titik temu hisab dan ru'yah

8
METHODOLOGI PENETAPAN AWAL RAMADHAN DAN AWAL SYAWAL (MENENTUKAN TITIK TEMU HISAB DAN RU’YAH) PADA ASPEK RU’YAHNYA Oleh: Dra. Hj. Mashunah Hanafi, MA Disampiakan pada Seminar MUI Kota Banjarmasin PENDAHULUAN Penentuan awal bulan Ramadhan dan Syawal selalu mendapat perhatian khusus dari masyarakat Islam, sejak masa Rasulullah saw hingga kini, karena keterkaitannya dengan ibadah puasa dan hariraya. Bahkan ia dapat mempengaruhi stabilitas, ketentraman dan keamanan masyarakat. Oleh karena itu para ahli hukum Islam menentukan norma-norma yang mengatur tata cara penentuan awal bulan Ramadhan dan Syawal tersebut. Rasulullah saw memberikan pedoman kepada ummat Islam bagaimana memulai berpuasa serta mengakhirinya. Beliau memberikan pedoman bahwa pada masyarakat Arab, pada waktu itu belum menguasai astronomi dan matematika dan sesuai dengan ketentuan bahwa umur bulan qamariah itu ada 29 atau 30 hari, maka penentuan awal bulan ramadhan dan Syawal berdasarkan RU’YAH (melihat dengan mata telanjang) hilal atau menyempurnakan umur bulan Sya’ban atau Ramadhan menjadi 30 hari, apabila hilal tidak terlihat pada akhir bulan-bulan tersebut. Hal ini sesuai dengan tradisi bangsa Arab pada masa itu. Sementara itu Al-qur’an memberikan syariat bahwa peredaran bulan, bintang dan matahari dapat dijadikan pedoman

Upload: muhayat-akbar

Post on 16-Aug-2015

188 views

Category:

Spiritual


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Titik Temu Hisab dan Ru'yah

METHODOLOGI PENETAPAN AWAL RAMADHAN DAN AWAL SYAWAL (MENENTUKAN TITIK TEMU HISAB

DAN RU’YAH) PADA ASPEK RU’YAHNYAOleh: Dra. Hj. Mashunah Hanafi, MA

Disampiakan pada Seminar MUI Kota Banjarmasin

PENDAHULUAN

Penentuan awal bulan Ramadhan dan Syawal selalu mendapat perhatian khusus dari

masyarakat Islam, sejak masa Rasulullah saw hingga kini, karena keterkaitannya dengan

ibadah puasa dan hariraya. Bahkan ia dapat mempengaruhi stabilitas, ketentraman dan

keamanan masyarakat. Oleh karena itu para ahli hukum Islam menentukan norma-norma

yang mengatur tata cara penentuan awal bulan Ramadhan dan Syawal tersebut.

Rasulullah saw memberikan pedoman kepada ummat Islam bagaimana memulai

berpuasa serta mengakhirinya. Beliau memberikan pedoman bahwa pada masyarakat Arab,

pada waktu itu belum menguasai astronomi dan matematika dan sesuai dengan ketentuan

bahwa umur bulan qamariah itu ada 29 atau 30 hari, maka penentuan awal bulan ramadhan

dan Syawal berdasarkan RU’YAH (melihat dengan mata telanjang) hilal atau

menyempurnakan umur bulan Sya’ban atau Ramadhan menjadi 30 hari, apabila hilal tidak

terlihat pada akhir bulan-bulan tersebut. Hal ini sesuai dengan tradisi bangsa Arab pada

masa itu. Sementara itu Al-qur’an memberikan syariat bahwa peredaran bulan, bintang dan

matahari dapat dijadikan pedoman untuk menentukan awal bulan qamariah. Kemudian para

ahli hukum Islam berbeda pendapat dalam menerapkan serta menjabarkan pesan-pesan Al-

