trauma hipoksia

11
Hipoksia perinatal adalah kondisi terganggunya pertukaran gas selama periode intrapartum yang apabila berkelanjutan akan mengakibatkan hipoksemia dan hiperkarbia, dan fetal asidosis. 1,2 Trauma hipoksia terjadi akibat dari gangguan pertukaran gas melalui plasenta yang berdampak tidak adekuatnya suplai oksigen dan perpindahan karbon dioksida serta hidrogen (H+) dari janin pada periode intrapartum. Etiologi hipoksia perinatal meliputi faktor maternal, uteroplasenta dan janin itu sendiri. Faktor maternal dapat berupa infeksi (korioamnionitis), penyakit ibu (hipertensi kronik, penyakit jantung, penyakit ginjal, dan diabetes. Faktor uteroplasenta adalah karena adanya insufisiensi plasenta, oligohidramnion, polihidramnion, rupture uterus, gangguan tali pusat (tali pusat menumbung, lilitan tali pusat, prolaps tali pusat). Faktor janin terdiri dari prematuritas, bayi kecil masa kehamilan, kelainan bawaan, infeksi, depresi saraf pusat oleh obat-obatan, dan twin to twin transfusion. 1,3,4 Hypoxic ischemic encephalopathy/ Ensefalopati hipoksik iskemik (HIE), merupakan gangguan tingkat kesadaran yang disebabkan oleh hipoksia berkelanjutan yang dipengaruhi aliran darah ke otak. 1,5 Kondisi ini biasanya berupa gangguan neurologis berupa manifestasi penurunan tonus otot dan reflex dan penurunan kesadaran. Proses terjadinya kerusakan otak yang disebabkan oleh gangguan hipoksik iskemik terdiri dari 2 fase. Fase pertama terdiri dari early energy failure meliputi penurunan metabolisme energi oksidatif dan menginisiasi terjadinya nekrosis sel. Fase kedua terdiri dari kematian sel yang disebut late energy failure. Pada fase ini terjadi reperfusi dan reoksigenasi beberapa jam setelah fase inisial. 6 Gangguan reperfusi akan menyebabkan penurunan asupan oksigen dan glukosa yang menyebabkan kegagalan energi dan menginisiasi gangguan biokimia yang menyebabkan disfungsi sel bahkan kematian sel. Konsekuensi dari terjadinya reperfusi otak menyebabkan deteriorasi

Upload: aduy-hudaya-widihastha

Post on 13-Dec-2015

8 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

nn

TRANSCRIPT

Page 1: Trauma Hipoksia

Hipoksia perinatal adalah kondisi terganggunya pertukaran gas selama periode intrapartum

yang apabila berkelanjutan akan mengakibatkan hipoksemia dan hiperkarbia, dan fetal asidosis.1,2

Trauma hipoksia terjadi akibat dari gangguan pertukaran gas melalui plasenta yang berdampak tidak

adekuatnya suplai oksigen dan perpindahan karbon dioksida serta hidrogen (H+) dari janin pada periode

intrapartum. Etiologi hipoksia perinatal meliputi faktor maternal, uteroplasenta dan janin itu sendiri.

Faktor maternal dapat berupa infeksi (korioamnionitis), penyakit ibu (hipertensi kronik, penyakit

jantung, penyakit ginjal, dan diabetes. Faktor uteroplasenta adalah karena adanya insufisiensi plasenta,

oligohidramnion, polihidramnion, rupture uterus, gangguan tali pusat (tali pusat menumbung, lilitan tali

pusat, prolaps tali pusat). Faktor janin terdiri dari prematuritas, bayi kecil masa kehamilan, kelainan

bawaan, infeksi, depresi saraf pusat oleh obat-obatan, dan twin to twin transfusion. 1,3,4

Hypoxic ischemic encephalopathy/ Ensefalopati hipoksik iskemik (HIE), merupakan gangguan

tingkat kesadaran yang disebabkan oleh hipoksia berkelanjutan yang dipengaruhi aliran darah ke otak.1,5

