun dari

beragam tulang belulang. Tulang-tulang wajah terdiri dari mandibula, maksila,

zigoma, nasal dan otot-ototnya. Apabila suatu kejadian kecelakaan menyebabkan

suatu jejas di daerah wajah yang menyebabkan patah tulang wajah (fraktur

maxilofacial), maka dapat dipastikan bentuk wajah akan berubah menjadi kurang

proporsional.

Cacat pada wajah bukan sekadar mengganggu penampilan. Tapi, lebih dari

itu karena di daerah wajah juga banyak struktur penting, maka trauma

maxilofacial juga berhubungan dengan gangguan penglihatan, ganguan bicara,

gangguan menelan, gangguan jalan nafas, sampai cedera otak. Begitu banyak

struktur penting di daerah wajah inilah, maka penatalaksanaan trauma

maksilofacial perlu terus dikembangkan guna mencapai hasil yang memuaskan

baik dari segi kosmetik maupun perbaikan fungsi.

Prof. dr. Sunarto Reksoprawiro, SpB(Onk) memaparkan data penelitian

retrospektif tahun 2001-2005 pada penderita yang dirawat di SMF Ilmu Bedah

RSU DR. Soetomo, Surabaya. Dari data penelitian itu menunjukan bahwa

kejadian trauma maxilofacial sekitar 6% dari seluruh trauma yang ditangani oleh

SMF Ilmu Bedah RS Dr. Soetomo. Kejadian fraktur mandibula dan maksila

terbanyak diantara 2 tulang lainnya, yaitu masing-masing sebesar 29,85%, disusul

fraktur zigoma 27,64% dan fraktur nasal 12,66%. Penderita fraktur maksilofacial

ini terbanyak pada laki-laki usia produktif, yaitu usia 21-30 tahun, sekitar 64,38%

disertai cedera di tempat lain, dan trauma penyerta terbanyak adalah cedera otak

ringan sampai berat, sekitar 56%. Penyebab terbanyak adalah kecelakaan lalu

lintas dan sebagian besar adalah pengendara sepeda motor. (1)

Jumlah kendaraan bermotor di Indonesia terutama Jakarta, makin lama

makin meningkat dengan konsekuensi bertambahnya kecelakaan lalu lintas. Dari

3

Page 4: Trauma Maxillofacial

data yang dilaporkan oleh Unit Darurat RSCM, ternyata cidera daerah kepala dan

leher cukup tinggi. Trauma maksilofasial merupakan salah satu aspek dari trauma

kepala dan leher yang perlu mendapat perhatian.

Trauma maksilofasial mempunyai banyak variasi : dapat berupa patah

tulang hidung, patah tulang maksila, patah tulang mandibula, cedera jaringan

lunak sekitarnya atau kombinasi.

Koreksi pembedahan pada trauma maksilofasial, kadang-kadang masih

dapat ditunda sampai 4 - 6 hari, kecuali disertai komplikasi perdarahan hebat atau

obstruksi jalan napas. Akan tetapi, di beberapa klinik sudah mulai dilakukan

tindakan secepat-cepatnya agar tidak terjadi perubahan kontur muka, dan

mengurangi kemungkinan timbulnya jaringan parut yang berlebihan. (2)

Cedera kepala, khususnya wajah, sering ditemukan. Pada kecelakaan lalu

lintas, tujuh dari sepuluh penderita mengalami cedera wajah, kebanyakan berupa

luka tajam dam memar.

Pada penderita cedera wajah terlebih dahulu harus diperhatikan

pernapasan, peredaran darah umum, dan kesadaran. Jika terdapat patah tulang

wajah dengan atau tanpa perdarahan, jalan napas bagian atas mudah tersumbat

akibat dislokasi, udem, atau perdarahan, dalam hal ini, selalu harus diingat bahaya

aspirasi darah atau isi alir balik lambung (regurgitasi). Selain itu, lidah mudah

menutup faring pada penderita yang pingsan.

Penanganan pertama pada cedera wajah sangat menentukan karena cacat

atau defek di kemudian hari sukar ditangani.

