titik temu hisab dan ru'yah
TRANSCRIPT
METHODOLOGI PENETAPAN AWAL RAMADHAN DAN AWAL SYAWAL (MENENTUKAN TITIK TEMU HISAB
DAN RU’YAH) PADA ASPEK RU’YAHNYAOleh: Dra. Hj. Mashunah Hanafi, MA
Disampiakan pada Seminar MUI Kota Banjarmasin
PENDAHULUAN
Penentuan awal bulan Ramadhan dan Syawal selalu mendapat perhatian khusus dari
masyarakat Islam, sejak masa Rasulullah saw hingga kini, karena keterkaitannya dengan
ibadah puasa dan hariraya. Bahkan ia dapat mempengaruhi stabilitas, ketentraman dan
keamanan masyarakat. Oleh karena itu para ahli hukum Islam menentukan norma-norma
yang mengatur tata cara penentuan awal bulan Ramadhan dan Syawal tersebut.
Rasulullah saw memberikan pedoman kepada ummat Islam bagaimana memulai
berpuasa serta mengakhirinya. Beliau memberikan pedoman bahwa pada masyarakat Arab,
pada waktu itu belum menguasai astronomi dan matematika dan sesuai dengan ketentuan
bahwa umur bulan qamariah itu ada 29 atau 30 hari, maka penentuan awal bulan ramadhan
dan Syawal berdasarkan RU’YAH (melihat dengan mata telanjang) hilal atau
menyempurnakan umur bulan Sya’ban atau Ramadhan menjadi 30 hari, apabila hilal tidak
terlihat pada akhir bulan-bulan tersebut. Hal ini sesuai dengan tradisi bangsa Arab pada
masa itu. Sementara itu Al-qur’an memberikan syariat bahwa peredaran bulan, bintang dan
matahari dapat dijadikan pedoman untuk menentukan awal bulan qamariah. Kemudian para
ahli hukum Islam berbeda pendapat dalam menerapkan serta menjabarkan pesan-pesan Al-
Qur’an dan Hadist tersebut seiring dengan kemajuan sains dan teknologi dikalangan
masyarakat Islam pada masanya. Sebagian ulama berpendapat bahwa untuk menentukan
awal Ramadhan dan Syawal cukup hanya dengan menggunakan RU’YAH dengan mata
telanjang. Sementara itu yang lain berpendapat bahwa untuk menentukan awal Ramadhan
dan Syawal itu cukup dengan hisab. Sedangkan yang lain berpendapat bahwa untuk
menentukan bahwa untuk menentukan awal Ramadhan dan Syawal berdasarkan RU’YAH
yang didukung hisab dan hisab yang didukung rakyat.
Situasi tersebut di atas terdapat didalam masyarakat Islam di Indonesia. Dan apabila
diadakan penelitian secara seksama perbedaan perbedaan dalam penentuan awal bulan
qamariah ini, disebabkan oleh dua hal yang pokok:
1. Dari segi penetapan hukum
2. Dari segi sistem dan metode perhitungan
PENENTUAN AWAL BULAN QAMARIAH UNTUK PENETAPAN HUKUM
Di Indonesia dari segi penetapan hukum ini dapat dibedakan menjadi 4 (empat)
kelompok besar.
Kelompok Pertama: yang berpegang kepada RU’YAH, kelompok ini bukannya tidak
melakukan hisab sebagai persiapan untuk kesuksesan mereka melakukan RU’YAH, hanya
saja mereka menganggap bahwa hisab itu sebagai alat pembantu saja guna suksesnya
RU’YAH.
RU’YAH bagi mereka ini merupakan salah satu alat bukti yang dipergunakan untuk
penentuan masuknya awal bulan qamariah yang ada sangkut pautnya dengan ibadah,
apabila hisab sudah di RU’YAH dan setelah dilaksanakan itsbat menurut tata cara yang
lazim barulah hasil RU’YAH itu dikumandangkan .
Landasan pokok dari kelompok ini adalah karena adanya hadist Nabi yang
memerintahkan kepada umatnya agar berpuasa karena melihat bulan dan berhari raya
melihatnya.
Kelompok Kedua: kelompok yang memegang ijtimak sebagai pedoman untuk
penentuan awal bulan qamariah.
Kelompok ini pada saat melakukan perhitungan perhitungan hanyalah sampai
kepada ijtimak saja, dan biasanya tidak pernah menjelaskan kedudukan atau posisi bulan
berapa derajat di atas ufuk.