Kondisi ini biasanya berupa gangguan neurologis berupa manifestasi penurunan tonus otot dan reflex

dan penurunan kesadaran. Proses terjadinya kerusakan otak yang disebabkan oleh gangguan hipoksik

iskemik terdiri dari 2 fase. Fase pertama terdiri dari early energy failure meliputi penurunan

metabolisme energi oksidatif dan menginisiasi terjadinya nekrosis sel. Fase kedua terdiri dari kematian

sel yang disebut late energy failure. Pada fase ini terjadi reperfusi dan reoksigenasi beberapa jam

setelah fase inisial.6 Gangguan reperfusi akan menyebabkan penurunan asupan oksigen dan glukosa

yang menyebabkan kegagalan energi dan menginisiasi gangguan biokimia yang menyebabkan disfungsi

sel bahkan kematian sel. Konsekuensi dari terjadinya reperfusi otak menyebabkan deteriorasi

metabolisme otak, ditandai dengan peningkatan stres oksidatif, peningkatan glutamat ekstraseluler,

aktivasi berlebihan reseptor glutamat, peningkatan kalsium dan radikal bebas.6 Gangguan hipoksia

iskemik juga akan menyebabkan membran depolarisasi, mempengaruhi eksositosis dan stres oksidatif

yang menunda proses apoptosis, serta pengeluaran mediator inflamasi seperti tumor necrosis factor,

interleukin. Depolarisasi membran persisten dapat menyebabkan pelepasan glutamat presinaps,

mengubah transport glutamat, mempengaruhi perubahan transpor glutamat pada glia dan terminal

neural. Hilangnya membran potensial mitokondrial disertai dengan peningkatan konsentrasi glutamate

akan mengaktivasi N-methyl D aspartic acid (NMDA) dan kanal kalsium sehingga masuk ke sel neuron.

Hal ini meningkatkan produksi radikal bebas dan aktivasi lipase, protease dan endonuklease dan

menyebabkan kematian sel. Efek dari ketiadaan sistosolik kalsium menyebabkan degradasi lipid seluler

dengan mengaktivasi fosfolipase DNA sel dengan aktivasi nukleus dan radikal bebas serta nitrit oksida

dengan peningkatan nitrit oxide synthase (NOS).7 Nitrit oksida akan bereaksi dengan superoksida

Page 2: Trauma Hipoksia

membentuk peroxynitrite. Reaksi ini menyebabkan peningkatan produksi radikal hidroksi sehingga

meningkatkan peroksidase lipid yang menyebabkan kerusakan otak lebih jauh.6

Berdasarkan waktu, jejas yang ditimbulkan oleh kejadian hipoksik iskemik dibagi menjadi dua

yaitu akut dan berkelanjutan. Kerusakan otak yang disebabkan oleh fase akut contohnya terjadinya

ruptur uterus, sering diikuti dengan adanya bradikardia, dan jejas otak yang ditimbulkan lebih ke arah

bagian tengah otak. Sebaliknya jejas otak yang disebabkan proses yang berkelanjutan akan disertai

terdeteksinya perlambatan denyut jantung janin (contohnya insufisiensi plasenta) lebih banyak

menyebabkan jejas otak pada daerah wathershed zone.8 Gangguan perkembangan lebih lanjut yang

disebabkan oleh jejas akut antara lain cerebral palsy, athetoid, spastik kuadriplegia, mikrosefal,

gangguan kognitif. Kerusakan pada watershed akan menyebabkan berbagai gangguan kognitif,

kerusakan penglihatan 8,9 Lamanya waktu terjadinya hipoksia serta tingkat keparahan gangguan

neurologisnya sangat berpengaruh menentukan dampak hipoksia tersebut.