Pada umumnya luka di wajah akan cepat sembuh per primam intentionem

karena vaskularisasi yang baik. Oleh karena itu, pada penjahitan perlu

diperhatikan kerapian dan adaptasi yang seksama pada tepi luka, khususnya di

daerah hidung, bibir, dan mata. Jarum dan benang jahit yang digunakan pun harus

yang halus. Dalam debridemen, jaringan perlu dihemat untuk mencegah cacat

yang tidak perlu. (3)

4

Page 5: Trauma Maxillofacial

BAB II

TRAUMA MAXILLO FACIAL

Trauma yang mengenai wajah dapat mengakibatkan: (4)

1. Trauma jaringan lunak wajah

2. Trauma tulang wajah

Trauma wajah dapat menimbulkan gangguan jalan napas karena

perdarahan yang banyak akibat jaringan lunak wajah mengandung banyak

pembuluh darah atau sumbatan oleh benda asing atau jaringan yang terlepas.

Cedera jaringan lunak biasanya disebabkan trauma tajam, akibat pecahan

kaca pada kecelakaan lalu lintas atau pisau/golok pada perkelahian. Cedera yang

meliputi rangka biasanya mencakup cedera jaringan lunak dan biasanya tersering

disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas.

Cedera pada wajah dan kepala akibat kecelakaan lalu lintas yang

melibatkan rangka dan jaringan lunak mungkin disertai dengan cedera pada tulang

belakang, terutama pada sisi servikal. Oleh karenanya harus selalu diperhatikan

secara khusus, mengenai kemungkinan adanya cedera servikal. Perlakuan khusus

ini termasuk pengamanan (fiksasi leher), transportasi penderita dari tempat

kecelakaan ke fasilitas kesehatan/rumah sakit, dan tidak melakukan manipulasi

terhadap muka/kepala khususnya dalam posisi fleksi/ekstensi kepala yang dapat

mengakibatkan kematian.

Penatalaksanaan definitif berdasarkan indikasi dan kontraindikasi.

Indikasinya adalah:

1. Pengembalian fungsi struktur/organ di wajah (penglihatan, oklusi, dll)

2. Pengembalian penampakan (fungsi estetika)

3. Indikasi didasari pada indikasi medik (ilmiah) ataupun nonmedik (atas

keinginan pasien).

Secara relatif terdapat beberapa kontraindikasi, diantaranya: kondisi

serebral/cedera kepala, cedera tulang belakang yang terjadi dan membahayakan

5

Page 6: Trauma Maxillofacial

kehidupan penderitanya, terutama bila dilakukan tindakan korektif/operasi untuk

memperbaiki kerusakan akibat trauma wajah. (4)

A. Trauma jaringan lunak

Berdasarkan jenis luka dan penyebabnya:

- Ekskoriasi

- Luka sayat, luka robek, luka bacok

- Luka bakar

- Luka tembak

Berdasarkan ada atau tidaknya kehilangan jaringan:

- Skin avulsion dan atau skin loss (4)

Penatalaksanaan

1. Hentikan perdarahan

2. Bersihkan kotoran-kotoran

3. Lakukan penutupan luka

- Bila terjadi luka sayat, luka robek atau luka bacok, jahit luka dengan

menggunakan benang yang halus. Jahitan primer luka di wajah dapat

dikerjakan sampai 36 jam pasca trauma kecuali akibat gigitan. Ini

disebabkan karena pendarahan di daerah wajah yang sangat baik.

- Luka di depan sudut mata mutlak dijahit

- Bila luka lebar dan tidak dapat ditutup langsung, jahit situasi terlebih

dahulu

4. Tutuplah luka dengan kain kassa steril dan basah/lembab agar mudah

menyerap darah yang keluar dan bila sudah kotor diganti minimal 2 kali

sehari. (4)

B. Fraktur tulang wajah

Semua tulang wajah mempunyai bagian yang dilapisi mukosa yang

melekat erat dengan tulang sehingga bila terjadi fraktur akan terjadi robekan

mukosa dan perdarahan. Biasanya ditandai dengan perdarahan melalui hidung

atau mulut pasca trauma. Asimetri muka karena hematoma atau edema jelas

6

Page 7: Trauma Maxillofacial

tampak setelah 4 jam pasca trauma. Ciri lain adalah adanya maloklusi dan dapat

diraba adanya fragmen fraktur. (4)

Klasifikasi (4)

1. Dibedakan berdasarkan lokasi anatomik dan unit estetika tertentu,

menjadi:

- Berdiri sendiri : seperti fraktur frontal, orbita, nasal, zigoma, maksila,

mandibula, dsb.

- Bersifat multipel/mengenai satu atau beberapa lokasi: fraktur

kompleks zigoma, frontonasal, dsb.