Kelompok ini berlandaskan kepada pendirian apabila ijtimak terjadi sebelum
matahari terbenam, maka keesokan harinya dianggap bulan baru, sedang apabila ijtimak
terjadi sesudah matahari terbenam keesokan harinya dianggap bulan yang sedang berjalan.
Kelompok ketiga: kelompok yang memandang bahwa ufuk hakiki sebagai kriterium untuk
menentukan wujudnya hilal.
Kelompok ini dalam mempersiapkan perhitngan-perhitungannya berpegang kepada
kedudukan hakiki dari pada bulan, dengan alasan bahwa bulan dalam keadaan dekat dengan
matahari tidak mungkin bersinar, oleh sebab itu mereka ini tidaklah melakukan koreksi-
koreksi yang berguna untuk kepentingan rakyat.
Kegiatan pokok kelompok ini dalam mempersiapkan perhitungan ialah menentukan
kedudukan dari pada bulan pada saat matahari terbenam, apabila bulan berada di atas ufuk
hakiki maka bulan dihukumi wujud, yang dimaksud ialah wujud hukmi. Sedang apabila
hilal berada di bawah ufuk hakiki malam itu dan keesokan harinya dianggap akhir dari
bulan yang sedang berjalan.
Kelompok keempat: kelompok yang berpegang kepada kedudukakan hilal di atas
ufuk mar’i yaitu upuk yang dapat dilihat langsung oleh mata kepada sebagai kriterium
dalam menentukan masukanya awal bulan.
Apabila hilal berada di atas ufuk mar’i pada saat matahari terbenem dianggapnya
hilal sudah wujud, sedang apabila hilal berada di bawahnya dianggap malam itu dan
keesokkan harinya akhir bulan yang sedang berjalan.
Kelompok ini di dalam melakukan perhitungan-perhitungannya melakukan koreksi-
koreksi, baik koreksi terhadap ufuk maupun koreksi terhadap kedudukan hilal. Koreksi
yang dilakukan pada ufuk ialah koreksi kerendahan ufuk yang relative tinggi terhadap
tinggi tepat si peninjau. Juga koreksi refraksi yang berlaku bagi ufuk itu. Koreksi-koreksi
ini dilakukakan secermat-cermatnya dengan maksud kedudukan ufuk itu dapat
diperhitungkan sesuai dengan penglihatan mata sipeninjau. Koreksi yang dilakukan
terhadap tinggi hilal ialah semi-diameter bulan, refraksi, paraks, yang dilakukan dengan
secermat-cermatnya.
TEKNIK RU’YAH
Salah satu dari segi sistem dan metode perhitungan adalah Teknik RU’YAH.
“RU’YAH” atau “RU’YAH Hilal” adalah suatu kegiatan atau usaha melihat hilal atau bulan
sabit di langit (ufuk) sebelah barat sesaat setelah matahari terbenam menjelang awal bulan
baru – khususnya menjelang bulan ramadhan, syawal, dzulhijjah – untuk menentukan
kapan bulan baru itu dimulai.
Hanya saja, ketika matahari terbenam atau sesaat setelah itu langit sebelah barat
berwarna kuning kemerah-merahan, sehingga antara cahaya hilal yang putih kekunimg-
kuningan dengan warna langit yang melatarbelakangi tidak begitu kontras. Oleh sebab itu,
bagi mata yang kurang terlatih melakukan RU’YAH tentunya akan menemui kesulitan
menentukan hilal yang dimaksudkan. Apalagi apabila di ufuk barat terdapat awan tipis atau
awan tebal tidak merata atau bahkan orang yang melakukan RU’YAH tidak mengetahui
pada posisi mana dimungkinkan hilal akan tampak, tentunya akan lebih mengalami
kesulitan.
Atas dasar itulah, agar maksud dan tujuan pelaksanaan RU’YAHul hilal dapat
tercapai secara Optimal. Kiranya diperlukan persiapan-persiapan yang matang, baik
mengenai mental psikologis para peRU’YAH, penyedian data hilal (hasil hisab), serta
peralatan dan perlengkapan yang memadai.
MeRU’YAH hilal bukanlah pekerjaan yang mudah, sebab hilal itu sangat lembut
untuk keberhasilan meRU’YAH tergantung kepada ketajaman penglihatan, kontras hilal
dengan alam sekelilingnya dan cuaca. Untuk ini diperlukan keahlian dan pengalaman.