Palsi serebral / cerebral palsy (CP) merupakan kerusakan permanen non progresif pada otak

yang terjadi sebelum, selama atau setelah lahir, namun intervensi dini dapat meminimalisasi kelainan

neurologis pada penderita CP. Diduga kerusakan terjadi pada daerah ganglia basalis, thalamus dan area

perirolandik akibat hipoksia perinatal berperan pada terjadinya CP di masa yang akan datang.10

Gangguan kognitif juga dapat terjadi akibat hipoksia yang dihasilkan dari jejas pada substansia alba,

thalamus, dan gangglia basalis.11 Gangguan kemampuan kognitif yang seringkali terdeteksi pertama kali

adalah keterlambatan membaca dan berhitung serta mulai tampak pada usia sekolah.9,10 Struktur ini

terkait dengan fungsi kognitif seperti ingatan dan perhatian yang merupakan patogenesis terjadinya

gangguan attention deficit hyperactive disorder (ADHD), autisme dan skizofrenia.5,11,12,13

Hal yang memperberat gangguan neurodevelopmental pada anak dengan riwayat hipoksia

adalah adanya gangguan fungsi indra antara lain penglihatan dan pendengaran. Beberapa hal yang perlu

terus dipantau pada anak yang memiliki risiko hipoksia perinatal antara lain adanya sensori hearing loss

pada tahun pertama serta gangguan penglihatan akibat jejas pada korteks lateral oksipitoparietal

bilateral yang mempengaruhi penglihatan.5 Tatalaksana yang tepat dengan monitoring ketat akan

mencegah terjadinya kasus amblyopia sekunder di masa yang akan datang dan mengoptimalkan

penglihatan. Hipoksia juga menyebabkan terjadinya hiperpolarisasi sel rambut dalam yang dapat

mengakibatkan perubahan pada neuron pendengaran. Pada hipoksia akan terjadi hiperpolarisasi dari sel

rambut yang akan mengakibatkan penurunan jumlah transmiter yang dilepaskan dan berakibat

penurunan dari aktivitas saraf. Dalam penelitian histopatologi tulang temporal, lesi koklea telah diamati

pada bayi dengan asfiksia berat. Kejadian HIE yang disertai hipertensi pulmonal juga memberikan risiko

Page 3: Trauma Hipoksia

lebih tinggi untuk keterjadian tuli sensorineural, sehingga penting dilakukannya skrining awal

pendengaran pada anak dengan riwayat hipoksia.8

DIAGNOSIS

Penegakan diagnosis hipoksia perinatal tidak hanya dibuat berdasarkan skor Apgar (Appearance,

Pulse, Grimace, Activity, Respiration) yang rendah, melainkan menggunakan penanda berupa indikator

distres pernapasan seperti ketuban tercampur mekonium, respons respirasi spontan yang terlambat,

skor Apgar yang rendah (kurang dari 6 atau 7 setelah 5 menit), asidosis metabolic dan diperlukannya

bantuan ventilasi tekanan positif sehingga didapatkan hasil yang lebih akurat. Berdasarkan The American

Academy of Pediatrics (AAP) dan The American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG)

karakteristik hipoksia perinatal yaitu asidosis (pH<7.00), skor Apgar 0-3 menetap lebih dari 5 menit,

terdapat manifestasi neurologi: kejang, hipotoni, serta didapatkan disfungsi multiorgan.5,14

Penegakan diagnosis hipoksia perinatal dilakukan berdasarkan penilaian awal pada neonatus,

risiko yang dialami neonatus dengan Apgar skor yang rendah, gangguan pH, serta presentasi klinis.

Presentasi klinis dapat disebabkan oleh trauma lahir, aspirasi mekonium, hipertensi pulmonal.

Rendahnya Apgar skor lebih lanjut akan menggambarkan kerusakan integritas kardiovaskular, penilaian

ini apabila didapatkan Apgar skor ≤3 pada menit ke-10 termasuk faktor depresi akibat anestesi, trauma,

infeksi, dan gangguan kardiopulmonal. Gangguan asidosis berat didapatkan bila pH≤ 7, base defisit ≥16

mmol/L. Hipoksia perinatal yang perlu diwaspadai menjadi gangguan neurodevelopmental jangka

panjang apabila didapatkan denyut jantung <60 kali/menit, Apgar ≤3 pada 10 menit, memerlukan

ventilasi tekanan positif pada menit 1 atau belum menangis lebih dari 5 menit, kejang pada usia 12

sampai 24 jam, gambaran burst suppressed pada EEG.15 Adanya kejang yang terdeteksi pada awal jam

pertama kehidupan menunjukkan prognosis ke arah yang lebih buruk. Pada saat kejang, metabolisme

energi akan meningkatkan hiperaktivitas neuron dan berimplikasi pada eksitoksisitas. Pemantauan

kejang dapat dilakukan dengan menggunakan Electroencephalography (EEG), atau menggunakan