2. Dibedakan berdasarkan kekhususan, menjadi:

- Fraktur blow-out (fraktur tulang dasar orbita)

- Fraktur Le Fort I, II, dan III (fraktur maksila)

- Fraktur segmental mandibula

Fraktur maksilofasial adalah patah tulang muka yang disebabkan oleh

rudapaksa. Di bawah ini akan dibahas mengenai jenis fraktur maksilofasial secara

berdiri sendiri.

1. Fraktur mandibula

Fraktur mandibula yang sering ditemukan biasanya disebabkan oleh

trauma langsung. Pada pemeriksaan harus diperhatikan adanya asimetri dan

maloklusi. Pada palpasi teraba garis fraktur dan mungkin terdapat mati rasa bibir

bawah akibat kerusakan pada n. Mandibularis.

Fraktur pada umumnya akan disertai dislokasi fragmen tulang sesuai

dengan tonus otot yang berinsersi di tempat tersebut. Pada fraktur daerah dagu,

otot akan menarik fragmen tulang ke arah dorsokaudal, sedangkan pada fraktur

bagian lateral tulang akan tertarik ke arah kranial.

Fraktur pada bagian tulang yang menyangga gigi dapat difiksasi dengan

kawat interdental untuk menjamin pulihnya oklusi dengan baik. Jika tidak dapat

dilakukan pemasangan kawat, diperlukan reposisi dan fiksasi terbuka dengan

osteosintesis. (3)

7

Page 8: Trauma Maxillofacial

Lokasi Patah Tulang Mandibula

2. Fraktur maksila

Fraktur maksila pada umumnya bilateral terjadi pada trauma lokal

langsung. Secara klinis wajah tampak bengkak, mata tertutup karena hematoma,

ingus berdarah, dan seringkali disertai dengan gangguan kesadaran.

Penggolongan diagnosis menurut LeFort sangat penting dalam

penanganan. Penanganan ini menurut sarana dan keahlian yang memadai. Fiksasi

dan imobilisasi berlangsung selama enam sampai delapan minggu. (3)

LeFort membedakan fraktur maksilofasial atas tiga macam, yaitu: (3)

Le Fort I (Transverse Maxillary = Guirin Fracture): Garis fraktur

melalui diatas barisan akar gigi, palatum

Le Fort II (Pyramidal Fracture): Garis fraktur melalui os nasal,

tulang-tulang lakrimal, rima orbita inferior, dasar orbita dan pada

zygomaticomaxillary (dibatasi oleh tepi atas orbita dan tepi bawah baris gigi

atas yaitu bagian maksila)

Le Fort III (Craniofacial disjunction / Floating maxillae): Garis-

garis fraktur melalui zygomaticofrontal, maxillofrontal dan nasofrontal

8

Page 9: Trauma Maxillofacial

LeFort I

LeFort II

LeFort III

3. Fraktur zigoma

Fraktur zigoma merupakan fraktur fasial yang paling sering terjadi.

Tingginya insiden dari fraktur zigoma berhubungan dengan lokasi zigoma yang

lebih menonjol. Predileksi terutama pada laki-laki, dengan perbandingan 4:1

dengan perempuan. Penyebab dari fraktur zigoma yang paling sering adalah

dikarenakan kecelakaan kendaraan bermotor. Bilateral fraktur zigoma jarang

terjadi, hanya sekitar 4 % dari 2067 kasus yang diteliti oleh Ellis et al. Zigoma

mempunyai peran yang penting dalam membentuk struktur wajah, dan disrupsi

dari posisi zigoma dapat mengganggu fungsi okular dan mandibular; oleh karena

itu trauma pada zigoma harus didiagnosa secara tepat dan ditangani secara

adekuat.

Fraktur zigoma merupakan salah satu fraktur midfasial yang paling sering

terjadi, umumnya sering terjadi pada trauma yang melibatkan 1/3 bagian tengah

wajah, hal ini dikarenakan posisi zigoma agak lebih menonjol pada daerah

9

Page 10: Trauma Maxillofacial

sekitarnya. Fraktur zygomaticomaxillary complex biasanya melibatkan dinding

bawah orbita tepat diatas nervus alveolaris inferior, sutura zigomatikofrontal,

sepanjang arkus pada sutura zigomatikotemporal, dinding lateral

zigomatikomaksila, dan sutura zigomatikosplenoid yang terletak di dinding lateral

orbita, sedangkan dinding medial orbita tetap utuh. (5)

Zigoma yang membentuk dinding lateral orbita sering mengalami fraktur

akibat trauma langsung sehingga terjadi impresi yang mendesak bola mata yang

menyababkan diplopia. Fraktur ini sering terbatas pada arkus dan pinggir orbita

sehingga tidak disertai hematoma orbita, tetapi terlihat sebagai pembengkakan

pipi di daerah arkus zygomatikus. Fraktur midfasial cenderung terjadi pada sisi

benturan terjadi dan bagian yang lemah seperti sutura, foramen, dan apertura.