Qur’an dan Hadist tersebut seiring dengan kemajuan sains dan teknologi dikalangan

masyarakat Islam pada masanya. Sebagian ulama berpendapat bahwa untuk menentukan

awal Ramadhan dan Syawal cukup hanya dengan menggunakan RU’YAH dengan mata

telanjang. Sementara itu yang lain berpendapat bahwa untuk menentukan awal Ramadhan

dan Syawal itu cukup dengan hisab. Sedangkan yang lain berpendapat bahwa untuk

menentukan bahwa untuk menentukan awal Ramadhan dan Syawal berdasarkan RU’YAH

yang didukung hisab dan hisab yang didukung rakyat.

Page 2: Titik Temu Hisab dan Ru'yah

Situasi tersebut di atas terdapat didalam masyarakat Islam di Indonesia. Dan apabila

diadakan penelitian secara seksama perbedaan perbedaan dalam penentuan awal bulan

qamariah ini, disebabkan oleh dua hal yang pokok:

1. Dari segi penetapan hukum

2. Dari segi sistem dan metode perhitungan

PENENTUAN AWAL BULAN QAMARIAH UNTUK PENETAPAN HUKUM

Di Indonesia dari segi penetapan hukum ini dapat dibedakan menjadi 4 (empat)

kelompok besar.

Kelompok Pertama: yang berpegang kepada RU’YAH, kelompok ini bukannya tidak

melakukan hisab sebagai persiapan untuk kesuksesan mereka melakukan RU’YAH, hanya

saja mereka menganggap bahwa hisab itu sebagai alat pembantu saja guna suksesnya

RU’YAH.

RU’YAH bagi mereka ini merupakan salah satu alat bukti yang dipergunakan untuk

penentuan masuknya awal bulan qamariah yang ada sangkut pautnya dengan ibadah,

apabila hisab sudah di RU’YAH dan setelah dilaksanakan itsbat menurut tata cara yang

lazim barulah hasil RU’YAH itu dikumandangkan .

Landasan pokok dari kelompok ini adalah karena adanya hadist Nabi yang

memerintahkan kepada umatnya agar berpuasa karena melihat bulan dan berhari raya

melihatnya.

Kelompok Kedua: kelompok yang memegang ijtimak sebagai pedoman untuk

penentuan awal bulan qamariah.

Kelompok ini pada saat melakukan perhitungan perhitungan hanyalah sampai

kepada ijtimak saja, dan biasanya tidak pernah menjelaskan kedudukan atau posisi bulan

berapa derajat di atas ufuk.

Kelompok ini berlandaskan kepada pendirian apabila ijtimak terjadi sebelum

matahari terbenam, maka keesokan harinya dianggap bulan baru, sedang apabila ijtimak

terjadi sesudah matahari terbenam keesokan harinya dianggap bulan yang sedang berjalan.

Page 3: Titik Temu Hisab dan Ru'yah

Kelompok ketiga: kelompok yang memandang bahwa ufuk hakiki sebagai kriterium untuk

menentukan wujudnya hilal.

Kelompok ini dalam mempersiapkan perhitngan-perhitungannya berpegang kepada

kedudukan hakiki dari pada bulan, dengan alasan bahwa bulan dalam keadaan dekat dengan

matahari tidak mungkin bersinar, oleh sebab itu mereka ini tidaklah melakukan koreksi-

koreksi yang berguna untuk kepentingan rakyat.

Kegiatan pokok kelompok ini dalam mempersiapkan perhitungan ialah menentukan

kedudukan dari pada bulan pada saat matahari terbenam, apabila bulan berada di atas ufuk

hakiki maka bulan dihukumi wujud, yang dimaksud ialah wujud hukmi. Sedang apabila

hilal berada di bawah ufuk hakiki malam itu dan keesokan harinya dianggap akhir dari

bulan yang sedang berjalan.