Cerebral Function Monitor (CFM) yang menggunakan metode Amplitude-Integrated

Electroencephalography (aEEG) 7,16

Gangguan ensefalopati sedang dan berat yang akan timbul pada 5 hari pertama, dengan

kerusakan yang tersering ditemukan adalah pada bagian fronto-parietal. Gambaran EEG yang tampak

abnormal minimal maupun normal pada kasus HIE dapat mengalami perubahan perburukan pada follow

up 2 tahun kemudian.17,18

Page 4: Trauma Hipoksia

Gejala klinis HIE sendiri dibagi menjadi 3 menurut Sarnat dan Sarnat. Gangguan jangka panjang

yang ditimbulkan pada HIE stadium 1 didapatkan lebih ringan dibandingkan pada gangguan yang

ditimbulkan HIE stadium 2 dan 3. Stadium 1 ditandai dengan hyperalert, EEG normal, moro dan refleks

regangan baik. Stadium 2 ditandai dengan hipotonia, fleksi distal, kejang multifokal, stadium 3 ditandai

dengan stupor, flaksid serta gambaran EEG abnormal.19

Tabel 1. Klasifikasi ensefalopati hipoksik iskemik

Stadium 1 Stadium 2 Stadium 3

Tingkat kesadaran Hyper alert/irritable Letargis Stupor

Tonus otot Normal Hipotoni Flaksid

Postur Normal Fleksi Deserebrasi

Refleks regangan Hiperaktif Hiperaktif Penurunan refleks/tidak

ada

Mioklonus Ada Ada Tidak ada

Sucking reflex Lemah Lemah Tidak ada

Moro Kuat Lemah Tidak ada

Occulovestibular Normal Tidak ada atau lemah

Tonic neck Berkurang Kuat Tidak ada

Function autonomic Dominan simpatik Dominan parasimpatik Terganggu parasimpatik

dan simpatik

Pupils Midriasis Miosis Bervariasi, refleks cahaya

berkurang

Denyut jantung Takikardi Bradikardi Bervariasi

Motilitas gastrointestinal Berkurang Berkurang Bervariasi

Kejang Tidak ada Fokal atau multi fokal Uncommon (deserebrasi)

EEG Normal Voltase rendah sampai

bangkitan kejang

Burst suppression ke

isoelektrik

Durasi <24 jam 24 jam sampai 14 hari Beberapa hari sampai

minggu

Sumber: Sarnat dan Sarnat19

Page 5: Trauma Hipoksia

PENATALAKSANAAN

Perinatal hipoksia memerlukan perawatan secara intensif. Perawatan suportif yang hendaknya

diperhatikan antara lain meliputi koreksi hemodinamik dan asidosis, memperhatikan kadar glukosa,

kalsium, magnesium dan elektrolit, memperhatikan kadar kecukupan oksigen. Kekurangan oksigen akan

menyebabkan gangguan autoregulasi serebrovaskular yang menyebabkan aliran darah lebih banyak

pada bagian otak yang sehat, serta peningkatan jejas pada area substantia alba.15 Penggunaan terapi

oksigen jangka panjang dapat menyebabkan dysplasia bronkopulmonal. Tatalaksana komplikasi displasia

bronkopulmonal ini dapat mengurangi efek jangka panjang neurodevelopmental yang buruk.