Diagnosa ditegakkan secara klinis atau dengan foto rontgen menurut waters, yaitu

posisi temporooksipital. (3)

Fraktur sering terjadi dekat atau pada sutura:

- Zygomaticofrontal

- Zygomaticomaxillary

- Zygomaticotemporal

Pengelolaan patah tulang zygoma terdiri atas reposisi dan fiksasi. (3)

4. Fraktur nasal

Fraktur os nasale biasanya disebabkan oleh trauma langsung. Pada

pemeriksaan didapatkan pembengkakan, epistaksis, nyeri tekan dan teraba garis

fraktur. Foto rontgen dari arah lateral dapat menunjang diagnosis. Fraktur tulang

hidung ini harus segera direposisi dengan anestesia lokal dan imobilisasi

dilakukan dengan memasukkan tampon ke dalam lubang hidung yang

dipertahankan selama tiga hingga empat hari. Patahan dapat dilindungi dengan

gips tipis berbentuk kupu-kupu untuk satu hingga dua minggu. (3)

5. Fraktur gigi

Fraktur dental atau patah gigi adalah hilangnya atau lepasnya fragmen dari

suatu gigi utuh yang biasanya disebabkan oleh trauma atau benturan. (6) Fraktur

gigi mungkin berupa fraktur tersendiri atau bersama-sama dengan fraktur maksila

10

Page 11: Trauma Maxillofacial

maupun fraktur mandibula. Gigi yang hancur perlu dicabut, sedangkan yang patah

sebaiknya dibiarkan. Gigi yang tercabut harus segera ditanam kembali dan

difiksasi pada gigi di sampingnya. (3)

Fraktur dental pada umumnya terjadi bersamaan dengan cidera mulut

lainnya. Deteksi dan pengobatan dini dapat meningkatkan kelangsungan hidup

dan fungsi dari gigi tersebut. Sekitar 82% gigi yang mengalami trauma adalah

gigi-gigi maksiler. Fraktur gigi maksiler tersebut 64% adalah gigi incisivus

sentral, 15% incisivus lateral, dan 3% caninus. Fraktur dental pada umumnya

terjadi pada kelompok usia anak, remaja, dan dewasa muda dengan rasio laki-laki

terhadap perempuan 2-3 : 1. Penyebab umum fraktur dental adalah benturan atau

trauma terhadap gigi yang menyebabkan disrupsi atau kerusakan enamel, dentin,

atau keduanya. Dari penelitian terhadap 1610 anak-anak, faktor predisposisi

fraktur dental antara lain postnormal occlusion, overjet yang melebihi 4 mm, bibir

atas yang pendek, bibir yang inkompeten, dan pernapasan melalui mulut. Literatur

lain menyebutkan bahwa umur, aktivitas olahraga, riwayat medis, dan anatomi

gigi juga merupakan fraktur predisposisi. (6)

Fraktur dental jarang ditemukan pada anak-anak di bawah 1 tahun.

Apabila ada, dapat disebabkan oleh kekerasan terhadap anak. Pada usia 1-3 tahun

ketika anak belajar berjalan dan berlari insidennya meningkat yang diakibatkan

oleh aktivitas yang tinggi dan kurangnya koordinasi anggota tubuh menyebabkan

anak sering jatuh. Pada anak usia sekolah, taman bermain dan cidera akibat

bersepeda merupakan penyebab tersering. Selama masa remaja, cidera olahraga

merupakan kasus yang umum. Pada usia dewasa, cidera olahraga, kecelakaan

sepeda motor, kecelakaan industri dan pertanian, dan kekerasan dalam rumah

tangga merupakan penyebab potensial. Olahraga yang melibatkan kontak fisik

merupakan penyebab umum fraktur dental, seperti sepakbola dan bola basket.