Kelompok keempat: kelompok yang berpegang kepada kedudukakan hilal di atas

ufuk mar’i yaitu upuk yang dapat dilihat langsung oleh mata kepada sebagai kriterium

dalam menentukan masukanya awal bulan.

Apabila hilal berada di atas ufuk mar’i pada saat matahari terbenem dianggapnya

hilal sudah wujud, sedang apabila hilal berada di bawahnya dianggap malam itu dan

keesokkan harinya akhir bulan yang sedang berjalan.

Kelompok ini di dalam melakukan perhitungan-perhitungannya melakukan koreksi-

koreksi, baik koreksi terhadap ufuk maupun koreksi terhadap kedudukan hilal. Koreksi

yang dilakukan pada ufuk ialah koreksi kerendahan ufuk yang relative tinggi terhadap

tinggi tepat si peninjau. Juga koreksi refraksi yang berlaku bagi ufuk itu. Koreksi-koreksi

ini dilakukakan secermat-cermatnya dengan maksud kedudukan ufuk itu dapat

diperhitungkan sesuai dengan penglihatan mata sipeninjau. Koreksi yang dilakukan

terhadap tinggi hilal ialah semi-diameter bulan, refraksi, paraks, yang dilakukan dengan

secermat-cermatnya.

TEKNIK RU’YAH

Salah satu dari segi sistem dan metode perhitungan adalah Teknik RU’YAH.

“RU’YAH” atau “RU’YAH Hilal” adalah suatu kegiatan atau usaha melihat hilal atau bulan

sabit di langit (ufuk) sebelah barat sesaat setelah matahari terbenam menjelang awal bulan

Page 4: Titik Temu Hisab dan Ru'yah

baru – khususnya menjelang bulan ramadhan, syawal, dzulhijjah – untuk menentukan

kapan bulan baru itu dimulai.

Hanya saja, ketika matahari terbenam atau sesaat setelah itu langit sebelah barat

berwarna kuning kemerah-merahan, sehingga antara cahaya hilal yang putih kekunimg-

kuningan dengan warna langit yang melatarbelakangi tidak begitu kontras. Oleh sebab itu,

bagi mata yang kurang terlatih melakukan RU’YAH tentunya akan menemui kesulitan

menentukan hilal yang dimaksudkan. Apalagi apabila di ufuk barat terdapat awan tipis atau

awan tebal tidak merata atau bahkan orang yang melakukan RU’YAH tidak mengetahui

pada posisi mana dimungkinkan hilal akan tampak, tentunya akan lebih mengalami

kesulitan.

Atas dasar itulah, agar maksud dan tujuan pelaksanaan RU’YAHul hilal dapat

tercapai secara Optimal. Kiranya diperlukan persiapan-persiapan yang matang, baik

mengenai mental psikologis para peRU’YAH, penyedian data hilal (hasil hisab), serta

peralatan dan perlengkapan yang memadai.

MeRU’YAH hilal bukanlah pekerjaan yang mudah, sebab hilal itu sangat lembut

untuk keberhasilan meRU’YAH tergantung kepada ketajaman penglihatan, kontras hilal

dengan alam sekelilingnya dan cuaca. Untuk ini diperlukan keahlian dan pengalaman.

Karena itu untuk melakukan tugas imkanur RU’YAH diperlukan penelitian yang lama

secara teratur dan sistematis. Dalam menarik kesimpulan dari hasil penelitian perlu di ingat

posisi pengamat sebab posisi pengamat di bola bumi ini sangat menentukan disamping

faktor lingkungan. Tampak nya ahli hisab di indonesia tidak banyak melakukan penelitian

tersebut. Mereka lebih bayank melakukan penelitian di atas kertas. Sementara itu hasil

RU’YAH yang selama ini berhasil belum banyak dilakukan. Penelitian dan kajian perlu

dilakukan oleh seorang professional. Berikut ini imkanur RU’YAH menurut pengalaman

para ahli:

1. Menurut kesepakatan ahli hisab Indonesia kriteria batas imkanur RU’YAH di

Indonesia adalah tinggi hilal hakiki sebesar 2 derajat di atas ufuk. (Kriteria ini

berdasarkan kesepakatan MABIMS (Menteri-Menteri Agama Brunai,

Indonesia, malaysia dan Singapura) yang melakukan 3 kesepakatan

Page 5: Titik Temu Hisab dan Ru'yah

yaitu: 1. Tinggi bulan minimal dua derajat; 2. Jarak bulan - matahari

minimal 3 derajat; dan 3. Hisab Sesudah magrib minimal 8 menit.)

2. Menurut kesepakatan ahli hisab, hisab konperensi kalender islam Internasional batas

imkanur RU’YAH adalah tinggi hilal 5 derajat di atas ufuk dan jarak matahari

dengan sebesar 8 derajat. RU’YAH berlaku untuk seluruh wilayah Negara islam.

3. Berdasarkan hasil penelitian Malaysia atas hasil RU’YAH di Indonesia, Malaysia

mengusulkan agar kriteria RU’YAH di wilayah ASEAN sebesar ketinggian

minimal 2 derajat dan jarak hilal dengan matahari pada waktu terbenam matahari 3

derajat.

METODE PELAKSANAAN RU’YAH

Semula RU’YAHul hilal dilaksanakan dengan cara yang sederhana. Orang-orang

dari tempat yang tinggi atau pantai berusaha melihat hilal kea rah barat atau kesekitar

matahari terbenam tanpa mempergunakan alat dan data astronomi apapun.

Setelah berkembangnya ilmu astronomi, yang dikalangan umat islam dikenal

dengan Ilmu Falak, mereka memanfaatkan ilmu tersebut dalam pelaksanaan RU’YAHul

hilal.

Penggunaan alatpun mengalami perkembangan perkembangan dalam pelaksanaan

RU’YAH. Dari pelaksanaan tanpa alat kemudian berkembang menjadi pelaksanaan yang

dilengkapi dengan alat alat oservasi. Alat yang digunakan disuatu daerah dapat berbeda

dengan alat di daerah lainnya. Hal ini tergantung pada kreatifitas dan dana yang tersedia.

Namun pada umumnya alat-alat tersebut terdiri dari: kompas, rubu’ mujayyab, gawang

lokasi, tongkat istiwa dan teropong, theodolite.

Pada saat ini yang sedang dikembangkan adalah metode pemakain gawang lokasi,

theodolite dan astronomi yang akurat, orang akan dengan mudah dapat mengarahkan

pandangannya keposisi hilal. Walaupun untuk melihat hilal tersebut orang hanya

menggunakan mata telanjang namun cara seperti ini dirasakan sebagai cara yang paling

efektif. Di Pos Observasi Bulan Pelabuhan ratu misalnya, disamping teropong lensa,

gawang lokasi merupakan alat utama untuk pelaksanaan RU’YAHul hilal. Yang sangat

menarik adalah bahwa RU’YAH yang berhasil dari pelabuhan ratu semuanya adalah

RU’YAH yang dilaksanakan dengan mempergunakan gawang lokasi,theodolite.

Page 6: Titik Temu Hisab dan Ru'yah

PENUTUP

Dari uraian diatas, jelaslah bahwa hisab sebagaimana RU’YAH adalah bukan satu-

satunya cara dalam menentukan awal bulan, namun keduan-duanya sama merupakan cara

yang mempunyai kekuatan dan kelemahan masing-masing, dimana kalau kita gabungkan,

maka kedua cara itu akan saling kuat menguatkan dan saling menunjang menuju

kesempurnaan. Tugas kita adalah meningkatkan kualitas Ilmu Hisab yang telah kita miliki

dan menggunakan metode RU’YAH yang sudah jelas banyak sekali manfaatnya, baik dari

segi hukum maupun Ilmu Pengetahuan.