Penggunaan neuroprotektif untuk mengurangi gejala sisa dari hipoksia perinatal masih

merupakan perdebatan. Tujuan dari terapi ini adalah untuk mengurangi jejas pada otak dengan

mengurangi pembentukan radikal bebas, menghambat influks kalsium yang berlebihan ke dalam neuron

dan meminimalkan edema serebral. Penggunaan N-acetylcysteine, magnesium glutamat receptor,

allopurinol, eritropoetin serta teknik hipotermia diduga dapat meminimalkan radikal bebas dan jejas

pada otak. 6

Terapi farmakologis digunakan untuk mengurangi radikal bebas dan menghambat influks

kalsium secara berlebihan utuk mengurangi terjadinya edema serebral, yang diantaranya adalah

allopurinol, magnesium sulfat, eritropoetin, statin, xenon dan cannabinoid.6 Allopurinol mampu

mengurangi pembentukan radikal bebas dan mampu menghambat kerja xanthine oksidase yang terlibat

pada kerusakan reperfusi. Xenon, yang merupakan zat antagonis non kompetitif dari N methyl D

aspartate (NMDA) dengan menghambat pelepasan neurotransmiter, menginhibisi kalsium/calmodulin

dependent protein kinase II.20 Magnesium sulfat berperan sebagai agen neuroprotektif dengan

mencegah terjadinya eksitotoksik dari jejas yang disebabkan oleh masuknya kalsium dengan

menginhibisi reseptor NMDA.5 Cannabinoid merupakan agen neuroprotektif dengan cara menginduksi

terjadinya penutupan kanal kalsium sehingga menginduksi neuroproteksi dengan mengurangi respons

glutamat.21

Terapi neuroprotektif lain yang dapat digunakan antara lain eritropoetin, melantonin,

desferoksamin, magnesium sulfat. Eritropoetin yang memiliki efek antiapoptotik dan angiogenik.

Melantonin memiliki efek antiapotosis dan antiinflamasi sehingga meningkatkan aktivasi mikroglia dan

meningkatkan sitokin pro inflamasi. Desferoksamin berfungsi meningkatkan metabolisme otak dan

membantu reperfusi.6

Pada teknik hipotermia (cooling therapy), dengan penuruhan suhu 3–5 derajat Celsius

diharapkan akan mampu mengurangi jejas pada otak dan meminimalkan penggunaan energi,

Page 6: Trauma Hipoksia

mengurangi ukuran infark yang disebabkan oleh hipoksia, mengurangi ameliorasi sel neuronal serta

struktur hipokampus dan diharapkan mampu meningkatkan kemampuan perkembangan neurologis.

Suhu yang digunakan untuk standar mengurangi jejas otak akibat hipoksik iskemik pada neonatus adalah

32–34˚C, dengan pengurangan 1˚C pada suhu inti akan membantu mengurangi laju metabolisme 6–7%. 6

Terapi hipotermi pada kepala dan badan ini akan mengurangi insidens jejas pada thalamus. Mekanisme

neuroproteksi dari hipotermi ini adalah mempertahankan neuron yang normal di gangglia basalis dan

supresi aktivasi caspase-3. Hipotermia akan menekan aktivasi mikroglia, dan lebih lanjut menekan

proses inflamasi dengan menurunkan produksi TNFα, IL-1β, dan IL-18. Proses hipotermia akan

meningkatkan suplai oksigen ke area iskemik otak sehingga mengurangi tekanan intracranial.22

Hipoksik iskemik

Menit Primary energy failure jam Secondary energy failure hari

- Melantonin - Hipotermi - Cannabinod

- Allopurinol - Magnesium sulfat - N-acetylcysteine

- Statin - Xenon - Iminobiotin

- Argon - Melatonin

- Deferoksamin - Eritropoetin

- Cannabinoid - Sel punca

Gambar 1. Terapi neuroprotektif, waktu pemberian dan hubungannya dengan mekanisme aksi hipoksik

iskemik

Sumber : Cerio,dkk.6

REFERENSI

Page 7: Trauma Hipoksia

1. Hansen AR, Soul JS. Perinatal asphyxia and hypoxic ischemic encephalopathy. In: Cloherty JP, Eichenwald EC, Hansen AR, Stark AR, editors. Manual of Neonatal Care. 7. Philadelphia: Lippincott Williams and Witkins; 2012. p. 721-6.

2. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Tuttle D. Perinatal Asphyxia. 6. United States of America: The McGraw-Hill; 2009. p. 624-35.