Olahraga tanpa kontak fisik seperti berkuda juga dapat menyebabkan fraktur

dental. Frekuensi fraktur dental yang lebih tinggi ditemukan pada pasien dengan

retardasi mental dan serebral palsi. Penyalahgunaan obat dapat meningkatkan

kemungkinan terjadinya fraktur dental. Gigi insisivus maksiler yang menonjol

keluar atau ketidakmampuan menutup gigi pada keadaan istirahat dapat

11

Page 12: Trauma Maxillofacial

meningkatkan kemungkinan terjadinya fraktur. Benturan atau trauma, baik berupa

pukulan langsung terhadap gigi atau berupa pukulan tidak langsung terhadap

mandibula, dapat menyebabkan pecahnya tonjolan-tonjolan gigi, terutama gigi-

gigi posterior. Selain itu, tekanan oklusal yang berlebihan terutama terhadap

tumpatan yang luas dan tonjol-tonjolnya tak terdukung oleh dentin dapat pula

menyebabkan fraktur. Keparahan fraktur bisa hanya sekedar retak saja, pecahnya

prosesus, sampai lepasnya gigi yang tidak bisa diselamatkan lagi. Trauma

langsung kebanyakan mengenai gigi anterior, dan karena arah pukulan mengenai

permukaan labial, garis retakannya menyebar ke belakang dan biasanya horizontal

atau oblique. Pada fraktur yang lain, tekanan hampir selalu mengenai permukaan

oklusal, sehingga frakturnya pada umumnya vertikal.

Pukulan terhadap gigi anterior paling sering terjadi pada anak-anak dan apabila

dibiarkan maka tubulus dentinnya akan terpapar pada flora normal mulut sehingga

dapat menimbulkan infeksi dan inflamasi pulpa sehingga perlu dirawat. Di pihak

lain, gigi posterior yang fraktur karena tekanan oklusal yang besar biasanya

karena mempunyai tumpatan yang luas. Pada gigi semacam ini, hanya sedikit

tubulus dentin yang terbuka yang langsung berhubungan dengan pulpa karena

telah terjadinya reaksi terhadap karies dan prosedur penambalannya berupa

kalsifikasi tubulus dan penempatan dentin reaksioner di rongga pulpa. Dengan

demikian jaringan pulpanya jarang sekali ikut terkena.

Trauma terhadap gigi pada umumnya bukan merupakan keadaan yang

mengancam nyawa, tetapi cidera maksilofasial lain yang berhubungan dengan

trauma dental dapat mengganggu jalan napas. Fraktur biasanya terjadi pada gigi

permanen, sedangkan gigi susu biasanya hanya mengalami perubahan letak.

Morbiditas yang berhubungan dengan fraktur dental bisa seperti gagalnya

pergantian gigi, perubahan warna gigi, abses, hilangnya ruang pada arkus dental,

ankylosis, lepasnya gigi secara abnormal, dan resorpsi akar merupakan keadaan

yang signifikan. Trauma dental sering berhubungan dengan laserasi intraoral.

Ketika ada gigi yang pecah atau hilang dan pada saat yang bersamaan terdapat

laserasi intraoral, maka harus diperhatikan bahwa bagian gigi yang hilang dapat

tertanam di dalam robekan luka tersebut.

12

Page 13: Trauma Maxillofacial

Ada banyak cara untuk mengklasifikasikan fraktur dental. Klasifikasi Ellis

merupakan salah satu yang sering digunakan dalam literatur kegawatdaruratan,

tetapi banyak dokter gigi dan ahli bedah maksilofasial yang tidak menggunakan

sistem ini. Metode klasifikasi yang paling mudah dimengerti adalah berdasarkan

deskripsi cidera. (6)

6. Fraktur orbita

Fraktur ini terjadi akibat trauma langsung pada tepi tulangnya atau pada

tulang zigomatikus. Trauma tidak langsung pada umumnya disebabkan oleh

benda bulat, misalnya bola yang menyebabkan tekanan besar di dalam orbita

sehingga timbul efek letupan di dalamnya yang berakibat tulang dasar orbita patah

dan sebagian isi irbita masuk ke sinus maksilaris. Kejadian ini disebut juga patah

tulang letup keluar (blow-out fracture).

Gambaran klinis berupa hematom monokel yang dapat disertai diplopia,

hemomaksila, dan mati rasa pipi karena cedera n. Infraorbitalis atau mati rasa dahi

karena kerusakan n. Supraorbitalis.