Karena itu untuk melakukan tugas imkanur RU’YAH diperlukan penelitian yang lama
secara teratur dan sistematis. Dalam menarik kesimpulan dari hasil penelitian perlu di ingat
posisi pengamat sebab posisi pengamat di bola bumi ini sangat menentukan disamping
faktor lingkungan. Tampak nya ahli hisab di indonesia tidak banyak melakukan penelitian
tersebut. Mereka lebih bayank melakukan penelitian di atas kertas. Sementara itu hasil
RU’YAH yang selama ini berhasil belum banyak dilakukan. Penelitian dan kajian perlu
dilakukan oleh seorang professional. Berikut ini imkanur RU’YAH menurut pengalaman
para ahli:
1. Menurut kesepakatan ahli hisab Indonesia kriteria batas imkanur RU’YAH di
Indonesia adalah tinggi hilal hakiki sebesar 2 derajat di atas ufuk. (Kriteria ini
berdasarkan kesepakatan MABIMS (Menteri-Menteri Agama Brunai,
Indonesia, malaysia dan Singapura) yang melakukan 3 kesepakatan
yaitu: 1. Tinggi bulan minimal dua derajat; 2. Jarak bulan - matahari
minimal 3 derajat; dan 3. Hisab Sesudah magrib minimal 8 menit.)
2. Menurut kesepakatan ahli hisab, hisab konperensi kalender islam Internasional batas
imkanur RU’YAH adalah tinggi hilal 5 derajat di atas ufuk dan jarak matahari
dengan sebesar 8 derajat. RU’YAH berlaku untuk seluruh wilayah Negara islam.
3. Berdasarkan hasil penelitian Malaysia atas hasil RU’YAH di Indonesia, Malaysia
mengusulkan agar kriteria RU’YAH di wilayah ASEAN sebesar ketinggian
minimal 2 derajat dan jarak hilal dengan matahari pada waktu terbenam matahari 3
derajat.
METODE PELAKSANAAN RU’YAH
Semula RU’YAHul hilal dilaksanakan dengan cara yang sederhana. Orang-orang
dari tempat yang tinggi atau pantai berusaha melihat hilal kea rah barat atau kesekitar
matahari terbenam tanpa mempergunakan alat dan data astronomi apapun.
Setelah berkembangnya ilmu astronomi, yang dikalangan umat islam dikenal
dengan Ilmu Falak, mereka memanfaatkan ilmu tersebut dalam pelaksanaan RU’YAHul
hilal.
Penggunaan alatpun mengalami perkembangan perkembangan dalam pelaksanaan
RU’YAH. Dari pelaksanaan tanpa alat kemudian berkembang menjadi pelaksanaan yang
dilengkapi dengan alat alat oservasi. Alat yang digunakan disuatu daerah dapat berbeda
dengan alat di daerah lainnya. Hal ini tergantung pada kreatifitas dan dana yang tersedia.
Namun pada umumnya alat-alat tersebut terdiri dari: kompas, rubu’ mujayyab, gawang
lokasi, tongkat istiwa dan teropong, theodolite.
Pada saat ini yang sedang dikembangkan adalah metode pemakain gawang lokasi,
theodolite dan astronomi yang akurat, orang akan dengan mudah dapat mengarahkan
pandangannya keposisi hilal. Walaupun untuk melihat hilal tersebut orang hanya
menggunakan mata telanjang namun cara seperti ini dirasakan sebagai cara yang paling
efektif. Di Pos Observasi Bulan Pelabuhan ratu misalnya, disamping teropong lensa,
gawang lokasi merupakan alat utama untuk pelaksanaan RU’YAHul hilal. Yang sangat
menarik adalah bahwa RU’YAH yang berhasil dari pelabuhan ratu semuanya adalah
RU’YAH yang dilaksanakan dengan mempergunakan gawang lokasi,theodolite.
PENUTUP
Dari uraian diatas, jelaslah bahwa hisab sebagaimana RU’YAH adalah bukan satu-
satunya cara dalam menentukan awal bulan, namun keduan-duanya sama merupakan cara
yang mempunyai kekuatan dan kelemahan masing-masing, dimana kalau kita gabungkan,
maka kedua cara itu akan saling kuat menguatkan dan saling menunjang menuju
kesempurnaan. Tugas kita adalah meningkatkan kualitas Ilmu Hisab yang telah kita miliki
dan menggunakan metode RU’YAH yang sudah jelas banyak sekali manfaatnya, baik dari
segi hukum maupun Ilmu Pengetahuan.