3. Levene MI, Vries Ld. Hypoxic Ischemic Encephalopathy. In: Martin RJ, Fanaroff AA, Walsh MC, editors. Fanaroff and Martin's Neonatal Perinatal 8: Elseveir Mosby; 2006.

4. Martinez-Biarge M, Madero R, González A, Quero J, García-Alix A. Perinatal morbidity and risk of hypoxic-ischemic encephalopathy associated with intrapartum sentinel events. Am J Obstet Gynecol 2012;206(148):1-7.

5. Handel Mv, Swaab H, Vries LSd, Jongmans MJ. Long-term cognitive and behavioral consequences of neonatal encephalopathy following perinatal asphyxia: a review. Eur J Pediatr 2007;166:645-54.

6. Cerio FGd, Lara-Celador I, Alvarez A, Hilario E. Neuroprotective Therapies after Perinatal Hypoxic-Ischemic Brain Injury. Brain Sci. 2013;3:191-214.

7. Lai M-C, Yang S-N. Perinatal Hypoxic-Ischemic Encephalopathy. Hindawi publishing coorporation. 2010:1-6.

8. Robertson CM, Perlman M. Follow-up of the term infant after hypoxic-ischemic encephalopathy. Paediatr Child Health. 2006;11(5):278-82.

9. Vries LSd, Jongmans MJ. Long-term outcome after neonatal hypoxic ischemic encephalopathy. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2010;95:220–F4.

10. Perez A, Ritter S, Brotschi B, Werner H, Caflisch J, Martin E, et al. Long-Term Neurodevelopmental Outcome with Hypoxic-Ischemic Encephalopathy. J Peds. 2013:1-7.

11. Armstrong-Wellsa J, Bernarda TJ, Boadaa R, Manco-Johnson M. Neurocognitive outcomes following neonatal encephalopathy. NeuroRehabilitation 2010;26:27-33.

12. deHaan M, Wyatt J, Roth S, Vargha-Khadem F, Gadian D, Mishkin M. Brain and cognitive behavioral development after asphyxia at term birth. Dev Sci. 2006;9(4):350-8.

13. Badawi N, Dixon G, Felix J, Keogh J, Petterson B, Stanley F, et al. Autism following a history of newborn encephalopathy: more than a coincidence? . Dev Med Child Neurol. 2006;48:85-9.

14. American AoP. The Apgar Score. The American college of obstetrician and gynecologists. 2006;117(4):1444-7.

15. Hansen AR, Soul JS. Perinatal asphyxia and hypoxic ischemic encephalopathy. In: Cloherty JP, Eichenwald EC, Hansen AR, Stark AR, editors. Manual of Neonatal Care. 7. Philadelphia: Lippincott Williams and Witkins; 2012. p. 721-6.

16. Vasiljevi B, Maglajli-Djuki S, Gojni M. The prognostic value of amplitude-integrated electroencephalography in neonates with hypoxic-ischemic encephalopathy. Vojnosanit Pregl 2012;69(6):492–9.

17. Horn AR, Swingler GH, Myer L, Linley LL, Raban MS, Joolay Y, et al. Early clinical signs in neonates with hypoxic ischemic encephalopathy predict an abnormal amplitude-integrated electroencephalogram at age 6 hours. BMC Pediatrics 2013;13:52-62.

18. Murray DM, Boylan GB, Ryan CA, Connolly S. Early EEG findings in hypoxic-ischemic encephalopathy predict outcomes at 2 years. Pediatrics 2009;124:459-69.

19. Sarnat H, Sarnat M. Neonatal encephalopathy following fetal distress. A clinical and electroencephalographic study. Arch Dis Child Fetal Neonatal. 1976;75:145-51.

20. Ma D, Williamson P, Januszewski A, Nogaro M, M Hossain M, Ong L, et al. Xenon mitigates isoflurane-induced neuronal apoptosis in the developing rodent brain. Anaesthesiology. 2007;106:746–53.

21. Yager J. Animal models of hypoxic-ischemic brain damage in the newborn. Semin Pediatr Neurol. 2004;11:31-46.

22. Polderman KH. Mechanisms of action, physiological effects, and complications of hypothermia. Crit Care Med 2009;37(7):1-17.