Blow-out fracture dapat menyebabkan endoftalmos dan sering disertai

dengan terjepitnya m. Rektus inferior di dalam patahan sehingga gerakan mata

sangat terganggu dan penderita mengalami diplopia. Bola mata dapat mengalami

berbagai macam kerusakan dalam. Pengelolaan blow-out fracture ini memerlukan

keahlian khusus. (3)

C. Patofisiologi

Tulang muka mempunyai bagian-bagian yag menonjol sehingga resiko

untuk mendapatkan rudapaksa adalah besar .

Mandibula memiliki struktur mirip tulang panjang yaitu dengan korteks

yang tebal. Patah tulang mandibula biasanya terjadi pada bagian yang lemah yaitu

foramen mentale, angulus, dan kondilus.

Maksila dan zygoma dibentuk oleh tulang pipih dengan beberapa

penyangga yang stabil, dengan suatu rongga didalamnya. Tulang tersebut sangat

rentan tehadap rudapaksa dari arah depan/samping. Bagian penyangga patah pada

13

Page 14: Trauma Maxillofacial

sepanjang sutura sedangkan dinding yang tipis dari sinus maksilaris atau dinding

orbita biasanya frakturnya kominutif. (7)

D. Gejala klinis

Adanya fraktur biasanya ditandai dengan deformitas, oedema, nyeri,

krepitasi dan false movement, bisa disertai luka terbuka pada kulit atau mukosa

mulut. Maloklusi merupakan tanda penting pada fraktur mandibula, maksila atau

alveolus.

Fraktur zigoma dengan displaced yang hebat atau fraktur blow out dapat

memberikan gejala diplopia.

Seringkali fraktur maksilofasial disertai trauma ditempat lain, dan trauma

penyerta yang paling banyak ialah trauma kapitis. (7)

E. Pemeriksaan dan Diagnosis

Diagnosa dari fraktur maksilofasial didasarkan pada pemeriksaan klinis

dan pemeriksaan penunjang.

Anamnesa :

Riwayat trauma pada wajah dapat dijadikan informasi kemungkinan

adanya fraktur selain tanda-tanda klinis. Adanya trauma yang mengenai daerah

muka. Dari anamnesis dapat ditanyakan kronologis kejadian trauma, arah dan

kekuatan dari trauma terhadap pasien maupun saksi mata. Trauma dari arah lateral

sering mengakibatkan fraktur arkus zigoma terisolasi atau fraktur zigoma

komplek yang terdislokasi inferomedial. Trauma dari arah frontal sering

mengakibatkan fraktur yang terdislokasi posterior maupun inferior. Pada

penderita yang tidak sadar maka kita mendapat kesulitan dalam anamnesa. (5,7)

Inspeksi :

Pemeriksaan dilakukan menyeluruh dengan memperhatikan kerusakan di

tempat lain, baik yang dekat maupun yang jauh, terutama cedera otak.

Pemeriksaan lokal dilakukan dengan inspeksi dan palpasi ekstraoral maupun

intraoral. (3)

Pemeriksaan klinis seringkali sulit dilakukan karena adanya penurunan

kesadaran, oedem dan kontusio jaringan lunak dari pasien yang dapat

14

Page 15: Trauma Maxillofacial

mengaburkan pemeriksaan klinis, dan pula tidak ada indikator yang sensitif

terhadap adanya fraktur maksilofasial. (5)

Pada inspeksi diperhatikan adanya: (3,5,7)

Bentuk asimetris muka karena adanya deformitas

Maloklusi terjadi pada fraktur maksila / mandibula / alveolus.

Enoptalmus atau letak bola mata yang lebih rendah pada fraktur zigoma

Pembengkakan, hematoma, trismus, dan nyeri spontan

Fraktur maksilofasial biasanya disertai odem dan hematoma sehingga

muka tampak sangat bengkak.

Pada fraktur zigoma, inspeksi dilakukan dari arah frontal, lateral, superior,

dan inferior. Diperhatikan simetri dan ketinggian pupil yang merupakan

petunjuk adanya pergeseran pada dasar orbita dan aspek lateral orbita,

adanya ekimosis periorbita, ekimosis subkonjungtiva, abnormal

sensitivitas nervus, diplopia dan enoptalmus; yang merupakan gejala yang

khas efek pergeseran tulang zigoma terhadap jaringan lunak sekitarnya.

Tanda yang khas dan jelas pada trauma zigoma adalah hilangnya tonjolan

prominen pada daerah zigomatikus. Selain itu hilangnya kurvatur

cembung yang normal pada daerah temporal berkaitan dengan fraktur

arkus zigomatikus. Deformitas pada tepi orbita sering terjadi jika terdapat

pergeseran, terutama pada tepi orbital lateral dan infraorbita.

Palpasi :

Harus dikerjakan secara bersamaan, sistematis, seksama dan bandingkan

kanan kiri mulai dari margo supraorbitalis-arkus zigoma-margo infraorbitalis-

nasal-korpus zigoma-mandibula.(7) Pada kecurigaan fraktur zigoma, ahli bedah

juga meletakkan jari telunjuk dibawah margin infraorbita, sepanjang zigoma,

menekan ke dalam jaringan yang oedem untuk palpasi secara simultan dan

mengurangi efek visual dari oedem saat melakukan pemeriksaan ini. (5)

Palpasi intraoral perlu dilakukan untuk mengetahui adanya fraktur

palatum. Fraktur maksila tanpa maloklusi atau pada penderita tidak bergigi maka

dapat ditentukan dengan adanya mobilitas maksila pada palpasi intraoral. (7)

15

Page 16: Trauma Maxillofacial

Pemeriksaan radiologis :

Pemeriksaan X-foto rutin yang dibuat ialah posisi AP / lateral / water’s,

yang mana ketiganya akan saling melengkapi. Bila dengan ketiga posisi tersebut

masih belum jelas sedangkan klinis sangat mencurigakan adanya fraktur maka

dapat dibuat X-foto posisi lain, seperti :

Posisi eisler : untuk melihat adanya fraktur mandibula (korpus, angulus,

ramus, kondilus, proc. koronoid)

Proyeksi submental vertikal : untuk melihat adanya fraktur arcus zygoma.

Ortopantomografi : untuk melihat fraktur kondilus dan fraktur mandibula

yang non displaced

Tomografi/ CT scan : untuk melihat fraktur dinding orbita.

CT scan pada potongan axial maupun coronal merupakan gold standard

pada pasien dengan kecurigaan fraktur zigoma, untuk mendapatkan pola fraktur,

derajat pergeseran, dan evaluasi jaringan lunak orbital. (7)

Rö Foto Posisi Water’s

F. Diagnosis banding

Dislokasi gigi, keadaan ini dapat memberikan gambaran maloklusi

sehingga dapat dikacaukan dengan fraktur maksila / mandibula / alveolus. (7)

G. Penatalaksanaan

Fraktur maksilofasial yang hebat selain terjadi perdarahan dapat juga

terjadi obstruksi saluran nafas bagian atas. Hal ini harus secepatnya diatasi dengan

intubasi selanjutnya trakeotomi sesudah melakukan terapi pada saluran nafas,

pernafasan dan terapi cairan. (7)

Bila terdapat trauma penyerta yang membahayakan jiwa penderita maka

trauma penyerta tersebut yang harus ditangani lebih dahulu sedangkan

penanganan definitif untuk fraktur maksilofasial dikerjakan belakangan. (7)

16

Page 17: Trauma Maxillofacial

Penderita yang disertai gangguan kesadaran karena trauma kapitis

ditunggu sampai kesadarannya membaik dan kooperatif baru dilakukan

pengobatan fraktur maksilofasialnya agar hasil pengobatan dapat baik. (7) Proses

penyembuhan tulang muka lebih cepat dibanding dengan di tempat lain yaitu ± 3

minggu. Oleh karena itu reposisi dan fiksasi sedini mungkin. Bila terlambat akan

terjadi malunion. Dalam hal ini penatalaksanaan meliputi refrakturisasi, reposisi,

dan fiksasi. (4)

Tindakan operasi :

Fraktur mandibula

Reposisi terbuka, fiksasi dengan interosseus wiring dan immobilisasi dengan

interdental wiring. Interdental wiring dipertahankan selama 1 bulan. Fraktur

daerah ramus, kondilus, koronoid yang maloklusinya dapat dikoreksi dengan

reposisi tertutup, cukup di immobilisasi dengan interdental wiring. (7)

Fraktur maksila

Reposisi, suspensi (Le Fort I, II dengan zygomatico circumferential wiring, Le

Fort III dengan fronto circumferential wiring) internal wiring. Untuk fraktur

maksila yang impresif perlu dilakukan traksi skeletal. Interdental wiring

dipertahankan 1 bulan sedangkan suspensi dipertahankan selama 2 bulan. (7)

Fraktur zygoma

Optimalnya fraktur ditangani sebelum oedem pada jaringan muncul, tetapi

pada praktek di lapangan hal ini sangat sulit. Keputusan untuk penanganan

tidak perlu dilakukan terburu-buru karena fraktur zigoma bukan merupakan

keadaan yang darurat. Penundaan dapat dilakukan beberapa hari sampai

beberapa minggu sampai oedem mereda dan penanganan fraktur dapat lebih

mudah.

Penatalaksanaan fraktur zigoma tergantung pada derajat pergeseran tulang,

segi estetika dan defisit fungsional. Perawatan fraktur zigoma bervariasi dari

tidak ada intervensi dan observasi meredanya oedem, disfungsi otot

ekstraokular dan parestesi hingga reduksi terbuka dan fiksasi interna.

Intervensi tidak selalu diperlukan karena banyak fraktur yang tidak mengalami

pergeseran atau mengalami pergeseran minimal. Penelitian menunjukkan

17

Page 18: Trauma Maxillofacial

bahwa antara 9-50% dari fraktur zigoma tidak membutuhkan perawatan

operatif. Jika intervensi diperlukan, perawatan yang tepat harus diberikan

seperti fraktur lain yang mengalami pergeseran yang membutuhkan reduksi

dan alat fiksasi. (5)

Bila hanya ada deformitas saja maka dilakukan reposisi tertutup dengan cara

Gillies, bila ternyata tidak stabil maka perlu reposisi terbuka dan fiksasi

dengan interosseus wiring. Indikasi reposisi terbuka yang lain ialah adanya

diplopia, ganguan n. infraorbitalis. (7)

Fraktur nasal

Indikasi operasi adalah adanya deformitas. Dilakukan reposisi tertutup, pasang

tampon kavum nasi dan immobilisasi dengan splin eksterna (gips kupu-kupu).

Tampon diambil hari ke 3-4 untuk mencegah overkoreksi

Splin eksterna dipertahankan selama 2 minggu

Diperlukan reposisi terbuka bila fraktur nasal menyangkut juga etmoid dan

avulsi ligamen kantus medialis, dilakukan fiksasi dengan kawat (wiring). (7)

Fraktur orbita

Koreksi otot yang terjepit, cegah enophtalmus, pasang ORIF dengan atau

tanpa bone grafting. (8)

DAFTAR PUSTAKA

1. Anonymous. 2007. Bedah Kepala Leher XI. Simposia-Vol 7 No 1. Website:

http://www.majalah-farmacia.com. Diakses tanggal 25 Maret 2009 jam

20.00 wib.

18

Page 19: Trauma Maxillofacial

2. Thaib Roesli, Satoto, Syamsudin. 1985. Masalah Anestesia Pada Trauma

Maksilo Fasial. Jakarta.

http://www.kalbe.co.id/MasalahAnestesiaPadaTraumaMaksiloFasial.html.

Diakses tanggal 28 Maret 2009 jam 16.10 wib.

3. R. Sjamsuhidajat. 2005. Trauma Kepala. Dalam: Buku ajar ilmu bedah.

Edisi 2. Jakarta: EGC. Hal 337-341.

4. Mansjoer, Arief, dkk. 2000. Trauma Muka. Dalam: Kapita Selekta

Kedokteran Jilid II. Edisi 3. Jakarta : Media Aesculapius. Hal 371-373.

5. Anonymous. 2008. Fraktur Zygoma.

http://www.ojs.lib.unair.ac.id/frakturzygoma. Diakses tanggal 25 Maret

2009 jam 19.50 wib.

6. Anonymous. 2009. Fraktur Dental. http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-

makalah-tentang/fraktur-dental. Diakses tanggal 28 Maret 2009 jam 16.40

wib.

7. Anonymus. 1994. Fraktur Maksilofasial. Dalam: Pedoman Diagnosis dan

Terapi Ilmu Bedah. Surabaya: FK Unair. Hal: 21-23.

8. Oetomo Koernia Swa. 2009. Trauma Maxillofascial. Dalam: Bedah Gawat

Darurat. Surabaya: RSUD Haji. Hal: 69.

19